s sej 030047 bab i -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Penelitian
Pada hakikatnya pelaksanaan Revolusi Hijau dilaksanakan menyeluruh di
wilayah Indonesia, terutama pulau Jawa. Bahkan sampai ke sebagian pelosok
pedesaan diseluruh Indonesia. Sebagai bukti nyata program Revolusi Hijau juga
dilaksanakan oleh warga masyarakat Sukawening-Garut yang akan dikaji lebih
mendetail lagi dalam penelitian ini. Sementara itu juga, terefleksi dalam program
Pelita I yang dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969. Menurut pendapatnya
Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dijelaskan bahwa
tujuan dari Pelita I ialah untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus
meletakan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap-tahap berikutnya. Pada
intinya program Pelita I ini menitikberatkan terhadap peningkatan produksi
pangan, sandang, perbaikan sarana, perluasan lapangan kerja dan kesejahteraan
rohani. Diharapkan program ini dapat meningkatkan keterpurukan perekonomian
Indonesia, serta mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat Indonesia
(Poesponegoro & Notosusanto, 1993 : 444).
Pelaksanaan Revolusi Hijau ternyata mengalami keberhasilan yang sangat
dahsyat, karena hampir di seluruh Pulau Jawa hasil produksi padi meningkat
tajam. Hal ini senada dengan pendapatnya Poesponegoro dan Notosusanto ( 1993
: 446), sebagai berikut :
2
“Produksi beras naik karena adanya perluasan areal panen dan kenaikan rata-rata hasil per hektar. Areal persawahan meningkat disebabkan oleh bertambah baiknya sarana pengairan, sedangkan kenaikan hasil per hektar disebabkan oleh terlaksananya program intensifikasi melalui Bimas dan Inmas, serta pemakaian bibit unggul, pupuk dan obat pembasmi hama. Sesuai dengan perkembangan itu maka sejak tahun 1970 dibentuk unit-unit desa oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) untuk melayani petani akan kebutuhan kredit. Selain itu dibentuk pula Badan Usaha Unit Desa (BUUD) dan Koperasi Unit Desa (KUD) yang semuanya bertujuan untuk melayani para petani”.
Adapun lokasi yang akan dikaji secara lebih mendetail lagi oleh penulis
yakni Kecamatan Sukawening yang terdapat di Kabupaten Garut. Ternyata
pelaksanaan Revolusi Hijau yang dicanangkan oleh pemerintah tersebut sampai ke
daerah pelosok seperti Sukawening-Garut. Para petani di sana diwajibkan
mengikuti Bimas (Bimbingan Masal) dari Kepala Desa untuk diberikan
penyuluhan tentang metode atau cara meningkatkan produksi padi. Melalui
penyuluhan dan Bimas tersebut, para petani mulai diperkenalkan dengan
teknologi pertanian seperti penggunaan bibit unggul, pupuk buatan, pestisida,
traktor dan alat penggilingan padi (huller).
Pada awalnya pelaksanaan Bimas atau bimbingan masal tersebut sangat
sulit dilaksanakan dan kurang efektif. Hal ini dikarenakan para petani memiliki
kesibukan lain disamping bekerja di sawahnya. Penduduk Sukawening tersebut
ada yang berwiraswasta, bahkan ada yang menjadi pedagang sehingga waktu
untuk mengikuti program Bimas tersebut sangat sedikit. Meskipun Kepala Desa
dengan giatnya melakukan penyuluhan kepada para petani melalui Bimas
tersebut, tetap saja pelaksanaan dan hasilnya kurang efektif. Selain itu juga,
program Bimas ini mengalami hambatan karena tingkat pendidikan dan
pengetahuan masyarakat sangat rendah sehingga kurang memahami program
3
tersebut. Pada akhirnya para petani melakukan pengelolaan sawah tetap secara
tradisional sesuai dengan pengalamannya. Akan tetapi seiring berjalannya waktu
dan para petani semakin paham akan program Bimas ini, yang pada akhirnya bisa
dilaksanakan secara efektif di Sukawening-Garut.
Sementara itu juga, wilayah Sukawening ini merupakan daerah kaya akan
sumber air yang berguna untuk mengairi sawah-sawah petani disekitarnya.
Namun terdapat sedikit permasalahan yakni kurangnya pemanfaatan irigasi oleh
penduduk setempat. Khususnya di daerah Sukawening, pemerintah tidak
menyediakan irigasi secara lengkap padahal sangat penting bagi pasokan air untuk
sawah-sawah penduduk. Di Sukawening juga belum memadainya eftaping-
eftaping (irigasi kecil untuk mengalirkan air dari sungai ke sawah), sehingga
ketika musim kemarau tiba sawah penduduk menjadi kering. Hal ini juga
berdampak buruk dengan tidak adanya eftaping-eftaping, maka pada musim
penghujan sawah petani terendam air karena saluran irigasinya kurang lancar.
Perekonomian di Kecamatan Sukawening sebagian kecil dikuasai oleh
para petani kaya yang memiliki tanah atau sawah yang luas. Mereka biasanya
menyuruh buruh tani untuk mengelola sawah tersebut. Para pemilik tanah tidak
turun langsung ke sawah, tetapi mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari
buruh tani. Hal tersebut akan menimbulkan kesenjangan sosial antara petani
miskin dengan petani kaya. Para buruh tani akan sulit untuk menaikan status atau
kedudukannya di masyarakat karena tidak memiliki lahan pertanian yang bisa
digarap sendiri. Hal yang paling mengkhawatirkan yakni ketika gagal panen
terjadi, buruh tanilah yang harus menanggung beban produksi sedangkan pemilik
4
tanah atau sawah tersebut tidak mau menanggung kerugiannya. Ternyata dengan
dilaksanakannya program Revolusi Hijau tersebut menyebabkan petani kaya
semakin kaya dan petani miskin semakin terpuruk. Hal ini diakibatkan karena
petani kaya memiliki modal yang banyak sehingga bisa membeli lahan yang
dimiliki oleh petani kecil. Tentunya hal ini semakin mempertajam pelapisan sosial
di lingkungan masyarakat Sukawening-Garut.
Penggunaan teknologi pertanian ternyata membawa dampak negatif
terhadap masyarakat Sukawening. Hal ini terbukti bahwa penggunaan tenaga
kerja buruh atau kuli untuk mengolah sawah telah digantikan oleh mesin traktor.
Penggilingan padi pun telah digantikan oleh mesin huller sehingga para petani
wanita tidak lagi dipekerjakan untuk menumbuk padi. Situasi tersebut
menimbulkan permasalahan bagi para petani kecil di Sukawening. Para buruh tani
banyak yang menjadi pengangguran karena tenaga buruh sudah digantikan oleh
mesin seperti traktor dan huller. Namun demikian, untuk tetap mempertahankan
hidupnya mereka akhirnya hijrah ke perkotaan untuk mencari pekerjaan.
Terjadinya urbanisasi ini juga akan membawa dampak negatif baik bagi
perkotaan maupun bagi desa yang ditinggalkan. Di Sukawening tenaga kerja
produktif untuk mengolah lahan pertanian semakin berkurang sedangkan daerah
perkotaan semakin padat dan rawan kejahatan. Para petani di Sukawening yang
nekad pergi merantau ke perkotaan, pada dasarnya tidak memiliki skills atau
keterampilan khusus selain mencangkul. Hal ini tentunya membawa permasalahan
di perkotaan. Mereka bekerja seadanya di perkotaan misalnya menjadi pedagang
asongan, pengamen, pedagang kaki lima, peminta-minta bahkan ada yang
5
berprofesi sebagai pemulung. Pada intinya daerah perkotaan semakin padat dan
tata letak kota semakin semraut dengan keberadaan mereka.
Pelaksanaan program Revolusi Hijau di Sukawening-Garut ternyata
membawa pengaruh yang cukup signifikan terhadap perubahan sosial masyarakat
di sekitarnya. Hal ini terbukti dengan adanya pola konsumtif masyarakat terutama
terhadap kebutuhan sekunder seperti motor, televisi, radio, kulkas, kipas angin
dan peralatan rumah tangga yang lainnya. Para petani di Sukawening ketika hasil
panennya melimpah dan menguntungkan maka penghasilannya dibelikan barang-
barang elektronik.
Namun ternyata membawa dampak positif juga bahwa dengan adanya
pelaksanan Revolusi Hijau di Sukawening-Garut, pola pikir masyarakat semakin
maju sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka lebih terbuka dengan
informasi dan komunikasi dari luar sehingga tingkat pendidikan pun semakin
meningkat. Para petani di Sukawening mulai tumbuh kesadaran untuk
menyekolahkan anaknya ke jenjang yang lebih tinggi. Sehingga hasil keuntungan
dari bertani tersebut tidak semata-mata digunakan untuk kepentingan rumah
tangga saja, melainkan untuk biaya keperluan sekolah anak-anaknya. Selain itu
juga seiring dengan berjalannya waktu, pelaksanaan Program Revolusi Hijau juga
membawa dampak terhadap perubahan budaya para petani di Sukawening yakni
mereka tidak mengenal lagi yang namanya sesajen terhadap Dewi Sri. Sementara
itu juga para petani di Sukawening sudah mengenal sistem jam kerja atau waktu
dalam bertani serta pemikiran mereka lebih terbuka dengan adanya modernisasi
dan globalisasi.
6
Dari hasil data statistik pada tahun 1983 dan tahun 1987, menunjukkan
bahwa hasil produksi pertanian terutama padi di daerah Sukawening dari tahun ke
tahun mengalami peningkatan. Pada tahun 1983, luas panen di Kecamatan
Sukawening mencapai 3.221 per Ha dan produksi padinya mencapai 14.052 ton.
Pada tahun 1987 luas panen di Kecamatan Sukawening mencapai 3.275 per Ha
dan produksi padinya mencapai 15.921 ton. Namun, sayang sekali harga jual
gabah atau padi tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan biaya perawatan
dan produksinya. Masyarakat petani di Sukawening kebanyakan mengeluh karena
pendapatan yang diperoleh tidak seimbang dengan biaya produksi dalam setiap
panennya. Hal ini diakibatkan adanya monopoli penjualan gabah oleh kelompok
atau orang tertentu. Para pemilik modal tersebut yang berhak menentukan harga
pasar dari gabah atau padi.
Intensifikasi pertanian di Sukawening cukup berjalan dengan baik sesuai
keinginan pemerintah. Para petani mencoba untuk menggunakan bibit unggul
yang telah diwajibkan oleh pemerintah. Para petani di Sukawening juga
menggunakan pupuk buatan dan pestisida dalam merawat padi di sawah. Namun
mereka masih kurang paham mengenai dampak yang ditimbulkan oleh pupuk
buatan dan pestisida tersebut. Pupuk buatan yang digunakan oleh petani pada
dasarnya akan merusak struktur tanah. Selain itu juga penggunaan pestisida pada
intinya akan menyebabkan hama padi seperti wereng menjadi resisten atau kebal
terhadap zat kimia. Para petani di Sukawening kurang memahami akan dampak
negatif dari penggunaan pupuk dan pestisida yang berlebihan, asalkan
penggunaannya praktis serta menghasilkan produksi padi yang melimpah.
7
Sementara itu, karena kebutuhan pupuk buatan, pestisida dan teknologi
pertanian lainnya semakin meningkat maka pemerintah berinisiatif untuk
mendirikan koperasi simpan pinjam di pedesaan. Hal ini terealisasi dengan
berdirinya Koperasi Unit Desa (KUD) di setiap kecamatan. Di Sukawening juga
terdapat KUD yang bertujuan untuk memasok keperluan pertanian di lingkungan
sekitarnya. Namun, lama kelamaan karena harga pupuk serta pestisida semakin
melonjak mahal sedangkan daya beli masyarakat sangat rendah maka keberadaan
KUD tersebut tidak efektif lagi. Para petani di Sukawening yang kurang mampu,
pada akhirnya menunggak pada KUD. Para petani semakin lama hutangnya
semakin menumpuk serta mereka tidak bisa membayarnya. Mereka dengan
sengaja mengulur-ngulur pembayaran hutangnya agar harga pupuk serta pestisida
berangsur menurun. Keberadaan KUD ini bukannya memberi keuntungan bagi
para petani melainkan menjadikan petani semakin miskin dan banyak tunggakan.
Masyarakat Indonesia yang tinggal di pedesaan, pada dasarnya bermata
pencaharian sebagai petani. Hal ini diakibatkan karena wilayah pedesaan
merupakan daerah yang sangat subur serta cocok untuk dijadikan lahan pertanian.
Kebanyakan jenis tanaman pertanian yang dikelola oleh masyarakat berupa padi,
jagung, ketela pohon, berbagai jenis buah-buahan, sayuran dan masih banyak lagi.
Perekonomian pertanian yang dikembangkan oleh masyarakat di pedesaan masih
sangat sederhana serta bersifat tradisional, sehingga produktivitas hasil
pertaniannya tidak begitu banyak. Hal ini menjadi bahan pemikiran bagi
pemerintah untuk melakukan sebuah program peningkatan hasil produksi
pertanian terutama padi dengan cara penggunaan teknologi pertanian. Ternyata
8
hal ini terealisasi dalam masyarakat melalui program Revolusi Hijau yang
dikembangkan oleh pemerintah pada tahun 1960-an.
Pulau Jawa merupakan sebuah wilayah yang sangat padat sekali
penduduknya. Jika dibandingkan dengan pulau yang lainnya, banyak sekali
penduduk Indonesia yang berdomisili di Jawa. Hal ini tentunya mengakibatkan
lahan tanah semakin menyempit karena digunakan oleh penduduk sebagai tempat
tinggal. Dalam hal ini mengakibatkan lahan pertanian semakin berkurang
sedangkan kebutuhan akan bahan pangan seperti padi semakin meningkat. Sekitar
tahun 1960-an pemerintah mengeluarkan kebijakan baru tentang upaya
peningkatan produktivitas padi melalui program Revolusi Hijau di seluruh
Indonesia. Khususnya untuk Pulau Jawa yang memiliki penduduk sangat padat
serta lahan pertaniannya sempit, maka program Revolusi Hijau ini dilakukan
dengan cara intensifikasi pertanian yang meliputi penggunaan bibit unggul, pupuk
buatan, pestisida dan teknologi pertanian.
Program Revolusi Hijau ini sebenarnya telah diterapkan tahun 1960-an di
negara-negara yang sedang berkembang, khususnya di wilayah Amerika Latin dan
di benua Asia. Pada intinya program ini mengacu kepada intensifikasi pertanian
melalui penggunaan teknologi baru dalam teknik pengolahan lahan. Apabila kita
cermati secara seksama, ternyata di Indonesia sendiri sebenarnya program
intensifikasi pertanian tersebut telah diperkenalkan pada tahun 1937 oleh kolonial
Belanda dengan nama Verbeterde Cultuur Technieken (Tjondronegoro, 1990 : 3).
Apabila kita berbicara mengenai Revolusi Hijau, memang sangat menarik
sekali untuk dikaji secara komprehensif. Mengutip pendapatnya Tjondronegoro,
9
istilah Revolusi Hijau ini bisa diartikan suatu usaha pemerintah yang mengacu
pada program intensifikasi pertanian tanaman pangan. Pelaksanaan Revolusi
Hijau ini sebenarnya sudah dikenal sejak tahun 1960-an. Program ini bertujuan
untuk meningkatkan produksi tanaman pangan terutama padi sebagai pemenuhan
kebutuhan masyarakat banyak. Adapun istilah revolusi disini memiliki arti
perubahan secara serentak tingkat produksi tanaman hijau seperti padi
(Tjondronegoro, 1990 : 3).
Jika kita kaji secara cermat, terdapat sedikit perbedaan mengenai definisi
Revolusi Hijau tersebut menurut Ensiklopedi Nasional Indonesia Jilid 14 (1990 :
194), yang dikutip sebagai berikut :
“Revolusi Hijau adalah perubahan dalam cara bercocok tanam dari cara tradisional ke modern. Revolusi Agraria ditandai dengan semakin berkurangnya ketergantungan petani pada cuaca dan alam, digantikan dengan meningkatnya peran ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan produksi bahan makanan. Agraria disini meliputi bidang pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan dan kehutanan. Terdapat dua metode dalam meningkatkan produksi bahan makanan, yaitu melalui metode ekstensifikasi dan intensifikasi”. Jika kita mengacu terhadap definisi di atas, bisa dijabarkan bahwa
Revolusi Hijau ini merupakan usaha peningkatan produktivitas pertanian melalui
teknologi yang tepat guna. Penjelasan mengenai ekstensifikasi pertanian ialah
usaha peningkatan produksi pertanian melalui perluasaan lahan tanah untuk
ditanami. Perluasan tanah ini bisa dilakukan dengan cara membuka hutan dan
mengubah tanah yang tandus menjadi lahan subur yang bisa ditanami. Tetapi
karena lahan pertanian terbatas sedangkan jumlah penduduk semakin banyak,
maka program Revolusi Hijau lebih menitikberatkan pada intensifikasi pertanian.
Metode intensifikasi pertanian ini lebih cenderung pada pengolahan lahan tersebut
10
secara intensif dengan menggunakan bibit unggul, pengenalan teknologi baru,
penggunaan pupuk kimiawi, dan penggunaan faktor-faktor produksi yang efisien
(Hapsari & Suryadi, 2002 : 5).
Pelaksanaan Revolusi Hijau ini merupakan kebijakan pemerintah dari atas
ke bawah. Artinya suatu program baru dalam pertanian yang dikeluarkan oleh
pemerintah serta harus dilaksanakan secara serentak oleh masyarakat seluruh
Indonesia. Kata Revolusi ini memiliki arti suatu perubahan yang terjadi secara
cepat dan menyeluruh. Oleh karena itu masyarakat petani harus tunduk pada
kebijakan pemerintah tentang penggunaan teknologi pertanian seperti pupuk,
pestisida, bibit unggul dan huller untuk meningkatkan produktivitas padi.
Jadi hal ini merupakan suatu kewajiban dari pihak pemerintah agar para
petani di Sukawening-Garut menanam padi dengan bibit unggul yang seragam
dan menggunakan teknologi pertanian. Tetapi ada sebagian petani di Sukawening
yang “nakal” serta tidak menanam padi dengan menggunakan bibit unggul yang
seragam. Para petani beranggapan bahwa bibit padi yang ditanamnya memiliki
kualitas lebih baik jika dibandingkan dengan bibit unggul dari pemerintah. Namun
karena adanya penyuluhan yang intensif dari pihak pemerintah kepada masyarakat
tentang program Revolusi Hijau, para petani pada akhirnya memahami serta
menggunakan bibit unggul yang dianjurkan oleh pemerintah. Program Revolusi
Hijau juga dilaksanakan di daerah-daerah pelosok pedesaan seperti daerah yang
akan dikaji dalam skripsi ini yakni di Sukawening-Garut. Masyarakat Sukawening
pada awalnya merasa kaget dengan dilaksanakannya program Revolusi Hijau
karena mereka tidak memahami teknologi pertanian serta lebih mengenal sistem
11
pertanian tradisional. Pada hakikatnya karena merupakan suatu kewajiban dari
pemerintah supaya para petani di Sukawening mulai menerapkan teknologi
pertanian, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Meskipun begitu, sebagian kecil
dari masyarakat Sukawening ada yang melakukan penolakan terhadap
pelaksanaan program Revolusi Hijau dari pemerintah karena pengetahuan mereka
masih sangat rendah. Adapun mengenai konflik serta bentrokan yang diakibatkan
oleh kebijakan pemerintah tersebut tidak terlihat secara jelas pada petani di
Sukawening karena karakter mereka yang penurut dan tidak bersifat radikal.
Apabila kita berbicara mengenai kajian tentang Revolusi Hijau memang
banyak sekali cakupannya. Tetapi pada dasarnya kajian atau pun karya ilmiah
yang sudah ada tersebut hanya membahas secara garis besar perkembangannya di
Indonesia serta tidak spesifik di lokalitas tertentu. Sementara itu juga, kebanyakan
dari kajian para penulis tersebut tidak membahas mengenai dampak Revolusi
Hijau terhadap perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat. Selain itu juga
masih jarang kajian para penulis tersebut menggunakan pendekatan ilmu-ilmu
sosial lainnya. Atas dasar semua itulah yang melatar belakangi penulis untuk
mengkaji dan menganalisis secara komprehensif tentang pengaruh Revolusi Hijau
terhadap perubahan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat petani dalam sebuah
skripsi.
Adapun judul skripsi yang dikaji oleh penulis ialah “Pelaksanaan
Revolusi Hijau di Sukawening-Garut (Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-
1990)”
12
1.2 Perumusan Masalah
Adapun yang menjadi permasalahan pokok dalam penelitian ini yaitu
“bagaimana dinamika kehidupan masyarakat Sukawening-Garut ketika
dilaksanakan Revolusi Hijau pada kurun waktu 1970-1990 ?”
Untuk memudahkan pengkajian serta proses analisis selanjutnya, maka
penulis merumuskan permasalahan pokok tersebut dalam kalimat-kalimat
pertanyaan khusus sebagai berikut :
1. Bagaimana kondisi sosial budaya petani di Sukawening-Garut menjelang
pelaksanaan Revolusi Hijau ?
2. Bagaimana proses perkembangan program Revolusi Hijau di Sukawening-
Garut pada kurun waktu 1970-1990 ?
3. Bagaimana dampak Revolusi Hijau terhadap kehidupan sosial, budaya dan
ekonomi masyarakat di Sukawening-Garut pada kurun waktu 1970-1990 ?
1.3 Tujuan Penelitian
Sementara itu, yang menjadi tujuan umum penelitian ini adalah untuk
mengkaji tentang dinamika kehidupan sosial, budaya dan ekonomi masyarakat
Sukawening-Garut ketika dilaksanakan program Revolusi Hijau pada kurun waktu
1970-1990. Adapun tujuan khusus dari penelitian ini diantaranya sebagai berikut :
1. menjelaskan tentang latar belakang dilaksanakannya program Revolusi
Hijau di Sukawening yang meliputi letak geografis, jumlah penduduk dan
mata pencaharian masyarakat sekitar. Selain itu juga untuk menganalisis
13
perkembangan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi petani di
Sukawening-Garut menjelang pelaksanaan Revolusi Hijau.
2. menjabarkan secara komprehensif tentang dinamika proses perkembangan
pelaksanaan Revolusi Hijau di Sukawening pada kurun waktu 1970-1990.
Pada intinya mengkaji tentang upaya pemerintah dalam memberikan
penyuluhan pada masyarakat Sukawening mengenai intensifikasi
pertanian. Hal ini mencakup tentang penggunaan bibit unggul, pestisida,
pupuk, traktor dan huller pada masyarakat Sukawening-Garut. Dijelaskan
juga mengenai hambatan-hambatan yang dihadapi masyarakat ketika
dilaksanakan Revolusi Hijau di Sukawening-Garut.
3. mengkaji mengenai dampak penerapan Revolusi Hijau di Sukawening
terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi pada kurun waktu 1970-
1990. Selain itu juga mengkaji tentang perubahan sosial seperti status dan
peran petani, stratifikasi sosial, pola konsumtif, pola pikir, keterbukaan
terhadap informasi dan komunikasi dari luar yang terjadi pada masyarakat
Sukawening-Garut ketika dilaksanakannya program Revolusi Hijau
tersebut.
1.4 Penjelasan Judul
Adapun judul skripsi yang dikaji oleh penulis yaitu “Pelaksanaan
Revolusi Hijau di Sukawening Garut (Tinjauan Sosial Budaya Tahun 1970-
1990)”. Agar lebih memahami judul tersebut kiranya perlu dijelaskan secara
terperinci. Maksud dari judul di atas adalah suatu pengkajian secara mendetail
14
tentang dinamika pelaksanaan Program Revolusi Hijau di lokalitas tertentu yakni
Kecamatan Sukawening, Kabupaten Garut pada kurun waktu 1970-1990. Serta
dikaji secara komprehensif tentang dampak sosial, budaya dan ekonomi terhadap
kehidupan masyarakat Sukawening-Garut ketika dilaksanakannya Program
Revolusi Hijau oleh Pemerintah.
Mengutip pendapatnya Tjondronegoro, istilah Revolusi Hijau ini bisa
diartikan suatu usaha pemerintah yang mengacu pada program intensifikasi
pertanian tanaman pangan. Pelaksanaan Revolusi Hijau ini sebenarnya sudah
dikenal sejak tahun 1960-an. Program ini bertujuan untuk meningkatkan produksi
tanaman pangan terutama padi sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat banyak.
Adapun istilah revolusi disini memiliki arti perubahan secara serentak tingkat
produksi tanaman hijau seperti padi (Tjondronegoro, 1990 : 3).
Pada dasarnya kajian pada skripsi ini meliputi lokalitas tertentu yakni
Kecamatan Sukawening yang terdiri dari banyak desa. Berikut ini pengertian Desa
menurut UU. No. 22 Tahun 1999 yaitu :
Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan Nasional dan berada di daerah Kabupaten.
Sementara itu juga lain halnya dengan B.N Marbun (1977), dijelaskan
bahwa pengertian desa sebagai berikut.
Dalam uraian ini kita mendefinisikan desa sebagai satu daerah hukum yang ada sejak beberapa keturunan dan mempunyai ikatan kekeluargaan atau ikatan sosial yang hidup serta tinggal menetap di satu daerah tertentu dengan adat istiadat yang dijadikan landasan hukum dan mempunyai seorang pimpinan formil yaitu Kepala Desa. Kehidupan penduduk desa umumnya tergantung dari usaha pertanian, nelayan dan
15
diselingi dengan usaha kerajinan tangan dan dagang kecil-kecilan ( Marbun, 1977 : 15).
Adapun penulis mengambil kurun waktu 1970-1990 yakni tahun tersebut
merupakan awal pelaksanaan Program Revolusi Hijau di Indonesia termasuk di
Sukawening-Garut yang mana diwajibkan oleh pemerintah pada saat itu. Selain
itu juga karena pada kurun waktu tersebut terjadi peningkatan produksi padi yang
sangat melimpah dan menguntungkan masyarakat petani di Sukawening-Garut.
Kurun waktu 1970-1990 tersebut dapat menjelaskan dinamika kehidupan sosial,
budaya dan ekonomi masyarakat di Sukawening-Garut.
1.5 Metode Penelitian
Apabila kita melakukan penelitian sejarah hendaknya menggunakan
metode historis, agar bisa menganalisis serta menjabarkan peristiwa sejarah
tersebut secara mendetail dan bermakna. Metode historis ini meliputi empat
langkah yakni heuristik, kritik baik eksternal maupun internal, interpretasi dan
historiografi.
Menurut pendapatnya Gilbert J. Garraghan (dalam Nur, 2001 : 74),
mengemukakan bahwa metode penelitian sejarah, atau lazim juga disebut metode
sejarah adalah seperangkat aturan-aturan dan prinsip-prinsip yang sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilainya secara kritis,
dan menyajikan sintesa dari hasil-hasil yang dipakai dalam bentuk tertulis.
Selanjutnya Garraghan menyatakan bahwa metode sejarah adalah : “a systematic
16
body of principles and rules designed to aid effectively in gathering the source
materials of history, appraising them critically, and presenting a synthesis
(generally in written form) of the results achieve”. Hal ini berarti metode sejarah
merupakan sebuah alat yang bersifat sistematis dan memiliki aturan dalam
merancang sumber sejarah yang telah ditemukan di lapangan. Sebelum
mengadakan penulisan, maka diadakan terlebih dahulu kritik serta analisis
terhadap data dan fakta sejarah yang telah ditemukan tersebut.
Sedangkan menurut pendapatnya Louis Gottschalk, metode sejarah adalah
suatu proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan
masa lampau. Hal ini bisa dilaksanakan melalui proses rekonstruksi tentang masa
lampau dan menuliskan hasilnya berdasarkan data yang diperoleh atau lebih
sering disebut dengan historiografi atau penulisan sejarah. Memang perlu
kecermatan dan ketelitian seseorang jika menganalisis atau mengkaji data-data
yang telah kita temukan di lapangan (Gottschalk, 1986 : 32).
Mengutip pendapatnya Ernst Bernheim (dalam Nur, 2001 : 75), bahwa
metode historis memiliki empat tahapan diantaranya :
1. Heuristik yakni mencari, menemukan dan mengumpulkan sumber-sumber
yang berupa jejak-jejak sejarah. Penulis berusaha mengumpulkan literatur
yang berhubungan dengan Revolusi Hijau serta buku-buku Sosiologi
Antropologi di berbagai perpustakaan. Selain itu juga mengumpulkan data
dan dokumen tentang hasil pertanian padi dan jumlah penduduk di kantor
Kecamatan Sukawening.
17
2. Kritik yakni menganalisis secara kritis sumber-sumber sejarah yang telah
ditemukan. Kritik di sini bisa bersifat eksternal maupun internal. Kritik
eksternal yaitu untuk menilai otentisitas sumber sejarah. Jika sumbernya
berupa buku maka dilihat edisinya, cetakannya, kapan dan siapa
pengarangnya. Pada dasarnya penulis tidak melakukan kritik eskternal
secara ketat karena sudah yakin akan keaslian buku tersebut. Sedangkan
kritik internal adalah untuk menilai kredibilitas sumber dengan
mempersoalkan isinya, kemampuan pembuatnya, tanggung jawab dan
moral penulisnya. Jadi pada tahapan kritik ini penulis berusaha
menganalisis sumber-sumber yang ditemukan tentang Revolusi Hijau atau
pun buku-buku Sosiologi dan Antropologi.
3. Interpretasi yakni memahami makna yang sebenarnya dari bukti-bukti
sejarah atau kegiatan penanggapan terhadap fakta-fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah tersebut. Penulis berusaha memahami makna
dari berbagai buku tentang konsep-konsep Sosiologi dan Antropologi serta
memahami konsep Revolusi Hijau dari berbagai sumber yang telah
didapatkan.
4. Historiografi yakni kegiatan penulisan dari hasil penelitian atau
interpretasi fakta-fakta sejarah. Pada tahapan ini penulis menjabarkan hasil
temuan di lapangan serta hasil kajian dari berbagai literatur tentang
dampak Revolusi Hijau terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
pada masyarakat Sukawening-Garut dalam sebuah karya ilmiah.
18
Adapun pendekatan yang digunakan oleh penulis dalam penelitian ini
adalah pendekatan Interdisipliner yaitu pendekatan yang menggunakan satu
disiplin ilmu sosial yang dominan serta ditunjang atau dilengkapi oleh ilmu-ilmu
sosial lainnya sebagai pelengkap. Misalnya untuk memecahkan permasalahan
penelitian maka kita menggunakan konsep-konsep dari disiplin ilmu Sosiologi
yang ditunjang oleh ilmu sosial lainnya seperti Antropologi dan Ekonomi.
Teknik-teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini
sebagai berikut :
1. Studi kepustakaan yaitu mengumpulkan dan menganalisis materi dari
berbagai literatur yang relevan untuk memecahkan permasalahan
penelitian. Penulis juga berusaha membandingkan antara literatur yang
satu dengan yang lainnya supaya mendapatkan data yang akurat. Tentunya
penulis lebih banyak menggunakan buku-buku yang berhubungan dengan
Sosiologi dan Antropologi, Revolusi Hijau, perekonomian pedesaan,
perubahan sosial serta buku ilmu-ilmu sosial lainnya.
2. Observasi yaitu teknik pengumpulan data secara langsung mengamati ke
lapangan untuk mendapatkan informasi yang kita butuhkan. Penulis
mengobservasi secara langsung objek kajian serta menganalisis data-data
yang ditemukan di lapangan tersebut. Penulis mengadakan pengamatan
secara langsung mengenai perubahan sosial-budaya dan ekonomi
masyarakat di Sukawening dengan dilaksanakannya program Revolusi
Hijau tersebut.
19
3. Wawancara yaitu teknik pengambilan data dengan cara melakukan
interview secara langsung dengan para petani dan pegawai kecamatan
untuk mendapatkan data yang diperlukan. Adapun mengenai format
wawancara yang berupa pertanyaan serta konsep-konsep yang akan
ditanyakan kepada responden, alangkah lebih baik jika sebelumnya telah
dipersiapkan supaya berjalan dengan lancar. Dalam teknik wawancara ini
diperlukan keahlian kita untuk mengarahkan responden agar jawabannya
tidak menyimpang dari pertanyaan yang diajukan. Mengenai jumlah
responden tidak dibatasi agar data yang ditemukan lebih akurat dan teruji.
1.6 Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan penulis dalam melakukan penelitian skripsi ini, maka
disusunlah sistematika penulisan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan diuraikan secara lebih rinci mengenai latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian secara garis
besar beserta pendekatan dan teknik pengumpulan data. Penulis juga tidak lupa
untuk menguraikan mengenai sistematika penulisannya.
BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN
Dalam bab ini penulis berusaha menguraikan secara lebih komprehensif
tentang materi-materi yang berhubungan dengan permasalahan penelitian.
20
Tentunya materi serta berbagai informasi ini diperoleh dari beberapa literatur
yang relevan. Selain itu juga dipaparkan mengenai konsep-konsep ilmu sosial
lainnya yang berhubungan untuk memecahkan permasalahan penelitian.
Dijelaskan juga secara mendetail mengenai alasan penulis menggunakan sumber-
sumber bacaan dan konsep-konsep tersebut untuk memecahkan pokok
permasalahan dalam penelitian.
BAB III METODE PENELITIAN
Sementara itu, dalam bab ini diasah kemampuan penulis dalam
menguraikan metode yang digunakan untuk merampungkan rumusan
permasalahan penelitian. Pada bab ini dijelaskan secara lebih komprehensif
mengenai langkah-langkah serta tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan.
Semua prosedur serta tahapan-tahapan penelitian mulai dari persiapan hingga
penelitian berakhir diuraikan secara terperinci.
BAB IV PROSES PERKEMBANGAN REVOLUSI HIJAU DI
SUKAWENING-GARUT PADA KURUN WAKTU 1970-1990
Pada hakikatnya dalam bab empat ini, penulis mulai mendeskripsikan hasil
penelitian di lapangan. Hal ini meliputi pengkajian tentang kondisi sosial, budaya
dan ekonomi para petani di Sukawening-Garut menjelang pelaksanaan Revolusi
Hijau. Selain itu juga dijelaskan mengenai letak geografis, jumlah penduduk dan
mata pencaharian masyarakat sekitarnya. Dikaji juga mengenai proses
pelaksanaan Revolusi Hijau yang meliputi kegiatan Bimas dan Intensifikasi
pertanian di Sukawening-Garut.
21
Pada bab empat ini juga, dikaji secara mendetail tentang upaya pemerintah
dalam memberikan pengarahan pada masyarakat Sukawening mengenai
intensifikasi pertanian. Hal ini meliputi penggunaan bibit unggul, pestisida, pupuk
kimiawi, traktor, alat penggilingan padi (huller) pada masyarakat Sukawening-
Garut.
BAB V DAMPAK REVOLUSI HIJAU TERHADAP KEHIDUPAN
SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI MASYARAKAT SUKAWENING-
GARUT 1970-1990
Pada bab lima ini, penulis menganalisis dampak pelaksanaan Revolusi
Hijau di Sukawening-Garut terhadap kehidupan sosial, budaya dan ekonomi
masyarakat pada kurun waktu 1970-1990. Selain itu juga dikaji lebih
komprehensif lagi tentang perubahan sosial yang terjadi seperti status dan peran
petani, stratifikasi sosial, pola konsumtif, pola pikir modern pada masyarakat
Sukawening-Garut ketika dilaksanakannya program Revolusi Hijau.
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Pada dasarnya pada bab ini penulis menuangkan interpretasinya setelah
menganalisis hasil penelitian tersebut. Bab kesimpulan ini bukan merupakan
rangkuman penelitian, melainkan hasil pemahaman penulis dalam memecahkan
permasalahan. Dalam menuliskan kesimpulan ini bisa dituangkan dengan cara
butir demi butir atau pun dalam bentuk uraian padat. Di sini juga dituangkan
mengenai rekomendasi atau saran baik untuk pembaca pada umumnya atau pun
untuk instansi tertentu.
22
DAFTAR PUSTAKA
Pada bagian ini, dituliskan sumber-sumber bacaan yang digunakan oleh
penulis ketika melakukan penelitian. Sumber disini bisa berupa buku, majalah,
surat kabar, draf atau dokumen dari kecamatan, daftar informan dan masih banyak
lagi. Penulisan daftar pustaka disesuaikan dengan kaidah yang berlaku.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Pada bagian ini berisi semua dokumen yang digunakan dalam penelitian
oleh penulis. Setiap lampiran diberi nomor urut serta diberi judul agar
memudahkan pembaca.
RIWAYAT HIDUP
Pada bagian ini penulis menjabarkan mengenai riwayat hidupnya secara
singkat dan jelas. Sementara itu juga dijabarkan mengenai pengalaman
berorganisasi serta prestasi penulis yang pernah diraih.