riset daya saing produk dan karakteristik pasar, … · 2016. 9. 26. · riset daya saing produk...
TRANSCRIPT
2011
Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan
BALITBANG - KKP
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN
USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN
LAPORAN TEKNIS
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN
INDUSTRI PERIKANAN
Sonny Koeshendrajana Rikrik Rahadian
Cornelia Mirwantini Witomo Maulana Firdaus Nensyana Shafitri
Lindawati Estu Sri Luhur
Rani Hafsaridewi Budi Wardono
Lia Kamelia Aisya
BALAI BESAR PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN
2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
i
LEMBAR PENGESAHAN
Satuan Kerja (Satker) : Balai Besar Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan
Judul Kegiatan Riset : Daya Saing Produk Dan Karakteristik Pasar,
Pengembangan Usaha, Investasi Dan Industri
Perikanan
Status : Baru
Pagu Anggaran : Rp. 502.509.000, - (Lima Ratus Dua Juta Lima Ratus
Sembilan Ribu Rupiah)
Tahun Anggaran : 2011
Sumber Anggaran : APBN, DIPA Satker Balai Besar Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan Tahun 2011
Penanggung jawab kegiatan : Sonny Koeshendrajana
NIP. 19600424 198503 1 006
Wakil Penanggung jawab
kegiatan
: Rikrik Rahadian
NIP. 19760815 200901 1 003
Penanggung jawab
Sonny Koeshendrajana
NIP 19600424 198503 1 006
Jakarta, Desember 2011
Wakil Penanggung jawab
Rikrik Rahadian
NIP. 19760815 200901 1 003
Mengetahui/Menyetujui:
Kepala Balai Besar Riset
Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Dr. Ir. Agus Heri Purnomo, MSc.
NIP. 19600831 198603 1 003
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
ii
RINGKASAN
Daya saing suatu produk atau komoditas merupakan cerminan kemampuan produk atau komoditas tersebut sesuai dengan dinamika sumber daya dimana produk tersebut dihasilkan, dan juga kemampuan pasar yang berpotensi mengalami perubahan lingkungan strategis bersifat dinamis, baik pada tingkatan lokal, domestik, maupun global. Perubahan iklim global yang terjadi cenderung mempengaruhi kinerja produksi dan produktivitas yang dihasilkan; di lain pihak, dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi, antara lain berupa perubahan preferensi konsumsi, kompetisi produk/komoditas bersifat komplementer dan substitusi, otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, tuntutan terhadap kesesuaian daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perubahan strategi pembangunan yang dicanangkan berpotensi mempengaruhi daya saing produk/komoditas yang dimaksudkan di atas. Terkait dengan hal tersebut di atas, pemahaman tentang karakteristik pasar domestik atau mancanegara bagi produksi perikanan Indonesia menjadi sangat penting agar di dalam negeri tidak terjadi over produksi yang dapat menekan harga hasil perikanan terlalu murah. Sehingga akan mendorong disinsentif dalam pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu, kajian daya saing dan karakteristik produk perikanan sebagai salah satu pilar penting bagi implementasi program minapolitan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sangat relevan dan perlu dilakukan.
Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Desember 2011. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan sentra produksi perikanan yang mendukung program minapolitan yaitu di Kabupaten Bogor (Lele), Kabupaten Muaro Jambi (Patin), Kabupaten Banyumas (Gurame), Kabupaten Pamekasan (Garam) dan Kota Kendari (rumput Laut).
Metoda survai digunakan dalam penelitian ini. Data primer dan sekunder dikumpulkan selama kegiatan penelitian. Analisis data dilakukan secara deskriptif statistik dengan bantuan teknik tabulasi silang berdasar hasil analisis dengan pendekatan kajian efisiensi produksi dengan menggunakan model fungsi produksi, kajian daya saing dengan menggunakan Policy Analysis Matrix (PAM) dan kajian pasar dengan menggunakan pendekatan Structure Conduct Performance (SCP). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dan dianalisa, maka dijelaskan bahwa usaha budidaya lele berada dalm kondisi increasing return to scale yaitu pena penambahan input produksi dan faktor produksi pada tingkat tertentu, akan meningkatkan produksi dengan proporsi yang lebih besar dari besarnya tingkat penambahan input dan faktor tersebut.
Terkait dengan saing produk, diperoleh nilai DRCR sebesar 1,55, dan TRCR sebesar 1,16. Kedua angka tersebut merupakan indikator bagi rendahnya daya saing komoditas Lele kabupaten Bogor, baik pada Faktor Produksi Domestik maupun Input Produksi Tradables, apabila dibandingkan dengan pesaingnya dari Tulung Agung. Rendahnya daya saing tersebut terjadi, selain karena harga faktor dan input yang tinggi, juga karena kondisi lingkungan yang menimbulkan kebutuhan atas input tambahan berupa obat-obatan dan vitamin. Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Lele Kabupaten ini bersifat Oligopoli dengan kecenderungan adanya Kartel, yang mengakibatkan para pembudidaya – yang diwakili oleh para ketua kelompoknya – dapat melakukan pengaturan harga jual. Investasi untuk berusaha budidaya lele di kabupaten Bogor tidak kurang dari Rp. 90,000,000.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 543,000,000.- untuk biaya operasional satu tahun. Adapun kesempatan usaha yang nampaknya muncul adalah di bidang pembenihan, pemasaran ke luar kota, serta usaha produksi pakan tambahan.
Untuk usaha budidaya Patin di Kabupaten Muaro Jambi berada pada kondisi decreasing return to scale, yang menunjukkan bahwa proporsi peningkatan penggunaan
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
iii
input dan faktor produksi lebih besar dari proporsi peningkatan produksi yang terjadi. Terkait dengan daya saing, ditunjukan oleh nilai DRCR sebesar 0,83 dan TRCR sebesar 0,75, yang menunjukkan Kabupaten Muaro Jambi memiliki keunggulan dibandingkan pesaingnya baik dari segi faktor produksi domestik maupun input produksi tradable.
Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ini bersifat monopsoni. Wilayah pemasarannya mencakup pasar lokal di kota Jambi, maupun luar kota hingga ke Provinsi Sumsel dan Bangka Belitung. Adapun jalur pemasaran komoditas ini adalah melalui para pengumpul kecil, seorang pedagang besar, beberapa distributor luar kota, dan banyak pengecer. Untuk berinvestasi patin dengan luasan kolam rata-rata 2,412 m2, akan dibutuhkan sekitar Rp. 39,195,150.-, untuk investasi pada asset, dan Rp. 434,299,759.- pada biaya operasional 1 tahun. Kesempatan pengembangan usaha di budidaya Patin Muaro Jambi muncul di bidang pemasaran, terutama pemasaran ke luar negeri.
Lebih lanjut, untuk usaha budidaya komoditas Gurame di Kabupaten Banyumas, increasing return to scale dengan nilI rata-rata efisiensi teknis sebesar 0,95. Terkait dengan daya saing relatif sedikit lebih tinggi pada Input tradable dibandingkan komoditas saingan dari Tulungagung, yang ditunjukkan dengan nilai TRCR sebesar 0,9. Adapun di sisi daya saing faktor produksi domestic, dengan nilai DRCR sebesar 1, maka dapat dikatakan bahwa komoditas ini memiliki daya saing yang sebanding dengan komoditas saingannya. Berdasarkan analis SCP dapat disimpulkan bahwa Pasar Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas bersifat monopsoni. Pasar komoditas gurame adalah di pasar lokal sekitar kabupaten Banyumas saja.
Adapun jalur pemasaran komoditas Gurame ini adalah melalui melalui para pengumpul, seorang pedagang besar, dan akhirnya banyak pengecer. Investasi untuk budidaya Gurame di Banyumas ini dapat dikatakan relatif tidak terlalu besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan kolam rata-rata 1,205 m2, hanya dibutuhkan sekitar Rp. 12,947,672.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 47,303,793.- untuk biaya operasional satu tahun. Dilihat dari kondisi usaha saat ini, maka usaha budidaya Gurame ini lebih cenderung untuk dikembangkan kearah usaha pemasaran ke luar kota seperti Jakarta, dan Jawa Barat. Usaha budidaya Komoditas Rumput Laut di Kendari, berada pada kondisi yang decreasing return to scale dengan efisiensi penggunaan input dan faktor produksi dengan nilai rata-rata sebesar 1,10 hal ini menunjukkan bahwa Budidaya Rumput Laut di Kendari sudah melampau titik efisiennya.
Sementara daya saing rumput laut di Kendari memiliki daya saing input tradable yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas serupa yang dihasilkan di Lombok, ditunjukan oleh nilai TRCR sebesar 1,38. Selain itu, dapat dikatakan bahwa daya saing faktor produksi domestik komoditas ini cukup baik jika dibandingkan dengan komodias serupa produk Lombok, yang ditunjukkan dengan nilai DRCR sebesar 0,98. Berdasarkan analisa SCP, pasar komoditas rumput laut Kendari bersifat monopsoni, Adapun wilayah pemasaran akhir bagi komoditas ini adalah di luar kota (Surabaya) sebagai bahan baku bagi produksi turunan Rumput Laut. Selanjutnya, rantai pemasaran bagi produk ini adalah melalui melalui para pengumpul kecil, beberapa pengumpul besar di Makassar, dan akhirnya satu pengumpul besar di Surabaya/Pabrik pengolah. Nilai investasi budidaya rumput laut di Kendari untuk berproduksi dengan luasan lahan sekitar 12,589 m2, hanya diperlukan sekitar Rp. 11,440,754.- untuk investasi dalam asset produksi, dan Rp. 9,715,909.- untuk biaya operasional satu tahun. Adapun dilihat dari dinamika usaha di lapangan, maka nampaknya pengembangan usaha Komoditas Rumput Laut di Kendari lebih cenderung jika di arahkan ke pengolahan Rumput Laut di lokasi.
Berdasarkan analisis daya saing, komoditas garam Pamekasan memiliki nilai dayasaing faktor produksi yang rendah jika dibandingkan dengan komoditas saingannya dari Sumenep. Hal tersebut dapa dilihat dari nilai DRCR sebesar 1,58, yang mengindikasikan bahwa biaya faktor produksi domestik di Pamekasan yang 58% jauh lebih tinggi dibandingkan biaya yang terjadi di Sumenep. Dari hasil analisis SCP, pasar komoditas garam Pamekasan ini cenderung bersifat pasar persaingan sempurna. Adapun wilayah
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
iv
pemasaran komoditas ini mencakup pasar baik lokal maupun nasional. Sedangkan rantai pemasaran yang terjadi adalah melalui banyak pengumpul, banyak tengkulak, banyak agen, beberapa pabrik, bebarapa pedangang besar, dan banyak pengecer.
Nilai investasi untuk bertani garam di Pamekasan dengan luasan 10,000 m2, hanya dibutuhkan investasi dalam asset sebesar Rp. 15,324,816.-, dan investasi dalam biaya operasional satu tahun sebesar Rp. 18,671,495. Mengingat besarnya permintaan domestic atas komoditas ini, maka sepatutnya pengembangan usaha komoditas Garam Pamekasan ini dapat diarahkan ke bidang industrialisasi yang menghasilkan garam dengan kualitas lebih baik.
Berdasarkan hasil penelitian beberapa saran dan implikasi kebijakan yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : Untuk tujuan peningkatan produksi serta daya saing komoditas Lele di Kabupaten Bogor, maka perlu kiranya diadakan program peningkatan ketersediaan dan stabilisasi harga berbagai Input Produksi – terutama input produksi berupa pakan. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran komoditas ini, maka perlu kiranya diadakan program bantuan pengiriman ke pasar potensial (Batam). Hal ini dapat dilakukan melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Lele ke pasar potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Untuk tujuan Investasi dan pengembangan usaha, maka perlu kiranya diadakan program bantuan investasi, khusus bagi para pelaku yang berminat untuk berusaha di bidang pembenihan serta pembuatan pakan tambahan di Kabupaten Bogor. Adapun jenis bantuan yang dapat diberikan dapat berupa pinjaman lunak untuk modal melakukan usaha di sektor yang berhubungan dengan perikanan, maupun bantuan penyediaan sarana produksi murah.
Untuk komoditas Patin Muaro Jambi mempunyai daya saing yang relatif cukup tinggi di skala nasional, namun karena usaha budidaya mengalami decreasing return to scale maka perlu dilakukan program pengenalan teknologi serta tata-cara usaha budidaya yang modern kepada para pembudidaya, serta program bantuan untuk berinvestasi pada sarana yang modern. Terkait dengan permasalahan pemasaran diatasi melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang di tunjang secara finansial oleh pemerintah.
Sama halnya dengan komoditas Patin, komoditas gurame Banyumas memiliki daya saing yang cukup baik di tingkat nasional. Yang perlu dilakukan adalah kebijakan program stabilisasi harga input dan faktor produksi di Kabupaten Banyumas. Permasalahan yang terkait dengan pemasaran praktek monopsoni, serta sistem bayar tunda yang selama ini berlangsung, oleh karena perlu kiranya dilakukan program Pengembangan Informasi Pemasaran, Penjaminan Permodalan Pemasaran, serta pengembangan lembaga pemasaran yang ditunjang penuh secara finansial oleh pemerintah. Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran, maka perlu kiranya dikembangkan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas ke pasar nasional yang potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah.
Usaha budidaya Rumput Laut di Kendari adalah terjadinya decreasing return to scale, dan daya saing input produksi tradables yang rendah, opsi yang diambil melakukan program modernisasi budidaya dan stabilisasi harga input produksi di Kendari. Selain itu, perlu dikembangkan usaha pengolahan. Sementara untuk rendahnya daya saing komoditas Garam di Pamekasan tergantungnya usaha terhadap variabel di luar kendali seperti cuaca. Opsi yang dihadapi oleh para pengambil keputusan untuk meningkatkan produksi adalah menemukan teknologi yang mengurangi para petambak garam akan variabel cuaca.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
v
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan Laporan Tengah Semester untuk kegiatan
Penelitian Daya Saing Produk dan Karakteristik Pasar, Pengembangan Usaha, Investasi
dan Industri Perikanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji daya saing dan karakteristik
pasar produk perikanan Indonesia, potensi pengembangan usaha, investasi dan industri
perikanan Indonesia, sehingga diharapkan diperoleh rumusan kebijakan terkait dengan
upaya peningkatan daya saing dan pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan
Indonesia yang berkelanjutan.
Laporan ini memuat pendahuluan, metodologi, hasil dan pembahasan, dan pada
bagian akhir dikemukakan kesimpulan dan rekomendasi kebijakan sementara yang
dihasilkan pada tahun ini.
Kami mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah memberikan
kontribusi, kesediaan, dedikasi dan konsistensinya dalam memberikan bantuan data dan
informasi, arahan dan bimbingan sejak awal penyusunan rencana penelitian hingga pada
penyelesaian laporan teknis akhir tahun ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih memiliki berbagai kelemahan, baik pada
tataran konsep, pelaksanaan lapangan, kualitas data dan informasi yang dihasilkan serta
interpretasi hasil dalam penulisan laporan akhir tahun ini. Oleh karena itu, pada
kesempatan ini tim peneliti kegiatan penelitian ini mengharapkan saran masukan maupun
kritik bersifat membangun dari berbagai pihak demi penyempurnaan ke depan. Harapan
kami semoga laporan akhir tahun ini dapat menjadi rujukan atau referensi bagi stakeholders
yang terkait baik sebagai penentu kebijakan maupun pihak-pihak lain yang terkait lainnya.
Jakarta, Desember 2011
Tim Penyusun
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
vi
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................................................... i
RINGKASAN ......................................................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ v
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL .................................................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................................. xi
I. PENDAHULUAN .......................................................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang .......................................................................................................................... 1
1.2. Tujuan ........................................................................................................................................ 4
II. METODOLOGI PENELITIAN ..................................................................................................... 5
2.1. Kerangka Pemikiran & Ruang Lingkup ................................................................................. 5
2.2. Waktu dan Lokasi ..................................................................................................................... 7
2.3. Metode Penelitian ..................................................................................................................... 7
2.3.1. Metode Pengumpulan Data ............................................................................................. 7
2.4 Analisis Data............................................................................................................................... 9
2.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM) ............................................................................................ 9
2.4.2 Structure Conduct Performance (SCP) ........................................................................ 12
2.4.3 Supply Chain ..................................................................................................................... 14
2.4.4 Value Chain ....................................................................................................................... 16
2.4.5 Frontier Production Analysis (FPA) ............................................................................... 18
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN .................................................................................... 20
3.1 Komoditas Lele Kabupaten Bogor ....................................................................................... 20
3.1.1 Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian ............................................................... 20
3.1.2 Status dan Efisiensi Produksi ......................................................................................... 23
3.1.2.1 Analisis Skala Usaha (Return to Scale)..................................................................... 24
3.1.2.2 Efisiensi Teknis ............................................................................................................. 25
3.1.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi ........................................................................................... 26
3.1.3 Daya saing ......................................................................................................................... 27
3.1.4 Karakteristik Pasar ........................................................................................................... 29
3.1.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................. 32
3.2. Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi ......................................................................... 34
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
vii
3.2.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 34
3.2.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 37
3.2.2.1. Pendugaan Fungsi Produksi ...................................................................................... 37
3.2.2.2. Analisis Skala Usaha ................................................................................................... 38
3.2.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 39
3.2.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 41
3.2.4 Karakteristik Pasar ........................................................................................................... 43
3.2.4.1 Fungsi Pemasaran Ikan Patin di Kabupaten Muaro Jambi .................................... 45
3.2.4.2 Marjin Pemasaran Ikan Patin Di Kabupaten Muaro Jambi ..................................... 46
3.2.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................. 47
3.3. Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas ........................................................................ 50
3.3.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 50
3.3.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 55
3.3.2.1 Analisis Skala Usaha .................................................................................................... 56
3.3.2.2 Efisiensi Teknis ............................................................................................................. 56
3.3.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 57
3.3.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 58
3.3.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 62
3.3.4.1. Struktur Pasar dan Tata Niaga .................................................................................. 62
3.3.4.2. Fungsi Pemasaran ....................................................................................................... 63
3.3.4.3. Struktur Pasar ............................................................................................................... 63
3.3.4.4. Perilaku Pasar .............................................................................................................. 64
3.3.4.5. Marjin Pemasaran ........................................................................................................ 66
3.3.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 67
3.4 . Komoditas Rumput Laut Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan ........................... 69
3.4.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 69
3.4.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 70
3.4.2.1. Analisis Skala Usaha (Return to Scale) ................................................................... 71
3.4.2.2. Efisiensi Teknis ............................................................................................................ 72
3.4.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi .......................................................................................... 72
3.4.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 73
3.4.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 75
3.4.4.1. Tata Niaga ..................................................................................................................... 77
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
viii
3.4.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 78
3.5. Komoditas Garam Kabupaten Pamekasan ........................................................................ 80
3.5.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian .............................................................. 80
3.5.2. Status dan Efisiensi Produksi ........................................................................................ 81
3.5.3. Daya saing komoditas .................................................................................................... 83
3.5.4. Karakteristik Pasar .......................................................................................................... 84
3.5.4.1. Tata Niaga ..................................................................................................................... 84
3.5.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha ............................................................ 87
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN .......................................................................... 91
4.1. Kesimpulan .............................................................................................................................. 91
4.1.1. Lele Kabupaten Bogor .................................................................................................... 91
4.1.2. Patin Muaro Jambi .......................................................................................................... 92
4.1.3. Gurame Banyumas ......................................................................................................... 92
4.1.4. Rumput Laut Kendari ...................................................................................................... 93
4.1.5. Garam Pamekasan ......................................................................................................... 94
4.2. Implikasi Kebijakan ................................................................................................................. 95
4.2.1. Lele Kabupaten Bogor .................................................................................................... 95
4.2.2. Patin Muaro Jambi .......................................................................................................... 96
4.2.3. Gurame Banyumas ......................................................................................................... 96
4.2.4. Rumput Laut Kendari ...................................................................................................... 97
4.2.5. Garam Pamekasan ......................................................................................................... 98
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................................... 99
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penetapan Lokasi Penelitian Daya Saing Menurut Kota-Kabupaten dan Fokus Kajian, 2011. . 7
Tabel 2. Matrik Identifikasi Tujuan, Metode Analisis, Jenis Data, Sumber Data, dan Output Penelitian,
2011. ....................................................................................................................................................... 8
Tabel 3. Formulasi Matrik Policy Analysis Matrix (PAM) ...................................................................... 10
Tabel 4. Usaha Budidaya Ikan Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................................................................. 20
Tabel 5. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011 ........................................................... 22
Tabel 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Budidaya Lele di Kabupaten Bogor, 2011.. 24
Tabel 7. Rasio Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran
Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................................................................................................................. 26
Tabel 8. Policy Analysis Matrix Budidaya Lele, 2011 ............................................................................ 27
Tabel 9. Nilai Investasi Usaha Budidaya Lele Bogor, 2011 .................................................................... 32
Tabel 10. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2010 ......................................................... 33
Tabel 11. Perkembangan Jumlah Karamba, Kolam dan Produksi Ikan di Muaro Jambi 2003-2009 ..... 35
Tabel 12. Produksi Ikan Budidaya Perkecamatan Perjenis Ikan di Muaro Jambi 2009 ........................ 36
Tabel 13. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten
Jambi ..................................................................................................................................................... 37
Tabel 14. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-Faktor Produksi pada Usaha
Pembesaran Patin Muaro Jambi ........................................................................................................... 39
Tabel 15. Policy Analysis Matrix (PAM) Budidaya Patin Muaro Jambi ................................................. 42
Tabel 16. Perbandingan Biaya Input Produksi Muaro Jambi dan Katingan .......................................... 43
Tabel 17. Struktur Pasar Ikan Patin Kecamatan Pudak, Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ..................... 45
Tabel 18. Fungsi Pemasaran Ikan Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 .............................................. 45
Tabel 19. Marjin Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ..................................................... 46
Tabel 20. Biaya Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011 ....................................................... 47
Tabel 21. Investasi Usaha Budidaya Patin di Muaro Jambi 2011 .......................................................... 47
Tabel 22. Struktur Biaya Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi 2011 ..................................................... 48
Tabel 23. Analisis Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi, 2011 .............................................................. 49
Tabel 24. Investasi Usaha Budidaya Gurame Banyumas, 2011 ............................................................ 52
Tabel 25. Struktur Biaya Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 (Rp/Thn) ... 53
Tabel 26. Analisa Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, 2011 ........................................ 54
Tabel 27. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten
Banyumas .............................................................................................................................................. 55
Tabel 28. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha
Pembesaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas............................................................................. 57
Tabel 29. Matrik PAM Pada Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung,
2011 ...................................................................................................................................................... 59
Tabel 30. Analisis Break Event Point (BEP) Usaha Budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, 2011 ..... 60
Tabel 31. Fungi Pemasaran Ikan Gurame Di Kabupaten Banyumas, 2011 ........................................... 63
Tabel 32. Jenis Ikan Yang Dibeli dan Dijual Dalam Saluran Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten
Banyumas , 2011 ................................................................................................................................... 65
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
x
Tabel 33. Marjin Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Tahun 2011............................... 66
Tabel 34. Struktur Biaya Investasi Usaha Budidaya Pembesaran Gurame Kabupaten Banyumas, 2011
.............................................................................................................................................................. 67
Tabel 35. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut, di Kendari . 70
Tabel 36. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Budidaya
Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan ............................................................ 73
Tabel 37. Matrik Policy Analysis Matrix Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta
Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011. ...................................... 74
Tabel 38. Break Even Point (BEP) Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe
Selatan .................................................................................................................................................. 75
Tabel 39. Tabel Pelaku Usaha Rumput Laut Kendari 2010 ................................................................... 75
Tabel 40. Tabel Karakteristik Struktur Pasar Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan 76
Tabel 41. Struktur Investasi Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan
Metode Patok ....................................................................................................................................... 78
Tabel 42. Struktur Biaya Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe
Se;atan 2011 ......................................................................................................................................... 79
Tabel 43. Produksi Rumput Laut Kota Kendari Tahun 2008 – 2009 ..................................................... 80
Tabel 44. Produksi Rumput Laut Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 – 2010 .............................. 80
Tabel 45. Biaya Usaha Penggaraman Pamekasan, 2011 ....................................................................... 82
Tabel 46. Policy Analysis Matrix Garam Sumenep, 2011 ...................................................................... 84
Tabel 47. Frekuensi & Jumlah Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga Kelompok Mutiara
Indah, Kab. Pamekasan ......................................................................................................................... 86
Tabel 48. Perkembangan Produksi Garam Tahun 2005 – 2009. ........................................................... 88
Tabel 49. Estimasi Kebutuhan, Target Produksi, Impor Garam di Indonesia, Tahun 2010 – 2014. ...... 89
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian ............................................................................................. 6
Gambar 2. Supply Chain ........................................................................................................................ 15
Gambar 3. Aliran Informasi dari Hulu ke Hilir ....................................................................................... 15
Gambar 4. Alur Value Chain (Diadopsi dari Porter, 1980) .................................................................... 17
Gambar 5. Keterkaitan Frontier Production Function dan Yield Gap Analysis (Adaptasi dari Gomez,
1977). .................................................................................................................................................... 19
Gambar 6. Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011 ................ 25
Gambar 7. Rantai Pemasaran Pertama Komoditas Lele Kabupaten Bogor .......................................... 31
Gambar 8. Rantai Pemasaran Kedua Komoditas Lele Kabupaten Bogor .............................................. 31
Gambar 9. Rantai Pemasaran Ketiga Komoditas Lele Kabupaten Bogor .............................................. 32
Gambar 10. Perbedaan Penggunaan Benih (ekor) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal
pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi .................................................................................... 40
Gambar 11. Perbedaan Penggunaan Luas Kolam (m2) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan
optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi ...................................................................... 41
Gambar 12. Perbedaan Penggunaan Pakan (kg) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal
pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi .................................................................................... 41
Gambar 13. Rantai Pemasaran Komoditas Patin Muaro jambi ............................................................ 44
Gambar 14. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas,
Tahun 2011 ........................................................................................................................................... 57
Gambar 15. Tata Niaga Komoditas Gurame di Kab. Banyumas Tahun 2011 ........................................ 62
Gambar 16. Model Konstruksi Longline Persegi ................................................................................... 69
Gambar 17. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten
Konawe Selatan, Tahun 2011................................................................................................................ 72
Gambar 18. Jalur Pemasaran Pertama ................................................................................................. 77
Gambar 19. Jalur Pemasaran kedua ..................................................................................................... 78
Gambar 20. Jalur Distribusi Produk Garam di Kabupaten Pamekasan ................................................. 85
Gambar 21. Jalur Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga di Kabupaten Pamekasan ............... 86
Gambar 22. Jalur Distribusi Produk Garam Impor di Kabupaten Pamekasan ...................................... 87
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
xii
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Luas wilayah lautan Indonesia yang meliputi hampir 2/3 wilayahnya, ditambah dengan
garis pantai terpanjang di dunia, dan potensi sumber daya ikan serta kelautan yang cukup
beragam dan berlimpah, menjadikan sektor perikanan dan kelautan Indonesia sebagai
sektor yang memiliki keunggulan komparatif (comparative advantage). Jadi bukanlah suatu
hal yang luar biasa apabila Pembangunan Kelautan dan Perikanan Indonesia saat ini
dijadikan salah satu motor penggerak pembangunan nasional, mengingat betapa
berlimpahnya sumberdaya kelautan dan perikanan yang dimiliki Indonesia. Maka dengan
berbekal modal keunggulan komparatif tersebut, para pengambil keputusan di jajaran
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) – sebagai aparat pemerintah yang diberikan
tanggungjawab dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan – menunjukkan
keseriusannya. Hal itu diindikasikan melalui penetapan sebuah visi yang cukup berani untuk
periode 2010-2014 ini, yaitu “Indonesia Penghasil Produk Kelautan dan Perikanan Terbesar
2015”, dengan misi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat kelautan dan perikanan.
(Anonim1, 2010).
Adapun salah satu strategi yang diterapkan KKP untuk mewujudkan visi dan misi
tersebut adalah melalui program-program peningkatan produksi, sehingga – secara
optimistis – ditargetkan pada tahun 2015 mendatang akan terjadi total kenaikan produksi
perikanan Indonesia sebesar tidak kurang dari 353%. Sebuah angka yang cukup fantastis
tentunya – bahkan terkesan agak bombastis – untuk dicapai dalam jangka hanya 5 tahun
saja. Adapun komoditas-komoditas yang menjadi perhatian dalam rangka peningkatan
produksi, untuk komoditas perikanan tangkap adalah: tuna, udang, rumput laut, dan
rajungan; sedangkan untuk perikanan budidaya adalah: nila, patin, dan lele. “Mampukah kita
mencapai target peningkatan produksi tersebut?”, adalah sebuah pertanyaan yang amat
logis muncul, karena pada kenyataannya, selama ini keunggulan komparatif yang dimiliki
sektor kelautan dan perikanan ternyata belum mampu dimanfaatkan sepenuhnya untuk
menjadi keunggulan kompetitif (competitive advantage). Sehingga mengakibatkan
rendahnya kinerja sektor ekonomi berbasis perikanan, serta munculnya berbagai
permasalahan seperti biaya produksi yang masih tinggi, lemahnya permodalan, lemahnya
kemampuan pembudidayaan ikan, baik benih, pakan, penyakit, pengelolaan lingkungan
budidaya dan penanganan pasca panen.
Selain itu, apabila target produksi tersebut nantinya mampu untuk dicapai, maka akan
memunculkan sebuah pertanyaan penting lain - “Hendak dikemanakan selanjutnya limpahan
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
2
produk tersebut?” – sebuah pertanyaan yang tentunya tidak sulit untuk dijawab, karena ke
semua produk sektor kelautan dan perikanan tersebut tentunya nanti akan diserap oleh
pasar, baik pasar domestik – untuk dipergunakan sebagai input antara (intermediate inputs)
bagi industri perikanan dan/atau sebagai konsumsi rumahtangga domestik – maupun oleh
pasar internasional (ekspor). Namun, dengan adanya kecenderungan yang kuat untuk
semakin terbukanya pasar di masing-masing negara – tidak terkecuali Indonesia – pada era
perdagangan bebas dan globalisasi seperti saat ini, telah pula memunculkan tantangan
tersendiri bagi pembangunan sektor perikanan nasional. Hal tersebut dikarenakan oleh
kenyataan bahwa produk perikanan Indonesia nantinya tidak hanya harus bersaing dengan
produk perikanan negara-negara lain untuk memperebutkan pangsa di pasar international,
tetapi harus juga bersaing untuk memperebutkan pangsa dengan produk perikanan negara
lain di pasar domestik.
Oleh karena itu, sebuah kata kunci yang harus benar-benar dicamkan agar sektor
kelautan dan perikanan Indonesia dapat bertahan adalah “peningkatan daya saing”. Daya
saing suatu produk atau komoditas merupakan cerminan kemampuan produk atau
komoditas tersebut sesuai dengan dinamika sumber daya dimana produk tersebut
dihasilkan, dan juga kemampuan pasar yang berpotensi mengalami perubahan lingkungan
strategis bersifat dinamis, baik pada tingkatan lokal, domestik, maupun global. Perubahan
iklim global yang terjadi cenderung mempengaruhi kinerja produksi dan produktivitas yang
dihasilkan; di lain pihak, dinamika perubahan lingkungan strategis yang terjadi, antara lain
berupa perubahan preferensi konsumsi, kompetisi produk/komoditas bersifat komplementer
dan substitusi, otonomi daerah, liberalisasi perdagangan, tuntutan terhadap kesesuaian
daya dukung dan daya tampung lingkungan serta perubahan strategi pembangunan yang
dicanangkan berpotensi mempengaruhi daya saing produk/komoditas yang dimaksudkan di
atas. Daryanto (2009) mengungkapkan dalam bukunya bahwa 5 faktor penggerak
pembangunan berpotensi sebagai penentu daya saing, yakni: (1) Sumberdaya alam dan
lingkungan dan keragaan hayati; (2) SDM; (3) Kapital atau modal; (4) Teknologi, dan; (5)
Kelembagaan.
Peningkatan daya saing Indonesia di dunia internasional, menurut Porter dapat
dilakukan melalui – salah satunya – peningkatan pembangunan berbasis klaster (cluster
development). Untuk itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengimplementasikan
konsep klaster dalam pengembangan minapolitan guna meningkatkan daya saing sektor
kelautan dan perikanan. Salah satu tujuan pengembangan minapolitan adalah untuk
meningkatkan produksi perikanan, produktivitas usaha, dan meningkatkan kualitas produk
kelautan dan perikanan. Adapun sasaran pengembangan minapolitan salah satu
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
3
diantaranya adalah usaha kelautan dan perikanan kelas menengah ke atas makin
bertambah dan berdaya saing tinggi, (Anonim1. 2010). Selain itu, berdasarkan arah
kebijakan dan strategi Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2010-2014 tujuan
program peningkatan daya saing produk perikanan adalah meningkatkan mutu dan
keamanan hasil perikanan, nilai tambah produk perikanan, investasi serta distribusi dan
akses pemasaran hasil perikanan, dengan sasaran peningkatan volume dan nilai ekspor
hasil perikanan serta peningkatan volume produk olahan.
Setelah produk sudah dihasilkan baik dalam kegiatan sarana produksi, produksi dan
agroindustri, maka pemasaran menjadi kegiatan yang sangat penting. Pasar perikanan
Indonesia sangat terbuka baik untuk pasar dalam negeri dan pasar luar negeri. Jumlah
penduduk Indonesia yang sangat banyak, fungsi ikan sebagai sumber protein alternatif dan
berkembangnya usaha pasar ritel, perhotelan dan restoran yang menyediakan produk
perikanan menjadi potensi pasar regional yang besar. Untuk itu potensi pasar domestik
perlu diperhatikan mengenai kuantitas dan kontinunitas produk perikanan, kualitas, harga,
sistem informasi pasar, peningkatan sarana dan prasana pemasaran serta iklim usaha yang
kondusif.
Dalam hal pangsa pasar luar negeri, produk perikanan Indonesia banyak diekspor ke
negara-negara maju seperti Jepang, Korea Selatan, Uni Eropa dan Amerika. Tuntutan
kualitas hidup manusia pada negera maju tersebut berdampak pada pengetatan
persyaratan mutu ekspor hasil perikanan. Meskipun pada tahun 2008, Indonesia sebagai
eksportir perikanan dunia menempati urutan ke-11 dengan nilai US$ 2.699.683 (Anonim2,
2010) Indonesia harus tetap mampu menyediakan produk yang berkualitas lebih tinggi mulai
dari tahap produksi (on farm), pengolahan, dan distribusi yang dibuktikan melalui proses
pengujian dan sertifikasi (Anonim1, 2010). Komoditas unggulan yang memberikan kontribusi
dari sektor kelautan dan perikanan adalah tuna, udang, teri medan dan rajungan untuk
perikanan tangkap dan nila, patin, lele dan rumput laut untuk perikanan budidaya (Syabana,
2011). Terkait dengan hal tersebut di atas, pemahaman tentang karakteristik pasar domestik
atau mancanegara bagi produksi perikanan Indonesia menjadi sangat penting agar di dalam
negeri tidak terjadi over produksi yang dapat menekan harga hasil perikanan terlalu murah.
Sehingga akan mendorong disinsentif dalam pemanfaatan sumberdaya. Oleh karena itu,
kajian daya saing dan karakteristik produk perikanan sebagai salah satu pilar penting bagi
implementasi program minapolitan Kementrian kelautan dan Perikanan sangat relevan dan
perlu dilakukan.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
4
1.2. Tujuan
Tujuan dan keluaran kegiatan penelitian daya saing tahun anmggaran 2011 adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian:
1. Mengkaji daya saing produk perikanan Indonesia;
2. Mengkaji karakteristik pasar produk perikanan Indonesia;
3. Mengkaji potensi pengembangan usaha perikanan Indonesia;
4. Mengkaji potensi investasi dan industri perikanan Indonesia;
5. Menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing dan
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan perikanan Indonesia.
2. Perkiraan Keluaran:
1. Diperolehnya informasi mengenai daya saing produk perikanan Indonesia;
2. Diperolehnya informasi mengenai karakteristik pasar produk perikanan dan kelautan
Indonesia;
3. Diperolehnya informasi mengenai Potensi Pengembangan Usaha Perikanan
Indonesia;
4. Diperolehnya informasi mengenai potensi investasi dan Industri Perikanan Indonesia;
5. Rumusan kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing dan pengelolaan
sumber daya kelautan dan perikanan Indonesia yang berkelanjutan.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
5
II. METODOLOGI PENELITIAN
2.1. Kerangka Pemikiran & Ruang Lingkup
- Kerangka Pemikiran
Di bawah berikut dapat kita lihat bagaimana kerangka pemikiran penelitian ini.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
6
Program
Minapolitan
Visi & Misi KKP
Peningkatan
Produksi Domestik
Kesejahteraan
Pelaku
Pasar Internasional
Ekspor Impor
Pasar domestik
Harapan Kenyataan
Kajian Daya Saing
Kajian
Karakteristik
Pasar
Kajian Peluang
Investasi dan
Usaha
Kajian Potensi
Industri
CMS &
PAM
SCP,
Supply &
Value
Chain
Deskriptif
Frontier
Production
Analysis
Rekomendasi
Kebijakan
Kebutuhan Informasi
daya saing produk
sektor Perikanan
Indonesia
Kebutuhan Informasih
karakteristik pasar
produk perikanan
Indonesia
Kebutuhan Informasi
peluang investasi dan
usaha sektor perikanan
Kebutuhan informasi
potensi Industri Sektor
Perikanan
Permasalahan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
7
- Ruang Lingkup
Sesuai dengan yang telah dipetakan pada kerangka penelitian, maka kajian daya
saing produk, karakteristik pasar, potensi industri, serta peluang investasi dan usaha ini
akan difokuskan secara penuh pada berbagai komoditi yang dijadikan unggulan pada
program Minapolitan, terutama komoditas budidaya dan produk kelautan, yaitu: Gurame,
Lele, Patin, Rumput Laut dan Garam.
2.2. Waktu dan Lokasi
Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2011 sampai dengan Desember
2011. Lokasi penelitian yang dipilih merupakan sentra produksi perikanan yang mendukung
program minapolitan. Adapun lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Penetapan Lokasi Penelitian Daya Saing Menurut Kota-Kabupaten dan Fokus Kajian, 2011.
2.3. Metode Penelitian
2.3.1. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara mengumpulkan data
sekunder dan data primer. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan cara mencatat
dan mempelajari dokumen tertulis dan laporan-laporan. Data ini dikoleksi dari berbagai
lembaga atau dinas yaitu Departemen Perdagangan, Pusdatin, Biro Pusat Statistik
Kabupaten, dan dinas terkait.
No Propinsi Kotamadya/ Kabupaten
Fokus Kajian
1 Jawa Barat - Bogor Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Lele (DJPB)
- Sukabumi Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
2 Jawa Tengah - Banyumas Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Gurame (DJPB)
3 Jawa Timur - Pamekasan Lokasi Minapolitan Garam (KP3K)
4 Jambi - Muaro Jambi Lokasi Minapolitan Budidaya/Komoditas Patin (DJPB)
- Kuala Tungkal Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
5 Sulawesi Utara - Bitung Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
6 Gorontalo - Kuandang Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
7 Sulawesi Tenggara - Kendari Lokasi Minapolitan Budidaya/komoditas Rumput Laut (DJPT)
8 Kalimantan Barat - Pontianak Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
9 Bangka-Belitung - Bangka Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
10 Maluku Utara - Ternate Lokasi Minapolitan Tangkap (DJPT)
11 DI Yogyakarta - Yogyakarta Lokasi sosialisasi dan seminar hasil penelitian 12
Sumatera Selatan - Palembang
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
8
Data primer diperoleh melalui survei dan wawancara kepada pembudidaya/nelayan,
pengusaha perikanan, pengolah produk perikanan, pelaku pasar, tokoh masyarakat,
kelembagaan terkait (Koperasi, LSM, KUB, dll), serta dinas-dinas yang terkait seperti dinas
Kelautan dan Perikanan, Dinas Perindustrian dan Perdagangan dan BKPMD. Data sekunder
yang akan diperlukan adalah volume dan nilai ekspor/impor produk perikanan ekspor/impor
dari negara tujuan, produksi perikanan di daerah, potensi perikanan daerah, jumlah pelaku
usaha, dan informasi mengenai potensi investasi di sektor perikanan. Jenis data dan
informasi yang dikumpulkan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, meliputi:
Tabel 2. Matrik Identifikasi Tujuan, Metode Analisis, Jenis Data, Sumber Data, dan Output Penelitian, 2011.
NO TUJUAN METODE ANALISIS
JENIS DATA SUMBER DATA OUTPUT
1 Mengkaji daya saing produk perikanan Indonesia
Policy Analysis Matrix (PAM)
- Struktur biaya pendapatan per siklus
- Efisiensi pemanfaatan faktor produksi
Wawancara dengan pelaku usaha
Informasi mengenai daya saing produk perikanan di pasar domestik
2 Mengkaji Karakteristik Pasar
Structure Conduct Performance (SCP)
- Jumlah pembeli & penjual
- Praktek pemasaran
- Perilaku usaha
- Keragaman jenis produk perikanan yang dipasarkan
Din. KP daerah, Din.Perindustrian,
Wawancara dengan key informan
Informasi mengenai struktur pasar dan rantai pemasaran
Supply Chain dan Value Chain
- Pelaku pasar
- Alur pemasaran
- Nilai (harga & Jumlah) Produk
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar, pembudidaya/nelayan, dan pengolah
Deskriptif - Karakteristik pembeli
- Karakteristik penjual
Informasi yang diperoleh dari analisis SCP dan Supply Value Chain
3 Mengkaji potensi pengembangan usaha perikanan di lokasi
Deskriptif - Data series produksi menurut jenis & lokasi (kuantitas & nilai)
- Data pelaku usaha
Din.KP, Din. Perindustrian
Trend pengembangan usaha
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
9
2.4 Analisis Data
2.4.1 Policy Analysis Matrix (PAM)
Bentuk PAM
Secara sederhana, sebuah matriks analisis kebijakan (PAM) tersusun dari empat
buah kolom yang mewakili parameter penerimaan, biaya input tradable, biaya faktor
domestik dan profit; serta tiga baris yang terdiri dari nilai finansial, nilai ekonomi dan
divergensi dari parameter-parameter yang terdapat pada kolom, seperti yang terlihat pada
penelitian Frontier Production Analysis
Struktur biaya pendapatan per siklus
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar
Informasi mengenai potensi pengembangan usaha
Bersambung
Tabel Lanjutan
NO TUJUAN METODE ANALISIS
JENIS DATA SUMBER DATA OUTPUT
4 Mengkaji potensi investasi & industri perikanan
Struktur Investasi
Data asset produktif usaha menurut jenis & lokasi
Wawancara dengan key informan, pelaku pasar
Potensi investasi dan industri perikanan
Struktur Industri Identifikasi indutri menurut jenis ikan di lokasi
Wawancara dengan key informan, pelaku usaha
Deskriptif Informasi mengenai investasi di sector perikanan
Badan Koordinator Penanaman Modal Daerah (BKPMD)
5 Menyusun rekomendasi kebijakan terkait dengan upaya peningkatan daya saing
Deskriptif Hasil penelitian Rekomendasi kebijakan untuk peningkatan daya saing
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
10
Tabel 3. Pada matriks tersebut terdapat dua buah hasil perhitungan berupa identitas; yang
pertama adalah sebuah kolom yang menunjukkan besarnya profitabilitas yang merupakan
perbedaan antara penerimaan dan total biaya; dan kedua adalah sebuah baris yang
mengukur dampak dari adanya divergensi (akibat dari adanya kebijakan dan kegagalan
pasar) yang menunjukan perbedaan antara nilai financial dan nilai sosial. Idealnya apabila
tidak terjadi kegagalan pasar dan kebijakan yang mengakibatkan distorsi maka tidak terjadi
perbedaan antara nilai finansial dan nilai sosial (divergensi) sehingga nilai-nilai parameter
pada baris divergensi akan bernilai nol.
Tabel 3. Formulasi Matrik Policy Analysis Matrix (PAM)
Uraian Penerimaan Biaya
Profit Input tradable
Faktor Domestik
Nilai Finansial (harga privat) A B C D
Nilai Ekonomi (harga sosial) E F G H
Divergensi I J K L
Sumber: Monke & Pearson (1989).
dimana:
A = Penerimaan pada harga privat
B = Biaya input tradable pada harga privat
C = Biaya input domestik pada harga privat
D = Pendapatan pada harga privat
E = Penerimaan pada harga social
F = Biaya input tradable pada harga sosial
G = Biaya input domestik pada harga social
H = Pendapatan pada harga sosial
I = Penerimaan akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar
J = Biaya input tradable akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar
K = Biaya input domestic akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar
L = Pendapatan akibat dampak kebijakan dan distorsi pasar
Data PAM
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
11
Berbeda dengan bentuk PAM yang nampak sederhana, pada kenyataannya akan
diperlukan usaha yang cukup berat dalam menyediakan data yang dibutuhkan untuk
mengisi kolom-kolom pada PAM tersebut. Oleh karena itu bagian di bawah berikut akan
menjelaskan bagaimana berbagai kolom dalam PAM harus diisi.
Penyusunan Baris Nilai Finansial
Aplikasi empiris pendekatan PAM selalu didasari dengan pengumpulan data ke
dalam sebuah tabel budget. Oleh karena didasari dengan table budget, input data bagi PAM
adalah pendapatan, dan biaya-biaya; adapun profit diperoleh dengan cara mengurangi profit
dengan biaya. Namun, sebelum memulai mengumpulkan data bagi tabel budget, sang
analis harus terlebih dahulu memilih sistem komoditas yang akan dipelajari. Pilihan tersebut
tentunya akan bergantung pada pertanyaan kebijakan yang akan dijawab oleh penelitian
yang dilakukan.
Selanjutnya tabel budget tersebut harus berisikan data sesungguhnya dari produksi
untuk periode tertentu, dan bukanlah mengenai hasil optimal. Sehingga table budget
tersebut menggambarkan hasil output rata-rata para pelaku pada saat ini, dan bukanlah
gambaran dari hanya beberapa pelaku yang memang sudah berproduksi secara progresif.
Penyusunan Baris Nilai Ekonomi
Langkah kedua dari aplikasi PAM adalah penilaian pendapatan, biaya dan profit
pada harga sosialnya (efisien). Jika penyusunan baris finansial merupakan proses yang
paling menyita waktu, maka penyusunan baris nilai ekonomi ini merupakan proses analitik
yang paling menantang dari proses analisis kebijakan. Hal ini disebabkan karena berbagai
informasi yang diperlukan untuk proses ini sifatnya sangat luas dan seringkali sulit untuk
ditemukan, penilaian sosial sering hanya berupa perkiraan. Kunci dari keberhasilan analisis
menggunakan PAM terletak pada keberhasilan analis untuk melakukan perkiraan yang
masuk akal akan harga social. Jika perkiraan-perkiraan yang dipergunakan terasa cukup
masuk akal dan mampu meyakinkan para pengambil kebijakan dan analis ekonomi lainnya
akan kualitas dan keterterapannya, maka kepercayaan pun akan diberikan pada
profitabilitas sosial, dan juga akan nilai-nilai divergensi yang nantinya akan dihitung. Tujuan
utama dari proses ini adalah untuk menjelaskan secara cermat bagaimana nilai-nilai social
tersebut dihasilkan dan untuk memberikan penekanan bahwa nilai-nilai tersebut adalah
perkiraan yang kasar.
Harga sosial (atau efisien) dari komoditas yang bersifat tradables dapat diperoleh
dari harga-harga dunia, hal ini dikarenakan harga import dan eksport adalah ukuran terbaik
dari biaya opportunity social dari suatu komoditas. Bagi sebuah komoditas yang importable,
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
12
harga impor mengindikasikan biaya opportunity dari perolehan tambahan satu unit
komoditas tersebut untuk memuaskan permintaan domestic. Sedangkan bagi komoditas
yang bersifat exportables, harga ekspor adalah ukuran dari biaya opportunity bagi tambahan
satu unit produksi domestic yang akan diekspor, bukan untuk konsumsi domestik.
Baris Divergensi
Divergensi adalah penyebab dari terjadinya penyimpangan harga pasar
sesungguhnya dari suatu komoditas dari harga sosialnya (efisien). Divergensi dapat muncul
dari dua hal, adanya kegagalan pasar atau kebijakan yang mendistorsi.
Kegagalan pasar terjadi apabila pasar gagal untuk menyediakan baik hasil yang
kompetitif maupun harga yang efisien. Jenis-jenis umum dari kegagalan pasar adalah
monopoli, eksternalitas dan ketidaksempurnaan pasar factor produksi. Sedangkan kebijakan
yang mendistorsi adalah campur tangan pemerintah yang memaksa harga pasar untuk
menyimpang dari nilai efisiennya. Pajak/subsidi, pembatasan perdagangan, atau
pengaturan harga dapat menghasilkan kondisi demikian. Kebijakan yang mendistorsi
biasanya dikeluarkan secara sengaja untuk mencapai tujuan-tujuan non-efektif (untuk tujuan
equity atau security).
2.4.2 Structure Conduct Performance (SCP)
Teori Structure conduct performance adalah model yang digunakan untuk
menghubungkan elemen struktur pasar dengan usaha dan kinerja ekonomi industi.
Structure Conduct Performance (SCP) adalah bagian dari organisasi industri yang terdiri
dari tiga bagian utama yang digunakan untuk melihat kondisi struktur pasar dan persaingan
yang terjadi di pasar. Struktur sebuah pasar akan mempengaruhi perilaku/ strategi
perusahaan-perusahaan yang ada di pasar, dan pada akhirnya perilaku tersebut akan
mempengaruhi kinerja dari pasar tersebut (Muslim dkk, 2008), Kerangka pemikiran dari
aliran SCP dapat digambarkan dalam kerangka dibawah ini:
Struktur (Structure) � Perilaku (Conduct) � Kinerja (Performance)
1. Struktur Pasar
Struktur pasar berhubungan dengan karakteristik dan pentingnya pasar tersebut.
Kondisi ini dapat diketahui dengan mengidentifikasi jumlah dan ukuran distribusi dari penjual
dan pembeli di pasar tersebut, batasan suatu produk memiliki perbedaan (diferensiasi), dan
tingkat kemudahan memasuki pasar bagi pedagang baru. Cara pengukuran tingkat
konsentrasi pasar adalah:
a. Rasio Konsentrasi (Concentration Ratio/ CR)
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
13
Rasio konsentrasi secara luas dipergunakan untuk mengukur pangsa dari output,
turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industry (Arianto,
2008). Rasio konsentrasi (CR) mengukur total pangsa pasar (S) dari sejumlah (m)
perusahaan terbesar dalam suatu industri (Kuncoro, 2007, dalam Muslim, 2008).
Biasanya jumlah perusahaan N yang dihitung proporsi pangsa pasarnya adalah 4,
sehingga dikenal sebagai CR4. Jika Pi mewakili pangsa pasar, dan jika proporsi dari
output, turnover, value added, jumlah pegawai atau nilai asset dari total industry yag
diwakili oleh perusahaan I = 1, 2, …., dengan P1>= P2 >= P3 >= …, maka
Concentration Ratio (CrRN). Pangsa pasar dapat ditinjau dari nilai penjualan, jumlah
asset, dan value added (Waldma & J.,2000, dalam Muslim, 2008).
Rumus:
CRN = P1 + P2 + P3 + ……+ PN
Dimana: PN = pangsa pasar perusahan ke N
b. Herfindahl-Hirschman Index
Herfindahl-Hirschman Index (HHi) yaitu jumlah dari kuadrat pangsa pasar untuk
semua perusahaan dalam suatu industri (Kuncoro, 2007, dalam Muslim, 2008).
Indeks ini merupakan jenis ukuran konsentrasi lain yang cukup penting.
Rumus (dalam Arianto, 2008):
H = P12+ P22 + P32 + … + PN2
dimana,
• P adalah kuadrat dari persentase pangsa pasar dari perusahaan
• N adalah banyaknya perusahaan dalam industri
Nilai HHI berada pada kisaran antara 1 sampai dengan 10.000. Pembagian struktur
pasar menurut nilai HHI adalah pasar dengan konsentrasi rendah bila nilai HHI
kurang dari 1000, pasar dengan konsentrasi sedang dengan nilai HHI antara
1000sampai dengan 1800, dan pasar dengan konsentrasi tinggi bila mempunyai nilai
HHI di atas 1800 (Lee, 2007, dalam Muslim, 2008).
2. Perilaku
Perilaku industri dianalisis secara deskriptif dengan tujuan untuk memperoleh
informasi mengenai perilaku pelaku pasar. Perilaku industri menganalisis tingkah laku serta
penerapan strategi yang digunakan oleh pedagang untuk merebut pangsa pasar dan
mengalahkan pesaingnya, yaitu dari sisi fasilitas, harga, promosi, dan syarat perdagangan.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
14
Analisis ini sengaja dilakukan karena variabel yang mencerminkan perilaku sifatnya kualitatif
yang sulit dikuantitatifkan.
3. Kinerja
Analisis kinerja industri dilakukan dengan menggunakan analisis rasio keuangan.
Analisis ini menggunakan Rentabilitas/Profitabilitas, Rasio Aktivitas, Rasio Leverage dan
Rasio Efisiensi dan Efektivitas Biaya.
2.4.3 Supply Chain
Menurut Chopra et.al. (2007), supply chain management (SCM) adalah seperangkat
pendekatan untuk mengefisienkan integrasi supplier, manufaktur, gudang, dan
penyimpanan sehingga barang diproduksi dan didistribusikan dalam jumlah yang tepat,
lokasi yang tepat, waktu yang tepat, untuk meminimasi biaya dan memberikan kepuasan
layanan terhadap konsumen (simchi-levi ). Definisi SCM menurut the Council of Logistics
Management adalah
"Supply Chain Management is the systematic, strategic coordination of the traditional
business functions within a particular company and across businesses within the
supply chain for the purpose of improving the long-term performance of the individual
company and the supply chain as a whole".
Perusahaan yang berada dalam supply chain pada intinya bertujuan untuk memuaskan
konsumen dengan bekerja sama membuat produk yang murah, mengirimkan tepat waktu,
dan dengan kualitas yang bagus. Apabila mengacu pada sebuah perusahaan manufaktur,
kegiatan-kegiatan utama yang masuk dalam klasifikasi SCM adalah:
1. kegiatan merancang produk baru (product development), yaitu kegiatan mendapatkan
bahan baku (procurement);
2. kegiatan merencanakan produksi dan persediaan (planning and control) merupakan
kegiatan melakukan produksi (production);
3. kegiatan melakukan pengiriman (distribution).
Ukuran performasi SCM:
a. Kualitas (tingkat kepuasan pelanggan, loyalitas pelanggan, ketepatan pengiriman)
b. Waktu (total replenishment time, business cycle time)
c. Biaya (total delivered cost, efisiensi nilai tambah)
d. Fleksibilitas (jumlah dan spesifikasi)
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
15
SCM juga dapat diartikan jaringan organisasi yang menyangkut hubungan ke hulu
(upstream) dan ke hilir (downstream) dalam proses yang berbeda dan menghasilkan nilai
dalam bentuk barang/jasa di tangan pelanggan terakhir (ultimate customer/end user).
Berikut adalah gambar model supply chain (Kearney (1994) dalam Chopra et.al. (2007)).
Gambar 2. Supply Chain
SCM berusaha mencapai optimasi global yang merupakan proses untuk menemukan
strategi terbaik bagi keseluruhan rantai pasokan (systemwide). Tujuan untuk mendesain dan
mengoperasikan supply chain yang secara keseluruhan biayanya minimal, serta service
levelnya terjaga adalah kegiatan yang sangat menantang. Ada tiga macam hal yang harus
dikelola dalam supply chain, yaitu pertama, aliran barang dari hulu ke hilir contohnya bahan
baku yang dikirim dari supplier ke pabrik, setelah produksi selesai dikirim ke distributor,
pengecer, kemudian ke pemakai akhir. Kedua, aliran uang dan sejenisnya yang mengalir
dari hilir ke hulu dan ketiga adalah aliran informasi yang terjadi dari hulu ke hilir atau
sebaliknya.
Gambar 3. Aliran Informasi dari Hulu ke Hilir
Integrasi supply chain dilakukan untuk mengkoordinasikan aktivitas-aktivitas
sepanjang supply chain sehingga dapat meningkatkan performasi anggota supply chain
yang diukur dengan (simchi-levi):
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
16
1. Penurunan biaya
2. Peningkatan service level
3. Penurunan efek bullwhip
4. Peningkatan pemanfaatan sumber daya
5. Peningkatan kecepatan merespon perubahan besar
2.4.4 Value Chain
Value Chain diperkenalkan pertama kali oleh Michael Porter pada tahun 1985,
melalui bukunya yang berjudul Competitive Advantage. Metode ini digunakan untuk
memahami aktivitas perusahaan dalam upaya membangun keunggulan kompetitif. Selain itu
analisis value chain dapat digunakan sebagai salah satu alat analisis manajemen biaya
untuk pengambilan keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin
ketat. Porter mengidentifikasikan pendorong yang berhubungan dengan aktivitas Value
Chain yaitu:
1. Skala ekonomi
2. Pembelajaran
3. Kapasitas pemanfaatan (Capacity utilization)
4. Hubungan antara aktivias
5. Hubungan timbale balik antara unit usaha
6. Derajat integrasi verstikal (Degree of vertical integration)
7. Ketepatan waktu pada saat masuk ke pasar (Timing of market entry)
8. Kebijakan biaya atau diferensiasi Perusahaan
9. Lokasi geografi
10. Faktor kelembagaan (peraturan, aktivitas serikat pekerja, pajak dl)
Perusahaan dapat membangun keuntungan biaya dengan mengontol faktor pendorong
tersebut di atas lebih baik dibandingkan dengan pesaingnya. (Anonim3, 2010).
Konsep rantai nilai (value chain) dapat digunakan sebagai alat bersaing untuk
mengefektifkan rumusan strategi. Tetapi value chain hanya dapat efektif jika didukungan
oleh kapasitas internal perusahaan (Achmad, 1998). Oleh karena itu terdapat dua aktivitas
yang dilakukan perusahaan yaitu: aktivitas utama dan aktivitas pendukung. Alur rantai nilai
berkaitan dengan aktivitas perusahaan dapat dilihat pada Gambar 4 di bawah ini.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
17
Gambar 4. Alur Value Chain (Diadopsi dari Porter, 1980)
Aktivitas Utama
1. Inbound logistics
2. Kegiatan Produksi
3. Outbound logistics
4. Marketing dan Sales
5. Pelayanan (service)
Aktivitas Pendukung
1. Pemesanan/pembelian (Procurement)
2. Teknologi
3. Sumberdaya Manusia
4. Infrastruktur Perusahaan
Dalam kegiatan ini value chain digunakan untuk mengidentifikasi karakteristik pasar
produk perikanan. Bila karakteristik pasar telah diketahui, maka dapat melakukan proses
pengambilan keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis yang semakin ketat.
Tahapan analisis Value chain yang akan dilakukan adalah:
1. Mengidentifikasi aktivitas value chain
Aktivitas value chain yang diidentifikasi adalah proses budidaya dan tangkap, pengepakan
dan transportasi, dan pengolahan hasil produk perikanan.
2. Mengidentifikasi cost driver pada setiap aktivitas nilai
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
18
Cost driver merupakan factor yang mengubah jumlah biaya total. Pada tahap ini akan
diidentifikasi aktivitas perikanan budidaya/tangkap yang mempengaruhi jumlah biaya total,
terutama aktivitas budidaya ikan
3. Mengembangkan keunggulan kompetitif dengan mengurangi biaya atau menambah nilai
Pada tahap ini akan ditentukan sifat keunggulan kompetitif potensial dan saat ini. Teknik
penentuan sifat keunggulan ini yang digunakan adalah dengan mempelajari aktivitas nilai
dan cost driver yang telah diidentifikasi pada tahap 2. Kegiatan yang akan dilaksanakan
pada tahap ini adalah:
a. Mengidentifikasi keunggulan kompetitif
b. Mengidentifikasi peluang akan nilai tambah
c. Mengidentifkasi peluang untuk mengurangi biaya
2.4.5 Frontier Production Analysis (FPA)
Menurut Greene (1993) dalam Sukiyono (2004), menjelaskan bahwa dengan model
produksi Frontier dimungkinkan mengestimasi atau memprediksi efisiensi relative suatu
kelompok atau usaha tani tertentu yang didapatkan dari hubungan produksi dan potensi
produksi yang diobservasi. Fungsi ini menggambarkan produksi maksimum yang berpotensi
dihasilkan sejumlah input produksi yang dikorbankan. Menurut Coelli et.al. (1998), Greene,
(1999) dan Kumbhakar and Lovell (2000), banyak model yang telah dikembangkan untuk
mengestimasi efisiensi teknik suatu usaha tani (firm) dengan mempertimbangkan aspek
teori dan empiris yang berbeda dengan basis kerangka teori produksi ini (Sukiyono, 2004).
Pengukuran efisiensi produksi dapat dilakukan dengan menggunakan Data
envelopment analysis (DEA) dan stochastic frontier analysis; kedua metode ini
menggunakan estimasi fungsi frontier (batas), bahwa setiap input yang digunakan dalam
proses produksi mempunyai kapasitas maksimum dan optimal. Pengukuran efisiensi melalui
pendekatan DEA meliputi penggunaan Linear Programming dalam menghitungkan efisiensi
sedangkan penggunaan pendekatan stochastic frontier menggunakan metode
ekonometrika.
Farrell (1957) dalam Battese (1991) seperti diuraikan sebelumnya, mengajukan
pengukuran efisiensi yang terdiri dari dua komponen: efisiensi teknis, yang merefleksikan
kemampuan perusahaan untuk mendapat output maksimum dari satu set input yang
tersedia, dan alokatif efisiensi, yang merefleksikan kemampuan dari perusahaan
menggunakan input dalam proporsi yang optimal, sesuai dengan harga masing-masingnya.
Kedua ukuran efisiensi ini kemudian dikombinasikan akan menyediakan ukuran total
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
19
efisiensi ekonomi. Pengukuran efisiensi ini mengasumsi bahwa fungsi produksi adalah
produsen yang efisien secara penuh diketahui. Sejak fungsi produksi tidak diketahui dalam
prakteknya, Farrell (1957) dalam Battese (1991) menyarankan bahwa fungsi diestimasikan
dari data sampel menggunakan non-parametric piece-wise-linear technology atau fungsi
parametrik, seperti bentuk Cobb-Douglas.
Frontier (Yield Gap Analysis)
Yield Gap Analysis digunakan untuk menjawab tujuan terkait dengan produksi/
output/kinerja usaha dari praktek pengelolaan budidaya yang dilakukan. Analisis ini akan
menunjukkan perbedaan (gap) antara kondisi potensial hasil riset atau penerapan standar
budidaya ikan yang baik dengan kondisi maksimal produksi sebenarnya yang dihasilkan
oleh pembudidaya ikan.
Gambar 5. Keterkaitan Frontier Production Function dan Yield Gap Analysis (Adaptasi dari Gomez, 1977).
Keterangan :
Pada kondisi actual farm yield , produksi pembudidaya belum mencapai efisiensi secara teknis dan maupun alokatif. Pada potential farm yield, produksi pembudidaya dapat dikategorikan menjadi 3 macam, yaitu belum mencapai efisiensi secara teknis, telah mencapai efisiensi secara teknis tetapi belum mencapai efisiensi secara alokatif dan sudah efisien secara teknis dan alokatif tapi belum mencapai maximum possible yield
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
20
III. HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
3.1 Komoditas Lele Kabupaten Bogor
3.1.1 Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Berdasarkan status usaha budidaya, pembudidaya di lokasi penelitian dibagi
kedalam tiga kelompok, yaitu: 1) pemilik lahan – merupakan pembudiaya yang mengelola
lahan miliknya sendiri; (2) penyewa lahan – merupakan pembudidaya yang murni mengelola
lahan dengan membayar sewa; (3) penggarap – merupakan pembudidaya yang mengelola
lahan milik orang lain sendiri tanpa menanggung modal usaha dan biaya operasional.
Sebagian besar (53%) pembudidaya di lokasi penelitian adalah penyewa lahan,
sebagiannya lagi (40%) adalah pemilik lahan, dan sisanya adalah penggarap (7%).
Teknik pembudidayaan yang dilakukan oleh pembudidaya lele di Kabupaten Bogor,
sebagian besar, memanfaatkan teknik intensifikasi dalam rangka meningkatkan
produktivitas budidayanya. Masa pemeliharaan budidaya lele adalah 2 bulan, dengan siklus
usaha pertahun sebanyak 4 kali. Ukuran ikan (size) yang dipanen sebagian besar berukuran
11—12 ekor/kg, namun ada pula pembudidaya yang memanen ikannya dengan ukuran 6—
10 ekor/kg. Selain kedua ukuran tersebut, ada pula ukuran 5—7 ekor/kg yang secara
khusus disalurkan untuk konsumen lembaga rumah makan, dan ukuran BS (ukuran 1-2
ekor/kg) untuk disalurkan ke tempat pemancingan.
Tabel 4. Usaha Budidaya Ikan Lele Kabupaten Bogor, 2011
Input/Faktor Produksi Nilai Rata-rata
Benih yang ditebar (ekor/kolam) 2,762
Pakan (kg/petak) 240
Pupuk (kg/petak) 208
Luas kolam (m2) 151
Usia Panen (bulan) 2
Produksi (kg/petak) 2,136
Produktifitas (kg/m2) 14
Sumber: Data Primer diolah, 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
21
Input yang digunakan dalam usaha budidaya komoditas lele di Kabupaten Bogor ini
antara lain berupa benih, pakan (pelet dan tambahan), pupuk, obat-obatan, vitamin, tenaga
kerja dan lahan budidaya. Benih ikan lele yang digunakan dalam usaha pembesaran di
Kabupaten Bogor sebagian besar didatangkan dari daerah Parung, Indramayu, dan Subang.
Jumlah benih yang ditebar per kolam yaitu berkisar antara 4.000 ekor sampai dengan
56.000 ekor tergantung dari luas kolam budidaya. Ukuran benih yang digunakan yaitu
panjang berkisar antara 5—7 cm dengan harga berkisar antara Rp.191/ekor sampai dengan
Rp. 243/ekor dengan rata-rata harga benih per ekor sebesar Rp 216. Tentunya kualitas
benih yang digunakan sangat berpengaruh terhadap tinggi rendahnya tingkat produksi yang
dihasilkan. Tabel 4. menunjukkan secara singkat tingkat rata-rata penggunaan berbagai
input/faktor produksi komoditas lele di Kabupaten Bogor.
Apabila praktek Usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor ini dibandingkan dengan
usaha budidaya di lokasi pesaingnya – Tulungagung – maka dapat dilihat adanya beberapa
perbedaan. Berbeda dengan usaha lele di Tulungagung yang menggunakan terpal, kolam
budidaya di Kabupaten Bogor terbuat dari tanah. Adapun alasan penggunaan terpal di
Tulungagung tersebut adalah dikarenakan wilayah Tulungagung merupakan wilayah rawa
yang dijadikan sebagai daerah pemukiman. Akibatnya, usaha budidaya harus menggunakan
terpal agar air tidak cepat terserap ke dalam tanah. Jenis kolam ini mempengaruhi
perlakuan penggantian air dimana penggantian air di kolam terpal tidak harus sering
dilakukan sehingga pembudidaya bisa menghemat biaya listrik atau bahan bakar sebagai
bahan bakar penggerak pompa air.
Selain itu, perbedaan juga dapat dilihat dari sisi status kepemilikan faktor produksi
berupa kolam. Pembudidaya lele di Kabupaten Bogor umumnya berstatus sebagai penyewa
lahan, sedangkan pembudidaya lele di Tulungagung mayoritas mengelola lahan milik
sendiri.
Perbedaan lain yang tampak adalah jumlah dan jenis penggunaan input produksi,
terutama input pakan. Usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor menggunakan pakan
buatan pabrik (pelet) dan juga pakan tambahan berupa carcass ayam rebus, sosis, usus
ayam, dan sisa-sisa makanan. Pembudidaya juga menambah input produksi dengan pupuk
urea untuk meningkatkan pertumbuhan pakan alami yang diperlukan ikan lele. Selain itu,
untuk menambah daya bertahan hidup ikan, pembudidaya menggunakan obat-obatan dan
vitamin yang biasanya diberikan pada awal masa pemeliharaan untuk menekan tingkat
kematian ikan. Perlakuan pembudidaya di Kabupaten Bogor ini tidak dilakukan oleh
pembudidaya di Tulungagung yang cenderung menggunakan teknik budidaya tradisional
atau semi-intensif.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
22
Perbedaan perlakuan ini berdampak pada besarnya biaya input produksi yang harus
dikeluarkan pembudidaya di Kabupaten Bogor. Jika dibandingkan dengan biaya produksi
usaha budidaya lele di Tulungagung maka tampak perbedaan yang cukup signifikan bagi
besarnya keuntungan yang diterima pembudidaya. Keuntungan yang diterima pembudidaya
lele di Kabupaten Bogor lebih rendah sebesar 53% dibandingkan keuntungan pembudidaya
di Kabupaten Tulungagung dengan tingginya total biaya di Kabupaten Bogor sebesar 22%
dibandingkan Kabupaten Tulungagung. Kondisi ini ditampilkan dalam Tabel 5. berikut.
Tabel 5. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011
No Uraian Kabupaten Bogor
(Rp) Kabupaten Tulungagung
(Rp)
1 Investasi
a. Kolam 3,717,500 18,846,066
b. Rumah Jaga 1,112,432 1,132,492
c. Pompa Air 277,922 629,796
d. Gudang Pakan 361,644 736,667
e. Lampu Neon/Petromak 29,365 87,625
f. Tempat Ikan 39,269 0
g. Timbangan 358,333 322,917
h. Serokan 86,380 110,166
i. Pipa/Selang Air 119,289 2,100,000
j. Jaring 169,286 305,909
Total Investasi 6,271,420 24,271,638
2 Biaya Tetap
a. Pajak Lahan (PBB) 3,084,186 1,899,217
b. Sewa Lahan 6,271,421 66,147
c. Penyusutan aset 182,016 1,378,096
Total Biaya Tetap (TFC) 9,537,623 3,343,461
3 Biaya Operasional a. Pupuk Urea 143,211 0
b. Obat-obatan 2,836,843 1,934,752
c. Vitamin 8,853,946 0
d. Kapur 104,770 0
e. Benih/Bibit 20,453,514 9,246,197
f. Pakan 409,286,406 427,233,251
g. Pakan Tambahan 83,606,656 0
h. BBM 1,783,879 0
i. Tenaker Panen 654,179 560,724
j. Biaya Perawatan 1,279,833 1,885,976
k. Listrik 4,854,056 1,626,517
Total Biaya Operasional (TVC)
533,857,292 442,487,418
4 Produksi 565,257,071 492,561,555
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
23
5 Total Biaya 543,394,915 445,830,878
6 Keuntungan 21,862,156 46,730,677
Sumber : Data Primer Diolah, 2011.
Keterangan : Sistem bagi hasil yang digunakan antara pemilik lahan dan penggarap adalah 60% :
40%
3.1.2 Status dan Efisiensi Produksi
Besar kecilnya hasil produksi maupun produktivitas usaha budidaya ikan lele pada
lokasi penelitian tidak selalu hanya dipengaruhi oleh jumlah benih, jumlah pakan dan luas
kolam. Selain luas kolam, benih dan pakan, terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi
besarnya hasil produksi. Dari hasil wawancara dengan responden, beberapa faktor yang
menyebabkan rendahnya hasil produksi adalah, seringnya ikan lele pada kolam budidaya
terkena penyakit kuning – yang hingga saat ini belum ditemukan cara penanganannya.
Untuk menyiasati permasalahan ini, maka para pembudidaya sesegera mungkin melakukan
pergantian air pada kolam yang ikannya terkena penyakit kuning ini.
Selain faktor penyakit, besar kecilnya hasil produksi juga disebabkan oleh daya
dukung lingkungan budidaya yang semakin menurun. Kondisi kolam semakin menurun
karena tingkat kesuburannya yang rendah, sehingga responden memerlukan perlakuan
input produksi untuk meningkatkan kesuburan perairan dengan cara pemberian pupuk.
Selain itu, masih terdapat juga masalah dengan daya dukung sumber daya air, baik
dari sisi ketersediaan maupun kualitasnya. Ketersediaan air di lokasi budidaya sangat
berkurang, sehingga para pembudidaya sangat sulit untuk memperoleh air untuk mengisi
kolam mereka. Dari sisi kualitas, seringkali air yang tersedia sudah tercemar oleh berbagai
kegiatan industri yang akhir-akhir ini muncul di sekitar wilayah budidaya.
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square
(OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 6. Secara
singkat, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor produksi yang diduga berpengaruh
terhadap usaha pembesaran ikan lele di Kabupaten Bogor adalah luas kolam (X1), jumlah
benih (X2), dan jumlah pakan (X3).
Dari hasil pendugaan fungsi produksi tersebut, diperoleh nilai koefisien determinasi
R2 = 0,962. Hal ini berarti bahwa sebesar 96,2% variasi produksi usaha budidaya ikan lele
dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X1), jumlah benih (X2) dan jumlah pakan
(X3), sedangkan sisanya sebesar 3,8% dijelaskan oleh variasi faktor-faktor lain yang tidak
dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, ketiga peubah bebas
tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
24
peubah terikatnya (produksi ikan patin/Y). Namun berdasarkan uji t-statistik (parsial), dari
ketiga peubah bebas tersebut ternyata hanya peubah Jumlah Benih yang berpengaruh
nyata pada selang kepercayaan 65% dan peubah Pakan yang berpengaruh nyata pada
selang kepercayaan 99%, keduanya memiliki arah (sign) positif. Sedangkan peubah lainnya,
yakni luas kolam tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Di samping itu, dari hasil
pendugaan tersebut diperoleh pula nilai DW sebesar 1,997, yang berarti bahwa model
persamaan yang digunakan dapat dikatakan terbebas dari dugaan adanya autokorelasi
antar variabel bebas (X1, X2, X3).
Tabel 6. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi Usaha Budidaya Lele di Kabupaten Bogor, 2011
Peubah Koefisien Regresi Standart Error t-hitung
Konstanta -0,592 0,553 -1,070
Ln X1 0,053 0,073 0,728
Ln X2 0,144 0,150 0,956*
Ln X3 0,836 0,109 7,687**
R2 = 0,966
R2-adjusted = 0,962
F–hitung = 245,150
Prob .F =0,000
DW = 1,997
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 65%
* = nyata pada selang kepercayaan 65% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Selanjutnya, hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan lele dengan
menggunakan tiga variabel bebas, sebagaimana tertera pada Tabel 6. tersebut, dapat
dituliskan dalam bentuk persamaan sebagai berikut :
Ln Y = -0,592 + 0,053Ln X1 + 0,144 Ln X2 + 0,836 Ln X3 ……………………….............(7)
sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan Cobb-
Douglas, Persamaan di atas dapat ditulis ulang menjadi:
Y = 0,553X10,053X2
0,144X30,836.............................................................................................(8)
3.1.2.1 Analisis Skala Usaha (Return to Scale)
Return to Scale (RTS) digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha
budidaya yang diteliti tersebut berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin berkurang
(decreasing return to scale), kondisi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) atau
berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale).
Hasil analisis fungsi produksi Cobb-Douglas akan menghasilkan nilai koefisen regresi yang
sekaligus menunjukkan besaran elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
25
digunakan. Yang apabila dijumlahkan dapat menjadi indikator dari kondisi skala usaha mana
yang terjadi.
Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X1),
jumlah benih (X2),dan jumlah pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas
masing-masing sebesar 0,053; 0,144; dan 0,836. Sehingga diperoleh nilai penjumlahan
koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi sebesar 1,033
(e>1). Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya
berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin bertambah” (increasing return to scale),
artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara
bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka maka produksi ikan yang
dihasilkan akan meningkat dengan proporsi yang lebih besar.
Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada
Tabel 6. dan Persamaan 2, diketahui bahwam, ceteris paribus, setiap penambahan luas
kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,053%. Selanjutnya
setiap penambahan sebanyak 1% benih, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi ikan
patin sebanyak 0,144%. Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan
sebanyak 1%, ceteris paribus, akan meningkankan produksi ikan patin sebanyak 0,836%.
Hal ini diduga karena semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka selain
jumlah yang dihasilkan semakin banyak, bobot ikan juga diduga akan meningkat semakin
cepat, sehingga produksi ikan juga akan meningkat.
3.1.2.2 Efisiensi Teknis
Gambar 6. Sebaran Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
26
Gambar 6. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk Kabupaten
Tulungagung adalah 0,99, dengan nilai terendah 0,44 dan nilai tertinggi 1,40. Nilai tersebut
menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis pada usaha budidaya ikan lele mendekati 1 tapi
belum efisien secara teknis. Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi tersebut dapat diketahui
bahwa usaha budidaya pembesaran ikan lele tersebut masih memiliki kesempatan untuk
memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil produksi yang
maksimal. Pada jangka pendek, secara rata-rata pembudidaya ikan lele di Kabupaten Bogor
berpeluang untuk meningkatkan produksi sebesar 29% (1-(0,99/1,40)) dengan menerapkan
teknologi dan teknik budidaya yang paling efisien.
3.1.2.3 Analisis Efisiensi Ekonomi
Analisis efisiensi ekonomi alokatif dapat ditentukan dengan menghitung
perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk
setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada
kondisi tersebut penggunaan faktor produksi berada pada tingkat optimum. Jika rasio NPM
dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan
nilai kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM
dan BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya
kondisi optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan
faktor-faktor produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan
sama dengan 1.
Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk
masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rasio Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Lele Kabupaten Bogor, 2011
Variabel Satuan
Penggunaan Rata-
Rata Aktual
Koefisien
Regresi NPM BKM NPM/BKM
Penggunaan Input Optimal
Luas Kolam (X1) m2 926 0,053 4.223 37.780 0,112 104
Jumlah Benih (X2)
ekor 79.629 0,144 133 20.615 0,006 515
Jumlah Pakan (X3)
Kg 6.962 0,836 8.860 6.688 1,325 9.223
Sumber : Data Primer Diolah (2011)
Tabel 7. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio
antara Nilai NPM dengan BKM pada usaha pembesaran ikan lele. Rasio-rasio NPM dengan
BKM dari setiap faktor produksi menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
27
usaha pembesaran ikan lele Kabupaten Bogor tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai
rasio NPM terhadap BKM tidak sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa
penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal pada jumlah produksi
yang sama.
Dari Tabel 7. dapat dilihat bahwa nila rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas
kolam (X1) ldan jumlah benih (X2) lebih kecil dari satu, sedangkan jumlah pakan (X3) lebih
besar dari satu, yaitu masing-masing sebesar 0,112 (untuk X1), 0,006 (untuk X2), dan 1,325
(untuk X3). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi luas kolam dan pakan
perlu dikurangi, sedangkan benih perlu ditambah hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga
faktor produksi tersebut sama dengan satu. Dengan kata lain, luas kolam (X1) dan jumlah
benih (X2) perlu dikurangi masing-masing menjadi 104 m2 per kolam dan 515 ekor per
kolam, sedangkan penggunaan faktor produksi pakan (X3) perlu ditambah menjadi 9.223 kg
per kolam. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pakan yang diberikan masih belum sesuai
dengan jumlah benih yang ditebar, sehingga untuk mencapai hasil produksi yang optimal
perlu melakukan penambahan jumlah pakan.
3.1.3 Daya saing
Daya saya saing suatu produk merupakan faktor penting yang menentukan
kemampuan suatu komoditas untuk dapat bertahan dalam persaingan pasar, baik dalam
negeri maupun luar negeri. Komoditas lele Kabupaten Bogor sebagai salah komoditas
unggulan dalam program minapolitan – meskipun hingga saat ini hanya dipasarkan di pasar
lokal – tidak terlepas dari adanya pesaing dengan komoditas serupa dari daerah lain.
Pesaing utama bagi komoditas lele Kabupaten Bogor adalah komoditas Lele dari Kabupaten
Tulungagung – salah satu sentra produksi lele di Jawa Tengah. Oleh karena itu, dalam
pengukuran daya saing bagi komoditas ini, maka Tulungagung akan dijadikan benchmark
bagi berbagai harga baik tradables inputs maupuan Faktor Produksi Domestik DI dalam
table PAM. Adapun hasil analisis PAM bagi komoditas Lele dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Policy Analysis Matrix Budidaya Lele, 2011
Revenue Tradables Factors Profit
Private 351,191,275.37 326,483,851.59 10,652,701.45 14,054,722.33
Social 306,025,929.94 280,761,640.18 6,867,597.89 18,396,691.87
Divergence 45,165,345.43 45,722,211.41 3,785,103.56 (4,341,969.54)
Sumber: Data primer (diolah), 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
28
Dari faktor penerimaan, usaha budidaya lele di Bogor masih menunjukkan nilai positif
yang artinya penerimaan di Bogor masih lebih tinggi dibandingkan di Tulungagung dengan
selisih positif Rp 45 juta. Namun demikian, biaya input dan faktor produksi jauh lebih besar
dibandingkan Tulungagung dimana selisih biayanya masing-masing sebesar Rp45,7 juta
dan Rp3,8 juta. Tingginya biaya input dan faktor inilah yang menyebabkan jumlah
keuntungan usaha budidaya lele di Bogor lebih rendah dibandingkan Tulungagung, dimana
selisihnya mencapai minus Rp4,3 juta.
Berdasarkan perhitungan PAM, komoditas lele Kabupaten Bogor memiliki daya saing
yang lebih rendah dibandingkan komoditas lele Kabupaten Tulungagung, baik di sisi faktor
domestik maupun input tradables. Hal ini ditunjukkan oleh besaran nilai masing-masing
domestic factors cost ratio (DRCR), tradables input cost ratio (TICR), dan total costs ratio
(TCR), yang masing-masingnya – secara berurutan – bernilai 1,55, 1,16, dan 1,17. Angka-
angka tersebut menunjukkan bahwa untuk melakukan usaha budidaya lele di Kabupaten
Bogor, diperlukan biaya faktor produksi (Kolam dan Tenaga Kerja) 55% lebih tinggi dari di
Tulungangung, pada tingkat penggunaan yang sama. Demikian pula dengan besarnya
tradables input (Benih, pakan, dan obat-batan), usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor
memerlukan biaya input 16% jauh lebih tinggi dibandingkan di Tulungagung, pada tingkat
penggunaan input yang sama.
Selain adanya perbedaan harga, tingginya biaya input produksi tersebut disebabkan
pula oleh adanya tambahan input pakan, obat-obatan, dan vitamin yang digunakan. Strategi
pemakaian pakan tambahan pada dasarnya untuk mengatasi mahalnya harga pakan buatan
(pelet). Pemakaian obat-obatan dan vitamin ditujukan untuk menambah daya tahan lele
sehingga rasio bertahan hidup (survival ratio) lele tinggi, akibat kondisi lingkungan yang
kurang baik. Namun demikian, analisis PAM menunjukkan bahwa strategi tersebut hanya
meningkatkan biaya produksi semata, sedangkan penerimaan tidak ikut meningkat secara
signifikan. Selain itu, input benih juga menyumbang tingginya biaya input produksi karena
harga benih lele dengan ukuran 5—7 cm di Bogor Rp225/ekor, sedangkan di Tulungagung
hanya sebesar Rp100/ekor.
Faktor produksi yang dominan dalam Biaya Faktor Produksi komoditas lele di
Kabupaten Bogor adalah kolam, sewa lahan, dan listrik. Kolam menjadi faktor produksi
utama, terutama faktor sewa lahan karena pembudidaya lele sebagian besar berstatus
usaha sebagai penyewa dan penggarap. Sementara itu, pembudidaya lele di Tulungagung
umumnya berstatus usaha sebagai pemilik lahan sehingga biaya sewa tidak menjadi salah
satu biaya faktor produksi budidaya lele di Tulungagung.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
29
Tentunya daya saing lele di Kabupaten Bogor dapat meningkat jika terjadi penurunan
baik harga input maupun faktor produksi yang digunakan. Untuk mengetahui sejauh mana
penurunan harga tersebut harus terjadi, maka dilakukan analisis sensitifitas harga-harga
tersebut terhadap indikator baik DRCR maupun TRCR.
Secara parsial, komoditas lele Bogor akan memiliki daya saing Input yang sebanding
dengan lele Tulungagung (TRCR = 1) jika harga benih mengalami penurunan sebesar 51%,
ceteris paribus, atau harga pakan mengalami penurunan sebesar 20%, ceteris paribus.
Apabila terjadi perubahan harga input secara bersama-sama, daya saing lele Bogor dapat
menyamai lele Tulungagung (TRCR = 1) jika harga pakan dan benih secara bersama-sama
diturunkan sebesar masing-masing 14%, ceteris paribus. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa daya saing di sumberdaya tradables lebih sensitif terhadap perubahan harga input
secara serentak.
Pada dasarnya peningkatan daya saing di sisi faktor domestic dapat terjadi melalui
penurunan harga faktor dominan berupa biaya kolam, sewa kolam, dan listrik. Dari hasil
analisis sensitivitas untuk efisiensi biaya input dominan secara parsial, ternyata tidak ada
satupun penurunan harga faktor secara individu yang mampu meningkatkan daya saing ikan
lele di Bogor, bahkan hingga ke titik terekstrim dimana faktor produksi diberikan secara
cuma-cuma. Meskipun demikian, nilai DRCR ternyata dapat diturunkan jika harga kolam,
sewa kolam dan listrik secara bersama-sama turun sebesar 64%.
3.1.4 Karakteristik Pasar
Secara garis besar, di Kabupaten Bogor, terdapat hanya beberapa pengumpul
besar/kelompok pembudidaya yang satu-sama lainnya menjual produk yang praktis serupa.
Selain itu, terjadi pula upaya kerjasama antar sesama pengumpul besar/kelompok
pembudidaya tersebut – dalam bentuk penyeragaman harga pasar – sehingga pasar untuk
produk lele berisikan produsen yang memiliki market power (kemampuan untuk menentukan
harga/price maker) – hal ini ditunjukkan dengan seragamnya harga lele perkilogram di
tingkat pengecer (Rp. 15.000,-). Dengan ciri-ciri sedemikian rupa, maka dapat dikatakan
bahwa pasar produk lele di kabupaten Bogor memiliki sifat yang cenderung menuju ke pasar
oligopoli, dimana terjadi kerjasama di antara para produsen yang ada (berkolusi).
Adapun kecenderungan yang terjadi di pasar lele pada saat ini adalah, adanya
fenomena saling berkumpulnya para Pembudidaya dalam suatu kelompok budidaya,
dengan seorang ketua kelompok yang memiliki modal yang besar serta informasi mengenai
jalur pemasaran produk lele. Dalam setiap kelompok yang terbentuk muncul dominasi dari
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
30
ketua kelompok – yang notabene adalah pemilik modal sekaligus pemasar – terhadap para
anggotanya yang memiliki kekuatan terbatas – yang bertindak sebagai penggarap.
Sistem kelompok yang diberlakukan dapat digambarkan seperti berikut: ketua
kelompok menanggung penuh resiko serta biaya operasional kegiatan budidaya – melalui
penyediaan berbagai input produksi mulai dari benih, obat-obatan, pakan hingga pemberian
pakan tambahan kepada masing-masing anggota kelompoknya, sedangkan
pembudidaya/penggarap hanya bertanggungjawab pada kegiatan Pembudidayaan saja.
Pada saat panen tiba, hasil penjualan produk akan dikurangi berbagai biaya operasional
yang telah dikeluarkan oleh ketua kelompok, dan sisanya akan dibagi antara pembudidaya
dan ketua kelompok, dengan besar pembagian 50:50 jika pembudidaya adalah pemilik
kolam, atau 40:60 apabila pembudidaya tidak memiliki kolam (menggarap kolam ketua
kelompok). Pada saat terjadi kerugian, maka total kerugian akan ditanggung oleh ketua
kelompok, dan pembudidaya tidak memperoleh bagian maupun menanggung kerugian
sama-sekali.
Cakupan area pemasaran bagi produk lele Kabupaten Bogor, hingga saat ini baru
meliputi daerah Jabotabek hingga Bogor, Puncak, Cianjur (Bopuncur) saja, dengan daerah
Jakarta dan Tangerang sebagai pasar terbesar. Meskipun pada dasarnya harga pokok
produk (HPP) Lele Kabupaten Bogor masih jauh lebih tinggi dari HPP Lele saingan, yang
berasal dari daerah lain (Tulungagung), namun dengan adanya pengaturan harga seperti
yang telah disebutkan di atas, maka telah membuat lele saingan dari daerah lain menjadi
sulit untuk bersaing di Jabotabek dan Bopuncur.
Para pelaku usaha produk lele di kabupaten Bogor dapat dikelompokkan menjadi
seperti berikut: (1) Kelompok Pembudidaya, yang terdiri dari: a. Pembudidaya Penggarap; b.
Pembudidaya; dan c. Ketua Kelompok/Pengumpul; (2) Pembenih; (3) Distributor/Tengkulak,
dan; (4) Pengecer. Dari hasil survey, maka diperoleh 3 pola rantai pemasaran, meskipun
pada dasarnya mirip, namun terdapat sedikit perbedaan.
1. Jalur Pemasaran Pertama
Pada Gambar 7., dapat dilihat rantai pemasaran jenis pertama, dimana ketua kelompok
pembudidaya, selain bertindak langsung sebagai pengumpul bagi kelompoknya, juga
menjadi pengumpul bagi beberapa pembudidaya lain di luar kelompoknya. Selain itu,
ketua kelompok lah satu-satunya pihak yang memiliki hubungan langsung dengan
pembenih, supplier pakan, distributor bahkan beberapa pengecer. Sedangkan
pembudidaya yang menjadi anggota kelompok – yang didominasi oleh penggarap –
hanya bertindak sebagai Pembudidaya saja. Para Pembudidaya ini menerima benih,
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
31
pakan dan obat-obatan dari ketua kelompok, dimana besarnya penggunaan ketiga jenis
input tersebut akan mempengaruhi besarnya biaya operasional yang nantinya akan
diperhitungkan sebelum pembagian keuntungan.
Anggota Kelompok
Budidaya
Ketua
Kelompok
Budidaya
Pengecer
Distributor
Konsumen
Gambar 7. Rantai Pemasaran Pertama Komoditas Lele Kabupaten Bogor
2. Jalur Pemasaran Kedua
Pada Gambar 8. Terlihat bahwa ketua kelompok pembudidaya hanya bertindak sebagai
pengumpul bagi anggota kelompoknya saja. Ketua kelompok memiliki hubungan
langsung dengan para pembenih, supplier pakan, dan distributor, namun tidak dengan
para pengecer. Anggota kelompok pembudidaya – yang didominasi oleh penggarap –
hanya bertindak sebagai Pembudidaya saja, dan menerima berbagai input dari ketua
kelompok.
Anggota Kelompok
Budidaya
Ketua
Kelompok
Budidaya
PengecerTengkulak Konsumen
Gambar 8. Rantai Pemasaran Kedua Komoditas Lele Kabupaten Bogor
3. Jalur Pemasaran Ketiga
Pada gambar 9. Terlihat bahwa anggota kelompok pembudidaya didominasi oleh
pembudidaya yang memiliki lahan, dan ketua kelompok pada dasarnya adalah
pengumpul. Oleh karena itu, maka ketua kelompok lebih banyak menerima produk dari
Pembudidaya di luar kelompoknya.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
32
Pembudidaya
BinaanPengumpul Pengecer
Distributor
Konsumen
Gambar 9. Rantai Pemasaran Ketiga Komoditas Lele Kabupaten Bogor
3.1.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha
Kabupaten Bogor mempunyai potensi perikanan yang cukup besar. Sentra
pengembangan perikanan di Kabupaten Bogor berada di wilayah tengah dan barat. Wilayah
Bogor Tengah juga merupakan sentra pengembangan lele dengan produksi 30-40 ton/hari
untuk memenuhi kebutuhan pasar Jabodetabek. Ikan Lele sebagai komoditas utama yang
berkembang di Kabupaten Bogor, pada tahun 2009 produksinya mencapai 18.315,02 ton
atau mengalami peningkatan sekitar 8.540 ton dibandingkan pada tahun 2008. Hal ini
menunjukkan bahwa permintaan terus meningkat setiap tahunnya yang menjadi peluang
bagi pembudidaya ikan lele dalam mengembangkan usahanya.
Sejalan dengan terbukanya peluang usaha tersebut, pelaku usaha perlu memahami
besarnya investasi yang harus dikeluarkan. Berdasarkan hasil penelitian, pelaku usaha
budidaya lele di Kabupaten Bogor sebagian besar dalam skala usaha kecil atau usaha
rakyat. Investasi usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor antara lain lahan, rumah jaga,
pompa air, gudang pakan, dan peralatan pendukung budidaya lainnya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa investasi untuk jenis aset lahan merupakan investasi yang paling besar
dikeluarkan dalam usaha budidaya lele. Hal ini disebabkan oleh terbatasnya lahan yang
tersedia sehingga harga lahan menjadi sangat tinggi. Pembudidaya lele di Kabupaten Bogor
banyak yang menyewa lahan dari orang lain untuk digarap dengan cara membayar sewa
per tahun.
Tabel 9. Nilai Investasi Usaha Budidaya Lele Bogor, 2011
No Jenis Asset Nilai (Rp)
1 Lahan 74.350.000
2 Rumah Jaga 8.528.643
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
33
3 Pompa Air 1.945.455
4 Gudang Pakan 2.400.000
5 Peralatan Pendukung Budidaya 3.392.547
Total 90.616.645
Sumber: Data primer (diolah), 2011
Berdasarkan status kepemilikan lahan, pada umumnya para pembudidaya lele di
Kabupaten Bogor memiliki lahan dengan cara membeli kolam-kolam yang telah ada atau
dengan menyewa lahan dari orang lain. Untuk melakukan usaha budidaya lele di Kabupaten
Bogor, dibutuhkan biaya investasi ± Rp. 90.600.000,- yang digunakan untuk pengadaan
aset usaha. Biaya investasi akan bertambah jika lahan yang digunakan adalah berupa lahan
sewa. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata harga sewa lahan adalah Rp. 6.300.000
ha/tahun.
Usaha yang dilakukan pada usaha budidaya ikan lele di Kabupaten Bogor dilakukan
dalam satu siklus produksi atau dalam kurun waktu 2 bulan, yang terdiri dari total
penerimaan dan total biaya. Harga yang digunakan dalam analisis usaha ini adalah harga
nominal rata-rata yang diperoleh pada saat dilakukan penelitian. Harga jual ikan lele adalah
Rp. 10.800/Kg, dengan ukuran 6—12 ekor per kg. Total biaya yang dikeluarkan dalam satu
siklus produksi pada usaha budidaya adalah Rp. 543,394,915,- dengan jumlah biaya tetap
sebesar Rp. 9,537,623,- dan biaya variabel Rp. 533,857,292,- , dengan penerimaan rata-
rata per siklus produksi (2 bulan) adalah Rp. 565,257,071,- , maka keuntungan yang
diperoleh dalam satu siklus produksi adalah Rp. 21,862,156,- .
Tabel 10. Analisis Usaha Budidaya Lele Kabupaten Bogor, 2010
No. Uraian Nilai (Rp)
1. Investasi 90,616,600
2. Biaya Variabel 533,857,292
3. Biaya Tetap 9,537,623
4. Total Biaya 543,394,915
5. Penerimaan 565,257,071
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
34
6. Keuntungan 21,862,156
7. R/C 1,04
8. PP 4
Sumber : Data Primer diolah, 2011
Nilai R/C ratio pada usaha budidaya lele di Kabupaten Bogor sebesar 1,04 yang
menunjukkan bahwa usaha budidaya lele layak diusahakan. Nilai R/C ratio dapat dijadikan
sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk memberikan tambahan
modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga kegiatan usaha tambak
garam dapat lebih berkembang. Sementara itu, waktu pengembalian investasi pada usaha
budidaya lele di Kabupaten Bogor dapat diketahui dari nilai Payback Period (PP) yang
sebesar 4,14. Hal ini menunjukkan bahwa nilai pengembalian investasi dalam satu siklus
usaha adalah selama 3,67 tahun atau diperlukan hampir empat kali siklus usaha (musim
panen) untuk mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi pembudiaya lele.
Permintaan ikan lele yang terus meningkat menjadi sebuah peluang bagi
pengembangan usaha ikan lele di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil penelitian, persepsi
para pembudidaya ikan lele sebagian besar memiliki keinginan untuk mengembangkan
usahanya. Namun demikian, muncul permasalahan yang dapat menghambat pertumbuhan
dan pengembangan usaha budidaya lele. Permasalahan yang dihadapi dalam usaha
budidaya ikan Lele di Kabupaten Bogor antara lain terkait dengan benih dan pakan.
Ketersediaan benih terkadang tidak dapat memenuhi kebutuhan para pembudidaya,
sedangkan yang terkait dengan pakan adalah harga pakan yang terus meningkat.
Permasalahan makin bertambah dengan meningkatnya harga pakan tidak diimbangi dengan
kenaikan harga jual ikan lele.
3.2. Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi
3.2.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Kabupaten Muaro Jambi memiliki potensi sumberdaya alam, ekonomi dan
sumberdaya manusia yang potensial yang mampu menumbuh kembangkan perekonomian
daerah dan ekonomi masyarakat. Potensi tersebut meliputi sumberdaya lahan dimana
terdapat Lahan Budidaya seluas 24.500 ha. Disamping itu Kabupaten Muaro Jambi memliki
sumberdaya air yang sangat potensial bagi pengembangan perikanan dan lainnya,
sumberdaya air tersebut berasal dari DAS Batanghari, DAS Air Hitam (Kecamatan Kumpeh),
DAS Bayung Lincir (Kec.Mestong dan Sei Bahar) dan DAS Tungkal Mendahara (Kec
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
35
Sekernan). Sesuai dengan kondisi wilayah yang dibelah Sungai Batanghari dan didukung
kondisi air pada daerah daratan mendorong minat masyarakat mengembangkan usahanya
dibidang perikanan.
Perkembangan bidang perikanan di Kabupaten Muara Jambi sampai saat ini terus
mengalami peningkatan, baik budidaya ikan dalam kolam, keramba maupun keramba jaring
apung. Sampai dengan Tahun 2009 tercatat luas kolam yang sudah dikembangkan 153,7
Ha, Selama periode 2005-2009 rata-rata peningkatan jumlah kolam 16,78 % atau 1.4 Ha
pertahun. Produksi ikan budidaya dalam kolam juga terjadi peningkatan, sampai dengan
Tahun 2009 mencapai 11.579,40 ton. Rata-rata kenaikan produksi ikan budidaya kolam
selama periode 2005-2009 mencapai 1.100 ton atau 20 % per tahun. Pencapaian
peningkatan produksi perikanan diperoleh dari Budidaya Patin dalam Kolam dan KJA, Nila
dalam KJA dan Patin dalam Kolam dan budidaya ikan lokal lainnya.
Tabel 11. Perkembangan Jumlah Karamba, Kolam dan Produksi Ikan di Muaro Jambi 2003-2009
Luas Kolam/Jumlah
T A H U N
KJA dan Produksi
2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Keramba Jaring Apung - Jumlah (Unit) - Produksi (Ton) Keramba - Jumlah (Unit) - Produksi (Ton) Kolam - Luas Kolam (Ha) - Produksi (Ton
37
58,68
704
711,76
56,6
2.386.82
59
71
1009
856
62,90
2857
297
318,42
1.341
945,60
70,37
3.212,26
964
808.92
1.111
789,82
77,72
3.668,93
3.250
1.818,2
1.747,2
2.248,9
120
5.096
2.501
4.234,9
497
462,7
122,72
5.586,2
2.946
4.386
111
200,8
153,4
6.992,6
Sumber : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Muaro Jambi, 2010
Perkembangan budidaya ikan dalam keramba/KJA di Kabupaten Muaro Jambi banyak
dilakukan masyarakat di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batanghari. Budidaya ikan dalam
keramba/KJA yang paling banyak diusahakan oleh masyarakat di Kecamatan Jambi Luar
Kota dengan produksi 4.897,20 Ton/Tahun dan Kecamatan Sekernan produksi 785,90
Ton/Tahun pada tahun 2009 dengan jenis budidaya ikan Patin, Nila, Gurame dan ikan
lainnya. Sedangkan untuk budidaya ikan di kolam tersebar pada beberapa kecamatan
terutama Kecamatan Sungai Gelam dan Kumpeh Ulu yaitu Desa Tangkit Baru dengan
jumlah kolam 2.300 Unit dengan produksi dibanding tahun sebelumnya menurun berkisar
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
36
1.655,60 Ton/Tahun atau 4 Ton/Hari dan kawasan Pudak 1.750 Unit dengan produksi
3.351,00 Ton/Tahun pada tahun 2009.
Pada umumnya pembudidaya ikan patin di Kabupaten Muaro Jambi sudah
melakukan praktek budidaya secara semi intensif. Kolam yang digunakan adalah jenis
kolam tanah dengan ukuran petakan 15 M x 10 M , 15 m x 20m, 20mx25m dan 20mx30m
namun ukuran petakan ini disesuaikan dengan luas lahan budidaya yang dimiliki oleh
pembudidaya. Sementara itu, padat tebar ikan patin di Kabupaten Muaro Jambi bisa
mencapai 16 ekor/m2. Usia pemeliharan ikan patin di kabupaten Muaro Jambi berkisar
antara 6 bulan dengan ukuran ikan yang siap panen berukuran antara 500 -700 gram/ekor.
Benih ikan patin yang digunakan berasal dari dalam Kabupaten Muaro Jambi dengan harga
rata-rata Rp 200/ekor – Rp 250/ekor dan ukuran benih yang digunakan yaitu sebesar 2-3
inchi.
Tabel 12. Produksi Ikan Budidaya Perkecamatan Perjenis Ikan di Muaro Jambi 2009
Desa
Jenis Ikan
Patin Nila Lele Gurami Tembakang Klemak Betutu Toman Jumlah
Sekernan 349.10 300.8 121 - 13.8 - 1.2 - 785.90
Maro
sebo 69.50 59.3 - - 90.8 3 - 21.9 244.50
Jaluko 1,064.50 3256.9 563 - - 4.8 - 8 4,897.20
Kumpeh
Ulu 3,274.50 21.5 - 17 38 - - - 3,351.00
Kumpeh 22.80 22.5 - - 44.6 - - 61.6 151.50
Mestong 49.00 252.7 10.5 34.4 - - - - 346.60
Sei.
Gelam 1,415.50 65 68.9 87.7 18.5 - - - 1,655.60
Sei.
Bahar 17.00 95.6 3.7 20.8 - 10 - - 147.10
Jumlah 6261.9 4074.3 767.1 159.9 205.7 17.8 1.2 91.5 11,579.40
Sumber : Dinas Perikanan dan Peternakan Kabupaten Muaro Jambi, 2010
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
37
Terkait dengan input pakan, pakan yang digunakan oleh pembudidaya adalah pakan
pabrik dan pakan buatan dengan harga pakan buatan di Muaro Jambi berkisar Rp 3.000 –
Rp 4.000/kg. Pemberian pakan dilakukan sebanyak dua kali dalam sehari oleh pembudidaya
yaitu pada pagi hari dan sore hari. Penggunaan pakan buatan sudah dilakukan dilakukan di
lokasi penelitian, mengingat semakin mahalnya pakan buatan pabrik dan sementara modal
yang dimiliki terbatsa, sehingga pembudidaya menggunakan bahan baku lokal untuk
digunakan sebagai bahan pembuatan pakan untuk ikan peliharannnya.
3.2.2. Status dan Efisiensi Produksi
3.2.2.1. Pendugaan Fungsi Produksi
Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha pembesaran ikan patin di
Desa Pudak, Muaro Jambi adalah adalah luas kolam (X1), jumlah benih (X2), dan jumlah
pakan (X3). Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least
Square (OLS) diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Patin di Kabupaten Jambi
Peubah Koefisien Regresi Standart Error t-hitung
Konstanta -0,059 0,484 -0,122 Ln X1 0,066 0,131 0,507ns Ln X2 0,674 0,169 3,984** Ln X3 0,223 0,171 1,300*
R2 = 0,954; R2-adjusted = 0,949; F–hitung = 181,665; Prob .F =0,000; DW = 1,914 Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 80%
* = nyata pada selang kepercayaan 80% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel XX diperoleh nilai koefisien
determinasi R2 = 0,954. Hal ini berarti bahwa sebesar 95,4% variasi produksi usaha
budidaya ikan patin dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X1), jumlah benih (X2)
dan jumlah pakan (X3), sedangkan sisanya sebesar 4,6% dijelaskan oleh variasi faktor-
faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik,
ketiga peubah bebas tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya (produksi ikan patin/Y). Namun berdasarkan
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
38
uji t-statistik (pasrial), dari ketiga peubah bebas tersebut ternyata hanya peubah (X2) yang
berpengaruh nyata pada selang kepercayaan 99% dan peubah (X3) yang berpengaruh
nyata pada selang kepercayaan 80% dengan arah (sign) positif, sedangkan peubah lainnya
yakni luas kolam (X1) belum menunjukkan pengaruh yang nyata pada taraf nyata 80% dan
95%. Di samping itu, hasil pendugaan tersebut diperoleh nilai DW sebesar 1,914, yang
berarti bahwa model persamaan yang digunakan tidak terdapat indikasi autokorelasi.
Dengan demikian secara statistik maupun ekonomi, model persamaan yang digunakan
dalam analisis fungsi produksi dalam penelitian ini dapat dipandang sebagai model yang
valid untuk digunakan dalam analisis lebih lanjut.
Hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan patin dengan menggunakan tiga
variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 1 dapat dituliskan dalam bentuk persamaan
sebagai berikut :
Ln Y = -0,059 + 0,066 Ln X1 + 0,674 Ln X2 + 0,223 Ln X3 ………..………...............(1)
sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan Cobb-
Douglas, Persamaan (1) ditulis kembali menjadi:
Y = 0,943X10,066X2
0,674X30,223.......................................................................................(2)
3.2.2.2. Analisis Skala Usaha
Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X1),
jumlah benih (X2),dan jumlah pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas
masing-masing sebesar 0,066; 0,674; dan 0,223, sehingga besarnya nilai penjumlahan
koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi adalah sebesar
0,963 (e<1). Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha
budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin berkurang” (decreasing return
to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan)
secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu, maka akan memberikan
proporsi penambahan hasil produksi yang lebih kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa
kegiatan budidaya patin di Kabupaten Jambi ini telah memasuki daerah ketiga dari fungsi
produksi, sebagai akibat dari adanya fenomena diminishing marginal return.
Dari nilai koefisien regresi tersebut hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada
Tabel 13. dan Persamaan 2, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan luas
kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,066%. Namun dari
hasil pengujian t-satistik untuk peubah luas kolam terbukti tidak menunjukkan pengaruh
yang nyata terhadap hasil produksi ikan patin tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa upaya
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
39
meningkatkan hasil produksi ikan patin melalui penambahan luas kolam belum tentu akan
memberikan hasil yang diinginkan.
Selanjutnya, dari hasil Tabel 13 dan Persamaan 2, setiap penambahan sebanyak 1%
benih, ceteris paribus, akan meningkatkan produksi ikan patin sebanyak 0,674%.
Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan sebanyak 1%, ceteris
paribus akan meningkankan produksi ikan patin sebanyak 0,223%. Hal ini diduga karena
semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka selain jumlah yang
dihasilkan semakin banyak, bobot ikan diduga akan meningkat semakin cepat, sehingga
produksi ikan juga akan meningkat.
3.2.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi
Analisis efisiensi ekonomi alokatif dapat ditentukan dengan menghitung
perbandingan Nilai Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk
setiap faktor produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada
kondisi tersebut penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan
BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai
kurang dari 1, artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan
BKM untuk setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi
optimum belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor
produksi harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan
1. Berdasarkan hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM
untuk masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 14.
Tabel 14. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-Faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Patin Muaro Jambi
Variabel Satuan Penggunaan
Rata-Rata Aktual
Koefisien Regresi
NPM BKM NPM/BKM
Input Optimal
Luas Kolam (X1) m2 2.412 0,066 7.475,58 10.892 0,686 1.655
Jumlah Benih (X2) ekor 36.767 0,674 4.867,00 4.200 1,159 54.690
Jumlah Pakan (X3) Kg 37.449 0,223 1.626,83 1.000 1,627 10.837
Sumber: Data Primer Diolah (2011)
Dari Tabel 14. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan
rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada
usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi
menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha pembesaran ikan patin di
Jambi tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
40
dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha
tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama.
Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas kolam (X1) lebih kecil dari satu,
sedangkan jumlah benih (X2) dan jumlah pakan (X3) lebih besar dari satu, yaitu masing-
masing sebesar 0,686 (X1), 1,159 (X2), dan 1,627 (X3). Agar kondisi optimal dapat tercapai,
maka faktor produksi luas kolam dan jumlah pakan perlu dikurangi, sedangkan benih perlu
ditambah hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor produksi tersebut sama dengan
satu. Dengan kata lain, luas kolam (X1) dan pakan (X3) perlu dikurangi masing-masing
menjadi 1.655,-m2 per kolam dan 10.837,- kg per kolam, sedangkan penggunaan faktor
produksi benih (X2) perlu ditambah menjadi 54.690 ekor per kolam.
Penambahan faktor produksi benih sebanyak 17.923 ekor tersebut diduga harus
dilakukan karena rendahnya SR (Survival Rate) ikan patin yang dibudidayakan, yang
mungkin disebabkan oleh kondisi perairan yang tidak mendukung. Sehingga untuk
mengatasi hal tersebut dilakukan upaya penebaran benih dengan jumlah yang lebih banyak,
dengan harapan ikan yang hidup lebih banyak. Selain itu perlu juga dilakukan penambahan
obat-obatan untuk mencegah kematian ikan patin, terutama pada saat awal budidaya
(setelah penebaran). Sedangkan pengurangan jumlah pakan diduga karena banyaknya
pakan yang terbuang akibat tidak termakan oleh ikan atau rendahnya kualitas pakan yang
diberikan,sehingga meskipun pakan yang diberikan dalam jumlah banyak tidak akan
memacu pertambahan berat ikan, sehingga biaya operasional (untuk pembelian pakan)
terbuang percuma. Untuk meminimalisir pengeluaran biaya operasional dapat dilakukan
dengan mengurangi jumlah pakan yang diberikan, namun sebagai gantinya harus dicari
jenis pakan lainnya yang lebih baik. Seperti yang terlihat pada Gambar 10. berikut.
Gambar 10. Perbedaan Penggunaan Benih (ekor) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan
Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
41
Gambar 11. Perbedaan Penggunaan Luas Kolam (m2) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi
Gambar 12. Perbedaan Penggunaan Pakan (kg) dan Hasil Produksi Pada Kondisi Aktual dan Optimal pada Budidaya Ikan Patin di Kab. Muaro Jambi
3.2.3. Daya saing komoditas
Komoditas ikan Patin merupakan salah satu komoditas unggulan dan Indonesia
mempunyai beberapa sentra produksi ikan Patin yang cukup potensial. Ikan Patin
mempunya pangsa pasar sangat besar baik di dalam maupun di luar negeri. Indonesia
bersaing dengan Vietnam dalam penguasaaan pangsa pasar ikan Patin. Biaya produksi di
Negara Vietnam yang lebih rendah dibandingkan di Indonesia, menyebabkan Indonesia sulit
untuk menggeser posisi Vietnam menjadi produsen utama ikan patin. Namun demikian
Indonesia tetap berupaya untuk meningkatkan daya saing produk patin. Salah satunya
adalah dengan meningkatkan daya saing produk di masing-masing sentra produksi.
Sentra produksi yang menjadi lokasi penelitian adalah Kabupaten Muaro Jambi
Provinsi Jambi, yang produk patinnya dipasarkan di pasar lokal saja. Oleh karena itu, untuk
melihat daya saing produk Patin dari Kab. Muaro Jambi ini, perbandingan akan dilakukan
dengan produksi Patin dari Kabupaten Katingan Provinsi Kalimantan Tengah. Daya saing
produk ikan patin dihitung dengan menggunakan metode Policy Analysis Matrix (PAM). Nilai
Private diperoleh dari pengumpulan data lapangan di Kab. Muaro Jambi dan nilai sosial
diperoleh dari hasil penelitian Balai Besar Riset Sosial Ekonomi tahun 2010, berjudul
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
42
Evaluasi Sosial Ekonomi Praktek Budidaya.Hasil analisis PAM dapat dilihat pada Tabel 15.
di bawah ini.
Berdasarkan hasil penelitian dengan asumsi jumlah produksi per tahun sebesar
43.099 kg , luas kolam 2.412 m2 dan harga jual Rp 13.330/kg, bahwa produksi ikan Patin di
Kab. Muaro Jambi mempunyai nilai daya saing yang lebih tinggi dibandingkan produksi patin
di Kab. Katingan. Hal ini dapat dilihat dari perhitungan nilai Domestic Factors Costs Ratio
(DFCR) sebesar 0,83, Tradable Input Costs Ratio (TICR) sebesar 0,75 dan Total Costs
Ratio (TCR) sebesar 0,75. Pada Tabel xx, walaupun penerimaan di Muaro Jambi
(Rp.574.506.865) lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan di Kab. Katingan (Rp.
668.031.239), tetapi biaya input produksi dan faktor produksi di Muaro Jambi lebih rendah
dibandingkan di Katingan. Biaya input produksi meliputi pakan, benih, garam, dolomite,
vitamin, dan BBM, sedangkan biaya faktor produksi meliputi tenaga kerja, biaya perawatan,
pajak lahan, retribusi, dan depresiasi asset.
Tabel 15. Policy Analysis Matrix (PAM) Budidaya Patin Muaro Jambi
Penerimaan
(Rp)
Biaya
Profit Input
Faktor Produksi
Private 574.506.865 434.299.759 21.692.322 118.514.784
Social 668.031.239 574,523.752 25.997.635 67.509.852
Efek Divergensi
(93.524.373) (140.223.992) (4.305.314) 51.004.933
Domestic Factors Costs Ratio = 0,83 Tradable Input Costs Ratio = 0,75 Total Costs Ratio = 0,76
Biaya input produksi ikan Patin di Muaro Jambi (Rp.434.299.759) lebih rendah
dibandingkan dengan biaya input produksi di Kab. Katingan (Rp 574.523.752). Biaya input
di Katingan yang lebih tinggi, disebabkan oleh biaya pakan dan benih di Muaro Jambi yang
rendah dibandingkan di Kab. Katingan. Di Muaro Jambi, membutuhkan biaya pakan
sebesar Rp.415.714.822, sedangkan di Katingan, biaya pakan mencapai Rp 480.628.352.
Biaya pakan di Muaro Jambi ini 13.5% lebih rendah dibandingkan di Katingan. Di Muaro
Jambi, pakan yang digunakan adalah pakan buatan dan juga pakan pabrikan. Harga pakan
buatan di Muaro Jambi berkisar Rp 3.000 – Rp 4.000/kg. Di Katingan, pakan yang
digunakan adalah pakan buatan dengan harga berkisar Rp.6.500/kg.
Begitu pula biaya benih, di Katingan biaya benih lebih tinggi 61.5% dibandingkan
dengan biaya benih di Muaro Jambi. Biaya benih di Muaro Jambi berkisar Rp.15.786.311,
sedangkan di katingan mencapai Rp.25.503.982. Rata-rata harga benih di Muaro Jambi
berkisar Rp 200/ekor (ukuran benih 2-3 inchi), sedangkan di Katingan mencapai Rp
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
43
325/ekor (3-4 inchi). Selain itu di Kab. Muaro Jambi, terdapat UPR setempat yang dapat
memenuhi kebutuhan benih para pembudidaya. Di Kec. Pudak, terdapat 3 unit UPR dan
juga BBI. Sedangkan di Kab. Katingan, kebutuhan benih para pembudidaya tergantung
dengan pasokan benih dari Jawa Barat (Bogor, Subang dan Sukabumi). Berdasarkan dua
variable ini (Pakan dan Benih) menyebabkan nilai TICR sebesar 0,75. Perbandingan biaya
input produksi antara Kabupaten Muaro Jambi dan Kab. Katingan dapat dilihat pada Tabel
16 di bawah ini.
Tabel 16. Perbandingan Biaya Input Produksi Muaro Jambi dan Katingan
Kabupaten
Input Produksi
Pakan Benih
Total Biaya Pakan (Rp)
Harga Pakan (Rp/kg)
Total Biaya
Benih (Rp)
Ukuran benih (Inchi)
Harga Benih
(Rp/ekor)
Muaro Jambi 415,714,822 3.000 - 4.000 15,786,311 2 - 3 200
Katingan 480,628,352 6,500 25,503,982 3 - 4 350
Sumber: Data primer diolah, 2011, dan BBRSE, 2010
Analisis sensitivitas input produksi dilakukan pada variable pakan dan benih. Karena
biaya produksi yang paling besar adalah pakan (91.17%) dan benih (3.46%). Nilai daya
saing produk Patin di Muaro Jambi akan mengalami penurunan dan menyamai Katingan,
jika terjadi kenaikan harga pakan sebesar 34%, ceteris paribus, atau jika harga benih naik
hingga 888%, ceteris paribus. Sehingga dapat dikatakan bahwa daya saing Input Produksi
Patin Muaro Jambi cukup sensitif terhadap perubahan harga pakan.
Dari sisi Faktor produksi, faktor yang paling dominan menyumbang bagi biaya
produksi adalah harga lahan. Analisis sensitivitas yang dilakukan pada variable kolam,
menunjukkan bahwa nilai daya saing produk Patin di Kab. Muaro Jambi akan mengalami
penurunan dan menyamai Katingan, jika terjadi kenaikan harga lahan hingga sebesar 428%.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa daya saing faktor domestic tidak terlalu sensitif terhadap
perubahan harga kolam.
3.2.4 Karakteristik Pasar
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran ikan Patin adalah
pembudidaya, pedagang besar dan pedagang pengecer. Kabupaten Muaro Jambi,
khususnya Kecamatan Pudak adalah salah satu sentra produksi ikan Patin. Di kecamatan
Pudak terdapat 10 kelompok pembudidaya yang terdiri dari 15 – 20 orang pembudidaya per
kelompok, 10 orang pedagang pengecer dan 1 unit pengolah ikan Patin. Sedangkan
pedagang besar terdapat di Kota Jambi. Jumlah pembudidaya yang menjadi responden
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
44
berjumlah 30 orang, responden pedagang pengecer berjumlah 10 orang dan 1 orang
responden pedagang besar/agen.
Berdasarkan hasil wawancara dengan responden pembudidaya, sebagian besar
hasil panen ikan patin dijual langsung ke pedagang besar, dan sisanya dijual ke kelompok
pedagang pengecer. Target pasar produk Patin adalah Pasar Angso Duo dan Pasar Baru di
Kota Jambi. Pembudidaya menjual hasil panennya ke pedagang besar/Agen besar,
kemudian mendistribusikan ikan Patin ke pasar lokal (Pasar Angso Duo dan Pasar Baru)
dan pasar di provinsi lain, yaitu Sumatera Selatan (Palembang) dan Bengkulu. Selain dijual
ke pedagang ikan, pembudidaya pun menjaul ikannya ke pengolah produk perikanan. Di
Kecamatan Pudak terdapat satu unit pengolah produk hasil perikanan. Ikan Patin diolah
menjadi abon dan krupuk ikan Patin. Target pasar abon dan krupuk ini masih terbatas di
Kota Jambi saja. Adapun saluran pemasaran tersebut memiliki pola saluran pemasaran,
yaitu:
1. Saluran I : pembudidaya – pedagang besar di Kab. Muaro Jambi - pedagang besar di
provinsi lain - pedagang pengecer di provinsi lain – kosumen rumah tangga
dan konsumen lembaga
2. Saluran II : pembudidaya – pedagang besar di Kab. Muaro Jambi - pedagang
pengecer – kosumen rumah tangga dan konsumen lembaga
3. Saluran III: pembudidaya – pedagang pengecer – kosumen rumah tangga dan
konsumen lembaga
Gambar berikut menunjukkan aliran produk Patin di Kab. Muaro Jambi. Untuk itu
lembaga pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran ikan Patin di Kabupaten
Muaro Jambi terdiri dari pembudidaya, pedagang pengecer, dan pedagang
besar/agen
Pembudidaya
Pedagang
Besar (Jambi)
Pengecer Luar
Kota
Agen di
Propinsi Lain
Pengecer Lokal Konsumen Lokal
Konsumen Luar
Gambar 13. Rantai Pemasaran Komoditas Patin Muaro jambi
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
45
Jumlah penjual lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pembeli sehingga ciri-ciri
demikian menunjukkan struktur pasar monopsoni. Sedangkan yang pemasaran ikan Patin
dikuasai oleh 1 (satu) orang pedagang besar. Pedagang besar ini mempunyai peran penting
dalam mengatur harga jual patin di pasar. Pedagang besar ini pula yang mempunyai
informasi pasar, tidak saja informasi di Provinsi Jambi tetapi juga di provinsi lain, yaitu
Sumatera Selatan dan Bengkulu. Dari sisi pedagang, berarti stuktur pasar ikan patin
mempunyai kecenderungan bersifat monopoli. Struktur Pasar dapat dilihat pada Tabel 17. di
bawah ini.
Tabel 17. Struktur Pasar Ikan Patin Kecamatan Pudak, Kabupaten Muaro Jambi, 2011
Tingkat Pasar Jumlah
Pembudidaya Banyak (±150 orang) Pedagang Besar 1 Pedagang Pengecer Banyak
Sumber: Data Primer, 2011
3.2.4.1 Fungsi Pemasaran Ikan Patin di Kabupaten Muaro Jambi
Fungsi Pemasaran adalah kegiatan utama yang khusus dilaksanakan untuk
menyelesaikan proses pemasaran. Fungsi pemasaran bekerja melalui lembaga pemasaran
atau stuktur pemasaran. Fungsi tataniaga ini harus dikerjakan oleh produsen dan mata
rantai saluran barang-barangnya, lembaga-lembaga lain yang terlibat dalam proses
pemasaran misalnya usaha pengangkutan, bank, badan asuransi, dan sebagainya maupun
konsumen (http://agrimaniax.blogspot.com/2010/05/fungsi-fungsi-pemasaran.html diunduh
tanggal 15 Desember 2011). Fungsi pemasaran ikan Patin di Kab. Muaro Jambi adalah
fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pembelanjaan/pembiayaan,
penanggungan resiko, standarisadi dan grading, informasi pasar. Fungsi pemasaran dan
pelaku pasar dapat dilihat pada Tabel 18 di bawah ini.
Tabel 18. Fungsi Pemasaran Ikan Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011
Fungi Pemasaran Pelaku Usaha
Pembelian Pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir
Penjualan Pembudidaya, pedagang besar dan pedagang pengecer
Pengangkutan Pedagang besar, pedagang pengecer
Penyimpanan Pedagang besar, pedagang pengecer
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
46
Pembelanjaan/pembiayaan Pembudidaya, pedagang besar & pedagang eceran
Penanggungan resiko Pedagang besar
Standarisasi dan grading Pedagang besar & pedagang pengecer
Informasi pasar Pedagang
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
3.2.4.2 Marjin Pemasaran Ikan Patin Di Kabupaten Muaro Jambi
Marjin harga yang dihitung pada kegiatan penelitian ini adalah harga beli pasar
dikurangi harga jual pasar. Berdasarkan hasil penelitian, pedagang besar memperoleh
marjin sebesar Rp. 1.400/kg. Pedagang besar membeli ikan Patin pada pembudidaya
sebesar Rp.14.600/kg dan menjualnya ke pedagang pengecer sebesar Rp. 16.000/kg dan
Rp 17.000/kg ke konsumen. Pedagang pengecer membeli ikan Patin sebesar Rp.14.700/kg
dan menjualnya ke konsumen sebesar Rp.17.000/kg. Marjin yang diperoleh oleh pedagang
pengecer adalah sebesr Rp 2.300/kg.
Tabel 19. Marjin Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011
Saluran Pembudidaya Pedagang besar Pedagang pengecer
Konsumen Akhir
Harga Beli 14.600 14.700 17.000
Harga Jual 14.600 16.000 17.000 -
Marjin 1.400 2.300 -
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Dalam menjalanan fungsi pembelian, pedagang pengecer tidak hanya mengeluarkan
biaya pemasaran untuk membeli ikan tetapi juga untuk transportasi, upah dan retribusi
pasar. Biaya transportasi dan upah angkut memerlukan biaya sebesar Rp 59.000/hari. Ikan
Patin yang diangkut sebanyak 60 kg/hari, sehingga biaya transportasi dan upah memerlukan
biaya Rp 983/kg. Pedagang pengecer harus membayar retribusi pasar sebesar Rp4000/hari.
Total biaya yang harus dikeluarkan oleh pedagang pengecer adalah Rp 983/kg. Pedagang
besar dalam menjalankan fungsi pemasarannya menggunakan alat angkut mobil pick up
yang mengangkut sebanyak 700 kg ikan per trip. Pengiriman dilakukan ke dalam kota yaitu
Pasar Angso Dua dan Pasar Baru, dan ke luar kota yaitu ke Palembang dan Bangko.
Pengiriman dalam kota membutuhkan biaya Rp 154.000/trip yang terdiri dari biaya
transportasi dan upah sebesar Rp 150.000/trip dan retribusi sebesar Rp 4000/trip, sehingga
biaya pemasaran yang dikeluarkan sebesar Rp 220/kg. Biaya yang dikeluarkan untuk
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
47
pengiriman luar kota sebesar Rp 600.000/trip atau sebesar Rp 857/kg. Biaya pemasaran
yang dikeluarkan oleh pedagang besar dan pedagang pengecer dapat dilihat pada Tabel 20.
di bawah ini.
Tabel 20. Biaya Pemasaran Patin Kabupaten Muaro Jambi, 2011
Pelaku Pemasaran
Biaya Pemasaran
Retribusi (Rp)
Transportasi & Upah (Rp)
Jumlah (Rp)
Total Biaya
(Rp/kg)
Pedagang Pengecer 4.000 55.000 59.000 983
Pedagang besar
- Dalam kota 4.000 150.000 154.000 220
- Luar Kota (Palembang & Bangko)
- 600.000 600.000 857
Sumber: Data Primer diolah, 2011
3.2.5 Investasi dan Potensi pengembangan Usaha
Perhitungan analisa budidaya ikan patin, tidak membedakan pada luasan lahan atau
musim. Pembudidaya yang menjadi responden dalam penelitian ini tergabung dalam satu
kelompok pembudiya ikan. Investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya antara lain
lahan, kolam, sarana pendukung seperti rumah jaga, pompa air, gudang pakan,lampu
neon/petromak, generator/genset, timbangan, serokan, lori dan harpa.. Mayoritas lahan
yang dimiliki oleh pembudidaya adalah lahan milik sendiri. Secara rinci, investasi usaha atau
jenis aset yang dimiliki oleh pelaku usaha budidaya patin dapat dilihat pada Tabel 21.
Tabel 21. Investasi Usaha Budidaya Patin di Muaro Jambi 2011
Jenis Aset Jumlah Satuan Nilai
Kolam 2.412 m2 26.274.859
Rumah Jaga 1 Unit 2.845.833
Pompa Air 1 Unit 1.814.583
Gudang Pakan 1 Unit 5.500.000
Lampu Neon/Petromak 2 Unit 44.591
Generator/Genset 1 Unit 1.136.200
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
48
Timbangan 1 Buah 315.833
Serokan 7 Buah 164.043
Lori/Lainnya 1 Buah 382.778
Harpa/Lainnya 3 Buah 716.458
Total 39.195.180
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya patin, dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri dari tenaga
kerja persiapan lahan, tenaga kerja panen, pajak lahan produksi, retribusi dan biaya
perawatan. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembudidaya adalah benih, pakan,
obat-obatan/vitamin, dolomit dan BBM. Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya
operasional rata-rata yang dikeluarkan dalam satu tahun untuk usaha budidaya patin tersaji
pada Tabel 22.
Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp
21.663.575. Biaya tetap terdiri dari tenaga kerja persiapan lahan sebesar Rp Rp 6.302.090,
tenaga kerja panen Rp 5.657.206, pajak lahan produksi Rp 28.758, retribusi Rp 368.750 dan
biaya perawatan 6.219.485. Retribusi pada usaha budidaya patin adalah biaya yang
dikeluarkan oleh pembudidaya ketikan panen kepada kelompok sebesar Rp 25/kg/panen.
Namun hal ini hanya berlaku pada kelompok tertentu dan tidak semua kelompok
memberlakukan hal yang sama. Untuk pemeliharaan setiap harinya pembudidaya
melakukan secara mandiri dan tidak mempunyai tenaga kerja yang diupah per bulan.
Tabel 22. Struktur Biaya Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi 2011
Unit : 1 Tahun
Uraian Jumlah Satuan Nilai
Biaya Tetap Depresiasi Asset 1 Tahun 3.116.033 Tenaker Persiapan Lahan (Utk sedot air) 37 OH 6.302.090 Tenaker Panen 120 OH 5.657.206 Pajak Lahan Produksi 1 Tahun 28.758 Retribusi 1 Tahun 368.750 Biaya Perawatan 1 Tahun 6.219.485
Total 21.692.322
Biaya Operasional
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
49
Garam 531 Kg 704.302 Dolomit 875 Kg 580.274 Benih 78.474 ekor 15.786.311 Vitamin 2 Botol 10.125 Pakan 73.943 Kg 415.714.822 BBM 292 L 1.503.926
Total 434.299.759
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Lebih lanjut dalam pengelolaan ikan patin biaya operasional yang diperlukan sebesar
Rp 434.299.759/tahun untuk pembelian benih, vitamin, pakan, BBM dan dolomit. Biaya yang
dikeluarkan untuk pembelian benih/bibit sebesar Rp 15.786.311, pakan Rp. 415.714.822,
vitamin Rp 10.125, dolomit Rp 580.274, garam Rp 704.302 dan BBM Rp 1.503.926. Dalam
1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp 610.974.586 dimana hasil panen
yang didapatkan sebesar 44.446 Kg dengan harga jual Rp 13.747/Kg. Harga ikan patin
ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar. Ketika penelitian ini dilakukan
harga jual patin antara Rp 12.000 – Rp 14.700 di tingkat pembudidaya. Keuntungan yang
diperoleh oleh pembudidaya dalam 1 tahun sebesar Rp 154.982.505 dengan RC ratio 1,3
dan hal ini menunjukkan usaha budidaya ini layak dikembangkan. Hasil produksi ikan patin
per tahun yang diperoleh pembudidaya memberikan kontribusi dalam ekonomi keluarga.
Secara lengkap analisa usaha budidaya patin dapat dilihat pada tabel 23. di bawah ini.
Tabel 23. Analisis Usaha Budidaya Patin Muaro Jambi, 2011
Uraian Nilai
Investasi (Rp) 495.187.261
Biaya Tetap (FC) 21.692.322
Biaya Variabel (VC) 434.299.759
Total Biaya (TC = FC + VC) (Rp) 455.992.081
Penerimaan (Rp) 610.974.586
Keuntungan (Rp) 154.982.505
R/C 1,3
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
50
3.3. Komoditas Gurame Kabupaten Banyumas
3.3.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Kabupaten Banyumas merupakan wilayah yang mempunyai potensi perikanan cukup
besar. Ketersediaan lahan potensial untuk sektor perikanan baik di kolam dan mina padi
seluas 10.630 Ha dan baru termanfaatkan 538 Ha, oleh karena itu lahan seluas 10.092 Ha
masih dapat dikembangkan mengingat kondisi geografis Kabupaten Banyumas yang berada
pad ketinggain 0=300 m dpl yang sesuai untuk budiaya ikan. (Dinas Peternakan dan
Perikanan Kab. Banyumas, 2009). Melihat potensi yang ada dan kesesuian dengan
komoditas yang dapat dikembangkan, maka ikan gurame menjadi komoditas unggulan yang
bernilai ekonomis tinggi.
Usaha budidaya ikan gurame yang berkembang saat ini di Kabupaten Banyumas
banyak dilakukan secara berkelompok. Kelompok pembudidaya ikan (Pokdakan) tersebut
terdiri dari kelompok pembenihan, kelompok pembesaran, kelompok pemasaran. Di
samping itu terdapat juga kegiatan yang bertujuan untuk memberikan nilai tambah pada
produk perikanan dengan membuat olahan ikan, sehingga terbentuk kelompok pengolah.
Berdasarkan data yang diperoleh dan terkait dengan program minapolitan maka telah
dipetakan berdasarkan kegiatan usaha budiddaya. Untuk kawasan pembenihan dipusatkan
di wilayah kedungbanten dengan wilayah Kecamatan Kedungbanteng, Baturaden dan
Karanglewas. Sentra kawasan pembesaran yang dipusatkan pada kecamatan Sokaraja
dengan wilayah Kecamatan Sokaraja, Sumbang dan Kembaran. Sementara sentra kawasan
pemasaran yang berpusat di kecamatan Ajibarang dengan wilayah Kecamatan Ajibarang
dan Cilongok. Sentra kawasan industri olahan berada berpusat di Kecamatam Sumpiuh
dengan wilayah Kecamatan Sumpiuh dan Kemranjen.
Usaha budidaya ikan gurame di Kabupaten Banyumas dilakukan sepanjang tahun
baik musim kemarau maupun musim penghujan, dimana dalam usaha pembesaran lama
pemeliharaan ikan hingga panen dalam 1 siklusnya selama 4- 5 bulan. Umumnya budidaya
ikan gurame dilaksanakan oleh pembudidaya dengan teknologi semi intensif yaitu dalam
pemeliharaan menggunakan pakan buatan disamping pakan alami dan telah dilakukan
pengaturan kualitas air, namun belum secara terukur dan terkontrol.( Bank Indonesia, 2008).
Pola budidaya ikan gurame yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Banyumas
mayoritas adalah pola budidaya tunggal (monoculture), dimana dalam satu unit lahan usaha
hanya satu jenis ikan yang dipelihara. Budidaya ikan gurame dapat dibagi dalam beberapa
kelompok yaitu pembenihan, pendederan dan pembesaran. Dalam tulisan usaha budidaya
gurame yang dibahas adalah tahap pembesaran.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
51
Pemeliharaan gurame di Kabupaten Banyumas dilakukan menjadi empat proses
yaitu persiapan kolam, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran. Tahap persiapan
dilakukan selama 2 minggu dimana pembudidaya melakukan pembersihan kolam,
pemberian kapur, pengisian air, pengukuran air (PH 6-7) dan pengukuran suhu air (23 – 25
C). Tahap pemeliharaan yaitu penebaran bibit dan pemberian pakan, sementara tahap
pemanenan dengan cara dijaring secara perlahan dengan tujuan agar ikan tidak rusak.
Proses pemanenan gurame mayoritas dilakukan oleh pembeli (pedagang pengumpul),
dimana pedagang pengumpul menyediakan tenaga kerja panen dan sarana untuk panen
seperti timbangan dan tempat ikan. Tahap terakhir adalah tahap pemasaran dimana setelah
dipanen dilakukan penimbangan dan dimasukan ke dalam tempat ikan/drum kemudian
diangkut ke dalam mobil/pick up.
Berdasarkan hasil wawancara dengan 2 kelompok pembudidaya pembesaran,
bahwa usaha budidaya ikan gurame dikendalikan oleh kelompok. Peran kelompok sangat
besar dikarenakan kebutuhan input produksi seperti benih/bibit, pakan, lahan dan sarana
produksi dikelola oleh kelompok. Salah satu kelompok kegiatan usaha ini dibawah
koordinasi seksi usaha. Seksi usaha menjadi ujung tombak keberhasilan usaha budidaya
gurame. Seksi usaha mempunyai tanggung jawab untuk menentukan masa tanam gurame,
seksi usaha mengatur mulai dari jumlah benih/bibit yang ditebar hingga masa panen dan
pemasaran termasuk dengan harga jual. Proses pemanenan, jumlah tenaga kerja dan
sarana/prasarana yang diperlukan hingga sampai ke pembeli pertama kesemua berada di
seksi usaha. Pembudidaya hanya melakukan kegiatan pemeliharaan seperti pemberian
pakan dan pembersihan lingkungan kolam, tetapi terdapat pula pembudidaya yang
menyerahkan urusan pemeliharaan juga kepasa seksi usaha. Seksi usaha pada kelompok
ini juga bertindak sebagai pedagang pengumpul 1.
Informasi yang didapatkan dari kelompok lain, pada dasarnya hampir sama tetapi
yang bertanggung jawab terhadap ketersediaan lahan, benih/bibit dan pakan adalah
pengurus kelompok (ketua kelompok). Sementara untuk kegiatan pemanenan dan
pemasaran dikelola oleh salah satu anggota kelompok yang juga sebagai pedagang
pengumpul 1. Pedagang pengumpul pertama ini bertindak atas nama pribadi. Lahan yang
digunakan untuk budidadaya adalah lahan desa (bengkok).
Perhitungan analisa budidaya ikan gurame konsumsi, tidak membedakan pada
luasan lahan atau musim. Investasi yang diperlukan untuk usaha budidaya antara lain
lahan/kolam, sarana pendukung seperti serokan/seser, tempat ikan, timbangan, pompa air,
jaring. Namun demikian, pada kelompok yang dijadikan sample responden mayoritas
responden tidak mempunyai investasi, hanya beberapa responden yang mempuyai asset
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
52
yang diperlukan untuk budidaya gurame dan responden tersebut berstatus sebagai
pengurus kelompok. Mayoritas lahan yang dimiliki oleh pembudidaya adalah lahan sewa
dan biaya sewa lahan dikategorikan dalam biaya tetap. Aset usaha yang berupa peralatan
pendukung usaha budidaya adalah milik kelompok. Secara rinci, investasi usaha atau jenis
aset yang dimiliki oleh pelaku usaha budidaya gurame dapat dilihat pada Tabel 24.
Tabel 24. Investasi Usaha Budidaya Gurame Banyumas, 2011
Jenis Aset Jumlah Satuan Nilai
Pembuatan Kolam 1.205 M² 3.641.200,49
Pompa air 1 Unit 2.500.000
Gudang Pakan 1 Unit 5.000.000
Tempat Ikan 32 Unit 817.880
Timbangan 2 Unit 412.500
Serokan 2 Unit 42.759
Jaring 1 Unit 533.333
Total 12.947.672
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya gurame, dapat dikategorikan menjadi
dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri dari pajak
lahan produksi, retribusi, sewa lahan produksi dan biaya perawatan. Biaya operasional yang
dikeluarkan oleh pembudidaya adalah benih, pakan, obat-obatan/vitamin dan bagi hasil.
Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya operasional rata-rata yang dikeluarkan
dalam satu tahun untuk usaha budidaya gurame tersaji pada Tabel 25.
Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp
4.621.532. Biaya tetap terdiri dari pajak lahan produksi sebesar Rp 11.167, sewa lahan
produksi Rp 1.285.909, tenaga kerja panen Rp 135.000, biaya perawatan 1.259.276 dan
bagi hasil kelompok Rp 657.539. Terkait dengan sewa lahan, lahan yang dijadikan kolam
budidaya adalah lahan desa (bengkok), dimana lahan ini disewakan kepada kelompok
pembudidaya. Biaya sewa tergantung pada lokasi, dimana besaran sewa per kolam antara
Rp 300.000 – Rp 450.000/kolam/tahun. Biaya perawatan yang dimaksud adalah biaya yang
dikeluarkan oleh pembudidaya untuk melakukan persiapan lahan dimana persiapan lahan
dilakukan selama 2 kali dalam 1 tahun. Sementara bagi hasil diartikan sebagai “bunga”
dengan besaran 15% dari modal benih dikarenakan pembudidaya membeli benih dari
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
53
kelompok dan “bunga” ini dikembalikan kepada kelompok untuk dijadikan modal usaha
kelompok. Untuk pemeliharaan setiap harinya pembudidaya melakukan secara mandiri dan
tidak mempunyai tenaga kerja yang diupah per bulan.
Tabel 25. Struktur Biaya Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011 (Rp/Thn)
Unit : 1 Tahun
Uraian Jumlah Satuan Nilai
Biaya Tetap
Penyusutan Aset 1 Tahun 1.429.606
Pajak Lahan Produksi 1 Tahun 11.167
Sewa Lahan Produksi 1 Tahun 1.285.909
Tenaga Kerja Panen 1 Tahun 135.000
Biaya Perawatan 1 Tahun 1.259.276
Bagi Hasil Kelompok 1 Tahun 657.539
Total Biaya Tetap 4.621.532
Biaya Operasional
Benih 697 Kg 23.046.880
Pakan 1.919 Kg 15.120.853
Pakan Tambahan 416 Kg 3.705.526
Obat-Obatan 1 Paket 230.662
Kapur 22 Sak 406.735
Garam 44 sak 171.607
Total Biaya Operasional 42.682.262
Total Biaya 47.303.794
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Lebih lanjut dalam pengelolaan ikan gurame biaya operasional yang diperlukan
sebesar Rp 42.682.262/tahun untuk pembelian benih, obat-obatan, vitamin, pakan buatan,
pakan tambahan, kapur dan garam. Biaya yang dikeluarkan untuk pembelian benih/bibit
sebesar Rp 23.046.880, pakan buatan Rp 15.120.853, pakan tambahan Rp 3.705.526, obat-
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
54
obatan/vitamin Rp 230.662, kapur Rp 406.735 dan garam Rp 171.607. Pakan buatan yang
digunakan oleh pembudidaya adalah paka pelet sedangkan pakan tambahan adalah pakan
alami berupa daun sente (alocasia macrorrhiza) dan ampas tahun. Untuk memudahkan
mendapatkan pakan alami daun sente, maka di sepanjang pematang kolam ditanam daun
sente hal ini juga dimaksudkan untuk mengurangi biaya pembelian pakan tambahan.
Input produksi budidaya ikan gurame yaitu benih/bibit berasal dari Desa Beji
(Purwokerto), Purbalingga dan Banjarnegara. Ukuran bibit yang digunakan adalah
pembudidaya di Kabupaten Banyumas adalah korek, bungkus korek dan tampelan. Siklus
pemeliharaan gurame berlangsung antara 4 – 6 bulan tergantung dengan ukuran benih
yang digunakan. Jumlah benih yang digunakan bisa dalam ekor atau kilogram dengan harga
satuan 1000 – 1500/ekor dan Rp 22.000 – Rp 23.000/kg dengan ukuran 0,2 kg/ekor.
Dalam 1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp 70.055.501 dimana
hasil panen yang didapatkan sebesar 1.1667 Kg dengan harga jual Rp 21.741/Kg. Ukuran
ikan gurame konsumsi yang siap panen adalah 0,7-0,8 Kg/ekor. Harga ikan gurame
ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar. Ketika penelitian ini dilakukan
harga jual gurame konsumsi terus mengalami peningkatan di tingkat pembudidaya yaitu dari
Rp 21.000/Kg menjadi Rp 23.000/Kg. Ukuran gurame konsumsi yang diminati oleh
konsumen berkisar 500-700 gram/ekor. Keuntungan yang diperoleh oleh pembudidaya
dalam 1 tahun sebesar Rp 68.568.085 dengan RC ratio 1,5 dan hal ini menunjukkan usaha
budidaya ini layak dikembangkan. Hasil produksi gurmai per tahun yang diperoleh
pembudidaya memberikan kontribusi yang besar dalam ekonomi keluarga dikarenakan
usaha ini merupakan usaha sampingan bagi responden. Secara lengkap analisa usaha
budidaya gurame dapat dilihat pada tabel 26. di bawah ini.
Tabel 26. Analisa Usaha Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas, 2011
Uraian Nilai
Investasi (Rp) 12.947.672
Biaya Tetap (FC) 4.621.532
Biaya Variabel (VC) 42.682.262
Total Biaya (TC = FC + VC) (Rp) 47.303.794
Penerimaan (Rp) 68.568.085
Keuntungan (Rp) 21.264.291
R/C 1,5
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
55
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
3.3.2. Status dan Efisiensi Produksi
Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha pembesaran ikan
gurame di Kabupaten Banyumas adalah adalah luas kolam (X1), benih (X2), dan pakan (X3).
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 27.
Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel 17. diperoleh nilai koefisien
determinasi R2 = 0,968. Hal ini berarti bahwa sebesar 96,8% variasi produksi usaha
budidaya ikan gurame dapat dijelaskan oleh faktor produksi luas kolam (X1), padat
penebaran benih (X2) dan pakan (X3), sedangkan sisanya sebesar 3,2% dijelaskan oleh
variasi faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke dalam model. Sementara berdasarkan uji
F-statistik, ketiga peubah bebas tersebut (X1, X2, dan X3) secara bersama-sama (simultan)
berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya (produksi ikan gurame/Y), sedangkan
berdasarkan uji t-statistik (pasrial), dari ketiga peubah bebas tersebut ternyata semuanya
berpengaruh nyata pada selang keercayaan 90% (peubah X1) dan selang kepercayaan 99%
(peubah X2 dan X3) dengan arah (sign) positif, Di samping itu, hasil pendugaan tersebut
diperoleh nilai DW sebesar 1,661 yang berarti bahwa model persamaan yang digunakan
tidak memiliki indikasi autokorelasi.
Tabel 27. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas
Peubah Koefisien Regresi Standart Error t-hitung
Konstanta -0,513 0,212 -2,418
Ln X1 0,117 0,066 1,764*
Ln X2 0,108 0,043 2,528**
Ln X3 0,904 0,082 11,080**
R2 = 0,968
R2-adjusted = 0,964
F–hitung = 263,512
Prob .F =0,000
DW = 1,661
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Keterangan : ns = tidak nyata pada selang kepercayaan 90%
* = nyata pada selang kepercayaan 90% ** = nyata pada selang kepercayaan 99%
Hasil pendugaan fungsi produksi pembesaran ikan gurame dengan menggunakan
tiga variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 17. dapat dituliskan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut :
Ln Y = -0,513 + 0,117 Ln X1 + 0,108 Ln X2 + 0,904 Ln X3 ………………......………........(5)
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
56
sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan Cobb-
Douglas, Persamaan (1) ditulis kembali menjadi:
Y = 0,599X1 0,117X2
0,108X3 0,904...............................................................................................(6)
3.3.2.1 Analisis Skala Usaha
Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa luas lahan (X1), benih
(X2),dan pakan (X3) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar
0,117; 0,108; dan 0,904, sehingga besarnya nilai penjumlahan koefisien regresi atau
elastisitas dari analisis pendugaan fungsi produksi adalah sebesar 1,129 (e>1). Hasil
penjumlahan elastisitas produksi tersebut menunjukkan bahwa usaha budidaya berada
dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin bertambah” (increasing return to scale), artinya
apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama
dinaikkan dengan persentase tertentu, maka maka produksi ikan yang dihasilkan akan
meningkat dengan proporsi yang lebih besar.
Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada
Tabel XX dan Persamaan 6, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan luas
kolam sebesar 1% akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,117%. Untuk setiap
penambahan sebanyak 1% benih, ceteris paribus akan meningkatkan produksi ikan gurame
sebanyak 0,108%. Sementara untuk setiap penambahan jumlah pakan yang diberikan
sebanyak 1%, ceteris paribus akan meningkankan produksi ikan gurame sebanyak 0,904%.
Hal ini diduga karena semakin bertambahnya benih dan pakan yang digunakan, maka
pertumbuhan ikan diduga akan semakin cepat, sehingga produksi ikan juga akan
meningkat.
3.3.2.2 Efisiensi Teknis
Pada Gambar 14. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk
Kabupaten Banyumas adalah 0,95, dengan nilai terendah 0,20 dan nilai tertinggi 3,80.
Berdasarkan nilai rata-rata efisiensi tersebut dapat diketahui bahwa usaha budidaya
pembesaran ikan gurame tersebut masih memiliki kesempatan untuk memperoleh hasil
potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil maksimal. Dalam jangka pendek, secara
rata-rata pembudidaya ikan gurame di Kabupaten Banyumas berpeluang untuk
meningkatkan produksi sebesar 75% (1-(0,95/3,80)) dengan menerapkan teknologi dan
teknik budidaya yang paling efisien.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
57
Gambar 14. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas, Tahun 2011
3.3.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi
Analisis efisiensi ekonomi dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan Nilai
Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor
produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut
penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap
faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1,
artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk
setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum
belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi
harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1.
Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk
masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 28. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Pembesaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas
Variabel Satuan Penggunaan
Rata-Rata Aktual
Koefisien Regresi
NPM BKM NPM/ BKM
Penggunaan Input Optimal
Luas Kolam (X1) m2 1.130 0,117 3.682 3.021 1,201 1.352
Benih (X2) Kg 621 0,108 6.094 20.801 0,293 714
Pakan (X3) Kg 2.541 0,904 12.465 5.280 2,361 1.452
Sumber : Data Primer Diolah (2011)
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
58
Dari Tabel 15. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan
rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada
usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi
menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha pembesaran ikan gurame di
Jambi tidak efisien secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama
dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha
tersebut belum optimal pada jumlah produksi yang sama.
Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi luas kolam (X1) dan pakan (X3) lebih
besar dari satu, sedangkan benih (X2) lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing sebesar
1,201 (untuk X1), 0,293 (untuk X2), dan 2,361 (untuk X3). Kondisi ini menunjukkan bahwa
penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan belum efisien (kondisi optimum belum
tercapai). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi luas kolam dan benih
perlu ditambah, sedangkan pakan perlu kurangi hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga
faktor produksi tersebut sama dengan satu.
Berdasarkan Tabel di atas untuk mencapai alokasi penggunaan faktor produksi yang
optimal dimana dapat tercapai keuntungan yang maksimum, maka penggunaan faktor
produksi luas kolam (X1) dan benih (X2) perlu ditambah masing-masing menjadi 1.352 m2
per kolam dan 714 kg per kolam, sedangkan penggunaan faktor produksi pakan (X3) perlu
dikurangi menjadi 1.452 kg per kolam, hal ini menunjukkan bahwa pembudidaya dalam
melakukan pemberian pakan tidak memperhatikan dengan ketersediaan jumlah benih yang
ditebar, sehingga banyak pakan yang terbuang akibat tidak termakan oleh ikan.
3.3.3. Daya saing komoditas
Potensi perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dengan komoditas
unggulan yang dimiliki menjadikan persaingan pada produk perikanan. Persaingan antar
pedagang membuat pasar semakin terbuka. Oleh karena daya saya saing suatu produk
suatu wilayah menjadi penting untuk melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan
untuk memenuhi permintaan pasar. Komoditas gurame yang menjadi salah komoditas
unggulan dalam program minapolitan menyebabkan berkembangnya usaha budidaya
gurame. Persaingan. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi gurame, salah
satunya adalah Kabupaten Banyumas dan harus bersaing dengan kabupaten lain yaitu
Kabupaten Tulungagung, dimana Kabupaten Tulungagung juga menjadisalah satu sentra
gurame di Indonesia. Untuk mengukur daya saing produk gurame diukur dengan
menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM yang disusun berdasarkan biaya
faktor produksi, biaya tradables input dan harga output ikan. Berikut matrik PAM Usaha
Budidaya Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung tahun 2011.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
59
Tabel 29. Matrik PAM Pada Budidaya Gurame di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Tulungagung, 2011
Penerimaan Biaya Faktor Produksi
Biaya Tradables
Inputs
Keuntungan
Private 68.568.085,18 4.621.531,75 42.682.262,15 21.264.291,27
Social 68.568.058,18 4.573.711,55 43.898.250,24 20.096.123,39
Divergence - 47.820,20 (1.215.988,08) 1.168.167,88
Sumber : Data Primer Diolah, 2011 Total Cost Ratio = 0,98 Domestik Resource Cost Ratio (DRCR) = 1 Private Cost Ratio = 0,9
1. Analisis Keunggulan Kompetitif
Analisis keunggulan kompetitif terdiri dari keuntungan financial (private provit/PP)
dan Private Cost Ratio. Keuntungan finansial pada usaha budidaya gurame merupan selisih
antara penerimaan dari harga jual gurame (kg)/tahun dengan biaya yang dikeluarkan
dengan menggunakan harga yang dipengaruhi kebijakan pemerintah. Berdasarkan tabel xxx
biaya provit toal yang dikeluarkan/tahun di Kabupaten Banyumas sebesar Rp 47.303.793,90
yang terdiri dari input tradable Rp 42.682.262,15 dan biaya input domestik Rp 4.621.531,75
dengan pendapatan per tahun Rp 68.568.085,18 maka keuntungan finansial yang diperoleh
Rp 21.264.291,27. Sementara Di Kabupaten Tulungagung menunjukkan keuntungan lebih
rendah yaitu sebesar Rp 20.096.123,39. Hal ini menunjukkan bahwa secara finansial
pengusahaan budidaya gurame di Kabupaten Banyumas relatif lebih menguntungkan tinggi
dibandingan dengan usaha budidaya di Kabupaten Tulungagung.
Keunggulan komparatif suatu komoditi dapat dilihat dari bagaimana alokasi
sumberdaya diarahkan untuk mencapai efisiensi financial dalam usaha budidya gurame.
Efisiensi finansial dapat diukur dengan Private Cost Ratio (PCR). PCR merupakan rasio
antara biaya input domestic dengan nilai tambah atau selisih antara penerimaan dan input
tradable pada tingkat harga aktual. Suatu aktivitas akan efisien secara finansial jika nilai
PCR lebih kecil dari satu (<1). Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing
ikan gurame Kabupaten Banyumas relatif lebih tinggi dibandingkan dengan Kabupaten
Tulungagung, seperti ditunjukkan oleh angka PCR sebesar 0,9.
Data menunjukkan bahwa benih dan pakan adalah dua input produksi yang secara
dominan menjadi faktor-faktor penentu daya saing di Kabupaten Banyumas. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara dengan resonden yang menyatakan bahwa Benih yang digunakan
oleh pembudidaya gurame Kabupaten Tulungagung berasal dari Kabupaten Banyumas,
sehingga tentunya akan mempengaruhi harga jual benih di Kabupaten Tulungagung.
Rupanya Hal ini rupanya merupakan dampak dari adanya program kebijakan Pemerintah
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
60
Kabupataen Banyumas terkait dengan program minapolitan, dalam bentuk bantuan selisih
benih.
2. Analisis Keunggulan Komparatif
Nilai keunggulan komparatif diukur dengan menggunakan keuntungan social (Sosial
Profit, SP) dan Domestic Resource Cost Ratio (DRCR). Keuntungan social adalah
keuntungan yang diperoleh jika terjadi pada pasar persaingan sempurna dimana tidak ada
campur tangan pemerintah dan kegagalan pasar. Berbeda dengan analisis keuntungan
privat, di dalam analisis keuntungan ekonomi (social) komponen input output dapat dinilai
dengan menggunakan harga social.
Keunggulan komparatif terhadap usaha budidaya gurame juga dapat diketahui dari
rasio Domestic Resource Cost Ratio (DRCR) yaitu rasio antara biaya faktor domestik
dengan selisih dan penerimaan dikurangi biaya tradable pada harga sosial tanpa adanya
investasi pemerintah. DRCR menyatakan suatu usaha efisien secara ekonomi jika nilainya
kurang dari satu dan sebaliknya. Nilai DRCR < 1 memiliki arti bahwa untuk memperoleh
tambahan nilai Rp 1 output diperlukan tambahan biaya faktor domestic lebih kecil dari Rp 1
yang dinilai dari harga social. Sebaliknya akan terjadi pemborosan jika DRCR lebih besar
dari satu. Hasil analisis DRCR yang diperoleh 1 pada usaha budidaya gurame di Kabupaten
Banyumas. Faktor yang mempengaruhi terbesar adalah lahan, sewa lahan, pompa air dan
gudang pakan. Kebijakan pemerintah dalam hal bantuan pembuatan kolam, pompa air dan
gudang pakan relatif tidak berpengaruh pada peningkatan produksi. Oleh Karena komoditas
Gurame Banyumas ini pemasarannya masih bersifat local, maka untuk perbandingannya
akan dipergunakan komoditas Gurame dari Tulungagung yang merupakan saingan
utamanya.
Untuk mengetahui titik impas usaha budidaya gurame di Kabupaten Banyumas,
maka digunakan analisis titik impas (BEP). Analisis ini dilakukan untuk mengetahui tingkat
produksi dimana produsen tidak akan mengalami keuntungan kerugian kerugian/impas.
Tingkat BEP bagi usaha budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, telah disajikan pada tabel
30.
Tabel 30. Analisis Break Event Point (BEP) Usaha Budidaya Gurame Kabupaten Banyumas, 2011
Uraian Nilai
Luasan Kolam BEP (m2) 217
Harga Jual BEP (Rp/Kg) 14.987
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
61
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Dari tabel 29. dapat dilihat bahwa angka luasan kolam bagi produksi usaha budidaya
gurame di Kabupaten Banyumas yang menghasilkan BEP – ceteris paribus – adalah pada
luasan kolam sebesar 217 m². Selain itu, dari sisi harga jual produk, BEP untuk usaha
budidaya ikan gurame terjadi pada harga jual sebesar Rp 14.987/Kg, ceteris paribus.
Perubahan kondisi usaha yang berupa kenaikan biaya dan penurun gross benefit
akan mempengaruhi usaha yang dijalankan dan untuk mengetahui kepekaaan suau proyek
terhadap perubahan yang mungkin terjadi di masa mendatang maka diperlukan analisis
sensitivitas.
1. Peningkatan Biaya Input/Tradables Dominan
Faktor dominan yang dimaksud dalam input produksi usaha budidaya adalah benih
dan pakan. Ke dua input tersebut yang mempengaruhi daya saing gurame di Kabupaten
Banyumas. Daya saing komoditas gurame Banyumas akan tetap memiliki daya saing tinggi
selama harga Pakan dan benih, secara bersama-sama tidak meningkat melebihi 8%.
Kenaikan benih sebesar 8% maka hasil perhitungan pada usaha budidaya gurame menjadi
Rp 22.414. Demikian pula dengan pakan, jika kenaikan 8% maka perhitungan usaha harga
per kg Rp 4.806.
Namun jika kenaikan harga tidak terjadi secara bersama-sama, maka gurame masih
mempunyai daya saing jika benih mengalami kenaikan harga sampai dengan 5.521% atau
Rp 1.148.485. Gurame Kabupaten Banyumas juga akan tetap mempunyai daya saing jika
harga pakan mengalami kenaikan sebesar Rp 8% menjadi Rp 5.704/Kg dengan jumlah
pakan 1.481 Kg sehingga nilai total pakan menjadi Rp 16.336.841. Sehingga dapat
disimpulkan daya saing input tradables komoditas gurame Banyumas ini lebih sensitive
terhadap perubahan harga pakan.
2. Peningkatan Biaya Faktor Produksi Dominan
Faktor produksi/domestik dalam budidaya gurami yang dimaksud adalah pembuatan
kolam dan sewa kolam. Jika terjadi kenaikan harga dan penurunan daya beli maka dua
faktor tersebut tidak berpengaruh. Beberapa asumsi telah dilakukan baik secara bersama-
sama atau sendiri-sendiri terhadap ke dua faktor tersebut dan menunjukkan bahwa tidak
ada kepekaan terhadap perubahan yang mungkin terjadi dimasa mendatang.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
62
3.3.4. Karakteristik Pasar
3.3.4.1. Struktur Pasar dan Tata Niaga
Lembaga pemasaran adalah badan-badan yang menyelenggarakan kegiatan atau
fungsi pemasaran denga mana barang-barang bergerak dari pihak produsen sampai ke
pihak konsumen. Ke dalam istilah lembaga tataniaga ini termasuk golongan produsen,
pedagang perantara dan lembaga pemberi jasa. (Hanafiah, 1986 : 26). Untuk itu lembaga
pemasaran yang terlibat dalam kegiatan pemasaran ikan gurame di Kabupaten Banyumas
terdiri dari pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer.
Adapun saluran pemasaran tersebut memiliki pola saluran pemasaran, yaitu:
1. Saluran I : pembudidaya – seksi usaha/pedagang pengumpul 1 – pedagang pengumpul
2 atau pedagang besar - pedagang pengecer – kosumen rumah tangga dan
konsumen lembaga
2. Saluran II : pembudidaya – seksi usaha/pedagang pengumpul 1 – konsumen lembaga
Pembudidaya
Anggota Kelompok
Seksi
UsahaPengumpul
Pengecer Konsumen
Konsumen
Lembaga
Gambar 15. Tata Niaga Komoditas Gurame di Kab. Banyumas Tahun 2011
Jalur pemasaran pada ikan gurame pembesaran dilakukan oleh pembudidaya ke
pada pedagang pengumpul. Pedagang pengumpul adalah adalah mereka yang aktif
membeli dan mengumpulkan barang dagangan dari produsen (pembudidaya) didaerah
produksi dan menjualnya kepada perantara berikutnya dan jarang menjual kepada
konsumen terakhir. (Hanafi, 1986 : 33). Jalur pemasaran ikan gurame dilakukan oleh
pembudidaya melalui lembaga perantara (pedagang pengumpul, pedagang besar dan
pedagang pengecer). Pola distribusi mempunyai dua variasi dan kondisi seperti ini
menyebabkan panjangnya jalur pemasaran sehingga pada setiap cabang pemasaran,
pelaku mengambil keuntungan dan mengakibatkan harga ikan gurame menjadi semakin
tinggi.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
63
3.3.4.2. Fungsi Pemasaran
Proses daripada pertukaran yang mencakup serangkaian kegiatan yang tertuju untuk
memindahkan barang-barang atau jasa-jasa dari sektor produksi ke sektor konsumsi disebut
sebagai fungsi pemasaran (Hanafi, 1896 : 7). Menurut Daryanto (2011 : 77 – 79), fungsi
pemasaran terdiri dari fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan,
pembelanjaan, penanggungan resiko, standarisasi dan grading serta pengumpulan
informasi pasar.
Tabel 31. Fungi Pemasaran Ikan Gurame Di Kabupaten Banyumas, 2011 Fungi Pemasaran Pelaku Usaha
Pembelian Pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer dan konsumen akhir
Penjualan Pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer
Pengangkutan Pedagang besar
Penyimpanan Pedagang besar
Pembelanjaan/pembiayaan Pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar & pedagang eceran
Penanggungan resiko Pedagang besar
Standarisasi dan grading Pedagang pengumpul
Informasi pasar Pedagang pengumpul dan pedagang besar
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
3.3.4.3. Struktur Pasar
Lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran ikan gurame adalah
pembudidaya, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Responden
pembudidaya berjumlah 15 orang dari sekitar 107 orang jumlah populasi pembudidaya yang
terhitung. Pedagang pengumpul merupakan pihak yang melakukan kegiatan transaksi jual
beli dengan pembudidaya. Jumlah pedagang pengumpul 1 yang menjadi responden 2
orang. Pedagang pengumpul 1 sebagai pihak penjual untuk menjual ke pasar lokal yang
berhadapan dengan beberapa pedagang pengumpul 2/pedagang besar dan konsumen
lembaga. Pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar sebagai penjual yang berhadapan
langsung dengan pedagang pengecer yang jumlahnya relatif banyak. Pedagang pengecer
sebagai penjual berhadapan dengan konsumen akhir yang jumlahnya relatif banyak.
Konsumen akhir yang dimaksud adalah konsumen rumah tangga dan konsumen lembaga
yaitu catering, hotel, restoran, warung makan atau institusi.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
64
Produk ikan gurame yang dijual di lokasi penelitian dari mulai pembudidaya sampai
dengan ke tangan konsumen akhir adalah ikan hidup dengan ukuran konsumsi yaitu 0,5 -0,8
kg/ekor, Informasi pasar dalam penelitian ini diidentifikasikan berupa harga pasar yang
berlaku pada tiap jalur pemasaran. Informasi harga jual untuk setiap jalur pemasaran
diperoleh secara langsung dari pedagang yang berada di tingkat atasnya. Harga yang
berlaku di Kabupaten Banyumas adalah harga yang sudah ditetapkan oleh pedagang yang
berada diatasnya sebagai akibat dari sifatnya sebagai pelaku monopsoni, sehingga tidak
ada pilihan bagi pedagang pengumpul 1 menerima harga yang sudah ditetapkan oleh
pedagang pengumpul 2 atau pedagang besar. Fluktuasi harga dipengaruhi oleh kwantitas
ikan yang terserap dipasaran. Semakin banyak ikan terserap dipasaran, maka harga jual
ikan di tiap saluran kecenderungan mengalami kenaikan, tetapi jika tidak harga ikan
cenderung mengalami penurunan. Pembudidaya tidak mempunyai pilihan selain menerima
harga yang sudah ditetapkan oleh pedagang pengumpul tanpa mempunyai kekuatan untuk
menentukan harga.
3.3.4.4. Perilaku Pasar
Dalam praktek pembelian dan penjualan, pembudiaya mempunyai ruang gerak
sempit untu menjual dan hampir sebagian besar menjual hasil produksinya kepada
pedagang pengumpul 1 yang sama setiap dalam setiap penjualannya. Hal ini disebabkan
karena pembudidaya telah tergabung dalam satu kelembagaan pelaku utama yang
mempunyai aturan main yang teleh disepakati bersama. Kelembagaan dibentuk dengan
tujuan meningkatkan posisi tawar pembudidaya, di samping itu kelembagaan yang ada juga
berfungsi sebagai unit usaha pemasaran yaitu seksi usaha dan atau salah satu anggota
kelompok merangkap sebagai pedagang pengumpul. Meskipun telah terdapat unit
pemasaran, namun fungsi pemasaran belum mampu berjalan secara efektif terlihat pada
kondisi pangsa pasar ikan gurame saat ini hanya terserap untuk konsumsi lokal dimana
sebelumnya pasar ikan gurame terbesar adalah Jakarta dan sekitarnya. Hal ini disebabkan
persaingan harga dengan ikan yang dipasok dari Tulungagung Jawa Timur.
Keadaan seperti ini, mengakibatkan pembudidaya terkadang waktu penjualan ikan
gurame ditentukan oleh kebutuhan pembudidaya terhadap uang dan atau permintaan pasar.
Apabila pembudidaya membutuhkan uang, responden akan menjual ikannya begitu juga
apabila permintaan pasar untuk ukuran tertentu akan dijual sepanjang tercapai kesepakatan
harga melalui pedaganng pengumpul. Pembudidaya tidak selalu memelihara benih ikan
dengan ukuran yang sama setiap periode pemeliharaan tergantung pada kebutuhan
keuangannya dan permintaan pasar.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
65
Penetapan waktu penjualan juga ditentukan oleh kebutuhan keuangan pembudidaya
dapat mengakibatkan kondisi yang kurang menguntungkan bagi pembudidaya karena
kebutuhan yang mendesak dapat menjual kilogram bibit atau bibit ekoran. dapat
memperlemah posisi tawar sehingga dapat mengakibatkan penjualan ikan dengan tingkat
harga yang lebih rendah.
Sistem pembayaran ikan gurame dilakukan dilakukan dengan sitem pembayaran
kemudian atau jatuh tempo. Sistem pembayaran dari pedagang pengumpul 1 kepada
pembudidaya dengan jatuh tempo selama 7 hari, sementara dari pedagang pengumpul 2
atau pedagang besar pembayaran kemudian kepada pedagang pengumpul 1 dilakukan
antara 5-7 hari jika pembelian diatas Rp 10.000.000 dan 2-3 hari jika pembelian bawah Rp
10.000.000. Pedagang pengecer mempunyai sistem pembayaran kepada pedagang besar
dengan jatuh tempo selama 2 hari atau akan dibayar ketika pedagang pengecer ketika akan
mengambil ikan.
Kerjasama antara pembudidaya dengan pedagang pengumpul 1 adalah dalam
kelompok, dimana pemasaran dilakukan dalam satu pintu melalui seksi usaha atau anggota
kelompok yang berfungsi sebagai pedagang pengumpul 1. Kerjasama yang dilakukan oleh
seksi usaha dengan pembudidaya adalah pembudidaya bertindak selaku investor dan seksi
usaha melakukan kegiatan dari mulai persiapan lahan, pembelian bibit/benih, penebaran
bibit/benih, panen hingga pemasaran. Bahkan untuk sarana input produksi telah disediakan
oleh kelompok.
Pada salah satu kelompok yang menjadi responden menetapkan aturan main
mengenai bagi hasil bahwa harga pakan dan sewa lahan akan dibayarkan sesuai harga
pokok setelah panen ditambah 15% dari modal bibit/benih ikan. Sementara kelompok yang
lain bagi hasil untuk kelompok diperoleh dari keuntungan dari biaya panen sebesar Rp
1.000/Kg dan penjualan benih/bibit dan pakan.
Terkait dengan jenis ikan yang diperdagangkan, pembudidaya hanya memeliharan
dan menjual satu jenis ikan saja yaitu gurame. Di lokasi penelitian, ditemui pedagang
pengumpul 1 hanya yang menjual dan membeli satu jeni ikan yaitu gurame, tetapi terdapat
pula menjual jenis ikan yang heterogen. Begitu juga dengan pedagang pengumpul
2/pedagang besar dan pedagang pengecer membeli dan menjual ikan dengan jenis yang
heterogen. Jenis ikan yang banyak diperjual belikan pada saluran pemasaran adalah
gurame, mujair, lele, nilem, bawal dan tawes.
Tabel 32. Jenis Ikan Yang Dibeli dan Dijual Dalam Saluran Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas , 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
66
Saluran Pemasaran Jenis Ikan Yang Dib eli Jenis Ikan Yang Dijual
Pembudidaya Homogen Homogen
Pedagang Pengumpul 1 Homogen Homogen
Heterogen Heterogen
Pedagang Pengumpul 2 Heterogen Heterogen
Pedagang Pengecer Heterogen Heterogen
Sumber: Data Primer Diolah, 2011
3.3.4.5. Marjin Pemasaran
Marjin pemasaran yang dianalisa terdiri harga beli pasar yang dikurangi dari harga
jual pasar pada masing-masing tingkatan pemasaran. Berdasarkan pada Tabel xxx dapat
diperoleh informasi bahwa marjin antara pedagang pengumpul 1 dan pedagang pengumpul
2 atau pedagang besar adalah Rp 1.000/kg. Sementara marjin terbesar didapat oleh
pedagang pengecer sebesar Rp 5.000/Kg. Terkait dengan biaya pemasaran dijelaskan
bahwa biaya pemasaran untuk pedagang pengumpul 1 adalah biaya pengangkutan sebesar
Rp 500/Kg untuk dalam kota dan Rp 1000/kg-Rp2.000/kg untuk luar kota, sedangkan biaya
panen sebesar Rp 1.000/Kg hasil panen. Pada pedagang besar biaya fungsi pemasaran
yang dikeluarkan sebesar Rp 400.000/hari dan pedagang pengecer sebesar Rp 5.000/hari
yang digunakan untuk pembayaran retribusi dan air PDAM.
Tabel 33. Marjin Pemasaran Ikan Gurame di Kabupaten Banyumas Tahun 2011
Saluran Pembudidaya Pedagang
pengumpul
Pedagang
besar
Pedagang
pengecer
Konsumen
Akhir
Harga Beli 21.000 22.000 23.000 28.000
Harga Jual 21.000 22.000 23.000 28.000
Marjin 1.000 1.000 5.000
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
67
3.3.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha
Pengentasan kemiskinan di wilayah pesisir dan sentra-sentra perikanan merupakan
salah satu fokus pelaksanaan pembangunan dan kelautan. Pengembangan Usaha Mina
Pedesaan (PUMP) menjadi media pemberdayaan antara lain melalui fasilitasi bantuan
pengembangan usaha bagi nelayan, pembudidaya, pengolah/pemasar ikan dalam wadah
Kelompok Usaha Kelautan dan Perikanan (KUKP). Menurut PERMEN KP NO.
PER.06/MEN/2011 tentang Pedoman Pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat Mandiri Kelautan dan Perikanan Tahun 2011, PUMP adalah bagian dari
pelaksanaan program PNPM Mandiri KP melalui bantuan pengembangan usaha dalam
menumbuhkembangkan usaha perikanan sesuai dengan potensi desa. PUMP Perikanan
Budidaya mendorong peningkatan produksi, menumbuhkan wirausaha dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat perikanan budidaya di pedesaan.
Sejalan dengan penumbuhan wirausaha, penting bagi pelaku usaha untuk
mengetahui berapa besar investasi yang diperlukan. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan di Kabupaten Banyumas, pelaku usaha budidaya gurame konsumsi dalam skala
usaha rumah tangga. Investasi budidaya gurame konsumsi di Kabupaten Banyumas antara
lain ; lahan/kolam, pompa air, tempat ikan, timbangan, serokan dan jaring. Namun karena
aset adalah milik kelompok maka nilai investasi yang dikeluarkan pelaku usaha tidak terlalu
besar. Berbeda dengan lahan, karena pembudidaya tergabung dalam kelompok dan lahan
yang digunakan adalah lahan desa yang disewakan serta tingginya harga lahan (mencapai
800.000/m) maka pembudidaya menyewa lahan dari kelompok dengan membayar sewa
dimana besaran sewa dapat dibayar per satu siklus panen atau per tahun. Berdasarkan
status kepemilikan lahan budidaya, mayoritas pembudidaya menjadi penyewa lahan.
Pembudidaya yang mempunyai status lahan sendiri pada umumnya lahan yang dimiliki
adalah warisan. Investasi untuk biaya pembuatan kolam sebesar Rp 750.000 – 800.000 per
kolam dengan ukuran kolam 250 m². Namum jika lahan yang digunakan adalah lahan sewa,
maka ditambahkan biaya sewa sebesar Rp 150.000 – Rp 200.000 / kolam / siklus panen.
Tabel 33. dapat dilihat struktur biaya investasi usaha budidaya gurame per luasan kolam
250 m² di Kabupaten Banyumas
Tabel 34. Struktur Biaya Investasi Usaha Budidaya Pembesaran Gurame Kabupaten Banyumas, 2011
Unit : Per Siklus Panen
Uraian Volume Satuan Biaya (Rp)
Total (Rp) Keterangan
Sewa Lahan 2 Tahun 300.000 600.000
Benih 540 Kg 23.000 12.420.000
Dibesarkan ke dalam 2 kolam
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
68
Pakan Pelet 1.620 Kg 5.500
8.910.000
ukuran @ 250 m²
Pakan Tambahan 1 Paket 1.350.000
1.350.000
Biaya perawatan Kolam
8 Orang 50.000
400.000
Total Biaya 23.680.000
Sumber : Pokdakan Ulam Sari, 2011
Harga jual gurame konsumsi di Kabupaten Banyumas sangat fluktuaktif ditentukan
oleh kondisi permintaan dan penawaran harga. Dalam 1 tahun terakhir harga gurame
konsumsi di tingkat pengepul antara Rp 21.000 – Rp 23.000/Kg. Harga ikan gurame di suatu
daerah tidak bisa dilepaskan dari pengaruh produksi di daerah lain karena sistem
transportasi memungkinkan terjadinya perpindahan produk dari satu daerah ke daerah
lainnya. Berdasarkan hal tersebut, produksi ikan yang melimpah pada suatu daerah dapat
mengakibatkan pasar ikan gurame di daerah konsumsi ikan mengalami kelebihan
penawaran sehingga terjadi penurunan harga.
Hasil produksi dipengaruhi oleh gurani dipengaruhi oleh luasan lahan,benih yang
ditebar dan pakan yang digunakan. Berdasarkan informasi yang diperoleh, pada kondisi
optimal rata-rata jumlah produksi per 500 m² kolam dengan benih 540 Kg atau 2700 ekor
dengan asumsi angka kematian 10%, maka hasil produksi sebanyak 2.430 ekor dengan
berat 0,8 Kg/ekor ekor sehingga total produksi sebanyak 1.944 Kg dengan harga jual Rp
22.000/Kg. Penerimaan yang diperoleh oleh pembudidaya untuk luasan kolam 500 m²
dalam satu siklus Rp 42.768.000. Berdasarkan tabel 33. diketaui bahwa keseluruhan total
biaya dalam 1 musim sebesar Rp 23.340.000/siklus, sehingga keuntngan yang diperoleh
adalah sebesar Rp 18.828.000/siklus.
Nilai R/C ratio pada usaha budidaya gurmai di Kabupaten Banyumas yaitu sebesar
Rp 1,8 hal ini menunjukkan bahwa usaha budidaya gurame layak diusahakan. Nilai R/C ratio
dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk
memberikan tambahan modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga
kegiatan usaha gurame dapat lebih berkembang. Nilai Payback Period (waktu pengembalian
investasi) pada usaha budidaya gurame yaitu 1, hal ini menunjukkan bahwa nilai
pengembalian investasi dalam satu siklus usaha adalah selama 1 tahun atau diperlukan
satu siklus usaha (musim panen) untuk mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi
pembudidaya. Namun demikian terdapat beberapa kendala yang dialami oleh pembudidaya
dikarenakan untuk berinvestasi antara permodalan, manajemen usaha budiya dan
pengairan ketika musim kemarau.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
69
3.4 . Komoditas Rumput Laut Kota Kendari, Kabupaten Konawe Selatan
3.4.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Gambar 16. Model Konstruksi Longline Persegi Sumber : BBL Lombok, 2011
Saat ini metode budidaya rumput laut tidak hanya metode patok dan metode rakit,
namun kini ada metode longline. Di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan metode
yang digunakan adalah metode longline, selain bersifat lebih ekonomis dapat diterapkan di
lokasi dengan perairan yang lebih dalam (Sujatmiko, et.al,. dd). Konstruksi dasar dari
longline persegi ini adalah berbentuk persegi, baik itu persegi empat maupun persegi
panjang. Tali ris bentang diikatkan searah dengan arah arus perairan. Bagian sisi longline
yang menghadang arah arus, pemberat longline ditambah sesuai kebutuhan dilapangan
untuk mencegah sarana terseret oleh arus.
Panjang tali ris bentang disesuaikan dengan lebar longline. Bahan yang digunakan
adalah Polyethilene (PE) ukuran 4 atau 5 mm. Jarak antar titik ikat (tali raffia) adalah 20 –
25 cm. Dalam satu tali ris bentang dengan panjang 5 meter terdapat 25 titik tali ikat, dimana
jarak antar tali titik adalah 20 cm (dalam 50 meter terdapat 250 titik tali ikat). Tali titik terbuat
dari tali rafia atau plastik es atau tali PE 1.5 - 2 mm, yang digunakan untuk mengikat bibit
rumput laut. Setiap ujung tali rafia atau plastik es sebaiknya dibakar untuk menyatukan
seratnya. Panjang tali rafia atau plastik es atau PE adalah 35 – 40 cm per tali titik.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
70
Waktu pengikatan bibit sebaiknya dilakukan pada pagi atau sore hari. Pengikatan
bibit dalam jumlah besar sebaiknya tetap dalam keadaan basah, agar kelembaban bibit
tetap terjaga. Penyulaman dilakukan pada minggu pertama dengan cara pengganti bibit
yang lepas atau rontok. Pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan lumut, kotoran atau
sampah yang menempel. Masa pemeliharaan tergantung pada hasil yang diharapkan.
Masa panen antara 20 – 25 hari, dilakukan untuk menghasilkan bibit rumput laut, sedangkan
masa panen 35 – 40 hari, dilakukan untuk menghasilkan rumput laut produksi. Pembersihan
dilakukan pada tali frame, pelampung besar dan tali jangkar. Tali dibersihkan dari tumbuhan
lumut, hewan teritip dan kotoran sampah yang melekat pada tali. Panen adalah melakukan
pengambilan atau pemungutan secara menyeluruh setelah masa pemeliharaan berakhir.
Panen dilakukan dengan melepas tali ris bentang pada tali utama dan diangkut ke darat.
Rumput laut dilepas dari tali titik dengan membuka tali titik, agar kualitas rumput laut kering
dapat terjaga
3.4.2. Status dan Efisiensi Produksi
Faktor produksi yang diduga berpengaruh pada saat usaha budidaya rumput laut di
Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan adalah jumlah bibit (X1) dan luas lahan (X2).
Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan metode Ordinary Least Square (OLS)
diperoleh pendugaan fungsi produksi seperti yang tercantum pada Tabel 35.
Dari hasil pendugaan fungsi produksi pada Tabel 34. diperoleh nilai koefisien
determinasi R2 = 0,256. Hal ini berarti bahwa sebesar 25,6% variasi produksi usaha rumput
laut dapat dijelaskan oleh faktor produksi jumlah benih (X1) dan luas lahan (X2), sedangkan
sisanya sebesar 74,4% dijelaskan oleh variasi faktor-faktor lain yang tidak dimasukkan ke
dalam model. Sementara berdasarkan uji F-statistik, kedua peubah bebas tersebut (X1 dan
X2) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh nyata terhadap peubah terikatnya
(produksi rumput laut/Y), sedangkan berdasarkan uji t-statistik (pasrial), kedua peubah
bebas tersebut berpengaruh nyata pada selang keercayaan 80%. dengan arah (sign) positif,
sedangkan nilai DW diperoleh sebesar 1,441.
Tabel 35. Hasil Analisis Pendugaan Fungsi Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut, di Kendari
Peubah Koefisien Regresi Standart Error t-hitung
Konstanta 3,416 1,000 3,417 Ln X1 0,230 0,152 1,512* Ln X2 0,169 0,129 1,314*
R2 = 0,256 R2-adjusted = 0,205 F–hitung = 4,998 Prob .F =0,014 DW = 1,441
Sumber : Data Primer Diolah (2011) Keterangan : * = nyata pada selang kepercayaan 80%
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
71
Hasil pendugaan fungsi produksi usaha budidaya rumput laut dengan menggunakan
dua variabel bebas, sebagaiman tertera pada Tabel 34. dapat dituliskan dalam bentuk
persamaan sebagai berikut :
Ln Y = 3,416 + 0,230 Ln X1 + 0,169 Ln X2 ……………… ………………………...........(9)
sehingga untuk keperluan analisis dengan menggunakan fungsi produksi pendekatan Cobb-
Douglas, Persamaan (9) ditulis kembali menjadi:
Y = 30,447X1 0,230X2
0,169 ....................................................................................................(10)
3.4.2.1. Analisis Skala Usaha (Return to Scale)
Return to Scale (RTS) digunakan untuk mengetahui apakah kegiatan usaha yang
diteliti tersebut berada dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin berkurang (decreasing
return to scale), kondisi kenaikan hasil yang tetap (constant return to scale) atau berada
dalam kondisi kenaikan hasil yang semakin bertambah (increasing return to scale). Hasil
analisis fungsi produksi Cobb-Douglas akan menghasilkan nilai koefisen regresi yang
sekaligus menunjukkan besaran elastisitas dari masing-masing faktor produksi yang
digunakan. Hasil analisis pendugaan fungsi produksi menunjukkan bahwa jumlah bibit (X1)
dan luas lahan (X2) memiliki koefisien regresi atau nilai elastisitas masing-masing sebesar
0,230 dan 0,169.
Kondisi skala usaha budidaya rumput laut dapat dilihat dari nilai penjumlahan
koefisien regresi atau elastisitas. Berdasarkan hasil analisis pendugaan fungsi produksi
besarnya nilai penjumlahan koefisien regresi atau elastisitas dari analisis pendugaan fungsi
produksi adalah sebesar 0,399 (e<1). Hasil penjumlahan elastisitas produksi tersebut
menunjukkan bahwa usaha budidaya berada dalam kondisi “kenaikan hasil yang semakin
berkurang” (decreasing return to scale), artinya apabila ketiga faktor produksi tersebut (luas
kolam, benih dan pakan) secara bersama-sama dinaikkan dengan persentase tertentu,
maka akan memberikan proporsi penambahan hasil produksi yang lebih kecil.
Dari nilai koefisien regresi tersebut (hasil pengujian t-statistik seperti tertera pada
Tabel 34. dan Persamaan 10, diketahui bahwa ceteris paribus, setiap penambahan jumlah
bibit sebesar 1%, ceteris paribus akan meningkatkan hasil produksi ikan sebanyak 0,230%.
Untuk setiap penambahan sebanyak 1% luas lahan, ceteris paribus akan meningkatkan
produksi rumput laut sebanyak 0,169%. Hal ini diduga semakin banyak jumlah benih
ditambah, yang diikuti dengan penambahan luas lahan makan akan menambah jumlah
produksi rumput laut.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
72
3.4.2.2. Efisiensi Teknis
Pada Gambar 18. memperlihatkan bahwa nilai rata-rata efisiensi teknis untuk usaha
budidaya rumput laut adalah 1,10, dengan nilai terendah 0,34 dan nilai tertinggi 4,44. Nilai
tersebut menunjukkan bahwa nilai efisiensi teknis pada usaha budidaya ikan patin dikatakan
sudah efisien secara teknis karena angka yang diperoleh lebih besar dari 1. Akan tetapi
usaha budidaya pembesaran ikan patin tersebut masih memiliki kesempatan untuk
memperoleh hasil potensial yang lebih tinggi hingga mencapai hasil produksi yang
maksimal. Dalam jangka pendek, secara rata-rata pembudidaya ikan patin di Kabupaten
Muaro Jambi berpeluang untuk meningkatkan produksi sebesar 75% (1-(1,10/4,44)) dengan
menerapkan teknologi dan teknik budidaya yang paling efisien.
Gambar 17. Frekuensi Tingkat Efisiensi Teknis Usaha Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan, Tahun 2011
3.4.2.3. Analisis Efisiensi Ekonomi
Analisis efisiensi ekonomi dapat ditentukan dengan menghitung perbandingan Nilai
Produk Marginal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marginal (BKM) untuk setiap faktor
produksi. Jika nilai perbandingan NPM dengan BKM bernilai 1, maka pada kondisi tersebut
penggunaan faktor produksi pada tingkat optimum. Jika rasio NPM dan BKM untuk setiap
faktor produksi yang digunakan pada usaha budidaya menunjukkan nilai kurang dari 1,
artinya kondisi optimum telah terlampaui, sedangkan jika nilai rasio NPM dan BKM untuk
setiap faktor produksi yang digunakan nilainya lebih besar dari 1, artinya kondisi optimum
belum tercapai. Untuk mencapai kondisi optimum, maka penggunaan faktor-faktor produksi
harus dikurangi atau ditambah, sehingga rasio NPM dan BKM akan sama dengan 1.
Dari hasil pendugaan fungsi produksi dapat diketahui rasio NPM dengan BKM untuk
masing-masing faktor produksi. Secara rinci hal ini dapat dilihat pada Tabel 35.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
73
Tabel 36. Rasio dan Alokasi Penggunaan NPM dan BKM Faktor-faktor Produksi pada Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan
Variabel Satuan
Penggunaan Rata-
Rata Aktual
Koefisien
Regresi NPM BKM NPM/BKM
Penggunaan Input Optimal
Jumlah Bibit (X1) kg 1.479 0,230 957 2.517 0,380 563
Luas Lahan (X2) m2 12.589 0,169 83 1.144 0,072 910
Sumber : Data Primer Diolah (2011)
Dari Tabel 35. menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan
rasio antara Nilai Produk Marjinal (NPM) dengan Biaya Korbanan Marjinal (BKM) pada
usaha pembesaran ikan patin. Rasio-rasio NPM dengan BKM dari setiap faktor produksi
menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi dalam usaha rumput laut tidak efisien
secara alokatif, karena nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak sama dengan satu. Rasio
ini juga berarti bahwa penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha tersebut belum optimal
pada jumlah produksi yang sama.
Nilai rasio NPM dan BKM untuk faktor produksi jumlah bibit (X1) dan luas lahan (X2)
lebih kecil dari satu, yaitu masing-masing sebesar 0,380 dan 0,072. Kondisi ini
menunjukkan bahwa penggunaan faktor-faktor produksi yang digunakan belum efisien
(kondisi optimum belum tercapai). Agar kondisi optimal dapat tercapai, maka faktor produksi
jumlah bibit dan luas lahan perlu dikurangi hingga rasio NPM dan BKM dari ketiga faktor
produksi tersebut sama dengan satu.
Berdasarkan tabel di atas untuk mencapai alokasi penggunaan faktor produksi yang
optimal dimana dapat tercapai keuntungan yang maksimum, maka penggunaan faktor
produksi jumlah bibit (X1) dan jumlah pakan (X2) perlu dikurangi masing-masing menjadi 563
kg dan 910 m2, hal ini sesuai dengan kondisi usaha yang berada dalam tahap decreasing
return to scale, yang berarti bahwa penembahan input berapapun akan menyebabkan
jumlah produksi berkurang.
3.4.3. Daya saing komoditas
Potensi perikanan yang dimiliki oleh masing-masing wilayah dengan komoditas
unggulan yang dimiliki menjadikan persaingan pada produk perikanan. Persaingan antar
pedagang membuat pasar semakin terbuka. Oleh karena daya saya saing suatu produk
suatu wilayah menjadi penting untuk melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan
untuk memenuhi permintaan pasar. Komoditas rumput laut yang menjadi salah komoditas
unggulan dalam program minapolitan menyebabkan berkembangnya usaha budidaya
rumput laut. Persaingan. Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi rumput laut, salah
satunya adalah Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan dan bersaing dengan
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
74
kabupaten lain yaitu Kabupaten Lombok Timur. Untuk mengukur daya saing produk rumput
laut diukur dengan menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM yang disusun
berdasarkan biaya faktor produksi, biaya tradables input dan harga output ikan. Berikut
matrik PAM Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta Kabupaten Konawe
Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011.
Tabel 37. Matrik Policy Analysis Matrix Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari serta Kabupaten Konawe Selatan dengan Kabupaten Lombok Timur tahun 2011.
Variabel Revenue Factors Tradables Profit
Private Rp 29.150.451 Rp 11.046.788 Rp 9.715.909 Rp 8.387.753
Social Rp 34.202.436 Rp 11.288.181 Rp 7.035.249 Rp 15.879.006
divergence Rp (5.051.985) Rp (241.393) Rp 2.680.661 Rp (7.491.252)
Variabel Ratio Ratio
DRCR 0,98
TRCR 1,38
TCR 1,13 Sumber : Data primer diolah(2011)
Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing rumput laut Kota Kendari
dan Kabupaten Konawe Selatan kurang bersaing dengan rumput laut di Kabupaten Lombok
Timur. Hal tersebut dilihat dari total cost ratio yang lebih dari 1. Nilai total cost ratio diperoleh
dari dua variabel ratio yaitu Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) dan tradables
resources cost ratio (TRCR). Apabila dilihat dari DRCR, komoditas rumput laut Kota Kendari
dan Kabupaten Konawe Selatan mampu bersaing dengan komoditas rumput laut dari
Kabupaten Lombok Timur. Namun jika dilihat dari TRCR daya saing rumput laut Kota
Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan lebih rendah dengan rumput laut Kabupaten
Lombok Timur. Tradables input untuk budidaya rumput laut dengan metode longline adalah
bibit rumput laut dan bahan bakar minyak, sedangkan untuk factor input terdiri dari tenaga
kerja upahan dan depresiasi dari aset produksi budidaya rumput laut. Harga satuan bibit dan
BBM di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan lebih tinggi dari pada harga satuan di
Kabupaten Lombok Timur. Hal ini disebabkan ketika pengambilan data praktek budidaya di
Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan pada bulan September 2011, harga rata-rata
bibit cottoni sebesar Rp 2500 dan harga rata-rata BBM mencapai Rp 6000 ditingkat
pembudidaya.
Untuk meningkatkan daya saing komoditas rumput laut di Kota Kendari dan Kota
Konawe Selatan, harga satuan di tradable input meliputi bibit dan BBM secara bersama-
sama diturunkan sebesar 28% hingga mencapai TRCR bernilai 1 dan mampu berkompetisi
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
75
dengan meningkatkan harga satuan factor input meliputi tenaga kerja upahan dan
depresiasi aset produksi secara keseluruhan sebesar 4%.
Untuk mengetahui titik impas usaha budidaya rumput laut di Kota Kendari dan
Kabupaten Konawe Selatan digunakan analisis titik impas (BEP). Analisis Break Event Point
(titik impas) dilakukan untuk mengetahui tindak produksi dimana tidak ada keuntungan dan
tidak ada kerugian. Analisis BEP menunjukkan hubungan penjualan, biaya dan keuntungan.
Pada penelitian ini, BEP menggunakan pendekatan seberapa besar penggunaan lahan
yang dikelola dan seberapa besar tingkat harga yang diterima. Analisis BEP usaha budidaya
rumput laut dapat dilihat pada tabel 37. Apabila penggunaan lahan yang digunakan minimal
untuk memperoleh keuntungan dengan luasan sebesar 1085 m2 atau turun hingga 91% dan
harga jual yang dapat diterima oleh para pembudidaya rumput laut sebesar Rp 2121 turun
sebesar 69%.
Tabel 38. Break Even Point (BEP) Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan
Variabel Satuan BEP Rataan
Luasan m2 1085 12589
Harga Rp 2121 6818
Sumber : Data primer diolah (2011)
3.4.4. Karakteristik Pasar
Struktur pasar rumput laut yang terdapat di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe
Selatan adalah beberapa pedagang pengumpul kecil skala desa dan empat pedagang
pengumpul besar di Kota Kendari (Tabel 39).
Tabel 39. Tabel Pelaku Usaha Rumput Laut Kendari 2010
N
o
Nama Pelaku Usaha Rata-Rata
Produksi/Thn
Tujuan Keterangan
1 2 3 4 5 6 7 8
UD. Sumber Makmur (H. Hasan) CV. Sinar Laut (H. Haruna)/Lapulu UD. Harapan Bone (H. Baide)/Kampung Salo KSU. Teporombu/Sambuli Klp. Budidaya (8 Klp) Tondonggeu Klp. Pembudidaya (8 Klp) Sambuli Klp. Pembudidaya (7 Klp) Petoaha Klp. Pembudidaya (5 Klp) Bungkutoko
59 Ton 60 Ton 36 Ton 50 Ton 22 Ton 22 Ton 20 Ton 20 ton
Makassar/ Surabaya Makassar/ Surabaya Makassar/ Surabaya Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar Lokal/Makassar
Harga rata-rata Rp. 8.000 – 11.000/ kg
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010)
Dari masing-masing pedagang pengumpul kecil tersebut mampu membeli hasil
panen rumput laut kering hingga 20 orang pembudidaya dengan kisaran 300 – 400 kg
perorangnya setiap bulannya dengan harga perkilonya Rp 6.000. Pedagang pengumpul
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
76
kecil kemudian menjualnya kepada pedagang pengumpul besar dengan perbedaan harga
Rp 1.000 s.d Rp 1.500. Hubungan antar pedagang pengumpul kecil dan pedagang
pengumpul besar tidak ada ikatan, namun hubungan antar pedagang pengumpul kecil
dengan para beberapa pembudidaya rumput laut ada ikatan karena ada faktor pembiayaan
(permodalan)
Tabel 40. Tabel Karakteristik Struktur Pasar Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan
Karakteristik Rumput Laut di Kota Kendari dan Kota Konawe Selatan
Jumlah Produsen - Kota Kendari : 158 KK - Kota Konawe Selatan :
Jumlah Pembeli - Pedagang Pengumpul Kecil : 4 (Kota Kendari), - Pedagang Pengumpul Besar di Kota Kendari : 4 orang - Eksportir di Kota Makasar : 9 perusahaan - Eksportir di Kota Surabaya : 4 Perusahaan
Sifat Produk Ditingkat pembudidaya s.d pedagang pengumpul besar : homogen (rumput laut kering)
Tingkat Deferensiasi Produk
Alkali Treated Chips
Penentuan Harga Harga ditentukan oleh pembeli, (eksportir, pedagang pengumpul besar, pedagang pengumpul kecil) bukan di produsen atau pembudidaya
Metode Pemasaran Pembudidaya menjual rumput laut kering ke pedagang pengumpul kecil kemudian pedagang pengumpul besar menjual ke eksportir
Keterlibatan sektoral dalam perekonomian
Produk rumput laut kering dipergunakan untuk kepentingan konsumsi dan sektor industri
Sumber : Data Primer diolah (2011) dan Koperasi Rumput Laut Bina Bahari (2009)
Fungsi pemasaran yang dilakukan dimasing-masing tahapan hampir sama, kecuali
oleh si pembudidaya. Pedagang pengumpul kecil memiliki fungsi pemasaran yaitu sebagai
penanggung resiko dan melakukan pengangkutan. Maksud sebagai penanggung resiko
adalah total rumput laut yang dibayarkan oleh pedagang pengumpul besar 1 di Kota Kendari
hanya 85% karena dianggap rumput laut yang dijual (setelah mengalami pengeringan
selama 2-3 hari penjemuran dibawah sinae matahari) akan mengalami penyusutan
sebanyak 15% (kadar air di rumput laut kering makin sedikit dan berat rumput laut tersebut
makin ringan) namun jika rumput laut dalam keadaan lembab (lebih kering lagi) pedagang
menanggung penyusutan 5% dari total berat rumput laut. Makin lama rumput laut dijemur
maka nilai penyusutan makin kecil. Pedagang pengumpul kecil melakukan pengangkutan
dengan biaya yang dikeluarkan sekali jalan Rp 12.000 untuk bahan bakar. Fungsi
pemasaran yang dilakukan oleh pedagang pengumpul besar di Kota Kendari adalah
penyimpanan dan melakukan standarisasi. pedagang pengumpul besar setelah menerima
produk rumput laut dari pedagang pengumpul kecil melakukan kegiatan standarisari berupa
pengujian kadar air dan penjemuran. Kegiatan tersebut dalam rangka meningkatkan kualitas
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
77
dari produk tersebut. Kualitas tersebut dilihat dari makin rendahnya kadar air dari rumput
laut tersebut dan bersih tidaknya rumput laut tersebut dari pasir, tali rafia dan barang-barang
asing lainnya.
3.4.4.1. Tata Niaga
Para pelaku usaha produk rumput laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe
Selatan dapat dikelompokkan menjadi seperti berikut: (1) Kelompok Pembudidaya; (2)
Pedagang pengumpul kecil lokal (tingkat desa); (3) Pedagang pengumpul besar 1 (di Kota
Kendari); (4) Pedagang pengumpul besar 2 (di Kota Makasar); (5) Eksportir. Dari hasil
survey, maka diperoleh 2 pola rantai pemasaran, meskipun pada dasarnya mirip, namun
terdapat sedikit perbedaan.
4. Jalur Pemasaran Pertama
Dari Gambar 19. diperoleh informasi jalur pemasaran dengan tahapan produk
rumput laut kering dari pembudidaya dijual ke pedagang pengumpul kecil lokal di tingkat
desa. Setelah itu dari pedagang pengumpul kecil lokal maka dijual ke pedagang pengumpul
besar di Kota Kendari, dari pedagang pengumpul besar tersebut, proses tata niaga berlanjut
ke pedagang pengumpul besar 2 di Kota Makasar dan langsung dijual ke eksportir di Kota
Surabaya maupun di Kota Makasar.
PembudidayaPengumpul
Kecil
Pedagang/
Pengumpul
Besar Kendari
Pengumpul
Besar
Makassar
Pengolah/Eksportir
Surabaya
Pengolah/Eksportir
Makassar
Gambar 18. Jalur Pemasaran Pertama
5. Jalur Pemasaran Kedua
Dari Gambar 20. diperoleh informasi tahapan niaga produk rumput laut kering.
Produk rumput laut kering dari pembudidaya dijual langsung ke pedagang pengumpul besar
1 di Kota Kendari yang selanjutnya dikirim langsung pedagang pengumpul besar 2 di Kota
Makasar dan langsung dijual ke eksportir di Kota Makasar maupun di Kota Surabaya.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
78
Pembudidaya
Pedagang/
Pengumpul
Besar Kendari
Pengumpul
Besar
Makassar
Pengolah/Eksportir
Surabaya
Pengolah/Eksportir
Makassar
Gambar 19. Jalur Pemasaran kedua
3.4.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha
Total investasi untuk luasan satu ha dibutuhkan nilai investasi sebesar Rp 13.374.744. Aset
produksi yang digunakan dalam budidaya rumput laut di Kota Kendari dan Konawe Selatan
terdiri dari Tali PE 12 mm, Tali PE 10 mm, Tali PE 4 mm dan Tali PE 1,5 mm, perahu,
pelampung botol dan gabus dan pemberat. Biaya terbesar dalam budidaya rumput laut
terdapat pada pembelian tali karena luas areal budidaya rumput laut di Kota Kendari dan
Kabupaten Konawe Selatan bisa mencapai 1 hingga 1,2 ha. Untuk lebih jelasnya terlihat
pada tabel berikut
Tabel 41. Struktur Investasi Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Selatan Metode Patok
Aset Produksi Nilai
Tali Utama (Tali PE 10 mm) 1.033.475Rp
Tali Jaring (Tali PE 12 mm) 2.180.008Rp
Tali Bentang (Tali PE 6 mm) 3.350.981Rp
Tali Nylon (Tali PE 1,5 mm) 2.549.955Rp
Perahu 1.446.667Rp
Pelampung Botol 375.789
Pelampung Gabus 383.544Rp
Pemberat 486.565
Total Aset Produksi 11.806.984Rp
Biaya Operasional Persiklus 1.943.182
Total Investasi 13.750.166Rp Sumber : Data Primer Diolah (2011)
Biaya yang dikeluarkan dalam usaha budidaya rumput laut, dapat dikategorikan
menjadi dua yaitu biaya tetap dan biaya tidak tetap. Bagi pembudidaya biaya tetap terdiri
dari depresiasi aset. Biaya operasional yang dikeluarkan oleh pembudidaya adalah tenaga
kerja upahan dan BBM. Secara rinci struktur biaya tetap rata-rata dan biaya operasional
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
79
rata-rata yang dikeluarkan dalam satu tahun untuk usaha budidaya rumput laut tersaji pada
Tabel 22.
Tabel 42. Struktur Biaya Usaha Budidaya Rumput Laut di Kota Kendari dan Kabupaten Konawe Se;atan 2011
Unit : 1 Tahun
Struktur Biaya Penerimaan Nilai
Biaya Tetap 6.483.475
Biaya Variabel 9.715.909
Total Biaya 16.199.385
Penerimaan 31.100.333
Keuntungan 14.900.949
R/C 1,9
Sumber : Data Primer Diolah, 2011
Pembudidaya mengeluarkan biaya tetap dalam satu tahunnya sebanyak Rp
6.483.475 dan lebih lanjut dalam pengelolaan ikan patin biaya operasional yang diperlukan
sebesar Rp 9.715.909 Dalam 1 tahun produksi penerimaan pembudidaya sebesar Rp
31.100.333 dimana hasil panen yang didapatkan sebesar 4.512 Kg dengan harga jual Rp
6.800/Kg. Harga rumput laut ditentukan oleh kondisi permintan dan penawaran di pasar.
Ketika penelitian ini dilakukan harga jual patin antara Rp 6000 – Rp 7000 di tingkat
pembudidaya. Keuntungan yang diperoleh oleh pembudidaya dalam 1 tahun sebesar Rp
14.900.949 dengan RC ratio 1,9 dan hal ini menunjukkan usaha budidaya ini layak
dikembangkan. Hasil produksi rumput laut per tahun yang diperoleh pembudidaya
memberikan kontribusi dalam ekonomi keluarga.
Potensi pemanfaatan areal budidaya rumput laut di Kota Kendari khusus di
Kecamatan Abeli baru hanya 45% dari luas potensi 200 ha dan Kecamatan Kendari hanya
3% dari luas potensi 170 ha (Pemerintah Kota Kendari, 2010)Target produksi rumput laut di
Kota Kendari tahun 2010-2014 sebagai kawasan minapolitan sebesar 1.791,7 ton dengan
luas mencapai 133 ha dengan produksi rumput laut Kota Kendari dari tahun 2008 s.d 2009
meningkat sebesar 4,95%, namun total potensi lahan yang ada bisa mencapai 370 ha dan
baru dimanfaatkan 95,7 ha yang tersebar di dua kecamatan. Pembudidaya rumput laut di
Kota Kendari tahun 2009 sebanyak 17 kelompok terbagi dalam dua kecamatan dan lima
kelurahan dengan jumlah petani pembudidaya 158 KK. Jumlah unit produksi dan
pemasaran rumput laut di Kota Kendari hingga saat ini tercatat 8 unit dengan kapasitas
produksi rata-rata 20 – 60 ton/tahun. (Ilham etal.,2011). Kota Kendari dengan posisi yang
cukup strategis sebagai ibukota propinsi dan sebagai sentra pengembangan industri rumput
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
80
laut walaupun di Kota Kendari belum ada industri pengolahan rumput laut untuk memberikan
nilai tambah yang signifikan.
Tabel 43. Produksi Rumput Laut Kota Kendari Tahun 2008 – 2009
No Kecamatan 2008 (ton) 2009 (ton) %
1 Abeli 438,033 459,934
2 Kendari 27,500 28,875
Jumlah 465,533 488,809 4,95
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010)
Target produksi rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan tahun 2010-2014 sebagai sentra produksi
rumput laut di Sulawesi Tenggara sebesar 26.860 ton dengan luas mencapai 3750 ha dengan
produksi rumput laut dari tahun 2008 mengalami peningkatan hingga 30% pada tahun 2010 (tabel
xx), namun total potensi lahan yang ada bisa mencapai 17.718 ha dan baru dimanfaatkan 2.627 ha
yang tersebar di delapan kecamatan. Pembudidaya rumput laut di Kabupaten Konawe Selatan tahun
2009 sebanyak 629 RTP (Pemerintah Kabupaten Konawe Selatan, 2010).
Tabel 44. Produksi Rumput Laut Kabupaten Konawe Selatan Tahun 2008 – 2010
No Kecamatan 2008 (ton) 2009 (ton) 2010 (ton)
1 Tinanggea 4689 6351 8256
2 Pallangga Selatan 1312 1598 2077
3 Laeya 467 671 872
4 Lainea 1630 1975 2568
5 Moramo 1670 1810 2353
6 Moramo Utara 781 971 1262
7 Kolono 501 718 933
8 Laonti 692 810 1053
Jumlah 11.742 14.904 19.375
Sumber : Pemerintah Kota Kendari (2010)
3.5. Komoditas Garam Kabupaten Pamekasan
3.5.1. Praktek usaha budidaya di Lokasi penelitian
Kabupaten Pamekasan merupakan salah satu kabupaten di Propinsi Jawa Timur
yang memiliki potensi sumber daya kelautan dan perikanan cukup melimpah, hal tersebut
didukung dengan letak geografis, dimana pada bagian selatannya berbatasan dengan Selat
Madura dan bagian utaranya berbatasan dengan Laut Jawa. Kegiatan usaha sektor
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
81
kelautan dan perikanan yang berkembang di Kabupaten Pamekasan salah satunya adalah
usaha tambak garam. Luas lahan tambak garam potensial di Kabupaten Pamekasan yaitu
seluas 2.096,5 Ha, namun dari keseluruhan luas tersebut, yang baru diusahakan sebagai
lahan tambak garam yaitu seluas 888,7 Ha oleh rakyat dan 907 Ha oleh PT Garam (Dinas
Kelautan dan Perikanan Kab. Pamekasan, 2010).
Keadaan musim di Kabupaten Pamekasan pada umumnya sama dengan di wilayah
lainnya di Indonesia yang dikenal dengan 2 (dua) musim yakni musim hujan dan musim
kemarau. Musim hujan terjadi antara bulan Oktober sampai dengan bulan April sedangkan
musim kemarau terjadi antara bulan April sampai dengan bulan Oktober. Namun pada saat
ini waktu terjadinya musim kemarau dan hujan di Kabupaten Pamekasan tidak dapat
ditentukan secara pasti, hal ini pun terjadi pada sebagian besar wilayah lainnya di
Indonesia. Usaha produksi garam sangat tergantung pada musim, dimana usaha produksi
garam di Indonesia pada umumnya termasuk Kabupaten Pamekasan hanya dapat
diproduksi pada saat musim kemarau saja yaitu saat intensitas matahari tinggi dan tidak ada
hujan.
Produksi garam di Kabupaten Pamekasan dapat dibedakan menjadi tiga proses,
yaitu pengolahan lahan yang dilakukan ± 1 bulan, pemanenan yang dilakukan selama 3 – 5
kali dalam sebulan dan pengangkutan/pemasaran. Proses pengolahan lahan dilakukan
pada saat awal musim kemarau tiba. Proses ini merupakan proses vital yang menentukan
kualitas dan kuantitas garam yang dihasilkan. Proses pemanenan garam merupakan proses
pengumpulan garam dari lahan tambak dengan menggunakan alat tertentu ke pinggir-
pinggir pematang lahan tambak. Setelah garam terkumpul, maka proses selanjutnya adalah
memasukkan garam ke dalam karung dan kemudian diangkut menggunakan truk/mobil pick
up. Pada musim hujan, sebagian lahan tambak garam di Kabupaten Pemekasan
dimanfaatkan untuk budidaya ikan bandeng, yaitu pada bagian kolam penampungan air.
3.5.2. Status dan Efisiensi Produksi
Usaha produksi garam di Kabupaten Pamekasan dalam kondisi musim kemarau
normal dapat dilakukan selama 4 sampai dengan 6 bulan dalam setahun (Dinas Perikanan
dan Kelautan Kab. Pamekasan, 2010). Jika dalam musim kemarau tersebut tidak terjadi
hujan, maka produksi garam akan semakin meningkat. Berdasarkan informasi yang
diperoleh, pada kondisi optimal (musim kemarau yang stabil) rata-rata jumlah produksi per 1
Ha lahan di Kabupaten Pamekasan dapat menghasilkan garam sebanyak 125
ton/Ha/musim. Jika diasumsikan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 125
ton/Ha/musim dengan harga jual garam Rp. 235.000/ton, maka penerimaan yang diperoleh
oleh petani garam untuk luasan 1 Ha dalam 1 musimnya adalah sebesar Rp. 29.375.000,-
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
82
/musim. Pada Tabel 42. dapat dilihat rincian investasi dan biaya pada usaha tambak garam
berdasarkan tahapan kegiatan usahanya, yaitu persiapan lahan, pengelolaan dan pada
tahap panen penerimaan usaha tambak garam dengan luas lahan 1 hektare.
Tabel 45. Biaya Usaha Penggaraman Pamekasan, 2011
No. Uraian Volume Satuan Biaya (Rp.) Total (Rp.)
1 Persiapan Lahan a. Saluran 1 unit 1.000.000,- 1.000.000,- b. Meja peminian 1 unit 200.000,- 200.000,- c. Meja garam 1 unit 250.000,- 250.000,- d. Kincir angin 2 unit 1.250.000,- 2.500.000,- e. Pompa air : Pompa besar 1 unit 5.000.000,- 5.000.000,- Pompa kecil 1 Unit 3.000.000,- 3.000.000,- f. Alat perata tanah 1 Buah 100.000,- 100.000,- g. Pemecah garam 2 Buah 25.000,- 50.000,- h. Pengumpul garam 2 Buah 150.000,- 300.000,- i. Alat angkut 1 Unit 150.000,- 150.000,-
2 Pengelolaan a. Tenaga kerja 1 orang x 6 bulan 6 OB 25.000,- 4.500.000,- b. pemilik 1 orang x 6 bulan 6 OB 10.000,- 1.800.000,-
3 Panen a. Upah tenaga kerja panen 96 OB 20.000,- 1.920.000,- b. Konsumsi tenaga kerja panen 96 OB 15.000,- 1.440.000,- c. Upah tenaga angkut 125 Ton 30.000,- .750.000,-
Total Biaya 25.960.000,-
Sumber : Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Pamekasan, 2010.
Harga jual garam di Kabupaten Pamekasan sangat fluktuatif. Pada saat musim
panen harga garam berkisar antara Rp. 235.000/ton sampai dengan Rp.350.000/ton.
Namun pada saat musim paceklik (musim hujan) harga garam dapat mencapai Rp.
600.000/ton sampai dengan Rp. 1.000.000/ton. Hal tersebut terjadi pada tahun 2010,
dimana pada tahun tersebut hujan turun hampir sepanjang bulan, sehingga banyak lahan
garam yang ada di wilayah Madura maupun wilayah lainnya di Indonesia mengalami gagal
panen, sehingga terjadi lonjakan harga garam dari harga Rp. 235.000/ton (tahun 2009)
sampai dengan Rp. 1.000.000/ton (akhir tahun 2010).
Pada kondisi optimal (musim kemarau yang stabil) rata-rata jumlah produksi per 1
Ha lahan di Kabupaten Pamekasan dapat menghasilkan garam sebanyak 125
ton/Ha/musim. Jika diasumsikan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 125
ton/Ha/musim dengan harga jual garam Rp. 235.000/ton, maka penerimaan yang diperoleh
oleh petani garam untuk luasan 1 Ha dalam 1 musimnya adalah sebesar Rp. 29.375.000,-
/musim. Berdasarkan Tabelxx, diketahui bahwa keseluruhan total biaya dalam 1 musim yaitu
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
83
sebesar Rp. 25.960.000,-/musim. Sehingga keuntungan yang diperoleh adalah sebesar Rp.
3.415.000,-/musim.
Nilai R/C ratio pada usaha garam di Kabupaten Pamekasan yaitu sebesar 1,13, hal
ini menunjukkan bahwa usaha tambak garam layak diusahakan. Nilai R/C ratio dapat
dijadikan sebagai salah satu pertimbangan bagi lembaga permodalan untuk memberikan
tambahan modal usaha dengan mempertimbangkan aspek yang lain sehingga kegiatan
usaha tambak garam dapat lebih berkembang. Nilai Payback Period (waktu pengembalian
investasi) pada usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan yaitu 3,67, hal ini
menunjukkan bahwa nilai pengembalian investasi dalam satu siklus usaha adalah selama
3,67 tahun atau diperlukan hampir empat kali siklus usaha (musim panen) untuk
mengembalikan uang yang diinvestasikan bagi petani garam.
3.5.3. Daya saing komoditas
Garam merupakan salah satu komoditas yang memiliki peranan penting dalam
kehidupan sehari-hari maupun dalam keberlangsungan industri di Indonesia. Walaupun
Indonesia termasuk negara maritim, namun usaha meningkatkan produksi garam belum
diminati termasuk dalam usaha meningkatkan kualitasnya. Hal ini dibuktikan pada Tahun
2011 impor garam di Indonesia melalui Pelabuhan Tanjung Perak saja sudah mencapai 1,07
ton ( http://regional.kompas.com/read/2011/09/16/2211503). Pada umumnya garam yang di
impor merupakan garam dengan kualitas baik (setara K1), dalam hal ini merupakan garam
beryodium dan garam untuk kebutuhan industry.
Dalam era globalisasi perdagangan dan investasi saat ini, komoditas garam yang
dihasilkan harus dapat bersaing dengan komoditas sejenis asal negara lain, baik di pasar
internasional maupun pasar domestik. Persaingan tersebut dapat mengancam keberlanjutan
pengembangan usaha garam di Indonesia yang pada akhirnya akan menghambat laju
pertumbuhan produksi, serta mempengaruhi kesejahteraan ekonomi para petambak garam
di Indonesia. Persaingan antar produsen membuat pasar semakin terbuka.
Di Indonesia terdapat beberapa sentra produksi garam, salah satunya adalah
Kabupaten Pamekasan. Selain harus bersaing dengan wilayah lainnya di Indonesia,
produksi garam asal Kabupaten Pamekasan pun harus bersaing dengan produksi garam
asal negara lainnya, seperti Australia dan India. Kabupaten Pamekasan merupakan salah
satu sentra produksi garam yang ada di wilayah Jawa Timur. Dalam pemenuhan kebutuhan
garam nasional, produk garam asal Kabupaten Pamekasan harus bersaing dengan produk
garam asal sentra produksi disekitarnya, seperti produk garam asal Kabupaten Sampang
dan Kabupaten Sumenep. Daya saing produk dalam suatu wilayah menjadi penting untuk
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
84
melihat kemungkinan mampu bersaing dan bertahan untuk memenuhi permintaan pasar.
Untuk mengukur daya saing produk garam di Kabupaten Pamekasan diukur dengan
menggunakan matrik analisis kebijakan atau matrik PAM. Daya saing produk garam asal
Kabupaten Pamekasan akan dibandingkan dengan produk garam asal Kabupaten
Sumenep. Pengukuran daya saing yang dilakukan yaitu berdasarkan biaya faktor produksi,
biaya tradables input dan harga output. Berikut matrik PAM Usaha Tambak Garam di
Kabupaten Pamekasan dan Kabupaten Sumenep tahun 2011.
Tabel 46. Policy Analysis Matrix Garam Sumenep, 2011
Penerimaan
Biaya
Profit Input Produksi
Faktor Produksi
Private/Pamekasan Rp 29,375,000 Rp. - Rp 18,671,495 Rp. 10,703,505
Social/Sumenep Rp 29,375,000 Rp. - Rp 11,748,162 Rp. 17,626,838
Efek Divergensi Rp - Rp. - Rp 6,923,333 Rp. (6,923,333)
Sumber : Data Primer Diolah, 2011. Domestik Factor Cost Ratio (DRCR) = 1,58
Analisis yang dilakukan pada usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan tidak
memasukkan nilai input produksi. Hal ini dikarenakan jenis input produksi yang digunakan
pada usaha tambak garam adalah air laut. Air laut berdasarkan hak kepemilikannya bersifat
common property sehingga para petambak garam dapat dengan bebas memanfaatkan
sumberdaya ini. Berdasarkan tabel diatas terlihat terlihat bahwa daya saing produk garam
Kabupaten Pamekasan relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan produk garam
Kabupaten Sumenep. Hal ini terlihat dari nilai Domestic Resources Cost Ratio (DRCR) pada
lokasi tersebut sebesar 1,58. Nilai ini menunjukkan bahwa besarnya biaya faktor produksi di
Kabupaten Pamekasan jauh lebih tinggi sebesar 58% jika dibandingkan dengan biaya
produksi pada Kabupaten Sumenep. Faktor yang mempengaruhi besarnya biaya faktor
produksi pada Kabupaten Pamekasan adalah biaya sewa lahan, upah tenaga kerja dan
peralatan pendukung tambak garam yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan harga-
harga faktor produksi di Kabupaten Sumenep.
3.5.4. Karakteristik Pasar
3.5.4.1. Tata Niaga
Garam yang dihasilkan oleh petani tidak langsung dijual kepada konsumen, baik
konsumen rumah tangga maupun konsumen industri. Tetapi petani menjual produknya ke
pedagang pengumpul, kemudian pedagang pengumpul ke pabrik atau usaha garam rakyat.
Berdasarkan hasil penelitian, jalur distribusi garam di Kab. Pamekasan dibagi ke dalam tiga
jenis jalur distribusi, yaitu:
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
85
1. Jalur Ditribusi Garam
Pada jalur ini petani menjual hasil produksinya ke pengepul. Petani mengeluarkan biaya
produksi sampai dengan panen. Sedangkan pengepul mengeluarkan biaya untuk
pembelian karung. Pengepul kemudian menjual ke agen besar/distributor/ mitra
perusahaan. Dalam hal ini pengepul dapat langsung mengirimkan produk garam ke
pabrik, tetapi dengan ‘memegang’ lisensi dari mitra perusahaan tersebut atau ‘meminjam
nama’ agen/mitra perusahaan tersebut. Pabrik/perusahaan yang menerima produk
garam melakukan proses pencucian, iodisasi sampai dengan pengemasan. Produk yang
dikemas siap dikirimkan ke distributor atau pedagang besar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan hasil wawancara dengan dua perusahaan, daerah distribusi garam meliputi
Surabaya, Sumatera Utara (Medan), dan Kalimantan. Jalur distribusi dapat dilihat pada
Gambar 21. di bawah ini.
Petani Garam
Petani
Pengep
ul
Tengkulak
Agen/
distributor/
Mitra PT
PabrikPedagang
BesarPengecer Konsumen
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 20. Jalur Distribusi Produk Garam di Kabupaten Pamekasan
2. Jalur Distribusi Usaha Garam Rakyat
Selain didistribusikan ke pabrikan atau perusahaan, di Kabupaten Pamekasan terdapat
usaha garam rakyat skala industri rumah tangga. Para petani garam bergadung dalam
kelompok tani. Hasil produksi garam kelompok tani ini dijual ke Usaha Garam Rakyat
skala rumah tangga. Unit usaha ini melakukan pengolahan garam seperti perusahaan
garam, yaitu proses pencucian, iodisasi dan pengemasan. Kemudian unit usaha ini
mendistribusikan ke pedagang kecil/pengecer di pasar lokal Pulau Madura yaitu
Pamekasan dan Sumenep, dan pedagang kecil/pengecer di pasar local menjual kepada
konsumen. Selain dijual ke pasar local, hasil produksi garam dijual ke pedagang besar di
luar daerah, yaitu Jombang, Magetan, Banyuwangi dan Wonogiri. Jumlah produk garam
yang didistribusikan mencapai 80 ton/bulan. Frekuensi dan jumlah distribusi garam skala
rumah tangga
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
86
Tabel 47. Frekuensi & Jumlah Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga Kelompok Mutiara Indah, Kab. Pamekasan
No Daerah
Frekuensi
pengiriman (per
bulan)
Jumlah
Distribusi
(ton/bulan)
Keterangan
1 Lokal (Pamekasan &
Sumenep)
30 15 0,5 ton/hari
2 Wonogiri 2 20 10 ton/trip
3 Magetan 2 20 10 ton/trip
4 Banyuwangi 1 10 - 20 10 ton/trip
5 Jombang 1 10 10 ton/trip
Sumber: Data primer diolah, 2011
Jalur distribusi hasil produksi garam skala rumah tangga dapat dilihat pada Gambar 22.
di bawah ini.
Petani Garam
Rumah TanggaHome Industry Pengecer Lokal
Pedagang
BesarPengecer
Konsumen Lokal
Konsumen
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 21. Jalur Distribusi Produk Garam Skala Rumah Tangga di Kabupaten Pamekasan
3. Jalur Distribusi Garam Impor
Rendahnya hasil produksi garam menyebabkan beberapa perusahaan mengimpor
garam dari Australia dan India. Berdasarkan wawancara dengan pihak perusahaan
pengimpor yang menjadi responden, kuota impor garam yang dimiliki sebesar 80.000
ton/2 bulan. Kebutuhan produk garam perusahaan tersebut sekitar 750-1000 ton/hari
untuk didistribusikan ke pasar local (sekitar 20 ton/hari) dan luar daerah (seluruh
Indonesia) sekitar 750 – 1000 ton/hari. Garam impor ini disalurkan oleh perusahaan
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
87
pengimpor ke agen/distributor/mitra kerja perusahaan lain dan ke pedagang besar di
seluruh Indonesia. Agen/distributor/mitra kerja mendistribusikan ke perusahaan yang
menjadi mitra kerja para agen tersebut, pedagang besar sekitar Pulau Jawa (Surabaya,
Solo dan Kediri), dan pedagang kecil/pengecer di pasar local Kab. Pamekasan.
Sedangkan Perusahaan mendistribusikan garam impor ke pedagang besar di seluruh
Indonesia. Jalur distribusi garam impor dapat dilihat pada Gambar 23. di bawah ini.
Luar Negeri
Importir/
Pengolahan &
Pengemasan
Agen
distributor/Mitra
PT
Pengecer Lokal
Pabrik/PT
Pedagang
BesarPengecer Konsumen
Konsumen Lokal
Sumber: Data Primer diolah, 2011
Gambar 22. Jalur Distribusi Produk Garam Impor di Kabupaten Pamekasan
3.5.5. Investasi dan Potensi pengembangan Usaha
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Pamekasan, pelaku usaha
industri garam di wilayah ini mayoritas dalam skala usaha kecil atau usaha rakyat. Investasi
usaha tambak garam di Kabupaten Pamekasan antara lain terdiri dari lahan, kincir angin,
pompa air, gudang penyimpanan dan peralatan tambak garam lainnya. Khusus di
Kabupaten Pamekasan, investasi untuk jenis aset lahan merupakan investasi yang paling
besar dikeluarkan dalam usaha tambak garam. Hal ini dikarenakan, harga lahan yang
sangat tinggi (mencapai Rp.1.000.000,-/meter) dan luas lahan tersedia yang terbatas .
Semakin jauh lokasi lahan dari bibir pantai atau dekat dengan akses jalan, maka akan
semakin tinggi harga jual lahan tersebut. Petani garam di Kabupaten Pamekasan banyak
yang menyewa lahan garam dari orang lain untuk digarap, baik dengan cara sistem bagi
hasil atau sewa tahunan.
Berdasarkan status kepemilikan lahan, pada umumnya para petani garam di
Kabupaten Pamekasan yang memiliki lahan garam merupakan lahan warisan dari keluarga
yang sudah turun temurun. Untuk melakukan usaha tambak garam dengan luasan lahan 1
Ha, dibutuhkan biaya investasi ± Rp. 12.550.000,- yang digunakan untuk pengadaan aset
usaha. Namun, jika lahan yang digunakan adalah berupa lahan sewa, maka ditambahkan
dengan biaya sewa lahan. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata harga sewa lahan adalah
Rp. 3.000.000 Ha/Thn.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
88
Permasalahan yang dihadapi oleh usaha garam rakyat di Kabupaten Pamekasan
maupun di wilayah lainnya di Indonesia pada umumnya hampir sama. Pengelolaan usaha
garam rakyat ini selalu dihadapkan pada berbagai permasalahan, antara lain; (1) produksi
yang masih sangat bergantung pada iklim (musim kemarau), (2) mutu garam yang
dihasilkan masih rendah, (3) dukungan sarana, prasarana dan infrastruktur yang belum
optimal, dan (4) minimnya akses permodalan (pendanaan) serta pemasaran. Beberapa
permasalahan tersebut menjadi faktor utama terhambatnya perkembangan industri garam di
Indonesia.
Ketidakmampuan industri garam di Indonesia untuk memenuhi kebutuhan garam
nasional baik untuk konsumsi dan industri hal ini memberikan peluang terhadap negara-
negara lain untuk mengekspor garamnya ke Indonesia. Di satu sisi, impor garam memang
diperlukan untuk memenuhi defisit garam dalam negeri, namun di sisi lain dengan masuknya
garam impor membuat harga garam dalam negeri menjadi turun, sehingga tidak sedikit para
pelaku usaha garam rakyat di Indonesia yang mengalami kerugian. Sejauh ini, memang
kualitas garam impor sedikit lebih baik dibandingkan dengan garam dalam negeri dan dari
segi harga pun lebih murah. Kondisi inilah yang menambah terpuruknya industri garam di
Indonesia.
Berdasarkan data yang diperoleh, produksi garam oleh rakyat dan PT. Garam
sampai dengan tahun 2009 adalah sebanyak 1.100.000 ton, sedangkan jumlah produksi
garam yang setara dengan Kualitas 1 (K1) hanya sebesar 956.800 ton. Hal ini menunjukkan
bahwa hanya sebesar 87% garam yang dihasilkan memiliki kualitas 1 (K1), sedangkan
sebesar 13% dibawah kualitas 1. Tentu saja kualitas garam berpengaruh terhadap harga
garam. Untuk harga garam kualitas 1, untuk wilayah Kabupaten Pamekasan pada tahun
2009 adalah sebesar Rp.325.000,-/ton sedangkan untuk kualitas 2 adalah sebesar Rp.
250.000,-ton. Pada Tabel 45. berikut dapat dilihat perkembangan produksi garam pada
tahun 2005 sampai dengan tahun 2009.
Tabel 48. Perkembangan Produksi Garam Tahun 2005 – 2009.
Uraian
TAHUN
2005 2006 2007 2008 2009
Garam Rakyat (ton) 895,000 988,000 777,000 783,000 800,000
PT Garam (ton) 255,000 316,000 200,000 250,000 300,000
Jumlah Nasional (ton) 1,150,000 1,304,000 977,000 1,033,000 1,100,000
Produk Setara K1 (ton) 994,684 1,147,520 870,898 932,283 956,800
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
89
Indonesia sebagai salah satu negara kepulaan di dunia memiliki potensi sumber
daya kelautan dan perikanan yang cukup melimpah. Salah satu produk kelautan yang
dihasilkan oleh negara Indonesia adalah garam. Secara singkat, garam diproduksi dengan
cara menampung air laut, kemudian di uapkan dengan menggunakan sinar matahari
sehingga tertinggal kristal-kristal garam. Di Indonesia terdapat beberapa wilayah yang
menjadi sentra usaha garam rakyat, antara lain (1) Provinsi Jawa Barat, yaitu Kabupaten
Indramayu dan Kabupaten Cirebon dengan masing-masing potensi luas lahan 1.287,90 Ha
dan 1.728 Ha, (2) Provinsi Jawa Tengah, yaitu wilayah Kabupaten Pati dan Kabupaten
Rembang dengan masing-masing potensi luas lahan 2.860 Ha dan 1.465,14 Ha, (3) Provinsi
Jawa Timur, yaitu Kabupaten Sampang, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Pamekasan dan
Kabupaten Tuban dengan masing-masing potensi luas lahan 4.200 Ha, 1.864 Ha, 888,70
Ha dan 202,86 Ha, dan (4) Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu di Kabupaten Nagekeo
dengan potensi luas lahan 1.765 Ha.
Estimasi kebutuhan garam nasional baik industri dan konsumsi pada tahun 2012
mencapai 3.028.630 ton, sedangkan target produksi nasional pada tahun 2012 adalah
2.444.482. Dari nilai tersebut dapat diketahui bahwa Indonesia secara keseluruhan belum
mampu untuk memenuhi kebutuhan garamnya sendiri sehingga harus melakukan impor
garam dari negara lain, seperti Australia dan India. Pada tahun 2012, diperkirakan impor
garam yang dilakukan oleh Indonesia untuk memenuhi kebutuhan nasional adalah
sebanyak 584.148 ton (KP3K, 2011). Pada Tabel berikut akan disajikan besarnya estimasi
kebutuhan garam, target produksi dan impor garam di Indonesia sejak tahun 2010 sampai
dengan tahun 2014.
Tabel 49. Estimasi Kebutuhan, Target Produksi, Impor Garam di Indonesia, Tahun 2010 – 2014.
No Uraian Tahun
2010 2011 2012 2013 2014
1 Kebutuhan Nasional (Ton)
2.779.429 2.942.760 3.028.630 3.117.421 3.209.241
2 Target Produksi Nasional (Ton)
1.265.600 1.569.600 2.444.482 3.997.946 7.762.305
3 Impor (Ton) 1.513.829 1.373.160 584.148 -880.525 4.553.064
Sumber : KP3K, 2011.
Berdasarkan Tabel 46., diketahui bahwa estimasi kebutuhan nasional garam sejak
tahun 2010 sampai dengan tahun 2014 terus meningkat. Hal ini dapat menjadi salah satu
faktor pendorong pengembangan usaha garam di Indonesia dalam rangka pemenuhan
kebutuhan garamnya secara mandiri. Mayoritas usaha tambak garam yang dilakukan di
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
90
Indonesia tergolong dalam skala usaha kecil atau lebih dikenal dengan istilah usaha garam
rakyat.
Pengembangan industri kecil dan menengah merupakan salah satu kelompok
prioritas pengembangan industri di Indonesia yang tertuang dalam Peraturan Presiden
Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Jangka Menengah Nasional. Industri garam di
Indonesia pada umumnya dilakukan dalam skala usaha rakyat atau industri kecil. Sejalan
dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah, pemerintah melalui
Kementerian Kelautan dan Perikanan membuat kebijakan swasembada garam melalui
pemberdayaan usaha garam rakyat (PUGAR) yang bertujuan untuk meningkatkan produksi
dan mutu garam yang dihasilkan.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
91
IV. KESIMPULAN DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN
4.1. Kesimpulan
Dari hasil analisis yang telah disampaikan pada bab terdahulu, maka untuk masing-
masing komoditas budidaya yang dianalisis dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
4.1.1. Lele Kabupaten Bogor
Berdasarkan analisis fungsi produksi Cobb-Douglas, dapat disimpulkan bahwa
usaha budidaya komoditas Lele Kabupaten Bogor, berada dalam kondisi increasing return to
scale, yang mengindikasikan bahwa secara bersama-sama, penambahan input produksi
dan faktor produksi pada tingkat tertentu, akan meningkatkan produksi dengan proporsi
yang lebih besar dari besarnya tingkat penambahan input dan faktor tersebut. Selain itu,
diperoleh pula informasi bahwa pakan adalah variabel input produksi yang paling
berpengaruh secara signifikan terhadap produksi. Selanjutnya, pada analisis efisiensi
diketahui pula bahwa pada proses produksinya, terjadi nilai rata-rata efisiensi teknis yang
cukup tinggi, yaitu 0,99 dengan sebaran yang cenderung mendekati efisien.
Berdasarkan analisis daya saing, dengan menggunakan metoda PAM, maka
diperoleh nilai DRCR sebesar 1,55, dan TRCR sebesar 1,16. Kedua angka tersebut
merupakan indikator bagi rendahnya daya saing komoditas Lele kabupaten Bogor, baik
pada Faktor Produksi Domestik maupun Input Produksi Tradables, apabila dibandingkan
dengan pesaingnya dari Tulung Agung. Rendahnya daya saing tersebut terjadi, selain
karena harga faktor dan input yang tinggi, juga karena kondisi lingkungan yang
menimbulkan kebutuhan atas input tambahan berupa obat-obatan dan vitamin.
Berdasarkan analisis SCP, diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Lele
Kabupaten ini bersifat Oligopoli dengan kecenderungan adanya Kartel, yang
mengakibatkan para pembudidaya – yang diwakili oleh para ketua kelompoknya – dapat
melakukan pengaturan harga jual. Selain informasi tersebut, diperoleh pula informasi bahwa
wilayah pemasaran komoditas tersebut adalah daerah sekitar JABODETABEK serta
BOPUNCUR. Dari hasil wawancara, diperoleh pula informasi bahwa sebenarnya terdapat
permintaan yang cukup tinggi di daerah Batam. Namun tidak ada pemasar yang mau
memasarkan ke lokasi tersebut, karena margin pemasaran tidak menutup biaya pemasaran.
Adapun rantai pemasaran produk ini adalah melalui pengumpul, pedagang besar,
distributor, dan pengecer.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
92
Dari data primer yang diolah, maka diperoleh informasi bahwa nilai Investasi untuk
berusaha budidaya lele di kabupaten Bogor ini sangat besar. Tidak kurang dari Rp.
90,000,000.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 543,000,000.- untuk biaya operasional
satu tahun. Adapun kesempatan usaha yang nampaknya muncul adalah di bidang
pembenihan, pemasaran ke luar kota, serta usaha produksi pakan tambahan.
4.1.2. Patin Muaro Jambi
Usaha budidaya Patin di Kabupaten Muaro Jambi berada pada kondisi decreasing
return to scale, yang menunjukkan bahwa proporsi peningkatan penggunaan input dan
faktor produksi lebih besar dari proporsi peningkatan produksi yang terjadi. Selain itu
diperoleh juga informasi bahwa benih merupakan variabel input produksi yang memiliki
pengaruh signifikan terbesar terhadap produksi.
Dari hasil analisis daya saing, diperoleh informasi bahwa komoditas Patin Kabupaten
Muaro Jambi ini berdayasaing relatif lebih tinggi dibandingkan pesaingnya di Kabupaten
Katingan. Hal tersebut ditunjukan oleh nilai DRCR sebesar 0,83 dan TRCR sebesar 0,75,
yang menunjukkan Kabupaten Muaro Jambi memiliki keunggulan dibandingkan pesaingnya
baik dari segi faktor produksi domestik maupun input produksi tradable.
Dari analisis SCP, maka diperoleh informasi bahwa Pasar komoditas Patin
Kabupaten Muaro Jambi ini bersifat monopsoni, dimana banyak pembudidaya dengan
hanya satu pembeli yang memiliki kemampuan untuk mengatur harga beli. Selain itu,
diketahui pula bahwa wilayah pemasarannya mencakup pasar lokal di kota Jambi, maupun
luar kota hingga ke Provinsi Sumsel dan Bangka Belitung. Adapun jalur pemasaran
komoditas ini adalah melalui para pengumpul kecil, seorang pedagang besar, beberapa
distributor luar kota, dan banyak pengecer.
Dari olahan data primer, diperloleh informasi bahwa nilai Investasi untuk berusaha
budidaya patin di Muaro Jambi ini sangat besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan
kolam rata-rata 2,412 m2, akan dibutuhkan sekitar Rp. 39,195,150.-, untuk investasi pada
asset, dan Rp. 434,299,759.- pada biaya operasional 1 tahun. Kesempatan pengembangan
usaha di budidaya Patin Muaro Jambi muncul di bidang pemasaran, terutama pemasaran ke
luar negeri.
4.1.3. Gurame Banyumas
Usaha budidaya komoditas Gurame di Kabupaten Banyumas, berdasarkan analisis
fungsi produksi, berada pada kondisi increasing return to scale. Selain itu, diketahui pulah
bahwa secara rata-rata terjadi efisiensi teknis dengan nilai sebesar 0,95. Selanjutnya, dapat
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
93
disimpulkan pulah bahwa pakan adalah variabel input produksi yang secara signifikan paling
berpengaruh terhadap produksi.
Dari analisis PAM, diperoleh informasi bahwa Komoditas Gurame Kabupaten
Banyumas memiliki dayasaing yang relatif sedikit lebih tinggi pada Input tradable
dibandingkan komoditas saingan dari Tulungagung, yang ditunjukkan dengan nilai TRCR
sebesar 0,9. Adapun di sisi daya saing faktor produksi domestic, dengan nilai DRCR
sebesar 1, maka dapat dikatakan bahwa Komoditas ini memiliki daya saing yang sebanding
dengan komoditas saingannya.
Dari hasil analisis SCP, dapat disimpulkan bahwa Pasar Komoditas Gurame
Kabupaten Banyumas bersifat monopsoni, dimana terdapat banyak pembudidaya dengan
hanya satu pembeli besar yang mengatur harga beli. Selain itu, dikitahui pula bahwa wilayah
pemasaran komoditas ini adalah di pasar lokal sekitar kabupaten Banumas saja. Hakl
tersebut merupakan akibat dari system pembayaran para pemasar yang menggunakan
sistem tunda, sehingga para pembudidaya mengalami resiko kekurangan modal untuk
menutupi biaya operasional jika masa tunda pembayaran penjualan ke luar kota terlalu lama
(tidak kurang dari 1 bulan). Adapun jalur pemasaran komoditas Gurame ini adalah melalui
melalui para pengumpul, seorang pedagang besar, dan akhirnya banyak pengecer.
Investasi untuk untuk berusaha budidaya Gurame di Banyumas ini dapat dikatakan
relatif tidak terlalu besar. Untuk berusaha budidaya dengan luasan kolam rata-rata 1,205 m2,
hanya dibutuhkan sekitar Rp. 12,947,672.- untuk investasi pada asset, dan Rp. 47,303,793.-
untuk biaya operasional satu tahun. Dilihat dari kondisi usaha saat ini, maka usaha budidaya
Gurame ini lebih cenderung untuk dikembangkan kearah usaha pemasaran ke luar kota
seperti Jakarta, dan Jawa Barat.
4.1.4. Rumput Laut Kendari
Usaha budidaya Komoditas Rumput Laut di Kendari, berdasarkan analisis fungsi
produksi, berada pada kondisi yang decreasing return to scale. Selain itu, secara rata-rata,
terjadi efisiensi penggunaan input dan faktor produksi dengan nilai rata-rata sebesar 1,10.
Hal tersebut menunjukkan bahwa Budidaya Rumput Laut di Kendari sudah melampau titik
efisiennya. Selanjutnya, diketahui pula bahwa bibit merupakan variabel input produksi yang
secara signifikan paling berpengaruh terhadap produksi.
Dari analisis daya saing menggunakan metode PAM, maka diperoleh informasi
bahwa Komoditas ini memiliki daya saing input tradable yang rendah jika dibandingkan
dengan komoditas serupa yang dihasilkan di Lombok, ditunjukan oleh nilai TRCR sebesar
1,38. Selain itu, dapat dikatakan bahwa daya saing faktor produksi domestik komoditas ini
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
94
cukup baik jika dibandingkan dengan komodias serupa produk Lombok, yang ditunjukkan
dengan nilai DRCR sebesar 0,98.
Dari analisis SCP, dapat dilihat bahwa Pasar Komoditas Rumput Laut Kendari
bersifat monopsoni, dimana terdapat banyak pembudidaya dengan hanya satu pembeli
utama yang memiliki kemampuan untuk menentukan harga. Adapun wilayah pemasaran
akhir bagi komoditas ini adalah di luar kota (Surabaya) sebagai bahan baku bagi produksi
turunan Rumput Laut. Selanjutnya, rantai pemasaran bagi produk ini adalah melalui melalui
para pengumpul kecil, beberapa pengumpul besar di Makassar, dan akhirnya satu
pengumpul besar di Surabaya/Pabrik pengolah.
Nilai investasi untuk berusaha budidaya rumput laut di Kendari dapat dikatakan relatif
cukup rendah. Untuk berproduksi dengan luasan lahan sekitar 12,589 m2, hanya diperlukan
sekitar Rp. 11,440,754.- untuk investasi dalam asset produksi, dan Rp. 9,715,909.- untuk
biaya operasional satu tahun. Adapun dilihat dari dinamika usaha di lapangan, maka
nampaknya pengembangan usaha Komoditas Rumput Laut di Kendari lebih cenderung jika
di arahkan ke pengolahan Rumput Laut di lokasi.
4.1.5. Garam Pamekasan
Dari hasil analisis daya saing, maka dapat disimpulkan bahwa Komoditas Garam
Pamekasan memiliki nilai dayasaing Faktor produksi yang rendah jika dibandingkan dengan
komoditas saingannya dari Sumenep. Hal tersebut dapa dilihat dari nilai DRCR sebesar
1,58, yang mengindikasikan bahwa biaya faktor produksi domestik di Pamekasan 58% jauh
lebih tinggi dibandingkan biaya yang terjadi di Sumenep.
Dari hasil analisis SCP, dapat dikatakan bahwa Pasar Komoditas Garam Pamekasan
ini cenderung bersifat pasar persaingan sempurna, dimana terdapat banyak penggaram
yang menghasilkan produk serupa, sehingga tidak memiliki maket power. Adapun wilayah
pemasaran komoditas ini mencakup pasar baik lokal maupun nasional. Sedangkan rantai
pemasaran yang terjadi adalah melalui banyak pengumpul, banyak tengkulak, banyak agen,
beberapa pabrik, bebarapa pedangang besar, dan banyak pengecer.
Nilai investasi untuk bertani garam di Pamekasan dapat dikatakan cukup rendah.
Untuk berusaha dengan luasan 10,000 m2, hanya dibutuhkan investasi dalam asset sebesar
Rp. 15,324,816.-, dan investasi dalam biaya operasional satu tahun sebesar Rp.
18,671,495. Mengingat besarnya permintaan domestik atas komoditas ini, maka sepatutnya
pengembangan usaha komoditas Garam Pamekasan ini dapat diarahkan ke bidang
industrialisasi yang menghasilkan garam dengan kualitas lebih baik.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
95
4.2. Implikasi Kebijakan
Dengan diperolehnya berbagai fakta hasil analisis data seperti yang telah
disimpulkan di bagian terdahulu, maka untuk masing-masing komoditas, agar program
minapolitan dapat bergulir secara berhasil, terdapat berbagai implikasi kebijakan yang
bersifat commodity-specific, yang harus diambil oleh para pengambil keputusan. Di bawah
berikut akan disampaikan secara singkat berbagai kebijakan yang harus disiapkan untuk
masing-masing komoditas.
4.2.1. Lele Kabupaten Bogor
Untuk tujuan peningkatan produksi serta daya saing komoditas Lele di Kabupaten
Bogor, maka perlu kiranya diadakan program peningkatan ketersediaan dan stabilisasi
harga berbagai Input Produksi – terutama input produksi berupa pakan. Peningkatan
ketersediaan input, selain akan mempermudah para pembudidaya untuk memperoleh akses
bagi peningkatan penggunaan input produksi, juga diharapkan akan menginisiasi terjadinya
peningkatan supply input di pasaran, sehingga – ceteris paribus – akan mengakibatkan
terjadinya penurunan harga pasar secara otomatis. Penurunan harga input tersebut
selanjutnya juga akan menjadi faktor yang memperkuat daya saing Komoditas Lele
Kabupaten Bogor. Apabila telah terjadi penurunan harga, maka selanjutnya perlu dilakukan
stabilisasi untuk mempertahankan harga agar tidak terjadi peningkatan kembali.
Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran komoditas ini, maka perlu kiranya
diadakan program bantuan pengiriman ke pasar potensial (Batam). Hal ini dapat dilakukan
melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas
Lele ke pasar potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh pemerintah. Adapun
pada operasionalnya, Lembaga Pemasaran ini akan langsung melakukan pembelian ke
pembudidaya dan memasarkannya ke wilayah pemasaran potensial, sehingga marjin
pemasaran yang terjadi akan mencukupi karena berkurangnya peran para middlemen
(tengkulak, dan Pedagang besar) dalam tataniaga.
Untuk tujuan Investasi dan pengembangan usaha, maka perlu kiranya diadakan
program bantuan investasi, khusus bagi para pelaku yang berminat untuk berusaha di
bidang pembenihan serta pembuatan pakan tambahan di Kabupaten Bogor. Adapun jenis
bantuan yang dapat diberikan dapat berupa pinjaman lunak untuk modal melakukan usaha
di sektor yang berhubungan dengan perikanan, maupun bantuan penyediaan sarana
produksi murah.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
96
4.2.2. Patin Muaro Jambi
Pada dasarnya daya saing komoditas Patin Muaro Jambi di skala nasional relatif
cukup tinggi, sehingga untuk mempertahankan tingginya daya saing tersebut para
pengambil kebijakan tinggal menjaga stabilitas harga input dan faktor produksi agar tidak
mengalami peningkatan harga yang cukup drastis. Akan tetapi terdapat dua hal yang
menjadi permasalahan bagi usaha budidaya Patin di kabupaten Muaro Jambi.
Permasalahan pertama adalah relatif masih tradisionalnya teknologi budidaya sehingga
mengakibatkan terjadinya decreasing return to scale; dan kedua adalah masih terbatasnya
skala pemasaran di pasar lokal dan regional.
Untuk mengatasi permasalah masih tradisionalnya usaha budidaya Patin, maka
perlu dilakukan program pengenalan teknologi serta tata-cara usaha budidaya yang modern
kepada para pembudidaya, serta program bantuan untuk berinvestasi pada sarana yang
modern. Modernisasi usaha budidaya tersebut diharapkan akan mengembalikan posisi
usaha kembali ke keadaan increasing return to scale, serta meningkatkan kualitas produk
sehingga siap untuk dipasarkan secara internasional.
Sumber dari keterbatasan skala pemasaran sebenarnya berada pada rantai
pemasaran yang berlangsung saat ini, dimana hanya terdapat satu orang pedagang besar
yang meskipun memiliki kemampuan untuk mengatur harga, namun juga memiliki
keterbatasan kemampuan permodalan untuk menembus pasar lebih luas. Oleh karena itu,
permasalahan ini harus diatasi melalui pengembangan sebuah lembaga pemasaran yang di
tunjang secara financial oleh pemerintah. Lembaga ini akan langsung membeli produk dari
pembudidaya dan memasarkannya ke berbagai pasar nasional maupun internasional yang
potensial, sehingga dapat mengurangi inefisiensi dari banyaknya campur tangan para
middlemen. Selain itu, diharapkan lembaga ini dapat mengurangi praktek monopsoni yang
selama ini berlangsung di bidang pemasaran Komoditas Patin Kabupaten Muaro Jambi.
4.2.3. Gurame Banyumas
Serupa dengan Komoditas Patin Muaro Jambi, daya saing Komoditas Gurame
Banyumas memiliki daya saing yang cukup baik di tingkat nasional. Sehingga untuk
mempertahankan keunggulan tersebut, maka para pengambil kebijakan cukup melakukan
program stabilisasi harga input dan faktor produksi di Kabupaten Banyumas.
Adapun hal yang menjadi masalah bagi kelangsungan usaha budidaya gurami
kabupaten Banyumas ini adalah perihal terbatasnya skala pemasaran hingga di tingkat lokal
saja, padahal permintaan di tingkat nasional cukup tinggi dan menjanjikan. Sumber dari
permasalahan tersebut adalah adanya praktek monopsoni, serta sistem bayar tunda yang
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
97
selama ini berlangsung. Oleh karena itu, agar masalah ini dapat diatasi, maka perlu kiranya
dilakukan program Pengembangan Informasi Pemasaran, Penjaminan Permodalan
Pemasaran, serta pengembangan lembaga pemasaran yang ditunjang penuh secara
finansial oleh pemerintah.
Pengembangan informasi pemasaran diharapkan akan menyediakan informasi yang
dibutuhkan oleh pembudidaya mengenai berbagai pasar potensial serta para penyalur di
lokasi tersebut, sehingga mengurangi ketergantungan para pembudidaya terhadap
pengetahuan pedagang besar (Assimetric Information), dan mengurangi praktek monopsoni.
Selain itu, juga akan menyediakan informasi yang dibutuhkan oleh para penyalur di lokasi
yang potensial mengenai potensi budidaya kabupaten Banyumas.
Penjaminan permodalan pemasaran, diharapkan akan dapat mengurangi resiko
terjadinya kekurangan modal untuk operasional para pembudidaya, sebagai akibat dari
perputaran kas yang cukup lama dari sistem bayar tunda, juga memperluas lokasi
pemasaran komoditas. Melalui penyediaan pinjaman lunak bagi para pedagang, maka
memungkinkan bagi para pembudidaya untuk langsung menerima kas pada saat produk
dibeli, dan para pemasar untuk menyicil pembayaran setelah produk dijual.
Untuk tujuan perluasan wilayah pemasaran, maka perlu juga kiranya dikembangkan
sebuah lembaga pemasaran yang bertugas memasarkan Komoditas Gurame Kabupaten
Banyumas ke pasar nasional yang potensial, yang tentunya ditunjang secara finansial oleh
pemerintah. Adapun pada operasionalnya, Lembaga Pemasaran ini akan langsung
melakukan pembelian ke pembudidaya dan memasarkannya ke wilayah pemasaran
potensial, sehingga marjin pemasaran yang terjadai akan mencukupi karena berkurangnya
peran para middlemen (pengumpul, dan Pedagang besar) dalam tataniaga.
4.2.4. Rumput Laut Kendari
Permasalahan yang dialami oleh usaha budidaya Rumput Laut di Kendari adalah
terjadinya decreasing return to scale, dan daya saing input produksi tradables yang rendah.
Oleh karena itu, untuk meningkatkan produksi dan daya saing Komoditas ini, maka opsi
yang dihadapi oleh para pengambil keputusan agar terjadi peningkatan produksi dan daya
saing adalah melakukan program modernisasi budidaya, peningkatan ketersediaan dan
stabilisasi harga input produksi di Kendari. Selain itu, cukup memungkinkan bagi komoditas
ini untuk dikembangkan pengolahannya, agar terjadi peningkatan pendapatan masyarakat
pelaku Usaha Budidaya Rumput Laut di Kendari.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
98
4.2.5. Garam Pamekasan
Permasalahan bagi komoditas Garam di Pamekasan adalah rendahnya kualitas
produk dan daya saing, serta tergantungnya usaha terhadap variabel di luar kendali seperti
cuaca. Oleh karena itu, opsi kebijakan yang dihadapi oleh para pengambil keputusan untuk
meningkatkan produksi dan daya saing produk garam Pamekasan adalah dengan
melakukan program modernisasi proses produksi, peningkatan efisiensi faktor produksi dan
investasi riset teknologi yang mengurangi ketergantungan para petambak garam akan
variabel cuaca.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
99
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A. B. 1998. Visi Baru Sebuah Pelabuhan. Agrimedia Volume 4 No. 3. ISSN
08538468. (Online). Available at : http://journal.ipb.ac.id/index.php/agrimedia/article/
viewFile/2577/1563. Verified at : 27 Januari 2011.
Anonim. 20101. Rencana Strategis Kementerian Kelautan dan Perikanan 2010-2014.
Kementarian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 20102. Stastistik Ekspor Impor Perikanan Indonesia Tahun 2009. Pengolahan dan
Pemasaran Hasil Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Anonim. 2010. The Value Chain. (Online). Available at : (http://www.netmba.com
/strategy/value-chain/. Verified at : 20 Februari 2011.
Anonim. The Value Chain. (http://www.netmba.com /strategy/value-chain/, diunduh tanggal
20 Februari 2011.
Arianto, E. 2008. MEngukur Struktur Industri (Pasar). http://strategika.wordpress.com/
2008/08/04/mengukur-struktur-industri/ diunduh tanggal 25 Februari 2011
Battese, G. E. 1991. Frontier Production Funtions and Technical Effeicieny : A Survey of
Empirical Application in Agricultural Economics. Departemen of Econometrics
University of New England Armidale, Australia.
Chopra, Sunil & Peter Meindl. 2007. Supply Chain Management: Strategy, Planning &
Operations, 3rd Edition. Pearson Prentice Hall.
Daryanto, A. 2009. Dinamika Daya Saing Industri Peternakan. IPB Pres – Bogor,
Indonesia. 238 hal.
Daryanto, A. 2010. Minapolitan: Strategi Peningkatan Daya Saing Perikanan Berbasis
Klaster. Artikel Majalah Trobos Edisi Februari 2010
Monke, E.A. & S.R. Pearson. 1989. The Policy Analysis Matrix For Agricultural
Development. http://www.stanford.edu/group/FRI/indonesia/documents/pambook/
pambook.pdf diunduh tanggal 18 Februari 2011
Muslim, E. & G.T. Febriana. 2008. Analisis Industri Hypermarket di Indonesia dengan Aliran
Structure Conduct Performance. Makalah Seminar on Application and Research in
Industrial Technology di Yogyakarta tanggal 27 Agustus 2008.
RISET DAYA SAING PRODUK DAN KARAKTERISTIK PASAR, PENGEMBANGAN USAHA, INVESTASI DAN INDUSTRI PERIKANAN 2011
100
Sukiyono, K. 2004. Analisis Fungsi Produksi dan Efesiensi Teknik : Aplikasi Fungsi Produksi
Frontier Pada Usahatani Cabai di Kecamatan Selupu Rejang, Kabupaten Rejang
Lebong. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia Vol. 6 No 2. Hlm 104 – 110. ISSN
1411-0067. (Online). Available at http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/
jurnal/6204104110.pdf . Di unduh pada: 28 Februari 2011.
Syabana, A. 2011. Kawasan Minapolitan Percontohan berbasis Perikanan Tangkap di PPN
Pelabuhan Ratu. (Online). Availabel at : http://akhmadsyahbana.wordpress.com
/2011/01/14/kawasan-minapolitan-percontohan-berbasis-perikanan-tangkap-di-ppn-
palabuhanratu/. Di unduh pada: 25 Januari 2011