s2013_kajian potensi kelembagaan lokal untuk pengelolaan das terpadu
DESCRIPTION
lTRANSCRIPT
KAJIAN POTENSI KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK
PENGELOLAAN DAS TERPADU
(Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)
DWI PRAVITA GANATRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
ii
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian Potensi Kelembagaan
Lokal untuk Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)” adalah
benar-benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dan saran dari pembimbing dan belum
pernah diajukan dalam bentuk apapun atau sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi
atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, Desember 2013
Dwi Pravita Ganatri
NIM E34070115
ii
ABSTRAK
DWI PRAVITA GANATRI. Kajian Potensi Kelembagaan Lokal untuk Pengelolaan
DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu). Dibimbing oleh HARYANTO
R. PUTRO.
Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi peran dan posisi para pemangku
kepentingan di Sub DAS Cisadane Hulu dan menganalisis potensi kelembagaan lokal
dalam pengelolaan DAS terpadu. Penelitian berlokasi di Desa Wates Jaya, Kecamatan
Cigombong dan Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Pengumpulan data dilakukan melalui survei, wawancara, dan studi kepustakaan. Data
dianalisis dengan analisis pohon masalah dan dijabarkan secara deskriptif. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa degradasi DAS Cisadane disebabkan oleh aktivitas
manusia yang mengeksploitasi kawasan hulu tanpa pertimbangan fungsi ekologis.
Perilaku ini menyebabkan banyak masalah seperti peningkatan run-off, sedimentasi,
tanah longsor, banjir hilir, serta pencemaran air. Stakeholder di Sub DAS Cisadane
Hulu dapat dikelompokkan menjadi 4 komponen, sebagai regulator, operator, pengguna
dan fasilitator. Inisiatif lokal dari stakeholder harus diakomodasi dengan membentuk
forum pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu.
Kata kunci: kelembagaan lokal, pengelolaan DAS terpadu, Sub DAS Cisadane Hulu
ABSTRACT
DWI PRAVITA GANATRI. Potential of Local Institutional Study for Integrated
Watershed Management (Case Study in Cisadane Hulu Sub-Watershed). Supervised
by HARYANTO R. PUTRO.
The objective of the research was to identify the role and position of the
stakeholders in the Cisadane Hulu watershed and analyze the potential of local
institutions in integrated watershed management. Research located in Wates Jaya and
Pasir Buncir Village, Bogor Regency, West Java. Data collection were conducted
through surveying, interviews, and literature study. Data analyzed by tree problem
analysis and describe descriptively. The results showed that the degradation of Cisadane
Watershed was caused by human activities whom exploited the upstream area without
consideration of ecological functions. This behavior causes many problems such as
increased run-off, sedimentation, landslides, flooding downstream, as well as water
pollution. Stakeholder in Cisadane Hulu watershed can be grouped into 4 component,
such as regulator, operators, users and facilitator. The local initiative from stakeholders
must be accomodated by formed Cisadane Hulu Watershed Integrated Management
Forum.
Keywords : Cisadane Hulu Sub-Watershed integrated watershed management, local
institutional,
iii
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata
KAJIAN POTENSI KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK
PENGELOLAAN DAS TERPADU
(Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)
DWI PRAVITA GANATRI
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2013
iv
v
vi
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang berjudul
“Kajian Potensi Kelembagaan Lokal untuk Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Sub
DAS Cisadane Hulu)” sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari
Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Karya ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai
pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Haryanto R. Putro, MS selaku dosen
pembimbing dalam penelitian ini, serta keluarga atas segala kesabaran yang mereka
tunjukkan.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Masukan, kritik dan
saran yang membangun diharapkan demi perbaikan skripsi ini sehingga dapat
memberikan manfaat bagi semua pihak.
Bogor, Desember 2013
Dwi Pravita Ganatri
vii
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Ruang Lingkup Penelitian 1
Tujuan Penelitian 1
Manfaat Penelitian 1
METODE 2
Waktu dan Tempat Penelitian 2
Alat dan Obyek Penelitian 2
Jenis Data 3
Metode Pengumpulan Data 3
Analisis Data 3
HASIL DAN PEMBAHASAN 3
Hasil 3
Pembahasan 6
SIMPULAN DAN SARAN 18
Simpulan 18
Saran 18
DAFTAR PUSTAKA 18
viii
DAFTAR TABEL
1. Penggunaan lahan di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu) 3 2. Tingkat pendidikan responden 5
3. Mata pencaharian utama responden 5 4. Tingkat pendapatan responden 5 5. Instansi pemerintah dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 6 6. Lembaga swasta dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 7 7. Kelompok masyarakat dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 7
8. Kajian Kinerja Pengelolaan DAS 14
DAFTAR GAMBAR
1. Peta Lokasi Penelitian 2 2. Peta penggunaan dan penguasaan lahan 4 3. Analisis pohon masalah 8 4. Pemetaan stakeholder menurut kepentingan dan perannya 11
5. Pertambangan pasir di Blok Pasir Gudang, desa Pasir Buncir (kiri) dan
pembuangan sampah warga di pinggir sungai (kanan) 13
6. Perbedaan lahan HGU yang gundul dan lahan agroforestry masyarakat (kiri)
hasil MDM oleh masyarakat Kampung Lengkong (kanan) 16
vii
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan
konservasi yang memiliki peranan yang penting dan strategis sebagai daerah tangkapan
air (catchment area) bagi daerah-daerah yang ada di bawahnya. Salah satu DAS
prioritas yang sumber airnya berasal dari TNGGP adalah DAS Cisadane. Berdasarkan
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 328/Menhut-II/2009, DAS Cisadane
ditetapkan sebagai salah satu dari 108 DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas yang ada
di Indonesia (BPDAS 2010).
Daerah Tangkapan Air (DTA) TNGGP merupakan kesatuan kawasan lindung
yang terdiri dari taman nasional, kawasan ex-situ, kawasan perkebunan dan areal
penggunaan lainnya yang berfungsi mendukung fungsi hidrologi DAS. Pengelolaan
DAS menjadi aspek penting dalam mendukung kelestarian kawasan. Fungsi kawasan
hulu sebagai daerah tangkapan air harus dipertahankan dengan menjaga pemanfaatan
kawasan tidak melampaui daya dukung lingkungannya.
Konsep pengelolaan DAS terpadu dinilai dapat mengatasi permasalahan
pengelolaan DAS karena melibatkan para stakeholder secara partisipatif, terkoordinasi,
berkelanjutan, serta bersifat adaptif sesuai dengan karakteristik DAS. Penelitian ini
mengkaji peran dan potensi kelembagaan lokal di sekitar hulu DAS Cisadane sebagai
barisan terdepan dalam pelaksanaan program revitalisasi DAS Cisadane.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian difokuskan pada situasi dan potensi kelembagaan dalam pengelolaan
DAS di Sub DAS Cisadane Hulu, yang secara administratif meliputi wilayah
administrasi dua kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu Desa Pasir Buncir, Kecamatan
Caringin dan Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran dan posisi para pihak kunci
di Sub DAS Cisadane Hulu serta menganalisis potensi dukungan kelembagaan lokal
dalam pengelolaan DAS terpadu.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan
terhadap pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu. Informasi ini penting untuk
mengaktualisasi peran potensial kelembagaan lokal pada saat penerapan sistem
pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan.
2
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong dan Desa Pasir
Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi dipilih
melalui metode purposive sampling dengan pertimbangan sebagai wilayah administratif
paling hulu dari DAS Cisadane sekaligus merupakan zona penyangga kawasan
konservasi TNGGPP. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2012.
Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 1.
Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian
Alat dan Obyek Penelitian
Alat yang digunakan antara lain perekam suara, kamera, panduan wawancara,
alat tulis, dan peta kawasan. Obyek penelitian adalah stakeholder dan
institusi/kelembagaan yang ada di lokasi penelitian.
3
Sumber : Laporan KTA Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Citarum – Ciliwung 2007
Jenis Data
Data yang diperlukan meliputi : data karakteristik sumber daya, sosial budaya, dan
kerangka aturan kelembagaan. Jenis data yang diambil terdiri dari data primer untuk
keperluan analisis dan data sekunder sebagai rujukan/penunjang.
Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, wawancara, dan studi
literatur. Populasi yang menjadi unit analisis adalah rumah tangga (KK) dengan jumlah
sampel sebanyak 30 KK. Penetapan informan disesuaikan dengan metode snow ball
atau bola salju, bergerak dari informasi informan yang satu ke informan lainnya.
Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan metode tree problem analysis (Groenendijk 2003)
kemudian dijabarkan secara deskriptif dengan kerangka pendekatan Situasi – Struktur –
Perilaku – Kinerja (Kartodihardjo et al. 2004).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Sub DAS Cisadane Hulu sebagai lokasi penelitian terletak antara 1060 49’ 48’’–
1060 55’ 48’’ BT dan 6
0 45’36’’–6
0 47’24’’ LS, dengan luas sekitar 1770 ha.
Penggunaan lahan selengkapnya tersaji dalam Tabel 1.
Tabel 1 Penggunaan lahan di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu)
No Penggunaan Lahan Luas
Hektar Persen
1 Permukiman 12,1 0,68
2 Sawah 73,5 4,15
3 Ladang/tegalan 546,1 30,85
4 Kebun campuran 108,9 6,15
5 Hutan 1.029,4 58,16
Total 1.770,0 100,00
Areal hutan Sub DAS Cisadane Hulu merupakan hutan hujan tropis pegunungan
yang didominasi jenis pinus, damar, jamuju, puspa, rasamala, dan semak belukar.
Tumbuhan bawah berupa kapulaga dan kumis kucing merupakan hasil budidaya
4
tumpang sari oleh warga. Penggunaan lahan yang cukup luas penyebarannya adalah
ladang/tegalan, terutama dijumpai pada lahan dengan kemiringan curam dan sangat
curam. Lahan kebun campuran antara berbagai jenis tanaman tahunan juga umum
dijumpai, kebun campuran ditanami tanaman buah-buahan, perkebunan, dan kayu-
kayuan diselingi dengan tanaman semusim seperti jagung. Pola penggunan dan
penguasaan lahan tersaji pada Gambar 2.
Gambar 2 Peta penggunaan dan penguasaan lahan
5
Karakteristik Responden
Karakteristik responden meliputi tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan
tingkat pendapatan masyarakat di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan responden
disajikan dalam tabel berikut :
Tabel 2 Tingkat pendidikan responden
No Tk. Pendidikan Jumlah Persentase (%)
1 SD /setara 12 40
2 SMP / setara 11 37
3 SMA / setara 6 20
4 Akademi 1 3
Total 30 100
Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah disebabkan mahalnya biaya
pendidikan dan biaya transportasi. Selanjutnya, karakteristik mata pencaharian
responden dapat dilihat pada Tabel 3:
Tabel 3 Mata pencaharian utama responden
No Mata pencaharian Jumlah Persentase (%)
1 Petani 7 23,3
2 Penggarap 6 20,0
3 Buruh pabrik 3 10,0
4 PNS 4 13,3
5 Jasa Ojek 3 10,0
6 Lainnya 7 23,4
Total 30 100,0
Dari 30 responden memiliki 12 jenis pekerjaan yang berbeda menandakan
perkembangan spesialisasi suatu kelembagaan masyarakat yang awalnya merupakan
masyarakat petani. Tingkat pendapatan responden tergolong rendah, untuk memenuhi
kebutuhan tak terduga, seperti biaya persalinan, biaya pendidikan, atau biaya mendadak
lainnya, responden akan menjual tanaman tahunan (pohon) atau ternak yang mereka
miliki. Tingkat pendapatan responden tersaji pada Tabel 4.
Tabel 4 Tingkat pendapatan responden No Pendapatan (Rp) Jumlah Persentase (%) 1 < 750.000 14 4,7
2 700.000 – 1.500.000 11 36,6
3 > 1.500.000 5 16,7
Total 30 100,0
6
Indikator Pemahaman terhadap Program Pengelolaan DAS Terpadu
Persepsi dan pemahaman masyarakat akan berpengaruh pada perilakunya dalam
mengelola DAS sekaligus memberikan gambaran apakah program telah ditanggapi
secara positif atau negatif. Responden yang mengetahui program pengelolaan DAS
terpadu (40%) adalah staf desa dan petani yang terlibat dalam membuat Model DAS
Mikro (MDM) tahun 2008. Sementara 60% responden menyatakan tidak tahu dan
tidak pernah terlibat dalam pengelolaan DAS terpadu.
Pembahasan
Identifikasi Para Pihak dalam Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Stakeholder didefinisikan sebagai semua pihak baik individu maupun suatu
kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan,
keputusan-keputusan dan penerapan dari suatu mekanisme (Groenendjik 2003). Para
pihak terkait pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu terbagi menjadi :
1. Instansi pemerintah
Para pihak terkait pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu yang berasal dari instansi
pemerintah dapat dilihat dalam Tabel 5.
Tabel 5 Instansi pemerintah dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS
No Stakeholder Keterangan
1. BPDAS Citarum Ciliwung Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan
kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS
2. TN Gede-Pangrango Melaksanakan perlindungan, pengawetan, dan
pemanfaatan secara lestari potensi SDA dan
ekosistemnya
3. BBWS Ciliwung Cisadane Menangani teknis pengaturan sungai seperti
pemeliharaan bendungan untuk irigasi
4. Distanhut Kab. Bogor Melaksanakan kewenangan pemda dalam bidang
pertanian dan kehutanan
5. BP4K Kab. Bogor Melaksanakan kewenangan pemda di bidang
penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan
kehutanan
6. Balitnak Lido Melakukan pemberdayaan masyarakat dengan bantuan
ternak & pelatihan, membuat model kampung domba
7. Dinas ESDM Kab. Bogor Pemberi SIPD di blok Pasir Gudang, Desa Pasir Buncir
8. Dinkes Kab. Bogor Pemberdayaan masyarakat dengan program STBM agar
tidak membuang hajat dan sampah di sungai
9. Bappeda Kab. Bogor Menyusun perencanaan pembangunan daerah di
Kabupaten Bogor
10. Dinas Tata Ruang dan
Pertanahan Kab. Bogor
Menyusun tata ruang Kab. Bogor, menetapkan kawasan
sekitar hulu DAS sebagai kawasan lindung dan
budidaya terbatas
7
2. Lembaga swasta
Pada umumnya peran lembaga swasta dalam pengelolaan DAS meliputi
pemanfaatan sumber daya terutama sumber daya lahan dan potensi di dalamnya.
Terdapat 3 perusahaan swasta yang berada di kawasan Sub DAS Cisadane Hulu, yang
tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Lembaga swasta dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS
No Stakeholder Keterangan
1. PT. Fusion Plus
Indonesia
Pemegang HGU agrowisata sejak 2009, baru
mengelola sekitar 100 ha dari HGU seluas 1.013 ha
2. PT. Mega Bumi Karsa Pemegang SIPD pertambangan pasir di blok pasir
gudang sejak 2009 seluas 42 ha, baru dikelola 2 ha
3. CV. Kertajaya Pengelola pertambangan di atas lahan milik seluas 2 ha,
diduga ilegal tanpa izin pertambangan dan UKL-UPL
3. Masyarakat
Masyarakat yang berperan terhadap pengelolaan DAS tidak hanya masyarakat di
kedua lokasi penelitian, namun juga masyarakat di luar kawasan, yang tersaji pada
Tabel 7.
Tabel 7 Kelompok masyarakat dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS
No Stakeholder Keterangan
1. Gapoktan Bersaudara
& Barokatunabaat
Dua kelompok tani yang merupakan inisiatif lokal
masyarakat dan turut berpartisipasi dalam pengelolaan
DAS serta pembuatan Model DAS Mikro
2. Koperasi kumis kucing Diinisiasi oleh telapak pada tahun 2009 untuk
meningkatkan usaha kumis kucing masyarakat
3. Senandung Nada hijau Kelompok pemuda peduli lingkungan Desa Wates Jaya
4. Rajawali Muda Kelompok pemuda peduli lingkungan di Pasir Buncir
6. LSM Telapak LSM yang membantu menginisiasi Koperasi Kumis
Kucing dan bantuan PLTMH di Desa Wates Jaya
7. LSM RMI LSM yang memberikan penyuluhan lingkungan dan
fasilitator kelompok pemuda di kedua desa
8. ESP –USAID Lembaga internasional yang memberikan penyuluhan
sekolah lapang pada masyarakat di tahun 2007
9. JKPP Membantu pemetaan kampung partisipatif untuk
menjamin kepastian batas wilayah kampung dengan
kepemilikan lahan lain di sekitarnya
10. Lembaga Penelitian Terdiri dari institusi pendidikan (IPB, Universitas
Pakuan, UNJ, dll) dan institusi penelitian (LIPI,
konsultan lingkungan) yang melakukan penelitian,
kajian, dan penyuluhan kepada masyarakat
11. Kelompok pecinta
lingkungan
Kelompok/organisasi masyarakat (kebanyakan berasal
dari wilayah tengah dan hilir DAS) yang melakukan
penanaman pohon di lokasi penelitian sebagai aksi
penghijauan
8
Gambar 3. Analisis pohon masalah
Penegakan hukum & kebijakan lemah
Kualitas air menurun
Meningkatnya
pembiayaan masyarakat
Meningkatnya
pembiayaan pemerintah
Fluktuasi Debit Meningkat
Lahan terbuka meningkat
Erosi & sedimentasi meningkat Air tidak layak
konsumsi
Banjir
di hilir Produktivitas
lahan turun
Bencana
longsor
Menimbulkan masalah kesehatan
Ego Sektoral
Potensi deposit
pasir Potensi wisata/
peristirahatan
Program DAS
tidak terpadu
Partisipasi
masyarakat rendah
Kesadaran masy.
rendah
Degradasi DAS tidak
terkendali
Sosialisasi
kurang efektif
Lemahnya koordinasi
antar pihak/sektor
Kemampuan ekonomi
& kualitas SDM
rendah
Kontribusi besar
bagi PDB
Ketergantungan
Lahan Tinggi
Kepemilikan lahan
masy.sempit
Pemberian izin
pada swasta
Pembukaan lahan
pada kawasan lindung
Analisis Pohon Masalah
Dari masalah yang telah dikumpulkan berdasarkan wawancara, studi literatur dan
observasi lapang, diketahui bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi di DAS
Cisadane tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi berlangsung dalam suatu rantai hubungan
sebab-akibat. Hubungan saling keterkaitan tersebut digambarkan dalam Pohon masalah
yang disajikan dalam Gambar 3.
9
Analisis pohon masalah memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang telah
diterapkan pemerintah dalam upaya revitalisasi DAS Cisadane tidak dapat berjalan baik
karena penegakan hukum yang lemah pada pembukaan lahan di kawasan lindung serta
pengendalian penurunan kualitas sungai.
Akar penyebab lemahnya penegakan hukum ini dari sisi pemerintah adalah akibat
ego sektoral dalam pendekatan pengelolaan DAS sehingga pelaksanaan program
berjalan masing-masing di tiap lembaga. Selain menyebabkan sosialisasi menjadi tidak
efektif yang berakibat rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat, tentunya
kegiatan yang tidak terkoordinasi membuat dana pengelolaan semakin terbatas.
Sementara itu, dari sektor swasta cenderung mengedepankan eksploitasi manfaat
ekonomi dari sumber daya alam di dalam DAS Cisadane, diantaranya adalah potensi
deposit pasir yang besar di Desa Pasir Buncir, dan potensi wisata/peristirahatan. Melihat
adanya kontribusi yang besar bagi pendapatan daerah, maka pemerintah daerah yaitu
Pemkab Bogor mengeluarkan ijin HGU dan HGB untuk pemanfaatan kawasan sebagai
resort, pemukiman dan agrowisata, serta mengeluarkan SIPD untuk menambang pasir di
Desa Pasir Buncir.
Masyarakat di kedua desa, sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang
rendah dan kemampuan ekonomi terbatas. Mereka menggantungkan kehidupannya pada
sektor pertanian. Ketergantungan petani terhadap lahan tidak seimbang dengan
kepemilikannya terhadap lahan, sehingga petani cenderung menggunakan pola-pola
pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola
lahan garapannya. Persepsi masyarakat terhadap sungai pun masih dianggap sebagai
barang publik bagi berbagai keperluan, seperti mandi cuci kakus, saluran pembuangan
limbah rumah tangga, dan tempat membuang sampah.
Akumulasi semua faktor tersebut mengakibatkan kualitas sungai menurun karena
pencemaran dan sedimentasi yang dapat mengakibatkan banjir di hilir, sedangkan
luasnya lahan terbuka meningkatkan kerawanan kawasan terhadap longsor dan
menurunnya produktivitas lahan karena lapisan tanah yang subur terkikis air hujan. Baik
banjir maupun longsor pada akhirnya akan merugikan semua pihak.
Analisis Situasi – Struktur – Perilaku – Kinerja
Menurut Kartodihardjo (2003), situasi merupakan kondisi saat ini yang diasumsikan
tidak berubah setelah suatu kebijakan diterapkan. Struktur merupakan kondisi yang
merupakan aturan main (rules of the games) setiap pelaku ekonomi, atau kondisi
kelembagaan (institusi) atau dapat berupa peraturan perundang-undangan yang
diberlakukan pemerintah dan peraturan lain yang bersifat informal seperti kebiasaan
masyarakat adat dan lain-lain. Perilaku adalah respon yang dilakukan setiap individu,
masyarakat atau organisasi, sedangkan kinerja adalah kondisi yang dapat diukur sebagai
perwujudan respon yang dilakukan.
1. Situasi Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Situasi pengelolaan meliputi karakteristik sumber daya alam dan sumber daya
manusia yang terdapat di Sub DAS Cisadane Hulu. Menurut Sukartaatmadja (2006),
erosi total tahunan Sub DAS Cisadane Hulu sebesar 1700,84 ton/ha termasuk kategori
sangat berat dan nilai sedimen tahunan sebesar 81,39 ton/ha. Kerawanan kawasan
terhadap longsor tergolong tinggi. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden
menyadari dan merasakan adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi di
10
wilayah mereka, diantaranya hilangnya beberapa sumber air, berkurangnya biota perairan,
air tidak layak dikonsumsi bahkan pernah menyebabkan wabah disentri di lokasi
penelitian. Situasi tersebut menerminkan bahwa DAS masih dianggap sebagai barang
bebas yang bersifat open access dimana semua orang bebas memanfaatkan sumber daya
alam yang ada di dalamnya secara cuma-Cuma. Situasi pengelolaan Sub DAS Cisadane
Hulu terdiri dari faktor-faktor berikut ini :
a. Aspek Ruang Lokasi penelitian berdasarkan RTRW Kab. Bogor termasuk kawasan lindung dengan
budidaya terbatas. Terdapat pula kawasan pelestarian alam yaitu TNGGP. Status
hukum kawasan DAS hulu di luar TNGGP belum kuat dan termasuk areal penggunaan
lain. Areal penggunaan lain menjadi kawasan yang rentan terhadap penggunaan dan
alih fungsi lahan yang memberikan input negatif bagi kinerja DAS.
b. Aspek Waktu Peningkatan kualitas tutupan lahan di daerah hulu melalui kegiatan pengelolaan hutan
(agroforestry/MDM) berorientasi jangka panjang karena membutuhkan waktu yang
lama untuk menghasilkan keuntungan, sedangkan daur panen usaha pertanian dan
ladang lebih singkat meskipun penurunan produktifitas lahan membuat biaya bibit dan
pupuk kian meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan usaha pertanian lebih
disenangi oleh petani dibanding usaha kehutanan.
c. Jaminan Hak Kepemilikan Kepastian hak mendorong jaminan dan rasa aman untuk berinvestasi dalam jangka
panjang. Jika pemerintah ingin meningkatkan kinerja Sub DAS Cisadane Hulu dengan
meningkatkan tutupan lahannya, maka jaminan hak kepemilikan (lahan/hutan) harus
tinggi, baik bagi TN, masyarakat maupun swasta.
d. Aksi Kolektif Pengelolaan DAS membutuhkan aksi kolektif tinggi karena merupakan sumber daya
bersama yang cenderung bersifat non excludable dan rivalry bila tidak ada kesepakatan
bersama untuk pengelolaan yang berkelanjutan.
2. Struktur Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Kondisi eksiting Sub DAS Cisadane Hulu menggambarkan interdependensi
antara 3 pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya bersama yaitu: pihak
pemerintah, swasta dan masyarakat.
Sub DAS Cisadane Hulu mengikat para stakeholder ke dalam beberapa zona
yang digambarkan dalam ilustrasi pada Gambar 4. Stakeholder I di lingkaran biru
adalah kelompok yang memanfaatkan sumber daya DAS dan terpengaruh secara
langsung terhadap perubahan lingkungan dan DAS di sekitarnya. Stakeholder II berada
di lingkaran hijau terpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja DAS dan berperan
merancang/mengadakan program pengelolaan DAS maupun pemberdayaan masyarakat.
Sedangkan stakeholder III berada di lingkaran putih, mereka berkepentingan terhadap
isu pengelolaan DAS, misalnya para pembuat kebijakan, lembaga penelitian, pecinta
lingkungan dan LSM. Struktur para aktor dan peranannya digambarkan dalam
hubungan keterkaitan dan posisi relatif dalam isu pengelolaan DAS terpadu dapat
dilihat dalam ilustrasi berikut ini.
11
Gambar 4 Pemetaan stakeholder menurut kepentingan dan perannya
Pada ilustrasi Gambar 4, Struktur para pihak di Sub DAS Cisadane Hulu
kemudian dapat dikelompokkan dalam 4 komponen menurut kepentingannya, yaitu :
a. Regulator Regulator adalah institusi pengambil keputusan atau mereka yang berwenang
menetapkan kebijakan, stakeholder yang tergolong regulator adalah : Bappeda dan
Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kab. Bogor.
b. Operator Operator adalah lembaga yang dibentuk dan berfungsi untuk melaksanakan
pengelolaan sehari-hari sumber air, sarana-prasarana, maupun sumber daya lain yang
berada di suatu wilayah sungai, stakeholder yang tergolong operator adalah BPDAS
Citarum-Ciliwung dan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di bawah
Kementerian Kehutanan, Distanhut Kab. Bogor, serta Badan Pelaksana Penyuluhan
Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kab. Bogor, BBWS Ciliwung-
Cisadane.
c. User Stakeholder yang tergolong user atau penerima manfaat adalah masyarakat desa
Pasir Buncir dan Wates Jaya, gapoktan bersaudara dan barokatunabaat, PT. Fusion
Plus Indonesia, PT. MBK, dan CV Kertajaya.
d. Fasilitator Fasilitator berfungsi memfasilitasi sampainya kebijakan pemerintah dan informasi
serta inovasi pengelolaan DAS kepada masyarakat melalui program penyuluhan dan
pemberdayaan masyarakat serta menyalurkan aspirasi serta keluhan masyarakat
kepada pihak regulator. Fasilitator terdiri dari BPDAS, Distanhut, BP4K, sedangkan
dari lembaga non pemerintah terdiri dari lembaga penelitian dan LSM, diantaranya
RMI, Telapak, ESP-Usaid, dan Greena.
CV.
Kertajaya Sumber
daya DAS
Kop. Kumis Kucing
CV.Kertajaya
Petani/gapoktan
Masy. desa
PT.MBK
PT. Fusion
Bapedda
Pecinta lingkungan
BP4K Rajawali muda
Distanhut
BPDAS CC
TNGGP
Senadi
Dinas Tata
Ruang
KJPP RMI
Telapak ESP
Usaid
Greena
Lembaga
penelitian
BBWS CC
12
3. Perilaku Para Pihak Dalam Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu
Perilaku para pihak terhadap pemanfaaatan DAS sangat mempengaruhi kondisi
eksisting DAS. Masyarakat Desa Pasir Buncir dan Wates Jaya sebagian besar
menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, namun mereka tidak memiliki
akses terhadap sumberdaya lahan karena hampir 70% kawasan dikuasai oleh pemegang
Hak Guna Usaha (HGU) swasta, yaitu PT. PAP (Pengembangan Agro Prima) sejak
tahun 1985. Masyarakat berladang di lahan HGU dengan sistem sewa sebesar Rp
150.000 – 300.000 per ha/musim tanam dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejak
tahun 2009, HGU PT. PAP telah diambil alih oleh PT. Fusion Plus Indonesia, anak
perusahaan PT. Bakrieland.
Konflik pemanfaatan sumberdaya di DAS Cisadane mencapai puncaknya pada
tahun 2003, dimana kegiatan penambangan pasir ilegal marak dilakukan di Desa Pasir
Buncir. Pada tahun yang sama, pembalakan liar pun banyak terjadi, yang dipicu oleh
terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts II/2003 tentang perluasan kawasan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menjadi 21.975 ha. Pembalakan
liar terjadi karena pihak taman nasional tidak memberikan akses bagi masyarakat
terhadap kawasan dan sumberdaya hutan di TNGGP, sementara di bawah pengelolaan
PT. Perhutani masyarakat diberikan keleluasaan untuk menebang pohon dengan
mekanisme tanam kembali / TPTI, sehingga kebutuhan kayu masyarakat terpenuhi.
Pembalakan liar kini telah berhasil dihentikan dengan sanksi yang tegas, sementara
pertambangan ilegal ditutup tahun 2007 setelah terjadi longsor yang menimbulkan 6
korban jiwa. Ketiadaan akses masyarakat terhadap lahan turut memicu penggunaan
lahan yang degradatif yaitu pengelolaan lahan yang berlangsung intensif (menggunakan
banyak pupuk dan pestisida kimia), tanah miring tidak diberikan terasering dan teknik
konservasi tanah tidak diperhatikan.
Kesepakatan penyewaan lahan tetap berjalan di bawah pengelolaan PT. Fusion
yang juga tidak memperbolehkan masyarakat menanam tanaman berkayu keras karena
sewaktu-waktu lahan akan dipakai perusahaan. Berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan
Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan
Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, maka lahan HGU PT. Fusion dapat diidentifikasikan
sebagai tanah terlantar dan dapat dikenai sanksi bahkan dihapuskan hak usahanya
karena tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan seperti pada hak yang telah
diberikan. Dalam kebijakan tersebut tidak dibenarkan lahan HGU disewakan kepada
masyarakat sekitar, namun harus dipergunakan sesuai tujuan, yaitu dikembangkan
sebagai kawasan agrowisata. PT. Fusion beralasan bahwa HGU yang sebelumnya milik
PT.PAP tersebut baru dibeli pada tahun 2009 dan masih menunggu dana untuk
pengembangan, saat ini mereka prioritaskan pada pengamanan kawasan HGU. Mereka
menganggap penyewaan lahan sebesar Rp 300.000 – Rp 450.000 / ha/ musim tanam
tersebut merupakan kebijakan perusahaan dan kesepakatan dengan warga. Kondisi ini
menyebabkan luasnya areal lahan kritis di hulu DAS Cisadane, sementara kesepakatan
belum dapat dicapai antara PT. Fusion dan BPDAS Citarum-Ciliwung dalam upaya
revitalisasi Sub DAS Cisadane Hulu.
Pada tahun 2009, Pemda memberikan izin pada PT. Mega Bumi Karsa (MBK)
untuk mengoperasikan tambang pasir di Desa Pasir Buncir karena ada kejelasan status,
badan hukum, UKL/UPL, dan upaya reklamasi ke depannya. Para elit desa beranggapan
bahwa tambang pasir menguntungkan bagi masyarakat, ada pemasukan tambahan bagi
kas desa sebesar Rp 40.000 per truk pasir yang keluar, RW, RT, hingga warga masing-
masing mendapat sekitar Rp 50.000 per 1-2 bulan.
13
Pemberian izin ini tentunya melanggar PP.No 26 Tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang dan Wilayah Nasional, dimana lokasi pertambangan pasir PT.MBK berada
di kawasan lindung. Baik sempadan sungai maupun lahan dengan kelerengan lebih dari
40% merupakan kawasan lindung. Kecamatan Caringin dan Cigombong dalam RTRW
Kabupaten Bogor juga ditetapkan sebagai kawasan lindung dan budidaya terbatas,
sehingga keberadaan Pertambangan Pasir PT.MBK sangat rawan bagi kawasan tersebut.
Gambar 5 Pertambangan pasir di Blok Pasir Gudang, desa Pasir Buncir (kiri)
dan pembuangan sampah warga di pinggir sungai (kanan)
Sebagian besar responden (80%) berpendapat lebih senang jika tambang ditutup
karena mengkhawatirkan dan kurang menyerap tenaga kerja masyarakat lokal, uang Rp
50.000/ bulan tidak ada artinya dibanding resiko yang mereka tanggung bila terjadi
bencana, air sungai pun menjadi keruh dan tercemar zat besi yang akan menimbulkan
efek kesehatan jika dikonsumsi jangka panjang. Di sisi lain, perilaku yang negatif
seperti membuang hajat dan sampah ke sungai masih dilakukan masyarakat sekitar.
Perubahan perilaku masyarakat mulai terlihat seiring penguasaan informasi yang
didapat masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan pendampingan dari mahasiswa
Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pakuan Bogor, Universitas Negeri Jakarta
(UNJ), yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun Praktek Kerja Lapang
(PKL) di lokasi penelitian serta pendampingan dari organisasi non-pemerintah seperti
LSM RMI, Telapak, Greena, Dompet Dhuafa, dsb. Perubahan perilaku semakin terlihat
ketika pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mensosialisasikan
program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pada tahun 2011. Melalui STBM,
pemerintah menyalurkan dana untuk pembuatan septic tank dan tempat sampah bagi
warga di Desa Pasir Buncir dan Wates Jaya, sehingga perilaku membuang sampah dan
limbah manusia ke sungai Cisadane berkurang signifikan hingga 70%.
Perilaku para aktor di sub DAS Cisadane Hulu dipengaruhi oleh pengetahuan
dan persepsinya dalam memandang DAS, untuk itu program-program sosialisasi,
pendidikan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan serta studi banding perlu lebih
diintensifkan untuk meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki persepsi para aktor
dalam sub DAS Cisadane Hulu sehingga dapat teraktualisasi dalam perubahan perilaku
yang positif terhadap DAS serta lingkungan di sekitarnya.
Perilaku yang mengedepankan kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan
ekologi menyebabkan sistem hidrologis DAS bereaksi menimbulkan permasalahan
banjir, tanah longsor, penyakit, dan penurunan produktivitas lahan yang menyebabkan
kerugian materil yang besar bagi pemerintah maupun masyarakat.
14
Kinerja Pengelolaan DAS
Kinerja pengelolaan DAS di Cisadane hulu belum memberikan hasil maksimal
karena pengelolaan masih berlangsung sektoral. Kinerja pengelolaan digambarkan
dalam tabel berikut :
Tabel 8 Kajian Kinerja Pengelolaan DAS
No Kriteria Kinerja yang diharapkan
Kinerja di lapangan
1 Perencanaan Perencanaan pengelolaan
DAS yang integratif dan
berkelanjutan, stakeholder
dilibatkan dalam proses
perencanaan, perancangan
kegiatan, serta pengambilan
keputusan.
Pengambilan keputusan dan
proses perencanaan didominasi
pemerintah pusat, pemda dan
stakeholder lebih banyak
berpartisipasi semu.
2 Pelaksanaan
Program
Melibatkan seluruh
stakeholder sehingga
masyarakat dapat mengontrol
bagaimana kegiatan terlaksana
Masih bersifat sektoral instansi,
kerjasama hanya melibatkan
sebagian stakeholder.
Keterlibatan masyarakat lebih
sebagai obyek suatu program.
a.Agroforestry Meningkatkan tutupan lahan
daerah hulu dan meningkatkan
kesejahteraan petani
Belum optimal mengurangi
sedimentasi karena tidak
mengimbangi banyaknya lahan
terbuka di sekitarnya
b.MDM
(Model DAS
Mikro)
c.STBM
Meningkatkan tutupan lahan
daerah hulu dan menigkatkan
kesejahteraan petani.
Menanamkan kebiasaan warga
untuk hidup sehat, tidak
membuang kotoran dan
sampah ke sungai
Lokasi MDM overlap dengan
lahan PT Fusion dan PT. MBK
sehingga kawasan percontohan
tidak optimal, tetapi program
ini berhasil meningkatkan
pendapatan petani mencapai Rp
20 juta / ha / tahun
Lahan sempit sehingga warga
sulit membuat septic tank dan
tempat sampah
3 Pengorganisa
sian: Forum
Sub DAS
Cisadane
Hulu
Terciptanya koordinasi,
integrasi, sinkronisasi, dan
sinergitas para pihak dalam
pengelolaan DAS
Forum Sub DAS Cisadane
Hulu tidak berjalan karena
tidak kuatnya komitmen para
pihak dalam kelembagaan
forum untuk melaksanakan
fungsi koordinasi
4 Monitoring
dan Evaluasi
Memperoleh data indikator
kinerja DAS & evaluasi untuk
gambaran perubahan daya
dukung DAS .
Kegiatan bersifat sektoral dan
hasil monev tidak
diinformasikan kembali kepada
masyarakat dan stakeholder
15
Pengelolaan kawasan lindung, seperti hutan dan DAS lebih dominan
mengedepankan peran pemerintah. Masyarakat sekitar DAS, gapoktan, dan swasta
belum dilibatkan menyeluruh dalam penyusunan program pengelolaan. LSM kadang-
kadang dilibatkan sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau
sebagai pendamping masyarakat (kelompok kerja) dalam pelaksanaan kegiatan
reboisasi.
Dominasi pemerintah juga diiringi oleh kebijakan yang secara sadar atau tidak,
ternyata mengakibatkan masyarakat cenderung menjadi objek dari suatu kebijakan.
Pemerintah meluncurkan berbagai proyek atau program, dan masyarakat
melaksanakannya dengan membentuk kelompok-kelompok pelaksana berupa kelompok
kerja atau kelompok tani. Pola top-down seperti ini walaupun hasilnya tidak yang
optimal, namun masih tetap berjalan hingga saat ini.
Mustadjab (1986) menyebutkan bahwa tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan
oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga
menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada
meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim
penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.
Masalah yang dominan tampak pada Sub DAS Cisadane Hulu adalah pada pola
penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai daerah lindung dan
penyangga kawasan di bawahnya. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi
masyarakat petani yang rendah menyebabkan pola penggunaan lahan dan pemanfaatan
sumber daya Sub DAS Cisadane Hulu yang tidak berkelanjutan.
Penguasaan atas lahan menjadi dasar penggunaan lahan yang berlangsung di Sub
DAS Cisadane Hulu. Penguasaan atas lahan sebagai hak kepemilikan (property rights) di
bentang alam Sub DAS Cisadane Hulu terbagi atas berbagai bentuk pemilikan, yaitu hak
individu, hak komunitas, hak negara, serta berbagai turunannya seperti hak sewa, hak
guna usaha, dan lain-lain.
Keterlibatan banyak pemangku kepentingan tanpa pengembangan kelembagaan
yang mantap dapat menghambat program pengelolaan DAS bila tidak ada koordinasi
yang baik antar para pihak, sehingga siapa yang berperan, siapa yang berpartisipasi dan
apa yang dilakukan menjadi tidak jelas serta berpotensi menimbulkan konflik.
Potensi keterlibatan masyarakat lokal sebagai Alternatif Pengelolaan DAS
Dalam perspektif kelembagaan, perlu dikaji aturan main (rules of the game) baik
formal maupun informal yang mengatur peran, wewenang, serta hubungan para
pemangku kepentingan terkait pemanfaatan sumber daya di Sub DAS Cisadane Hulu.
Masyarakat melakukan pemanfaatan sumber daya dalam DAS berdasarkan pada
pemenuhan kebutuhan hidup, secara legal formal mereka tidak memiliki dasar yang
kuat, apalagi akses terhadap sumber daya terhimpit oleh larangan dan kebijakan taman
nasional serta kepemilikan lahan yang sempit akibat penguasaan lahan oleh swasta.
Pemberdayaan masyarakat telah sering dilakukan di Sub DAS Cisadane Hulu,
namun terdapat beberapa bentuk kekeliruan yang dijumpai dalam pengembangan
kelembagaan pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu:
1. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas
kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan modal sosial masyarakat
secara mendasar. Sebuah kelembagaan cenderung bubar sesaat setelah ditinggalkan
pelaksananya, contohnya : Koperasi Kumis Kucing di Desa Wates Jaya, Sekolah
Lapang ESP-USAID, Forum Komunikasi Sub DAS Cisadane Hulu.
16
2. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari
pengembangan aspek kulturalnya. Sruktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun
tidak diikuti perkembangan aspek kulturalnya (visi, motivasi, semangat, manajemen,
dan lain-lain), contohnya : Forum Komunikasi Sub DAS Cisadane Hulu.
3. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial,
atau merupakan perubahan yang materialistik, contohnya sikap sebagian besar
responden yang kebanyakan mengharapkan dan menuntut bantuan dan sumbangan
pemerintah.
Mengacu pada Taylor dan Mckenzie (1992), ada beberapa alasan mengapa
inisiatif lokal diperlukan. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena
pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara
kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di
antaranya adalah karena masih banyaknya sumber daya yang belum termanfaatkan,
yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal.
Salah satu kelembagaan yang kuat dan berasal dari inisiatif lokal adalah
Gapoktan Bersaudara. Gapoktan Bersaudara pada mulanya bernama Lembaga Mikro
Syariah Bersaudara, mulai berdiri pada tahun 2001 dan mulai mengembangkan jejaring
kerjasama dengan Balitnak Lido, BPDAS CC, BP4K dan LSM untuk mengembangkan
pola tanam agroforestry, teknik konservasi tanah dengan teasering, serta teknik
pertanian yang lebih ramah lingkungan di kampungnya.
Gambar 6 Perbedaan lahan HGU yang gundul dan lahan agroforestry masyarakat
(kiri), hasil MDM oleh masyarakat Kampung Lengkong (kanan)
Gapoktan Bersaudara berhasil menanamkan kultur kesadaran menanam dan
rehabilitasi lahan bagi masyarakat, tahun 2006 mulai terlihat setiap datang bantuan bibit
selalu habis diambil oleh masyarakat sekitar.
Terlihat perbedaan yang kontras antara lahan HGU dengan lahan masyarakat
yang telah mulai ditanami secara tumpangsari antara pohon, kebun campuran, jagung
dan singkong. Lahan HGU cenderung kering dan tandus, serta rentan terhadap erosi
karena tidak ditanami vegetasi yang cukup.
Gapoktan Bersaudara juga berhasil mengembangkan kerjasama dengan Balitnak
dalam menginisiasi kampung domba untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Melihat
keberhasilan tersebut, Gapoktan Barokatunabaat dan Gapoktan Bersaudara II mulai
mengikuti jejak Gapoktan Bersaudara.
Kondisi demikian mengindikasikan bahwa komunitas dapat menjadi pelaku
utama dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus membangun jejaring dengan
17
berbagai pihak. Menurut Syahyuti (2006), satu komunitas diyakini akan aktif jika
mereka mampu melihat keuntungan dengan keterlibatannya dan memiliki akses
(property right) terhadap sumber daya yang ada. Dengan memahami pengetahuan lokal
masyarakat setempat, membangkitkan motivasi untuk melakukan konservasi, serta
memilih organisasi lokal yang kuat maka pendekatan pengelolaan sumber daya alam
berbasis komunitas atau Community-Based Natural Resource Management (CBNRM)
dapat diterapkan di Sub DAS Cisadane Hulu.
Tingginya peran dan partisipasi masyarakat lokal akan menghasilkan efisiensi
yang lebih besar dalam manajemen SDA karena dapat meminimalkan biaya transaksi,
kontrol terhadap pelaksanaan program lebih baik, serta komunitas lokal dipercaya akan
lebih mendorong konservasi SDA.
Koordinasi dan kerjasama diperlukan untuk menekan interdependensi antar pihak
melalui suatu pengaturan kelembagaan sehingga keempat kelompok stakeholder
(regulator, operator, user dan fasilitator) dapat bersinergi dalam suatu wadah koordinasi
yang kuat dan program pengelolaan DAS tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan
menjadi satu manajemen terpadu. Wadah koordinasi, pelaksanaan pengelolaan kawasan
lindung pada Sub DAS Cisadane Hulu ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab
setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana).
Saat ini belum ada wadah koordinasi yang tepat dalam pengelolaan DAS
Cisadane Hulu sehingga kesepakatan-kesepakatan antar stakeholder sulit dibuat.
Inisiatif lokal masyarakat dapat berkembang menjadi kelembagaan yang kuat bila
pemerintah dan organisasi non-pemerintah terus melakukan penguatan modal sosial
bagi masyarakat Sub DAS Cisadane Hulu.
Upaya menjembatani kepentingan para stakeholder yang terkadang saling
berbenturan dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama yang dapat menjadi acuan
seluruh pihak dalam mengelola sumberdaya di dalam DAS.
Alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tutupan lahan di Sub DAS
Cisadane Hulu adalah dengan mengadakan kontrak kerjasama/kesepakatan antara
perusahaan pemegang HGU dengan petani dengan jangka waktu yang cukup panjang.
Kontrak memberikan kepastian kepada para petani penggarap dan insentif
kepada mereka agar melakukan berbagai tindakan konservasi tanah yang
direkomendasikan. Kerjasama pemanfaatan lahan HGU untuk agroforestry dari segi
pengembangannya sebenarnya sejalan dengan PT. Fusion yang sejak awal berencana
untuk menjadikan lahan HGU yang dikuasainya itu sebagai kawasan agrowisata.
Khusus untuk lahan bekas Perhutani yang saat ini menjadi lahan Taman
Nasional Gede Pangrango, perlu penentuan zonasi kawasan pemanfaatan, dimana
zonasi tersebut juga sesuai dan telah diatur dalam perundangan. Jika seluruh lahan
TNGGP tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh petani, maka dengan sendirinya
akan terjadi penurunan pendapatan ril warga.
Selama ini, masyarakat terutama yang berdiam di Desa Wates Jaya (Kampung
Lengkong Girang dan Kampung Ciwaluh) memanfaatkan lahan bekas Perhutani untuk
bercocok tanam kumis kucing, kopi, sengon, serta menyadap getah pinus, pihak
TNGGP dapat memberlakukan zonasi dengan tetap memperbolehkan petani penggarap
melanjutkan aktivitasnya saat ini dengan persyaratan-persyaratan yang disepakati
bersama, atau menyediakan alternatif sumber pendapatan yang lain.
18
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Pembukaan lahan di kawasan lindung dan persepsi DAS sebagai barang publik
bersifat open access menjadi penyebab utama menurunnya fungsi Sub DAS
Cisadane Hulu. Aktivitas manusia tersebut menimbulkan berbagai masalah seperti
peningkatan run-off, sedimentasi, longsor, banjir di hilir, serta pencemaran air.
2. Peran dan posisi para pihak di Cisadane Hulu dapat dikelompokkan menjadi 4
komponen, yaitu regulator, operator, pengguna, dan fasilitator sesuai dengan
tingkat kepentingannya terhadap DAS.
3. Masyarakat lokal memiliki potensi yang besar menjalankan program pengelolaan
DAS berbasis komunitas, namun upaya masyarakat merehabilitasi lahan kritis dan
daerah hulu sungai terkendala dengan kepemilikan lahan yang sempit.
Saran
1. Perlu diadakan negoisasi-negoisasi terkait kerjasama pemanfaatan lahan antara para
petani dengan pihak HGU, karena pengembangan agroforestry sebenarnya sejalan
dengan PT. Fusion yang ingin membuka kawasan agrowisata. Negoisasi juga dapat
dilakukan dengan PT.MBK yang mempunyai kewajiban reklamasi lahan tambang.
2. Kegiatan yang bersifat kolaboratif antar stakeholder yang terlibat dalam
pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu perlu ditingkatkan sehingga hubungan
kelembagaan terkait kerjasama dan koordinasi dapat terjalin dan meminimalisir .
3. Pengembangan insentif bagi para petani yang melakukan agroforestry/
pemeliharaan lahan kritis sebagai biaya pengganti dari opportunity cost yang bisa
didapatkan petani bila mengolah lahan tersebut sebagai lahan pertanian.
DAFTAR PUSTAKA
[BPDAS]. 2010. Karakteristik Daerah Aliran Sungai Cisadane. Bogor : Balai
Pengelolaan DAS Citarum – Ciliwung.
Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools. The Netherlands : A Reference
Book. The International Institute for Geo-Information Science and Earth
Observation (ITC)
Mustadjab MM. 1986. Pengaruh Status Penguasaan Atas Tanah Garapan Terhadap
Pengelolaan Usaha Tani dan Konservasi Lahan Kering di DAS Brantas Bagian
Hulu. Malang: Universitas Brawijaya
Sukartaatmadja S. 2006. Evaluasi aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi di Sub DAS
Cisadane Hulu dengan menggunakan model AGNPS. Jurnal Keteknikan Pertanian
20(3) : 217-223.
Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.
Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara
Taylor DRF dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London : London
Routledge.
19
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1989, anak kedua dari
pasangan Drs.I Nengah Mustika, Mkes dan Dra. Solichatin Yatminah, Mkes. Penulis
menamatkan Pendidikan Dasar di SDN Semeru 3 Bogor pada tahun 2001, melanjutkan
ke SMP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2007 menyelesaikan
pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor dan diterima di program Sarjana
Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian
Bogor.
Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa
Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan aktif sebagai
anggota Kelompok Pemerhati Burung “Perenjak” tahun 2008-2011. Penulis mengikuti
kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Kawasan Hutan Mangrove
BKPH Cikeong, KPH Purwakarta dan Cagar Alam Gunung Burangrang,Kabupaten
Purwakarta pada bulan Juli-Agustus 2009.
Pada bulan Juli – Agustus 2010, penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan
Hutan (P2H) di Jawa Barat. Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi
(PKLP) di Taman Nasional Gunung Merbabu, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu penulis
juga merupakan anggota Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma IPB (KMHD IPB).
Penulis melakukan kegiatan magang di LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI)
pada bulan Agustus 2010 dan menjadi jurnalis tetap di media online Nasionalis Rakyat
Merdeka sejak Januari 2011. Gelar Sarjana Kehutanan IPB diperoleh dengan
menyelesaikan skripsi berjudul “Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan
DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu) dengan bimbingan Ir. Haryanto
R. Putro, MS, pemilihan judul ini didasari keingintahuan penulis untuk membuktikan
bahwa perubahan kelembagaan dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam di
sekitarnya termasuk dalam pengelolaan hutan dan DAS.