sabulungan dalam tegangan identitas budaya: kajian … · agama-agama samawi telah dikenal di...
TRANSCRIPT
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI
DI SIBERUT SELATAN
TESIS
Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Disusun oleh:
KORNELIUS GLOSSANTO
156322006
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ii
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI
DI SIBERUT SELATAN
TESIS
Diajukan untuk mememenuhi persyaratan mendapat gelar
Magister Humaniora (M.Hum)
di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma
Disusun oleh:
KORNELIUS GLOSSANTO
156322006
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
TESIS
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS
RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Oleh
Kornelius Glossanto
NIM: 156322006
Telah disetujui oleh:
Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.
Pembimbing
..............................................
Tanggal, 17 Desember 2018
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iv
HALAMAN PENGESAHAN
TESIS
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA: KAJIAN ATAS
RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Oleh
KORNELIUS GLOSSANTO
NIM: 156322006
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Tesis
pada tanggal 8 Januari 2019
dan telah dinyatakan memenuhi syarat.
Tim Penguji
Ketua : Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. .................
Sekretaris/Moderator : Dr. G. Budi Subanar, SJ. .................
Anggota : Dr. St. Sunardi ..................
Dr. Y. Devi Ardhiani, M. Hum. ..................
Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D. ...................
Yogyakarta, 18 Januari 2019
Direktur Program Pascasarjana
Dr. G. Budi Subanar, SJ
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
v
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini,
Nama : Kornelius Glossanto
NIM : 156322006
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas : Sanata Dharma
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis:
Judul : Sabulungan dalam Tegangan Identitas Budaya: Kajian atas Religi
Orang Mentawai di Siberut Selatan
Pembimbing : Yustinus Tri Subagya, M.A., Ph.D.
Tanggal diuji : 8 Januari 2019
Adalah benar-benar hasil karya saya.
Di dalam tesis/ karya tulis/ makalah ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan
atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk
rangkaian kalimat atau simbol yang saya aku seolah-oleh sebagai tulisan saya sendiri
tanpa memberi pengakuan kepada penulis aslinya.
Apabila kemudian terbukti bahhwa saya melakukan tindakan menyalin atau meniru
tulisan orang lain seolah-olah hasil pemikiran saya sendiri, saya bersedia menerima sanksi
sesuai dengan peraturan yang berlaku di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, termasuk pencabutan gelar Magister Humaniora
(M. Hum.) yang telah saya peroleh.
Yogyakarta, 8 Januari 2019
Yang memberikan pernyataan
Kornelius Glossanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK
KEPENTINGAN AKADEMIS
Nama : Kornelius Glossanto
NIM : 156322006
Program : Magister Ilmu Religi dan Budaya
Demi keperluan pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada
Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta karya ilmiah yang berujudil:
SABULUNGAN DALAM TEGANGAN IDENTITAS BUDAYA:
KAJIAN ATAS RELIGI ORANG MENTAWAI DI SIBERUT SELATAN
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta hak untuk menyimpan,
mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolahnya dalam bentuk pangkalan data,
mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lainya
demi kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya atau memberikan royalti
kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Dengan demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Dibuat di : Yogyakarta
Pada tanggal : 8 Januari 2019
Yang menyatakan
Kornelius Glossanto
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Sura’ Sabeu kukua ka
Ulaumanua Sipulubeunan,
Tulisan ini saya persembahkan kepada:
Sa’sara’inakku ka sangamberi polak Mentawai,
Keluarga dan para sahabat,
Universitas Sanata Dharma,
Serikat Misionaris Xaverian
dan
Kepada mereka yang selalu berhasrat untuk mengenal yang lain dan
tidak lelah menjadikan kehidupan ini lebih baik.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
viii
ABSTRAK
Berbicara mengenai budaya orang Mentawai tidak bisa dilepaskan dari telaah
mengenai sabulungan. Kepercayaan lokal Mentawai yang mengakui keberadaan dan
pengaruh roh-roh alam tersebut seringkali dilukiskan sebagai landasan keselarasan
manusia dan lingkungannya. Pada tahun 1954 peristiwa Rapat Tiga Agama menjadi
sarana legitimasi tindakan pelarangan sabulungan. Hal tersebut dilatarbelakangi upaya
negara ‘mendisiplinkan’ agama di Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas Sila
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dominasi yang diwarnai tindak diskriminasi dan kekerasan.
itu memunculkan konflik ideologi antara negara dan orang Mentawai di Siberut. Tesis ini
berisikan ulasan mengenai bagaimana dominasi negara atas sebuah kepercayaan lokal di
Siberut memicu timbulnya perlawanan terselubung dari orang Mentawai yang berusaha
menjaga identitas budaya mereka. Model perlawanan tersebut menurut kajian James C.
Scott merupakan ‘senjata orang-orang yang kalah’ menghadapi kelas yang mendominasi
kehidupan mereka. Ritual-ritual tradisi sabulungan ditampilkan kembali sebagai ekspresi
budaya sambil menghidupi keberagamaan sesuai anjuran dan tuntutan pemerintah. Upaya
revitalisasi budaya melalui semangat inkulturatif yang ditawarkan Gereja Katolik dan
penyadaran nilai-nilai budaya melalui pendidikan berjalan namun bukan tanpa halangan.
Makin lunturnya penghayatan akan sabulungan dan nilai budaya di dalamnya serta
perubahan gaya hidup modern menunjukkan gegar budaya dan ambivalensi yang dialami
orang Mentawai di Siberut dewasa ini.
Istilah kunci: sabulungan, perlawanan sehari-hari, identitas budaya, Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ix
ABSTRACT
Talking about the culture of the Mentawai people cannot be separated from the study of
Sabulungan. Mentawai local beliefs that recognize the existence and influence of these
natural spirits are often described as the basis of harmony between humans and their
environment. In 1954 the event of the Three Religion Meeting became a means of
legitimizing the prohibition of sabulungan. This was motivated by the state's efforts to
'discipline' religion in Indonesia as a form of recognition of the One Precept of Godhead.
Domination is characterized by acts of discrimination and violence. It gave rise to
ideological conflicts between the state and the Mentawai people on Siberut. This thesis
contains a review of how the state's dominance of a local belief in Siberut triggered the
emergence of covert resistance from the Mentawai people who tried to maintain their
cultural identity. The resistance model according to James C. Scott's study is "the
weapons of the weak" facing a class that dominates their lives. The rituals of the
Sabulungan tradition are reappeared as cultural expressions while living religion
according to the recommendations and demands of the government. Efforts to revitalize
culture through the inculturative spirit offered by the Catholic Church and awareness of
cultural values through education but not without obstacles. The fading away of
appreciation of sabulungan and cultural values in it and changes in modern lifestyles
show cultural shock and ambivalence experienced by Mentawai people in Siberut today.
Keywords: sabulungan, daily resistance, cultural identity, Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
x
KATA PENGANTAR
Tulisan ini semata-mata bukan merupakan karya ilmiah yang disusun atas
tuntutan studi dan keperluan akademis. Seluruh rangkaian penyusunan tesis ini ibarat
sebuah perjalanan; perjalanan untuk keluar dari diri sendiri dan membuka hati bagi yang
lain. Pengalaman satu setengah tahun hidup bersama konfrater Xaverian di pastoran
Siberut berdampingan dengan para suster ALI dan KSFL dan saudara-saudara di
Mentawai, terutama di Siberut Selatan telah berhasil menggerakkan saya untuk mencintai
dunia baru tersebut. Melihat kembali ke belakang, betapa saya sangat berterima kasih
kepada: Ferdinanda Maria Saurei, Juliasman Satoko, Marinus Satoleuru, dan Albertina
Sakukuret, yang telah membukakan mata dan hati saya akan keunikan bumi sikerei.
Terima kasih keluarga baruku di Siberut, terutama pula kepada anak-anak di asrama St.
Yosef dan St. Theresia Lisieux yang dengan cara kalian telah membuka mulut saya dan
mengajari saya berceloteh dengan bahasa Mentawai.
Selama kesempatan-kesempatan kunjungan selanjtutnya saya juga banyak
dibantu oleh Marinus Satoleuru dan Petrus Marjuni untuk berjumpa dengan para
narasumber. Terima kasih juga atas kesediaan berbagi kisah-kisah kalian: Marinus Saurei,
Elyzius Sakeletuk, Bruno Tatebburuk, Teu Lomoi Samalinggai, Hieronimus Keppa
Salakoppak, Mateus Samalinggai, Yohanes Laidoak Sanambaliu, pasangan Agustinus
Salemurat dan Marianna Saruruk, Pakirek Salakkirat, Marinus Salolosit, Anton
Sagoroujou, Yudas Sabbagalet, Mikael Sabaggalet, Hijon Tasirilotik, Hendrikus Erik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
Saurei, Mateus Sakukuret, Thomas Tatebburuk, Yohanes Salakopak, dan Selester
Sagurujuw. Kisah pengalaman kalian merupakan pemberian tak ternilai bagi saya yang
masih mulai menulis kisahnya sendiri. Sura’ sabeu ku kua ka sarainaku: Siprianus Sokkot
Sagoroujou dan Eujenius Salemurat yang telah banyak membantu menterjemahkan
banyak hal yang masih baru bagi saya dan terutama semangat yang tak lelah dikobarkan
sehingga akhirnya kisah ini bisa dirasakan lebih dekat dan berhasil dituntaskan. Masura’
bagatta ku kua ka tubumui.
Terima kasih pula kepada Yustinus Tri Subagya, dosen dan pembimbing
saya, yang telah dengan sabar meluangkan waktu dan perhatiannya mendampingi saya
yang masih sangat awam dalam penysusunan karya ini. Terima kasih pula kepada para
dosen dan teman-teman di IRB Sanata Dharma atas segala bentuk perhatian dan
sumbangan pengetahuan, pengalaman, dan kisah-kisahnya. Sebagai lulusan ilmu teologi
yang berkutat dengan konsep-konsep mengangkasa, pengalaman belajar bersama kalian
telah berhasil menghempaskan saya kembali untuk tidak lupa berpijak pada bumi
manusia ini dengan segala kompleksitasnya.
Akhirnya kepada ayahanda tercinta Fransiskus Xaverius Tarwoto dan Mas
Lukas Sadhana, banyak terima kasih atas dukungan dan doanya yang tak kunjung putus,
bahkan makin bertambah di saat rasa putus asa sudah menyelimuti perjalanan pendidikan
ini. Kepada seluruh keluarga dan saudara-saudaraku yang selalu menyemangati dan
mendukung dari kejauhan, banyak terima kasih untuk cintanya. Akhirnya kepada Serikat
Xaverian yang telah mempercayakan misi pembelajaran ini kepada saya, yang mengantar
saya mengarungi gugusan pulau-pulau di Mentawai hingga pelosok Nusantara, saya
ucapkan terima kasih tak terhingga. Caritas Christi Urget Nos.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
DAFTAR ISI
JUDUL ................................................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN ....................................................... v
HALAMAN PERNYATAAN PUBLIKASI ...................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN.......................................................................... vii
ABSTRAK ........................................................................................................... viii
ABSTRACT .......................................................................................................... ix
KATA PENGANTAR ......................................................................................... x
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
BAB I : PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tema Penelitian ................................................................................... 3
C. Rumusan Masalah................................................................................ 3
D. Tujuan Penelitian ................................................................................. 4
E. Manfaat Penelitian ............................................................................... 4
F. Kajian Pustaka ..................................................................................... 5
G. Kerangka Teori .................................................................................... 18
H. Metode Penelitian ................................................................................ 27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
I. Sistematika Penulisan .......................................................................... 29
BAB II : KEPULAUAN MENTAWAI, ORANG SIBERUT,
DAN SABULUNGAN ...................................................................... 30
A. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai .............................................. 31
1. Lokasi Geografis .......................................................................... 31
2. Kependudukan ............................................................................. 34
B. Gagasan Mengenai Komunitas Orang Mentawai ................................. 36
1. Mitos Asal-Usul Orang Mentawai ............................................... 39
2. Perjumpaan Orang Mentawai dengan Petualang,
Aparat Kolonial, dan Misionaris ..................................................... 41
C. Sabulungan dan Negara ........................................................................ 46
D. Upaya Pembatasan Sabulungan ........................................................... 50
E. Memudarnya Sabulungan dari Kehidupan Orang Mentawai ............... 56
BAB III : SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN
RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI .............................. 61
A. Sabulungan dan Sikebukat ................................................................... 63
B. Sabulungan dan Pandangan Hidup Simatoi ......................................... 65
1. Kehidupan yang Diidamkan: Hidup Panjang dan
Kematian yang Baik ........................................................................ 66
2. Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan
Relasi dengan Alam ....................................................................... 69
BAB IV : SABULUNGAN, PELARANGAN PEMERINTAH DAN
PERLAWANAN ORANG MENTAWAI....................................... 79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
A. Dominasi Negara dan ‘Pemaksaan’ Agama Resmi ............................. 79
B. Siasat Sikebukat dan Pemerhati Sabulungan ........................................ 85
C. Ekspresi Sabulungan ............................................................................ 91
D. Identitas Budaya: Ambivalensi Orang Mentawai ................................ 96
BAB V : PENUTUP ............................................................................................ 102
A. Kesimpulan........................................................................................... 102
B. Tanggapan ............................................................................................ 104
Lampiran ............................................................................................................... 105
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Sebagai anggota sebuah kongregasi religius misioner dalam Gereja Katolik, selama
masa pendidikan periode tahun 2012-2014, saya mendapat kesempatan untuk berkarya di
sebuah paroki di Siberut. Siberut merupakan satu dari empat pulau utama – dan juga pulau
terbesar – di wilayah Kepulauan Mentawai. Pada tahun 1999 wilayah kepulauan ini
berdiri secara otonom – memisahkan diri dari Kabupaten Padang Pariaman – sebagai
sebuah kabupaten (Kab. Kepulauan Mentawai) dengan ibu kota Tuapeijat dan menjadi
salah satu dari 12 kabupaten di wilayah Provinsi Sumatera Barat. Mayoritas penduduk di
kepulauan ini dikenal sebagai suku Mentawai dan hidup berdampingan dengan para
pendatang yang berasal dari suku Minangkabau, Nias, Batak, Jawa dan Flores.
Dalam sejarah Gereja Katolik, kegiatan misi di wilayah kepulauan Mentawai
dimulai pada tahun 1954 oleh para misionaris dari Serikat Xaverian. Dan hingga saat ini,
agama-agama samawi telah dikenal di hampir seluruh wilayah kepulauan itu. Suku
Mentawai memiliki kepercayaan tradisional yang dikenal dengan istilah sabulungan.
Sabulungan berasal dari dua kata sa = bentuk plural dari sebuah kesatuan dan bulu =
persembahan. Kata sabulungan sendiri merujuk pada kumpulan roh, sehingga tradisi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
sabulungan mengandung unsur keyakinan akan roh-roh yang dihormati dengan berbagai
ritual persembahan (Juniator, 2012: 69).
Selama bertugas di Siberut, penulis mengamati sebagian orang masih mempercayai
bahwa sakit tertentu bisa jadi disebabkan oleh perjumpaan antar roh (simagre). Oleh
karena itu alih-alih pergi berobat ke puskesmas, mereka memilih memanggil sikerei
(tabib tradisional) untuk mengobati orang yang mengalami sakit tertentu. Padahal di kota
kecamatan di Muara Siberut, telah berdiri Puskemas dan Poliklinik yang dikelola oleh
para suster ALI (Assistenti Laiche Internazionali)1. Peristiwa ini menarik bagi penulis,
mengingat mayoritas masyarakat Siberut telah menganut agama Katolik (83,49%) dan
Protestan (14,39%).2 Masih dilibatkannya sikerei dalam pengobatan tidak terlepas dari
tradisi sabulungan yang mempercayai bahwa munculnya penyakit berasal dari pengaruh
kekuatan supranatural.
Banyak dari orang Mentawai di Siberut yang kendati telah menganut salah satu
agama resmi yang ada di sana, seperti Katolik, Protestan maupun Islam, dalam keseharian
tetap memegang pantangan-pantangan atau menjalankan ritual-ritual yang
dilatarbelakangi oleh tradisi sabulungan.3 Namun tidak sedikit juga orang Mentawai yang
sudah tidak mengenal lagi sabulungan sebagai sesuatu yang berkaitan dengan identitas
budaya mereka. Sejarah masa lalu di mana sabulungan dilarang oleh pemerintah,
perubahan gaya hidup, dan pembangunan daerah, menjadikan generasi muda orang
Mentawai mulai tercabut dari akar religiositasnya sendiri. Fenomena inilah yang menarik
bagi saya untuk dikaji lebih dalam. Bagaimana masyarakat Mentawai di P. Siberut
1 ALI atau juga dikenal Institut Sekulir “Mater Amabilis” berdiri pada 11 Oktober 1952 di Milan, Italia.
Permohonan Prefek Apostolik Padang, Mgr. Pasquale de Martino, atas tenaga biarawati yang berkarya
di bidang medis menjadi latar belakang pembentukan institut tersebut. 2 Data Sensus Penduduk 2010 - Badan Pusat Statistik. 3 Lih. Juniator, 2012. Hlm. 69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
bersiasat untuk menjaga nilai-nilai religi budaya yang terkandung dalam sabulungan
berhadapan dengan dominasi negara, pewarta agama serta masuknya budaya modern.
1.2. TEMA PENELITIAN
Sabulungan merupakan kepercayaan tradisional orang Mentawai. Orang Mentawai
pada awalnya tidak memiliki istilah tertentu untuk menyebut sistem kepercayaan mereka
atau ‘agama’. Pasca kemerdekaan Indonesia melalui Rapat Tiga Agama4, tahun 1954
keberadaan sabulungan dilarang. Namun selama perjalanan waktu, pengaruh larangan
tersebut mulai memudar dan membuat orang Mentawai saat ini memiliki pandangan dan
sikap yang berbeda atas kepercayaan lokal tersebut. Sebagian dari mereka masih
memandang sabulungan sebagai sumber identitas budaya Mentawai dan mencoba
mempertahankannya. Sebagian lagi berada dalam situasi ambivalen antara hendak
melupakan dan meninggalkan tradisi tersebut atau menghidupinya dengan cara baru.
1.3. RUMUSAN MASALAH
1. Mengapa negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskan sabulungan?
Kapan dan dengan cara bagaimana usaha penghapusan itu berlangsung?
2. Bagaimana pandangan orang Mentawai saat ini tentang sabulungan dan ritus-
ritusnya dalam kehidupan sehari-hari?
3. Bagaimana siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana
posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini?
4 Coronesse mencatat perwakilan Rapat Tiga Agama ini merujuk pada Islam, Protestan, dan Arat
Sabulungan (Coronesse, 1986:38).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
1.4. TUJUAN PENELITIAN
Melalui rumusan persoalan di atas penulis mencoba menggali data di lapangan dan
sejumlah literatur mengenai dominasi negara, pengaruh agama-agama samawi,
perubahan pola hidup terhadap religi orang Mentawai yang terkandung dalam
kepercayaan sabulungan. Hal itu bertujuan untuk mengungkap beberapa poin di bawah
ini:
1. Untuk mengetahui alasan, waktu pelaksanaan dan cara-cara yang dilakukan
negara dalam usaha menghapuskan sabulungan.
2. Untuk menganalisa bagaimana sabulungan dan ritus-situsnya dipandang dalam
kehidupan sehari-hari oleh masyarakat Mentawai dewasa ini.
3. Untuk melihat siasat orang Mentawai mempertahankan sabulungan dan di mana
posisi sabulungan dalam pandangan orang Mentawai saat ini.
1.5. MANFAAT PENELITIAN
Penelitian ini berguna untuk melihat bagaimana dominasi negara terhadap
kepercayaan lokal – seperti yang tampak dalam pelarangan sabulungan – terjadi di
lapangan. Selain itu dari hasil penelitian ini bisa juga dilihat bagaimana orang Mentawai
di Siberut Selatan mempertahankan dan menghidupi religiositas mereka di tengah
pengaruh pembangunan, kehadiran agama-agama samawi, serta perubahan pola
kehidupan. Informasi ini akan sangat berguna untuk melihat sejarah perubahan identitas
budaya dan religi orang Mentawai serta mengungkap faktor-faktor apa saja yang turut
mempengaruhinya pada masa kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
1.6. KAJIAN PUSTAKA
Dalam bagian ini akan diuraikan dua pokok pemikiran mengenai konsep agama dan
relasi kepercayaan lokal dengan agama-agama resmi pemerintah. Pertama akan kita lihat
bagaimana konsep agama dikonstruksi di Indonesia. Selanjutnya pada bagian kedua akan
diulas secara singkat bagaimana kepercayaan-kepercayaan lokal berhadapan dengan
agama-agama ‘resmi’ di Indonesia dan sejarah perkembangannya hingga saat ini.
1. Konsep Agama di Indonesia
Richard King dalam bagian kedua bukunya Agama, Orientalisme dan
Poskolonialisme (2001) menjelaskan bagaimana sejarah terjadinya pergeseran makna
‘agama’. Ia merujuk pada konsep Cicero di masa pra-Kristen yang mengatakan akar kata
‘agama’ (religion) adalah bahasa Latin religio. Kata religio memiliki kaitan dengan kata
religere yang berarti ‘melacak kembali’ atau ‘membaca ulang’. Cicero dengan alur
pemikiran tersebut ingin memperlihatkan bahwa konsep ‘agama’ pada dasarnya berkaitan
erat dengan usaha menghadirkan kembali adat dan ritual dari nenek moyang atau leluhur
sebuah kelompok (King 2001: 68). Dalam pandangan ini ‘agama’ mengacu pada konsep
yang lebih luas dan memungkinkan dinamika kehidupan yang pluralistik. Karena jelas
dengan adanya beragam tradisi dan budaya di dunia, dimungkinkan juga muncul beragam
‘agama’. Dari konsep ini semua bentuk kepercayaan dan tradisi budaya lokal suku-suku
di Indonesia – seperti Kaharingan, Merapu, Parmalim, Sabulungan – bisa dikategorikan
sebagai agama. Namun rupanya sejarah memperlihatkan alur yang beragam.
Pada abad ke-3 ditemukan karya seorang penulis Kristen, Lactantius, yang menolak
konsep ‘agama’ Cicero. Lactantius berpendapat bahwa kata religio berasal dari kata Latin
re dan ligare yang berarti mengikat atau berhubungan. Dalam pemikirannya ini
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Lactantius memperlihatkan bahwa religio merupakan hubungan atau ikatan antara Yang
Ilahi dan manusia. Ia juga kemudian mempertentangkan antara kelompok yang
menyembah dewa-dewa dan mereka yang percaya kepada Tuhan sebagai entitas yang
tunggal, sebagai sumber kebenaran. Hal ini mengakibatkan berakhirnya kehidupan yang
pluralistik karena pergeseran makna ‘agama’ dari pemikiran Cicero kepada pandangan
Lactantius menyebabkan pula ketidaksetaraan antara kelompok-kelompok yang ada.
Dalam hal ini Kekristenan menempatkan diri sebagai pemegang kebenaran karena konsep
monoteisnya dan memandang kelompok-kelompok penyembah dewa-dewa dan tradisi
nenek moyang sebagai orang yang terbelakang atau kaum pagan yang masih percaya pada
takhayul. King menyimpulkan bahwa perubahan makna semantik sebagaimana
dijelaskan Lactantius menyebabkan perubahan seluruh konsep mengenai ‘agama’.
Sehingga diskusi-diskusi mengenai istilah ‘agama’ atau religio pada masa modern hingga
saat ini cenderung mengacu pada pemikiran Lactantius, di mana ‘agama’ dikonstruksikan
dalam paradigma Kekristenan yang secara eksklusif menitikberatkan konsep-konsep
keyakinan teistik – baik dalam wujud mono- , poli-, heno-, atau pan- teistik. Selain itu
muncul pula konsep dualisme antara dimensi Ilahi dan dimensi manusiawi serta konsep
dunia yang suci atau transenden di mana manusia mengikatkan diri (religare) kepadanya.
Dengan demikian menurut King, konsep ‘agama’ merupakan konstruksi sosio-kultural
yang khas dengan genealoginya sendiri yang khas juga (King, 2001: 71-76).
Berbeda dari Lactantius dan Cicero, Clifford Geertz memiliki definisi tersendiri
mengenai agama. Ia pertama-tama melihat agama sebagai sebuah sistem simbol.
Demikian definisi Geertz atas agama (Geertz, 1992: 5):
“... (1) sebuah sistem simbol yang berlaku untuk (2) menetapkan
suasana hati dan motivasi-motivasi yang kuat, yang meresapi,
dan yang tahan dalam diri manusia dengan (3) merumuskan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
konsep-konsep mengenai suatu tatatan umum eksistensi dan (4)
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran
faktualitas, sehingga (5) suasana hati dan motivasi-motivasi itu
tampak khas dan realistis.”
Pernyataan Geertz tentang agama yang demikian ini jelas memberikan ‘konsep agama’
ruang lingkup yang sangat luas. Baik agama-agama besar dunia seperti Hinduisme,
Kekristenan, Yahudi maupun Islam hingga kepercayaan-kepercayaan tradisional sebuah
suku tertentu termasuk dalam definisi tentang agama itu.
Menurut Geertz dalam kacamata antropologi sebuah agama menjadi penting karena
berfungsi sebagai sumber konsep atau gagasan yang umum dan jelas – mengenai dunia
kehidupan, mengenai pribadi manusia, dan juga bagaimana relasi antara keduanya itu –
bagi pribadi-pribadi tertentu maupun juga bagi sebuah kelompok masyarakat (Geertz,
1992: 46). Fungsi yang demikian dapat dengan mudah ditemui juga dalam sistem
kepercayaan lokal yang ada di Indonesia. Masing-masing kepercayaan tersebut dengan
jelas dan sistematis memperlihatkan bagaimana pola relasi antara manusia dan alam
kehidupannya. Dengan demikian jika menggunakan sudut pandang antropologis seperti
diuraikan oleh Geertz, sistem kepercayaan lokal yang begitu banyak di Indonesia juga
bisa dikategorikan sebagai agama.
Kata ‘agama’ dalam bahasa Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai:
“sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan (dewa dsb) dengan ajaran kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.” (KBBI edisi ke-2, cetakan
ke-4, 1995). Namun jika dilihat dalam sejarah, kata ‘agama’ yang kita kenal saat ini telah
mengalami rangkaian proses pemaknaan yang panjang. Dalam sejarah bangsa Indonesia
seringkali diceritakan kisah mengenai kedatangan bangsa-bangsa lain ke bumi Nusantara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
ini untuk berdagang. Kehadiran para penjelajah samudera dan pedagang ini lah yang
memperkenalkan bentuk baru religiositas. Pada masa itu pengaruh Hinduisme dan
Budhisme mulai tersebar sehingga memunculkan kerajaan-kerajaan Hindu dan Budha.
Kemunculan kerajaan-kerajaan tersebut memberikan gambaran bagaimana ‘agama’ telah
menjadi sumber legitimasi politis dan status sosial. Pada masa itu menjadi ber-‘agama’
pertama-tama berarti menjadi modern, berkuasa, dan sejahtera (Ropi, 2017: 44).
Di Indonesia kata ‘agama’ diterima begitu saja secara umum untuk
menterjemahkan kata ‘religion’. Padahal secara semantik kata ‘agama’ memiliki makna
yang lebih sempit dari kata ‘religi’ – yang juga diadopsi dalam bahasa Indonesia dari
bahasa Belanda ‘religie’. Kata ‘agama’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yang
memiliki makna harafiah ‘abadi’ dan membawa gagasan mengenai pewahyuan
(revelation). Menurut Michael Picard (2011), hal ini yang menjadikan konsep mengenai
agama di Indonesia menjadi unik. Menurutnya kata ‘agama’ merupakan paduan unik:
sebuah kata Sansekerta yang mengandung pandangan Kekristenan mengenai apa yang
disebut sebagai agama dunia dengan pemahaman Islam tentang apa yang didefinisikan
sebagai agama yang tepat. Agama yang tepat dalam pandangan itu mengandung unsur-
unsur seperti: sebuah wahyu Ilahi yang direkam dalam kitab suci oleh para nabi utusan,
sistem peraturan bagi pemeluknya, upacara pujian bagi umat, dan pengakuan atau
keyakinan akan Tuhan yang Esa (Picard, 2011:3, 2017: 25). Unsur Tuhan, Nabi, dan
Kitab suci menjadi elemen utama sebuah agama (Ropi, 2017:119). Kategori-kategori
tersebut kemudian digunakan oleh Departemen Agama sebagai syarat sebuah ‘agama’ di
Indonesia. Rupanya syarat-syarat ini-lah yang kemudian diusulkan oleh Departemen
Agama pada tahun 1952 sebagai kategori resmi untuk melihat apakah sebuah
kepercayaan masyarakat lokal bisa dianggap sebagai agama yang sah atau tidak.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia para tokoh kemerdekaan sepakat
bahwa agama merupakan elemen yang penting bagi negara (Ropi, 2017:57). Namun
dalam perkembangannya sejak kemerdekaan Indonesia pada 1945 terdapat sedikit
perubahan mengenai kedudukan agama dalam Undang-Undang Dasar. Tabel berikut
memperlihatkan bagaimana kedudukan agama dalam konstitusi 1945, konstitusi 1949 dan
konstitusi 1950:
Konstitusi 1945 Konstitusi 19495 Konstitusi 19506
Pasal 29
(1) Negara berdasar atas
Ketuhanan Yang Maha Esa.
(2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya
itu.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas
kebebasan pikiran keinsjafan
batin dan agama; hak ini
meliputi pula kebebasan
bertukar agama atau kejakinan,
begitu pula kebebasan
menganut agamanja atau
kejakinannja, baik sendiri
maupun bersama-sama dengan
orang lain, baik dimuka umum
maupun dalam lingkungannja
sendiri dengan djalan
mengadjarkan, mengamalkan,
beribadat, mentaati perintah dan
aturan-aturan agama, serta
dengan djalan mendidik anak-
anak dalam iman dan kejakinan
orang
tua mereka.
Pasal 41
(1) Penguasa memberi
perlindungan jang sama kepada
segala perkumpulan dan
persekutuan
agama jang diakui.
(2) Penguasa mengawasi supaja
segala persekutuan dan
perkumpulan agama patuh-taat
kepada
Undang-undang, termasuk
aturan-aturan hukum jang tak
tertulis.
Pasal 18
Setiap orang berhak atas
kebebasan agama, keinsyafan
batin dan pikiran.
Pasal 43
1. Negara berdasar atas Ke-
Tuhanan Yang Maha Esa.
2. Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan
untuk beribadat menurut
agamanya dan
kepercayaannya itu.
3. Penguasa memberi
perlindungan yang sama kepada
segala perkumpulan
dan persekutuan agama yang
diakui. Pemberian sokongan
berupa apapun oleh penguasa
kepada penjabatpenjabat agama
dan persekutuan-persekutuan
atau perkumpulan-perkumpulan
agama dilakukan atas dasar
sama hak.
4. Penguasa mengawasi supaya
segala persekutuan dan
perkumpulan agama
patuh-taat kepada undang-
undang termasuk aturan-aturan
hukum yang tak tertulis.
5 Konstitusi Republik Indonesia Serikat sebagaimana diputuskan dalam Keppres Nomor 48 Tahun 1950 6 Undang-Undang Republik Indonesia Serikat Nomor 7 Tahun 1950
Tabel 1. Perbandingan pernyataan pengakuan atas agama dalam konstitusi 1945, 1949, dan 1950.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Meskipun terdapat sejumlah perubahan yang terjadi dalam kebijakan negara atas agama
di Indonesia, dalam ketiga model konstitusi negara tidak tercantum agama apa saja yang
dimaksud. Dan walaupun tampak bahwa kebebasan beragama dan menganut kepercayaan
warga negara dijamin oleh pemerintah, dalam praktiknya wujud jaminan dan pengakuan
kebebasan beragama tersebut masih terus mengalami perubahan yang panjang. Baru
dalam TAPPRES NO.1/PNPS/Tahun 1965 pemerintah secara eksplisit menyatakan 6
agama: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Khong Hu Cu – sebagai agama yang
dipeluk oleh orang Indonesia dan yang muncul dalam sejarah perkembangan agama-
agama di Nusantara. Pada masa Orde Baru berdasar Tap MPR No.4 Tahun 1978, secara
tertulis kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dipandang berbeda dengan agama.
Selanjutnya keberadaan aliran kepercayaan tradisional atau agama-agama lokal tidak lagi
berada dalam wewenang Departemen Agama melainkan dipercayakan kepada
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Budaya kemudian
membentuk direktorat baru yakni Direktorat Pembinaan Kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa dan Tradisi (Picard, 2011:15). Kemunculan Tap MPR No.4 Tahun 1978
menjadi awal mula peraturan pemerintah yang mewajibkan pengisian kolom agama
dalam pembuatan KTP. Dampaknya banyak penganut agama lokal yang harus
menghadapi pilihan antara mengkonversi keyakinan mereka pada agama-agama yang
diakui oleh pemerintah, atau berjuang dan berafiliasi dengan salah satu agama resmi
tersebut.
Aliran-aliran kepercayaan tradisional yang telah ada di Nusantara jauh sebelum
kemerdekaan akibatnya harus menerima nasib diwacanakan sebagai sesuatu yang kuno,
asing, dan penghalang terbentuknya masyarakat yang merdeka dan modern. Padahal
melalui sistem kepercayaan tradisional tersebut terangkum identitas budaya yang telah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
diwariskan dan mewarnai kehidupan suku turun-temurun. Para penganut aliran
kepercayaan dalam rezim pemerintahan Orde Baru disamakan statusnya sebagai orang
yang ‘belum beragama’ dan kelompok ini juga belum diakui sebagai warga negara
seutuhnya. Mereka dipandang oleh pemerintah sebagai kelompok yang perlu
‘diberadabkan’ (Ropi, 2017:155). Untuk itu masyarakat dalam kelompok ini harus
menganut salah satu dari enam agama yang diakui oleh pemerintah sehingga agar bisa
memperoleh pengakuan dan pelayanan dari pemerintah sebagai warga negara dan bagian
dari kelompok masyarakat modern.
Sejarah pembentukan konsep agama di Indonesia dan penerapannya dalam
kebijakan negara telah memunculkan apa yang dikenal dengan politik rekognisi. Hal ini
mengacu pada upaya kelompok mayoritas yang berkuasa untuk menggunakan agama
sebagai alat legitimasi kekuasaan untuk mengontrol kelompok minoritas, yang dalam
kasus di atas merupakan para penghayat aliran kepercayaan.
2. Agama Lokal vs Agama ‘Resmi’
Sebelum tahun 1950an sistem kepercayaan tradisional orang Mentawai dikenal
dengan nama sabulungan. Baru setelah kemerdekaan di tahun 1950an itu, pemerintah dan
para misionaris menambahkan kata arat untuk menyebut sistem kepercayaan lokal
tersebut sebagai agama. Sebenarnya kata arat merupakan adaptasi dari kata dalam bahasa
Indonesia ‘adat’ (custom). Sebelum kata arat digunakan, orang Mentawai menggunakan
kata punen yang berarti ‘kegiatan’ (activity) baru dalam perjalanan waktu kata ini berubah
menjadi arat. Kata arat sendiri memiliki makna yang lebih luas. Ia bisa berarti peraturan-
peraturan, norma-norma, adat maupun kebiasaan-kebiasaan (Juniator, 2012: 68).
Kehadiran agama-agama dari luar dan peristiwa yang dikenal dengan Rapat Tiga
Agama pada tahun 1954 membawa pengaruh yang besar bagi para penganut sabulungan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Rapat Tiga Agama sendiri muncul dengan latar belakang program pemerintah pasca
kemerdekaan yang bertujuan untuk menyatukan suku-suku dari seluruh nusantara dalam
kelompok sosial dan budaya utama yang bersifat nasional (Persoon 2004: 23; Mulhadi
2007: 20-21; Juniator 2012:72). Mulhadi menulis bahwa pelarangan sabulungan oleh
pemerintah pada 1954 bukan karena kepercayaan tersebut mengandung unsur ajaran
sesat atau juga bukan merupakan sempalan dari agama-agama resmi yang diakui negara.
Kepercayaan tradisional suku Mentawai itu dilarang karena ketakutan pemerintah yang
memandang sistem kepercayaan itu berpotensi mengancam kestabilan Negara Kesatuan
(Mulhadi, 2007:14). Kekhawatiran pemerintah ini kemudian dipertegas dengan
dikeluarkannya UU No.1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau
Penodaan Agama. Menurut Komisioner Komnas HAM, Imdadun Rahmat, UU tersebut
lahir dari keinginan pemerintah Soekarno dalam usaha membendung ateisme dan
beragam upaya merekayasa bentuk aliran-aliran baru yang kehadirannya bisa merusak
agama-agama yang telah ada7.
Dengan pelarangan atas sabulungan serta praktik-praktiknya, pemerintah daerah
Sumatera Barat bersama dengan aparat melarang segala bentuk praktik yang berkaitan
dengan kepercayaan lokal tersebut bahkan juga membakar dan memusnahkan benda-
benda yang berhubungan dengannya. Masyarakat suku Mentawai diminta untuk beralih
kepada agama-agama resmi yang kala itu diakui pemerintah Indonesia, yakni Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, dan Budha. Sabulungan diidentikkan dengan kepercayaan
masyarakat ‘primitif’ dan dengan demikian oleh pemerintah bisa dilenyapkan sehingga
7 https://nasional.kompas.com/read/2017/10/23/15091911/penetapan-presiden-1965-soal-penodaan-
agama-kerap-ditafsirkan-diskriminatif. Diakses pada 14 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
budaya modern – masyarakat yang merdeka, diakuinya pemerintahan sentralistik, serta
penghayatan atas agama resmi – bisa diterima (Juniator 2012:73).
Program ‘pendisiplinan’ agama-agama tradisional di Indonesia itu berlangsung
selama periode 1950an – 1967 di masa pemerintahan Soekarno dan berlanjut hingga era
kepemimpinan Soeharto (1967-1998). Tappres No. 1 tahun 1965 yang menjadi landasan
pengaturan agama-agama di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno bertujuan
mencegah terjadinya konflik dan kekerasan yang diakibatkan oleh pencemaran agama
yang beragam di Indonesia. Dengan begitu banyaknya etnis dan aliran kepercayaan,
pencemaran agama bisa memecah belah bangsa dan mempengaruhi stabilitas nasional.
Di masa Orde Baru, pemerintahan Soeharto menjadikan peraturan tersebut sebagai sarana
politis untuk melawan ideologi komunis dengan memanfaatkan sentimen anti PKI pasca
peristiwa 30 September. Keberadaan orang-orang yang tidak beragama yang diidentikkan
dengan komunisme menjadi ancaman bangsa. Komunisme bukan saja ditolak tetapi juga
dipertentangkan dengan jati diri bangsa dengan menggunakan landasan agama (Ropi,
2017: 132). Di kepulauan Mentawai sendiri proses itu terjadi pula. Pulau-pulau yang
berada di selatan, P. Pagai dan P. Sipora mengalami dampak yang paling kentara.
Sedangkan di P. Siberut sekelompok orang Mentawai memilih menetap di bagian hulu
sungai dan pedalaman untuk menghindari pengaruh pemerintah (Juniator 2012: 73-74;
Hammons 2016: 407). Untuk itulah hingga saat ini jejak-jejak tradisi sabulungan masih
bisa ditemukan di wilayah P. Siberut.
C.S. Hammons menuliskan bahwa pada periode tahun 1980-1990an, banyak
penduduk di desa-desa di Siberut menganut agama Kristen (Protestan atau Katolik).
Namun demikian di desa-desa hulu, yang terletak jauh dari garis pantai, mereka memilih
untuk memegang sabulungan sebagai ‘adat’ (custom) dan menganut Katolik, Protestan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
atau Islam sebagai ‘agama’ (religion) (Hammons 2016:407). Inilah yang disebut oleh
Coronesse sebagai sistem ‘bikultural’. Ia berpandangan bahwa tidak mungkin pertemuan
Tiga Agama tahun 1954 dan peristiwa pelarangan atas kepercayaan tradisional itu
sesudahnya bisa serta merta menjadikan masyarakat suku Mentawai beralih kepercayaan.
Sabulungan menurut Coronesse belum terkikis habis di hati orang Mentawai. Ia menulis:
Pada hakikatnya Arat Sabulungan belum terkikis habis di lubuk
hati orang Mentawai, yang menjalankan upacara Arat dengan
sembunyi-sembunyi. Hal mana dapat dibuktikan dalam laporan
yang tercantum:
- Larangan Pemerintah tentang Arat pada lahirnya
dipatuhi, namun secara diam-diam, kegiatan Arat
Sabulungan dijalankan juga.
- Agama yang baru dipeluk sama sekali belum lagi
merasuk ke hati dan tradisi tua yang telah
membudaya sangat susah lenyap.
- Kepercayaan terhadap obat sikerei, lebih ampuh dan
manjur ketimbang obat-obatan modern dan
Puskesmas.
- Payah sekali mencari suatu metoda untuk
meyakinkan pengikut-pengikut arat sabulungan.
(Surat Keputusan Pimpinan Proyek Penerangan,
Bimbingan Dakwah/Khutbah Agama Katolik tentang
pengangkatan tenaga-tenaga team operasional
penerangan agama Katolik daerah No.056/
Kep.19/1974-75.)
Oleh sebab itu corak keagamaan di Mentawai disebut Bikultural;
bersama-sama (dengan) agama resmi, hidup dengan diam-diam
agama asli yang digolongkan ke dalam aliran kebatinan
(Coronesse, 1986:39).
Konsep mengenai bikulturalisme sendiri memiliki cakupan yang cukup luas.
Secara umum bikulturalisme mengacu pada gagasan mengenai rasa nyaman dan
kemahiran seseorang menghidupi budaya warisannya bersamaan dengan budaya di
negara atau wilayah di mana ia berada (SJ. Schwartz, 2010: 26). Dalam pandangan
tersebut seseorang yang fasih berbicara baik bahasa Jawa dan Batak umpamanya, atau
orang Jawa yang berteman dengan baik orang Sunda maupun orang Mentawai,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
merupakan contoh bikulturalisme. Akan tetapi secara lebih dalam, sebagaimana ditulis
oleh Schwartz, bikulturalisme meliputi juga penyatuan nilai-nilai warisan budaya
tertentu dengan arus budaya lain menjadi sebuah perpaduan yang unik dan bersifat
personal. Dalam pandangan terebut situasi yang dialami orang Mentawai – menghidupi
sabulungan sebagai warisan budaya dan menganut agama Katolik dan Protestan
sebagaimana dituntut pemerintah – merupakan wujud bikulturalisme. Berbeda dengan
sinkretisme – di mana terjadi perbaduan dan perpaduan unsur-unsur agama dan aliran-
aliran kepercayaan sehingga muncul bentuk baru yang abstrak demi mencari keserasian
– dalam bikulturalisme tidak diperoleh bentuk baru budaya yang tunggal. Masing-masing
unsur budaya yang dihidupi secara bersamaan tetap berdiri mandiri. Hammons (2016:
404-405) mencatat pula bahwa saat ini banyak dijumpai masyarakat Suku Mentawai
yang tetap mempraktikkan kepercayaan lokal sabulungan dan juga memeluk salah satu
agama yang ada; Protestan, Katolik atau Islam. Hal itu merupakan sesuatu yang wajar.
Menjadi tidak wajar justru mereka yang tidak menganut agama resmi dan hanya
mempraktikkan agama lokal saja. Karena dalam pandangan mereka, tidak memeluk
agama resmi yang diakui negara berarti anti-negara.
Selain peristiwa pelarangan atas sabulungan di Mentawai, kepercayaan lokal
masyarakat suku Ngaju, Kaharingan, di Kalimantan Tengah juga mengalami hal yang
serupa. Nama Kaharingan berarti: membangkitkan hidup, membuat hidup (Baier 2007:
567, Baier 2014: 172). Kaharingan sendiri sebenarnya merupakan salah satu sistem
kepercayaan lokal yang ada di Kalimantan. Seperti juga Arat Sabulungan, para penganut
Kaharingan memiliki keyakinan atas roh-roh. Roh-roh itu bisa merupakan roh leluhur
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
ataupun roh-roh lain yang berada di sekitar mereka. Mereka juga percaya bahwa segala
benda dan tumbuhan yang ada memiliki jiwa dan mampu merasa seperti halnya manusia.8
Jika sabulungan dilarang keberadaanya oleh pemerintah pada 1954, Kaharingan di
Kalimantan memiliki sejarah yang berbeda. Para penganut Kaharingan berusaha
memperjuangkan sistem kepercayaan mereka untuk bisa diterima sebagai agama resmi.
Sebagai salah satu cara agar Kaharingan sejalan dengan butir pertama Pancasila – di mana
negara menjunjung Ketuhanan Yang Maha Esa – pada tahun 1953 Kaharingan
menyatakan bahwa mereka mengakui pula Tuhan yang Esa yakni apa yang mereka sebut
Ranying Hatalla Langit. Ia adalah Yang Mahakuasa sumber kehidupan dan juga
penghancur. Teologi yang dianut oleh Kaharingan juga menyerupai Trimurti pada agama
Hindu (Baier 2007: 565-566).
Perjuangan para penganut Kaharingan memperoleh pengakuan sebagai pemeluk
agama resmi negara masih harus menempuh proses yang panjang. Di Indonesia sebuah
aliran kepercayaan dianggap sebagai ‘agama’ jika memiliki unusr-unsur mendasar
seperti: 1) mangandung kepercayaan akan Tuhan yang Esa, 2) memiliki kitab suci, 3)
tempat ibadat, serta 4) hari-hari raya keagamaan9. Untuk memenuhi kriteria tersebut
penganut Kaharingan mengadaptasi kembali mitos penciptaan suku Ngaju dan
menjadikannya sebagai kitab suci dengan sebutan ‘Panaturan Tamparan Taluh
Handiai’.10 Setelah masa tahun 1970-an mereka menyebut tempat ibadat agama
Kaharingan dengan istilah Balai Basarah. Dan barulah pada tahun 1980 pemerintah
secara resmi mengakui Kaharingan, bukan sebagai agama resmi yang berdiri otonom,
8 Lih. Khalikin, A. 2016. Studi Agama Kaharingan pada Era Reformasi di Kalimantan
Tengah. Harmoni, 10(1), Hlm. 189-206. 9 Bdk. Iskandar, N., Suud, A. K., & Si, S. 2017. Penguatan Peran Intelijen Kejaksaan dalam Pengawasan
Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam Masyarakat (PAKEM) demi Ketertiban dan
Ketenteraman Umum. Jakarta: Miswar. Hlm. 27. 10 Awal Mula. Sumber Segala Sesuatu. (The Origins. The Source of All Being)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
melainkan sebagai bagian dari agama Hindu. Oleh karena itu sistem kepercayaan ini
dikenal dengan sebutan agama Hindu Kaharingan (Baier 2007: 566-568).
Ada begitu banyak contoh kisah para penganut ‘agama lokal’ dan aliran
kepercayaan tradisional yang ada di Indonesia berhadapan dengan kebijakan pemerintah
pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sebagian dari penganut agama-agama lokal
tersebut harus rela meninggalkan ajaran para leluhur dan beralih memeluk agama resmi
negara. Sebagian yang lain memilih untuk memperjuangkan keyakinan tradisional
mereka sehingga bisa diakui negara atau setidaknya menggabungkan diri pada salah satu
agama resmi negara sebagaimana dilakukan oleh pemeluk Kaharingan di Kalimantan.
Kini keberadaan aliran kepercayaan seperti mendapat angin segar. Pada 7
November 2017, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan uji materi atas
Undang-Undang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk). Permohonan uji materi
tersebut dilayangkan oleh beberapa perwakilan kelompok penganut kepercayaan di
Indonesia. Mereka datang dari Komunitas Merapu di P. Sumba, penganut kepercayaan
Parmalim di Sumatera Utara, penganut kepercayaan Ugamo Bangsa Batak di Sumatera
Utara, serta perwakilan dari penganut kepercayaan Sapto Darmo di Jawa. Bagian yang
diuji dalam sidang MK itu adalah pasal 61 ayat (1) dan (2) serta pasal 64 ayat (1) dan (5)
dari UU No.23 tahun 2006 juncto UU No.24 tahun 2013. Hasilnya, ketua MK Arif
Hidayat menyatakan bahwa kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 bertentangan dengan UUD 1945
dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
termasuk aliran kepercayaan.11 Melalui putusan itu kini para penganut agama lokal atau
aliran kepercayaan bisa mencantumkan status kepercayaan mereka pada kolom Kartu
Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Hal ini merupakan babak baru dalam
sejarah perjuangan pengakuan atas agama dan kepercayaan lokal yang ada di Indonesia.
G. KERANGKA TEORI
Dalam tesis ini penulis mencoba melihat fenomena peminggiran dan perlawanan
yang dialami orang Mentawai di Siberut dalam kehidupan sehari-hari dengan pendekatan
James Scott (1985). Scott memaparkan hasil penelitian lapangannya selama 2 tahun
(1978-1980) terhadap kaum petani di sebuah desa kecil yang dinamainya Sedaka (bukan
nama sebenarnya) di wilayah Kedah, barat laut Malaysia. Fokus perhatiannya tertuju pada
perjuangan ideologis kaum petani yang menghasilkan perlawanan terhadap kelompok
yang mengeksploitasi mereka dengan latar belakang revolusi hijau yang terjadi pada masa
itu. Dari model pendekatan Scott, penulis mencoba mengambil salah satu poin pemikiran
penting untuk menganalisis hasil penelitian dalam tesis ini. Buah pemikiran Scott yang
penulis gunakan adalah konsepnya mengenai ‘perlawanan dalam wujud keseharian’
(everyday forms of resistance).
1. Perlawanan dalam Wujud Keseharian
Scott (1985: xvi) melihat bahwa kemunculan kaum petani sebagai tokoh utama
sejarah tidak begitu dominan. Mereka sering hanya dikenal sebagai kelompok anonim
yang dikaitkan dengan statistik pajak, pergerakan tenaga kerja, kaum pemilik tanah, dan
hal-hal lain yang berhubungan dengan produksi hasil pertanian. Kondisi dan situasi yang
11 https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/11495511/mk-hak-penganut-kepercayaan-setara-dengan-
pemeluk-6-agama. Diakses pada 14 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
dialami kaum petani tidak memungkinkan mereka melakukan pemberontakan terhadap
kelompok yang mendulang keuntungan dan mengeksploitasi diri mereka. Konflik yang
muncul di Sedaka antara petani miskin dan para pemilik tanah yang kaya dilatarbelakangi
oleh perubahan hubungan produksi. Revolusi hijau yang terjadi memicu perubahan pola
pertanian. Panen yang dilipatgandakan dalam dua kali musim tanam serta mekanisasi
pertanian yang didukung pemerintah hanya menambah keuntungan di kalangan para
pemilik tanah. Hal ini memicu terjadinya ketidakseimbangan sosial antara para tuan tanah
dan petani.
Kesenjangan yang terjadi tampak dalam perilaku para tuan tanah seperti misalnya:
mengubah kebijakan sewa tanah, penggantian buruh tani manusia dengan mesin, dan
menyewakan tanah garapan yang luas dalam jangka waktu yang panjang. Selain itu di
dalam relasi kehidupan sosial antara tuan tanah dan petani muncul perubahan perilaku
yang merugikan kaum petani miskin. Para tuan tanah mengurangi atau tidak lagi
memberikan pesta panen, memberi zakat dan sedekah sebagaimana dilakukan seturut
tradisi Islam, serta pengakuan-pengakuan sosial yang dulunya mewarnai kehidupan sosial
di wilayah Sedaka (Scott, 1985: 305). Hal ini bagi para petani kecil merupakan hal yang
merugikan. Konsekuensinya para petani miskin berusaha memperjuangkan kepentingan
mereka agar praktik-praktik sosial masa lalu diperoleh kembali. Diskriminasi oleh para
tuan tanah terhadap kelas petani akibat perubahan proses produksi pertanian itu memicu
munculnya perlawanan.
Bagi Scott kaum minoritas seperti para petani di Sedaka tidak dimungkinkan
mengadakan perlawanan frontal, terbuka, dan kolektif karena situasi struktur kelas sosial
yang kompleks dan rumit di antara para pemilik tanah dan petani. Selain itu ketika para
petani berada di posisi yang tidak dimungkinkan untuk melakukan perlawanan terbuka,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
maka pilihan lainnya adalah melakukan protes sambil ‘melarikan diri’ atau menghindar
(Scott 1985: 244). Scott dalam pengamatan lapangannya di Malaysia menitikberatkan
perhatiannya pada bentuk perlawanan kelompok petani yang dilakukan secara sederhana
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini yang oleh Scott disebutnya sebagai
‘perlawanan dalam wujud keseharian’ kaum petani.
Berbeda dengan model perlawanan yang terang-terangan, terorganisir dan
terencana rapi, bentuk perlawanan ini muncul dalam hal-hal yang seolah remeh temeh
belaka. Sikap bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip, pencurian kecil-kecilan, hingga
melakukan sabotase, merupakan bentuk-bentuk senjata perlawanan kaum petani (Scott
1985: 29). Di permukaan orang akan melihat bagaimana kaum petani seolah ‘tunduk’
pada kebijakan pemerintah dan para pemilik tanah. Namun investigasi Scott
menunjukkan bahwa di bawah permukaan yang tampak itu para petani tetap mengadakan
perlawanan dan mengkritik pihak yang menguasai mereka. Scott mencermati pola-pola
perlawanan yang terjadi di kalangan kaum petani di Sedaka menghasilkan semacam
pembedaan antara dua wujud perlawanan. Di satu sisi adalah ‘perlawanan yang
sesungguhnya’ yang memiliki ciri: (1) Organik, sistematik, dan kooperatif. (2) Memiliki
prinsip tertentu dan tidak mementingkan diri sendiri. (3) Bisa berdampak pada munculnya
gerakan revolusioner. (4) Memiliki ide atau tujuan meniadakan kelas dominan. Di sisi
lain merupakan ‘perlawanan kecil-kecilan’ yang justru berciri hal yang sebaliknya: (1)
Tidak teratur dan tidak sistematis. (2) Oportunis dan mengutamakan kepentingan diri
sendiri. (3) Tidak sampai berujung pada gerakan revolusioner. (4) Sama sekali tidak
tersirat upaya atau gagasan menggulingkan kelas dominan.
Kedua model perlawanan tersebut menurut Scott penting untuk melihat gerakan
kaum marginal, dalam hal ini kelompok petani di Sedaka. Menganggap remeh pola-pola
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
perlawanan yang tampak kecil-kecilan bisa menjadikan analisis terhadap gerakan
perlawanan kaum petani itu menjadi kurang lengkap. Keputusan Scott untuk menggali
konflik kelas di Sedaka dari sudut pandang kelompok minoritas menjadi penting untuk
menggali apa yang terjadi di bawah permukaan situasi sosial yang terjadi.
Penelitian Scott di Sedaka memberikan sumbangan gagasan mengenai pembedaan
antara public transcript dan hidden transcript. Apa yang tampak di permukaan, seperti
relasi kuasa antara petani dan dominasi para pemilik lahan, dipandang sebagai ‘public
transcripts’. Sementara perlawanan dan protes para petani yang dilakukan di bawah
permukaan itulah yang disebut ‘hidden transcript’. Bentuk resistensi yang dilakukan para
petani bisa muncul dalam kegiatan gosip, pencurian dan sabotase kecil-kecilan, mogok
kerja atau bermalas-malasan. Menurut Scott perlawanan yang sifatnya frontal dan
dilakukan dalam skala besar tidak mungkin terjadi dan hanya akan berakhir sia-sia
melawan kaum pemilik tanah yang kaya dan didukung oleh pemerintah. Kelas petani
menurut Scott seringkali berada dalam posisi yang ironis dalam konflik antar kelas.
Segala bentuk revolusi dan perlawanan terbuka akan dengan mudah ditindak dengan
tegas oleh pemerintah dan kelas yang mendominasi. Bahkan ketika para petani memberi
dukungan mereka kepada salah satu kelompok partai, tidak memberikan jaminan
kepastian bahwa nasib mereka kelak akan diperjuangkan. Bayang-bayang akan
pembunuhan massal, penindasan, serta kehancuran moral yang disebabkan oleh
pemberontakan menjadikan kaum petani cenderung menghindari konfrontasi secara
terbuka (Scott, 1985:29-30).
2. Resistensi Orang Siberut dalam Praktik Sabulungan
Ada beberapa pokok pemikiran Scott dalam penelitiannya yang penulis gunakan
untuk menganalisis fenomena yang dialami orang Mentawai di Siberut. Pokok-pokok
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
pemikiran tersebut adalah: hegemoni dalam konflik ideologi, model perlawanan simbolik
dan gagasan mengenai narasi terselubung (hidden transcript).
a. Hegemoni dalam Konflik Ideologi
Jika dalam penelitian James Scott kaum petani berhadapan dengan dominasi para
pemilik tanah dengan latar belakang revolusi hijau, orang Mentawai di Siberut dalam
penelitian ini berada di posisi serupa berhadapan dengan dominasi negara dan para
pewarta agama pasca kemerdekaan Indonesia. Barker (2014:119) secara singkat
menjelaskan hegemoni sebagai upaya memproduksi seperangkat makna, gagasan, ide-
ide, dan juga ideologi, oleh golongan yang berkuasa dan kemudian secara otoriter
golongan tersebut berupaya menjaga dan mempertahankannya. Menurut Gramsci,
ideologi sendiri bisa dipandang sebagai ide-ide, gugus makna, dan praktik yang fungsinya
mendukung kekuasaan kelas sosial tertentu (Barker, 2014:138). Dalam konteks konflik
di Sedaka, wujud hegemoni tersebut tampak dalam pertarungan ideologi yang terjadi
antara tuan tanah dan kaum petani. Para pemilik tanah yang kaya – karena kedudukan
sosialnya – dan diperkuat oleh dukungan pemerintah memiliki kuasa untuk memaksakan
gagasan dan ide-ide mereka tentang bagaimana sebaiknya perilaku para petani. Namun
tidak demikian dengan kelas petani. Mereka selalu berada di posisi subordinat yang tidak
menguntungkan untuk memaksakan ide-ide mereka terhadap orang kaya (Scott, 1985:
315).
Situasi yang serupa terjadi di Siberut pasca kemerdekaan Republik Indonesia.
Negara muncul sebagai pihak yang mendominasi gagasan dan ide-ide mengenai warga
negara modern. Dominasi ideologi tersebut muncul dalam kebijakan pemerintah di P.
Siberut. Ide-ide mengenai warga negara yang mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
diwacanakan secara dangkal melalui penghayatan atas ‘agama resmi’12 – di mana
tampak bahwa kepercayaa-kepercayaan tradisional seperti sabulungan tidak termasuk
dalam kategori tersebut – hidup dalam desa-desa yang dibentuk pemerintah, dan
mengenyam pendidikan. Dan sebagaimana para petani kecil di Sedaka, penghayat
sabulungan di Siberut berada dalam posisi yang tidak memungkinkan memaksakan
gagasan mereka sendiri terhadap negara sebagai kelas yang berkuasa. Konflik ideologi
yang terjadi di Siberut inilah yang kemudian menyebabkan diskriminasi kelompok
tertentu sehingga memicu munculnya perlawanan. Dalam hal ini perlawanan dipahami
bukan semata-mata sebagai perilaku ofensif yang berusaha membalikkan tatanan kelas
sosial melainkan juga sebagai upaya protes serta negosiasi yang terjadi di dalam relasi
kekuasaan itu sendiri. Resistensi orang Mentawai di Siberut bukan terwujud dalam
perilaku menentang program pemerintah dan menolak segala bentuk peraturan yang
diberikan, tetapi justru terjadi melalui negosiasi dengan segala perubahan tersebut.
b. Model Perlawanan Simbolik.
Suatu tindakan atau aksi seseorang atau sekelompok orang lahir dari kehendak yang
dipengaruhi oleh kesadaran mereka. Scott berpendapat bahwa aksi perlawanan dan
pemikiran (mengenai) perlawanan selalu berhubungan secara dialogis. Kesadaran untuk
melakukan aksi tersebut tidak selalu muncul dalam bentuk yang sama. Ada kalanya garis
aksi yang muncul bisa berupa hal yang mustahil dan unik (Scott, 1985: 38). Menganalisis
kesadaran intensional yang ada di balik tindakan resistensi suatu kelompok menjadi
penting untuk memahami bentuk protes dalam wujud keseharian.
12 Bdk. Stange, 2007: 127.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
Bentuk perlawanan simbolik kelas tertentu tidak bisa dilepaskan dari gagasan
mengenai ‘mistifikasi’ atau ‘kesadaran palsu’ yang muncul dari hegemoni simbolis pula.
Dalam hal ini Scott mengutip pemikiran Gramsci mengenai tindakan kelompok dominan
yang berkuasa mengendalikan sektor-sektor idiologis dari masyarakat seperti agama,
pendidikan, dan media massa. Mereka dengan demikian berusaha membangun gagasan-
gagasan yang indah, ideal, dan tampak asli. Apa yang dilakukan negara di daerah-daerah
seperti di Siberut merupakan wujud hegemoni simbolis tersebut. Gagasan yang dibangun
adalah bahwa warga negara yang baik adalah mereka yang menerima sila Ketuhanan
Yang Maha Esa dan hal itu dinyatakan dengan dianutnya agama tertentu. Gagasan lain
yang dibangun adalah bahwa masyarakat yang merdeka dan modern meninggalkan segala
bentuk tradisi animisme. Gagasan mengenai cara hidup bermasyarakat yang berpusat
pada wilayah administratif sebagaimana diakui pemerintah juga merupakan konsep-
konsep yang diwacanakan oleh pemerintah. Bagi Gramsci, sebagaimana ditulis Scott,
mereka yang merupakan kelas yang didominasi lebih diperbudak dalam tataran pemikiran
daripada dalam tataran praktik dan perilaku (Scott, 1985: 39).
Hegemoni simbolik negara di atas dengan demikian berhadapan dengan ideologi
orang Mentawai di mana relasi keduanya tidak pernah sejajar. Bentuk-bentuk ritual,
tradisi, simbol-simbol budaya, serta norma-norma tradisional yang telah dihidupi orang
Mentawai sekian lama telah membentuk semacam ideologi yang tidak bisa begitu saja
dihilangkan. Bahwa kemudian orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-duyun
menganut agama sebagaimana diharapkan pemerintah dengan demikian tidak semata-
mata memperlihatkan tidak adanya perlawanan. Ritual-ritual sabulungan yang masih
dihidupi sekelompok orang Mentawai di Siberut bisa jadi merupakan wujud
perlawawanan simbolik yang memperlihatkan bahwa mereka tidak lagi menjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
kelompok yang dikuasai begitu saja oleh tatanan sosial yang diupayakan oleh para
penguasa.
c. Narasi Terselubung
Konflik yang terjadi di antara kelas tuan tanah dan petani miskin di Sedaka
berlangsung seperti di atas ‘pentas’. Relasi antara para petani dan tuan-tuan tanah yang
kaya tampak berjalan normal. Para petani menghormati kedudukan para pemilik lahan
dan mengiyakan apa yang mereka harapkan dari kaum mereka. Demikian pula para
pemilik lahan juga menjalankan peran sosial mereka dengan memberikan zakat dan
sumbangan kepara orang-orang miskin pada hari-hari besar keagamaan. Namun situasi di
bawah pentas justru berbeda. Perlawanan yang berlangsung justru terjadi ‘di bawah
permukaan’. Sifat bermalas-malasan, kepatuhan palsu, gosip di kedai-kedai kopi, dan
sabotase peralatan produksi pertanian, terus berlangsung. Gerakan di bawah pentas ini
merupakan bentuk narasi yang terselubung (hidden transcript) yang oleh Scott dibedakan
dengan situasi kehidupan umum yang tampak di permukaan (public transcript) (Scott,
1990:4).
Pemikiran Scott mengenai hidden transcript yang diterapkannya dalam penelitian
terhadap petani di Sedaka diuraikan secara detail dalam bukunya Hidden Transcripts:
Domination and And The Arts of Resistance (1990). Segala bentuk tingkah laku,
perbincangan, praktik-praktik yang dilakukan kelompok subordinat di ‘luar pentas’
tersebut sama sekali bertentangan dan mampu mengubah apa yang tampak di ‘atas
pentas’. Istilah hidden transcript ini digunakan Scott untuk memperlihatkan bahwa apa
yang terjadi di ‘luar pentas’ benar-benar berada di luar pengamatan para pemegang
kekuasaan atau kelas yang mendominasi (Scott, 1990:4). Maka untuk melihat bagaimana
dominasi terjadi dan beroperasi pada wacana publik penting sekali melihat perbedaan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
antara hidden transcript dan public transcript (Scott, 1990: 5). Ada 3 karakteristik hidden
transcript menurut Scott (1990: 14) yang penting untuk diperhatikan. Pertama, narasi
terselubung (hidden transcript) secara khusus diperuntukkan bagi kelas sosial tertentu
dan terhadap seperangkat tindakan tertentu. Dengan demikian narasi kelas sosial tersebut
diuraikan dalam ‘publik terbatas’ dan oleh karena itu ‘tersembunyi’ bagi golongan kelas
tertentu. Dalam kisah petani di Sedaka, apa yang dilakukan para petani tersembunyi bagi
kelompok tuan tanah dan pemerintah. Sedangkan dalam kasus di Siberut, praktik
sabulungan tersembunyi bagi pemerintah dan para pewarta agama. Kedua, narasi
terselubung tidak hanya berwujud wacana, cerita-cerita, tetapi juga mencakup
serangkaian praktik dan tindakan. Tindakan para petani di Sedaka bekerja sambil
bermalas-malasan, pencurian, menghindari pajak, merupakan hal yang tak terlepas dari
konsep narasi terselubung. Hal yang mirip terjadi pula dikalangan orang Mentawai di
Siberut, yang menghindari istilah sabulungan dan lebih memilih menggunakan kata
‘budaya’ serta menjalankan pula kewajiban hidup beragama sebagaimana dianjurkan
agama masing-masing. Karakteristik ketiga dari narasi terselubung adalah situasi yang
memperlihatkan bahwa perbatasan antara public transcript dan hidden transcript tidak
selalu jelas. Perbatasan tersebut selalu menjadi bagian dari wilayah perjuangan terus-
menerus antara kelompok yang mendominasid an kelompok subordinat.
Pemikiran Scott ini juga yang akan digunakan untuk melihat fenomena yang terjadi
di Siberut. Bagaimana orang Mentawai dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat
umum mengikuti arahan pemerintah untuk menganut agama resmi dan meninggalkan
tradisi sabulungan? Namun situasi yang terjadi di bawah pentas memperlihatkan hal yang
berbeda. Di sini lah teori Scott mengenai hidden transcript bisa memberikan kontribusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
untuk melihat fenomena yang terjadi di kalangan orang Mentawai di Siberut yang masih
menjaga tradisi sabulungan dalam kehidupan mereka saat ini.
H. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview) dan
studi pustaka untuk mengumpulkan data. Pemilihan informan dilakukan dengan metode
purposive sampling. Wawancara dilakukan kepada sejumlah tokoh masyarakat dan tetua
adat yang ada di wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Lokasi ini dipilih karena di sana
masih bisa dijumpai masyarakat tradisional Mentawai. Wilayah tersebut juga sering
menjadi tujuan kunjungan wisatawan mancanegara ataupun domestik yang ingin
mengenal dan melihat dari dekat kehidupan tradisional suku Mentawai.
Penelitiaan lapangan dilakukan secara khusus oleh penulis dalam 2 periode. Yang
pertama pada bulan Januari 2017 selama 2 minggu dan yang kedua dilaksanakan pada
bulan Desember 2017 sampai awal Januari 2018 selama 4 minggu. Pada kunjungan
pertama, penulis mengadakan perbincangan dengan beberapa kenalan di Siberut
mengenai tema tesis ini. Dari pertukaran pikiran tersebut, penulis dibantu beberapa
kenalan mencoba mencari tokoh-tokoh masyarakat yang dipandang memiliki pemahaman
atas tema yang akan penulis angkat dalam tulisan ini. Waktu kunjungan yang cukup
singkat, dan kesulitan menjumpai para informan di kediaman mereka mejadi salah satu
kendala yang penulis hadapi di lapangan. Kebanyakan dari mereka sedang tidak berada
di rumah kediamannya ketika penulis mengunjungi mereka. Sebagian sedang berada di
ladang atau sedang pergi ke tempat lain. Terbatasnya waktu dan kesulitan untuk membuat
janji bertemu dengan tokoh yang bersangkutan menjadikan penulis tidak banyak
mendapatkan data.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
Pada kunjungan yang kedua, dari pertengahan bulan Desember 2017 hingga awal
Januari 2018, penulis lebih banyak mengadakan wawancara dengan beberapa informan
yang telah ditentukan. Penulis banyak dibantu oleh seorang guru setempat, Marinus
Satoleuru, yang ayahnya juga seorang sikerei. Selain itu penulis juga dibantu oleh
sekretaris paroki gereja setempat, Bapak Petrus Marjuni, orang Jawa yang sejak masa
mudanya mengabdi di Siberut. Bersama Marinus dan Bapak Petrus Marjuni, penulis
mengunjungi sejumlah tokoh, mulai dari orang yang dituakan dalam suku, pejabat
pemerintahan, dan orang-orang yang bergerak di bidang pendidikan dan pariwisata.
Semua informan adalah orang Mentawai. Bersama Marinus dan Bapak Marjuni juga
penulis banyak bertukar pikiran mengenai tema tesis ini dan menentukan siapa-siapa yang
sekiranya cukup memahami situasi budaya setempat dan sejarahnya di masa lalu. Marinus
juga banyak membantu penulis dalam berkomunikasi dengan penduduk setempat dengan
bahasa Mentawai. Para narasumber yang dipilih merupakan tetua dalam sebuah suku
yang mengalami sendiri peristiwa tahun 1954, para katekis atau guru agama Katolik orang
Mentawai yang memahami juga budaya setempat, serta tokoh-tokoh yang sempat
menjabat sebagai kepala dusun atau desa.
Kesulitan menjumpai para informan di waktu yang ditentukan masih menjadi
kendala. Sebagian besar wawancara dilakukan pada sore hingga malam hari. Saat itu para
informan sudah berada di rumah setelah seharian bekerja. Penulis juga berkesempatan
mewawancarai Bupati Kep. Mentawai, Bapak Yudas Sabaggalet yang kebetulan pada
saat itu datang untuk merayakan Natal di Muara Siberut. Kesempatan ini tidak
dijadwalkan sebelumnya oleh penulis. Data dari wawancara dan pembacaan sejumlah
literatur itulah yang menjadi sumber data. Bersamaan dengan itu penulis juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
menggunakan bahan-bahan sekunder dari literatur dan arsip untuk memperkaya analisa
tesis ini.
I. SISTEMATIKA PENULISAN
Tesis ini dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama berisi latar belakang dan
tujuan penulisan, pertanyaan penelitian, kajian pustaka, landasan teoritis, dan metode
penelitian. Pada bagian kedua akan diulas mengenai gambaran umum kepulauan
Mentawai saat ini, gagasan mengenai orang Mentawai dalam mitos tradisonal dan dari
sejumlah penelitian. Bagaimana perjumpaan orang Mentawai dengan budaya dari luar,
sistem kepercayaan mereka dan relasinya dengan negara juga merupakan poin-poin yang
akan disajikan dalam bab yang kedua. Bab yang ketiga akan berisikan pembahasan
mengenai sabulungan di mata mereka yang dituakan dalam suku dan masyarakat
(sikebukat) serta bagaimana ritual sabulungan masih menjadi bagian dari kehidupan
sehari-hari orang Mentawai di Siberut. Pada bab yang keempat penulis mencoba
menyajikan persoalan dominasi negara terhadap sabulungan serta bagaimana siasat
perlawanan orang Mentawai. Akhirnya pada bagian yang terakhir penulis akan
memberikan tanggapan dan kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
BAB II
KEPULAUAN MENTAWAI, ORANG SIBERUT DAN SABULUNGAN
Bab kedua ini akan menjelaskan tiga pokok bahasan. Bagian pertama akan berisi
gambaran umum situasi Kepulauan Mentawai. Hal itu meliputi keadaan geografis, situasi
penduduk, hingga perkembangan apa saja yang sedang terjadi di wilayah tersebut hingga
saat ini. Pokok bahasan kedua memuat uraian mengenai gagasan komunitas orang
Mentawai. Bagian ini akan berisi beberapa tulisan yang disusun oleh para peneliti
Mentawai. Pembahasan mengenai bagaimana asal-usul orang Mentawai – sebagaimana
termuat dalam hasil penelitian terdahulu dan mitos tradisional mereka – secara singkat
juga akan dimuat pada bagian kedua ini. Penjelasan mengenai kepercayaan tradisional
orang Mentawai dan bagaimana negara melalui aparatusnya berusaha menghapuskannya
akan menjadi poin pembahasan bagian yang ketiga. Pada bagian terakhir itu pula penulis
akan memberikan gambaran mengenai situasi memudarnya sabulungan dalam kehidupan
orang Mentawai di Siberut.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
A. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai
1. Lokasi Geografis
Secara geografis kepulauan Mentawai terletak di sebelah barat Pulau Sumatera –
dipisahkan oleh Selat Mentawai – dan merupakan 1 dari 12 kabupaten di Provinsi
Sumatera Barat. Wilayah kepulauan dengan luas 6.011,35 km2 dan garis pantai sepanjang
1.402,66 km13 ini terdiri empat pulau utama, yakni P. Siberut, P. Sipora, P. Pagai Utara
dan P. Pagai Selatan. Selain keempat pulau utama tersebut terdapat ratusan pulau-pulau
kecil yang tersebar di wilayah Mentawai. Namun data BPS tahun 2017 baru mencatat 99
13 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018.
Peta 1. Lokasi P. Siberut di Kepulauan Mentawai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
nama pulau yang sebagian besar berada di wilayah Kecamatan Sipora Utara dan Siberut
Barat Daya. Sejak tahun 1999 berdasarkan UU RI No. 49 Tahun 1999 wilayah ini resmi
berdiri sebagai Kabupaten Kepulauan Mentawai dengan ibu kota Tuapeijat yang terletak
di P. Sipora.
Menurut data administrasi pemerintah daerah tahun 201714, Kabupaten Kepulauan
Mentawai memiliki 10 kecamatan, 43 desa dan 341 dusun. Sebagian besar daerah di
Mentawai hanya bisa dicapai dengan sarana transportasi air (sungai dan laut). Baru sedikit
jalan yang bisa dilalui kendaraan bermotor. Pada tahun 2015 dimulailah proyek
pembangunan jalan Trans-Mentawai15. Rencananya proyek ini akan membuka jalan
sepanjang 393 km yang menghubungkan keempat pulau utama di wilayah Kab.
Kepulauan Mentawai. Menurut Bupati Kab. Kepulauan Mentawai, Yudas Sabaggalet,
saat ini jalan Trans-Mentawai yang sudah selesai mencapai 134 km. Masih tersisa 188,53
km jalan yang belum dikerjakan. Proyek ini akan membutuhkan dana sebanyak Rp. 1,2
triliun yang diperoleh dari APBD dan APBN.16 Jalur transportasi darat sangat dibutuhkan
di wilayah Kepulauan Mentawai. Dengan tersedianya jalan darat yang menghubungkan
daerah-daerah di wilayah kepulauan tersebut pembangunan daerah dan pertumbuhan
ekonomi bisa meningkat dengan pesat.
Program pembangunan daerah Mentawai yang diprioritaskan pada pembangunan
infrastruktur, termasuk pembukaan jalur transportasi darat, menjadi hal yang penting
mengingat Kepulauan Mentawai juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata bagi
wisatawan mancanegara. Sebagian besar wisatawan luar negeri datang ke wilayah
14 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018, hlm. 4. 15 Lih. https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/22/ov38xb428-pembangunan-
infrastruktur-mentawai-mendesak diakses pada 30 Nvember 2018. 16 Lih. Kompas. (18 Agustus 2017). Trans-Mentawai Melewati Hutan. Kompas, diambil dari
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916 pada 26 September
2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
kepulauan itu untuk berselancar. Hal ini tidak mengherankan mengingat Mentawai
memiliki 71 titik untuk berselancar dan 2 di antaranya (Lances Right dan Macaronies)
termasuk dalam 10 titik selancar terbaik di dunia.17 Menurut Desti Simamora, Kepala
Dinas Pariwisata Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Kep. Mentawai (Disparpora), pada
tahun 2017 tercatat sekitar 10.500 wisatawan mancanegara datang ke Mentawai. Dari
jumlah tersebut 50% wisatawan datang dari Australia, Amerika Serikat, Jepang, Spanyol
dan Brazil.18 Dengan semakin mudahnya akses ke wilayah-wilayah di Mentawai
pemasukan bagi pendapatan daerah dari sektor pariwisata pun akan bertambah.
Saat ini sarana transportasi utama yang digunakan untuk menuju Mentawai adalah
kapal penyeberangan. Ada beberapa kapal penyeberangan yang beroperasi saat ini, yakni
KM. Ambu-Ambu dan KM. Gambolo. Selain itu terdapat juga KM Sabuk Nusantara 3719
serta kapal cepat MV Mentawai Fast yang dikelola oleh swasta. Dengan menggunakan
kapal ferry diperlukan waktu sekitar 10 jam untuk mencapai Muara Siberut – ibu kota
Kecamatan Siberut Selatan – dari Pelabuhan Bungus di Padang. Atau jika menggunakan
kapal MV Mentawai Fast, pelayaran Padang-Mentawai bisa ditempuh dalam waktu 3-4
jam. Banyak wisatawan dan masyarakat kelas menengah yang memanfaatkan pelayaran
ini karena waktu tempuhnya lebih singkat. Berbeda dengan sebagian masyarakat yang
memiliki usaha dagang, mereka lebih memilih menggunakan jasa pelayaran ferry untuk
mengangkut barang dagangan mereka dari Padang. Masyarakat di Mentawai yang hendak
menjual hasil bumi seperti, ikan, udang karang, pisang, coklat, cengkeh, dan enau, juga
17 Lih. Fadjar, Evieta. (2013, April). Mentawai Memiliki 2 Titik Ombak Terbaik Dunia. Tempo.co,
diambil dari https://travel.tempo.co/read/473309/mentawai-punya-dua-titik-ombak-terbaik-dunia# pada
27 September 2017. 18 Lih. Puspita, Ratna. (2018, Maret). Pendapatan Mentawai dari Pariwisata Capai Rp. 7,3 Miliar.
Republika.co.id, diambil dari https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/03/18/p5slc7428-
pendapatan-mentawai-dari-pariwisata-capai-rp-73-miliar pada 14 September 2018. 19 Kapal Sabuk Nusantara 37 merupakan bantuan dari Dinas Perhubungan pada tahun 2014. Namun dari
pengamatan penulis dan informasi warga setempat, kapal ini jarang tampak berlabuh di Muara Siberut
serta memiliki jadwal yang tidak menentu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
cenderung memanfaatkan jasa kapal ferry untuk membawa hasil laut dan kebun mereka
tersebut ke Padang.
2. Kependudukan
Data dari Biro Pusat Statistik Kabupaten Mentawai tahun 201720 menunjukkan
jumlah penduduk di Mentawai sebesar 88.692 jiwa dengan kepadatan penduduk rata-rata
15 jiwa per km2. Sebagian besar masyarakat Mentawai tersebut (64,67%) bekerja di
bidang pertanian, perkebunan, kehutanan, perburuan dan perikanan. Sementara itu masih
sedikit sekali masyarakat yang bekerja di sektor industri (3,30%), perdagangan, rumah
makan, dan jasa akomodasi (9,5%). Kondisi tanah di kepulauan Mentawai memang
tergolong sangat subur. Sayangnya pertanian dan perkebunan di Mentawai belum
dikelola secara optimal. Pada umumnya mereka menanam tanaman seperti kakao,
cengkeh, nilam, pinang, kelapa (yang kemudian dijadikan kopra), pisang dan keladi. Hasil
kebun tersebut selanjutnya dijual kepada pedagang besar dan kemudian diangkut ke
Padang. Banyak pedagang besar juga memiliki kapal yang singgah di daerah-daerah yang
belum memiliki akses jalan guna mengangkut hasil bumi seperti kopra dan rotan. Pada
masa lampau kapal-kapal dagang inilah yang sekaligus menjadi sarana transportasi orang-
orang Mentawai yang hendak pergi ke Padang.
Makanan utama warga setempat adalah sagu. Namun dengan semakin banyaknya
pendatang serta perubahan pola hidup, disamping sagu masyarakat Mentawai kini telah
mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok. Keadaan ini memicu pemerintah daerah
untuk menggalakkan pengadaan lahan persawahan guna menunjang kebutuhan beras di
20 Lih. BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai dalam Angka 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Mentawai yang semakin meningkat. Peningkatan luas lahan persawahan tampak dari data
statistik. Pada 2012 hanya terdapat 307 Ha lahan sawah di Mentawai. Saat ini telah
tercatat 2.452 Ha area sawah yang tersebar di seluruh kepulauan.
Mayoritas penduduk Kabupaten Kepualauan Mentawai adalah suku Mentawai.
Selain itu terdapat juga penduduk yang berasal dari etnis lain seperti Minangkabau, Nias,
Batak, Jawa, dan Flores. Agama resmi yang dipeluk masyarakat di Mentawai adalah
Protestan (50,32%), Katolik (36,62%), dan Islam (16,57%)21. Pada tahun 1901 agama
Protestan mulai diperkenalkan di Mentawai yakni di wilayah Sikakap dan Sipora. Baru
pada tahun 1953 para misionaris Katolik masuk di Siberut. Gereja Katolik pertama berdiri
pada tahun 1954 di Muara Siberut. Walaupun diketahui bahwa para pedagang dari tanah
tepi Sumatera Barat yang beragama Islam telah memiliki hubungan dagang dengan
wilayah Mentawai sejak zaman Belanda, namun belum ada data yang autentik tentang
kapan agama Islam mulai diperkenalkan di kepulauan Mentawai. Namun penyebaran
agama Islam di Mentawai, khususnya di Siberut, mulai terorganisir sejak dibentuknya
Badan Otorita Khusus Kepulauan Mentawai pada tahun 1971.
Dalam bidang pendidikan tampak bahwa tingkat pendidikan masih tergolong
rendah. Laporan mengenai jumlah penduduk usia sekolah dan partisipasi sekolah tahun
2017 memperlihatkan hanya 35,20% penduduk usia sekolah, 5-25 tahun ke atas yang
sedang bersekolah. Selebihnya sebanyak 59,60% sudah tidak bersekolah lagi. Lebih dari
setengah kelompok ini (76,9%) adalah mereka yang berusia 19-24 tahun. Ini
menunjukkan bahwa mereka hanya menyelesaikan pendidikan di tingkat Sekolah
Menengah Atas (SMA) saja. Angka putus sekolah setelah SMA tergolong sangat tinggi.
Hingga tahun 2017 dilaporkan terdapat 117 Sekolah Dasar (SD), 29 Sekolah Menengah
21 Data Sensus Penduduk 2010 – Badan Pusat Statistik. Sumber: https://sp2010.bps.go.id
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Pertama (SMP), dan 15 Sekolah Menengah Atas yang tersebar di Kab. Kepulauan
Mentawai. Selama periode 2014-2017 tidak terdapat penambahan jumlah SD. Sedangkan
untuk periode yang sama sebanyak 5 unit SMP dan 4 unit SMA baru dibuka.
Pada umumnya Sekolah Dasar banyak tersebar di dusun-dusun22. Namun untuk
SMP biasanya hanya terdapat desa. Hanya di pusat kecamatan keberadaan SD, SMP, dan
SMA bisa dijumpai. Hal ini mengakibatkan anak-anak usia sekolah yang berasal dari
daerah-daerah yang jauh harus tinggal di pusat-pusat kecamatan selama masa sekolah.
Keberadaan asrama-asrama dan pondokan pelajar menjadi hal yang umum dijumpai
hingga saat ini. Persebaran guru juga sejauh pengamatan penulis kurang merata. Di
sejumlah sekolah dasar yang terletak di wilayah yang sulit dijangkau, jumlah guru sangat
sedikit. Tidak jarang seorang guru harus mendampingi anak-anak dari kelas 1 hingga
kelas 3 SD. Situasi ini menjadikan perkembangan pembangungan di Mentawai berjalan
lambat. Kabupaten Kepulauan Mentawai hingga 2017 merupakan salah satu dari tiga
daerah tertinggal di Sumatera Barat.
B. Gagasan Mengenai Komunitas Orang Mentawai
Penduduk asli Kepulauan Mentawai adalah suku Mentawai. Catatan sejarah J. R.
Logan dalam The Chagalelegat or Mantawe Islander (Logan, 1855) sebagaimana dikutip
oleh Coronesse dalam Kebudayaan Suku Mentawai (Coronesse, 1986), memberikan
catatan mengenai gambaran fisik orang Mentawai di masa lalu yang berperawakan baik
dan menarik. Mereka juga tampak sehat dan jarang yang didapati memiliki cacat fisik.
Hal ini dikarenakan cara hidup orang Mentawai yang dekat dengan alam sehingga mereka
yang bertahan adalah benar-benar hasil dari seleksi alam. Mereka tidak memiliki
22 Di Mentawai wilayah administratif terkecil adalah dusun. Beberapa dusun – yang letaknya bisa sangat
berjauhan – bergabung membentuk sebuah desa. Wilayah kecamatan terdiri dari beberapa desa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
pekerjaan tetap karena hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan hasil bumi. Hasil
buruan dan hasil hutan itulah yang nantinya akan ditukar (barter) dengan para pedagang
pendatang untuk memperoleh bahan-bahan kebutuhan mereka. Orang Mentawai juga
digambarkan sebagai masyarakat yang ramah, baik hati, suka menghormati orang lain
dan tidak ingin berperang. Mereka juga dikenal dengan seni tatonya. Ginarti (1985)
menulis bahwa bagi masyarakat Mentawai, tato merupakan ‘pakaian abadi’ di mana
busana tersebut akan dikenakan hingga akhir hayat.23 Setiap daerah memiliki pola tatonya
tersendiri. Di masa lalu, diperlukan ritual khusus guna membuat tato di badan seseorang.
Saat ini di Mentawai, khususnya di P. Siberut, masih bisa kita jumpai orang-orang tua
suku Mentawai yang badannya penuh dengan tato. Tradisi tato ini hampir tidak bisa
dijumpai lagi pada generasi orang muda Mentawai.
Meskipun letak Kepulauan Mentawai berdekatan dengan wilayah Sumatera Barat,
namun orang-orang suku Mentawai memiliki adat istiadat yang sangat berbeda dengan
orang Minangkabau yang merupakan mayoritas penduduk Sumatera Barat. Bukan hanya
itu, Mentawai juga dikenal memiliki keragaman hayati yang berbeda dengan P. Sumatera.
Hal ini bisa dipahami dengan mengamati laporan yang disusun oleh WWF tahun 198024
yang memperlihatkan gambaran wilayah kepulauan Mentawai di jaman Pleistosen
(kurang lebih 1.000.000 sampai 10.000 tahun lalu). Pada masa itu P. Sumatera, P. Jawa
dan P. Kalimantan masih dihubungkan oleh daratan. Hal ini juga yang memungkinkan
pertukaran fauna yang ada di wilayah tersebut. Namun demikian wilayah Kepulauan
Mentawai tetap tinggal terpisah dari daratan Sumatera.
23 Lih. Ginarti K, B. 1985. Tumbangnya Sebuah Aspek Kebudayaan Mentawai: Tato dalam Pulau
Siberut. 1985. Gerard Persoon dan Reimar Scefold (ed.). Jakarta: Penerbit Bhratara Karya Aksara. 24 Lih. WWF. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan Induk Konservasi. Bogor: World Wildlife
Fund Report.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
Belum ada teori yang disepakati bersama mengenai asal-usul nenek moyang orang
Mentawai (Coronesse, 1986; Rudito, 1993; Juniator, 2012). Hal ini disebabkan karena
ada begitu banyak versi cerita yang menjelaskan hadirnya pendatang pertama di wilayah
kepulauan itu. Selain itu tidak tersedianya sumber peninggalan arkeologis dan literatur-
literatur menjadikan upaya penelusuran sejarah nenek moyang suku Mentawai menjadi
semakin sulit (Caisutti, 2015:13). Juniator dalam desertasinya mencoba mengumpulkan
beragam kisah tersebut. Ia menggolongkan kisah-kisah berdasarkan periodisasi waktu:
tahun 1842 dan 1930, 1960 dan 1991, serta yang terakhir antara tahun 2002 dan 2006.
Dalam penelitian lapangan yang terkahir antara tahun 2002, 2004, dan 2006, ia tidak
menemukan lagi penutur Mentawai yang memiliki kisah seperti yang ditulis para ahli
antara tahun 1842 dan 1930, yang menjelaskan bahwa penduduk asli Mentawai
merupakan orang Melayu yang datang langsung dari wilayah Sumatera (Padang). Kisah-
kisah yang diceritakan justru memiliki kemiripan dengan laporan-laporan tertulis yang
diperoleh pada tahun 1960-1991. Sumber-sumber tersebut memberikan informasi
mengenai pendatang dari kepulauan Nias yang bernama Aman Tawe.
Baik sumber yang dikumpulkan antara tahun 1884-1930 maupun tahun 1960-1991
hanya memberikan informasi mengenai kehadiran orang-orang Mentawai pertama di P.
Siberut dan tidak mencakup kisah mengenai wilayah selatan, seperti di P. Sipora dan
Pagai. Di wilayah tersebut, di P. Sipora misalnya, terdapat informasi lain mengenai orang-
orang yang datang dari daerah Muko-muko di Bengkulu. Dalam hal ini Juniator
sependapat dengan Wirz bahwa nenek moyang orang Mentawai datang dari beberapa
tempat yang berbeda. Para pendatang itu – baik yang berasal dari beberapa wilayah di P.
Siberut maupun dari P. Sipora – kemudian bercampur baur dan dikenal sebagai suku
Mentawai sebagaimana dijumpai saat ini (Juniator, 2012).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
1. Mitos Asal-Usul Orang Mentawai
Dalam buku yang disusun oleh Bruno Spina, Mitos dan Legenda Suku Mentawai
(1981), terdapat 67 judul cerita tradisional Mentawai. Bruno Spina sendiri adalah seorang
imam misionaris Xaverian yang ditugaskan di Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai
Selatan) pada tahun 1963. Selama lima tahun pertama, ia banyak mencatat adat istiadat,
kepercayaan orang setempat, dan juga mengumpulkan cerita-cerita kuno yang masih
diingat oleh orang Mentawai di sana. Beberapa peneliti Mentawai yang juga telah
menerbitkan kisah-kisah tradisional orang Mentawai antara lain: H.A. Mess (1881),
J.F.K. Hansen (1915), A.C. Kruyt (1963-1924), dan Edwin M. Loeb (1929). Spina
menggabungkan beberapa cerita dari para peneliti terdahulu tersebut – karena dilihat
memiliki versi lebih lengkap – dan menjadikannya dalam satu buku dan ditulis kembali
dalam bahasa Indonesia.
Dari 67 cerita dalam buku Bruno Spina tidak satupun ditemukan kisah mengenai
asal-usul orang Mentawai. Bahkan konsep mengenai penciptaan dunia diceritakan dengan
sangat sederhana. Menurut Loeb, sebagaimana dikutip Spina dalam bagian pengantar,
tidak adanya konsep penciptaan dan cerita mengenai asal-usul keberadaan manusia
menjadikan masyarakat suku Mentawai berbeda dengan banyak suku bangsa di
Indonesia. Bagi Spina hal tersebut memperlihatkan bagaimana orang Mentawai
memandang dunia mereka. Orang Mentawai benar-benar meyakini bahwa dunia yang
mereka huni bukanlah milik mereka. Mereka menggambarkan dunia sebagai sebuah
taman yang besar, tempat di mana mereka bisa hidup dari memanfaatkan segala yang
telah ada di alam. Oleh karena itu mereka harus menjaga relasi yang baik dengan roh-roh
yang ada di alam dengan berterima kasih dan tidak menyalahgunakan sesuatu yang
mereka gunakan. Menyalahgunakan apa yang mereka dapat di alam akan mengakibatkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
balas dendam dari roh-roh alam dan hal ini lah yang menjadi sumber malapetaka bagi
manusia (Spina, 1981: 14).
Keberadaan roh-roh alam menjadi hal yang sentral dalam banyak cerita tradisional
orang Mentawai. Satu cerita singkat dalam buku Spina, Panandaat Polak Samba Rua
Sirimanua Siboiki (Asal-usul Dunia dan Dua Orang Orang Pertama)25, memperlihatkan
bahwa roh-roh inilah yang menciptakan dunia dengan melemparkannya dari langit
sehingga terbentuk pulau-pulau Sumatera dan sekitarnya. Roh-roh itu pula menciptakan
tumbuhan dan hewan serta manusia. Mereka juga yang dikisahkan selalu memberikan
berbagai petunjuk mengenai cara hidup kepada manusia pertama (Spina, 1981: 253). Bagi
orang Mentawai pada masa itu dunia berarti kepulauan Mentawai dan Sumatera. Sebuah
cerita lain yang lama dikenal orang Mentawai di Sikakap mengisahkan bagaimana jaman
dahulu nenek moyang mereka datang dari Padang dengan menggunakan 2 perahu besar.
Sebagian dari mereka kembali ke Padang, sebagian berlayar menuju Pulau Siberut (Spina,
1981: 255).
Salah seorang misionaris Xaverian awal yang berkarya di Siberut, P. Tonino
Caisutti26, dalam catatannya27, mengisahkan bagaimana ia untuk pertama kali
mengunjungi daerah Simatalu di bagian utara Siberut. Wilayah itu dipercaya sebagai asal
nenek moyang orang Mentawai. Di sana P. Caisutti menemui sejumlah warga setempat
yang lanjut usia dan tidak pernah meninggalkan tempat itu serta tidak pernah berjumpa
dengan orang di luar wilayah tersebut. Kepada mereka P. Caisutti menanyakan darimana
asal mereka. Mereka semua menjawab bahwa mereka datang dari daerah Simalegi. Di
25 Spina mengutip dan menterjemahkan cerita ini dari buku J.F.K. Hansen, de groep Noord en Zuid Pageh
van de Mentawei-Eilanden, 1915 halaman 12. 26 P. Tonino Caisutti, SX berkarya di Kep. Mentawai ( Sipora, Siberut, dan Sikabaluan) pada tahun 1966
hingga 1997. 27 Caisutti, Tonino. 2015. La Cultura Mentawaiana. Terjemahan oleh Abis Fernando. Japan: Asian Studi
Centre, hlm. 13-15.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
lain kesempatan, ketika P. Caisutti berkunjung ke Simalegi, ia juga menemui orang-orang
tua di wilayah dan mengajukan pertanyaan yang sama mengenai asal-usul mereka. Orang-
orang itu menyatakan bahwa mereka tidak berasal dari mana-mana. Sejak semula mereka
sudah hidup di tempat itu. Menurut P. Caisutti pada saat itu orang Mentawai tidak bisa
menjelaskan darimana asal-usul mereka. Sejak semula telah tinggal di tempat ini, dan
pulau ini, Siberut, merupakan pusat dunia (Caisutti, 2015 : 13).
2. Perjumpaan Orang Mentawai dengan Petualang, Aparat Kolonial dan
Misionaris
Dari penelusuran sejarah yang dilakukan oleh Coronesse, kepulauan Mentawai
ditemukan oleh Vornelis Pietersz pada abad ke-17. Dan pada tahun 1600 kepulauan itu
dinamakan Nassau sebagai tanda penghormatan kepada keluarga raja dari Kerajaan
Belanda. Namun sejak 1620 para pelaut dari Belanda dikabarkan tidak sering lagi datang
ke wilayah Mentawai. Baru pada tahun 1663 ditemukan nama-nama pulau di kepulauan
Mentawai yang telah dimasukkan dalam catatan pelayaran Wouter Schouten. Nama-nama
pulau itu adalah P. Mintaon (Siberut), Goed Fortuin (Sipora) dan Nassau (kepulauan
Pagai). Nama-nama itu rupanya telah ada dalam peta tahun 1606 yang dibuat oleh bangsa
Portugis. Pada tahun 1792, John Crisp – seorang pegawai Kongsi Dagang Hindia Timur
Britania (British East India Company) – beberapa kali mengunjungi kepulauan
Mentawai. Laporan yang ditulisnya diterbitkan tahun 1799 di London dan menjadi karya
tertulis pertama yang mengulas mengenai Mentawai dan merupakan sumber penting bagi
para peneliti Mentawai di kemudian hari. Pada tahun 1864 – setelah sebelumnya terjadi
perebutan kekuasaan atas Mentawai oleh Inggris dan Belanda – dikeluarkanlah surat
keputusan tertanggal 10 Juli 1864 No. 14, Staatsblad No. 104, yang menyatakan bahwa
Pulau Nias, Kepulauan Batu, Kepuluan Mentawai dan Enggano semuanya termasuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
dalam wilayah kekuasan Pemerintah Belanda. Mentawai menjadi wilayah yang penting
bagi perdagangan karena hasil alamnya, terutama kayu. Dari perjumpaan dengan bangsa
Barat sebelum tahun 1900an, kegiatan yang dilakukan oleh para pendatang di Mentawai
sebagian besar berkisar pada perdagangan (Coronesse, 1986).
Beberapa penelitian mengenai kebudayaan Suku Mentawai yang berbicara
mengenai sistem kepercayaan tradisional masyarakat Mentawai antara lain terdapat pada
tulisan Edwin M. Loeb (1928: 408-433). Ia menulis mengenai kunjungannya ke wilayah
Kepulayan Mentawai pada tahun 1926 dan termasuk antropolog awal yang
mempublikasikan hasil penelitiannya mengenai budaya Mentawai. Tulisan Loeb fokus
pada struktur sosial masyarakat Suku Mentawai termasuk juga mengenai sistem
kepercayaan mereka, meskipun ia belum menggunakan istilah arat sabulungan. Istilah
arat sabulungan baru digunakan secara umum pada tahun 1950an; pasca kemerdekaan
Indonesia. Menurut Juniator istilah itu muncul dari pemerintah dan para misionaris awal
(kemungkinan besar Protestan yang masuk ke Mentawai tahun 1900 (Juniator 2012: 68).
Mengenai sistem religi Suku Mentawai Loeb melihat adanya kemiripan dengan
pengaruh Hinduisme dalam ritual pengorbanan ayam dan babi, cara penyampaian
ramalan – terutama dalam praktik hepatoscopy atau upacara menyampaikan ramalan
dengan mengamati bagian organ hati dari binatang, seperti ayam atau burung. Namun
pengaruh Hinduisme tidak dijumpai dalam kisah-kisah dan mitos-mitos tradisional
masyarakat Mentawai.28 Ia justru menuliskan bahwa masyarakat Mentawai meyakini
adanya roh alam, jiwa, dan hantu. Roh alam diyakini masyarakat setempat bukan sebagai
sebuah entitas tunggal. Roh-roh yang berdiam di langit disebut tai-ka-manua (Bhs.
Mentawai: orang-orang di langit), mereka yang menghuni lautan dinamakan tai-ka-baga-
28 Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 408.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
koat (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam laut), mereka yang tinggal di hutan dikenal
sebagai tai-ka-leleu (Bhs. Mentawai: orang-orang di gunung), dan roh-roh yang berada di
tanah disebut tai-ka-baga-polak (Bhs. Mentawai: orang-orang di dalam bumi). Tidak ada
sebutan personal bagi roh-roh alam tersebut. Dan istilah-istilah itu tidak mendefinisikan
bahwa ada roh alam yang lebih tinggi dari roh-roh alam yang lain. Loeb juga
mengemukakan pendapat bahwa agama tradisional Suku Mentawai tersebut memiliki
kemiripan dengan agama-agama tradisional lain di Indonesia di mana masih
mengandung konsep relasi manusia dan roh.29
Reimar Schefold (1985: 20), berpendapat bahwa roh-roh yang diam di alam adalah
perwujudan dari konsep tradisional masyarakat Mentawai mengenai Tuhan yang
Mahaesa, atau mereka kenal dengan istilah ulau kina (Bhs. Mentawai: Anda yang terang).
Seluruh roh yang ada di langit, gunung, dan hutan saling bereaksi dengan jiwa manusia
dan jiwa-jiwa yang dimiliki binatang, tumbuhan, dan semua obyek yang ada. Berbeda
dengan roh yang bisa hidup bebas tanpa terikat bentuk fisik, jiwa menurut Coronesse
merupakan duplikat rohani dari semua obyek: manusia, pohon, tanaman, hewan bahkan
batu-batuan. Dengan demikian jiwa ini terikat dengan tubuh fisik meskipun ia bisa juga
mengembara keluar dari tubuh dan berjumpa dengan jiwa-jiwa lain yang ada di alam.
(Coronesse, 1986: 42). Relasi antara roh-roh, jiwa-jiwa dan dunia manusia harus
berlangsung dengan seimbang. Namun dalam kenyataanya aktivitas manusia selalu saja
bisa mempengaruhi keseimbangan itu. Munculnya penyakit bisa dipandang sebagai
dampak dari relasi jiwa manusia dan jiwa benda-benda di alam yang tidak seimbang. Oleh
karena itu ada begitu banyak upacara, larangan dan pantangan yang dipegang oleh orang
29 Lih. Loeb, EM. 1928. Hlm. 412.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Mentawai dalam melakukan kegiatan sehari-hari yang bertujuan menjaga relasi mereka
dengan dunia roh dan jiwa sehingga tetap seimbang (Schefold 1985:21).
Stefano Coronese (1986: 31), imam Misionaris Xaverian berkebangsaan Italia,
mencatat perjumpaan masyarakat suku Mentawai dengan budaya lain lewat perdagangan
telah ada pada tahun 1621. Dan sebelum tahun 1600 hanya P. Siberut saja yang dianggap
berpenghuni Jhon Crisp30 yang datang ke wilayah kepulauan itu pada 1792 membuat
catatan yang menjelaskan bahwa mereka yang tinggal di Mentawai – terutama yang
mendiami P. Pagai – juga telah melakukan hubungan dagang dengan Bengkulu.
Hubungan dagang inilah yang menyebabkan P. Sipora dan P. Sikakap lebih maju jika
dibandingkan dengan P. Siberut yang dalam waktu lama ditinggalkan terisolir (Coronesse
1986:32). Agama-agama pendatang dari luar baru dikenal kemudian.
Protestan masuk ke Mentawai di Sikakap pada tahun 1901 dan banyak pelaut dan
pedagang sudah singgah di Sikakap dan Sipora pada masa itu. Juniator (2012)
merangkum informasi yang menujukkan bahwa agama Protestan masuk ke wilayah
Mentawai melalui para misionaris Jerman yang datang di P. Pagai pada 1901 atas
undangan pemerintah Kolonial Belanda. Coronese mencatat 2 nama pembuka misi
Protestantisme di Mentawai, yakni Pdt. August Lett dan rekannya A. Kramer. Kemudian
barulah tiba Pdt. F. Borger yang berkarya cukup lama – lebih dari 20 tahun – di Mentawai.
Pasca Perang Dunia II kegiatan zending Protestan makin berkembang di wilayah Selatan
kepulauan Mentawai itu. Salah satu buah karya yang dihasilkan zending Protestan dalam
penyebaran Kekristenan di Mentawai adalah diterjemahkannya Kitab Suci ke dalam
bahasa Mentawai (Coronese, 1986: 28) . Penterjemahan Kitab Suci ke dalam bahasa
30 Coronesse menulis bahwa laporan Crisp termasuk catatan yang penting dan menarik karena menjadi
salah satu dokumen tertulis pertama mengenai Mentawai.” Lih. Coronesse, 1986. Hlm. 143.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
setempat (dalam hal ini bahasa Mentawai dengan dialek Sikakap) menjadi sumbangan
besar dalam misi Kekristenan di Mentawai. Bahasa dialek Sikakap kemudian menjadi
bahasa resmi dalam tata peribadatan Gereja Protestan dan Katolik hingga saat ini.
Harun Yunus (Persoon dan Schefold, 1985) menulis bahwa pada tahun 1935 telah
ada penduduk Mentawai yang menganut agama Islam di P. Siberut. Pada saat itu, seorang
anak Siberut bernama Maruaian dari Simalegi diadopsi oleh seorang opas polisi bernama
Umar Said. Orang Mentawai asli pertama yang memeluk agama Islam adalah Kilaek
Sakerebau. Namun karena tidak ditemukannya sumber tertulis, sulit diketahui dengan
persis kapan tepatnya agama Islam masuk ke wilayah Kep. Mentawai. Walau demikian
perjumpaan orang Mentawai dengan para pedagang dari tanah tepi Sumatera Barat yang
beragama Islam telah terjalin jauh sebelum kehadiran Belanda. Para pedagang itu datang
ke Mentawai untuk membeli daun nipah, rotan, dari masyarakat setempat dengan sistem
barter. Pada tahun 1950 para pedagang Minangkabau masuk ke P. Siberut bagian utara.
Sambil berdagang mereka perlahan-lahan mengajak orang Mentawai untuk memeluk
agama Islam. Pengaruh Islam di Mentawai semakin berkembang dengan masuknya para
perantau dari daerah Pariaman dan Jawa. Para perantau ini kemudian tinggal dan menetap
di Mentawai dengan mengambil penduduk setempat sebagai pasangan hidup mereka
(Persoon dan Schefold, 1985: 116-117).
Misi Katolik masuk ke Mentawai, tepatnya di Siberut Selatan, melalui para
misonaris Xaverian. Saat itu tahun 1953, Pastor Aurelio Canizzaro, SX mengunjungi P.
Siberut, Sikabaluan, Sikakap dan Sipora, atas perintah dari Mgr. De Martino di Padang.
Barulah pada 18 Desember 1954 P. Canizzaro bersama dengan P. Angelo Calvi, SX,
dengan menumpang kapal Bendalu, berlayar menuju Siberut dan menetap di sana. Pada
tahun itu pula berdirilah gereja Katolik pertama di Mentawai. Natal tahun 1954 juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
menjadi tonggak lahirnya gereja Katolik di Mentawai dengan dipermandikannya 10 orang
di gereja Siberut. Misi Katolik di Mentawai dimulai dengan pelayanan di bidang
pendidikan dan kesehatan.
Hadirnya agama Katolik dengan inkulturasinya menghadirkan suasana yang
bertolakbelakang dengan situasi pasca pelarangan sabulungan di Mentawai, khususnya
di Siberut. Para misionaris awal berusaha mengenal dan mempelajari budaya lokal serta
memberikan penghargaan atasnya. Melihat sikap para misionaris tersebut yang tidak
membakar alat-alat kerei dan melarang mengadakan upacara-upacara adat, banyak orang
Mentawai di Siberut bersedia menjadi Katolik.
C. Sabulungan dan Negara
Pada masa pemerintahan Orde Lama, Departemen Agama pada tahun 1953
mencatat begitu banyak agama baru dan aliran kepercayaan yang ada di Indonesia. Saat
itu tercatat 360 agama baru dan aliran kepercayaan. Hal itu melatarbelakangi pemerintah
menerbitkan Surat Keputusan Perdana Menteri Nomor 167/PM/195431 – atas usulan
Kejaksaan Agung – yang mengesahkan berdirinya Panitia Interdepartemen Peninjau
Aliran-aliran Kepercayaan di dalam masyarakat (Panitia Interdep Pakem). Tugas badan
tersebut adalah:
a) Mempelajari dan menyelidiki bentuk, corak dan tujuan dari kepercayaan-
kepercayaan dalam masyarakat berserta dengan cara-cara perkawinan yang terjadi
di dalam masyarakat.
b) Memperhatikan, mengusulkan kepada Pemerintah peraturan-peraturan/undang-
undang yang mengatur apa yang tersebut pada huruf (a) di atas dan membatasinya
31 Atau dalam beberapa sumber ditulis SK. No.167/PROMOSI/1954
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
untuk ketentraman, kesusilaan dan kesejahteraan dalam suatu masyarakat yang
demokratis sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang tersebut dalam pasal 22 UUD
Sementara R.I.
Pada tahun yang sama di Mentawai diadakan Rapat Tiga Agama yang hasilnya
merugikan masyarakat Mentawai di Siberut yang masih kental menghidupi sabulungan
(Coronesse, 1986: 38; Corbey, 2003:14). Peristiwa tersebut muncul karena
dilatarbelakangi upaya pemerintah mentertibkan agama-agama dan aliran-aliran
kepercayaan yang ada di daerah-daerah. Orang-orang Mentawai di Siberut berduyun-
duyun menganut agama Katolik dan Protestan yang saat itu baru masuk di wilayah
tersebut. Bahkan mereka yang telah menganut agama Baha’i juga berpindah sebab Baha’i
tidak termasuk agama yang diakui pemerintah Indonesia. Agama Baha’i telah dilarang
keberadaanya oleh pemerintah Presiden Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 264
Tahun 196232 yang diterbitkan pada 15 Agustus 1962. Pada tahun 1959 Pakem diubah
menjadi Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan (BAKOR PAKEM).
Keberadaan Pakem pada perkembangannya menjadi semacam ‘polisi’ bagi keberadaan
aliran-aliran kepercayaan. Petugas Pakem di daerah-daerah dengan teliti dan teratur
mengadakan pertemuan dengan para pemuka aliran kepercayaan. Para pemeluk aliran
kepercayaan juga perlu meminta izin ketika hendak mengadakan pertemuan-pertemuan
rutin, entah yang bernuansa kerohanian maupun keorganisasian (Stange, 2007). Adanya
peraturan pemerintah untuk mentertibkan gerakan aliran kepercayaan lokal
mengakibatkan sejumlah penganut aliran kepercayaan berusaha mendapat pengakuan
dari negara. Dalam kasus di Mentawai, tidak ditemukan upaya masyarakat lokal untuk
32 Surat Keputusan Presiden No.264 Tahun 1962 ini kemudian dicabut dengan diterbitkannya Keputusan
Presiden No. 69 Tahun 2000 oleh Presisn KH. Abdurrahman Wahid pada 23 Mei 2000.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
meminta pengakuan atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan. Sebab dengan memeluk
agama Katolik dan Protestan, secara sosial mereka merasa aman sebab kedua agama
tersebut merupakan agama yang diakui oleh pemerintah.
Kehadiran para misionaris Xaverian pada tahun 1954 yang memberikan perhatian
pada budaya lokal memberikan angin segar bagi orang Mentawai dan tradisi budayanya.
Dengan berlandaskan pada semangat inkulturasi, para misionaris tidak serta merta
melarang praktik sabulungan dan membakar benda-benda budaya sebagaimana
dilakukan pada masa itu. Orang Mentawai yang kemudian memeluk agama Katolik pun
masih dengan bebas menjalankan praktik ritual budaya mereka. Bahkan dalam
perkembangan misi Katolik selanjutnya, para misionaris bersama dengan guru-guru
agama setempat, berusaha mempelajari budaya Mentawai, mengambil nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya serta kemudian mempergunakannya dalam kegiatan pendidikan
dan pengajaran agama. Dalam hal ini, kehadiran para misionaris Xaverian memberikan
kontribusi bagi pelestarian budaya lokal di Mentawai.
Kebijakan pembangunan pemerintah Orde Baru bertujuan membangun semacam
identitas tunggal bangsa dan salah satu pilarnya adalah pilar Ketuhanan Yang Maha Esa.
Bagian ini ditafsirkan secara umum bahwa sebagai warga negara Indonesia seseorang
harus mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan konsekuensi logisnya mereka
merupakan penganut agama ‘resmi’ yang diakui pemerintah Indonesia. Dalam kerangka
pemikiran ini mereka yang berada di luar kategori tersebut dipandang sebagai orang yang
‘belum bergama’. Secara dangkal kelompok yang ‘belum beragama’ dipandang sebagai
antara belum mengakui sila Ketuhanan Yang Maha Esa atau belum menjadi penganut
salah satu agama yang diakui oleh pemerintah. Dalam hal ini tugas negara adalah untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
‘membudayakan’ kelompok masyarakat tersebut sehingga secara utuh bisa diakui sebagai
warga negara Indonesia (Ropi, 2016: 155).
Pasca 1965, gerakan ‘pendisiplinan’ agama-agama dan aliran kepercayaan oleh
pemerintah semakin ditingkatkan. Sentimen atas komunisme menjadi isu yang
melatarbelakangi ketatnya upaya pemerintah mentertibkan aliran-aliran kepercayaan
yang ada di Indonesia. Kerangka pemikiran yang dangkal megeneralisasi para penganut
komunisme sebagai orang-orang yang tidak beragama. Dampaknya pemerintah
mewajibkan seluruh warga masyarakat untuk menganut salah satu agama yang ditetapkan
oleh pemerintah. Dalam TAPPRES No.1 Tahun 1965, dicantumkan bahwa agama-agama
yang diakui pemerintah adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu
(Confusius). Mereka yang tidak memeluk salah satu dari 6 agama tersebut akan
dipandang sebagai belum beragama dan sangat mungkin disinyalir sebagai penganut
komunisme. Bagi orang-orang Mentawai di Siberut, kebijakan pemerintah pasca 1965
tersebut semakin mempertegas apa yang telah dilakukan pada tahun 1954 dengan Rapat
Tiga Agama. Mereka didorong untuk menganut salah satu agama yang diakui pemerintah
Indonesia agar terhindar dari label ‘orang tidak beragama’ yang akan dengan mudah
ditafsirkan sebagai dukungan terhadapa komunisme.
Pada masa reformasi dan dengan masuknya perjuangan atas HAM, sejumlah
penganut aliran kepercayaan di Indonesia seperti Parmalim di Sumatera Utara,
Kaharingan di Kalimantan, Sunda Wiwitan di Jawa Barat dan Marapu di Sumba,
berupaya mendapat pengakuan dari pemerintah. Namun tidak demikian dengan orang-
orang Mentawai di Siberut. Tidak ditemukan upaya terbuka masyarakat Mentawai untuk
memperjuangkan pengakuan negara atas sabulungan sebagai aliran kepercayaan lokal
yang independen. Mereka tetap memeluk agama Protestan, Katolik, dan Islam. Ritual-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
ritual sabulungan masih dihidupi sejumlah orang di Siberut dan dipandang sebagai bagian
dari budaya Mentawai – terutama bagi mereka yang menganut agama Katolik.
D. Upaya Pembatasan Sabulungan
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, wilayah Kepulauan Mentawai
praktis secara administratif menjadi bagian dari Provinsi Sumatera Barat. Posisi
kepualaun Mentawai yang jauh dari pusat pemerintahan di Padang, apalagi di Jakarta
menjadikan perkembangan wilayah tersebut terabaikan. Ditambah lagi pada masa awal
kemerdekaan hingga tahun 1950-an, pemerintah pusat masih harus menghadapi berbagai
persoalan dalam upaya menstabilkan pemerintahan yang baru saja terbentuk. Peristiwa-
peristiwa seperti Agresis Militer Belanda, pembentukan konstitusi, perang sipil, hingga
beragam aksi pemberontakan dari dalam negeri menjadi sesuatu yang menyita perhatian
besar pemerintahan saat itu.
Situasi itu menjadikan wilayah Kepulauan Mentawai sama terabaikannya dengan
keberadaan daerah-daerah terluar Indonesia yang lain. Bahkan hampir 3 dekade setelah
kemerdekaan Indonesia, gubernur Sumatera Barat masih memandang orang Mentawai
sebagai masyarakat primitif (Darmanto, 2012: 58). Keberadaan masyarakat yang
dikategorikan sebagai ‘suku terasing’ ini menjadi landasan bagi pemerintah untuk
menjalankan program ‘penormalan’ sosial sehingga budaya nasional yang modern bisa
merata. Tugas ‘pemberadaban nasional’ itu kemudian menjadi tanggungjawab
Departemen Sosial. Alasan tersebut menjadi sebuah landasan yang kuat bagi pemerintah
untuk menjalankan misi penghilangan ciri-ciri tradisional dan keprimitifan orang Siberut
(Persoon, dkk 2004: 23 seperti dikutip dalam Darmanto, 2012:58).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
Pengaruh pemerintah atas masyarakat Mentawai tampak dalam kehadiran aparat
polisi, militer, kepala pemerintahan (camat, kepala kampung), guru, hingga para pewarta
agama yang masuk ke Siberut selama periode 1950-1960-an. Dalam pandangan Persoon
(dalam Darmanto, 2012:59) kaki tangan pemerintah di lapangan inilah yang mendorong
terbentuknya perkampungan-perkampungan sosial yang menggantikan struktur tertutup
uma tradisional. Kruyt (dalam Coronesse, 1986:107) menyebut uma sebagai rumah suku.
Rudito (2013:49) menyebut bahwa selain merujuk pada bangunan fisik rumah tradisional
yang dimiliki sebuah suku, uma juga menjadi simbol kekerabatan yang luas disebut
muntogat (lineage; Mentawai: keturunan). Sebelum terbentuknya perkampungan sosial,
masyarakat Mentawai hidup di sekitar uma suku mereka yang terbatas pada wilayah
tertentu saja.
Dalam situasi itu kepercayaan sabulungan yang juga mengandung budaya dan pola
hidup tradisional orang Mentawai di Siberut berhadapan dengan kuasa pemerintah.
Menurut banyak cerita dari orang Mentawai di Siberut, sabulungan sudah terlebih dahulu
hilang di wilayah Sikakap dan Sipora. Namun penulis tidak banyak mendapat informasi,
baik dari perbincangan dengan warga setempat maupun dari literatur mengenai
bagaimana hal itu terjadi. Kemungkinan besar lunturnya pengaruh sabulungan di wilayah
selatan adalah akibat masuknya agama Protestan serta banyaknya pengaruh dari luar di
wilayah itu yang telah seringkali didatangi para pedagang pesisir Sumatera dan para
pelaut. Di Seberut perubahan yang besar terjadi justru setelah tahun 1950-an melalui
intervensi negara dengan Rapat Tiga Agama. Pertemuan tersebut – sebagaimana dicatat
oleh Coronesse (1986: 38) menghasilkan keputusan sebagai berikut:
1. Arat sabulungan harus dihapuskan, bilamana perlu menggunakan
kekerasan dengan bantuan tenaga polisi.
2. Dalam tempo 3 bulan diberi kebebasan kepada penduduk asli untuk
memilih salah satu agama, Islam atau Kristen Protestan. Jika sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
berakhir tempo yang diberikan ternyata mereka tidak juga
melakukan pilihan, semua alat-alat keagamaan arat sabulugan akan
dibakar oleh polisi dan bahkan diancam hukuman.
Sabulungan dipandang sebagai bagian dari pola hidup ‘masyarakat primitif’ dan
karenanya harus dihilangkan demi program ‘normalisasi’ negara. Rapat Tiga Agama33
menjadi peristiwa yang sangat jelas bagaimana pemerintah memaksakan pengaruhnya
terhadap kebudayaan lokal orang Mentawai. Agama-agama baru ‘dipaksakan’ untuk
dianut oleh masyarakat setempat tanpa adanya kesempatan yang cukup panjang untuk
mengenal agama-agama tersebut. Sabulungan yang melingkupi cara hidup dan cara
pandang orang Mentawai terhadap alamnya dilarang. Dalam situasi yang dipenuhi rasa
takut akan hukuman dari aparat pemerintah bercampur dengan kebingungan untuk
meninggalkan cara hidup yang telah sekian lama dipegang, orang Mentawai di Siberut
muncul sebagai saksi bagaimana negara masuk dan mempengaruhi kehidupan mereka.
Dalam beberapa kesempatan penulis berbincang-bincang dengan sejumlah orang
Mentawai, ada berbagai keterangan yang mereka sampaikan mengenai sabulungan.
Anak-anak muda usia SMP dan SMA banyak yang tidak tahu mengenai sabulungan.
Secara spontan mereka mengatakan bahwa sabulungan adalah agama orang Mentawai
zaman dulu. Yang lain menjawab sabulungan merupakan upacara dengan menggunakan
daun-daun. Beberapa orang dewasa pun mengatakan hal yang serupa. Hal ini dapat
33 Ada 2 versi informasi mengenai perwakilan dalam Rapat Tiga Agama. Versi pertama seperti telah
ditulis Coronesse (1986:38) melibatkan perwakilan dari agama Protestan, Islam, dan Sabulungan.
Keterlibatan perwakilan sabulungan masih dipersoalan di kalangan beberapa informan yang penulis
jumpai di lapangan. Mereka mengatakan kemungkinan perwakilan itu adalah orang Mentawai dan
dipandang begitu saja sebagai representasi seluruh orang Mentawai. Kemungkinan perwakilan itu
adalah orang Mentawai yang tidak lagi menjalankan tradisi sabulungan. Versi kedua (seperti ditulis
Darmanto, 2012: 59) menunjukkan perwakilan yang hadir dari agama Protestan, Islam, dan Katolik. Hal
ini juga disangsikan kebenarannya mengingat pada tahun 1954 misi Katolik baru saja masuk di wilayah
Kepulauan Mentawai dan baru pada Desember 1954 terjadi pembaptisan umat Katolik pertama di
Mentawai. Dari data tersebut, praktis sebelum akhir tahun 1954 agama Gereja Katolik belum berdiri di
Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
dengan mudah dimengerti karena mereka mengaitkan istilah sabulungan dengan kata
dasar ‘bulug’ yang dalam bahasa Mentawai berarti daun. Memang dalam banyak upacara
tradisional dedaunan ini selalu digunakan. Hal ini yang menjadikan orang dengan mudah
mengaitkan sabulungan dengan istilah ‘agama dedaunan’ dan tidak sedikit pula para
penulis yang mempertahankan definisi tersebut (bdk. Rudito, 2013: 3; Delfi, 2013: 478).
Dalam keyakinan tersebut dipercaya adanya 2 dunia: dunia roh yang tak tampak dan dunia
mahkluk hidup yang nampak. Dalam keyakinan tradisional suku Mentawai, ada berbagai
istilah untuk menyebut ‘roh’. Segala sesuatu di bumi dan alam semesta ini memiliki
simagre - essensi dari semua yang hidup – dan bisa diterjemahkan dengan kata soul
dalam Bahasa Inggris. Selain simagre, mahkluk hidup seperti, manusia, hewan, dan
tumbuhan, juga memiliki ketsat (spirit). Setelah mahkluk hidup mati, baik simagre
maupun ketsat kembali ke dunia roh (spirit world) dan menjadi sesuatu yang disebut ukkui
atau kalimeu (spirits of the dead) (Juniator, 2012). Orang Mentawai juga percaya atas
keberadaaan roh-roh yang menghuni alam: tumbuhan, hewan, tempat-tempat seperti
sungai, laut, dan gunung – yang keberadaanya berelasi satu sama lain dan saling
mempengaruhi kehidupan manusia. Munculya penyakit, musibah, dan kematian,
merupakan dampak dari ketidakseimbangan antara manusia dan roh-roh di alam tersebut.
Dan lewat ritual-ritual tertentu, misalnya dalam upacara pengobatan orang sakit (punen
pabettei) atau upacara kematian (punen ke ibara samamatei), manusia – melalui bantuan
sikerei - bisa berhubungan dengan dunia roh-roh tersebut. (Coronesese, 1986; Mulhadi,
2007; Juniator, 2012)
Menurut Juniator pada tahun 1950an mulai ditambahkan kata arat untuk menyebut
kepercayaan tersebut, sehingga kemudian dikenal istilah arat sabulungan sebagai
‘agama’ orang Mentawai. Sebelumnya orang Mentawai menggunakan kata punen untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
menyebut beragam bentuk kegiatan, upacara, atau pesta. Dalam perjalanan waktu, kata
punen inilah yang digantikan dengan kata arat. Arat dalam bahasa Mentawai memiliki
makna yang luas. Arat bisa merujuk pada aturan-aturan, norma-norma, tradisi, serta
kebiasaan-kebiasaan setempat. Istilah arat sendiri merupakan perubahan dari kata punen.
Bagi orang Mentawai kata punen mengacu pada pada perayaan, upacara, atau ritual yang
dijalankan dengan serangkaian kegiatan-kegiatan. Kini kata arat sering dipahami juga
sebagai kepercayaan (belief) atau ideologi. Sedangkan kata punen lebih sering mengacu
pada perayaan-perayaan seremonial, atau upacara-upacara, baik dalam lingkup adat,
maupun dalam lingkup agama-agama (Juniator, 2012: 68).
Penambahan kata arat – sebagaimana ditulis Tulius Juniator (2012: 67) – muncul
karena baik pemerintah maupun para missionaris pada waktu itu membutuhkan sebuah
istilah tunggal untuk menyebut beragam agama, termasuk sistem kepercayaan tradisional.
Sabulungan dengan demikian dikelompokkan dalam kategori ‘agama’ (religion) dengan
penambahan kata arat, kata yang sama yang digunakan untuk menyebut arat Islam, arat
Katolik, arat Protestan. Munculah pembedaan antara arat puaranan (kepercayaan
agama-agama samawi: Katolik, Protestan, Islam) dan arat sabulungan. Kata puaranan
sendiri dalam bahasa Mentawai sering digunakan untuk merujuk pada ‘agama’.
Pasca kemerdekaan Republik Indonesia di tahun 1945, terjadinya pemberontakan
DI/ TII serta meningkatnya jumlah aliran kepercayaan mendorong pemerintah melalui
Kementerian Agama untuk mengatur legalitas dan penyeragaman agama. Bahkan tahun
1952, Kementerian Agama menyatakan bahwa untuk bisa diakui negara, sebuah agama
harus mengandung unsur-unsur: 1) merupakan pewahyuan dari Tuhan, 2) Memiliki nabi
dan 3) kitab suci, 4) memiliki sistem peraturan bagi para penganutnya, dan yang lebih
jauh lagi 5) diakui secara internasional serta tidak terbatas hanya pada sekelompok etnis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
saja (Picard and Remi Madiner, 2011: 13; Ropi, 2017: 119). Alamsjah Ratu
Prawiranegara yang menjabat sebagai menteri agama periode 1978-1983 justru
berpendapat bahwa kepercayaan lokal yang telah lama dianut oleh masyarakat adat di
berbagai tempat di Indonesia tidak seharusnya dipandang sebagai agama baru di
Indonesia melainkan sebagai budaya daerah (culture). Oleh karena itu menurut Alamsjah,
keberadaan aliran kepercayaan tersebut menjadi tanggungjawab Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan, dan bukan berada di bawah naungan Kementraian Agama ( Ropi, 2017:
145). Aliran kepercayaan yang dimaksud tersebut meliputi juga yang kepercayaan lokal
yang kini kita kenal seperti: Sunda Wiwitan di Jawa Barat (antara lain di wilayah Banten,
Cirebon, Kuningan), Kaharingan di Kalimantan, Marapu di Sumba, Kejawen di Jawa,
dan dalam kasus yang akan diulas dalam tesis ini adalah sabulungan di Kep. Mentawai,
Sumatera Barat.
Rapat Tiga Agama dengan demikian tercatat dalam sejarah dan banyak penelitian
mengenai Mentawai sebagai peristiwa yang mengawali pelarangan negara atas
sabulungan. Meskipun demikian dalam kenyataanya, sebagaimana juga penulis amati
selama bertugas di Siberut periode tahun 2012-2014, masih bisa dijumpai orang-orang
Suku Mentawai yang mempraktikkan ritual-ritual yang berkaitan dengan tradisi
sabulungan. Saat ini kendati telah banyak orang Mentawai yang menganut agama
Protestan, Katolik, dan Islam, kepercayaan akan adanya roh-roh ini belum hilang.
Ungkapan ‘awas iorak kise’ (Mentawai: awas kena kise) sering penulis dengar dari anak-
anak setempat ketika mereka berada di hutan atau mendatangi tempat-tempat baru
didatangi. Kata-kata itu menunjukkan kekhawatiran agar jangan sampai kita melakukan
sesuatu yang mengganggu keberadaan roh-roh di alam. Sebab, jika roh-roh itu
bersentuhan dengan manusia akan meyebabkan orang tersebut sakit. Begitu pula jika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
seorang anak sakit, meskipun sudah ada pelayanan puskesmas, tidak jarang orang tua
anak tersebut memanggil sikerei guna mengadakan ritual pengobatan. Mereka percaya
sakit si anak terjadi karena roh anak tersebut (dikenal dengan istilah simagere) berada di
suatu tempat atau telah bersentuhan dengan roh-roh yang ada di alam. Oleh karena itu
upacara pemanggilan simagre oleh sikerei perlu dibuat agar roh anak tersebut kembali
dan ia bisa sembuh. Ritual-ritual semacam itu masih banyak dijalankan oleh orang
Mentawai hingga saat ini. Bahkan pantangan-pantangan atau dalam bahasa Mentawai
dikenal dengan istilah keikei masih tetap diikuti ketika hendak melakukan suatu aktifitas.
Kepercayaan akan keberadaan roh-roh yang hidup bersama manusia dan saling
mempengaruhi satu sama lain menjadikan budaya sabulungan belum sepenuhnya musnah
dari sanubari orang Mentawai.
E. Memudarnya Sabulungan dari Kehidupan Orang Mentawai
Banyak literatur menyebut bahwa Rapat Tiga Agama tahun 1954 menjadi awal
pelarangan sabulungan di Siberut. Namun dalam perjumpaan dengan sejumlah orang di
wilayah Siberut Selatan, penulis sering memperoleh informasi yang simpang siur.
Sebagian dari orang Mentawai tidak mengetahui mengenai sama sekali mengenai
pertemuan Tiga Agama tersebut. Hanya segelintir orang yang pernah menduduki jabatan
pemerintahan seperti kepala desa, atau mereka yang berkarya sebagai guru atau guru
agama Katolik yang mengiyakan adanya pertemuan tersebut sekitar tahun 1955:
Memang benar tahun 1955 ada rapat tiga agama di kecamatan kita
disini. Waktu itu kalau ndak salah camat Dulah namanya, orang
Pariaman. Rapat Tiga Agama diundanglah tokoh-tokoh
masyarakat. Tokoh-tokoh agama, berkumpul di kecamatan kita.
Yang hadir itu ada yang mewakili agama Islam, Protestan, Katolik,
makanya disebut rapat Tiga Agama.34
34 Wawancara dengan Selester Sagurujuw, Muntei, 3 Januari 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Walau demikian hampir semua orang yang penulis jumpai mengingat peristiwa
pembakaran buluat (rangkaian akar-akaran dan rotan yang terdapat di uma dan diyakini
sebagai tempat roh pelindung atau penjaga), aksesoris ritual dan budaya di uma serta
peralatan sikerei yang terjadi di Siberut. Mereka semua dengan lancar menceritakan
peristiwa tersebut dengan cukup detail. Dikisahkan pada masa itu terjadi pembakaran
buluat dan alat-alat kerei. Pelakunya justru bukan orang sasareu (orang dari luar
Mentawai). Figur yang sangat lekat dengan ingatan para orang-orang tua mengenai
peristiwa pembakaran itu adalah orang-orang yang berasal dari Sikakap (mereka
menyebutnya Sakalagat) yang menjadi polisi dan beragama Protestan.
Sebagian dari mereka tidak mengingat tahun terjadinya peristiwa pembakaran
tersebut dengan jelas. Namun dari wawancara sejumlah tokoh masyarakat dan penduduk
setempat, peristiwa pelarangan sabulungan di Mentawai terjadi lebih dahulu di wilayah
selatan, yakni di daerah Sikakap (P. Pagai Utara dan P. Pagai Selatan) dan Sipora. Di
sanalah agama Protestan pertama kali masuk pada tahun 1900-an. Para misionaris Katolik
yang datang ke P. Siberut pada tahun 1954 dan 1960-an menyatakan bahwa pada periode
tersebut wilayah Sikakap dan Sipora telah lebih modern dibanding dengan Siberut. Akan
tetapi penulis tidak mendengar bagaimana peristiwa pelarangan tersebut terjadi di
wilayah Sikakap dan Sipora.
Beberapa warga mengatakan bahwa program pelarangan sabulungan dimulai di
wilayah selatan (Pagai Utara, Pagai Selatan, Sipora). Tidak ada cerita mengenai situasi
pelarangan sabulungan di wilayah Sikakap dan Sipora yang disampaikan oleh beberapa
orang yang penulis wawancara. Yang jelas, ketika polisi-polisi orang Sikakap yang
beragama Protestan melakukan pembakaran atas buluat dan alat-alat kerei di Siberut,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
terutama di Siberut Selatan, sekelompok warga masyarakat berusaha menentang dan
melawan. Beberapa dari mereka menyembunyikan alat-alat yang dianggap sakral dan
penting ketika polisi terjun ke lapangan dan menggeledah uma mereka. Ada pula warga
yang membuat tiruan dari alat-alat kerei dan menyerahkan kepada polisi untuk dibawawa
ke pusat kecamatan dan dibakar.
Dalam ingatan orang Mentawai yang penulis jumpai peristiwa pembakaran tersebut
begitu membekas dan menyisakan trauma. Beberapa dari mereka dengan terus terang
mengatakan jika penulis berasal dari wilayah selatan (Sikakap atau Sipora), mereka tidak
akan menceritakan kisah tersebut dan bahkan mengusir kami. Beberapa orang tua tampak
begitu emosional ketika mengingat dan menceritakan kembali peristiwa tersebut. Mereka
yang menolak untuk melepas aksesoris yang dikenakan atau melawan bisa dihukum
dengan dipukul atau ditahan di ibu kota kecamatan. Seorang mantan guru katekis pribumi,
Bapak Mikael Sabaggalet, menceritakan apa yang dilihatnya waktu itu:
Ah itu di tahun 1952. Pembakaran kerei masal, di mana -mana. Saya
di Sagulubbe. Terakhir mereka datang ke Sagulubbe. Ke kampung
lain dibakar, ke Sarereiket, ke Silaoinan. Itu yg membakar orang
polisi. Kebetulan polisi ini agama Protestan. Kalau tidak dibakar,
dihukum. Atau dipukul. Ah itu polisi. Kebanyakan polisi dulu dari
Sikakap dan Sipora. .... Mereka bakar buluat. Bakar. Oh kasihan
kita ini. Kan sudah penuh daun-daun itu mereka bakar.35
Pelarangan sabulungan di Siberut masih membekas di hati dan ingatan sejumlah
warga. Bahkan mereka yang tinggal di wilayah sepanjang Sungai Rereiket juga masih
mengingat peristiwa tersebut. Di wilayah itu, tradisi dan budaya khas orang Mentawai
masih bisa dijumpai, sebab pada masa lalu, wilayah tersebut sulit dijangkau dan mereka
yang hidup di wilayah itu mengadakan perlawanan ketika pihak polisi datang dan
35 Wawancara dengan Michael Sabaggalet, Muara Siberut, 4 Januari 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
mencoba memusnahkan budaya mereka. Hingga saat ini masyarakat di wilayah tersebut
dikenal sebagai penjaga tradisi Mentawai yang masih bertahan.
Walau demikian mereka juga mengakui kalau tidak banyak lagi ritual-ritual yang
bisa dibuat seperti jaman dahulu, seperti umpamanya ritual sinuruk yaitu upacara
mendirikan uma baru. Ritual inisiasi pasca kelahiran seorang anak, seperti pangabela,
pangambok, dan eneget juga sudah mulai ditinggalkan. Pada masa lalu, ritual pangabela
misalnya, harus dilakukan sebelum anak yang baru lahir bisa dibawa keluar rumah. Hal
ini bertujuan agar roh sang anak terbiasa dengan roh-roh yang ada di alam sekitarnya.
Perbincangan dengan seorang sikebukat (orang yang dituakan) di Ugai mengataka bahwa
situasi yang ada saat ini sudah tidak memungkinkan lagi melakukan ritual-ritual seperti
jaman dulu. Mereka yang beragama Katolik misalnya, telah merasa cukup jika anak
mereka telah dibaptis di gereja. Walau demikian para orang tua itu mengatakan masih
tahu tata cara pelaksanaan ritual-ritual tersebut andaikata ingin dibuat kembali.
Seorang sikebukat (Mentawai: orang yang dituakan) di dusun Ugai malah menyebut
bahwa kehadiran sekolah juga dipandang sebagai sesuatu yang mengubah pola pemikiran
anak muda Mentawai. Karena sejak kecil mereka harus bersekolah anak-anak tersebut
tidak mengerti lagi cara berladang, cara berburu dan mengumpulkan hasil hutan. Hutan
tidak lagi menjadi sesuatu yang penting bagi hidup anak-anak muda ini. Hutan dipandang
berharga dari segi ekonomisnya saja. Kayu dan hasil hutan lain sekedar dipandang
menguntungkan jika bisa dijual dan menghasilkan uang. Pekerjaan yang dilakukan di
kantor atau menjadi pegawai pemerintah lebih tampak menarik dibandingkan
mengumpulkan hasil hutan, berburu atau berladang. Hal ini tentu berbeda dengan cara
pandang orang tua yang melihat hutan dan ladang sebagai sumber kehidupan yang harus
dijaga dan dipertahankan. Akibatnya tidak ada lagi ritual-ritual sebelum berburu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
dibuat. Ritual panaki dan tinungglu yaitu upacara memberi sesaji yang diadakan sebelum
menebang pohon untuk membuka ladang baru mulai ditinggalkan. Busur dan anak panah
digantikan dengan senapan, dan kampak serta parang digantikan gergaji mesin. Tanah-
tanah pun dengan begitu mudahnya dijual kepada para pendatang sehingga dengan cepat
bisa diperoleh uang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
BAB III
SABULUNGAN, PANDANGAN HIDUP DAN
RITUS KEHIDUPAN ORANG MENTAWAI
Peristiwa tahun 1954 dan rangkaian kegiatan pelarangan sabulungan memang
masih menimbulkan trauma pada generasi tua orang Mentawai hingga saat ini. Mereka
dipaksa untuk memeluk agama-agama baru dalam tempo yang singkat. Satu sisi mereka
belum siap meninggalkan kepercayaan yang telah turun temurun membangun pola hidup
bersama alam, namun di sisi lain mereka perlu memeluk agama baru seperti dianjurkan
pemerintah dan dengan demikian mereka terhindar dari hukuman aparat pemerintah.
Banyak orang Mentawai memilih masuk agama Katolik yang pada tahun 1954 baru saja
masuk ke wilayah Kep.Mentawai. Adanya konsep inkulturasi menjadikan kebudayaan
tradisional Mentawai tidak serta merta dilarang, namun dimaknai secara baru. Bagaimana
kemudian orang-orang Mentawai yang hidup di ‘dua jaman’ – masa di mana sabulungan
belum dilarang, dan masa setelahnya – memandang kepercayaan nenek moyang itu saat
ini? Di mana jejak-jejak kepercayaan itu bisa dijumpai dalam ritual-ritual budaya serta
dalam alam pikiran orang Mentawai saat ini?
Sejauh pengamatan penulis dan perjumpaan dengan orang-orang Mentawai di
Siberut Selatan, hampir tidak ada yang mengatakan dengan terbuka bahwa mereka
menganut ‘agama’ sabulungan. Bahkan di kalangan anak muda Mentawai, sabulungan
sebatas dikenal sebagai ‘agama orang dahulu’. Mayoritas masyarakat Mentawai di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Siberut Selatan memeluk agama Katolik. Pada Desember 1954 sejumlah warga setempat
dipermandikan dan peristiwa itu menjadi tanda berdirinya Gereja Katolik di Mentawai.
Namun, apakah benarr sabulungan telah benar-benar dilupakan orang Mentawai saat ini?
Dalam bagian ketiga ini penulis memberikan gambaran mengenai bagaimana jejak-jejak
kepercayaan sabulungan ditemukan dalam kehidupan sehari-hari dan pandangan orang
Mentawai saat ini. Dari pengamatan penulis dan perbincangan dengan sejumlah tokoh
masyarakat bisa dilihat bagaimana orang Mentawai bersiasat menghidupi budaya mereka
kendati pada tahun 1954 praktik sabulungan telah dilarang melalui Rapat Tiga Agama.
Dalam bab ini, pertama penulis akan menyajikan beberapa pandangan orang
dewasa mengenai sabulungan saat ini dan membandingkannya dengan apa yang ditulis
beberapa peneliti mengenai Mentawai. Pada bagian selanjutnya penulis akan
memaparkan bagaimana hubungan antara kepercayaan sabulungan dan pandangan hidup
orang Mentawai yang sudah memeluk agama samawi, dalam hal ini agama Katolik.
Kisah-kisah yang mereka bagikan menyiratkan bagaimana orang Mentawai berusaha
hidup panjang dan mengalami kematian yang baik. Hal itu dicapai dengan mengusahakan
relasi harmoni dengan roh-roh yang ada di alam, dan berarti juga menumbuhkan sikap
hormat terhadap alam dan segala isinya, tempat mereka hidup.
A. Sabulungan dan Sikebukat36
Sabulungan seringkali dianggap sepintas sebagai ‘agama dedaunan’ karena
penggunaan beragam daun dalam setiap ritual yang diadakan. Namun ada juga gagasan
lain seperti tampak dalam tulisan Juniator (2012). Ia berpendapat bahwa sabulungan
merujuk pada roh-roh yang kepada mereka orang Mentawai memberikan persembahan
36 Sikebukat (bhs.Mentawai) artinya orang dewasa atau mereka yang dituakan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
(Mentawai: buluat). Hal ini sejalan dengan apa yang ditulis oleh Coronesse, bahwa orang
Mentawai menggunakan kata sabulungan untuk menyebut roh secara umum (Coronesse,
1986:48). Selain itu kata ‘arat’ yang ditambahkan oleh para misionaris menjadikan
sabulungan dipahami sebagai ‘agama’ dengan dibedakannya dengan agama-agama
Samawi, yang dalam bahasa Mentawai dikenal dengan istilah arat puaranan. Banyak
orang Mentawai yang penulis jumpai merujuk pada kedua gagasan di atas ketika
berbicara mengenai apa itu sabulungan.
Orang Mentawai tidak memiliki istilah tertentu untuk menyebut sistem kepercayaan
mereka (Juniator, 2012:69). Kepercayaan akan roh-roh di alam, sabulungan, itu lah yang
menjadi dasar bagaimana orang Mentawai beraktivitas. Seluruh aktivitas dalam
kehidupan orang Mentawai diwarnai dengan beragam pantangan (keikei). Mulai dari
kegiatan menyagu, beternak babi, beternak ayam, berburu, membuat racun panah,
membuat obat, membuat rumah, dan membuat sampan, terdapat pantangan yang harus
dipatuhi. Pantangan-pantangan tersebut dijalankan supaya mereka terhindar dari
musibah. Musibah atau malapetaka terjadi jika muncul konflik antara aktivitas manusia
dan roh-roh yang ada di alam. Menjalankan segala kegiatan sehari-hari dan mengikuti
segala pantangannya menjadi upaya orang Mentawai membangun kehidupan yang selaras
alam; beserta roh-roh yang hidup di sana berdampingan dengan mereka. Segala sesuatu
dilaksanakan untuk menjaga harmoni antara manusia dan dunia roh-roh, dengan alam.
Roh-roh alam itulah yang memberikan segala sesuatu yang dibutuhkan manusia untuk
hidup. Maka sudah selayaknya manusia berterima kasih dengan menjalankan pantangan-
pantangan yang ada demi keberlanjutan kehidupan yang seimbang. Itulah alam
sabulungan; sebuah cara hidup bagi orang Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Kedatangan agama-agama dari luar serta paksaan pemerintah dengan beragam
kebijakannya menjadikan orang Mentawai memeluk agama-agama samawi (Katolik,
Protestan, Islam). Mereka pergi ke gereja setiap Minggu atau ke tempat ibadat masing-
masing. Perayaan-perayaan memperingati hari besar agama-agama menjadi hal baru bagi
masyarakat Mentawai. Namun bagi sebagian orang Mentawai, pantangan-pantangan
yang ada tetap dijaga. Bagi mereka akibat yang akan menimpa mereka ketika melanggar
pantangan tertentu jauh lebih menakutkan daripada perasaan bersalah ketika melanggar
peraturan agama-agama. Sebagai gambaran, petikan percakapan penulis di Dusun Ugai
dengan Yohanes Sanambaliu (Teu Jablai) – yang sempat menjadi kepala dusun dan
bekerja sama dengan UNESCO pada program Taman Nasional Siberut – bisa
memperlihatkan bagaimana pandangan sikebukat atas sabulungan:
Tanya : Jadi apa lagi punen yang dulu ada, tapi sekarang tidak ada
lagi?
Jawab: Yang meninggalkannya itu mereka di bagian Siberut
Utara. Sudah mereka lupakan itu pangureijat, puliaijat, arat-arat
sikerei, tidak tahu mereka. Je geti, anai le (Kalau di sini sih, masih
ada). Tapoi (tapi) itu arat siburu (agama lama). Kalu sekarang
ada arat baru, berdoalah yang kita buat. Tapoi, meskipun tidak
dibuat lagi, kalau diminta menjalankannya lagi, masih bisa.
Masih tahu kami itu tatacaranya.
Tanya: Jadi banyak punen-punen di sarereiket tidak hilang ya?
Jawab: Tak. Masih ada di sini. Tidak kami tinggalkan. Keikeinia
(pantangannya) tak tuhilang (tidak dihilangkan).37
Tidak ada yang menyatakan bahwa mereka menjalankan ‘sebuah agama’ yang
namanya sabulungan. Sabulungan dalam pandangan para sikebukat jaman dulu adalah
roh-roh yang hidup bersama dengan mereka di alam. Roh-roh itu merupakan roh yang
baik, yang akan memberikan hasil bumi kepada mereka jika manusia menjaga hubungan
37 Wawancara dengan Yohanes Laidoak Sanambaliu, Dusun Ugai pada 20 Desember 2017.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
yang baik. Hubungan yang baik dengan roh-roh ini yang memunculkan beragam bentuk
ritual beserta segala pantangannya.
B. Sabulungan dan Pandangan Hidup Simataoi38
Sejak permulaan keberadaan roh-roh yang hidup di alam telah ada dalam alam
pemikiran orang Mentawai. Bahkan hingga saat ini, jika kita pergi ke wilayah Siberut dan
berbincang-bincang dengan orang Mentawai di sana, sebagian masih memiliki pandangan
demikian. Kisah-kisah awal kehidupan orang Mentawai pun banyak berisi mengenai
keberadaan roh-roh yang menciptakan segala sesuatu di alam demi kehidupan manusia.
Orang Mentawai masa lalu sadar sepenuhnya bahwa alam yang mereka tempati ini
bukanlah milik mereka. Alam dan segala isinya merupakan pemberian dari roh-roh alam
dan oleh karenanya menjaga relasi dengan mereka merupakan cara hidup yang baik dan
ideal (Spina, 1981:14).
1. Kehidupan yang Diidamkan : Hidup Panjang dan Kematian yang Baik
Dengan alam pemikiran orang Mentawai akan keberadaan roh-roh di alam, manusia
perlu membangun pola hidup yang menjaga relasi yang baik. Bagi orang Mentawai hidup
yang didambakan adalah terhindar dari malapetaka, mencapai usia panjang dan akhirnya
mendapat kematian yang baik.39 Beberapa narasumber yang penulis jumpai mengisahkan
hal yang serupa. Sebagian dari mereka – yang usianya sudah lanjut – masih mempercayai
hal ini. Perbincangan penulis dengan Marinus Salolosit di dusun Maseppaket bisa
memberi gambaran bagaimana hubungan antara kehidupan yang baik dan kematian:
38 Orang Mentawai. 39 Bdk. Loeb, 1929. Hal. 188.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Yang menentukan adalah cara kita mati. Kek maeruk tamatei,
maeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan baik, baik juga roh kita).
Tak meruk tamatei, takmeruk ketcatta (Kalau kita mati dengan
tidak baik, tidak baik juga roh kita). Bojoi-bojoi, pasikatnia
(Minta maaf ya, umpamanya) yang matinya kena parang, kena
tombak, ah itu kematiaanya sikatai (jelek). Mereka akan jadi
sanitu. Jadi ketcatnia itu sifatnya jahat. Makatai le ia. Jadi kalau
kita meninggal karena sakit itu wajar. Ketcat mereka yang
meninggal karena ditippu (dipukul) orang, itu karena ketcatnia
masih marah. Marah kepada kita yg masih hidup ini. Makatai
ngangania. Kalau kita meninggal dengan baik, maka ketcat kita
juga baik. Tetapi meskipun dia ketcat yang baik, kata-katanya
itu berefek buruk kepada kita. Walaupun, maksudnya menegur
kita, memberitahu kita, misalnya kita sedang bekerja, lalu kita
diingatkan, katat-katanya itu tetap membuat kita sakit.
Malapetaka bisa membawa kematian yang buruk. Meninggal karena tenggelam,
tertimpa pohon, terkena panah ketika berburu, atau terluka karena serangan babi saat
beternak, merupakan hal-hal yang harus dihindari karena itulah contoh kematian yang
buruk. Semua peristiwa itu dipandang sebagai malapetaka yang muncul karena seseorang
tidak melaksanakan pantangan tertentu. Orang Mentawai tidak memandang peristiwa di
atas sebagai ‘kecelakaan’ biasa yang wajar terjadi dan bisa menimpa siapa saja karena
faktor kebetulan. Mereka percaya bahwa kecelakaan yang terjadi merupakan akibat dari
dilanggarnya pantangan tertentu. Hal itu diakibatkan oleh roh-roh di alam yang terganggu
dengan tindakan manusia sehingga mencelakai mereka. Kepercayaan akan keberadaan
roh-roh alam, yang hidup di hutan, sungai, laut, bahkan di setiap tumbuhan, hewan, dan
semua benda, menjadi latar belakang mengapa ada begitu banyak keikei (bhs.Mentawai:
tabu, pantangan) dalam kehidupan orang Mentawai (Loeb, 1929: 234-235).
Orang Mentawai memandang hidup yang ideal sebagai hal terhindarnya dari segala
malapetaka. Agar terhindar dari beragam malapetaka itu setiap pantangan harus
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
dilakukan dan ditaati. Ada banyak sekali keikei (pantangan) di Mentawai40. Dalam bagian
ini diperlihatkan bagaimana orang Mentawai masih memiliki keyakinan akan pengaruh
keikei dalam kehidupan mereka. Misalnya beberapa orang yang penulis wawancarai
menceritakan bagaimana orang Mentawai berpantang dalam kegiatan berburu. Sebelum
pergi ke hutan mereka perlu meminta ijin kepada roh penjaga hutan. Tujuannya agar roh-
roh hewan buruan itu tidak takut dan mau menunjukkan diri mereka pada manusia.
Mereka juga harus pergi dengan diam-diam dengan tujuan agar roh-roh yang jahat tidak
mendengar rencana kepergian mereka berburu. Jika sampai roh-roh jahat itu mengetahui
mereka hendak pergi berburu, roh-roh itu nantinya bisa saja mencelakai mereka saat
berada di hutan. Mereka juga tidak boleh bertengkar atau marah-marah dalam berburu.
Bahkan ketika berburu dengan membawa anjing, mereka dilarang memukul anjing
pemburu mereka itu. Mereka tidak boleh mandi atau tidur saat membuat racun panah
karena diyakini akan menjadikan racun panah menjadi tawar.
Tidak mendapat buruan menandakan ada pantangan tertentu yang terlewat sehingga
perlu diadakan ritual kembali. Dan jika berhasil mendapatkan hasil buruan, mereka akan
menyisihkan sedikit bagian bagi roh-roh nenek moyang. Daging hewan buruan juga akan
dibagikan untuk dinikmati anggota suku dan pantang untuk dimakan sendiri saja. 41
Tengkorak hewan buruan kemudian digantungkan menghadap ke luar di beranda uma.
Tujuannya agar roh-roh hewan buruan ini bisa memanggil kawan-kawan mereka
sehingga manusia akan mendapatkan hasil buruan kembali. Baik dalam hal berburu,
membuka ladang, pergi memancing ikan di sungai atau di laut, menebang dan mengolah
sagu, membuat sampan, semuanya dipenuhi dengan keikei.
40 Lih. Coronesse, 1986, hal. 61-68. 41 Bdk. Loeb, 1929, hal. 240-241
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Menjaga relasi yang baik dengan roh-roh alam dengan mentaati dan menjalankan
setiap keikei yang ada bagi orang Mentawai akan mendatangkan banyak manfaat. Mereka
akan terhindar dari gigitan hewan liar saat berada di hutan dan akan mudah mendapatkan
hewan buruan yang kemudian bisa dinikmati oleh seluruh keluarga dan suku mereka.
Ketika menebang pohon untuk membuka ladang, dengan menjalankan ritual memohon
ijin kepada roh-roh hutan, orang Mentawai percaya bahwa mereka akan terhindar dari
kecelakaan saat bekerja. Tanaman ladang mereka pun bisa terhindar dari hama dan hewan
perusak. Kegiatan berladang mereka juga akan berhasil dan tanaman yang ada di ladang
mereka akan berbuah dengan baik.
Demikian pula ketika mereka hendak memelihara ayam dan babi. Rangkaian
pantangan tetap mereka jaga dan dijalankan. Berbeda dengan keadaan di tempat yang
padat penduduknya, di Mentawai masyarakat setempat secara tradisional memelihara
ayam dan babi dengan melepaskannya di hutan. Untuk ayam mereka hanya menyediakan
kurungan yang digantung di pohon untuk memasukkan ayam-ayam ketika malam hari.
Pagi hari ayam-ayam itu di lepas dan dibiarkan berkeliaran di hutan untuk mencari
makan. Cara itu membuat ayam lebih cepat berkembang besar. Jika dalam beberapa
waktu sejumlah ayam tidak kembali menjelang sore atau mati dimangsa ular, orang
Mentawai akan berpikir ada sesuatu pantangan yang dilanggar sehingga mereka tertimpa
nasib sial. Demikian pula ketika memelihara babi. Umumnya di daerah Siberut hulu,
perkampungan berada berseberangan dengan lahan pemeliharaan babi. Sungai lah yang
menjadi batasnya. Babi-babi peliharaan di lepas di dalam hutan dan sesekali dipanggil
ketika hendak memberi makan. Jika pantangan dalam ritual untuk memelihara babi
dilanggar, babi-babi itu akan hilang di hutan dan menjadi liar. Atau yang lebih parah,
babi-babi itu akan mudah terserang penyakit dan mati. Namun jika pantangan yang ada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
ditaati dan dijalankan dengan benar maka babi-babi itu akan pulang kembali ketika
dipanggil dan menjadi jinak. Itulah mengapa orang Mentawai sangat teguh berpegang
pada pantangan-pantangan itu.
Meskipun saat ini mayoritas orang Mentawai di Siberut telah memeluk agama dan
telah mengenyam pendidikan, masih banyak dijumpai peristiwa yang menunjukkan
bahwa keyakinan mereka akan keberadaan roh-roh belum hilang. Beberapa kali penulis
melihat bagaimana seorang yang sakit, jika tidak bisa sembuh dengan pengobatan di
poliklinik atau puskesmas, akan menggunakan cara tradisional. Dan karena mereka
mempercayai bahwa seseorang yang sakit bisa dikarenakan roh-nya (simagre)
meninggalkan tubuhnya, dibuatlah upacara pemanggilan roh. Hal ini masih sangat sering
dijumpai di Siberut. Ini memperlihatkan bahwa kepercayaan sebagian orang Mentawai
akan roh-roh di alam masih dipegang hingga saat ini.
2. Ritual dalam Siklus Kehidupan Manusia dan Relasi dengan Alam
Mayoritas orang Mentawai di Siberut dewasa ini telah memeluk agama resmi.
Hampir tidak ada yang akan mengatakan bahwa mereka menganut sabulungan. Namun
tidak seluruhnya yang berhubungan dengan kepercayaan tradisional itu hilang.
Terbatasnya pemahaman akan konsep ‘agama’ dan ‘budaya’ menyebabkan sebagian
orang sulit untuk menjelaskan hubungan antara sabulungan dan budaya Mentawai.
Upacara-upacara dan ritual yang pada jaman dahulu merupakan bagian kepercayaan
sabulungan masih bisa dijumpai di beberapa daerah di Siberut. Beberapa orang tua yang
penulis jumpai mengatakan bahwa apa yang dilakukan saat ini memang tidak sama persis
dengan apa yang pernah dilakukan di masa lalu. Namun konsep pemikiran akan adanya
roh-roh alam yang hidup bersama dengan manusia menjadi benang merah yang
menghubungkan mereka dengan cara hidup di masa lalu.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Bagian ini akan berisikan beberapa ritual yang berkaitan dengan siklus kehidupan
orang Mentawai. Dimulai dari upacara ‘perkenalan’ bayi yang baru lahir kepada alam
hingga mereka dianggap dewasa. Kemudian bagian kedua akan berbicara mengenai
upacara pangureijat atau pernikahan. Bagian terakhir akan bercerita mengenai upacara
panunggru atau kematian yang menjadi proses beralihnya kehidupan fisik kepada dunia
roh. Salah satu ritual yang menuntut kehadiran seorang sikerei yang dipercaya menjadi
perantara antara manusia dan roh. Upacara-upacara tersebut masih dijalankan oleh
sebagian orang Mentawai di wilayah Siberut Selatan, terutama di daerah sepanjang
Sungai Rereiket.
a. Inisiasi kehidupan
Kelahiran merupakan awal dari perjumpaan manusia dengan alam. Bayi yang baru
lahir untuk pertama kalinya menghirup udara sekitar dan semenjak itu dimulailah
interaksi dengan alam sekitar. Bagi orang Mentawai setelah seorang bayi lahir ia sudah
harus ‘diperkenalkan’ dengan alam ini, termasuk juga dengan roh-roh yang hidup di
dalamnya. Perkenalan ini penting agar sang bayi terhindar dari penyakit dan kehadirannya
tidak mengganggu roh-roh di alam.
Ritual pertama yang dilakukan begitu bayi lahir dikenal dengan istilah pangabela.
Secara umum kegiatan ini dilakukan sekitar tiga hari setelah bayi itu lahir. Ibu si bayi
dengan dibantu beberapa anggota keluarga menyediakan makanan. Setelah makan ia akan
membawa anak itu ke luar ke sungai dan memandikannya di sana. Mereka tinggal
beberapa jam di sungai hingga dikatakan kulit bayi itu akan menjadi pucat karena dingin.
Itulah untuk pertama kalinya bayi ini keluar dari rumah. Si ibu atau saudara bayi ini pergi
ke sungai dengan membawa api di suluh dan lailajet. Saudara-saudari si bayi atau yang
menemani sang ibu membawa beberapa bibit tanaman untuk ditanam, seperti: mumunen,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
simakainauk, taddek, aileppet. Tanaman-tanaman tersebut merupakan tanaman yang
memiliki sifat baik. Setelah beberapa jam di sungai, sang ibu membawa bayinya kembali
ke rumah. Sambil berjalan ia akan menuangkan air sungai yang dibawa dalam bambu
sedikit demi sedikit sepanjang jalan. Sang ibu juga membawa kembali api dengan suluh
yang dibawa ketika berangkat meninggalkan rumah. Pangabela dibuat dengan tujuan
agar si anak yang baru lahir terhindar dari penyakit dan malapetaka. Setelah upacara ini
juga, bayi yang baru lahir bisa dibawa ke luar rumah ketika ibunya hendak beraktivitas.42
Pada upacara pangabela sang bayi belum diberi nama. Pemberian nama dilakukan
pada ritual beritkutnya yaitu pangambok. Ritual ini dilakukan 1-2 minggu setelah bayi
lahir atau jika dirasa sudah cukup dipenuhi persyaratannya. Misalnya keluarga tersebut
sudah memiliki ayam atau kalau mereka mampu seekor babi bisa dikurbankan dalam
ritual ini. Dalam upacara pangambok sang bayi mendapatkan nama Mentawai nya. Nama
itu pada umumnya diambil dari nama nenek moyang suku ayah sang anak. Nama
Mentawai seseorang tidak selalu dicantumkan dalam akta kelahiran. Nama ini menjadi
penting untuk mengetahui kedudukan sang anak dalam silsilah suku. Namun saat ini
kebiasaan tersebut sudah mulai ditinggalkan di beberapa daerah. Mereka yang beragama
Katolik umumnya hanya mencantumkan nama baptis dan nama suku masing-masing.
Ketika sang anak sudah beranjak remaja, diadakanlah upacara eneget untuk laki-
laki, atau upacara sogunei untuk perempuan.43 Upacara ini pada masa lalu diadakan
dalam pesta peresmian uma baru (Punen Panegekat Uma). Baik eneget maupun sogunei
memiliki makna agar anak-anak tersebut menjadi pandai menangkap monyet atau rusa
atau menangkap ikan di sungai serta diberi kemudahan dalam berburu di hutan bagi yang
laki-laki dan anak perempuan berhasil ketika mencari ikan di sungai. Kedua bentuk
42 Wawancara dengan Agustinus Salemurat dan isteri di Ugai. 43 Bdk. Coronesse, 1986, hal. 120; Rudito, 2013, hal. 149.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
upacara di atas hampir tidak dijumpai lagi di desa-desa besar atau di pusat kecamatan.
Kewajiban untuk mengenyam pendidikan dasar dan tersedianya sekolah-sekolah
pemerintah menjadikan anak-anak saat ini tidak lagi pergi berburu di hutan. Mereka harus
pergi ke desa-desa lain atau ke pusat kecamatan untuk melanjutkan sekolah. Hanya pada
masa-masa liburan anak-anak itu akan pulang ke kampungnya masing-masing. Kegiatan
berburu di hutan dan mencari ikan di sungai digantikan dengan bermain gawai untuk
mendengarkan musik atau mengakses internet.
Meskipun demikian beberapa orang yang tinggal di desa-desa bagian hulu masih
mengingat dengan jelas tatacara upacara eneget dan sogunei. Beberapa dari mereka
menyatakan mereka masih melakukan ritual-ritual tersebut terhadap anak-anak mereka
meskipun dengan urutan yang tidak lagi sama.
b. Pangureijat
Sebelum masuknya agama-agama pernikahan (putalimougat) tradisional di
Mentawai dilakukan dalam upacara pangurei. Uraian terperinci mengenai ritual
pernikahan tradisional Mentawai ini bisa dilihat dalam tulisan Loeb (1928:425-429) atau
penjelasan yang lebih singkat dalam tulisan Coronesse (1986:126-128). Bagian sentral
dalam upacara pangurei adalah kegiatan makan bersama antara mempelai pria dan
wanita. Hal makan bersama ini menjadi penting, sebab ada masa sebelum pernikahan di
mana calon mempelai wanita tinggal bersama dengan mempelai pria dalam satu rumah
yang disebut rusuk namun mereka belum diperkenankan makan bersama (Loeb, 1928:
426). Dalam upacara pernikahan tradisional dipersembahkanlah seekor ayam dan telur
ayam. Telur dengan bentuknya yang bulat dipandang sebagai simbol keutuhan dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
kesempurnaan. Harapannya pernikahan yang dilakukan kedua mempelai akan menjadi
tanda keutuhan dan kesempurnaan hidup yang menyatukan mereka berdua hingga akhir
hayat (Coronesse, 1986: 127). Ayam yang juga menjadi salah satu hewan yang penting
dalam beragam acara adat di Mentawai selain babi melambangkan hewan yang bijak,
terbang secara lurus dan tahu ketika tiba matahari terbit (Loeb, 1986:429). Ayam ini
kemudian dipotong dan hatinya dipersembahkan kepada roh-roh nenek moyang dengan
harapan kehidupan pengantin baru itu bisa bahagia, aman, tenteram dan makmur
(Coronesse, 1986:127).
Dewasa ini pangurei masih dijalankan sebagian orang Mentawai di Siberut, namun
tata cara nya tidak lagi sama dengan yang dilakukan orang Mentawai pada masa lalu.
Bahkan bagi mereka yang telah beragama Katolik, doa-doa secara Katolik sudah
disisipkan di dalam rangkaian upacara tersebut. Ada kalanya pangurei diadakan jauh
setelah sepasang muda-mudi menikah resmi secara Katolik dan bahkan telah memiliki
anak. Hal ini dilakukan karena perlu cukup waktu untuk mengumpulkan biaya ketika
suami-isteri tersebut hendak mengadakan pangurei. Namun tidak sedikit pula masyarakat
Mentawai di Siberut yang mengadakan pangurei terlebih dahulu dan hidup bersama tanpa
meresmikan pernikahan mereka dalam agama masing-masing atau dalam pencatatan
sipil. Hal ini hampir bisa dijumpai secara umum mengingat pria dan wanita yang telah
menjalankan upacara pangurei bagi masyarakat Mentawai telah dianggap menikah secara
yang sah.
c. Kematian
Dalam alam pikiran orang Mentawai kematian berarti perginya jiwa (ketcat)
seseorang meninggalkan tubuh biologisnya untuk selamanya. Jiwa mereka yang sudah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
meninggal ini dipercaya pergi ke suatu tempat yang dikenal dengan istilah laggai sabeu
(secara harafiah berarti kampung yang besar) – sebuah tempat di mana berkumpul
seluruh roh nenek moyang dari setiap suku. Lokasi laggai sabeu ini berbeda-beda untuk
setiap suku. Beberapa orang Mentawai mengatakan tempat yang dipercaya sebagai laggai
sabeu terletak di wilayah tanah ulayat. Itulah mengapa keberadaan tanah ulayat sebuah
suku ini menjadi begitu penting bagi orang Mentawai.44
Sebagaimana disebutkan dalam bab terdahulu bahwa tujuan hidup orang Mentawai
pada masa lalu adalah hidup yang panjang dan kematian yang baik, maka bagaimana
seseorang akhirnya meninggal menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Orang
Mentawai percaya ada dua jenis kematian: kamateijat simaeruk (kematian yang baik) dan
kamateijat sikataik (kematian yang buruk). Kematian yang baik terjadi ketika jiwa
meninggalkan tubuh fisik seseorang karena tubuh tersebut sudah tua atau sakit yang tidak
terobati. Seseorang yang sudah lanjut usia dan sakit lalu akhirnya meninggal dipandang
mengalami kematian yang baik. Berbeda dengan orang yang meninggal di usia muda
karena kecelakaan saat berburu, saat bekerja di ladang atau beternak babi, atau di laut
atau di sungai, mereka ini dikatakan mengalami kematian yang buruk. Memikirkan hal
itu saja sudah merupakan hal yang dihindari. Mereka percaya kematian yang buruk terjadi
jika manusia melanggar pantangan tertentu atau hidup tidak sesuai dengan aturan yang
ada. Banyaknya pantangan (keikei) dalam kehidupan orang Mentawai adalah untuk
menjauhkan diri dari jenis kematian ini.
Kematian yang baik menandakan seseorang telah menjalani hidup sesuai dengan
aturan yang ada dan melaksanakan pantangan-pantangan dengan baik. Jiwa yang
44 Tanah ulayat sebuah suku tidak bisa diperjualbelikan atau di bagi-bagi secara sembarangan. Tanah ini
dipergunakan bersama oleh anggota suku. Status kepemilikannya adalah komunal. Beberapa orang
Mentawai percaya seseorang yang ‘kesurupan’ oleh roh nenek moyang akan lari ke tempat-tempat ini,
karena dimikianlah dibawa roh-roh nenek moyang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
meninggalkan tubuh fisik seseorang dipercaya akan hidup bahagia di laggai sabeu.
Namun tubuh fisik yang sudah ditinggalkan ini akan mengundang roh lain yang dikenal
dengan sebutan pitok (Coronesse, 1986:44). Pitok ini sangat ditakuti oleh orang Mentawai
karena bisa menyebabkan seseorang sakit. Untuk itu perlu dibuat upacara supaya pitok
tidak lagi datang mengganggu kehidupan orang yang ditinggalkan. Ritual yang dilakukan
berbeda di beberapa daerah namun memiliki tujuan yang sama: agar jiwa mereka yang
sudah meninggal bisa dengan tenang meninggalkan rumah, keluarga, kampungnya dan
berkumpul bersama jiwa-jiwa nenek moyang.
Untuk tujuan itu rangkaian kegiatan yang dibuat antara lain pemimpin upacara akan
memerciki rumah orang yang meninggal dengan tujuan membersihkannya dari hal-hal
yang buruk. Barang-barang orang yang telah meninggal pun di keluarkan agar roh orang
yang meninggal bisa merelakannya dan diharapkan tidak lagi kembali datang untuk
mengambilnya. Dalam upacara ini kehadiran sikerei menjadi penting sebagai perantara
mereka yang ditinggalkan dengan jiwa orang yang meninggal. Beberapa orang di Siberut
mengatakan bahwa ada saatnya roh orang yang meninggal ini berkomunikasi dengan
sikerei dan bercerita mengenai kematiannya atau menyampaikan pesan kepada keluarga
yang ditinggalkannya. Sikeri lah yang kemudian menyampaikan informasi tersebut
kepada keluarga orang yang meninggal. Dengan rangkaian tindakan tersebut
dimaksudkan sebagai upaya pendamaian antara roh orang yang meninggal dengan
keluarga dan orang-orang yang masih hidup. Dengan demikian roh orang yang meninggal
akan bisa pergi dengan tenang dan damai menuju laggai sabeu.
Sebagian orang Mentawai di Siberut masih menjalankan ritual kematian tersebut.
Walau demikian tata caranya tidak lagi seperti yang dilakukan pada jaman sebelum
kehadiran agama-agama dari luar. Seperti misalnya mereka yang beragama Katolik akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
mengadakan ibadat yang bisa juga dipimpin oleh imam dengan menggunakan doa-doa
Katolik. Air yang dipercikan yang dulunya diramu oleh sikerei digantikan dengan air suci
yang telah diberkati oleh imam. Namun praktik yang telah berubah tidak serta merta
menggantikan keyakinan masyarakat Mentawai bahwa relasi yang tidak harmonis antara
manusia dan roh-roh yang ada akan mendatangkan malapetaka dan nasib sial.
Meskipun pantangan-pantangan adat masih dipertahankan oleh sebagian orang
Mentawai di Siberut dan sejumlah upacara yang berakar dari tradisi sabulungan masih
dijalankan, apa yang terjadi di masa kini tidaklah sama dengan yang ada di masa lalu.
Apa yang dikisahkan Marinus Salolosit kepada penulis bisa memberi gambaran tentang
bagaimana nasib arat Mentawai itu saat ini:
Ya sekarang dibuat dengan ‘meraba-raba’ (tidak seperti dulu).
Karena sudah dibakar semuanya, dan orang yang membuat itu
tidak ada lagi. Sekarang kami tidak tahu lagi membuatnya. Anak-
anak muda sekarang tidak mau lagi mereka. Membuat buluat,
tidak tahu lagi. Kami buat pesta, begitu makan babi kami gantung
saja kepala babi (di uma). Kalau sekarang ada pemerintah
meminta membuat lagi buluat, kerei, seperti dulu, masih mau
saya mukerei (menjadi kerei). Tapi saya takut nanti jangan-jangan
dibakar lagi seperti dulu. ....
Tanya: Kalau dulu masih dilaksanakan punen dan lain
sebagainya, bagaimana dengan sekarang?
Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh
biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak
ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi,
itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei, tapi skrng ya sudah saya
lupakan. Karena saya sudah tua.
Sejumlah narasumber yang penulis jumpai adalah mereka yang sudah berusia di
atas 50 tahun dan mengalami masa-masa peralihan. Mereka mengalami sendiri kehidupan
sebelum dilarangnya sabulungan hingga masa sekarang di mana sabulungan mulai
ditinggalkan generasi muda. Pelarangan sabulungan secara paksa menyisakan
pengalaman yang buruk bagi mereka. Namun meskipun telah memeluk agama Katolik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
para sikebukat ini memahami betul apa itu kearifan lokal Mentawai yang berakar dari
sabulungan. Nilai-nilai budaya itu menjadi landasan yang kuat bagi relasi kehidupan
manusia dan alamnya.
Walaupun seiiring perkembangan jaman tradisi sabulungan makin ditinggalkan
generasi muda orang Mentawai, tradisi tersebut menyimpan nilai-nilai kearifan lokal
yang tetap relevan hingga saat ini. Dari tradisi sabulungan orang Mentawai
memperlihatkan bagaimana manusia hidup selaras dengan alamnya. Keyakinan orang
Mentawai akan keberadaan roh-roh yang hadir dalam alam fisik menunjukkan adanya
relasi vertikal manusia dan yang tidak kelihatan sekaligus relasi horisontal antara manusia
dan alam fisik. Kedua relasi tersebut perlu dijaga keseimbangannya. Hutan dengan
demikian dipandang sebagai hal yang sentral dalam kehidupan manusia. Rusaknya hutan
pasti akan mempengaruhi pula kehidupan manusia. Hal ini tercermin dalam ungkapan
beberapa narasumber kepada penulis: Habis hutan, habis juga kehidupan. Budaya habis.
Kehidupan orang Mentawai pada masa lalu yang sangat bergantung dari hutan
menjadikan budaya mereka sangat bernuansa ekologi. Kalaupun praktik-praktik tradisi
sabulungan kian ditinggalkan, semangat ekologis orang Mentawai tetap relevan dan
mampu memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat masa kini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
BAB IV
DOMINASI NEGARA DAN PERLAWANAN ORANG MENTAWAI
Setelah mengamati bagaimana jejak-jejak sabulungan di Siberut dari kisah para
sikebukat dan orang Mentawai masa kini, pada bagian ini penulis akan menganalisis
beberapa poin penting. Pertama bagaimana proses dominasi negara sebagaimana tampak
dalam pelarangan sabulungan oleh pemerintah setempat berlangsung di Siberut. Pada
bagian ini penulis akan menggali lebih dalam fenomena tersebut dari kisah-kisah yang
dituturkan oleh para informan. Poin kedua akan bercerita mengenai siasat perlawanan
yang dilakukan oleh para sikebukat serta orang-orang yang memiliki perhatian pada
tradisi sabulungan. Usaha untuk merevitalisasi sabulungan yang muncul dalam berbagai
ekspresi akan diulas pada bagian yang ketiga. Pada poin keempat penulis mencoba untuk
menguraikan bagaimana saat ini orang Mentawai di Siberut mengalami ambiguitas.
A. Dominasi Negara dan ‘Pemaksaan’ Agama Resmi
Hasil keputusan Rapat Tiga Agama tahun 1954 yang secara eksplisit meminta
orang Mentawai meninggalkan sabulungan merupakan wujud dominasi negara untuk
menerapkan gagasan-gagasan mengenai identitas tunggal bangsa. Dalam upaya tersebut
pengakuan terhadap dasar ideologi negara Pancasila menjadi penting. Melalui
Departemen Agama negara menyatakan bahwa kebebasan beragama rakyatnya dijamin
dan dilindungi secara hukum. Hal tersebut diharapkan menjamin ditegakkannya
penghayatan atas Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Akan tetapi sejarah pembentukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
konsep agama di Indonesia menyebabkan beragam tafsiran terhadap sila Ketuhanan Yang
Maha Esa. Kategorisasi yang menentukan apa yang diterima dan diakui sebagai ‘agama’
menjadikan banyak aliran-aliran kepercayaan lokal mengalami diskriminasi. Sebenarnya
peraturan pemerintah sebagaimana tertulis dalam SK NO.167/PM/1954 – yang dipandang
sebagai latar belakang diadakannya Rapat Tiga Agama – hanya berisikan perintah
penyelidikan, pengawasan, dan penertiban aliran-aliran kepercayaan demi kesejahteraan
masyarakat sesuai dengan Pasal 33 UUD sementara. Sehingga dengan demikian apa yang
kemudian diputuskan dalam pertemuan Tiga Agama jelas sekali tampak sebagai upaya
pemaksaan. Apalagi tindakan aparat pemerintah – yakni polisi – di lapangan diwarnai
dengan perilaku diskriminatif dan kekerasan. Seorang guru dan katekis (guru agama
Katolik), Bapak Mikael Sabbagalet, menceritakan pengalamannya menyaksikan sendiri
bagaimana sabulungan dilarang di Siberut:
Ah itu di tahun 1952. Pembakaran (atribut) kerei masal, di mana
-mana. Saya di Sagulubbe. Terakhir mereka datang ke Sagulubbe.
Di kampung lain (di)bakar, ke Sarereiket, ke Silaoinan. Itu yg
membakar orang polisi. Kebetulan polisi ini agama Protestan.
Kalau tidak dibakar, dihukum, atau dipukul. Ah itu polisi.
Kebanyakan polisi dulu dari Sikakap dan Sipora....
Maksud mereka supaya jelas, karena sudah merdeka, jangan lagi
tampak mentawainya, karena sudah merdeka. Jadi malu,
kelihatan sebagai orang Mentawai. Sehingga sekarang kalau tahu
bruder, di Sikakap, Sipora, tidak ada lagi budaya (Mentawai).
Tinggal ada d sini (Siberut).
Tampaknya apa yang menjadi keputusan dalam Rapat Tiga Agama tidak diketahui
oleh masyarakat di pelosok. Hal ini bisa dimengerti karena situasi wilayah Mentawai
yang sulit dijangkau. Para polisi sering diceritakan oleh para sikebukat datang secara tiba-
tiba, menggeledah uma dan mencari buluat, dan melarang orang berkabit. Aman Pagetai
di Desa Madobag punya ingatan sendiri mengenai peristiwa tersebut:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
Mereka datang begitu saja. Tidak ada dibilang sama dusun,
desa, apa yang mau di buat sama masyarakat. Mereka langsung
datang, menodong, kabit..kabit... memaksa orang-orang yang
ber-kabit melepaskannya. Waktu itu orang tidak tahu apa-apa,
jadi ketika diminta menyerahkan itu, ya dibuat saja.
Takpei anai puaranan (belum ada agama) waktu itu. Setelah
pembakaran itu masuk agama Baha’i. Waktu itu aku kelas 4 SD.
Aku kelas 5 kutinggalkan (Baha’i). Karena Baha’i tidak diakui
pemerintah. Makanya mereka tinggalkan.
Hadirnya polisi sakalagat Protestan di Siberut dalam upaya pelarangan sabulungan
menyebabkan trauma di kalangan orang Mentawai. Tindakan pelarangan yang disertai
dengan kekerasan tersebut dilegitimasi dengan adanya keputusan Rapat Tiga Agama.
Polisi bekerja sama dengan pemerintah kecamatan dan desa memiliki tanggung jawab
untuk memastikan himbauan tersebut dijalankan. Di sisi lain, sebagai orang sakalagat
yang telah beragama Protestan, mereka telah membawa konsep pemikiran bahwa
sabulungan merupakan praktik penyembahan berhala yang perlu dihapuskan.
Keberadaan sikerei dan buluat di uma menjadi representasi sabulungan sehingga itulah
yang pertama-tama diincar untuk dimusnahkan. Buluat dibakar dan peran sikerei sebisa
mungkin dihilangkan. Tujuannya sederhana yakni bahwa praktik sabulungan yang
dipandang sebagai cara hidup lama dan mengandung unsur penyembahan berhala
ditinggalkan dan diganti dengan agama resmi negara, yakni: Protestan, Katolik, dan
Islam.
Pada penghujung pemerintahan Orde Lama, dikeluarkan Tappres No.1/PNPS/1965
yang secara eksplisit memperlihatkan 6 agama yang diakui pemerintah, yakni: Islam,
Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu. Hal itu memunculkan pandangan
bahwa mereka yang belum menganut salah satu agama resmi negara dipandang ‘belum
beragama’. Secara dangkal mereka yang ‘belum beragama’ dianggap belum bisa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
menerima atau menerapkan apa yang tertera pada Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasca
peristiwa 1965 dan di awal Orde Baru, rezim Soeharto mempolitisasi sentimen atas
ideologi komunis sehingga kepemilikan agama – dan tentu saja agama resmi – menjadi
kriteria apakah seseorang telah sepenuhya menerima ideologi Pancasila. Akibatnya
orang-orang yang ‘belum beragama’ semakin berada dalam posisi yang dilematis. Jika
menolak untuk menganut salah satu agama resmi dengan mudah mereka akan dicurigai
sebagai kelompok yang mendukung komunisme. Peristiwa traumatis pada pelarangan
sabulungan yang dimulai tahun 1954 semakin diperburuk dalam pemerintahan Orde
Baru.
Peristiwa pelarangan sabulungan memperlihatkan bagaimana pemerintah
Indonesia bersikap terhadap masyarakat daerah yang menghidupi tradisi lokal mereka.
Dengan mengusung semangat pemberadaban dan upaya pembentukan identitas tunggal
bangsa, gagasan-gagasan mengenai manusia merdeka dan modern dijejalkan pada
masyarakat. Upaya tersebut di satu sisi nampak berhasil. Mikael Sababbgalet bercerita
pada penulis apa yang dialaminya di di Sagulubbe – wilayah pantai barat Siberut – tentang
ketakutan penduduk setempat akibat tindakan para polisi:
Nah waktu di Sagulubbe, masih takut mereka, masih ada bakat
katsaila. Lalu mereka panggil saya. Guru. Apa? Takut kami
datang polisi, jadi kami mau bakar buluat. Tapi ini dari kemauan
kalian sendiri? Iya dari kami sendiri mau bakar. Supaya kami
lepas dari malapetaka. Jadi kalau mau bakar buluat, agamamu apa
sekarang? Kami sekarang Katolik. Tapi masih mendua. Jadi kami
memilih saja, Katolik. Oto, kauan. Ada panukanan
(pemberkatan). Masilabok buluat. Aku jalankan, kasih
panganturat (wejangan). Jadi itu karena taku mereka sama polisi.
Termasuk juga apa, tato. Dihukum. Jadi seakan-akan dulu tidak
ada lagi arat Mentawai, budaya Mentawai. Tubut mapalik.
Terlalu parah. Pakai inu, itu diambil.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
Tindakan pelarangan sabulungan yang dilakukan di masa lampau tampaknya berhasil
menanamkan gagasan bahwa sabulungan adalah cara hidup lama yang harus
ditinggalkan.
Tindakan para polisi dalam upaya pelarangan sabulungan dikisahkan sejumlah
narasumber berlangsung hingga tahun 1980-an. Sebagai bentuk upaya menghindari
konflik sejumlah orang memilih untuk menetap di daerah-daerah yang jauh dari pusat
kecamatan. Di wilayah tersebut mereka merasa aman karena medan yang berat daerah
tersebut sulit dijangkau oleh aparat polisi. Kehadiran para misionaris Katolik pada tahun
1954 – dengan konsep inkulturasinya – memberikan ruang terhadap berlangsungnya
praktik-praktik sabulungan. Hal ini rupanya menarik perhatian orang Mentawai. Banyak
dari antara mereka yang kemudian menganut agama Katolik. Dengan menganut agama
Katolik, yang juga merupakan salah satu agama yang resmi diakui oleh negara, orang-
orang Mentawai di Siberut terbebas dari ancaman polisi. Tidak heran jika di wilayah
Siberut mayoritas penduduknya beragama Katolik jika dibanding dengan wilayah lain
seperti di Sikakap dan Sipora.
Kehadiran misi Katolik juga membawa perkembangan dalam bidang pendidikan.
Banyak sekolah dasar misi dibuka di wilayah-wilayah pedalaman Siberut. Sejumlah
Sekolah Dasar misi yang dibuka di Mentawai meliputi: SD. Santa Maria, Muara Siberut
(berdiri tahun 1965), SD. Santo Yosef, Sioban (berdiri tahun 1965), SD. Santo Vincentius
Sikakap (berdiri tahun 1965), dan SD. Santo Fransiskus, Sikabaluan (berdiri tahun 1970).
Dengan kehadiran sekolah-sekolah misi, banyak anak-anak Mentawai mulai mendapat
akses terhadap pendidikan. Kehadiran sarana pendidikan di Siberut yang dirintis oleh misi
Katolik ini juga sejalan dan turut melengkapi program pendidikan pemerintah. Hal itu
secara tidak langsung turut membawa pengaruh terhadap pola kehidupan orang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Mentawai. Anak-anak mulai mengenyam pendidikan formal di sekolah-sekolah dan
mulai meninggalkan pola kehidupan tradisional mereka. Terbatasnya sekolah di dusun-
dusun menuntut anak-anak ini untuk meninggalkan kampung mereka dan tinggal di desa
lain atau di pusat kecamatan jika hendak melanjutkan pendidikan di jenjang selanjutnya.
Sebagai gambaran umum, sekolah-sekolah misi di daerah-daerah pada umumnya terbatas
hingga kelas 3-4 SD. Jika hendak melanjutkan pendidikan di kelas 4-6 SD, SMP, dan
SMA, mereka akan tinggal di desa yang lebih besar atau di pusat kecamatan. Jarak yang
cukup jauh dan sarana transportasi yang terbatas menyebabkan para pelajar ini harus
tinggal di luar kampung halaman mereka sepanjang tahun pelajaran. Tentu saja situsi ini
menyebabkan anak-anak tersebut terpisah dengan kehidupan tradisional orang tua mereka
di desa.
Perubahan pola kehidupan tersebut rupanya juga turut membawa perubahan cara
pandang terhadap budaya. Yohanes Sanambaliu (Teu Jablai) di Ugai menceritakan
pandangannya bagaimana kemudian kehadiran pendidikan mempengaruhi gaya hidup
anak-anak muda. Ia mengatakan bahwa dengan pergi ke sekolah dan tinggal jauh dari
kampung halaman, anak-anak ini kehilangan kemampuan mereka untuk berburu,
beternak, atau mengambil hasil hutan. Mereka juga tidak lagi bisa hadir dalam upacara-
upcara adat yang diadakan di kampung mereka. Akibatnya mereka tidak paham lagi
bagaimana cara memperlakukan hutan, bagaimana menjalankan ritual-ritual sebagaimana
dilakukan orangtua dan kakek-nenek mereka. Perlahan-lahan pola kehidupan menganut
agama resmi dan mengenyam pendidikan formal turut merubah gaya hidup orang
Mentawai dan juga cara pandang mereka terhadap sabulungan. Trauma yang muncul
pada pelarangan sabulungan dan dengan menjadi orang Katolik, orang tidak lagi
menyatakan secara terbuka bahwa mereka masih menghidupi sabulungan. Mereka akan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
mengatakan bahwa sekarang mereka telah beragama. Walau tidak mengatakan secara
terus terang bahwa sabulungan masih dihidupi, sebagian dari narasumber yang penulis
temui menyatakan bahwa mereka masih menjaga pantangan-pantangan sabulungan dan
tidak meninggalkannya.
Dominasi ideologi negara ini walupun disertai dengan unsur pemaksaan, intimidasi
dan kekerasan seperti yang terjadi di Siberut, sulit dilawan dengan konfrontasi secara
terbuka dan frontal. Tingkat pendidikan masyarakat yang masih rendah, intimidasi dari
aparat polisi dan bayangan hukuman penjara dan kekerasan fisik menjadikan orang
Mentawai di Siberut semakin sulit untuk memperjuangkan ideologi mereka. Posisi
ketidakmampuan untuk melakukan perlawanan frontal ini mirip dengan situasi yang
dialami para petani di Sedaka dalam penelitian Scott. Sebab itu model perlawanan yang
dimungkinkan adalah apa yang disebut Scott sebagai ‘gerakan protes sambil
menghindar’. Pada bagian selanjutnya akan kita lihat bagaimana para sikebukat memilih
cara perlawanan yang menurut penulis memiliki kemiripan dengan model pemberontakan
kaum petani di Sedaka.
B. Siasat Sikebukat dan Pemerhati Sabulungan
James C. Scott berpendapat bahwa selain perlawanan terbuka dan frontal
terhadap kelas yang mendominasi terdapat pula model perlawanan ‘terselubung’ yang
menjadi senjata kelas petani dan kelompok-kelompok minoritas. Model perlawanan
demikian tidak membutuhkan gerakan terstruktur, orasi dan demo besar-besaran, atau
revolusi besar-besaran. Apa yang disebut oleh Scott sebagai tindakan protes sambil
menghindar ini terjadi dalam hal-hal sederhana dalam hidup sehari-hari. Situasi demikian
tampak pula dalam kehidupan orang Mentawai di Siberut yang berusaha untuk tetap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
mempertahankan tradisi sabulungan ditengah pengaruh ideologi pembangunan negara
dan hadirnya agama-agama samawi.
Bentuk perlawanan para sikebukat atas gerakan pelarangan sabulungan yang
muncul pertama kali adalah dengan melarikan diri dan menghindar. Ketika polisi mencari
dan membakar buluat dan melarang sikerei menjalankan ritual-ritual, sejumlah orang
Mentawai yang mendengar atau mengetahu hal tersebut melarikan diri ke desa-desa di
hulu sungai. Daerah ini sulit dijangkau oleh polisi. Selain itu, para sikebukat yang pada
masa mudanya mengalami sendiri perlakuan para polisi yang berupaya memusnahkan
atribut budaya mereka, mencoba menyembunyikan atau membuat benda-benda tiruan
untuk mengelabui para polisi. Apa yang diceritakan Yohanes Salakoppak memberi
gambaran akan upaya menghindar tersebut:
Kadang-kadang marah dia. Kadang-kadang lari. Datang,
misalnya ada polisi, lari. Kadang-kadang barangnya itu
disembunyikan. Kami dulu, bapak saya sikerei. Lalu barang-
barang budaya itu, kalau datang polisi kami sembunyikan.
Jejeneng (giring-giring atau lonceng kecil), baklu, leilei, dan salipak (semacam
tempat untuk menyimpan alat-alat kerei), yang penting dalam ritual-ritual disembunyikan
ketika didengar datangnya polisi ke tempat mereka. Selain itu, ritual-ritual sabulungan
diadakan secara sembunyi-sembunyi. Alih-alih secara terbuka mengastakan bahwa
mereka masih menjalankan sabulungan, ritual-ritual tersebut ditampilkan sebagai
kegiatan budaya. Tindakan ini dipandang lebih menguntungkan dari pada konfrontasi
fisik yang sudah jelas akan membawa orang-orang Mentawai ini di posisi yang kalah.
Siasat yang lain tampak dalam sikap patuh orang-orang Mentawai untuk menganut
agama yang ditawarkan oleh pemerintah. Jika para penganut Kaharingan di Kalimantan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
misalnya berusaha memperoleh pengakuan negara dengan jalan mengadakan gerakan
struktural dan bernaung pada agama Hindu, orang Mentawai di Siberut justru dengan
terbuka memilih menganut salah satu agama yang diakui pemerintah. Di Siberut,
sebagian besar orang Mentawai memilih untuk beragama Katolik yang hadir justru di
awal program ‘penertiban’ sabulungan di tahun 1954. Dengan tradisi inkulturasi Gereja
Katolik yang memberi ruang pada ekspresi budaya setempat, orang Mentawai di Siberut
melihat adanya peluang untuk tetap menjaga tradisi sabulungan. Siasat ini juga dirasa
mampu ‘menyelamatkan’ mereka dari label ‘orang tidak beragama’ yang dengan mudah
diasosiasikan sebagai anti Pancasila dan penganut paham komunis.
Kita telah melihat bagaimana para generasi tua orang Mentawai di Siberut mencoba
menjaga ingatan mereka akan tradisi sabulungan dan menghidupinya sebisa mungkin.
Walau jaman sudah berubah dan dampak modernisasi tidak bisa dielakkan lagi, nilai-nilai
kearifan lokal tidak begitu saja mereka tinggalkan. Kendati telah menganut agama resmi,
seperti Katolik, sebagian dari mereka tidak begitu saja meninggalkan cara hidup
tradisional. Keikei dan puliaijat tetap dijaga dan dijalankan berdampingan dengan
kegiatan di Gereja sebagaimana umat Katolik pada umumnya. Seperti terungkap dalam
perbincangan bersama Teu Jablai di dusun Ugai:
Jangan karena sabulungan kalian, lalu di tinggalkan gereja
(Katolik), tidak ke berdoa di gereja. Datang pastor buat misa kita
ikut. Justru baik, kita sabulungan sekaligus ada puaranan
(agama). Pantangan yang ada di Katolik sama halnya juga
pantangan di sabulungan. Sama halnya pada hari Minggu, kita
tidak boleh kerja keras seperti menebang pohon atau membuka
ladang. Kalau dilanggar kita akan ditimpa pohon, atau terkena
parang.
Apa yang dikatakan Teu Jablai menyiratkan apa yang dirasakan sebagian kaum tua
orang Mentawai. Kalangan ini tampaknya masih berusaha mempertahankan warisan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
budaya lokal sabulungan kendati telah memeluk agama Katolik. Bisa disimak bagaimana
sabulungan dibedakan dari puaranan (agama). Di Mentawai, puaranan selalu merujuk
pada ‘agama-agama’ selain sabulungan. Pembedaan yang ditanamkan para misionaris
awal dan pemerintah mengenai arat sabulungan dan arat puaranan masih mewarnai
bagaimana golongan tua ini menghidupi keyakinan mereka. Ketika ditanya apakah lebih
baik kembali kepada sabulungan dan meninggalkan agama Katolik, Teu Jablai
mengatakan demikian:
Oh tidak bisa. Tak bisa tinggalkan agama Katolik. Tapi kalau ada
upacara pangurei, pabetei, memelihara babi, itu kan tidak bisa
pakai carai lain, jadi kami pakai adat mentawai. Tapi kalau ada
berminggu, ya kami pergi. Secara umum, sabulungan sebagai
budaya dan tidak bisa ditinggalkan. Katolik menjadi agama. Akan
jadi dilema, kalau kita mengabaikan pantangan, bisa terjadi
musibah. Jadi kita tidak bisa meninggalkan pantangan adat. Kita
bisa kena musibah.
Menghidupi budaya Mentawai (arat sabulungan) dan juga beragama (arat
puaranan) masih mereka pandang sebagai bentuk perlawanan terbaik. Jika hanya
menjalankan arat sabulungan mereka akan menempatkan diri di posisi yang bertentangan
dengan anjuran pemerintah; yakni memiliki agama. Mereka juga akan diberi label sebagai
masyarakat yang belum maju, karena belum beragama. Namun di sisi lain mereka tetap
menjaga praktik-praktik sabulungan: menjaga pantangan (keikei) untuk beternak dan
berburu, mengadakan ritual inisiasi kelahiran, perkawinan (pangureijat), kematian
(panunggru), termasuk mempertahankan fungsi sikerei dalam pengobatan tradisional –
di mana pengaruh roh-roh alam menjadi salah satu penyebab seseorang sakit. Mereka
tidak mengatakan bahwa agama mereka adalah sabulungan. Mereka akan mengatakan
bahwa ritual-ritual tersebut adalah budaya Mentawai. Dari luar orang akan melihat bahwa
orang Mentawai telah menganut agama Protestan, Katolik, dan Islam. Mereka pergi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
beribadah di Gereja dan Mushola serta menjalankan pesta-pesta keagamaan masing-
masing. Penampakkan dari luar ini yang oleh James Scott disebut public transcript,
memperlihatkan bagaimana relasi orang Mentawai dengan pemerintah dan kelompok
pewarta agama yang masuk. Sementara itu di sisi lain, di bawah permukaan, orang
Mentawai tetap menjaga dan menjalankan tradisi sabulungan – meskipun tidak seketat
apa yang dihidupi nenek moyang mereka di masa sebelum hadir agama-agama. Praktik
menjalankan tradisi sabulungan ini yang merupakan perwujudan hidden transcript dalam
pandangan James Scott.
Keberadaan dan pengaruh sikebukat (kaum tua) di sebuah wilayah, dalam hal ini di
Siberut Selatan dan terlebih lagi di wilayah Sarereiket yang penulis amati selama
penelitian, menjadikan tradisi sabulungan tidak cepat terkikis. Mereka masih berusaha
mengajarkan tradisi lokal kepada generasi yang lebih muda. Bagaimana beternak babi –
yang menjadi kurban yang penting dalam pesta-pesta budaya di Mentawai, berladang,
menyambut kelahiran, pernikahan, upacara penyembuhan orang sakit, dan juga
bagaimana mengadakan ritual bagi orang yang meninggal. Teu Jablai menceritakannya
kepada penulis bagaimana caranya agar generasi muda tidak melupakan tradisi mereka:
Bisa itu. Misalnya saya mau beternak babi, itu caranya saya
ajarkan ke anak-anak saya. Lalu misalnya ada punen, punen
kelahiran, mereka sudah tahu caranya. Saya ajarkan. Tidak
hilang. Kalau kami memelihara babi di tanah orang lain (di luar
Mentawai), tidak akan bisa bertahan. Antara hilang babi, atau
dimakan orang. Budaya Mentawailah yang bisa mengembalikan
babi yang hilang itu. Budaya mentawai le ireddet (yang berlaku).
Orang muda di sini belajar dari orangtua mereka dan pada saatnya nanti mereka yang
akan mengambil peran dalam upacara-upacara adat tersebut. Inilah siasat kedua yang
dilakukan oleh orang Mentawai untuk menjaga tradisi mereka. Mereka menganut agama-
agama yang diakui oleh pemerintah sebagaimana dianjurkan, namun dalam praktik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
kehidupan sehari-hari tradisi sabulungan tetap dihidupi sebagai bagian dari budaya
Mentawai.
Saat ini sebagian orang Mentawai generasi muda mengatakan bahwa praktik
sabulungan sudah tidak ada lagi. Tindakan ini dalam pandangan penulis merupakan siasat
lain untuk mempertahankan budaya Mentawai tanpa dicap sebagai masyarakat primitif
yang belum maju. Istilah sabulungan bagi kelompok ini memiliki konsep yang berkaitan
dengan budaya masa lalu, masa di mana Mentawai belum mengenal agama-agama dan
gaya hidup modern. Ritual-ritual adat yang kini tetap dijalankan disebut sebagai wujud
budaya Mentawai, tanpa menyinggung soal sabulungan. Dalam hal ini tampak bagaimana
peristiwa pelarangan sabulungan, kehadiran pemerintah dan misionaris, berhasil
membuat sabulungan – yang pada mulanya menjadi cara hidup orang Mentawai – tampak
sebagai sesuatu yang usang, ketinggalan jaman, dan atas nama kemajuan, perlu
ditinggalkan. Penggantinya adalah agama-agama baru, yang datang dari luar, yang
dikaitkan dengan gaya hidup orang modern, yakni: meninggalkan animisme dan
menganut agama monoteis. Dari luar tampak bahwa sabulungan memang telah
ditinggalkan, dan mayoritas orang Mentawai telah menganut agama: Protestan, Katolik
dan Islam. Namun di balik semua itu, warisan sabulungan masih hidup dalam budaya
Mentawai saat ini. Dalam hal ini peranan kaum muda menjadi penting sebab jika mereka
enggan menjaga budaya tersebut apa yang diajarkan oleh generasi tua akan terhenti. Jika
hal itu terjadi, nilai-nilai kearifan lokal yang berakar dari tradisi sabulungan akan benar-
benar hilang. Dan kali ini proses tersebut berlangsung dalam situasi kebebasan, tanpa
paksaan, dan tanpa tindak kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
C. Ekspresi Sabulungan
Dalam bagian ini penulis mencoba memaparkan unsur-unsur budaya Mentawai
yang berakar dari tradisi sabulungan. Meskipun penulis tidak pernah mendengar
ungkapan terbuka bahwa sabulungan masih hidup di kalangan sebagian orang Mentawai
di Siberut, fenomena yang terjadi di lapangan menunjukkan hal yang lain. Peristiwa
pelarangan sabulungan di masa lalu dan proses terjadinya yang melibatkan unsur
intimidasi, kekerasan dan paksaan, sebagaimana penulis uraikan, berhasil menimbulkan
trauma. Rangkaian tindakan diskriminatif terhadap sabulungan menyebabkan tradisi
tersebut diasosiasikan sebagai ciri masyarakat tertinggal, primitf, karena masih kental
dengan unsur animisme. Sebelum tahun 1980-an, karena ketakutan akan kontrol polisi,
ritual-ritual sabulungan dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
Menurut Yohanes Salakoppak setelah tahun 1980-an, sikap pemerintah mulai
longgar dan sebagian besar orang Mentawai telah menganut agama resmi pemerintah,
mereka merasa lebih bebas mengekspresikan diri dalam upacara-upacara adat. Agama-
agama resmi tidak ditinggalkan dan upacara tradisional yang mereka lakukan
diperkenalkan sebagai bagian dari budaya Mentawai. Penggunaan istilah sabulungan
dihindari dan dipilih istilah budaya sebagai gantinya. Beberapa dari orang Mentawai yang
penulis jumpai menyatakan bahwa sabulungan adalah agama lama yang sudah
ditinggalkan. Sebagian lagi mengatakan itu merupakan agama jaman dulu yang
menyembah sanitu (setan). Mereka mengasosiasikan sabulungan dengan gaya hidup
orang yang belum maju dan sudah dihilangkan dengan adanya agama resmi pemerintah
dan pembangunan. Namun di beberapa daerah, sabulungan – meskipun tetap tidak
dinyatakan secara terbuka – masih dijaga keberadaannya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
Di wilayah Siberut Selatan, terlebih di wilayah Sarereiket, praktik budaya
Mentawai yang berakar dari tradisi sabulungan masih bisa dijumpai. Hal ini
mengindikasikan bahwa sebenarnya penghayatan sabulungan masih dihidupi oleh orang
Siberut. Masyarakat masih percaya bahwa penyakit tertentu disebabkan karena roh
(simagre) tertinggal di suatu tempat atau berjumpa dengan roh yang ada di alam. Mereka
juga percaya nasib sial yang terus menimpa dikarenakan ada ritual tertentu seperti eneget
atau pangureijat belum dilaksanakan. Misalnya anak yang belum menjalani ritual eneget
akan kurus, atau sering sakit, demam, dan tampak tidak bersemangat. Punen panunggru
bagi orang yang meninggal dunia juga masih dipraktikkan kerena diyakini akan
menjauhkan mereka dari nasib sial. Bagi mereka yang menjadi sikerei pantangan seperti
memakan sejenis belut atau monyet berbulu putih jika dilanggar akan menyebabkan
penyakit dan bahkan kematian. Hal itu tampak dalam apa yang disampaikan Thomas
Tatebburuk – yang ayahnya adalah seorang sikerei – di Dusun Puro:
Selama jadi sikerei, selama seumur hidup, tidak boleh makan itu.
Kecuali ada juga yang tidak mau makan belut itu, seperti kita kan. Saya
tidak mau makan. Karena ada apa itu, masih ada bau-bau sikerei pada
saya. Kalau saya makan timbul penyakit. Jadi ndak boleh dimakan.
Kecuali, hanya belut yg tidak boleh dimakan sama saya. Kalau joja
(salah satu primata endemik) yang simabulau (putih) dan lain-lain
boleh dimakan. Itu pantangnnya. Paling pantang itu belut itu.
Upaya revitalisasi tampak dalam peran para sikebukat yang memahami budayanya
dan merasa perlu untuk menurunkannya kepada generasi muda. Para sikebukat dalam hal
tertentu masih turut berperan dalam ritual-ritual adat. Mereka menjadi penghubung antara
generasi orang Mentawai terdahulu dan generasi muda saat ini. Dengan hadirnya para
sikebukat keturunan mereka masih bisa menyaksikan bagaimana upacara-upacara
tersebut dibuat. Di desa yang jauh dari pusat kecamatan ritual-ritual budaya masih sering
dilakukan meskipun mereka mengakui tidak sebanyak masa lalu. Persoalannya adalah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
dengan terbatasnya sekolah di dusun-dusun, anak-anak Mentawai sering harus pergi ke
pusat desa atau kecamatan dan tinggal di sana selama masa sekolah. Hampir seluruh
kehidupan mereka dihabiskan di asrama pelajar atau kediaman sanak saudara mereka
yang jauh dari kampung halaman. Situasi ini menjadikan anak-anak tersebut tidak
mengalami lagi kehidupan tradisional di kampung mereka.
Kehidupan di kota kecamatan lebih modern dan maju. Ritual-ritual tradisional yang
masih sering dilaksanakan di kampung halaman mereka tidak ditemui di kota kecamatan.
Masyarakat di kecamatan juga lebih heterogen. Anak-anak ini akan bertemu dengan
teman-teman mereka yang datang dari berbagai kampung yang jauh dan bahkan dari
daerah-daerah di luar pulau Siberut. Perbedaan masing-masing daerah dipersatukan oleh
kesamaan bahwa mereka adalah orang Mentawai dan oleh karena itu mengenal budaya
Mentawai secara umum menjadi hal yang penting dalam proses pendidikan mereka.
Upaya revitalisasi yang lain muncul dari orang-orang yang merasa penting
mengajarkan nilai-nilai budaya Mentawai melalui pendidikan formal. Selama berada
dalam wilayah administratif Padang Pariaman, yang diajarkan di sekolah-sekolah adalah
budaya Minangkabau dengan pelajaran BAM (Budaya Alam Minangkabau). Di Siberut,
sekolah milik Yayasan Prayoga, SD St. Maria, pada tahun 1990-an telah mulai
mengajarkan budaya Mentawai atau yang kemudian disingkat ‘Bumen’ secara mandiri
dan dimasukkan dalam bahan pengajaran muatan lokal. Hal ini dilakukan agar para
peserta didik mengenal budaya Mentawai. Dalam bahan pengajaran Bumen tersebut
diperkenalkan mengenai dimensi geografi, sosial, dan budaya Mentawai. Kebijakan ini
muncul dari kalangan orang-orang yang peduli terhadap pelestarian nilai-nilai budaya
Mentawai. Sebab meskipun merupakan bagian dari wilayah Sumatera Barat yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
dominan dengan kebudayaan Minangkabau, orang Mentawai memiliki budayanya sendiri
yang perlu juga dipelajari dan dilestarikan.
Kini setelah terbentuk Kabupaten Kepulauan Mentawai dan banyak orang
Mentawai yang duduk di pemerintahan, pengajaran muatan lokal Budaya Mentawai
(Bumen) di sekolah makin dikembangkan. Saat ini menurut keterangan yang penulis
peroleh dari kepala cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Siberut Selatan, Bumen telah
menjadi bahan pengajaran wajib bagi siswa-siswa sekolah dasar di seluruh kabupaten.
Materi pengajaran Bumen disusun oleh pemerintah daerah bekerja sama dengan LSM
Yayasan Citra Mandiri (YCM). Inilah yang menjadi salah satu upaya pemerintah daerah
Mentawai untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya Mentawai. Sabulungan sebagai suatu
cara hidup tradisional orang Mentawai memang tidak akan muncul lagi seperti masa lalu.
Akan tetapi nilai-nilai budaya lokal yang terkandung di dalamnya diusahakan agar tidak
lenyap dan dilupakan.
Selain dalam bidang pendidikan upaya untuk merevitalisasi nilai-nilai budaya
tampak dalam inkulturasi Gereja Katolik. Hal ini dilakukan sejak awal kehadiran Gereja
Katolik di Siberut. Para misionaris awal berusaha mempelajari bahasa, budaya, serta cara
hidup orang Mentawai. Bersama para guru agama setempat, para misonaris mengadakan
pembinaan tentang inkulturasi dan bagaimana nilai-nilai Kristiani diajarkan
menggunakan sarana-sarana budaya. Sebenarnya upaya ini telah dimulai oleh para
zending Protestan yang berjasa menyusun Kitab Suci dalam bahasa Mentawai.
Dalam Kitab Suci bahasa Mentawai dan kemudian dalam bahasa yang digunakan
dalam peribadatan Kristen, istilah Taikamanua dan Ulaumanua digunakan sebagai
padanan kata ‘Allah’. Memang ada sedikit perbedaan antara kata Taikamanua dan
Ulaumanua. Taikamanua (Mentawai, tai: orang; manua: langit) merujuk pada roh-roh
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
yang ada di langit. Konsep serupa yang digunakan untuk menyebut roh-roh misalnya
yang ada di laut (taikakoat) dan hutan (taikaleleu). Sementara itu, istilah Ulaumanua
(Mentawai, ulau: luar, terang) mengacu pada sesuatu yang beradi di luar, melampaui,
manusia dan alam. Konsep mengenai Ulaumanua sangat erat dengan alam pikiran
sabulungan. Ulaumanua dipandang sebagai roh yang paling tinggi (melampaui
Taikamanua) dan keberadaannya tak terjangkau manusia. Penjelasan Selester Sagurujuw
(wawancara di Desa Muntei) mengenai dasar cara hidup orang Mentawai sebelum hadir
agama-agama bisa memberi gambaran mengenai gagasan atas Ulamanua:
Sebenarnya yang hakiki adalah, ketika sebelum agama ada, sudah
diyakini adanya ulaumanua. Ulaumanua menurut keyakinan
orangan Mentawai adalah yang mengetahui segala-galanya, yang
kuat, yang lebih tinggi dari mereka. Itu yang terjadi. Ketika ada
praktik budaya dibuat kepada saudaranya, kepada ulaumanua,
kita akan masuk surga, kita akan panjang umur.
Hal ini juga diperjelas oleh Aman Pagetai ketika bercerita mengenai tujuan segala bentuk
keikei (pantangan) dan ritual-ritual budaya orang Mentawai. Ia mengatakan demikian:
Semua keikei, semua pekereijat, semuanya itu kepada
Ulaumanua tujuannya. Tidak ada yang lain. Ulaumanua le
taloulougi (Hanya pada Ulaumanua saja manusia mengabdi).
Bagi orang Mentawai gagasan mengenai Ulaumanua tidak terlepas dari tradisi
sabulungan. Memasukkan unsur sabulungan dalam pewartaan agama Kristen tampak
sebagai akulturasi budaya.
Dalam Gereja Katolik proses akulturasi tersebut berkembang pada tahapan
inkulturasi. Konsep inkulutrasi bisa dipahami sebagai upaya Gereja Katolik untuk masuk
dan menjadi bagian dari budaya setempat. Gagasan ini lah yang menjadi latar belakang
mengapa orang Mentawai tidak merasa budaya sabulungan yang mereka hidupi tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
ditolak begitu saja. Selain penggunaan konsep Ulaumanua45 para misionaris Katolik juga
mencoba menjaga ritual-ritual sabulungan dan memasukkannya dalam peribadatan
Katolik. Hal itu bisa dilihat dari disusunnya Buko Panukanan (Buku Pemberkatan) pada
tahun 1979. Buku tersebut berisikan beragam tata ibadat Katolik yang digunakan dalam
perayaan-perayaan yang khas bagi orang Mentawai. Ritual-ritual sabulungan seperti:
punen eneget (inisiasi anak), tinungglu (pembukaan ladang baru), punen laggai, punen
lalep (pesta rumah baru), punen abak sibau (‘pemberkatan’ sampan baru), hingga ritual-
ritual bagi peristiwa kematian – dimasukkan dalam tata peribadatan Katolik di buku
tersebut. Upacara-upacara yang telah lama dijalankan oleh orang Mentawai di masa lalu
dengan demikian tidak begitu saja dilarang dan ditinggalkan, tetapi dihidupi dengan cara
baru. Dalam proses inkulturasi ini budaya setempat mendapat pengakuan.
D. Identitas Budaya: Ambivalensi Orang Mentawai
Kita telah melihat bagaimana dominasi negara berhadapan dengan aliran
kepercayaan lokal sabulungan di Siberut. Bagaimana juga para sikebukat memilih jalan
untuk melakukan perlawanan di bawah permukaan untuk mempertahankan tradisi
mereka. Telah diperlihatkan pula bentuk-bentuk revitalisasi budaya yang diupayakan baik
oleh para sikebukat, pemerintah daerah melalui pendidikan, dan Gereja Katolik dengan
konsep inkulturasinya. Pada bagian ini penulis akan mengangkat munculnya ambivalensi
dalam menghidupi identitas budaya orang Mentawai.
Jika merujuk kembali ke masa lalu, sebelum hadirnya agama-agama resmi di
Siberut, sabulungan menjadi sebuah cara hidup orang Mentawai. Dalam tradisi yang telah
45 Meskipun gagasan tentang Ulamanua lebih dekat dengan tradisi sabulungan dan memiliki makna lebih
luas dari istilah Taikamanua, saat ini justru istilah Taikamanua yang umum digunakan dalam
peribadatan Kristen (Protestan dan Katolik) di Mentawai.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
mengakui kehadiran alam fisik dan sesuatu yang transenden di alam membentuk sebuah
pola relasi yang selaras antara manusia dan alamnya. Berbagai ritual, tabu dan pantangan
mengatur perilaku manusia terhadap alam bertujuan untuk menjaga keselarasan tersebut.
Tradisi sabulungan memberikan gambaran bagaimana manusia melihat alam
lingkungannya bukan sebagai milik mereka. Mereka memperoleh segala yang diperlukan
dari alam namun mereka tetap menjaga kesadaran untuk berterima kasih – dengan
menjaga hubungan – dengan roh-roh yang ada di alam. Relasi antara manusia dan hutan
di Siberut memberikan sumbangan pada pembentukan identitas budaya orang Mentawai.
Seiring perjalanan waktu, dengan masuknya pemerintah dan program
pembangunan (agama dan pendidikan), tampak perubahan yang terjadi yang
mempengaruhi cara pandang orang Mentawai di Siberut terhadap identitas budayanya.
Pola relasi antara manusia dan hutan yang sebelumnya dipenuhi dengan aturan
sabulungan berganti dengan relasi produksi demi kepentingan ekonomi. Pemanfaatan
hasil hutan yang semula hanya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan ritual-ritual
beralih menjadi upaya memenuhi permintaan pasar. Ladang-ladang baru di buka untuk
menanam coklat dan cengkeh, kayu-kayu dari pohon yang besar ditebang dan dijual,
hingga tanah-tanah yang di jual kepada para pendatang, memperlihatkan perubahan cara
pandang orang Mentawai di Siberut terhadap hutan. Aman Pagetai (wawancara di dusun
Maseppaket) menceritakan keprihatinannya seperti berikut:
Sekarang orang buka ladang, tebang pohon, begitu gampangnya.
Ambil gergaji mesin, tebang begitu saja. Dulu tidak dibuat.
Mereka buat buluat dulu (Panaki sia). Mereka memberitahukan
kepada roh-roh alam untuk meminta ijin saat menebang pohon.
Selain itu buluat itu juga untuk membeli pohon itu dari roh-roh
hutan. Dulu kalaupun berburu simakobu, dia di atas pohon, dan
kita harus menebang pohon itu untuk mendapat monyet, itupun
harus dibayar pohonnya. Sekarang itu tidak ada lagi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
membuat panaki itu. Tapi walau begitu, akan ada akibat buruknya
sama kita.
Di satu sisi masih ada keinginan untuk menjaga tanah-tanah mereka dan menghidup
tradisi nenek moyang, namun di sisi lain mereka melihat bahwa hasil hutan dan penjualan
tanah bisa menghasilkan pendapatan yang lebih besar dan cepat. Situasi tersebut makin
tampak jelas dengan mulai memudarnya tradisi sabulungan dengan segala nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya. Situasi ambivelensi juga tampak dari upaya menghidupi
sabulungan itu sendiri. Praktik kepercayaan lokal itu tampak berada di posisi koma,
antara hidup dan mati. Hadirnya pembangunan, pendidikan, dan agama mengubah pola
kehidupan juga. Tuntunan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah atau di kantor, tidak
memungkinkan waktu yang leluasa untuk mengadakan ritual-ritual yang tentu
memerlukan persiapan yang panjang. Tuntutan biaya pendidikan anak dan rumah tangga
menggeser pula pelaksanaan upacara adat yang juga membutuhkan biaya yang tidak
sedikit. Masih ada ketakutan akan ditimpa musibah dan kemalangan jika ritual seperti
eneget, pangurei, dan panunggru misalnya tidak dilaksanakan. Aman Pagetai misalnya
mengatakan mengapa saat ini ritual-ritual tersebut mulai berkurang pelaksanaanya:
Sudah berkurang. Bukan karena tidak mau, tetapi karena butuh
biaya. Jadi acara-acara lia itu kami raba-raba lagi. Karena tidak
ada lagi orangtua yg mengajarkan kepada kami. Ukerei, apa lagi,
itu tidak tahu. Dulu saya ingin mukerei (menjadi sikerei), tapi
sekarang ya sudah saya lupakan. Karena saya sudah tua.
Hal yang serupa terjadi dalam kehidupan beragama. Mereka yang telah beragama
– misalnya Katolik – di satu sisi mereka merasa telah meninggalkan tradisi sabulungan.
Mereka hadir di Gereja pada hari Minggu dan mengadakan upacara-upacara keagamaan.
Upacara inisiasi seperti pangabela, pangambok, dan abbinen misalnya, digantikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
dengan baptisan bayi di Gereja. Pak Thomas menceritakan bagaimana perubahan itu
dialami. Menurutnya tidak semua ritual tersebut dihilangkan. Hanya saja bergantung
apakah keluarga yang bersangkutan ingin mengadakannya atau tidak. Akan tetapi
sejumlah keluarga merasa sudah lengkap jika anak mereka sudah dipermandikan.
Upacara yang dulu dibuat di sungai agar simagre si bayi diperkenalkan dengan
lingkungannya dan tumbuh dengan kuat tidak diadakan lagi. Namun di sisi lain, punen
eneget yang diadakan ketika anak mulai remaja, masih dilaksanakan. Hal ini dibuat agar
si anak bisa tumbuh sehat dan tidak mudah terkena penyakit. Dalam hal ini tampak
bagaimana upaya mereka untuk tidak meninggalkan keduanya, agama dan budaya
sabulungan tersebut – karena keduanya memiliki tuntutan masing-masing yang harus
tetap dipenuhi. Apa yang dikatakan Teu Jablai mungkin bisa memberikan gambaran
mengenai hal tersebut :
Waktu kita pakai alat-alat budaya dalam kegiatan di Gereja, itu
tidak menghina agama Katolik, dan juga tidak menghina budaya
Mentawai. Tapi kalau kita bilang gak usah kita ke gereja, gak
usah-lah kita beragama, di situlah kita bersalah. Sama halnya juga
dalam sabulungan, misalnya kita sedang melakukan puliaijat,
dan kita melanggar pantang, di situlah kita kena. Di Katolik ada
keikeinya (pantangannya), di budaya Mentawai ada juga
keikeinya
Fenomena dalam dunia pariwisata juga memperlihatkan bagaimana orang
Mentawai di Siberut tengah mengalami ambivalensi. Kegiatan-kegiatan seperti membuat
membuat tato, mengadakan tarian tradisional (turuk laggai), mencari ikan di sungai, dan
kehidupan di rumah-rumah ladang dengan busana zaman dulu (menggunakan kabit dan
segala aksesorisnya bagi laki-laki), menjadi konsumsi para wisatawan. Kegiatan yang
sebenarnya sudah bisa ditinggalkan karena masyarakat telah hidup desa-desa dan bekerja
di ladang namun tetap dipertahankan karena dirasa lebih menguntungkan secara finansial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Masyarakat tersebut telah mengenal teknologi modern: memanfaatkan listrik,
menggunakan telepon genggam, dan memiliki kendaraan bermotor. Namun mereka
berusaha tetap memperlihatkan keaslian budaya dengan cara hidup tradisional karena hal
itu juga bisa mendatangkan penghasilan.
Turuk laggai yang dulunya diadakan dalam pesta-pesta tradisional – seperti
pernikahan atau pendirian uma – sebagai ungkapan syukur dan kebahagiaan, saat ini
selalu diadakan dalam acara penyambutan wisatawan, pejabat pemerintahan atau festival
budaya. Penyambutan dengan turuk laggai menurut Thomas Tatebburuk dan Mikael
Sabbagalet misalnya tidak digunakan sebagai tarian penyambutan pada masa lalu. Akan
tetapi turuk laggai tersebut akan tampak lebih menarik sebagai pertunjukan jika
dilakukan oleh sikerei ‘asli’. Mateus Sakukuret yang telah cukup lama berkecimpung
dalam kegiatan pariwisata dan sanggar budaya menceritakan bagaimana banyak
permintaan menampilkan sikerei dalam turuk laggai. Meskipun tampaknya tarian
tersebut telah menjadi komoditi pariwisata, unsur ‘keasliannya’ tetap dipertahankan
dengan mengadakan ritual-ritual persiapan tertentu seperti misalnya ritual paruak. Ritual
ini umumnya dilakukan oleh sikerei ketika mendatangi tempat yang baru atau berjumpa
dengan sikerei dari daerah lain. Jika tidak diadakan ritual tersebut, sikerei yang
bersangkutan akan mengalami demam, sakit, dan tidak bisa melanjutkan atraksi turuk
laggai yang diharapkan.
Melalui paparan di atas tampak bagaiman situasi ambivalen yang dialami orang
Mentawai di Siberut. Tradisi sabulungan yang kemudian direduksi dalam ungkapan
‘budaya’ Mentawai di satu sisi ingin ditampilkan kembali. Namun di sisi lain, terputusnya
pengetahuan budaya dari generasi pendahulu akibat rangkaian peristiwa diskriminasi di
masa lalu menyebabkan praktik-praktik budaya tersebut dihidupi dengan meraba-raba
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
kembali. Hingga saat ini upaya menegaskan kembali identitas budaya orang Mentawai
terus diwarnai dengan situasi ambivalen dan perubahan yang terus dan sedang terjadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Program pembangunan pemerintah yang berlangsung pasca kemerdekaan
Indonesia rupanya memiliki dampak terhadap kehidupan masyarakat lokal di daerah-
daerah, termasuk juga di P. Siberut, Mentawai – salah satu kawasan terluar di barat
Indonesia. Semangat merayakan kemerdekaan dengan berdasar pada sila pertama
Pancasila, yakni: Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam praktiknya sebagaiman tertera dalam
UU PNPS Nomor 1 Tahun 1965 justru dipandang diskriminatif bagi sejumlah penghayat
aliran kepercayaan. Meskipun tercantum dalam konstitusi bahwa negara menjamin
kemerdekaan setiap warganya untuk memeluk agama dan beribadat sesuai dengan
kepercayaannya masing-masing, tidak semua bentuk agama dan kepercayaan mendapat
kedudukan yang setara. Pendisiplinan dan penertiban sejumlah agama dan aliran
kepercayaan atas nama menjaga stabilitas negara justru membuat para panghayat tradisi
lokal yang telah ada sebelum kemerdekaan merasa terancam dan termarginalkan.
Pelarangan sabulungan di P. Siberut paska 1954 dengan Rapat Tiga Agama muncul
dalam upaya pemerintah tersebut. Kehadiran agama-agama samawi sebagai agama resmi
negara ditambah program pembangunan yang dicanangkan untuk membangun identitas
tunggal bangsa menjadikan keragaman dan kearifan lokal tersingkir. Fungsi pengawasan
dan penertiban aliran-aliran kepercayaan yang mengancam stabilitas negara justru
menjadi sarana legitim untuk memaksa masyarakat Mentawai di Siberut meninggalkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
tradisi sabulungan yang mengandung nilai-nilai budaya orang Mentawai. Bersamaan
dengan itu pula agama-agama resmi negara dipaksa ditawarkan. Memiliki agama – dan
agama tersebut harus merupakan agama yang diakui negara – seolah menjadi tanda
masyarakat yang sudah merdeka dan maju. Kepercayaan lokal yang sarat dengan nilai-
nilai budaya diposisikan sebagai cara hidup kuno, terbelakang, dan oleh karena itu perlu
ditinggalkan dan diganti. Proses pembaruan dan pemberadaban tersebut sayangnya
dilakukan dengan unsur kekerasan dan perilaku intimidatif oleh kalangan polisi sebagai
representasi negara. Hal itu memunculkan perlawanan dari masyarakat lokal.
Bagi kelompok masyarakat Mentawai di Siberut, melakukan perlawanan secara
terbuka dan frontal hanya akan merugikan mereka. Ancaman hukuman penjara dan
kekerasan fisik menjadikan orang Mentawai memilih bentuk perlawanan yang
terselubung. Tindakan protes sambil menghindar menjadi satu-satunya senjata
perlawanan mereka. Tampak di permukaan bahwa orang Mentawai telah meninggalkan
tradisi sabulungan dan menganut agama resmi pemerintah seperti Katolik, Protestan dan
Islam. Dengan menganut agama resmi negara orang Mentawai terbebas dari stigma
sebagai masyarakat penganut animisme yang tertinggal. Namun sejumlah orang dari
generasi tua tidak serta merta melepas dan meninggalkan ritual-ritual budaya masa lalu.
Tradisi yang berakar dari sabulungan ditampilkan kembali sebagai bagian dari budaya
Mentawai. Mereka yang telah beragama Katolik mendapat angin segar dengan konsep
inkulturasi yang ditawarkan Gereja melalui para misionaris yang datang di bumi
Mentawai bertepatan dengan peristiwa pelarangan sabulungan tahun 1954. Dengan
semangat inkulturatif ritual-ritual budaya Mentawai muncul dengan bentuknya yang baru
beriringan dengan hidup beragama yang tidak secara mentah-mentah ditolak. Setelah
berdiri mandiri sebagai daerah yang otonom, pemerintah Kabubaten Kepulauan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
Mentawai, dipimpin oleh orang Mentawai. Upaya revitalisasi budaya lokal mulai
diperjuangkan melalui pendidikan dengan memasukkan pelajaran Budaya Mentawai
(Bumen) dalam kurikulum pendidikan dasar. Hal ini dimaksudkan agar generasi muda
orang Mentawai mengenal nilai-nilai budaya mereka sendiri.
Program pembangunan daerah yang terjadi di Siberut masih terus berlanjut hingga
saat ini. Meskipun tidak ada lagi ancaman untuk mengekspresikan kebebasan
melaksanakan tradisi lokal, upaya menghidupkan kembali identitas budaya Mentawai
masih tetap mengalami kendala. Trauma peristiwa pelarangan sabulungan, masuknya
agama-agama samawi dan terbukanya wilayah Mentawai akan budaya modern,
memperlihatkan gegar budaya dan situasi ambivalensi. Di satu sisi tradisi budaya masa
lalu yang memperlihatkan keselarasan hidup manusia dan alam ingin dipertahankan.
Namun di sisi lain, masuknya pengaruh agama-agama dan budaya modern melalui
pembangunan dan pendidikan turut andil dalam lunturnya tradisi tersebut. Tuntutan
perkembangan zaman dan modernisasi membuat masyarakat Mentawai di Siberut terus
melakukan upaya negosisasi untuk menegaskan kembali identitas budaya mereka.
B. Tanggapan
Menggunakan pendekatan teori James Scott mengenai perlawanan dalam wujud
sehari-hari dan konsep mengenai hidden transcript sangat membantu penulis melihat
peristiwa yang terjadi di Siberut dari sudut pandang yang lain. Konflik ideologi yang
terjadi antara negara dan orang Siberut yang mencoba menghidupi tradisi sabulungan
muncul karena ketimpangan relasi kekuasaan antara pemerintah dan masyarakat lokal.
Bagi penulis teori Scott memberi sumbangan konseptual untuk melihat pola perlawanan
yang dilakukan secara pasif dan terselubung yang kadang tidak tampak di permukaan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Scott dengan teorinya menegaskan kembali kenyataan perlawanan yang muncul akibat
adanya dominasi. Perasaan diperlakukan secara tidak adil walaupun dialami oleh
sekelompok masyarakat yang tampak lemah karena keterbatasan sekalipun akan memicu
munculnya gerakan protes.
Dalam penelitian mengenai sabulungan – yang biar bagaimanapun tidak akan
muncul lagi dalam bentuknya seperti di masa sebelum hadirnya agama-agama – penting
untuk mendengarkan suara-suara masyarakat setempat dengan lebih teliti. Sebab
perkembangan pembangunan yang terjadi di Siberut meskipun dalam beberapa tahun
terakhir berjalan dengan cukup cepat, masih memperlihatkan adanya perbedaan
pemahaman akan tradisi sabulungan di kalangan orang tua dan generasi muda orang
Mentawai. Mengadakan penelitian di wilayah yang telah ‘maju’ karena makin mudahnya
sarana transportasi akan berbeda dengan situasi yang akan dijumpai di daerah-daerah
pantai barat misalnya. Perbedaan pemahaman akan sabulungan juga akan berbeda di
kalangan orang tua yang seumur hidupnya tinggal di suatu tempat dengan mereka yang
telah mengenyam pendidikan dan bahkan merantau ke wilayah-wilayah lain di luar
Mentawai. Gagasan mengenai semangat menjaga relasi manusia dan alam yang
terkandung dalam tradisi sabulungan bisa menjadi topik kajian yang tetap relevan dan
perlu di kembangkan dalam penelitian-penelitian serupa di masa yang akan datang.
Berkaitan dengan tradisi sabulungan penelitian yang mendalam mengenai peran
sikerei – yang jumlahnya terus menurun saat ini – bisa menjadi topik penelitian yang
menarik dan penting. Sebab dalam sabulungan peran mendasar sikerei tidak tergantikan
sehingga tidak berlebihan jika masyarakat Mentawai mempercayai bahwa sikerei inilah
yang menjadi sumber pengetahuan mengenai sabulungan dan seluruh makna yang
terkandung di dalamnya. Selainitu mengingat bahwa sabulungan menempatkan hutan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
sebagai sesuatu yang mendasar, penulis melihat adanya ruang yang masih terbuka lebar
untuk menggali lebih dalam peranan hutan dalam pembentukan filosofi hidup dan
identitas budaya orang Mentawai. Hal ini sangat menarik sebab hampir seluruh kebutuhan
hidup orang Mentawai mampu diperoleh dari hutan, mulai dari bahan mendirikan rumah,
makanan, obat-obatn, perlatan rumah tangga, hingga sarana transportasi seperti sampan.
Bagi penulis kendati penghayatan orang Mentawai di Siberut – yang sering
dipandang sebagai benteng pertahanan budaya Mentawai – terhadap sabulungan berubah
dan praktik-praktik budaya tersebut mulai terkikis, penting untuk mengulas lebih dalam
lagi sumbangan tradisi tersebut terhadap lingkungan hidup. Menjaga relasi yang
seimbang antara manusia dan alamnya yang pada masa lalu sarat dipengaruhi unsur-unsur
supranatural dan kepentingan kelompok tertentu, tetap menjadi sumbangan yang besar
bagi dunia modern saat ini. Filosofi yang terkandung dalam sabulungan yang penting
untuk diingat adalah bahwa manusia sejak semula hadir sebagai ‘pendatang’ di hadapan
alam ini dan bukan merupakan ‘pemilik’ atasnya. Oleh karena itu membangun rasa
hormat dan syukur terhadap alam lingkungan yang telah menyediakan berbagai
kebutuhan bagi kehidupan manusia merupakan semangat yang selalu relevan bagi
kehidupan manusia di jaman modern ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Lampiran 1: Contoh Topik Wawancara
1. Sabulungan dan siklus kehidupan
Pernikahan, kelahiran, kematian, penyakit, musibah/bencana alam.
2. Sabulungan dan alam
Relasi dengan hutan, cara berburu, bercocok tanam, mengambil hasil alam
(hutan/laut), pembagian tanah ulayat, tantangan/ancaman dari luar, perusahaan
kayu
3. Penganut sabulungan
Pemipin upacara, sikerei, perannya, pemilihannya, pantangan, cara hidup,
pengaruh agama pendatang, pengaruh hadirnya pemerintah, siapa yang masih
bertahan, perlakuan dari mereka yang telah menganut agama pendatang, cara
berobat saat sakit, kehadiran dokter dan tenaga medis.
4. Sabulungan dan ritual/punen
Ritual utama, pemimpin, sarana yg diperlukan, lokasi/tempat pelaksanaan, ritual
yang masih dilaksanakan, pengaruh agama pendatang, turuk laggai
5. Mitos/ legenda tentang sabulungan
Cerita dari nenek moyang tentang sabulungan, bagaimana diwariskan, apakah
masih diingat generasi muda
6. Pelarangan atas sabulungan
Motif, latar belakang, kisah yang beredar, bentuk larangan, sosialisasi,cara yang
dilakukan, rapat Tiga Agama, pelaku pelarangan, hukuman, reaksi masyarakat,
periodisasi waktu sampai kapan, kapan paling gencar, lokasi pelarangan,
efeknya saat ini
7. Sabulungan dan agama pendatang
Relasinya dengan agama pendatang, dampak terhadap cara hidup, inkulturasi,
tantangan, cara penyebaran, FKUB
8. Sabulungan dan suku pendatang
Relasi dengan pendatang (sasareu), konflik, pengaruh yang dirasakan, perlakuan
9. Sabulungan dan pemerintah
Pembentukan perkampungan, tanah adat, hutan produksi, hunian tetap dinas
sosial, pendidikan, agama lokal, pelayanan KTP, KK, kolom agama
10. Sabulungan dan pariwisata
Faktor yang menjadi daya tari, pertunjukkan ritual yg mana, gaya hidup, tabu,
tantangan, keuntungan, perkembangannya saat ini, wilayah sering dikunjungi
wisatawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
Lampiran 2: Contoh Panduan Pertanyaan Wawancara
1. Apa yang Anda pahami mengenai sabulungan ?
2. Apakah Anda melihat praktik sabulungan masih ada di Mentawai ?
3. Bagaimana praktik tersebut dilaksanakan?
4. Ritual apa saja yang masih dilaksanakan dan masih memiliki kaitan dengan
kepercayaan sabulungan ?
5. Apakah Anda mengetahui pelarangan sabulungan zaman dulu?
6. Apa pendapat Anda mengenai peristiwa tersebut?
7. Apakah Anda mengetahui (mendengar, membaca) adanya Rapat Tiga Agama tahun
1954?
8. Menurut Anda bagaimana relasi agama-agama dan budaya pendatang dengan
sabulungan ?
9. Bagaimana sabulungan di Siberut saat ini?
10. Di mana letak sabulungan dalam hidup orang Mentawai?
11. Apa perbedaan antara sabulungan dan adat-istiadat di Mentawai?
12. Bagaimana posisi sabulungan dengan agama-agama pendatang?
13. Apakah Anda mengetahui bahwa ada usaha supaya penghayat kepercayaan lokal bisa
dicantumkan dalam kolom agama di KTP?
14. Bagaimana pihak pemerintah memandang sabulungan?
15. Bagaimana sabulungan bisa diwariskan ke generasi orang muda Mentawai?
16. Bagaimana peran sikerei dalam sabulungan ?
17. Bagaimana peran pemerintah daerah terhadap penganut sabulungan?
18. Bagaimana Anda melihat hadirnya pariwisata di daerah yang masih tradisional di
Siberut?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
DAFTAR PUSTAKA
Baier, M. 2007. The Development of the Hindu Kaharingan Religion: A New Dayak
Religion in Central Kalimantan. Anthropos, (H. 2), 566-570..
Baier, M. 2014. Agama Hindu Kaharingan Sebagai Nativisme Sesudah Pengaruh
Kristen Menjadi Peristiwa Yang Tak Ada Bangingannya. Jurnal Simpson:
Jurnal Teologi dan Pendidikan Agama Kristen, 1(2).
Barker, Chris. 2014. Kamus Kajian Budaya. Yogyakarta: Kanisius.
BPS. 2016. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
BPS. 2017. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
BPS. 2018. Kabupaten Kepulauan Mentawai Dalam Angka 2018. BPS Kabupaten
Kepulauan Mentawai.
Caisutti, Tonino. 2015. La Cultura Mentawaiana. Terjemahan oleh Abis Fernando.
Japan: Asian Studi Centre.
Corbey, R. 2003. Destroying the graven image: Religious iconoclasm on the Christian
frontier. Anthropology today, 19 (4), 10-14.
Coronese, Stefano. 1986. Kebudayaan Suku Mentawai. Jakarta: PT. Grafidian Jaya.
Darmanto & Abidah B. Setyowati. 2012. Berebut Hutan Siberut: Orang Mentawai,
Kekuasaan, dan Politik Ekologi. Jakarta: (KPG) Kepustakaan Populer
Gramedia.
Delfi, M. 2012. Sipuisilam dalam selimut arat sabulungan penganut Islam Mentawai di
Siberut. Al-Ulum, 12(1), 1-34.
Geerzt, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
Hammons, C.S. 2016. Indigenous Religion, Christianity and the State: Mobility and
Nomadic Metaphysics in Siberut, Western Indonesia. The Asia Pacific
Journal of Anthropology, Vol. 17, No. 5, hlm. 399-418.
Iskandar, N., Suud, A. K., & Si, S. 2017. Penguatan Peran Intelijen Kejaksaan dalam
Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Aliran Keagamaan dalam
Masyarakat (PAKEM) demi Ketertiban dan Ketenteraman Umum. Jakarta:
Miswar.
Juniator, Tulius. 2012. Family Stories. Oral Tradition, Memories of The Past, and
Contemporary Conflict Over Land in Mentawai – Indonesia. Leiden
University.
King, Richard. 2001. Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme. Yogyakarta: Qalam.
Loeb, Edwin. M. 1929. Mentawei Religious Cult. Dalam University of California
Publications in American Archaeology and Ethnology, Vol.25 No.2,
hlm.185-247. Berkeley: University of California Press.
Mulhadi. 2007. Landasan Yuridis Penghapusan Kepercayaan Tradisional “Arat
Sabulungan” di Mentawai. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Persoon, G. 2004. The Position of Indigenous Peoples in Management of Tropical
Forest. Tropenbos International Wageningen.
Persoon, G. A. 2003. Conflicts over trees and waves on Siberut Island. Geografiska
Annaler: Series B, Human Geography, 85(4), 253-264.
Persoon, G. dan Reimar Scefold (ed.). 1985. Pulau Siberut. Jakarta: Penerbit Bhratara
Karya Aksara.
Picard, M. & Madinier, R. (Ed.). 2011. The politics of Religion in Indonesia:
Syncretism, Orthodoxy, and Religious Contention in Java and Bali. New
York: Routledge.
Picard, M. (Ed.). 2017. The Appropriation of Religion in Southeast Asia and Beyond.
Springer.
Ropi, Ismatu. 2017. Religion And Regulation In Indonesia. Springer.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Rudito, B. 2003. Bebetei Uma. Kebangkitan Orang Mentawai: Sebuah Etnografi.
Yogyakarta: Penerbit Gading dan Indonesia Center for Sustainable
Development (ICSD).
Schefold, R. 1998. The domestication of culture: Nation-building and ethnic diversity in
Indonesia. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 154(2), 259-280.
Schwartz, S. J., & Unger, J. B. 2010. Biculturalism and context: What is biculturalism,
and when is it adaptive?. Human development, 53(1), 26-32.
Scott, J. C. 1985. Weapons of The Weak: Everyday Forms of Peasant Resistance. Yale
University Press.
Scott, J.C. 1990. Hidden Transcripts: Domination and The Arts of Resistance. Yale
University Press.
Spina, B. 1981. Mitos dan legenda suku Mentawai. Jakarta: Balai Pustaka.
Stange, P. 1998. Politik Perhatian; Rasa dalam Kebudayaan Jawa. Yogyakarta: LKIS
PELANGI AKSARA.
WWF. 1980. Penyelamatan Siberut: Sebuah Rancangan Induk Konservasi. Bogor:
World Wildlife Fund Report.
Sumber dari Internet:
Fadjar, Evieta. (2013, April). Mentawai Memiliki 2 Titik Ombak Terbaik Dunia.
Tempo.co, diambil dari https://travel.tempo.co/read/473309/mentawai-
punya-dua-titik-ombak-terbaik-dunia# Diakses pada 27 September 2017.
https://nasional.kompas.com/read/2017/10/23/15091911/penetapan-presiden-1965-soal-
penodaan-agama-kerap-ditafsirkan-diskriminatif. Diakses pada 14 Maret
2018.
https://nasional.kompas.com/read/2017/11/07/11495511/mk-hak-penganut-
kepercayaan-setara-dengan-pemeluk-6-agama. Diakses pada 14 Maret 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916. Diakses
pada 26 September 2017.
Puspita, Ratna. (2018, Maret). Pendapatan Mentawai dari Pariwisata Capai Rp. 7,3
Miliar. Republika.co.id, diambil dari
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/18/03/18/p5slc7428-
pendapatan-mentawai-dari-pariwisata-capai-rp-73-mili ar diakses pada 14
September 2018.
https://www.pressreader.com/indonesia/kompas/20170818/281960312863916. Diakses
pada 26 September 2017.
https://sp2010.bps.go.id. Diakses pada 28 November 2018.
http://www.thejakartapost.com/life/2017/10/11/by-mentawai-for-mentawai-how-
community-driven-education-can-save-a-tribe.html. Diakses pada 12
Oktober 2017.
https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/08/22/ov38xb428-pembangunan-
infrastruktur-mentawai-mendesak. Diakses pada 30 Nvember 2018.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI