romi novriadi_pemantauan kesehatan ikan dan lingkungan pancur tower 22 april 2015

15
LAPORAN PERJALANAN DINAS PEMANTAUAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA PANCUR TOWER, KECAMATAN SEI BEDUK KOTAMADYA BATAM 22 APRIL 2015 DISUSUN OLEH : 1. ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim, M.Sc 2. MUTIA NUR HAYATI, S.Pi 3. SAIPUL BAHRI, S.St.Pi 4. DESTRY AGINTA NAINGGOLAN, S.St.Pi 5. REZA DARZONA, A.Md 6. ADE HARWONO, A.Md BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015

Upload: romi-novriadi

Post on 19-Dec-2015

16 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan kelayakan usaha budidaya di sentra produksi ikan lele Pancur Tower, Kelurahan Sungai Beduk, Kotamadya Batam. Pengamatan dilakukan pada tanggal 22 April 2015 di dua lokasi budidaya yang fokus pada pengembangan usaha budidaya ikan lele. Pengambilan sampel air dilakukan dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008 untuk parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pH berada pada kisaran 7,2 – 7,5, salinitas 0 ‰ dan Nitrit Kata kunci: Pancur Tower, Kualitas Air, Dactylogyrus sp, Vaksin, Sistem FilterisasiThe objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture activity of Pancur Tower as the catfish production center, Sub District Sungai Beduk, Batam. The study was conducted on 22 April 2015 at two aquaculture sites which focus on catfish production. Integrated water sampling was used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study also performed an interview to collect the aquaculture activities data from the farmers. The results shows that pH ranged from 7,2 – 7,5, salinity 0 ‰ and Nitrite Key words: Pancur Tower, Water quality, Dactylogyrus sp, Vaccine, Filterisation System

TRANSCRIPT

LAPORAN PERJALANAN DINAS PEMANTAUAN KESEHATAN IKAN DAN LINGKUNGAN DAN KELAYAKAN USAHA BUDIDAYA PANCUR TOWER, KECAMATAN SEI BEDUK KOTAMADYA BATAM 22 APRIL 2015

DISUSUN OLEH : 1. ROMI NOVRIADI, S.Pd.Kim, M.Sc 2. MUTIA NUR HAYATI, S.Pi 3. SAIPUL BAHRI, S.St.Pi 4. DESTRY AGINTA NAINGGOLAN, S.St.Pi 5. REZA DARZONA, A.Md 6. ADE HARWONO, A.Md

BALAI PERIKANAN BUDIDAYA LAUT BATAM DIREKTORAT JENDERAL PERIKANAN BUDIDAYA KEMENTERIAN KELAUTAN DAN PERIKANAN 2015

IDENTIFIKASI KELAYAKAN USAHA, KUALITAS LINGKUNGAN DAN HAMA

PENYAKIT IKAN DI SENTRA BUDIDAYA IKAN LELE PANCUR TOWER

KOTAMADYA BATAM

Romi Novriadi, Mutia Nur Hayati, Saipul Bahri, Destry A.N, Reza Darzona dan Ade Harwono

A B S T R A K

Kegiatan pemantauan ini bertujuan untuk menilai kondisi kualitas perairan, penyakit dan

kelayakan usaha budidaya di sentra produksi ikan lele Pancur Tower, Kelurahan Sungai Beduk,

Kotamadya Batam. Pengamatan dilakukan pada tanggal 22 April 2015 di dua lokasi budidaya

yang fokus pada pengembangan usaha budidaya ikan lele. Pengambilan sampel air dilakukan

dengan metoda gabungan tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008 untuk

parameter pH, salinitas, suhu, kedalaman, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) dan

kekeruhan. Metoda pemantauan juga dilakukan dengan metoda wawancara untuk mendapatkan

informasi terkini tentang pengelolaan budidaya ikan. Hasil pemantauan menunjukkan bahwa pH

berada pada kisaran 7,2 – 7,5, salinitas 0 ‰ dan Nitrit < <0.1 mg/L. Sementara Ammonia (NH3)

berada pada kisaran 0,03 – 2,88 mg/L, Posfat (PO4) 0,355 mg/L, suhu 30,5 – 31,3 ⁰C dan

kekeruhan 16,27 – 39,85 NTU menjadi faktor pembatas dalam keberlanjutan produksi. Hasil uji

mikrobiologi menunjukkan bahwa ikan budidaya bebas dari infeksi bakteri namun positif

terinfeksi oleh parasit Dactylogyrus sp. Distribusi vaksin Aeromonas sp dan aplikasi sistem

filterisasi sangat dibutuhkan untuk meningkatkan hasil produksi

Kata kunci: Pancur Tower, Kualitas Air, Dactylogyrus sp, Vaksin, Sistem Filterisasi

A B S T R A C T

The objective of the present study was to examine the water quality, diseases and aquaculture

activity of Pancur Tower as the catfish production center, Sub District Sungai Beduk, Batam.

The study was conducted on 22 April 2015 at two aquaculture sites which focus on catfish

production. Integrated water sampling was used based on SNI No. 6989.57:2008 for pH, salinity

temperature, water depth, ammonia (NH3), nitrit (NO2), posfat (PO4) and turbidity. This study

also performed an interview to collect the aquaculture activities data from the farmers. The

results shows that pH ranged from 7,2 – 7,5, salinity 0 ‰ and Nitrite <0.1 mg/L. Meanwhile

Ammonia (NH3) ranged from 0,03 – 2,88 mg/L, Posphate (PO4) 0,355 mg/L, temperature ranged

from 30,5 – 31,3 ⁰C and turbidity 16,27 – 39,85 NTU become a limited factor in order to support

the production. The microbiology test showed that fish are free from bacteria infection, but

positively infected by Dactylogyrus sp. The distribution of Aeromonas vaccine and the

application of filterisation system are urgently needed in order to increase the production

Key words: Pancur Tower, Water quality, Dactylogyrus sp, Vaccine, Filterisation System

I. Pendahuluan

Industri budidaya yang dapat dikategorikan sebagai salah satu sektor penyedia pangan yang

berkembang cukup pesat, saat ini memiliki kontribusi hampir 50 % dari ketersediaan produk

perikanan di pasar dunia (FAO, 2012). Kontribusi positif ini diharapkan dapat terus meningkat

dan dapat menjadi pendukung program ketahanan pangan khususnya dalam mengantisipasi

ledakan jumlah penduduk yang pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 9 milyar orang

(World Bank, 2013). Namun, beberapa peneliti telah mengungkapkan bahwa keberadaan

mikroorganisme patogen dalam media pemeliharaan dan degradasi kualitas lingkungan, baik

yang disebabkan oleh gangguan alam ataupun tindakan manusia diyakini dapat menjadi faktor

pembatas dalam menjamin keberlanjutan produksi (Novriadi et al., 2014; Subasinghe et al.,

2001) dan bahkan dapat berdampak kepada penurunan jumlah produksi ikan budidaya di seluruh

dunia (Hill, 2005). Oleh karena itu, sangat diperlukan sebuah sistem yang dapat mencegah serta

membatasi penyebaran hama dan penyakit ikan di wilayah unit produksi.

Menurut Ditkesling (2010), status kesehatan ikan dalam suatu kawasan merupakan informasi

yang diperlukan dalam suatu sistem pengendalian penyakit terlebih apabila dikaitkan dengan

kegiatan perdagangan hewan akuatik antar daerah dan antar negara. Sudah menjadi persepsi

umum bahwa apabila terjadi suatu wabah penyakit di sebuah kawasan sentra produksi, maka

masyarakat memberikan justifikasi bahwa seluruh ikan yang dibudidayakan didaerah tersebut

telah terinfksi penyakit. Ketiadaan aktivitas kajian epidemiologi dan informasi tentang status

kesehatan ikan dan lingkungan ecara berkala dan konsisten akibat tidak optimalnya fungsi

pemantauan menjadikan pihak pembudidaya mengalami kerugian.

Kajian yang dilakukan melalui kegiatan monitoring dan survailan mampu memberikan

informasi perihal zonasi penyakit sehingga tindakan pemusnahan atau larangan terhadap

aktivitas perdagangan ikan hanya dilakukan terhadap daerah atau zona yang telah terinfeksi atau

terindikasi terinfeksi. Dalam banyak kasus munculnya wabah penyakit infeksius, kondisi

lingkungan perairan yang permisif bagi patogen justru dapat juga bertindak sebagai faktor

imunosupresif terhadap status kesehatan tubuh ikan. Sehingga harmonisasi antara ketiga bio-

sistem (inang, patogen dan lingkungan) menjadi terganggu, dan secara multiplikatif akan

berperan sebagai faktor yang berperan penting terhadap munculnya penyakit atau wabah

penyakit (Taukhid, 2010)

Efektivitas kegiatan survailan tentu tidak terlepas dari dukungan informasi, sumber daya

manusia, sarana, prasarana dan dana yang memadai serta dilakukan secara terpadu dengan

melibatkan semua komponen baik pusat maupun daerah serta para pembudidaya ikan. Dalam

melakukan kegiatan pemantauan seyogyanya memiliki persepsi dan panduan umum yang sama,

serta dilakukan secara integratif dan koordinatif. Sehingga masing-masing komponen dapat

saling melengkapi, dan pada akhirnya akan memperkuat sistem monitoring nasional. Untuk

mendukung tindakan pengendalian dini terhadap masuknya wabah penyakit dalam sistem

produksi, Balai Perikanan Budidaya Laut Batam sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya menunjukkan komitmen yang kuat untuk memperoleh

informasi akurat khususunya dalam hal sebaran penyakit dan kelayakan usaha budidaya melalui

kegiatan pemantauan yang rutin dilakukan di wilayah administratif Kota Batam.

1. Metodologi

2.1 Pelaksanaan kegiatan

Kegiatan pemantauan ini dilakukan di wilayah Pancur Tower, Kecamatan Sei Beduk,

Kotamadya Batam pada tanggal 22 April 2015. Kegiatan pemantauan yang dilakukan di wilayah

Pancur Tower merupakan kegiatan peninjauan dan pengamatan kesehatan ikan, lingkungan dan

kelayakan usaha budidaya secara langsung di lokasi survey yang disertai dengan aktivitas

pengumpulan informasi, pengambilan sampel dan pemeriksaan lanjutan di laboratorium sesuai

dengan tujuan yang telah dibangun.

2.2 Pengambilan contoh

Metoda pengambilan contoh air di lokasi pemantauan dilakukan menurut metode gabungan

tempat (integrated) berdasarkan SNI No.6989.57:2008, sementara metoda pengambilan contoh

ikan dilakukan secara purposive random sampling yang merupakan metoda pemilihan sampel

untuk kepentingan tertentu (FAO, 2004). Program pengambilan sampel juga dilakukan dengan

mempertimbangkan jalur masuk agen pencemar atau penyakit ke lingkungan laut, periode

pemaparan dan mekanisme transport di badan air (Syakti, et al., 2012).

2.3 Preparasi Sampel

Penanganan sampel dilakukan dengan memasukkan sampel air kedalam botol plastik tanpa

gelembung udara dan selanjutnya diberi nama sampel dan lokasi pengambilan. Sampel air yang

telah diberi label dipindahkan ke dalam kotak polystyrene yang mengandung es dan

dipertahankan pada suhu 40 C. Untuk identifikasi mikrobiologi, sampel yang diperoleh dari unit

produksi budidaya dimasukkan kedalam plastik berisikan oksigen dengan komposisi oksigen dan

air 3 : 1 dan dilakukan secara tertutup menurut SNI 7306:2009.

2.4 Analisa Data

Analisa distribusi penyakit, kualitas lingkungan dan kelayakan usaha budidaya dilakukan melalui

tiga tahapan, yakni tahapan pre site, on site dan post site. Tahapan pre site merupakan tahapan

pengumpulan data untuk memperoleh informasi tentang keragaan budidaya dan kesehatan ikan

melalui studi literatur dan pencermatan dokumen hasil kegiatan pada periode pemantauan

sebelumnya. Tahapan on site dilakukan dengan melakukan analisa penyakit ikan, kualitas

lingkungan, diagnosa klinis dan data primer sistem produksi budidaya di lokasi pemantauan pada

saat kegiatan dilakukan. Parameter kualitas lingkungan yang diukur di lapangan (in situ) meliputi

parameter: pH (derajat keasaman), oksigen terlarut (DO), suhu, kedalaman dan kadar garam air.

Sementara data primer usaha budidaya diperoleh melalui wawancara dan pencermatan dokumen

terkini tentang kegiatan usaha budidaya. Tahapan post site dilakukan untuk analisa kualitas air

lanjutan di laboratorium (ex situ) yang meliputi parameter Kekeruhan, Ammonia (NH3), Nitrit

(NO2), Nitrat (NO3) dan Posphat (PO4) dengan menggunakan metode turbidimetri,

spektrofotometri dan kolorimetri. Tahapan analisa post site juga dilakukan untuk identifikasi

parasit dan bakteri secara konvensional serta deteksi Virus dengan menggunakan metoda

Polymerase Chain Reaction (PCR)

2. Hasil dan Pembahasan

3.1 Kondisi umum lokasi pemantauan

Kecamatan Sungai Beduk merupakan salah satu Kecamatan dari 12 (Dua Belas)

Kecamatan yang ada di wilayah administratif Kota Batam. Kecamatan ini dibentuk bersamaan

dengan pembentukan Kota Batam berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 dan memiliki

4 (empat) kelurahan, yakni: (1) Kelurahan Muka Kuning, (2) Kelurahan Mangsang, (3)

Kelurahan Tanjung Piayu dan (4) Kelurahan Duriangkang. Berdasarkan geografis, Kecamatan

Sei Beduk terletak diantara 0º55 – 1º55 Lintang Utara dan 103º45 – 104º10 Bujur Timur dan

berbatasan dengan Kecamatan Batam Kota di bagian utara, Kecamatan Bulang di bagian selatan,

Kecamatan Sagulung di bagian barat dan Kecamatan Nongsa di bagian timur.

Gambar 1. Lokasi pemantauan di wilayah Pancur Tower, Kecamatan Sungai Beduk, Kotamadya

Batam

Berdasarkan informasi yang diperoleh dari buku profil Kota Batam, wilayah Kecamatan

Sungai Beduk memiliki beberapa pulau dengan penyebaran penduduk yang lebih merata

dibandingkan dengan Kecamatan lainnya di wilayah administratif Kota Batam. Persentase

permukaan tanah didominasi oleh tanah dataran sebanyak 85% dan perbukitan sebanyak 15 %.

Secara umum, Kecamatan Sungai Beduk memiliki iklim tropis dengan suhu minimum berkisar

antara 21,3 ⁰C – 23, 6 ⁰C dan suhu maksimum berkisar antara 31,5 ⁰C – 34,2 ⁰C, sedangkan suhu

rata-rata sepanjang tahun berkisar antara 26,2 ⁰C hingga 28,2 ⁰C. Mayoritas mata pencarian

masyarakat Kecamatan Sungai Beduk adalah karyawan industri, dagang, petani dan nelayan.

Banyaknya Usaha Pertanian Berdasarkan Hasil Sensus Pertanian 2013 di Kecamatan Sungai

Beduk terdiri atas 1.201 Rumah Tangga Pertanian dan 2 skala perusahaan dengan kontribusi

sebesar 9,9 % dari seluruh aktivitas pertanian di Kota Batam. Sementara untuk kegiatan

perikanan, baik tangkap maupun budidaya tidak terdokumentasi dengan baik.

Lokasi Pemantauan

3.2 Data keragaan budidaya

Data keragaan budidaya yang ditampilkan berikut merupakan data yang diperoleh pada

saat pemantauan yang dilakukan di dua titik, yakni milik Bp. Sihite dan Bp. Iwan. Kedua unti

lokasi budidaya berada di kawasan Pancur Tower, Kecamatan Sungai Beduk, Kota Batam.

Tabel 1. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Sihite

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Sihite

2 Nomor kontak 081372115505

3 Lokasi budidaya Desa Pancur Tower, Kecamatan Sungai Beduk, Kotamadya

Batam

4 Luas budidaya ± 7 unit kolam tanah berukuran 4 x 6 m

5 Struktur Kolam Tanah dengan terpal dan kayu sebagai penyangga dinding

kolam

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi ± 3 ton

8 Jenis komoditas Lele Clarias gariepinus; Nila O. niloticus

8 Asal benih Batam dan hasil produksi mandiri

9 Padat tebar ± 5000 ekor / unit kolam

10 Waktu tebar Sepanjang tahun

11 Tingkat kelulushidupan Tinggi namun sangat dipengaruhi oleh suhu dan iklim

12 Jumlah kematian Pada saat musim penghujan, kematian bisa mencapai kisaran 40

– 50%. Bahkan pada saat pemantauan, pemilik unit usaha

mengaku mengalami kematian total akibat curah hujan dan

suplai air yang rendah

13 Sejarah penyakit Umumnya terjadi pada masa transisi antara musim penghujan

dan kemarau (Maret – April). Pada masa ini, infeksi Aeromonas

sp dan degradasi kualitas air gampang ditemui

14 Upaya pengendalian

penyakit

Mengandalkan vaksin Aeromonas sp dengan merk dagang

CapriVac Aero L yang didistribusikan pada tahun 2013

15 Bobot serangan Pada masa transisi cukup tinggi

16 Taksiran kerugian ± Rp. 15.000.000 / siklus

17 Pakan Cacing Tubifex sp (harga Rp. 40.000 – 50.000/kg) untuk larva

Pelet Feng Li (9.500 /kg)

18 Biosekuriti Negatif

19 Sertifikat Tidak ada, baik untuk unit usaha maupun benih yang digunakan

20 Mekanisme pasar Seluruh hasil produksi dijual ke pengumpul dari Batam dengan

harga Rp. 20.000/Kg (pada saat pemantauan dilakukan)

21 Harapan Diperlukan bantuan pemerintah utamanya terkait cara budidaya

ikan lele yang baik dan obat-obatan, seperti Vaksin yang

menurut para pembudidaya cukup efektif dalam mengurangi

tingkat kematian ikan

Kolam pemeliharaan induk lele Kolam pendederan ikan lele

Vaksin Aeromonas sp yang digunakan Pengambilan data di lokasi pemantauan

Sumber air yang digunakan untuk produksi Unit kolam yang lama tidak digunakan

Tabel 2. Data keragaan budidaya di lokasi pertama pemantauan milik Bp. Iwan

No Data primer Keterangan

1 Nama pemilik Bp. Iwan

2 Nomor kontak 081364714161

3 Lokasi budidaya Desa Pancur Tower, Kecamatan Sungai Beduk, Kotamadya

Batam

4 Luas budidaya ± 9 unit kolam tanah berukuran 2 x 4 m

5 Struktur Kolam Tanah dengan terpal dan kayu sebagai penyangga dinding

kolam

6 Tingkat teknologi Sederhana

7 Kapasitas produksi Estimasi volume optimal untuk satu siklus produksi ± 3 ton

8 Jenis komoditas Lele Clarias gariepinus

8 Asal benih Batam dan hasil produksi mandiri

9 Padat tebar ± 3000 ekor / unit kolam

10 Waktu tebar Sepanjang tahun

11 Tingkat kelulushidupan Tinggi namun sangat dipengaruhi oleh suhu dan iklim

12 Jumlah kematian Pada saat musim penghujan, kematian bisa mencapai kisaran 40

– 50%. Bahkan pada saat pemantauan, pemilik unit usaha

mengaku mengalami kematian total akibat curah hujan dan

suplai air yang rendah

13 Sejarah penyakit Umumnya terjadi pada masa transisi antara musim penghujan

dan kemarau (Maret – April). Pada masa ini, infeksi Aeromonas

sp dan degradasi kualitas air gampang ditemui

14 Upaya pengendalian

penyakit

Pemberian Vitamin dan vaksin Aeromonas sp dengan merk

dagang CapriVac Aero L yang didistribusikan pada tahun 2013

15 Bobot serangan Pada masa transisi cukup tinggi

16 Taksiran kerugian ± Rp. 15.000.000 / siklus

17 Pakan Cacing Tubifex sp (harga Rp. 40.000 – 50.000/kg) untuk larva

Pelet Feng Li (9.500 /kg)

18 Biosekuriti Negatif

19 Sertifikat Tidak ada, baik untuk unit usaha maupun benih yang digunakan

20 Mekanisme pasar Seluruh hasil produksi dijual ke pengumpul dari Batam dengan

harga Rp. 20.000/Kg (pada saat pemantauan dilakukan)

21 Harapan Pada musim kemarau, distribusi air untuk produksi sangat

minim. Kondisi tersebut memaksa Bp. Iwan untuk

menghentikan produksi sambil menunggu kontribusi air

kembali normal. Masyarakat sangat mengharapkan perhatian

Pemerintah Daerah untuk memberikan pembuatan sumur bor

atau subsidi untuk penggunaan air

Sosok Bp. Iwan pemilik Usaha Sumur sebagai sumber air produksi

Kultur cacing Tubifex sp Pengambilan data kualitas lingkungan

Aktivitas produksi yang terhenti akibat

minimnya suplai air

Kolam produksi yang dimiliki Bp. Iwan

Topografi daratan di wilayah Pancur Tower yang relatif tinggi berdampak kepada

minimnya suplai air, khususnya pada musim kemarau seperti yang diamati pada saat

pemantauan. Berdasarkan informasi yang tercantum pada Tabel 1 dan tabel 2 diketahui bahwa

unit produksi yang umumnya dilakukan secara mandiri dengan mengandalkan teknologi yang

dapat dikategorikan sederhana ini sangat bergantung kepada ketersediaan air yang berkelanjutan.

Minimnya ketersediaan air berdampak kepada berhentinya siklus produksi dan tingginya

kematian ikan akibat frekuensi pergantian air yang tidak optimal.

Dilihat dari aspek teknis budidaya, ketersediaan benih untuk mendukung keberlanjutan

produksi dapat diatasi melalui produksi mandiri ataupun melalui panti benih ikan lele yang

cukup banyak tersebar di Kota Batam. Namun, kendala utama yang dialami para pembudidaya

selama fase produksi adalah tingginya harga cacing Tubifex sp yang menjadikan biaya produksi

dan harga jual benih ikan juga ikut mengalami peningkatan. Disamping hal tersebut, keberadaan

mikroorganisme patogen dan degradasi kualitas lingkungan diyakini menjadi salah satu faktor

pembatas untuk keberlanjutan produksi. Hal ini terlihat dari tingginya tingkat mortalitas akibat

infeksi mikroorganisme patogen yang ditandai dengan produksi lendir yang berlebihan, gerakan

renang tidak normal, nafsu makan berkurang dan timbulnya bintik putih pada permukaan kulit

ikan. Degradasi kualitas lingkungan juga ditandai dengan bloomingnya alga didalam media

pemeliharaan, bau yang menyengat dan tingkat kekeruhan yang tinggi.

Berdasarkan hasil uji laboratorium terhadap sampel ikan yang diperoleh pada saat

pemantauan diketahui bahwa ikan positif terinfeksi parasit Dactylogyrus sp dan tidak ditemui

adanya infeksi bakteri pada media kultur. Parasit merupakan organisme yang hidupnya dapat

menyesuaikan diri dengan inangnya atau bahkan dapat merugikan organisme yang ditempelinya

(inang). Berdasarkan letak organ yang terinfeksi oleh parasit, mikroorganisme ini dapat dibagi

menjadi 2 kelompok yang berbeda yaitu ektoparasit dan endoparasit. Ektoparasit adalah parasit

yang melekat pada bagian permukaaan tubuh, sementara endoparasit adalah parasit yang hidup

di dalam tubuh inang, seperti saluran pencernaan, hati dan organ lain.

Menurut Yuasa et al., (2003). Parasit ini termasuk Phylum

Platyhelminthes, Class Monogenea, berbentuk memanjang,

memiliki panjang ± 0,3–1 mm, memiliki jangkar pada ujung

posterior dan 2 pasang bintik mata pada ujung anterior. Parasit

ini teridentifikasi pada ikan sampel dengan tingkat infeksi

sedang. Menurut Sachlan (1952), Ikan yang terserang

Dactylogyrus sp umumnya akan menunjukkan gejala klinis

seperti badan kurus, berenang menyentak-nyentak, tutup insang

tidak dapat menutupi dengan sempurna karena insangnya rusak,

dan kulit ikan tidak bening lagi. Disamping hal tersebut, ikan

yang terinfeksi parasit ini akan menunjukkan frekuensi

pernafasan yang terus meningkat, produksi lendir berlebih,

insang yang terserang berubah warnanya menjadi pucat dan berwarna keputih-putihan.

Pemicu infeksi parasit Dactylogyrus sp. ini adalah kepadatan pemeliharaan yng tinggi dan

asupan pakan yang minim. Parasit cacing ini termasuk parasit yang perlu diperhatikan, karena

secara dapat merusak filament insang, dan relatif lebih sulit dikendalikan. Penyakit ini sangat

berbahaya karena biasanya menyerang ikan bersamaan dengan parasit lain. Berdasarkan kegiatan

pemantauan diketahui bahwa umumnya para pembudidaya di wilayah Pancur Tower melakukan

penebaran dengan tingkat padat tebar yang cukup tinggi dan disertai dengan frekuensi pergantian

air yang tidak optimal. Kondisi ini memberikan konfirmasi tentang tingginya tingkat kematian

yang dialami oleh para pembudidaya sebagai akibat dari tidak optimalnya penerapan cara

budidaya ikan yang baik.

3.3 Data kualitas lingkungan

Dalam banyak kasus munculnya wabah penyakit infeksius, kondisi lingkungan perairan

yang permisif bagi patogen justru berlaku pula sebagai imunosupresif terhadap status kesehatan

tubuh ikan. Sehingga harmonisasi antara ketiga biosistem (inang, patogen dan lingkungan)

menjadi terganggu, dan secara multiplikatif akan berperan sebagai faktor pendorong bagi

munculnya penyakit. Oleh karena itu, pada kegiatan pemantauan ini dilakukan pengambilan

sampel air di dua lokasi unit budidaya untuk memperoleh konfirmasi perihal munculnya wabah

penyakit.

Tabel 3. Karakteristik kualitas air di lokasi pemantauan, Lokasi 1 merujuk pada unit KJA milik

Bp. Sihite dan Lokasi 2 merujuk pada unit produksi milik Bp. Iwan

Parameter Satuan Hasil Uji Kualitas Air

Metoda Analisa Lokasi 1 Lokasi 2

Air kolam Air sumber Air kolam

pH* 7,2 7,5 7,4 SNI 06-6989.11-2004

Suhu* ⁰C 30,5 31,3 30,9 Elektrometri

Kedalaman* m 1 1 1 Bathimetri

Salinitas* g/L 0 0 0 Refraktometri

Nitrit (NO2) mg/L < 0,1 < 0,1 < 0,1 Kolorimetri

Ammonia (NH3) mg/L 0,16 0,03 2,88 IKM/5.4.6/BBL-B

Posfat (PO4) mg/L < 0,1 < 0,1 0.355 IKM/5.4.8/BBL-B

Kekeruhan NTU 16.27 21.75 39.85 IKM/5.4.9/BBL-B

Keterangan: * : Analisa dilakukan di lokasi pemantauan (In situ)

Kegiatan pemantauan juga meliputi proses pengambilan dan analisa sampel, sehingga

informasi yang diperoleh tidak hanya bersifat kualitatif namun juga bersifat kuantitatif.

Berdasarkan data-data kuantitatif tersebut akan diketahui dinamika dari masing-masing jenis

patogen yang menjadi perhatian dalam kegiatan budidaya perikanan. Berdasarkan data yang

tersaji pada Tabel 3 diketahui bahwa kondisi kualitas air di dua lokasi pemantauan mengalami

fluktuasi khususnya untuk parameter pH (derajat keasaman), suhu, Ammonia (NH3), Posfat

(PO4) dan kekeruhan.

Suhu merupakan parameter yang cukup penting dalam sistem budidaya utamanya karena

karakteristik dasar organisme akuatik sebagai hewan poikiloterm dimana suhu tubuhnya akan

naik turun mengikuti perubahan suhu yang ada pada lingkungan (Brotowidjoyo et al., 1995).

Disamping hal tersebut, suhu juga mempengaruhi proses fisiologis ikan (Hoar et al., 1979),

tingkah laku (Bal and Rao, 1984), proses metabolisme, reproduksi (Hutabarat dan Evans,

1985; Efendi, 2003), eskresi ammonia (Wheathon et al., 1994) dan peningkatan sistem

kekebalan tubuh (Nabib dan Pasaribu, 1989). Perubahan suhu juga berpengaruh terhadap

konsentrasi oksigen terlarut dalam media pemeliharaan. Semakin tinggi suhu semakin cepat

perairan mengalami kejenuhan akan oksigen yang mendorong terjadinya difusi oksigen dari air

ke udara, sehingga konsentrasi oksigen terlarut dalam perairan semakin menurun. Sejalan dengan

hal tersebut, konsumsi oksigen pada ikan menjadi menurun dan berakibat kepada tidak

optimalnya sistem metabolisme dan siklus energi.

Hasil pengukuran suhu di dua lokasi pemantauan menunjukkan bahwa suhu pada media

air pemeliharaan berada pada kisaran 30,5 ⁰C - 30,9 ⁰C. Sementara hasil pengukuran suhu pada

air sumur bor sebagai sumber air untuk produksi berada pada level 31,3 ⁰C. Perbedaan ini dapat

dimaklumi mengingat rendahnya level air yang tersisa di dalam sumur bor dan tingginya tingkat

paparan matahari. Effendi (2003) mengatakan bahwa, suhu perairan berhubungan dengan

kemampuan pemanasan oleh sinar matahari, waktu dalam hari dan lokasi perairan dimaksud.

Pernyataan ini didukung oleh Hutabarat (2000) yang mengatakan bahwa air lebih lambat

menyerap panas tetapi akan menyimpan panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Menurut

Cahyono (2009), suhu optimal untuk pemeliharaan ikan lele berada pada kisaran 20 – 30 ⁰C.

Bila dikorelasikan dengan suhu air di lokasi pemantauan, diketahui bahwa suhu berada pada

kisaran yang tidak optimal dan hal ini tentu akan berdampak kepada penurunan aktivitas makan

ikan. Tingkat toleransi ikan terhadap perubahan suhu lingkungan sangat tergantung pada jenis

dan spesies ikan dimaksud. Perubahan suhu yang sifatnya tiba-tiba dan ekstrim akan

mengakibatkan ikan menjadi stress dan menjadikan ikan sebagai organ target infeksi yang

potensial bagi mikroorganisme patogen.

Pengukuran in situ terhadap variabel pH di dua lokasi pemantauan menunjukkan adanya

perbedaan nilai pH yang berada pada kisaran 7, 2 – 7,4 dalam media pemeliharaan dan 7,5 untuk

air didalam sumur bor. Pada budidaya ikan lele, konsentrasi pH yang dipersyaratkan berada pada

kisaran 6,5 – 8 (Khairuman et al., 2008) dan nilai pH tang ideal untuk organisme akuatik

umumnya berada pada kisaran 7 sampai 8,5 (Barus, 2002). Berdasarkan data yang diperoleh

diketahui bahwa nilai pH baik di dalam media pemeliharaan ataupun pada air di dalam sumur

bor masih berada dalam kisaran yang cukup optimal bagi pemeliharaan ikan lele. Dalam sistem

budidaya, parameter pH merupakan salah satu parameter penting untuk dianalisa dan diketahui

karena sebahagian besar organisme akuatik sangat sensitif terhadap perubahan nilai pH. Menurut

Wongteerasupaya et al. (1995), faktor pemicu timbulnya penyakit pada komoditas ikan

budidaya disamping rendahnya suhu air dan pengelolaan sistem produksi yang kurang baik

adalah adanya fluktuasi pH harian yang cukup besar.

Analisa laboratorium yang dikombinasikan dengan pengamatan in situ menunjukkan

bahwa kedalaman, salinitas dan nitrit (NO2) memiliki konsentrasi yang sama di dua lokasi

pemantauan. Hasil analisa menunjukkan bahwa kedalaman kolam berada pada level 1 m, kadar

garam 0 ‰ dan konsentrasi nitrit (NO2) < 0,1 mg/L. Tingkat pengambilan nitrit di dalam air oleh

sistem metabolisme ikan melalui insang sangat bergantung pada rasio nitrit-klor di dalam air

(Svobodova, et al, 1993). Bila konsentrasi kloridanya lebih rendah 6 kali dari konsentrasi nitrit,

maka nitrit akan mampu melewati membran insang, bila kurang maka terjadi sebaliknya (Van

Wyk & Scarpa, 1999). Tingkat racun nitrit juga dipengaruhi oleh ion bikarbonat, natrium dan

ion lainnya, namun efeknya tidak sebesar akibat adanya klor di dalam air.

Parameter Ammonia memiliki perbedaan yang cukup signifikan di dua lokasi

pemantauan dan juga di air sumber. Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 3, diketahui

bahwa konsentrasi ammonia di kolam milik Bp. Sihite berada pada konsentrasi 0,16 mg/L

sementara di lokasi pemeliharaan milik Bp. Iwan berada pada level 2,88 mg/L. Kondisi yang

lebih baik ditunjukkan oleh air didalam sumur bor yang menunjukkan konsentrasi Ammonia

berada pada level 0,03 mg/L. Menurut Khairuman et al (2008), konsentrasi ammonia yang

diperoleh dari kolam milik Bp. Iwan cukup tinggi dan dikategorikan sebagai konsentrasi yang

tidak layak dalam mendukung pertumbuhan ikan lele. Tingginya konsentrasi ammonia dapat

terjadi akibat minimnya frekuensi pergantian air selama masa pemeliharaan atau akumulasi dari

konsentrasi ammonia yang ada dalam air sumber. Ammonia di dalam air ada dalam bentuk

molekul (non disosiasi/unionisasi) NH3 dan ada dalam bentuk ion ammonia (disosiasi) dalam

bentuk NH4+. Kedua bentuk ammonia tersebut sangat bergantung pada kondisi pH dan suhu air.

Dinding sel tidak dapat ditembus oleh ion ammonia (NH4+), akan tetapi ammonia (NH3) akan

sangat mudah melewati jaringan jika konsentrasinya tinggi dan berpotensi menjadi racun bagi

tubuh ikan. Tingkat racun dari ammonia selain karena faktor pH juga dipengaruhi oleh

kandungan oksigen di dalam air. Molekul air dengan nilai pH rendah maka yang dominan adalah

ammonium (NH4+), sebaliknya bila nilai pH tinggi yang dominan adalah ammonia (NH3).

Menurut Molleda (2007), umumnya spesies ikan air tawar masih toleran terhadap total ammonia

hingga 1,0 mg/L, namun pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat menyebabkan iritasi insang

dan gangguan pernafasan.

Kandungan Posfat (PO4) dalam media pemeliharaan di dua lokasi pemantauan memiliki

hasil yang secara nyata sangat berbeda. Jika di lokasi milik Bp. Sihite, konsentrasi Posfat berada

dibawah nilai deteksi, konsentrasi Posfat di dalam media pemeliharaan milik Bp. Iwan berada

pada konsentrasi 0,355 mg/L. Menurut Effendi (2003), sebagian besar fosfat berasal dari

masukan bahan organik melalui darat berupa limbah industri maupun domestik (detergen).

Namun, kegiatan industri budidaya juga dapat berperan penting bagi peningkatan konsentrasi

Posfat dalam media pemeliharaan (Novriadi et al., 2014b). Berdasarkan hasil pemantauan

diketahui bahwa konsentrasi Posfat dalam media air pemeliharaan ikan lele milik Bp. Iwan

dikategorikan sebagai tidak layak karena telah berada diatas baku mutu air yang dipersyaratkan

untuk optimalisasi pertumbuhan. Kandungan Posfat yang tinggi akan sangat mengganggu proses

metabolisme bahkan dapat menyebabkan kematian pada ikan budidaya (Ebeling et al., 2006).

Menurut Lestari et al., (2015), penggunaan filter dapat secara nyata menurunkan konsentrasi

Posfat dalam media pemeliharaan. Lebih jauh dijelaskan bahwa filter arang aktif memiliki

kemampuan paling tinggi untuk menurunkan konsentrasi Posfat yakni hingga 0,02675 mg/L

sementara media filter zeolit mampu menurunkan kadar Posfat hingga 0,021 mg/L.

Hasil pengukuran terhadap variabel kekeruhan menunjukkan hasil yang cukup bervariasi

dengan konsentrasi yang cukup tinggi. Nilai kekeruhan di unit produksi milik Bp. Sihite berada

pada level 16,27 NTU, sementara di lokasi milik Bp. Iwan memiliki level 39,85 NTU dan

bahkan di air sumber yang digunakan oleh Bp. Iwan sudah memiliki level kekeruhan yang cukup

tinggi 21,75 NTU. Kondisi kekeruhan menggambarkan sifat optik air yang ditentukan

berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat di

dalam air (Novriadi, 2013). Kekeruhan umumnya disebabkan oleh bahan organik dan anorganik

yang tersuspensi dan terlarut di dalam air, seperti akumulasi lumpur dan pasir halus dalam air

(Davis dan Cornwell, 1991). Berdasarkan pemantauan tim Kesehatan Ikan dan Lingkungan

BPBL Batam tingkat kekeruhan di dalam media pemeliharaan ataupun di air sumber sangat

tinggi dan dapat dikategorikan sebagai media pemeliharaan yang tidak layak untuk produksi ikan

lele. Menurut Lloyd (1985) adanya peningkatan nilai kekeruhan pada perairan dangkal ataupun

pesisir sebesar 25 NTU dapat mengurangi 13 – 15% produktivitas primer di lingkungan tersebut.

Salah satu tindakan pengendalian untuk dapat meminimalisir tingkat kekeruhan dalam media

pemeliharaan adalah dengan melakukan proses filterisasi terhadap sumber air yang digunakan,

baik dengan menggunakan sistem filter mekanik ataupun kombinasi sistem filterisasi dengan

menambahkan filter biologi.

IV. Kesimpulan

Berdasarkan kegiatan pemantauan yang telah dilaksanakan di wilayah Pancur Tower,

Kecamatan Sungai Beduk, Kotamadya Batam diketahui bahwa:

1. Distribusi vaksin Aeromonas sp dengan merk dagang CapriVac Aero L cukup efektif

menekan tingkat mortalitas akibat infeksi Aeromonas

2. Identifikasi parasit dan bakteri pada sampel ikan lele Clarias sp menunjukkan bahwa ikan

terinfeksi oleh Dactylogyrus dan tidak terinfeksi oleh bakteri

3. Hasil analisa kualitas air menunjukkan bahwa parameter pH, kedalaman, salinitas dan

nitrit (NO2) berada dalam kondisi optimal, namun parameter Suhu, Ammonia, Posfat dan

kekeruhan, khususnya di kolam milik Bp. Iwan dikategorikan tidak layak untuk

mendukung keberlanjutan produksi perikanan budidaya.

Daftar pustaka

Bal. D.V and K. V. Rao. (1984). Marine Fisheries. Tata McGraw-Hill Publishing Company Limited,

New Dehli.

Barus, T.A. (2002). Pengantar Limnologi. Universitas Sumatera Utara. Medan

Brotowijoyo, M. D., Dj. Tribawono., E. Mulbyantoro. (1995). Pengantar Lingkungan Perairan dan

Budidaya Air. Penerbit Liberty, Yogyakarta

Cahyono, B. (2009). Budidaya Lele dan Betutu: Ikan langka bernilai tinggi. Pustaka Mina. Jakarta

Davis, M.L dan Cornwell, D.A. (1991). Introduction to environmental engineering. Second edition.

McGraw Hill, Inc. New York. 822p

Ebeling, J.M., Welsh, C.F., Rishel, K.L. (2006). Performance evaluation of an inclined belt filter using

coagulation / flocculation aids for the removal of suspended solids and phosphorus from

microscreen backwash effluent. Aquaculture engineering (35): 61-77

Effendi. H. (2003). Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Penerbit

Kanisius, Yogyakarta.

FAO. (2012). The state of world fisheries and aquaculture 2012. FAO Fisheries and Aquaculture

Department. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome.

FAO. (2004). Fish marketing and credit in Viet Nam. In FAO Fisheries Technical Paper ID: 167171.

Fisheries and Aquaculture Department.p. 1-3

Hoar, W. S., D. J. Randall and J. R. Brett. (1979). Fish Fisiology : Bioenergenetic and Growth.

Academic Press, Florida.

Hutabarat, S dan S. M. Evans. (1995). Pengantar Oceanografi. Universitas Indonesia Press, Jakarta.

Khairuman., Amri, K., Sihombing, T. (2008). Budidaya lele dumbo di kolam terpal. Agromedia

Pustaka. Jakarta

Lestari, N.A.A., Diantari, R., Efendi, E. (2015). Penurunan posfat pada sistem resirkulasi dengan

penambahan filter yang berbeda. Jurnal rekayasa dan teknologi budidaya perairan (3): 367 - 374

Nabib, R dan F. H. Pasaribu. (1989). Patologi dan Penyakit Ikan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Novriadi, R., Agustatik, S., Bahri, S., Sunantara, D., Wijayanti, E. (2014a). Distribusi patogen dan

kualitas lingkungan pada budidaya perikanan laut di Provinsi Kepulauan Riau. Jurnal Depik 3(1),

83-90

Novriadi, R., Agustatik, S., Hendrianto., Pramuanggit, R., Wibowo, A.H. (2014b). Penyakit infeksi

pada budidaya ikan laut di Indonesia. 88 p

Novriadi, R. (2013). Studi komparasi dan dampak hasil keputusan gugatan perdata pencemaan

lingkungan budidaya ikan laut di pulau Bintan. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan, 8

(2): 41-45

Sachlan M. (1952). Notes on parasites of freshwater fishes in Indonesia. Central Inland Fisheries

Research Station 2:1-59

Subasinghe, R. dkk. (2001). Aquaculture development, health and wealth. In aquaculture in the third

millennium. Technical proceedings of the conference on aquaculture in the third millennium

(Subasinghe, R.P. et al., eds). pp. 167-191. Bangkok and FAO, NACA

Svobodova, Z., Richard, L., Machova, J., Vykusova, B. (1993). Water Quality and Fish Health. EIPAC

Technical Paper. FAO Fisheries Department

Syakti, A.D., N.V. Hidayati dan A.S. Siregar. (2012). Agen pencemaran laut. IPB Press. Bogor. p. 100.

Taukhid. (2010). Dukungan monitoring dan pemetaan sebaran jasad patogen bagi upaya pengendalian

penyakit ikan. Makalah disampaikan pada Pembahasan Pedoman Monitoring, Surveillance dan

Zoning Penykait Ikan Direktorat Kesehatan Ikan dan Lingkungan, Bogor 28 – 30 April 2010

Van Wyk, P., Scarpa, J. (1999). Water Quality Requirements and Management. Chapter 8 in . Farming

Marine Shrimp in Recirculating Freshwater Systems. Prepared by Peter Van Wyk, Megan Davis-

Hodgkins, Rolland Laramore, Kevan L. Main, Joe Mountain, John Scarpa. Florida Department of

Agriculture and Consumers Services. Harbor Branch Oceanographic Institution.

Weathon, F. W., J. N. Hochheimer., G. E. Kaiser., M. J. Krones., G. S. Libey and C. C. Easter.

(1994). Nitrification Filter Principles. M. B. Timmons and T. M. Losardo (ed). Aquaculture Water

Reuse Systems: Engineering Design and Management. Elsevier Science, Amsterdam.

Wongteerasupaya, C., J.E. Vickers, S. Sriurairatana, G.L. Nash, A. Akarajamorn, V. Boonsaeng, S.

Panyim, A. Tassanakajon, B. Withyachumnarnkul and T.W. Flegel. (1995). A non-occluded,

systemic baculovirus that occurs in the cells of ectodermal and mesodermal origin and causes high

mortality in black tiger prawn Penaeus monodon. Dis. Aquat. Org. 21:69-77

World Bank. (2013). Fish to 20130: Prospects for fisheries and aquaculture. World Bank report number

83177-GLB. Washington DC, USA