sambas
DESCRIPTION
MENGURAI PROSES PENYELESAIAN KONFLIK SAMBAS MELALUI RESOLUSI KONFLIKTRANSCRIPT
MAKALAH SISTEM SOSIAL INDONESIA
“MENGURAI PROSES PENYELESAIAN KONFLIK SAMBAS
MELALUI RESOLUSI KONFLIK”
DISUSUN OLEH :
ANDRY RISTIAWAN (084674049)
PRODI ILMU ADMINISTRASI NEGARA
JURUSAN PMP-KN
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
2009
ABSTRAK Konflik berdarah Sambas antara etnis Melayu dengan etnis Madura tahun 1999
menimbulkan masalah berkepanjangan dan trauma mendalam bagi kedua belah pihak
khususnya bagi etnis Madura. Seluruh etnis Madura baik pendatang baru maupun yang
sudah puluhan tahun berbaur dengan warga lokal bahkan sebagian merasa sebagai warga
Kalimantan mau tidak mau harus angkat kaki dari bumi Sambas. Seiring perjalanan waktu,
semakin banyak pihak yang aktif dalam proses resolusi konflik di Sambas. Para pekerja
perdamaian lokal baik dari pihak Melayu maupun Madura merupakan pihak-pihak yang
sangat serius dalam upaya perdamaian di Sambas. Namun, sayangnya pihak pemerintah
baik pusat maupun daerah terkesan setengah-setengah dan kurang serius dalam upaya
perdamaian di Sambas. Untuk menciptakan perdamaian di Sambas diperlukan kerja keras
dan sinergi dari berbagai pihak yang terkait mulai dari pemerintah sebagai pemegang
otoritas tertinggi dan pembuat kebijakan, etnis Melayu dan etnis Madura sebagai pihak
yang bertikai serta pihak-pihak yang lain yang serius dalam upaya perdamaian di Sambas.
A. LATAR BELAKANG
Konflik antar etnis seolah-olah tidak dapat dilepaskan dari realitas sosial sepanjang
sejarah Kalimantan Barat. Ini disebabkan Kalimantan Barat merupakan daerah heterogen.
Selain itu, daerah ini tidak memiliki budaya dominan (dominant culture) sebagai wadah
pembauran (melting pot) dari masing-masing etnis yang ada (Tim ISBD UNESA : 2008,
131). Konflik-konflik di Sambas dapat terbagi dua yakni konflik yang murni konflik etnis
(horizontal) dan konflik yang sebenarnya konflik vertikal tapi di desain menjadi konflik
horizontal (Srikujam : 2008).
Kerusuhan etnis yang berlangsung di Kalimantan Barat bersumber dari adanya
rivalitas antar etnis yang berlangsung sejak lama. Kerusuhan antar etnis ini sudah
berlangsung semenjak tahun 1950-an, khususnya pertikaian antara suku Madura melawan
suku Dayak yang nyaris tiada henti. Sementara itu, suku Melayu yang selama ini tidak
pernah terlibat konflik, ketika kekerasan demi kekerasan fisik bahkan pembunuhan yang
dilakukan oleh suku Madura terus menimpa suku ini, maka hal itu dapat memupuk
semacam dendam. Toleransi terhadap suku Madura seakan –akan telah habis tatkala Hari
Raya Idul Fitri pada Januari 1999, yang dianggap sebagai hari suci umat Islam yang harus
dihormati, justru orang Madura (yang juga beragama Islam) malah menodai hari tersebut
1
dengan melakukan pembunuhan terhadap orang dari suku Melayu yang juga beragama
Islam.
Hubungan antar suku di wilayah Kalimantan Barat pada umumnya tidak dapat
berlangsung dengan baik dan harmonis, khususnya antara suku pendatang Madura dan
penduduk asli, Dayak dan Melayu. Sedangkan warga Cina perantauan kendati tidak
pernah berani berkonfrontasi secara langsung juga menyimpan perasaan kurang senang
terhadap perilaku etnis Madura, yang kerap mempraktikkan budaya kekerasan dan mau
menang sendiri. Selama berpuluh-puluh tahun hubungan antara suku-suku yang berkonflik
gagal menghasilkan proses adaptasi yang sehat. Konflik lebih mengemuka dibanding
kerjasama, dan integrasi gagal terwujud. Antara suku-suku yang bertikai jarang ada
kerjasama dalam berbagai aktivitas sosial seperti gotong royong dan sebagainya. Integrasi
dan kerjasama tidak terwujud karena adanya konflik kultural (akibat perangai orang
Madura yang tidak diterima oleh suku-suku yang lain) maupun pola pemukiman yang
tersegregrasi secara eksklusif. Kondisi ini diperparah oleh daya dukung lingkungan yang
semakin menurun akibat kerusakan lingkungan, dan aparat keamanan tidak mampu
menjalankan fungsinya sebagai aparat penegak hukum.
B. KAJIAN TEORI
Menurut Ridwan (2009) dan Widjajanto (2004) resolusi konflik mempunyai empat
tahapan, yaitu :
1) De-eskalasi konflik.
Tahap ini masih didominasi oleh strategi militer yang berupaya untuk
mengendalikan kekerasan bersenjata yang terjadi.
2) Intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik.
Tahap ini dimulai dengan penerapan intervensi kemanusiaan untuk
meringankan beban penderitaan korban-korban konflik Intervensi kemanusiaan
tersebut dapat dilakukan bersamaan dengan usaha untuk membuka peluang
diadakannya negosiasi antar elit politik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
tahap ini kental dengan orientasi politik yang bertujuan untuk mencari
kesepakatan politik (political settlement) antara aktor konflik.
2
3) Problem solving approach.
Tahap ini lebih bernuansa sosial dan berupaya untuk menerapkan problem-
solving approach sehingga menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi pihak-
pihak antagonis untuk melakukan transformasi suatu konflik yang spesifik ke arah
resolusi.
Aplikasi empirik dari problem-solving approach ini dikembangkan oleh
misalnya, Rothman (1992, 30) yang menawarkan empat komponen utama proses
problem-solving. Komponen pertama adalah masing-masing pihak mengakui
legitimasi pihak lain untuk melakukan inisiatif komunikasi tingkat awal.
Komponen kedua adalah masing-masing pihak memberikan informasi yang benar
kepada pihak lain tentang kompleksitas konflik yang meliputi sebab-sebab konflik,
trauma-trauma yang timbul selama konflik, dan kendala-kendala struktural yang
akan menghambat fleksibilitas mereka dalam melakukan proses resolusi konflik.
Komponen ketiga adalah kedua belah pihak secara bertahap menemukan pola
interaksi yang diinginkan untuk mengkomunikasikan signal-signal perdamaian.
Komponen terakhir adalah problem-solving workshop yang berupaya
menyediakan suatu suasana yang kondusif bagi pihak-pihak bertikai untuk
melakukan proses (tidak langsung mencari outcome) resolusi konflik.
4) Peace building. Tahap ini bertujuan untuk melakukan perombakan-perombakan struktur
sosial-budaya yang dapat mengarah kepada pembentukan komunitas perdamaian
yang langgeng. Peace building merupakan tahapan terberat dan akan memakan
waktu paling lama karena memiliki orientasi struktural dan kultural.
Peace building memiliki tiga tahap, yaitu tahap transisi, tahap rekonsiliasi,
dan tahap konsolidasi. Kajian tentang tahap transisi, misalnya, dilakukan oleh Ben
Reily (2000, 135-283) yang telah mengembangkan berbagai mekanisme transisi
demokrasi bagi masyarakat pasca-konflik . Mekanisme transisi tersebut meliputi
enam proses yaitu:
(1) pemilihan bentuk struktur negara;
(2) pelimpahan kedaulatan negara;
3
(3) pembentukan sistem trias-politica;
(4) pembentukan sistem pemilihan umum;
(5) pemilihan bahasa nasional untuk masyarakat multi-etnik; dan
(6) pembentukan sistem peradilan.
Tahap kedua dari proses peace-building adalah rekonsiliasi. Rekonsiliasi
perlu dilakukan jika potensi konflik terdalam yang akan dialami oleh suatu
komunitas adalah rapuhnya kohesi sosial masyarakat karena beragam kekerasan
struktural yang terjadi dalam dinamika sejarah komunitas tersebut . Rekonsiliasi
mempunyai delapan ciri (Da Costa : 2008), yaitu :
1) ada pertemuan antar korban (victim) dan suspect atau tersangka;
2) pertemuan tersebut harus dari keinginan langsung dari korban dan tersangka.
3) kedua pihak yang berselisih bersedia menyelesaikan persoalan;
4) kedua pihak harus jujur mengungkapkan kebenaran, artinya pihak yang
bersalah mengakui kesalahannya, pihak yang benar harus diakui kebenarannya
melalui dengar pendapat;
5) kedua belah pihak bersedia dan sepakat untuk saling mengampuni kesalahan
baik dengan bersyarat (ganti rugi) maupun tidak bersyarat (tanpa ganti rugi)
tergantung kesepakatan bersama;
6) kedua belah pihak yang berselisih bersedia tidak mengungkit persoalan masa
lalu dan tidak akan menjadikan bahan konflik baru di masa mendatang;
7) Victim (korban) merasa dan mengakui ada pemulihan yang diperoleh melalui
rekonsiliasi;
8) bersedia membangun dan mempererat kembali persahabatan untuk masa
depan yang lebih baik. Suatu penyelesaian masalah konflik antar manusia,
dikatakan rekonsiliasi apabila menyertakan delapan ciri ini. Kedelapan ciri
tersebut di atas bersesuaian dengan rekonsiliasi dalam perspektif budaya
Timor-Leste.
Tahap terakhir dari proses peace-building adalah tahap konsolidasi. Dalam
tahap konsolidasi ini, semboyan utama yang ingin ditegakkan adalah “Quo
Desiderat Pacem, Praeparet Pacem”. Semboyan ini mengharuskan aktor-aktor
yang relevan untuk terus menerus melakukan intervensi perdamaian terhadap
4
struktur sosial dengan dua tujuan utama yaitu mencegah terulangnya lagi konflik
yang melibatkan kekerasan bersenjata serta mengkonstruksikan proses
perdamaian langgeng yang dapat dijalankan sendiri oleh pihak-pihak yang bertikai.
(Miall: 2000, 302-344).
Dua tujuan tersebut dapat dicapai dengan merancang dua kegiatan. Kegiatan
pertama adalah mengoperasionalkan indikator sistem peringatan dini (early
warning system, Widjajanto: 2001). Sistem peringatan dini ini diharapkan dapat
menyediakan ruang manuver yang cukup luas bagi beragam aktor resolusi konflik
dan memperkecil kemungkinan penggunaan kekerasan bersenjata untuk
mengelola konflik.
Kedua, perlu dikembangkan beragam mekanisme resolusi konflik lokal
yang melibatkan sebanyak mungkin aktor-aktor non militer di berbagai tingkat
eskalasi konflik (Widjajanto: 2001). Aktor-aktor resolusi konflik tersebut dapat
saja melibatkan Non-Governmental Organisations (NGOs), mediator
internasional, atau institusi keagamaan.
C. SEKILAS TENTANG SAMBAS
Kabupaten Sambas dengan Ibukota Sambas, merupakan kabupaten hasil pemekaran
propinsi Kalimantan Barat tahun 1999, dengan jumlah penduduk pada tahun 2001
sebanyak 458.291 jiwa, tersebar dalam 11 kecamatan, dengan rincian laki-laki 228.284
jiwa dan perempuan 230.007 jiwa. Kabupaten Sambas, didiami oleh lima suku bangsa ,
yakni Melayu 442.470 jiwa, Cina 168.773 jiwa, Dayak 119.380 jiwa, Madura 38.150, dan
Jawa 30.420 jiwa. Sektor pertanian masih mendominasi pekerjaan penduduknya, yaitu
74 %, kemudian menyusul sektor perdagangan, industri, dan jasa. Penduduk Sambas,
sebagian besar menganut agama Islam, terutama suku Melayu, sedangkan yang beragama
Katholik dan Protestan adalah suku Dayak, kendati suku Dayak aslinya beragama
Kaharingan (semacam animisme, kepercayaan kepada roh leluhur yang memiliki kekuatan
magis). Prototipe agama kemudian mengidentikkan Melayu dengan Islam, sedangkan
Dayak dengan Kristen. Sedangkan Cina, kebanyakan masih menjalankan tradisi nenek
moyang. Para pendatang, terutama Jawa dan Madura menganut agama Islam, dan bahkan
5
Madura memiliki tradisi keislaman yang lebih eksklusif dibandingkan dengan penduduk
setempat, seperti membuat madrasah sendiri, dan patuh kepada ustadz yang dari etnis
Madura. Untuk sarana Ibadah, Masjid ada 506 buah, gereja Protestan 45 buah, geraja
Katolik 31 buah. World view Melayu antara lain “Seudik serangkuh dayung, dimane bumi
diinjak di situ langit dijunjung, dimane ranting di patah disitu air disauh dan lain lubuk
lain ikannye”. Ungkapan ini menuntut setiap orang memahami lingkungan yang
didatanginya dan menyesuaikan diri dengan kondisi itu. Sementara world view Dayak
antara lain “Ngelakin Lejau Te’ ‘aang sa ang te’ ‘aang liray” . Ini bermakna perlu saling
membimbing agar berusaha berprestasi untuk menjadi yang unggul diantara sesama.
D. PROFIL KONFLIK SOSIAL DI KALIMANTAN BARAT
Dengan melihat data pada Tabel 1, 2, dan 3, maka konflik sosial yang berlangsung
pada akhir dekade 1990-an di Kalimantan Barat dapat dikatakan konflik multi-dimensi.
Konflik sosial tidak hanya berlangsung di ruang masyarakat sipil, namun juga melibatkan
ruang kekuasaan sosial lainnya yaitu Negara dan Swasta. Dengan kompleksitas yang
demikian, maka penyelesaian konflik sosial di Kalimantan Barat menjadi tidak sederhana.
Tabel 1. Peristiwa Konflik Sosial di Kalimantan Barat 1991-2003
Tahun Kejadian
Frekuensi Kejadian
(kali)
Jumlah Terbunuh
(jiwa)
Jumlah Terluka (jiwa)
Jumlah bangunan
rumah yang hancur (unit)
Jumlah bangunan
publik yang hancur (unit)
1991 1 1 0 0 3 1993 2 1 1 0 0 1994 1 0 0 0 1 1995 3 0 4 0 0 1996 5 3 17 268 4 1997 17 1004 356 2406 6 1998 2 4 12 0 0 1999 28 481 180 942 7 2000 10 8 46 9 5 2001 3 6 12 25 1 2002 3 6 8 40 0 2003 3 1 5 3 2
Sumber: UNSFIR, 2004 Meski kompleksitas konflik sosial di kalimantan Barat cukup tinggi, namun konflik
sosial komunal yang paling menonjol terjadi di kawasan ini. Konflik yang melibatkan
Negara melawan masyarakat sipil juga agak nyata meski tidak sebesar konflik komunal.
6
Tabel 2. Kategori Konflik Sosial di Kalimantan Barat selama 1991-2003
Kategori Konflik Sosial
Frekuensi Kejadian
(kali)
Jumlah Terbunuh
(jiwa)
Jumlah Terluka (jiwa)
Jumlah Rumah
yang hancur (unit)
Jumlah bangunan
publik yang
hancur (unit)
Hubungan Industrial
1 0 0 0 1
Sumber Daya Alam
6 0 15 0 8
Ethno-Communal -
Etnik Madura
versus Dayak
19 1049 441 2724 6
Ethno-Communal -
Etnik Madura versus
Melayu
28 453 109 969 1
Antar Aparatur Negara
2 5 15 0 1
Antar Partai Politik dan
Faksi
5 0 8 0 2
Perkelahian antar warga
desa, antar
kampung
7 1 10 0 0
Negara versus Masyarakat
9 6 43 0 9
Pengadilan Massa
1 1 0 0 1
Sumber: UNSFIR, 2004
Jika dicermati secara kewilayahan, maka konflik sosial banyak terjadi di wilayah
Barat bagian Utara dari provinsi Kalimantan Barat. Hal ini dikarenakan konsentrasi
penduduk dan kekayaan serta kesuburan sumberdaya alam (tanah) terletak di daerah
tersebut. Bisa jadi, persoalan konflik sumberdaya alam dan konflik ekonomi yang
menyertai konflik komunal memang mendapatkan penjelasan yang masuk akal di kawasan
ini (lihat Tabel 3).
7
Tabel 3. Sebaran Konflik Sosial berdasarkan Wilayah Administratif 1991-2003
Kabupaten/Kota
Frekuensi (kejadian)
Jumlah Terbunuh
(jiwa)
Jumlah Terluka (jiwa)
Jumlah rumah yang
hancur (unit)
Jumlah sarana publik yang
hancur (unit)
Bengkayang 19 132 168 1572 1 Kapuas Hulu 3 1 1 0 3
Ketapang 2 0 4 0 1 Kota Pontianak 21 15 70 28 7
Landak 4 455 265 789 3 Pontianak 8 425 63 25 2 Sambas 16 428 48 863 5 Sanggau 5 59 22 416 7
Sumber: UNSFIR, 2004
Konflik sosial yang melintas batas ruang kekuasaan, menyebabkan tidak mudahnya
untuk menemukan penyelesaian masalah yang menyeluruh. Terlebih lagi, dimensi konflik
sosial di Kalimantan Barat mencakup tidak sekedar persoalan identitas, agama (suku
Dayak biasanya beragama Katolik, sementara suku Madura dan Melayu beragama Islam),
namun lebih luas daripada itu ada pula faktor “kekuatan supra-lokal” seperti krisis
ekonomi-moneter (tahun 1997-1998) ikut bermain dan mengharu-birukan konflik sosial di
kawasan tersebut. Oleh karena itu, resolusi konflik disarankan untuk dijalankan secara
bertahap, hati-hati, spesifik lokalitas serta tanpa menafikan setting makro dari setiap
kejadian konflik.
E. PILIHAN RESOLUSI KONFLIK
Tidak mudah untuk menentukan pilihan tindakan penyelesaian konflik sosial yang
tepat bagi suatu sistem sosial di suatu kawasan tertentu. Solusi konflik sosial pun tidak
dapat “generik”, dalam arti sebuah rumusan yang berlaku bagi suatu sistem sosial
komunitas akan berlaku juga bagi sistem sosial komunitas yang lain.
8
Secara umum strategi resolusi konflik sepantasnya harus dimulai dengan
pengetahuan yang mencukupi tentang peta atau profil konflik sosial yang terjadi di suatu
kawasan. Dengan berbekal peta tersebut, segala kemungkinan dan peluang resolusi konflik
diperhitungkan dengan cermat, sehingga setiap manfaat dan kerugiannya dapat
dikalkulasikan dengan baik. Seringkali dijumpai banyak kasus bahwa sebuah pilihan
solusi-tindakan rasional untuk mengatasi konflik sosial, tidaklah benar-benar mampu
menghapuskan akar-persoalan konflik secara tuntas dan menyeluruh. Pada kasus-kasus
yang demikian itu, maka resolusi konflik sepantasnya dikelola (conflict management) pada
derajat dan suasana yang sedemikian rupa sehingga ledakan berupa “clash-social” yang
bisa berdampak sangat destruktif dapat dihindarkan.
Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas, maka strategi resolusi konflik
dapat menempuh beberapa cara sebagaimana dipaparkan pada Gambar 3 sebagai berikut.
Dalam Gambar tersebut diasumsikan bahwa konflik sosial dapat berlangsung dan
melibatkan 3 (tiga) pihak (aktor/agensi atau struktur) yang berada di ketiga ruang
kekuasaan (lihat Gambar 1) secara saling berhadap-hadapan sekaligus. Demikian juga di
dalam setiap ruang kekuasaan, dimungkinkan terjadi konflik antar sesama aktor atau agensi
maupun struktur yang berada di ruang yang sama. Konflik sosial di ruang yang sama dan
terjadi paling masif di Kalimantan Barat adalah apa yang terjadi di ruang masyarakat sipil
atau kolektivitas sosial. Oleh karena itu perhatian di ruang ini akan lebih banyak menjadi
perhatian.
9
Gambar 1. Kerangka Umum Resolusi Konflik
Pendeka-
tan
Negara vs
Masya-rakat
Negara vs Swasta
Masya-rakatvs
Swasta
Konflik antar
masyarakat atau
kolektivitas sosial
Konflik antar
pemangku kekuasaa
n dalam ruang
Negara
Konflik internal swasta
Resolusi Konflik
berbasis atau berorientasi
nilai-kultural
(etik, norma)
Edukasi publik sebagai
pendekatan penerapan
etika pemihakan (affirmative
action) kepada
pihak yang lemah
Edukasi publik
Edukasi publik sebagai
langkah awal bagi
pengembangan etika
pertukaran yang adil -
balance reciprocity
Pemanfaatan Simbol-simbol
dan norma
kultural sebagai
pemersatu para pihak
yang berkonflik
Edukasi publik
Edukasi publik
Resolusi Konflik
berbasis atau berorientasi pengemba-
ngan struktur
kelembagaan
Forum Komunikasi
dan memberdaya
-kan “ruang
komunikasi publik” dan pengemba-
ngan kelembagaan kolaboratif
atau kemitraan
Forum Komunikas
i dan
member-daya
-kan “ruang komunikasi
publik”
Forum Komunikasi
dan memberdaya-
kan “ruang
komunikasi publik”.
Pengembangan
Community Development
atau kemitraan bagi
masyarakat lokal
Forum Komunikasi
dan memberdaya -kan “ruang komunikasi publik” serta membangun kesepakatan
bersama berbasiskan kemitraan
dan salingpengertia
n
Forum Komunikasi
dan Kesepaka-
tan-kesepakatan
bersama
Lembaga Pengawa
s dan Penyele-
saian Persai-ngan
Usaha
Sumber : Dharmawan (2006,12)
F. UPAYA NYATA UNTUK MENYELESAIKAN KONFLIK
SAMBAS
Beberapa upaya yang telah dan tengah dilakukan beberapa pihak untuk
menyelesaikan konflik Sambas, antara lain Pada tahap De-eskalasi Paska Konflik, dalam
tindakan jangka pendek : Aparat keamanan dalam jumlah yang sangat terbatas yang ada di
10
area konflik coba meredam konflik, dan aparat yang diterjunkan itu cenderung tidak netral.
Perkembangan di lapangan waktu itu menunjukkan bahwa Polsek dan Koramil tak lagi
mampu mengendalikan situasi, dan tidak mampu segera mencegah berlanjutnya kekerasan.
Aparat gagal melokalisir kerusuhan dan pemblokiran, sehingga kerusuhan meluas. Aparat
gagal mencegah jatuhnya banyak korban jiwa dan harta benda.
Untuk periode jangka panjang, Negara Kurang mampu mendorong terjadinya
reduksi perasaan saling membenci di antara pihak-pihak yang pernah bertikai. Dalam
konteks kasus Sambas Pemerintah Daerah setempat turut mendukung dan menyebarkan
“hidden agenda” untuk menolak Madura kembali ke bumi Melayu Sambas. Dilapangan
terdapat kecenderungan di kalangan Masyarakat maupun di kalangan elit, perasaan
“membenci” etnik Madura masih tumbuh subur. Negara gagal memainkan peranan de-
eskalasi karena negara belum mau dan mampu menemukan cara-cara pemecahan masalah
yang dapat dikatakan adil bagi pihak Madura. Pendekatan yang dianut ialah “pendekatan
alamiah” yang cenderung bermakna “pembiaran”; yang secara sepihak hanya
menguntungkan etnis Melayu Sambas, dan sangat merugikan warga madura.
Pada tahap intervensi kemanusiaan dan negosiasi politik; Pemerintah Propinsi
Kalimantan Barat melakukan relokasi pengungsi; sementara di Sambas terbit Surat Edaran
Bupati Sambas tentang Inventarisasi Tanah-Tanah milik orang Madura yang ditinggalkan
di Sambas. Dalam hal ini di lapangan menunjukkan tidak adanya koordinasi antara
pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten Sambas. Pemerintah sambas merasa
ditinggalkan/tidak dilibatkan atau tidak mau ikut campur. Program pemerintah untuk
tujuan perdamaian hampir dapat dikatakan tidak ada. Pemerintah Daerah tidak serius,
sehingga banyak tanah-tanah milik orang madura yang dikuasai oleh orang Melayu, oleh
Pemerintah Desa, atau disita sebagai “rampasan perang”.
Bila ditinjau dari empat tahap resolusi konflik, kasus Sambas masih berada pada
tahap kedua. Hal ini tidak terlepas dari faktor pendorong dan penolak resolusi konflik itu
sendiri.
Demi kepentingan bersama, seluruh komponen masyarakat Kalimantan Barat harus
mau mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis di daerah Kalimantan Barat. Hal inilah
nantinya akan menjadi “payung hukum” yang ada sehingga konsepsi “harmonis antar
11
etnis” semakin penting untuk diperjuangkan agar menjadi sebuah “kesadaran kolektif”
(identik dengan kesadaran hukum) di tengah masyarakat Kalimantan Barat yang heterogen
pluralis.
Dalam kerangka pembentukan hukum dan pengembangan kebijakan dalam
membangun perdamaian, beberapa aspek perlu dicermati :
• Para korban diberi kesempatan untuk mengutarakan nasibnya secara terbuka,
tanpa ancaman, diberikan kesempatan untuk memahami latarbelakang persoalan
yang menimbulkan atas dirinya;
• Para korban diajak berbicara proses penyembuhan “luka batin” secara pribadi;
• Membuka secara luas sejarah pahit, dengan mengarah pada perbaikan tatanan
sosial, sehingga yang terjadi di masa lampau tidak akan terulang lagi;
• Hasil rekonsiliasi perlu dijadikan “milik umum”. Alangkah bijaknya umat islam bila masih ingat pada “batu-batu dasar” yang telah
diletakkan oleh “Piagam Madinah” sebagai landasan kehidupan ke depan bahwa hubungan
antara sesama anggota komunitas Islam dan antar komunitas yang lain didasarkan atas
prinsip-prinsip : Bertetangga baik; Saling membantu dalam menghadapi musuh bersama;
membela mereka yang teraniaya; saling menasehati; dan menghormati kebebasan
beragama. Dengan menghormati Piagam Madinah ini, berarti “kewajiban”
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa, kewajiban melaksanakan agama masing-
masing secara utuh dan menyeluruh, kewajiban membela kebenaran dan kewajiban
bertanggungjawab atas resiko yang timbul dari pelanggaran dirinya sendiri.
Ada berbagai area yang perlu kita dekati untuk tujuan perdamaian dan transformasi
konflik, bisa agama, politik, dan bidang pendidikan. Strateginya bisa dengan menggunakan
prinsip makan bubur panas (mulai dengan bagian pinggiran yang sudah dingin). Atau
dengan pendekatan pada berbagai dimensi perubahan, mulai dari ranah personal yang akan
berdampak (multiplier-effect) pada relasional, struktural dan kultural. Ada beberapa
langkah yang paling mungkin dilakukan yang bisa berdampak multiplier-effect (dampak
yang besar pada berbagai sisi kehidupan) yaitu melalui pendidikan.
12
Untuk mewujudkan kedamaian di sambas membutuhkan kerja yang sangat keras
karena sesungguhnya sampai saat ini masih terjadi saling ketakutan antara orang Sambas
dan orang Madura. Mungkin situasi dipandang masih suasana perang. Kerja-kerja peace
building ini bisa jadi dipandang secara sempit sebagai pembelaan terhadap orang madura,
tetapi yang terpenting adalah bagaimana meletakkan persoalanya secara kontekstual.
Contoh yang sangat sederhana : Di Sambas ketika ada orang madura banyak pencurian,
tetapi apakah sekarang ketika orang madura sudah tidak ada, masih ada pencurian ?
Konflik itu hanya sekedar dampak saja, yang terpenting adalah mencari titik
kesamaan dimana semua orang bisa terbuka, hal ini yang belum ketemu sehingga pada
tataran penyelesaian salah, baik pada kelompok Madura, Dayak, atau Melayu. Pendekatan
yang dilakukan sekarang ini masih mengecil pada kelompoknya masing-masing, dan
cenderung formalistik, politis. Dampaknya adalah pengelompokan yang lebih kecil, dan
pendekatan yang formalistik cenderung memperkuat bukan persatuan “antar”-nya, tetapi
justeru “dalam” kelompoknya. Banyak organisasi di Kalimantan Barat ini yang lebih
mengesankan representasi kelompok-kelompok kesukuan. Kalau caranya seperti ini, yang
akan jadi korban adalah : orang Madura, Cina, dan terakhir bisa Jawa. Atau yang terakhir
nanti yang terjadi adalah perang antara kelompok Dayak dan Melayu. Hal itu bisa terjadi
jika pendekatannya Formalis berbasis Kelompok Suku. Hal ini harus segera diperbaiki dari
segi metodhologi dalam bekerja untuk isu-isu peace building atau keadilan sosial.
Sepuluh tahun merupakan rentang waktu yang cukup lama, membuat para pekerja
perdamaian tidak sabar juga untuk melakukan perlawanan dan melakukan intervensi.
Bahwa Sambas itu bagian dari Indonesia yang punya pemerintahan dengan hirarki
struktural yang cukup jelas ke pemerintah pusat. Berkembang pemikiran tentang kasus
Sambas yang telah dianggap selesai karena : “orang madura sudah tidak ada lagi di Sambas,
orang Sambas merasa aman dan orang Madura tidak dibunuh lagi karena memang tidak di
Sambas”; inilah yang melatarbelakangi munculnya pertanyaan seorang aktivis NGO di
Kalbar : penyelesaian macam apa lagi yang di mau ?
13
G. SIMPULAN
Konflik sosial yang berlangsung di Indonesia terutama di Sambas, Kalimantan
Barat, berdimensi sangat luas. Konflik berlangsung terutama di ruang masyarakat sipil
yang melibatkan kelompok-kelompok sosial dengan identitas sosial-budaya tertentu (antar
ethnic-group dan antar pemeluk berbeda agama). Derajat kedalaman konflik sosial juga
“sangat dalam” dimana konflik sosial membawa akibat kematian, cedera, dan juga
kehancuran struktur sosial ekonomi (kehancuran rumah dan sarana publik) masyarakat.
Pada “wilayah” modal sosial terjadi perasaan “social distrust” antar pihak yang sangat
tinggi. Kejadian konflik sosial di berbagai kawasan juga tidak dapat dilepaskan dengan
tali-temali setting sosial ekonomi dan sosio-politik makro yang berlangsung di Indonesia
sejak era reformasi bergulir. Kemiskinan, ketidakpastian nafkah dan sumberdaya serta
ketiadaan jaminan sumber penghidupan (livelihood resources) memperparah derajat
konflik sosial yang terjadi.
Dalam kondisi yang serba kompleks seperti itu, maka tidak mudah bagi siapapun
dan dengan cara apapun untuk menemukan solusi konflik sosial secara jitu dan manjur
untuk semua kasus. Oleh karena itu, penyelesaian konflik sepantasnyalah diletakkan
kembali dalam bingkai lokalitas dan didekati secara lokalitas pula. Pendekatan sepantasnya
dilakukan secara bertahap-tahap, dan yang terpenting adalah selalu melibatkan semua
pihak terkait dalam konflik untuk berpartisipasi aktif dalam mencari solusi konflik. Hanya
dengan pendekatan ini, maka pemahaman akan akar-konflik serta penyelesaian konflik
menjadi lengkap dan menyeluruh. Segala cara yang menafikan proses-proses partisipatif
dan bottom-up approach adalah upaya yang akan menghadapi kesia-siaan, karena konflik
sosial pada hakekatnya adalah wujud riil interaksi sosial dimana para-pihaklah yang tahu
mengapa mereka berinteraksi sosial dalam “jalur konfliktual” dan bukan kerjasama yang
sinergetik.
14
DAFTAR PUSTAKA
Da Costa, Ermenjildo. 2008. Rekonsiliasi Ajang Konflik Kekuasaan.
http://timorese.wordpress.com/2008/04/17/rekonsiliasi-ajang-konflik-kemanusiaan/
Dharmawan, Arya Hadi. 2006. Konflik-Sosial dan Resolusi Konflik: Analisis Sosio-budaya
(Dengan Fokus Perhatian Kalimantan Barat). Seminar PERAGI Pontianak 10-11
Januari 2006
Miall, Hugh. (et.al.). Resolusi Damai Konflik Kontemporer: Menyelesaikan, Mencegah,
Melola da Mengubah Konlik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras, terj. Tri
Budhi Sastrio (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000).
Reily, Ben. “Katup-katup Demokratis bagi Pengelolaan Konflik” dalam Haris, Peter dan
Reilly, Ben. (eds.). Demokrasi dan Konflik yang Mengakar: Sejumlah Pilihan
Negosiator (Jakarta: International IDEA, 2000).
Ridwan, Achmad. 2009. Refleksi Sepuluh Tahun Konflik Sambas.
http://achmadridwan.blogspot.com/2009/01/tiga-waktu-tiga-peristiwa.html.
Rothman, J. From Confrontation to Cooperation: Resolving Ethnic and Regional Conflict
(Newbury Park, CA: Sage, 1992).
Srikujam, D. Okbertus. 2008. Konflik Etnis Sambas 1999,”pelanggaran atau
pembiaran ?”. http://penakalbar.blogspot.com/2008/06/konflik-etnis-sambas-1999-
pelanggaran.html.
Tim ISBD UNESA. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Surabaya : UNESA University
Press.
UNSFIR, 2004. Indonesian Collective Violence Database 2004. United Nation
Development Program. Jakarta
15
Widjajanto, Andi. “Dinamika Keamanan Pasca Orde Baru”. Global: Jurnal Politik
Internasional, Vol.1, No.7, (Februari 2001).
Widjajanto, Andi. 2004. Empat Tahap Resolusi Konflik. http://www.tempointeraktif.com/
16