rjpo 2010
TRANSCRIPT
RESUSITASI JANTUNG PARU OTAK
Disusun Oleh:
Jajang Sujana Mail
Mochammad Daradjat
MF Susanti Handayani
Yohanes Rudijanto
Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
Angkatan ‘83
2013
KATA PENGANTAR
Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tentang Resusitasi jantung paru
berdasarkan AHA Guidelines for CPR and ECC 2010, Resuscitation Council (UK) 2010, dan
European Resuscitation Council Guidelines 2010.
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
................................................................................................................................................
PENDAHULUAN
Henti jantung (cardiac arrest) dan henti nafas (apneu) merupakan kejadian yang sering
terjadi tidak hanya di rumah sakit, tetapi dapat terjadi pada berbagai kegiatan manusia, dimana
saja, kapan saja, dan pada siapa saja. Henti jantung dan henti nafas dapat menimpa manusia pada
tingkat usia mulai dari bayi baru lahir sampai usia lanjut dan juga dapat menimpa orang sehat
maupun seorang yang sedang menderita suatu penyakit.
Resusitasi Jantung Paru Otak (RJPO) merupakan suatu teknik emergensi yang diberikan
kepada seseorang yang menderita henti jantung maupun henti nafas. Resusitasi jantung paru
modern mulai dikembangkan pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an. Teknik bantuan
nafas dari mulut ke mulut ditemukan oleh Drs. James Elam dan Peter Safar, sedangkan teknik
kompresi dada dikembangkan oleh Drs.Kowenhouven, Knickerbocker dan Jude. Pada awal
tahun 1960-an kedua teknik digabungkan menjadi satu. Penemuan kedua teknik tersebut sangat
penting dalam penatalaksanaan awal dari henti jantung dan henti nafas di era modern seperti
sekarang.
Tujuan dari RJPO adalah untuk memelihara sirkulasi dan respirasi agar tubuh tetap
mendapatkan asupan oksigen, dengan kata lain mencegah berhentinya sirkulasi darah dan
berhentinya respirasi melalui tindakan atau intervensi Bantuan Hidup Dasar (BHD) atau Basic
Life Support (BLS). Penolong memberikan bantuan luar terhadap sirkulasi darah dan respirasi,
sehingga ventilasi paru terjamin bagi penderita yang mengalami henti nafas dan henti jantung
dengan intervensi RJPO. Tindakan ini dilakukan sampai datangnya pengobatan medik yang
akurat dan definitif serta tepat untuk tingkat selanjutnya, yaitu Bantuan Hidup Lanjut (BHL) atau
Advance Life Support (ALS).
Pendekatan optimal dalam RJP dapat bervariasi, tergantung dari penolong, penderita, dan
sumber yang tersedia, namun tantangan yang muncul tetap, yaitu bagaimana untuk
mencapai RJP yang dini dan efektif. Keberhasilan RJP dimungkinkan oleh adanya interval
waktu antara mati klinis dan mati biologis, yaitu sekitar 4-6 menit. Dalam waktu tersebut mulai
terjadi kerusakan sel-sel otak yang kemudian diikuti organ-organ tubuh lain.
Keberhasilan tindakan RJPO ini sangat menentukan suksesnya keaktifan kembali organ-
organ tubuh. Hal ini terutama sangat ditentukan oleh waktu antara terjadinya henti jantung atau
henti napas atau keduanya hingga tindakan yang dilakukan. Waktu 4 menit setelah henti jantung,
paru, atau keduanya, menunjukkan angka statistik yang tinggi bagi kesembuhan penderita bila
langsung dilakukan tindakan RJPO yang cepat, benar dan akurat. Oleh karena itu, pelaku RJPO
harus seorang yang profesional atau paling tidak telah mendapatkan pelatihan mengenai RJPO,
sehingga akan menurunkan angka kematian atau meningkatkan angka statistik yang selamat serta
perbaikan gejala saraf atau sequelae.
Kehadiran berbagai pedoman dalam melakukan RJP bukan untuk menunjukkan bahwa
salah satu pedoman lebih unggul atau lebih efektif daripada pedoman yang lainnya, tetapi
perbedaan tersebut dikarenakan perbedaan penelitian pada masing-masing negara.
RESUSITASI
Resusitasi bermaksud menghidupkan kembali dengan usaha-usaha yang dapat dilakukan
untuk mencegah suatu episode henti jantung berlanjut menjadi kematian biologis. Resusitasi
merupakan upaya mengembalikan fungsi nafas atau sirkulasi yang berhenti oleh suatu sebab, dan
akan membantu memulihkan kembali fungsi jantung dan paru pada keadaan normal. Bantuan
hidup dasar meliputi cara mengenali jika terjadinya serangan jantung, aktivasi respon sistem
gawat darurat, dan tindakan defibrilasi dengan menggunakan defibrilator.
Seperti yang telah diketahui, bahwa banyak faktor yang mengakibatkan timbulnya kasus
kegawatdaruratan dengan berbagai faktor pencetus yang mengharuskan melakukan penanganan
sesegera mungkin. Organ vital tubuh, yaitu jantung dan paru, yang memegang peranan dalam
sistem pernafasan dan sirkulasi darah pada tubuh merupakan hal yang sangat penting untuk tetap
berlanjut dan berfungsi secara berkesinambungan agar seseorang tetap dapat terus hidup. Apabila
salah satu dari organ tersebut berhenti, maka kesinambungan tubuh juga akan terganggu. Berikut
ini adalah pembahasan mengenai henti jantung dan pernafasan yang harus dilakukan resusitasi
jantung paru segera.
Henti Jantung (Cardiac Arrest)
Henti jantung primer (cardiac arrest) merupakan ketidaksanggupan curah jantung untuk
memenuhi kebutuhan oksigen ke otak dan organ vital lainnya secara mendadak dan ireversibel.
Dengan catatan, henti jantung terminal akibat usia lanjut tidak termasuk dalam henti jantung atau
cardiac arrest.
Sebagian besar henti jantung disebabkan oleh fibrilasi atau takikardia ventrikel tanpa
denyut (80-90%) terutama jika terjadi di luar rumah sakit, kemudian disusul dengan asistol
ventrikel (10%), dan terakhir oleh disosiasi elektromekanik (5%). Dua jenis henti jantung
tersebut, penanganannya lebih sulit dan biasanya akibat dari gangguan peacemaker jantung baik
yang natural maupun yang artifisial, penyakit miokardial, gangguan elektrolit, hipoksia, atau
keracunan obat. Fibrilasi ventrikel terjadi karena koordinasi aktivitas jantung menghilang.
Pengenalan akan gejala-gejala penyakit henti jantung adalah langkah pertama yang
sangat penting dalam penanganan awal (early treatment) henti jantung. Pemeriksaan denyut nadi
merupakan gold standard dari tanda henti jantung yaitu tidak adanya pulsasi arteri karotis atau
pada pembuluh arteri besar lainnya. Dapat diperhatikan meskipun penafsiran pulsasi (denyut
nadi) arteri karotis memerlukan waktu dan menjurus ke arah suatu kesimpulan yang salah, ada
atau tidaknya denyut nadi menyangkut lebih dari 50% kasus henti jantung. Untuk alasan inilah
direkomendasikan pelatihan mendeteksi denyut nadi sebagai tanda mula henti jantung.
Berdasarkan hasil konsensus ilmiah, gejala umumnya diawali dengan korban menjadi
megap-megap dan dalam hal ini penolong seharusnya mulai melakukan tindakan RJPO jika
penderita tidak sadar, tidak bergerak, dan tidak bernafas.
Tanda-tanda henti jantung diantaranya adalah:
Kesadaran hilang setelah terhentinya jantung selama 15 detik
Tidak teraba denyut nadi pada arteri besar (seperti karotis dan femoralis)
Pernafasan megap-megap (gasping) dan henti nafas
Terlihat seperti mati, warna kulit pucat sampai kelabu
Pupil dilatasi (midriasis) setelah 45 detik henti jantung
Diagnosis henti jantung dapat diketahui bila ditemukan ketidaksadaran penderita dan
tidak terabanya denyut nadi pada arteri besar dan tekanan darah sistolik di bawah 50 mmHg
mungkin saja tidak teraba denyut nadi pada arteri. Khusus pada asfiksia, biasanya tidak ada
kontraksi mekanis namun masih ada aktivitas EKG. Dalam waktu 10 detik setelah jantung
berhenti, seseorang akan segera kehilangan kesadaran dan menjadi unresponsif.
Penyebab henti jantung diantaranya adalah:
1. Penyakit kardiovaskular: penyakit jantung iskemik, infark miokard akut, emboli paru,
fibrosis pada sistem konduksi (Sindrom Adam Stokes);
2. Kekurangan oksigen yang akut, misalnya: henti nafas, sumbatan jalan nafas karena
sekresi lendir yang berlebihan;
3. Dosis obat yang berlebih : digitalis, quinidin, antidepresan trisiklik, propoksifen,
adrenalin dan isoprenalin;
4. Gangguan elektrolit: kalium serum yang tinggi/rendah, rendahnya magnesium serum,
asidosis;
5. Kecelakaan: syok listrik dan tenggelam;
6. Refleks vagal: peregangan sfingter ani, penekanan/ penerikan bola mata;
7. Anestesi dan pembedahan;
8. Terapi dan tindakan diagnosis medis;
9. Syok (hipovolemik, neurogenik,toksik dan anafilaksis).
Resusitasi yang dilakukan pada korban yang mengalami henti jantung dapat memberikan
beberapa kemungkinan hasil :
1. Korban menjadi sadar kembali
2. Korban dinyatakan mati. Hal tersebut dapat disebabkan karena pertolongan RJP yang
terlambat dimulai atau pertolongan yang cepat namun tidak betul pelaksanaannya. Bila
henti jantung telah berlangsung lebih dari 10 menit pada orang dewasa yang
normotermik, pertolongan RJP tanpa resusitasi otak biasanya tidak dapat memulihkan
fungsi susunan syaraf pusat. Dalam keadaan darurat tersebut, korban dapat dikatakan
meninggal bila setelah dimulai resusitasi korban tetep tidak sadar,tidak timbul ventilasi
yang spontan dan refleks muntah serta pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih.
3. Korban belum dapat dinyatakan meninggal dan belum timbul denyut jantung spontan.
Dalam hal ini perlu diberikannya pertolongan lebih lanjut yaitu Bantuan Hidup Lanjut
(BHL).
4. Denyut jantung timbul secara spontan namun kesadaran penderita belum pulih bisa
disertai ventilasi spontan atau tidak.
Berdasarkan hasil konsensus ilmiah dilaporkan bahwa dari semua penderita henti jantung
yang ditangani oleh pusat-pusat kesehatan 5-10% diantaranya dapat bertahan hidup, dan
penderita dengan ventricular fibrilation yang ditangani 15% diantaranya dapat bertahan hidup.
Resiko terjadinya henti jantung dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah faktor
demografik, faktor genetik, perilaku/aktivitas, nutrisi/makanan, klinis, anatomis, dan
karakteristik pengobatan.
Henti Nafas
Diagnosa henti nafas :
1. Pergerakan dinding dada tidak ada (look);
2. Tidak terdengar suara nafas daru lubang hidung dan mulut atau dari auskultasi (listen);
3. Tidak terasa hembusan nafas di pipi kita bila didekatkan wajah ke wajah penderita sambil
mengamati pergerakan dinding dada (feel).
Beberapa penyebab henti nafas, diantaranya:
1. Sumbatan jalan nafas: benda asing, lidah yang jatuh ke belakang, pipa trakea yang
terlipat, kanula trakea yang tersumbat, kelainan akut glotis dan sekitarnya (sembab glotis,
perdarahan);
2. Depresi pernafasan:
- Sentral: obat-obatan, intoksikasi, PaO2 rendah, PaCO2 tinggi setelah henti jantung,
tumor otak, tenggelam,
- Perifer: obat pelumpuh otot, miastenia grafis, poliomielitis.
Pada rescue breathing perlu diperhatikan berikut di bawah ini:
Hanya sejumlah kecil resusitasi terhadap pernafasan hendaknya dirasakan (to be felt)
selama ditemukan henti nafas dan tiap tindakan hendaknya diperhatikan selama 2 detik.
Bila inflasi terlalu cepat, resistensi akan lebih besar dan hanya sedikit udara yang akan
masuk ke dalam paru.
Tidal Volum (TV) dapat diberikan 700-1000 ml pada orang dewasa yang biasanya
dibutuhkan dalam jumlah yang secara mata telanjang dapat terlihat pengangkatan dinding
dada.
Penolong hendaknya menunggu dan mengawasi dinding dada turun secara seksama
selama masa ekspirasi sebelum pemberian bantuan nafas berikutnya. Biasanya secara
normal membutuhkan waktu kira-kira 2-4 detik.
Waktu ekpirasi yang tepat bukan hal yang kritis, dinding dada hendaknya turun terlebih
dahulu sebelum bantuan nafas berikutnya diberikan.
Resusitasi Jantung Paru
1. American Heart Association (AHA)
Seiring berkembangnya waktu, terdapat beberapa perubahan mengenai adanya kebijakan
resusitasi jantung paru otak dan emergensi cardiovaskular care dari tahun ke tahun karena
perubahan ini secara berkala diperbaharui setiap 5 tahun sekali oleh para ahli dibidangnya.
The American Heart Association (AHA) mengeluarkan panduan untuk melakukan RJP
(Resusitasi Jantung Paru) terbaru. Rekomendasi terbaru menunjukkan bahwa penolong harus
lebih berfokus pada kompresi dada ketimbang pernapasan buatan melalui mulut. Panduan
terdahulu (2005) menekankan pada penanganan “ABC” (Airway, Breathing, Chest
Compression) yaitu dengan melakukan pemeriksaan jalan napas, melakukan pernapasan buatan
melalui mulut, kemudian memulai kompresi dada. Panduan terbaru (2010) yang dikeluarkan oleh
AHA lebih menekankan pada penanganan “CAB” (Chest Compression, Airway, Breathing) yaitu
dengan terlebih dahulu melakukan kompresi dada, memeriksa jalan napas kemudian melakukan
pernapasan buatan. Panduan ini juga mencatat bahwa pernapasan buatan melalui mulut boleh
tidak dilakukan pada kekhawatiran terhadap orang asing dan kurangnya pelatihan formal.
Sebenarnya, seluruh metode ini memiliki tujuan yang sama, yaitu membuat aliran darah dan
oksigen tetap bersirkulasi secepat mungkin.
Pada tahun 2008, AHA menyatakan bahwa penolong tak terlatih atau mereka yang tidak
mau melakukan pernapasan buatan melalui mulut dapat melakukan kompresi dada hingga
bantuan medis datang. Panduan terbaru (2010) dari AHA menyarankan kompresi dada terlebih
dahulu baik bagi penolong terlatih maupun penolong tidak terlatih.
The American Heart Association (AHA) menyarankan, ketika seorang dewasa ditemukan
tidak responsif dan tidak bernapas atau mengalami kesulitan bernapas, setiap orang yang ada di
sekitarnya wajib untuk menghubungi tenaga kesehatan kemudian segera melakukan kompresi
dada.
Setelah mengaktifkan bantuan tenaga kesehatan dan melakukan kompresi dada, maka
tindakan berikutnya yang harus dilakukan adalah dengan segera bisa mendapatkan akses
terhadap AED (Automatic External Defibrillator), sebuah alat bantu kejut jantung yang dapat
membantu ritme jantung kembali normal.
Ketiga mata rantai awal ini dapat membantu meningkatkan keberhasilan pertolongan dan
angka kehidupan pada korban. Perubahan panduan ini mengacu pada penelitian-penelitian yang
telah dilakukan sebelumnya yang menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan berarti pada
hasil dari tindakan RJP kompresi dada dan pernapasan buatan dengan RJP kompresi dada saja.
Panduan “Resusitasi Jantung Paru” terbaru ini menjadi lebih mudah dilakukan juga bagi
orang awam karena menekankan pada kompresi dada untuk mempertahankan aliran darah dan
oksigen dalam darah tetap mengalir ke jantung dan otak. Kompresi dada memang cenderung
lebih mudah untuk dilakukan, dan setiap orang dapat melakukannya.
Kompresi dada dapat dilakukan dengan meletakkan satu tangan di atas tangan yang lain
dan menekan dengan kuat pada dada korban. Panduan RJP yang baru ini menekankan bahwa
penolong harus berfokus memberikan kompresi sekuat dan secepat mungkin, 100 kali kompresi
dada per menit, dengan kedalaman kompresi sekitar 5-5,5 cm, sangat penting untuk tidak
bersandar pada dada ketika melakukan kompresi dada pada korban. Penolong tidak perlu takut
dan ragu untuk melakukan kompresi dada yang dalam karena risiko ketidakberhasilan justru
terjadi ketika kompresi dada yang dilakukan kurang dalam.
Seperti yang telah beredar di masyarakat indonesia ataupun di kalangan medis guidelines
ini terdapat perubahan didalamnya untuk meningkatkan kinerja tenaga medis berdasarkan survei
dan penatalaksanaan yang lebih baik mengenai resusitasi dan emergensi cardiovaskular care
Berikut ini adalah uraian beberapa perbedaan antara Panduan AHA 2005 dengan AHA 2010.
1. Bukan lagi ABC, melainkan CAB
• AHA 2010
“A change in the 2010 AHA Guidelines for CPR and ECC is to reccomend the initiation of chest
compression before ventilation.”
• AHA 2005
“The sequence of adult CPR began with opening of the airway, checking for normal breathing,
and then delivering 2 rescue breaths followed by cycles of 30 chest compressions and 2
breaths.”
Sebelumnya dalam pedoman pertolongan pertama, kita mengenal ABC: Airway, Breathing,
Ciculation (Chest Compression) yaitu buka jalan nafas, bantuan pernafasan, dan kompresi dada.
Pada saat ini, prioritas utama adalah Circulation baru setelah itu tatalaksana difokuskan pada
Airway dan selanjutnya Breathing. Satu-satunya pengecualian adalah hanya untuk bayi baru lahir
(neonatus), karena penyebab tersering pada bayi baru lahir yang tidak sadarkan diri dan tidak
bernafas adalah karena masalah jalan nafas (asfiksia). Sedangkan untuk yang lainnya, termasuk
RJP pada bayi, anak, ataupun orang dewasa biasanya adalah masalah Circulation kecuali bila
kita menyaksikan sendiri korban tidak sadarkan diri karena masalah selain circulation harus
menerima kompresi dada sebelum kita berpikir memberikan bantuan jalan nafas.
2. Tidak ada lagi Look, Listen, and Feel
• AHA 2010
“Look, listen, and feel for breathing was removed from the sequence for assessment of breathing
after opening the airway. The healthcare provider briefly checks for breathing when checking
responsiveness to detect signs of cardiac arrest. After delivery of 30 compressions, the home
rescuer opens the victim’s airway and delivers 2 breaths.”
• AHA 2005
“Look, listen, and feel for breathing was used to assess breathing after the airway was opened.”
Kunci utama menyelamatkan seseorang dengan henti jantung adalah Bertindak bukan
Menilai. Telepon ambulan segera saat kita melihat korban tidak sadar dan tidak bernafas dengan
baik (gasping). Jika mencoba menilai korban bernapas atau tidak dengan mendekatkan pipi pada
mulut korban,diperbilehkan, namun tetap saja sang korban tidak bernafas dan tindakan look
listen and feel ini hanya akan menghabiskan waktu.
3. Tidak ada lagi Resque Breath
• AHA 2010
“Beginning CPR with 30 compressions rather than 2 ventilations leads to a shorter delay to first
compression”
Resque breath adalah tindakan pemberian napas buatan sebanyak dua kali setelah kita
mengetahui bahwa korban henti napas (setelah Look, Listen, and Feel). Pada AHA 2010, hal ini
sudah dihilangkan karena terbukti menyita waktu yang cukup banyak sehingga terjadi penundaan
pemberian kompresi dada.
4. Kompresi dada lebih dalam lagi
• AHA 2010
“The adult sternum should be depressed at least 2 inches (5 cm)”
• AHA 2005
“The adult sternum should be depressed 11/2 to 2 inches (approximately 4 to 5 cm).”
Pada pedoman RJP sebelumnya, kedalaman kompresi dada adalah 1 ½ - 2 inchi (4 – 5 cm),
namun, sekarang AHA merekomendasikan untuk melakukan kompresi dada dengan kedalaman
minimal 2 inchi (5 cm).
5. Kompresi dada lebih cepat lagi
• AHA 2010
“It is reasonable for lay rescuers and healthcare providers to perform chest compressions at a
rate of at least 100x/min.”
• AHA 2005
“Compress at a rate of about 100x/min.”
AHA mengganti redaksi kalimat disini sebelumnya tertulis: tekan dada sekitar 100
kompresi/ menit. Sekarang AHA merekomendasikan kita untuk kompresi dada minimal 100
kompresi/ menit. Pada kecepatan ini, 30 kompresi membutuhkan waktu 18 detik.
6. Hands only CPR
• AHA 2010
“Hands-Only (compression-only) bystander CPR substantially improves survival following adult
out-of-hospital cardiac arrests compared with no bystander CPR.”
AHA mendorong RJP seperti ini pada tahun 2008 dan pada pedoman tahun 2010 pun AHA
masuh menginginkan agar penolong yang tidak terlatih melakukan Hands Only CPR pada
korban dewasa yang pingsan di depan mereka.
7. Pengaktivasian Emergency Response System (ERS)
• AHA 2010
“Check for response while looking at the patient to determine if breathing is absent or not
normal. Suspect cardiac arrest if victim is not breathing or only gasping.”
• AHA 2005
“Activated the emergency response system after finding an unresponsive victim, then returned to
the victim and opened the airway and checked for breathing or abnormal breathing.”
Pada pedoman AHA yang baru, meminta pertolongan orang di sekitar, menelepon ambulans,
ataupun menyuruh orang untuk memanggil bantuan tetap menjadi prioritas, akan tetapi
sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan kesadaran dan ada tidaknya henti nafas (terlihat tidak
ada nafas/ gasping) secara simultan dan cepat.
8. Jangan berhenti kompresi dada
• AHA 2010
“The preponderance of efficacy data suggests that limiting the frequency and duration of
interruptions in chest compressions may improve clinically meaningful outcomes in cardiac
arrest patients.”
Setiap penghentian kompresi dada berarti menghentikan aliran darah ke otak yang
mengakibatkan kematian jaringan otak jika aliran darah berhenti terlalu lama. Membutuhkan
beberapa kompresi dada untuk mengalirkan darah kembali. AHA menghendaki kita untuk terus
melakukan kompresi selama kita bisa atau sampai alat defibrilator otomatis datang dan siap
untuk menilai keadaan jantung korban. Jika sudah tiba waktunya untuk pernapasan dari mulut ke
mulut, lakukan segera dan segera kembali melakukan kompresi dada. Prinsip Push Hard, Push
Fast, Allow complete chest recoil, and Minimize Interruption masih ditekankan disini.
Ditambahkan dengan Avoiding excessive ventilation.
9. Tidak dianjurkan lagi Cricoid Pressure
• AHA 2010
“The routine use of cicoid pressure in cardiac arrest is not recommended.”
• AHA 2005
“Cricoid pressure should be used only if the victim is deeply unconscious, and it usually requires
a third rescuer not involved in rescue breaths or compressions.”
Cricoid pressure dapat menghambat atau mencegah pemasangan jalan nafas yang lebih
adekuat dan ternyata aspirasi tetap dapat terjadi walaupun sudah dilakukan cricoid pressure.
Cricoid pressure merupakan suatu metode penekanan tulang rawan krikoid yang dilakukan pada
korban dengan tingkat kesadaran sangat rendah, hal ini pada pedoman AHA 2005 diyakini dapat
mencegah terjadinya aspirasi dan hanya boleh dilakukan bila terdapat penolong ketiga yang tidak
terlibat dalam pemberian nafas buatan ataupun kompresi dada.
10. Pemberian Precordial Thump
• AHA 2010
“The precordial thump should not be used for unwitnessed out-of-hospital cardiac arrest. The
precordial thump may be considered for patients with witnessed, monitored, unstable VT
(including pulseless VT) if a defibrillator is not immediately ready for use, but it should not delay
CPR and shock delivery.”
• AHA 2005
“No recommendation was provided previously.”
Pada beberapa kasus dilaporkan bahwa precordial thump dapat mengembalikan irama
ventricular tachyarrhytmias ke irama sinus. Akan tetapi pada sejumlah besar kasus lainnya,
precordial thump tidak berhasil mengembalikan korban dengan ventricular fibrillation ke irama
sinus atau kondisi Return of Spontaneous Circulation (ROSC). Kemudian terdapat banyak
laporan yang menyebutkan terjadinya komplikasi akibat pemberian precordial thump seperti
fraktur sternum, osteomyelitis, stroke, dan bahkan bisa mencetuskan aritmia yang ganas pada
korban dewasa dan anak-anak. Pemberian precordial thump boleh dipertimbangkan untuk
dilakukan pada pasien dengan VT yang disaksikan, termonitor, tidak stabil, dan bila defibrilator
tidak dapat disediakan dengan segera. Dan yang paling penting adalah precordial thump tidak
boleh menunda pemberian RJP atau defibrilasi.
Adult BLS Healthcare Algorithm
Pediatric Basic Life Support
Perubahan inti pada BLS pediatrik, antara lain :
Perubahan urutan RJP (ABC menjadi CAB)
Kedalaman kompresi jantung
Dihilangkannya look, listen, and feel
pada pemeriksaanpernafasan
Penggunaan defibrilasi dan AED pada anak
Perubahan Urutan Menjadi CAB
o Pada 2010 RJP pada anak dan bayi diawali dengan kompresi dada,sebanyak 30 kali (sendiri)
o Pada 2005 RJP diawali dengan membuka jalan nafas dan pemberian 2 bantuan nafas
sebelum kompresi dada
Alasannya bahwa :
Masih ada perdebatan karena penyebab henti jantungpada anak lebih banyak
karena asfiksia.
Meminimkan penundaan dan interupsi kompresi dadauntuk mensuplai darah ke
jantung dan otak.
Penolong awam kadang bingung untuk melakukanpenanganan pernafasan dan
jalan nafas sehinggapendekatan CAB direkomendasikan agar RJP dapatdilakukan
tanpa ditunda
Kedalaman Kompresi Dada
Pada 2010, Untuk mendapatkan kompresi dada yang efektif,kompresi harus dilakukan
setidaknya 1/3diameter AP dada, yaitu sekitar 5 cm pada anakdan 4 cm pada bayi (Class I, C)
Pada 2005, Kompresi dengan tenaga yang cukup untuk menekan 1/3 sampai ½ diameter
AP dada
Alasannya :
Bukti dari studi radiologis menyatakan bahwakompresi sampai ½ diameter dada anak
tidakdapat dicapai
Data batu menrekomendasikan penekananyang kuat dengan kedalaman 4 cm pada bayi
dan 5 cm pada anak
Look, listen and feel
Pada 2010, look, listen and feel’ dihilangkan dari urutan penilaian pernafasan setelah
membebaskan jalan nafas
Pada 2005, look, listen and feel´ digunakan untuk menilai pernafasan setelah
membebaskan jalan nafas
Alasannya bahwa dengan urutan baru CAB, RJP dilakukan pada anakyang tidak respon
dan tidak bernafas atau megap-megap dan memulai kompresi jantung
Penggunaan Defibrilasi dan AED pada bayi
Pada 2010, Untuk bayi, defibrilasi manual lebih disarankan, jika tidak tersedia dapat
menggunakan AED
Pada 2005, Bukti menunjukkan AED dapat digunakan secara efektif dan aman pada anak
usia 1-8tahun, belum ada data mengenai penggunaanyapada anak usia <1 tahun
Alasan:
Banyak laporan kasus yang baru, menunjukanefektifitas dan keselamatan pemakaian
AEDpada anak dan bayi
Karena shock dosis tinggi lebih baik daripadatidak shock sama sekali pada irama
jantungyang perlu defibrilasi
2. European Resuscitation Council (ERC)
Tahapan pada BLS adalah sebagai berikut:
1. Yakinkan pasien dan penolong berada di tempat aman.
2. Cek respon pasien → mengguncang bahu pasien dan berteriak mamanggil pasien.
3. Jika tidak ada respon dari pasien, posisikan psien terlentang dan buka jalan nafas.
4. Airway (Jalan Napas)
Posisikan korban dalam keadaan terlentang pada alas yang keras(ubin), biladiatas
kasur selipkan papan. Periksa jalan napas korbansebagai berikut :
– membuka mulut korban
–masukkan 2 jari (jaritelunjuk dan jari tengah)
–lihat apakah ada benda asing, darah, (bersihkan)
5. Letakkan tangan penolong diatas kening korban dan tangan yanglain didagu
korban , tengadahkan/dongakkan kepala korban (Headtilt - chin lift).
6. Untuk menilai pernapasan korban dilakukan 3 cara:
– Look: lihat gerakan dada apakah mengembang atau tidak.
– Listen: dengarkan suara napas korban ada atau tidak
– Feel: rasakan hembusan napas korban pada mulut/hidung ada atau tidak
7. Jika pasien bernapas normal, maka segera hubungi “emergency call” atau
ambulan. Jika pasien tidak bernafas normal, maka segera mulai kompresi dada:
– Kecepatan 100-120x/ min
– Kedalaman minimal 5 cm (tetapi tidak lebih dari 6 cm)
– Lakukan 30 kompresi : 2 ventilasi
Advanced Life Support
Advanced airway management diperlukan teknik-teknik dan pengobatan khusus, serta
keterampilan tinggi dan hendaknya dilakukan pada penderita apneu yang telah dilakukan RJP.
Oral dan nasopharyngeal airway, mudah penggunaanya. Bentuk umum adalah jalan nafas oro-
nasofaring Guedel (mayo) dan biasanya penderita toleran untuk pemasangannya.
Orofaring ariway yang lainnya adalah laringeal mask (LMA) dapat dilakukan bila
intubasi ETT gagal, hampir sama efektifnya dengan teknik sungkup dan kantong udara. Teknik
pembedahan untuk jalan nafas dilakukan bila terjadi obstruksi jalan nafas yang dibutuhkan untuk
hidup dikala tindakan-tindakan lain gagal dilakukan. Tindakan emergensi dapat diakses untuk
memperbaiki kelancaran jalan nafas melalui membrana krikotiroid yang relatif tidak ada
pembuluh darah, dengan memakai jarum kanula nomer 12 atau 14 yang disambung dengan
tabung suntik membran krikotiroid sampai udara dapat diaspirasi. Ujung kanul kemudian
dihubungkan dengan sumber oksigen dan diberikan oksigen 15 liter per menit dan biarkan
biarkan untuk ekspirasi selama 4 detik.
Meskipun algoritma ALS henti jantung dapat diaplikasikan pada semua kasus henti
jantung, intervensi tambahan dapat diberikan pada kasus-kasus henti jantung yang disebabkan
oleh keadaan khusus.
– Pada ERC ALS 2010, lebih ditekankan pada aturan kompresi dada yang
berkualitas dan minimal interupsi : kompresi dada dihentikan sejenak hanya jika
ada intervensi yang spesifik.
– Penekanan pada penggunaan “track and trigger systems” untuk mendeteksi
keadaan pasien yang semakin memburuk dan mencegah henti jantung di rumah
sakit.
– Meningkatkan perhatian terhadap tanda bahaya yang berhubungan dengan resiko
henti jantung mendadak di luar RS.
– Melanjutkan kompresi dada dengan penggunaan defibrilator dapat meminimalisir
pre-shock pause.
– Pemberian obat melalui tracheal tube tidak direkomendasikan, jika tidak terdapat
akses intravena maka obat dapat diberikan melalui intraosseous (IO) route.
– Ketika terjadi VT/VF, adrenalin 1 mg diberikan setelah perlakuan ketiga chest
compression yang kemudian diulang setiap 3-5 menit (selama durasi CRP
berlangsung). Amiodaron 300mg juga dapat diberikan pada shock ketiga.
– Atropin sudah lama tidak direkomendasikan untuk penggunaan rutin untuk kasus
asistol atau PEA.
– Penggunaan intubasi trakea harus dilakukan oleh tenaga yang ahli dan harus
disertai dengan gangguan minimal untuk pelaksanaannya chest compression.
– Peningkatan tekanan dalam penggunaan capnography untuk meneruskan
monitoring tracheal tube replacement,kualitas CPR dan penanganan dini
diindikasikan untuk ROSC
– Lebih baik mempergunakan USG dan Oksimetri untuk penatalaksanaan ALS
– Apabila terdapat gula darah sebesar lebih dari 180 mg/dl, maka harus ditangani
tetapi hindari terjadinya hipoglikemia.
Drug and Fluid
Pemberian obat-obatan dan cairan melalui infusa intra vena. Obat-obatan yang
direkomendasikan untuk BHL:
Adrenalin (epinefrin), merupakan obat utama dalam resusitasi hent jantung. Pemberian 1
mg adrenalin harus dilakukan tiap 3 menit selama henti jantung. Pemberian adrenalin
meningkatkan aliran darah ke otak dan miokard dengan cara meningkatkan resistensi
pembuluh darah perifer dan meningkatkan tekanan darah diastolik. Diberikan 0,5 – 1 mg
IV ulangi dengan dosis lebih besar bila perlu natrium bikarbonat 1mEq/kg IV, jika henti
jantung lebih dari 2 menit. Ulangi dosis ini setiap 10 menit sampai timbul denyut nadi.
Monitor dan normalkan pH arteri. Berikan cairan IV menurut indikasi.
Sulfas atropin, sebagai dosis tunggal 3 mg atropin cukup untuk menimbulkal blokade
tonus vagal secara menyeluruh, dan hanya digunakan sekali bila terjadi asistol. Juga
diindikasikan pada bradikardi simtomatik dengan dosis 0,5 – 1 mg.
Sodium bikarbonat, pada henti jantung yang berkepanjangan dapat terjadi asidosis.
Penggunaan natrium bikarbonat sebagai buffer masih merupakan suatu yang
kontraversial, berhubungan dengan hiperosmolalitas dan produksi karbon dioksida dan
dapat memperburuk asidosis intraseluler. Namun dengan demikian penggunaan natrium
bikarbonat masih direkomendasikan (50 ml larutan 8,4%) 15 menit sejak terjadinya henti
jantung atau pH kurang dari 7,1 atau defisit basa lebih negatif dari -10.
Lidokain, digunakan pada persisten fibrilasi ventrikel atau antiaritmia. Dosis yang
diberikan 1-2 mg/kgBB, dosis maksimal 3 mg/kgBB secara iv. Bila terjadi ventrikel
fibrilasi atau ventrikel takikardi, berikan lidocain 100 mg dengan iv secara perlahan-
lahan dan diikuti infus lidokain 1-4 mg/menit. Lidokain sendiri tidak dapat mengkonversi
fibrilasi ventrikel menjadi ritme yang normal, akan tetapi mampu mengkonversi ventrikel
takikardi. Efek samping dari Lidokain dapat menyebabkan depresi miokard seperti yang
timbul pada syok kardiogenik. Dosis harus diturunkan pada pasien dengan gagal jantung
kanan karena terjadi penurunan klirens lidokain serta penumpukan lidokain yang dapat
mengakibatkan intoksikasi. Selain itu dosisi juga harus diturunkan pada pasien syok,
penderita di atas 70 tahun dan penderita penyakit hepar.
Norepinephrin (Levophed, Noradrenalin), merupakan stimulan reseptor alfa dan
vassopressor yang paling poten dan juga bekerja pada angiotensin II. Dalam RJPO,
norepinephrin diberikan dalam dosis yang sama dengan epinephrin serta berguna untuk
mempertahankan sirkulasi spontan. Pada kardiogenik syok penggunaan iv infusion
norepinephrin disertai epinephrin atau isoproterenol atau dobutamin sangat bermanfaat
untuk mengontrol normotensi, heart rate dan cardiac output. Bila norepinephrin diberikan
sebagai vasokonstriktor namun dalam jumlah yang besar, akan mempengaruhi sirkulasi
pembuluh darah ginjal dan mesenterika sehingga menimbulkan asidosis metabolik.
Pemberian norepinephrin dalam waktu yang lama merupakan kontraindikasi bagi
hipovolemik. Pada keadaan penurunan resistensi perifer dan hipotensi, norepinephrin
diberikan secara iv dengan dosis 8 mg dalam 500 cc dekstrose 5% atau dalam NaCl
0,9%, dapat dimulai dari 3 mcg/70kg/mnt. Karena efek norepinephrin sangat poten maka
harus dilakukan monitoring ketat terhadap tekanan arteri.
Dopamin, merupakan amin simpatomimetik yang menjadi prekursor dari epinephrin dan
norepinephrin. Bekerja tergantung dosis, bila dosisnya rendah, akan bekerja sebagai
inotropik jantung atau beta reseptor stimulan. Bila dosis tinggi ia akan bekerja sebagai
vasokonstriktor atau alfa reseptor stimulan. Responnya bersifat individual tergantung
pada dosis dan cepatnya pemberian. Potensi vasopresornya kurang dibandingkan
norepinephrin. Pemberian dopamin dalam meningkatkan tekanan perfusi pada
kardiogenik atau septik syok diberikan secara infus dengan dosis 2-20 mcg/kgBB/mnt.
Pemberian ditingkatkan sampai ada respon dari tekanan arteri dan diuresis yang cukup.
Pada kasus RJPO dopamin dipilih sebagai vasopresor utama setelah epinephrin tidak
berpengaruh pada pasien. Efek samping dari dopamin yaitu takikardi, meningkatkan
kebutuhan oksigen miokard dan rekurensi ventrikuler takikardi. Dopamin hidroklorida
diberikan secara iv dengan dosis 400 mcg dopamin dalam 500 ml Dekstrose 5% atau
dalam NaCl 0,9% (800 mcg/ml).
Dobutamin, merupakan derivat sintetik dari isoproterenol yang bekerja terutama sebagai
stimulan beta reseptor, di mana sangat bermanfaat pada terapi gagal jantung. Dobutamin
memiliki keuntungan lebih dibandingkan dengan isoproterenol, epinephrin dan dopamin
dalam meningkatkan kontraksi jantung pada pasien post bypass pembuluh
kardiopulmonal dan mempertahankan sirkuasi setelah RJPO. Pada kardiogenik syok yang
refrakter, dobutamin hidroklorida diberikan secara iv dengan dosis 2,5-10 mcg/kgBB/mnt
(maksimun 20 mcg/kgBB/mnt).
Isoproterenol (Isuprel, isoprenaline), merupakan simpatomimetik sintetik amin yang
bekerja pada stimulan beta reseptor (inotropik dan vasodilator) dan inotropik yang poten
sehingga meningkatkan cardiac output serta meningkatkan kebutuhan oksigen miokard.
Pada pasien dengan infark miokard hendaknya tidak digunakan isoproterenol, karena
akan semakin meningkatkan kebutuhan oksigen miokard. Isoproterenol juga merupakan
kontraindikasi pada pasien takidisritmia. Pada penggunaan untuk bradikardi, diberikan
dosis 1 mg dalam 500 ml (2 mcg/ml) secara iv dengan kecepatan 0,02-0,2
mcg/kgBB/mnt. Infus ini mempertahankan heart rate 60 x/mnt. Pada pasien dengan status
asmatikus isoproterenol diberikan karena efek kerjanya pada beta reseptor sebagai
bronkodilator.
Nitroprussid, bekerja secara langsung mendilatasi arteri dan vena. Walaupun nitroprussid
tidak mempunyai peran untuk memperbaiki cardiac arrest dan kompresi jantung, namun
dapat berperan untuk menurunkan resistensi perifer vasskuler dan sebagai venodilator
dalam meningkatkan cardiac output dan maintenance dari krisis hipertensi. Dosis yang
diberikan adalah 0,5 – 10 mcg/kg BB/menit dengan dosis rata-rata kurang dari 3mcg/kg
BB/menit. Cairannya harus ditutupi dengan aluminium foil karena dapat berubah oleh
rangsangan cahaya.
Nitrogliserin, merupakan vasodilator klasik yang berguna untuk memperbaiki angina
pektoris, dan saat ini digunakan juga untuk menurunkan preload dan afterload dari vena
perifer, mendilatasi arteri sebagai alternatif dari nitroprussid. Dosis diberikan secara iv,
50 mg/250 mL. Untuk memperbaiki angina pektoris diberikan 0,3 – 0,4 mg sublingual,
diulang 3 kali dengan interval 5 menit. Onsetnya akan tercapai dalam waktu 5 menit dan
akan menurun dalam waktu 30 menit.
Steroid, digunakan pada cardiac arrest dimana bekerja untuk menstabilkan membran
lisosom, mencegah pengeluaran histamin, sebagai vasodilator dan melindungi
permeabilitas kapiler. Dosis yang besar digunakan pada edema serebral, status asmatikus,
yaitu mertil prednisolon 1 mg/kg BB atau deksametason 0,2 mg/kgBB iv, diulang /6jam
sampai 48 jam dan diturunkan dosisnya selama 1-2 minggu. Pada pasien syok septik
direkomendasikan pemberian metilprednisolon 5-30 mg/kg BB iv.
Amiodarone, menghasilkan blokade calcium channel dan memperpanjang potensial aksi
miokard dan blokade beta. Rutin diberikan selama henti jantung dan merupakan obat
pilihan kedua setelah henti jantung takiaritmia. Diberikan secara perlahan, dosis awal 300
mg, 1 jam berikutnya dengan infus 900 mg dalam 1000 ml dekstrose 5% selama 24 jam.
Bretylium tosylate, menghasilkan kestabilan durasi potensial aksi pada miokardium. Hal
ini meningkatkan tahanan pada ventrikular fibrilasi dan menurunkan ambang defibrilasi.
Namun demikian obat ini menyebabkan hipotensi paska resusitasi.
Magnesium, merupakan hal penting dalam stabilitas sel miokard. Penggunaan
magnesium pada henti jantung belum dapat dibuktikan namun berguna ketika terjadi
hipokalemia sebagai penyebab henti jantung. Dapat diberikan 10 ml 50% MgSO4 pada
kasus-kasus ini.
Kalsium, diberikan sebagai indikasi khusus pada proteksi terhadap hiperkalemia atau
pada Calsium channel blocker overdose. Pada keadaan di mana kalsium serum di atas 6
mmol/l 10 ml kalsium 10% harus diberikan.
Cairan yang tepat untuk mengatasi kehilangan darah atau plasma darah biasanya ringer
laktat (3 – 4 x volume darah hilang), diikuti koloid (1x penambahan volume darah hilang),
diikuti dengan sediaan PRC atau WB untuk mengembalikan hematokrit sampai 30%. Diatesa
hemoragik paling baik diterapi dengan FFP atau FWB. Untuk pemberian cairan dan memenuhi
kebutuhan glukosa tubuh diperlukan infus D5% dalam NaCl 0,9% dengan menggunakan rumus
Holiday Segar yaitu :
Dewasa 30-40 ml/kgBB/24 jam
Anak < 10 kg : 100 ml/kgBB/24 jam
10-20 kg : 1000 + 50 (BB-10kg) /24 jam
> 20 kg : 1500 + 20 (BB-10kg) /24 jam
Fibrillation Treatment
Dilakukan biasanya pada tempat khusus (CICU, ICU, dll) dimana diberikan terapi shock
listrik. Defibrilator terdiri dari sumber energi, konversi AC/DC, suatu kapasitor dan padel
elektroda. Pada defibrilator modern terdapat EKG monitor melalui padel atau pada lead yang
dihubungkan dengan defibrilaltor. Energi yang dihantarkan ke jantung bergantung juga pada
ketebalan dinding dada pasien dimana dinding dada berperan menghambat penghantaran energi
yang diberikan. Secara empiris pemberian energi awal yang diberikan 200 Joule sebanyak dua
kali dan diikuti pemberian energi sebesar 360 J. Saat pemberian energi, harus diperhatikan letak
dari paddle, dimana terdapat dua padle yaitu padle sternum dan apeks. Jika gambaran EKG telah
sesuai dengan indikasi defibrilasi, pemberian energi tiga kali berturu-turut harus dilakukan
kurang dari 90 detik sesuai dengan algoritma BHL. Jika diantara tiga kali pemberian energi
tidak tampak perubahan pola pada EKG, maka tidak perglu dilakukan pemeriksaan nadi diantara
satu siklus defibrilasi tersebut.
Irama jantung yang menyebabkan henti jantung atau cardiac arrest dapat dibagi menjadi 2
kelompok:
1. Ventrikular Fibrillation (VF)/Pulseless Ventrikular Tachycardia
2. Asystole dan Pulseless Electrical Activity (PEA)/Electromechanical Dissociation (EMD).
Perbedaan pokok penanganan kedua kelompok adalah pemberian defibrilasi untuk kelompok
pertama. Penanganan lain seperti kompresi dada, penanganan jalan nafas dan ventilasi,
pemasangan jalur IV, pemberian adrenalin dan identifikasi serta koreksi penyebab dilakukan
pada kedua kelompok.
Electrocardiography
EKG, yaitu monitor denyut jantung. Teknik monitoring EKG selama RJPO:
1. Mempertahankan airway dengan menjaga ventilasi dan lakukan kompresi dada luar
2. Pasang elektroda pada dada pasien untuk mengetahui dengan cepat diagnosis EKG. Bila
terdapat ventrikular tekikardi atau ventrikular fibrilasi, berikan shock terapi (hentikan
kompresi dada luar untuk sementara untuk mendapatkan gambaran EKG yang optimal).
3. Segera pasang elektroda pada ekstremitas. Lead II pada tangan kanan (-), kaki kiri (+),
tangan kiri sebagai ground. Polaritas dibutuhkan untuk diagnosis tepat dari EKG, namun
tidak diperlukan untuk mengetahui adanya ventrikular fibrilasi atau defibrilasi.
4. Bila telah timbul sirkulasi spontan dan perfusi telah stabil, pindahkan elektroda yang di
ekstremitas ke dada pasien, modifikasi lead V5 di bawah klavikula kanan (-), interkosta 5
sebelah kiri/apex (+), bawah klavikula kiri sebagai ground.
5. Modifikasi lead VI: bawah klavikula kiri (-), interkosta ke-4 sebelah kanan (+), bawah
klavikula kanan sebagai gruond. Lead VI diperuntukkan untuk mengidentifikasi PVCs.
3. Resuscitation Council (UK)
Urutan Basic life support Pada Dewasa
Basic life support (BLS) terdiri dari urutan tindakan sebagai berikut:
1. Pastikan korban, penonton (orang yang berdiri didekat korban), dan kamu aman
2. Periksa respon korban
Goncangkan bahu korban secara gentle dan panggil dengan suara yang keras,
apakah anda baik-baik saja?
3. A. Jika korban berespon:
meninggalkan korban pada posisi seperti kamu menemukannya menyediakan
tidak ada bahaya lebih lanjut
Coba untuk mencari apakah ada bahaya yang mengancam korban dan minta
bantuan jika diperlukan
Menilai korban secara reguler
3. B. Jika tidak berespon
Teriak minta bantuan
Palingkan korban pada posisi terlentang dan kemudian buka Airway (jalan napas)
dengan teknik head thilt and chin lift, yaitu:
o Tempatkan tangan kamu diatas dahi korban dan miringkan (dorong)
belakang kepala korban secara gentle
o Dengan ujung-ujung jari kamu dibawah titik dagu korban angkat dagu
untuk membuka airway.
4. Jaga Jalan napas agar tetap terbuka, Look, Listen, and Feel (lihat, dengar dan rasakan)
apakah korban bernapas normal.
Lihat pergerakan dada
Dengarkan suara pernapasan pada mulut korban
Rasakan hembusan udara pada pipimu
Pada beberapa menit pertama setelah cardiac arrest (henti jantung) korban mungkin hampir
tidak bernapas, atau mengambil napas yang infrekuen, berisik, megap-megap. Ini sering
diistilahkan agonal breathing dan tidak harus dipusingkan dengan pernapasan normal. Look,
Listen, and Feel harus tidak lebih dari 10 detik untuk menentukan apakah korban bernapas secara
normal. Apabila kamu merasa ragu apakah pernapasan normal, bertindaklah sebagaimana jika
pernapasan tidak normal
5. A. Jika dia bernapas secara normal :
Palingkan badan korban ke recovery position
Panggil bantuan pelayanan ambulans dengan menggunakan HP. Jika tidak
memungkinkan, kirim orang lain yang ada didekat korban. Meninggalkan korban
hanya jika tidak ada cara mendapatkan bantuan yang lain adalah mungkin
Lanjutkan untuk memeriksa bahwa pernapasan masih normal. Jika ada keraguan
apapun tentang keberadaan pernapasan normal, mulai CPR (5B).
5. B. Jika korban tidak bernapas secara normal :
Suruh seseorang untuk memanggil bantuan ambulans membawa AED jika ada.
Jika kamu sendirian, gunakan HP mu untuk memanggil bantuan ambulans.
Meninggalkan korban hanya ketika tidak ada pilihan lain yang ada untuk
mendapatkan bantuan.
Mulai kompresi dada sebagai berikut:
o Lutut kamu berada di sisi korban.
o Letakan tumit dari satu tangan di tengah dada korban ( yaitu di bagian
setengah (1/2) bawah dari sternum korban)
o Tempatkan tumit tangan kamu yang lainnya diatas tangan pertama.
o Jari-jari tanganmu saling mengunci dan usahakan bahwa tekanan tidak
diberikan diatas tulang rusuk korban. Tidak memberikan tekanan apapun
diatas upper abdomen atau di ujung bawah sternum.
o Posisikan dirimu sendiri secara vertical diatas dada korban dan, dengan
kedua lenganmu lurus, tekan ke bawah pada sternum sedalam 5-6 cm.
o Setelah setiap kompresi, lepaskan semua tekanan pada dada tanpa
kehilangan kontak diantara tanganmu dengan sternum korban. Ulangi
pada kecepatan 100-120 kali permenit.
o Kompresi dan pelepasan harus menggunakan jumlah waktu yang sama.
6. A. Kombinasi kompresi dada dengan rescue breath (napas bantuan)
Setelah 30 kompresi buka lagi jalan napas menggunakan head tilt and chin lift.
Jepit bagian lunak dari hidung korban agar lubang hidung menutup, menggunakan
jari telunjuk dan ibu jari tangan kamu pada dahi.
Biarkan mulut korban terbuka, tetapi pertahankan dagu korban tetap terangkat.
Ambil napas normal dan tempatkan bibirmu disekitar mulut korban, yakinkan
bahwa mulutmu telah menutup mulut korban dengan baik.
Tiupkan secara teratur dan mantap ke dalam mulut korban sambil melihat dada
korban mengembang/naik; gunakan waktu sekitar satu detik untuk membuat dada
korban naik seperti pada pernapasan normal; ini berarti pernapasan bantuan
adalah efektif.
Pertahankan head tilt and chin lift, lepaskan mulutmu dari mulut korban dan lihat
dada korban turun ketika udara keluar.
Ambil napas normal berikutnya dan tiupkan ke dalam mulut korban sekali lebih
banyak untuk memberikan total dua napas bantuan efektif. Dua napas bantuan ini
jangan mengambil waktu lebih dari 5 detik. Kemudian kembalikan tanganmu
tanpa menunda untuk posisi yang benar pada sternum dan berikan 30 kompresi
dada berikutnya.
Lanjutkan dengan kompresi dada dan napas bantuan pada rasio 30:2
Berhenti untuk memeriksa kembali korban hanya jika korban mulai
memperlihatkan tanda-tanda mendapatkan kembali kesadaran, seperti batuk,
membuka matanya, berbicara, atau bergerak dengan maksud tertentu dan mulai
bernapas secara normal; kalau tidak jangan menghentikan resusitasi.
Jika initial rescue breath dari setiap rangkaian tidak membuat dada naik seperti
pernapasan normal, kemudian sebelum tindakan kamu selanjutnya coba:
Periksa mulut korban dan keluarkan obstruksi apapun yang yang dapat terlihat.
Periksa kembali bahwa head tilt and chin lift cukup.
Jangan mencoba lebih dari dua napas setiap kali sebelum mengembalikan
kompresi dada
Jika ada lebih dari satu penolong, yang lainnya harus melakukan CPR kira-kira setiap
1-2 menit untuk mencegah kelelahan. Usahakan minimal dalam menunda selama
pergantian penolong dan jangan menghentikan kompresi dada
s
6. B. CPR hanya dengan kompresi
Jika kamu tidak terlatih atau segan/tidak bersedia untuk memberikan napas
bantuan berikan hanya kompresi dada.
Jika hanya diberikan kompresi dada, ini harus terus menerus pada kecepatan 100-
120 kali permenit.
Berhenti untuk memeriksa kembali korban hanya jika korban mulai
memperlihatkan tanda-tanda mendapatkan kembali kesadaran, seperti batuk,
membuka matanya, berbicara, atau bergerak dengan maksud tertentu dan mulai
bernapas secara normal; kalau tidak jangan menghentikan resusitasi.
7. Melanjutkan resusitasi sampai:
Bantuan yang memenuhi syarat tiba dan mengambil alih,
Korban mulai memperlihatkan tanda-tanda mendapatkan kembalikesadaran,
seperti batuk, membuka matanya, berbicara atau bergerak dengan maksud
tertentu, dan mulai bernapas secara normal, atau
Kamu menjadi kelelahan.
Urutan Basic Life support pada Pediatrik
1. Usahakan keamanan penolong dan dan anak
2. Periksa responsiveness anak
Stimulasi anak secara gentle dan panggil dengan suara keras, apakah kamu baik-
baik saja?
Jangan menggoncang bayi, atau anak-anak dugaan injuri spinal cervical.
3. A. Jika anak merespon dengan menjawab atau begerak:
Tinggalkan anak pada posisi seperti kamu menemukannya (sediakan dia tidak
dalam bahaya selanjutnya)
Periksa kondisi korban dan panggil bantuan jika diperlukan
menilai korban secara reguler
3. B. Jika anak tidak berespon:
Berteriak untuk memanggil bantuan
Posisikan anak terlentang dan buka jalan napas menggunakan head tilt and chin
lift:
o Letakan tanganhmu pada dahi korban dan dorong belakang kepalanya.
o Dengan ujung-ujung jarimu dibawah titik dagu anak, angkat dagu. Jangan
mendorong pada soft tissue dibawah dagu karena cara ini bisa menyumbat
jalan napas.
o Jika kamu masih kesulitan untuk membuka jalan napas, coba metode jaw
trust: letakan dua jari pertama dari setiap tanganmu dibelakang setiap sisi
dari mandibula anak (tulang rahang) dan dorong rahang ke depan.
Mempunyai low threshold untuk menduga injuri leher. Jika kamu menduga
ini, coba membuka jalan napas menggunakan chin lift atau atau jaw thrust
saja. Jika ini tidak berhasil, tambahkan head tilt dengan jumlah kecil pada
suatu waktu sampai jalan napas terbuka. Menegakan jalan napas terbuka
menjadi prioritas diatas masalah mengenai cervical spine.
4. Menjaga airway (jalan napas) terbuka, Look, Listen, and Feel untuk pernapasan normal
dengan meletakan wajahmu mendekati wajah anak dan melihat sepanjang dada :
Lihat (Look) untuk pergerakan dada
Dengarkan (Listen) pada hidung dan mulut anak untuk suara pernapasan
Rasakan (Feel) untuk aliran udara pada pipimu
Dalam beberapa menit pertama setelah cardiac arrest anak mungkin bernapas
infrekuent, noisy, megap-megap. Jangan membingungkan ini dengan pernapasan
normal. Look, Listen and Feel tidak lebih dari 10 detik sebelum memutuskan. Jika
kamu mengalami keraguan apapun apakah pernapasan normal, bertindaklah seperti
jika pernapasan adalah tidak normal.
5. A. Jika anak bernapas secara normal
Posisikan anak pada recovery position
Mengirim atau pergi memanggil bantuan. Panggil petugas emergensi yang
relevan. Meninggalkan anak hanya jika tidak ada cara mendapatkan bantuan
lainnya adalah mungkin.
Periksa untuk pernapasan normal dilanjutkan
5. B. Jika pernapasan tidak normal atau absen
Dengan hati-hati keluarkan apapun yang menyumbat jalan napas
Berikan 5 initial rescue breaths ( 5 napas bantuan awal).
Ketika melakukan napas bantuan perhatikan jika ada respon muntah atau batuk
terhadap tindakan kamu. Adanya respon-respon ini, atau absennya respon-respon
ini akan membentuk bagian dari pemeriksaan tanda-tanda kehidupan yang kamu
lakukan.
Napas bantuan untuk anak-anak > 1 tahun
Usahakan head tilt and chin lift.
Jepit bagian yang lunak dari hidung korban dengan jari telunjuk dan ibu jari
tanganmu pada dahi korban.
Buka mulut korban sedikit, tetapi pertahankan tetap chin lift.
Ambil satu napas dan letakan bibirmu sekitar mulut korban, yakinkan bahwa
mulutmu telah menutup mulut korban dengan baik.
Tiupkan secara teratur ke dalam mulut korban sekitar 1-1.5 detik cukup untuk
membuat dada dapat terlihat naik.
Pertahankan head tilt and chin lift, lepaskan mulutmu dari korban dan lihat dada
korban turun ketika udara keluar dari paru.
Ambil napas berikutnya dan ulangi rangkaian ini 4 kali selanjutnya. Identifikasi
keefektifan dengan melihat bahwa dada anak naik dan turun mirip seperti
pergerakan yang dihasilkan oleh napas normal.
Napas bantuan untuk bayi:
Usahakan posisi netral pada kepala bayi (kepala bayi biasanya fleksi ketika
terlentang, ini mungkin memerlukan beberapa ekstensi) dan lakukan chin lift.
Ambil napas dan tutupi mulut dan hidung bayi dengan mulutmu, yakinkan bahwa
mulutmu telah menutup/melingkupi mulut dan hidung korban dengan baik.
Jika hidung dan mulut tidak dapat tidak dapat ditutupi pada bayi yang lebih tua,
penolong bisa mencoba untuk menutup/melingkupi hidung atau mulut saja
dengan mulutmu (jika hidung yang digunakan, tutup bibir ntuk mencegah udara
bocor ke luar.
Tiup secara teratur ke dalam mulut dan hidung bayi selama 1-1,5 detik cukup
untuk membuat dada terlihat mengembang.
Pertahankan posisi kepala dan chin lift, lepaskan mulutmu dari korban dan lihat
dada korban turun ketika udara keluar dari paru.
Ambil napas berikutnya dan ulangi rangkaian ini 4 kali selanjutnya.
Untuk bayi dan anak-anak, jika kamu kesulitan mendapatkan napas yang efektif, jalan
napas mungkin tersumbat, maka :
Buka mulut anak dan keluarkan sumbatan apapun yang terlihat. Jangan
melakukan finger sweep yang tidak terlihat.
Usahakan bahwa headtilt and chin lift cukup tapi leher tidak ekstensi berlebihan.
Jika head tilt and chin lift tidak dapat membuka jalan napas, coba metode jaw
thrust
Lakukan sampai 5 usaha untuk mendapatkan napas yang efektif. Jika masih tidak
berhasil, beralih ke kompresi dada.
6. Periksa sirkulasi anak (tanda-tanda kehidupan):
Lakukan tidak lebih dari 10 detik
Periksa tanda-tanda kehidupan. Ini termasuk pergerakan apapun, batuk, atau
pernapasan normal (bukan napas irregular, megap-megap atau infrekuen).
Jika kamu memeriksa denyut nadi, lakukan tidak lebih dari 10 detik:
o Pada anak usia > 1 tahun. Rasakan denyut nadi carotid di leher.
o Pada bayi. Rasakan denyut nadi brachial pada bagian dalam dari lengan
atas.
o Untuk bayi dan anak denyut nadi femoral di inguinal (daera tengah diantara
spina iliaka anterior superior (SIAS) dan simfisis pubis) dapat digunakan.
7. A. Jika kamu yakin bahwa kamu dapat mendeteksi tanda-tanda sirkulasi dalam 10 detik,
maka :
Lanjutkan napas bantuan, jika perlu, sampai anak mulai bernapas secara efektif
dengan tanpa bantuan.
Posisikan anak pada recovery position jika mulai bernapas secara efektif tapi
masih belum sadar.
Periksa lagi anak dengan sesering mungkin
B. Jika tidak ada tanda-tanda kehidupan, kecuali kalau pasti bahwa kamu dapat
merasakan denyut nadi pasti > 60 kali per menit dalam 10 detik.
Mulai kompresi dada
Kombinasi kompresi dada dengan napas bantuan
Untuk semua anak kompresi dada dilakukan pada ½ bawah sternum:
Untuk mencegah kompresi pada upper abdomen, tentukan Xiphisternum dengan
menemukan sudut dimana lower ribs joint di tengah. Kompresi sternum dilakukan
1 jari diatasnya.
Jangan takut memberikan tekanan yang terlalu keras . Tekan “kuat dan cepat”.
Lepaskan tekanan secara komplit, kemudian ulang hingga 100-120x/menit.
Setelah 15x kompresi, lakukan maneuver “head tilt,chin lift” dan berikan 2x nafas
bantuan.
Lanjutkan kompresi dan nafas bantuan dengan rasio 15:2
Kompresi dada pada bayi
Jika penolong hnaya sendiri, kompresi sternum dilakukan dengan menggunakan
ujung dua jari.
Jika terdapat dua atau lebih penolong, gunakan teknik yang melingkar (encircling
technique).
- tempatkan 2 ibu jari sejajar, bersebelahan, pada ½ bawah sternum.
- lingkarkan jari yang lain pada bagian belakang tubuh bayi.
- tekan bagian bawah sternum dengan ibu jari dengan kedalaman minimal 1/3 dari
diameter dada bayi.
Kompresi dada pada anak usia diatas 1 tahun:
Tempatkan tumit telapak tangan diatas ½ bawah dari sternum
Angkat jari-jari untuk meyakinkan bahwa tekanan tidak mengenai seluruh tulang
rusuk anak
Posisikan dirimu secara vertical diatas dada korban dengan posisi lengan yang
lurus, berikan kompresi sternum 1/3 dari kedalaman dinding dada.
Pada anak yang lebih besar atau penolong yang kesl, lebih mudah dengan
menggunakan kedua tangan dengan jari yang saling mengunci.
8. Lanjutkan resusitasi hingga:
Anak memperlihatkan tanda-tanda kehidupan (bernafar normal, batuk, pergerakan
atau denyut nadi yang pasti > 60x/ menit)
Hingga bantuan medis datang
Penolong merasa kelelahan
Life Support Jangka Panjang
Sebagai tindak medis kita harus memikirkan jangka panjang mengenai pemeliharaan
kehidupan dalam jangka panjang. Hal berikut meliputi:
G = Gaughing, yaitu penilaian untuk menentukan dan memberikan terapi selanjutnya
sampai penderita dapat diselamatkan.
H = Human Mentation, yaitu rehabilitasi yang diharapkan untuk memulihkan fungsi
otak normal setelah dilakukan tindakan resusitasi Jantung Paru Otak.
I = Intensif Care, yaitu tindakan perawatan intensif (Resusitasi Jangka Panjang) yang
ditekankan pada fungsi otak penderita Post Cardiac Arrest dengan kemungkinan adanya multiple
organ failure.
Tanda-tanda Berhasilnya Resusitasi
Tanda-tanda berhasilnya resusitasi yaitu:
1. Perubahan warna kulit penderita dari biru menjadi merah
2. Kulit penderita relatif hangat dibanding sebelumnya
3. Bernafas spontan dan adekuat
4. Teraba denyut pembuluh nadi pada pembuluh nadi pergelangan (a.Radialis) maupun
arteri leher (a.Carotis communis) dan pagkal paha (a.Femoralis)
5. Pupil tetap kecil dan refleks terhadap cahaya positif
Komplikasi akibat resusitasi jantung paru
Komplikasi akibat resusitasi jantung paru, yaitu:
1. Patah tulang iga karena kemungkinan rapuhnya tulang penderita atau karena pijatan yang
terlalu kuat.
2. Hadirnya udara atau darah di dalam rongga dada
3. Terdapatnya udara di dalam peritoneum
4. Kerusakan jaringan paru-paru, esofagus, pleura, pericardium, hati, lambung, limpa dll.
5. Kerusakan susunan saraf baik saraf tepi maupun saraf pusat
Penghentian RJP
Resusitasi Jantung Paru dihentikan bila :
Keadaan terminal dari suatu penyakit
Waktu dimulai RJP penderita tetap tidak sadar, tidak ada nafas spontan dan reflek muntah
,pupil tetap midriasis , di bawah pengaruh obat hipnotik atau anestesi umum
Penolong kelelahan
Jika datang pertolongan yang lebih ahli
KESIMPULAN
Resusitasi jangka panjang sangat penting diberikan pada pasien yang mengalami henti
nafas dan henti jantung. Tindakan RJPO yang terdiri dari Bantuan Hidup Dasar, Bantuan Hidup
Lanjut dan Bantuan Hidup Jangka Panjang sebaiknya dipahami oleh lapisan masyarakat umum
terutama praktisi medis.
Tindakan dasar yang harus diketahui tetap harus dilakukan kepada mereka yang
memerlukan bantuan. Perubahan pada RJPO akan selalu diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Hal
ini sesuai dengan penelitian pada masing-masing negara atas indikasi kejadian yang terjadi di
negara masing-masing. Dalam hal itu, perbaharuan tindakan RJPO berlangsung dan akan sesalu
diamati untuk perbaikan pelayanan kesehatan di seluruh indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
2010 American Heart Association Guidelines for CPR and Emergency Cardiovascular Care Comparison Chart of Key Changes
John M. Field, Part 1: Executive Summary: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S640-S656.
Robert A. Berg, et al. Part 5: Adult Basic Life Support: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation2010;122;S685-S705.
Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation 2010;122;S676-S684
New AHA guidlines for resuscitation.http://www.exomedindonesia.com /referensi-kedokteran/artikel-ilmiah-kedokteran/jantung-dan-pembuluh-darah-cardiovaskular/2010/11/06/cpr-abc-to-cba-new-aha-guidlines-for-resuscitation/
European Resuscitation Council Guidelines for Resuscitation 2010
Resucitasion council (UK). 2010 Resucitation guidelines. London. 2010