responsi dr nutria

62
RESPONSI KPD 1 HARI PADA MULTIGRAVIDA HAMIL ATERM DALAM PERSALINAN KALA 1 FASE LATEN DENGAN HIPERTENSI GESTASIONAL Oleh: Atika Puspita H. G99131085 Rulita Ririn Prabawati G99131086 Nurlatifah Febriana Wijayanti G99141145 Aisya Fikritama Aditya G99141150 Pembimbing: dr. Nutria Widya Purna Anggraini, SpOG, M.Kes KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

Upload: aisya-fikritama

Post on 08-Nov-2015

34 views

Category:

Documents


10 download

DESCRIPTION

kbj

TRANSCRIPT

RESPONSI

KPD 1 HARI PADA MULTIGRAVIDA HAMIL ATERM DALAM PERSALINAN

KALA 1 FASE LATEN DENGAN HIPERTENSI GESTASIONAL

Oleh:

Atika Puspita H.

G99131085Rulita Ririn Prabawati

G99131086Nurlatifah Febriana WijayantiG99141145Aisya Fikritama Aditya

G99141150Pembimbing:

dr. Nutria Widya Purna Anggraini, SpOG, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

SURAKARTA

2015KPD 1 HARI PADA MULTIGRAVIDA HAMIL ATERM DALAM PERSALINAN

KALA 1 FASE LATEN DENGAN HIPERTENSI GESTASIONALABSTRAKPendahuluan: Ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban sebelum in partu kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm dan/atau pecahnya ketuban sebelum umur kehamilan 37 minggu atau sebelum dalam persalinan. Hipertensi gestasional merupakan hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pasca persalinan.Isi: Seorang G4P1A2, 35 tahun, UK 39+5 minggu, riwayat fertilitas baik, riwayat obstetri pasien pernah mengalami abortus 2 kali pada kehamilan pertama tahun 1989 dan kehamilan ketiga tahun 2009, kehamilan kedua pada tahun 2006 diperoleh bayi laki-laki hidup lahir per vaginam BBL 2700 gram; teraba janin tunggal, intra uterin, punggung kanan, preskep, kepala masuk panggul < 1/3 bagian. HIS (+) 2x/10 menit/ 40 detik, DJJ (+) 145x/menit/reguler, portio lunak mendatar, ( : 3 cm, eff: 50%, presentasi kepala, kepala turun di Hodge I-II, kulit ketuban & penunjuk belum dapat dinilai.Hasil: Pasien didiagnosis dengan ketuban pecah dini 1 hari pada multigravida hamil aterm dalam persalinan kala 1 fase laten dengan hipertensi gestasional.Kesimpulan: Tata laksana utama yang diberikan pada pasien adalah lanjut persalinan per vaginam, observasi 10, dan evaluasi 4 jam kemudian karena pasien sudah masuk dalam persalinan kala I fase laten, sehingga pada pasien ini direncanakan persalinan per vaginam karena telah mencapai kehamilan aterm dengan usia kehamilan 39+5 minggu. Lahir bayi perempuan per vaginam dengan berat badan 2800 gram. Kata kunci: ketuban pecah dini, hipertensi gestasional

BAB I

PENDAHULUANA. Ketuban Pecah Dini Pengelolaan Ketuban Pecah Dini (KPD) merupakan masalah yang masih kontroversial dalam ilmu kebidanan. Pengelolaan yang optimal dan yang baku masih belum ada, selalu berubah. KPD sering kali menimbulkan konsekuensi yang dapat menimbulkan morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun bayi terutama kematian perinatal yang cukup tinggi. Kematian perinatal yang cukup tinggi ini antara lain disebabkan karena kematian akibat kurang bulan, dan kejadian infeksi yang meningkat karena partus tak maju, partus lama, dan partus buatan yang sering dijumpai pada pengelolaan kasus KPD terutama pada pengelolaan konservatif.

Dilema sering terjadi pada pengelolaan KPD dimana harus segera bersikap aktif terutama pada kehamilan yang cukup bulan, atau harus menunggu sampai terjadinya proses persalinan, sehingga masa tunggu akan memanjang berikutnya akan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Sedangkan sikap konservatif ini sebaiknya dilakukan pada KPD kehamilan kurang bulan dengan harapan tercapainya pematangan paru dan berat badan janin yang cukup.

Terdapat 2 komplikasi yang sering terjadi pada KPD, yaitu : pertama, infeksi, karena ketuban yang utuh merupakan barier atau penghalang terhadap masuknya penyebab infeksi. Dengan tidak adanya selaput ketuban seperti pada KPD, flora vagina yang normal ada bisa menjadi patogen yang akan membahayakan baik pada ibu maupun pada janinnya. Oleh karena itu membutuhkan pengelolaan yang agresif seperti diinduksi untuk mempercepat persalinan dengan maksud untuk mengurangi kemungkinan resiko terjadinya infeksi ; kedua, adalah kurang bulan atau prematuritas, karena KPD sering terjadi pada kehamilan kurang bulan. Masalah yang sering timbul pada bayi yang kurang bulan adalah gejala sesak nafas atau respiratory Distress Syndrom (RDS) yang disebabkan karena belum masaknya paru.B. Hipertensi dalam Kehamilan Hipertensi pada kehamilan adalah penyakit yang sudah umum dan merupakan salah satu dari tiga rangkaian penyakit yang mematikan, selain perdarahan dan infeksi, dan juga banyak memberikan kontribusi pada morbiditas dan mortalitas ibu hamil. Pada tahun 2001, menurut National Center for Health Statistics, hipertensi gestasional telah diidentifikasi pada 150.000 wanita, atau 3,7% kehamilan. Selain itu, Berg dan kawan-kawan (2003) melaporkan bahwa hampir 16% dari 3.201 kematian yang berhubungan dengan kehamilan di Amerika Serikat dari tahun 1991 - 1997 adalah akibat dari komplikasi-komplikasi hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan.5

Meskipun telah dilakukan penelitian yang intensif selama beberapa dekade, hipertensi yang dapat menyebabkan atau memperburuk kehamilan tetap menjadi masalah yang belum terpecahkan. Secara umum, preeklamsi merupakan suatu hipertensi yang disertai dengan proteinuria yang terjadi pada kehamilan. Penyakit ini umumnya timbul setelah minggu ke-20 usia kehamilan dan paling sering terjadi pada primigravida. Jika timbul pada multigravida biasanya ada faktor predisposisi seperti kehamilan ganda, diabetes mellitus, obesitas, umur lebih dari 35 tahun dan sebab lainnya.5

Morbiditas janin dari seorang wanita penderita hipertensi dalam kehamilan berhubungan secara langsung terhadap penurunan aliran darah efektif pada sirkulasi uteroplasental, juga karena terjadi persalinan kurang bulan pada kasus-kasus berat. Kematian janin diakibatkan hipoksia akut, karena sebab sekunder terhadap solusio plasenta atau vasospasme dan diawali dengan pertumbuhan janin terhambat (IUGR). Di negara berkembang, sekitar 25% mortalitas perinatal diakibatkan kelainan hipertensi dalam kehamilan. Mortalitas maternal diakibatkan adanya hipertensi berat, kejang grand mal, dan kerusakan end organ lainnya.BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. KETUBAN PECAH DINI 1. DefinisiAda beberapa definisi ketuban pecah dini (KPD), yaitu menurut Rustam, adalah pecahnya ketuban sebelum in partu kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm.4 Menurut Evans dan Cunningham KPD adalah pecahnya ketuban sebelum umur kehamilan 37 minggu atau sebelum dalam persalinan.3,5

2. Etiologi

Berbagai faktor dapat dihubungkan dengan kejadian KPD, termasuk:5 a. Infeksi (amnionitis, cervicitis, dan vaginosis lain). Infeksi asenden dari saluran genital bawah merupakan faktor resiko yang sering terdapat pada KPD.7b. Meningkatnya volume uterus (polihidramnion dan kehamilan multipel).c. Perdarahan subkorionik.d. Anomali fetal.

e. Koitus.f. Trauma maternal.

g. Status sosioekonomi rendah.5

h. Substansi tertentu, seperti rokok.5,7Faktor predisposisi KPD menurut Moegni, 1999 :1 a. Kehamilan multiple

b. Riwayat persalinan preterm sebelumnya

c. Koitus, namun hal ini tidak merupakan predisposisi kecuali bila hygiene buruk

d. Perdarahan pervaginam

e. Bakteriuria

f. pH vagina diatas 4,5

g. Servix yang tipis/kurang dari 39 mm

h. Flora vagina abnormal

i. Fibronectin > 50 ng/ml

j. Kadar CRH (Corticotropin Releasing Hormone) maternal tinggi3. Patogenesis

KPD diduga terjadi karena adanya pengurangan kekuatan selaput ketuban, peningkatan tekanan intrauterine maupun keduanya. Sebagian besar penelitian menyebutkan bahwa KPD terjadi karena berkurangnya kekuatan selaput ketuban. Selaput ketuban dapat kehilangan elastisitasnya karena bakteri maupun his. Pada beberapa penelitian diketahui bahwa bakteri penyebab infeksi adalah bakteri yang merupakan flora normal vagina maupun servix. Mekanisme infeksi ini belum diketahui pasti. Namun diduga hal ini terjadi karena aktivitas uteri yang tidak diketahui yang menyebabkan perubahan servix yang dapat memfasilitasi terjadinya penyebaran infeksi. Faktor lainnya yang membantu penyebaran infeksi adalah inkompetent servix, vaginal toucher (VT) yang berulang-ulang dan koitus.1Penelitian baru-baru ini menyebutkan bahwa patogenesis KPD berhubungan dengan meningkatnya komponen selular apoptosis pada membran janin, begitu pula peningkatan protease pada membrane dan cairan amnion. Daya regang membran janin dipengaruhi oleh matriks ekstraselular pada amnion. Kolagen amnion interstitial yang utama adalah tipe I dan III, yang diproduksi oleh sel mesenkimal dan komponen struktur yang paling penting untuk daya regang membran fetal.Matriks Metaloproteinase (MMP) pada kelompok proteinase terlibat dalam remodelling jaringan normal dan khususnya dalam degradasi kolagen. MMP-2, MMP-3, and MMP-9 memiliki konsentrasi lebih tinggi pada cairan amnion pada kehamilan dengan KPD.34. Diagnosis

a. Air ketuban yang keluar dari vagina

Diagnosis KPD dapat ditegakkan dengan mudah ketika ada cairan ketuban yang keluar dari vagina. Adanya efek yang merugikan KPD pada hasil persalinan, maka pasien dengan riwayat cairan merembes dari vagina atau sedikitnya volume cairan amnion pada pemeriksaan USG harus benar-benar dievaluasi.

b. Pemeriksaan spekulum steril digunakan untuk membuktikan pecahnya ketuban dengan menggunakan cara sebagai berikut : forniks posterior harus diperiksa sebagai bukti adanya genangan air ketuban.

c. Laboratorium

1) Fern test (a) Fern tes adalah metode yang biasa digunakan untuk menentukan adanya KPD.

(b) Sekret vagina dari forniks posterior diusap dengan menggunakan aplikator kapas yang steril dan diusap tipis pada gelas objek. Setelah dikeringkan dengan udara beberapa saat, lalu periksa gelas objek di bawah mikroskop, maka akan didapatkan gambaran seperti daun pakis. Untuk mencegah negatif palsu, gelas objek harus benar-benar kering. Bila terdapat gambaran seperti daun pakis maka tes ini dianggap positif.

(c) Positif palsu terjadi bila terdapat cairan salin kering dan atau terdapat mucus servik.

2) Tes Nitrasin

(a) Tes nitrasin terdapat pada pH cairan amnion (pH 7,0-7,5), di mana lebih alkalis daripada sekret vagina normal (pH 4,5-5,5)

(b) Sampel sekret vagina diusapkan pada kertas pH nitrasin. Perubahan warna menjadi biru-hijau (pH 6,5) atau biru (pH 7,0) merupakan bukti kuat adanya cairan amnion.

(c) Positif palsu dapat terjadi pada adanya darah, urin, semen, atau agen antiseptik.

d. USG dapat membantu menegakkan diagnosis KPD

1) USG untuk memeriksa volume cairan amnion dapat membantu menegakkan diagnosis KPD. KPD biasanya berhubungan dengan volume cairan amnion yang sedikit. Kantung cairan biasanya lebih besar dari 2x2 cm.

2) Penentuan bagian-bagian janin dan perkiraan berat janin dapat membantu dalam penatalaksanaan wanita dengan KPD. Pada kasus KPD, USG serial untuk memeriksa pertumbuhan janin seharusnya dilakukan setiap 3-4 minggu sebagai pengukuran terhadap keadaan janin.e. Amniosentesis

1) Amniosentesis dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis KPD bila data-data yang ada kurang mendukung.

2) Amniosentesis dapat digunakan utnuk menunjukkan adanya infeksi intramnion. Konsentrasi glukosa cairan amnion di bawah 16-20 mg/dl, pewarnaan gram positif, atau kultur cairan amnion positif dapat mendukung diagnosis.55. Komplikasi

KPD dapat menyebabkan beberapa komplikasi pada ibu:2,3,6

a. Infeksi

Infeksi korioamniotik sering terjadi pada pasien dengan KPD. Diagnosis korioamnionitis dapat dilihat dari gejala klinisnya antara lain demam (37,80C), dan sedikitnya dua gejala berikut yaitu takikardi baik pada ibu maupun pada janin, uterus yang melembek, air ketuban yang berbau busuk, maupun leukositosis.b. Hyaline membrane disease

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa hyaline memnrane disease sebagian besar disebabkan oleh ketuban pecah dini (KPD). Terdapat hubungan antara umur kehamilan dengan hyaline membrane disease dan chorioamnionitis yang terjadi pada pasien dengan KPD. Pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu, angka risiko hyaline mebran disease lebih banyak dibandingkan risiko infeksi. c. Abruptio placenta

Hal ini tergantung dari progresifitas penurunan fungsi plasenta yang mengakibatkan pelepasan plasenta. Gejala klinik yang terjadi adalah perdarahan pervaginam.Beberapa komplikasi pada janin:

a. Fetal distress

Hal ini dapat diketahui dari adanya deselerasi yang menggambarkan kompresi tali pusat yang disebabkan oleh oligohidramnion. Sehingga untuk mengatasinya maka dilakukan sectio cesaria, yang mengakibatkan tingginya angka section cesaria pada pasien dengan KPD.

b. Hipoplasi pulmoner

Hal ini terjadi bila ketuban pecah sebelum usia kehamilan 26 minggu dan fase laten terjadi lebih dari 5 minggu yang diketahui dari adanya distress respirasi yang berat yang terjadi segera setelah lahir dan membutuhkan bantuan ventilator.

c. Cacat pada janin

d. Kelainan kongenital6. Penatalaksanaan

a. Kecuali persalinan dilakukan segera, pasien harus dirawat di rumah sakit yang menyediakan perawatan neonatal yang adequat. Sehingga diperlukan pengiriman ke fasilitas perawatan tersier.b. Persalinan diindikasikan pada1) Koriamnionitis (demam maternal, uterus lunak dan takikardi maternal atau fetal).5 Bila terdapat korioamnionitis, lakukan kultur servik, terapi antibiotik IV spektrum luas, dan segera terminasi kehamilan.72) Kematian fetal3) Ruptur plasenta dengan perdarahan per vaginam4) Dilatasi servik dan/atau malpresentasi fetal dengan kemungkinan terjadinya prolaps tali pusat.5c. Bila tidak terdapat infeksi, penatalaksanaan dilakukan berdasarkan usia gestasional sebagai berikut :

1) Sebelum viabel (< 24 minggu), induksi atau edukasi pasien untuk istirahat di rumah.7 Penderita dianjurkan untuk beristirahat di tempat tidur dan berikan obat-obat antibiotika profilaksis, spasmolitika, dan roboransia dengan tujuan untuk mengundur sampai anak viabel.4 Bayi akan sangat berisiko mengalami sejumlah komplikasi, termasuk hipoplasia pulmo dan kontraktur ekstremitas, bila kehamilan terus berlanjut sampai bayi viabel.52) Preterm (24-36 minggu), terapi konservatif. Rawat di rumah sakit dan banyak istirahat, berikan betametason IM untuk meningkatkan maturitas paru-paru fetus bila < 32 minggu, kultur servik serta ampicillin dan eritromisin profilaksis selama 7 hari.73) Aterm (> 36 minggu), lakukan terminasi kehamilan segera, bila dapat dilakukan persalinan per vaginam, gunakan oksitosin atau prostaglandin.7 Lakukan induksi partus 6-12 jam setelah lag phase dan berikan antibiotika profilaksis. Pada kasus-kasus tertentu di mana induksi partus dengan PGE2 dan/atau drips sintosinon gagal, maka lakukanlah tindakan operatif. Ketuban pecah dini berpengaruh terhadap kehamilan dan persalinan. Jarak antara pecahnya ketuban dan permulaan dari persalinan disebut periode laten = LP = lag phase. Makin muda umur kehamilan makin memanjang LP-nya. Sedangkan lamanya persalinan lebih pendek dari biasa, yaitu pada primi 10 jam dan multi 6 jam.47. Medikamentosa

a. Antibiotik

Salah satu penelitian terbaik tentang penatalaksanaan KPD adalah penggunaan antibiotik untuk memperpanjang kehamilan. Terapi antibiotik pada terapi konservatif dapat :

1) Mengobati dan mencegah infeksi asenden

2) Mencegah korioamnionitis

3) Menurunkan kejadian sepsis neonatal

4) Memperpanjang periode latensi

b. Tujuan terapiTujuan terapi antibiotik adalah untuk menyediakan perlindungan antimikroba spektrum luas, terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Dosis antibiotik untuk memperpanjang latensi dan memperbaiki hasil persalinan adalah sebagai berikut : Ampicillin 2 g dan eritromisin 250 mg,intravena setiap 6 jam dalam 48 jam pertama, selanjutnya amoxicillin 250 mg dan eritromisin 333 mg per oral setiap 8 jam selama 5 hari.

c. Kortikosteroid

1) Karena pasien dengan KPD berisiko cukup signifikan terhadap morbiditas perinatal, kortikosteroid antenatal dapat diberikan. Rangkaian tunggal ini dapat menurunkan insiden sindrom distress pernapasan neonatal, perdarahan intraventrikular, dan necrotizing enterocolitis.52) Kombinasi dengan ampicillin-sulbaktam pada KPD dapat menurunkan frekuensi total mortalitas neonatal, sepsis dan sinderon distres pernapasan.

3) Dosis yang digunakan sama dengan yang digunakan untuk indikasi lain :

(a) Betametason, 12 mg IM setiap 24 jam, 2 dosis.

Betametason tidak mengubah level CRP ataupun respon leukosit terhadap infeksi. (b) Dexametason, 6 mg IM selama 12 jam, 4 dosis.5B. HIPERTENSI GESTASIONAL1. Definisi Hipertensi dalam Kehamilan

Yang dimaksud dengan preeklamsi adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuri akibat kehamilan, setelah umur kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan.11

Sedangkan yang dimaksud dengan eklamsi adalah kelainan akut pada preeklamsi dalam kehamilan, persalinan, atau nifas yang ditandai dengan timbulnya kejang dengan atau tanpa penurunan kesadaran (gangguan sistem saraf pusat). Ada pula istilah eclamsia sine eclampsia adalah eklamsi yang ditandai oleh penurunan kesadaran tanpa kejang.11

Hipertensi kronik adalah hipertensi pada ibu hamil yang sudah ditemukan sebelum kehamilan atau yang ditemukan pada umur kehamilan < 20 minggu, dan yang menetap setelah 12 minggu pascasalin. Hipertensi kronis yang diperberat oleh preeklamsi atau eklamsi adalah preeklamsi atau eklamsi yang timbul pada hipertensi kronis dan disebut juga Superimposed Preeclampsia.11

Sedangkan hipertensi gestasional adalah timbulnya hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin.11

2. Klasifikasi Hipertensi dalam Kehamilan

Istilah hipertensi gestasional digunakan sekarang ini untuk menjelaskan setiap bentuk hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Istilah ini telah dipilih untuk menekankan hubungan sebab dan akibat antara kehamilan dan hipertensi preeklamsi dan eklamsi.5

Wanita hamil dengan hipertensi secara luas dapat dibagi menjadi 3 kategori yaitu hipertensi kronis, hipertensi non-proteinuri (kadang dikenal sebagai pregnancy-induced hypertension), dan pre-eklamsi. Menurut The International Society for the Study of Hypertension in Pregnancy (ISSHP) klasifikasi hipertensi pada wanita hamil dibagi menjadi :

a. Hipertensi gestasional dan/atau proteinuria selama kehamilan, persalinan, atau pada wanita hamil yang sebelumnya normotensi dan non-proteinuri.

Hipertensi gestasional (tanpa proteinuria)

Proteinuria gestasional (tanpa hipertensi)

Hipertensi gestasional dengan proteinuria (pre-eklamsi)

b. Chronic hypertension (sebelum kehamilan 20 minggu) dan penyakit ginjal kronis (proteinuria sebelum kehamilan 20 minggu)

Hipertensi kronis (without proteinuria)

Penyakit ginjal kronis (proteinuria dengan atau tanpa hipertensi)

Hipertensi kronis dengn superimposed Pre-eklamsi (proteinuria)

c. Unclassified hypertension dan/atau proteinuria

d. Eklampsia.18

Klasifikasi hipertensi pada kehamilan oleh Working Group of the NHBPEP (2000) dibagi menjadi 5 tipe, yaitu :a. Hipertensi gestasional

b. Preeklamsi

c. Eklamsi

d. Preeklamsi superimposed pada hipertensi kronis

e. Hipertensi kronis.2,4,5,7,10,163. Diagnosis dan Gejala Klinis Hipertensi dalam Kehamilan

Diagnosis dini harus diutamakan bila diinginkan angka morbiditas dan mortalitas rendah bagi ibu dan anaknya. Walaupun terjadinya preeklamsi sukar dicegah, tetapi berat dan terdinya eklamsi biasanya dapat dihindari dengan mengenal secara dini penyakit tersebut dan dengan penanganan secara sempurna.12

Tekanan darah sebaiknya diukur pada posisi duduk dengan posisi cuff setinggi jantung. Adanya penekanan vena kava inferior oleh uterus gravid pada posisi berbaring dapat mengganggu pengukuran sehingga terjadi pengukuran yang lebih rendah. Sebelum pengukuran, wanita hamil dianjurkan untuk duduk tenang 5-10 menit.5,7,10

Hipertensi didiagnosa apabila tekanan darah pada waktu beristirahat 140/90 mmHg atau lebih besar, fase ke V Korotkoff digunakan untuk menentukan tekanan darah diastolik.. Pada masa lalu, telah dianjurkan agar peningkatan tambahan tekanan diastolik 15 mmHg atau sistolik 30 mmHg digunakan sebagai kriteria diagnostik, bahkan apabila tekanan darah saat diukur di bawah 140/90 mmHg. Kriteria tersebut sekarang ini tidak lagi dianjurkan karena bukti menunjukkan bahwa wanita tersebut tidak memiliki kecenderungan untuk mengalami efek samping merugikan saat kehamilan. Sebagai tambahan, tekanan darah biasanya menurun pada trimester ke-II kehamilan dan tekanan diastolik pada primigravida dengan kehamilan normotensi kadang-kadang naik sebesar 15 mmHg. Oedem telah ditinggalkan sebagai kriteria diagnostik karena hal tersebut juga banyak terjadi pada wanita hamil yang normotensi. Oedem dianggap patologis bila menyeluruh dan meliputi tangan, muka, dan tungkai. Sebagai catatan, oedem tidak selalu terdapat pada pasien preeklamsi maupun eklamsi.5,7,10,16

Alogaritma dalam membedakan penyakit hipertensi dalam kehamilan (Wagner, 2004).3.1. Hipertensi Gestasional

Hipertensi gestasional didiagnosis pada wanita dengan tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih besar, untuk pertama kalinya selama kehamilan tetapi tidak terdapat proteinuria. Hipertensi gestasional disebut juga transient hypertension jika preeklampsia tidak berkembang dan tekanan darah telah kembali normal pada 12 minggu postpartum. Apabila tekanan darah naik cukup tinggi selama setengah kehamilan terakhir, hal ini berbahaya terutama untuk janin, walaupun proteinuria tidak pernah ditemukan. Seperti yang ditegaskan oleh Chesley (1985), 10% eklamsi berkembang sebelum proteinuria yang nyata diidentifikasi. Dengan demikian, jelas bahwa apabila tekanan darah mulai naik, ibu dan janin menghadapi risiko yang meningkat. Proteinuria adalah suatu tanda dari penyakit hipertensi yang memburuk, terutama preeklampsia. Proteinuria yang nyata dan terus-menerus meningkatkan risiko ibu dan janin.2,5

Kriteria Diagnosis pada hipertensi gestasional yaitu :

TD 140/90 mmHg yang timbul pertama kali selama kehamilan.

Tidak ada proteinuria.

TD kembali normal < 12 minggu postpartum.

Diagnosis akhir baru bisa ditegakkan postpartum.

Mungkin ada gejala preeklampsia lain yang timbul, contohnya nyeri epigastrium atau trombositopenia.53.2. PreeklamsiProteinuria adalah tanda penting dari preeklampsia, dan Chesley (1985) menyimpulkan secara tepat bahwa diagnosis diragukan dengan tidak adanya proteinuria. Proteinuria yaitu protein dalam urin 24 jam melebihi 300mg per 24 jam, atau pada sampel urin secara acak menunjukkan 30 mg/dL (1 + dipstick) secara persisten. Tingkat proteinuria dapat berubah-ubah secara luas selama setiap periode 24 jam, bahkan pada kasus yang berat. Oleh karena itu, satu sampel acak bisa saja tidak membuktikan adanya proteinuria yang berarti.2,5

Dengan demikian, kriteria minimum untuk diagnosis preeklamsi adalah hipertensi dengan proteinuria yang minimal. Temuan laboratorium yang abnormal dalam pemeriksaan ginjal, hepar, dan fungsi hematologi meningkatkan kepastian diagnosis preeklamsi. Selain itu, pemantauan secara terus-menerus gejala eklampsia, seperti sakit kepala dan nyeri epigastrium, juga meningkatkan kepastian tersebut.5

Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas merupakan akibat nekrosis hepatocellular, iskemia, dan oedem yang merentangkan kapsul Glissoni. Nyeri ini sering disertai dengan peningkatan serum hepatik transaminase yang tinggi dan biasanya merupakan tanda untuk mengakhiri kehamilan.5

Trombositopeni adalah karakteristik dari preeklamsi yang memburuk, dan hal tersebut mungkin disebabkan oleh aktivasi dan agregasi platelet serta hemolisis mikroangiopati yang disebabkan oleh vasospasme yang berat. Bukti adanya hemolisis yang luas dengan ditemukannya hemoglobinemia, hemoglobinuria, atau hiperbilirubinemi dan merupakan indikasi penyakit yang berat.5

Faktor lain yang menunjukkan hipertensi berat meliputi gangguan fungsi jantung dengan oedem pulmonal dan juga pembatasan pertumbuhan janin yang nyata.5

Kriteria diagnosis pada preeklamsi terdiri dari :Kriteria minimal, yaitu :

TD 140/90 mmHg pada kehamilan > 20 minggu.

Proteinuria 300 mg/24 jam atau 1+ dipstick.

Kemungkinan terjadinya preeklamsi :

TD 160/110 mmHg.

Proteinuria 2.0 g/24 jam atau 2+ dipstick.

Kreatinin serum > 1.2 mg/dL kecuali sebelumnya diketahui sudah meningkat.

Trombosit 160/110 mmHg pada awal kehamilan, diabetes klas B-F, kardiomiopati, dan penyakit ginjal atau autoimun.14,15

Evaluasi yang tepat memerlukan pemeriksaan fisik yang lengkap, termasuk funduskopi. Pemeriksaan laboratorium yang direkomendasikan meliputi urinalisis dan kultur urin, penampungan urin 24 jam untuk mengetahui total ekskresi protein dan klirens kreatinin, dan pemeriksaan elektrolit. Beberapa pasien mungkin memerlukan pemeriksaan EKG, rontgen thorax, tes antibodi antifosfolipid, antibodi antinuklear, dan katekolamin urine.3,15

Wanita dengan hipertensi tingkat I memiliki risiko rendah untuk komplikasi kardiovaskular selama kehamilan dan hanya menjalani terapi perubahan gaya hidup karena tidak ada bukti bahwa terapi farmakologis meningkatkan prognosis neonatal. Lebih lanjut lagi, tekanan darah biasanya menurun pada awal kehamilan, disamping itu hipertensi mudah di kontrol dengan atau tanpa medikasi. Modifikasi gaya hidup, latihan aerobik ringan harus dibatasi berdasarkan teori yang menyatakan bahwa aliran darah plasenta yang inadekuat dapat meningkatkan risiko preeklampsia dan penurunan berat badan seharusnya tidak dicoba bahkan pada wanita hamil yang obese. Walaupun data pada wanita hamil bervariasi, banyak ahli yang merekomendasikan restriksi intake garam sebesar 2,4 gram. Penggunaan alkohol dan rokok harus dihentikan.5,7,15

Pasien dikontrol tiap 2 minggu sampai mencapai usia kehamilan 28 minggu dan kemudian setiap minggu sampai persalinan. Dalam setiap kunjungan, tekanan darah sitolik dan diastolik harus dicatat dan dilakukan tes urin untuk mengetahui adanya glukosa atau protein. Evalusai tambahan dilakukan tergantung dari beratnya penyakit, seperti pengukuran hematokrit, serum kreatinin, asam urat, klirens kreatinin, dan ekskresi protein 24 jam. Hospitalisasi diindikasikan apabila hipertensi memburuk, terjadi proteinuria yang signifikan, dan peningkatan asam urat. Peningkatan asam urat > 6 mg/dL seringkali merupakan tanda awal preeklamsi superimposed.3,15

Penggunaan obat anti hipertensi pada wanita hamil penderita hipertensi kronis bervariasi pada beberapa pusat kesehatan. Beberapa klinisi lebih suka menghentikan medikasi anti hipertensi ketika menjalankan observasi ketat, termasuk penggunaan monitor tekanan darah di rumah. Pendekatan ini menggambarkan perhatian terhadap keamanan terapi obat anti hipertensi dalam kehamilan. Sebuah meta-analisis terhadap 45 penelitian acak terkontrol tentang penatalaksanaan beberapa kelas obat anti hipertensi pada hipertensi tingkat 1 dan 2 selama kehamilan menunjukkan hubungan linier langsung antara penurunan tekanan darah rata-rata karena terapi dengan proporsi bayi KMK (Kecil Untuk Masa Kehamilan). Hubungan ini tidak tergantung pada tipe hipertensi, tipe obat anti hipertensi, dan lamanya terapi.5,715

Bagaimanapun juga pada wanita hamil dengan kerusakan target organ atau yang lebih dulu memerlukan bermacam obat anti hipertensi untuk mengontrol tekanan darahnya, medikasi anti hipertensi harus dilanjutkan untuk mengontrol tekanan darahnya. Pada semua kasus, terapi harus dijalankan ketika tekanan darah mencapai 150-160 mmHg sistolik atau 100-110 mmHg diastolik untuk mencegah peningkatan tekanan darah pada tingkat yang sangat tinggi pada kehamilan. Akan tetapi ada beberapa pendapat yang merekomendasikan pemberian obat anti hipertensi saat tekanan darah mencapai ( 180/110 mmHg. Penatalaksanaan yang agresif pada hipertensi kronis yang berat pada trimester pertama sangat penting, mengingat kematian janin mencapai 50% dan angka kematian maternal yang signifikan telah banyak dilaporkan. Kebanyakan prognosis paling buruk berhubungan dengan superimposed preeklamsi. Lebih jauh lagi, wanita dengan hipertensi kronis mempunyai faktor risiko lebih tinggi dalam memperburuk prognosis neonatal jika proteinuria didapatkan pada awal kehamilan.5,7,15

Wanita hamil dengan hipertensi kronis harus dievaluasi sebelum kehamilan sehingga obat-obat yang memiliki efek berbahaya terhadap janin dapat diganti dengan obat lain seperti metildopa dan labetalol. Metil dopa merupakan obat anti hipertensi yang umum digunakan dan tetap menjadi obat pilihan karena tingkat keamanan dan efektivitasnya yang baik. Banyak wanita yang diterapi dengan diuretika, akan tetapi apakah terapi diuretik dilanjutkan selama kehamilan masih menjadi bahan perdebatan. Terapi diuretik berguna pada wanita dengan hipertensi sensitif garam atau disfungsi diastolik ventrikel. Akan tetapi diuretik harus dihentikan apabila terjadi preeklamsi atau tanda-tanda pertumbuhan janin terhambat. Keputusan untuk memulai terapi anti hipertensi pada hipertensi kronis tergantung dari beratnya hipertensi, ada tidaknya penyakit kardiovaskular yang mendasari, dan potensi kerusakan target organ. Obat lini pertama yang biasanya dipergunakan adalah metil dopa. Bila terdapat kontra indikasi (menginduksi kerusakan hepar) maka obat lain seperti nifedipin atau labetalol dapat digunakan.3,5,15

6. Pilihan obat anti hipertensi

Tujuan utama dalam mengobati hipertensi kronis dalam kehamilan adalah menurunkan risiko maternal, tetapi pemilihan obat anti hipertensi lebih memperhatikan keselamatan janin. Terapi lini I yang banyak disukai adalah metil dopa, berdasarkan laporan tentang stabilnya aliran darah uteroplasental dan hemodinamika janin dan ketiadaan efek samping yang buruk pada pertumbuhan anak yang terpapar metil dopa saat dalam kandungan.4,5

Preeklamsi lebih umum diderita pada wanita dengan hipertensi kronis, dengan insidensi sekitar 25%. Faktor risiko untuk superimposed preeklamsi meliputi insufisiensi ginjal, riwayat menderita hipertensi selama 4 tahun atau lebih, dan hipertensi pada kehamilan sebelumnya. Pencegahan pada preeklamsi meliputi identifikasi wanita risiko tinggi, deteksi dini secara klinis dan laboratorium, pengamatan intensif atau terminasi kehamilan jika ada indikasi. Penatalaksanaan preeklamsi meliputi perawatan di rumah sakit, kontrol tekanan darah, profilaksis konvulsi pada impending eklamsi, dan terminasi pada waktunya. Banyak wanita dengan preeklamsi mempunyai sejarah normotensi sebelumnya sehingga peningkatan tekanan darah secara akut bahkan pada tingkat terendah (150/100 mmHg) dapat menyebabkan simptomatologi yang signifikan dan memerlukan terapi. Penatalaksanaan tidak mengganggu patofisiologi penyakit, tetapi dapat memperlambat progresi penyakit dan menyediakan waktu bagi fetus untuk mencapai maturitas. Preeklamsi kadang-kadang dapat sembuh sendiri walau jarang dan pada kebanyakkan kasus adalah memburuk sejalan dengan waktu.4,5

Ketika persalinan mungkin dapat menjadi terapi yang tepat bagi ibu, haruslah memperhatikan masa gestasi fetus yang < 32 minggu. Selain memperhatikan masa gestasi, bila didapatkan tanda-tanda gawat janin intra uterin, atau IUGR atau gangguan maternal seperti hipertensi berat, hemolisis, peningkatan enzim hati, hitung trombosit yang rendah, gangguan fungsi ginjal, pandangan kabur, dan sakit kepala. Persalinan per vaginam lebih disukai daripada seksio untuk menghindari penambahan stress akibat operasi.7,20

Terapi anti hipertensi harus memperhatikan keamanan maternal. Seleksi obat anti hipertensi dan rute pemberian tergantung pada antisipasi waktu persalinan. Jika persalinan terjadi lebih dari 48 jam kemudian, metil dopa oral lebih disukai karena keamanannya. Alternatif lain seperti labetalol oral dan beta bloker serta antagonis kalsium juga dapat dipergunakan. Jika persalinan sudah akan terjadi, pemberian parenteral adalah praktis dan efektif. Anti hipertensi diberikan sebelum induksi persalinan untuk tekanan darah diastol 105-110 mmHg atau lebih dengan tujuan menurunkannya sampai 95-105 mmHg.5,6,15

Jenis-jenis obat yang dipergunakan dalam penanganan hipertensi dalam kehamilan, yaitu:

a. Hidralazine

Merupakan obat pilihan, golongan vasodilator arteri secara langsung yang dapat menyebabkan takikardi dan meningkatkan cardiac output akibat hasil respon simpatis sekunder yang dimediasi oleh baroreseptor. Efek meningkatkan cardiac output penting karena dapat meningkatkan aliran darah uterus. Hidralazin dimetabolisme oleh hepar.5,15 Hidralazine diberikan dengan cara intravena ketika tekanan diastol mencapai 110 mmHg atau lebih atau tekanan sistolik mencapai lebih dari 160 mmHg. Dosis hidralazine adalah 5-10 mg setiap interval 15-20 menit sampai tercapai hasil yang memuaskan, yaitu tekanan darah diastol turun sampai 90-100 mmHg tetapi tidak terdapat penurunan perfusi plasenta. Efek puncak tercapai dalam 30-60 menit dan lama kerja 4-6 jam. Efek samping seperti flushing, dizziness, palpitasi, dan angina. Hidralazine telah terbukti dapat menurunkan angka kejadian perdarahan serebral dan efektif dalam menurunkan tekanan darah dalam 95% kasus preeklamsi.5,15

b. Labetalol

Labetalol merupakan penghambat beta non selektif dan penghambat 1-adrenergik post sinaps yang tersedia dalam bentuk oral maupun intra vena.15

Labetalol diberikan secara intravena, merupakan pemblok (1 dan non selektif , dan digunakan juga untuk mengobati hipertensi akut pada kehamilan. Pada sebuah penelitian yang membandingkan labetalol dengan hidralazine menunjukkan bahwa labetalol menurunkan tekanan darah lebih cepat dan efek takikardi minimal, tetapi hidralazine menurunkan tekanan arteri rata-rata lebih efektif. Protokol pemberian adalah 10 mg intravena. Jika tekanan darah belum turun dalam 10 menit, maka diberikan 20 mg labetalol. Kemudian 10 menit berikutnya 40 mg, selanjutnya 80 mg, pemberian diteruskan sampai dosis maksimal kumulatif mencapai 300 mg atau tekanan darah sudah terkontrol. Onset kerja adalah 5 menit, efek puncak 10-20 menit, dan durasi kerja 45 menit-6 jam. Pemberian labetalol secara intra vena tidak mempengaruhi aliran darah uteroplasenter. Pengalaman membuktikan bahwa labetalol dapat ditoleransi baik oleh ibu maupun janin. Menurut NHBPEP, pemberian labetalol tidak melebihi 220 mg tiap episode pengobatan.15

c. Obat anti hipertensi lain

NHBPEP merekomendasikan nifedipin (Ca channel blocker). Obat ini menginhibisi influk transmembran ion kalsium dari ECS ke sitoplasma kemudian memblok eksitasi dan kontraksi coupling di jaringan otot polos dan menyebabkan vasodilatasi dan penurunan resistensi perifer. Obat ini mempunyai efek tokolitik minimal. Dosis 10 mg oral dan diulang tiap 30 menit bila perlu. Nifedipin merupakan vasodilator arteriol yang kuat sehingga memiliki masalah utama hipotensi. Pemberian nifedipin secara sub lingual, menurut penelitian yang dilakukan oleh Mabie dan kawan-kawan, menunjukkan bahwa dapat terjadi penurunan tekanan darah yang cepat sehingga dapat menyebabkan hipotensi. Karena alasan ini, nifedipin tidak digunakan pada pasien dengan IUGR atau denyut jantung janin abnormal. Walaupun nifedipin tampak lebih potensial, obat ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut untuk digunakan dalam kehamilan.5,15

Pemakaian obat anti hipertensi lain seperti verapamil lewat infus 5-10 mg per jam dapat menurunkan tekanan darah arteri rata-rata sebesar 20%. Obat lain seperti nimodipin dapat digunakan baik secara oral maupun infus dan terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada wanita penderita preeklamsi berat. Hal ini dinyatakan pada penelitian yang dilakukan oleh Belforts dan kawan-kawan. Pemakaian ketanserin secara intra vena juga memberikan hasil yang baik menurut penelitian Bolte dan kawan-kawan. Nitroprusid tidak direkomendasikan lagi oleh NHBPEP kecuali tidak ada respon terhadap pemberian hidralazin, labetalol atau nifedipin. Sodium nitroprussid dapat menyebabkan vasodilatasi arteri dan vena tanpa efek terhadap susunan saraf otonom atau pusat. Onset kerja 1-2 menit, puncak kerja terjadi setelah 1-2 menit, dan lama kerja 3-5 menit. Obat ini sangat efektif dalam mengontrol tekanan darah dalam hitungan menit di ICU. Rekomendasi penggunaan obat secara intra vena tidak lebih dari 30 menit pada ibu non parturien karena efek samping toksisitas sianida dan tiosianat pada janin. Trimethaphan merupakan pemblok ganglionik yang digunakan oleh ahli anestesi dalam menurunkan tekanan darah sebelum laringoskopi dan intubasi untuk anestesi umum. Efek samping terhadap janin adalah ileus mekonium. Nitrogliserin diberikan secara intra vena sebagai vasodilator vena yang tampak aman bagi janin. Obat ini merupakan anti hipertensi potensi sedang.5,15

d. Metil dopa

Merupakan agonis -adrenergik, dan merupakan satu-satunya obat anti hipertensi yang telah terbukti keamanan jangka panjang untuk janin dan ibu. Obat ini menurunkan resistensi total perifer tanpa menyebabkan perubahan pada laju jantung dan cardiac output. Obat ini menurunkan tekanan darah dengan menstimulasi reseptor sentral -2 lewat -metil norefinefrin yang merupakan bentuk aktif metil dopa. Sebagai tambahan, dapat berfungsi sebagai penghambat -2 perifer lewat efek neurotransmitter palsu. Jika metil dopa digunakan sendiri, sering terjadi retensi cairan dan efek anti hipertensi yang berkurang. Oleh karena itu, metil dopa biasanya dikombinasikan dengan diuretik untuk terapi pada pasien yang tidak hamil. Dosis awal 250 mg 3 kali sehari dan ditingkatkan 2 gram/hari. Puncak plasma terjadi 2-3 jam setelah pemberian. Paruh wakti 2 jam. Efek maksimal terjadi dlam 4-6 jam setelah dosis oral. Kebanyakan disekresi lewat ginjal. Efek samping yang sering dilaporkan adalah sedasi dan hipotensi postural. Terapi lama (6-12 bulan) dengan obat ini dapat menyebabkan anemia hemolitik dan merupakan indikasi untuk memberhentikan obat ini.3,5,15

e. Klonidin

Merupakan agonis -adrenergik lainnya. Terapi biasanya dimulai dengan dosis 0.1 mg 2 kali sehari dan ditingkatkan secara incremental 0.1-0.2 mg/hari sampai 2.4 mg/hari. Tekanan darah menurun 30-60 mmHg. Efek maksimal 2-4 jam dan lama kerja 6-8 jam. Aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus dapat terjaga, tetapi cardiac output menurun namun tetap berespon terhadap latihan fisik. Efek samping adalah xerostomia dan sedasi. Penghentian klonidin dapat menyebabkan krisis hipertensi yang dapat diatasi dengan pemberian kembali klonidin. Sampai sekarang belum ada penelitian besar yang mempelajari klonidin seperti metil dopa.15

f. Prazosin

Merupakan pemblok kompetitif pada reseptor 1-adrenergik. Obat ini dapat menyebabkan vasodilatasi pada resistensi dan kapasitas pembuluh darah sehingga menurunkan preload dan afterload. Prazosin menurunkan tekanan darah tanpa menurunkan laju jantung, curah jantung, aliran darah ginjal, dan laju filtrasi glomerulus. Obat ini dimetabolisme hampir seluruhnya di hepar. Sekitar 90% ekskresi obat melalui kandung empedu ke dalam faeses. Selama kehamilan, absorbsi menjadi lambat dan waktu paruh menjadi lebih panjang. Dalam sebuah penelitian, kadar puncak tercapai dalam 165 menit pada wanita hamil. Prazosin dapat menyebabkan hipotensi mendadak dalam 30-90 menit setelah pemberian. Hal ini dapat dihindari dengan pemberian sebelum tidur. Percobaan binatang menunjukkan tidak ada efek teratogenik. Prazosin bukan merupakan obat yang kuat sehingga sering dikombinasikan dengan beta bloker.15

g. Diuretik

Obat ini memiliki efek menurunkan plasma dan ECF sehingga curah jantung dan tekanan darah menurun, juga menurunkan resistensi vaskular akibat konsentrasi sodium interselular pada sel otot polos.

Obat diuretika yang poten dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta karena efek segera meliputi pengurangan volume intravaskular, dimana volume tersebut sudah berkurang akibat preeklamsi dibandingkan dengan keadaan normal. Oleh karena itu, diuretik tidak lagi digunakan untuk menurunkan tekanan darah karena dapat meningkatkan hemokonsentrasi darah ibu dan menyebabkan efek samping terhadap ibu dan janin. Pemakaian furosemid saat ante partum dibatasi pada kasus khusus dimana terdapat edema pulmonal. Obat diuretika seperti triamterene dihindari karena merupakan antagonis asam folat dan dapat meningkatkan risiko defek janin.9,15

8. Penghambat ACE

Obat ini menginduksi vasodilatasi dengan menginhibisi enzim yang mengkonversi angiotensi 1 menjadi angiotensin 2 (vasokonstriktor poten), tanpa penurunan curah jantung. Sebagai tambahan, obat ini juga meningkatkan sintesis prostaglandin vasodilatasi dan menurunkan inaktivasi bradikinin (vasodilator poten). Contoh obat ini seperti captopril, enalapril, dam lisinopril.13 OBATREKOMENDASI

HydralazinDimulai dengan dosis 5 mg IV atau 10 mg IM. Jika tekanan darah tidak terkontrol, diulangi setiap interval 20 menit. Jika tekanan darah sudah terkontrol, ulangi bila perlu (biasanya tiap 3 jam). Dosis maksimal 20 mg IV atau 30 mg IM

LabetalolDimulai dengan dosis 20 mg IV secara bolus. Jika tidak optimal, beri 40 mg setelah 10 menit dan 80 mg setiap 10 menit. Gunakan mdosis maksimal 220 mg. Hindari pemberian labetalol pada wanita dengan asma atau gagal jantung kongestif

NifedipineDimulai dengan 10 mg oral dan ulangi setiap 30 menit bila perlu. Tidak diperbolehkan penggunaan nifedipine kerja singkat dalam terapi hipertensi

Sodium nitroprussidHanya digunakan pada kasus hipertensi yang tidak berespon terhadap obat yang terdaftar disini. Dimulai dengan dosis 0.25 g/kg/menit sampai dosis maksimal 5g/kg/menit. Fetal sianida terjadi jika digunakan lebih dari 4 jam.

Tabel 2.4 Panduan Obat Anti Hipertensi 156.1. Efek Samping Obat

Efek samping obat-obat anti hipertensi antara lain, yaitu :

a. ACE inhibitor

Digunakan pada trimester dua dan tiga telah menyebabkan disfungsi ginjal pada fetus yang mengakibatkan oligohidramnion dan anuria. ACE inhibitor telah dihubungkan dengan hipoplasia pulmoner, pertumbuhan terhambat, kelainan ginjal dan hipoplasia lain pada tulang tengkorak.15b. Diantara golongan penghambat beta, atenolol

Terutama ketika dimulai pada awal kehamilan, berhubungan dengan pertumbuhan janin terhambat pada beberapa penelitian yang tidak terkontrol dan sebuah penelitian kecil. Pada kebanyakan penelitian, penyebab asal dari hubungan tersebut tidak jelas karena beberapa obat telah digunakan bersama-sama atau karena ketidakmampuan untuk membedakan apakah ini adalah efek dari patofisiologi ibu atau efek dari obat.15c. Diuretika

Memiliki efek samping terhadap ibu maupun janin. Efek maternal seperti hipokalemia, hiponatremia, hiperglikemi, hiperurikemi, hiperlipid, dan penurunan volume plasma sehingga dapat menganggu pertumbuhan janin. Efek terhadap janin adalah gangguan elektrolit, trombositopeni, dan IUGR.13

Beberapa efek obat anti hipertensi terhadap pemberian ASI, yaitu :

1) Diuretik thiazide sebaiknya dihindari karena dapat menurunkan produksi ASI dan digunakan untuk mensupresi laktasi.

2) Metil dopa kemungkinan aman selama pemberian ASI, dimana tingkat plasma yang rendah ditemukan pada janin.

3) Beta bloker lain selain propranolol ditemukan dalam konsentrasi besar dalam susu ibu daripada plasma ibu.

4) Klonidin ditemukan dalam jumlah sedikit di ASI. Hal yang sama terdapat pada ACE inhibitor.15BAB IIISTATUS PENDERITA

A. ANAMNESIS

Tanggal 20 April 2015 Pukul 00.301. Identitas Penderita

Nama :Ny. VUmur: 35 tahun

Jenis Kelamin:Perempuan

Pekerjaan :Ibu rumah tangga

Agama:Islam

Alamat :Pasar Kliwon, SurakartaStatus Perkawinan :Menikah 1x/ 26 tahunHPMT:15 Agustus 2014

HPL:22 April 2015

UK:39+5 minggu

Tanggal Masuk:20 April 2015

No.CM :01298044Berat badan

: 60 Kg

Tinggi Badan : 160 cm

2. Keluhan Utama

Rembes-rembes sejak 1 hari yang lalu.3. Riwayat Penyakit Sekarang

Datang seorang G4P1A2, 35 tahun, usia kehamilan 39+5 minggu datang kiriman RS dengan keterangan G4P1A2, tekanan darah 150/100 mmHg, lakmus (+). Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur sudah dirasakan, air kawah dirasakan keluar sejak 1 hari SMRS, lendir darah (+).4. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi

: Disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: Disangkal

Riwayat DM

: Disangkal

Riwayat Asma

: Disangkal

Riwayat Alergi Obat/makanan

: Amoxicilin Riwayat Minum Obat Selama Hamil: Disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat Hipertensi

: Disangkal

Riwayat Penyakit Jantung

: Disangkal

Riwayat DM

: Disangkal

Riwayat Asma

: Disangkal

Riwayat Alergi Obat/makanan

: Disangkal

6. Riwayat Fertilitas dan Obstetri

Riwayat fertilitas baik. Pasien telah hamil 4 kali. Kehamilan pertama tahun 1989 mengalami abortus pada usia kehamilan 7 minggu dan dikuret. Kehamilan kedua tahun 2006 mengalami diperoleh bayi laki-laki hidup yang sekarang berumur 8 tahun, lahir normal per vaginam dengan BBL 2700 gram. Kehamilan ketiga pada tahun 2009 mengalami abortus pada usia kehamilan 7 minggu dan dikuret. Kehamilan saat ini pasien mengandung anak keempat.

7. Riwayat Ante Natal Care (ANC)

Teratur, pertama kali periksa ke puskesmas pada usia kehamilan 1 bulan.

8. Riwayat Haid

Menarche

: 13 tahun

Lama menstruasi

: 6-7 hari

Siklus menstruasi: 28 hari

9. Riwayat Perkawinan

Menikah 1 kali, 26 tahun10. Riwayat Keluarga Berencana

(-)

B. PEMERIKSAAN FISIK

1. Status Interna

Keadaan Umum : Baik,, CM, gizi kesan cukup

Tanda Vital :

Tensi

: 160/90 mmHg

Nadi

: 88 x / menit

Respiratory Rate : 20 x/menit

Suhu

: 36,6 0C

Kepala : Mesocephal

Mata : Conjunctiva Anemis (-/-), Sklera Ikterik (-/-)

THT : Tonsil tidak membesar, Pharynx hiperemis (-)

Leher: Pembesaran kelenjar tiroid (-), limfadenopati (-)Thorax :Normothorax, Gld. Mammae dalam batas normal, areola mammae hiperpigmentasi (+)

Cor :

Inspeksi : IC tidak tampak

Palpasi : IC tidak kuat angkat

Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar

Auskultasi : Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, bising (-)Pulmo :

Inspeksi : Pengembangan dada ka = ki

Palpasi : Fremitus raba dada ka = ki

Perkusi : Sonor/Sonor

Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki basah kasar (-/-), wheezing (-/-)Abdomen:

Inspeksi : Dinding perut > dinding dada

Stria gravidarum (+)

Palpasi : Supel, NT (-), hepar lien tidak membesar

Perkusi :Tympani pada bawah processus xiphoideus, redup pada daerah uterus

Auskultasi: Peristaltik (+) normal

Genital : Lendir darah (+), air ketuban (+)

Ekstremitas : Oedema

--

--

Akral dingin

--

--

2. Status Obstetri

Inspeksi

Kepala

: Mesocephal

Mata

: Conjungtiva Anemis (-/-), sclera ikterik (-/-)

Wajah

: Kloasma gravidarum (+)

Thorax :Glandula mammae hipertrofi (+), aerola mammae hiperpigmentasi (+)

Abdomen :

Inspeksi : Dinding perut > dinding dada, stria gravidarum (+)

Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, presentasi kepala, punggung kanan, kepala masuk panggul < 1/3 bagian, his (+). DJJ (+) 145x/menit/regular.Pemeriksaan Leopold

I: TFU setinggi 30 cm, teraba bagian lunak dan bulat, kesan bokong janinII: teraba punggung di sebelah kanan, dan bagian kecil sebelah kiriIII: teraba 1 bagian keras kesan kepala janinIV: kepala janin masuk panggulPerkusi :Tympani pada bawah processus xipoideus, redup pada daerah uterus

Auskultasi : DJJ (+) 12-13-12/reguler

Genital eksterna :Vulva/uretra tidak ada kelainan, lendir darah (+), peradangan (-), tumor (-)

Ekstremitas :

Oedema

--

--

Akral dingin

--

--

Pemeriksaan Dalam :

Inspekulo: vulva/uretra tenang, dinding vagina kesan dalam batas normal, portio livide, OUE terbuka, lendir darah (+). jaringan (-).VT : vulva / uretra tenang, dinding vagina kesan dalam batas normal, portio lunak, mendatar, ( : 3 cm, eff: 50%, presentasi kepala, kepala turun di Hodge I-II, kulit ketuban & penunjuk belum dapat dinilai, AK (+), STLD (+).

UPD: promontorium tidak teraba

linea terminalis teraba < 1/3 bagian

spina ischiadica tidak menonjol

arcus pubis > 900

kesan : panggul ginekoid normalC. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Laboratorium Darah tanggal 20 April 2015:Hemoglobin

: 10,9 gr/dl

Hematokrit

: 34 %

Antal Eritrosit

: 4,03 x 103/uL

Antal Leukosit

: 14,8 x 103/uL

Antal Trombosit

: 391 x 103/uL

GDS

: 91 mg/dL

Golongan Darah

: A

HbS Ag

: non reaktifProteinuri: kualitatif (-) 2. Ultrasonografi (USG) tanggal 20 April 2015

Tampak janin tunggal, intrauterin, memanjang, punggung kanan, presentasi kepala, DJJ (+), dengan biometri:

Janin I BPD: 9,03 cm

FL: 7,9 cm

AC: 29,54 cm

EFBW: 2877 gram Plasenta berinsersi di corpus Grade II

Air ketuban kesan cukup

Tak tampak jelas kelainan kongenital mayor

Kesimpulan: saat ini janin dalam keadaan baik

D. KESIMPULAN

Seorang G4P1A2, 35 tahun, UK 39+5 minggu, riwayat fertilitas baik, riwayat obstetri pasien pernah mengalami abortus 2 kali pada tahun 2006 dan 2009, teraba janin tunggal, intra uterin, punggung kanan, preskep, kepala masuk panggul < 1/3 bagian, his (+) 2x/10 menit/ 40 detik, DJJ 145x/menit/reguler, portio lunak mendatar, ( : 3 cm, eff: 50%, presentasi kepala, kepala turun di Hodge I-II, kulit ketuban & penunjuk belum dapat dinilai, AK (+), STLD (+).

E. DIAGNOSA AWAL

Ketuban pecah dini 1 hari pada multigravida hamil aterm dalam persalinan kala 1 fase laten dengan hipertensi gestasional.F. PROGNOSA

DubiaG. TERAPI

Mondok VK

Lanjut persalinan pervaginam

Observasi 10

Evaluasi 4 jam lagi (04.30)

Evaluasi 20 April 2015 jam 02.40G4P1A2, 35 tahun, 35 tahun, UK 39+5 minggu

S: pasien mengeluh kenceng-kenceng, pasien merasa ingin mengejanKU : baik, CM, gizi kesan cukup

VS: T = 170/100 mmHg

Rr = 20 x/ menit

N = 90x/menit

S = 36,70 C

Mata

: Conjungtiva Anemis (-), Sklera Ikterik (-)

Thoraks : C/P dalam batas normal

Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, intra uterin, memanjang, punggung kanan, preskep, kepala masuk panggul >1/3 bagian, his (+), DJJ (+) 150x / menit / reguler

Genital: darah (+), discharge (-)VT : vulva/uretra tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio tidak teraba, ( : lengkap, eff: 100%, presentasi kepala, kepala turun di Hodge III+, kulit ketuban (-), penunjuk di jam 12, AK (+), STLD (+).Diagnosa: KPD 1 hari pada multigravida hamil aterm dalam persalinan kala 1 fase laten dengan hipertensi gestasional.Terapi

: - pimpin persalinan, diperingan dengan vaccum ekstraksi

persiapkan resusitasi neonatus

20 April 2015 jam 02.50OutcomeLahir bayi perempuan dengan berat badan 2800 gram, panjang badan 48 cm, AS 8-9-10, anus (+), kelainan kongenital (-), injeksi vitamin K (+).

Plasenta lahir kesan lengkap, bentuk cakram, ukuran 20x20x2cm.Dilakukan insersi IUD.

Dilakukan repair perineum.Lama persalinan kala I

: 9 jam

Kala II

: 10 menit

Kala III: 10 menit

Total

: 9 jam 20 menit

Jumlah perdarahan kala I

: 10 cc

Kala II

: 100 cc

Kala III: 20 cc

Total

: 130 cc Follow up 2 jam post partum:

Kel: -

KU: baik, CM

VS: T: 150/110 mmHg

Rr: 20 x/ menit

N: 81 x/ menit

S: 36,20C

Mata

: CA (-/-), SI (-/-)

Thorax

: cor/pulmo dbn

Abdomen : Supel, nyeri tekan (-), TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi uterus (+)Genital: darah (-), lokia (-)Diagnosa: PPS pada multigravida hamil aterm dengan hipertensi gestasionalTerapi

: - Cefadroxil 2x500

- Asam mefenamat 3x500

- Nifedipin 3x10 mg

- Metildopa 2x250 mg

- Vit C 2x1

- SF 1x1Follow up tanggal 21 April 2015

Kel: -KU: baik, CM

VS: T: 140/85 mmHg

Rr: 20 x/ menit

N: 81 x/ menit

S: 36,70C

BC: -600Mata

: CA (-/-), SI (-/-)

Thorax

: cor/pulmo dbn

Abdomen: Supel, nyeri tekan (-), , TFU 2 jari di bawah pusat, kontraksi (+)Genital: darah (-), lokia (+)Diagnosa: PPS pada multi gravida hamil aterm dengan hipertensi gestasionalDPH 1Terapi

: - Cefadroxil 2x500

- Asam mefenamat 3x500

- Nifedipin 3x10 mg

- Metildopa 2x250 mg

- Vit C 2x1

- SF 1x1BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada kasus ini didapatkan pasien dengan keluhan utama rembes-rembes sejak 1 hari SMRS. Pasien merupakan seorang G4P1A2, 35 tahun dengan usia kehamilan 39+5 minggu. Pasien merasa hamil 9 bulan, gerakan janin masih dirasakan, kenceng-kenceng teratur dirasakan, air kawah dirasakan keluar sejak 1 hari SMRS, lendir darah dirasakan.Dari anamnesis, pasien mengaku mengalami rembes-rembes sejak 1 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 160/90. Pada pemeriksaan abdomen dan genitalia didapatkan adanya tanda-tanda persalinan seperti adanya HIS (+) 2x/10 menit/ 40 detik, pembukaan (( : 3 cm) dan lendir darah. Dari pemeriksaan urin tidak didapatkan proteinuria sedangkan dari pemeriksaan laboratorium darah didapatkan penurunan hemoglobin (10,9 gr/dl), penurunan eritrosit (4,03 x 103/uL ) dan penurunan leukosit (14,8 x 103/uL).

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan diagnosis ketuban pecah dini 1 hari pada multigravida hamil aterm dalam persalinan kala 1 fase laten dengan hipertensi gestasional.Ketuban pecah dini didiagnosis berdasarkan Rustam, adalah pecahnya ketuban sebelum in partu kurang dari 3 cm dan pada multipara kurang dari 5 cm. Menurut Evans dan Cunningham, KPD adalah pecahnya ketuban sebelum umur kehamilan 37 minggu atau sebelum dalam persalinan. Pada pasien ini air ketuban pecah sejak 1 hari SMRS dalam persalinan kala I fase laten. Sedangkan hipertensi gestasional merupakan hipertensi dalam kehamilan pada wanita yang tekanan darah sebelumnya normal dan tidak disertai proteinuri. Gejala ini akan menghilang dalam waktu < 12 minggu pascasalin. Pada pasien ini didapatkan tekanan darah 160/90 mmHg tanpa adanya proteinuria menyokong diagnosis hipertensi gestasional.

Pada pasien ini dilakukan tatalaksana mondok VK, lanjut persalinan pervaginam, dilakukan observasi 10, dan evaluasi per 4 jam kemudian.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Bari S., 2003. Standar Pelayanan Medik Obstetri dan Ginekologi. PB POGI, FKUI. Jakarta.

Abdul Bari S., George andriaanzs, Gulardi HW, Djoko W, 2000, Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta.

Anonim. 1995. Protokol Penanganan Kasus Obstetri dan Ginekologi. RS dr. Moewardi. Surakarta.

Budiono Wibowo. (1999). Pre eklampsia dan Eklampsia dalam Ilmu Kebidanan. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta.Cunningham, Mac Donald, Gant, Levono, Gilstrap, Hanskin, Clark, 1997, Williams Obstetrics 20th Prentice-Hall International,Inc.

Haryono Roeshadi. (2004). Sindroma HELLP dalam Ilmu Kedokteran Maternal. Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Surabaya.

Hidayat W., 1998. Pedoman Diagnosis dan Terapi Obstetri dan Ginekologi, RSUP dr.Hasan Sadikin. Edisi ke-2. Penerbit: SMF Obstetri dan Ginekologi Fakultas Kedokteran Univ. Padjajaran, RSUP dr.Hasan Sadikin, Bandung.

Kelompok Kerja Penyusunan Pedoman Pengelolaan Hipertensi dalam Kehamilan di Indonesia.,2005. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI.

Loekmono Hadi, 2003. Pre eklampsia. Catatan kulih Obgyn. UNS.

M. Dikman Angsar. 1995. Kuliah Dasar Hipertensi dalam Kehamilan (EPH-Gestosis). Lab/UPF Obstetri dan Ginekologi FK UNAIR/RSUD Dr. Sutomo.

Neville, F. Hacker, J. George Moore. 2001. Esensial Obstetri dan Ginekologi. Hipokrates, Jakarta.

Rustam Mochtar. 1998. Sinopsis Obstetri : Obstetri Fisiologi, Obstetri Patologi. Editor: Delfi Lutan, EGC, Jakarta.

Rijanto Agung. (1995). Tinjauan Kepustakaan : Sindroma HELLP. Fakultas Kedokteran UNAIR. Surabaya.Sarwono Prawirohardjo dan Wiknjosastro. 1999. Ilmu kandungan. FK UI, Jakarta.Sastrawinata, S., 2003. Obstetri Patologi. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. 41