rumah adat suku bugis di makasar

31
TUGAS ASITEKTUR VENAKULER OLEH : YULI 44O901605 DOSEN IBRAHIM TOHAR.ST.MT TEKNIK ARSITEKTUR UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 45 SURABAYA

Upload: kecing-juragan-kambing

Post on 27-Jun-2015

2.599 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

TUGAS

ASITEKTUR VENAKULER

OLEH :YULI

44O901605DOSEN

IBRAHIM TOHAR.ST.MTTEKNIK ARSITEKTUR

UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 45 SURABAYA

Page 2: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

RUMAH ADAT SUKU BUGIS DI MAKASAR

LETAK DAN GEOGRAFISNYA

Populasi terbesar suku Bugis-Makassar terpusat di Provinsi Sulawesi Selatan. Provinsi Sulawesi Selatan terletak di jazirah selatan Pulau Sulawesi, yang beribukotakan di Makassar terletak antara 0°12’ – 8° Lintang Selatan dan 116°48’ – 122°36’ Bujur Timur.Secara administratif berbatasan dengan Provinsi Sulawesi Barat di sebelah utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di sebelah timur, batas sebelah barat dan timur masing-masing adalah Selat Makassar dan Laut lores.

Luas wilayah Provinsi Sulawesi Selatan tercatat 45.519,24 km2 yang secara administrasi pemerintahan terbagi menjadi 24 kabupaten dan 3 kota, dengan 296 kecamatan dan 2.946 desa/kelurahan.

Saat ini, orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, Sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. Kerajaan Luwu adalah kerajaan yang dianggap tertua bersama kerajaan Cina (yang kelak menjadi Pammana), Mario (kelak menjadi bagian Soppeng) dan Siang (daerah di Pangkajene Kepulauan).Kabupaten Luwu Utara merupakan kabupaten terluas dengan luas 7.502,68 km2 atau luas kabupaten tersebut merupakan 16,48% dari seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Sedangkan Sulawesi Selatan, 42% dari luas seluruh pulau Sulawesi atau 4,1% dari luas seluruh Indonesia.

Penduduk Sulawesi Selatan berdasarkan Biro Dekonsentrasi Bagian Kependudukan Pemprov. Sulawesi Selatan pada tahun 2008 berjumlah 7.874.439 jiwa, dengan persentase yang bersuku Bugis-Makassar sekitar 85 persen, yang tersebar di 24 kabupaten/kota, dengan jumlah penduduk terbesar yakni 1.265.521 jiwa (16,07%) mendiami Kota Makassar. Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk di Kota Makassar dimungkinkan karena terjadinya arus

Page 3: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

urbanisasi dari daerah lainnya di Sulawesi Selatan terutama untuk melanjutkan pendidikan, disamping daerah ini merupakan pusat pemerintahan dan konsentrasi kegiatan ekonomi.

Kepadatan penduduk per km2 di Sulawesi Selatan rata-rata 173 jiwa/km. Kota Makassar merupakan kabupaten/kota terpadat (7.200 jiwa/km2), menyusul Kota Parepare (1.201 jiwa/km2) kemudian Kota Palopo (842 jiwa/km2). Sedangkan kab/kota dengan tingkat kepadatan penduduk terendah yaitu kab. Luwu Timur (34 jiwa/km2), Luwu Utara (39 jiwa/km2) dan Enrekang (94 jiwa/km2). Tujuh belas (17) kabupaten lainnya rata-rata mempunyak tingkat kepadatan penduduk antara 100-500 jiwa/km2 yaitu Selayar Bulukumba, Bantaeng, Jeneponto, Takalar, Gowa, Sinjai, Maros, Pangkep, Barru, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pinrang, Tator dan Luwu.

Masyarakat Bugis-Makassar tersebar di dataran rendah yang subur dan sekitar pesisir pantai. Iklim yang adapun terbilang seimbang karena tiap tahunnya terjadi pergantian musim, yakni musim kemarau dan musim hujan. Perubahan musim yang terjadi tiap tahunnya membuat wilayah ini sebagai wilayah yang subur yang dapat ditumbuhi berbagai jenis tanaman.Baringeng merupakan salah satu Wilayah dalam kawasan Kedatuan Soppeng, baik dari suku bangsa yang mendiaminya maupun bahasa yang dimiliki sebagai alat komunikasi dalam percakapan dan pergaulan sehari-hari penduduknya, yaitu Bahasa Bugis. Bugis adalah salah satu golongan etnis atau suku bangsa dari empat golongan etnis yang tersebar mendiami daerah Selawesi Selatan ini, yaitu Bugis Makassar Toraja an Mandar.Baringen adalah merupakan salah satu kerajaan pada kerajaan Datu Soppeng dari Kerajaan dalam Wilayah Kecamatan, sekaligus sebagai pusat segala pemerintahan kecamatan / Kerajaan.Wilayah Desa Baringeng adalah salah satu Wilayah dataran dari beberapa Wilayah Kecamatan / Desa dalam Daerah Kabupaten Soppeng yang memiliki ketinggian sekitar beberapameter dari permukaan laut.Topografi, tanah hanya sedikit datar dan merupakan tempoat pemukiman pendudu setempat serta berfungsi pula sebagai lahan pertanian dan perkebunan pada bahagian Utara berbatasan dengan Kecamatn Sabbangparu Kabupaten Wajo, dimana dilalui jalan raya menuju Ibu Kota Propinsi Sulawesi Selatan (Makassar). Sepanjang jalan tumbuh pohon-pohon kelapa, dan coklat serta pisang yang tumbuh di sekitar rumah pemukiman penduduk. Karena itulah mata pencaharian penduduk Baringeng ini adlah 95% sebagai petani lahan/kebun. Selain hasil komoditi tersebut juga tersebut, juga beberapa penduduk setempat mengenal Air Enau sebagai produksi gula merah, yang diambil dari kebun-kebun yang tumbuh atau hutan-hutan di sekitarnya. Selebihnya pekerjaan penduduk ialah berusaha dalam jual beli.Jenis tanah Baringeng ini adalah Alluvial Kelabu Regosol dengan keadaan medan 60% datar, 30% berbukit, 10% bergunung. Sedangkang cura hujan adalah sekitar 2550mm/tahun. Jadi curah hujannya setiap tahun cukup tinggi.Musim hujan setiap tahun mulai sekitar bulan November sampai dengan bulan April. Sedangkan musim kemarau mulai sekitar bulan Mei sampai dengan bulan Agustus. Kawasan Baringeng inidan sekitarnya senantiasa mendapat hujan sepanjang tahun dengan hari-hari hujannya pendek.Mata pencaharian penduduk setempat, selain yang dikemukakan di atas, masih ada lagi pencaharian penduduk yang sebenarnya merupakan monopoli kaum wanita dari masyarakat Baringeng pada khususnya dan suku Bugis pada umumnya, yaitu bertenun kain sarung baik benang maupun sutra. Keterampilan menenun sarung ini merupakan pertanda keterampilan sesorang wanita Bugis.Menenun bagi orang Bugis merupakan salah satu alat pembinaan bagi anak wanita yang diharapkan nantinya dapat memiliki sikap :

Page 4: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

1. Penuh rasa tanggung jawab terhadap apa saja yang dilakukannya. 2. Tekun menghadapi sesuatu yang merupakan tanggung jawabnya. 3. Tabah dan sabar pada setiap sesuatu yang menimpanya. 4. Tidak cepat bosan terhadap sesuatu yang merupakan tanggung jawabnya.

Kesemua sifat ini harus dimiliki oleh si penenun, klarena apabila ditinggalkan salah satu di antaranya akan berakibat buruk pada tenunannya dalam arti tidak akan menjadi kain (sarung) yang menjadi tujuannya.Pada dasarnya Baringeng ini adalah salah satu kerajaan yang diperintah oleh seorang Raja yang bergelar Petta Baringeng, namun dalam perkem-bangannya ia menggabungkan diri dengan kerajaan Soppeng dengan Gelar Datu Soppeng, yang menjadi pusat kerajaan di Soppeng. System kehidupan social budaya masyarakat Baringeng saat ini nampaknya masih diwarisi oleh nilai-nilai cultural dari masa lalu (kerajaan), namun hal tersebut tiak setajam lagi sebagaimana yang berlaku masa kini, karena pengaruh pemahaman masyarakat terhadap Agama Islam, sebagai agama yang dianutnya. Salah satu warisan dari masa lalu itu ialah masih nampak nyata adanya system pelapisan social (stratifukasi social).Pitirin A. Sorokin pernah mengatakan bahwa system berlapin-lapis itu merupakan ciri yang tetap dan umum dalam setiap masyarakat yang hidup teratur (dalam Soerjono,1977). Selanjutnya Sorokim menyatakan bahwa pelapisan social adalah pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hierarkhis).Perwujudannya adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Prof.DR. Mattulada mengemukakan bahwa pelapisan masyarakat Orang Bone dan Orang Wajo (Bugis) adalah sebagai berikut :

Pelapisan Masyarakat Orang Bone (Bugis) Zaman DahuluAnak Arung To Bone (Bangsawan Orang Bone)Anak Arung Matase (Anak Bangsawan Penuh)Anak Arung Mattola (Putra/Putri Mahkota)Anak Arung Matase (Putra/Putri Raja-raja)Anak Arung (Bangsawan)Anak Arung Ribolang (Bangsawan Warga Istana)Anak Arung Sipue (Bangsawan Separuh)Anak Cera’ (bangsawan Berdarah Campuran)To Maradeka (Orang Merdeka)To Deceng (Kepala Kaum/Anang)To Sama (Rakyat Kebanyakan)Ata. (Sahaya)Ata Mana (Sahaya Warisan)Ata Mabuang (Sahaya Baru)

(Dengan Detail)

A. Anak Mattola (Anak Pewaris yang dipersiapkan untuk dapat menjadi Raja/arung)1. Anak Mattola Anak Pewaris)2. Anak Sangaji (Anak Terbilang Mulia)3. Anak Rajeng4. Anak Ceraa. Anak Cera Sawi (Anak Berdara Campuran Warga)b. Anak Cera Pua’ (anak berdarah campuran Sahaya)c. Anak Cera Ampulajeng (Anak Berdarah Campuran Sahaya Baru)d. Anak Cera Yattang Dapureng (Anak berdarah Campuran Pribadi)

Page 5: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

B. Anak Arung (Anak Bangsawan)( A. 1, 2, 3, 4 )C. Tau Deceng (Orang Baik-Baik)a. Tau Decengb. Tau Deceng KarajaD. Tau Maradeka (Warga Merdeka)a. Tau Meradeka mannennungengb. Tau Maradeka SampengiE. Ata (Sahaya)a. Ata Mana (Sahaya Warisan)b. Ata Mabuang (Sahaya Baru)

( Mattulada, Prof. DR., La Toa , 1995)

C. Rumah Tempat Tinggal dan Strata Sosial Orang Bugis

Menurut adat istiadat yang berlaku pada suku bugis, strata sosial orang dapat dilihat dari atap rumahnya. Pada atap rumah suku bugis berbentuk prisma, terdapat berbagai yang disebut dengan timpa’ laja. Berbagai model tutup bubungan inilah yang mewujudkan perbedaan strata sosial masyarakatnya.

Rumah tempat tinggal suku bugis dibedakan berdasarkan status sosial dalam suku bugis dikenal dengan istilah saoraja, salassa, dan bala. Saoraja raja, yang terdiri dari dua kata yaitu : sao berarti, gelar rumah raja dan raja berarti : besar besar, atau raja, penguasa. Jadi saoraja adalah rumah raja (penguasa). Yang ditempati oleh raja dan keturunannya atau kaum bangsawan. Sedangkan bala, adalah gelar rumah yang ditempati oleh orang maradeka atau orang biasa.

Bila dilihat dari segi bangsawannya, kedua jenis rumah (tempat tinggal) ini, tidak mempunyai perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada status penghuninya dan ukuran rumahnya.

Masalah rumah bugis serta yang bersangkut paut dengan rumah menurut kepercayaan / adat bugis. Dari ketaerangan La Ceppaga seorang Panrita Bola (70 – th) Alamat kampung Garessi Desa Lipukasi Kecamatan Tanete Rilau Kab. Barru. Dikutip dari Disst. Prof. Dr. A. Zainal Abidin Farid SH.

Bentuk Rumah BugisBentuk rumah bugis : Persegi EmpatKerangka Rumah bugis : (gambar sebelah)Untuk mendirikan rumah selalu menggunakan dua arah sebagai arah yaitu timur dan barat.Kalau rumah menghadap ke timur, maka letaknya : rumah terdiri dari : 4 tiang ke samping (dari kiri ke kanan). No. 1-2-3-4. dan 4 tiang ke belakang (dari depan ke belakang). No. I-II-III-IVTiang 1 = I adalah tiang tempat bersadarnya tangga yang mempunyai sifat laki-laki karena tangga adalah tempat lalu lintas mencari dan membawa rezeki dari sang pria (Kepala Rumah Tangga) untuk sang wanita (Ibu rumah tangga). Tiang II+2 adalah tiang pusat yang mempunyai sifat perempuan untuk menyimpan dan mempergunakan rezeki/hasil yang diperoleh sang kepala rumah tangga. Tiang II – 2 bila hanya terbatas pada lantai, maka tiang III – 2 menggantikan fungsi fosil bola atau tiang pusat (pusar rumah).

Page 6: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Menurut kepercayaan orang bugis, mendirikan rumah adalah bagaikan menciptakan hidup baru bagi pria dan wanita, justru karena rumah itu rumah diklassifikasikan sebagai manusia. Bagaikan kehidupan sebagai pria dan wanita yaitu :

Tiang I – 1 = tempat bersandarnya tangga diumpakan pria. Tiang II – 2 atau III – 2 tiang pusat (pusar rumah) diumpakan wanita.

Dalam mendirikan rumah yang membujur ke timur diumpamakan rumah itu sebagai manusia berbaring membujur ke timur maka urutan tiang-tiangnya adalah:

I – 1, 1 – 2, 1 – 3, 1 – 4.

II – 1, II – 2, II – 3, II – 4.

III – 1, III – 2, III – 3, III – 4.a. Tiang I – 1 difiksikan sebagai kepala manusia dan inilah yang dijadikan sandaran tangga, karan fungsi kepala sebagai manusia itu diterapkan kepada rumah tersebut, menjadi fungsi tempat sandaran rumah. Tangga itulah tempat lalu lintas sang pria mencari dan membawa rezeki kepada wanita. (diumpamakan pula sebagai bagian kepala/mulut tempat masuknya makanan ke perut.b. Tiang II – 1 adalah masih merupakan bagian dari kepala, sedangkan tiang II – 2 atau III – 2 pusat rumah (fosi’ bola)

Pusat mansuia adalah bagian perut yang menyimpan makan untuk hidupnya. Sedang rumah diterapkan sebagai tempat menyimpan hasil/rezeki yang diperoleh oleh sang pria. Setelah kita mengetahui fungsi kedua tiang tersebut maka untuk mendirikan rumah maka kedua tiang inilah yang terlebih dahulu dipilih dan diteliti mutu dan sifat – sifatnya baiknya. Sifat baik dari tiang tersebut dilihat dari pusar (pangkal tangkai yang disebut pasu).

a.Kalau Tiang itu bulat maka empat tiang harus diperiksa yaituPada tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 atau III – 2 tidak boleh ada pusar yang berhadapan antara tiang I – 1 dan tiang II – 2 dan tiang II – 1 dengan tiang II – 2 atau II – 2.b. Kalau tiang tiu persegi empat dan tiang II – 2 tidak melewati lantai maka hanya tiga tiang yang harus diperiksa yaitu tiang I – 1, dan tiang I – 2, dan tiang II – 1, tidak boleh ada pusar yang berhadapan antar ketiga tiang tersebut.

ad. a dan ad. b semuanya diperiksa mulai pada arateng sampai pada padongkot.

Lantai yang terdapat diantara tiang I – 1, I – 2, II – 1 dan II – 2 adalah lantai yang suci, yaitu tempat pertama – tama harus ditempati kepala dan ibu rumah tangga bermalam semalam atau tiga malam bila rumah itu mula ditempati dan setelah itu barulah pindah ke tempat tidurnya yang telah ditentukan khusus baginya, yaitu ruang yang ke II dari depan (Lontang Tengngae).

Sedang setiap orang yang meninggal dalam rumah tersebut harus ditempatkan pada lantai tersebut (lantai suci).

Setelah tiang untuk sandaran tangga dan tiang untuk pusat rumah telah ditentukan, barulah tiang-tiang dan perkakas rumah lainnya disiapkan.

Page 7: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Tata Cara Mendirikan Rumah

1. Melubang semua tiang-tiang dan melicinkannya (mappa’ dan makkattang).Kalau tiang – tiang itu akan dilubangi dan dilicinkan maka yang pertama – tama yang harus dikerjakan ialah tiang sandaran tangga dan tiang pusar rumah setelah itu barulah alat – alat lainnya yang dikerjakan.2. Mendirikan rumah. Dalam mendirikan rumah yang pertama-tama didirikan ialah tiang dasar atau pusar rumah barulah tiang tempat sandaran tangga yang menyusul tiang – tiang lainnya. Untuk mendirikan rumah menurut kepercayaan orang bugis, kedua tiang ini mempunyai fungsi yang ketat dasn oleh karena itu di bawah tiang tersebut disimpan benda-benda sebagai berikut:a. Kaluku (kelapa)

b. Golla (gula)c. Aju Cenning (kayu manis)d. Ade Cenning (adas manis)e. Buah Palaad a, b, dan c diharapkan agar kehidupan rumah tangga selalu rukun dan bahagia dan murah rezeki.ad. d, diharapkan agar setiap anggota rumah tangga menaati aturan-aturan adat yang berlaku dalam rumah tangga itu sendiri.

Menempati Rumah Baru (Menre Bola Baru)1. Kepala dan Ibu rumah tangga bila menempati rumah baru, harus membawa ayam yaitu :Kepala rumah tangga membawa ayam betina. Ibu rumah tangga membawa ayam jantan. Setelah kepala dan ibu rumah tangga sampai diatas rumah kedua ayam tersebut dilepaskan dan tidak boleh dipotong, karena dianggap sebagai ayam penjaga rumah. Menurut kepercayaan orang Bugis, membawa ayam berarti kehidupan dan penghidupannya selalu dalam keadaan baik dan tentram, karena dalam istilah Bugis ayam adalah “Manu” diterapkan dalam kehidupan adalah manuanu mutoi atuwotuwongenna. Artinya baik-baik. Didalam menempati rumah baru Kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati tempat yang suci satu malam, lalu pindah ke tempat yang telah disediakan yaitu pada Lontang Tengga (ruang tengah).

2. Sebelum kepala rumah tangga dan ibu rumah tangga menempati rumah baru tersebut, terlebih dahulu ditempatkan buah-buahan yaitu :1. Kelapa bertandan (Kaluku mattunrung) tua dan mudah.2. Pisang bertandang (Otti Mattunrung) yang tua.3. Nangka yang tua4. Nenas yang tua5. Tebu6. Dan lain-lain yang manis-manis.ad. 2. Dengan menghubungkan buah-buahan lainnya, dicita-citakan agar kehidupan dan penghidupan rumah tangga itu baik-baik dan bahagia. Anasa- cita - cita terkabul. (rifomi-nasai).

3. Setelah upacar menempati rumah baru berlangsung, disediakanlah makanan untuk para tamu-tamu dan bahkan seisi rumah, terutamah makanan yang menurut keper-cayaan orang-orang bugis membawa penga-ruh dalam kehidupan dan penghidupan dalam rumah tangga itu, antara lain :a. Lana-lana (bedda’) kue ini adalah tepung mentah yang dicampur dengan kelapa dan gula

Page 8: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

merah. Lana-lana artinya “Mas-agena” (Longgar) = berkecukupan.b. Jompo-jompo dan Onde-onde. Kue ini dibuat dari tepung ketan, bentuknya bundar, isinya gula merah. Khusus onde-onde cara memasaknya ialah dengan memasukkannya kedalam air yang se-dang mendidih dan sebelum masak onde-onde tersebut muncul terapung di atas air.Menurut kepercayaan orang-orang Bugis, bahwa generasi di masa mendatang memper-oleh kehidupan dan penghidupan yang baik dan bahagia. Mompo – Timbul – Muncul. Upacara menempati rumah baru kadang-kadang berlangsung selama 3 sampai 7 hari berturut-turut, yang dikunjungi oleh segenap famili, bahkan segenap penduduk dalam kampung tersebut.

Macam-macam Rumah Bugis dahulu kala

1. Salassa’ atau Saoraja.Salassa’ hanya ditempati oleh arung (raja) yang memimpin pemerintahan dan lazim juga dise-but Saoraja. Saoraja dapat pula ditempati oleh Bangsawan dan/atau keturunan raja yang terdekat.2. Salassa Baringeng (lantainya rata).Salassa Baringeng (lantainya rata) yang ditempati oleh bangsawan yang disebut Anak Cera Ciceng.3. Rumah tiga petak (lantainya bertingkat) memakai tamping tassoddo’.Rumah tiga petak (lantai bertingkat) yang ditempati oleh mereka yang disebut ata simana (ata yang tidak dapat berpisah dengan raja/bangsawan dan mereka ini berhak menda-pat warisan baik materil maupun inmateril, antara lain kedudukan.4. Rumah dua petak.Rumah dua petak (Tellukkaarateng) ditempati oleh rakyat biasa termasuk:Ata mana (hamba yang dibeli atau yang dikalahkan dalam judi atau dalam perang).Ata Passaromase (hamba karena mencari kehidupan, lalu meng-hambakan diri).

Macam-macam Timpa’ Laja’

1. Salassa’ tidak terbatas banyaknya tingkatan Timpa’ Laja’nya.2. Salassa Baringeng, hanya tiga tingkatan timpa’ laja’nya.3. Rumah tiga petak, dua tingkatan timpa’ laja’nya.4. Rumah rakyat / hamba, tidak bertingkat timpa’laja’nya.Rumah orang Bugis, baik Saoraja maupun bola terdiri atas tiga bagian, ketiga bagian tersebut adalah (1) Awa Bola, (2) Ale Bola, dan (3) Rakkeang.Awa Bola adalah kolom rumah yang terletak paa bagian bawah, antara lantai dan tanah.Ale Bola adalah badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding rumah, terletak antara lantai dan loteng rumah.Rakkeang adalah bagian rumah yang paling atas, bagian ini terdiri dari loteng dan atap rumah.Pada Saoraja terdapat Timpa Laja yang bertingkat-tingkat antara tiga sampai sembilan tingkat, seperti dapat kita lihat pada Lontara Panguriseng Abbatirenna Anak Arungnge Ri Soppeng bahwa tingkat Rumah Adat Bugis ialah :I. Bocco Timpa’Laja 9 susunII. Bocco Timpa’Laja 7 susunIII. Bocco Timpa’Laja 5 susunIV. Bocco Timpa’Laja 3 susunV. Bocco Timpa’Laja Polos,

(Mattulada, Prof,DR (1995)

Page 9: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Macam Tangga Rumah Bugis.1. Safana, untuk alassa atau Saoraja dan salassa baringeng. Lazim terbuat bambu dengan lapisan/dasar bambu beranyam.Safana juga dapat digunakan oleh rakyat biasa, yang membuat rumah tambahan (sarafo) bagi upacara perkawinan. Penganting dianggap sebagai raja sehari.

2. Tuka, yaitu tangga rumah Ata Simana’ yang mempnyai hubungan darah dengan arung dan atau bangsawan.Disebut Tuka’ karena pemiliknya men-daki darahnya. Bahasa Bugis yang sinonim ialah tuppu, suatu istilah untuk bahagian ade’ (adat, hukum kebiasaan) yang mengatur tentang Hierarchie peraturan ade’.

3. Addengeng, yang terdiri dari :a. Addeneng yang mempunyai ibu tangga tiga buah, khusus untuk Pabbicara, pembantu raja, Arung Lili’ dan pejabat-pejabat negeri di luar golongan bansawan al. Inang tau, Anang, Tomacowa-cowa.b. Addeneng yang mempunyai ibu tangga dua buag, khusus untuk rakyat biasa dan abadi.

Bentuk rumah Bugis yang lain adalah Bola Sada’ yang berdampingan dua dengan sejajar bahagian depan, bentuk itu disebut Bola Sada’ karena sama besar dan sejajar, rumah ini dipereuntukkan bagi kalangan bangsawan, baik yang mempunyai jabatan negeri maupun tidak. Dari bentuk macam-macam rumah Bugis itu, bneserta timpa’laja serta tangganya membuktikan bahwa dalam masyarakat hukum orang Bugis dahulu terdapat standen sebagai berikut :

a. Arung (Raja) yang memerintah, yang lazim dikategorikan berdarah murni yang bergelar Datu, termasuk Ana’Mattola (Putra Mahkota).b. Anakarung Bangsawan) yang ada pertalian darah dengan raja yang diklasifikasikan lagi dalam beberapa bagian.c. Mardeka (Jemma Lappa’) termasuk tau Tongeng Karaja, yang masih mempunyai darah bangsawan, tetapi tidak dapat disebut Anakarung lagi, yaitu rakyat biasa yang jumlahnya terbanyak.d. Ata (Hamba) abdi yang terdiri dari :1. Ata Simana’ yaitu hamba yang tidak dapat dipisahkan dengan Raja atau bangsawan, yang dapat saling waris-mewarisi dengan Puangnya (tuannya) baik materil maupun inmateril.2. Ata Mana’ yaitu hamba yang dibeli (lazim sanaknya sendiri yang menjualnya untuk merampas barang-barang pusaka bersama), atau orang yang dipidana mati tetapi diberi pengampunan, dapat hidup sebagai abdi raja/Bangsawan, atau ditawan dalam peperangan.3. Ata Passaromase, yaitu hamba yang mengabdikan diri untuk dapat hidup, termasuk orang-orang yang kalah main judi atau berhutang, tetapi tak dapat membayar utangnya (pandeling).Dalam semua bentuk dan macam rumah Bugis itu dikenal istilah Bola Gennea’ (rumah Sempurna). Terutama dalam hubungan filsafat dan pandangan hidup orang-orang Bugis yang disebut dengan Sulafa’ Eppa (persegi empat). Karena bentuk rumah harus persegi empat yang memiliki empat unsur kesempurnaan. Demikianpun bentuk kampung dahulu kala juga persegi empat. Orang-orang Bugis baru dikatakan sempurna dan lengkap kalau memiliki Sulafa’Eppa (laki-laki bersegi empat). Pribahasa dan Petuah Petitih: ”Iyyafa muabbaine mubolaifi Sulafa’ Eppa’e” berarti barulah engkau kawin kalau memiliki empat segi.Seorang yang hendak bangun dari tidurnya, menyiapkan diri sebelum bangun, yang disebut mappatefu (melengkapi diri) supaya selamat menghadapi apapun juga. Dunia dan jagat semesta dipandang persegi empat.Rumah barulah dianggap lengkap kalau tersediah tempat untuk :

Page 10: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

a. Tamu, Ialah ruangan bagian depan rumah.b. Kepala dan ibu rumah tangga, yaitu bagian tengah rumah, dimana terdapat juga posi’ bola lambang wanita dan kemakmuran.c. Anak-anak dan gadis-gadis dalam rumah tangga itu, bagian belakang.d. Para abdi (kalau ada), bahagiab belakan juga untuk wanita-wanita. Untuk laki-laki lazim ditempatkan di rumah kecil di saming atau di belakang induk rumah.

Jadi rumah bugis dibagi atas tiga bahagian yaitu :1. Lontang risaliweng (bahagian depan)2. Lontang Tengah (bahagian tengah) yang didinding dari bahagian depan.3. Lontang ri laleng (bahagian dalam atau belakang)

Dalam memeliharah rumah dan rumah tangga, kampung dan negeri dipakai pedoman elompugi’ (nyanyioan Bugis yang mengandung makna yang mendalam sekali sebagai berikut:

Tapalla’-palla’ ri passirinna bolata tata-neng ade’.Tafallimpo bunga fute.Tuwo ade’ta mallimpo bunga futeta.

Arti lett. :Mari kita memagari negara atau rumah kita dengan pagar adat.Kita semarakkan keharuman seluruh isi negeri atau isi rumah kita.Hidup adat kita, hidup mengaharum mewangi isi negeri atau rumah kita.

Sebagaimana negeri, kampung dan rumah, harus dipagari secara persegi empat, maka seseorang juga harus memagari dirinya dengan sulafa eppa yakni : Ade’, Rafang, Wari’, dan Tuppu (Adat, Yusrispudensi, Protokol, dan aturan chieracrchi).Pappaseng (amanah) orang-orang Bugis dahulu terkenal, bahwa barang siapa yang pernah bernaung di pinggir rumah orang lain maka tidak diperbolehkan lagi berhati jahat terhadapnya : “Rekkua siya furami riyaccinaungi fassiringpolana seuwae tau, tempeddingngi rikira-kira rimaja’e.

Golongan bangsawan yang disebutkan di atas, dalam pergaulan sehari-hari oleh masyarakat disebut dengan sapaan, Datue, Bau, Petta, dan Puang. Namun kata puang ini juga diberikan sapaan kepada orang-orang yang dituakan atau dihormati serta sesama anak bangsawan yang mutlak menyapa kepada yang tua dengan kata Puang. Dan kata Daeng digunakan bagi yang bersatatus Tomadeceng, dalam menyapa sesamanya.Inilah salah satu aspek budaya bagi masyarakat Bugis pada umumnya dan khususnya di Baringeng ini yang kemudian menjelma dalam system hubungan social dalam bentuk stratifikasi. Ia tumbuh dan berkembang hingga saat ini sebagai interaksi simbolik alam kehidupan masyarakat, sebagaimana masyarakat lainnya di berbagai golongan etnis di alam raya ini khususnya suku Bugis.Seperti yan telah dipaparkan di muka bahwa penduduk yang mendiami Baringeng ini adalah 100% orang Bugis, maka dalam pergaulan sehari-hari mereka mernggunakan Bahasa Bugis. Demikian pula aspek kehidupan social lainnya dalam pergaulan sehari-hari di kalangan masyarakat Baringeng, pada umumnya warga yang berusia muda sangat menghormati orang-orang tua. Seperti misalnya dalam pergaulan, bila seorang anak yang sedang bercakap dengan orang yang seusia ayah atau ibunya, maka si anak tersebut akan selalu mengiringi ucapannya-ucapannya dengan kalimat atau ungkapan kata sesuai dengan status sosialnya, atau kata Puang, yaitu suatu ungkapan penghormatan yang biasa ditujukan kepaa golongan bangsawan. Demikian pula dalam penggunaan kata ganti yaitu :

Page 11: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

- Ada Cenga, yaitu untkaspan kata yang ditujukan kepada raja atau anak Bangsawan, atau orang yang status social lebih tinggi dari kita, seperti kata “Anutta Puang, Alen Petta Puang”.- Ada Makkarateng, artinya kata-kata yang diperuntukkan kepada yang sama derajatnya contoh kata “Idi’, anutta pada idi” kata pada idi ini tidak boleh kita katakana apabila kita berbincang dengan seorang raja atau bangsawan.- Ada Cuku’,artinya ucapan - ucapan yang diungkapkan raja, anak bangsawan kepada yang dibawahnya, seperti “iko, anummu”.Penempatan ketiga kata ganti inilah biasa menjadi ukuran bagi masyarakat Bugis dalam arti “Misseng Bettuang” dan menjadi pengukuran dan penilaian orang/masyarakat.Kehidupan social masyarakat yang masih nampak hingga kini di Baringeng ini yang masih nyata dan menonjol, ialah semangat kerja sama secara gorong royong, sebagai sosialisasi kebersamaan dalam bentuk kerja secara gotongroyong, seperti ketika terjadi atau adanya warga yang ditimpa musibah kematian, perkawinan, khitanan, mendirikan rumah baru, kegiatan-kegiataan keagamaan, serta menanam padi, dan sebagainya. Sifat gotong royong ini disebut ”Sibali reso atau Sibali Peri” yang bermakna sama-sama bekerja dan sama-sama menanggung resiko untuk kemaslahatan bersama.Dalam kehidupan budaya, nampaknya masyarakat yang mendiami Baringeng ini tidak mempunyai perbedaan dengan kehidupan budaya pada kerajaan kecil lainnya yang merupakan bekas wilayah Kerajaan Soppeng pada khususnya dan pada daerah Bugis pada umumnya. Hal itu dapat dimengerti dan dipahami bahwa Baringeng ini adalah bekas daerah kerajaan yang dipimpin oleh seorang raja yang bergelar Petta Baringeng. Namun yang menjadi kajian dalam penulisan dan penelitian ini adalah H. Andi Mappa Petta Baringeng.Sebagaimana Baringeng ini mengenl berbagai macam seni budaya tradisional, seperti: seni tari, seni sastra dn seni musik. Seni tari yang sering dilakukan ialah Tari Padduppa artinya tarian yang dilakukan pada saat penjemputan tamu dikala ada pengantin atau perayaan atau menjemput tamu, yang datang pada acara itu. Seni sastra yang merupakan bagian tak terpisahkan dari seluruh rangkaian kegiatan komunikasi antara sesama baik dalam berkomunikasi menyampaikan maksud maupun dalam berkomunikasi dalam pembicaraan nasihat atau petua-petua leluhur, hal ini dimaksudkan adalah kata-kata “Galigo” kata sindiran yang bermakna.Biasanya bentuk-bentuk “Galigo” dari Bahasa Lontara Bugis ini didengar pada saat ada peminanan / pelamaran, pesta perkawinan serta penerimaan tamu. Bukan hanya itu tap semua dapat dilakukan diucapkan dalam kehidupan berkomunikasi dengan sesamanya. Salah satu ucapan kata Galigo dikala kita menerima tamu ialah

Page 12: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Kebudayaan dan Arsitektur Bugis

Kebudayaan Bugis seringkali digabungkan dengan kebudayaan Makassar, lalu disebut kebudayaan Bugis-Makassar (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Kebudayaan tersebut mendiami bagian terbesar jasirah Selatan pulau Sulawesi, atau termasuk dalam propinsi Sulawesi Selatan. Penduduk propinsi Sulawesi Selatan sendiri terdiri dari empat suku yaitu: Bugis, Makassar, Toraja, dan Mandar. Bardasarkan hasil penelitian etnologi, suku Bugis merupakan keturunan Melayu Muda (Deutro Melayu) yang berasal dari India Belakang. Mereka datang ke kepulauan Nusantara secara bergelombang. Gelombang pertama adalah Melayu Tua yang merupakan nenek moyang suku Toraja. Gelombang kedua, Melayu Muda merupakan nenek moyang suku Bugis, Mandar, dan Makasar.Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar. Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Kampung kuno orang Bugis umumnya terdiri dari sejumlah keluarga, antara 10 sampai 200 rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya berderet, menghadap Selatan atau Barat. Jika ada sungai, maka diusahakan agar rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pusat dari kampung lama merupakan suatu tempat keramat (possi tama) dengan suatu pohon beringin yang besar, dan kadang-kadang dengan satu rumah pemujaan (saukang). Selain tempat keramat, suatu kampung umumnya juga memiliki langgar atau masjid.

.

Page 13: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

POLAPERKAMPUNGAN TRADISIONAL

Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).

A. Pola Spasial1. Struktur KampungKampung Kamal Muara berdasarkan foto udara, dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini: Berdasarkan gambar 1 , maka perkampungan orang Bugis dan terletak di garis pantai dengan pola linier mengikuti alur sungai yang mengarah dari Barat Daya menuju ke Timur Laut. Sementara, perkampungan orang Betawi berada di “daratan”. Secara lebih terinci, permukiman dan rumah-rumah orang Bugis di Kamal Muara dibangun mengikuti pola alur sungai, jalan, dan gang.

Perkampungan orang Bugis di Kamal Muara adalah pakkaja (kampung nelayan) dengan pola berderet dan mengelompok mengikuti alur sungai dan jalan. Sebagian dari rumah-rumah tersebut membelakangi sungai. Pola demikian sesuai dengan pola spasial kampung pada tradisional Bugis di daerah asalnya.

Orientasi rumah dalam struktur kampung menghadap ke jalan atau gang ( gambar.3 ), karena tidak terdapat pusat orientasi yang biasanya berupa pohon yang besar. Namun demikian kampung Bugis di Kamal Muara memiliki langgar atau masjid yang biasanya juga dapat menjadi pusat orientasi.

Page 14: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

2. Tata Letak Rumah

Denah rumah pada umumnya masih mengikuti kaidah-kaidah arsitektur tradisional Bugis. Hal ini terwujud dalam pembagian ruangan atau petak (lontang/latte), yang tetap dibagi-bagi menjadi tiga bagian:a. Lontang risaliweng (ruang depan), berfungsi untuk menerima tamu dan tempat tidur tamu (public)b. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan (private). c. Lontang rilaleng (latte rilaleng): tempat tidur anak gadis, dapur, dan kamar mandi. . Pembagian Ruang Rumah Orang Bugis

Page 15: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Tamping, pada umumnya hanya terletak di depan rumah. Tamping ini memiliki fungsi sebagai tempat bersantai, mengobrol, maupun untuk ruang tamu sebelum dipersilakan masuk. Bandingkan dengan rumah tradisional Bugis yang di TMII yang memiliki dua tamping di depan dan belakang rumah.

Menurut fungsinya rumah orang Bugis di Kamal Muara dibagi juga menjadi tiga bagian secara vertikal, yaitu :

Awaso di Kamal Muara pada umumnya masih difungsikan sebagaimana yang terdapat di tempat asalnya, yakni untuk penyimpanan alat-alat untuk mencari ikan, beternak, motor, atau tempat untuk istirahat siang

Page 16: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

Orientasi rumah pada umumnya mengikuti arah jalan, dan tidak lagi memperhatikan orientasi arah mata angin yang seharusnya menghadap ke Timur. Orientasi ini selain untuk menangkap sinar matahari pagi juga dimaksudkan untuk menyesuaikan pada pola tidur penghuni di bagian kanan ruang dalam bangunan dalam arah Selatan-Utara dan harus meletakkan kepalanya pada arah Selatan serta kaki diarahkan ke sebelah kiri bangunan sesuai dengan arah buangan segala kotoran dan ruh jahat.Namun demikian pertimbangan lain berkaitan dengan sistem pembuangan air kotor dan arah kaki ketika tidur masih mengikuti pola asal yaitu ke arah kiri bangunan.

Page 17: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

A. Pola Stilistika

* Atap

Seperti pada bangunan arsitektur tradisional Bugis di daerah asal, pola penampakan bangunan di Kamal Muara tersusun dari tiga bagian sesuai dengan fungsinya. Bagian atas (rakeang), terdiri dari loteng dan atap. Atap menggunakan bahan dari seng dan sebagian asbes. Bentuk prisma, memakai tutup bubungan yang disebut Timpak Laja.

Timpak laja dibuat dari bahan seng dan sebagian kayu. Pola susunannya tidak diolah dalam pola-pola tingkatan tertentu yang dapat membedakan status sosial penghuninya. Pada umumnya penghuni adalah masyarakat Bugis yang berada pada kelas menengah ke bawah. Selain karena keterbatasan lahan filosofi bentuk kurang memiliki makna dalam pandangan masyarakatnya.

Bentuk desa di Sulawesi Selatan sekarang merupakan kesatuan-kesatuan administratif, gabungan sejumlah kampong lama (desa gaya baru). Suatu kampong lama, biasanya terdiri dari sejumlah keluarga yang mendiami 10-200 rumah, letak rumahnya berderet menghadap ke selatan atau barat. Jika terdapat sungai di desa maka diusahakan agar rumah-rumah dibangun dengan gaya membelakangi sungai. Pusat dari kampong lama merupakan suatu tempat keramat (pocci tana) dengan suatu pohon waringin yang besar dan kadang-kadang terdapt juga rumah pemujaan (saukang).

Page 18: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

* Bukaan

Pada umumnya dinding menggunakan bahan kayu yang disusun secara melintang horisontal dan dilapisi dengan cat kayu warna, hanya sebagian yang menggunakan seng gelombang yang dipasang arah vertikal. Elemen penting pada dinding depan ialah pintu (babang/tange). Pintu diletakkan pada depa ke empat, karena jumlah tiang pada bagian depan berjumlah 5 (lima). Hal yang spesifik pada penyelesaian pintu adalah adanya dinding pembatas setinggi lutut pada bagian bawah. Fungsi penyelesaian bukaan pintu demikian bertujuan untuk melindungi anak-anak agar tidak jatuh ke bawah karena sebagian besar lokasi rumah menempati daerah rawa.

Bukaan lain adalah jendela (tellongeng). Fungsinya adalah bukaan pada dinding yang sengaja dibuat untuk melihat keluar rumah dan juga berfungsi sebagai ventilasi udara ke dalam ruangan. Jumlah jendela 3 (tiga) buah. Peletakannya pada dinding di antara dua tiang. Pada bagian bawahnya terdapat terali kayu yang dipasang vertikal. Untuk memperindah dan menjaga keamanan ditambahkan jeruji kayu dengan jumlah bilangan ganjil. Jumlah terali 5 buah, hal ini sesuai dengan konsep rumah tradisional Bugis, untuk menunjukkan rumah rakyat biasa

Pada bagian samping terdapat bukaan yang berupa lobang ventilasi dan pemasangan papan kayu secara longgar untuk mengalirkan udara silang dari arah berbeda dari bukaan jendela

Page 19: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

depan. Bukaan ini sangat sederhana namun tepat guna dan memiliki corak yang sama berupa bentuk geometri segi enam sebanyak tiga buah

* Ragam Hias Ragam hias rumah di lokasi ini tidak begitu menonjol. Di bagian depan pada timpak laja terdapat motif kayu tempel yang menyerupai motif sinar matahari. Maksudnya adalah sebagai lambang pencerahan yang diilhami oleh elemen-elemen bentuk yang banyak digunakan oleh simbol-simbol organisasi Islam.Selain itu pada dinding samping lubang ventilasi dengan bentuk segi enam dan penyusunan kayu yang tidak rapat memberikan efek pencahayaan yang cukup menarik bila dilihat dari sisi dalam rumah. Lubang ini pada umumnya terletak di sisi Timur dan Barat. Sinar matahari yang masuk secara tidak langsung juga menjadi alat pemandu waktu. Pagi sebagai pertanda untuk bangun dan sore pertanda malam akan tiba.

A. Pola Penataan Struktur

Bahan bangunan utama yang banyak digunakan umumnya kayu. Bahan bangunan yang biasanya digunakan : Kayu Bitti, Ipi, Amar, Cendana, Tippulu, Durian, Nangka, Besi, Lontar, Kelapa, Batang Enau, Pinang, Ilalang dan Ijuk.

Dinding dari anyaman bambu atau papan. Atap dari daun nipah, sirap atau seng. Sistem struktur menggunakan rumah panggung dengan menggunakan tiang penyangga dan tidak menggunakan pondasi. Rumah tradisional yang paling tua, tiang penyangganya langsung ditanam dalam tanah. Tahap yang paling penting dalam sistem struktur bangunan adalah pembuatan tiang (aliri). Pembuatan tiang dimulai dengan membuat posi bola (tiang pusat rumah). Bila rumah terdiri dari dua petak maka letak tiang pusat ialah pada baris kedua dari

Page 20: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

depan dan baris kedua dari samping kanan. Bila tiga petak atau lebih maka letak tiang pusat adalah baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kanan.

Secara terinci ciri-ciri struktur rumah orang Bugis antara lain adalah:

1. Minimal memiliki empat petak atau 25 kolom (lima-lima) untuk sao-raja dan tiga petak atau 16 kolom (untuk bola)

2. Bentuk kolom adalah bulat untuk bangsawan, segiempat dan segidelapan untuk orang biasa

3. Terdapat pusat rumah yang disebut di Pocci (posi bola) berupa tiang yang paling penting dalam sebuah rumah, biasanya terbuat dari kayu nangka atau durian; letaknya pada deretan kolom kedua dari depan, dan kedua dari samping kanan.

4. Tangga diletakkan di depan atau belakang, dengan ciri-ciri:

* Dipasang di ale bola atau di lego-lego.

* Arahnya ada yang sesuai dengan panjang rumah atau sesuai dengan lebar rumah.

5. Atap berbentuk segitiga sama kaki yang digunakan untuk menutup bagian muka atau bagaian belakang rumah

6. Lantai (dapara/salima) menurut bentuknya bisa rata dan tidak rata. Bahan yang digunakan adalah papan atau bamboo.

7. Dinding (renring/rinring) terbuat dari kulit kayu, daun rumbia, atau bambu.

8. Jendela (tellongeng) jumlahnya tiga untuk rakyat biasa, tujuh untuk bangsawan

9. Pintu (tange sumpang) diyakini jika salah meletakkan dapat tertimpa bencana, sehingga diletakkan dengan cara sebagai berikut:

* Jika lebar rumah sembilan depa, maka pintu diposisikan pada depa ke-8; artinya lebar rumah selelu ganjil dan pintu diletakan pada angka genap.Sebuah kampong lama dipimpin seorang motowa (kepala desa) beserta kedua pembantunya disebut sariang atau parennung. Gabungan kampong dalam struktur asli disebut wanua dalam bahasa Bugis pa’rasangan atau bori dalam bahasa Makassar. Pemimpin wanua disebut (arung palili) untuk suku Bugis, Makassar sendiri yakni(karaeng) .

Bentuk rumah dan masjid, dibangun diatas tiang dan terdiri dari tiga bagian yang masing-masing mempunyai fungsi khusus yaitu :a. rakaeng dalam bahas Bugis atau pammakkang dalam bahasa Makassar, yakni bagian rumah dibawah atap yang dipakai untuk menyimpan padi, persediaan pangan, dan juga benda-benda pusakab. awaso dalam bahasa Bugis atau passiringang dalam bahasa Makassar, bagian dibawah lantai panggung dipakai untuk, menyimpan alat-alat pertanian , kandang ayam, kambing, dan

Page 21: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

sebagainya. Pada zaman sekarang tempat ini berubah fungsi menjadi tempat tinggal manusia.

Hampir semua rumah Bugis dan Makassar yang berbentuk adat, mempunyai suatu pangggung di depan pintu masih dibagian atas dari tangga, panggung ini biasa disebut tamping, tempat bagi para tamu untuk menunggu sbeleum dipersilahkan oleh tuan rumah untuk masuk keruang tamu.

Proses pembangunan untuk rumah suku Bugis dan Makassar, biasanya menggunakan beberapa ramuan pada tiang utama yang akan didirikan, bahkan, kadang-kadang menggunakan kepala kerbau setelak kerangka rumah berdiri. Proses semacam ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya malapetaka.

KONSEP RUMAH DAN RUANG DALAM ARSITEKTUR TRADISIONAL

Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang sangat berkait dengan arsitektur. Pelapisan sosial tersebut antara lain adalah Anakarung (bangsawan), to maradeka (rakyat biasa), dan ata (sahaya).

Berdasarkan lapisan sosial penghuninya, berdampak pada pola bentuk rumah yang disimbolkan berbeda-beda, yaitu:

1. Sao-raja (sallasa) è Rumah besar yang didiami keluarga kaum bangsawan (Anakarung). Biasanya memiliki tiang dengan alas bertingkat di bagian bawah dan dengan atap di atasnya (sapana) yang memiliki bubungan bersusun tiga atau lebih,

2. Sao-piti è Bentuknya lebih kecil tanpa sapana, dan memiliki bubungan yang bersusun dua.3. Bola è Merupakan rumah bagi masyarakat umumnya.Berdasarkan pola morfologinya, arsitektur Tradisional Bugis dapat dilihat dari beberapa segi sebagai berikut:

A. Pola Penataan Spatial

Arsitektur rumah Bugis umumnya tidak bersekat-sekat. Bentuk denah yang umum adalah rumah yang tertutup, tanpa serambi yang terbuka. Tangga depan biasanya di pinggir. Di depan tangga tersedia tempat air untuk mencuci kaki. Tangga rumah tersebut berada di bawah atap (Sumintardja, 1981). Selain itu rumah Bugis umumnya memiliki suatu ruang pengantar yang berupa lantai panggung di depan pintu masuk, yang dinamakan tamping. Biasanya tempat ini difungsikan sebagai ruang tunggu bagi para tamu sebelum dipersilakan masuk oleh tuan rumah.

Rumah Bugis juga dapat digolongkan menurut fungsinya (Mattulada dalam Koentjaraningrat, 1999). Secara spatial vertikal dapat dikelompokkan dalam tiga bagian berikut:

1. Rakeang è bagian atas rumah di bawah atap, terdiri dari loteng dan atap rumah yang dipakai untuk menyimpan padi dan lain persediaan pangan serta benda-benda pusaka. Selain itu karena letaknya agak tertutup sering pula digunakan untuk menenun dan berdandan.

2. Alo-bola (alle bola) : terletak antara lantai dan loteng ruang dimana orang tinggal dan dibagi-bagi menjadi ruang-ruang khusus, untuk menerima tamu, tidur, makan,

Page 22: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

3. Awaso : kolong rumah yang terletak di bagian bawah antara lantai dengan tanah atau bagian bawah lantai panggung yang dipakai untuk menyimpan alat-alat pertanian dan ternak.

Sedangkan penataan spatial secara horisontal, pembagian ruang yang dalam istilah Bugis disebut lontang (latte), dapat dikelompokkan dalam tiga bagian sebagai berikut :

1. Lontang risaliweng (ruang depan) Sifat ruang semi private, berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu, tempat bermusyawarah, tempat menyimpan benih dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Ruang ini adalah ruang tempat berkomunikasi dengan orang luar yang sudah diijinkan untuk masuk. Sebelum memasuki ruang ini orang luar diterima lebih dahulu di ruang transisi (tamping).

2. Lontang retengngah (latte retengngah) atau ruang tengah.Sifat ruang private, berfungsi untuk tempat tidur kepala keluarga dan anak-anak yang belum dewasa, tempat makan, melahirkan. Pada ruang ini sifat kekeluargaan dan kegiatan informal dalam keluarga amat menonjol.

3. Lontang rilaleng (latte rilaleng), sifat sangat private.Fungsi ruang ini untuk tempat tidur anak gadis atau nenek/kakek. Anggota keluarga ini dianggap sebagai orang yang perlu perlindungan dari seluruh keluarga.

Untuk Sao raja, ada tambahan dua ruangan lagi:

1. Lego-legoRuang tambahan, jika di depan difungsikan sebagai tempat sandaran, tempat duduk tamu sebelum masuk, tempat menonton ada acara di luar rumah.

2. Dapureng (jonghe) Biasanya diletakkan di belakang atau samping. Fungsinya untuk memasak dan menyimpan peralatan masak

Kesimpulan

Pada umumnya masyarakat memiliki keinginan yang kuat untuk tetap menggunakan pola penataan fungsi dan bentuk rumahnya sesuai dengan pakem yang ditentukan oleh adat istiadat Bugis yang telah dikenalnya secara turun temurun, baik dari segi spatial, stilistika dan struktural. Namun hal ini sulit dilaksanakan karena beberapa pertimbangan berikut :

a. Dari segi Spatial- Pertautan budaya dengan lingkungan sekitar yang kurang memiliki ikatan emosional yang kuat dengan budaya asalnya (masyarakat heterogen).- Interaksi sosial yang menuntut perubahan bentuk secara fungsional dan kesejamanan. Ada rasa rendah diri dari anggota keluarga (khususnya remaja) terhadap pola rumahnya yang berbentuk panggung.

Page 23: Rumah Adat Suku Bugis Di Makasar

- Kebutuhan ruang aktifitas keluarga yang lebih privat, sehingga ruang-ruang disekat sesuai jumlah anggota keluarga. Hal ini berbeda dengan pola penataan ruang dalam yang ada pada pola spatial Arsitektur Bugis.

b. Dari segi Stilistika

- Hilangnya makna simbolik terhadap elemen-elemen bentuk stilistik. Rancangan bangunan lebih dipandang dari sudut fungsional semata.

- Kurangnya pengetahuan masyarakat Bugis terhadap dasar-dasar filosofi bentuk disamping tidak adanya lembaga dan aturan yang mengikat nilai-nilai ini.

c. Dari segi Struktural

- Bahan bangunan utama (kayu ulin) sulit didapat di wilayah pemukiman sehingga harganya sangat mahal.

- Ketinggian kolom tidak direncanakan terhadap kemungkinan terjadinya abrasi pantai, sehingga fungsi ruang bawah (awa bola) tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya. Makin lama ketinggian ruang bawah rumah makin berkurang karena tuntutan pengurugan.

- Adanya anggapan bahwa rumah dengan bahan bata dipandang lebih baik dalam perawatan dan daya tahan. Selain itu, rumah bata juga dianggap menunjukkan tingkat kemampuan ekonomi penghuni yang lebih baik.

Refrensihttp://www.kaskus.us/showthread.php?sumber : The Bugis, Christian Pelras Oleh Razak Jr

http://www.okezone.com

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1982

KOMPAS.com

id.wikipedia.org hamemayu.files.wordpress.com pasarkreasi.com christusrex.org rnw.nl gimonca.com masivstar.blogspot.com pondokhati.wordpress.com