risywah dalam tafsir fatḤ al qadĪr karya al...
TRANSCRIPT
RISYWAH DALAM TAFSIR FATḤ AL-QADĪR KARYA
AL-SYAUKĀNĪ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana
Agama (S. Ag.)
Oleh
Kansul Fikri Syah
NIM: 11140340000257
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1441 H / 2019 M
v
ABSTRAK
KANSUL FIKRI SYAH
Risywah dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr Karya al-Syaukānī
Wacana sosial dan permasalahan di Indonesia yang terus
diperbincangkan adalah masalah risywah atau suap menyuap. Tahun ini
(2019) survei Transparency International: The Global Coalition Against
Corruption merilis temuannya yang mengejutkan, Indeks Persepsi Korupsi
(IPK) pada tahun 2018 memaparkan Indonesia naik satu poin, dari 88
menjadi 89, masih jauh di bawah Singapura (3) dan Malaysia (61), namun
di atas Filipina (99) dan Thailand (99). Maraknya aktivitas risywah yang
terjadi, membuat penulis ingin melihat dari kacamata penafsiran al-
Syaukānī (w. 1834) dalam tafsirnya Fatḥu al-Qadīr. Ia dipilih karena
pernah menjabat sebagai qadi atau hakim di Yaman, kala menjabat ia
melakukan berbagai kebijakan salah satunya melawan risywah.
Metode yang digunakan dalam menganalisa risywah dalam tafsir
Fatḥu al-Qadīr, yaitu menggunakan metode tematik atau mauḍhū’i. Penulis
menghimpun ayat-ayat yang berkaitan erat dengan risywah yang terdapat
dalam al-Quran, kemudian mengklasifikasikan dan memilih ayat yang
menurut penulis perlu untuk dijadikan bahan kajian lebih mendalam di
penelitian ini. Kesimpulannya adalah, dalam al-Quran sendiri tidak ada kata risywah atau “ ة و ش ر ”, namun berdasarkan penafsiran atau pendapat al-Syaukānī menunjukkan bahwa al-Baqarah ayat 188 pada kata “ ل ب اط ل -al ,”ب Māʹidah ayat 42 pada kata “ ت dan an-Naml ayat 35-36 pada kata ,”ل لسح -di dalamnya terkandung makna atau pengertian risywah. al ,”ب د ية “Syaukānī mengemukakan risywah dalam tafsirnya sebagai berikut. Pertama, tidak diperbolehkannya seorang memberikan risywah kepada hakim ketika sedang menangani suatu perkara, apabila hakim telah memenangkan perkaranya dengan cara menyuap maka seorang tersebut telah melakukan hal batil (hal ini berlaku kepada seluruh umat). Kedua, Kaum Yahudi amat suka memberikan risywah kepada hakim (pemuka agamanya) untuk mengubah suatu hukum perihal hukuman bagi pezina. Ketiga, Ratu Balqis ingin memberikan hadiah (risywah) kepada Nabi Sulaiman namun ia menolaknya. Ratu Balqis berkata, “Apabila ia (Sulaiman) serang raja maka ia akan menerima hadiah tersebut, sebaliknya apabila ia seorang nabi maka ia akan menolaknya”. Kata kunci: Risywah, Suap-menyuap, al-Syaukānī, Fatḥu al-Qadīr
vi
KATA PENGANTAR
م ي ح الرن ح الرالل م س ب
Assalamu’alaikum. Wr. Wb. Segala puji hanya milik Allah, sang
pencipta alam beserta seluruh isi yang ada di dalamnya. Hanya kepada-Nya
penulis meminta petunjuk, arahan, dan memohon kemudahan di setiap
langkah beserta urusan yang sedang dihadapi. Selawat dan salam semoga
senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai junjungan
makhluk, penyampai ajaran untuk menuntun manusia menuju jalan yang
diridai-Nya.
Skripsi adalah semacam suatu tugas yang menandakan berakhirnya
proses pendidikan di bangku kuliah. Namun, bagi penulis selesainya skripsi
ini menjadi langkah awal penulis untuk melanjutkan pendidikan lebih lanjut
ke jenjang pendidikan di atasnya, amin. Proses penulisan skripsi ini cukup
lama mulai awal Bulan Mei 2019 hingga rampung pada Hari Rabu 4
September 2019, baru mendapat persetujuan dari dosen pembimbing
penulis. Ada banyak rintangan dan kendala di dalamnya, dari proses
kelengkapan administrasi, mencari rujukan referensi, hingga beberapa
kegiatan lainnya. Untuk referensi, penulis mencari buku-buku di toko
online, beberapa jurnal di Google Scholar, Waqfeya, LIPI, One Search,
Moraref, dan lainnya. Beberapa di Perpustakaan di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta; Perpustakaan Umum, Perpustakaan Fakultas (PF)
Ushuluddin, PF Syariah dan Hukum, Perpustakaan Pasca Sarjana, Pusat
Studi al-Quran, Iman Jama Perpustakaan, Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, hingga buku-buku koleksi pribadi teman-teman penulis. Namun,
secara efektif dan kontinu proses penulisan skripsi beserta editannya, ketika
dikalkulasikan kurang lebih hanya memakan waktu dua bulanan lamanya.
vii
Berkat bantuan dan dorongan dari semua pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, skripsi ini rampung. Tidak ada kata lain untuk
mereka kecuali ucapan terima kasih, semoga Allah membalas semua jasa-
jasa mereka sehingga penulisan skripsi ini terselesaikan dengan baik, amin.
Penulis mengungkapkan ucapan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A selaku Rektor
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Yusuf Rahman, M.A sebagai Dekan Fakultas Ushuluddin UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, beserta jajaran, dan stafnya.
3. Dr. Eva Nugraha, M.A selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan
Fahrizal Mahdi, Lc,. MIRKH sebagai Sekretaris Prodi Ilmu al-
Quran dan Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta—meskipun keduanya baru menjabat, terobosan
kebijakannya sangat membantu terhadap percepatan proses skripsi.
Serta tak lupa kepada Dr. Lilik Umi Kultsum, M.A dan Banun
Binaningrum, M.Pd., selaku ketua dan wakil Prodi yang menjabat
sebelumnya.
4. Dr. Hassani Ahmad Said, M.A selaku dosen pembimbing yang telah
meluangkan waktunya untuk membimbing, memberikan beberapa
masukan-masukan, dan koreksi untuk merampungkan skripsi ini.
5. Dr. Ahsin Sakho Bin Muhammad, M.A selaku dosen pembimbing
akademik.
6. Dr. Suryadinata, M.Ag dan Dr. M. Zuhdi Zaini, M.Ag selaku dosen
penguji yang telah memberikan masukan-masukan terhadap isi
skripsi ini.
7. Kepada orang tua penulis; Ahmad Saedi dan Honnayah, yang tidak
pernah lelah mendoakan dan memberikan semangat, nasihat,
masukan untuk tetap fokus mengerjakan skripsi ini. Nasihat mereka
viii
memberikan energi dan optimisme kepada penulis. Tak lupa juga
kepada kedua adik perempuan; Majdia Auda dan Ismi Najwa
Nabila, beserta seluruh keluarga sanak saudara yang tidak bisa
penulis sebutkan satu persatu.
8. Para kawan aktivis di; Ikatan Mahasiswa Bata-Bata (IMABA),
Forum Mahasiswa Madura (FORMAD), Himpunan Mahasiswa
Islam (HMI), Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT, Forum
Mahasiswa Ciputat (FORMACI), dan lainnya.
9. Kepada saudara-saudara penulis senasib seperjuangan di Jakarta;
Riza Nur Mahbobi, Lutfiadi, dan Fadlul Haq Ramadani
10. Teman-teman Basecamp Cabang, teman angkatan; Nur Kholis
Swandy, Abdurahman, Ubaidillah, Miftahul Munir, dan Ahmad
Muzayyan, teman kosan; Ihwanur Rifqi, pendidik kompre baca
kitab; Khoirul Anam, Moh. Roki’in, yang membantu
menerjemahkan kitab Rizqiyatun Hozaituna dan teman
perkongsian; Zainunddin serta teman-teman lainnya yang tidak bisa
disebutkan satu persatu.
Hanya kepada Allah penulis berharap, siapa pun yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga Allah
membalasnya, memberikan kesehatan, optimisme, kemudahan segala
urusan, dan takdir baik menyertainya, amin.
Wassalamu’alaikum. Wr. Wb.
Kota Tangerang Selatan, 20 Desember 2019
Kansul Fikri Syah
NIM: 11140340000257
ix
DAFTAR ISI
COVER
LEMBAR JUDUL........................................................................................i
LEMBAR PERNYATAAN PENULIS......................................................ii
LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING .............................iii
LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI......................................................iv
ABSTRAK....................................................................................................v
KATA PENGANTAR................................................................................vi
DAFTAR ISI.............................................................................................viii
TRANSLITERASI.....................................................................................xi
DAFTAR TABEL....................................................................................xvii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................1
A. Latar Belakang............................................................................1
B. Identifikasi Masalah....................................................................7
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................8
D. Tinjauan Pustaka.......................................................................10
E. Metodologi Penelitian...............................................................11
F. Sistematika Penulisan...............................................................16
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI AL-SYAUKĀNĪ
DAN TAFSIR FATḤU AL-QADĪR............................................18
A. Biografi al-Syaukānī.................................................................18
1. Sejarah Hidup.......................................................................18
2. Aktivitas Keilmuan..............................................................20
B. Karakteristik Tafsir Fatḥu al-Qadīr..........................................22
1. Pengenalan Tafsir Fatḥu al-Qadīr.......................................22
2. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan........................................24
x
3. Pendekatan dan Metode Tafsir.............................................25
BAB III DESKRIPSI UMUM TENTANG RISYWAH............................29
A. Pengertian Risywah................................................................29
B. Perbedaan Risywah dan Hadiah..............................................33
BAB IV ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG RISYWAH DALAM
TAFSIR FATḤ AL-QADĪR KARYA AL-SYAUKĀNĪ............36
A. Ayat-Ayat Tentang Risywah....................................................36
B. Penggunaan Kata Risywah dalam Tafsir Fatḥu al-Qadīr.......37
C. Surah al-Baqarah Ayat 188......................................................38
D. Surah al-Māʹidah Ayat 42........................................................44
E. Surah an-Naml Ayat 35-36......................................................53
BAB V PENUTUP....................................................................................59
A. Kesimpulan...............................................................................59
B. Saran.........................................................................................59
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................61
Lampiran
xi
PEDOMAN TRANSLITERASI
Pedoman Transliterasi Arab Latin yang merupakan hasil keputusan
bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Nomor: 158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543 b/U/1987.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
ṡ es dengan titik atas ث
J Je ج
ḥ ha dengan titik bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Ż zet dengan titik atas ذ
R Er ر
Z Zet ز
xii
S Es س
Sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
ṭ te dengan titik bawah ط
ẓ zet dengan titik bawah ظ
‘ عKoma terbalik di atas hadap
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qi ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
xiii
H Ha ه
Apostrof ’ ء
Y Ye ي
2. Vokal
Vokal terdiri dari dua bagian, yaitu vokal tunggal dan vokal rangkap.
Berikut ketentuan alih aksara vokal tunggal:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah ـ
I Kasrah ـ
U Ḍammah ـ
Adapun vokal rangkap ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يـ Ai a dan i
وـ Au a dan u
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang dalam bahasa Arab
dilambangakan dengan harkat dan huruf, yaitu:
xiv
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā a dengan topi di atas ى
Ī i dengan topi di atas ى ي
Ū u dengan topi di atas ى و
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan dengan
huruf ال dialih aksarakan menjadi huruf ‘l’ baik diikuti huruf syamsiyah
maupun huruf qamariyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
5. Syaddah (Tasydīd)
Syaddah atau tasydīd yang dalam system tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda (ـ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan
tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah.
Misalnya, kata ضرورةال tidak ditulis ad-ḍarūrah tapi al-ḍarūrah.
6. Tā’ Marbūṭah
Kata Arab Alih Aksara Keterangan
Ṭarīqah Berdiri sendiri طريقة
-Al-jāmi‘ah al الجامعةالإسلامية
islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat
xv
waḥdat al-wujūd وحدةالوجودDiikuti oleh kata
benda
7. Huruf Kapital
Meskipun dalam system tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, alih
aksara huruf kapital ini juga digunakan, dengan mengikuti ketentuan yang
berlaku dalan Ejaan Bahasa Indonesia (EBI), antara lain untuk menuliskan
permukaan kalimat, huruf awal nama tempat, nama bulan, nama seseorang,
dan lain-lain. Jika nama seseorang didahului oleh kata sandang, maka yang
ditulis dengan huruf kapital adalah huruf awal nama tersebut. Misalnya:
Abū ‘Abdullāh Muhammad al-Qurṭubī bukan Abū ‘Abdullāh Muhammad
Al-Qurṭubī
Berkaitan dengan judul buku ditulis dengan cetak miring, maka
demikian halnya dengan alih aksaranya, demikian seterusnya. Jika terkait
nama, untuk nama-nama tokoh yang berasal dari dunia Nusantara sendiri,
disarankan tidak dialih aksarakan meskipun akar katanya berasal dari
bahasa Arab. Contoh: Nuruddin al-Raniri tidak ditulis dengan Nūr al-Dīn
al-Rānīrī.
8. Cara Penulisan Kata
Setiap kata, baik kata kerja, kata benda, maupun huruf ditulis secara
terpisah. Berikut contohnya dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan
diatas:
Kata Arab Alih Aksara
xvi
ال قر آن Faiżā qara’ta al-Qur’āna ف إ ذ اق ر أ ت
نون م ك ك ت اب Fī kitābin Mak ف
ب رون ال قر آن ي ت د Afalā yatadabbarūna al-Qur’āna أ ف لا
ال مط هرون ي سهإ ل Lā yamassuhū illa al-Muṭahharūna ل
9. Singkatan
Huruf Latin Keterangan
Swt, Subḥāh wa ta‘ālā
Saw, Ṣalla Allāh ‘alaih wa sallam
QS. Quran Surat
M Masehi
H Hijriyah
w. Wafat
MSI Mushaf Stndar Indonesia
MP Mushaf Pakistan
xvii
DAFTAR TABEL
Tabel 3. 1:
Tabel 4. 1:
Tabel 4. 2:
Tabel 4. 3:
Tabel 4. 4:
Tabel 4. 5:
Indeks Persepsi Korupsi (IPK)............................................35
Ayat-Ayat Tentang Risywah................................................36
Penggunaan Kata Risywah dalam Tafsir Fatḥu al-Qadīr.....37
Penggunaan Kata Risywah di Surah al-Baqarah ayat 188
dalam Tafsir Fatḥu al-Qadīr....................................................39
Penggunaan Kata Risywah di Surah al-Māʹidah ayat 42 dalam
Tafsir Fatḥu al-Qadīr...............................................................45
Tabel 4. 5: Penggunaan Kata Risywah di Surah an-Naml ayat
35-36 dalam Tafsir Fatḥu al-Qadīr.........................................54
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana sosial dan problem di Indonesia yang terus diperbincangkan
adalah masalah risywah (suap-menyuap/korupsi). Risywah sudah menjadi
permasalahan Indonesia banyak kelompok yang telah ditetapkan oleh
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung Republik
Indonesia (Kejari), dan Polisi karena telah ketahuan melakukan risywah.
Dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia risywah masuk ke dalam
kejahatan korupsi. Lembaga survei Transparency International: The
Global Coalition Against Corruption yang dilakukan baru-baru ini tahun
2019 tentang Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2018 memaparkan
Indonesia naik satu poin 88 menjadi 89, masih di bawah Singapura (3),
Malaysia (61), India (78), dan China (87), namun di atas Filipina (99) dan
Thailand (99).1
Oleh karenanya, banyak masyarakat yang lebih bersifat pesimis
terhadap langkah pemberantasan risywah di Indonesia, bahkan di antaranya
sudah ada yang bersifat pesimistis.2 Selain itu, mengingat bahwa risywah
merupakan kejahatan yang tergolong extra-ordinary crime (kejahatan luar
biasa), karena apa yang dihasilkan dari risywah telah membawa akibat
langsung khususnya masalah ekonomi, yaitu berimbas di semua sektor
1 Survei yang dilakukan oleh lembaga Transparency International: The Global
Coalition Against Corruption tahun 2018 terkait tren perkembangan korupsi di dunia.
Lebih lengkapnya lihat: Transparency International: The Global Coalition Against
Corruptio, Corruption Perceptions Index 2018 (Berlin: Transparency International, 2019),
2-4. Diakses 5 Juni 2019,
https://www.transparency.org/files/content/pages/2018_CPI_ExecutiveSummary.pdf 2 Lebih jelasnya, baca buku: INDEF, Korupsi di Indonesia (Jakarta: INDEF,
1998).
2
termasuk rakyat.3 Meskipun hanya segelintir orang atau elit yang
melakukan, namun dampaknya akan dirasakan oleh semua kalangan. Dalam
hal ini Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs dalam Tafsir Qurannya
menyebutkan:
“... menggambarkan kehidupan bersama dalam masyarakat ini, sebagai
suatu kumpulan orang-orang yang berlayar dalam sebuah perahu. Ada
seorang penumpang yang perlu air, pikirnya: Supaya lebih cepat, baik
kugerek4 saja dekat tempatku ini. Jika perbuatan itu dibiarkan oleh
penumpang-penumpang yang lain, bukanlah orang yang membuat lubang
di perahu itu saja yang karam, melainkan seluruh penumpang di dalam akan
tenggelam semuanya....”5
Seperti yang telah digambarkan di atas, perbuatan yang dilakukan
hanya satu orang saja, namun dampaknya akan dirasakan oleh semua orang.
Budi Irawan dalam tulisannya yang berjudul ‘Rasuah’ mengatakan
bahwa risywah jika diindonesiakan kata ‘rasuah’6. Kata risywah jika
diindonesiakan menjadi ‘rasuah’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dijelaskan, rasuah adalah korupsi. Jadi risywah bisa juga dikatakan
korupsi, meskipun risywah adalah salah satu dari beberapa modus di dalam
korupsi itu sendiri. Dalam KBBI korupsi adalah penyelewengan atau
penyalah gunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan
3 Syaiful Ilmi, “Melacak Term Korupsi dalam al-Quran Sebagai Epistemologi
Perumusan Fikih Anti Korupsi,” Khatulistiwa, vol.1, no.1, (Maret, 2011): 1. 4 Lubangi. 5 Zainuddin Hamidy dan Fachruddin Hs, Tafsir Quran, cet. IV (Jakarta: Penerbit
Widjaya Djakarta, 1967), 68. Ingin lebih mengetahui dampak akan korupsi bisa baca: JM.
Muslimin, “Korupsi: Pengertian, Sebab, dan Dampaknya,” Dalam Pendidikan Anti
Korupsi di Perguruan Tinggi Islam, ed. Chaider S. Bamualim dan JM. Muslimin (Jakarta:
Center for the Study Religion and Culture, 2006), 15-43. 6 Budi Irawanto, “Rasuah,” Majalah Tempo, 24 Februari 2013, 10.
3
sebagainya) untuk keuntungan pribadi ataupun orang lain7. Jadi kata
risywah dalam KBBI berubah atau diindonesiakan menjadi kata ‘rasuah’
Sedangkan, KPK menjelaskan bahwa risywah (suap-menyuap)
adalah bagian dari korupsi itu sendiri. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, membagi tindak pidana korupsi ke dua kelompok. Pertama, kejahatan
korupsi itu sendiri. Kedua, kejahatan lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi. Kejahatan dalam kelompok kedua sebenarnya bukan
korupsi. Akan tetapi, karena berkaitan dengan korupsi, maka juga dianggap
sebagai pidana korupsi.8 Tindak pidana korupsi dalam kelompok pertama
dibagi menjadi tujuh bagian, yakni tindakan; merugikan keuangan negara
dan/atau perekonomian negara, ‘suap-menyuap’, penggelapan dalam
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, dan
gratifikasi.9
Dalam al-Quran tidak ada term secara khusus yang menerjemahkan
arti risywah, hanya saja ada yang agak bersentuhan atau maknanya
bermuatan risywah atau suap menyuap, yaitu di dalam Surah al-Baqarah
ayat 188, al-Māʹidah ayat 42, dan Surah an-Naml ayat 35-36.
Sedangkan dalam Bahasa Arab risywah sebagai berikut. Secara
etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab “ و ش ر ي -اش ر ” yang masdar
atau verbal naoun-nya bisa dibaca “ ة و ش ر ”” ة و ش ر ” atau “ ة و ش ر ” (hurufnya ra’-
nya dibaca kasrah, fatḥah atau ḍammah) berarti “ ل ع ال ” yaitu upah, hadiah,
komisi atau suap. Ibnu Manzur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas
7 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.
V (Jakarta: Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, 2016), 305.
8 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi Jakarta:
Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2016), 22.
9 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi, h. 22.
4
tentang makna kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk
dari kalimat “ خ و االف ش ر ” yaitu, anak burung merengek-rengek ketika
mengangkat kepalanya kepada induknya atau disuapi.10
Dalam sejarah Islam sendiri praktek risywah juga telah ditemukan,
yaitu sejak zaman Nabi Muhammad sendiri. Sebagaimana ditemukan,
masyarakat Islam khususnya pada periode Madinah, telah merupakan suatu
masyarakat yang terorganisir secara rapi. Bahkan dinyatakan bahwa
Madinah sendiri merupakan sebuah negara kota yang diperlengkapi dengan
suatu konstitusi yang belakangan dikenal dengan Konstitusi Madinah. Itu
berarti di sana telah terdapat suatu struktur dan adanya kekayaan publik
untuk mengelola dan mendanai kepentingan penyelenggara kekuasaan itu.11
Selain itu posisi strategis Mekkah dan Madinah pada 5 M telah
menjadi pusat perekonomian, transaksi perdagangan, dan menjadi jalur
sutera antara Yaman dan Suriah. Tentu yang namanya suap menyuap
menjadi hal yang lumrah untuk memuluskan kepentingan bisnisnya12.
Dengan demikian, dapatlah dibuat suatu hipotesis bahwa dalam masyarakat
tersebut tentu ada risywah dalam bentuk pengoperasian yang lain, mungkin.
Ada sebuah hadis yang amat menentang keras akan risywah:
ب و ث ن ع الل ل و س ر ن ع ل ال ن ا يو اش الر م ل س و ه ي ىل ع الل ىل يش ي ي ذ ال ن غ ي يش ت ر ل
ام ه ن ي ب
Dari Tsauban, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang
menyuap; orang yang disuap; dan orang yang menghubungkan,
yaitu orang yang berjalan di antara keduanya.” (HR. Ahmad).13
10 ibn Manzhūr, Lisānul al-‘Arab, jilid XIV (Bairut: Dārul al-Sadīr, t. t), 322.
11 Syamsul Anwar, “Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman
Awal Islam: Perspektif Studi Hadis,” Jurnal Hermenia, vol.4, no.1, (Januari 2005): 6. 12 Philip K. Hitti, Historiy of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan Dedi
Slamet Riyadi (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014), 61. 13 al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid IX (Bairūt: Dar al-Fikr, t. t.), 172.
5
Ini menjadi bukti dan bertanda bahwa risywah sudah ada sejak itu.
Pada awal-awal penyebaran Islam pun sudah ada praktek suap menyuap,
hal ini terjadi ketika hijrahnya Kaum Muslim dari Mekkah ke Habasyah
(Etiopia). Ada dua orang utusan Kaum Quraisy yaitu Abdullah bin Abu
Rabi’ah dan Amru bin Ash, (yang saat itu belum memeluk Islam), keduanya
membawa hadiah berupa barang yang sangat berharga untuk membujuk
Raja Najasy, tujuannya hanya satu yaitu untuk menyogok sehingga
mengusir Kaum Muslim dari Habasyah serta tidak mendapatkan
perlindungan—namun lagi-lagi hadiah tersebut tidak diterima dan ditolak
oleh Raja Najasy serta tidak dapat mempengaruhinya.14
Pun di zaman kepemimpinan Khalifah Umar bin Abdul Aziz, suatu
ketika ia sedang berada di kantor untuk suatu pekerjaan lembur. Ketika ada
keluarganya masuk ke dalam kantor tersebut, lampu-lampu yang nyala itu
dimatikan, dengan alasan harus dibedakan antara urusan keluarga dengan
urusan pemerintahan, karena lampu-lampu yang menyala itu adalah fasilitas
negara, otomatis buat kepentingan pemerintah untuk umat bukan keluarga
atau pun pribadi.15
Dalam al-Quran sendiri ada beberapa ayat yang menerangkan
tentang risywah atau serupa, misal dalam Surah al-Baqarah ayat 188, Allah
berfirman:
14 Akibat perlakuan Kaum Quraisy yang semena-mena kepada Kaum Muslim,
berupa pengecualian, dilarang berdagang dengan Kaum Quraisy (kafir), penyiksaan yang
bertubi-tubi, akhirnya sebagian Kaum Muslim memilih untuk hijrah ke Habasyah. Lebih
lengkapnya baca: Abdul Manaf, “Najasyi Yang Anti Sogok,” Majalah Hukum Varian
Peradilan, no.324, (November, 2012), 77-81 15 Abdul Malik, “Belajar dari Lampu Padam dan Sepotong Roti Umar bin Abdul
Aziz: Sebagai Prototipe Teladan Sikap Antikorupsi,” Majalah Hukum Varian Peradilan,
no.324 (November 2012), 74.
6
ل ت أ ك ل و اف ر ي قام ال ك ام ا ل ل و اب ا و ت د ل ب اط ل ن ك م ب ب ي ت ك ل و اا م و ال ك م و ل ل م ب الن ا ا م و ال ن (٨١١)و ا ن ت م ت ع ل م و ن
“Dan Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan
yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada
para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian
harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.”
(QS. al-Baqarah. 188).16
al-Syaukānī mengomentari dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr cukup rinci
perihal masalah risywah, misal dalam Surah al-Baqarah ayat 188 di atas. Ia
berpendapat, bahwa keputusan hakim tidak dapat membenarkan perkara
yang salah menjadi benar dan tidak pula menyalahkan perkara yang benar
menjadi salah, baik berkenaan dengan harta maupun dengan kemaluan17.
Oleh karenanya tidak diperkenankan menyuap hakim, dengan harapan yang
salah menjadi benar dan yang benar menjadi salah. Apabila ia menyuap
hakim, lalu hakim tersebut memenangkan putusan atau perkara tersebut,
maka ia termasuk orang yang memakan harta yang batil dan itu dilarang.18
Amat jelas sekali dalam penjelasan al-Syaukānī di Surah al-Baqarah
ayat 188, di larangnya penyuapan terhadap hakim, di mana demi
menguntungkan dan memberi putusan yang berpihak pada penyuap.19
Penjelasan tentang risywah ini amat menarik sekali untuk dikaji lebih
mendalam, mengingat banyaknya kasus-kasus risywah yang melanda
Indonesia. Tiap hari di media cetak mau pun elektronik terus bermunculan,
16 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan
(Jakarta: Nur Publishing, 2009), 297. 17 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Penerjemah Tim Pustaka Azzam, cet, I,
jilid I (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 731. 18 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 732. 19 Hafdzil Alim, dkk, Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi, 23. Lebih
jelasnya lihat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 dan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 di buku: ____, Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia (Jakarta: BIP Kelompok Gramedia, 2017).
7
baik elit politik, pemangku jabatan, dan perusahaan-perusahaan pemerintah
tertangkap oleh KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Inilah yang
membuat penulis ingin lebih jauh lagi serta lebih mendalami wacana
risywah dalam al-Quran.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditemukan beberapa
identifikasi masalah sebagai berikut: arti risywah, ayat-ayat risywah dalam
al-Quran, perbedaan antara risywah dan hadiah, biografi tafsir Fatḥ al-
Qadīr dan al-Syaukānī, penafsiran ayat-ayat risywah dalam tafsir Fatḥ al-
Qadīr, arti kandungan makna di tiap-tiap ayat, sebab turunnya masing-
masing ayat, dan beberapa pandangan mufasir tentang risywah.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Adapun pembatasan masalahnya yaitu hanya fokus pada Surah al-
Baqarah ayat 188, Surah al-Māʹidah 42, dan Surah an-Naml ayat 35-36.
Lalu penulis mengambil tokoh mufasir al-Syaukānī (w. 1834). Tokoh ini
dipilih karena ia pernah menjabat sebagai qadi atau hakim di Negeri Yaman
pada zaman pemerintahan al-Mansur (w. 1809) dan al-Mahdi (w. 1835).
Ketika menjabat sebagai qadi, ia melakukan berbagai kebijakan yang
cukup kontroversial salah satunya ditegakkannya keadilan dan memerangi
risywah.
Adapun mengenai ayat-ayat dalam al-Quran tentang risywah atau
suap menyuap, atau pun penafsiran al-Syaukānī yang di dalamnya
mengandung makna risywah, maka proses pencariannya penulis
menggunakan kitab dan beberapa buku; Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-
8
Qurān al-Karīm20, Ensklopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata21,
Ensiklopedia al-Quran Dunia Islam Modern22, Kunci dan Klasifikasi Ayat-
Ayat al-Quran23, Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Quran
Berdasarkan Kata dasarnya24, Indeks Terjemah al-Quranul-Karim25, dan
Konkordasi Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Quran26, untuk
mengelompokkan dan mengumpulkan kata atau makna-makna yang
mengandung pengertian risywah.
Setelah dilakukan pencarian maka penulis menemukan 3 ayat yang
lafaznya mengandung makna risywah, yaitu di; Surah al-Baqarah ayat 188
dalam kata “ ل ب اط ل “ al-Māʹidah 42 dalam kata ,”ب ت dan an-Naml ayat ,”ل لسح
35-36 dalam kata “ ب د ي ة”, makna risywah dalam ketiga lafaz tersebut atas
dasar pendapat al-Syaukānī dalam tafsirnya. Dalam tafsirnya al-Syaukānī
menggunakan kata 27“28 ,”أ ر ش ى“ ت و ة “29 ,”ل لسح untuk ”ا لر ش ا“dan 30 ,”ر ش
menunjukkan risywah atau suap menyuap.
20 Muhammad ’Abd al-Baqi, Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Qurān al-Karīm
(Bairūt, Dar al-Fikr, 1994) 21 Pusat Studi al-Quran, Enskikolopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata (Jakarta:
Lentera Hati, 2007) 22 HM. Sonhaji, Ensiklopedia al-Quran Dunia Islam Modern (Yogyakarta, PT.
Dana Bhakti Primayasa, 2003) 23 A. Hamid Hasan Qolay, Kunci dan Klasifikasi Ayat-Ayat al-Quran (Bandung,
Penerbit Pustaka, 1989) 24 Azharuddin Sahil, Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayat al-Quran
Berdasarkan Kata dasarnya (Jakarta, Penerbit Mizan, 1996) 25 A. Hamid Hasan Qolay, Indeks Terjemah al-Quranul-Karim (Jakarta, PT.
Inline Raya Jakarta, 1997) 26 Ali Auda, Konkordasi Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat Quran
(Jakarta, PT. Pustaka Literasi Antar Nusa, 1997) 27 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, jilid I (Mesir:
Dâr al-Fikr, 1973), 342.
28 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, Jilid II, (Mesir:
Dâr al-Fikr, 1973), 59.
29 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 60.
30 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 63.
9
Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan yang dapat
dipetakan adalah: Bagaimana penafsiran dan pandangan al-Syaukānī
tentang risywah atau suap menyuap dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penulis dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana penafsiran al-Syaukānī mengenai
risywah.
2. Untuk mengetahui implikasi terhadap realita yang terjadi melalui
pemikiran al-Syaukānī.
3. Sebagai salah satu pera syarat penulis agar dapat mendapatkan gelar
Sarjana Agama (S. Ag).
Adapun manfaat dari penelitian ini terlihat dari segi teoritis dan
praktisnya:
1. Dalam aspek teoritis
a. Memberikan wawasan tambahan mengenai tokoh Islam (al-
Syaukānī) yang penafsirannya beraliran bi al-ra’yi dan bi al-
ma’tsur.
b. Memberikan tambahan pengetahuan mengenai risywah dalam
pandangan al-Syaukānī.
c. Membantu masyarakat awam mengetahui mana hal yang
termasuk risywah dan mana itu yang masuk kategori hadiah.
2. Dalam aspek praktis
a. Karya ilmiah ini amat berguna bagi mahasiswa yang hendak
menambah keilmuannya dan menjadi referensi dalam
memberikan proses mengajar di fokus masing-masing.
10
Penelitian ini dapat sedikit pemahaman mengenai risywah
melalui pandangan al-Syaukānī.
b. Sebagai karya ilmiah tulisan ini diharapkan dapat menambah
wawasan pengetahuan di bidang pendidikan al-Quran dan tafsir
khususnya yang berkaitan dengan masalah risywah sehingga
mahasiswa Ilmu al-Quran dan Tafsir dapat menjawab
permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan risywah.
E. Tinjauan Pustaka
Untuk menghindari terjadinya kesamaan dengan karya tulis yang
lainnya, penulis menelusuri beberapa penelitian atau pun kajian yang
pernah dilakukan sebelumnya. Selanjutnya hasil penelitian ini menjadi
acuan penulis untuk tidak mengangkat sudut pandang yang sama, sehingga
diharapkan kajian ini benar-benar bukan hasil plagiat dari kajian
sebelumnya:
1. Muhammad Nurul Irfan dalam bukunya Tindak Pidana Korupsi di
Indonesia dalam Perspektif Fiqih Jinayah, secara garis besar buku
ini menerangkan tentang tindak pidana korupsi yang terjadi di
Indonesia saat ini, korupsi menurut fikih jinayah masuk dalam
kategori jarimah takzim. Tindak pidana korupsi tidak bisa
dianalogikan dengan jarimah sarīqah atau tindak pidana pencurian
dan jarimah hirābah atau tindak pidana perampokan. Sebab tindak
pidana pencurian dan perampokan masuk dalam wilayah jarimah
hudud yang aturan tekniknya telah disebutkan di dalam al-Quran
dan terhadapnya tidak berlaku kias.31
31 Muhammad Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif
Fiqih Jinayah, 1-16. Dari judulnya sudah jelas sekali, buku ini mendialogkan korupsi
dalam sudut pandang fikih jinayah. Selain itu dalam buku Muhammad Nurul Irfan dalam
judul buku yang berbeda yaitu; “Gratifikasi Kriminalitas Seksualitas dalam Hukum
11
2. Dalam buku yang berjudul Jihad Melawan Korupsi ingin
menjelaskan mengapa Indonesia menjadi surga bagi para koruptor,
salah satu penyebab utamanya adalah yakni hukum di Indonesia
mudah dijual belikan dengan harga murah. Oleh karena itu risywah
sebagai kejahatan yang luar biasa, cara pemberantasannya yakni
dengan cara yang luar biasa pula.32
3. Kemudian ada buku tulisan Hafdzil Alim, dkk. dengan judul Jihad
Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi. Buku ini menjelaskan bahwa
Nahdlatul Ulama sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia
tidak boleh berdiam diri, melihat marak dan tingginya kasus suap
menyuap yang menimpa negeri ini, oleh karenanya maka harus
melawan dengan literasi keislaman yaitu melalui pendekatan fikih
korupsi.33
4. Syamsul Anwar yang menulis jurnal berjudul Sejarah Korupsi dan
Perlawanan Terhadapnya di Zaman Awal Islam: Perspektif Studi
Hadis yang dimuat di Jurnal Hermenia Universitas Islam Negeri
Sunan Kali Jaga Yogyakarta pada tahun 2005. Tulisan ini ingin
Pidana Islam”, menjelaskan perihal gratifikasi yang juga disebut dengan risywah, suap,
atau pun sogok merupakan salah satu bentuk korupsi yang dalam prakteknya dapat
melibatkan pengusaha dan penguasa. Sementara itu, mengenai kriminalitas seksual, hal
tersebut erat kaitannya dengan gratifikasi karena pelayanan seks merupakan salah satu
bentuk gratifikasi. Lihat di Muhammad Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual
dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2014). Dalam tema yang sama Muhammad
Nurul Irfan dalam bukunya “Korupsi dalam Hukum Pidana Islam” menjelaskan tentang,
Indonesia bukan Negara Islam, walaupun data agama pada Kartu Tanda Penduduk (KTP)
mayoritas adalah warganya yang berstatus Muslim. Sehingga tampaknya bagaikan pepesan
kosong bicara hukum pidana Islam di negeri ini, namun sebagai sebuah bentuk tanggung
jawab, atau setidaknya sebagai sebuah ungkapan keprihatinan, wacana pemberantasan
korupsi ala hukum pidana Islam perlu diperhatikan. Konsep hukum takzir yang ditawarkan
oleh hukum pidana Islam tidak selamanya harus berupa hukum ringan melainkan bisa saja
takzir berupa hukuman keras dan tegas seperti hukuman mati. Lihat di Muhammad Nurul
Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam (Jakarta: Amzah, 2011).
32 Masdar Hilmy, “Panggilan Jihad Melawan Korupsi,” Dalam Jihad Melawan
Korupsi , ed. HCB Dharmawan dan al-Soni BL de Rosari (Jakarta: PT. Kompas Media
Nusantara, 2005), 112. 33 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nahdlatul Ulama Melawan Korupsi, 8.
12
mencoba melakukan kajian mendalam terhadap sejarah korupsi dan
usaha-usaha pemberantasannya di zaman Nabi Muhammad SAW
berdasarkan data hadis. Pertanyaan yang ingin dijawab adalah
adakah praktek korupsi di zaman Nabi Muhammad SAW dan jika
ada bagaimana Nabi Muhammad SAW menyikapinya.34
5. M. Helmi Umam menulis jurnal dengan judul Pandangan Islam
Tentang Korupsi yang dimuat di Jurnal Tassawuf dan Pemikiran
Islam tahun 2013. Di jurnal ini menjelaskan Islam menawarkan
semangat juang untuk melawan korupsi. Melihat korupsi secara
proporsional bisa membuat bangsa ini tidak hanya terpaku dengan
cara bangsa asing soal bagaimana mengatasi korupsi. Perlibatan
spirit keislaman yang tegas, penguatan produk hukum dan aturan
serta tinjauan ulang menyangkut penghukuman dan pendidikan bagi
pelakunya adalah hal-hal yang perlu diperhatikan.35
6. Ahmad Jurin Harahab menulis jurnal berjudul Risywah dalam
Perspektif Hadis, jurnal ini ingin menerangkan tentang risywah
merupakan pemberian hadiah kepada pegawai pemerintahan dengan
harapan segala keinginan penyuap diloloskan kasusnya atas
musuhnya di pengadilan. Kadang dianggap sebagai suatu pemberian
yang biasa saja, karena mereka tidak bisa membedakan mana
kategori suap dan mana pemberian, padahal antara hadiah dan suap
cukup jauh berbeda.36
7. Hassani Ahmad Syamsuri dengan judul tesisnya Corak Pemikiran
Kalam Tafsir Fath al-Qadīr: Telaah Atas Pemikiran al-Syaukānī
34 Syamsul Anwar, “Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di Zaman
Awal Islam: Perspektif Studi Hadis.”, 2.
35 M. Helmi Umam, “Pandangan Islam Tentang Korupsi,” Teosofi: Jurnal
Tassawuf dan Pemikiran Islam, Vol.3, no.2 (Desember 2013): 479. 36 Ahmad Jurian Harahab, “Risywah dalam Perspektif Hadis,” Diroyah, Vol.2,
no.2, (Maret, 2018): 1.
13
dalam Teologi Islam Dalam tesis ini, dijelaskan sangat detail
mengenai riwayat hidup Imam al-Syaukān, metode kitab Tafsir Fatḥ
al-Qadīr dan pemikirannya terhadap al-Quran yang dituang dalam
karyanya. Dalam karya ini lebih menitik fokuskan adalah corak
kalam al-Syaukānī.37
8. Mukarramah Ahmad, dengan judul tesisnya Fath al-Qadīr Karya
Imam al-Syaukānī: Sebuah Kajian Metodologi. Tesis ini
menjelaskan tentang bagaimana metodologi yang digunakan oleh
al-Syaukānī dalam menyusun Tafsir Fatḥ al-Qadīr. Penelitian ini
berdasarkan pada asumsi bahwa al-Syaukānī dalam menyusun
tafsirnya menggabungkan atau memadukan antara pendekatan bi al-
ma’tsur dan bi al-ra’yi. Selain itu Tesis ini bertujuan untuk
mengetahui profil Tafsir Fatḥ al-Qadīr, metodologi penafsiran,
kelebihan dan keterbatasan yang terdapat di dalamnya, serta
pengaruh kitab tersebut dalam perkembangan Ilmu Tafsir.38
9. Skripsi karya Anis Khoiru Ummah seorang sarjana Ilmu al-Quran
dan Tafsir tahun 2017 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan
skripsi Gratifikasi dalam al-Quran Menurut Ahmad Mustofa al-
Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi. Skripsi ini menjelaskan tentang
gratifikasi yang merupakan pemberian di luar gaji yang telah
ditentukan. Skripsi ini ingin menjawab tentang gratifikasi menurut
pandangan Ahmad Mustofa al-Maraghi dan seperti apa
penafsirannya.39
37 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fath al-Qadīr Telaah
atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam” (Tesis S2.,Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007). 38 Mukarramah Ahmad, “Fath al-Qadīr Karya Imam al-Syaukānī: Sebuah Kajian
Metodologi” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri Salahuddin Makassar, 2015). 39 Lebih jelasnya baca: Anis Khoiru Ummah, “Gratifikasi dalam al-Quran
Menurut Ahmad Mustofa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi” (Skripsi S1., Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
14
10. Muhib Rosyidi seorang sarjana Tafsir Hadis tahun 2010 di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dengan judul Kontekstualisasi Hadis-
Hadis Korupsi: Sebuah Kajian Hadis Maudu’i. Skripsi ini ingin
menjelaskan tentang korupsi bukan hal yang baru di dunia Islam
sehingga bentuk kontekstualisasi hadis adalah hal kemutlakan yang
harus.40
Melihat penelitian yang telah ada seperti yang telah disebutkan di atas,
meskipun tema yang dilakukan oleh penulis ada kesamaan, namun jelas
berbeda isi yang dibahas hal ini bisa dilihat dari judul-judul yang disajikan.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, metode yang digunakan adalah metode
tematik atau mauḍhū’i, yaitu metode menafsirkan al-Quran berdasarkan
tema-tema tertentu41. Adapun langkah-langkah penulis lakukan sebagai
berikut; Pertama, menetapkan masalah yang akan dibahas. Kedua, melacak
dan menghimpun masalah yang dibahas tersebut dengan menghimpun ayat-
ayat al-Quran yang membicarakannya. Tiga, mempelajari ayat demi ayat
yang berbicara tentang tema yang dipilih sambil memperhatikan
asbabunnuzul. Empat, menyusun rumusan ayat al-Quran yang berkaitan
dengan ayat-ayat sesuai dengan temanya, khususnya jika berkaitan dengan
hukum, atau kronologi kejadiannya jika berkaitan dengan kisah, sehingga
tergambar peristiwanya dari awal hingga akhir. Lima, memahami korelasi
(munāsabah) ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing. Enam,
40 Muhib Rosyidi, “Kontekstualisasi Hadis-Hadis Korupsi: Sebuah Kajian Hadis
Maudu’i” (Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). 41 M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Surat, Ketentuan, dan Aturan yang Patut
Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran (Tangerang, Lentera Hati, 2013),
387.
15
menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna, sistematis, dan
utuh. Tujuh, melengkapi penjelasan-penjelasan dengan ayat, riwayat
sahabat, dan lain-lainnya yang relevan bila dipandang perlu, sehingga
pembahasan menjadi semakin sempurna dan semakin jelas. Delapan,
setelah tergambar secara keseluruhan kandungan ayat-ayat yang dibahas,
langkah berikutnya adalah menghimpun masing-masing ayat pada
kelompok uraian ayat dengan menyisihkan yang terwakili, atau
menkompromikan antara ‘ām dan khāsh, muthlaq dan muqayyad, atau yang
pada lahirnya bertentangan, sehingga keseluruhannya bertemu dalam satu
muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan sehingga lahir satu simpulan
tentang pandangan al-Quran menyangkut tema yang dibahas.42
1. Jenis Penelitian
Penulis melakukan penelitian ini berdasarkan penelitian pustaka
(library research), sehingga data yang diperoleh berdasarkan hasil riset
pustaka. Hal itu karena kadang kala untuk memahami suatu persoalan
atau gejala baru yang tengah berkembang di lapangan atau masyarakat
maka memerlukan studi pendahuluan (preliminary research)43.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk penelitian ini penulis menggunakan al-Quran terbitan
Kementrian Agama Republik Indonesia tahun 2009. Sebagai rujukan
utama penulis menggunakan Tafsir Fatḥ al-Qadīr: al-Jāmi Bāina Fannī
al-Riwāyah wa al-Dirāyah min ‘Ilmu al-Tafsīr yang dicetak di Mesir
dengan penerbit Dar al-Fikr pada tahun 197344 dan diimbangi dengan
buku terjemahannya dengan judul yang sama, terbitan Pustaka Azzam
42 Lebih jelasnya lihat: M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir: Surat, Ketentuan, dan
Aturan yang Patut Anda Ketahui dalam Memahami Ayat-Ayat al-Quran, 389-390. 43 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan (Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia, 2008), 2.
44 Bentuk Portable Document Format (PDF) bisa dilihat atau download: kapasan-
darulfalah.blogspot.com/2013/06/download-kitab-tafsir-fathul-qodir-asy.html?m=1
16
pada tahun 2008. Kemudian yang menjadi rujukan sekunder seperti
buku, jurnal, tesis, skripsi, dan artikel lainnya untuk menambah bahan
referensi mengenai penelitian ini.
3. Metode Analisa Data
Dalam proses menganalisa data, penulis menggunakan metode
deskripsi analisis. Penulis ingin menguraikan apa adanya diskusi
mengenai risywah di dalam tafsir Fatḥ al-Qadīr serta pemikirannya,
untuk itu penulis mengambil ayat-ayat al-Quran yang berkaitan atau
mengandung makna risywah di dalamnya.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini dibagi dalam lima bab dengan
perincian sebagai berikut:
Bab pertama berisikan pendahuluan meliputi latar belakang
masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan signifikasi penelitian,
kajian pustaka, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Di dalam
bab ini penulis berangkat dari penjabaran Indeks Persepsi Korupsi (IPK)
atau suap-menyuap yang marak terjadi di Indonesia, setelah itu penulis
mendefinisikan apa itu risywah atau suap menyuap menurut; KBBI, melihat
seperti apa hukum risywah dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1995, dari sudut pandang Kamus Bahasa Arab, dan menjabarkan
di ayat-ayat apa saja yang terkandung pengertian risywah. Setelah itu
penulis menambahkan sejarah risywah di zaman Nabi Muhammad beserta
memunculkan hadis tentang risywah. Baru setelahnya penulis memberikan
sedikit gambaran tafsir al-Syaukānī di Surah al-Baqarah ayat 188 tentang
risywah.
Bab kedua menjelaskan biografi singkat, aktivitas keilmuan al-
Syaukānī dan gambaran umum tafsir Fatḥ al-Qadīr, motivasi kenapa al-
17
Syaukānī menulis tafsir Fatḥ al-Qadīr serta metode yang digunakan dalam
tafsir Fatḥ al-Qadīr. Poin besar di dalam bab ini adalah melihat sejarah
kehidupan al-Syaukānī dari berbagai segi, agar kerangka penulisannya lebih
komprehensif dan memudahkan para pembaca sebelum menerangkan dan
beranjak ke bab setelahnya.
Bab ketiga, setelah menjelaskan gambaran umum tentang tentang
al-Syaukānī dan Tafsir Fatḥ al-Qadīr. Maka dalam bab ini penulis akan
mendefinisikan seperti apa risywah itu sendiri dan memberi gambaran
perbedaan antara risywah dan hadiah. Karena pada realitas kehidupan
sehari-harinya amat sulit membedakan di mana itu masuk kategori risywah
dan di mana itu kategori hadiah. Oleh karenanya penulis penting untuk
menjabarkan kedua perbedaan tersebut guna tidak terjadi simpang siur dan
arah yang jelas dalam penulisan skripsi ini.
Bab keempat, setelah mengurai definisi risywah dan perbedaannya
dengan hadiah. Maka dalam bab ini penulis menjelakan tentang analisa
penafsiran al-Syaukānī tentang risywah dan ditambah beberapa mufasir
lainnya. Di bab ini barisan poin-poin besar tentang risywah di mana di
dalamnya berisikan tafsir al-Syaukānī tentang risywah dan untuk
memperkuat pendapat al-Syaukānī, penulis sedikit menambahkan
pandangan mufasir lain seperti Hamka, Quraish Shihab, ibn Katsir, al-
Qurthubi, Wahbah az-Zuhaili, dan Ahmad Mustofa al-Maraghi.
Bab kelima adalah penutup, bab ini terdiri dari kesimpulan dan
saran-saran. Di bab penutup ini, penulis memberikan kesimpulan atas
jawaban dari permasalahan yang ada di bab pertama, agar skripsi ini
menjadi sebuah pembahasan yang utuh tentang risywah. Setelah bab lima,
ada daftar pustaka serta lampiran fatwa dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) mengenai risywah.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG BIOGRAFI AL-SYAUKĀNĪ DAN
TAFSIR FATḤ AL-QADĪR
A. Biografi al-Syaukānī
1. Sejarah Hidup
al-Syaukānī memiliki nama lengkap Muḥammad bin Ali bin
Muḥammad ‘Abdullah bin al-Ḥasan bin Muḥammad bin Ṣalaḥ bin
Ibrāhīm bin Muḥammad al-‘Afif bin Muḥammad bin Rizq, sampai
kepada Khaisyah ibn Zabād ibn Qāsim ibn Marhabah al-Akbar ibn
Mālik Ibn Rabī’ah ibn al-Da’ām al-Syaukānī al-Ṣan’ānī al-Yamanī,
‘Abū Abdillah. Lahir di Hijratu al-Syakan bagian dari Wilayah Khaulan
di Yaman, pada Hari Senin siang pada tanggal 28 Dzu al-Qa’dah 1173
hijriah (H) /1760 masehi (M) dan wafat pada Rabu malam tanggal 17
Jumād al-Akhīr 1250 H/1834 M1 dalam usia sekitar 78 tahun, ia
dimakamkan di pemakaman Khuzaimah.
Ia dikenal dengan julukan “al-Syaukānī”, julukan ini bahkan
mengalahkan ketenaran nama aslinya. Julukan ini pertama-tama hanya
dikenal di Kota Sana’a.2 Namun lambat laun menyebar dengan luas.
Sebenarnya, julukan ini bukan menisbahkan pada seseorang, melainkan
menisbahkan kepada salah satu desa yang ada di as-Sahanīyah, dari
Kabilah Khaulan, yang letaknya tidak jauh dari Kota Sana’a. Inilah
desa di mana Iman al-Syaukānī dilahirkan tepatnya disebut Desa
Hijratu al-Syaukānī.3
al-Syaukānī dibesarkan dalam lingkungan keluarga luhur dan
berilmu, keluarga ini memiliki posisi yang tinggi di masa kejayaan
1 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos, 1999), 53. 2 Ibu Kota Yaman. 3 Syaikh Muhammad al-Jamal, Biografi Sepuluh Imam Besar, terj. M. Khaled
Muslih, Imam Awaluddin, cet. IV (Jakarta: Pustaka al-Khatsar, 2008), 256.
19
pemerintahan Dinasti Zahidiyah,4 di mana ayahnya saat itu termasuk
salah satu hakim dan ulama besar, oleh karenanya ia mewariskan
hidupnya secara total untuk mengajarkan dan mendidik anaknya
tersebut. Ayahnya bernama, Ali al-Syaukānī (1130-1211 H) telah
mempersiapkan anaknya semenjak kecil agar dapat mewarisi
keilmuannya, sehingga al-Syaukānī sebelum masuk sekolah—tepatnya
sebelum menginjak umur 10 tahun, ia telah menghafal al-Quran dengan
baik dan benar, ribuan hadis, fikih, Bahasa Arab, nahwu, syair, prosa
serta sastra di waktu masa kanak-kanaknya.5
Tidak banyak informasi yang dapat diketahui tentang masa kecilnya.
Tetapi dengan kesibukannya dalam menghafalkan al-Quran dan
berbagai matan keilmuan menunjukkan bahwa masa kecilnya hanya
dihabiskan dalam belajar dan menghafal. Tetapi dari “tanggal lahir dan
wafatnya” diketahui bahwa al-Syaukānī hidup dalam Periode
Pertengahan6 (1250 - 1800 M) dan memasuki awal Periode Modern7
(1800 dan seterusnya). Seperti di bagian Dunia Islam lainnya,
4 Dinasti di Yaman, ayahnya ditugaskan untuk menjadi hakim kerajaan, namun
ia mengundurkan diri sebelum dua tahun menjelang ajalnya. 5 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, 54. 6 Periode Pertengahan (1250-1800 M), juga dibagi menjadi dua fase. Pertama
fase kemunduran (1250-1500), di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah
meningkat. Perbedaan Suni dan Syiah dan demikian juga dengan Arab dan Persia.
Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian
pula dengan tarekat serta pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan
melemah. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu.
Kedua, fase Kerajaan Besar (1500-1800 M) yang dimulai Zaman Kemajuan (1500-1700
M) dan Zaman Kemunduran (1700-1800 M). Tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah
Kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan
Kerajaan Mughal di India. Lihat: Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai
Aspeknya, cet. V, jilid I (Jakarta: UI Press 2015), 76-85. 7 Periode ini merupakan Zaman Kebangkitan Islam. Ekspedisi Napoleon di
Mesir yang berakhir di tahun 1801 M, membuka mata dunia Islam, terutama Turki dan
Mesir akan kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan
Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk
mengembalikan blance of power yang telah pincang dan membahayakan Islam. Lihat:
Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, 86.
20
perkembangan ilmu pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di
wilayah lain, tidak dapat dikatakan telah mencapai kemajuan yang
berarti.8 Diakui sendiri oleh al-Syaukānī bahwa kebekuan dan taklid
yang melanda Kaum Muslim semenjak abad ke-4 masehi yang
mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bidah
dan khurafat sehingga terjauh dari tuntutan Islam yang sebenarnya.
Dalam situasi dan kondisi seperti inilah al-Syaukānī di lahirkan.9
Dalam situasi dan kondisi demikianlah ia dilahirkan. Kendati
demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa sering seorang tokoh muncul
ketika keadaan suatu umat sedang dilanda krisis, Nabi Muhammad
SAW sendiri muncul di tengah-tengah masa jahiliah, ibn Taimiyyah
muncul ketika Islam dilanda kebekuan berpikir, disusul oleh muridnya,
ibn Qayyim. Demikian pula agaknya, al-Syaukānī.10
2. Aktivitas Keilmuan
Pada awal belajarnya, ia banyak menelaah kitab-kitab sejarah dan
adab. Setelah itu ia menempuh perjalanan mencari riwayat hadis
dengan sima’ dan talaqi kepada para ulama hadis hingga ia mencapai
derajat imamah dalam ilmu hadis.11 Ia senantiasa menggeluti ilmu
hingga berpisah dari urusan dunia. Selain sosok ayah yang cukup
memberi pengaruh, lingkungan atau wilayahnya cukup memberi
sumbangan besar pula dalam proses pergulatannya dalam mencari
ilmu, al-Syaukānī menceritakan:
8 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, 55.
9 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah
atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam” (Tesis S2., Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2007), 28. 10 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, 52.
11 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah
atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam”, h. 31.
21
“Dusun Hijrah ini sangat makmur dan dimakmurkan oleh orang-
orang mulia lagi saleh dari sejak lama, di mana darinya senantiasa
lahir orang ulama pada setiap generasinya dan berpengaruh dalam
setiap wilayah yang mereka tempati. Mereka sangat memuliakan
para ulama pendahulu mereka, di kalangan mereka ada pula yang
menjadi pemimpin besar, pembela para pemimpin, khususnya ketika
pecahnya peperangan melawan Turki, tangan mereka mematuhi
dalam peperangan tersebut, di antara mereka yang ikut berperang
adalah para ulama yang mulia, mereka terkenal di kalangan Kaum
Khaulān sebagai seorang hakim yang adil.”12
Seperti yang telah digambarkan di atas wajar jika al-Syaukānī
menempuh pendidikan dengan baik kepada para ulama-ulama di
Yaman, melihat banyaknya para ulama terkemuka di sana.
Dari ayahnya, ia mempelajari Syarah al-Azhar dan Syarah al-Nazir
ala Mukthasar al-Usaifiri, ia juga belajar al-Quran di bawah asuhan
beberapa guru dan dikhatamkan di hadapan para al-Faqih Hasan bin
Abdullah al-Habi dan ia perdalam kepada para masyayikh al-Quran di
San’a. Kemudian ia menghafal berbagai matan dan berbagai disiplin
ilmu: Matan al-Azhar karya al-Imam al-Mahdi, Mukthasar al-Faraid
karya al-Usaifiri, Malhatul Haram, al-Kafiyah al-Syafiayah karya ibn
al-Hajib, al-Tazhib karya al-Tifazani, al-Talkhis fi Ulum al-Balagah
karya al-Qazawani, al-Gayah karya ibn al-Imam, Muzumah al-Jazari fi
al-Qara’ah, Manzumahal-Jazzar fi al-Arudh, Adab al-Bahs wa al-
Munazarah karya Imam al-Adud, dan lainnya.13
Ketekunan al-Syaukānī dalam belajar dan membaca telah dapat
mengantarkannya menjadi seorang ulama. Dari itu, dalam usianya
yang sangat muda, kurang dua puluh tahun, ia telah diterima oleh
masyarakat Kota San’a dan sekitarnya untuk memberikan fatwa dalam
12 Mukarramah Ahmad, “Fath al-Qadīr Karya Imam al-Syaukānī: Sebuah Kajian
Metodologi”, 66.
13 Untuk mengetahui guru-guru al-Syaukānī, lebih lengkapnya baca; Hassani
Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah atas Pemikiran al-
Syaukānī dalam Teologi Islam”, 38-42.
22
masalah berbagai keagamaan, sementara waktu itu guru-gurunya
masih hidup. Lalu, pada usia kurang tiga puluh tahun, ia telah mampu
melakukan ijtihad secara mandiri, terlepas dari ikatan Mazhab
Zaidiyah yang dianutnya sebelum itu.14
B. Karakteristik Tafsir Fatḥ al-Qadīr
1. Pengenalan Tafsir Fatḥ al-Qadīr
Tafsir Fatḥ al-Qadīr merupakan salah satu sumber utama dan
menjadi referensi penting, dikarenakan tafsir ini menggabungkan
antara riwâyah dan dirayâh. Dalam pendahuluan tafsirnya, dijelaskan
bahwa tafsir ini disusun pada Bulan Rabi’ul al-Awāl tahun 1223 H dan
selesai pada tahun 1229 H15. Rujukan yang digunakan oleh al-
Syaukānī dalam penyusunan tafsirnya ialah: melalui kitab Abu Ja’far
al-Nuhs, Atiyyah al-Dimasyqi, ibn Atiyyah al-Andalusi, Qurthubi,
Zamarkazy, dan ulama-ulama lainnya.16
Sosok al-Syaukānī tidak bisa terlupakan dari perhatian kita
terhadap kitab Tafsir Fatḥ al-Qadīr: al-Jāmi Bāina Fannī al-Riwāyah
wa al-Dirāyah min ‘Ilmu al-Tafsīr sebagai karya terbesarnya dalam
bidang tafsir. al-Syaukānī merupakan salah satu ulama Yaman yang
banyak menulis dalam berbagai disiplin ilmu pengetahuan seperti
tafsir, hadis, ushul fikih, sejarah, ilmu kalam, filsafat, balaqah, mantik,
dan lainnya. Dalam kata pengantarnya sebagai berikut:
“Segala puji bagi Allah yang menjadikan al-Quran sebagai penjelas bagi
hukum-hukum yang mencangkup tentang hal yang haram dan halal, yang
menjadikan rujukan bagi para cendekiawan ketika terjadi perbedaan
pendapat di antara mereka, dan menjadi jawaban penting bagi penentang,
14 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukānī Relevansinya Bagi Pembaharuan
Hukum Islam di Indonesia, 58.
15 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani dalam Kitab Tafsir
Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol.5, no.2, (Agustus, 2008): 207. 16 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, Jilid I,
(Mesir: Dar al-Fikr, 1973), 32.
23
obat bagi orang sakit, sekaligus penjelas bagi yang ragu. Kitab ini
merupakan pegangan hidup yang kokoh, siapa yang berpegang teguh
kepada kitab ini, maka dia akan mencapai kebenaran, dan siap yang
mengikutinya, maka ia akan ditunjukkan kepada jalan yang lurus.”17
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa al-Syaukānī amat
bersemangat untuk menuangkan pemikirannya melalui tafsir, karena
melihat kemuliaan dan keagungan akan al-Quran sebagai firma Allah.
al-Syaukānī mengandalkan tafsirnya sebagai muara kebenaran,
sehingga wajar jika ia senantiasa memberi himbauan kepada para
pemikir dan peneliti untuk mempergunakan kitabnya sebagai acuan
dalam rangka mencari kebenaran dan kepastian hukum.
Tafsir Fatḥ al-Qadīr merupakan salah satu kitab tafsir yang cukup
penting dan tafsir ini juga salah satu kitab muktabar di zaman
sekarang, tak hanya di kalangan Syiah Zaidiyah, namun juga di
kalangan ahlusunah wa al-jama’ah. Meskipun al-Syaukānī menganut
Syiah Zaidiyah18, namun buku-bukunya dijadikan rujukan oleh para
penulis modern khususnya dalam bidang tafsir, hadis, dan ushul fikih.
17 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 2. 18 Disebut Syiah Zaidiyah karena sekte ini menganut Zaid bin Ali Sebagai imam
kelima, putra imam ke empat, ‘Ali Zainal ‘Abidin. Kelompok ini berbeda dengan sekte
Syiah lain yang mengakui Muhammad al-Baqir, putra Zainal ‘Abidin yang lainnya,
sebagai imam kelima. Dari nama Zaid bin ‘Ali inilah nama Zaidiyah ini diambil. Syiah
Zaidiyah merupakan sekte yang moderat, Abu Zahra menyatakan bahwa kelompok ini
merupakan sekte yang paling dekat dengan Suni, yaitu firqah Syiah yang paling dekat
kepada ahli sunah dan paling lurus. Mereka tidak mengangkat imam-imamnya sampai
kepada martabat kenabian, bahkan juga tidak mengangkatnya kepada martabat yang
mendekatinya, tetapi mereka menganggap imam-imam mereka sebagai manusia biasa.
Hanya saja mereka adalah seutama-utamanya sesudah Nabi Muhammad SAW. Mereka
tidak mengafirkan seseorang pun di antara sahabat-sahabat nabi dan terutama orang (Abu
Bakar, Umar, dan Usman) yang dibaiat oleh Ali dan mengakui keimanannya. Lebih
lengkapnya lihat di buku: Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-
Qadīr Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam, 44-54.
24
2. Motivasi dan Tujuan Menafsirkan
al-Syaukānī memiliki aktivitas yang beragam,19 ia sangat
sederhana dan memiliki semangat kepada pembaruan dalam
kehidupan agama berdasarkan ajaran Islam. Maka ia lalu mencari
metode atau pun cara bagaimana bisa menyampaikan ide dan tujuan
yang ia serukan. Salah satunya dengan cara. Pertama, di bidang
kehakiman yang cangkupannya sangat luas untuk menyampaikan
gagasannya—hal ini bisa menjadi perbincangan oleh masyarakat
terkait ide yang dilontarkan dan juga menjadi jalan paling tepat
menyampaikan tujuan yang dikehendaki. Ia dipercaya menjadi hakim
oleh pemerintahan Zaidiyah selama tiga pemerintahan; al-Mansur, al-
Muthawakkil, dan al-Mahdi—salah satu kebijakannya ialah
pelarangan terhadap suap menyuap dan dilarangnya taklid buta.20
Kedua, di bidang tulis menulis dan penerbitan menjadi faktor utama
dalam mencapai tujuannya tersebut.21
Dengan demikian motivasi pembaruannya al-Syaukānī dapat
diperinci sebagai berikut. Pertama, anjuran kepada kreativitas,
penelitian, kembali kepada sumber utama, dan meninggalkan budaya
taklid22 serta meninggalkan meniru tanpa landasan ilmu dan studi.
Kedua, anjuran untuk kembali kepada akidah salaf, yaitu kembali
kepada kehidupan dan jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad
19 Di antara jalan yang ia tempuh adalah dengan mengajar, mengadakan
pertemuan dengan para pemuda; keduanya merupakan lapangan untuk menyebarkan apa
yang ia serukan kepada masyarakat. Jalan lain adalah melalui fatwa. 20 Hassani Ahmad Said, “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr Telaah
atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam”, 32.
21 Syaih Muhammad al-Jamal, Biografi Sepuluh Imam Besar, 261.
22 Sikap al-Syaukānī taklid adalah jelas, ia mengingkari secara keseluruhan,
bahkan ia telah mengarang suatu kitab al-Qaul al-Mufid untuk melawan mereka yang
berpegang dan menyebarkan ajaran taklid, baik kepada para ulama, hingga kepada orang
awam. Menurutnya bahwa orang awam pun adalah keharusan untuk berijtihad, dan
ijtihad yang dilakukan oleh mereka yang awam adalah bertanya dengan detail dalil. Lebih
jelasnya, baca buku: al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 20
25
SAW dan para sahabatnya, sehingga akidah mereka benar-benar
terlepas dan bersih dari unsur-unsur luar yang sama sekali bukan dari
ajaran syariat dan agama, serta tunduk kepada budaya taklid yang
jauh dari landasan dan pemikiran kemanusiaan.23
3. Pendekatan dan Metode Tafsir
Nama tafsir al-Syaukānī ialah Fatḥ al-Qadīr: al-Jāmi Bāina Fannī
al-Riwāyah wa al-Dirāyah min ‘Ilmu al-Tafsīr. Berdasarkan dari nama
tafsirnya saja sudah bisa diketahui bahwa pendekatan (manhāj) yang
dipakai oleh al-Syaukānī dalam tafsirnya menggunakan dua
pendekatan yaitu: bi al-riwāyah dan bi al-dirāyah.
Tafsir al- riwâyah atau dalam sebutan lain tafsir bi al-ma’sur ialah
tafsir yang berdasarkan pada al-Quran atau pun riwayat yang sahih.
Menafsirkan al-Quran dengan al-Quran (ayat dengan ayat), al-Quran
dengan sunah, perkataan sahabat,24 atau dengan pendapat tokoh-tokoh
besar tabi’in. Pada umumnya mereka menerimanya dari pada
sahabat.25
Dalam al-Tibyan karya Muhammda Ali al-Sahabuni dikatakan
bahwa tafsir al-riwāyah ialah tafsir yang terdapat dalam al-Quran atau
pun sunah atau pun pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa
yang dikehendaki Allah tentang penafsiran al-Quran berdasarkan
sunnah nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bil al-ma’sur adalah
menafsirkan al-Quran dengan al-Quran atau pun menafsirkan al-Quran
23 Syaih Muhammad al-Jamal, Biografi Sepuluh Imam Besar, 262. 24 Karena mereka yang paling dekat kehidupannya dengan Nabi Muhammad
SAW. Lihat di Syaikh Manna al-Qaththan, Pengantar Studi Ilmu al-Quran (Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2004), 424. 25 Manna’ al-Qattan, Mabahitsfi’Ulum al-Quran, terj. Anur Rafiq al-Mazni, cet.
XIV (Jakarta: Al-Kausar, 2014), 434.
26
dengan sunah nabawiyyah, atau pun menafsirkan al-Quran dengan
yang dikutip pendapat sahabat.26
Sedangkan tafsir bi al-dirayāh atau pun dalam istilah lainnya bi al-
ra’yi. Secara bahasa al-ra’yu berati al-i’tiqadu (keyakinan), al-‘aqlu
(akal). Ahli fikih yang sering berijtihad, biasa disebut ashab al-ra’yu.
Karena itu tafsir bi al-ra’yi disebut juga dengan tafsir bi al-‘aqly dan
bi al-ijtihadi, tafsir atas dasar nalar dan ijtihad.27
Menurut isilah, tafsir bi al-ra’yi adalah upaya untuk memahami al-
Quran atas dasar ijtihad seorang ahli tafsir yang memahami betul
Bahasa Arab dari segala sisinya, memahami betul lafaz-lafaznya, dan
dalalahnya, mengerti syair-syair Arab sebagai dasar pemaknaan,
mengetahui betul asbabunnuzul, mengarti naskh mansuh, dan
menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mufasir.28
Secara selintas tafsir yang menggunakan pendekatan dirayāh lebih
berorientasi kepada penalaran yang bersifat ‘aqli dengan
menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar
penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa ulama berbeda-beda
pendapat dalam penilaian tafsir bi al-ra’yi. Begitu juga hanya dengan
ijtihad dan tafsir al-ra’yi yang memungkinkan akan hasil benar dan
salah.
Penulis menarik kesimpulan bahwa al-Syaukānī menggunakan
kedua pendekatan ini, yaitu pendekatan al-riwāyah dan al-dirayāh,
yaitu memadukan antara teks dan akal atau ijtihad yang mana ini akan
membuat Tafsir Fatḥ al-Qadīr semakin mapan atas kajian yang
dilakukan al-Syaukānī. Untuk teknis penafsirannya Muhammad Ihsan
26 Muhammad ‘Alī al-Sabuni, al-Tibyān fî ‘Ulūm al-Qur’ān (Damsyik:
Maktabah al-Ghazāli, 1981),63. 27 Anshori, Ulumul Qur’an (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016), 174. 28 Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, jilid, I (al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 2003), 183.
27
dalam jurnalnya yang berjudul Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani
dalam Kitab Tafsir Fatḥ al-Qadīr menggunakan teknis penafsiran
tekstual, teknik penafsiran secara sistematis, teknik penafsiran
linguistik, teknik penafsiran kultur, dan terakhir teknik penafsiran
secara logis.29
Di dalam pendahuluan Tafsir Fatḥ al-Qadīr terdapat perkataan
yang membuat penulis semakin yakin tujuan dan manfaat al-Syaukānī
menggunakan dua pendekatan ini. Ia mengatakan:
“... pada dasarnya para mufasir berbeda pendapat pada dua masalah, mereka
mengambil jalan atas dua cara: Golongan yang pertama adalah para mufasir
yang memakai pendekatan riwāyah, kedua adalah ulama yang memakai
pendekatan dirayāh yang membahas hanya sebatas telaah bahasa dan
kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya dan kalaupun mereka
mencantumkan hanya sebagai pelengkap, masing-masing kelompok, yang
menganggap pendekatan yang mereka gunakan adalah benar, padahal
menurut hemat saya kedua metode di atas bisa saling melengkapi satu sama
lain”.30
Dalam perkataannya bisa dipahami bahwa ketika menafsirkan al-
Quran kemudian menggunakan kedua pendekatan tersebut akan
menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, harapan inilah
yang al-Syaukānī pakai selama ini yaitu dengan cara meneliti buku-
buku tafsir yang bertentengan satu sama lain mulai dari segi makna,
i’rab, dan balagahnya. Selain itu berusaha untuk menunjukkan
penafsiran-penafsiran yang telah ditetapkan oleh Nabi Muhammad
SAW, sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in, dan imam-imam yang dapat
dipercaya.
Adapun dengan metode al-Syaukānī dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr,
ialah menggunakan metode tahlîlî. Para ulama tafsir membagikan
29 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Syaukānī dalam Kitab Tafsir
Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol. 5, no. 2, (Agustus, 2008): h. 210-213. 30 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Penerjemah Pustaka Azzam, cet. I,
jilid II, 45-46.
28
metode tafsir menjadi empat bagian: tahlīlī31, ijmali32, muqaran33, dan
mauḍhū’i.34 35
Penulis bisa katakan bahwa al-Syaukānī menggunakan dua
pendekatan, yaitu riwâyah dan dirayâh seperti yang ditulis dalam
nama tafsirnya. Sedangkan metode yang bisa dipahami dari penafsiran
al-Syaukānī di atas, adalah lebih kepada metode tahlīlī. Dikatakan
tahlīlī karena al-Syaukānī melakukan penafsiran dari awal surah,
sampai surah terakhir, indikasi lain adalah karena ia menggunakan
penelaahan secara bahasa, munasabah ayat ataupun surah, dan
asbabunnuzul.36
31 tahlīlī yaitu metode tafsir yang menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Quran
dari seluruh aspeknya berdasarkan urutan ayat dalam al-Quran, mulai dari
mengemukakan arti kosakata, munasabah (persesuaian), antar ayat, antar surah,
asbabunnuzul, dan lainnya. Lihat Anshori, Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami
Firman Tuhan, 208. 32 Ijmali adalah metode yang menjelaskan ayat-ayat al-Quran secara global atau
general (garis besar), berdasarkan urutan bacaan dan susunan al-Quran. Lihat Anshori,
Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 207. 33 Muqaran yaitu membandingkan ayat-ayat al-Quran yang memiliki persamaan
atau kemiripan redaksi yang berbicara tentang masalah atau kemiripan redaksi yang
berbicara tentang masalah atau kasus yang berbeda, dan memiliki redaksi yang berbeda
bagi masalah atau kasus yang sama atau diduga sama. Lihat Anshori, Ulumul Quran:
Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 216. 34 Mauḍhū’i yaitu metode yang menjelaskan permasalahan atau problematika
yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dalam masalah akidah, aktivitas sosial,
atau fenomena alam yang dipaparkan oleh ayat-ayat al-Quran. Lihat Anshori, Ulumul
Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, 210. 35 Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2001, al-Quran Kita, cet. III (Kediri:
Lirboyo Press, 2013), 226.
36 Muhammad Ihsan, “Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani dalam Kitab Tafsir
Fath al-Qadīr.“ Jurnal Hunafa, vol.5, no.2, (Agustus, 2008): 208.
29
BAB III
DESKRIPSI UMUM TENTANG RISYWAH
A. Pengertian Risywah
Budi Irawan dalam tulisannya yang berjudul ‘Rasuah’ mengatakan
bahwa risywah jika di Indonesiakan kata ‘rasuah’1. Kata risywah jika
diindonesiakan menjadi ‘rasuah’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dijelaskan, rasuah adalah korupsi. Jadi risywah bisa juga dikatakan
korupsi, meskipun risywah adalah salah satu dari beberapa modus di dalam
korupsi itu sendiri. Dalam KBBI korupsi adalah penyelewengan atau
penyalah gunaan uang negara (perusahaan, organisasi, yayasan, dan
sebagainya) untuk keuntungan pribadi ataupun orang lain2. Jadi kata
risywah dalam KBBI berubah atau diindonesiakan menjadi kata ‘rasuah’
Sedangkan, KPK menjelaskan bahwa risywah (suap-menyuap)
adalah bagian dari korupsi itu sendiri. Dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 13 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001, membagi tindak pidana korupsi ke dua kelompok. Pertama, kejahatan
korupsi itu sendiri. Kedua, kejahatan lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi. Kejahatan dalam kelompok kedua sebenarnya bukan
korupsi. Akan tetapi, karena berkaitan dengan korupsi, maka juga dianggap
sebagai pidana korupsi.3 Tindak pidana korupsi dalam kelompok pertama
dibagi menjadi tujuh bagian, yakni tindakan; merugikan keuangan negara
dan/atau perekonomian negara, ‘suap-menyuap’, penggelapan dalam
1 Budi Irawanto, “Rasuah,” Majalah Tempo, 24 Februari 2013, 10. 2 Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet.
V (Jakarta: Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, 2016), 305. 3 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi (Jakarta:
Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2016), 22
30
jabatan, pemerasan, perbuatan curang, penggelapan dalam jabatan, dan
gratifikasi.4
Dalam al-Quran tidak ada term secara khusus yang menerjemahkan
arti risywah, hanya saja ada yang agak bersentuhan atau maknanya
bermuatan risywah atau suap menyuap, yaitu di dalam Surah al-Baqarah
ayat 188, al-Māʹidah ayat 42, dan Surah an-Naml ayat 35-36.
Sedangkan dalam Bahasa Arab risywah sebagai berikut. Secara
etimologis kata risywah berasal dari bahasa Arab “ و ش ر ي -اش ر ” yang masdar
atau verbal naoun-nya bisa dibaca “ ة و ش ر ”” ة و ش ر ” atau “ ة و ش ر ” (hurufnya ra’-
nya dibaca kasrah, fathah atau ḍammah) berarti “ ال ع ل” yaitu upah, hadiah,
komisi atau suap. Ibn Manzur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas
tentang makna kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk
dari kalimat “ خ و االف ش ر ” yaitu, anak burung merengek-rengek ketika
mengangkat kepalanya kepada induknya atau disuapi.5
Adapun secara terminologi, risywah adalah suatu yang diberikan
dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan
dalam rangka membenarkan yang batil atau salah atau menyalahkan yang
benar.6
Dalam sebuah kasus, risywah melibatkan tiga unsur utama, yaitu
pihak pemberi (al-rasyī), pihak penerima pemberian (al-murtasyī), dan
barang bentuk jenis pemberian yang diserahterimakan. Akan tetapi, dalam
kasus risywah tentu boleh jadi bukan hanya melibatkan unsur pemberi,
penerima, dan barang sebagai objek risywah-nya, melainkan juga
melibatkan pihak ke empat sebagai broker atau perantara antara pihak
4 Hafdzil Alim, dkk., Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi, 22. 5 ibn Manzhūr, Lisānul al-‘Arab, jilid XIV (Bairūt: Darul Sadīr, t. t), 322. 6 Komisi Pemberantasan Korupsi, Buku Saku Anti Korupsi Untuk Pemeluk Agama
Islam (Jakarta: KPK, t. t), 32.
31
pertama dan kedua, bahkan bisa juga melibatkan pihak kelima. Misalnya,
pihak yang bertugas mencatat peristiwa atau kesepakatan para pihak yang
dimaksud.
Di antara definisi risywah, definisi buku Kasyf al-Qanna ‘an Matn
al-Iqna’, Mansur bin Yusuf Idris al-Bahuti, menurut penulis cukup menarik
sebab ia mengemukakan bahwa jika pihak pertama memberikan sesuatu
kepada pihak kedua dalam rangka mencegah pihak pertama agar terhindar
dari kezaliman pihak kedua dan agar pihak kedua mau melaksanakan
kewajiban maka pemberian semacam itu tidak dianggap risywah yang
dilarang dalam agama.7
Dalam definisi ini dikemukakan sebuah pengandaian, yaitu
seandainya pihak kedua melakukan kezaliman terhadap pihak pertama dan
pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajibannya terhadap pihak
pertama dan pihak kedua tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
seharusnya ia lakukan terhadap pihak pertama, maka dalam masalah ini
boleh diberikan sesuatu berupa suap atau sogok. Menurut penulis,
pengataan pengandaian seperti ini tidak wajar sehingga dalam kasus
semacam ini tidak diperlukan selain dengan cara menyogok atau menyuap,
tetapi justru sebaliknya diperingatkan, dikritik, dan diberikan saran terbaik.
Senada dengan pengandai yang diungkapkan oleh al-Bahuti di atas,
Syamsul Haq al-Azim mengatakan, sebaiknya pemberian-pemberian dalam
kondisi ini tidak dilakukan terhadap hakim-hakim dalam para penguasa
sebab upaya untuk membela pihak yang benar sudah merupakan kewajiban
yang harus dilakukan, menolak kezaliman yang dilaksanakan pelaku objek
(mazlum) juga wajib dilakukan oleh hakim tersebut, sehingga tidak boleh
mengambil atau menerima pemberian ini”.8
7 M. Nurul Irfan, “Gratifikasi dalam Pandangan Hukum Pidana Islam.” Ahkam,
vol.11, no.2 (September 2009): 5. 8 M. Nurul Irfan, “Gratifikasi dalam Pandangan Hukum Pidana Islam,” 6.
32
Syamsul Haq al-Anwar Abadi mengemukakan bahwa pemberian
yang dilakukan dengan niat agar penyimpangan dan penyelewengan pihak
penerima bisa diubah semakin baik, sebaiknya tidak dilakukan dalam
masalah peradilan dan pemerintahan (al-qudah wa al-wulan) sebab tanda
diberi sogok atau hadiah pun membela dan menegakkan keadilan sudah
menjadi tugas hakim dan pemerintah. Maka tidak layak jika dalam
membuat adil harus memberi suap.9
Dari uraian tentang risywah di atas, bisa disimpulkan bahwa risywah
atau pun suap adalah suatu pemberian yang diberikan kepada seseorang
hakim10 (petugas, pejabat pemerintah, elit politik, dan lainnya) dengan
tujuan untuk kepentingan yang terselubung di belakang, yaitu
membenarkan yang salah atau menyalahkan yang benar. Meskipun ada
beberapa ulama yang memperbolehkannya melakukan risywah (yang
9 Dalam hal ini al-Syaukānī lebih tegas mengemukakan pendapatnya bahwa
diharamkan menyuap seseorang hakim secara ijmak atas dasar Sabda Nabi Muhammad
Saw: “Allah melaknat seseorang penyuap dan yang disuap,” Imam Yahya berpendapat
bahwa pelaku dianggap telah fasik dengan tujuan untuk mengancam seorang penyuap, jika
ia menuntut suatu kebatilan maka termasuk dalam cakupan hadis tersebut. al-Mansur
Billah, Abu Ja’far, dan sebagian ulama ashab al-Syafi’ī berpendapat bahwa kalau suap
diberikan untuk menuntut hak yang disepakati maka hal itu diperbolehkan. Akan tetapi,
konon Mazhab al-Syafi’ī tidak memperbolehkan atas dasar keumuman hadis tentang
haramnya risywah. bila hal ini masih diperselisihkan maka risywah model ini sama dengan
batil yang tidak ada pengaruhnya dari segi hukum. Menurut – saya – kata al-Syaukānī
upaya untuk konsep takhsis tentang dibolehkannya menyerahkannya suap kepada hakim
dalam rangka menuntut hak, saya tidak mengerti dengan jenis atau metode takhsis apa yang
dilakukan, pendapat yang benar adalah tetap haram secara mutlak dengan dasar sifat
keumuman hadis. Jadi seseorang yang membolehkan risywah dalam berbagai tipe dan
bentuknya bisa diterima diserati dengan dalil yang kuat. Namun, apa bila tidak ada dalil
yang kuat maka takhsisnya ditolak. Sebab, pada dasarnya harta orang Muslim haram
(untuk saling diganggu), “Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan cara
yang batil.” al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid III (Bairūt: Dar al-Fikr, t. t),172. 10 Dalam hal ini al-Syaukānī mengatakan bahwa hadiah-hadiah yang diberikan
kepada hakim atau yang serupa dengannya merupakan salah satu bentuk risywah, sebab
seseorang yang memberikan hadiah kepada hakim bukan karena terbiasa, maka tidak
mungkin ia memberikan hadiah tersebut kecuali dengan maksud atau tujuan tertentu.
Hadiah tersebut bertujuan untuk menguatkan (keputusan) batilnya atau dimaksud untuk
memenangkan haknya (pemberian hadiah), dan kedua tindakan ini haram dilakukan. Lihat
al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid IX (Bairūt, Dar al-Fikr. t. t), 173.
33
diperbolehkannya dalam Islam) dan ada yang melarangnya, di sini penulis
tidak bisa menghakimi apakah risywah itu boleh atau tidak, karena tugas
penulis hanya menjelaskan dan menjawab seperti apa itu definisi risywah
saja.11
B. Perbedaan Risywah dan Hadiah
Dalam KBBI, gratifikasi diartikan sebagai uang hadiah kepada
pegawai di luar gaji yang telah ditentukan.12 Gratifikasi yang disebutkan
dalam Pasal 12B dan 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah pemberian dalam artian luas,
bukan hanya berbentuk uang, melainkan meliputi pemberian barang, rabat
(diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
11 Karena skripsi ini membahas tentang ‘tafsir’, bukan ingin membahas ‘Hukum
Islam’. Namun, penting kiranya untuk dijelaskan terkait polemik di atas. Ada beberapa
ulama seperti Ibn Taimyymiah, Ibn Mas’ud, al-Dzahabi, Ahmad al-Siharanfuri, dan
lainnya serta Burhanuddi Muhtadi dalam penelitiannya dengan judul ‘Politik Uang dan
Dinamika Elektoral di Indonesia’, diperbolehkannya risywah atau suap dengan catatan
ingin memperjuangkan haknya yang telah dicurangi atau dirugikan oleh seseorang,
kelompok, institusi, atau menolak kezaliman yang telah merajalela—dalam hal ini boleh
melakukan risywah. Menurut penulis, seandainya memberikan suap atau menerima suap
diperbolehkan untuk memperoleh hak yang mesti diterima, untuk menolak atau
memberantas kebatilan yang terjadi—walaupun banyak pakar membolehkan – tetap saja
risywah adalah perbuatan yang tidak baik, karena ini akan menyuburkan sogok menyogok,
korupsi apalagi konteksnya di Indonesia yang sedang berusaha menurunkan angka praktek
korupsi atau suap-menyuap. Lebih lengkapnya lihat buku 11 Komisi Pemberantasan
Korupsi, Buku Saku Anti Korupsi Untuk Pemeluk Agama Islam. 12 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 371. Hadis
yang diriwayatkan oleh Abu Dawud: Zaid ibn Akhzam Abu Thalib telah menceritakan
hadis kepada kami, Abu ‘Ashim telah menceritakan hadis kepada kami, dari Abd al-
Warrist ibn Sa’id, dari Husain al-Mu’allim, dari Abdillah ibn Buraidah, dari bapaknya, dari
Nabi Muhammad SAW. Belia bersabda: “Siapa saja yang telah kami angkat untuk
mengerjakan sesuatu pekerjaan atau jabatan kemudian kami telah memberikan gaji, maka
sesuatu yang diterimanya dari luar gaji yang sah adalah ghulûl (gratifikasi/korupsi).”
(HR. Abu Dawud). Nur Achmad, “Hadis-Hadis Antikorupsi: Menggali Semangat
Antikorupsi dalam Hadis-Hadis Nabi,” Dalam Pendidikan Antikorupsi di Perguruan
Tinggi Islam, ed. Chaider S. Bamualim dan JM. Muslimin (Jakarta: Center for the Study
of Religion and Culture, 2006),162.
34
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-Cuma, dan fasilitas
lainnya.
Gratifikasi tersebut berupa servis terhadap pegawai negeri atau
penyelenggara negara sehingga bukan mengenai pemberian, tetapi
mengenai ‘penerimaan gratifikasi’,13 baik diterima di dalam maupun di luar
negeri, dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun
non-elektronik.14 Dengan demikian, gratifikasi sama dengan suap yang
dalam Bahasa Arabnya disebut dengan risywah seperti sudah dijelaskan di
atas.
Antara hadiah dan gratifikasi memang sangat tipis perbedaannya.
Pertama, dari sisi definisi. Hadiah ialah pemberian, kenang-kenangan,
penghargaan, dan penghormatan.15 Sementara itu gratifikasi adalah uang
sogok, sogok itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang digunakan
untuk menyogok. Dari sisi ini perbedaan antara hadiah dan gratifikasi
sangat nyata. Hadiah bermakna positif, sedangkan gratifikasi bermakna
negatif. Kedua, dari sisi niat pelaku, jika pelaku berniat memberikan
penghargaan atau penghormatan kepada pihak penerima, hal itu disebut
hadiah. Sementara itu, jika pelaku berniat untuk memberikan sogok, hal itu
disebut gratifikasi. Masalahnya, siapa yang dapat mengetahui niat
seseorang dan bagaimana cara mengukur niat tersebut.16
Untuk membedakan antara hadiah dan gratifikasi dari sisi pelaku,
ada sebagian pendapat yang berpendapat bahwa jika pelaku memberikan
sebelum selesai proses perkara atau tugas yang diembannya, hal itu dinilai
13 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Jakarta:
Sinar Grafika, 2005), h. 109. 14 Adami Chaznawi, Hukum Pidana Materi dan Formil Korupsi di Indonesia, cet.
II (Jakarta: Bayu Media, 2005), 261. 15 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, 380. 16 M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana
Islam (Jakarta: Amzah, 2014), 26.
35
gratifikasi. Akan tetapi, jika pemberian itu baru diberikan setelah selesai
proses acara atau proses mengurusnya, hal itu disebut hadiah. Dengan kata
lain, jika pemberian itu dilakukan sebelumnya, disebut gratifikasi. Akan
tetapi, jika diberikan setelah proses perkara selesai, hal itu disebut hadiah.
Akan tetapi jika terjadi kongkalikong secara damai antara pihak dan
penerima bahwa hadiah ini akan diberikan pada saat selesai perkara dan
telah disepakati oleh kedua belah pihak, tetap saja tidak ada perbedaan
antara keduanya dan pihak pemberi telah memberikan janji.17
Tabel 3.1 Indeks Persepsi Korupsi (IPK)18
No Sekor Negara Rangking
1 88 Denmark 1
2 85 Singapura 3
3 80 Inggris 11
4 71 Amerika Serikat 22
5 49 Saudi Arabia 58
6 47 Malaysia 61
7 41 India 78
8 39 China 87
9 38 Indonesia 89
10 28 Iran 138
11 10 Somalia 180
17 Lebih lengkapnya mengenai perbedaan antara gratifikasi dan hadiah, baca
buku: M. Nurul Irfan, Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana Islam,
27.
18 Rangking Indonesia berada di peringkat 89 dengan sekor 38 dalam masalah
korupsi, Transparency International: The Global Coalition Against Corruptio. Corruption
Perceptions Index 2018 (Berlin: Transparency International, 2019), 2-4. Diakses, 5 Juni
2019,https://www.transparency.org/files/content/pages/2018_CPI_ExecutiveSummary.pd
f
36
BAB IV
ANALISIS AYAT-AYAT TENTANG RISYWAH DALAM TAFSIR
FATḤ AL-QADĪR KARYA AL-SYAUKĀNĪ
A. Ayat-Ayat Tentang Risywah
Atas dasar fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Republik
Indonesia pada tahun 2000 dengan judul fatwa Risywah (Suap), Ghulūl
(Korupsi), dan Hadiah Kepada Pejabat1. Dalam fatwa tersebut berisikan
ayat, hadis, dan kaidah fikih serta pendapat para ulama yang menjelaskan
tentang dilarangnya korupsi (risywah adalah bagian dari korupsi), untuk
ayat-ayatnya terdapat di Surah al-Baqarah ayat 188 menerangkan tentang
risywah, an-Nisā’ ayat 29 menerangkan tentang memakan makanan yang
batil, dan Āli ʹImrān ayat 161 menerangkan tentang ghulûl atau harta
rampasan perang.
Namun, dalam penelitian ini penulis menggunakan Surah al-
Baqarah ayat 188, al-Māʹidah ayat 42, dan an-Naml ayat 35-36, akan tetapi
tidak menggunakan Surah an-Nisā’ ayat 29 dan Āli ʹImrān ayat 161. Kedua
Surah al-Māʹidah ayat 42 dan an-Naml ayat 35-36 atas penelitian penulis
mengandung pengertian risywah. Sedangkan Surah an-Nisā’ ayat 29 dan
Āli ʹImrān ayat 161 secara umum mengandung pengertian korupsi yang
mana tidak sesuai dengan tema penelitian. Agar mendapatkan data yang
maksimal, penulis menghimpun ayat-ayat yang memiliki pengertian
risywah sebagai berikut:
Tabel 4.1 : Ayat-Ayat Tentang Risywah
No Lafaz Lokasi Arti
1 Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011), h. 388-392.
37
لباطالا 1 al-Baqarah ayat 188 Secara batil3 2با
al-Māʹidah ayat 42 Yang haram5 4لالسحتا 2
داية 3 an-Naml ayat 35 Dengan hadiah7 6 با
B. Penggunaan Kata Risywah dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr
Di dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr, kata risywah muncul kurang lebih
sebanyak sembilan kali dengan bentuk yang beragam, yaitu dengan kata
“ ىشرأ ” sebanyak satu kali, “الرشا” sebanyak satu kali, “ راشوة” sebanyak enam
kali, dan “ sebanyak satu kali. Masih di Tafsir Fatḥ al-Qadīr ada ”لالسحتا
juga yang menggunakan kata “ yang menurut ibn Jarir yang ”لالسحتا
diriwayatkan dari ibn Abbas adalah sinonim kata dari risywah.
Untuk itu guna mendapatkan data yang maksimal dan lebih mudah
maka penulis menghimpun kata risywah yang digunakan oleh al-Syaukānī
sebagai berikut:
Tabel 4.2 : Penggunaan Kata Risywah dalam Tafsir Fatḥ al-Qadīr
No Kata Makna Subjek Objek
2 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan (Jakarta:
Nur Publishing, 2009), 297. 3 Edham Syifa’i, Kamus Lengkap al-Quran (Jakarta: CV al-Hasanah, 1993), 76. 4 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan, h. 115. 5 Edham Syifa’i, Kamus Lengkap al-Quran, 313. 6 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan, 379-
380. 7 Edham Syifa’i, Kamus Lengkap al-Quran, 984.
38
Menyogok Seseorang Hakim أرشى8 1
2 9“ Harta yang لالسحتا
haram
Seseorang dari
Kaum Yahudi
Hakim
Suap راشوة 10 3
menyuap
Seseorang dari
Kaum Yahudi
Hakim
Yang الرشا11 4
Menyuap
Seseorang dari
Kaum Yahudi
Hakim
Sogokan Ratu راشوة 12 5
Balqis/melalui
utusannya
Nabi Sulaiman
C. Surah al-Baqarah Ayat 188
لاتأكلوافراي قاما االالكاما ا وتدلوابا لباطالا نكمبا ولتكلوااموالكمب ي ما لا با النا ا ن اموا ا 13(٨١١)وان تمت علمون
“Dan janganlah kalian sebagian kamu saling memakan harta
sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan
(janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim,
supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang
8 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, jilid, I (Mesir:
Dar al-Fikr, 1973), 342.
9 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, jilid II (Mesir:
Dar al-Fikr, 1973), 59.
10 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 60.
11 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 63.
12 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, juz IV (Mesir:
Dar al-Fikr, 1973),182. 13 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan, 297.
39
lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.“
(QS. al-Baqarah ayat 188).14
Tabel 4. 3: Penggunaan Kata Risywah di Surah al-Baqarah ayat 188 dalam
Tafsir Fatḥ al-Qadīr
No Kata Makna Subjek Objek
Surah al-Baqarah ayat 188
Menyogok Seseorang Hakim أرشى15 1
Asbabunnuzul ayat di atas sebagai berikut: Diceritakan oleh ibn
Abbas, Surah al-Baqarah ayat 188 berkenaan dengan seseorang yang
memiliki tanggungan hutang namun tidak ada bukti atas dirinya. Lalu orang
tersebut mengingkari hutangnya dan mengajukan gugatan kepada hakim
(Nabi Muhammad), padahal dia tahu bahwa dia memang memiliki
tanggungan hutang itu, dan itu pun tahu bahwa dia sedang melakukan dosa
dan makan harta haram.16 Yang mengajukan kepada hakim adalah: Abdan
bin Asywa’ al-Hadhrami dan Umru’ul Imri’il Qais al-Kindi. Abdan
mengklaim bahwa harta Umr’ul adalah sebagian miliknya, pada akhirnya
keduanya bersepakat untuk berperkara kepada Nabi Muhammad, Umr’ul
mengingkari dan bersumpah bahwa sebagian hartanya bukan milik Abdan.
Akhirnya turunlah ayat di atas, tidak lama kemudian Imri’il Qais urung
14 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Tim Penerjemah Pustaka Azzam, jilid I
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2019), 731.
15 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, jilid, I (Mesir:
Dar al-Fikr, 1973), 342.
16 Syaikh Ahmad Syakir, Muktashar Tafsir Ibnu Katsir, jilid I (Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2011), 525.
40
melakukan sumpah, sebagai seorang hakim Nabi Muhammad memutuskan
perkara tersebut dan kemudian memberikan tanah itu kepada Abdan, dan
Abdan pun tidak memerkarakan Umr’ul lagi.17
Firman-Nya: “وتدلوا” (dan [janganlah] kamu membawa [urusan])
pada posisi jazam (sukun) sebagai ‘athaf pada kalimat : “تكلوا” (memakan),
ini termasuk dalam larangan tadi. Dikatakan ‘adala ar-rajūlu bi hujaati
(seseorang laki-laki mengajukan alasannya) atau ‘bi al amr alladzi yarju
an-najah bihi’ (membawa perkara yang ingin dimenangkan) adalah bentuk
ungkapan yang menyerupakan ‘yursilu ad-dalwa fi al bi’i (orang yang
mengeluarkan ember ke dalam sumur). Dikatakan ‘adala dalwahu’
(mengeluarkan embernya), yakni mengeluarkan.18
Oleh karenanya makna Surah al-Baqarah ayat 188, janganlah kalian
memadukan antara harta secara batil dan mengadukannya kepada
pengadilan dengan mengemukakan alasan-alasan yang batil atau tidak
sesuai dengan kenyataan. Ayat ini menunjukkan, bahwa keputusan hakim
tidak dapat menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharapkan yang
halal, baik berkenaan dengan harta. Barang siapa yang dimenangkan oleh
pengadilan mengenai suatu harta—atau lainnya—yang mana keputusan itu
berdasarkan pada kesaksian palsu atau sumpah palsu, maka bagi yang
dimenangkan itu tidak halal baginya untuk dimenangkan, karena bila ia
mengambilnya berarti ia mengambil harta orang lain dengan cara yang batil.
Begitu juga bila ia memberikan risywah (suap atau menyogok) kepada
hakim, lalu hakim tersebut memenangkan keputusan untuknya (karena
disuap) secara tidak hak, maka ia pun termasuk memakan harta orang lain
secara batil.19
17 Syikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib,
Nashirul Haq, jilid II (Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 765-766. 18 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 731. 19 al-Syaukānī , Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 731-732.
41
Seperti hadis yang telah ditulis oleh al-Syaukānī dalam kitabnya
Nāil al-Auṭār tentang risywah:
اللا وسرن علا نبوث ن ع ايواشاالرملسوهايىلعاللىليشاييذاالناغيي شاترل
امهن ي ب
Dari Tsauban, ia berkata, “Rasulullah SAW melaknat orang yang
menyuap; orang yang disuap; dan orang yang menghubungkan,
yaitu orang yang berjalan di antara keduanya.” (HR. Ahmad).20
Dalam hadis di atas al-Syaukānī berpendapat bahwa dilarang yang
namanya suap menyuap, penerima suap, pihak kedua atau bisa dikatakan
broker (yang berjalan di antara keduanya). Khususnya dilakukan kepada
para hakim untuk memenangkan perkara yang dituntut kepada terdakwa.
Namun, hal ini menjadi menarik ketika al-Syaukānī menjelaskan
agak berbeda, di mana ia lebih toleran lagi dalam masalah suap menyuap,
pendapatnya sebagai berikut. Pertama, hadiah (risywah) yang diberikan
kepada hakim dan yang memberikan hadiah (menyuap), jika karena bukan
kebiasaan memberikan hadiah kepada hakim sebelum menjabat, berarti ia
tidak memberikan hadiah itu kecuali karena suatu tujuan yang lain, tidak
termasuk hadiah risywah atau sogokan, karena pemberian hadiah sudah
terbiasa sebelumnya (sebelum menjabat sebagai hakim).21 Kedua, al-
Syaukānī mengemukakan bahwa secara jelas, apabila ada seseorang yang
menganggap ada bentuk-bentuk suap menyuap tertentu dengan segala
tujuan serta motif-motif tertentu diperbolehkan, maka hal tersebut harus
disertai dengan alasan dan dalil yang bisa diterima serta kuat. Sebab, dalam
hadis tentang terlaknatnya para pelaku risywah tidak disebutkan secara rinci
tentang jenis dan kriteria risywah tersebut.22
20 al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid IX (Bairūt: Dar al-Fikr, t. t.), 172. 21 al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, terj. Amir Hamzah Fachruddin, Asep Saefullah,
jilid IV (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), 659. 22 al-Syaukānī, Nāil al-Auṭār, jilid IX (Bairūt: Dar al-Fikr. t. t), 172.
42
Firman-Nya “ت علمون :yakni ,(padahal kamu mengetahui) ”وان تم
dalam kondisi kalian mengetahui bahwa perbuatan itu batil dan sama sekali
tidak hak. Ini menyebabkan lebih beratnya siksaan karena lebih beratnya
pelanggaran mereka.23 al-Syaukānī dalam tafsirnya menyampaikan; ayat ini
turun: “ موالكمولتكلواا ”, ia berkata:
“Ini adalah orang yang mempunyai tanggungan harta (utang) tapi
tidak ada bukti, lalu ia mengingkarinya dan mengadukan perkaranya
kepada hakim, padahal ia tahu bahwa kebenaran berada dalam pihak
lain,”.
Untuk memperkuat pendapat al-Syaukānī maka penulis
menambahkan beberapa pendapat mufasir sebagai pandangan tambahan.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah mengatakan, salah satu yang
terlarang, dan sering dilakukan dalam masyarakat, adalah menyogok.
Dalam ayat ini diibaratkan dengan perbuatan menurunkan timba (ember) ke
dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang turun tidak terlihat oleh
orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur. Dari perumpamaan
ini bisa ditarik bahwa, penyogokan ialah, menurunkan keinginannya kepada
yang berwenang untuk memutuskan sesuatu, tetapi secara sembunyi-
sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu dengan cara tidak sah.24
Hampir mirip dengan pendapat al-Syaukānī yang agak toleran suap-
menyuap—mengutip pendapat al-Biqa’i, M. Quraish Shihab berkata, meski
pun ada beberapa pendapat yang membolehkan memberi sesuatu kepada
yang berwenang (hakim) dengan syarat, bila pemberian tersebut tidak
bertujuan dosa, tetapi bertujuan untuk mengambil haknya sendiri (pemberi).
Dalam hal ini ‘yang berdosa adalah yang menerima hadiah, bukan yang
memberi hadiah’. Namun, dalam hal ini M. Quraish Shihab tidak
23 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 733. 24 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, cet. V, jilid 1 (Jakarta: Lentera Hati,
2012), 387.
43
menyetujuinya meskipun ada ulama lain yang membenarkan ide ini, seperti
as-Shan’ani.25
Dalam Tafsir al-Munir karangan Wahbah az-Zuhaili26 kata “وتدلوا”
makna mufradat lughawiyyah; kalian memberi harta kepada hakim sebagai
suap agar kalian mendapatkan keputusan pengadilan yang menguntungkan
diri kalian. “فراي قا” artinya sekumpulan, sekelompok. “ ما لا yakni dengan ”با
jalan melakukan dosa, yaitu dengan cara lalim dan aniaya, misalnya: dengan
memberi kesaksian palsu, sumpah dusta, atau sejenisnya.27
Mengutip dari Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi, makna
yang terkandung dalam firman-Nya ini adalah, janganlah kalian gunakan
harta kalian untuk para penguasa dan menyogok mereka (penguasa/yang
berwenang), agar mereka memberikan keputusan untuk kalian yang
membuat harta itu bertambah banyak. Masih dalam kitab tafsirnya, Imam
al-Qurthubi mengutip perkataan ibn Athiyah, pendapat ini lebih
diunggulkan. Sebab para penguasa itu diduga banyak menerima suap,
kecuali mereka dilindungi Allah, namun jumlah mereka amat sedikit. Selain
itu, juga karena kedua lafaz tersebut di mana kata tudlu berasal dari irsal
ad-dalwi (mengeluarkan ember), sedangkan kata risywah berasal dari kata
ar-rasya, seolah dia mengeluarkan ember tersebut untuk memenuhi
keperluannya.28
Seperti yang telah disampaikan di atas, penulis berpendapat: ayat ini
melarang semua orang memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak
benar—hal ini mencangkup risywah, termasuk kategori “memakan dengan
25 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 387.
26 Wahbah az-Zuhaili adalah mufasir yang terkenal dengan tafsirnya Tafsir al-
Munir. Ia lahir di Syiria pada 6 Maret 1932 M/1351 H dan tahun 2015. Lihat di Faizah Ali
Syibromalisi, dan Jauhar Azizi, Membahasa Kitab Tafsir Klasik Modern (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011). 163. 27 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., jilid I
(Jakarta: Gema Insani, 2013), h. 407. 28 Syikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, 770-771.
44
jalan yang batil” antara lain: hakim memenangkan seseorang dalam
sengketa, sementara orang tersebut tahu bahwa ia berada di pihak yang
salah, sogok menyogok, dan risywah. Ayat ini secara terang menyatakan
bahwa dosa ditanggung oleh orang yang makan, sementara ia tahu bahwa
ia zalim dalam makanan dan memutuskannya tersebut. Adapun orang yang
tidak tahu tidak berdosa. Barang haram tidak berubah menjadi halal gara-
gara keputusan hakim, sebab ia hanya memutuskan berdasarkan bukti
lahiriah saja, sebagaimana pendapat Ibn Katsir di atas. Meskipun begitu, al-
Syaukānī di satu sisi secara tegas melarang risywah, namun di sisi lain ia
cukup toleran terhadap risywah—pertama dengan alasan melihat umumnya
dan tidak rincinya hadis mengenai risywah. Kedua, apabila pemberian
tersebut sudah terbiasa diberikan sebelum orang tersebut diangkat menjadi
hakim, karena tujuan atau niat belum tentu untuk menyogok—melihat
pemberian tersebut sudah lumrah atau biasa sebelum orang tersebut
diangkat menjadi hakim.
Dalam hal ini penulis tidak sependapat tentang hal ini, apalagi
konteksnya di Indonesia yang mana kasus risywahnya sudah tinggi—oleh
karenanya dalam hal apapun dan motif apapun yang namanya risywah tetap
tidak diperbolehkan yang pada akhirnya imbasnya akan dipukul dan
merugikan orang, masyarakat, dan negara.
D. Surah al-Māiʹdah Ayat 42
همواانت ن هماواعراضعن فاانجاءوكفاحكمب ي لونلالسحتا اك همعراضس عونلالكذابا عن
طاي المقسا ياب اانالل لقاسطا ن همبا واانحكمتفاحكمب ي 29(٢٤) ف لن يضروكشي ا
“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan harta yang haram. Jika mereka (orang
Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta keputusan), maka
putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari
29 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan, 115.
45
mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan
memberi mudarat kepadamu sedikit pun, dan jika kamu
memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di
antara mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang adil.”(QS. al-Māʹidah ayat 42)30
Tabel 4. 4: Penggunaan Kata Risywah di Surah al-Māʹidah ayat 42 dalam
Tafsir Fatḥ al-Qadīr
No Kata Makna Subjek Objek
Surah al-Māʹidah ayat 42
2 31“ Harta yang لالسحتا
haram
Seseorang dari Kaum
Yahudi
Hakim
Suap menyuap Seseorang dari Kaum راشوة 32 3
Yahudi
Hakim
Yang Menyuap Seseorang dari Kaum الرشا33 4
Yahudi
Hakim
Ayat ini turun berkenaan dengan Kaum Yahudi, jika ada pihak yang
bersalah dalam suatu perkara hukum, atau pihak yang mengajukan dakwa
atau gugatan palsu, datang kepada hakim akan mendengarkan perkataannya
dan hanya berpatokan pada keterangannya saja, tanpa mau mendengarkan
penjelasan pihak yang satunya lagi. Dengan begitu hakim tersebut diberi
sogokan dan memakan harta dari hasil yang haram dan mendengarkan
perkataan bohong. Orang-orang Yahudi yang miskin mendapatkan
30 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, terj. Tim Penerjemah Pustaka Azzam, jilid
III (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), 377.
31 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqiq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, jilid II (Mesir:
Dâr al-Fikr, 1973), 59.
32 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 60.
33 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, 63.
46
sokongan harta dari orang-orang Yahudi yang kaya supaya mereka tetap
teguh pada Agama Yahudi, dan mereka mendengarkan keterangan-
keterangan palsu dan bohong dari mereka untuk menyebarkan Agama
Yahudi serta menyerang, menjelek-jelekkan, dan menghujat Islam.34
Sebelum Nabi Muhammad menundukkan orang Yahudi. Lalu pada
suatu ketika terjadi pembunuhan terhadap seorang dari golongan terhormat
mereka dan golongan itu mengirim utusan kepada golongan rendah, dan
menjawab:
“Apakah dapat terjadi di dua kampung yang agamanya, turunan,
dan negerinya sama, membayar tebusan yang berbeda (setengah dari yang
lain35)?”.”Kami berikan sekarang ini dengan rasa dongkol, tertekan, serta
takut terjadi perpecahan. Tetapi setelah Muhammad sampai kemari, kami
tidak akan memberikan itu padamu.”36
Hampir saja terjadi peperangan di antara kedua golongan itu.
Mereka lalu mengusulkan menjadikan Nabi Muhammad sebagai penentu
keputusan di antara mereka, maka golongan terhormat berpikir:
“Demi Allah, Muhammad tidak akan memutuskan untuk kita agar
menyerahkan kepada mereka (golongan rendah) setengah dari apa yang
mereka serahkan kepada kita. Mereka (golongan rendah) memang benar,
bahwa selain ini mereka menyerahkan itu dengan rasa dongkol dan meresa
ditindas. Oleh karena itu, kirim orang kepada Muhammad yang dapat
menggoreng pendapatnya. Jika Muhammad menetapkan bagi kalian, apa
yang kalian inginkan, maka gunakanlah ketetapan itu, jika tidak demikian
maka hati-hatilah, dan jangan kalian gunakan ketetapan itu.”37
34 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., jilid
III (Jakarta: Gema Insani, 2013), 408.
35 Setiap korban dari golongan rendah yang dibunuh oleh golongan terhormat,
diat-nya adalah lima puluh wasaq, dan setiap korban dari golongan terhormat yang dibunuh
oleh golongan rendah, diyat-nya adalah seratus wasaq. 36 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 387-388. 37 Berkenaan dengan diyat Bani Nadhir dan Bani Quraizhah. Yaitu, dulunya
berlaku ketentuan bahwa korban pembunuhan dari kalangan Bani Nadhir yang dipandang
terhormat harus ditunaikan secara sempurna, sedangkan bagi korban bani Quraizhah hanya
setengah diyat. Mereka lalu meminta keputusan kepada Rasulullah, dan Allah menurunkan
ayat ini berkenaan dengan mereka. Rasulullah kemudian menetapkan mereka pada yang
haq mengenai perkara ini dengan menetapkan diyat yang sama di antara mereka. al-
Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 393.
47
Mereka sejumlah orang munafik pun mengirim utusan kepada Nabi
Muhammad untuk mencari tahu pendapatnya.38 Tatkala mereka datang ke
Nabi Muhammad, Allah telah memberitahukan Rasul-Nya tentang semua
perkara mereka dan apa yang mereka inginkan: “ كنزيل وسراالهي ي ” (hai
Rasul, janganlah kamu disedihkan). Hingga: “ كئالوأفالل زن اأبامكيلن مونورفاكالمه ” (barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, maka itu adalah orang-orang yang kafir). Ia lalu
bersabda mengenai mereka: “ ن اعمهيإاوتلزانأاللاو ” (demi Allah, ayat ini
diturunkan berkenaan dengan mereka dan aku).39
Dalam tafsirnya al-Syaukānī mengutip; Abdurrazzaq, Ahmad, Abd
bin Humaid, Abu Daud, ibn Jarir, Ibu Abu Hatim, dan al-Baihaqi dalam ad-
Dalail meriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata: “Orang yang pertama
kali dirajam oleh Nabi Muhammad dari kalangan Yahudi adalah seorang
laki-laki dan perempuan dari kalangan mereka yang berzina, yang pada
saat itu sebagian orang Yahudi berkata kepada sebagian lainnya, mari kita
temui nabi, karena sesungguhnya ia seorang nabi yang diutus untuk
memberikan keringanan. Jika ia memberi fatwa kepada kita dengan hukum
selain rajam, maka kita terima, dan itu akan menjadi petunjuk kita di
hadapan Allah kelak. Nanti kita akan berkata, ini adalah fatwa dari salah
seorang nabi-Mu”.40
Mereka pun menemui ia yang saat itu sedang duduk di masjid
bersama para sahabatnya. Mereka berkata,
“Wahai Abu al-Qasim, bagaimana menurutmu tentang seorang
laki-laki dan seorang perempuan dari kalangan kami yang berzina, ia
belum berbicara kepada mereka hingga mendatangi tempat para penghulu
mereka, lalu ia berdiri di depan pintu dan bersabda:
نوداتاى,مسوىملعاةروالت زن يأالذ اللابامكدشنأ ن صحأاذإانزن ىملعاةروالت فا “Aku persumpahkan kalian kepada Allah yang telah menurunkan
Taurat kepada Musa, [hukuman] apa yang kalian temukan di dalam Taurat
38 Jalaluddin as-Suyuthi, Sebab Turunnya Ayat al-Quran (Jakarta: Gema Insani,
2008), 226. 39 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 388. 40 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 388-389.
48
bagi orang muhshah [yang telah menikah] yang berzina?) Mereka
menjawab, ‘Dirajam, diarak, dan dicambuk.’”41
Maksud diarak adalah, kedua yang berzina dinaikkan ke atas seekor
keledai dengan posisi saling memunggungi, lalu dibawa keliling kampung.
Dalam dialog ini ada seorang pemuda dari kalangan mereka yang diam saja,
dan tatkala ia melihatnya ia diam, ia kembali menegaskan persumpahan
tersebut, ia pun berkata: “Ya Allah, karena engkau telah mempersumpahkan
kami kepada Allah, maka kami jawab, bahwa kami temukan hukuman
rajam di dalam Taurat. Nabi Muhammad pun bersabda “ متصتاارم واأمف؟اللارمأ ” (lalu, bagaimana pertama kali kalian meringankan hukuman itu
yang telah sebenarnya diperintahkan Allah?). Mereka menjawab, ‘Ada
seorang laki-laki yang berzina dengan kerabat salah seorang raja kami, lalu
hukuman rajanya ditangguhkan. Lalu ada lagi seorang laki-laki yang
berzina dengan keluarga seseorang, lalu mereka hendak merajamnya,
namun kaumnya mencegahnya dan berkata, demi Allah, janganlah kamu
merajam teman kami sampai kamu membawakan teman kami itu, barulah
kamu merajamnya’. Mereka lalu mengadakan kesepakatan di antara merak
tentang hukuman tersebut”.42 Nabi lalu bersabda “الت وراةا فا باا أحكم ن ا ”فإا
(maka sesungguhnya aku menetapkan human yang ditetapkan di dalam
Taurat). Lalu kedua berzina itu pun diperintahkan untuk dirajam.43 Itulah
asbabunnuzul dari Surah al-Māʹidah ayat 42 tersebut.
Firman-Nya: “ mereka itu adalah orang-orang yang) ”س عونلالكذابا
suka mendengar berita bohong)44, yaitu gemar mendengar dari pemuka45
mereka yang mengubah-ubah Taurat, mendengar perkataan Nabi
41 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 389. 42 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 389-390. 43 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 390. 44 Adalah penegasan kedua kalinya di al-Māʹidah ayat 41 dan 42. 45 Orang alim, pendeta mereka, ulam mereka yang memiliki kemampuan ilmu
Taurat. Lihat di al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 395.
49
Muhammad untuk didustakan perkataannya, dan orang lain.46 Diulanglah
lagi untuk menyebut berperangai buruk, setengah mereka suka datang
mendengar-dengar perkataan, tetapi bukan buat diterima, melainkan buat
disalah-salahkan, artinya didustakan, dilebih-lebihkan, atau dikurangi.47
Firman-Nya: “ لونلالسحتا .(banyak memakan harta yang haram) ”اك
Keduanya termasuk khabar-khabar untuk mubtada’ muqadaddar
terdahulu. “as-suḥt”, dengan dammah pada huruf sin dan sukun pada huruf
ha’ adalah harta yang haram, asal maknanya adalah al-halak wa as-siyidah
(kebiasaan dan kekerasan), yang berasal dari kata sahatuhu, yaitu artinya,
aku membinasakan.48 Ada yang mengatakan bahwa itu adalah suap
(sogok).49 Jamaah menafsirkannya sebagai salah satu jenis yang haram
secara khusus, seperti memberikan hadiah kepada orang yang akan
memutuskan perkara yang dibutuhkannya, upah dukun, dan sebagainya.50
al-Syaukānī dalam tafsirnya mengutip dari; ibn Jarir meriwayatkan
dari ibn Abbas, mengenai firman-Nya: “ لالسحتا لون banyak memakan) ”اك
yang haram), ia berkata “mereka melakukan penyuapan (sogok) dalam
pengadilan dan penetapan keputusan dengan kebohongan”.51 Dalam Tafsir
Fatḥ al-Qadīr al-Syaukānī mengutip dari; ibn Jarir, ibn Abu Hatim, dan al-
Baihaqi dalam Syu’ah al-Imam meriwayatkan dari ibn Mas’ud juga berkata:
“Barang siapa memberikan pembelaan bagi seorang untuk memecahkan dari tindakan zalim, atau mengembalikan suatu hak kepadanya, lalu ia diberikan hadiah, kemudian hadiah itu ia terima, maka itulah as-suht”. Lalu dikatakan kepadanya, “Wahai Abu Abdurrahman, sesungguhnya yang kami anggap as-sḥut adalah penyuapan (sogokan) dalam perkara agama.” Ia pun berkata , “Itu adalah kekufuran”. “ لن مو
أبمكي نورفالكامهكئالوأفالل زن ا ” (barang siapa yang tidak memutuskan
46 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 380. 47 Hamka, Tafsir al-Azhar, jilid VI (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983), h. 251. 48 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 382. 49 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 383. 50 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 382. 51 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 392.
50
menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir)”.52 Telah diriwayatkan juga darinya yang menyerupai ini dari beberapa
jalur periwayatan. ibn Abu Hatim meriwayatkan dari ibn Abbas, ia berkata,
“Menyuap para hakim adalah haram, dan itu adalah ‘as-suht’ yang telah
disebutkan Allah dalam kitab-Nya.” Abd bin Humaid meriwayatkan dari
Zaid bin Tsabit, ia berkata, “as-sḥut adalah penyuapan (penyogokan)”.53
Abd bin Humaid meriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib, bahwa ia
ditanya tentang ‘as- suht’, Ali pun menjawab, “(Maksudnya adalah) suap
menyuap.” Lalu ditanyakan kepadanya tentang penyuapan yang terkait
dengan keputusan hukumannya, Ali pun menjawab, “Itu adalah
kekufuran”.54
Abd bin Humaid dan ibn Jarir meriwayatkan dari Umar bin Khattab,
ia berkata, “Dua pintu as-suht yang dimakan oleh manusia, yaitu penyuap
dalam pengadilan (penetapan keputusan) dan upah perzinaan”.55
Kata “ as- suht pada mulanya berarti sesuatu yang ”سحتا
membinasakan. Sesuatu yang haram pasti membinasakan pelakunya. Ada
juga yang menyatakan bahwa kata tersebut pada mulanya digunakan untuk
melukiskan binatang yang sangat rakus dalam melahap makanan.
Seseorang yang tidak peduli dari mana dan bagaimana ia memperoleh harta,
maka ia dipersamakan dengan binatang yang melahap segala macam
makanan, sehingga pada akhirnya ia binasa oleh perbuatannya sendiri.56
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad, ia bersabda, “Setiap daging
yang tumbuh karena as-suht, maka Neraka adalah lebih berhak
52 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 392. 53 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 392. 54 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 393. 55 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 393. 56 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid III, cet. V (Jakarta: Lentera Hati,
2012), h, 94.
51
terhadapnya.” Para sahabat bertanya, “Ya Rasulullah, apakah suht itu?” ia
menjawab, “Suap dalam hukum.”57
Firman-Nya: “هم عن اعراض او ن هم ب ي فاحكم جاءوك jika mereka) ”فاان[orang Yahudi] datang kepadamu [untuk meminta keputusan], maka putuskanlah [perkara itu]di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka).
Di sini terkandung opsi pilihan kepada Nabi Muhammad, yaitu
antara memberikan putusan kepada mereka dan berpaling dari mereka.58
Ayat ini dijadikan dalil untuk menyatakan bahwa para hakim Kaum Muslim
boleh memilih antara dua hal itu. para ulama telah sepakat bahwa para
hakim Kaum Muslim wajib memberi keputusan antara orang Islam dengan
orang mu’ahad59 bila keduanya mengadukan perkara kepada mereka.60
Dalam perihal putusan, M. Quraish Shihab menambahkan dalam
Tafsir al-Misbah, sebagian orang-orang Yahudi datang kepada Nabi
Muhammad untuk meminta putusan terkait perkara mereka, bukan
didasarkan atas kepercayaan mereka terhadap ia sebagai nabi, tetapi
didasarkan atas kepercayaan mereka akan kejujuran dan keadilannya. 61
Firman-Nya: “ف لن يضروكشي ا هم ت عراضعن jika kamu berpaling) ”واان
dari mereka, maka mereka tidak akan diberi mudarat kepadamu sedikit
pun). Maksudnya adalah, jika engkau memilih berpaling untuk memberikan
putusan di antara mereka, maka tidak ada jalan bagi mereka terhadapmu
atas mereka. Sedangkan jika engkau memilih untuk memberikan putusan
bagi mereka, (maka putuskanlah [perkara itu] di antara mereka dengan adil),
57 Syikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., jilid VI
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 439.
58 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk., jilid
III (Jakarta: Gema Insani, 2013), 524.
59 Mu’aahad 60 Wahbah az-Zuhaili, Tafsir al-Munir, 530. 61 M Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid III, cet. V (Jakarta: Lentera Hati,
2012), 95.
52
yakni bil ‘adli (dengan adil) yang telah diperintahkan dan telah diturunkan
Allah kepadamu.62
“Dan jika engkau menghukum maka hukumlah di antara mereka
dengan adil”, artinya kalau menurut pertimbangan, permintaan mereka
patut dikabulkan, kabulkanlah dan jatuhkanlah hukuman itu dengan adil
dengan tidak memilih bulu, tidak segan-segan, tegak lurus di dalam
kebenaran, untuk menjadi contoh teladan bagi mereka tentang bagaimana
caranya menegakkan keadilan.63
Firman-Nya: “ لقاسطا ن همبا sesungguhnya Allah) ”واانحكمتفاحكمب ي
menyukai yang berlaku adil). Sokongan besar akan diberikan Allah kepada
Nadi Muhammad SAW lantaran engkau menegakkan keadilan itu. hanya
dengan keteguhan menegakkan keadilan, ketenteraman dan kekuatan akan
tercapai dan umat pun akan merasa bahagia, Adillah yang menjadi tiang-
tiang dari bangunan umat.64
Untuk memperkuat pendapat al-Syaukānī maka penulis
menambahkan beberapa pendapat mufasir sebagai pandangan tambahan.
M. Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah menambahkan, mereka adalah
orang-orang yang amat suka mendengar yakni menerima dan
membenarkan—bukan sekedar mendengar dengan penuh antusias—berita-
berita untuk menyebarkan kebohongan, di samping itu, banyak juga di
antara mereka yang memakan yakni memperoleh dan menggunakan yang
haram, seperti riba, sogok-menyogok, dan lainnya.65
as-Suḥt adalah harta uang suap, uang sogok. Cocoklah buat
diartikan menjadi uang suap. Karena kalau sudah disuapi mulut mereka
terkatup mati, tidak bercakap lagi, sehingga mereka (yang disuap) “mati
62 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 384. 63 Hamka, Tafsir al-Azhar, 252. 64 Hamka, Tafsir al-Azhar, 252. 65 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, 94.
53
bicara”, tidak berani lagi menegur yang salah dan menegakkan hukum
keadilan. Mereka (orang-orang Yahudi) datang kepada Nabi Muhammad
meminta hukuman, bukan karena senang meminta hukum itu, melainkan
karena menganggap semoga hukuman Muhammad tidak seberat hukuman
yang di dalam kitab mereka.66
Setelah membaca ayat di atas, penulis berkesimpulan; bahwa orang
Yahudi suka mendengar berita-berita bohong dari siapa saja untuk
memalsukan putusan, khususnya menyogok hakim-hakim mereka agar
memberi putusan yang meringankan hukuman terhadap mereka, dan
mereka suka memakan yang haram. Oleh karenanya apabila ada orang
Yahudi datang kepada Nabi Muhammad untuk meminta putusan, di sini
diberi dua opsi—antara memutuskan atau tidak. Jika tidak diputuskan maka
hal itu akan tidak membahayakannya, jika ia memberi putusan, maka
putuskanlah dengan adil menurut ajaran-ajaran al-Quran atau ajaran-ajaran
di dalam Taurat seperti yang telah diterapkan oleh nabi-nabi terdahulu, dan
janganlah menjual hukum-hukum dengan harga yang murah seperti yang di
sampaikan ayat setelahnya; Surah al-Māʹidah ayat 44 “ثنالايل .”بايتا
E. Surah an-Naml Ayat 35-36
عالمرسلون باي رجا داية ف نظارة لة االيهامبا مرسا ا )٥٣ (واان ا ونن ابا ف لماجاءسليمن ا اتاددايتاكمت فرحون بلان تمبا اتىكم خي ر م اا اتىن ا الل 67(٥٣ (فما
“Dan sesungguhnya aku (Ratu Balqis) aku mengirim utusan kepada
mereka (Nabi Sulaiman) dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan)
menunggu apa yang akan dibawakan kembali oleh utusan-utusan
itu. Maka tatkala (utusan itu) sampai kepada Sulaiman, Sulaiman
berkata, apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka
yang diberikan Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang
66 Hamka, Tafsir al-Azhar, 252. 67 Kementrian Agama Republik Indonesia, Mushaf al-Quran Terjemahan, 379-
380.
54
diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan
hadiahmu.”(QS. an-Naml ayat 35-36).68
Tabel 4. 5: Penggunaan Kata Risywah di Surah an-Naml ayat 35-36 dalam
Tafsir Fatḥ al-Qadīr
No Kata Makna Subjek Objek
Surah an-Naml ayat 35-36
Sogokan Ratu Balqis melalui راشوة 69 1
perantara utusannya
Nabi Sulaiman
Menurut Syikh Imam al-Qurthubi dalam Tafsir al-Qurthubi ayat ini
bermula ketika burung Hud-Hud Nabi Sulaiman yang terbang ke Negeri
Saba’ (Negara Yaman pada saat ini). Di negeri tersebut dipimpin oleh
seorang ratu yang menyembah mata hari, namanya Ratu Balqis. Akhirnya
Nabi Sulaiman menyurati Ratu Balqis untuk menyembah Allah kalau tidak
ia akan mengirim pasukan yang sangat banyak, bahkan Ratu Balqis
berpendapat negerinya akan dibinasakan. Oleh karena itu Ratu Balqis tidak
kehabisan akal, untuk mencegah hal tersebut ia membawakan hadiah yang
sangat berharga nilainya melalu para utusan diplomasinya dan para
prajuritnya.70
68 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, jilid IV (Mesir: Dar al-Fikr, 1973), 182.
69 al-Syaukānī. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim, juz IV (Mesir:
Dar al-Fikr, 1973),182. 70 Syikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, 494-499. Utusan dan hadiahnya
berupa; Syaih Imam al-Qurthubi mengutip dari riwayat ibn Abbas: 12 bujangan pelayan
dengan perhiasan remaja putra dan 12 gadis pelayan dengan perhiasan remaja putri. Setiap
mereka memegang pinggang yang berisi minyak wangi berjenis misik dan ambar. 12 para
cerdik pandai yang membawa batu bata terbuat dari emas, dua permata; satunya tidak
berlubang dan satunya berlubang—yang berbentuk busur, sebuah gelas kosong, dan sebuah
tongkat warisan raja-raja Himyar. Semua hadiah tersebut dibawa oleh sekelompok besar
orang dari penduduknya. Ada yang mengatakan bahwa duta utusan Ratu Balqis hanya
seseorang tetapi di belakangnya para pengikut dan pelayan yang banyak. Ada yang
55
Firman-Nya: “ داية با االيهام لة مرسا dan sesungguhnya aku [Ratu) ”واان ا
Balqis]akan mengirim utusan kepada mereka dengan [membawa] hadiah)
berupa barang-barang berharga. Jika dia seorang raja, perangilah dia—kita
(Ratu Balqis) telah membuatnya rela dengan itu, dan kita telah mencegah
perkaranya. Tapi bila dia seorang nabi, maka dia tidak akan rela dengan itu,
karena inti permintaan dan maksudnya adalah mengajak kepada agama,
maka kita tidak akan selamat darinya kecuali dengan menerimanya,
mengikutinya, dan menganut agamanya serta menempuh caranya.71
al-Syaukānī dalam tafsirnya Fatḥ al-Qadīr berpendapat, para
mufasir berpandangan lebar mengulas tentang apa hadiah yang dibawanya
(utusan Ratu Balqis) dan motifnya, ada yang berkata bahwa hadiah tersebut
berapa sogokan. Misalnya hadiah besar berupa, emas, permata, berlian, dan
lainnya serta hadiah tersebut bertujuan untuk menggagalkan ekspansi Ratu
Balqis ke negerinya.72
Oleh karena itu, dia berkata “المرسلون ع ي رجا dan [aku) ”ف نظارة با
akan]menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu).
Huruf fa’ di sini untuk merangkaikan dengan “ ة لسرم ” dan “با” terkait dengan
ع“ Maknanya adalah, sesungguhnya aku menunggu berita yang akan .”ي رجا
dibawa oleh para utusanku yang membawakan hadiah itu, baik diterima
maupun ditolak, lalu aku akan bertindak berdasarkan kondisi itu,73
barangkali ia menerimanya dan menahan diri dari kita atau menentukan
mengatakan bahwa Ratu Balqis mengirim seseorang dari yang paling mulia penduduknya
yang bernama al-Mundzir bin Amr sebagai diplomat. Dia diiringi oleh sejumlah pembesar
cerdik, pandai lagi pintar melobi. Hadiahnya sejumlah 100 pelayan remaja putra dan 100
pelayan remaja putri. Pakaian setiap mereka tidaklah sama. 71 al-Syaukānī, Tafsir Fatḥ al-Qadīr, 182. 72 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, 183. 73 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, 183.
56
pajak atas kita yang akan kita bawa kepadanya, sehingga dia tidak akan
memerangi kita dan membunuh kita.74
Selanjutnya: “ جاءسليمن ف لما ” (maka tatkala [utusan itu]sampai
kepada Sulaiman) maksudnya adalah, tatkala utusan pembawa hadiah itu
sampai kepada Nabi Sulaiman. Yang dimaksud dengan yang disamarkan ini
adalah jenis, sehingga tidak menafikan apa itu sekelompok orang,
sebagaimana ditunjukkan oleh perkataan Ratu Balqis, “المرسلون ع ي رجا ”با
(apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu).75
Kalimat “ ا ونن ابا Sulaiman berkata, “Apakah [patut]kamu) ”ا اتاد
menolong aku dengan harta?”) sebagai kalimat permulaan yang merupakan
jawaban atas pertanyaan yang diperkirakan. Pertanyaan ini untuk
mengingkari, yakni Nabi Sulaiman mengatakan itu untuk mengingkari
bantuan mereka kepadanya dengan harta karena ketinggian kekuasaannya
dan banyaknya harta yang dimilikinya.76
Untuk memperkuat, maka penulis menambahkan pendapat M.
Quraish Shihab, dalam tafsirnya mengatakan, ucapan Nabi Sulaiman,
“Apakah kamu mendukung aku dengan harta?” ia tunjukan kepada
pemimpin delegasi untuk disampaikan kepada Ratu Balqis. Maksud ucapan
ini adalah menolak hadiah tersebut. Ini, karena Nabi Sulaiman merasa
bahwa hadiah tersebut bagikan sogokan yang bertujuan menghalangi ia
melakukan suatu kewajiban.77
Firman-Nya: “ الل م اااتىكمفمااتىن ا ر خي ” (maka apa yang diberikan
Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu)
maksudnya adalah kenabian, kerajaan yang besar, dan harta yang banyak,
74 Syaikh Ahmad Syakir, Mukhtasar Ibnu Katsir, (Jakarta: Darus Sunnah Press,
2011), 1144.
75 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, 183. 76 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr,182. 77 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, jilid X, cet. V (Jakarta, Lentera Hati,
2013), 222.
57
yang telah dianugerahkan Allah kepadaku adalah lebih baik dari pada harta
yang diberikan kepada kalian yang di antaranya adalah hadiah ini.78
Nabi Sulaiman lalu beralih dari pengingkaran yang telah
dikemukakan itu dengan mengatakan “دايتاكمت فرحون tetapi kamu) ”بلان تمبا
merasa bangga dengan hadiahmu). Ini merupakan teguran bagi mereka
karena bangganya mereka dengan hadiah tersebut, yaitu kebanggaan dan
kesombongan. Ada pun aku tidak bangga dengan itu, karena masalah dunia
bukanlah keperluanku, sebab Allah telah menganugerahiku keduniaan yang
tidak pernah diberikan kepada seorang pun, di samping telah memuliakanku
dengan kenabian.79
Untuk menguatkan pendapat di atas maka penulis akan
menambahkan beberapa komentar dari para mufasir. Musthafa al-Maraghi
dalam tafsirnya menjelaskan, hadiah sudah menjadi kebiasaan bagi
manusia yang berbudi, jika dia menerima hadiah yang layak, hadiah itu
akan mempengaruhi sikapnya. Kalau tadinya ada rasa permusuhan,
mungkin akan bertukar jadi persahabatan atau penghargaan yang baik.
Mungkin setelah menerima hadiah itu berubah pikirannya, tidak jadi kita
taklukan dan tidak jadi kita berperang dengan dia. Atau ditukarnya sikap;
yaitu karena disangka bahwa kita ini lemah, dikirimnya saja utusan buat
menentukan berapa umpeti kita membaya tiap tahun. Dengan demikian
maka peperangan pun berakhir dan kita hidup di dalam damai.80
Dalam Tafsir al-Qurthubi dijelaskan, hadiah yang dimaksud untuk
menutup mulut si pemberinya atas perkara jahat yang diketahuinya yang
78 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, 183. 79 al-Syaukānī, Fatḥ al-Qadīr, 183. 80 Ahmad Musthafa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, terj. Bahrun
Abubakar, dkk., jilid IX, cet. II (Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993), 210.
58
dilakukan si pemberi. Penafsiran ini adalah sebaik-baiknya penafsiran yang
berikan ulama.81
Seperti yang telah disampaikan di atas penulis mengambil
kesimpulan, bahwa Ratu Balqis berupaya untuk memberikan hadiah dengan
tujuan untuk menghentikan ekspansinya ke negerinya. Namun, nyatanya hal
tersebut ditolak oleh Nabi Sulaiman sendiri, karena ia adalah seorang nabi
yang tidak menyukai hadiah karena tujuannya untuk mengajak Ratu Balqis
dan kaumnya untuk menyembah Allah bukan menyembah matahari lagi—
sebaliknya kalau Nabi Sulaiman adalah seorang raja saja, maka ia akan
menerima hadiah tersebut.
81 Syikh Imam al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk., jilid XIII
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2010), 501.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang risywah dalam al-Quran menurut al-
Syaukānī, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa:
Dalam al-Quran sendiri tidak ada kata risywah atau “ ة و ش ر ”, namun
berdasarkan penafsiran atau pendapat al-Syaukānī dalam tafsir Fatḥ al-
Qadīr menunjukkan bahwa di Surah al-Baqarah 188, al-Māʹidah ayat 42,
dan an-Naml ayat 35-36 sendiri di dalamnya terkandung makna risywah
atau suap menyuap. Pertama, di Surah al-Baqarah ayat 188 al-Syaukānī
menjelaskan surah ini dengan pengertian risywah, hal ini didasarkan pada
lafaz “ ل ب اط ل “ Kedua, di Surah al-Māʹidah ayat 42 pada kata .”ب ت ”ل لسح
berdasarkan pada asbabunnuzul dan pendapat, serta komentar para ulama
yang dikutip al-Syaukānī dalam tafsirnya, kata as-suḥt sendiri memiliki
arti atau sinonim dari suap menyuap. Ketiga, dalam Surah an-Naml ayat
35-36 tepatnya pada kata “ ia menafsirkan atau mengartikan hadiah ”ب د ية
tersebut dengan risywah.
B. Saran
Dalam melakukan penelitian penulis menyadari dalam
penulisannya masih banyak kesalahan, hal ini dikarenakan kemampuan
penulis yang terbatas. Oleh karena itu, penulis berharap agar para pembaca
dapat menyempurnakan lagi kekurangan penulisan karya ilmiah ini
khususnya berkaitan dengan masalah risywah.
58
Ada pun saran dari penulis sebagai berikut; risywah adalah
pembahasan yang sangat amat menarik, mengingat setiap hari kasus suap-
menyuap tidak ada hentinya melanda negara kita Indonesia. Banyak para
elit pemerintah atau pun swasta yang tertangkap basah, berita-berita di
media cetak dan daring terus bermunculan. Oleh karena itu penulis
menganjurkan, jika dikemudian hari ada penelitian yang ingin meneliti
lebih dalam lagi dalam masalah risywah, penulis sangat mengapresiasi,
mengingat karya ilmiah yang membahas risywah dalam sudut pandang al-
Quran sangat sedikit sekali, oleh karenanya penulis berharap dan
mengapresiasi apabila ada penelitian lanjutan yang dilakukan dalam
masalah risywah.
61
DAFTAR PUSTAKA
Ābadī, Syamsul Ḥaq al-ʹAzīm. ʹAun al-Ma’bud Syarh Sunnah Abī Dāwud.
Bairūt: Dar al-Ḥadīs, 2001.
Abdurrahman, Usamah, dan Rahmawati, Ria. “Redefinisi Korupsi: Sebuah
Tawaran Pandangan Islam”. Tsaqafah. vol. 2, no. 1 (2018): 155-
178.
Achmad, Nur. Hadis-Hadis Antikorupsi: “Menggali Semangat
Antikorupsi. dalam Hadis-Hadis Nabi”. Dalam Pendidikan
Antikorupsi di Perguruan Tinggi Islam, ed. Chaider S. Bamualim
dan JM. Muslimin. Jakarta: Center for the Study of Religion and
Culture, 2006.
Ahmad, Mukarramah Ahmad. Fath al-Qodir Karya al-Imam al-Syaukani:
Sebuah Kajian Metodologi. Tesis S2., Universitas Islam Negeri
Salahuddin, Makassar. 2015.
Alatas, Syed Hussein. Korupsi Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: Lembaga
Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, 1983.
Alim, Hafidzil, dkk. Jihad Nadhlatul Ulama Melawan Korupsi. Jakarta:
Lakpesdam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, 2016.
Anīs, Ibrāhīm, dkk. al-Mu’jam al-Wasīṭ. Mesir: Dar al-Ma’arif, 1972.
Anshori. Ulumul Quran: Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan.
Depok: Rajagrafindo Persada, 2014.
Anshori. Ulumul Qur’an. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2016.
Anwar, Syamsul. “Sejarah Korupsi dan Perlawanan Terhadapnya di
Zaman Awal Islam: Perspektif Studi Hadis”. Hermenia, vol. 4, no.
6 (2005): 1-27.
Auda, Ali. Konkordasi Quran: Panduan Kata Dalam Mencari Ayat
Quran. Jakarta, PT. Pustaka Literasi Antar Nusa, 1997.
62
Azra, Azyumardi. “Agama dan Pemberantasan Korupsi”. Dalam
Membeasmi Kangker Korupsi, ed. Promono Ubed Tantowi.
Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2004.
al-Baqi, Muhammad ’Abd. Mu’jam al-Mufahras li al-Fadzi al-Qurān al-
Karīm. Bairūt: Dar al-Fikr, 1994.
al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Bairūt: Dar ibn Katsir, 1987.
_______. Sahih al-Bukhari. Indonesia: Maktabah Dahlan, t. t.
Burhani, Imam. al-Muhiṭ al-Burhānī. Riyāḍ: Maktabah ar-Rusḍi, 2004.
Chaznawi, Adami. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia. Jakarta: Bayu Media, 2005.
Choir Badrus Surur. “Risywah Politik dalam Perspektif Hanafiyyah dan
Syafi’iyyah.” Skripsi S1., Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah, Jakarta. 2017.
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2003.
al-Dzahābi, Husein. al-Tafsīr wa al-Mufaṡirūn. al-Qāhirah: Maktabah
Wahbah, 2003.
al-Fadl, Syihabuddin. al-‘Ijab fi Bayan as-Sabab. Damam: Dar ibn al-
Jauzi, 1997.
Forum Karya Ilmiah Purna Siswa 2001. al-Quran Kita. Kediri: Lirboyo
Press, 2013.
Hamidy, Zainuddin dan Hs, Fachruddin. Tafsir Quran. Jakarta: Penerbit
Widjaya Djakarta, 1967.
Hamka. Tafsir al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1983.
Hamzah, Andi. Kamus Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1986.
Harahab, Ahmad Jurian Harahab. “Risywah dalam Perspektif Hadis”.
Diroyah, vol. 2, no. 2 (2018): 109-120.
63
Hilmy, Masdar. “Panggilan Jihad Melawan Korupsi”. Dalam Jihad
Melawan Korupsi, ed. HCB Dharmawan dan al-Soni BL de Rosari.
Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2005.
Hitti, Philip K. Historiy of the Arabs, terj. R. Cecep Lukman Yasin dan
Dedi Slamet Riyadi. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2014.
Ihsan, Muhammad. “Metodologi Tafsir Imam al-Shawkani dalam Kitab
Tafsir Fath al-Qadir, “ Jurnal Hunafa, vol. 5, no. 2 (2008): 201-
214.
Ilmi, Syaiful. “Melacak Term Korupsi dalam al-Quran Sebagai
Epistemologi Perumusan Fikih Anti Korupsi”. Khatulistiwa, vol. 1,
no. 1 (2011): 1-14.
Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Ensiklopedia Islam
Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan, 1992.
Institute for Development of Economics and Finance. Korupsi di
Indonesia. Jakarta: INDEF, 1998.
Irfan, Muhammad Nurul. “Gratifikasi dalam Pandangan Hukum Pidana
Islam”. Jurnal Ahkam, vol. 4, no. 2 (2009): 165-183.
_______. Tindak Pidana Korupsi di Indonesia dalam Perspektif Fikih
Jinayah. Jakarta: Departemen Agama Republik Indonesia, 2009.
_______. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta: Amzah, 2011.
_______. Gratifikasi dan Kriminalitas Seksual dalam Hukum Pidana
Islam. Jakarta: Amzah, 2014.
al-Jamal, Syaih Muhammad. Biografi Sepuluh Imam Besar, terj. M.
Khaled Muslih, Imam Awaluddin. Jakarta: Pustaka al-Khatsar,
2008.
al-Jurjānī, Ali bin Muhammad. Kitāb at-Ta’rīfāt. Jakarta: Dar al-Ḥikmah,
t. t.
Kamil, Sukron. “Prinsip-Prinsip Anti Korupsi dalam Khazanah Ilmu
Akhlak: Upaya Kontekstualisasi. Dalam Pendidikan Antikorupsi di
Perguruan Tinggi Islam”. ed. Chaider S. Bamualim dan JM.
Muslimin. Jakarta: Center for the Study of Religion and Culture,
2006.
64
Kementrian Agama Republik Indonesia. Pencegahan Perilaku Korupsi
dengan Pendekatan Agama. Jakarta: Inspektorat Jenderal
Departemen Agama Republik Indonesia, 2006.
_______. Mushaf al-Quran Terjemahan. Jakarta: Nur Publishing, 2009.
Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Departemen Pendidikan Bahasa Indonesia, 2016.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Buku Saku Anti Korupsi untuk
Pemeluk Agama Islam. Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, t.
t.
Lopa, Bahruddin. Masalah Korupsi dan Pemecahannya. Jakarta: PT.
Kipas Putih Aksara, 1997.
Mahkamah Agung. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia.
Jakarta: BIP Kelompok Gramedia, 2017.
Majelis Ulama Indonesia. Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975. Jakarta:
Penerbit Erlangga, 1975.
Malik, Abdul. “Belajar dari Lampu Padam dan Sepotong Roti Umar bin
Abdul Aziz: Sebagai Prototipe Teladan Sikap Antikorupsi.”
Majalah Hukum Varian Peradilan, vol. 5, no. 5 (2012): 324-340.
Manaf, Abdul. Najasyi Yang Anti Sogok. “Majalah Hukum Varian
Peradilan”, vol. 5, no. 5 (2012): 77-81.
al-Manafi, Syamsuddin Muhammad. al-Mishar al Anshari. Mesir:
Mustafa al-Bibi al-Halabi wa Auladuh, 1983.
al-Maraghi, Ahmad Mushthafa. Tafsir al-Maraghi. terj. Bahrun Abubakar,
dkk. Semarang: CV. Toha Putra Semarang, 1993.
Manẓūr, ibn. Lisānul al-‘Arab. Bairūt: Dārul al-Sadīr, t. t.
Muhtadi, Burhanuddin. “Politik Uang dan Dinamika Elektoral di
Indonesia: Sebuah Kajian Awal Interaksi Antara Party-Id dan
Patron Klien.” Jurnal Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia, vol. 2, no. 1 (2013): 1-17.
Munawir, Ahmad Warsono. Kamus al-Munawir Arab-Indonesia.
Yogyakarta: Ponpes Krapyak al-Munawwir, 1884.
65
Muslimin, JM. Korupsi: “Pengertian, Sebab, dan Dampaknya.” Dalam
Pendidikan Antikorupsi di Perguruan Tinggi Islam, ed. Chaider S.
Bamualim dan JM. Muslimin. Jakarta: Center for the Study of
Religion and Culture, 2006.
Nasution, Harun Nasution. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2015.
al-Nawawi, Imam. Syarah Sahih Muslim, terj. Tim Darus Sunnah. Jakarta:
Darus Sunnah, 2007.
Priyono, Herry. Korupsi Melacak Arti, Menyibak Implikasi. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama, 2018.
Qala’arji, Muhammad Rawas dan Qunairi, Hamid Shadiq. Mu’jam
Lughatul al-Fuqaha’. Bairūt: Dar al-Nafis, 1985.
al-Qaththan, Syaikh Manna. Pengantar Studi Ilmu al-Quran. Jakarta:
Pustaka al-Kautsar, 2014.
_______. Mabahitsfi’Ulum al-Quran, terj. Anur Rafiq al-Mazni. Jakarta:
al-Kautsar, 2014.
Qolay, A. Hamid Hasan. Indeks Terjemah al-Quranul-Karim. Jakarta, PT.
Inline Raya Jakarta, 1997.
_______. Kunci dan Klasifikasi Ayat-Ayat al-Quran. Bandung, Penerbit
Pustaka, 1989.
al-Quran, Pusat Studi. Enskikolopedia al-Qur’an: Kajian Kosakata.
Jakarta: Lentera Hati, 2007.
al-Qurthubi, Syikh Imam. Tafsir al-Qurthubi, terj. Fathurrahman, dkk.
Jakarta: Pustaka Azzam, 2010.
al-Rasyid, Harun. Fikih Korupsi: Analisa Politik Uang di Indonesia dalam
Perspektif Maqasid al-Syariah. Jakarta: PT. Fajar Interpratama
Mandiri, 2016.
Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad al-Syaukani Relevansinya Bagi
Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos, 1999.
al-Sabuni, Muhammad ‘Alī. al-Tibyān fī ‘Ulûm al-Qur’ān. Damsyik:
Maktabah al-Ghazālī, 1981.
66
Sahil, Azharuddin. Indeks al-Qur’an: Panduan Mencari Ayatal-Quran
Berdasarkan Kata dasarnya. Jakarta, Penerbit Mizan, 1996.
Said, Hasani Ahmad. “Corak Pemikiran Kalam Tafsir Fatẖ al-Qadīr
Telaah atas Pemikiran al-Syaukānī dalam Teologi Islam.” Tesis
S2., Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2007.
_______. “Mengenal Tafsir Nusantara: Melacak Mata Rantai Tafsir dari
Indonesia, Malaysia, Thailand, Singapura Hingga Brunei
Darussalam,” Refleksi, no. 2 (2017): 205-231.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati, 2012.
al-Siharanfuri. Badlu al-Majhūd fī Halli Abu Dawud. Bairūt, Dâr al-
Kutūb, t. t.
Sonhaji, HM. Ensiklopedia al-Quran Dunia Islam Modern. Yogyakarta,
PT. Dana Bhakti Primayasa, 2003.
as-Suyuthi, Jalaluddin. Sebab Turunnya Ayat al-Quran, terj. Abdul
Hayyie, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2008.
al-Syaukānī. Tafsir Fath al-Qadīr, terj. Tim Pustaka Azzam. Jakarta:
Pustaka Azzam, 2008.
_______. Nailul Authar, terj. Amir Hamzah Fachrudin dan Asep
Saefullah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2007.
_______. Fatḥ al-Qadīr, Tahqīq dan Takhrij Sayyid Ibrahim. Mesir: Dar
al-Fikr, 1973.
_______. Irsyād al-Fuhāl ilā Tahqīq al-Haq min ‘Ilmu al-Usul. Bairūt:
Dar al-Fikr, t. t.
_______. Nāil al-Auṭār. Bairūt: Dar al-Fikr, t. t.
Syakir, Syaikh Ahmad. Muktashar Tafsir Ibn Katsir. Jakarta: Darus
Sunnah Press, 2011.
Syibromalisi, Faizah Ali, dan Azizi, Jauhar. Membahasa Kitab Tafsir
Klasik-Modern. Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011.
Syifa’i, Edham. Kamus Lengkap al-Quran. Jakarta: CV al-Hasanah, 1993.
67
Tirmidzi. Sunah at-Tirmidzi, Indonesia: Maktabah Dahlan, t. t.
Umam, M. Helmi. “Pandangan Islam Tentang Korupsi.” Teosofi: Jurnal
Tassawuf dan Pemikiran Islam, vol. 4, no. 2 (2013): 463-482.
Ummah, Anis Khoiru Ummah. “Gratifikasi dalam al-Quran Menurut
Ahmad Mustofa al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi.” Skripsi S1.,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta. 2017.
al-Waahid, ‘Abu al-Hasān ‘Ali bin. Asbabū Nuzūli al-Qurān. Riyādh: Dar
al-Qiblah li al-Tsaqafah al-Islamiyyah, 1984.
Wiyono, R. Pembahasan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
Yusuf, Nasruddin. “Konsep al-Quran Tentang Tidak Pidana Korupsi:
Telaah Terhadap Tafsir Tematik.” Jurnal al-Syir’ah, vol. 1, no. 1
(2019): 1-40.
az-Zuhaili, Wahbah. Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, dkk.
Jakarta: Gema Insani, 2013.
Internet
Transparency International: The Global Coalition Against Corruptio.
Corruption Perceptions Index 2018. Berlin: Transparency
International, 2019. Diakses, 5 Juni 2019
https://www.transparency.org/files/content/pages/2018_CPI_Execu
tiveSummary.pdf
LAMPIRAN
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Tahun 2000 Tentang; Risywah
(Suap), Ghulūl (Korupsi), dan Hadiah Kepada Pejabat1
م ي ح الر ن ح مالر الل م س ب Musyawarah Nasional VI Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang
berlangsung pada tanggal 23-27 Rabīul Akhir 1421 H / 25-29 Juli 2000 M
dan membahas tentang suap (risywah), korupsi (ghulûl), dan hadiah
kepada pejabat, setelah :
Menimbang:
1. Bahwa pengertian risywah dan status hukumnya, hukum korupsi dan
pemberian hadiah kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari
masyarakat, kini banyak dipertanyakan kembali oleh masyarakat;
2. Bahwa oleh karena itu, MUI dipandang perlu untuk menetapkan fatwa
tentang hukum masalah dimaksud.
Memperhatikan :
1. Pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat tentang masalah pengertian
risywah dan status hukumnya, hukum korupsi, dan pemberian hadiah
kepada pejabat atau pejabat menerima hadiah dari masyarakat yang
dikaitkan dengan penegakan pemerintah/manajemen yang bersih dan
sehat;
2. Pendapat dan saran-saran peserta sidang/Munas.
Mengingat :
1. Firman Allah SWT
1 Majelis Ulama Indonesia (MUI), Himpunan Fatwa MUI Sejak 1975 (Jakarta:
Penerbit Erlangga, 2011), h. 388-392.
ام ل تمأ كلو افمر ي قام ن ك ام ال لو اب ماا لم ومتد ل بماط ل ب نمكم ب مي تم كلو اامم ومالمكم وملم الن ا م وماومامن تم ت مع لممو نم ل ث (٨١١)ب
“Dan janganlah (sebagian) kamu memakan harta yang lain di
antara mereka dengan cara yang batil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebagian dari harta yang lain itu degan (jalan berbuat)
dosa, padahal kamu mengetahuinya.” (QS. al-Baqarah: 188).
)٩٢ ...(ل اط بمل ب م كنمي ب مم كالمومم اأمو لكتم المو ن ممامنمي ذ االهمي أميم“Hai orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil... “ (QS. an-Nisā’: 29).
ة ... ب ماغمل ي مو ممال ق يمم ي غ لل يم ت )٨٦٨... (ومممن
“... Barang siapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang,
maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang
dikhianatinya itu...” (QS. Āli ʹImrān: 161).
2. Hadis-Hadis Nabi, dan Atṡār.
a. مح لام العمهاءمجمفملام عملمممع ت ماس ممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل مو سرمن أم ن م غمرمف مي مقمف مه ل ممعم أذمهمومم كالمذمهمالل مو سرميما يمد ه ا مقمف مل تمد عم ملمفمأمهلما ت ي ب مف ممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرمممامث لمم أمكميلمدمه ي أمتمر ظمنمف مكمم أومكمي ب أمممث هله أموماهب ملىالل عمنمث أمومدمه ث مت مف مة لمالص دمع ب مةي ش عم ب مم أما ابمممفمدع ات ي ب مفمدمعم ملمفمأميمد ه اأذمهمومم كل ممعمن ام ذمهمو قي مف مانمي ت أ يمف مهلم ع ت مس نمل ام لعما م كدحمأمل غي ملمه د يمب د م ممسف ن مي الذ ومف ملمم أمهيلمدمه ي ل همرمظمنمف مه م أومه ي ب أماء غمرهلمه ب اءماجمري ع ب انمكمن إ ه ق نىعلمعمهلم يم ة ممايملق ا ممو ي مه ب اءمجمل إ أي اشمهمن م مقمف متغ لمب مد قمف مرعمي ت م اب ماءمجماةشمت نمكامن إ ومار ومخاالممب ماءمجمةرمقمب مت انمكمن إ وم اة رمف علمإ رظن ن ملمن إ ت حمهدميمممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرمعمفمرمث د ي حمو ب أمممه ي طمب إ الن ن م ت ب ثمنب دي يزمع ممكمل دمعمسم د مومأبوحيد ا ه ي لمعمىاللل صمب يميلسمفمممل سموم كانت كيف بب والنذور, اليمان كتاب ري, البحا )رواه وه
.النب(
b. قمي د س المن م لجرمممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرملمممع ت مس ا ممة ي ب لت النب اهلما ا أمناب وومر م عم ممممد ام لمف مة مدمىالص لمعمرمممعب ذمهمومم كالمذمهما يمد ه أمال ل مم ىا لمعمممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرماممقمف ما
ن لممومه ي لمعمنمث أموماللمدمم حمفمبم ا
لمذمهملقي مف مهثعمب أمل ام عمبمامم أذمهمومم كا يمد ه ا دمعم ملمفمأمل ه م أه ي ب أمت ي ب مف نمي ملمه د يمب د م ممسف ن مي الذ وملمم أمه ي لمىإ دمه ي أمرمظن ي مت حم اهمن م م كن م د حمأمامميملق ا ممو ي مه ب اءمجملمإ أي شم خلممة رمقمب مو أماء غمرهلمر ي ع ب ه ق ن ىعلمعمهلم يم ة ا ار وماعنمي أمرمت حمه ي دميمعمفمرمث رمع ي ت ماة شمو أم ممث ه ي طمب إ ة رمف ا ت مر ممتغ ل ب مل همم هالل ا ي
ن عمر ممع اممنمث مد حماق ز الر دب عمنمرمب مخ أمالممد ي حمنب دب عمومممه رمب إ نب قحمث اإ نمث مد حم أمن عمةمومر عن عمي ر ه الز ع الس د ي حمب ممي د ا الن لمممع ت ماس ا ه ي لمعمىاللل صمب ممل ب اءمجمفمة مدمىالص لمعمد ز لما ن م لجرمه ي ب لت لانماب ممل سموم الن لمإ هعمف مدمفما ىل صمب
مقمف مممل سمومه ي لمعمالل ت يمد ه أة ي د همه ذ همومم كالاممذمهما مقمف مل الن لمها ىاللل صمب تمد عم ملمفمأمممل سمومه ي لمعم امممث لمم أمكمي لمىإ دمه ي أمرمظن ت مف مكمم أومكمي ب أمت ي ب مف الن )رواهمسلمعنأبانميمف سث ي د حمومنم رمكمذماث يبط خمممل سمومه ي لمعمىاللل صمب
.حيدالساعدي,تحريممهدايالعما(c. ا وميماش الر ممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرمنمعملم
يمش تمر ل وممامم ك الف ابالبمف ممةممملمسمم أومةمدمي د حمن اب ومةمشمائ عموومر م عمن ب الل د ب عمن عم ثي د ىحمسمي وع بأماأم أمن عمثي د لماا ذمهميمو رد مومح ي ح صمن سمحمث ي د حمةمرمي رمهب د ب عمن ب ةممملمسمب
عمر م عمن ب الل د ب عمن عمن ح مالر الن ن و اللل صمب أمن عميمو رومممل سمومه ي لمعمى ب الن ن عمه ي ب أمن عمةممملمسم ممح ص يملمومممل سمومه ي لمعمىاللل صمب ن ب الل د ب تعمع سم وماأمثي د حمو قي من ح مالر د ب عم الن ن عمومر م عمن ب الل د ب عمن عمهممملمسمب ىاللل صمب ي شمنسمح أمممل سمومه ي لمعم
ء ال دمهمف هريرةح صمأموماب بما أب عن الترمذي )رواه.الحكامعنرسوللله(
d. ا وميماش الر ممل سمومه ي لمعمىاللل صمالل و سرمنمعملم)رواهالترمذيعنعبديمش تمر ل
.اللبنعمرو,اأبوعيسىهذاحديثحسنصحيح(
e. اللل صمالل و سرممام ش الر اللنمعملمممل سمومه ي لمعمى ا وميما شائ الر وميمش تمر ل ف
.)رواهأحدفمسندهوالربعةعنأبهريرة(م ك الf. ا لمهن أمد عس ممب ن ان عميمو ر ب مر ض ي شمب ة شمبمأخذ
يمل خفمن ي رمانمي د فمأمع طمى,ء ومهلي ب سم مع ب االت ة م ئ أمن م ة عماجممن عميمو ر, لمو المي ن عملجالر عمان صمين أم مبم ا: .يةلبناللأثير()النهاممل الظ افماخمذمإ ه ال ممومه س ف ن م
3. Kaidah Fiqiyah :
هاؤطمع إ ممرحمهذخ أمممراحممم“Sesungguhnya yang haram mengambilnya, haram pula
memberikannya.”
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA MUSYAWARAH NASIONAL VI
MAJELIS ULAMA INDONESIA
(MUI)TENTANG RISYWAH, (SUAP)
GHULŪL (KORUPSI), DAN HADIAH
KEPADA PEJABAT.
Pertama : Pengertian
Dalam fatwa ini, yang dimaksud dengan :
1. Risywah adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada
orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang
batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang
baik. Pemberi disebut al-rasyī; penerima disebut al-murtasī; dan
penghubung antara rasyi dan murtasy disebut raisy. (Ibn al-Atsir, al-
Nihayah fi Gharib al-Hadist wa al-Atṡār, II, 226).
2. Suap, uang pelicin, money politik, dan lain sebagainya dapat
dikategorikan sebagai risywah apabila tujuannya untuk memuluskan
sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak.
3. Hadiah kepada pejabat adalah suatu pemberian dari seseorang
dan/atau masyarakat yang diberikan kepada pejabat, karena
kedudukannya, baik pejabat di lingkungan pemerintah maupun
lainnya.
4. Korupsi adalah tindakan pengambilan yang ada di bawah kekuasaan
dengan cara yang tidak benar menurut Syariat Islam.
Kedua : Hukum
1. Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.
2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.
3. Memberikan hadiah kepada pejabat:
a. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut
memegang jabatan, maka pemberian seperti itu hukumnya halal
(tidak haram), demikian juga menerimanya;
b. Jika pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat
tersebut memegang jabatan, maka dalam hal ini ada tiga
kemungkinan:
1) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan
ada urusan apa-apa, maka memberikan dan menerima hadiah
tersebut tidak haram;
2) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat terdapat urusan (perkara)
maka bagi pejabat haram menerima hadiah tersebut, sedangkan
bagi pemberi, haram memberikannya apabila pemberian dimaksud
bertujuan untuk memuluskan suatu yang batil (bukan haknya);
3) Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan, baik
sebelum maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu
tidak bertujuan untuk sesuatu yang baik, maka halal (tidak haram)
bagi pemberi memberikan hadiah itu, tetapi bagi pejabat haram
menerimanya.
Ketiga : Seruan
Semua lapisan masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak
terlibat dalam praktek hal-hal tersebut.
Keempat : Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan
Agar setiap orang dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk
menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan: Jakarta, 27 Rabīul Akhir 1421 H.
29 Juli 2000 M.
Dewan Pimpinan Majelis Ulama Indonesia
Ketua Umum
Ttd.
K.H. M.A. Sahal Mahfudh
Sekretaris Umum
Ttd.
Prof. Dr. H. M. Din Syamsuddin