ritel tradisional vs modern

Upload: mugi-bentang-faatihah

Post on 02-Mar-2016

881 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Sebuah jurnal hasil studi pengamatan deskriptif di seputaran wilayah Jatinangor. Jurnal ini membahas tentang pertarungan antara ritel tradisional vs ritel modern seperti yang marak terjadi dewasa ini.

TRANSCRIPT

  • pertarungan

    Ritel

    mugi bentang faatihah

    faldi adisajana

    Ritel Tradisional vs Modern

    Sebuah Jurnal Hasil Studi Pengamatan

    Ekstensif Deskriptif di Seputaran Wilayah Jatinangor

    BAGIAN I Ver. Juni 2013Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran

  • TTradisonalvs

    Modern

  • Apa yangTerjadi?

    Persaingan ritel tradisional, terutama berupa warung, dewasa ini menemui kendalanya akibat goncangan keberadaan ritel mod-ern. Hal tersebut dialami setidaknya oleh banyak warung klon-tong dan kebutuhan tradisional yang berada di Jatinangor. Ter-jadi penurunan keuntungan yang berujung kerugian atas apa

    yang mereka dapatkan; dituturkan mereka telah menurun akibat keberadaan ritel modern sejak akhir 2007, kala menjamurnya ritel modern. Melalui jurnal ini, penulis mencoba mengulik dan memberikan solusi yang tepat bagi ritel-ritel tradisional yang berada di sekitaran wilayah Jatinangor dalam peningka-tan daya saing di tengah goncangan menjamurnya ritel-ritel modern.

    Jurnal melakukan pengamatan terhadap usaha ritel tradisional

    berupa warung klontong

    Jurnal ini merupakan hasil pengamtan

    ekstensif

  • Ketidakjelasan regulasi mengenai industri ritel, terutama menyangkut jarak lokasiritel, atau pelanggaran aparat pemer-intah yang memberikan ijin usaha ritel walau melanggaraturan, menambah berat upaya melindungi ritel tradisional.

    Foppi mencatat, di seluruh Indone-sia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional sebesar 8% per tahun. Pertumbuhan pasar modern justru sangat tinggi.Pertumbuhan hypermarket bahkan mencapai 70%. (SWA06/XXV/2009).

    Tak hanya itu beberapa kalangan pun melihat, keberadaan ritel modern telah menggeser keberadaan ritel tradisional. Ritel tradisional merupakan ritel sederhana dengan tempat yang tidak terlalu luas, barang yang dijual terbatas jenisnya. Sistem manajemen yang sederhana memungkinkan adanya proses tawar menawar harga. Berbeda dengan ritel modern

    Persaingan Kedua Ritel Secara Makro

    Persaingan dalam industri ri-tel dapat dilihat dari berbagai segi, yaitu persaingan antara ritel modern dan tradisional, persaingan antar sesama ritel modern, persaingan an-tar sesamaritel tradisional, dan persaingan antar supplier. Diantara keempat jenis per-saingan tersebut, persaingan antara ritel tradisional dan ritel modern paling banyak mengundang perhatian, karena menempat-kan satu pihak(ritel tradisional) dalam po-sisi yang lemah. Sehingga hal ini memaksa semua pihak yang terkait (pelaku ritel, aso-siasi, pemerintah, pakar bisnis ritel) ber-peran aktif bersama-sama menyelesaikan ekses persaingan tersebut. s a l a h satu indikator ketimpangan kekuatan an-tara ritel tradisional dan ritel

    modern dapatdilihat dari segi pertumbuhan kedua jenis ritel tersebut.

    Foppi mencatat, di selu-ruh Indonesia terjadi penyusutan jumlah pasar tradisional sebesar 8% per tahun. Pertumbuhan pasar modern jus-tru sangat tinggi. Pertumbuhan hypermarket bahkan menca-pai 70%. (SWA06/XXV/2009). Strategi persaingan ritel tradisional den-gan ritel modern dapat dilakukan melaluipenerapan model strategi pengem-bangan menang-menang, yaitu saling menguntungkan atau saling bersinergi.

  • Apa yang Akan Dibahas?

    Bentuk Pasar Apa dalam Ruang Lingkup Ritel TradisionalBagaimana Performa Pasar Ritel Tradisional

    Faktor non harga yang Turut Berkecimpung?Pasar input dalam Ritel Tradisional

    Kegagalan pasar pada Ritel TradisionalPemerintah dalam Kesejahteraan Ritel Tradisional

    Perlindungan Konsumen

    Solusi untuk Ritel Tradisional

  • Jatinangor-

    adalah sebuah kawasan di sebelah timur Kota Band-ung, merupakan satu dari 26 Kecamatan yang ada di Kabupaten Sumedang, Provinsi Jawa Barat, Indo-nesia. Sebelumnya bernama Kecamatan Cikeruh namun sejak tahun 2000 berganti nama menjadi Kecamatan Jatinangor dengan alasan nama tersebut terasa lebih familiar dan lebih popular dikenal khalayak ramai.

    Wilayah Jatinangor memi-liki luas + 26,20 Km2 den-gan karakteristik wilayah perkotaan hampir 80% dari keseluruhan 12 Desa, meli-puti 4 Desa kawasan agraris (Cileles, Cilayung, Jatiroke, Jatimukti), 4 Desa kawasan pendidikan (Hegarmanah, Cikeruh, Sayang, Cibeusi) dan 4 Desa kawasan indus-tri (Cisempur, Cintamulya, Cipacing, Mekargalih).

    1Jatinangor merupakan suatu wilayah tempat bermukimnya banyak mahasiswa yang sedang mengenyam pendidikan tinggi di universitas seperti Universitas Padjadjaran dan Insitut Teknologi Bandung. Keberadaan mahasiswa tersebut membuat ritel tradisional, pada awalnya, menjamur dalam mencari ladang penghasilan.

    2Ladang penghasilan me-lalui ritel tradisional tersebut merupakan cetusan warga sekitar, pada umumnya, demi menangkap peluang banyaknya mahasiswa. Hingga akhir tahun 2007, ter-dapat lebih 120 ritel tradisional yang hidup bermukim di wilayah Jatinangor.

    3Namun kesejahteraan ritel-ritel tradisional tersebut akhir-akhir ini mulai redup akibat kemunculan ritel-ritel modern yang dinilai lebih nyaman dan inovatif dalam menarik para kon-sumen. Selain itu, ritel modern juga menawarkan servis yang cender-ung lebih memuaskan ketimbang ritel tradisional.

  • Regulasi pemerintah mengenai bisnis ritel berada dalam arus pemikiran sep-erti pada umumnya karena cenderung menggunakan pendekatan yang mem-batasi bisnis ritel hanya pada in-store retailing. Termasuk dalam memberikan batasan mengenai ritel tradisional dan ritel modern. Menandaskan dari Perpres No 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pem-binaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern, memberikan batasan pasar tradisionaldan toko modern dalam pasal 1 sebagai berikut:

    Pasar Tradisional adalah pasar yang dibangun dan dikelola oleh Pemer-intah, Pemerintah Daerah, Swasta, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah termasuk kerjasama dengan rakyat kecil (swasta) dengan tem-pat usaha berupa warung, toko, kios, los dan tenda yang dimiliki/dikelola oleh pedagang kecil, menengah, swadaya masyarakat atau koperasi dengan usaha skala kecil, modal kecil dan dengan proses jual beli ba-rang dagangan melalui tawar menawar.

    Toko Modern adalah toko dengan sistem pelayanan mandiri, menjual berbagai jenis barang se-cara eceran yang berbentuk Minimarket, Supermarket, Department Store, Hyper-market ataupun grosir yang berbentuk Perkulakan. Persaingan antara ritel tradisional dan ritel modern terjadi antara je-nis ritel dalam ukuran yang kurang lebih sama: minimar-ket dengan toko dan kios di sekitarnya; pasartradisional dengan super-market atau hypermarket. Ketiga jenis ritel mod-ern: minimarket, supermar-ket, dan hypermarket, mem-punyai karakteristik yang sama dalam model penjua-lan yaitu dilakukan secara eceran langsung pada kon-sumen akhir dengan cara swalayan, artinya pembeli mengambil sendiri barang dari rak-rak dagangan dan membayar di kasir. Kesamaan lain, ba-rang yang diperdagangkanadalah berbagai macam kebutuhan rumah tangga termasuk kebutuhan sehari-hari.

    Persaingan antara ritel

    tradisional dan ritel modern

    paling banyak mengundang

    perhatian, karena selalu

    menempatkan pihak ritel

    tradisional dalam posisi

    yang lemah.

    Perbedaan karakteristik

    yang berbanding terbalik

    semakin memperlemah

    posisi ritel

    tradisional. Belum lagi, ter-

    dapat beberapa kelemahan

    ritel tradisional yang tidak

    dimiliki oleh ritel modern de-

    wasa ini. Jurnal ini mencoba

    untuk memberikan bebera-

    pa solusi efisien dan efektif demi meningkatkan daya

    saing ritel tradisional yang

    berada di wilayah seputaran

    Jatinangor, terutama pada

    warung kebutuhan sehari-

    hari, secara Pengamatan

    Ekstensif Deskriptif.

    Ritel

    Abstrak

  • Mengetahui kelemahan distribusi ritel

    modern yang menyebabkan harga

    jual lebih mahal, ritel modern

    melakukan jalur distribusi me-

    lalui dealing dengan peru-

    sahaan penghasil produk.

    Dealing tersebut bahwa

    distributo perusahaan ha-

    rus melakukan drop off barangnya melalui ritel

    pengumpul milik perusa-

    haan ritel modern tersebut.

    Dari ritel pengumpul besar ke-

    mudian disalurkan ke minimarket

    Sistem pengambilan produk seperti

    ini dikenal dengan sistem pembelian-putus, di-

    mana perusahaan prosen memasok langsung ke-

    pada ritel modern melalui distributornya.

    Distribusi yang berbelit dan panjang

    dalam rantai pasokan produk pada

    ritel tradisional menyebabkan

    harga barang yang dijajakan ter-

    paksa lebih mahal ketimbang

    ritel modern. Hal tersebut ter-

    jadi karena masing-masing

    bagan membutuhkan keun-

    tungan ekonomis yang dis-

    alurkan melalui harga.

    Seorang pelaku usaha warung

    harus membeli barang yang su-

    dah melalui beberapa tingkatan,

    berbeda halnya dengan ritel modern.

    Sistem tersebut dikenal dengan sistem

    jemput ambil, pelaku usaha mengambil dari

    tempat drop off.

    Rp

    Bentuk Pasar dari alur pasok ritel tradisional berupa: monopsoni pada bagan 1 sampai bagan 3; Oligopoli pada bagan 3 sampai bagai 4 (Refrensi Tersedia)

    Bentuk pasar dari alur pasok ritel modern berupa: monopsoni pada semua bagan; atau oligopoli pada bagan 2 ke 3. (Refrensi tersedia)

    Alur PasokRitel Tradisional

    Alur PasokRitel Modern

  • DISTRIBUSI MEMAINKAN HARGA

    Persaingan ritel tradisional dan ritel modern meliputi baik faktor internal

    maupun faktor eksternal. Dalam kajiannya mengenai dampak keberadaan hyper-

    market terhadap ritel tradisional, Indef (2007) menggunakan aspek kinerja (faktor

    internal) dan aspek preferensi konsumen dan regulasi (faktor eksternal).

    Hasil kajiannya menyatakan, kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar

    tradisional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya hypermarket. Ini dian-

    taranya menyangkut kinerja: aset, omset, perputaran barang dagangan, dan marjin

    harga. Kemudian, analisis preferensi konsumen diterapkan untuk melihat bagaimana

    perilaku konsumen dalam menentukan pilihan berbelanja di hypermarket dan pasar

    tradisional.

    Sedangkan pada aspek regulasi, ditelaah juga peraturan perundang-undan-

    gan sektor ritel untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomen-

    dasi kebijakan. Aspek preferensi konsumen, biasanya mencakup: 1) human resource,

    terkait dengan pelayanan yang diberikan; 2) merchandise, mencakup jumlah produk

    yang tersedia,

    keanekaragaman jenis produk, dan keanekaragaman merek yang dijual; dan 3)

    harga, terutama dalam kaitannya dengan harga yang murah. Pelayanan yang diberi-

    kan oleh retailer biasanya merupakan hal utama yang dicermati konsumen, karena

    menyangkut hubungan sesama manusia.

  • Dalam perjalanannya, performa pasar ritel tra-

    disional dalam gonjang-ganjing deraan kehadiran ritel

    modern rupanya menemui Barrier Point.

    Barrier Point tercipta akibat adanya hambatan

    internal maupun eksternal. Hambatan eksternal dikait-

    kan dengan keberadaan ritel modern yang cenderung

    lebih memikat konsumen, sementara barrier point in-

    ternal timbul dari ruang lingkup para pelaku ritel tradis-

    ional.

    Barrier point internal meru-pakan poin pengham-bat yang berasal dari faktor

    internal ritel tradisional dalam

    geliatnya menghadapi ritel

    modern. Menandaskan dari

    Tri Joko Utomo, barrier points

    internal utama dari ritel tradis-

    ional umumnya terdapat pada

    kekurangan kualitas Aspek

    yang tangibles, pemahaman

    terhadap pelanggan, keamana,

    kredibilitas, kepercayaan kon-

    sumen terhadap para pelaku

    ritel tradisional, kompetensi

    pelaku usaha ritel tradisional,

    responsif para pelaku usaha

    ritel tradisional, dan akses

    berupa kemudahan bertrans-

    aksi dan keberadaan manajer

    untuk menyelesaikan masalah.

    Ritel tradisional, termasuk di

    wilayah Jatinangor, berdasar-

    kan pengamatan masih sangat

    lemah dalam menanggulangi

    barrier points internal tersebut.

    Hal tersebut menjadi kendala

    utama yang menyebabkan ritel

    tradisional kurang bisa bergeli-

    at berkembang dalam persain-

    gan versus ritel modern.

    Tip!

    Performa Pasar Ritel Tradisional di Seputaran Jatinangor

    Barrier Points Internalturut ambil andil dalam performa pasar ritel tradisional

  • Dari haril pengamatan,

    didapat 2 faktor non

    harga yang turut ber-

    pengaruh secara nyata bagi ritel

    tradisional dalam memasarkan

    produknya, faktor tersebut

    merupakan faktor branding dan

    hospitality dari sisi konsumen.

    Dalam perjalanan penjualannya,

    ritel modern mengandalkan

    kekuatan Faktor Non Harga.

    Menandaskan dari jurnal milik

    Tri Joko Utomo(2011) yang ber-

    judul Persaingan Bisnis Ritel:

    Tradisional vs Modern; branding

    product merupakan salah satu

    senjata utama dari Faktor Non

    Harga yang dimanfaatkan oleh

    ritel modern dalam pemenuhan

    target pasar konsumen.

    Branding Product terse-

    but adalah satu upaya ritel-ritel

    modern, selain dari sisi harga,

    dalam memasarkan produknya

    di kalangan konsumen. Brand-

    ing product, sebagai Faktor

    Non-Harga, dapat menarik

    para konsumen agar lebih

    memilih produk yang dijajakan

    pada ritel modern ketimbang

    pada ritel tradisional.

    Strategi ritel-ritel mod-

    ern dalam branding produk-

    produk yang dijajakan misalnya,

    berupa menghadirkan tagline

    unik dengan menggunakan

    slogan seperti fresh products

    everyday yang menjadi inovasi

    baru bagi industri ritel modern.

    Kualitas Terjamin, Harga

    Murah, menjadi tagline unik

    dengan tidak meninggalkan

    simbol produk segar setiap

    hari yang menjadi brand icon

    dalam setiap beriklan dan war-

    na kemasan yang merupakan

    ciri khasnya ritel-ritel modern.

    Dari kajian Indef (2007), dalam hal atribut layanan, yang termasuk prioritas

    kedua salah satunya adalah peningkatan pelayanan kepada konsumen

    (keramahan). Atribut ini memilikitingkatan prioritas yang sama baik untuk

    pasar tradisional maupun hypermarket.

    Konsumen menilai bahwa keakraban berbelanja di pasar tradisional yang

    sering disuarakan sebagai kelebihan karakteristiknya dibanding

    hypermarket tidak menjamin kepuasan konsumen akan segi-segi pelay-

    anan berbelanja.

    Konsumen semakin mementingkan keramahan-formalistik

    dibanding keakraban-normatif sebagai bagian dari ciri-ciri gaya hidup

    modern.

    Keramahan

    Pelayanan

    Faktor Non Harga?

  • 1Alur Pasok pada Ritel

    Tradisional Berbelit

    3Faktor Non-Harga

    juga sangat berperan dalam penjualan

    2Barrier Points Turut Ambil dalam Ritel

    Tradisional

  • pasar input, kegagalan pasar, peranan pemerintah, danperlindungan konsumen.

  • Ritel tradisional memainkan

    peran sebagai ajang produk-produk ce-

    takan produsen menembus konsumen

    langsung pakai.

    Di kasus ritel tradisional di Jati-

    nangor, yaitu warung; para pelaku usaha

    warung memasok barang dagangannya

    dari grosir-grosir yang berada di wilayah

    Tanjungsari. Hal tersebut dinilai karena

    wilayah Tanjungsari, yang berada di

    barat Sumedang, merupakan wilayah

    terdekat bagi para pelaku usaha terse-

    but untuk memasok barangnya, se-

    hingga biaya transportasi lebih murah

    ketimbang memasok dari wilayah Ran-

    caekek maupun Ujungberung.

    Untuk produk-produk tertentu,

    seperti rokok, pemasok dari perusa-

    haan memasok produknya kepada wa-

    rung dengan mengirimkan kurir motor

    sehingga para pelaku usaha warung ti-

    dak perlu mengambilnya di toko grosir.

    Hal tersebut yang menyebabkan harga

    rokok di ritel tradisional relatif sama

    dengan di ritel modern

    Pasar Input Tradisional vs Modern

  • KEGAGALAN PASARRitel Tradisional Fenomena Empiris dengan Ritel Modern

    Ritel tradisional kerap kali menemu-kan beberapa kega-galan pasar yang tu-rut berujung kepada

    kerugian.

    Omset, PerPutaran barang dagangan, dan marjin harga, harga; Tambunan dkk (2004) menyatakan, dik-

    etahui bahwa beberapa pedagang mempunyai

    pendapat yang sama tentang pengaruh ritel mod-

    ern terhadap penjualan mereka.

    Penurunan pendapatan ini dikarenakan

    banyaknya pelanggan mereka yang lebih memilih

    berbelanja di ritel modern tersebut daripada belanja

    di pasar tradisional.

    S t u d i kami di Jatinangor, teridentifikasikan bahwa om-set penjualan pasar tradisional

    menurun setelah beroperasinya

    hypermarket terutama sejak

    periode 2010 awal.

    Terdukung Kajian In-

    def (2007) yang sama juga

    menjelaskan, bahwa dari segi

    tingkat keuntungan, terjadi

    penurunan marjin harga yang

    cukup besar dialami terutama

    pedagang tradisional.

    Permasalahan utaman-

    ya adalah bahwa ritel modern

    terutama skala besar sering

    menjual produknya dengan

    harga jauh lebih rendah daripa-

    da harga jual dari produk yang

    sama di pasar tradisional.

    Tambunan dkk (2004) men-

    gungkapkan, dari hasil wawan-

    cara tim peneliti dengan Public

    Relation Manager Carrefour,

    harga yang lebih murah di Car-

    refour disebabkan oleh dua hal,

    yaitu:

    a) Economic of Scale Semakin besar jumlah

    yang dibeli dari supplier, sema-

    kin besar potongan harga yang

    diberikan oleh supplier

    tersebut kepada Carrefour.

    b) Sistem pembe-lian putus dari produsen Carrefour menetapkan

    sistem pembelian putus dari

    produsennya. Akibatnya, produ-

    sen dapat menekan harga men-

    jadi lebih rendah, karena tidak

    ada faktor risiko yang harus

    mereka tanggung.

    Konsumen menduduk-

    kan harga yang murah pada

    peringkat pertama kepentingan

    (paling penting) di antara

    sepuluh atribut layanan untuk

    semua komoditas di pasar tra-

    disional maupun hypermarket.

    Sementara pasar tradisional

    memiliki keunggulan kompara-

    tif dalam atribut-atribut: harga

    murah dan harga dapat ditawar.

  • perpresnomor 112 tahun 2007

    perdatentang UKM

    permendagnomor 53 tahun 2008

    Dalam melaksanakan perlindungan hukum terhadap pedagang pasar tradisional, pemerintah telah

    mengeluarkan Peraturan Presiden no-

    mor 112 tahun 2007 tentang Penataan

    dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pu-

    sat Pembelanjaan dan Toko Modern

    yang diikuti dengan Peraturan Menteri

    Perdagangan RI Nomor 53 Tahun 2008

    Tentang Pedoman Penataan dan Pembi-

    naan Pasar Tradisional, Pusat

    Perbelanjaan dan Toko Modern.

    Kedua peraturan tersebut mengatur di-

    antaranya adalah tentang zonasi, kemi-

    traan dan perizinan serta pembinaan.

    Namun, disayangkan bahwa peraturan

    tersebut masih bias

    sehingga diperlukan instrumen daerah

    untuk mengatur lebih detail terutama

    terkait dengan zonasi, perizinan dan

    pembinaan pasar tradisional.

    Dalam rangka Perlindungan hu-

    kum pedagang pada pasar tradisional

    pemerintah perlu melakukan 2 (dua)

    hal yakni Pengendalian dan Pemberday-

    aan. Pengendalian dilakukan terhadap

    Pasar Modern melalui

    kewajiban memilki izin gangguan yang

    mensyaratkan zonasi sebagai pertim-

    bangan pemberian izin,

    sedangkan Pemberdayaan dilakukan

    terhadap Pedagang Pasar Tradisional,

    melalui program kemitraan,

    pendanaan dan peningkatan profesion-

    alitas pengelola pasar.

    Peranan Pemerintah Dalam UpayaKesejahteraan Ekonomi

    Bagi Elemen-Elemen dalam Ritel-ritel Tradisional

  • iklim persaingan usahaPada Ritel Tradisional

    Persaingan ritel tradisional dan ritel mod-ern meliputi baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam kajiannya mengenai dampak keberadaan hypermarket terha-dap ritel tradisional, Indef (2007) menggunakan aspek kinerja (faktor internal) dan, aspek pref-erensi konsumen dan regulasi (faktor eksternal).

    Hasil kajiannya me-nyatakan, kondisi usaha dan kinerja pedagang pasar tradis-ional menunjukkan penurunan setelah beroperasinya hypermar-ket. Ini diantaranya menyangkut kinerja: aset, omset, perputaran barang dagangan, dan marjin harga. Kemudian, analisis pref-erensi konsumen diterapkan un-tuk melihat bagaimana perilaku

    konsumen dalam menentukan pilihan berbelanja di hypermar-ket dan pasar tradisional. Sedangkan pada aspek regulasi, ditelaah juga peraturan perundang-undangan sektor ritel untuk melengkapi bahan pertimbangan dalam menyusun rekomendasi kebijakan.

    Pelayanan yang diberikan oleh

    retailer biasanya merupakan

    hal utama yang dicermati konsumen, karena menyangkut hubungan sesama

    manusia. Terdapat be-

    berapa aspekpelayanan yang dieval-

    uasi konsumen, seb-agaimana kesimpulan riset yang dilakukan

    Levy dan Barton (1995) di samping ini.

    CESS (1998) dalam sebuah penelitian, un-tuk mengungkapkan alasan utama konsumen belanja di pasar modern, menggunakan atribut: 1) Tempat lebih nyaman; 2) Adanya kepastian harga; 3) Merasa bebas untuk memilih dan melihat-lihat; 4) Kualitas

    barang lebih terjamin; 5) Kuali-tas barang lebih baik; 6) Jenis barang lebih lengkap; dan 7) Model barang sangat beragam. Dan kenyataannya saat ini, ritel-ritel tradisional di Jati-nangor kalah akan ritel modern dalam hal tersebut. Ritel tradis-ional kurang memiliki tempat yang nyaman ketimbang ritel modern, kurangnya kepastian harga karena tidak adanya patokan harga, pembeli me-nilai cenderung terkekang

    saat berbelanja di ritel tradis-ional karena keberadaan pen-jual yang terkesan memelo-toti, kualitas barang yang kurang terjamin, jenis barang yang kurang lengkap, serta model yang tidak beragam. (hasil studi independen pada Juni 2013 pada pen-gamatan atas 10 warung ritel tradisional di seputaran Ja-tinangor; magis minusque)

  • adakahperlindungan konsumen

    pada ritel tradisional?

    Perlindungan Konsumen menurut UU No 8 Ta-hun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepas-

    tian hukum untukmemberi perlindungan kepada

    konsumen. Konsumen sendiri adalah setiap orang

    pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

    masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, ke-

    luarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan

    tidakuntukdiperdagangkan. .

    Tidak ada satupun regulasi ataupun kode etik tentang perlindungan konsumen yang diisukan oleh para pelaku ritel tradisional berupa warung yang

    berada di seputaran wilayah Jatinangor.

    Hal tersebut lumrah, karena umumnya para

    pelaku usaha tersebut tidak melihat dan tidak men-

    ganggap regulasi ataupun kode etik tentang per-

    lindungan konsumen tersebut sebagai sesuatu yang

    penting bagi kelangsungan usaha mereka. Mereka

    juga umumnya menganggap bahwa usaha mereka

    hanya ditujukan kepada pangsa pasar konsumen

    tingkat mikro seperti mahasiswa, ibu-ibu rumah

    tangga, sampai para pejalan kaki; sehingga mereka

    tidak melihat regulasi ataupun kode etik tersebut

    sebagai suatu keharusan untuk diisukan.

    Berbeda halnya dengan ritel-ritel modern yang

    sudah memiliki regulasi maupun kode etik tentang

    perlindungan konsumen melalui ISO 22000 yang

    umumnya sudah dimiliki semua ritel modern yang

    berada di seputaran wilayah Jatinangor. Kode etik

    tersebut mengharuskan semua elemen yang ada di

    dalam sistem ritel modern memprioritaskan perlind-

    ungan konsumen dalam pemasaran produknya.

    Hal tersebut juga mengindikasikan konsumen

    untuk berbelanja di ritel modern dengan rasa yang

    lebih nyaman ketimbang di ritel tradisional.

  • apayang harus dilakukan ritel tradisional dalam meningkatkan daya

    saingnya?

    Tip! Tip! Tip! Tip!

    Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem

    faccum vendaeped.

    Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem

    faccum vendaeped.

    Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem

    faccum vendaeped.

    Nam inum alia adicia Am ipsapid mi, eici Tem

    faccum vendaeped.

    a). adanya kolaborasi an-tar peritel khusus dalam akses pasar dan serta kolaborasi pemasok dalam mensuplai, produk yang bermutu; b). Peningkatan pelay-anan; c). Mempermudah ak-ses pemberian bantuan pinjaman modal bagi ritel tradisional agar dapat melakukan perluasan bisnis; d) Pemerintah sebaiknya lebih memperhatikan Ritel Tradisional, yaitu dalam hal tempat ber-jualan Ritel Tradisional dan dalam hal perizinan masuknya Ritel Modern; e) Perbaikan infrastruktur yang mencakup kes-ehatan yang layak, ke-bersihan yang memadai, cahaya yang cukup, dan keseluruhan kenyaman-an lingkungan pasar; f) Usaha bersama (dalam bentuk perjanjian kerja) antara pemda dan sektor swasta juga dapat men-jadi solusi terbaik untuk meningkatkan daya sa-ing ritel tradisional;

    g) Pemerintah harus menertibkan preman dan pungli atau penarikaniuran gelap yang ada pada ritel tradisional; h) Pemerintah harus menerapkan jarak antara ritel tradisional dan ritel modern yang berjauhan, serta luas usaha Ritel Modern; i) Zonasi, yaitu pem-bagian zona/kawasan untuk jenis ritel tertentu sehingga dapat mence-gah persaingan yang tidak berimbang; j) Perlunya sebuah UU Ritel sebagai kerangka dan landasan bagipemerintah dalam men-gelola sektor ritel mod-ern agar tidak memati-kan ritel tradisional dan memaksimalkan kontri-busi ritel modern pada ekonomi lokal sangat dibutuhkan.

    Banyaknya atribut persaingan ritel

    tradisional dan ritel modern dengan masing-masing perma-

    salahan yang ditimbulkannya,

    membutuhkan energi yang besar untuk men-

    gurai dan mencarikan solusi pemecahan

    Dengan harapan dapat mewakili konklusi seluruh penelitian yang ada, dapat mengacu Syatibi (2008) yang dalam penelitiannya memberikan solusi bagi ritel tradisional dalam meng-hadapi tekanan persaingan ritel modern. Ritel tradisional dapat melakukan strategi bersaing dengan ritel mo-deren melalui penerapan model strategi pengemban-gan menangmenang, sal-ing menguntungkan (saling bersinergi), seperti dalam bentuk:

    *all referencesIswandari, Wiwit Purwani. 2012. Perlindungan Hukum bagi Pedagang Pasar Tradisional. Universitas Airlangga: Fakultas Hukum.Utomo, Tri Joko. 2012. Persaingan Bisnis Ritel: Tradisional vs Modern (The Competition of Retail Business: Traditional vs Modern). Pena Fokus Vol 6.

  • bagian IJuni 2013

    Ritel Tradisional vs Modern: Sebuah Jurnal Hasil Studi Pengamatan

    Ekstensif Deskriptif di Seputaran Wilayah Jatinangor

    Apa Isi Jurnal Ini?Jurnal ini membahas tentang persaingan antara ritel tradisional vs ritel modern yang berada di seputaran wilayah Jatinangor dengan pengamatan ekstensif deskriptif. Jurnal ini merupakan bagian pertama dari beberapa bagian. Solusi untuk me-nambah daya saing ritel tradisional pula disajikan dalam jurnal ini.