sabulungan dalam tegangan identitas budaya: kajian … · agama-agama samawi telah dikenal di...

125
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN TESIS Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Disusun oleh: KORNELIUS GLOSSANTO 156322006 PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: others

Post on 11-Nov-2020

17 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI

DI SIBERUT SELATAN

TESIS

Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Disusun oleh:

KORNELIUS GLOSSANTO

156322006

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

ii

SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI

DI SIBERUT SELATAN

TESIS

Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar

Magister Humaniora (M.Hum)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma

Disusun oleh:

KORNELIUS GLOSSANTO

156322006

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

iii

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

TESIS

SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS

RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN

Oleh

Kornelius Glossanto

NIM: 156322006

Telah disetujui oleh:

Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.

Pembimbing

..............................................

Tanggal, 17 Desember 2018

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

iv

HALAMAN PENGESAHAN

TESIS

SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS

RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN

Oleh

KORNELIUS GLOSSANTO

NIM: 156322006

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis

pada tanggal 8 Januari 2019

dan telah dinyatakan memenuhi syarat.

Tim Penguji

Ketua : Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. .................

Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, SJ. .................

Anggota : Dr. St. Sunardi ..................

Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. ..................

Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D. ...................

Yogyakarta, 18 Januari 2019

Direktur Program Pascasarjana

Dr. G. Budi Subanar, SJ

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

v

PERNYATAAN KEASLIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini,

Nama : Kornelius Glossanto

NIM : 156322006

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas : Sanata Dharma

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:

Judul : Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi

Orang Mentawai di Siberut Selatan

Pembimbing : Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.

Tanggal diuji : 8 Januari 2019

Adalah benar-benar hasil karya saya.

Di dalam tesis/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan

atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk

rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-oleh sebagai tulisan saya sendiri

tanpa memberi pengakuan kepada penulis aslinya.

Apabila kemudian terbukti bahhwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru

tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi

sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora

(M. Hum.) yang telah saya peroleh.

Yogyakarta, 8 Januari 2019

Yang memberikan pernyataan

Kornelius Glossanto

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

vi

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Nama : Kornelius Glossanto

NIM : 156322006

Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya

Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada

Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berujudil:

SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA:

KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN

Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan,

mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,

mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainya

demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti

kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Dibuat di : Yogyakarta

Pada tanggal : 8 Januari 2019

Yang menyatakan

Kornelius Glossanto

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

vii

HALAMAN PERSEMBAHAN

Sura’ Sabeu kukua ka

Ulaumanua Sipulubeunan,

Tulisan ini saya persembahkan kepada:

Sa’sara’inakku ka sangamberi polak Mentawai,

Keluarga dan para sahabat,

Universitas Sanata Dharma,

Serikat Misionaris Xaverian

dan

Kepada mereka yang selalu berhasrat untuk mengenal yang lain dan

tidak lelah menjadikan kehidupan ini lebih baik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

viii

ABSTRAK

Berbicara mengenai budaya orang Mentawai tidak bisa dilepaskan dari telaah

mengenai sabulungan. Kepercayaan lokal Mentawai yang mengakui keberadaan dan

pengaruh roh-roh alam tersebut seringkali dilukiskan sebagai landasan keselarasan

manusia dan lingkungannya. Pada tahun 1954 peristiwa Rapat Tiga Agama menjadi

sarana legitimasi tindakan pelarangan sabulungan. Hal tersebut dilatarbelakangi upaya

negara ‘mendisiplinkan’ agama di Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas Sila

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dominasi yang diwarnai tindak diskriminasi dan kekerasan.

itu memunculkan konflik ideologi antara negara dan orang Mentawai di Siberut. Tesis ini

berisikan ulasan mengenai bagaimana dominasi negara atas sebuah kepercayaan lokal di

Siberut memicu timbulnya perlawanan terselubung dari orang Mentawai yang berusaha

menjaga identitas budaya mereka. Model perlawanan tersebut menurut kajian James C.

Scott merupakan ‘senjata orang-orang yang kalah’ menghadapi kelas yang mendominasi

kehidupan mereka. Ritual-ritual tradisi sabulungan ditampilkan kembali sebagai ekspresi

budaya sambil menghidupi keberagamaan sesuai anjuran dan tuntutan pemerintah. Upaya

revitalisasi budaya melalui semangat inkulturatif yang ditawarkan Gereja Katolik dan

penyadaran nilai-nilai budaya melalui pendidikan berjalan namun bukan tanpa halangan.

Makin lunturnya penghayatan akan sabulungan dan nilai budaya di dalamnya serta

perubahan gaya hidup modern menunjukkan gegar budaya dan ambivalensi yang dialami

orang Mentawai di Siberut dewasa ini.

Istilah kunci: sabulungan, perlawanan sehari-hari, identitas budaya, Mentawai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

ix

ABSTRACT

Talking about the culture of the Mentawai people cannot be separated from the study of

Sabulungan. Mentawai local beliefs that recognize the existence and influence of these

natural spirits are often described as the basis of harmony between humans and their

environment. In 1954 the event of the Three Religion Meeting became a means of

legitimizing the prohibition of sabulungan. This was motivated by the state's efforts to

'discipline' religion in Indonesia as a form of recognition of the One Precept of Godhead.

Domination is characterized by acts of discrimination and violence. It gave rise to

ideological conflicts between the state and the Mentawai people on Siberut. This thesis

contains a review of how the state's dominance of a local belief in Siberut triggered the

emergence of covert resistance from the Mentawai people who tried to maintain their

cultural identity. The resistance model according to James C. Scott's study is "the

weapons of the weak" facing a class that dominates their lives. The rituals of the

Sabulungan tradition are reappeared as cultural expressions while living religion

according to the recommendations and demands of the government. Efforts to revitalize

culture through the inculturative spirit offered by the Catholic Church and awareness of

cultural values through education but not without obstacles. The fading away of

appreciation of sabulungan and cultural values in it and changes in modern lifestyles

show cultural shock and ambivalence experienced by Mentawai people in Siberut today.

Keywords: sabulungan, daily resistance, cultural identity, Mentawai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

x

KATA PENGANTAR

Tulisan ini semata-mata bukan merupakan karya ilmiah yang disusun atas

tuntutan studi dan keperluan akademis. Seluruh rangkaian penyusunan tesis ini ibarat

sebuah perjalanan; perjalanan untuk keluar dari diri sendiri dan membuka hati bagi yang

lain. Pengalaman satu setengah tahun hidup bersama konfrater Xaverian di pastoran

Siberut berdampingan dengan para suster ALI dan KSFL dan saudara-saudara di

Mentawai, terutama di Siberut Selatan telah berhasil menggerakkan saya untuk mencintai

dunia baru tersebut. Melihat kembali ke belakang, betapa saya sangat berterima kasih

kepada: Ferdinanda Maria Saurei, Juliasman Satoko, Marinus Satoleuru, dan Albertina

Sakukuret, yang telah membukakan mata dan hati saya akan keunikan bumi sikerei.

Terima kasih keluarga baruku di Siberut, terutama pula kepada anak-anak di asrama St.

Yosef dan St. Theresia Lisieux yang dengan cara kalian telah membuka mulut saya dan

mengajari saya berceloteh dengan bahasa Mentawai.

Selama kesempatan-kesempatan kunjungan selanjtutnya saya juga banyak

dibantu oleh Marinus Satoleuru dan Petrus Marjuni untuk berjumpa dengan para

narasumber. Terima kasih juga atas kesediaan berbagi kisah-kisah kalian: Marinus Saurei,

Elyzius Sakeletuk, Bruno Tatebburuk, Teu Lomoi Samalinggai, Hieronimus Keppa

Salakoppak, Mateus Samalinggai, Yohanes Laidoak Sanambaliu, pasangan Agustinus

Salemurat dan Marianna Saruruk, Pakirek Salakkirat, Marinus Salolosit, Anton

Sagoroujou, Yudas Sabbagalet, Mikael Sabaggalet, Hijon Tasirilotik, Hendrikus Erik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

xi

Saurei, Mateus Sakukuret, Thomas Tatebburuk, Yohanes Salakopak, dan Selester

Sagurujuw. Kisah pengalaman kalian merupakan pemberian tak ternilai bagi saya yang

masih mulai menulis kisahnya sendiri. Sura’ sabeu ku kua ka sarainaku: Siprianus Sokkot

Sagoroujou dan Eujenius Salemurat yang telah banyak membantu menterjemahkan

banyak hal yang masih baru bagi saya dan terutama semangat yang tak lelah dikobarkan

sehingga akhirnya kisah ini bisa dirasakan lebih dekat dan berhasil dituntaskan. Masura’

bagatta ku kua ka tubumui.

Terima kasih pula kepada Yustinus Tri Subagya, dosen dan pembimbing

saya, yang telah dengan sabar meluangkan waktu dan perhatiannya mendampingi saya

yang masih sangat awam dalam penysusunan karya ini. Terima kasih pula kepada para

dosen dan teman-teman di IRB Sanata Dharma atas segala bentuk perhatian dan

sumbangan pengetahuan, pengalaman, dan kisah-kisahnya. Sebagai lulusan ilmu teologi

yang berkutat dengan konsep-konsep mengangkasa, pengalaman belajar bersama kalian

telah berhasil menghempaskan saya kembali untuk tidak lupa berpijak pada bumi

manusia ini dengan segala kompleksitasnya.

Akhirnya kepada ayahanda tercinta Fransiskus Xaverius Tarwoto dan Mas

Lukas Sadhana, banyak terima kasih atas dukungan dan doanya yang tak kunjung putus,

bahkan makin bertambah di saat rasa putus asa sudah menyelimuti perjalanan pendidikan

ini. Kepada seluruh keluarga dan saudara-saudaraku yang selalu menyemangati dan

mendukung dari kejauhan, banyak terima kasih untuk cintanya. Akhirnya kepada Serikat

Xaverian yang telah mempercayakan misi pembelajaran ini kepada saya, yang mengantar

saya mengarungi gugusan pulau-pulau di Mentawai hingga pelosok Nusantara, saya

ucapkan terima kasih tak terhingga. Caritas Christi Urget Nos.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

xii

DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................................. i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................... v

HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ...................................................... vi

HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vii

ABSTRAK ........................................................................................................... viii

ABSTRACT .......................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ......................................................................................... x

DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii

BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................. 1

A. Latar Belakang ..................................................................................... 1

B. Tema Penelitian ................................................................................... 3

C. Rumusan Masalah................................................................................ 3

D. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4

E. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4

F. Kajian Pustaka ..................................................................................... 5

G. Kerangka Teori .................................................................................... 18

H. Metode Penelitian ................................................................................ 27

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

xiii

I. Sistematika Penulisan .......................................................................... 29

BAB II : KEPULAUAN MENTAWAI, ORANG SIBERUT,

DAN SABULUNGAN ...................................................................... 30

A. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai .............................................. 31

1. Lokasi Geografis .......................................................................... 31

2. Kependudukan ............................................................................. 34

B. Gagasan Mengenai Komunitas Orang Mentawai ................................. 36

1. Mitos Asal-Usul Orang Mentawai ............................................... 39

2. Perjumpaan Orang Mentawai dengan Petualang,

Aparat Kolonial, dan Misionaris ..................................................... 41

C. Sabulungan dan Negara ........................................................................ 46

D. Upaya Pembatasan Sabulungan ........................................................... 50

E. Memudarnya Sabulungan dari Kehidupan Orang Mentawai ............... 56

BAB III : SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN

RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI .............................. 61

A. Sabulungan dan Sikebukat ................................................................... 63

B. Sabulungan dan Pandangan Hidup Simatoi ......................................... 65

1. Kehidupan yang Diidamkan: Hidup Panjang dan

Kematian yang Baik ........................................................................ 66

2. Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan

Relasi dengan Alam ....................................................................... 69

BAB IV : SABULUNGAN, PELARANGAN PEMERINTAH DAN

PERLAWANAN ORANG MENTAWAI....................................... 79

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

xiv

A. Dominasi Negara dan ‘Pemaksaan’ Agama Resmi ............................. 79

B. Siasat Sikebukat dan Pemerhati Sabulungan ........................................ 85

C. Ekspresi Sabulungan ............................................................................ 91

D. Identitas Budaya: Ambivalensi Orang Mentawai ................................ 96

BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 102

A. Kesimpulan........................................................................................... 102

B. Tanggapan ............................................................................................ 104

Lampiran ............................................................................................................... 105

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 109

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Sebagai anggota sebuah kongregasi religius misioner dalam Gereja Katolik, selama

masa pendidikan periode tahun 2012-2014, saya mendapat kesempatan untuk berkarya di

sebuah paroki di Siberut. Siberut merupakan satu dari empat pulau utama – dan juga pulau

terbesar – di wilayah Kepulauan Mentawai. Pada tahun 1999 wilayah kepulauan ini

berdiri secara otonom – memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman – sebagai

sebuah kabupaten (Kab. Kepulauan Mentawai) dengan ibu kota Tuapeijat dan menjadi

salah satu dari 12 kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Mayoritas penduduk di

kepulauan ini dikenal sebagai suku Mentawai dan hidup berdampingan dengan para

pendatang yang berasal dari suku Minangkabau, Nias, Batak, Jawa dan Flores.

Dalam sejarah Gereja Katolik, kegiatan misi di wilayah kepulauan Mentawai

dimulai pada tahun 1954 oleh para misionaris dari Serikat Xaverian. Dan hingga saat ini,

agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku

Mentawai memiliki kepercayaan tradisional yang dikenal dengan istilah sabulungan.

Sabulungan berasal dari dua kata sa = bentuk plural dari sebuah kesatuan dan bulu =

persembahan. Kata sabulungan sendiri merujuk pada kumpulan roh, sehingga tradisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

2

sabulungan mengandung unsur keyakinan akan roh-roh yang dihormati dengan berbagai

ritual persembahan (Juniator, 2012: 69).

Selama bertugas di Siberut, penulis mengamati sebagian orang masih mempercayai

bahwa sakit tertentu bisa jadi disebabkan oleh perjumpaan antar roh (simagre). Oleh

karena itu alih-alih pergi berobat ke puskesmas, mereka memilih memanggil sikerei

(tabib tradisional) untuk mengobati orang yang mengalami sakit tertentu. Padahal di kota

kecamatan di Muara Siberut, telah berdiri Puskemas dan Poliklinik yang dikelola oleh

para suster ALI (Assistenti Laiche Internazionali)1. Peristiwa ini menarik bagi penulis,

mengingat mayoritas masyarakat Siberut telah menganut agama Katolik (83,49%) dan

Protestan (14,39%).2 Masih dilibatkannya sikerei dalam pengobatan tidak terlepas dari

tradisi sabulungan yang mempercayai bahwa munculnya penyakit berasal dari pengaruh

kekuatan supranatural.

Banyak dari orang Mentawai di Siberut yang kendati telah menganut salah satu

agama resmi yang ada di sana, seperti Katolik, Protestan maupun Islam, dalam keseharian

tetap memegang pantangan-pantangan atau menjalankan ritual-ritual yang

dilatarbelakangi oleh tradisi sabulungan.3 Namun tidak sedikit juga orang Mentawai yang

sudah tidak mengenal lagi sabulungan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan identitas

budaya mereka. Sejarah masa lalu di mana sabulungan dilarang oleh pemerintah,

perubahan gaya hidup, dan pembangunan daerah, menjadikan generasi muda orang

Mentawai mulai tercabut dari akar religiositasnya sendiri. Fenomena inilah yang menarik

bagi saya untuk dikaji lebih dalam. Bagaimana masyarakat Mentawai di P. Siberut

1 ALI atau juga dikenal Institut Sekulir “Mater Amabilis” berdiri pada 11 Oktober 1952 di Milan, Italia.

Permohonan Prefek Apostolik Padang, Mgr. Pasquale de Martino, atas tenaga biarawati yang berkarya

di bidang medis menjadi latar belakang pembentukan institut tersebut. 2 Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik. 3 Lih. Juniator, 2012. Hlm. 69.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

3

bersiasat untuk menjaga nilai-nilai religi budaya yang terkandung dalam sabulungan

berhadapan dengan dominasi negara, pewarta agama serta masuknya budaya modern.

1.2. TEMA PENELITIAN

Sabulungan merupakan kepercayaan tradisional orang Mentawai. Orang Mentawai

pada awalnya tidak memiliki istilah tertentu untuk menyebut sistem kepercayaan mereka

atau ‘agama’. Pasca kemerdekaan Indonesia melalui Rapat Tiga Agama4, tahun 1954

keberadaan sabulungan dilarang. Namun selama perjalanan waktu, pengaruh larangan

tersebut mulai memudar dan membuat orang Mentawai saat ini memiliki pandangan dan

sikap yang berbeda atas kepercayaan lokal tersebut. Sebagian dari mereka masih

memandang sabulungan sebagai sumber identitas budaya Mentawai dan mencoba

mempertahankannya. Sebagian lagi berada dalam situasi ambivalen antara hendak

melupakan dan meninggalkan tradisi tersebut atau menghidupinya dengan cara baru.

1.3. RUMUSAN MASALAH

1. Mengapa negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskan sabulungan?

Kapan dan dengan cara bagaimana usaha penghapusan itu berlangsung?

2. Bagaimana pandangan orang Mentawai saat ini tentang sabulungan dan ritus-

ritusnya dalam kehidupan sehari-hari?

3. Bagaimana siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana

posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini?

4 Coronesse mencatat perwakilan Rapat Tiga Agama ini merujuk pada Islam, Protestan, dan Arat

Sabulungan (Coronesse, 1986:38).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

4

1.4. TUJUAN PENELITIAN

Melalui rumusan persoalan di atas penulis mencoba menggali data di lapangan dan

sejumlah literatur mengenai dominasi negara, pengaruh agama-agama samawi,

perubahan pola hidup terhadap religi orang Mentawai yang terkandung dalam

kepercayaan sabulungan. Hal itu bertujuan untuk mengungkap beberapa poin di bawah

ini:

1. Untuk mengetahui alasan, waktu pelaksanaan dan cara-cara yang dilakukan

negara dalam usaha menghapuskan sabulungan.

2. Untuk menganalisa bagaimana sabulungan dan ritus-situsnya dipandang dalam

kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Mentawai dewasa ini.

3. Untuk melihat siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana

posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini.

1.5. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana dominasi negara terhadap

kepercayaan lokal – seperti yang tampak dalam pelarangan sabulungan – terjadi di

lapangan. Selain itu dari hasil penelitian ini bisa juga dilihat bagaimana orang Mentawai

di Siberut Selatan mempertahankan dan menghidupi religiositas mereka di tengah

pengaruh pembangunan, kehadiran agama-agama samawi, serta perubahan pola

kehidupan. Informasi ini akan sangat berguna untuk melihat sejarah perubahan identitas

budaya dan religi orang Mentawai serta mengungkap faktor-faktor apa saja yang turut

mempengaruhinya pada masa kini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

5

1.6. KAJIAN PUSTAKA

Dalam bagian ini akan diuraikan dua pokok pemikiran mengenai konsep agama dan

relasi kepercayaan lokal dengan agama-agama resmi pemerintah. Pertama akan kita lihat

bagaimana konsep agama dikonstruksi di Indonesia. Selanjutnya pada bagian kedua akan

diulas secara singkat bagaimana kepercayaan-kepercayaan lokal berhadapan dengan

agama-agama ‘resmi’ di Indonesia dan sejarah perkembangannya hingga saat ini.

1. Konsep Agama di Indonesia

Richard King dalam bagian kedua bukunya Agama, Orientalisme dan

Poskolonialisme (2001) menjelaskan bagaimana sejarah terjadinya pergeseran makna

‘agama’. Ia merujuk pada konsep Cicero di masa pra-Kristen yang mengatakan akar kata

‘agama’ (religion) adalah bahasa Latin religio. Kata religio memiliki kaitan dengan kata

religere yang berarti ‘melacak kembali’ atau ‘membaca ulang’. Cicero dengan alur

pemikiran tersebut ingin memperlihatkan bahwa konsep ‘agama’ pada dasarnya berkaitan

erat dengan usaha menghadirkan kembali adat dan ritual dari nenek moyang atau leluhur

sebuah kelompok (King 2001: 68). Dalam pandangan ini ‘agama’ mengacu pada konsep

yang lebih luas dan memungkinkan dinamika kehidupan yang pluralistik. Karena jelas

dengan adanya beragam tradisi dan budaya di dunia, dimungkinkan juga muncul beragam

‘agama’. Dari konsep ini semua bentuk kepercayaan dan tradisi budaya lokal suku-suku

di Indonesia – seperti Kaharingan, Merapu, Parmalim, Sabulungan – bisa dikategorikan

sebagai agama. Namun rupanya sejarah memperlihatkan alur yang beragam.

Pada abad ke-3 ditemukan karya seorang penulis Kristen, Lactantius, yang menolak

konsep ‘agama’ Cicero. Lactantius berpendapat bahwa kata religio berasal dari kata Latin

re dan ligare yang berarti mengikat atau berhubungan. Dalam pemikirannya ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

6

Lactantius memperlihatkan bahwa religio merupakan hubungan atau ikatan antara Yang

Ilahi dan manusia. Ia juga kemudian mempertentangkan antara kelompok yang

menyembah dewa-dewa dan mereka yang percaya kepada Tuhan sebagai entitas yang

tunggal, sebagai sumber kebenaran. Hal ini mengakibatkan berakhirnya kehidupan yang

pluralistik karena pergeseran makna ‘agama’ dari pemikiran Cicero kepada pandangan

Lactantius menyebabkan pula ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada.

Dalam hal ini Kekristenan menempatkan diri sebagai pemegang kebenaran karena konsep

monoteisnya dan memandang kelompok-kelompok penyembah dewa-dewa dan tradisi

nenek moyang sebagai orang yang terbelakang atau kaum pagan yang masih percaya pada

takhayul. King menyimpulkan bahwa perubahan makna semantik sebagaimana

dijelaskan Lactantius menyebabkan perubahan seluruh konsep mengenai ‘agama’.

Sehingga diskusi-diskusi mengenai istilah ‘agama’ atau religio pada masa modern hingga

saat ini cenderung mengacu pada pemikiran Lactantius, di mana ‘agama’ dikonstruksikan

dalam paradigma Kekristenan yang secara eksklusif menitikberatkan konsep-konsep

keyakinan teistik – baik dalam wujud mono- , poli-, heno-, atau pan- teistik. Selain itu

muncul pula konsep dualisme antara dimensi Ilahi dan dimensi manusiawi serta konsep

dunia yang suci atau transenden di mana manusia mengikatkan diri (religare) kepadanya.

Dengan demikian menurut King, konsep ‘agama’ merupakan konstruksi sosio-kultural

yang khas dengan genealoginya sendiri yang khas juga (King, 2001: 71-76).

Berbeda dari Lactantius dan Cicero, Clifford Geertz memiliki definisi tersendiri

mengenai agama. Ia pertama-tama melihat agama sebagai sebuah sistem simbol.

Demikian definisi Geertz atas agama (Geertz, 1992: 5):

“... (1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan

suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi,

dan yang tahan dalam diri manusia dengan (3) merumuskan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

7

konsep-konsep mengenai suatu tatatan umum eksistensi dan (4)

membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran

faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu

tampak khas dan realistis.”

Pernyataan Geertz tentang agama yang demikian ini jelas memberikan ‘konsep agama’

ruang lingkup yang sangat luas. Baik agama-agama besar dunia seperti Hinduisme,

Kekristenan, Yahudi maupun Islam hingga kepercayaan-kepercayaan tradisional sebuah

suku tertentu termasuk dalam definisi tentang agama itu.

Menurut Geertz dalam kacamata antropologi sebuah agama menjadi penting karena

berfungsi sebagai sumber konsep atau gagasan yang umum dan jelas – mengenai dunia

kehidupan, mengenai pribadi manusia, dan juga bagaimana relasi antara keduanya itu –

bagi pribadi-pribadi tertentu maupun juga bagi sebuah kelompok masyarakat (Geertz,

1992: 46). Fungsi yang demikian dapat dengan mudah ditemui juga dalam sistem

kepercayaan lokal yang ada di Indonesia. Masing-masing kepercayaan tersebut dengan

jelas dan sistematis memperlihatkan bagaimana pola relasi antara manusia dan alam

kehidupannya. Dengan demikian jika menggunakan sudut pandang antropologis seperti

diuraikan oleh Geertz, sistem kepercayaan lokal yang begitu banyak di Indonesia juga

bisa dikategorikan sebagai agama.

Kata ‘agama’ dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:

“sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan

kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.” (KBBI edisi ke-2, cetakan

ke-4, 1995). Namun jika dilihat dalam sejarah, kata ‘agama’ yang kita kenal saat ini telah

mengalami rangkaian proses pemaknaan yang panjang. Dalam sejarah bangsa Indonesia

seringkali diceritakan kisah mengenai kedatangan bangsa-bangsa lain ke bumi Nusantara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

8

ini untuk berdagang. Kehadiran para penjelajah samudera dan pedagang ini lah yang

memperkenalkan bentuk baru religiositas. Pada masa itu pengaruh Hinduisme dan

Budhisme mulai tersebar sehingga memunculkan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.

Kemunculan kerajaan-kerajaan tersebut memberikan gambaran bagaimana ‘agama’ telah

menjadi sumber legitimasi politis dan status sosial. Pada masa itu menjadi ber-‘agama’

pertama-tama berarti menjadi modern, berkuasa, dan sejahtera (Ropi, 2017: 44).

Di Indonesia kata ‘agama’ diterima begitu saja secara umum untuk

menterjemahkan kata ‘religion’. Padahal secara semantik kata ‘agama’ memiliki makna

yang lebih sempit dari kata ‘religi’ – yang juga diadopsi dalam bahasa Indonesia dari

bahasa Belanda ‘religie’. Kata ‘agama’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang

memiliki makna harafiah ‘abadi’ dan membawa gagasan mengenai pewahyuan

(revelation). Menurut Michael Picard (2011), hal ini yang menjadikan konsep mengenai

agama di Indonesia menjadi unik. Menurutnya kata ‘agama’ merupakan paduan unik:

sebuah kata Sansekerta yang mengandung pandangan Kekristenan mengenai apa yang

disebut sebagai agama dunia dengan pemahaman Islam tentang apa yang didefinisikan

sebagai agama yang tepat. Agama yang tepat dalam pandangan itu mengandung unsur-

unsur seperti: sebuah wahyu Ilahi yang direkam dalam kitab suci oleh para nabi utusan,

sistem peraturan bagi pemeluknya, upacara pujian bagi umat, dan pengakuan atau

keyakinan akan Tuhan yang Esa (Picard, 2011:3, 2017: 25). Unsur Tuhan, Nabi, dan

Kitab suci menjadi elemen utama sebuah agama (Ropi, 2017:119). Kategori-kategori

tersebut kemudian digunakan oleh Departemen Agama sebagai syarat sebuah ‘agama’ di

Indonesia. Rupanya syarat-syarat ini-lah yang kemudian diusulkan oleh Departemen

Agama pada tahun 1952 sebagai kategori resmi untuk melihat apakah sebuah

kepercayaan masyarakat lokal bisa dianggap sebagai agama yang sah atau tidak.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

9

Sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia para tokoh kemerdekaan sepakat

bahwa agama merupakan elemen yang penting bagi negara (Ropi, 2017:57). Namun

dalam perkembangannya sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 terdapat sedikit

perubahan mengenai kedudukan agama dalam Undang-Undang Dasar. Tabel berikut

memperlihatkan bagaimana kedudukan agama dalam konstitusi 1945, konstitusi 1949 dan

konstitusi 1950:

Konstitusi 1945 Konstitusi 19495 Konstitusi 19506

Pasal 29

(1) Negara berdasar atas

Ketuhanan Yang Maha Esa.

(2) Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut

agamanya dan kepercayaannya

itu.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas

kebebasan pikiran keinsjafan

batin dan agama; hak ini

meliputi pula kebebasan

bertukar agama atau kejakinan,

begitu pula kebebasan

menganut agamanja atau

kejakinannja, baik sendiri

maupun bersama-sama dengan

orang lain, baik dimuka umum

maupun dalam lingkungannja

sendiri dengan djalan

mengadjarkan, mengamalkan,

beribadat, mentaati perintah dan

aturan-aturan agama, serta

dengan djalan mendidik anak-

anak dalam iman dan kejakinan

orang

tua mereka.

Pasal 41

(1) Penguasa memberi

perlindungan jang sama kepada

segala perkumpulan dan

persekutuan

agama jang diakui.

(2) Penguasa mengawasi supaja

segala persekutuan dan

perkumpulan agama patuh-taat

kepada

Undang-undang, termasuk

aturan-aturan hukum jang tak

tertulis.

Pasal 18

Setiap orang berhak atas

kebebasan agama, keinsyafan

batin dan pikiran.

Pasal 43

1. Negara berdasar atas Ke-

Tuhanan Yang Maha Esa.

2. Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap

penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut

agamanya dan

kepercayaannya itu.

3. Penguasa memberi

perlindungan yang sama kepada

segala perkumpulan

dan persekutuan agama yang

diakui. Pemberian sokongan

berupa apapun oleh penguasa

kepada penjabatpenjabat agama

dan persekutuan-persekutuan

atau perkumpulan-perkumpulan

agama dilakukan atas dasar

sama hak.

4. Penguasa mengawasi supaya

segala persekutuan dan

perkumpulan agama

patuh-taat kepada undang-

undang termasuk aturan-aturan

hukum yang tak tertulis.

5 Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagaimana diputuskan dalam Keppres Nomor 48 Tahun 1950 6 Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950

Tabel 1. Perbandingan pernyataan pengakuan atas agama dalam konstitusi 1945, 1949, dan 1950.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

10

Meskipun terdapat sejumlah perubahan yang terjadi dalam kebijakan negara atas agama

di Indonesia, dalam ketiga model konstitusi negara tidak tercantum agama apa saja yang

dimaksud. Dan walaupun tampak bahwa kebebasan beragama dan menganut kepercayaan

warga negara dijamin oleh pemerintah, dalam praktiknya wujud jaminan dan pengakuan

kebebasan beragama tersebut masih terus mengalami perubahan yang panjang. Baru

dalam TAPPRES NO.1/PNPS/Tahun 1965 pemerintah secara eksplisit menyatakan 6

agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu – sebagai agama yang

dipeluk oleh orang Indonesia dan yang muncul dalam sejarah perkembangan agama-

agama di Nusantara. Pada masa Orde Baru berdasar Tap MPR No.4 Tahun 1978, secara

tertulis kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipandang berbeda dengan agama.

Selanjutnya keberadaan aliran kepercayaan tradisional atau agama-agama lokal tidak lagi

berada dalam wewenang Departemen Agama melainkan dipercayakan kepada

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Budaya kemudian

membentuk direktorat baru yakni Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan

Yang Maha Esa dan Tradisi (Picard, 2011:15). Kemunculan Tap MPR No.4 Tahun 1978

menjadi awal mula peraturan pemerintah yang mewajibkan pengisian kolom agama

dalam pembuatan KTP. Dampaknya banyak penganut agama lokal yang harus

menghadapi pilihan antara mengkonversi keyakinan mereka pada agama-agama yang

diakui oleh pemerintah, atau berjuang dan berafiliasi dengan salah satu agama resmi

tersebut.

Aliran-aliran kepercayaan tradisional yang telah ada di Nusantara jauh sebelum

kemerdekaan akibatnya harus menerima nasib diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno,

asing, dan penghalang terbentuknya masyarakat yang merdeka dan modern. Padahal

melalui sistem kepercayaan tradisional tersebut terangkum identitas budaya yang telah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

11

diwariskan dan mewarnai kehidupan suku turun-temurun. Para penganut aliran

kepercayaan dalam rezim pemerintahan Orde Baru disamakan statusnya sebagai orang

yang ‘belum beragama’ dan kelompok ini juga belum diakui sebagai warga negara

seutuhnya. Mereka dipandang oleh pemerintah sebagai kelompok yang perlu

‘diberadabkan’ (Ropi, 2017:155). Untuk itu masyarakat dalam kelompok ini harus

menganut salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah sehingga agar bisa

memperoleh pengakuan dan pelayanan dari pemerintah sebagai warga negara dan bagian

dari kelompok masyarakat modern.

Sejarah pembentukan konsep agama di Indonesia dan penerapannya dalam

kebijakan negara telah memunculkan apa yang dikenal dengan politik rekognisi. Hal ini

mengacu pada upaya kelompok mayoritas yang berkuasa untuk menggunakan agama

sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk mengontrol kelompok minoritas, yang dalam

kasus di atas merupakan para penghayat aliran kepercayaan.

2. Agama Lokal vs Agama ‘Resmi’

Sebelum tahun 1950an sistem kepercayaan tradisional orang Mentawai dikenal

dengan nama sabulungan. Baru setelah kemerdekaan di tahun 1950an itu, pemerintah dan

para misionaris menambahkan kata arat untuk menyebut sistem kepercayaan lokal

tersebut sebagai agama. Sebenarnya kata arat merupakan adaptasi dari kata dalam bahasa

Indonesia ‘adat’ (custom). Sebelum kata arat digunakan, orang Mentawai menggunakan

kata punen yang berarti ‘kegiatan’ (activity) baru dalam perjalanan waktu kata ini berubah

menjadi arat. Kata arat sendiri memiliki makna yang lebih luas. Ia bisa berarti peraturan-

peraturan, norma-norma, adat maupun kebiasaan-kebiasaan (Juniator, 2012: 68).

Kehadiran agama-agama dari luar dan peristiwa yang dikenal dengan Rapat Tiga

Agama pada tahun 1954 membawa pengaruh yang besar bagi para penganut sabulungan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

12

Rapat Tiga Agama sendiri muncul dengan latar belakang program pemerintah pasca

kemerdekaan yang bertujuan untuk menyatukan suku-suku dari seluruh nusantara dalam

kelompok sosial dan budaya utama yang bersifat nasional (Persoon 2004: 23; Mulhadi

2007: 20-21; Juniator 2012:72). Mulhadi menulis bahwa pelarangan sabulungan oleh

pemerintah pada 1954 bukan karena kepercayaan tersebut mengandung unsur ajaran

sesat atau juga bukan merupakan sempalan dari agama-agama resmi yang diakui negara.

Kepercayaan tradisional suku Mentawai itu dilarang karena ketakutan pemerintah yang

memandang sistem kepercayaan itu berpotensi mengancam kestabilan Negara Kesatuan

(Mulhadi, 2007:14). Kekhawatiran pemerintah ini kemudian dipertegas dengan

dikeluarkannya UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau

Penodaan Agama. Menurut Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, UU tersebut

lahir dari keinginan pemerintah Soekarno dalam usaha membendung ateisme dan

beragam upaya merekayasa bentuk aliran-aliran baru yang kehadirannya bisa merusak

agama-agama yang telah ada7.

Dengan pelarangan atas sabulungan serta praktik-praktiknya, pemerintah daerah

Sumatera Barat bersama dengan aparat melarang segala bentuk praktik yang berkaitan

dengan kepercayaan lokal tersebut bahkan juga membakar dan memusnahkan benda-

benda yang berhubungan dengannya. Masyarakat suku Mentawai diminta untuk beralih

kepada agama-agama resmi yang kala itu diakui pemerintah Indonesia, yakni Islam,

Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Sabulungan diidentikkan dengan kepercayaan

masyarakat ‘primitif’ dan dengan demikian oleh pemerintah bisa dilenyapkan sehingga

7 https://nasional.kompas.com/read/2017/10/23/15091911/penetapan-presiden-1965-soal-penodaan-

agama-kerap-ditafsirkan-diskriminatif. Diakses pada 14 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

13

budaya modern – masyarakat yang merdeka, diakuinya pemerintahan sentralistik, serta

penghayatan atas agama resmi – bisa diterima (Juniator 2012:73).

Program ‘pendisiplinan’ agama-agama tradisional di Indonesia itu berlangsung

selama periode 1950an – 1967 di masa pemerintahan Soekarno dan berlanjut hingga era

kepemimpinan Soeharto (1967-1998). Tappres No. 1 tahun 1965 yang menjadi landasan

pengaturan agama-agama di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno bertujuan

mencegah terjadinya konflik dan kekerasan yang diakibatkan oleh pencemaran agama

yang beragam di Indonesia. Dengan begitu banyaknya etnis dan aliran kepercayaan,

pencemaran agama bisa memecah belah bangsa dan mempengaruhi stabilitas nasional.

Di masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto menjadikan peraturan tersebut sebagai sarana

politis untuk melawan ideologi komunis dengan memanfaatkan sentimen anti PKI pasca

peristiwa 30 September. Keberadaan orang-orang yang tidak beragama yang diidentikkan

dengan komunisme menjadi ancaman bangsa. Komunisme bukan saja ditolak tetapi juga

dipertentangkan dengan jati diri bangsa dengan menggunakan landasan agama (Ropi,

2017: 132). Di kepulauan Mentawai sendiri proses itu terjadi pula. Pulau-pulau yang

berada di selatan, P. Pagai dan P. Sipora mengalami dampak yang paling kentara.

Sedangkan di P. Siberut sekelompok orang Mentawai memilih menetap di bagian hulu

sungai dan pedalaman untuk menghindari pengaruh pemerintah (Juniator 2012: 73-74;

Hammons 2016: 407). Untuk itulah hingga saat ini jejak-jejak tradisi sabulungan masih

bisa ditemukan di wilayah P. Siberut.

C.S. Hammons menuliskan bahwa pada periode tahun 1980-1990an, banyak

penduduk di desa-desa di Siberut menganut agama Kristen (Protestan atau Katolik).

Namun demikian di desa-desa hulu, yang terletak jauh dari garis pantai, mereka memilih

untuk memegang sabulungan sebagai ‘adat’ (custom) dan menganut Katolik, Protestan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

14

atau Islam sebagai ‘agama’ (religion) (Hammons 2016:407). Inilah yang disebut oleh

Coronesse sebagai sistem ‘bikultural’. Ia berpandangan bahwa tidak mungkin pertemuan

Tiga Agama tahun 1954 dan peristiwa pelarangan atas kepercayaan tradisional itu

sesudahnya bisa serta merta menjadikan masyarakat suku Mentawai beralih kepercayaan.

Sabulungan menurut Coronesse belum terkikis habis di hati orang Mentawai. Ia menulis:

Pada hakikatnya Arat Sabulungan belum terkikis habis di lubuk

hati orang Mentawai, yang menjalankan upacara Arat dengan

sembunyi-sembunyi. Hal mana dapat dibuktikan dalam laporan

yang tercantum:

- Larangan Pemerintah tentang Arat pada lahirnya

dipatuhi, namun secara diam-diam, kegiatan Arat

Sabulungan dijalankan juga.

- Agama yang baru dipeluk sama sekali belum lagi

merasuk ke hati dan tradisi tua yang telah

membudaya sangat susah lenyap.

- Kepercayaan terhadap obat sikerei, lebih ampuh dan

manjur ketimbang obat-obatan modern dan

Puskesmas.

- Payah sekali mencari suatu metoda untuk

meyakinkan pengikut-pengikut arat sabulungan.

(Surat Keputusan Pimpinan Proyek Penerangan,

Bimbingan Dakwah/Khutbah Agama Katolik tentang

pengangkatan tenaga-tenaga team operasional

penerangan agama Katolik daerah No.056/

Kep.19/1974-75.)

Oleh sebab itu corak keagamaan di Mentawai disebut Bikultural;

bersama-sama (dengan) agama resmi, hidup dengan diam-diam

agama asli yang digolongkan ke dalam aliran kebatinan

(Coronesse, 1986:39).

Konsep mengenai bikulturalisme sendiri memiliki cakupan yang cukup luas.

Secara umum bikulturalisme mengacu pada gagasan mengenai rasa nyaman dan

kemahiran seseorang menghidupi budaya warisannya bersamaan dengan budaya di

negara atau wilayah di mana ia berada (SJ. Schwartz, 2010: 26). Dalam pandangan

tersebut seseorang yang fasih berbicara baik bahasa Jawa dan Batak umpamanya, atau

orang Jawa yang berteman dengan baik orang Sunda maupun orang Mentawai,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

15

merupakan contoh bikulturalisme. Akan tetapi secara lebih dalam, sebagaimana ditulis

oleh Schwartz, bikulturalisme meliputi juga penyatuan nilai-nilai warisan budaya

tertentu dengan arus budaya lain menjadi sebuah perpaduan yang unik dan bersifat

personal. Dalam pandangan terebut situasi yang dialami orang Mentawai – menghidupi

sabulungan sebagai warisan budaya dan menganut agama Katolik dan Protestan

sebagaimana dituntut pemerintah – merupakan wujud bikulturalisme. Berbeda dengan

sinkretisme – di mana terjadi perbaduan dan perpaduan unsur-unsur agama dan aliran-

aliran kepercayaan sehingga muncul bentuk baru yang abstrak demi mencari keserasian

– dalam bikulturalisme tidak diperoleh bentuk baru budaya yang tunggal. Masing-masing

unsur budaya yang dihidupi secara bersamaan tetap berdiri mandiri. Hammons (2016:

404-405) mencatat pula bahwa saat ini banyak dijumpai masyarakat Suku Mentawai

yang tetap mempraktikkan kepercayaan lokal sabulungan dan juga memeluk salah satu

agama yang ada; Protestan, Katolik atau Islam. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar.

Menjadi tidak wajar justru mereka yang tidak menganut agama resmi dan hanya

mempraktikkan agama lokal saja. Karena dalam pandangan mereka, tidak memeluk

agama resmi yang diakui negara berarti anti-negara.

Selain peristiwa pelarangan atas sabulungan di Mentawai, kepercayaan lokal

masyarakat suku Ngaju, Kaharingan, di Kalimantan Tengah juga mengalami hal yang

serupa. Nama Kaharingan berarti: membangkitkan hidup, membuat hidup (Baier 2007:

567, Baier 2014: 172). Kaharingan sendiri sebenarnya merupakan salah satu sistem

kepercayaan lokal yang ada di Kalimantan. Seperti juga Arat Sabulungan, para penganut

Kaharingan memiliki keyakinan atas roh-roh. Roh-roh itu bisa merupakan roh leluhur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

16

ataupun roh-roh lain yang berada di sekitar mereka. Mereka juga percaya bahwa segala

benda dan tumbuhan yang ada memiliki jiwa dan mampu merasa seperti halnya manusia.8

Jika sabulungan dilarang keberadaanya oleh pemerintah pada 1954, Kaharingan di

Kalimantan memiliki sejarah yang berbeda. Para penganut Kaharingan berusaha

memperjuangkan sistem kepercayaan mereka untuk bisa diterima sebagai agama resmi.

Sebagai salah satu cara agar Kaharingan sejalan dengan butir pertama Pancasila – di mana

negara menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa – pada tahun 1953 Kaharingan

menyatakan bahwa mereka mengakui pula Tuhan yang Esa yakni apa yang mereka sebut

Ranying Hatalla Langit. Ia adalah Yang Mahakuasa sumber kehidupan dan juga

penghancur. Teologi yang dianut oleh Kaharingan juga menyerupai Trimurti pada agama

Hindu (Baier 2007: 565-566).

Perjuangan para penganut Kaharingan memperoleh pengakuan sebagai pemeluk

agama resmi negara masih harus menempuh proses yang panjang. Di Indonesia sebuah

aliran kepercayaan dianggap sebagai ‘agama’ jika memiliki unusr-unsur mendasar

seperti: 1) mangandung kepercayaan akan Tuhan yang Esa, 2) memiliki kitab suci, 3)

tempat ibadat, serta 4) hari-hari raya keagamaan9. Untuk memenuhi kriteria tersebut

penganut Kaharingan mengadaptasi kembali mitos penciptaan suku Ngaju dan

menjadikannya sebagai kitab suci dengan sebutan ‘Panaturan Tamparan Taluh

Handiai’.10 Setelah masa tahun 1970-an mereka menyebut tempat ibadat agama

Kaharingan dengan istilah Balai Basarah. Dan barulah pada tahun 1980 pemerintah

secara resmi mengakui Kaharingan, bukan sebagai agama resmi yang berdiri otonom,

8 Lih. Khalikin, A. 2016. Studi Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan

Tengah. Harmoni, 10(1), Hlm. 189-206. 9 Bdk. Iskandar, N., Suud, A. K., & Si, S. 2017. Penguatan Peran Intelijen Kejaksaan dalam Pengawasan

Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (PAKEM) demi Ketertiban dan

Ketenteraman Umum. Jakarta: Miswar. Hlm. 27. 10 Awal Mula. Sumber Segala Sesuatu. (The Origins. The Source of All Being)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

17

melainkan sebagai bagian dari agama Hindu. Oleh karena itu sistem kepercayaan ini

dikenal dengan sebutan agama Hindu Kaharingan (Baier 2007: 566-568).

Ada begitu banyak contoh kisah para penganut ‘agama lokal’ dan aliran

kepercayaan tradisional yang ada di Indonesia berhadapan dengan kebijakan pemerintah

pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sebagian dari penganut agama-agama lokal

tersebut harus rela meninggalkan ajaran para leluhur dan beralih memeluk agama resmi

negara. Sebagian yang lain memilih untuk memperjuangkan keyakinan tradisional

mereka sehingga bisa diakui negara atau setidaknya menggabungkan diri pada salah satu

agama resmi negara sebagaimana dilakukan oleh pemeluk Kaharingan di Kalimantan.

Kini keberadaan aliran kepercayaan seperti mendapat angin segar. Pada 7

November 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atas

Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Permohonan uji materi

tersebut dilayangkan oleh beberapa perwakilan kelompok penganut kepercayaan di

Indonesia. Mereka datang dari Komunitas Merapu di P. Sumba, penganut kepercayaan

Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera

Utara, serta perwakilan dari penganut kepercayaan Sapto Darmo di Jawa. Bagian yang

diuji dalam sidang MK itu adalah pasal 61 ayat (1) dan (2) serta pasal 64 ayat (1) dan (5)

dari UU No.23 tahun 2006 juncto UU No.24 tahun 2013. Hasilnya, ketua MK Arif

Hidayat menyatakan bahwa kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

18

termasuk aliran kepercayaan.11 Melalui putusan itu kini para penganut agama lokal atau

aliran kepercayaan bisa mencantumkan status kepercayaan mereka pada kolom Kartu

Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini merupakan babak baru dalam

sejarah perjuangan pengakuan atas agama dan kepercayaan lokal yang ada di Indonesia.

G. KERANGKA TEORI

Dalam tesis ini penulis mencoba melihat fenomena peminggiran dan perlawanan

yang dialami orang Mentawai di Siberut dalam kehidupan sehari-hari dengan pendekatan

James Scott (1985). Scott memaparkan hasil penelitian lapangannya selama 2 tahun

(1978-1980) terhadap kaum petani di sebuah desa kecil yang dinamainya Sedaka (bukan

nama sebenarnya) di wilayah Kedah, barat laut Malaysia. Fokus perhatiannya tertuju pada

perjuangan ideologis kaum petani yang menghasilkan perlawanan terhadap kelompok

yang mengeksploitasi mereka dengan latar belakang revolusi hijau yang terjadi pada masa

itu. Dari model pendekatan Scott, penulis mencoba mengambil salah satu poin pemikiran

penting untuk menganalisis hasil penelitian dalam tesis ini. Buah pemikiran Scott yang

penulis gunakan adalah konsepnya mengenai ‘perlawanan dalam wujud keseharian’

(everyday forms of resistance).

1. Perlawanan dalam Wujud Keseharian

Scott (1985: xvi) melihat bahwa kemunculan kaum petani sebagai tokoh utama

sejarah tidak begitu dominan. Mereka sering hanya dikenal sebagai kelompok anonim

yang dikaitkan dengan statistik pajak, pergerakan tenaga kerja, kaum pemilik tanah, dan

hal-hal lain yang berhubungan dengan produksi hasil pertanian. Kondisi dan situasi yang

11 https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/11495511/mk-hak-penganut-kepercayaan-setara-dengan-

pemeluk-6-agama. Diakses pada 14 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

19

dialami kaum petani tidak memungkinkan mereka melakukan pemberontakan terhadap

kelompok yang mendulang keuntungan dan mengeksploitasi diri mereka. Konflik yang

muncul di Sedaka antara petani miskin dan para pemilik tanah yang kaya dilatarbelakangi

oleh perubahan hubungan produksi. Revolusi hijau yang terjadi memicu perubahan pola

pertanian. Panen yang dilipatgandakan dalam dua kali musim tanam serta mekanisasi

pertanian yang didukung pemerintah hanya menambah keuntungan di kalangan para

pemilik tanah. Hal ini memicu terjadinya ketidakseimbangan sosial antara para tuan tanah

dan petani.

Kesenjangan yang terjadi tampak dalam perilaku para tuan tanah seperti misalnya:

mengubah kebijakan sewa tanah, penggantian buruh tani manusia dengan mesin, dan

menyewakan tanah garapan yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu di

dalam relasi kehidupan sosial antara tuan tanah dan petani muncul perubahan perilaku

yang merugikan kaum petani miskin. Para tuan tanah mengurangi atau tidak lagi

memberikan pesta panen, memberi zakat dan sedekah sebagaimana dilakukan seturut

tradisi Islam, serta pengakuan-pengakuan sosial yang dulunya mewarnai kehidupan sosial

di wilayah Sedaka (Scott, 1985: 305). Hal ini bagi para petani kecil merupakan hal yang

merugikan. Konsekuensinya para petani miskin berusaha memperjuangkan kepentingan

mereka agar praktik-praktik sosial masa lalu diperoleh kembali. Diskriminasi oleh para

tuan tanah terhadap kelas petani akibat perubahan proses produksi pertanian itu memicu

munculnya perlawanan.

Bagi Scott kaum minoritas seperti para petani di Sedaka tidak dimungkinkan

mengadakan perlawanan frontal, terbuka, dan kolektif karena situasi struktur kelas sosial

yang kompleks dan rumit di antara para pemilik tanah dan petani. Selain itu ketika para

petani berada di posisi yang tidak dimungkinkan untuk melakukan perlawanan terbuka,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

20

maka pilihan lainnya adalah melakukan protes sambil ‘melarikan diri’ atau menghindar

(Scott 1985: 244). Scott dalam pengamatan lapangannya di Malaysia menitikberatkan

perhatiannya pada bentuk perlawanan kelompok petani yang dilakukan secara sederhana

yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang oleh Scott disebutnya sebagai

‘perlawanan dalam wujud keseharian’ kaum petani.

Berbeda dengan model perlawanan yang terang-terangan, terorganisir dan

terencana rapi, bentuk perlawanan ini muncul dalam hal-hal yang seolah remeh temeh

belaka. Sikap bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip, pencurian kecil-kecilan, hingga

melakukan sabotase, merupakan bentuk-bentuk senjata perlawanan kaum petani (Scott

1985: 29). Di permukaan orang akan melihat bagaimana kaum petani seolah ‘tunduk’

pada kebijakan pemerintah dan para pemilik tanah. Namun investigasi Scott

menunjukkan bahwa di bawah permukaan yang tampak itu para petani tetap mengadakan

perlawanan dan mengkritik pihak yang menguasai mereka. Scott mencermati pola-pola

perlawanan yang terjadi di kalangan kaum petani di Sedaka menghasilkan semacam

pembedaan antara dua wujud perlawanan. Di satu sisi adalah ‘perlawanan yang

sesungguhnya’ yang memiliki ciri: (1) Organik, sistematik, dan kooperatif. (2) Memiliki

prinsip tertentu dan tidak mementingkan diri sendiri. (3) Bisa berdampak pada munculnya

gerakan revolusioner. (4) Memiliki ide atau tujuan meniadakan kelas dominan. Di sisi

lain merupakan ‘perlawanan kecil-kecilan’ yang justru berciri hal yang sebaliknya: (1)

Tidak teratur dan tidak sistematis. (2) Oportunis dan mengutamakan kepentingan diri

sendiri. (3) Tidak sampai berujung pada gerakan revolusioner. (4) Sama sekali tidak

tersirat upaya atau gagasan menggulingkan kelas dominan.

Kedua model perlawanan tersebut menurut Scott penting untuk melihat gerakan

kaum marginal, dalam hal ini kelompok petani di Sedaka. Menganggap remeh pola-pola

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

21

perlawanan yang tampak kecil-kecilan bisa menjadikan analisis terhadap gerakan

perlawanan kaum petani itu menjadi kurang lengkap. Keputusan Scott untuk menggali

konflik kelas di Sedaka dari sudut pandang kelompok minoritas menjadi penting untuk

menggali apa yang terjadi di bawah permukaan situasi sosial yang terjadi.

Penelitian Scott di Sedaka memberikan sumbangan gagasan mengenai pembedaan

antara public transcript dan hidden transcript. Apa yang tampak di permukaan, seperti

relasi kuasa antara petani dan dominasi para pemilik lahan, dipandang sebagai ‘public

transcripts’. Sementara perlawanan dan protes para petani yang dilakukan di bawah

permukaan itulah yang disebut ‘hidden transcript’. Bentuk resistensi yang dilakukan para

petani bisa muncul dalam kegiatan gosip, pencurian dan sabotase kecil-kecilan, mogok

kerja atau bermalas-malasan. Menurut Scott perlawanan yang sifatnya frontal dan

dilakukan dalam skala besar tidak mungkin terjadi dan hanya akan berakhir sia-sia

melawan kaum pemilik tanah yang kaya dan didukung oleh pemerintah. Kelas petani

menurut Scott seringkali berada dalam posisi yang ironis dalam konflik antar kelas.

Segala bentuk revolusi dan perlawanan terbuka akan dengan mudah ditindak dengan

tegas oleh pemerintah dan kelas yang mendominasi. Bahkan ketika para petani memberi

dukungan mereka kepada salah satu kelompok partai, tidak memberikan jaminan

kepastian bahwa nasib mereka kelak akan diperjuangkan. Bayang-bayang akan

pembunuhan massal, penindasan, serta kehancuran moral yang disebabkan oleh

pemberontakan menjadikan kaum petani cenderung menghindari konfrontasi secara

terbuka (Scott, 1985:29-30).

2. Resistensi Orang Siberut dalam Praktik Sabulungan

Ada beberapa pokok pemikiran Scott dalam penelitiannya yang penulis gunakan

untuk menganalisis fenomena yang dialami orang Mentawai di Siberut. Pokok-pokok

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

22

pemikiran tersebut adalah: hegemoni dalam konflik ideologi, model perlawanan simbolik

dan gagasan mengenai narasi terselubung (hidden transcript).

a. Hegemoni dalam Konflik Ideologi

Jika dalam penelitian James Scott kaum petani berhadapan dengan dominasi para

pemilik tanah dengan latar belakang revolusi hijau, orang Mentawai di Siberut dalam

penelitian ini berada di posisi serupa berhadapan dengan dominasi negara dan para

pewarta agama pasca kemerdekaan Indonesia. Barker (2014:119) secara singkat

menjelaskan hegemoni sebagai upaya memproduksi seperangkat makna, gagasan, ide-

ide, dan juga ideologi, oleh golongan yang berkuasa dan kemudian secara otoriter

golongan tersebut berupaya menjaga dan mempertahankannya. Menurut Gramsci,

ideologi sendiri bisa dipandang sebagai ide-ide, gugus makna, dan praktik yang fungsinya

mendukung kekuasaan kelas sosial tertentu (Barker, 2014:138). Dalam konteks konflik

di Sedaka, wujud hegemoni tersebut tampak dalam pertarungan ideologi yang terjadi

antara tuan tanah dan kaum petani. Para pemilik tanah yang kaya – karena kedudukan

sosialnya – dan diperkuat oleh dukungan pemerintah memiliki kuasa untuk memaksakan

gagasan dan ide-ide mereka tentang bagaimana sebaiknya perilaku para petani. Namun

tidak demikian dengan kelas petani. Mereka selalu berada di posisi subordinat yang tidak

menguntungkan untuk memaksakan ide-ide mereka terhadap orang kaya (Scott, 1985:

315).

Situasi yang serupa terjadi di Siberut pasca kemerdekaan Republik Indonesia.

Negara muncul sebagai pihak yang mendominasi gagasan dan ide-ide mengenai warga

negara modern. Dominasi ideologi tersebut muncul dalam kebijakan pemerintah di P.

Siberut. Ide-ide mengenai warga negara yang mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

23

diwacanakan secara dangkal melalui penghayatan atas ‘agama resmi’12 – di mana

tampak bahwa kepercayaa-kepercayaan tradisional seperti sabulungan tidak termasuk

dalam kategori tersebut – hidup dalam desa-desa yang dibentuk pemerintah, dan

mengenyam pendidikan. Dan sebagaimana para petani kecil di Sedaka, penghayat

sabulungan di Siberut berada dalam posisi yang tidak memungkinkan memaksakan

gagasan mereka sendiri terhadap negara sebagai kelas yang berkuasa. Konflik ideologi

yang terjadi di Siberut inilah yang kemudian menyebabkan diskriminasi kelompok

tertentu sehingga memicu munculnya perlawanan. Dalam hal ini perlawanan dipahami

bukan semata-mata sebagai perilaku ofensif yang berusaha membalikkan tatanan kelas

sosial melainkan juga sebagai upaya protes serta negosiasi yang terjadi di dalam relasi

kekuasaan itu sendiri. Resistensi orang Mentawai di Siberut bukan terwujud dalam

perilaku menentang program pemerintah dan menolak segala bentuk peraturan yang

diberikan, tetapi justru terjadi melalui negosiasi dengan segala perubahan tersebut.

b. Model Perlawanan Simbolik.

Suatu tindakan atau aksi seseorang atau sekelompok orang lahir dari kehendak yang

dipengaruhi oleh kesadaran mereka. Scott berpendapat bahwa aksi perlawanan dan

pemikiran (mengenai) perlawanan selalu berhubungan secara dialogis. Kesadaran untuk

melakukan aksi tersebut tidak selalu muncul dalam bentuk yang sama. Ada kalanya garis

aksi yang muncul bisa berupa hal yang mustahil dan unik (Scott, 1985: 38). Menganalisis

kesadaran intensional yang ada di balik tindakan resistensi suatu kelompok menjadi

penting untuk memahami bentuk protes dalam wujud keseharian.

12 Bdk. Stange, 2007: 127.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

24

Bentuk perlawanan simbolik kelas tertentu tidak bisa dilepaskan dari gagasan

mengenai ‘mistifikasi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang muncul dari hegemoni simbolis pula.

Dalam hal ini Scott mengutip pemikiran Gramsci mengenai tindakan kelompok dominan

yang berkuasa mengendalikan sektor-sektor idiologis dari masyarakat seperti agama,

pendidikan, dan media massa. Mereka dengan demikian berusaha membangun gagasan-

gagasan yang indah, ideal, dan tampak asli. Apa yang dilakukan negara di daerah-daerah

seperti di Siberut merupakan wujud hegemoni simbolis tersebut. Gagasan yang dibangun

adalah bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang menerima sila Ketuhanan

Yang Maha Esa dan hal itu dinyatakan dengan dianutnya agama tertentu. Gagasan lain

yang dibangun adalah bahwa masyarakat yang merdeka dan modern meninggalkan segala

bentuk tradisi animisme. Gagasan mengenai cara hidup bermasyarakat yang berpusat

pada wilayah administratif sebagaimana diakui pemerintah juga merupakan konsep-

konsep yang diwacanakan oleh pemerintah. Bagi Gramsci, sebagaimana ditulis Scott,

mereka yang merupakan kelas yang didominasi lebih diperbudak dalam tataran pemikiran

daripada dalam tataran praktik dan perilaku (Scott, 1985: 39).

Hegemoni simbolik negara di atas dengan demikian berhadapan dengan ideologi

orang Mentawai di mana relasi keduanya tidak pernah sejajar. Bentuk-bentuk ritual,

tradisi, simbol-simbol budaya, serta norma-norma tradisional yang telah dihidupi orang

Mentawai sekian lama telah membentuk semacam ideologi yang tidak bisa begitu saja

dihilangkan. Bahwa kemudian orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-duyun

menganut agama sebagaimana diharapkan pemerintah dengan demikian tidak semata-

mata memperlihatkan tidak adanya perlawanan. Ritual-ritual sabulungan yang masih

dihidupi sekelompok orang Mentawai di Siberut bisa jadi merupakan wujud

perlawawanan simbolik yang memperlihatkan bahwa mereka tidak lagi menjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

25

kelompok yang dikuasai begitu saja oleh tatanan sosial yang diupayakan oleh para

penguasa.

c. Narasi Terselubung

Konflik yang terjadi di antara kelas tuan tanah dan petani miskin di Sedaka

berlangsung seperti di atas ‘pentas’. Relasi antara para petani dan tuan-tuan tanah yang

kaya tampak berjalan normal. Para petani menghormati kedudukan para pemilik lahan

dan mengiyakan apa yang mereka harapkan dari kaum mereka. Demikian pula para

pemilik lahan juga menjalankan peran sosial mereka dengan memberikan zakat dan

sumbangan kepara orang-orang miskin pada hari-hari besar keagamaan. Namun situasi di

bawah pentas justru berbeda. Perlawanan yang berlangsung justru terjadi ‘di bawah

permukaan’. Sifat bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip di kedai-kedai kopi, dan

sabotase peralatan produksi pertanian, terus berlangsung. Gerakan di bawah pentas ini

merupakan bentuk narasi yang terselubung (hidden transcript) yang oleh Scott dibedakan

dengan situasi kehidupan umum yang tampak di permukaan (public transcript) (Scott,

1990:4).

Pemikiran Scott mengenai hidden transcript yang diterapkannya dalam penelitian

terhadap petani di Sedaka diuraikan secara detail dalam bukunya Hidden Transcripts:

Domination and And The Arts of Resistance (1990). Segala bentuk tingkah laku,

perbincangan, praktik-praktik yang dilakukan kelompok subordinat di ‘luar pentas’

tersebut sama sekali bertentangan dan mampu mengubah apa yang tampak di ‘atas

pentas’. Istilah hidden transcript ini digunakan Scott untuk memperlihatkan bahwa apa

yang terjadi di ‘luar pentas’ benar-benar berada di luar pengamatan para pemegang

kekuasaan atau kelas yang mendominasi (Scott, 1990:4). Maka untuk melihat bagaimana

dominasi terjadi dan beroperasi pada wacana publik penting sekali melihat perbedaan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

26

antara hidden transcript dan public transcript (Scott, 1990: 5). Ada 3 karakteristik hidden

transcript menurut Scott (1990: 14) yang penting untuk diperhatikan. Pertama, narasi

terselubung (hidden transcript) secara khusus diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu

dan terhadap seperangkat tindakan tertentu. Dengan demikian narasi kelas sosial tersebut

diuraikan dalam ‘publik terbatas’ dan oleh karena itu ‘tersembunyi’ bagi golongan kelas

tertentu. Dalam kisah petani di Sedaka, apa yang dilakukan para petani tersembunyi bagi

kelompok tuan tanah dan pemerintah. Sedangkan dalam kasus di Siberut, praktik

sabulungan tersembunyi bagi pemerintah dan para pewarta agama. Kedua, narasi

terselubung tidak hanya berwujud wacana, cerita-cerita, tetapi juga mencakup

serangkaian praktik dan tindakan. Tindakan para petani di Sedaka bekerja sambil

bermalas-malasan, pencurian, menghindari pajak, merupakan hal yang tak terlepas dari

konsep narasi terselubung. Hal yang mirip terjadi pula dikalangan orang Mentawai di

Siberut, yang menghindari istilah sabulungan dan lebih memilih menggunakan kata

‘budaya’ serta menjalankan pula kewajiban hidup beragama sebagaimana dianjurkan

agama masing-masing. Karakteristik ketiga dari narasi terselubung adalah situasi yang

memperlihatkan bahwa perbatasan antara public transcript dan hidden transcript tidak

selalu jelas. Perbatasan tersebut selalu menjadi bagian dari wilayah perjuangan terus-

menerus antara kelompok yang mendominasid an kelompok subordinat.

Pemikiran Scott ini juga yang akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi

di Siberut. Bagaimana orang Mentawai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat

umum mengikuti arahan pemerintah untuk menganut agama resmi dan meninggalkan

tradisi sabulungan? Namun situasi yang terjadi di bawah pentas memperlihatkan hal yang

berbeda. Di sini lah teori Scott mengenai hidden transcript bisa memberikan kontribusi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

27

untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan orang Mentawai di Siberut yang masih

menjaga tradisi sabulungan dalam kehidupan mereka saat ini.

H. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dan

studi pustaka untuk mengumpulkan data. Pemilihan informan dilakukan dengan metode

purposive sampling. Wawancara dilakukan kepada sejumlah tokoh masyarakat dan tetua

adat yang ada di wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Lokasi ini dipilih karena di sana

masih bisa dijumpai masyarakat tradisional Mentawai. Wilayah tersebut juga sering

menjadi tujuan kunjungan wisatawan mancanegara ataupun domestik yang ingin

mengenal dan melihat dari dekat kehidupan tradisional suku Mentawai.

Penelitiaan lapangan dilakukan secara khusus oleh penulis dalam 2 periode. Yang

pertama pada bulan Januari 2017 selama 2 minggu dan yang kedua dilaksanakan pada

bulan Desember 2017 sampai awal Januari 2018 selama 4 minggu. Pada kunjungan

pertama, penulis mengadakan perbincangan dengan beberapa kenalan di Siberut

mengenai tema tesis ini. Dari pertukaran pikiran tersebut, penulis dibantu beberapa

kenalan mencoba mencari tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang memiliki pemahaman

atas tema yang akan penulis angkat dalam tulisan ini. Waktu kunjungan yang cukup

singkat, dan kesulitan menjumpai para informan di kediaman mereka mejadi salah satu

kendala yang penulis hadapi di lapangan. Kebanyakan dari mereka sedang tidak berada

di rumah kediamannya ketika penulis mengunjungi mereka. Sebagian sedang berada di

ladang atau sedang pergi ke tempat lain. Terbatasnya waktu dan kesulitan untuk membuat

janji bertemu dengan tokoh yang bersangkutan menjadikan penulis tidak banyak

mendapatkan data.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

28

Pada kunjungan yang kedua, dari pertengahan bulan Desember 2017 hingga awal

Januari 2018, penulis lebih banyak mengadakan wawancara dengan beberapa informan

yang telah ditentukan. Penulis banyak dibantu oleh seorang guru setempat, Marinus

Satoleuru, yang ayahnya juga seorang sikerei. Selain itu penulis juga dibantu oleh

sekretaris paroki gereja setempat, Bapak Petrus Marjuni, orang Jawa yang sejak masa

mudanya mengabdi di Siberut. Bersama Marinus dan Bapak Petrus Marjuni, penulis

mengunjungi sejumlah tokoh, mulai dari orang yang dituakan dalam suku, pejabat

pemerintahan, dan orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan dan pariwisata.

Semua informan adalah orang Mentawai. Bersama Marinus dan Bapak Marjuni juga

penulis banyak bertukar pikiran mengenai tema tesis ini dan menentukan siapa-siapa yang

sekiranya cukup memahami situasi budaya setempat dan sejarahnya di masa lalu. Marinus

juga banyak membantu penulis dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan

bahasa Mentawai. Para narasumber yang dipilih merupakan tetua dalam sebuah suku

yang mengalami sendiri peristiwa tahun 1954, para katekis atau guru agama Katolik orang

Mentawai yang memahami juga budaya setempat, serta tokoh-tokoh yang sempat

menjabat sebagai kepala dusun atau desa.

Kesulitan menjumpai para informan di waktu yang ditentukan masih menjadi

kendala. Sebagian besar wawancara dilakukan pada sore hingga malam hari. Saat itu para

informan sudah berada di rumah setelah seharian bekerja. Penulis juga berkesempatan

mewawancarai Bupati Kep. Mentawai, Bapak Yudas Sabaggalet yang kebetulan pada

saat itu datang untuk merayakan Natal di Muara Siberut. Kesempatan ini tidak

dijadwalkan sebelumnya oleh penulis. Data dari wawancara dan pembacaan sejumlah

literatur itulah yang menjadi sumber data. Bersamaan dengan itu penulis juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

29

menggunakan bahan-bahan sekunder dari literatur dan arsip untuk memperkaya analisa

tesis ini.

I. SISTEMATIKA PENULISAN

Tesis ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi latar belakang dan

tujuan penulisan, pertanyaan penelitian, kajian pustaka, landasan teoritis, dan metode

penelitian. Pada bagian kedua akan diulas mengenai gambaran umum kepulauan

Mentawai saat ini, gagasan mengenai orang Mentawai dalam mitos tradisonal dan dari

sejumlah penelitian. Bagaimana perjumpaan orang Mentawai dengan budaya dari luar,

sistem kepercayaan mereka dan relasinya dengan negara juga merupakan poin-poin yang

akan disajikan dalam bab yang kedua. Bab yang ketiga akan berisikan pembahasan

mengenai sabulungan di mata mereka yang dituakan dalam suku dan masyarakat

(sikebukat) serta bagaimana ritual sabulungan masih menjadi bagian dari kehidupan

sehari-hari orang Mentawai di Siberut. Pada bab yang keempat penulis mencoba

menyajikan persoalan dominasi negara terhadap sabulungan serta bagaimana siasat

perlawanan orang Mentawai. Akhirnya pada bagian yang terakhir penulis akan

memberikan tanggapan dan kesimpulan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

30

BAB II

KEPULAUAN MENTAWAI, ORANG SIBERUT DAN SABULUNGAN

Bab kedua ini akan menjelaskan tiga pokok bahasan. Bagian pertama akan berisi

gambaran umum situasi Kepulauan Mentawai. Hal itu meliputi keadaan geografis, situasi

penduduk, hingga perkembangan apa saja yang sedang terjadi di wilayah tersebut hingga

saat ini. Pokok bahasan kedua memuat uraian mengenai gagasan komunitas orang

Mentawai. Bagian ini akan berisi beberapa tulisan yang disusun oleh para peneliti

Mentawai. Pembahasan mengenai bagaimana asal-usul orang Mentawai – sebagaimana

termuat dalam hasil penelitian terdahulu dan mitos tradisional mereka – secara singkat

juga akan dimuat pada bagian kedua ini. Penjelasan mengenai kepercayaan tradisional

orang Mentawai dan bagaimana negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskannya

akan menjadi poin pembahasan bagian yang ketiga. Pada bagian terakhir itu pula penulis

akan memberikan gambaran mengenai situasi memudarnya sabulungan dalam kehidupan

orang Mentawai di Siberut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

31

A. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai

1. Lokasi Geografis

Secara geografis kepulauan Mentawai terletak di sebelah barat Pulau Sumatera –

dipisahkan oleh Selat Mentawai – dan merupakan 1 dari 12 kabupaten di Provinsi

Sumatera Barat. Wilayah kepulauan dengan luas 6.011,35 km2 dan garis pantai sepanjang

1.402,66 km13 ini terdiri empat pulau utama, yakni P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara

dan P. Pagai Selatan. Selain keempat pulau utama tersebut terdapat ratusan pulau-pulau

kecil yang tersebar di wilayah Mentawai. Namun data BPS tahun 2017 baru mencatat 99

13 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018.

Peta 1. Lokasi P. Siberut di Kepulauan Mentawai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

32

nama pulau yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Sipora Utara dan Siberut

Barat Daya. Sejak tahun 1999 berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 wilayah ini resmi

berdiri sebagai Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibu kota Tuapeijat yang terletak

di P. Sipora.

Menurut data administrasi pemerintah daerah tahun 201714, Kabupaten Kepulauan

Mentawai memiliki 10 kecamatan, 43 desa dan 341 dusun. Sebagian besar daerah di

Mentawai hanya bisa dicapai dengan sarana transportasi air (sungai dan laut). Baru sedikit

jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Pada tahun 2015 dimulailah proyek

pembangunan jalan Trans-Mentawai15. Rencananya proyek ini akan membuka jalan

sepanjang 393 km yang menghubungkan keempat pulau utama di wilayah Kab.

Kepulauan Mentawai. Menurut Bupati Kab. Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet,

saat ini jalan Trans-Mentawai yang sudah selesai mencapai 134 km. Masih tersisa 188,53

km jalan yang belum dikerjakan. Proyek ini akan membutuhkan dana sebanyak Rp. 1,2

triliun yang diperoleh dari APBD dan APBN.16 Jalur transportasi darat sangat dibutuhkan

di wilayah Kepulauan Mentawai. Dengan tersedianya jalan darat yang menghubungkan

daerah-daerah di wilayah kepulauan tersebut pembangunan daerah dan pertumbuhan

ekonomi bisa meningkat dengan pesat.

Program pembangunan daerah Mentawai yang diprioritaskan pada pembangunan

infrastruktur, termasuk pembukaan jalur transportasi darat, menjadi hal yang penting

mengingat Kepulauan Mentawai juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bagi

wisatawan mancanegara. Sebagian besar wisatawan luar negeri datang ke wilayah

14 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018, hlm. 4. 15 Lih. https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/22/ov38xb428-pembangunan-

infrastruktur-mentawai-mendesak diakses pada 30 Nvember 2018. 16 Lih. Kompas. (18 Agustus 2017). Trans-Mentawai Melewati Hutan. Kompas, diambil dari

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916 pada 26 September

2017.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

33

kepulauan itu untuk berselancar. Hal ini tidak mengherankan mengingat Mentawai

memiliki 71 titik untuk berselancar dan 2 di antaranya (Lances Right dan Macaronies)

termasuk dalam 10 titik selancar terbaik di dunia.17 Menurut Desti Simamora, Kepala

Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kep. Mentawai (Disparpora), pada

tahun 2017 tercatat sekitar 10.500 wisatawan mancanegara datang ke Mentawai. Dari

jumlah tersebut 50% wisatawan datang dari Australia, Amerika Serikat, Jepang, Spanyol

dan Brazil.18 Dengan semakin mudahnya akses ke wilayah-wilayah di Mentawai

pemasukan bagi pendapatan daerah dari sektor pariwisata pun akan bertambah.

Saat ini sarana transportasi utama yang digunakan untuk menuju Mentawai adalah

kapal penyeberangan. Ada beberapa kapal penyeberangan yang beroperasi saat ini, yakni

KM. Ambu-Ambu dan KM. Gambolo. Selain itu terdapat juga KM Sabuk Nusantara 3719

serta kapal cepat MV Mentawai Fast yang dikelola oleh swasta. Dengan menggunakan

kapal ferry diperlukan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai Muara Siberut – ibu kota

Kecamatan Siberut Selatan – dari Pelabuhan Bungus di Padang. Atau jika menggunakan

kapal MV Mentawai Fast, pelayaran Padang-Mentawai bisa ditempuh dalam waktu 3-4

jam. Banyak wisatawan dan masyarakat kelas menengah yang memanfaatkan pelayaran

ini karena waktu tempuhnya lebih singkat. Berbeda dengan sebagian masyarakat yang

memiliki usaha dagang, mereka lebih memilih menggunakan jasa pelayaran ferry untuk

mengangkut barang dagangan mereka dari Padang. Masyarakat di Mentawai yang hendak

menjual hasil bumi seperti, ikan, udang karang, pisang, coklat, cengkeh, dan enau, juga

17 Lih. Fadjar, Evieta. (2013, April). Mentawai Memiliki 2 Titik Ombak Terbaik Dunia. Tempo.co,

diambil dari https://travel.tempo.co/read/473309/mentawai-punya-dua-titik-ombak-terbaik-dunia# pada

27 September 2017. 18 Lih. Puspita, Ratna. (2018, Maret). Pendapatan Mentawai dari Pariwisata Capai Rp. 7,3 Miliar.

Republika.co.id, diambil dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/03/18/p5slc7428-

pendapatan-mentawai-dari-pariwisata-capai-rp-73-miliar pada 14 September 2018. 19 Kapal Sabuk Nusantara 37 merupakan bantuan dari Dinas Perhubungan pada tahun 2014. Namun dari

pengamatan penulis dan informasi warga setempat, kapal ini jarang tampak berlabuh di Muara Siberut

serta memiliki jadwal yang tidak menentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

34

cenderung memanfaatkan jasa kapal ferry untuk membawa hasil laut dan kebun mereka

tersebut ke Padang.

2. Kependudukan

Data dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Mentawai tahun 201720 menunjukkan

jumlah penduduk di Mentawai sebesar 88.692 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata

15 jiwa per km2. Sebagian besar masyarakat Mentawai tersebut (64,67%) bekerja di

bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sementara itu masih

sedikit sekali masyarakat yang bekerja di sektor industri (3,30%), perdagangan, rumah

makan, dan jasa akomodasi (9,5%). Kondisi tanah di kepulauan Mentawai memang

tergolong sangat subur. Sayangnya pertanian dan perkebunan di Mentawai belum

dikelola secara optimal. Pada umumnya mereka menanam tanaman seperti kakao,

cengkeh, nilam, pinang, kelapa (yang kemudian dijadikan kopra), pisang dan keladi. Hasil

kebun tersebut selanjutnya dijual kepada pedagang besar dan kemudian diangkut ke

Padang. Banyak pedagang besar juga memiliki kapal yang singgah di daerah-daerah yang

belum memiliki akses jalan guna mengangkut hasil bumi seperti kopra dan rotan. Pada

masa lampau kapal-kapal dagang inilah yang sekaligus menjadi sarana transportasi orang-

orang Mentawai yang hendak pergi ke Padang.

Makanan utama warga setempat adalah sagu. Namun dengan semakin banyaknya

pendatang serta perubahan pola hidup, disamping sagu masyarakat Mentawai kini telah

mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Keadaan ini memicu pemerintah daerah

untuk menggalakkan pengadaan lahan persawahan guna menunjang kebutuhan beras di

20 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

35

Mentawai yang semakin meningkat. Peningkatan luas lahan persawahan tampak dari data

statistik. Pada 2012 hanya terdapat 307 Ha lahan sawah di Mentawai. Saat ini telah

tercatat 2.452 Ha area sawah yang tersebar di seluruh kepulauan.

Mayoritas penduduk Kabupaten Kepualauan Mentawai adalah suku Mentawai.

Selain itu terdapat juga penduduk yang berasal dari etnis lain seperti Minangkabau, Nias,

Batak, Jawa, dan Flores. Agama resmi yang dipeluk masyarakat di Mentawai adalah

Protestan (50,32%), Katolik (36,62%), dan Islam (16,57%)21. Pada tahun 1901 agama

Protestan mulai diperkenalkan di Mentawai yakni di wilayah Sikakap dan Sipora. Baru

pada tahun 1953 para misionaris Katolik masuk di Siberut. Gereja Katolik pertama berdiri

pada tahun 1954 di Muara Siberut. Walaupun diketahui bahwa para pedagang dari tanah

tepi Sumatera Barat yang beragama Islam telah memiliki hubungan dagang dengan

wilayah Mentawai sejak zaman Belanda, namun belum ada data yang autentik tentang

kapan agama Islam mulai diperkenalkan di kepulauan Mentawai. Namun penyebaran

agama Islam di Mentawai, khususnya di Siberut, mulai terorganisir sejak dibentuknya

Badan Otorita Khusus Kepulauan Mentawai pada tahun 1971.

Dalam bidang pendidikan tampak bahwa tingkat pendidikan masih tergolong

rendah. Laporan mengenai jumlah penduduk usia sekolah dan partisipasi sekolah tahun

2017 memperlihatkan hanya 35,20% penduduk usia sekolah, 5-25 tahun ke atas yang

sedang bersekolah. Selebihnya sebanyak 59,60% sudah tidak bersekolah lagi. Lebih dari

setengah kelompok ini (76,9%) adalah mereka yang berusia 19-24 tahun. Ini

menunjukkan bahwa mereka hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah

Menengah Atas (SMA) saja. Angka putus sekolah setelah SMA tergolong sangat tinggi.

Hingga tahun 2017 dilaporkan terdapat 117 Sekolah Dasar (SD), 29 Sekolah Menengah

21 Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik. Sumber: https://sp2010.bps.go.id

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

36

Pertama (SMP), dan 15 Sekolah Menengah Atas yang tersebar di Kab. Kepulauan

Mentawai. Selama periode 2014-2017 tidak terdapat penambahan jumlah SD. Sedangkan

untuk periode yang sama sebanyak 5 unit SMP dan 4 unit SMA baru dibuka.

Pada umumnya Sekolah Dasar banyak tersebar di dusun-dusun22. Namun untuk

SMP biasanya hanya terdapat desa. Hanya di pusat kecamatan keberadaan SD, SMP, dan

SMA bisa dijumpai. Hal ini mengakibatkan anak-anak usia sekolah yang berasal dari

daerah-daerah yang jauh harus tinggal di pusat-pusat kecamatan selama masa sekolah.

Keberadaan asrama-asrama dan pondokan pelajar menjadi hal yang umum dijumpai

hingga saat ini. Persebaran guru juga sejauh pengamatan penulis kurang merata. Di

sejumlah sekolah dasar yang terletak di wilayah yang sulit dijangkau, jumlah guru sangat

sedikit. Tidak jarang seorang guru harus mendampingi anak-anak dari kelas 1 hingga

kelas 3 SD. Situasi ini menjadikan perkembangan pembangungan di Mentawai berjalan

lambat. Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga 2017 merupakan salah satu dari tiga

daerah tertinggal di Sumatera Barat.

B. Gagasan Mengenai Komunitas Orang Mentawai

Penduduk asli Kepulauan Mentawai adalah suku Mentawai. Catatan sejarah J. R.

Logan dalam The Chagalelegat or Mantawe Islander (Logan, 1855) sebagaimana dikutip

oleh Coronesse dalam Kebudayaan Suku Mentawai (Coronesse, 1986), memberikan

catatan mengenai gambaran fisik orang Mentawai di masa lalu yang berperawakan baik

dan menarik. Mereka juga tampak sehat dan jarang yang didapati memiliki cacat fisik.

Hal ini dikarenakan cara hidup orang Mentawai yang dekat dengan alam sehingga mereka

yang bertahan adalah benar-benar hasil dari seleksi alam. Mereka tidak memiliki

22 Di Mentawai wilayah administratif terkecil adalah dusun. Beberapa dusun – yang letaknya bisa sangat

berjauhan – bergabung membentuk sebuah desa. Wilayah kecamatan terdiri dari beberapa desa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

37

pekerjaan tetap karena hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan hasil bumi. Hasil

buruan dan hasil hutan itulah yang nantinya akan ditukar (barter) dengan para pedagang

pendatang untuk memperoleh bahan-bahan kebutuhan mereka. Orang Mentawai juga

digambarkan sebagai masyarakat yang ramah, baik hati, suka menghormati orang lain

dan tidak ingin berperang. Mereka juga dikenal dengan seni tatonya. Ginarti (1985)

menulis bahwa bagi masyarakat Mentawai, tato merupakan ‘pakaian abadi’ di mana

busana tersebut akan dikenakan hingga akhir hayat.23 Setiap daerah memiliki pola tatonya

tersendiri. Di masa lalu, diperlukan ritual khusus guna membuat tato di badan seseorang.

Saat ini di Mentawai, khususnya di P. Siberut, masih bisa kita jumpai orang-orang tua

suku Mentawai yang badannya penuh dengan tato. Tradisi tato ini hampir tidak bisa

dijumpai lagi pada generasi orang muda Mentawai.

Meskipun letak Kepulauan Mentawai berdekatan dengan wilayah Sumatera Barat,

namun orang-orang suku Mentawai memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan

orang Minangkabau yang merupakan mayoritas penduduk Sumatera Barat. Bukan hanya

itu, Mentawai juga dikenal memiliki keragaman hayati yang berbeda dengan P. Sumatera.

Hal ini bisa dipahami dengan mengamati laporan yang disusun oleh WWF tahun 198024

yang memperlihatkan gambaran wilayah kepulauan Mentawai di jaman Pleistosen

(kurang lebih 1.000.000 sampai 10.000 tahun lalu). Pada masa itu P. Sumatera, P. Jawa

dan P. Kalimantan masih dihubungkan oleh daratan. Hal ini juga yang memungkinkan

pertukaran fauna yang ada di wilayah tersebut. Namun demikian wilayah Kepulauan

Mentawai tetap tinggal terpisah dari daratan Sumatera.

23 Lih. Ginarti K, B. 1985. Tumbangnya Sebuah Aspek Kebudayaan Mentawai: Tato dalam Pulau

Siberut. 1985. Gerard Persoon dan Reimar Scefold (ed.). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. 24 Lih. WWF. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan Induk Konservasi. Bogor: World Wildlife

Fund Report.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

38

Belum ada teori yang disepakati bersama mengenai asal-usul nenek moyang orang

Mentawai (Coronesse, 1986; Rudito, 1993; Juniator, 2012). Hal ini disebabkan karena

ada begitu banyak versi cerita yang menjelaskan hadirnya pendatang pertama di wilayah

kepulauan itu. Selain itu tidak tersedianya sumber peninggalan arkeologis dan literatur-

literatur menjadikan upaya penelusuran sejarah nenek moyang suku Mentawai menjadi

semakin sulit (Caisutti, 2015:13). Juniator dalam desertasinya mencoba mengumpulkan

beragam kisah tersebut. Ia menggolongkan kisah-kisah berdasarkan periodisasi waktu:

tahun 1842 dan 1930, 1960 dan 1991, serta yang terakhir antara tahun 2002 dan 2006.

Dalam penelitian lapangan yang terkahir antara tahun 2002, 2004, dan 2006, ia tidak

menemukan lagi penutur Mentawai yang memiliki kisah seperti yang ditulis para ahli

antara tahun 1842 dan 1930, yang menjelaskan bahwa penduduk asli Mentawai

merupakan orang Melayu yang datang langsung dari wilayah Sumatera (Padang). Kisah-

kisah yang diceritakan justru memiliki kemiripan dengan laporan-laporan tertulis yang

diperoleh pada tahun 1960-1991. Sumber-sumber tersebut memberikan informasi

mengenai pendatang dari kepulauan Nias yang bernama Aman Tawe.

Baik sumber yang dikumpulkan antara tahun 1884-1930 maupun tahun 1960-1991

hanya memberikan informasi mengenai kehadiran orang-orang Mentawai pertama di P.

Siberut dan tidak mencakup kisah mengenai wilayah selatan, seperti di P. Sipora dan

Pagai. Di wilayah tersebut, di P. Sipora misalnya, terdapat informasi lain mengenai orang-

orang yang datang dari daerah Muko-muko di Bengkulu. Dalam hal ini Juniator

sependapat dengan Wirz bahwa nenek moyang orang Mentawai datang dari beberapa

tempat yang berbeda. Para pendatang itu – baik yang berasal dari beberapa wilayah di P.

Siberut maupun dari P. Sipora – kemudian bercampur baur dan dikenal sebagai suku

Mentawai sebagaimana dijumpai saat ini (Juniator, 2012).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

39

1. Mitos Asal-Usul Orang Mentawai

Dalam buku yang disusun oleh Bruno Spina, Mitos dan Legenda Suku Mentawai

(1981), terdapat 67 judul cerita tradisional Mentawai. Bruno Spina sendiri adalah seorang

imam misionaris Xaverian yang ditugaskan di Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai

Selatan) pada tahun 1963. Selama lima tahun pertama, ia banyak mencatat adat istiadat,

kepercayaan orang setempat, dan juga mengumpulkan cerita-cerita kuno yang masih

diingat oleh orang Mentawai di sana. Beberapa peneliti Mentawai yang juga telah

menerbitkan kisah-kisah tradisional orang Mentawai antara lain: H.A. Mess (1881),

J.F.K. Hansen (1915), A.C. Kruyt (1963-1924), dan Edwin M. Loeb (1929). Spina

menggabungkan beberapa cerita dari para peneliti terdahulu tersebut – karena dilihat

memiliki versi lebih lengkap – dan menjadikannya dalam satu buku dan ditulis kembali

dalam bahasa Indonesia.

Dari 67 cerita dalam buku Bruno Spina tidak satupun ditemukan kisah mengenai

asal-usul orang Mentawai. Bahkan konsep mengenai penciptaan dunia diceritakan dengan

sangat sederhana. Menurut Loeb, sebagaimana dikutip Spina dalam bagian pengantar,

tidak adanya konsep penciptaan dan cerita mengenai asal-usul keberadaan manusia

menjadikan masyarakat suku Mentawai berbeda dengan banyak suku bangsa di

Indonesia. Bagi Spina hal tersebut memperlihatkan bagaimana orang Mentawai

memandang dunia mereka. Orang Mentawai benar-benar meyakini bahwa dunia yang

mereka huni bukanlah milik mereka. Mereka menggambarkan dunia sebagai sebuah

taman yang besar, tempat di mana mereka bisa hidup dari memanfaatkan segala yang

telah ada di alam. Oleh karena itu mereka harus menjaga relasi yang baik dengan roh-roh

yang ada di alam dengan berterima kasih dan tidak menyalahgunakan sesuatu yang

mereka gunakan. Menyalahgunakan apa yang mereka dapat di alam akan mengakibatkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

40

balas dendam dari roh-roh alam dan hal ini lah yang menjadi sumber malapetaka bagi

manusia (Spina, 1981: 14).

Keberadaan roh-roh alam menjadi hal yang sentral dalam banyak cerita tradisional

orang Mentawai. Satu cerita singkat dalam buku Spina, Panandaat Polak Samba Rua

Sirimanua Siboiki (Asal-usul Dunia dan Dua Orang Orang Pertama)25, memperlihatkan

bahwa roh-roh inilah yang menciptakan dunia dengan melemparkannya dari langit

sehingga terbentuk pulau-pulau Sumatera dan sekitarnya. Roh-roh itu pula menciptakan

tumbuhan dan hewan serta manusia. Mereka juga yang dikisahkan selalu memberikan

berbagai petunjuk mengenai cara hidup kepada manusia pertama (Spina, 1981: 253). Bagi

orang Mentawai pada masa itu dunia berarti kepulauan Mentawai dan Sumatera. Sebuah

cerita lain yang lama dikenal orang Mentawai di Sikakap mengisahkan bagaimana jaman

dahulu nenek moyang mereka datang dari Padang dengan menggunakan 2 perahu besar.

Sebagian dari mereka kembali ke Padang, sebagian berlayar menuju Pulau Siberut (Spina,

1981: 255).

Salah seorang misionaris Xaverian awal yang berkarya di Siberut, P. Tonino

Caisutti26, dalam catatannya27, mengisahkan bagaimana ia untuk pertama kali

mengunjungi daerah Simatalu di bagian utara Siberut. Wilayah itu dipercaya sebagai asal

nenek moyang orang Mentawai. Di sana P. Caisutti menemui sejumlah warga setempat

yang lanjut usia dan tidak pernah meninggalkan tempat itu serta tidak pernah berjumpa

dengan orang di luar wilayah tersebut. Kepada mereka P. Caisutti menanyakan darimana

asal mereka. Mereka semua menjawab bahwa mereka datang dari daerah Simalegi. Di

25 Spina mengutip dan menterjemahkan cerita ini dari buku J.F.K. Hansen, de groep Noord en Zuid Pageh

van de Mentawei-Eilanden, 1915 halaman 12. 26 P. Tonino Caisutti, SX berkarya di Kep. Mentawai ( Sipora, Siberut, dan Sikabaluan) pada tahun 1966

hingga 1997. 27 Caisutti, Tonino. 2015. La Cultura Mentawaiana. Terjemahan oleh Abis Fernando. Japan: Asian Studi

Centre, hlm. 13-15.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

41

lain kesempatan, ketika P. Caisutti berkunjung ke Simalegi, ia juga menemui orang-orang

tua di wilayah dan mengajukan pertanyaan yang sama mengenai asal-usul mereka. Orang-

orang itu menyatakan bahwa mereka tidak berasal dari mana-mana. Sejak semula mereka

sudah hidup di tempat itu. Menurut P. Caisutti pada saat itu orang Mentawai tidak bisa

menjelaskan darimana asal-usul mereka. Sejak semula telah tinggal di tempat ini, dan

pulau ini, Siberut, merupakan pusat dunia (Caisutti, 2015 : 13).

2. Perjumpaan Orang Mentawai dengan Petualang, Aparat Kolonial dan

Misionaris

Dari penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Coronesse, kepulauan Mentawai

ditemukan oleh Vornelis Pietersz pada abad ke-17. Dan pada tahun 1600 kepulauan itu

dinamakan Nassau sebagai tanda penghormatan kepada keluarga raja dari Kerajaan

Belanda. Namun sejak 1620 para pelaut dari Belanda dikabarkan tidak sering lagi datang

ke wilayah Mentawai. Baru pada tahun 1663 ditemukan nama-nama pulau di kepulauan

Mentawai yang telah dimasukkan dalam catatan pelayaran Wouter Schouten. Nama-nama

pulau itu adalah P. Mintaon (Siberut), Goed Fortuin (Sipora) dan Nassau (kepulauan

Pagai). Nama-nama itu rupanya telah ada dalam peta tahun 1606 yang dibuat oleh bangsa

Portugis. Pada tahun 1792, John Crisp – seorang pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur

Britania (British East India Company) – beberapa kali mengunjungi kepulauan

Mentawai. Laporan yang ditulisnya diterbitkan tahun 1799 di London dan menjadi karya

tertulis pertama yang mengulas mengenai Mentawai dan merupakan sumber penting bagi

para peneliti Mentawai di kemudian hari. Pada tahun 1864 – setelah sebelumnya terjadi

perebutan kekuasaan atas Mentawai oleh Inggris dan Belanda – dikeluarkanlah surat

keputusan tertanggal 10 Juli 1864 No. 14, Staatsblad No. 104, yang menyatakan bahwa

Pulau Nias, Kepulauan Batu, Kepuluan Mentawai dan Enggano semuanya termasuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

42

dalam wilayah kekuasan Pemerintah Belanda. Mentawai menjadi wilayah yang penting

bagi perdagangan karena hasil alamnya, terutama kayu. Dari perjumpaan dengan bangsa

Barat sebelum tahun 1900an, kegiatan yang dilakukan oleh para pendatang di Mentawai

sebagian besar berkisar pada perdagangan (Coronesse, 1986).

Beberapa penelitian mengenai kebudayaan Suku Mentawai yang berbicara

mengenai sistem kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai antara lain terdapat pada

tulisan Edwin M. Loeb (1928: 408-433). Ia menulis mengenai kunjungannya ke wilayah

Kepulayan Mentawai pada tahun 1926 dan termasuk antropolog awal yang

mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai budaya Mentawai. Tulisan Loeb fokus

pada struktur sosial masyarakat Suku Mentawai termasuk juga mengenai sistem

kepercayaan mereka, meskipun ia belum menggunakan istilah arat sabulungan. Istilah

arat sabulungan baru digunakan secara umum pada tahun 1950an; pasca kemerdekaan

Indonesia. Menurut Juniator istilah itu muncul dari pemerintah dan para misionaris awal

(kemungkinan besar Protestan yang masuk ke Mentawai tahun 1900 (Juniator 2012: 68).

Mengenai sistem religi Suku Mentawai Loeb melihat adanya kemiripan dengan

pengaruh Hinduisme dalam ritual pengorbanan ayam dan babi, cara penyampaian

ramalan – terutama dalam praktik hepatoscopy atau upacara menyampaikan ramalan

dengan mengamati bagian organ hati dari binatang, seperti ayam atau burung. Namun

pengaruh Hinduisme tidak dijumpai dalam kisah-kisah dan mitos-mitos tradisional

masyarakat Mentawai.28 Ia justru menuliskan bahwa masyarakat Mentawai meyakini

adanya roh alam, jiwa, dan hantu. Roh alam diyakini masyarakat setempat bukan sebagai

sebuah entitas tunggal. Roh-roh yang berdiam di langit disebut tai-ka-manua (Bhs.

Mentawai: orang-orang di langit), mereka yang menghuni lautan dinamakan tai-ka-baga-

28 Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 408.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

43

koat (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam laut), mereka yang tinggal di hutan dikenal

sebagai tai-ka-leleu (Bhs. Mentawai: orang-orang di gunung), dan roh-roh yang berada di

tanah disebut tai-ka-baga-polak (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam bumi). Tidak ada

sebutan personal bagi roh-roh alam tersebut. Dan istilah-istilah itu tidak mendefinisikan

bahwa ada roh alam yang lebih tinggi dari roh-roh alam yang lain. Loeb juga

mengemukakan pendapat bahwa agama tradisional Suku Mentawai tersebut memiliki

kemiripan dengan agama-agama tradisional lain di Indonesia di mana masih

mengandung konsep relasi manusia dan roh.29

Reimar Schefold (1985: 20), berpendapat bahwa roh-roh yang diam di alam adalah

perwujudan dari konsep tradisional masyarakat Mentawai mengenai Tuhan yang

Mahaesa, atau mereka kenal dengan istilah ulau kina (Bhs. Mentawai: Anda yang terang).

Seluruh roh yang ada di langit, gunung, dan hutan saling bereaksi dengan jiwa manusia

dan jiwa-jiwa yang dimiliki binatang, tumbuhan, dan semua obyek yang ada. Berbeda

dengan roh yang bisa hidup bebas tanpa terikat bentuk fisik, jiwa menurut Coronesse

merupakan duplikat rohani dari semua obyek: manusia, pohon, tanaman, hewan bahkan

batu-batuan. Dengan demikian jiwa ini terikat dengan tubuh fisik meskipun ia bisa juga

mengembara keluar dari tubuh dan berjumpa dengan jiwa-jiwa lain yang ada di alam.

(Coronesse, 1986: 42). Relasi antara roh-roh, jiwa-jiwa dan dunia manusia harus

berlangsung dengan seimbang. Namun dalam kenyataanya aktivitas manusia selalu saja

bisa mempengaruhi keseimbangan itu. Munculnya penyakit bisa dipandang sebagai

dampak dari relasi jiwa manusia dan jiwa benda-benda di alam yang tidak seimbang. Oleh

karena itu ada begitu banyak upacara, larangan dan pantangan yang dipegang oleh orang

29 Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 412.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

44

Mentawai dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang bertujuan menjaga relasi mereka

dengan dunia roh dan jiwa sehingga tetap seimbang (Schefold 1985:21).

Stefano Coronese (1986: 31), imam Misionaris Xaverian berkebangsaan Italia,

mencatat perjumpaan masyarakat suku Mentawai dengan budaya lain lewat perdagangan

telah ada pada tahun 1621. Dan sebelum tahun 1600 hanya P. Siberut saja yang dianggap

berpenghuni Jhon Crisp30 yang datang ke wilayah kepulauan itu pada 1792 membuat

catatan yang menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di Mentawai – terutama yang

mendiami P. Pagai – juga telah melakukan hubungan dagang dengan Bengkulu.

Hubungan dagang inilah yang menyebabkan P. Sipora dan P. Sikakap lebih maju jika

dibandingkan dengan P. Siberut yang dalam waktu lama ditinggalkan terisolir (Coronesse

1986:32). Agama-agama pendatang dari luar baru dikenal kemudian.

Protestan masuk ke Mentawai di Sikakap pada tahun 1901 dan banyak pelaut dan

pedagang sudah singgah di Sikakap dan Sipora pada masa itu. Juniator (2012)

merangkum informasi yang menujukkan bahwa agama Protestan masuk ke wilayah

Mentawai melalui para misionaris Jerman yang datang di P. Pagai pada 1901 atas

undangan pemerintah Kolonial Belanda. Coronese mencatat 2 nama pembuka misi

Protestantisme di Mentawai, yakni Pdt. August Lett dan rekannya A. Kramer. Kemudian

barulah tiba Pdt. F. Borger yang berkarya cukup lama – lebih dari 20 tahun – di Mentawai.

Pasca Perang Dunia II kegiatan zending Protestan makin berkembang di wilayah Selatan

kepulauan Mentawai itu. Salah satu buah karya yang dihasilkan zending Protestan dalam

penyebaran Kekristenan di Mentawai adalah diterjemahkannya Kitab Suci ke dalam

bahasa Mentawai (Coronese, 1986: 28) . Penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa

30 Coronesse menulis bahwa laporan Crisp termasuk catatan yang penting dan menarik karena menjadi

salah satu dokumen tertulis pertama mengenai Mentawai.” Lih. Coronesse, 1986. Hlm. 143.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

45

setempat (dalam hal ini bahasa Mentawai dengan dialek Sikakap) menjadi sumbangan

besar dalam misi Kekristenan di Mentawai. Bahasa dialek Sikakap kemudian menjadi

bahasa resmi dalam tata peribadatan Gereja Protestan dan Katolik hingga saat ini.

Harun Yunus (Persoon dan Schefold, 1985) menulis bahwa pada tahun 1935 telah

ada penduduk Mentawai yang menganut agama Islam di P. Siberut. Pada saat itu, seorang

anak Siberut bernama Maruaian dari Simalegi diadopsi oleh seorang opas polisi bernama

Umar Said. Orang Mentawai asli pertama yang memeluk agama Islam adalah Kilaek

Sakerebau. Namun karena tidak ditemukannya sumber tertulis, sulit diketahui dengan

persis kapan tepatnya agama Islam masuk ke wilayah Kep. Mentawai. Walau demikian

perjumpaan orang Mentawai dengan para pedagang dari tanah tepi Sumatera Barat yang

beragama Islam telah terjalin jauh sebelum kehadiran Belanda. Para pedagang itu datang

ke Mentawai untuk membeli daun nipah, rotan, dari masyarakat setempat dengan sistem

barter. Pada tahun 1950 para pedagang Minangkabau masuk ke P. Siberut bagian utara.

Sambil berdagang mereka perlahan-lahan mengajak orang Mentawai untuk memeluk

agama Islam. Pengaruh Islam di Mentawai semakin berkembang dengan masuknya para

perantau dari daerah Pariaman dan Jawa. Para perantau ini kemudian tinggal dan menetap

di Mentawai dengan mengambil penduduk setempat sebagai pasangan hidup mereka

(Persoon dan Schefold, 1985: 116-117).

Misi Katolik masuk ke Mentawai, tepatnya di Siberut Selatan, melalui para

misonaris Xaverian. Saat itu tahun 1953, Pastor Aurelio Canizzaro, SX mengunjungi P.

Siberut, Sikabaluan, Sikakap dan Sipora, atas perintah dari Mgr. De Martino di Padang.

Barulah pada 18 Desember 1954 P. Canizzaro bersama dengan P. Angelo Calvi, SX,

dengan menumpang kapal Bendalu, berlayar menuju Siberut dan menetap di sana. Pada

tahun itu pula berdirilah gereja Katolik pertama di Mentawai. Natal tahun 1954 juga

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

46

menjadi tonggak lahirnya gereja Katolik di Mentawai dengan dipermandikannya 10 orang

di gereja Siberut. Misi Katolik di Mentawai dimulai dengan pelayanan di bidang

pendidikan dan kesehatan.

Hadirnya agama Katolik dengan inkulturasinya menghadirkan suasana yang

bertolakbelakang dengan situasi pasca pelarangan sabulungan di Mentawai, khususnya

di Siberut. Para misionaris awal berusaha mengenal dan mempelajari budaya lokal serta

memberikan penghargaan atasnya. Melihat sikap para misionaris tersebut yang tidak

membakar alat-alat kerei dan melarang mengadakan upacara-upacara adat, banyak orang

Mentawai di Siberut bersedia menjadi Katolik.

C. Sabulungan dan Negara

Pada masa pemerintahan Orde Lama, Departemen Agama pada tahun 1953

mencatat begitu banyak agama baru dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Saat

itu tercatat 360 agama baru dan aliran kepercayaan. Hal itu melatarbelakangi pemerintah

menerbitkan Surat Keputusan Perdana Menteri Nomor 167/PM/195431 – atas usulan

Kejaksaan Agung – yang mengesahkan berdirinya Panitia Interdepartemen Peninjau

Aliran-aliran Kepercayaan di dalam masyarakat (Panitia Interdep Pakem). Tugas badan

tersebut adalah:

a) Mempelajari dan menyelidiki bentuk, corak dan tujuan dari kepercayaan-

kepercayaan dalam masyarakat berserta dengan cara-cara perkawinan yang terjadi

di dalam masyarakat.

b) Memperhatikan, mengusulkan kepada Pemerintah peraturan-peraturan/undang-

undang yang mengatur apa yang tersebut pada huruf (a) di atas dan membatasinya

31 Atau dalam beberapa sumber ditulis SK. No.167/PROMOSI/1954

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

47

untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang

demokratis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam pasal 22 UUD

Sementara R.I.

Pada tahun yang sama di Mentawai diadakan Rapat Tiga Agama yang hasilnya

merugikan masyarakat Mentawai di Siberut yang masih kental menghidupi sabulungan

(Coronesse, 1986: 38; Corbey, 2003:14). Peristiwa tersebut muncul karena

dilatarbelakangi upaya pemerintah mentertibkan agama-agama dan aliran-aliran

kepercayaan yang ada di daerah-daerah. Orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-

duyun menganut agama Katolik dan Protestan yang saat itu baru masuk di wilayah

tersebut. Bahkan mereka yang telah menganut agama Baha’i juga berpindah sebab Baha’i

tidak termasuk agama yang diakui pemerintah Indonesia. Agama Baha’i telah dilarang

keberadaanya oleh pemerintah Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 264

Tahun 196232 yang diterbitkan pada 15 Agustus 1962. Pada tahun 1959 Pakem diubah

menjadi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (BAKOR PAKEM).

Keberadaan Pakem pada perkembangannya menjadi semacam ‘polisi’ bagi keberadaan

aliran-aliran kepercayaan. Petugas Pakem di daerah-daerah dengan teliti dan teratur

mengadakan pertemuan dengan para pemuka aliran kepercayaan. Para pemeluk aliran

kepercayaan juga perlu meminta izin ketika hendak mengadakan pertemuan-pertemuan

rutin, entah yang bernuansa kerohanian maupun keorganisasian (Stange, 2007). Adanya

peraturan pemerintah untuk mentertibkan gerakan aliran kepercayaan lokal

mengakibatkan sejumlah penganut aliran kepercayaan berusaha mendapat pengakuan

dari negara. Dalam kasus di Mentawai, tidak ditemukan upaya masyarakat lokal untuk

32 Surat Keputusan Presiden No.264 Tahun 1962 ini kemudian dicabut dengan diterbitkannya Keputusan

Presiden No. 69 Tahun 2000 oleh Presisn KH. Abdurrahman Wahid pada 23 Mei 2000.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

48

meminta pengakuan atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan. Sebab dengan memeluk

agama Katolik dan Protestan, secara sosial mereka merasa aman sebab kedua agama

tersebut merupakan agama yang diakui oleh pemerintah.

Kehadiran para misionaris Xaverian pada tahun 1954 yang memberikan perhatian

pada budaya lokal memberikan angin segar bagi orang Mentawai dan tradisi budayanya.

Dengan berlandaskan pada semangat inkulturasi, para misionaris tidak serta merta

melarang praktik sabulungan dan membakar benda-benda budaya sebagaimana

dilakukan pada masa itu. Orang Mentawai yang kemudian memeluk agama Katolik pun

masih dengan bebas menjalankan praktik ritual budaya mereka. Bahkan dalam

perkembangan misi Katolik selanjutnya, para misionaris bersama dengan guru-guru

agama setempat, berusaha mempelajari budaya Mentawai, mengambil nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya serta kemudian mempergunakannya dalam kegiatan pendidikan

dan pengajaran agama. Dalam hal ini, kehadiran para misionaris Xaverian memberikan

kontribusi bagi pelestarian budaya lokal di Mentawai.

Kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru bertujuan membangun semacam

identitas tunggal bangsa dan salah satu pilarnya adalah pilar Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bagian ini ditafsirkan secara umum bahwa sebagai warga negara Indonesia seseorang

harus mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan konsekuensi logisnya mereka

merupakan penganut agama ‘resmi’ yang diakui pemerintah Indonesia. Dalam kerangka

pemikiran ini mereka yang berada di luar kategori tersebut dipandang sebagai orang yang

‘belum bergama’. Secara dangkal kelompok yang ‘belum beragama’ dipandang sebagai

antara belum mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau belum menjadi penganut

salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas negara adalah untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

49

‘membudayakan’ kelompok masyarakat tersebut sehingga secara utuh bisa diakui sebagai

warga negara Indonesia (Ropi, 2016: 155).

Pasca 1965, gerakan ‘pendisiplinan’ agama-agama dan aliran kepercayaan oleh

pemerintah semakin ditingkatkan. Sentimen atas komunisme menjadi isu yang

melatarbelakangi ketatnya upaya pemerintah mentertibkan aliran-aliran kepercayaan

yang ada di Indonesia. Kerangka pemikiran yang dangkal megeneralisasi para penganut

komunisme sebagai orang-orang yang tidak beragama. Dampaknya pemerintah

mewajibkan seluruh warga masyarakat untuk menganut salah satu agama yang ditetapkan

oleh pemerintah. Dalam TAPPRES No.1 Tahun 1965, dicantumkan bahwa agama-agama

yang diakui pemerintah adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu

(Confusius). Mereka yang tidak memeluk salah satu dari 6 agama tersebut akan

dipandang sebagai belum beragama dan sangat mungkin disinyalir sebagai penganut

komunisme. Bagi orang-orang Mentawai di Siberut, kebijakan pemerintah pasca 1965

tersebut semakin mempertegas apa yang telah dilakukan pada tahun 1954 dengan Rapat

Tiga Agama. Mereka didorong untuk menganut salah satu agama yang diakui pemerintah

Indonesia agar terhindar dari label ‘orang tidak beragama’ yang akan dengan mudah

ditafsirkan sebagai dukungan terhadapa komunisme.

Pada masa reformasi dan dengan masuknya perjuangan atas HAM, sejumlah

penganut aliran kepercayaan di Indonesia seperti Parmalim di Sumatera Utara,

Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Marapu di Sumba,

berupaya mendapat pengakuan dari pemerintah. Namun tidak demikian dengan orang-

orang Mentawai di Siberut. Tidak ditemukan upaya terbuka masyarakat Mentawai untuk

memperjuangkan pengakuan negara atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan lokal

yang independen. Mereka tetap memeluk agama Protestan, Katolik, dan Islam. Ritual-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

50

ritual sabulungan masih dihidupi sejumlah orang di Siberut dan dipandang sebagai bagian

dari budaya Mentawai – terutama bagi mereka yang menganut agama Katolik.

D. Upaya Pembatasan Sabulungan

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, wilayah Kepulauan Mentawai

praktis secara administratif menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Posisi

kepualaun Mentawai yang jauh dari pusat pemerintahan di Padang, apalagi di Jakarta

menjadikan perkembangan wilayah tersebut terabaikan. Ditambah lagi pada masa awal

kemerdekaan hingga tahun 1950-an, pemerintah pusat masih harus menghadapi berbagai

persoalan dalam upaya menstabilkan pemerintahan yang baru saja terbentuk. Peristiwa-

peristiwa seperti Agresis Militer Belanda, pembentukan konstitusi, perang sipil, hingga

beragam aksi pemberontakan dari dalam negeri menjadi sesuatu yang menyita perhatian

besar pemerintahan saat itu.

Situasi itu menjadikan wilayah Kepulauan Mentawai sama terabaikannya dengan

keberadaan daerah-daerah terluar Indonesia yang lain. Bahkan hampir 3 dekade setelah

kemerdekaan Indonesia, gubernur Sumatera Barat masih memandang orang Mentawai

sebagai masyarakat primitif (Darmanto, 2012: 58). Keberadaan masyarakat yang

dikategorikan sebagai ‘suku terasing’ ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk

menjalankan program ‘penormalan’ sosial sehingga budaya nasional yang modern bisa

merata. Tugas ‘pemberadaban nasional’ itu kemudian menjadi tanggungjawab

Departemen Sosial. Alasan tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi pemerintah

untuk menjalankan misi penghilangan ciri-ciri tradisional dan keprimitifan orang Siberut

(Persoon, dkk 2004: 23 seperti dikutip dalam Darmanto, 2012:58).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

51

Pengaruh pemerintah atas masyarakat Mentawai tampak dalam kehadiran aparat

polisi, militer, kepala pemerintahan (camat, kepala kampung), guru, hingga para pewarta

agama yang masuk ke Siberut selama periode 1950-1960-an. Dalam pandangan Persoon

(dalam Darmanto, 2012:59) kaki tangan pemerintah di lapangan inilah yang mendorong

terbentuknya perkampungan-perkampungan sosial yang menggantikan struktur tertutup

uma tradisional. Kruyt (dalam Coronesse, 1986:107) menyebut uma sebagai rumah suku.

Rudito (2013:49) menyebut bahwa selain merujuk pada bangunan fisik rumah tradisional

yang dimiliki sebuah suku, uma juga menjadi simbol kekerabatan yang luas disebut

muntogat (lineage; Mentawai: keturunan). Sebelum terbentuknya perkampungan sosial,

masyarakat Mentawai hidup di sekitar uma suku mereka yang terbatas pada wilayah

tertentu saja.

Dalam situasi itu kepercayaan sabulungan yang juga mengandung budaya dan pola

hidup tradisional orang Mentawai di Siberut berhadapan dengan kuasa pemerintah.

Menurut banyak cerita dari orang Mentawai di Siberut, sabulungan sudah terlebih dahulu

hilang di wilayah Sikakap dan Sipora. Namun penulis tidak banyak mendapat informasi,

baik dari perbincangan dengan warga setempat maupun dari literatur mengenai

bagaimana hal itu terjadi. Kemungkinan besar lunturnya pengaruh sabulungan di wilayah

selatan adalah akibat masuknya agama Protestan serta banyaknya pengaruh dari luar di

wilayah itu yang telah seringkali didatangi para pedagang pesisir Sumatera dan para

pelaut. Di Seberut perubahan yang besar terjadi justru setelah tahun 1950-an melalui

intervensi negara dengan Rapat Tiga Agama. Pertemuan tersebut – sebagaimana dicatat

oleh Coronesse (1986: 38) menghasilkan keputusan sebagai berikut:

1. Arat sabulungan harus dihapuskan, bilamana perlu menggunakan

kekerasan dengan bantuan tenaga polisi.

2. Dalam tempo 3 bulan diberi kebebasan kepada penduduk asli untuk

memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan. Jika sudah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

52

berakhir tempo yang diberikan ternyata mereka tidak juga

melakukan pilihan, semua alat-alat keagamaan arat sabulugan akan

dibakar oleh polisi dan bahkan diancam hukuman.

Sabulungan dipandang sebagai bagian dari pola hidup ‘masyarakat primitif’ dan

karenanya harus dihilangkan demi program ‘normalisasi’ negara. Rapat Tiga Agama33

menjadi peristiwa yang sangat jelas bagaimana pemerintah memaksakan pengaruhnya

terhadap kebudayaan lokal orang Mentawai. Agama-agama baru ‘dipaksakan’ untuk

dianut oleh masyarakat setempat tanpa adanya kesempatan yang cukup panjang untuk

mengenal agama-agama tersebut. Sabulungan yang melingkupi cara hidup dan cara

pandang orang Mentawai terhadap alamnya dilarang. Dalam situasi yang dipenuhi rasa

takut akan hukuman dari aparat pemerintah bercampur dengan kebingungan untuk

meninggalkan cara hidup yang telah sekian lama dipegang, orang Mentawai di Siberut

muncul sebagai saksi bagaimana negara masuk dan mempengaruhi kehidupan mereka.

Dalam beberapa kesempatan penulis berbincang-bincang dengan sejumlah orang

Mentawai, ada berbagai keterangan yang mereka sampaikan mengenai sabulungan.

Anak-anak muda usia SMP dan SMA banyak yang tidak tahu mengenai sabulungan.

Secara spontan mereka mengatakan bahwa sabulungan adalah agama orang Mentawai

zaman dulu. Yang lain menjawab sabulungan merupakan upacara dengan menggunakan

daun-daun. Beberapa orang dewasa pun mengatakan hal yang serupa. Hal ini dapat

33 Ada 2 versi informasi mengenai perwakilan dalam Rapat Tiga Agama. Versi pertama seperti telah

ditulis Coronesse (1986:38) melibatkan perwakilan dari agama Protestan, Islam, dan Sabulungan.

Keterlibatan perwakilan sabulungan masih dipersoalan di kalangan beberapa informan yang penulis

jumpai di lapangan. Mereka mengatakan kemungkinan perwakilan itu adalah orang Mentawai dan

dipandang begitu saja sebagai representasi seluruh orang Mentawai. Kemungkinan perwakilan itu

adalah orang Mentawai yang tidak lagi menjalankan tradisi sabulungan. Versi kedua (seperti ditulis

Darmanto, 2012: 59) menunjukkan perwakilan yang hadir dari agama Protestan, Islam, dan Katolik. Hal

ini juga disangsikan kebenarannya mengingat pada tahun 1954 misi Katolik baru saja masuk di wilayah

Kepulauan Mentawai dan baru pada Desember 1954 terjadi pembaptisan umat Katolik pertama di

Mentawai. Dari data tersebut, praktis sebelum akhir tahun 1954 agama Gereja Katolik belum berdiri di

Mentawai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

53

dengan mudah dimengerti karena mereka mengaitkan istilah sabulungan dengan kata

dasar ‘bulug’ yang dalam bahasa Mentawai berarti daun. Memang dalam banyak upacara

tradisional dedaunan ini selalu digunakan. Hal ini yang menjadikan orang dengan mudah

mengaitkan sabulungan dengan istilah ‘agama dedaunan’ dan tidak sedikit pula para

penulis yang mempertahankan definisi tersebut (bdk. Rudito, 2013: 3; Delfi, 2013: 478).

Dalam keyakinan tersebut dipercaya adanya 2 dunia: dunia roh yang tak tampak dan dunia

mahkluk hidup yang nampak. Dalam keyakinan tradisional suku Mentawai, ada berbagai

istilah untuk menyebut ‘roh’. Segala sesuatu di bumi dan alam semesta ini memiliki

simagre - essensi dari semua yang hidup – dan bisa diterjemahkan dengan kata soul

dalam Bahasa Inggris. Selain simagre, mahkluk hidup seperti, manusia, hewan, dan

tumbuhan, juga memiliki ketsat (spirit). Setelah mahkluk hidup mati, baik simagre

maupun ketsat kembali ke dunia roh (spirit world) dan menjadi sesuatu yang disebut ukkui

atau kalimeu (spirits of the dead) (Juniator, 2012). Orang Mentawai juga percaya atas

keberadaaan roh-roh yang menghuni alam: tumbuhan, hewan, tempat-tempat seperti

sungai, laut, dan gunung – yang keberadaanya berelasi satu sama lain dan saling

mempengaruhi kehidupan manusia. Munculya penyakit, musibah, dan kematian,

merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara manusia dan roh-roh di alam tersebut.

Dan lewat ritual-ritual tertentu, misalnya dalam upacara pengobatan orang sakit (punen

pabettei) atau upacara kematian (punen ke ibara samamatei), manusia – melalui bantuan

sikerei - bisa berhubungan dengan dunia roh-roh tersebut. (Coronesese, 1986; Mulhadi,

2007; Juniator, 2012)

Menurut Juniator pada tahun 1950an mulai ditambahkan kata arat untuk menyebut

kepercayaan tersebut, sehingga kemudian dikenal istilah arat sabulungan sebagai

‘agama’ orang Mentawai. Sebelumnya orang Mentawai menggunakan kata punen untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

54

menyebut beragam bentuk kegiatan, upacara, atau pesta. Dalam perjalanan waktu, kata

punen inilah yang digantikan dengan kata arat. Arat dalam bahasa Mentawai memiliki

makna yang luas. Arat bisa merujuk pada aturan-aturan, norma-norma, tradisi, serta

kebiasaan-kebiasaan setempat. Istilah arat sendiri merupakan perubahan dari kata punen.

Bagi orang Mentawai kata punen mengacu pada pada perayaan, upacara, atau ritual yang

dijalankan dengan serangkaian kegiatan-kegiatan. Kini kata arat sering dipahami juga

sebagai kepercayaan (belief) atau ideologi. Sedangkan kata punen lebih sering mengacu

pada perayaan-perayaan seremonial, atau upacara-upacara, baik dalam lingkup adat,

maupun dalam lingkup agama-agama (Juniator, 2012: 68).

Penambahan kata arat – sebagaimana ditulis Tulius Juniator (2012: 67) – muncul

karena baik pemerintah maupun para missionaris pada waktu itu membutuhkan sebuah

istilah tunggal untuk menyebut beragam agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional.

Sabulungan dengan demikian dikelompokkan dalam kategori ‘agama’ (religion) dengan

penambahan kata arat, kata yang sama yang digunakan untuk menyebut arat Islam, arat

Katolik, arat Protestan. Munculah pembedaan antara arat puaranan (kepercayaan

agama-agama samawi: Katolik, Protestan, Islam) dan arat sabulungan. Kata puaranan

sendiri dalam bahasa Mentawai sering digunakan untuk merujuk pada ‘agama’.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, terjadinya pemberontakan

DI/ TII serta meningkatnya jumlah aliran kepercayaan mendorong pemerintah melalui

Kementerian Agama untuk mengatur legalitas dan penyeragaman agama. Bahkan tahun

1952, Kementerian Agama menyatakan bahwa untuk bisa diakui negara, sebuah agama

harus mengandung unsur-unsur: 1) merupakan pewahyuan dari Tuhan, 2) Memiliki nabi

dan 3) kitab suci, 4) memiliki sistem peraturan bagi para penganutnya, dan yang lebih

jauh lagi 5) diakui secara internasional serta tidak terbatas hanya pada sekelompok etnis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

55

saja (Picard and Remi Madiner, 2011: 13; Ropi, 2017: 119). Alamsjah Ratu

Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri agama periode 1978-1983 justru

berpendapat bahwa kepercayaan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat adat di

berbagai tempat di Indonesia tidak seharusnya dipandang sebagai agama baru di

Indonesia melainkan sebagai budaya daerah (culture). Oleh karena itu menurut Alamsjah,

keberadaan aliran kepercayaan tersebut menjadi tanggungjawab Kementrian Pendidikan

dan Kebudayaan, dan bukan berada di bawah naungan Kementraian Agama ( Ropi, 2017:

145). Aliran kepercayaan yang dimaksud tersebut meliputi juga yang kepercayaan lokal

yang kini kita kenal seperti: Sunda Wiwitan di Jawa Barat (antara lain di wilayah Banten,

Cirebon, Kuningan), Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, Kejawen di Jawa,

dan dalam kasus yang akan diulas dalam tesis ini adalah sabulungan di Kep. Mentawai,

Sumatera Barat.

Rapat Tiga Agama dengan demikian tercatat dalam sejarah dan banyak penelitian

mengenai Mentawai sebagai peristiwa yang mengawali pelarangan negara atas

sabulungan. Meskipun demikian dalam kenyataanya, sebagaimana juga penulis amati

selama bertugas di Siberut periode tahun 2012-2014, masih bisa dijumpai orang-orang

Suku Mentawai yang mempraktikkan ritual-ritual yang berkaitan dengan tradisi

sabulungan. Saat ini kendati telah banyak orang Mentawai yang menganut agama

Protestan, Katolik, dan Islam, kepercayaan akan adanya roh-roh ini belum hilang.

Ungkapan ‘awas iorak kise’ (Mentawai: awas kena kise) sering penulis dengar dari anak-

anak setempat ketika mereka berada di hutan atau mendatangi tempat-tempat baru

didatangi. Kata-kata itu menunjukkan kekhawatiran agar jangan sampai kita melakukan

sesuatu yang mengganggu keberadaan roh-roh di alam. Sebab, jika roh-roh itu

bersentuhan dengan manusia akan meyebabkan orang tersebut sakit. Begitu pula jika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

56

seorang anak sakit, meskipun sudah ada pelayanan puskesmas, tidak jarang orang tua

anak tersebut memanggil sikerei guna mengadakan ritual pengobatan. Mereka percaya

sakit si anak terjadi karena roh anak tersebut (dikenal dengan istilah simagere) berada di

suatu tempat atau telah bersentuhan dengan roh-roh yang ada di alam. Oleh karena itu

upacara pemanggilan simagre oleh sikerei perlu dibuat agar roh anak tersebut kembali

dan ia bisa sembuh. Ritual-ritual semacam itu masih banyak dijalankan oleh orang

Mentawai hingga saat ini. Bahkan pantangan-pantangan atau dalam bahasa Mentawai

dikenal dengan istilah keikei masih tetap diikuti ketika hendak melakukan suatu aktifitas.

Kepercayaan akan keberadaan roh-roh yang hidup bersama manusia dan saling

mempengaruhi satu sama lain menjadikan budaya sabulungan belum sepenuhnya musnah

dari sanubari orang Mentawai.

E. Memudarnya Sabulungan dari Kehidupan Orang Mentawai

Banyak literatur menyebut bahwa Rapat Tiga Agama tahun 1954 menjadi awal

pelarangan sabulungan di Siberut. Namun dalam perjumpaan dengan sejumlah orang di

wilayah Siberut Selatan, penulis sering memperoleh informasi yang simpang siur.

Sebagian dari orang Mentawai tidak mengetahui mengenai sama sekali mengenai

pertemuan Tiga Agama tersebut. Hanya segelintir orang yang pernah menduduki jabatan

pemerintahan seperti kepala desa, atau mereka yang berkarya sebagai guru atau guru

agama Katolik yang mengiyakan adanya pertemuan tersebut sekitar tahun 1955:

Memang benar tahun 1955 ada rapat tiga agama di kecamatan kita

disini. Waktu itu kalau ndak salah camat Dulah namanya, orang

Pariaman. Rapat Tiga Agama diundanglah tokoh-tokoh

masyarakat. Tokoh-tokoh agama, berkumpul di kecamatan kita.

Yang hadir itu ada yang mewakili agama Islam, Protestan, Katolik,

makanya disebut rapat Tiga Agama.34

34 Wawancara dengan Selester Sagurujuw, Muntei, 3 Januari 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

57

Walau demikian hampir semua orang yang penulis jumpai mengingat peristiwa

pembakaran buluat (rangkaian akar-akaran dan rotan yang terdapat di uma dan diyakini

sebagai tempat roh pelindung atau penjaga), aksesoris ritual dan budaya di uma serta

peralatan sikerei yang terjadi di Siberut. Mereka semua dengan lancar menceritakan

peristiwa tersebut dengan cukup detail. Dikisahkan pada masa itu terjadi pembakaran

buluat dan alat-alat kerei. Pelakunya justru bukan orang sasareu (orang dari luar

Mentawai). Figur yang sangat lekat dengan ingatan para orang-orang tua mengenai

peristiwa pembakaran itu adalah orang-orang yang berasal dari Sikakap (mereka

menyebutnya Sakalagat) yang menjadi polisi dan beragama Protestan.

Sebagian dari mereka tidak mengingat tahun terjadinya peristiwa pembakaran

tersebut dengan jelas. Namun dari wawancara sejumlah tokoh masyarakat dan penduduk

setempat, peristiwa pelarangan sabulungan di Mentawai terjadi lebih dahulu di wilayah

selatan, yakni di daerah Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan) dan Sipora. Di

sanalah agama Protestan pertama kali masuk pada tahun 1900-an. Para misionaris Katolik

yang datang ke P. Siberut pada tahun 1954 dan 1960-an menyatakan bahwa pada periode

tersebut wilayah Sikakap dan Sipora telah lebih modern dibanding dengan Siberut. Akan

tetapi penulis tidak mendengar bagaimana peristiwa pelarangan tersebut terjadi di

wilayah Sikakap dan Sipora.

Beberapa warga mengatakan bahwa program pelarangan sabulungan dimulai di

wilayah selatan (Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora). Tidak ada cerita mengenai situasi

pelarangan sabulungan di wilayah Sikakap dan Sipora yang disampaikan oleh beberapa

orang yang penulis wawancara. Yang jelas, ketika polisi-polisi orang Sikakap yang

beragama Protestan melakukan pembakaran atas buluat dan alat-alat kerei di Siberut,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

58

terutama di Siberut Selatan, sekelompok warga masyarakat berusaha menentang dan

melawan. Beberapa dari mereka menyembunyikan alat-alat yang dianggap sakral dan

penting ketika polisi terjun ke lapangan dan menggeledah uma mereka. Ada pula warga

yang membuat tiruan dari alat-alat kerei dan menyerahkan kepada polisi untuk dibawawa

ke pusat kecamatan dan dibakar.

Dalam ingatan orang Mentawai yang penulis jumpai peristiwa pembakaran tersebut

begitu membekas dan menyisakan trauma. Beberapa dari mereka dengan terus terang

mengatakan jika penulis berasal dari wilayah selatan (Sikakap atau Sipora), mereka tidak

akan menceritakan kisah tersebut dan bahkan mengusir kami. Beberapa orang tua tampak

begitu emosional ketika mengingat dan menceritakan kembali peristiwa tersebut. Mereka

yang menolak untuk melepas aksesoris yang dikenakan atau melawan bisa dihukum

dengan dipukul atau ditahan di ibu kota kecamatan. Seorang mantan guru katekis pribumi,

Bapak Mikael Sabaggalet, menceritakan apa yang dilihatnya waktu itu:

Ah itu di tahun 1952. Pembakaran kerei masal, di mana -mana. Saya

di Sagulubbe. Terakhir mereka datang ke Sagulubbe. Ke kampung

lain dibakar, ke Sarereiket, ke Silaoinan. Itu yg membakar orang

polisi. Kebetulan polisi ini agama Protestan. Kalau tidak dibakar,

dihukum. Atau dipukul. Ah itu polisi. Kebanyakan polisi dulu dari

Sikakap dan Sipora. .... Mereka bakar buluat. Bakar. Oh kasihan

kita ini. Kan sudah penuh daun-daun itu mereka bakar.35

Pelarangan sabulungan di Siberut masih membekas di hati dan ingatan sejumlah

warga. Bahkan mereka yang tinggal di wilayah sepanjang Sungai Rereiket juga masih

mengingat peristiwa tersebut. Di wilayah itu, tradisi dan budaya khas orang Mentawai

masih bisa dijumpai, sebab pada masa lalu, wilayah tersebut sulit dijangkau dan mereka

yang hidup di wilayah itu mengadakan perlawanan ketika pihak polisi datang dan

35 Wawancara dengan Michael Sabaggalet, Muara Siberut, 4 Januari 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

59

mencoba memusnahkan budaya mereka. Hingga saat ini masyarakat di wilayah tersebut

dikenal sebagai penjaga tradisi Mentawai yang masih bertahan.

Walau demikian mereka juga mengakui kalau tidak banyak lagi ritual-ritual yang

bisa dibuat seperti jaman dahulu, seperti umpamanya ritual sinuruk yaitu upacara

mendirikan uma baru. Ritual inisiasi pasca kelahiran seorang anak, seperti pangabela,

pangambok, dan eneget juga sudah mulai ditinggalkan. Pada masa lalu, ritual pangabela

misalnya, harus dilakukan sebelum anak yang baru lahir bisa dibawa keluar rumah. Hal

ini bertujuan agar roh sang anak terbiasa dengan roh-roh yang ada di alam sekitarnya.

Perbincangan dengan seorang sikebukat (orang yang dituakan) di Ugai mengataka bahwa

situasi yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi melakukan ritual-ritual seperti

jaman dulu. Mereka yang beragama Katolik misalnya, telah merasa cukup jika anak

mereka telah dibaptis di gereja. Walau demikian para orang tua itu mengatakan masih

tahu tata cara pelaksanaan ritual-ritual tersebut andaikata ingin dibuat kembali.

Seorang sikebukat (Mentawai: orang yang dituakan) di dusun Ugai malah menyebut

bahwa kehadiran sekolah juga dipandang sebagai sesuatu yang mengubah pola pemikiran

anak muda Mentawai. Karena sejak kecil mereka harus bersekolah anak-anak tersebut

tidak mengerti lagi cara berladang, cara berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hutan

tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi hidup anak-anak muda ini. Hutan dipandang

berharga dari segi ekonomisnya saja. Kayu dan hasil hutan lain sekedar dipandang

menguntungkan jika bisa dijual dan menghasilkan uang. Pekerjaan yang dilakukan di

kantor atau menjadi pegawai pemerintah lebih tampak menarik dibandingkan

mengumpulkan hasil hutan, berburu atau berladang. Hal ini tentu berbeda dengan cara

pandang orang tua yang melihat hutan dan ladang sebagai sumber kehidupan yang harus

dijaga dan dipertahankan. Akibatnya tidak ada lagi ritual-ritual sebelum berburu yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

60

dibuat. Ritual panaki dan tinungglu yaitu upacara memberi sesaji yang diadakan sebelum

menebang pohon untuk membuka ladang baru mulai ditinggalkan. Busur dan anak panah

digantikan dengan senapan, dan kampak serta parang digantikan gergaji mesin. Tanah-

tanah pun dengan begitu mudahnya dijual kepada para pendatang sehingga dengan cepat

bisa diperoleh uang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

61

BAB III

SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN

RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI

Peristiwa tahun 1954 dan rangkaian kegiatan pelarangan sabulungan memang

masih menimbulkan trauma pada generasi tua orang Mentawai hingga saat ini. Mereka

dipaksa untuk memeluk agama-agama baru dalam tempo yang singkat. Satu sisi mereka

belum siap meninggalkan kepercayaan yang telah turun temurun membangun pola hidup

bersama alam, namun di sisi lain mereka perlu memeluk agama baru seperti dianjurkan

pemerintah dan dengan demikian mereka terhindar dari hukuman aparat pemerintah.

Banyak orang Mentawai memilih masuk agama Katolik yang pada tahun 1954 baru saja

masuk ke wilayah Kep.Mentawai. Adanya konsep inkulturasi menjadikan kebudayaan

tradisional Mentawai tidak serta merta dilarang, namun dimaknai secara baru. Bagaimana

kemudian orang-orang Mentawai yang hidup di ‘dua jaman’ – masa di mana sabulungan

belum dilarang, dan masa setelahnya – memandang kepercayaan nenek moyang itu saat

ini? Di mana jejak-jejak kepercayaan itu bisa dijumpai dalam ritual-ritual budaya serta

dalam alam pikiran orang Mentawai saat ini?

Sejauh pengamatan penulis dan perjumpaan dengan orang-orang Mentawai di

Siberut Selatan, hampir tidak ada yang mengatakan dengan terbuka bahwa mereka

menganut ‘agama’ sabulungan. Bahkan di kalangan anak muda Mentawai, sabulungan

sebatas dikenal sebagai ‘agama orang dahulu’. Mayoritas masyarakat Mentawai di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

62

Siberut Selatan memeluk agama Katolik. Pada Desember 1954 sejumlah warga setempat

dipermandikan dan peristiwa itu menjadi tanda berdirinya Gereja Katolik di Mentawai.

Namun, apakah benarr sabulungan telah benar-benar dilupakan orang Mentawai saat ini?

Dalam bagian ketiga ini penulis memberikan gambaran mengenai bagaimana jejak-jejak

kepercayaan sabulungan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan pandangan orang

Mentawai saat ini. Dari pengamatan penulis dan perbincangan dengan sejumlah tokoh

masyarakat bisa dilihat bagaimana orang Mentawai bersiasat menghidupi budaya mereka

kendati pada tahun 1954 praktik sabulungan telah dilarang melalui Rapat Tiga Agama.

Dalam bab ini, pertama penulis akan menyajikan beberapa pandangan orang

dewasa mengenai sabulungan saat ini dan membandingkannya dengan apa yang ditulis

beberapa peneliti mengenai Mentawai. Pada bagian selanjutnya penulis akan

memaparkan bagaimana hubungan antara kepercayaan sabulungan dan pandangan hidup

orang Mentawai yang sudah memeluk agama samawi, dalam hal ini agama Katolik.

Kisah-kisah yang mereka bagikan menyiratkan bagaimana orang Mentawai berusaha

hidup panjang dan mengalami kematian yang baik. Hal itu dicapai dengan mengusahakan

relasi harmoni dengan roh-roh yang ada di alam, dan berarti juga menumbuhkan sikap

hormat terhadap alam dan segala isinya, tempat mereka hidup.

A. Sabulungan dan Sikebukat36

Sabulungan seringkali dianggap sepintas sebagai ‘agama dedaunan’ karena

penggunaan beragam daun dalam setiap ritual yang diadakan. Namun ada juga gagasan

lain seperti tampak dalam tulisan Juniator (2012). Ia berpendapat bahwa sabulungan

merujuk pada roh-roh yang kepada mereka orang Mentawai memberikan persembahan

36 Sikebukat (bhs.Mentawai) artinya orang dewasa atau mereka yang dituakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

63

(Mentawai: buluat). Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Coronesse, bahwa orang

Mentawai menggunakan kata sabulungan untuk menyebut roh secara umum (Coronesse,

1986:48). Selain itu kata ‘arat’ yang ditambahkan oleh para misionaris menjadikan

sabulungan dipahami sebagai ‘agama’ dengan dibedakannya dengan agama-agama

Samawi, yang dalam bahasa Mentawai dikenal dengan istilah arat puaranan. Banyak

orang Mentawai yang penulis jumpai merujuk pada kedua gagasan di atas ketika

berbicara mengenai apa itu sabulungan.

Orang Mentawai tidak memiliki istilah tertentu untuk menyebut sistem kepercayaan

mereka (Juniator, 2012:69). Kepercayaan akan roh-roh di alam, sabulungan, itu lah yang

menjadi dasar bagaimana orang Mentawai beraktivitas. Seluruh aktivitas dalam

kehidupan orang Mentawai diwarnai dengan beragam pantangan (keikei). Mulai dari

kegiatan menyagu, beternak babi, beternak ayam, berburu, membuat racun panah,

membuat obat, membuat rumah, dan membuat sampan, terdapat pantangan yang harus

dipatuhi. Pantangan-pantangan tersebut dijalankan supaya mereka terhindar dari

musibah. Musibah atau malapetaka terjadi jika muncul konflik antara aktivitas manusia

dan roh-roh yang ada di alam. Menjalankan segala kegiatan sehari-hari dan mengikuti

segala pantangannya menjadi upaya orang Mentawai membangun kehidupan yang selaras

alam; beserta roh-roh yang hidup di sana berdampingan dengan mereka. Segala sesuatu

dilaksanakan untuk menjaga harmoni antara manusia dan dunia roh-roh, dengan alam.

Roh-roh alam itulah yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk

hidup. Maka sudah selayaknya manusia berterima kasih dengan menjalankan pantangan-

pantangan yang ada demi keberlanjutan kehidupan yang seimbang. Itulah alam

sabulungan; sebuah cara hidup bagi orang Mentawai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

64

Kedatangan agama-agama dari luar serta paksaan pemerintah dengan beragam

kebijakannya menjadikan orang Mentawai memeluk agama-agama samawi (Katolik,

Protestan, Islam). Mereka pergi ke gereja setiap Minggu atau ke tempat ibadat masing-

masing. Perayaan-perayaan memperingati hari besar agama-agama menjadi hal baru bagi

masyarakat Mentawai. Namun bagi sebagian orang Mentawai, pantangan-pantangan

yang ada tetap dijaga. Bagi mereka akibat yang akan menimpa mereka ketika melanggar

pantangan tertentu jauh lebih menakutkan daripada perasaan bersalah ketika melanggar

peraturan agama-agama. Sebagai gambaran, petikan percakapan penulis di Dusun Ugai

dengan Yohanes Sanambaliu (Teu Jablai) – yang sempat menjadi kepala dusun dan

bekerja sama dengan UNESCO pada program Taman Nasional Siberut – bisa

memperlihatkan bagaimana pandangan sikebukat atas sabulungan:

Tanya : Jadi apa lagi punen yang dulu ada, tapi sekarang tidak ada

lagi?

Jawab: Yang meninggalkannya itu mereka di bagian Siberut

Utara. Sudah mereka lupakan itu pangureijat, puliaijat, arat-arat

sikerei, tidak tahu mereka. Je geti, anai le (Kalau di sini sih, masih

ada). Tapoi (tapi) itu arat siburu (agama lama). Kalu sekarang

ada arat baru, berdoalah yang kita buat. Tapoi, meskipun tidak

dibuat lagi, kalau diminta menjalankannya lagi, masih bisa.

Masih tahu kami itu tatacaranya.

Tanya: Jadi banyak punen-punen di sarereiket tidak hilang ya?

Jawab: Tak. Masih ada di sini. Tidak kami tinggalkan. Keikeinia

(pantangannya) tak tuhilang (tidak dihilangkan).37

Tidak ada yang menyatakan bahwa mereka menjalankan ‘sebuah agama’ yang

namanya sabulungan. Sabulungan dalam pandangan para sikebukat jaman dulu adalah

roh-roh yang hidup bersama dengan mereka di alam. Roh-roh itu merupakan roh yang

baik, yang akan memberikan hasil bumi kepada mereka jika manusia menjaga hubungan

37 Wawancara dengan Yohanes Laidoak Sanambaliu, Dusun Ugai pada 20 Desember 2017.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

65

yang baik. Hubungan yang baik dengan roh-roh ini yang memunculkan beragam bentuk

ritual beserta segala pantangannya.

B. Sabulungan dan Pandangan Hidup Simataoi38

Sejak permulaan keberadaan roh-roh yang hidup di alam telah ada dalam alam

pemikiran orang Mentawai. Bahkan hingga saat ini, jika kita pergi ke wilayah Siberut dan

berbincang-bincang dengan orang Mentawai di sana, sebagian masih memiliki pandangan

demikian. Kisah-kisah awal kehidupan orang Mentawai pun banyak berisi mengenai

keberadaan roh-roh yang menciptakan segala sesuatu di alam demi kehidupan manusia.

Orang Mentawai masa lalu sadar sepenuhnya bahwa alam yang mereka tempati ini

bukanlah milik mereka. Alam dan segala isinya merupakan pemberian dari roh-roh alam

dan oleh karenanya menjaga relasi dengan mereka merupakan cara hidup yang baik dan

ideal (Spina, 1981:14).

1. Kehidupan yang Diidamkan : Hidup Panjang dan Kematian yang Baik

Dengan alam pemikiran orang Mentawai akan keberadaan roh-roh di alam, manusia

perlu membangun pola hidup yang menjaga relasi yang baik. Bagi orang Mentawai hidup

yang didambakan adalah terhindar dari malapetaka, mencapai usia panjang dan akhirnya

mendapat kematian yang baik.39 Beberapa narasumber yang penulis jumpai mengisahkan

hal yang serupa. Sebagian dari mereka – yang usianya sudah lanjut – masih mempercayai

hal ini. Perbincangan penulis dengan Marinus Salolosit di dusun Maseppaket bisa

memberi gambaran bagaimana hubungan antara kehidupan yang baik dan kematian:

38 Orang Mentawai. 39 Bdk. Loeb, 1929. Hal. 188.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

66

Yang menentukan adalah cara kita mati. Kek maeruk tamatei,

maeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan baik, baik juga roh kita).

Tak meruk tamatei, takmeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan

tidak baik, tidak baik juga roh kita). Bojoi-bojoi, pasikatnia

(Minta maaf ya, umpamanya) yang matinya kena parang, kena

tombak, ah itu kematiaanya sikatai (jelek). Mereka akan jadi

sanitu. Jadi ketcatnia itu sifatnya jahat. Makatai le ia. Jadi kalau

kita meninggal karena sakit itu wajar. Ketcat mereka yang

meninggal karena ditippu (dipukul) orang, itu karena ketcatnia

masih marah. Marah kepada kita yg masih hidup ini. Makatai

ngangania. Kalau kita meninggal dengan baik, maka ketcat kita

juga baik. Tetapi meskipun dia ketcat yang baik, kata-katanya

itu berefek buruk kepada kita. Walaupun, maksudnya menegur

kita, memberitahu kita, misalnya kita sedang bekerja, lalu kita

diingatkan, katat-katanya itu tetap membuat kita sakit.

Malapetaka bisa membawa kematian yang buruk. Meninggal karena tenggelam,

tertimpa pohon, terkena panah ketika berburu, atau terluka karena serangan babi saat

beternak, merupakan hal-hal yang harus dihindari karena itulah contoh kematian yang

buruk. Semua peristiwa itu dipandang sebagai malapetaka yang muncul karena seseorang

tidak melaksanakan pantangan tertentu. Orang Mentawai tidak memandang peristiwa di

atas sebagai ‘kecelakaan’ biasa yang wajar terjadi dan bisa menimpa siapa saja karena

faktor kebetulan. Mereka percaya bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan akibat dari

dilanggarnya pantangan tertentu. Hal itu diakibatkan oleh roh-roh di alam yang terganggu

dengan tindakan manusia sehingga mencelakai mereka. Kepercayaan akan keberadaan

roh-roh alam, yang hidup di hutan, sungai, laut, bahkan di setiap tumbuhan, hewan, dan

semua benda, menjadi latar belakang mengapa ada begitu banyak keikei (bhs.Mentawai:

tabu, pantangan) dalam kehidupan orang Mentawai (Loeb, 1929: 234-235).

Orang Mentawai memandang hidup yang ideal sebagai hal terhindarnya dari segala

malapetaka. Agar terhindar dari beragam malapetaka itu setiap pantangan harus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

67

dilakukan dan ditaati. Ada banyak sekali keikei (pantangan) di Mentawai40. Dalam bagian

ini diperlihatkan bagaimana orang Mentawai masih memiliki keyakinan akan pengaruh

keikei dalam kehidupan mereka. Misalnya beberapa orang yang penulis wawancarai

menceritakan bagaimana orang Mentawai berpantang dalam kegiatan berburu. Sebelum

pergi ke hutan mereka perlu meminta ijin kepada roh penjaga hutan. Tujuannya agar roh-

roh hewan buruan itu tidak takut dan mau menunjukkan diri mereka pada manusia.

Mereka juga harus pergi dengan diam-diam dengan tujuan agar roh-roh yang jahat tidak

mendengar rencana kepergian mereka berburu. Jika sampai roh-roh jahat itu mengetahui

mereka hendak pergi berburu, roh-roh itu nantinya bisa saja mencelakai mereka saat

berada di hutan. Mereka juga tidak boleh bertengkar atau marah-marah dalam berburu.

Bahkan ketika berburu dengan membawa anjing, mereka dilarang memukul anjing

pemburu mereka itu. Mereka tidak boleh mandi atau tidur saat membuat racun panah

karena diyakini akan menjadikan racun panah menjadi tawar.

Tidak mendapat buruan menandakan ada pantangan tertentu yang terlewat sehingga

perlu diadakan ritual kembali. Dan jika berhasil mendapatkan hasil buruan, mereka akan

menyisihkan sedikit bagian bagi roh-roh nenek moyang. Daging hewan buruan juga akan

dibagikan untuk dinikmati anggota suku dan pantang untuk dimakan sendiri saja. 41

Tengkorak hewan buruan kemudian digantungkan menghadap ke luar di beranda uma.

Tujuannya agar roh-roh hewan buruan ini bisa memanggil kawan-kawan mereka

sehingga manusia akan mendapatkan hasil buruan kembali. Baik dalam hal berburu,

membuka ladang, pergi memancing ikan di sungai atau di laut, menebang dan mengolah

sagu, membuat sampan, semuanya dipenuhi dengan keikei.

40 Lih. Coronesse, 1986, hal. 61-68. 41 Bdk. Loeb, 1929, hal. 240-241

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

68

Menjaga relasi yang baik dengan roh-roh alam dengan mentaati dan menjalankan

setiap keikei yang ada bagi orang Mentawai akan mendatangkan banyak manfaat. Mereka

akan terhindar dari gigitan hewan liar saat berada di hutan dan akan mudah mendapatkan

hewan buruan yang kemudian bisa dinikmati oleh seluruh keluarga dan suku mereka.

Ketika menebang pohon untuk membuka ladang, dengan menjalankan ritual memohon

ijin kepada roh-roh hutan, orang Mentawai percaya bahwa mereka akan terhindar dari

kecelakaan saat bekerja. Tanaman ladang mereka pun bisa terhindar dari hama dan hewan

perusak. Kegiatan berladang mereka juga akan berhasil dan tanaman yang ada di ladang

mereka akan berbuah dengan baik.

Demikian pula ketika mereka hendak memelihara ayam dan babi. Rangkaian

pantangan tetap mereka jaga dan dijalankan. Berbeda dengan keadaan di tempat yang

padat penduduknya, di Mentawai masyarakat setempat secara tradisional memelihara

ayam dan babi dengan melepaskannya di hutan. Untuk ayam mereka hanya menyediakan

kurungan yang digantung di pohon untuk memasukkan ayam-ayam ketika malam hari.

Pagi hari ayam-ayam itu di lepas dan dibiarkan berkeliaran di hutan untuk mencari

makan. Cara itu membuat ayam lebih cepat berkembang besar. Jika dalam beberapa

waktu sejumlah ayam tidak kembali menjelang sore atau mati dimangsa ular, orang

Mentawai akan berpikir ada sesuatu pantangan yang dilanggar sehingga mereka tertimpa

nasib sial. Demikian pula ketika memelihara babi. Umumnya di daerah Siberut hulu,

perkampungan berada berseberangan dengan lahan pemeliharaan babi. Sungai lah yang

menjadi batasnya. Babi-babi peliharaan di lepas di dalam hutan dan sesekali dipanggil

ketika hendak memberi makan. Jika pantangan dalam ritual untuk memelihara babi

dilanggar, babi-babi itu akan hilang di hutan dan menjadi liar. Atau yang lebih parah,

babi-babi itu akan mudah terserang penyakit dan mati. Namun jika pantangan yang ada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

69

ditaati dan dijalankan dengan benar maka babi-babi itu akan pulang kembali ketika

dipanggil dan menjadi jinak. Itulah mengapa orang Mentawai sangat teguh berpegang

pada pantangan-pantangan itu.

Meskipun saat ini mayoritas orang Mentawai di Siberut telah memeluk agama dan

telah mengenyam pendidikan, masih banyak dijumpai peristiwa yang menunjukkan

bahwa keyakinan mereka akan keberadaan roh-roh belum hilang. Beberapa kali penulis

melihat bagaimana seorang yang sakit, jika tidak bisa sembuh dengan pengobatan di

poliklinik atau puskesmas, akan menggunakan cara tradisional. Dan karena mereka

mempercayai bahwa seseorang yang sakit bisa dikarenakan roh-nya (simagre)

meninggalkan tubuhnya, dibuatlah upacara pemanggilan roh. Hal ini masih sangat sering

dijumpai di Siberut. Ini memperlihatkan bahwa kepercayaan sebagian orang Mentawai

akan roh-roh di alam masih dipegang hingga saat ini.

2. Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan Relasi dengan Alam

Mayoritas orang Mentawai di Siberut dewasa ini telah memeluk agama resmi.

Hampir tidak ada yang akan mengatakan bahwa mereka menganut sabulungan. Namun

tidak seluruhnya yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional itu hilang.

Terbatasnya pemahaman akan konsep ‘agama’ dan ‘budaya’ menyebabkan sebagian

orang sulit untuk menjelaskan hubungan antara sabulungan dan budaya Mentawai.

Upacara-upacara dan ritual yang pada jaman dahulu merupakan bagian kepercayaan

sabulungan masih bisa dijumpai di beberapa daerah di Siberut. Beberapa orang tua yang

penulis jumpai mengatakan bahwa apa yang dilakukan saat ini memang tidak sama persis

dengan apa yang pernah dilakukan di masa lalu. Namun konsep pemikiran akan adanya

roh-roh alam yang hidup bersama dengan manusia menjadi benang merah yang

menghubungkan mereka dengan cara hidup di masa lalu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

70

Bagian ini akan berisikan beberapa ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan

orang Mentawai. Dimulai dari upacara ‘perkenalan’ bayi yang baru lahir kepada alam

hingga mereka dianggap dewasa. Kemudian bagian kedua akan berbicara mengenai

upacara pangureijat atau pernikahan. Bagian terakhir akan bercerita mengenai upacara

panunggru atau kematian yang menjadi proses beralihnya kehidupan fisik kepada dunia

roh. Salah satu ritual yang menuntut kehadiran seorang sikerei yang dipercaya menjadi

perantara antara manusia dan roh. Upacara-upacara tersebut masih dijalankan oleh

sebagian orang Mentawai di wilayah Siberut Selatan, terutama di daerah sepanjang

Sungai Rereiket.

a. Inisiasi kehidupan

Kelahiran merupakan awal dari perjumpaan manusia dengan alam. Bayi yang baru

lahir untuk pertama kalinya menghirup udara sekitar dan semenjak itu dimulailah

interaksi dengan alam sekitar. Bagi orang Mentawai setelah seorang bayi lahir ia sudah

harus ‘diperkenalkan’ dengan alam ini, termasuk juga dengan roh-roh yang hidup di

dalamnya. Perkenalan ini penting agar sang bayi terhindar dari penyakit dan kehadirannya

tidak mengganggu roh-roh di alam.

Ritual pertama yang dilakukan begitu bayi lahir dikenal dengan istilah pangabela.

Secara umum kegiatan ini dilakukan sekitar tiga hari setelah bayi itu lahir. Ibu si bayi

dengan dibantu beberapa anggota keluarga menyediakan makanan. Setelah makan ia akan

membawa anak itu ke luar ke sungai dan memandikannya di sana. Mereka tinggal

beberapa jam di sungai hingga dikatakan kulit bayi itu akan menjadi pucat karena dingin.

Itulah untuk pertama kalinya bayi ini keluar dari rumah. Si ibu atau saudara bayi ini pergi

ke sungai dengan membawa api di suluh dan lailajet. Saudara-saudari si bayi atau yang

menemani sang ibu membawa beberapa bibit tanaman untuk ditanam, seperti: mumunen,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

71

simakainauk, taddek, aileppet. Tanaman-tanaman tersebut merupakan tanaman yang

memiliki sifat baik. Setelah beberapa jam di sungai, sang ibu membawa bayinya kembali

ke rumah. Sambil berjalan ia akan menuangkan air sungai yang dibawa dalam bambu

sedikit demi sedikit sepanjang jalan. Sang ibu juga membawa kembali api dengan suluh

yang dibawa ketika berangkat meninggalkan rumah. Pangabela dibuat dengan tujuan

agar si anak yang baru lahir terhindar dari penyakit dan malapetaka. Setelah upacara ini

juga, bayi yang baru lahir bisa dibawa ke luar rumah ketika ibunya hendak beraktivitas.42

Pada upacara pangabela sang bayi belum diberi nama. Pemberian nama dilakukan

pada ritual beritkutnya yaitu pangambok. Ritual ini dilakukan 1-2 minggu setelah bayi

lahir atau jika dirasa sudah cukup dipenuhi persyaratannya. Misalnya keluarga tersebut

sudah memiliki ayam atau kalau mereka mampu seekor babi bisa dikurbankan dalam

ritual ini. Dalam upacara pangambok sang bayi mendapatkan nama Mentawai nya. Nama

itu pada umumnya diambil dari nama nenek moyang suku ayah sang anak. Nama

Mentawai seseorang tidak selalu dicantumkan dalam akta kelahiran. Nama ini menjadi

penting untuk mengetahui kedudukan sang anak dalam silsilah suku. Namun saat ini

kebiasaan tersebut sudah mulai ditinggalkan di beberapa daerah. Mereka yang beragama

Katolik umumnya hanya mencantumkan nama baptis dan nama suku masing-masing.

Ketika sang anak sudah beranjak remaja, diadakanlah upacara eneget untuk laki-

laki, atau upacara sogunei untuk perempuan.43 Upacara ini pada masa lalu diadakan

dalam pesta peresmian uma baru (Punen Panegekat Uma). Baik eneget maupun sogunei

memiliki makna agar anak-anak tersebut menjadi pandai menangkap monyet atau rusa

atau menangkap ikan di sungai serta diberi kemudahan dalam berburu di hutan bagi yang

laki-laki dan anak perempuan berhasil ketika mencari ikan di sungai. Kedua bentuk

42 Wawancara dengan Agustinus Salemurat dan isteri di Ugai. 43 Bdk. Coronesse, 1986, hal. 120; Rudito, 2013, hal. 149.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

72

upacara di atas hampir tidak dijumpai lagi di desa-desa besar atau di pusat kecamatan.

Kewajiban untuk mengenyam pendidikan dasar dan tersedianya sekolah-sekolah

pemerintah menjadikan anak-anak saat ini tidak lagi pergi berburu di hutan. Mereka harus

pergi ke desa-desa lain atau ke pusat kecamatan untuk melanjutkan sekolah. Hanya pada

masa-masa liburan anak-anak itu akan pulang ke kampungnya masing-masing. Kegiatan

berburu di hutan dan mencari ikan di sungai digantikan dengan bermain gawai untuk

mendengarkan musik atau mengakses internet.

Meskipun demikian beberapa orang yang tinggal di desa-desa bagian hulu masih

mengingat dengan jelas tatacara upacara eneget dan sogunei. Beberapa dari mereka

menyatakan mereka masih melakukan ritual-ritual tersebut terhadap anak-anak mereka

meskipun dengan urutan yang tidak lagi sama.

b. Pangureijat

Sebelum masuknya agama-agama pernikahan (putalimougat) tradisional di

Mentawai dilakukan dalam upacara pangurei. Uraian terperinci mengenai ritual

pernikahan tradisional Mentawai ini bisa dilihat dalam tulisan Loeb (1928:425-429) atau

penjelasan yang lebih singkat dalam tulisan Coronesse (1986:126-128). Bagian sentral

dalam upacara pangurei adalah kegiatan makan bersama antara mempelai pria dan

wanita. Hal makan bersama ini menjadi penting, sebab ada masa sebelum pernikahan di

mana calon mempelai wanita tinggal bersama dengan mempelai pria dalam satu rumah

yang disebut rusuk namun mereka belum diperkenankan makan bersama (Loeb, 1928:

426). Dalam upacara pernikahan tradisional dipersembahkanlah seekor ayam dan telur

ayam. Telur dengan bentuknya yang bulat dipandang sebagai simbol keutuhan dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

73

kesempurnaan. Harapannya pernikahan yang dilakukan kedua mempelai akan menjadi

tanda keutuhan dan kesempurnaan hidup yang menyatukan mereka berdua hingga akhir

hayat (Coronesse, 1986: 127). Ayam yang juga menjadi salah satu hewan yang penting

dalam beragam acara adat di Mentawai selain babi melambangkan hewan yang bijak,

terbang secara lurus dan tahu ketika tiba matahari terbit (Loeb, 1986:429). Ayam ini

kemudian dipotong dan hatinya dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dengan

harapan kehidupan pengantin baru itu bisa bahagia, aman, tenteram dan makmur

(Coronesse, 1986:127).

Dewasa ini pangurei masih dijalankan sebagian orang Mentawai di Siberut, namun

tata cara nya tidak lagi sama dengan yang dilakukan orang Mentawai pada masa lalu.

Bahkan bagi mereka yang telah beragama Katolik, doa-doa secara Katolik sudah

disisipkan di dalam rangkaian upacara tersebut. Ada kalanya pangurei diadakan jauh

setelah sepasang muda-mudi menikah resmi secara Katolik dan bahkan telah memiliki

anak. Hal ini dilakukan karena perlu cukup waktu untuk mengumpulkan biaya ketika

suami-isteri tersebut hendak mengadakan pangurei. Namun tidak sedikit pula masyarakat

Mentawai di Siberut yang mengadakan pangurei terlebih dahulu dan hidup bersama tanpa

meresmikan pernikahan mereka dalam agama masing-masing atau dalam pencatatan

sipil. Hal ini hampir bisa dijumpai secara umum mengingat pria dan wanita yang telah

menjalankan upacara pangurei bagi masyarakat Mentawai telah dianggap menikah secara

yang sah.

c. Kematian

Dalam alam pikiran orang Mentawai kematian berarti perginya jiwa (ketcat)

seseorang meninggalkan tubuh biologisnya untuk selamanya. Jiwa mereka yang sudah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

74

meninggal ini dipercaya pergi ke suatu tempat yang dikenal dengan istilah laggai sabeu

(secara harafiah berarti kampung yang besar) – sebuah tempat di mana berkumpul

seluruh roh nenek moyang dari setiap suku. Lokasi laggai sabeu ini berbeda-beda untuk

setiap suku. Beberapa orang Mentawai mengatakan tempat yang dipercaya sebagai laggai

sabeu terletak di wilayah tanah ulayat. Itulah mengapa keberadaan tanah ulayat sebuah

suku ini menjadi begitu penting bagi orang Mentawai.44

Sebagaimana disebutkan dalam bab terdahulu bahwa tujuan hidup orang Mentawai

pada masa lalu adalah hidup yang panjang dan kematian yang baik, maka bagaimana

seseorang akhirnya meninggal menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Orang

Mentawai percaya ada dua jenis kematian: kamateijat simaeruk (kematian yang baik) dan

kamateijat sikataik (kematian yang buruk). Kematian yang baik terjadi ketika jiwa

meninggalkan tubuh fisik seseorang karena tubuh tersebut sudah tua atau sakit yang tidak

terobati. Seseorang yang sudah lanjut usia dan sakit lalu akhirnya meninggal dipandang

mengalami kematian yang baik. Berbeda dengan orang yang meninggal di usia muda

karena kecelakaan saat berburu, saat bekerja di ladang atau beternak babi, atau di laut

atau di sungai, mereka ini dikatakan mengalami kematian yang buruk. Memikirkan hal

itu saja sudah merupakan hal yang dihindari. Mereka percaya kematian yang buruk terjadi

jika manusia melanggar pantangan tertentu atau hidup tidak sesuai dengan aturan yang

ada. Banyaknya pantangan (keikei) dalam kehidupan orang Mentawai adalah untuk

menjauhkan diri dari jenis kematian ini.

Kematian yang baik menandakan seseorang telah menjalani hidup sesuai dengan

aturan yang ada dan melaksanakan pantangan-pantangan dengan baik. Jiwa yang

44 Tanah ulayat sebuah suku tidak bisa diperjualbelikan atau di bagi-bagi secara sembarangan. Tanah ini

dipergunakan bersama oleh anggota suku. Status kepemilikannya adalah komunal. Beberapa orang

Mentawai percaya seseorang yang ‘kesurupan’ oleh roh nenek moyang akan lari ke tempat-tempat ini,

karena dimikianlah dibawa roh-roh nenek moyang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

75

meninggalkan tubuh fisik seseorang dipercaya akan hidup bahagia di laggai sabeu.

Namun tubuh fisik yang sudah ditinggalkan ini akan mengundang roh lain yang dikenal

dengan sebutan pitok (Coronesse, 1986:44). Pitok ini sangat ditakuti oleh orang Mentawai

karena bisa menyebabkan seseorang sakit. Untuk itu perlu dibuat upacara supaya pitok

tidak lagi datang mengganggu kehidupan orang yang ditinggalkan. Ritual yang dilakukan

berbeda di beberapa daerah namun memiliki tujuan yang sama: agar jiwa mereka yang

sudah meninggal bisa dengan tenang meninggalkan rumah, keluarga, kampungnya dan

berkumpul bersama jiwa-jiwa nenek moyang.

Untuk tujuan itu rangkaian kegiatan yang dibuat antara lain pemimpin upacara akan

memerciki rumah orang yang meninggal dengan tujuan membersihkannya dari hal-hal

yang buruk. Barang-barang orang yang telah meninggal pun di keluarkan agar roh orang

yang meninggal bisa merelakannya dan diharapkan tidak lagi kembali datang untuk

mengambilnya. Dalam upacara ini kehadiran sikerei menjadi penting sebagai perantara

mereka yang ditinggalkan dengan jiwa orang yang meninggal. Beberapa orang di Siberut

mengatakan bahwa ada saatnya roh orang yang meninggal ini berkomunikasi dengan

sikerei dan bercerita mengenai kematiannya atau menyampaikan pesan kepada keluarga

yang ditinggalkannya. Sikeri lah yang kemudian menyampaikan informasi tersebut

kepada keluarga orang yang meninggal. Dengan rangkaian tindakan tersebut

dimaksudkan sebagai upaya pendamaian antara roh orang yang meninggal dengan

keluarga dan orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian roh orang yang meninggal

akan bisa pergi dengan tenang dan damai menuju laggai sabeu.

Sebagian orang Mentawai di Siberut masih menjalankan ritual kematian tersebut.

Walau demikian tata caranya tidak lagi seperti yang dilakukan pada jaman sebelum

kehadiran agama-agama dari luar. Seperti misalnya mereka yang beragama Katolik akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

76

mengadakan ibadat yang bisa juga dipimpin oleh imam dengan menggunakan doa-doa

Katolik. Air yang dipercikan yang dulunya diramu oleh sikerei digantikan dengan air suci

yang telah diberkati oleh imam. Namun praktik yang telah berubah tidak serta merta

menggantikan keyakinan masyarakat Mentawai bahwa relasi yang tidak harmonis antara

manusia dan roh-roh yang ada akan mendatangkan malapetaka dan nasib sial.

Meskipun pantangan-pantangan adat masih dipertahankan oleh sebagian orang

Mentawai di Siberut dan sejumlah upacara yang berakar dari tradisi sabulungan masih

dijalankan, apa yang terjadi di masa kini tidaklah sama dengan yang ada di masa lalu.

Apa yang dikisahkan Marinus Salolosit kepada penulis bisa memberi gambaran tentang

bagaimana nasib arat Mentawai itu saat ini:

Ya sekarang dibuat dengan ‘meraba-raba’ (tidak seperti dulu).

Karena sudah dibakar semuanya, dan orang yang membuat itu

tidak ada lagi. Sekarang kami tidak tahu lagi membuatnya. Anak-

anak muda sekarang tidak mau lagi mereka. Membuat buluat,

tidak tahu lagi. Kami buat pesta, begitu makan babi kami gantung

saja kepala babi (di uma). Kalau sekarang ada pemerintah

meminta membuat lagi buluat, kerei, seperti dulu, masih mau

saya mukerei (menjadi kerei). Tapi saya takut nanti jangan-jangan

dibakar lagi seperti dulu. ....

Tanya: Kalau dulu masih dilaksanakan punen dan lain

sebagainya, bagaimana dengan sekarang?

Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh

biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak

ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi,

itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei, tapi skrng ya sudah saya

lupakan. Karena saya sudah tua.

Sejumlah narasumber yang penulis jumpai adalah mereka yang sudah berusia di

atas 50 tahun dan mengalami masa-masa peralihan. Mereka mengalami sendiri kehidupan

sebelum dilarangnya sabulungan hingga masa sekarang di mana sabulungan mulai

ditinggalkan generasi muda. Pelarangan sabulungan secara paksa menyisakan

pengalaman yang buruk bagi mereka. Namun meskipun telah memeluk agama Katolik,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

77

para sikebukat ini memahami betul apa itu kearifan lokal Mentawai yang berakar dari

sabulungan. Nilai-nilai budaya itu menjadi landasan yang kuat bagi relasi kehidupan

manusia dan alamnya.

Walaupun seiiring perkembangan jaman tradisi sabulungan makin ditinggalkan

generasi muda orang Mentawai, tradisi tersebut menyimpan nilai-nilai kearifan lokal

yang tetap relevan hingga saat ini. Dari tradisi sabulungan orang Mentawai

memperlihatkan bagaimana manusia hidup selaras dengan alamnya. Keyakinan orang

Mentawai akan keberadaan roh-roh yang hadir dalam alam fisik menunjukkan adanya

relasi vertikal manusia dan yang tidak kelihatan sekaligus relasi horisontal antara manusia

dan alam fisik. Kedua relasi tersebut perlu dijaga keseimbangannya. Hutan dengan

demikian dipandang sebagai hal yang sentral dalam kehidupan manusia. Rusaknya hutan

pasti akan mempengaruhi pula kehidupan manusia. Hal ini tercermin dalam ungkapan

beberapa narasumber kepada penulis: Habis hutan, habis juga kehidupan. Budaya habis.

Kehidupan orang Mentawai pada masa lalu yang sangat bergantung dari hutan

menjadikan budaya mereka sangat bernuansa ekologi. Kalaupun praktik-praktik tradisi

sabulungan kian ditinggalkan, semangat ekologis orang Mentawai tetap relevan dan

mampu memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat masa kini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

78

BAB IV

DOMINASI NEGARA DAN PERLAWANAN ORANG MENTAWAI

Setelah mengamati bagaimana jejak-jejak sabulungan di Siberut dari kisah para

sikebukat dan orang Mentawai masa kini, pada bagian ini penulis akan menganalisis

beberapa poin penting. Pertama bagaimana proses dominasi negara sebagaimana tampak

dalam pelarangan sabulungan oleh pemerintah setempat berlangsung di Siberut. Pada

bagian ini penulis akan menggali lebih dalam fenomena tersebut dari kisah-kisah yang

dituturkan oleh para informan. Poin kedua akan bercerita mengenai siasat perlawanan

yang dilakukan oleh para sikebukat serta orang-orang yang memiliki perhatian pada

tradisi sabulungan. Usaha untuk merevitalisasi sabulungan yang muncul dalam berbagai

ekspresi akan diulas pada bagian yang ketiga. Pada poin keempat penulis mencoba untuk

menguraikan bagaimana saat ini orang Mentawai di Siberut mengalami ambiguitas.

A. Dominasi Negara dan ‘Pemaksaan’ Agama Resmi

Hasil keputusan Rapat Tiga Agama tahun 1954 yang secara eksplisit meminta

orang Mentawai meninggalkan sabulungan merupakan wujud dominasi negara untuk

menerapkan gagasan-gagasan mengenai identitas tunggal bangsa. Dalam upaya tersebut

pengakuan terhadap dasar ideologi negara Pancasila menjadi penting. Melalui

Departemen Agama negara menyatakan bahwa kebebasan beragama rakyatnya dijamin

dan dilindungi secara hukum. Hal tersebut diharapkan menjamin ditegakkannya

penghayatan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi sejarah pembentukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

79

konsep agama di Indonesia menyebabkan beragam tafsiran terhadap sila Ketuhanan Yang

Maha Esa. Kategorisasi yang menentukan apa yang diterima dan diakui sebagai ‘agama’

menjadikan banyak aliran-aliran kepercayaan lokal mengalami diskriminasi. Sebenarnya

peraturan pemerintah sebagaimana tertulis dalam SK NO.167/PM/1954 – yang dipandang

sebagai latar belakang diadakannya Rapat Tiga Agama – hanya berisikan perintah

penyelidikan, pengawasan, dan penertiban aliran-aliran kepercayaan demi kesejahteraan

masyarakat sesuai dengan Pasal 33 UUD sementara. Sehingga dengan demikian apa yang

kemudian diputuskan dalam pertemuan Tiga Agama jelas sekali tampak sebagai upaya

pemaksaan. Apalagi tindakan aparat pemerintah – yakni polisi – di lapangan diwarnai

dengan perilaku diskriminatif dan kekerasan. Seorang guru dan katekis (guru agama

Katolik), Bapak Mikael Sabbagalet, menceritakan pengalamannya menyaksikan sendiri

bagaimana sabulungan dilarang di Siberut:

Ah itu di tahun 1952. Pembakaran (atribut) kerei masal, di mana

-mana. Saya di Sagulubbe. Terakhir mereka datang ke Sagulubbe.

Di kampung lain (di)bakar, ke Sarereiket, ke Silaoinan. Itu yg

membakar orang polisi. Kebetulan polisi ini agama Protestan.

Kalau tidak dibakar, dihukum, atau dipukul. Ah itu polisi.

Kebanyakan polisi dulu dari Sikakap dan Sipora....

Maksud mereka supaya jelas, karena sudah merdeka, jangan lagi

tampak mentawainya, karena sudah merdeka. Jadi malu,

kelihatan sebagai orang Mentawai. Sehingga sekarang kalau tahu

bruder, di Sikakap, Sipora, tidak ada lagi budaya (Mentawai).

Tinggal ada d sini (Siberut).

Tampaknya apa yang menjadi keputusan dalam Rapat Tiga Agama tidak diketahui

oleh masyarakat di pelosok. Hal ini bisa dimengerti karena situasi wilayah Mentawai

yang sulit dijangkau. Para polisi sering diceritakan oleh para sikebukat datang secara tiba-

tiba, menggeledah uma dan mencari buluat, dan melarang orang berkabit. Aman Pagetai

di Desa Madobag punya ingatan sendiri mengenai peristiwa tersebut:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

80

Mereka datang begitu saja. Tidak ada dibilang sama dusun,

desa, apa yang mau di buat sama masyarakat. Mereka langsung

datang, menodong, kabit..kabit... memaksa orang-orang yang

ber-kabit melepaskannya. Waktu itu orang tidak tahu apa-apa,

jadi ketika diminta menyerahkan itu, ya dibuat saja.

Takpei anai puaranan (belum ada agama) waktu itu. Setelah

pembakaran itu masuk agama Baha’i. Waktu itu aku kelas 4 SD.

Aku kelas 5 kutinggalkan (Baha’i). Karena Baha’i tidak diakui

pemerintah. Makanya mereka tinggalkan.

Hadirnya polisi sakalagat Protestan di Siberut dalam upaya pelarangan sabulungan

menyebabkan trauma di kalangan orang Mentawai. Tindakan pelarangan yang disertai

dengan kekerasan tersebut dilegitimasi dengan adanya keputusan Rapat Tiga Agama.

Polisi bekerja sama dengan pemerintah kecamatan dan desa memiliki tanggung jawab

untuk memastikan himbauan tersebut dijalankan. Di sisi lain, sebagai orang sakalagat

yang telah beragama Protestan, mereka telah membawa konsep pemikiran bahwa

sabulungan merupakan praktik penyembahan berhala yang perlu dihapuskan.

Keberadaan sikerei dan buluat di uma menjadi representasi sabulungan sehingga itulah

yang pertama-tama diincar untuk dimusnahkan. Buluat dibakar dan peran sikerei sebisa

mungkin dihilangkan. Tujuannya sederhana yakni bahwa praktik sabulungan yang

dipandang sebagai cara hidup lama dan mengandung unsur penyembahan berhala

ditinggalkan dan diganti dengan agama resmi negara, yakni: Protestan, Katolik, dan

Islam.

Pada penghujung pemerintahan Orde Lama, dikeluarkan Tappres No.1/PNPS/1965

yang secara eksplisit memperlihatkan 6 agama yang diakui pemerintah, yakni: Islam,

Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Hal itu memunculkan pandangan

bahwa mereka yang belum menganut salah satu agama resmi negara dipandang ‘belum

beragama’. Secara dangkal mereka yang ‘belum beragama’ dianggap belum bisa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

81

menerima atau menerapkan apa yang tertera pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasca

peristiwa 1965 dan di awal Orde Baru, rezim Soeharto mempolitisasi sentimen atas

ideologi komunis sehingga kepemilikan agama – dan tentu saja agama resmi – menjadi

kriteria apakah seseorang telah sepenuhya menerima ideologi Pancasila. Akibatnya

orang-orang yang ‘belum beragama’ semakin berada dalam posisi yang dilematis. Jika

menolak untuk menganut salah satu agama resmi dengan mudah mereka akan dicurigai

sebagai kelompok yang mendukung komunisme. Peristiwa traumatis pada pelarangan

sabulungan yang dimulai tahun 1954 semakin diperburuk dalam pemerintahan Orde

Baru.

Peristiwa pelarangan sabulungan memperlihatkan bagaimana pemerintah

Indonesia bersikap terhadap masyarakat daerah yang menghidupi tradisi lokal mereka.

Dengan mengusung semangat pemberadaban dan upaya pembentukan identitas tunggal

bangsa, gagasan-gagasan mengenai manusia merdeka dan modern dijejalkan pada

masyarakat. Upaya tersebut di satu sisi nampak berhasil. Mikael Sababbgalet bercerita

pada penulis apa yang dialaminya di di Sagulubbe – wilayah pantai barat Siberut – tentang

ketakutan penduduk setempat akibat tindakan para polisi:

Nah waktu di Sagulubbe, masih takut mereka, masih ada bakat

katsaila. Lalu mereka panggil saya. Guru. Apa? Takut kami

datang polisi, jadi kami mau bakar buluat. Tapi ini dari kemauan

kalian sendiri? Iya dari kami sendiri mau bakar. Supaya kami

lepas dari malapetaka. Jadi kalau mau bakar buluat, agamamu apa

sekarang? Kami sekarang Katolik. Tapi masih mendua. Jadi kami

memilih saja, Katolik. Oto, kauan. Ada panukanan

(pemberkatan). Masilabok buluat. Aku jalankan, kasih

panganturat (wejangan). Jadi itu karena taku mereka sama polisi.

Termasuk juga apa, tato. Dihukum. Jadi seakan-akan dulu tidak

ada lagi arat Mentawai, budaya Mentawai. Tubut mapalik.

Terlalu parah. Pakai inu, itu diambil.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

82

Tindakan pelarangan sabulungan yang dilakukan di masa lampau tampaknya berhasil

menanamkan gagasan bahwa sabulungan adalah cara hidup lama yang harus

ditinggalkan.

Tindakan para polisi dalam upaya pelarangan sabulungan dikisahkan sejumlah

narasumber berlangsung hingga tahun 1980-an. Sebagai bentuk upaya menghindari

konflik sejumlah orang memilih untuk menetap di daerah-daerah yang jauh dari pusat

kecamatan. Di wilayah tersebut mereka merasa aman karena medan yang berat daerah

tersebut sulit dijangkau oleh aparat polisi. Kehadiran para misionaris Katolik pada tahun

1954 – dengan konsep inkulturasinya – memberikan ruang terhadap berlangsungnya

praktik-praktik sabulungan. Hal ini rupanya menarik perhatian orang Mentawai. Banyak

dari antara mereka yang kemudian menganut agama Katolik. Dengan menganut agama

Katolik, yang juga merupakan salah satu agama yang resmi diakui oleh negara, orang-

orang Mentawai di Siberut terbebas dari ancaman polisi. Tidak heran jika di wilayah

Siberut mayoritas penduduknya beragama Katolik jika dibanding dengan wilayah lain

seperti di Sikakap dan Sipora.

Kehadiran misi Katolik juga membawa perkembangan dalam bidang pendidikan.

Banyak sekolah dasar misi dibuka di wilayah-wilayah pedalaman Siberut. Sejumlah

Sekolah Dasar misi yang dibuka di Mentawai meliputi: SD. Santa Maria, Muara Siberut

(berdiri tahun 1965), SD. Santo Yosef, Sioban (berdiri tahun 1965), SD. Santo Vincentius

Sikakap (berdiri tahun 1965), dan SD. Santo Fransiskus, Sikabaluan (berdiri tahun 1970).

Dengan kehadiran sekolah-sekolah misi, banyak anak-anak Mentawai mulai mendapat

akses terhadap pendidikan. Kehadiran sarana pendidikan di Siberut yang dirintis oleh misi

Katolik ini juga sejalan dan turut melengkapi program pendidikan pemerintah. Hal itu

secara tidak langsung turut membawa pengaruh terhadap pola kehidupan orang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

83

Mentawai. Anak-anak mulai mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah dan

mulai meninggalkan pola kehidupan tradisional mereka. Terbatasnya sekolah di dusun-

dusun menuntut anak-anak ini untuk meninggalkan kampung mereka dan tinggal di desa

lain atau di pusat kecamatan jika hendak melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya.

Sebagai gambaran umum, sekolah-sekolah misi di daerah-daerah pada umumnya terbatas

hingga kelas 3-4 SD. Jika hendak melanjutkan pendidikan di kelas 4-6 SD, SMP, dan

SMA, mereka akan tinggal di desa yang lebih besar atau di pusat kecamatan. Jarak yang

cukup jauh dan sarana transportasi yang terbatas menyebabkan para pelajar ini harus

tinggal di luar kampung halaman mereka sepanjang tahun pelajaran. Tentu saja situsi ini

menyebabkan anak-anak tersebut terpisah dengan kehidupan tradisional orang tua mereka

di desa.

Perubahan pola kehidupan tersebut rupanya juga turut membawa perubahan cara

pandang terhadap budaya. Yohanes Sanambaliu (Teu Jablai) di Ugai menceritakan

pandangannya bagaimana kemudian kehadiran pendidikan mempengaruhi gaya hidup

anak-anak muda. Ia mengatakan bahwa dengan pergi ke sekolah dan tinggal jauh dari

kampung halaman, anak-anak ini kehilangan kemampuan mereka untuk berburu,

beternak, atau mengambil hasil hutan. Mereka juga tidak lagi bisa hadir dalam upacara-

upcara adat yang diadakan di kampung mereka. Akibatnya mereka tidak paham lagi

bagaimana cara memperlakukan hutan, bagaimana menjalankan ritual-ritual sebagaimana

dilakukan orangtua dan kakek-nenek mereka. Perlahan-lahan pola kehidupan menganut

agama resmi dan mengenyam pendidikan formal turut merubah gaya hidup orang

Mentawai dan juga cara pandang mereka terhadap sabulungan. Trauma yang muncul

pada pelarangan sabulungan dan dengan menjadi orang Katolik, orang tidak lagi

menyatakan secara terbuka bahwa mereka masih menghidupi sabulungan. Mereka akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

84

mengatakan bahwa sekarang mereka telah beragama. Walau tidak mengatakan secara

terus terang bahwa sabulungan masih dihidupi, sebagian dari narasumber yang penulis

temui menyatakan bahwa mereka masih menjaga pantangan-pantangan sabulungan dan

tidak meninggalkannya.

Dominasi ideologi negara ini walupun disertai dengan unsur pemaksaan, intimidasi

dan kekerasan seperti yang terjadi di Siberut, sulit dilawan dengan konfrontasi secara

terbuka dan frontal. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, intimidasi dari

aparat polisi dan bayangan hukuman penjara dan kekerasan fisik menjadikan orang

Mentawai di Siberut semakin sulit untuk memperjuangkan ideologi mereka. Posisi

ketidakmampuan untuk melakukan perlawanan frontal ini mirip dengan situasi yang

dialami para petani di Sedaka dalam penelitian Scott. Sebab itu model perlawanan yang

dimungkinkan adalah apa yang disebut Scott sebagai ‘gerakan protes sambil

menghindar’. Pada bagian selanjutnya akan kita lihat bagaimana para sikebukat memilih

cara perlawanan yang menurut penulis memiliki kemiripan dengan model pemberontakan

kaum petani di Sedaka.

B. Siasat Sikebukat dan Pemerhati Sabulungan

James C. Scott berpendapat bahwa selain perlawanan terbuka dan frontal

terhadap kelas yang mendominasi terdapat pula model perlawanan ‘terselubung’ yang

menjadi senjata kelas petani dan kelompok-kelompok minoritas. Model perlawanan

demikian tidak membutuhkan gerakan terstruktur, orasi dan demo besar-besaran, atau

revolusi besar-besaran. Apa yang disebut oleh Scott sebagai tindakan protes sambil

menghindar ini terjadi dalam hal-hal sederhana dalam hidup sehari-hari. Situasi demikian

tampak pula dalam kehidupan orang Mentawai di Siberut yang berusaha untuk tetap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

85

mempertahankan tradisi sabulungan ditengah pengaruh ideologi pembangunan negara

dan hadirnya agama-agama samawi.

Bentuk perlawanan para sikebukat atas gerakan pelarangan sabulungan yang

muncul pertama kali adalah dengan melarikan diri dan menghindar. Ketika polisi mencari

dan membakar buluat dan melarang sikerei menjalankan ritual-ritual, sejumlah orang

Mentawai yang mendengar atau mengetahu hal tersebut melarikan diri ke desa-desa di

hulu sungai. Daerah ini sulit dijangkau oleh polisi. Selain itu, para sikebukat yang pada

masa mudanya mengalami sendiri perlakuan para polisi yang berupaya memusnahkan

atribut budaya mereka, mencoba menyembunyikan atau membuat benda-benda tiruan

untuk mengelabui para polisi. Apa yang diceritakan Yohanes Salakoppak memberi

gambaran akan upaya menghindar tersebut:

Kadang-kadang marah dia. Kadang-kadang lari. Datang,

misalnya ada polisi, lari. Kadang-kadang barangnya itu

disembunyikan. Kami dulu, bapak saya sikerei. Lalu barang-

barang budaya itu, kalau datang polisi kami sembunyikan.

Jejeneng (giring-giring atau lonceng kecil), baklu, leilei, dan salipak (semacam

tempat untuk menyimpan alat-alat kerei), yang penting dalam ritual-ritual disembunyikan

ketika didengar datangnya polisi ke tempat mereka. Selain itu, ritual-ritual sabulungan

diadakan secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih secara terbuka mengastakan bahwa

mereka masih menjalankan sabulungan, ritual-ritual tersebut ditampilkan sebagai

kegiatan budaya. Tindakan ini dipandang lebih menguntungkan dari pada konfrontasi

fisik yang sudah jelas akan membawa orang-orang Mentawai ini di posisi yang kalah.

Siasat yang lain tampak dalam sikap patuh orang-orang Mentawai untuk menganut

agama yang ditawarkan oleh pemerintah. Jika para penganut Kaharingan di Kalimantan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

86

misalnya berusaha memperoleh pengakuan negara dengan jalan mengadakan gerakan

struktural dan bernaung pada agama Hindu, orang Mentawai di Siberut justru dengan

terbuka memilih menganut salah satu agama yang diakui pemerintah. Di Siberut,

sebagian besar orang Mentawai memilih untuk beragama Katolik yang hadir justru di

awal program ‘penertiban’ sabulungan di tahun 1954. Dengan tradisi inkulturasi Gereja

Katolik yang memberi ruang pada ekspresi budaya setempat, orang Mentawai di Siberut

melihat adanya peluang untuk tetap menjaga tradisi sabulungan. Siasat ini juga dirasa

mampu ‘menyelamatkan’ mereka dari label ‘orang tidak beragama’ yang dengan mudah

diasosiasikan sebagai anti Pancasila dan penganut paham komunis.

Kita telah melihat bagaimana para generasi tua orang Mentawai di Siberut mencoba

menjaga ingatan mereka akan tradisi sabulungan dan menghidupinya sebisa mungkin.

Walau jaman sudah berubah dan dampak modernisasi tidak bisa dielakkan lagi, nilai-nilai

kearifan lokal tidak begitu saja mereka tinggalkan. Kendati telah menganut agama resmi,

seperti Katolik, sebagian dari mereka tidak begitu saja meninggalkan cara hidup

tradisional. Keikei dan puliaijat tetap dijaga dan dijalankan berdampingan dengan

kegiatan di Gereja sebagaimana umat Katolik pada umumnya. Seperti terungkap dalam

perbincangan bersama Teu Jablai di dusun Ugai:

Jangan karena sabulungan kalian, lalu di tinggalkan gereja

(Katolik), tidak ke berdoa di gereja. Datang pastor buat misa kita

ikut. Justru baik, kita sabulungan sekaligus ada puaranan

(agama). Pantangan yang ada di Katolik sama halnya juga

pantangan di sabulungan. Sama halnya pada hari Minggu, kita

tidak boleh kerja keras seperti menebang pohon atau membuka

ladang. Kalau dilanggar kita akan ditimpa pohon, atau terkena

parang.

Apa yang dikatakan Teu Jablai menyiratkan apa yang dirasakan sebagian kaum tua

orang Mentawai. Kalangan ini tampaknya masih berusaha mempertahankan warisan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

87

budaya lokal sabulungan kendati telah memeluk agama Katolik. Bisa disimak bagaimana

sabulungan dibedakan dari puaranan (agama). Di Mentawai, puaranan selalu merujuk

pada ‘agama-agama’ selain sabulungan. Pembedaan yang ditanamkan para misionaris

awal dan pemerintah mengenai arat sabulungan dan arat puaranan masih mewarnai

bagaimana golongan tua ini menghidupi keyakinan mereka. Ketika ditanya apakah lebih

baik kembali kepada sabulungan dan meninggalkan agama Katolik, Teu Jablai

mengatakan demikian:

Oh tidak bisa. Tak bisa tinggalkan agama Katolik. Tapi kalau ada

upacara pangurei, pabetei, memelihara babi, itu kan tidak bisa

pakai carai lain, jadi kami pakai adat mentawai. Tapi kalau ada

berminggu, ya kami pergi. Secara umum, sabulungan sebagai

budaya dan tidak bisa ditinggalkan. Katolik menjadi agama. Akan

jadi dilema, kalau kita mengabaikan pantangan, bisa terjadi

musibah. Jadi kita tidak bisa meninggalkan pantangan adat. Kita

bisa kena musibah.

Menghidupi budaya Mentawai (arat sabulungan) dan juga beragama (arat

puaranan) masih mereka pandang sebagai bentuk perlawanan terbaik. Jika hanya

menjalankan arat sabulungan mereka akan menempatkan diri di posisi yang bertentangan

dengan anjuran pemerintah; yakni memiliki agama. Mereka juga akan diberi label sebagai

masyarakat yang belum maju, karena belum beragama. Namun di sisi lain mereka tetap

menjaga praktik-praktik sabulungan: menjaga pantangan (keikei) untuk beternak dan

berburu, mengadakan ritual inisiasi kelahiran, perkawinan (pangureijat), kematian

(panunggru), termasuk mempertahankan fungsi sikerei dalam pengobatan tradisional –

di mana pengaruh roh-roh alam menjadi salah satu penyebab seseorang sakit. Mereka

tidak mengatakan bahwa agama mereka adalah sabulungan. Mereka akan mengatakan

bahwa ritual-ritual tersebut adalah budaya Mentawai. Dari luar orang akan melihat bahwa

orang Mentawai telah menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Mereka pergi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

88

beribadah di Gereja dan Mushola serta menjalankan pesta-pesta keagamaan masing-

masing. Penampakkan dari luar ini yang oleh James Scott disebut public transcript,

memperlihatkan bagaimana relasi orang Mentawai dengan pemerintah dan kelompok

pewarta agama yang masuk. Sementara itu di sisi lain, di bawah permukaan, orang

Mentawai tetap menjaga dan menjalankan tradisi sabulungan – meskipun tidak seketat

apa yang dihidupi nenek moyang mereka di masa sebelum hadir agama-agama. Praktik

menjalankan tradisi sabulungan ini yang merupakan perwujudan hidden transcript dalam

pandangan James Scott.

Keberadaan dan pengaruh sikebukat (kaum tua) di sebuah wilayah, dalam hal ini di

Siberut Selatan dan terlebih lagi di wilayah Sarereiket yang penulis amati selama

penelitian, menjadikan tradisi sabulungan tidak cepat terkikis. Mereka masih berusaha

mengajarkan tradisi lokal kepada generasi yang lebih muda. Bagaimana beternak babi –

yang menjadi kurban yang penting dalam pesta-pesta budaya di Mentawai, berladang,

menyambut kelahiran, pernikahan, upacara penyembuhan orang sakit, dan juga

bagaimana mengadakan ritual bagi orang yang meninggal. Teu Jablai menceritakannya

kepada penulis bagaimana caranya agar generasi muda tidak melupakan tradisi mereka:

Bisa itu. Misalnya saya mau beternak babi, itu caranya saya

ajarkan ke anak-anak saya. Lalu misalnya ada punen, punen

kelahiran, mereka sudah tahu caranya. Saya ajarkan. Tidak

hilang. Kalau kami memelihara babi di tanah orang lain (di luar

Mentawai), tidak akan bisa bertahan. Antara hilang babi, atau

dimakan orang. Budaya Mentawailah yang bisa mengembalikan

babi yang hilang itu. Budaya mentawai le ireddet (yang berlaku).

Orang muda di sini belajar dari orangtua mereka dan pada saatnya nanti mereka yang

akan mengambil peran dalam upacara-upacara adat tersebut. Inilah siasat kedua yang

dilakukan oleh orang Mentawai untuk menjaga tradisi mereka. Mereka menganut agama-

agama yang diakui oleh pemerintah sebagaimana dianjurkan, namun dalam praktik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

89

kehidupan sehari-hari tradisi sabulungan tetap dihidupi sebagai bagian dari budaya

Mentawai.

Saat ini sebagian orang Mentawai generasi muda mengatakan bahwa praktik

sabulungan sudah tidak ada lagi. Tindakan ini dalam pandangan penulis merupakan siasat

lain untuk mempertahankan budaya Mentawai tanpa dicap sebagai masyarakat primitif

yang belum maju. Istilah sabulungan bagi kelompok ini memiliki konsep yang berkaitan

dengan budaya masa lalu, masa di mana Mentawai belum mengenal agama-agama dan

gaya hidup modern. Ritual-ritual adat yang kini tetap dijalankan disebut sebagai wujud

budaya Mentawai, tanpa menyinggung soal sabulungan. Dalam hal ini tampak bagaimana

peristiwa pelarangan sabulungan, kehadiran pemerintah dan misionaris, berhasil

membuat sabulungan – yang pada mulanya menjadi cara hidup orang Mentawai – tampak

sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan jaman, dan atas nama kemajuan, perlu

ditinggalkan. Penggantinya adalah agama-agama baru, yang datang dari luar, yang

dikaitkan dengan gaya hidup orang modern, yakni: meninggalkan animisme dan

menganut agama monoteis. Dari luar tampak bahwa sabulungan memang telah

ditinggalkan, dan mayoritas orang Mentawai telah menganut agama: Protestan, Katolik

dan Islam. Namun di balik semua itu, warisan sabulungan masih hidup dalam budaya

Mentawai saat ini. Dalam hal ini peranan kaum muda menjadi penting sebab jika mereka

enggan menjaga budaya tersebut apa yang diajarkan oleh generasi tua akan terhenti. Jika

hal itu terjadi, nilai-nilai kearifan lokal yang berakar dari tradisi sabulungan akan benar-

benar hilang. Dan kali ini proses tersebut berlangsung dalam situasi kebebasan, tanpa

paksaan, dan tanpa tindak kekerasan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

90

C. Ekspresi Sabulungan

Dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan unsur-unsur budaya Mentawai

yang berakar dari tradisi sabulungan. Meskipun penulis tidak pernah mendengar

ungkapan terbuka bahwa sabulungan masih hidup di kalangan sebagian orang Mentawai

di Siberut, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan hal yang lain. Peristiwa

pelarangan sabulungan di masa lalu dan proses terjadinya yang melibatkan unsur

intimidasi, kekerasan dan paksaan, sebagaimana penulis uraikan, berhasil menimbulkan

trauma. Rangkaian tindakan diskriminatif terhadap sabulungan menyebabkan tradisi

tersebut diasosiasikan sebagai ciri masyarakat tertinggal, primitf, karena masih kental

dengan unsur animisme. Sebelum tahun 1980-an, karena ketakutan akan kontrol polisi,

ritual-ritual sabulungan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

Menurut Yohanes Salakoppak setelah tahun 1980-an, sikap pemerintah mulai

longgar dan sebagian besar orang Mentawai telah menganut agama resmi pemerintah,

mereka merasa lebih bebas mengekspresikan diri dalam upacara-upacara adat. Agama-

agama resmi tidak ditinggalkan dan upacara tradisional yang mereka lakukan

diperkenalkan sebagai bagian dari budaya Mentawai. Penggunaan istilah sabulungan

dihindari dan dipilih istilah budaya sebagai gantinya. Beberapa dari orang Mentawai yang

penulis jumpai menyatakan bahwa sabulungan adalah agama lama yang sudah

ditinggalkan. Sebagian lagi mengatakan itu merupakan agama jaman dulu yang

menyembah sanitu (setan). Mereka mengasosiasikan sabulungan dengan gaya hidup

orang yang belum maju dan sudah dihilangkan dengan adanya agama resmi pemerintah

dan pembangunan. Namun di beberapa daerah, sabulungan – meskipun tetap tidak

dinyatakan secara terbuka – masih dijaga keberadaannya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

91

Di wilayah Siberut Selatan, terlebih di wilayah Sarereiket, praktik budaya

Mentawai yang berakar dari tradisi sabulungan masih bisa dijumpai. Hal ini

mengindikasikan bahwa sebenarnya penghayatan sabulungan masih dihidupi oleh orang

Siberut. Masyarakat masih percaya bahwa penyakit tertentu disebabkan karena roh

(simagre) tertinggal di suatu tempat atau berjumpa dengan roh yang ada di alam. Mereka

juga percaya nasib sial yang terus menimpa dikarenakan ada ritual tertentu seperti eneget

atau pangureijat belum dilaksanakan. Misalnya anak yang belum menjalani ritual eneget

akan kurus, atau sering sakit, demam, dan tampak tidak bersemangat. Punen panunggru

bagi orang yang meninggal dunia juga masih dipraktikkan kerena diyakini akan

menjauhkan mereka dari nasib sial. Bagi mereka yang menjadi sikerei pantangan seperti

memakan sejenis belut atau monyet berbulu putih jika dilanggar akan menyebabkan

penyakit dan bahkan kematian. Hal itu tampak dalam apa yang disampaikan Thomas

Tatebburuk – yang ayahnya adalah seorang sikerei – di Dusun Puro:

Selama jadi sikerei, selama seumur hidup, tidak boleh makan itu.

Kecuali ada juga yang tidak mau makan belut itu, seperti kita kan. Saya

tidak mau makan. Karena ada apa itu, masih ada bau-bau sikerei pada

saya. Kalau saya makan timbul penyakit. Jadi ndak boleh dimakan.

Kecuali, hanya belut yg tidak boleh dimakan sama saya. Kalau joja

(salah satu primata endemik) yang simabulau (putih) dan lain-lain

boleh dimakan. Itu pantangnnya. Paling pantang itu belut itu.

Upaya revitalisasi tampak dalam peran para sikebukat yang memahami budayanya

dan merasa perlu untuk menurunkannya kepada generasi muda. Para sikebukat dalam hal

tertentu masih turut berperan dalam ritual-ritual adat. Mereka menjadi penghubung antara

generasi orang Mentawai terdahulu dan generasi muda saat ini. Dengan hadirnya para

sikebukat keturunan mereka masih bisa menyaksikan bagaimana upacara-upacara

tersebut dibuat. Di desa yang jauh dari pusat kecamatan ritual-ritual budaya masih sering

dilakukan meskipun mereka mengakui tidak sebanyak masa lalu. Persoalannya adalah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

92

dengan terbatasnya sekolah di dusun-dusun, anak-anak Mentawai sering harus pergi ke

pusat desa atau kecamatan dan tinggal di sana selama masa sekolah. Hampir seluruh

kehidupan mereka dihabiskan di asrama pelajar atau kediaman sanak saudara mereka

yang jauh dari kampung halaman. Situasi ini menjadikan anak-anak tersebut tidak

mengalami lagi kehidupan tradisional di kampung mereka.

Kehidupan di kota kecamatan lebih modern dan maju. Ritual-ritual tradisional yang

masih sering dilaksanakan di kampung halaman mereka tidak ditemui di kota kecamatan.

Masyarakat di kecamatan juga lebih heterogen. Anak-anak ini akan bertemu dengan

teman-teman mereka yang datang dari berbagai kampung yang jauh dan bahkan dari

daerah-daerah di luar pulau Siberut. Perbedaan masing-masing daerah dipersatukan oleh

kesamaan bahwa mereka adalah orang Mentawai dan oleh karena itu mengenal budaya

Mentawai secara umum menjadi hal yang penting dalam proses pendidikan mereka.

Upaya revitalisasi yang lain muncul dari orang-orang yang merasa penting

mengajarkan nilai-nilai budaya Mentawai melalui pendidikan formal. Selama berada

dalam wilayah administratif Padang Pariaman, yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah

budaya Minangkabau dengan pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau). Di Siberut,

sekolah milik Yayasan Prayoga, SD St. Maria, pada tahun 1990-an telah mulai

mengajarkan budaya Mentawai atau yang kemudian disingkat ‘Bumen’ secara mandiri

dan dimasukkan dalam bahan pengajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan agar para

peserta didik mengenal budaya Mentawai. Dalam bahan pengajaran Bumen tersebut

diperkenalkan mengenai dimensi geografi, sosial, dan budaya Mentawai. Kebijakan ini

muncul dari kalangan orang-orang yang peduli terhadap pelestarian nilai-nilai budaya

Mentawai. Sebab meskipun merupakan bagian dari wilayah Sumatera Barat yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

93

dominan dengan kebudayaan Minangkabau, orang Mentawai memiliki budayanya sendiri

yang perlu juga dipelajari dan dilestarikan.

Kini setelah terbentuk Kabupaten Kepulauan Mentawai dan banyak orang

Mentawai yang duduk di pemerintahan, pengajaran muatan lokal Budaya Mentawai

(Bumen) di sekolah makin dikembangkan. Saat ini menurut keterangan yang penulis

peroleh dari kepala cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Siberut Selatan, Bumen telah

menjadi bahan pengajaran wajib bagi siswa-siswa sekolah dasar di seluruh kabupaten.

Materi pengajaran Bumen disusun oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM

Yayasan Citra Mandiri (YCM). Inilah yang menjadi salah satu upaya pemerintah daerah

Mentawai untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya Mentawai. Sabulungan sebagai suatu

cara hidup tradisional orang Mentawai memang tidak akan muncul lagi seperti masa lalu.

Akan tetapi nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalamnya diusahakan agar tidak

lenyap dan dilupakan.

Selain dalam bidang pendidikan upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya

tampak dalam inkulturasi Gereja Katolik. Hal ini dilakukan sejak awal kehadiran Gereja

Katolik di Siberut. Para misionaris awal berusaha mempelajari bahasa, budaya, serta cara

hidup orang Mentawai. Bersama para guru agama setempat, para misonaris mengadakan

pembinaan tentang inkulturasi dan bagaimana nilai-nilai Kristiani diajarkan

menggunakan sarana-sarana budaya. Sebenarnya upaya ini telah dimulai oleh para

zending Protestan yang berjasa menyusun Kitab Suci dalam bahasa Mentawai.

Dalam Kitab Suci bahasa Mentawai dan kemudian dalam bahasa yang digunakan

dalam peribadatan Kristen, istilah Taikamanua dan Ulaumanua digunakan sebagai

padanan kata ‘Allah’. Memang ada sedikit perbedaan antara kata Taikamanua dan

Ulaumanua. Taikamanua (Mentawai, tai: orang; manua: langit) merujuk pada roh-roh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

94

yang ada di langit. Konsep serupa yang digunakan untuk menyebut roh-roh misalnya

yang ada di laut (taikakoat) dan hutan (taikaleleu). Sementara itu, istilah Ulaumanua

(Mentawai, ulau: luar, terang) mengacu pada sesuatu yang beradi di luar, melampaui,

manusia dan alam. Konsep mengenai Ulaumanua sangat erat dengan alam pikiran

sabulungan. Ulaumanua dipandang sebagai roh yang paling tinggi (melampaui

Taikamanua) dan keberadaannya tak terjangkau manusia. Penjelasan Selester Sagurujuw

(wawancara di Desa Muntei) mengenai dasar cara hidup orang Mentawai sebelum hadir

agama-agama bisa memberi gambaran mengenai gagasan atas Ulamanua:

Sebenarnya yang hakiki adalah, ketika sebelum agama ada, sudah

diyakini adanya ulaumanua. Ulaumanua menurut keyakinan

orangan Mentawai adalah yang mengetahui segala-galanya, yang

kuat, yang lebih tinggi dari mereka. Itu yang terjadi. Ketika ada

praktik budaya dibuat kepada saudaranya, kepada ulaumanua,

kita akan masuk surga, kita akan panjang umur.

Hal ini juga diperjelas oleh Aman Pagetai ketika bercerita mengenai tujuan segala bentuk

keikei (pantangan) dan ritual-ritual budaya orang Mentawai. Ia mengatakan demikian:

Semua keikei, semua pekereijat, semuanya itu kepada

Ulaumanua tujuannya. Tidak ada yang lain. Ulaumanua le

taloulougi (Hanya pada Ulaumanua saja manusia mengabdi).

Bagi orang Mentawai gagasan mengenai Ulaumanua tidak terlepas dari tradisi

sabulungan. Memasukkan unsur sabulungan dalam pewartaan agama Kristen tampak

sebagai akulturasi budaya.

Dalam Gereja Katolik proses akulturasi tersebut berkembang pada tahapan

inkulturasi. Konsep inkulutrasi bisa dipahami sebagai upaya Gereja Katolik untuk masuk

dan menjadi bagian dari budaya setempat. Gagasan ini lah yang menjadi latar belakang

mengapa orang Mentawai tidak merasa budaya sabulungan yang mereka hidupi tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

95

ditolak begitu saja. Selain penggunaan konsep Ulaumanua45 para misionaris Katolik juga

mencoba menjaga ritual-ritual sabulungan dan memasukkannya dalam peribadatan

Katolik. Hal itu bisa dilihat dari disusunnya Buko Panukanan (Buku Pemberkatan) pada

tahun 1979. Buku tersebut berisikan beragam tata ibadat Katolik yang digunakan dalam

perayaan-perayaan yang khas bagi orang Mentawai. Ritual-ritual sabulungan seperti:

punen eneget (inisiasi anak), tinungglu (pembukaan ladang baru), punen laggai, punen

lalep (pesta rumah baru), punen abak sibau (‘pemberkatan’ sampan baru), hingga ritual-

ritual bagi peristiwa kematian – dimasukkan dalam tata peribadatan Katolik di buku

tersebut. Upacara-upacara yang telah lama dijalankan oleh orang Mentawai di masa lalu

dengan demikian tidak begitu saja dilarang dan ditinggalkan, tetapi dihidupi dengan cara

baru. Dalam proses inkulturasi ini budaya setempat mendapat pengakuan.

D. Identitas Budaya: Ambivalensi Orang Mentawai

Kita telah melihat bagaimana dominasi negara berhadapan dengan aliran

kepercayaan lokal sabulungan di Siberut. Bagaimana juga para sikebukat memilih jalan

untuk melakukan perlawanan di bawah permukaan untuk mempertahankan tradisi

mereka. Telah diperlihatkan pula bentuk-bentuk revitalisasi budaya yang diupayakan baik

oleh para sikebukat, pemerintah daerah melalui pendidikan, dan Gereja Katolik dengan

konsep inkulturasinya. Pada bagian ini penulis akan mengangkat munculnya ambivalensi

dalam menghidupi identitas budaya orang Mentawai.

Jika merujuk kembali ke masa lalu, sebelum hadirnya agama-agama resmi di

Siberut, sabulungan menjadi sebuah cara hidup orang Mentawai. Dalam tradisi yang telah

45 Meskipun gagasan tentang Ulamanua lebih dekat dengan tradisi sabulungan dan memiliki makna lebih

luas dari istilah Taikamanua, saat ini justru istilah Taikamanua yang umum digunakan dalam

peribadatan Kristen (Protestan dan Katolik) di Mentawai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

96

mengakui kehadiran alam fisik dan sesuatu yang transenden di alam membentuk sebuah

pola relasi yang selaras antara manusia dan alamnya. Berbagai ritual, tabu dan pantangan

mengatur perilaku manusia terhadap alam bertujuan untuk menjaga keselarasan tersebut.

Tradisi sabulungan memberikan gambaran bagaimana manusia melihat alam

lingkungannya bukan sebagai milik mereka. Mereka memperoleh segala yang diperlukan

dari alam namun mereka tetap menjaga kesadaran untuk berterima kasih – dengan

menjaga hubungan – dengan roh-roh yang ada di alam. Relasi antara manusia dan hutan

di Siberut memberikan sumbangan pada pembentukan identitas budaya orang Mentawai.

Seiring perjalanan waktu, dengan masuknya pemerintah dan program

pembangunan (agama dan pendidikan), tampak perubahan yang terjadi yang

mempengaruhi cara pandang orang Mentawai di Siberut terhadap identitas budayanya.

Pola relasi antara manusia dan hutan yang sebelumnya dipenuhi dengan aturan

sabulungan berganti dengan relasi produksi demi kepentingan ekonomi. Pemanfaatan

hasil hutan yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ritual-ritual

beralih menjadi upaya memenuhi permintaan pasar. Ladang-ladang baru di buka untuk

menanam coklat dan cengkeh, kayu-kayu dari pohon yang besar ditebang dan dijual,

hingga tanah-tanah yang di jual kepada para pendatang, memperlihatkan perubahan cara

pandang orang Mentawai di Siberut terhadap hutan. Aman Pagetai (wawancara di dusun

Maseppaket) menceritakan keprihatinannya seperti berikut:

Sekarang orang buka ladang, tebang pohon, begitu gampangnya.

Ambil gergaji mesin, tebang begitu saja. Dulu tidak dibuat.

Mereka buat buluat dulu (Panaki sia). Mereka memberitahukan

kepada roh-roh alam untuk meminta ijin saat menebang pohon.

Selain itu buluat itu juga untuk membeli pohon itu dari roh-roh

hutan. Dulu kalaupun berburu simakobu, dia di atas pohon, dan

kita harus menebang pohon itu untuk mendapat monyet, itupun

harus dibayar pohonnya. Sekarang itu tidak ada lagi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

97

membuat panaki itu. Tapi walau begitu, akan ada akibat buruknya

sama kita.

Di satu sisi masih ada keinginan untuk menjaga tanah-tanah mereka dan menghidup

tradisi nenek moyang, namun di sisi lain mereka melihat bahwa hasil hutan dan penjualan

tanah bisa menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan cepat. Situasi tersebut makin

tampak jelas dengan mulai memudarnya tradisi sabulungan dengan segala nilai-nilai yang

terkandung di dalamnya. Situasi ambivelensi juga tampak dari upaya menghidupi

sabulungan itu sendiri. Praktik kepercayaan lokal itu tampak berada di posisi koma,

antara hidup dan mati. Hadirnya pembangunan, pendidikan, dan agama mengubah pola

kehidupan juga. Tuntunan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah atau di kantor, tidak

memungkinkan waktu yang leluasa untuk mengadakan ritual-ritual yang tentu

memerlukan persiapan yang panjang. Tuntutan biaya pendidikan anak dan rumah tangga

menggeser pula pelaksanaan upacara adat yang juga membutuhkan biaya yang tidak

sedikit. Masih ada ketakutan akan ditimpa musibah dan kemalangan jika ritual seperti

eneget, pangurei, dan panunggru misalnya tidak dilaksanakan. Aman Pagetai misalnya

mengatakan mengapa saat ini ritual-ritual tersebut mulai berkurang pelaksanaanya:

Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh

biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak

ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi,

itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei (menjadi sikerei), tapi

sekarang ya sudah saya lupakan. Karena saya sudah tua.

Hal yang serupa terjadi dalam kehidupan beragama. Mereka yang telah beragama

– misalnya Katolik – di satu sisi mereka merasa telah meninggalkan tradisi sabulungan.

Mereka hadir di Gereja pada hari Minggu dan mengadakan upacara-upacara keagamaan.

Upacara inisiasi seperti pangabela, pangambok, dan abbinen misalnya, digantikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

98

dengan baptisan bayi di Gereja. Pak Thomas menceritakan bagaimana perubahan itu

dialami. Menurutnya tidak semua ritual tersebut dihilangkan. Hanya saja bergantung

apakah keluarga yang bersangkutan ingin mengadakannya atau tidak. Akan tetapi

sejumlah keluarga merasa sudah lengkap jika anak mereka sudah dipermandikan.

Upacara yang dulu dibuat di sungai agar simagre si bayi diperkenalkan dengan

lingkungannya dan tumbuh dengan kuat tidak diadakan lagi. Namun di sisi lain, punen

eneget yang diadakan ketika anak mulai remaja, masih dilaksanakan. Hal ini dibuat agar

si anak bisa tumbuh sehat dan tidak mudah terkena penyakit. Dalam hal ini tampak

bagaimana upaya mereka untuk tidak meninggalkan keduanya, agama dan budaya

sabulungan tersebut – karena keduanya memiliki tuntutan masing-masing yang harus

tetap dipenuhi. Apa yang dikatakan Teu Jablai mungkin bisa memberikan gambaran

mengenai hal tersebut :

Waktu kita pakai alat-alat budaya dalam kegiatan di Gereja, itu

tidak menghina agama Katolik, dan juga tidak menghina budaya

Mentawai. Tapi kalau kita bilang gak usah kita ke gereja, gak

usah-lah kita beragama, di situlah kita bersalah. Sama halnya juga

dalam sabulungan, misalnya kita sedang melakukan puliaijat,

dan kita melanggar pantang, di situlah kita kena. Di Katolik ada

keikeinya (pantangannya), di budaya Mentawai ada juga

keikeinya

Fenomena dalam dunia pariwisata juga memperlihatkan bagaimana orang

Mentawai di Siberut tengah mengalami ambivalensi. Kegiatan-kegiatan seperti membuat

membuat tato, mengadakan tarian tradisional (turuk laggai), mencari ikan di sungai, dan

kehidupan di rumah-rumah ladang dengan busana zaman dulu (menggunakan kabit dan

segala aksesorisnya bagi laki-laki), menjadi konsumsi para wisatawan. Kegiatan yang

sebenarnya sudah bisa ditinggalkan karena masyarakat telah hidup desa-desa dan bekerja

di ladang namun tetap dipertahankan karena dirasa lebih menguntungkan secara finansial.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

99

Masyarakat tersebut telah mengenal teknologi modern: memanfaatkan listrik,

menggunakan telepon genggam, dan memiliki kendaraan bermotor. Namun mereka

berusaha tetap memperlihatkan keaslian budaya dengan cara hidup tradisional karena hal

itu juga bisa mendatangkan penghasilan.

Turuk laggai yang dulunya diadakan dalam pesta-pesta tradisional – seperti

pernikahan atau pendirian uma – sebagai ungkapan syukur dan kebahagiaan, saat ini

selalu diadakan dalam acara penyambutan wisatawan, pejabat pemerintahan atau festival

budaya. Penyambutan dengan turuk laggai menurut Thomas Tatebburuk dan Mikael

Sabbagalet misalnya tidak digunakan sebagai tarian penyambutan pada masa lalu. Akan

tetapi turuk laggai tersebut akan tampak lebih menarik sebagai pertunjukan jika

dilakukan oleh sikerei ‘asli’. Mateus Sakukuret yang telah cukup lama berkecimpung

dalam kegiatan pariwisata dan sanggar budaya menceritakan bagaimana banyak

permintaan menampilkan sikerei dalam turuk laggai. Meskipun tampaknya tarian

tersebut telah menjadi komoditi pariwisata, unsur ‘keasliannya’ tetap dipertahankan

dengan mengadakan ritual-ritual persiapan tertentu seperti misalnya ritual paruak. Ritual

ini umumnya dilakukan oleh sikerei ketika mendatangi tempat yang baru atau berjumpa

dengan sikerei dari daerah lain. Jika tidak diadakan ritual tersebut, sikerei yang

bersangkutan akan mengalami demam, sakit, dan tidak bisa melanjutkan atraksi turuk

laggai yang diharapkan.

Melalui paparan di atas tampak bagaiman situasi ambivalen yang dialami orang

Mentawai di Siberut. Tradisi sabulungan yang kemudian direduksi dalam ungkapan

‘budaya’ Mentawai di satu sisi ingin ditampilkan kembali. Namun di sisi lain, terputusnya

pengetahuan budaya dari generasi pendahulu akibat rangkaian peristiwa diskriminasi di

masa lalu menyebabkan praktik-praktik budaya tersebut dihidupi dengan meraba-raba

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

100

kembali. Hingga saat ini upaya menegaskan kembali identitas budaya orang Mentawai

terus diwarnai dengan situasi ambivalen dan perubahan yang terus dan sedang terjadi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

101

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Program pembangunan pemerintah yang berlangsung pasca kemerdekaan

Indonesia rupanya memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat lokal di daerah-

daerah, termasuk juga di P. Siberut, Mentawai – salah satu kawasan terluar di barat

Indonesia. Semangat merayakan kemerdekaan dengan berdasar pada sila pertama

Pancasila, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam praktiknya sebagaiman tertera dalam

UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 justru dipandang diskriminatif bagi sejumlah penghayat

aliran kepercayaan. Meskipun tercantum dalam konstitusi bahwa negara menjamin

kemerdekaan setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan

kepercayaannya masing-masing, tidak semua bentuk agama dan kepercayaan mendapat

kedudukan yang setara. Pendisiplinan dan penertiban sejumlah agama dan aliran

kepercayaan atas nama menjaga stabilitas negara justru membuat para panghayat tradisi

lokal yang telah ada sebelum kemerdekaan merasa terancam dan termarginalkan.

Pelarangan sabulungan di P. Siberut paska 1954 dengan Rapat Tiga Agama muncul

dalam upaya pemerintah tersebut. Kehadiran agama-agama samawi sebagai agama resmi

negara ditambah program pembangunan yang dicanangkan untuk membangun identitas

tunggal bangsa menjadikan keragaman dan kearifan lokal tersingkir. Fungsi pengawasan

dan penertiban aliran-aliran kepercayaan yang mengancam stabilitas negara justru

menjadi sarana legitim untuk memaksa masyarakat Mentawai di Siberut meninggalkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

102

tradisi sabulungan yang mengandung nilai-nilai budaya orang Mentawai. Bersamaan

dengan itu pula agama-agama resmi negara dipaksa ditawarkan. Memiliki agama – dan

agama tersebut harus merupakan agama yang diakui negara – seolah menjadi tanda

masyarakat yang sudah merdeka dan maju. Kepercayaan lokal yang sarat dengan nilai-

nilai budaya diposisikan sebagai cara hidup kuno, terbelakang, dan oleh karena itu perlu

ditinggalkan dan diganti. Proses pembaruan dan pemberadaban tersebut sayangnya

dilakukan dengan unsur kekerasan dan perilaku intimidatif oleh kalangan polisi sebagai

representasi negara. Hal itu memunculkan perlawanan dari masyarakat lokal.

Bagi kelompok masyarakat Mentawai di Siberut, melakukan perlawanan secara

terbuka dan frontal hanya akan merugikan mereka. Ancaman hukuman penjara dan

kekerasan fisik menjadikan orang Mentawai memilih bentuk perlawanan yang

terselubung. Tindakan protes sambil menghindar menjadi satu-satunya senjata

perlawanan mereka. Tampak di permukaan bahwa orang Mentawai telah meninggalkan

tradisi sabulungan dan menganut agama resmi pemerintah seperti Katolik, Protestan dan

Islam. Dengan menganut agama resmi negara orang Mentawai terbebas dari stigma

sebagai masyarakat penganut animisme yang tertinggal. Namun sejumlah orang dari

generasi tua tidak serta merta melepas dan meninggalkan ritual-ritual budaya masa lalu.

Tradisi yang berakar dari sabulungan ditampilkan kembali sebagai bagian dari budaya

Mentawai. Mereka yang telah beragama Katolik mendapat angin segar dengan konsep

inkulturasi yang ditawarkan Gereja melalui para misionaris yang datang di bumi

Mentawai bertepatan dengan peristiwa pelarangan sabulungan tahun 1954. Dengan

semangat inkulturatif ritual-ritual budaya Mentawai muncul dengan bentuknya yang baru

beriringan dengan hidup beragama yang tidak secara mentah-mentah ditolak. Setelah

berdiri mandiri sebagai daerah yang otonom, pemerintah Kabubaten Kepulauan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

103

Mentawai, dipimpin oleh orang Mentawai. Upaya revitalisasi budaya lokal mulai

diperjuangkan melalui pendidikan dengan memasukkan pelajaran Budaya Mentawai

(Bumen) dalam kurikulum pendidikan dasar. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda

orang Mentawai mengenal nilai-nilai budaya mereka sendiri.

Program pembangunan daerah yang terjadi di Siberut masih terus berlanjut hingga

saat ini. Meskipun tidak ada lagi ancaman untuk mengekspresikan kebebasan

melaksanakan tradisi lokal, upaya menghidupkan kembali identitas budaya Mentawai

masih tetap mengalami kendala. Trauma peristiwa pelarangan sabulungan, masuknya

agama-agama samawi dan terbukanya wilayah Mentawai akan budaya modern,

memperlihatkan gegar budaya dan situasi ambivalensi. Di satu sisi tradisi budaya masa

lalu yang memperlihatkan keselarasan hidup manusia dan alam ingin dipertahankan.

Namun di sisi lain, masuknya pengaruh agama-agama dan budaya modern melalui

pembangunan dan pendidikan turut andil dalam lunturnya tradisi tersebut. Tuntutan

perkembangan zaman dan modernisasi membuat masyarakat Mentawai di Siberut terus

melakukan upaya negosisasi untuk menegaskan kembali identitas budaya mereka.

B. Tanggapan

Menggunakan pendekatan teori James Scott mengenai perlawanan dalam wujud

sehari-hari dan konsep mengenai hidden transcript sangat membantu penulis melihat

peristiwa yang terjadi di Siberut dari sudut pandang yang lain. Konflik ideologi yang

terjadi antara negara dan orang Siberut yang mencoba menghidupi tradisi sabulungan

muncul karena ketimpangan relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat lokal.

Bagi penulis teori Scott memberi sumbangan konseptual untuk melihat pola perlawanan

yang dilakukan secara pasif dan terselubung yang kadang tidak tampak di permukaan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

104

Scott dengan teorinya menegaskan kembali kenyataan perlawanan yang muncul akibat

adanya dominasi. Perasaan diperlakukan secara tidak adil walaupun dialami oleh

sekelompok masyarakat yang tampak lemah karena keterbatasan sekalipun akan memicu

munculnya gerakan protes.

Dalam penelitian mengenai sabulungan – yang biar bagaimanapun tidak akan

muncul lagi dalam bentuknya seperti di masa sebelum hadirnya agama-agama – penting

untuk mendengarkan suara-suara masyarakat setempat dengan lebih teliti. Sebab

perkembangan pembangunan yang terjadi di Siberut meskipun dalam beberapa tahun

terakhir berjalan dengan cukup cepat, masih memperlihatkan adanya perbedaan

pemahaman akan tradisi sabulungan di kalangan orang tua dan generasi muda orang

Mentawai. Mengadakan penelitian di wilayah yang telah ‘maju’ karena makin mudahnya

sarana transportasi akan berbeda dengan situasi yang akan dijumpai di daerah-daerah

pantai barat misalnya. Perbedaan pemahaman akan sabulungan juga akan berbeda di

kalangan orang tua yang seumur hidupnya tinggal di suatu tempat dengan mereka yang

telah mengenyam pendidikan dan bahkan merantau ke wilayah-wilayah lain di luar

Mentawai. Gagasan mengenai semangat menjaga relasi manusia dan alam yang

terkandung dalam tradisi sabulungan bisa menjadi topik kajian yang tetap relevan dan

perlu di kembangkan dalam penelitian-penelitian serupa di masa yang akan datang.

Berkaitan dengan tradisi sabulungan penelitian yang mendalam mengenai peran

sikerei – yang jumlahnya terus menurun saat ini – bisa menjadi topik penelitian yang

menarik dan penting. Sebab dalam sabulungan peran mendasar sikerei tidak tergantikan

sehingga tidak berlebihan jika masyarakat Mentawai mempercayai bahwa sikerei inilah

yang menjadi sumber pengetahuan mengenai sabulungan dan seluruh makna yang

terkandung di dalamnya. Selainitu mengingat bahwa sabulungan menempatkan hutan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

105

sebagai sesuatu yang mendasar, penulis melihat adanya ruang yang masih terbuka lebar

untuk menggali lebih dalam peranan hutan dalam pembentukan filosofi hidup dan

identitas budaya orang Mentawai. Hal ini sangat menarik sebab hampir seluruh kebutuhan

hidup orang Mentawai mampu diperoleh dari hutan, mulai dari bahan mendirikan rumah,

makanan, obat-obatn, perlatan rumah tangga, hingga sarana transportasi seperti sampan.

Bagi penulis kendati penghayatan orang Mentawai di Siberut – yang sering

dipandang sebagai benteng pertahanan budaya Mentawai – terhadap sabulungan berubah

dan praktik-praktik budaya tersebut mulai terkikis, penting untuk mengulas lebih dalam

lagi sumbangan tradisi tersebut terhadap lingkungan hidup. Menjaga relasi yang

seimbang antara manusia dan alamnya yang pada masa lalu sarat dipengaruhi unsur-unsur

supranatural dan kepentingan kelompok tertentu, tetap menjadi sumbangan yang besar

bagi dunia modern saat ini. Filosofi yang terkandung dalam sabulungan yang penting

untuk diingat adalah bahwa manusia sejak semula hadir sebagai ‘pendatang’ di hadapan

alam ini dan bukan merupakan ‘pemilik’ atasnya. Oleh karena itu membangun rasa

hormat dan syukur terhadap alam lingkungan yang telah menyediakan berbagai

kebutuhan bagi kehidupan manusia merupakan semangat yang selalu relevan bagi

kehidupan manusia di jaman modern ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

106

Lampiran 1: Contoh Topik Wawancara

1. Sabulungan dan siklus kehidupan

Pernikahan, kelahiran, kematian, penyakit, musibah/bencana alam.

2. Sabulungan dan alam

Relasi dengan hutan, cara berburu, bercocok tanam, mengambil hasil alam

(hutan/laut), pembagian tanah ulayat, tantangan/ancaman dari luar, perusahaan

kayu

3. Penganut sabulungan

Pemipin upacara, sikerei, perannya, pemilihannya, pantangan, cara hidup,

pengaruh agama pendatang, pengaruh hadirnya pemerintah, siapa yang masih

bertahan, perlakuan dari mereka yang telah menganut agama pendatang, cara

berobat saat sakit, kehadiran dokter dan tenaga medis.

4. Sabulungan dan ritual/punen

Ritual utama, pemimpin, sarana yg diperlukan, lokasi/tempat pelaksanaan, ritual

yang masih dilaksanakan, pengaruh agama pendatang, turuk laggai

5. Mitos/ legenda tentang sabulungan

Cerita dari nenek moyang tentang sabulungan, bagaimana diwariskan, apakah

masih diingat generasi muda

6. Pelarangan atas sabulungan

Motif, latar belakang, kisah yang beredar, bentuk larangan, sosialisasi,cara yang

dilakukan, rapat Tiga Agama, pelaku pelarangan, hukuman, reaksi masyarakat,

periodisasi waktu sampai kapan, kapan paling gencar, lokasi pelarangan,

efeknya saat ini

7. Sabulungan dan agama pendatang

Relasinya dengan agama pendatang, dampak terhadap cara hidup, inkulturasi,

tantangan, cara penyebaran, FKUB

8. Sabulungan dan suku pendatang

Relasi dengan pendatang (sasareu), konflik, pengaruh yang dirasakan, perlakuan

9. Sabulungan dan pemerintah

Pembentukan perkampungan, tanah adat, hutan produksi, hunian tetap dinas

sosial, pendidikan, agama lokal, pelayanan KTP, KK, kolom agama

10. Sabulungan dan pariwisata

Faktor yang menjadi daya tari, pertunjukkan ritual yg mana, gaya hidup, tabu,

tantangan, keuntungan, perkembangannya saat ini, wilayah sering dikunjungi

wisatawan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

107

Lampiran 2: Contoh Panduan Pertanyaan Wawancara

1. Apa yang Anda pahami mengenai sabulungan ?

2. Apakah Anda melihat praktik sabulungan masih ada di Mentawai ?

3. Bagaimana praktik tersebut dilaksanakan?

4. Ritual apa saja yang masih dilaksanakan dan masih memiliki kaitan dengan

kepercayaan sabulungan ?

5. Apakah Anda mengetahui pelarangan sabulungan zaman dulu?

6. Apa pendapat Anda mengenai peristiwa tersebut?

7. Apakah Anda mengetahui (mendengar, membaca) adanya Rapat Tiga Agama tahun

1954?

8. Menurut Anda bagaimana relasi agama-agama dan budaya pendatang dengan

sabulungan ?

9. Bagaimana sabulungan di Siberut saat ini?

10. Di mana letak sabulungan dalam hidup orang Mentawai?

11. Apa perbedaan antara sabulungan dan adat-istiadat di Mentawai?

12. Bagaimana posisi sabulungan dengan agama-agama pendatang?

13. Apakah Anda mengetahui bahwa ada usaha supaya penghayat kepercayaan lokal bisa

dicantumkan dalam kolom agama di KTP?

14. Bagaimana pihak pemerintah memandang sabulungan?

15. Bagaimana sabulungan bisa diwariskan ke generasi orang muda Mentawai?

16. Bagaimana peran sikerei dalam sabulungan ?

17. Bagaimana peran pemerintah daerah terhadap penganut sabulungan?

18. Bagaimana Anda melihat hadirnya pariwisata di daerah yang masih tradisional di

Siberut?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

108

DAFTAR PUSTAKA

Baier, M. 2007. The Development of the Hindu Kaharingan Religion: A New Dayak

Religion in Central Kalimantan. Anthropos, (H. 2), 566-570..

Baier, M. 2014. Agama Hindu Kaharingan Sebagai Nativisme Sesudah Pengaruh

Kristen Menjadi Peristiwa Yang Tak Ada Bangingannya. Jurnal Simpson:

Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 1(2).

Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius.

BPS. 2016. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten

Kepulauan Mentawai.

BPS. 2017. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten

Kepulauan Mentawai.

BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten

Kepulauan Mentawai.

Caisutti, Tonino. 2015. La Cultura Mentawaiana. Terjemahan oleh Abis Fernando.

Japan: Asian Studi Centre.

Corbey, R. 2003. Destroying the graven image: Religious iconoclasm on the Christian

frontier. Anthropology today, 19 (4), 10-14.

Coronese, Stefano. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: PT. Grafidian Jaya.

Darmanto & Abidah B. Setyowati. 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,

Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta: (KPG) Kepustakaan Populer

Gramedia.

Delfi, M. 2012. Sipuisilam dalam selimut arat sabulungan penganut Islam Mentawai di

Siberut. Al-Ulum, 12(1), 1-34.

Geerzt, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

109

Hammons, C.S. 2016. Indigenous Religion, Christianity and the State: Mobility and

Nomadic Metaphysics in Siberut, Western Indonesia. The Asia Pacific

Journal of Anthropology, Vol. 17, No. 5, hlm. 399-418.

Iskandar, N., Suud, A. K., & Si, S. 2017. Penguatan Peran Intelijen Kejaksaan dalam

Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam

Masyarakat (PAKEM) demi Ketertiban dan Ketenteraman Umum. Jakarta:

Miswar.

Juniator, Tulius. 2012. Family Stories. Oral Tradition, Memories of The Past, and

Contemporary Conflict Over Land in Mentawai – Indonesia. Leiden

University.

King, Richard. 2001. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam.

Loeb, Edwin. M. 1929. Mentawei Religious Cult. Dalam University of California

Publications in American Archaeology and Ethnology, Vol.25 No.2,

hlm.185-247. Berkeley: University of California Press.

Mulhadi. 2007. Landasan Yuridis Penghapusan Kepercayaan Tradisional “Arat

Sabulungan” di Mentawai. Medan: Universitas Sumatera Utara.

Persoon, G. 2004. The Position of Indigenous Peoples in Management of Tropical

Forest. Tropenbos International Wageningen.

Persoon, G. A. 2003. Conflicts over trees and waves on Siberut Island. Geografiska

Annaler: Series B, Human Geography, 85(4), 253-264.

Persoon, G. dan Reimar Scefold (ed.). 1985. Pulau Siberut. Jakarta: Penerbit Bhratara

Karya Aksara.

Picard, M. & Madinier, R. (Ed.). 2011. The politics of Religion in Indonesia:

Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. New

York: Routledge.

Picard, M. (Ed.). 2017. The Appropriation of Religion in Southeast Asia and Beyond.

Springer.

Ropi, Ismatu. 2017. Religion And Regulation In Indonesia. Springer.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

110

Rudito, B. 2003. Bebetei Uma. Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi.

Yogyakarta: Penerbit Gading dan Indonesia Center for Sustainable

Development (ICSD).

Schefold, R. 1998. The domestication of culture: Nation-building and ethnic diversity in

Indonesia. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 154(2), 259-280.

Schwartz, S. J., & Unger, J. B. 2010. Biculturalism and context: What is biculturalism,

and when is it adaptive?. Human development, 53(1), 26-32.

Scott, J. C. 1985. Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale

University Press.

Scott, J.C. 1990. Hidden Transcripts: Domination and The Arts of Resistance. Yale

University Press.

Spina, B. 1981. Mitos dan legenda suku Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka.

Stange, P. 1998. Politik Perhatian; Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS

PELANGI AKSARA.

WWF. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan Induk Konservasi. Bogor:

World Wildlife Fund Report.

Sumber dari Internet:

Fadjar, Evieta. (2013, April). Mentawai Memiliki 2 Titik Ombak Terbaik Dunia.

Tempo.co, diambil dari https://travel.tempo.co/read/473309/mentawai-

punya-dua-titik-ombak-terbaik-dunia# Diakses pada 27 September 2017.

https://nasional.kompas.com/read/2017/10/23/15091911/penetapan-presiden-1965-soal-

penodaan-agama-kerap-ditafsirkan-diskriminatif. Diakses pada 14 Maret

2018.

https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/11495511/mk-hak-penganut-

kepercayaan-setara-dengan-pemeluk-6-agama. Diakses pada 14 Maret 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN … · agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku Mentawai memiliki kepercayaan tradisional

111

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916. Diakses

pada 26 September 2017.

Puspita, Ratna. (2018, Maret). Pendapatan Mentawai dari Pariwisata Capai Rp. 7,3

Miliar. Republika.co.id, diambil dari

https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/03/18/p5slc7428-

pendapatan-mentawai-dari-pariwisata-capai-rp-73-mili ar diakses pada 14

September 2018.

https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916. Diakses

pada 26 September 2017.

https://sp2010.bps.go.id. Diakses pada 28 November 2018.

http://www.thejakartapost.com/life/2017/10/11/by-mentawai-for-mentawai-how-

community-driven-education-can-save-a-tribe.html. Diakses pada 12

Oktober 2017.

https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/22/ov38xb428-pembangunan-

infrastruktur-mentawai-mendesak. Diakses pada 30 Nvember 2018.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI