sap penkes jiwa
DESCRIPTION
PENKES JIWATRANSCRIPT
SATUAN ACARA PENYULUHAN
PENDIDIKAN KESEHATAN
“PENANGANAN STIGMA PADA ”
DI POLIKLINIK JIWA RUMAH SAKIT JIWA SAMBANG LIHUM
Disusun Oleh :
Grace Epyfania Simarmata I4B111023
Ermawati Rohana I4B111026
Jannatur Rahmah I4B111033
Nor Ella Dayani I4B111205
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
2015
LEMBAR PENGESAHAN
PENDIDIKAN KESEHATAN
DI POLIKLINIK JIWA RSJ SAMBANG LIHUM
Di susun oleh
Grace Epyfania Simarmata I4B111023
Ermawati Rohana I4B111026
Jannatur Rahmah I4B111033
Nor Ella Dayani I4B111205
Telah di setujui pada tanggal,
Mengetahui
CI Ruangan CI Poliklinik
( ) ( )
SAP (SATUAN ACARA PENYULUHAN)
1. TOPIK
Pandangan negatif keluarga pada anggota keluarga yang mengalami gangguan
jiwa
2. TUJUAN
a. Tujuan Umum
Setelah mendapatkan penyuluhan keluarga mampu memahami dan
memperlakukan penderita gangguan jiwa sesuai haknya (Pasien
mendapatkan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu dan terjangkau).
b. Tujuan Khusus
Setelah diberi penyuluhan keluarga mampu mengerti tentang:
1) Pengertian Stigma
2) Hak pasien gangguan jiwa
3) Dampak stigma pasien gangguan jiwa
4) Penanganan stigma gangguan jiwa di keluarga
5) Pencegahan
3. LATAR BELAKANG
Pasien dengan masalah gangguan jiwa pada saat sekarang sangatlah besar,
Sekitar 80% masyarakat Indonesia mengalami gangguan kejiwaan, dari tingkat
ringan sampai yang serius. Banyak sekali penyebab terjadinya gangguan jiwa
antara lain adalah faktor ekonomi, sosial masyarakat, kepercayaan, masalah
keluarga, perceraian.. Disebutkan pula bahwa penderita gangguan jiwa yang
terlantar, menggelandang, mengancam keselamatan dirinya dan orang lain,
mengganggu ketertiban keamanan umum wajib mendapatkan pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Sedunia
(WHO), penderita gangguan jiwa adalah orang yang mengalami gangguan cara
berpikir, berperilaku, gangguan kemampuan untuk melindungi kepentingan
dirinya dan gangguan kemampuan mengambil keputusan. Meskipun gangguan
kesehatan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung, tetapi gangguan
ini dapat membuat penderita menjadi tidak produktif dan bergantung pada
orang lain, sehingga menyebabkan penderitaan berkepanjangan baik bagi
penderita, keluarga, masyarakat maupun negara.
Studi yang dilakukan oleh Bank Dunia (World Bank) pada tahun 1995
dibeberapa negara menunjukkan bahwa hari-hari produktif yang hilang atau
DissabiliiyAdjusted Life Years (DALY's) yang disebabkan oleh masalah
kesehatan jiwa sebesar (8,1%). Angka ini jauh lebih tinggi dari pada dampak
yang disebabkan penyakit Tuberculosis (7,2%), Kanker(5,8%), Penyakit
Jantung (4,4%) maupun Malaria (2,6%). Tingginya angka tersebut
menunjukkan bahwa masalah kesehatan jiwa merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat yang tidak kalah penting untuk diperhatikan jika
dibandingkan dengan masalah kesehatan lainnya yang ada di masyarakat.
Seseorang dengan gangguan jiwa umumnya berhadapan dengan stigma,
diskriminasi dan marginalisasi. Berbagai istilah banyak ditemukan di
masyarakat dan digunakan dalam pemberitaan media massa, misalnya orang
gila, sakit gila, sakit jiwa, semua ini bukan istilah psikiatri dan sebaiknya
dibiasakan untuk tidak menggunakannya.
Stigmatisasi gangguan jiwa sebenarnya merugikan masyarakat sendiri,
karena mereka menjadi cenderung menghindar dari segala sesuatu yang
berurusan dengan gangguan jiwa. Seakan-akan mereka yang terganggu jiwanya
tergolong kelompok manusia lain yang lebih rendah martabatnya, yang dapat
dijadikan bahan olok-olokan. Hal tersebut akan menghambat seseorang untuk
mau menerima atau mengakui bahwa dirinya mengalami gangguan mental.
Akibatnya pertolongan atau terapi yang mungkin dapat dilakukan secara dini
menjadi terlambat. Kita lupa atau tidak ingin menerima kenyataan sebenarnya
bahwa semua orang dapat mengalami gangguan jiwa dalam berbagai taraf,
misal keadaan depresi akibat stres berkepanjangan sampai pada kekacauan
pikiran.
Stigma menyebabkan mereka tidak mencari pengobatan yang sangat
mereka butuhkan, atau mereka akan mendapatkan pelayanan yang bermutu
rendah. Bahkan sebagian diantara mereka dipasung dengan kondisi-kondisi
yang sangat memprihatinkan seperti dipasung dengan kayu, dirantai, dikandang
atau diasingkan ditengah hutan jauh dari masyarakat. Dengan alasan karena
mengganggu orang lain, membahayakan dirinya sendiri, jauh dari akses
pelayanan kesehatan, tidak mempunyai biaya serta ketidakpahaman tentang
gangguan jiwa (Kementerian Kesehatan, 2010).
Dampak dari stigma, perlakukan salah, deskriminasi dan pelayanan yang
minimal membuat penyakit jiwa menjadi berkembang, kronis dan sulit
sembuh, Penderita jadi tidak produktif sama sekali (Keliat dkk, 2006).
4. SELEKSI PASIEN DAN KELUARGA
a. Klien dan keluarga yang sedang kontrol di poliklinik RSJ Sambang Lihum
b. Klien dan keluarga yang mau menjadi peserta penyuluhan
5. JADWAL KEGIATAN
a. Hari/Tanggal : Senin, 24 Agustus 2015
b. Tempat : Poliklinik RSJ Sambang Lihum
c. Waktu : Pukul 09.00 WITA (1x45 menit )
6. METODE PELAKSANAAN
a. Ceramah
b. Tanya jawab
7. MEDIA DAN ALAT
a. Leaflet
b. LCD
c. Meja
d. Audio dan microphone
e. Kabel
f. Terminal
g. White Screen
8. PENGORGANISASIAN
a. Penyuluh : Grace Epyfania Simarmata
b. Moderator : Nor Ella Dayani
c. Fasilitator : Ermawati Rohana
d. Observer : Jannatur Rahmah
9. SETTING TEMPAT
Keterangan
Penyuluh Moderator
Fasilitator
Observer
Kursi klien dan keluarga
Mjjj
jjjjjjjjjj
10. PROGRAM ANTISIPASI KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN
a. Audience yang tidak memperhatikan saat Pendidikan kesehatan
1) Maksimalkan peran fasilitator
2) Fasilitator mengingatkan audience untuk memperhatikan
pendidikan kesehatan
b. Bila ada yang meninggalkan kegiatan
1) Fasilitator menanyakan alasan mengapa audiens meninggalkan
kegiatan penyuluhan.
2) Beri penjelasan, audiens dapat menyelesaikan keperluannya,
setelah itu diharapkan untuk kembali mengikuti kegiatan
penyuluhan.
c. Bila ada yang mau ikut pendidikan kesehatan
1) Mempersilahkan keluarga atau pasien untuk mengikuti jalannya
acara, dan menjelaskan bahwa acara telah dimulai
2) Memberikan reinsforcement positif
d. Jika ada pasien yang mengamuk
1) Laporkan kepada perawat bahwa ada pasien yang gawat agar
segera dibawa ke IGD, SATPAM.
2) Menenangkan pasien dengan cara meminta pasien berganti tempat
agar supaya tidak mengganggu jalannya acara.
11. LANGKAH KEGIATAN PENDIDIKAN KESEHATAN
Persiapan
a. Menyiapkan materi untuk penyuluhan
b. Menyiapkan media dan tempat untuk penyuluhan
c. Menyiapkan audiens untuk penyuluhan
No Kegiatan Respon klien/keluarga Waktu
1 Orientasi
Menyampaikan salam
Perkenalan
- Membalas salam
- Mendengarkan
5 menit
Menyampaikan maksud
dan tujuan
Kontrak topik, tempat dan
waktu
- Mendengarkan
- Menyetujui
kontrak
2. Kerja
Menyampaikan materi tentang
1) Pengertian Stigma
2) Hak pasien gangguan jiwa
3) Dampak stigma pasien
gangguan jiwa
4) Penanganan stigma
gangguan jiwa di keluarga
5) Pencegahan
- Mendengarkan
dan
memperhatikan
15
menit
3. Terminasi
a. Evaluasi Subjektif
Menanyakan perasaan
setelah mengikuti
pendidikan kesehatan
b. Evaluasi Objektif
Menanyakan tentang materi
yang telah di sampaikan
c. RTL
d. Salam penutup
- Menjawab
- Menjawab
- Mengerti
- Menjawab salam
10
menit
12. EVALUASI
a. Evalusi Proses
1). Pelaksanaan sesuai waktu dan strategi
2). Keluarga dan pasien aktif dalam kegiatan
b. Evaluasi hasil
Keluarga dan klien mampu mengikuti pendidikan kesehatan dari awal
sampai akhir.
LAMPIRAN MATERI
A. PENGERTIAN
Stigma adalah Menurut Dadang Hawari (2001) dalam kaitannya pada
penderita skizofrenia, stigma merupakan sikap keluarga dan masyarakat yang
menganggap bahwa bila salah seorang anggota keluarga menderita Skizofrenia,
hal ini merupakan aib bagi keluarga. Selama bertahun-tahun, banyak bentuk
diskriminasi secara bertahap turun temurun dalam masyarakat kita. Penyakit
mental masih menghasilkan kesalah pahaman, prasangka, kebingungan, dan
ketakutan. Masyarakat masih mengganggap bahwa gangguan jiwa merupakan aib
bagi penderitanya maupun keluarganya. Selain dari itu, gangguan jiwa juga
dianggap penyakit yang disebabkan oleh hal-hal supranatural oleh sebagian
masyarakat.
Pandangan masyarakat terhadap gangguan jiwa lainnya adalah bahwa orang
yang mengalami gangguan jiwa cenderung berbahaya bagi masyarakat sekitar.
Mereka sering melakukan tindakan kekerasan terhadap lingkungan sekitar yang
dapat merepotkan ataupun membahayakan bagi masyarakat. Oleh karena itu tidak
jarang mereka dipasung atau diikat supaya tidak membahayakan masyarakat
sekitar.
Berikut merupakan hak-hak pasien penderita gangguan jiwa menurut American
Hospital Association (AHA) tahun 1992.
1. Pasien memiliki hak untuk mendapatkan perawatan yang terhormat.
2. Pasien memiliki hak dan didukung oleh dokter, dan semua pelayan
kesehatan terkait untuk mendapatkan informasi yang hangat dan terpercaya
mengenai diagnosa, pengobatan (treatment), dan prognosa.
3. Pasien memiliki hak untuk membuat keputusan terhadap rencana
perawatan dan pengobatan, dan untuk menolak pengobatan yang
direkomendasikan.
4. Pasien memiliki hak atas petunjuk cepat (seperti kehendak hidup, kuasa
penuh atas perawatan kesehatan, atau mendapatkan pembelaan dari pengacara
kesehatan).
5. Pasien memiliki hak atas setiap pertimbangan kebijakan.
6. Pasien memiliki hak atas komunikasi dan rekaman tentang perawatan
kesehatan yang akan diolah secara terpercaya.
7. Pasien memiliki hak untuk mengulas kembali rekaman yang masuk atas
perawatan medisnya dan untuk menerima penjelasan atas informasi sesuai
kebutuhan.
8. Pasien memiliki hak untuk menyetujui atau menolak berpartisipasi atas
usulan studi penelitian atau percobaan yang melibatkan manusia yang
mempengaruhi perawatan dan pengobatan.
9. Pasien memiliki hak atas perawatan berkelanjutan yang beralasan yang
diinformasikan oleh dokter dan petugas kesehatan.
10. Pasien memiliki hak untuk menerima informasi atas kebijakan dan praktik
rumah sakit yang berhubungan dengan perawatan, pengobatan, dan tanggung
jawab pasien.
B. DAMPAK STIGMA GANGGUAN JIWA
Stigmatisasi pada orang yang mengalami gangguan jiwa dapat berdampak pada
penanganan gangguan jiwa yang kurang tepat. Kalau kita lihat dari stigma yang
dialami oleh penderita gangguan jiwa, maka dampak dilihat dari sisi pengobatan
yaitu terdapat 2 kelompok. Kelompok pertama penanganan pada klien dengan
stigma bahwa orang yang menderita gangguan jiwa karena kesurupan sedangkan
stigma yang kedua adalah bahwa penderita gangguan jiwa merupakan Aib
keluarga.
Perlakuan yang terjadi pada penderita gangguan jiwa dengan stigma bahwa
mereka mengalami penyakit yang berhubungan dengan supranatural yaitu mereka
akan segera diberi pengobatan dengan memanggil dukun atau kyai yang dapat
mengusir roh jahat dari tubuh si penderita. Waktu penyembuhan tersebut bisa
memakan waktu sebentar ataupun lama. Dampak yang ditimbulkan adalah bahwa
gangguan jiwa yang terjadi pada penderita tersebut akan semakin parah tanpa
pertolongan segera psikiater ataupun psikiatri.
Sedangkan perlakuan pada orang yang menganggap gangguan jiwa adalah aib
yaitu dengan cara menyembunyikan keadaan gangguan jiwa tersebut dari
masyarakat. Mereka tidak segera membawa orang yang mengalami gangguan jiwa
tersebut ke profesional tetapi cenderung menyembunyikan atau merahasiakan
keadaan tersebut dari orang lain ataupun masyarakat. Hal ini berdampak pada
pengobatan yang terlambat dapat memperparah keadaan gangguan jiwanya.
Orang-orang yang mengalami gangguan jiwa dengan adanya stigma di
masyarakat, mereka lebih memilih tidak memberitahukan kepada masyarakat,
sehingga mereka cenderung menarik diri dan ini akan memperparah keadaannya.
Disamping itu terjadi pengucilan yang dilakukan oleh masyarakat terhadap pasien
gangguan jiwa baik yang baru ataupun yang sudah sembuh dari gangguan. Hal ini
dapat berakibat pada gangguan yang lebih parah yang dapat berdampak pada
kekambuhan yang lebih cepat.
Stigma yang diciptakan oleh masyarakat terhadap penderita gangguan jiwa
secara tidak langsung menyebabkan keluarga atau masyarakat disekitar penderita
gangguan jiwa enggan untuk memberikan penanganan yang tepat terhadap
keluarga atau tetangga mereka yang mengalami gangguan jiwa. Sehingga tidak
jarang mengakibatkan penderita gangguan jiwa yang tidak tertangani ini
melakukan perilaku kekerasan atau tindakan tidak terkontrol yang meresahkan
keluarga, masyarakat serta lingkungan.
C. Stigma pasien gangguan jiwa di Keluarga
Stigma yang ada di masyarakat membuat keluarga malu memiliki anggota
keluarga yang menderita gangguan jiwa. keluarga merasa beban dengan adanya
pasien berada di rumah. Pada akhirnya keluarga lebih memilih menitipkan pasien
pada pihak rumah sakit. Menurut dokter Hestu ini sering kali terjadi. Pasien
kembali ke rumah sakit dengan cepat akibat stresor yang datang dari rumah.
Pandangan negatif mengenai gangguan jiwa, bahwa gangguan jiwa merupakan aib
bagi keluarga. Gangguan jiwa merupakan penyakit yang memalukan sehingga
orang yang mengalami gangguan jiwa dianggap sebagai aib bagi keluarganya dan
keluarga menganggap orang dengan gangguan jiwa itu dapat mebahayakan.
Selanjutnya menurut Soewandi (1992:2) ada beberapa keadaan yang
merupakan stigma terhadap gangguan jiwa yakni :
1) Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut : guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang
salah, kutukan banyak dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau
supranatural.
2) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
3) Keyakinan atau kepercayaan bahwa gangguan jiwa itu disebabkan oleh hal-
hal sebagai berikut : guna-guna, tempat keramat, roh jahat, setan, sesaji yang
salah, kutukan banyak dosa, pusaka yang keramat, kekutam gaib atau supranatural
4) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa itu merupakan penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
5) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit
yang bukan urusan medis.
6) Kepercayaan atau keyakinan bahwa gangguan jiwa merupakan penyakit
yang selalu diturunkan.
D. Penanganan Stigma Pada Keluarga Pasien Yang Memiliki Anggota
Keluarga Dengan Gangguan Jiwa
Dalam kehidupan sehari-hari pada pasien gangguan jiwa dan keluarga
merupakan orang yang paling terdekat dengan pasien gangguan jiwa. Peran
keluarga dalam menghadapi pasien atau salah satu anggota keluarga yang sedang
mengalami gangguan jiwa harus menerima pasien apa adanya dan memberikan
dukungan terhadap perawatan dan pengobatan pasien di rumah, bukan sebagai aib
keluarga yang harus disembunyikan dari kehidupan sosial.
Penanganan stigma pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan
gangguan jiwa adalah dengan memberi perhatian dalam sikap dan pengobatan
panda pasien dengan gangguan jiwa , tidak mengurung, tidak mengucilkan tidak
menjauhi pasien, dan memberikan dukungan positif untuk pasien sehingga pasien
mau bersosialisasi dengan lingkungan di sekitar rumah, membantu pasien untuk
kembali bersemangat menjalani hidupnya, berkomunikasi meghadapi kucilan
masyarakat disekitar lingkungan pasien.
Menghadapi stigma di masyarakat terhadap gangguan jiwa Keluarga, perlu
memperlakukan penderita gangguan jiwa dengan sikap yang bisa menumbuhkan
dan mendukung tumbuhnya harapan dan optimisme. Harapan dan optimisme akan
menjadi motor penggerak pemulihan dari gangguan jiwa. Keluarga berperanan
dalam mebimbing dan mengarahkan langkah langkah yang perlu dilalui pasien
gangguan jiwa untuk mencapai tujuan hidup masing masing penderita gangguan
jiwa, sehingga pasien dengan gangguan jiwa
Salah satu faktor penting dalam menghilangkan stigma negatif adalah adanya
keluarga, yang percaya bahwa seorang penderita gangguan jiwa bisa pulih dan
kembali hidup produktif di masyarakat. Mereka bisa memberikan harapan,
semangat dan dukungan sumber daya yang diperlukan untuk pemulihan. Melalui
dukungan yang terciptanya lewat jaringan persaudaraan dan pertemanan, maka
penderita gangguan jiwa bisa mengubah hidupnya, dari keadaan kurang sehat dan
tidak sejahtera menjadi kehidupan yang lebih sejahtera dan mempunyai peranan di
masyarakat. Hal tersebut akan mendorong kemampuan penderita gangguan jiwa
mampu hidup mandiri, mempunyai peranan dan berpartisipasi di masyarakatnya.
E. PENCEGAHAN
Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE), kurasi (penyembuhan) dan
rehabilitasi yang lebih baik, memanfaatkan sumber dana dari JPS-BK;
penciptaan Therpeutic Community (lingkungan yang mendukung proses
penyembuhan).
Fungsi keluarga menurut Friedman (1992) adalah:
1. Fungsi afektif dan koping
Keluarga memberikan kenyamanan emosional anggota, membantu
anggota dalam membentuk identitas dan mempertahankan saat terjadi
stress.
2. Fungsi sosialisasi
Keluarga sebagai guru, menanamkan kepercayaan, nilai, sikap, dan
mekanisme koping, memberikan feedback, dan memberikan petunjuk
dalam pemecahan masalah.
3. Fungsi reproduksi
Keluarga melahirkan anak, menumbuh-kembangkan anak dan meneruskan
keturunan.
4. Fungsi ekonomi
Keluarga memberikan finansial untuk anggota keluarganya dan
kepentingan di masyarakat.
5. Fungsi fisik
Keluarga memberikan keamanan, kenyamanan lingkungan yang
dibutuhkan untuk pertumbuhan, perkembangan dan istirahat termasuk
untuk penyembuhan dari sakit.
DAFTAR PUSTAKA
1. Laeli Amalia. 2009. Kesiapan Keluarga Menghadapi Kepulangan Pasien Rawat Inap Gangguan Jiwa. Skripsi Jurusan Psikologi Fakultas Ilmu
Pendidikan Universitas Negeri Semarang.2. Dr. Gunawan Setiadi, Mph Tirto Jiwo. 2014. Pemulihan Gangguan Jiwa:
Pedoman Bagi Penderita, Keluarga Dan Relawan Jiwa. Pusat Pemulihan Dan Pelatihan Gangguan Jiwa
3. Dadang Hawari. 2001. Pendekatan Holistik Pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Gaya Baru. Jakarta
4. Depkes. 2007. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2007, Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI. Jakarta
5. Fauzi Muzaham. 1995. Memperkenalkan Sosiologi Kesehatan. UI Press Jakarta
6. Thornicroft, Graham. Et al. 2008. Reducing Stigma and Discrimination: Candidate Intervention. British International Journal Of Mental Health System.