respon tubuh terhadap tantangan imunologik.docx

42
RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya makalah dengan judul “Respon Tubuh Terhadap Tantangan Imunologik” ini dapat diselesaikan. Pembuatan makalah ini dimaksudkan sebagai nilai ujian pada mata kuliah Patologi. Teriring ucapan terima kasih kepada dosen penanggung jawab mata kuliah yang telah membimbing kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan baik dalam bentuk penyajian, kelengkapan isi, dan lain-lainnya. Untuk itu dengan senang hati kami akan menerima segala saran, kritik dari para pembaca guna memperbaikan makalah ini di kemudian hari. Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat dan berguna, serta dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.

Upload: artma-nuril-mauludin

Post on 16-Feb-2015

66 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan syukur atas ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya

makalah dengan judul “Respon Tubuh Terhadap Tantangan Imunologik” ini dapat

diselesaikan. Pembuatan makalah ini dimaksudkan sebagai nilai ujian pada mata kuliah

Patologi.

Teriring ucapan terima kasih kepada dosen penanggung jawab mata kuliah yang telah

membimbing kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan.

Dalam penyusunan makalah ini kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari

kesempurnaan baik dalam bentuk penyajian, kelengkapan isi, dan lain-lainnya. Untuk itu

dengan senang hati kami akan menerima segala saran, kritik dari para pembaca guna

memperbaikan makalah ini di kemudian hari.

Akhir kata, semoga buku ini dapat bermanfaat dan berguna, serta dapat menambah

pengetahuan bagi para pembaca.

Gorontalo, 3 Juni 2012

                                                                                      Kelompok 1 (Satu)

Page 2: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

DAFTAR ISI

BAB I.   PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang………………………………………………......1

BAB II.  Teori

II.1   Imunitas…………………………………………………………..2

II.2   Respon Imun.........................................................................3

II.3   Sistem Imun..........................................................................5

II.4   Tipe Imunitas……………………………………………………10

II.5   Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun…………...12

II.6   Fisiologi Reaksi Hipersensitifitas ……………………………...13

II.7   Imunodefisiensi………………………………………………….17

II.8   Kompleks Histokompatibilitas Mayor…………...…….……...20

BAB III.         PENUTUP

III.1 KESIMPULAN………………………………………………….32

DAFTAR PUSTAKA

Page 3: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

BAB I

PENDAHULUAN

I.1     Latar Belakang

Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba

pathogen disekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada

manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respon

imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya

gambaran biologic spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk

proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraseluler atau

bakteri intraseluler mempunyai karakteriskik tertentu pula.

Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi

matahari, dan polusi. Stress emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain

untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh system pertahanan

tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk

menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negattif, bagaimanapun, dapat menekan system

pertahanan tubuh, system kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal.

Respon imun yang alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta

makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negative dapat mangativasi

komplemen jalur alternative tanpa adanya antibody. Kerusakan jaringan yang terjaddi ini

adalah akibat efek samping dari mekanisme pertahanan tubuh untuk mengeliminasi bakteri.

Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein.

BAB II

TEORI

II.1   Imunitas

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi. Gabungan sel,

molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut sistem imun.

Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya

Page 4: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya

terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.

Mikroba dapat hidup ekstraseluler, melepas enzim dan menggunakan makanan yang

banyak mengandung gizi yang diperlukannya. Mikroba lain menginfeksi sel pejamu dan

berkembang biak intraseluler dengan menggunakan sumber energi sel pejamu. Baik mikroba

ekstraseluler maupun intraseluler dapat menginfeksi subyek lain, menimbulkan penyakit dan

kematian, tetapi banyak juga yang tidak berbahaya bahkan berguna untuk pejamu.

Pertahanan imun terdiri atas sistem imun alamiah atau nonspesifik (nature innate/

native) dan didapat atau spesifik (adaptive/ acquired).

Gambar 1. Gambaran umum sistem imun

Mekanisme imunitas nonspesifik (sawar mekanis, fagosit, sel NK dan sistem

komplemen) memberikan pertahanan terhadap infeksi. Imunitas spesifik (respons limfosit)

timbul lebih lambat. Perbedaan-perbedaan antara kedia sistem imun tersebut terlihat pada

gambar dan tabel di bawah.

II.2 Respon Imun

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks

terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan

berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin

yang saling berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas

mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif atau innate, atau

imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis

Page 5: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

antigen, tetapi untuk berbagai macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir

dan terdiri atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan

khusus untuk antigen tertentu.

Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif  atau

imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis

antigen, karena itu tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan

pertahanan tubuh non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau

ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk. Sedangkan

pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen.

Gambar 2. Mekanisme utama imunitas nonspesifik dan spesifik

Page 6: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Gambar 3. Perbedaan sistem imun nonspesifik dan spesifik

Tabel 1. Perbedaan sifat-sifat sistem imun nonspesifik dan spesifik

Pembagian di atas hanya dimaksudkan untuk memudahkan pengertian saja.

Sebenernya antara kedua sistem tersebut ada kerja sama yang erat, yang satu tidak apat

dipisahkan dari yang lain.

II.3   Sistem Imun

Sistem imun adalah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan

keutuhan tubuh, sebagai perlindungan terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan berbagai

bahan dalam lingkungan hidup

A. Fungsi sistem imun: 

Page 7: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

1.      Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan

mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang

masuk ke dalam tubuh .

2.      Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak (debris sel) untuk perbaikan jaringan.

3.      Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal.

B. Tipe sistem imun.

Secara umum sistem imun manusia terbagi dalam dua, yaitu : alamiah dan adaptif

(spesifik). Sistem imun alamiah terentang luas, mulai dari air mata, air liur, keringat (dengan

pHnya yang rendah/asam), bulu hidung, kulit, selaput lendir, laktoferin dan asam neuraminik

(pada air susu ibu), sampai asam lambung termasuk di dalamnya. Secara lebih mendetail di

dalam cairan tubuh seperti air mata atau darah terdapat komponen sistem imun alamiah yang

antara lain terdiri dari fasa cair seperti IgA (Imunoglobulin A), Interferon, Komplemen,

Lisozim, ataupun c-reactive protein (CRP). Sementara fasa seluler terdiri dari sel-sel

pemangsa (fagosit) seperti sel darah putih (polymorpho nuclear/PMN), sel-sel mono nuklear

(monosit atau makrofag), sel pembunuh alamiah (Natural Killer), dan sel-sel dendritik.

Sedangkan pada sistem imun adaptif terdapat sistem dan struktur fungsi yang lebih kompleks

dan beragam. Sistem imun adaptif terdiri dari sub sistem seluler yaitu keluarga sel limfosit T

(T penolong dan T sitotoksik) dan keluarga sel mono nuklear (berinti tunggal). Sub sistem

kedua adalah sub sistem humoral, yang terdiri dari kelompok protein globulin terlarut yaitu:

Imunoglobulin G, A, M, D, dan E. Imunoglobulin dihasilkan oleh sel limfosit B melalui suatu

proses aktivasi khusus, bergantung kepada karakteristik antigen yang dihadapi. Secara

berkesinambunangan dalam jalinan koordinasi yang harmonis, sistem imun baik yang

alamiah maupun adapatif senantiasa bahu-membahu menjaga keselarasan interaksi antara

sistem tubuh manusia dengan media hidupnya (ekosistem). 

C. Mekanisme kerja sistem imun

Keberadaan mikroba patogen dapat menimbulkan dampak-dampak yang tidak

diharapkan akan memicu sistem imun untuk melakukan tindakan dengan urutan mekanisme

sebagai berikut : introduksi, persuasi, dan represi. 

Meskipun komplemen dapat diasosiasikan sesuai artinya, yaitu pelengkap, namun

sesungguhnya fungsinya amatlah vital. Faktor komplemen bertugas untuk menganalisa

masalah untuk selanjutnya mengenalkannya kepada imunoglobulin, untuk selanjutnya akan

diolah dandipecah-pecah menjadi bagian-bagian molekul yang tidak berbahaya bagi tubuh.

Setelah itu limfosit T bekerja dengan memakan mikroba patogen. Sel limfosit terdiri dari dua

spesies besar, yaitu limfosit T dan B. Bila limfosit B kelak akan bermetamorfosa menjadi sel

Page 8: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

plasma dan selanjutnya akan menghasilkan imunoglobulin (G,A,M,D,E), maka sel T akan

menjadi divisi T helper, T sitotoksik, dan T supresor. 

Dalam kondisi yang berat akan terjadi beberapa proses berikut : sel limfosit T akan

meminimalisasi efek patogenik dari mikroba patogen dengan cara bekerjasama dengan

antibodi untuk mengenali dan merubah antigen dari mikroba patogen menjadi serpihan asam

amino melalui sebuah mekanisme yang disebut Antibody Dependent Cell Cytotoxicity

(ADCC). Selain itu sel limfosit T bersama dengan sel NK (Natural Killer) dan sel-sel

dendritik dapat bertindak langsung secara represif untuk menghentikan kegiatan mikroba

patogen yang destruktif melalui aktivitas kimiawi zat yang disebut perforin. Dalam beberapa

kondisi khusus, sel limfosit T dapat memperoleh bantuan dari sel makrofag yang berperan

sebagai Antigen Presenting Cell (APC) alias sel penyaji antigen. 

Sedangkan Sel limfosit B bertugas untuk membangun sistem manajemen komunikasi

terpadu di wilayah cairan tubuh (imunitas humoral). Bila ada antigen dari unsur asing yang

masuk, maka sel limfosit B akan merespon dengan cara membentuk sel plasma yang spesifik

untuk menghasilkan molekul imunoglobulin yang sesuai dengan karakteristik antigen dari

unsur asing tersebut.

D. Sel – sel sistem imun                                   

A.  SEL-SEL IMUN NON SPESIFIK

1. Sel Fagosit Fagosit Agranulosit

  Sel Monosit : sel yang berasal dan matang di sum-sum tulang dimana setelah matang akan

bermigrasi ke sirkulasi darah dan berfungsi sebagai fagosit

  Sel makrofag : diferensiasi dari sel monosit yang berada dalam sirkulasi. Ada 2 golongan,

yaitu:

  Fagosit professional: monosit dan makrofag yang menempel pada permukaan dan akan

memakan mikroorganisme asing yang masuk. Monosit dan makrofag juga mempunyai

resepto interferon dan Migration Inhibition Factor (MIF). Selanjutanya monosit dan

makrofag diaktifkan oleh Macrophage Activating Factor (MAF) yang dilepas oleh sel T yang

disensitasi.

  Antigen Presenting Cell (APC): sel yang mengikat antigen asing yang masuk lalu meprosesnya

sebelum dikenal oleh limfosit. Sel-sel yang dapat menjadi APC antara lain: kelenjar limfoid,

sel Langerhans di kulit, Sel Kupffer di hati, sel mikrogrial di SSP dan sel B.

Fagosit Garnulosit

  Neutrofil : mempunyai reseptor untuk fraksi Fc antibody dan komplemen yang diaktifkan.

Page 9: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

  Eosinofil: eosinofil dapat dirangsang untuk degranulasi sel dimana mediator yang dilepas dapat

menginaktifkan mediator- mediator yang dilepas oleh mastosit/basofil pada reaksi alergi.

eosinofil mengandung berbagai granul seperti Major Basic Protein (MBP), Eosinophil

Cationic Protein (ECP), Eosinophil Derived Neurotoxin (EDN)þ & Eosinophil Peroxidase

(EPO) yang besifat toksik dan dapat menghancurkan sel sasaran bila dilepas. 

2.  Sel Nol

Berupa Large Granular Lymphocyte (LGL) yang terbagi dalam sel NK (Natural

Killer) dan sel K (Killer). Sel NK dapat membunuh sel tumor dengan cara nonspesifik tanpa

bantuan antibody sedang sel K merupakan efektor Antibody Dependent Cell (ADCC) ynag

dapat membunuh sel secara nonspesifik namun bila sel sasaran dilapisi antibody.

3.   Sel Mediator

Basofil dan Mastosit: melepaskan bahan-bahan yang mempunyai aktivitas biologic

antara lain: meningkatkan permeabilitas vaskuler dan respons inflamasi. 

Trombosit: berfungsi pada homeostasis, memodulasi respons inflamasi, sitotoksik sebagai

selefektor dan penyembuhan jaringan.

B.  SEL IMUN SPESIFIK

1. Sel T

Petanda Permukaan: mempunyai resptor sel yang dapat dibedakan dengan yang lain, beberapa

macam sel T

T11 : Penanda bahwa sel T sudang matang

 T 4 dan T8 : T4 berfungsi sebagai pengenalan molekul kelas II MHC dan T8 dalam

pengenalankelas I MHC

T3 : resptor yang diperlukan untukperangsangan sel T

TcT (Terminal deoxyribonuckleotidyl Transferase) : enzim yang diperlukan untuk

menemukan pre T cell¥

 Petanda Cluster Differentiation (CD) : berperan dalam meneruskan sinyal aktivasi yang

datang dari luar sel ke dalam sel (bila ada interaksi antara antigen molekul MHC dan reseptor

sel T)

Petanda fungsional

     Mitogen dan lectin merupakan alamiah yang berkemampuan mengikat dan merangsang

banyak klon limfoid untuk proliferasi dan diferensiasi.

Subkelas Sel T

Sel Th (T Helper) : menolong sel b dalam memproduksi antibody

Page 10: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Sel Ts (T Supresor): menekan aktivitas sel T yang lain dan sel B. Sibagi menjadi Sel Ts

spesifik untuk antigen tertentu dan sel Ts nonspesifik

Sel Tdh / Td (delayed hypersensivity): berperan pada pengerahan makrofag ddan sel inflamasi

lain ke tempat terjadinya reaksi hipersensivitas tipe lambat.

Sel Tc (cytotoxic): berkemampuan untuk menghancurkan sel allogeneic dan sel sasaran yang

mengandung virus.

2.  Sel B

Sel yang berploriferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mampu

membentuk dan melepan antibody atas pengaruh sel T. macam macam antibody yang

dihasilkan

  Ig G : berjumlah 75% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam jaringan¥ & serum (darah,

cairan SSP)ม mengaktifkan sistem komplemen sehingga berperan dalam imunitas selular ม Ig

G dapat menembus plasenta masuk k fetus

  Ig A: berjumlah 15% dari seluruh Imunoglobin, terdapat dalam cairan tubuh (darah,saliva,air

mata, ASI, sekret paru, GI, dll), Ig A dpt menetralisir toksin¥ & mencegah terjadinya kontak

antara toksin dgn sel sasaran

  Ig M : berjumlah 10% dari seluruh Imunoglobin, Merupakan antibodi pertama yang dibentuk

dalam respon imun, kebanyakan sel B mengandung IgM pada permukaannya sebagai reseptor

antigen, dapat mencegah gerakan mikroorganisme, memudahkan fagositosis¥ & aglutinator

kuat terhadap antigen

  Ig D : berjumlah 0,2% dari seluruh Imunoglobin, merupakan komponen utama pada

permukaan sel B¥ & penanda dari diferensiasi sel B yang lebih matang, Ditemukan dgn

kadar rendah dlm sirkulasi ใ  Ig E : berjumlah 0,004% dari seluruh Imunoglobin, Ig dengan jumlah tersedikit namun sangat

efisien, terdapat dalam serum, mudah diikat oleh mast cell, basofil¥ & eosinofil yang pada

permukaannya memiliki reseptor untuk fraksi Fc dr Ig E.

II.4   Tipe Imunitas

Imunitas : alami dan di dapat

Ada dua tipe umum imunitas, yaitu : alami (natural) dan di dapat ( akuisita). Setiap tipe

imunitas meaninkan peranann yang berbeda dalam mempertahankan tubuh terhadap para

penyerang yang berbahaya, namun berbagai komponen biasanya bekerja dengan cara yang

saling tergantung yang satu dengan yang lain. 

Imunitas alami

Page 11: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Imunitas alami merupakan kekebalan yang non-spesifik yang di temukan pada saat lahir dan

memberikan respon non-spesifik terhadap setiap penyerang asing tampa memperhatikan

kompossisi penyerang tersebut. Dasar mekanisme pertahanan aalami semata-mata merupakan

kemampuan untuk membedakan antara sahabat dan musuh atau antara diri sendiri dan bukan

diri sendiri.

Mekanisme alami semacam ini mencakup : 

a.    Sawar ( barier) fisik 

Mencakup kulit serta membrane mukosa yang utuh sehingga mikro organism pathogen dapat

di cegah agar tidak masuk kedalam tubuh, dan silia pada traktus respiratorius bersama respon

batuk serta bersin yuang bekerja sebagai filter dan membersihkan saluran napas atas dari

mokro organism pathogen sebel;um mikro organism tersebut menginflasi tubuh lebuh lajut. 

b.   Sawar (barier) kimia

Mencakup getah lambung yang asam, enzim dalam air mata serta air liur (saliva) dan

substansi dalam secret kelenjar sbasea serta lakrimalis, bekerja dengan cara non-spesifik

untuk menghancurkan bakteri dan jamur yang menginvasi tubuh. Virus dihadapi dengan cara

interveron yaitu salah satu tipe pengubah (modifier) respon biologi yang meruakan substansi

virisaida non-spesifik yang secara alami yang diprodukasi oleh tubuh dan dapat mengaktifkan

komponen lainya dari sistem imun. 

c.    Sel darah putih ( leukosit)

Leukosit granular atau granolosit mencakup neutrofil (leukosit polimorfonuklear atau PMN

karena nukleusnya terdiri atas beberapa lobus) merupakan sel pertama yang tiba pada tempat

terjadinya inflamasi. Eosinofil dan basofil yaitu tipe leukosit .ain yang neningkat jumlahnya

pada saart terjadi reaksi alergi dan respon terhadap stress. Granulosit akan memerangi

serbuan benda asing atau toksin dengan melepaskan mediator sel seperti histamine,

brandikinin, prostaglandin, dan akan menyerang benda asing atau toksin tersebut. Leukosit

non granuler mencakup monosityang berfungsi sebagai sel fagosit yang dapat menelan,

mencerna, dan menghancurkan benda asing atau toksin dalam jumlah yang lebih besar

dibandingkan granulosit dan limfosit yang trdiri atas sel T dan sel B yang memainkan

peranan utama dalam imunitas humoral dan imunitas yang diantarai oleh sel.

d. Respon inflamasi 

Merupakan fungsi utama dari sistem imun alami yang dicetuskan sebagai reaksi terhadap

cidera jaringan atau mikro organism penyerang. Zat-zat mediator komia turut membantu

respon inflamasi untuk mengurangi kehilangan darah, mengisolasi mokro organism

Page 12: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

penyerang, mengaktifkan sel-sel fagosit, dan meningkatkan pembentukan jaringan parut

fibrosa serta regenerasi jaringan yang cedera. 

Imunitas yang di dapat.

Imunitas yang didapat (acquired imunity) terdiri atas respon imun yang tidak di jumpai pada

saat lahir tetapi diperoleh dalam kehidupan seseorang. Imunitas didapat biasanya terjadi

setelah seseorng terjangkit penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon

imun yang bersifat protektif. Ada dua tipe imunitas yang di dapat, yaitu aktif dan pasif. Pada

imunitas didapat yang aktif , pertahanan imunologi akan dibetuk oleh tubuh orang yang

dilindungi oleh imunitas tersebut dan umumnya berlangsung selama bertahun-tahun bahkan

seumur hidup. Imunitas didapat yang pasif merupakan imunitas temporer yang di

transmisikan dari sumber lain yang sudah memiliki kekebala setelah menderita sakit atau

menjalani imunisasi. 

II.5   Faktor Yang Mempengaruhi Fungsi Sistem Imun

A.  Usia

1.      Penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai terhadap mikroorganisme yang

menginvasinya.

2.      Terganggunya produksi limfosit B dan T.

3.      Kulit tipis, tidak elastic, neuropati perifer, penurunan sensitabilitas serta sirkulasi yang

menyertainya ulkus statis dan dekubitus.

B.  Gender

Estrogen 

1.   Memodulasi aktivitas limfosit T khususnya sel T supresor

2.    Mengaktifkan populasi sel-sel B berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker

CD5

3.   Cenderung menggalakkan imunitas, sedangkan androgen=imunosupresif mempertahankan

produksi IL-2 dan aktivitas sel T supresor

4.   Androgen

5.   Lebih sering pada wanita terkait dengan estrogen

Faktor-faktor psikoneuro-imunologik

• Kelainan organ lain

• Obat-obatan

• Radiasi 

II.6   Fisiologi Reaksi Hipersensitifitas

Page 13: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Reaksi hipersensitif merujuk kepada reaksi berlebihan , tidak diinginkan (menimbulkan

ketidaknyamanan dan kadang-kadang berakibat fatal) dari sistem kekebalan tubuh. Pada

keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada

aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan

menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs ada 4 tipe reaksi hipersensitif yaitu :

1. Reaksi hipersensitif tipe I atau reaksi anafilaktik.

2. Reaksi hipersensitif tipe II atau sitotoksik.

3. Reaksi hipersensitif tipe III atau kompleks imun.

4. Reaksi hipersensitif tipe IV atau reaksi yang diperantarai sel.

Berdasarkan kecepatan reaksinya, tipe I, II dan III termasuk tipe cepat karena

diperantarai oleh respon humoral (melibatkan antibodi) dan tipe IV termasuk tipe lambat. 

REAKSI ANAFILAKTIK

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich lebih dari 100 tahun

yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel

mast dan basofil belum diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa

sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi tipe I)

melalui mediator yang dikandungnya, yaitu histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi menjadi reaksi

anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib). Untuk terjadinya suatu reaksi selular

yang berangkai pada reaksi tipe Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan

dengan reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang lain pada permukaan

sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau kompleks kovalen hapten-protein. Proses

aktivasi ini akan membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan gejala

alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap penisilin atau gejala rinitis alergik

akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil tanpa peran IgE.

Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat pemberian zat kontras atau akibat

anafilatoksin yang dihasilkan pada proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai

komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui

faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A = eosinophil chemotactic factor of

anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang

Page 14: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil (NCF =

neutrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit

asam arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic protein (MBP) afau

eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan neutrofil melepas faktor kemotaktik,

sitokin, oksigen radikal bebas, serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil

adalah sel yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi fase cepat

dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan

menarik sel lain, terutama eosinofil.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase

lambat. 

REAKSI SITOTOKSIK

Antibodi (igG dan IgM) menyebabkan penyakit dengan berikatan pada target

antigennya yang ada pada permukaan sel atau jaringan, misalnya pada penyakit anemia

hemolitik

Page 15: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

.

REAKSI KOMPLEKS IMUN

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-mediated)

merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang kronis pada manusia. Antibodi

terhadap sel atau permukaan luar sel dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai

dengan target antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya spesifik untuk

jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap di pembuluh darah pada tempat

turbulansi (cabang dari pembuluh darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan

sinovium). Oleh karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu penyakit

sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan nefritis.

REAKSI YANG DIPERANTARAI SEL

Page 16: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah semakin dikenal

dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit autoimun pada manusia pada saat ini

lebih ditujukan pada kerusakan jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh mekanisme autoimun.

Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung terhadap antigen pada sel yang distribusinya

terbatas pada jaringan organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung

terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat sistemis. Kerusakan organ

juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis,

terdapat reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut menjadi kronik

oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi granulomatous yang terjadi mengakibatkan

kerusakan jaringan pada tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak

terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang bereaksi terhadap hepatosit

yang terinfeksi menyebabkan kerusakan jaringan hepar.

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated), kerusakan jaringan dapat

disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau

sel lisis oleh CD8+ CTLs.

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T

untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap

antigen pada sel atau jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan

mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi sitokin dari makrofag

dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan

antigen asing. Pada banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T, terdapat sel T

CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan keduanya berperan pada

kerusakan jaringan.

II.7      Imunodefisiensi

Defisiensi Imun yaitu gangguan fungsi sistem imun penyakit yang menyertai defisiensi.

1.  Sel B

2. Sel T

3. Fagosit          

4. komplemen 

Infeksi bakteri rekuren seperti otitis media, pnemumonia rekuren

Kerentanan meningkat terhadap virus, jamur, dan protozoa

Infeksi sistemik oleh bakteri yang dalam keadaan biasa mempunyai virulensi rendah, infeksi

bakteri piogenik Infeksi bakteri, autoimunitas

Page 17: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

  PEMBAGIAN DEFISIENSI SISTEM IMUN

1.  DEFISIENSI IMUN NONSPESIFIK

1.1   DEFISIENSI KOMPLEMEN

Berhubungan dengan peningkatan insiden infeksi atau penyakit autoimun Lupus

Eritematosis Sistemik (LES). Defisiensi komplemen dapat menimbulkan berbagai akibat

seperti infeksi bakteri yang rekuren, peningkatan sensitivitas terhadap penyakit autoimun.

Kebanyakan defisiensi komplemen adalah herediter.

A.    DEFISIENSI KOMPLEMEN KONGENITAL

Biasanya mengakibatkan infeksi yang berulang atau penyakit kompleks imun seperti

LES.

B.     DEFISIENSI KOMPLEMEN FISIOLOGIK

Defisiensi Ck, C7, dan C8 menimbulkan peningkatan kerentanan terhadap septikemi

meningokok dan gonokok oleh karena lisis melalui jalur komplemen merupakan mekanisme

kontrol utama. Defisiensi komplemen fisiogenik hanya ditemukan pada neonatus yang

disebabkan karena kadar C3, C5, dan faktor B yang masih rendah.

C.     DEFISIENSI KOMPLEMEN DIDAPAT

Disebabkan oleh depresi sintesis, misalnya pada sirosis hati dan malnutrisi protein/kalori

1.2   DEFISIENSI INTERFERON (IFN) DAN LISOZIM

A.    DEFISIENSI IFN KONGENITAL

Dapat menimbulkan infeksi mononukleosis yang fatal

B.     DEFISIENSI IFN DAN LISOZIM DIDAPAT

Dapat ditemukan pada malnutrisi protein / kalori.

1.3     DEFISIENSI NK

A.    DEFISIENSI KONGENITAL

Terjadi pada penderita dengan osteopetrosis (defek osteoklas dan monosit). Kadat IgG,

IgA, dan kekerapak antibodi biasanya meningkat

B.     DEFISIENSI DIDAPAT

Terjadi akibat imunosupresi atau radiasi

1.4   DEFISIENSI SISTEM FAGOSIT

Fagosit dapat menghancurkan mikroorganisme dengan atau tampa bantuan komplemen.

Defisiensi fagosit sering disertai dengan infeksi berulang. 

A.    DEFISIENSI KUANTITATIF

Merupakan fenomena autoimun akibat pemberian obat tertentu yang dapat memacu

produksi antibodi dan berfungsi sebagai opsonin neutrofil normal

Page 18: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

B.     DEFISIENSI KUALITATIF

Dapat mengenai fungsi fagosit seperti kemotaksis, menelan atau membunuh mikroba

intraselular.

2.  DEFISIENSI IMUN SPESIFIK

2.1   DEFINSIASI IMUN KONGENITAL ATAU PRIMER

A. DEFISIENSI IMUN PRIMER B

Dapat berupa gangguan perkembangan pada sel B. Berbagai akibat dapat ditemukan

seperti tidak adanya semua Ig atau atu kelas atau subkelas. Penderita dengan defisiensi semua

jenis IgG akan lebih mudah menjadi sakit dibanding dengan yang hanya menderita defisiensi

Ig tertentu saja.

B. DEFISIENSI IMUN PRIMER SEL T

Penderita dengan defisiensi sel T kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur,

dan protozoa. Oleh karena sel T juga berpengaruh pada sel B, maka defisiensi sel t disertai

lupa gangguan produksi Ig yang nampak dan tidak adanya respons terhadap vaksinasi dan

seringnya terjadi infeksi.

C. DEFISIENSI KOMBINASI SEL B DAN SEL 

2.2   DEFISIENSI IMUN SPESIFIK FISIOLOGIK

A. Kehamilan

Defisiensi imun selular dapat ditemukan pada kehamilan. Keadaan ini mungkin

diperlukan untuk kelangsungan hidup fetus yang merupakan allograft dengan antigen

paternal.

B. Usia Tahun Pertama

Sistem imun pada usia satu tahun pertama sampai usia 5 tahun masih belum matang.

Meskipu neonatus menunjukkan jumlah sel T yang tinggi, semuanya berupa sel naif dan tidak

memberikan respons yang kuat terhadap antigen

C. Usia Lanjut

Disebabkan oleh karena terjadi atrofi timus, fungsi timus menurun. Akibat invusi timus,

jumlah sel T naif dan kualitas respons sel T makin berkurang. Jumlah sel T memori

meningkat tetapi mungkin sulit untuk berkembang.

3.  DEFISIENSI IMUN DIDAPAT SEKUNDER

a. Malnutrisi

b. Infeksi

c. Obat, trauma, tindakan kateterisasi

d. Penyinaran

Page 19: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

e. Penyakit berat

f. Kehilangan imunoglobulin/leukosit

g. Stres

h. Agamaglobulinemia dengan timoma (disertai menghilangnya sel B total dari sirkulasi)

4.  AIDS

II.8   Kompleks Histokompatibilitas Mayor

Kompleks histokompatibilitas utama (major histocompatibility complexatau MHC)

adalah sekumpulan gen yang ditemukan pada semua jenis vertebrata. Gen tersebut terdiri dari

± 4 juta bp yang terdapat di kromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai kompleks

antigen leukosit manusia (HLA). Protein MHC yang disandikan berperan dalam mengikat

dan mempresentasikan antigen peptida ke sel T. Molekul permukaan sel yang bertanggung

jawab terhadap rejeksi transplan dinamakan molekul histokompatibilitas, dan gen yang

mengkodenya disebut gen histokompatibilitas. Nama ini kemudian disebut dengan

histokompatibilitas mayor karena ternyata MHC bukan satu-satunya penentu rejeksi.

Terdapat pula molekul lain yang walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yang

disebut molekul histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui bahwa molekul MHC

merupakan titik sentral inisiasi respons imun.

MOLEKUL MHC

Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T (TCR = T-

cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen imunoglobulin, tetapi pada

perkembangannya tidak mengalami penataan kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin

Page 20: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

dan TCR. Daerah MHC sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi

regio yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang belum

dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun.

Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak ekspresinya

pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen yang terkait erat dengan gen MHC

dan mengkode berbagai molekul MHC yang berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai

gen multigenik. Pada populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak

macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan maka semua alel

pada gen MHC yang berada pada satu kromosom disebut sebagai haplotip MHC. Setiap

individu mempunyai dua haplotip, masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat

ekspresinya pada individu tersebut.

Page 21: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx
Page 22: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Struktur Protein MHC

Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan kelas II.

  Protein MHC kelas I

Protein MHC kelas I ditemukan pada semua permukaan sel berinti. Protein ini bertugas

mempresentasikan antigen peptida ke sel T sitotoksik (Tc) yang secara langsung akan

menghancurkan sel yang mengandung antigen asing tersebut. Protein MHC kelas I terdiri

dari dua polipeptida, yaitu rantai membrane integrated alfa (α) yang disandikan oleh gen

MHC pada kromosom nomor 6, dan non-covalently associated beta-2 mikroglobulin(β2m).

Rantai α akan melipat dan membentuk alur besar antara domain α1 dan α2 yang menjadi

tempat penempelan molekul MHC dengan antigen protein. Alur tersebut tertutup pada pada

kedua ujungnya dan peptida yang terikat sekitar 8-10 asam amino. MHC kelas satu juga

memiliki dua α heliks yang menyebar di rantai beta sehingga dapat berikatan dan berinteraksi

dengan reseptor sel T.

  Protein MHC kelas II

Protein MHC kelas I terdapat pada permukaan sel B, makrofag, sel dendritik, dan

beberapa sel penampil antigen (antigen presenting cell atau APC) khusus. Melalui protein

MHC kelas II inilah, APC dapat mempresentasikan antigen ke sel-T penolong (Th) yang akan

menstimulasi reaksi inflamatori atau respon antibodi.MHC kelas II ini terdiri dari dua ikatan

non kovalen polipeptida integrated-membrane yang disebut α dan β. Biasanya, protein ini

akan berpasangan untuk memperkuat kemampuannnya untuk berikatan dengan reseptor sel T.

Domain α1 dan β1 akan membentuk tempat untuk pengikatan MHC dan antigen.

Gen MHC dan polimorfisme

Pada manusia, gen yang mengkodekan MHC terletak pada kromosom nomor 6 dan

terbagi menjadi dua kelas gen, yaitu kelas I untuk MHC I dan kelas II untuk MHC II [4].

Kelompok gen yang termasuk kelas I terdiri dari tiga lokus mayor yang disebut B, C, dan A,

Page 23: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

serta beberapa lokus minor yang belum diketahui. Setiap lokus mayor menyandikan satu

polipeptida tertentu. Pada gen pengkode rantai alfa, terdapat banyak alel atau dengan kata

lain bersifat polimorfik. Rantai beta-2-mikroglobulin dikodekan oleh gen yang terletak di luar

kompleks gen MHC, namun apabila terjadi kecacatan pada gen tersebut maka antigen kelas I

tidak bisa dihasilkan dan dapat terjadi defisiensi sel T sitotoksik. Kompleks gen kelas II

terdiri dari tiga lokus yaitu DP, DQ, dan DR yang masing-masing mengkodekan satu rantai

alfa atau beta.Rantai polipetida yang dihasilkan akan saling berikatan dan membentuk antigen

kelas II. Seperti halnya antigen kelas II, antigen kelas II juga bersifat polimorfik (unik)

karena lokus DR dapat terdiri atas lebih dari satu macam gen penyandi rantai beta

Molekul HLA

Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I polimorfik, yaitu HLA-A, HLA-

B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari rantai berat a polimorfik yang berpasangan

nonkovalen dengan rantai nonpolimorfik b2-mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen

MHC. Rantai a yang mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian, yaitu regio hidrofilik

ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik intraselular. Regio

ekstraselular membentuk tiga domain al, a2, dan a3 (lihat Gambar 8-2). Domain a3 dan b2-

mikroglobulin membentuk struktur yang mirip dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya

untuk mengikat antigen sangat terbatas.

Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel berinti mamalia, yang

berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8 (pada umumnya Tc). Oleh karena itu perlu

terdapat ekspresi MHC kelas I di timus untuk maturasi CD8.

Pada manusia terdapat 3 macam molekulα MHC kelas II polimorfik, yaitu HLA-DR,

HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri dari 2 rantai polimorfik a dan b yang

terikat secara nonkovalen, dan masing- masing terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang

membentuk 2 domain. Seperti halnya rantai a HLA kelas I, maka rantai a dan b kelas II

terdiri dari regio hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik

intraselular. Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut rantai invarian,

berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC kelas II dengan antigen.

Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel B, sel T aktif, sel

dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang umumnya timbul setelah rangsangan

sitokin. Fungsi molekul MHC kelas II adalah untuk presentasi antigen pada sel CD4

(umumnya Th) yang merupakan sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai

molekul MHC kelas II umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells). Molekul MHC

kelas II perlu terdapat dalam timus untuk maturasi sel T CD4

Page 24: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi mempunyai

fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II. Suatu daerah dalam MHC yang

dikenal sebagai regio MHC kelas III mengkode sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A,

C4) dan enzim sitokrom p450 2l-hidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a dan

b, atau gen lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk pembentukan dan transport

molekul MHC dalam sel. βα

Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai gen yang

menentukan respons imun individu terhadap antigen asing tertentu. Dengan pemetaan

genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap

bahwa molekul MHC keIas II adalah produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas I

dan II, serta tempat ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan bahwa

molekul kelas II merupakan mediator gen Ir.

Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta perbedaan

kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen spesifik, menimbulkan dugaan

bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja yang dapat mempresentasikan suatu antigen

tertentu pula. Hal ini terlihat pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen

kelas II tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.

Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE terhadap

antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR2, serta respons IgE terhadap

antigen ragweed Ra6 yang sangat berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas

terbukti, antigen ragweed dipercaya terikat pada molekul MHC kelas II.

Hubungan dengan penyakit tertentu

Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai hubungan

dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan dasar imunologik. Mayoritas

penyakit tersebut berhubungan dengan HLA kelas II, dan ini menunjukkan peran penting

molekul kelas II untuk presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan

nilai risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka semakin

meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit tersebut.

Terdapat beberapa hipotesis untuk menerangkan asosiasi penyakit dengan HLA ini,

yaitu 1) molekul HLA sebagai reseptor etiologi, 2) HLA bersifat selektif untuk antigen, 3)

TCR sebagai penentu predisposisi penyakit, 4) agen penyebab menyerupai molekul HLA,

dan 5) penyimpangan ekspresi molekul kelas II.

Page 25: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Molekul HLA dapat berlaku sebagai reseptor untuk etiologi penyakit seperti virus atau

toksin. Dugaan ini berdasarkan bukti bahwa molekul lain pada permukaan sel dapat berlaku

sebagai reseptor etiologi, misalnya molekul CD4 selaku reseptor HIV.

Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja yang dapat

mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya individu yang mempunyai molekul

HLA seperti itu saja yang dapat menderita penyakit tersebut.

TCR sebagai penentu predisposisi penyakit

TCR bertanggung jawab terhadap predisposisi untuk suatu penyakit, tetapi karena

pengenalan antigen oleh sel T ditentukan oleh molekul HLA maka sebetulnya asosiasi

dengan penyakit tersebut adalah dengan HLA. Agen penyebab menyerupai molekul HLA

Hipotesis ini memiliki dua alternatif. Pertama, karena kemiripan agen penyebab dengan

molekul HLA maka akan dianggap sebagai antigen diri sehingga dapat menimbulkan

kerusakan tubuh tanpa perlawanan sistem imun. Kedua, agen penyebab dikenal sebagai

antigen asing sehingga mendapat perlawanan respons imun, dan karena mirip dengan

molekul HLA maka sistem imun tubuh akan menyerang molekul HLA pula sehingga terjadi

kerusakan jaringan seperti pada penyakit autoimun.

Penyimpangan ekspresi molekul MHC kelas II

Page 26: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak biasa

mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit. Dalam keadaan normal,

molekul spesifik pada permukaan sel selalu mengalami pergantian dan degradasi. Bila sel

tersebut tidak mempunyai ekspresi molekul kelas II maka degradasi molekul spesifik itu tidak

membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi bila pada sel tersebut timbul ekspresi molekul

kelas II, maka degradasi molekul spesifik tersebut akan memulai pemrosesan antigen.

Fragmen peptida molekul spesifik yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat

ikatan antigen molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang respons

imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul kelas II tertentu saja (misalnya

HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen molekul spesifik, barulah terlihat asosiasi antara

HLA dengan penyakit tertentu.

PENYAKIT AUTOIMUN

Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok penyakit

autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-B27 dan spondilitis

angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras Kaukasia HLA-B27 (+) mempunyai

risiko 91 kali lebih besar untuk mendapat spondilitis angkilosis dibandingkan dengan

individu HLA-B27 (-). Ekspresi molekul MHC pada berbagai ras dapat berbeda bermakna

sehingga harus selalu dibandingkan dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27 terdapat pada

48% ras hitam penderita spondilitis angkilosis di USA dibandingkan dengan 2% pada

kelompok kontrol ras yang sama sehingga risiko relatif ras hitam di USA adalah 31.

Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi genetik pada

berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya terjadi secara acak karena terbukti

bahwa beberapa alel memperlihatkan kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan alel

lain, yang disebut sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium). Jadi dapat

saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai berhubungan dengan alel MHC

tertentu, sebetulnya dipengaruhi alel lain yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya

adalah sindrom Sjogren yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi

oleh HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah bahwa ternyata

hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-DR3 cukup sering terlihat.

Defek respons imun

Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah defek respons imun. Kemampuan

individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan dengan regio MHC kelas II,

yang menentukan kemampuan presentasi antigen kepada sel T yang harus berkaitan dengan

molekul HLA. Selain itu antigen tertentu lebih suka bergabung dengan molekul HLA tertentu

Page 27: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

pula. Jadi suatu molekul HLA kelas II dapat lebih baik mengikat antigen dibanding molekul

HLA kelas II lainnya, sehingga presentasi antigen pun akan lebih efektif. Karena itu jenis

HLA seseorang akan menentukan baik-buruknya respons imun yang berhubungan dengan

produk MHC miliknya.

Suatu antigen hanya akan dikenal oleh sel T (melalui TCR) bila berasosiasi dengan

molekul HLA tertentu, dan hal ini dikenal sebagai terbatas HLA (HLA restricted). Gabungan

antigen dengan molekul HLA membentuk ligan untuk TCR tertentu, dan ikatan ini dapat

mengaktivasi sel T. Asosiasi antara suatu antigen dengan molekul HLA sangat bervariasi,

tetapi akan terbatas oleh molekul HLA yang tersedia pada sel T. Bila molekul HLA hanya

sedikit maka asosiasi yang terbentuk mungkin terlalu lemah untuk mengaktivasi sel T .

Page 28: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

BAB III

PENUTUP

Page 29: RESPON TUBUH TERHADAP TANTANGAN IMUNOLOGIK.docx

III.1  Kesimpulan

Imunitas mengacu kepada respons protektif tubuh yang spesifik terhadap benda asing

atau mikroorganismeyang menginvasinya. Komponen dan fungsi pada imunitas terdiri

leukosit, sumsum tulang, jaringan limfoid yang terdiri dari kelenjar thymus, limfe, tonsil,

lien,tonsil serta adenoid, dan jaringan serupa.

Dari leukosit terdapat sel B dan sel T. sel B mencapai maturasinya pada sumsum tulang

dan sel T mencapai maturasinya di kelenjar thymus. Imunitas dibagi menjadi imunitas alami

dan imunitas yang didapat. Imunitas alami merupakan respons nonspesifik terhadap setiap

penyerang asing tanpa mempertahankan komposisi penyerang tersebut.

Mekanismenya mencakup sawar fisik, kimia, sel darah putih, respon inflamasi.

Imunitas yang didapat terdiri dari respon imun yang tidak dijumpai pada saat lahir tetapi akan

diperoleh kemudian dalam hidup seseorang. Biasanya terjadi setelah seseorang terjangkit

penyakit atau mendapatkan imunisasi yang menghasilkan respon imun yang bersifat

protektif.

Terdapat 2 tipe pada imunitas yang didapat yaitu imunitas didapat aktif dan pasif.

Pertahanan system imun dibagi pada respons imun fagositik, respon humoral/antibody

respon, dan respon imun seluler. Disamping system pertahanan, terdapat stadium respon

imun; yakni stadium pengenalan, bersirkulasi, proliferasi, respon, dan efektor.

Faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi system imun yaitu usia, gender, faktor-faktor

psikoneuro-imunologik, kelainan organ lain, obat-obatan dan radiasi.

Imunodefisiensi bisa diklasifikasikan sebagai kelainan primer/sekunder dan dapat pula

berdasar komponen yang terkena pada system imun tersebut. Imunodefisiensi sekunder lebih

sering dijumpai, akibat dari proses penyakit yang mendasarinya. Penyebabnya malnutrisi,

stress kronik, luka bakar, uremia, DM, kelainan autoimun, AIDS. Penderita ini mengalami

imunosupresi dan sering disebut hospes yang terganggu kekebalannya (immunocompromised

host). Gangguan imun yang terakhir adalah hipersensitivias adalah reaksi tipe 1 yang

memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi

antibody IgE oleh sel-sel plasma (sel T helper membantu menggalakkan reaksi ini).