respon tubuh terhadap agen immunologic

33
RESPON TUBUH TERHADAP AGEN IMMUNOLOGIC Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel- sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu. Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau nonspesifik (nature innate/ native) dan didapat atau spesifik (adaptive/ acquired). Sistem Imun mempunyai beberapa fungsi, diantaranya: 1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit. 2) Menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh. 1

Upload: gusti-pramita

Post on 21-Dec-2015

55 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

lalalala

TRANSCRIPT

RESPON TUBUH TERHADAP AGEN IMMUNOLOGIC

Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit

infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap

infeksi disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul

terhadap mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan

tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan

berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan

yang banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel

pejamu dan berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel

pejamu. Baik mikroba ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain,

menimbulkan penyakit dan kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan

berguna untuk pejamu. Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau

nonspesifik (nature innate/ native) dan didapat atau spesifik (adaptive/ acquired).

Sistem Imun mempunyai beberapa fungsi, diantaranya:

1) Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit.

2) Menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi

asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke

dalam tubuh.

3) Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk

perbaikan jaringan.

4) Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

JENIS-JENIS SISTEM IMUN

1. Sistem imun non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan )

Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut

nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu.

Terdiri dari:

a) Pertahanan fisik/mekanik

Kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan

mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubuh. Kulit yang

1

rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok

akan meninggikan resiko infeksi.

b) Pertahanan biokimia

Bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit, kel

kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam

pertahanan tubuh secara biokimiawi. asam HCL dalam cairan lambung ,

lisozim dalam keringat, ludah , air mata dan air susu dapat melindungi tubuh

terhadap berbagai kuman gram positif dengan menghancurkan dinding

selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin dan asam neuraminik yang

mempunyai sifat antibacterial terhadap E. coli dan staphylococcus.

Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram

negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin

dalam serum dapat mengikat zan besi yang dibutuhkan untuk kehidupan

kuman pseudomonas.

c) Pertahanan humoral

Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara

humoral. Bahan-bahan tersebut adalah:

Komplemen

Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif

bakteri dan parasit karena:

Komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri

Merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke

tempat bakteri

Komponen komplemen lain yang mengendap pada permukaan

bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan

memfagositosis (opsonisasi).

Interferon

Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel

manusia yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons

2

terhadap infeksi virus. Interveron mempunyai sifat anti virus dengan

jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga

menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat

mengaktifkan Natural Killer cell (sel NK). Sel yang diinfeksi virus atau

menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya.

Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudian

membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat dicegah.

C-Reactive Protein (CRP)

Peranan CRP adalah sebagai opsonin dan dapat mengaktifkan

komplemen. CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP

merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau lebih)

setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperan pada imunitas non

spesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul

yang terdapat pada banyak bakteri dan jamur.

d) Pertahanan seluler

Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun non spesifik

seluller.

Fagosit

Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi

sel utama yang berperaan dalam pertahanan non spesifik adalah sel

mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti

neutrofil. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan

sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingakt

sebagai berikut: Kemotaksis, menangkap, memakan (fagosistosis), membunuh

dan mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infekis sebagai

respon terhadap berbagai factor sperti produk bakteri dan factor biokimiawi

yang dilepas pada aktivasi komplemen. Antibody seperti pada halnya dengan

komplemen C3b dapat meningkatkan fagosistosis (opsonisasi). Antigen yang

diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian

3

dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc

dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.

Natural Killer cell (sel NK)

Sel NK adalah sel limfoid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak

mempunyai cirri sel limfoid dari siitem imun spesifik, maka karenan itu

disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel poplasi ketiga.Sel NK dapat

menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan

interveron meempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan

efeksitolitik sel NK.

2. Sistem imun spesifik atau adaptasi

Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing. Benda asing yang

pertama kali muncul dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi

sel-sel imun tersebut. Bila sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda

asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat,

kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya

mengahancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu

disebut spesifik.sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan

benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara

antibodi, komplemen , fagosit dan antara sel T makrofag.

Sistem imun spesifik ada 2 yaitu;

a) Sistem imun spesifik humoral

Yang berperanan dalam sistem imun humoral adalah limfosit B atau sel B. sel

B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda

asing maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel

plasma yang dapat menbentuk zat anti atau antibody. Antibody yang dilepas

dapat ditemukan didalam serum. Funsi utama antibody ini ialah untuk

pertahanan tehadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat

menetralkan toksinnya.

4

b) Sistem imun spesifik selular

Yang berperanan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosit T atau sel

T. sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. factor timus

yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon

asli dan dapat memberikan pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diperifer.

Berbeda dengan sel B , sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai

fungsi berlainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan

terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.

Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut:

Alamiah

Pasif

Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah

putih yang disensitisasi dari badan seorang yang imun ke orang lain yang

imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari ibu ke anak.

Aktif

Imunitas alamiah katif dapat terjadi bila suatu mikoorgansme

secara alamiah masuk kedalam tubuh dan menimbulkan pembentukan

antibody atau sel yang tersensitisasi.

Buatan

Pasif

Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody,

antitoksin misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan

difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah disensitisasi pada

tuberkolosis dan hepar.

Aktif

Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui

pemberian toksoid tetanus, antigen mikro organism baik yang mati

maupun yang hidup.

1. Respon Immune Primer-Sekunder

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks

terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat

5

melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit,

komplemen, dansitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon imun terbagi

menjadi dua, yaitu ;

a. Respon Imun Primer

Respons imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan yang

pertama kalinya dengan antibodi. Antibodi yang terbentuk pada respons imun ini

kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan

respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen

masuk sampai timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila disbanding dengan

respons imun sekunder.

b. Respon Imun Sekunder

Pada respons imun ini, antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG,

dengan titer dan afinitas lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding

respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena sel memori yang yang

terbentuk pada respons imun primer akancepat mengalami transformasi blast,

proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.

Demikian pula dengan imunitas seluler, sel limfosit T akan lebih cepat

mengalami transformasi blast dan berdeferensiasi menjadi sel T aktif sehingga

lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori (Ranuh, 2001).

2. Proses Immunitas

Langkah pertama dalam memusnahkan patogen atau sel asing adalah mengenal

antigen sebagai bahan asing. Baik sel T maupun sel B mampu melakukan hal ini, namun

mekanisme immunya diaktivasi dengan sangat baik, bila pengenalan ini dilakukan oleh

makrofag dan kelompok khusus limfosit T yang disebut sel T helper.

Antigen asing difagosit oleh suatu makrofag, dan bagian-bagian dipresentasi

pada membran sel makrofag. Pada membran makrofag juga terdapat antigen “ self ”

yang merupakan representasi semua antigen yang terdapat di semua sel individu. Oleh

karena itu, sel T helper yang bertemu makrofag ini tersaji tidak hanya bersama antigen “

self ” sebagai pembandingnya. Sel T helper sekarang menjadi tersensitisasi dan spesifik

bagi antigen asing. Satu hal yang tidak dimiliki tubuh. Pengenalan antigen sebagai

6

benda asing mengawali satu atau kedua mekanisme imunitas. Mekanisme tersebut

adalah imunitas selular, yang dalamnya sel T dan makrofag berpartisipasi dan imunitas

humoral (dengan perantara antibodi) yang melibatkan dalam sel T, sel B dan makrofag.

1. Imunitas Selular

Mekanisme imunitas ini tidak menghasilkan antibodi, tetapi tetap efektif

melawan patogen intrasel (misalnya virus), fungi , sel-sel ganas, dan tandur

jaringan asing. Setelah pengenalan antigen asing oleh makrofag dan sel T helper

yang menjadi teraktivasi dan spesifik kemudian membelah berkali-kali

membentuk sel T memori dan sel T sitotoksik (killer). Sel T memori akan

mengingat antigen asing yang spesifik dan menjadi aktif bila antigen tersebut

masuk lagi ke dalam tubuh. Sel T sitotoksik secar kimiawi mampu merusak

antigen asing dengan mengoyak membran sel. Dengan cara ini, sel T sitotoksik

merusak sel-sel yang terinfeksi oleh virus, dan mencegah virus berepsroduksi.

Sel T ini juga memproduksi sitokinin, yang secara kimiawi menarik makrofag

menuju area tersebut dan mengaktifkan makrofag untuk memfagosit antigen

asing. Sel T teraktivitasi lainnya menjadi sel T supresor, yang akan

menghentikan respons imun ketika antigen asing telah dirusak. Namun, sel T

memori secara cepat akan melakukan respons imun selular begitu terjadi pajanan

selanjutnya terhadap antigen.

2. Imunitas Humoral

Mekanisme imunitas ini tidak melibatkan produksi antibodi. Tahap

pertama yaitu pengenalan antigen asing, yang kali ini dilakukan oleh sel B serta

makrofag dan sel T helper. Sel T helper yang tersensitisasi menyajikan antigen

asing pada sel B, yang memberikan stimulus kuat bagi aktivasi sel B yang

spesifik untuk antigen ini. Sel B teraktivasi mulai membelah berkali-kali dan

membentuk dua jenis sel. Beberapa sel B baru yang dihasilkan adalah sel-sel B

memori, yang akan mengingat antigen spesifik. Sel-sel B lain menjadi sel-sel

plasma yang menghasilkan antibodi spesifik bagi antigen asing yang satu ini.

Antibodi kemudian berikatan dengan antigen, membentuk kompleks antigen-

antibodi. Ikatan kompleks ini menyebabkan opsonisasi yang berarti bahwa

7

antigen sekarang “ dilabel “ untuk di fagosit oleh makrofag atau neutrofil.

Kompleks antigen antibodi juga menstimulasi proses fiksasi komplemen.

Komplemen adalah suatu kelompok yang terdiri atas 20 protein plasma

yang bersirkulasi dalam darah sampai teraktivasi atau terfiksasi oleh suatu

kompleks antigen-antibodi. Fiksasi komplemen bisa komplet atau parsial. Jika

antigen asingnya seluler, protein komplemen mengikat kompleks antigen-

antibodi, lalu slaing berikatan satu dengan lainnya, dan menyusun cincin

enzimatik yang membentuk satu lubang dalam sel, yang dapat menyebabkan

kematian sel. Ini adlaha fiksasi komplemen komplet ( menyeluruh) dan

merupakan keadaan yang terjadi pada sel-sel bakteri (yang bisa terjadi pada

reaksi transfusi, juga dapat meyebabkan hemolisis).

Apabila antigen asing bukan sel, misalnya virus, maka akan berlangsung

fiksasi, komplemen parsial, yakni beberpa protein komplemen berikatan dengan

kompleks antigen-antibodi. Hal ini merupakan faktor kemotaktik. Kemotaksit

berarti “ Pergerakan kimiawi “ dan sebenarnya merupakan penanda yang

menarik makrofag untuk memangsa dan merusak antigen asing. Bila antigen

asing telah dirusak, sel T supresor tersensitisasi untuk menghentikan respon

imun. Hal ini penting dalam membatasi produksi antibodi sampai jumlah yang

diperlukan untuk mengeliminasi patogen tanpa memicu respons tanpa memicu

respons autoimun (Scanlon, 2006: 305-306).

3. Reaksi Hipersensitivitas

A. Definisi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang

menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya

bagi penjamu. Pada individu yang rentan, reaksi tersebut secara khas terjadi setelah

kontak yang kedua dengan antigen spesifik (alergen). Kontak yang pertama kali

merupakan kejadian yang diperlukan untuk menginduksi sensitisasi terhadap

alergen tersebut.

8

B. Etiologi

Faktor yang berperan dalam alergi makanan yaitu :

1. Faktor Internal

a.Imaturitas usus secara fungsional (misalnya dalam fungsi-fungsi : asam

lambung, enzym-enzym usus, glycocalyx) maupun fungsi-fungsi

imunologis (misalnya : IgA sekretorik) memudahkan penetrasi alergen

makanan. Imaturitas juga mengurangi kemampuan usus mentoleransi

makanan tertentu.

b. Genetik berperan dalam alergi makanan. Sensitisasi alergen dini mulai

janin sampai masa bayi dan sensitisasi ini dipengaruhi oleh kebiasaan dan

norma kehidupan setempat.

c.Mukosa dinding saluran cerna belum matang yang menyebabkan

penyerapan alergen bertambah.

2. Fator Eksternal

a.Faktor pencetus : faktor fisik (dingin, panas, hujan), faktor psikis (sedih,

stress) atau beban latihan (lari, olah raga).

b. Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut

prevalensinya: ikan 15,4%; telur 12,7%; susu 12,2%; kacang 5,3% dll.

c.Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat

menimbulkan reaksi alergi.

C. Patofisiologi

Saat pertama kali masuknya alergen (ex. telur ) ke dalam tubuh seseorang yang

mengkonsumsi makanan tetapi dia belum pernah terkena alergi. Namun ketika

untuk kedua kalinya orang tersebut mengkonsumsi makanan yang sama barulah

tampak gejala-gejala timbulnya alergi pada kulit orang tersebut. Setelah tanda-tanda

itu muncul maka antigen akan mengenali alergen yang masuk yang akan memicu

aktifnya sel T, dimana sel T tersebut yang akan merangsang sel B untuk

mengaktifkan antibodi (Ig E). Proses ini mengakibatkan melekatnya antibodi pada

sel mast yang dikeluarkan oleh basofil. Apabila seseorang mengalami paparan

untuk kedua kalinya oleh alergen yang sama maka akan terjadi 2 hal yaitu,:

9

1. Ketika mulai terjadinya produksi sitokin oleh sel T. Sitokin memberikan efek

terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel – sel radang misalnya

netrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan yang

menyebabkan panas.

2. Alergen tersebut akan langsung mengaktifkan antibodi ( Ig E ) yang

merangsang sel mast kemudian melepaskan histamin dalam jumlah yang

banyak, kemudian histamin tersebut beredar di dalam tubuh melalui pembuluh

darah. Saat mereka mencapai kulit, alergen akan menyebabkan terjadinya

gatal, prutitus, angioderma, urtikaria, kemerahan pada kulit dan dermatitis.

Pada saat mereka mencapai paru paru, alergen dapat mencetuskan terjadinya

asma. Gejala alergi yang paling ditakutkan dikenal dengan nama anafilaktik

syok. Gejala ini ditandai dengan tekanan darah yang menurun, kesadaran

menurun, dan bila tidak ditangani segera dapat menyebabkan kematian.

D. Klasifikasi

Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell diklasifikasikan

menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi,

yaitu tipe I, II, III, dan IV. Kemudian Janeway dan Travers merivisi tipe IV Gell

dan Coombs menjadi tipe IVa dan IVb.

1. Hipersensitivitas Tipe I

Hipersensitivitas tipe I disebut juga sebagai hipersensitivitas

langsung atau anafilaktik. Reaksi ini berhubungan dengan kulit, mata,

nasofaring, jaringan bronkopulmonari, dan saluran gastrointestinal.

Reaksi ini dapat mengakibatkan gejala yang beragam, mulai dari

ketidaknyamanan kecil hingga kematian. Waktu reaksi berkisar antara

15-30 menit setelah terpapar antigen, namun terkadang juga dapat

mengalami keterlambatan awal hingga 10-12 jam. Hipersensitivitas

tipe I diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE). Komponen seluler

utama pada reaksi ini adalah mastosit atau basofil. Reaksi ini diperkuat

dan dipengaruhi oleh keping darah, neutrofil, dan eosinofil.

Mekanisme umum dari hipersensitivitas tipe I ini meliputi

langkah-langkah berikut ini. Antigen menginduksi pembentukan

10

antibody IgE, yang terikat kuat dengan reseptor pada sel basofil dan sel

mast melalui bagian Fc antibody tersebut. Beberapa saat kemudian,

kontak yang kedua dengan antigen yang sama mengakibatkan fiksasi

antigen ke IgE yang terikat ke sel dan pelepasan mediator yang aktif

secara farmakologis dari sel tersebut dalam waktu beberapa menit.

Nukleotida siklik dan kalsium diperlukan dalam pelepasan mediator

tersebut.

Uji diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi

hipersensitivitas tipe I adalah tes kulit (tusukan dan intradermal) dan

ELISA untuk mengukur IgE total dan antibodi IgE spesifik untuk

melawan alergen (antigen tertentu penyebab alergi) yang dicurigai.

Peningkatan kadar IgE merupakan salah satu penanda terjadinya alergi

akibat hipersensitivitas pada bagian yang tidak terpapar langsung oleh

alergen). Namun, peningkatan IgE juga dapat dikarenakan beberapa

penyakit non-atopik seperti infeksi cacing, mieloma, dll. Pengobatan

yang dapat ditempuh untuk mengatasi hipersensitivitas tipe I adalah

menggunakan anti-histamin untuk memblokir reseptor histamin,

penggunaan Imunoglobulin G (IgG), hyposensitization (imunoterapi

atau desensitization) untuk beberapa alergi tertentu.

2. Hipersensitivitas Tipe II

Hipersensitivitas tipe II diakibatkan oleh antibodi berupa

imunoglobulin G (IgG) dan imunoglobulin E (IgE) untuk melawan

antigen pada permukaan sel dan matriks ekstraseluler. Kerusakan akan

terbatas atau spesifik pada sel atau jaringan yang langsung

berhubungan dengan antigen tersebut. Pada umumnya, antibodi yang

langsung berinteraksi dengan antigen permukaan sel akan bersifat

patogenik dan menimbulkan kerusakan pada target sel.

Hipersensitivitas dapat melibatkan reaksi komplemen (atau reaksi

silang) yang berikatan dengan antibodi sel sehingga dapat pula

menimbulkan kerusakan jaringan. Beberapa tipe dari hipersensitivitas

tipe II adalah:

11

a. Pemfigus (IgG bereaksi dengan senyawa intraseluler di antara

sel epidermal),

b. Anemia hemolitik autoimun (dipicu obat-obatan seperti penisilin

yang dapat menempel pada permukaan sel darah merah dan

berperan seperti hapten untuk produksi antibodi kemudian

berikatan dengan permukaan sel darah merah dan menyebabkan

lisis sel darah merah), dan

c. Sindrom Goodpasture (IgG bereaksi dengan membran

permukaan glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan

ginjal).

3. Hipersensitivitas Tipe III

Hipersensitivitas tipe III merupakan hipersensitivitas kompleks

imun. Hal ini disebabkan adanya pengendapan kompleks antigen-

antibodi yang kecil dan terlarut di dalam jaringan. Hal ini ditandai

dengan timbulnya inflamasi atau peradangan. Pada kondisi normal,

kompleks antigen-antibodi yang diproduksi dalam jumlah besar dan

seimbang akan dibersihkan dengan adanya fagosit. Namun, kadang-

kadang, kehadiran bakteri, virus, lingkungan, atau antigen (spora fungi,

bahan sayuran, atau hewan) yang persisten akan membuat tubuh secara

otomatis memproduksi antibodi terhadap senyawa asing tersebut

sehingga terjadi pengendapan kompleks antigen-antibodi secara terus-

menerus. Hal ini juga terjadi pada penderita penyakit autoimun.

Pengendapan kompleks antigen-antibodi tersebut akan menyebar pada

membran sekresi aktif dan di dalam saluran kecil sehingga dapat

memengaruhi beberapa organ, seperti kulit, ginjal, paru-paru, sendi,

atau dalam bagian koroid pleksus otak.

Patogenesis kompleks imun terdiri dari dua pola dasar, yaitu

kompleks imun karena kelebihan antigen dan kompleks imun karena

kelebihan antibodi. Kelebihan antigen kronis akan menimbulkan sakit

serum (serum sickness) yang dapat memicu terjadinya artritis atau

glomerulonefritis. Kompleks imun karena kelebihan antibodi disebut

12

juga sebagai reaksi Arthus, diakibatkan oleh paparan antigen dalam

dosis rendah yang terjadi dalam waktu lama sehingga menginduksi

timbulnya kompleks dan kelebihan antibodi. Beberapa contoh sakit

yang diakibatkan reaksi Arthus adalah spora Aspergillus clavatus dan

A. fumigatus yang menimbulkan sakit pada paru-paru pekerja lahan

gandum (malt) dan spora Penicillium casei pada paru-paru pembuat

keju.

4. Hipersensitivitas Tipe IV

Hipersensitivitas tipe IV dikenal sebagai hipersensitivitas yang

diperantarai sel atau tipe lambat (delayed-type). Reaksi ini terjadi

karena aktivitas perusakan jaringan oleh sel T dan makrofag. Waktu

cukup lama dibutuhkan dalam reaksi ini untuk aktivasi dan diferensiasi

sel T, sekresi sitokin dan kemokin, serta akumulasi makrofag dan

leukosit lain pada daerah yang terkena paparan. Beberapa contoh

umum dari hipersensitivitas tipe IV adalah hipersensitivitas

pneumonitis, hipersensitivitas kontak (kontak dermatitis), dan reaksi

hipersensitivitas tipe lambat kronis (delayed type hipersensitivity,

DTH).

E. Tanda dan Gejala

Reaksi tipe I dapat terjadi sebagai suatu gangguan sistemik atau reaksi lokal.

Pemberian antigen protein atau obat (misalnya, penisilin) secara sistemik (parental)

menimbulkan anafilaksis sistemik. Dalam beberapa menit setelah pajanan, pada

pejamu yang tersensitisasi akan muncul rasa gatal, urtikaria (bintik merah dan

bengkak), dan eritems kulit,diikuti oleh kesulitan bernafas berat yang disebabkan

oleh bronkokonstriksi paru dan diperkuat dengan hipersekresi mukus. Edema laring

dapat memperberat persoalan dengan menyebabkan obstruksi saluran pernafasan

bagian atas. Selain itu, otot semua saluran pencernaan dapat terserang, dan

mengakibatkan vomitus, kaku perut, dan diare. Tanpa intervensi segera,dapatterjadi

vasodilatasi sistemik (syok anafilaktik ), dan penderita dapat mengalami kegagalan

sirkulasi dan kematian dalam beberapa menit.

13

Reaksi lokal biasanya terjadi bila antigen hanya terbatas pada tempat tertentu

sesuai jalur pemajanannya, seperti di kulit (kontak, menyebabkan urtikaria), traktus

gastrointestinal (ingesti,menyebabkan diare), atau paru (inhalasi, menyebabkan

bronkokonstriksi).

Reaksi tipe II umumnya berupa kelainan darah, seperti anemia hemolitik,

trombositopenia, eosinofilia dan granulositopenia.

Manifestasi klinik hipersensivitas tipe III dapat berupa:

a. Urtikaria, angioedema, eritema, makulopapula, eritema multiforme dan lain-

lain. gejala sering disertai pruritis.

b. Demam.

c. Kelainan sendi, artralgia dan efusi sendi.

d. Limfadenopati

e. kejang perut, mual

f. neuritis optic

g. glomerulonefritis

h. sindrom lupus eritematosus sistemik

i. gejala vaskulitis lain

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru

akut seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering

menyebabkan reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial,

ensafalomielitis. hepatitis juga dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

Adapun Gejala klinis umumnya :

1. Pada saluran pernafasan : asma

2. Pada saluran cerna: mual,muntah,diare,nyeri perut

3. Pada kulit: urtikaria. angioderma, dermatitis, pruritus, gatal,

demam, gatal

4. Pada mulut: rasa gatal dan pembengkakan bibir

F. Pemeriksaan Fisik

1. Inspeksi: apakah ada kemerahan, bentol-bentol dan terdapat gejala adanya

urtikaria,angioderma,pruritus dan pembengkakan pada bibir.

14

2. Palpasi: ada nyeri tekan pada kemerahan.

3. Perkusi: mengetahui apakah diperut terdapat udara atau cairan.

4. Auskultasi: mendengarkan suara napas, bunyi jantung, bunyi usus( karena

pada oarng yang menderita alergi bunyi usunya cencerung lebih meningkat)

G. Diagnosa

Bila seorang pasien datang dengan kecurigaan menderita penyakit alergi,

langkah pertama yang harus dilakukan adalah memastikan terlebih dahulu

apakah pasien benar-benar menderita penyakit alergi. Selanjutnya baru

dilakukan pemeriksaan untuk mencari alergen penyebab, selain juga faktor-

faktor non alergik yang mempengaruhi timbulnya gejala.

Prosedur penegakan diagnosis pada penyakit alergi meliputi beberapa

tahapan berikut.

1. Riwayat Penyakit. Didapat melalui anamnesis, sebagai dugaan awal

adanya keterkaitan penyakit dengan alergi.

2. Pemeriksaan Fisik. Pemeriksaan fisik yang lengkap harus dibuat, dengan

perhatian ditujukan terhadap penyakit alergi bermanifestasi kulit,

konjungtiva, nasofaring, dan paru. Pemeriksaan difokuskan pada

manifestasi yang timbul.

3. Pemeriksaan Laboratorium. Dapat memperkuat dugaan adanya penyakit

alergi, namun tidak untuk menetapkan diagnosis. Pemeriksaan

laboaratorium dapat berupa hitung jumlah leukosit dan hitung jenis sel,

serta penghitungan serum IgE total dan IgE spesifik.

4. Tes Kulit. Tes kulit berupa skin prick test (tes tusuk) dan patch test (tes

tempel) hanya dilakukan terhadap alergen atau alergen lain yang

dicurigai menjadi penyebab keluhan pasien.

5. Tes Provokasi. Adalah tes alergi dengan cara memberikan alergen secara

langsung kepada pasien sehingga timbul gejala. Tes ini hanya dilakukan

jika terdapat kesulitan diagnosis dan ketidakcocokan antara gambaran

klinis dengan tes lainnya. Tes provokasi dapat berupa tes provokasi nasal

dan tes provokasi bronkial.

15

H. Penangan dan Terapi

Penanganan gangguan alergi dapat dilakukan dengan cara:

1. Menghindari allergen

2. Terapi farmakologis

a. Adrenergik

Yang termasuk obat-obat adrenergik adalah katelokamin

( epinefrin, isoetarin, isoproterenol, bitolterol ) dan nonkatelomin

( efedrin, albuterol, metaproterenol, salmeterol, terbutalin, pributerol,

prokaterol dan fenoterol ). Inhalasi dosis tunggal salmeterol dapat

menimbulkan bronkodilatasi sedikitnya selam 12 jam, menghambat

reaksi fase cepat maupun lambat terhadap alergen inhalen, dan

menghambat hiperesponsivitas bronkial akibat alergen selama 34

jam.

b. Antihistamin

Obat dari berbagai struktur kimia yang bersaing dengan histamin

pada reseptor di berbagai jaringan. Karena antihistamin berperan

sebagai antagonis kompetitif mereka lebih efektif dalam mencegah

daripada melawan kerja histamine.

c. Kromolin Sodium

Kromolin sodium adalah garam disodium 1,3-bis-2-

hidroksipropan. Zat ini merupakan analog kimia obat khellin yang

mempunyai sifat merelaksasikan otot polos. Obat ini tidak

mempunyai sifat bronkodilator karenanya obat ini tidak efektif unutk

pengobatan asma akut. Kromolin paling bermanfaat pada asma

alergika atau ekstrinsik.

d. Kortikosteroid

Kortikosteroid adalah obat paling kuat yang tersedia untuk

pengobatan alergi. Beberapa pengaruh prednison nyata dalam 2 jam

sesudah pemberian peroral atau intravena yaitu penurunan eosinofil

16

serta limfosit prrimer. Steroid topikal mempunyai pengaruh lokal

langsung yang meliputi pengurangan radang, edema, produksi

mukus, permeabilitas vaskuler, dan kadar Ig E mukosa.

3. Imunoterapi

Imunoterapi diindikasikan pada penderita rhinitis alergika, asma yang

diperantarai Ig E atau alergi terhadap serangga. Imunoterapi dapat

menghambat pelepasan histamin dari basofil pada tantangan dengan antigen

E ragweed in vitro. Leukosit individu yang diobati memerlukan pemaparan

terhadap jumlah antigen E yang lebih banyak dalam upaya melepaskan

histamin dalam jumlah yang sama seperti yang mereka lepaskan sebelum

terapi. Preparat leukosit dari beberapa penderita yang diobati bereaksi

seolah-olah mereka telah terdesensitisasisecara sempurna dan tidak

melepaskan histamin pada tantangan dengan antigen E ragweed pada kadar

berapapun

4. Profilaksis

Profilaksis dengan steroid anabolik atau plasmin inhibitor seperti

traneksamat, sering kali sangat efektif untuk urtikaria atau angioedema.

5. Immunodefisiensi

Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem

kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi,

lebih sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.

Jika suatu infeksi terjadi secara berulang dan berat (pada bayi baru lahir, anak-anak

maupun dewasa), serta tidak memberikan respon terhadap antibiotik, maka

kemungkinan masalahnya terletak pada sistem kekebalan.

Imunodefisiensi adalah penyakit yg disebabkan oleh hilang / terjadinya

gangguan fungsi dr sebagian sistem imun termasuk sel imun, molekul imun, atau

proses kerja sistem imun.

17

Patogenesis

Patogenesis dari imunodefisiensi sangat komplek dan bervariasi, dan

menimbulkan gejala klinis yang banyak berbeda untuk setiap kejadian, juga sering

mengakibatkan penyakit yang serius.

Klasifikasi menurut etiologi

1) Primary immunodeficiency disease (PIDD)

Disebabkan oleh defek genetik dalam sistem imum, mengakibatkan

kegagalan esensial sistem imun untuk berkembang (Tambayong, 2000).

2) Secondary immunodeficiency disease (SIDD)

Menurut Underwood (1999) penyebab pada imunodefisiensi sekunder

adalah malnutrisi, keganasan hematologik seperti leukemia, penderita gagal

ginjal kronis, AIDS, dan infeksi virus akut. Kondisi lain yang mengakibatnya

terjadinya imunidefisiensi sekunder yaitu proses penuaan, stress, pengobatan

kanker, terapi radiasi, terapi imunosupresan seperti kortikosteroid serta

antibiotika (Tambayong, 2000).

Menurut Underwood (1999) imunodefisiensi primer berdasarkan

patogenesisnya dibagi menjadi tiga yaitu:

1. Cacat pada limfosit-B

Cacatnya fungsi lifosit-B diturunkan secara genetik oleh X-linked

resesif. Defek ini menyebabkan pre-sel B mengalami kegagalan

berdiferensiasi menjadi limfosit B. Akibatnya kelenjar limfe tidak

memiliki sentrum germinativum, maka jaringan tidak berisi sel plasma

dan limfoid B tidak terdapat dalam darah (Underwood, 1999).

Defisiensi sel B yang gagal berdiferensiasi menjadi sel plasma

penghasil IgA berakibat defisiensi immunoglobulin.

2. Cacat pada fungsi limfosit-T

Terjadi karna defek genetik yaitu delesi kromosom 22q11. Pada masa

embrio perkembangan lengkung brakial ketida dan keempat terganggu

mengakibatkan tidak terbentuknya sebagian besar timus dan kelenjar

18

paratiroid. Oleh karena terjadi hipoparatiroid berakibat menurunnya

lifosit yang beredar yaitu limfosit T yang berperan untuk memproduksi

immunoglobulin spesifik pada antigen. Meskipun immunoglobulin

normal tetapi karna tidak adanya aktivitas sel T helper maka

immunoglobulin spesifik tidak terbentuk (Underwood, 1999).

3. Cacat campuran fungsi limfosit T dan B

Mutasi genetik pada rantai gamma yang menggandung reseptor IL-2,

IL-4, IL-7, IL-9, dan IL-15 mengakibatkan disfungsi sitotoksin.

Reseptor IL-7 yang terganggu mengakibatkan pematangan limfosit T

terhambat. Gangguan reseptor IL-2 menghambat proliferasi sel T, B,

dan NK (McPhee, 2010).

4. Imunodefisiensi Sekunder

Muncul karna adanya respon terhadap gangguan pada tubuh. Berbagai

macam kondisi dan penyakit yang dapat menurunkan sistem imun

seperti leukemia menyerang sumsum tulang dan malnutrisi menyerang

sel perantara. Defisiensi yang terjadi berupa cacat campuran limfosit T

dan B (Underwood, 1999).

19

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Imonologi atau Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit

infeksi. Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap

infeksi disebut sistem imun.

Sistem imun terbagi menjadi dua jenis yaitu, sistem imun non spesifik dan

sistem imun spesifik.

Respon imunterbagi menjadi dua yaitu, respon imu primer dan respon imun

sekunder.

Hipersensitivitas atau Alergi merupakan suatu kondisi respon imunitas yang

menimbulkan reaksi yang berlebihan atau reaksi yang tidak sesuai, yang berbahaya bagi

penjamu.

Imunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan, dimana sistem

kekebalan tidak berfungsi secara adekuat, sehingga infeksi lebih sering terjadi, lebih

sering berulang, luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya

Saran

Untuk menjaga sistem imun disarankan untuk selalu berolahraga & istirahat

yang cukup, menjalani diet gizi seimbang dan membantu menjaga sistem imun dengan

suplemen penguat imun, seperti susu berkolostrum, dan Vitamin C.

20

DAFTAR PUSTAKA

Aisa. 2013. Sistem Imun. Diakses di

https://aisabiologi.wordpress.com/2013/03/21/sistem-imun/, pada hari Rabu

15/04/2015, pukul 18.07 WITA

Baratawidjaja, Karnen G., 2006, Imunologi Dasar, Edisi Ke Tujuh, Balai

Penerbit FKUI, Jakarta.

Brooks G. F., Butel J. S., dan Morse S. A., 2005, Mikrobiologi Kedoteran, Edisi

Pertama, Salemba Medika, Jakarta.

Corwin, E.J.,2009,Patofisiologi: Buku Saku,Jakarta:EGC.

Garna Baratawidjaja Karnen dan Rengganis Iris. 2009. Imunologi Dasar edisi

VIII.

McPhee, S.J.,Ganong, W.F.,2010,Patofisiologi: Pengantar Menuju Kedokteran

Klinis,Jakarta:EGC.

Mitcheel, R.N.,2009,Buku Dasar Patologi Penyakit,Jakarta:EGC.

Price & Wilson, 2003, Patofisiologi konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Vol

2, Edisi 6, EGC, Jakarta.

Sproat, C.,Burke, G.,McGurk, M.,2006,Essential Human Disease for

Dentists,Philadelpia:Elsevier.

Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, M., Setiati,

S., 2007, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I Edisi IV, Pusat Penerbitan

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta.

Tambayong, J.,2000,Patofisiologi untuk Keperawatan,Jakarta:EGC.

Underwood, J.C.E.,2000,Patologi Umum dan Sistematik,Jakarta:EGC.

21