sasamakura 笹まくら) karya saiichi maruya esther...

26
TIADA TEMPAT BAGI KEBEBASAN INDIVIDU DALAM NOVEL SASAMAKURA(笹まくら) KARYA SAIICHI MARUYA Esther Risma Purba Prodi Sastra Jepang Universitas Brawijaya, Malang e-mail: [email protected] Abstrak Sejak Restorasi Meiji 1868, individualisme (個人主義) telah membawa perubahan dalam memandang hubungan dalam kerangka antar individu, masyarakat, lembaga, dan individu dengan kepentingan negara di Jepang. Namun, Jepang di tahun 1965 yang menjadi setting novel ini, masih mengedepankan kolektivisme (集団主義) dimana kepentingan kelompok menjadi identitas yang lebih penting daripada individu. Keadaan ini menjadi tidak mudah bagi mereka yang mengusung kebebasan individu. Saiichi Maruya melalui novel karyanya Sasamakura mengangkat isu tentang penolakan wajib militer dan menentang perang yang merupakan hal yang tabu di Jepang hingga tahun 1965. Keikutsertaan dalam wajib militer merupakan wujud dari kolektivisme yang dijunjung oleh masyarakat dan negara.Novel ini menceritakan pergulatan hidup sehari-hari protagonis Shokichi Hamada yang pada masa perang menolak wajib militer dan hidup dalam pelarian, dan setelah perang berakhir, bekerja di sebuah universitas swasta yang masih menjunjung 大和魂 Semangat Jepangsebagai identitas kelompok. Masa lalu protagonis sebagai penolak wajib militer menjadi bagian dari identitas yang disematkan terus-menerus dan tidak bisa lepas dari kehidupannya.Hal ini berakibat pada hubungan sosial dan status pekerjaannya di universitas. Penelitian ini akan menekankan perhatian pada teks karya yang dikaitkan dengan aspek sosial dan budaya masyarakat Jepang dalam memandang tugas wajib militer, individualisme dan kolektivisme dalam kehidupan pasca PD II di Jepang hingga tahun 1965. Kata kunci:

Upload: phamkhue

Post on 02-Mar-2019

233 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

TIADA TEMPAT BAGI KEBEBASAN INDIVIDU DALAM NOVEL

SASAMAKURA(笹まくら) KARYA SAIICHI MARUYA

Esther Risma Purba

Prodi Sastra Jepang Universitas Brawijaya, Malang

e-mail: [email protected]

Abstrak

Sejak Restorasi Meiji 1868, individualisme (個人主義) telah membawa perubahan

dalam memandang hubungan dalam kerangka antar individu, masyarakat, lembaga,

dan individu dengan kepentingan negara di Jepang. Namun, Jepang di tahun 1965

yang menjadi setting novel ini, masih mengedepankan kolektivisme (集団主義)

dimana kepentingan kelompok menjadi identitas yang lebih penting daripada

individu. Keadaan ini menjadi tidak mudah bagi mereka yang mengusung

kebebasan individu. Saiichi Maruya melalui novel karyanya Sasamakura

mengangkat isu tentang penolakan wajib militer dan menentang perang yang

merupakan hal yang tabu di Jepang hingga tahun 1965. Keikutsertaan dalam wajib

militer merupakan wujud dari kolektivisme yang dijunjung oleh masyarakat dan

negara.Novel ini menceritakan pergulatan hidup sehari-hari protagonis Shokichi

Hamada yang pada masa perang menolak wajib militer dan hidup dalam pelarian,

dan setelah perang berakhir, bekerja di sebuah universitas swasta yang masih

menjunjung 大和魂 ‘Semangat Jepang’ sebagai identitas kelompok. Masa lalu

protagonis sebagai penolak wajib militer menjadi bagian dari identitas yang

disematkan terus-menerus dan tidak bisa lepas dari kehidupannya.Hal ini berakibat

pada hubungan sosial dan status pekerjaannya di universitas. Penelitian ini akan

menekankan perhatian pada teks karya yang dikaitkan dengan aspek sosial dan

budaya masyarakat Jepang dalam memandang tugas wajib militer, individualisme

dan kolektivisme dalam kehidupan pasca PD II di Jepang hingga tahun 1965.

Kata kunci:

identitas, ‘Semangat Jepang’, kolektivisme, individualisme, chohei kihisha

‘penolak perang dan wajib militer’

Pendahuluan

これもまたかりそめ臥しのさ、笹枕一夜の夢の契りばかりに

Kore mo mata karisomebushi nosa, sasamakura ichiya no yume no

chigiri bakari ni

(Sasamakura: 178)

‘Perjalanan kali ini pun, seperti hari-hari tidur yang gelisah itu, dengan

beralas rumput, bermimpi sepanjang malam’

Puisi tersebut di atas ditulis di dalam Shinkokinshu (New Anthology of

Ancient and Modern Verse) yang selesai ditulis pada tahun 1205. Puisi ini terbaca

oleh protagonis novel, Shokichi Hamada saat ia membaca buku kumpulan puisi

milik Asisten Profesor Kuwano. Puisi ini seolah bicara tentang hidupnya yang sulit

di masa lalu sebagai chohei kihisha ‘penolakperang dan wajib militer’.Sejak tahun

1940 hingga perang berakhir dengan kekalahan Jepang di bulan Agustus 1945, ia

hidup sebagai pelarian dan mengganti nama menjadi Kenji Sugiura dan mengubah

penampilan. Hari-harinya penuh ketakutankarena memilih sebagai penolak wajib

militer hukumannya adalah mati.Ia hidup berpindah-pindah ke daerah pelosok

Jepang, kelaparan, dan mengasingkan diri. Ia sering tidur beralas rumput. Suara

desiran rumput yang tertiup angin membuat tidurnya gelisah karena suara itu

membuat dia terjaga.Ia harus hidup dengan ketakutan dan selalu waspada agar tidak

tertangkap.

Kata sasamakura ‘bantal rumput’ menjadi judul novel berjumlah 420

halaman yang ditulis oleh Saiichi Maruya (1925 - 2012) yang diterbitkan tahun

1966 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Dennis Keene pada tahun

2002 dengan judul Grass for My Pillow. Keene mengatakan bahwa Sasamakura

dengan jelas diciptakan untuk mengkritik militarisme Jepang di masa perang dan

mengkritik paham memuja kaisar.

Saat Maruya tengah duduk di Sekolah Menengah Atas di Niigata, ia

didaftarkan untuk mengikuti dinas kemiliteran. Maruya menyebut generasi

seangkatan dirinya sebagai generasi yang tidak beruntung yang tidak dapat

melupakan perang meskipun di masa damai (Kokusai Bunka Shinkokai: 127).

Dalam buku yang berjudul 戦争拒否十一人の日本人“Sebelas orang Jepang

yang menentang perang” yang ditulis oleh Motoki Yamamura (山村基毅),

terdapat wawancara dengan Maruya yang menuturkan bahwa ia mengenal

seorang penolak wamil yang ia jadikan model untuk protagonis Hamada. Akan

tetapi, ia hanya bertemu dengan pria tersebut sekali dan novel ini sepenuhnya

adalah ciptaan. Setelah novel selesai, Maruya mempresentasikan novelnya, dan

sekali lagi ia bertemu dengan pria itu yang kemudian mengatakan pengalaman

hidupnya sebagai penolak wamil tidaklah sebaik yang dialami protagonis

Hamada(Kotani: 130-131).

Hukum wajib militer chohei seido (徴兵制度) diberlakukan pertama kali

di Jepang pada tahun 1873 (Kotani: 103). Pada masa Jepang terlibat dalam perang

hingga tahun 1945, terjun ke medan perang adalah kewajiban bagi pria berusia 20

tahun ke atas sebagai wujud dari tanda cinta negara dan kepatuhan pada kaisar.

Menolak untuk ikut dalam perang merupakan sebuah pengkhianatan pada negara

dan kaisar, dan dianggap sebagai kejahatan yang lebih besar daripada mencuri dan

membunuh.Sebagaimana yang dituturkan oleh narator dalam Sasamakura, siapa

pun yang menolak wajib militer, akan diganjar hukuman mati di depan regu

tembak, atau dikirim ke garis depan medan pertempuran yang paling berbahaya

(Sasamakura: 52).

Sasamakura diterbitkan tahun 1966 di tengah situasi sosial politik Jepang

seperti yang tergambar dalam novel.Dalam penelitian ini, penulis mencari

referensi yang menjelaskan sejarah dan situasi sosial politik di Jepang pasca PD II

dan hingga 1965 untuk memperkuat argumen bahwa novel ini mencerminkan

realita yang ada di masyarakat pada masa itu.

Tujuan dari penulisan paper ini adalah untuk menganalisis nilai-nilai

Jepang yang diperjuangkan dan yang digugat oleh protagonis yang diwujudkannya

dengan menolak perang dan wajib militer. Konsekuensi dari pilihan sebagai

penolak wamil yang dialami protagonis 20 tahun kemudian (tahun 1965), dapat

menunjukkan bahwa di dalam aspek sosial, budaya, dan politik, 大和魂

‘Semangat Jepang’ yang diwujudkan dalam paham kolektif, masih tetap menjadi

identitas yang lebih dikedepankan dibanding paham individu. Paper ini akan

menyoroti aspek-aspek tersebut dan menghubungkannya dengan referensi pustaka.

Paper ini dianggap dapat bermanfaat untuk memahami bagaimana sebuah

isu sensitif yang terkait dengan identitas dan kepentingan nilai-nilai sebuah bangsa

disuarakan dalam novel dan bagaimana akibat dari tindakan menentang tersebut.

Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi pemahaman bahwa sejarah

dari kejayaan sebuah bangsa di suatu masa, dapat ditanggapi berbeda oleh anak

bangsanya sendiri di masa yang lain.

Identitas, Kolektivisme, Individualisme, Penolak Perang Dan Wajib Militer

Individualisme(個人主義) di Jepang mulai dikenal pada masa 20 tahun

setelah Restorasi Meiji (menjelang akhir 1900) yang oleh Uchimura Kanzo

disebut sebagai dekade revolusi spiritual. Akan tetapi, paham ini belum dapat

menggeser paham kolektif (集団主義) yang dianut masyarakat Jepang. Individu

tidak dianggap sebagai entitas yang independen (個我が確立していない).

Karena entitasnya tidak diakui, suara individu tidak dapat dikedepankan (自己出

張ができない). Malah, kepentingannya harus dikorbankan untuk kepentingan

kolektif di mana dia berada, dan kepentingan kolektif diakui sebagai hal yang

utama (Takano: 9). Masyarakat tradisional Jepang beranggapan bahwa kewajiban

sosial dapat dipenuhi dengan tindakan sukarela sebagai wujud kesetiakawanan

dan kebajikan. Orang yang mengutamakan kepentingan kelompok dituntut

untuk menjaga keharmonisan ( 和 ) kelompoknya dengan mengorbankan

kepentingan/keinginan pribadinya. Orang yang merusak keharmonisan kelompok,

akan dikeluarkan (Takano: 9). Keharmonisan ini akan menjamin kelangsungan

hirarki.

「軍国主義は、日本人の集団主義的な発露だ」 ‘paham negara militer

adalah perwujudan dari paham kolektif yang dianut orang Jepang’ merupakan

kajian politik dan budaya Jepang yang mendominasi setelah perang berakhir

(Takano: 11). Wujud paham kolektif dapat terlihat pada kepatuhan individu dalam

mengikuti tradisi, termasuk di dalamnya menghormati kaisar, bersembahyang dan

memberi hormat kepada patung dewa di kuil Shinto, hingga bakti bela negara

dengan ikut dalam perang.

Sejak Restorasi Meiji (1868) hingga masa sebelum PD II, pikiran yang

berpusat pada negara (state-centric) sangat berakar kuat. Kata Okami yang berarti

‘dewa’ yang menandai pemerintah atau pihak berkuasa memiliki arti “mereka

yang di atas” dan kata Ooyakeyang pada awalnya merujuk pada rumah tangga

kaisar, masih memiliki konotasi kuat yang merujuk pada “pihak pemerintah”.

Pikiran akan “mengorbankan diri untuk kepentingan dan melayani publik” atau

messhi hookoo(滅私奉公) dan “hormat kepada otoritas” atau kanson hookoo(官

尊奉公) menjadi sikap yang dituntut dari setiap orang.

Masa sebelum perang ini oleh Maruyama Masao (1963) ditandai oleh

“kegagalan menarik batas tegas antara wilayah publik dan wilayah pribadi

individu” (dalam Schwartz 2003: 5).Hak individu belum mendapat pengakuan

karena negara lah yang berkuasa menentukan nasib individu. Kawakami Hajime

merumuskan hubungan ini individu-negara ini dalam sistem biner:

“In the democratic lands of Europe, human’s rights are granted by heaven,

and the state’s rights by the people. … In Japan, the state’s rights are

granted by heaven, and human rights by the state” (Schwartz :64).

‘Di negara-negara demokrasi Eropa, hak manusia diberikan oleh surga

(Tuhan), dan hak negara diberikan oleh rakyatnya.… Di Jepang, hak

negara diberikan oleh surga, dan hak manusia diberikan oleh negara.

Protagonis Hamada yang menganut pasifisme atau heiwa shugi(平和主

義)merupakan individu yang mencoba menarik batas tegas antara wilayah

privatnya sebagai individu yang menjunjung pasifisme yang menolak perang.

Pasifisme adalah paham yang menolak perang yang mengunakan kekuatan militer

dan kekerasan. Lee mengutip pendapat Douglas Lackey yang mengatakan

Pasifismedapat dilihat sebagai pilihan individu a “lifestyle choice,” sebagai

sebuah prinsip yang harus dipegang oleh mereka yang berpikir jalan demikian

adalah yang terbaik bagi mereka. Sebagai pilihan individu, penganut paham ini

tidak menuntut pihak lain untuk mengambil pilihan yang sama jika tidak

menghendakinya (Lee: 6-22). Akan tetapi, di Jepang di mana individu tidak

dianggap sebagai entitas yang independen, pilihan individu tidak mendapat tempat

di Jepang yang mengedepankan kepentingan kolektif.Meski perang telah berakhir

20 tahun sebelumnya, pilihan sebagai penolak perang dan pengusung pasifisme

masih dianggap sebagai penghianat bangsa, dan menjadi stempel yang dilekatkan

terus-menerus.Orang yang demikian, tidak dianggap sebagai bagian dari

kelompok, dengan kata lain, identitas kejepangannya dipertanyakan.

Pada bulan Juni 1963, Menteri Departemen Pendidikan, Araki Masuo

memerintahkan badan penasihatnya The Central Council on Education untuk

merumuskan nilai-nilai moral yang perlu ditanamkan. Sebagai hasil dari kerja

timperumus, subkomite mengeluarkan “interim draft” kepada council yang

bunyinya tidak diumumkan kepada public yang berbunyi:

“We have carried the flag and sung the anthem and loved and revered the Emperor

as symbols of Japan….The Emperor is a symbol of Japan and of the unity of the

people. We must give our deep thought to the fact that our loving and revering our

fatherland, Japan, are identical with loving and revering to the Emperor”

(Furukawa: 314).

‘Kita telah mengibarkan bendera dan menyanyikan himne, mencintai kaisar dan

menganggapnya sebagai simbol Jepang…. Kaisar adalah simbol Jepang dan

pemersatu rakyat.Kita harus memberikan perhatian yang dalam dan mengakui

kenyataan bahwa bapak bangsa kita yang kita cintai dan kita puja adalah sama

dengan kaisar yang kita cintai dan kita puja.’

Dari rumusan tersebut di atas, dapat terlihat bahwa hingga tahun 1963,

pemerintah Jepang menempatkan kaisar sebagai simbol Jepang. Sebagai simbol,

penghormatan kepada kaisar yang dianggap sebagai keturunan dewa matahari,

ditunjukkan dengan memberi penghormatan di kuil. Kesertaan dalam ritual ini

menjadi tanda kesertaan secara kolektif.Tanpa menolak dan menjadikannya ritual,

menunjukkan seseorang memiliki Semangat Jepang.Di masa perang, keikutsertaan

dalam perang adalah wujud Semangat Jepang yang diusung segenap rakyat.Yang

menolak perang dan wamil, dianggap sebagai pengkhianat kesatuan dan bukan

bagian dari kelompok, dalam hal ini bukan orang Jepang.

Semangat ini pulalah yang masih hidup di kalangan konservatif yang

duduk di universitas tempat Hamada bekerja, yang memiliki kuil Shinto di gerbang

masuk kampus dan memberi penghormatan ke arahnya setiap kali melewatinya.

Identitas Jepang, Kolektivisme, Individualisme, Dalam Sasamakura

Cerita diawali dengan Hamada yang tengah memikirkan jumlah uang duka

cita yang semestinya diberikan sebagai tanda duka cita atas kematian Akiko,

perempuan yang pernah menjadi kekasihnya di 20 tahun silam dan yang telah

menyelamatkan hidupnya selama hampir 5 tahun di masa perang. Surat

pemberitahuan kematiannya tiba sesaat setelah ia juga menerima surat

pemberitahuan kematian pensiunan guru besar yang pernah menjadi dekan di

fakultas di universitas tempat ia bekerja. Sebagai asisten dari kepala juru ketik di

bagian administrasi yang artinya ia berada pada jenjang bawah hirarki lembaga, ia

terikat pada kebiasaan yang menentukan berapa besar kewajiban sumbangan yang

harus ia berikan. Hamada memberikan sumbangan sebesar 30.000 yen untuk

pensiunan guru besar yang dimasukkan dalam amplop yang distempel oleh kepala

bagian administrasi dan diserahkan langsung kepada direktur eksekutif universitas

(Sasamakura: 30). Hal ini menunjukkan bagaimana hirarki mengatur dan

mengawasi kebiasaan yang berlangsung dan memastikan setiap anggota

memenuhinya.Jumlah uang dukacita sebesar 30.000 adalah jumlah yang besar pada

masa itu (kurs saat ini setara dengan 3,6 juta rupiah). Hamada menyerahkannya

bukan karena ia ingin memberikan sebesar kemampuannya, tetapi ia

memberikannya dengan menyadari posisinya sebagai asisten kepala juru ketik dan

yang meninggal adalah seorang pensiunan guru besar yang sudah pensiun. Posisi

dalam hirarki menentukan besarnya tugas dan kewajiban seseorang di dalam

kelompok, dalam hal ini hirarki universitas. Kepada Akiko, perempuan yang

kematiannya membuat ia terkenang masa lalunya dan membuat ia membandingkan

Yoko istrinya dengan Akiko, Hamada menyerahkan 10.000 yen.

Hamada menyadari bahwa pekerjaannya berada di posisi yang rendah

dalam hirarki, dan ia menyadari bahwa ia yang merupakan mantan penolak wamil

dan bukan lulusan universitas, dapat diterima bekerja hingga menjadi asisten juru

ketik di fakultas adalah berkat pertolongan Direktur Eksekutif Horikawa yang juga

mengatur pernikahannya. Hamada menyadari bahwa ia bekerja di universitas yang

konservatif yang masih memiliki mata kuliah wajib agama Shinto di semua jurusan

sehingga ia berusaha untuk mengikuti kebiasaan yang ada di universitas, termasuk

menundukkan kepala dan badan dengan khidmat ke arah kuil Shinto setiap kali

melewati gerbang kampus (Sasamakura: 20).Ia tidak ingin menciptakan masalah.

Pada masa perang, ia menentang perang dan menentang kaisar, tetapi sekarang ia

melakukan penghormatan itu karena ia berusaha berkompromi.

Akan tetapi, meski ia berkompromi dengan melakukan ritual tersebut,

bukan berarti ia menghormati kaisar dan memiliki Semangat Jepang (大和魂). Di

luar ritual dan di luar kampus, ia tidak mau minum sake dan lebih menyukai

minuman barat, wiski. Pilihannya ini membuat rekan kerjanya menganggap ia tidak

memiliki Semangat Jepang sehingga ia dianggap bukan orang Jepang. Dialog di

berikut ini menunjukkan tanggapan rekan kerja Hamada saat melihat Hamada

menolak tawaran minum sake:

“この人はジャパン・スピリットは駄目なんだよ” (Sasamakura: 127)

‘Orang satu ini, Semangat Jepang tidak cocok untuknya’.

Rekan-rekan kerja dan atasannya di universitas yang hadir di pesta saat itu, tidak

benar-benar mengetahui masa lalunya sebagaipenolak wamil, tetapi mereka tahu

bahwa Hamada dalam beberapa kesempatan menunjukkan hal-hal yang

disimpulkan “tidak cocok dengan spirit Jepang’.Hamada tidak minum sake,

minuman alkohol Jepang yang menjadi identitas budaya Jepang dan menjadi

elemen penting dalam perayaan-perayaan di Jepang.Di Jepang, minum sake

menjadi aktivitas sosial yang merekatkan hubungan. Orang asing yang meski tidak

menyukai sake,akan tetap diharapkan menerima tawaran minum sake sebagai

wujud ikatan kebersaman dengan orang-orang yang hadir di acara yang sama.

Penolakan Hamada, seorang Jepang, untuk minum sake menjadi hal yang tidak

sesuai dengan tuntutan sosial yang melihatnya bukan sebagaimana mestinya

seorang Jepang. Hamada malah memilih wiski, yang oleh rekannya dianggap tidak

berpadu 日本料理とウィキーじゃ、合わんだろう (Sasamakura: 127)

‘Makanan Jepang dan wiski itu, dua hal yang tidak menyatu’.

水割りにしてくれよ。おれは、大和魂のほうは駄目なんだ。

(Sasamakura: 133).

‘Berikan aku (wiski) dengan air. Semangat Jepang tidak cocok untukku’

Dialog ini diucapkan protagonis Hamada saat ia tengah sedikit mabuk di

pesta yang diadakan direktur eksekutif universitas. Ia merasa terasing di pesta di

mana para atasan dan rekan kerjanya menyanyikan lagu mars tentara dan lagu yang

berisi syair kejayaan Jepang. 大和魂 ‘Semangat Jepang’ yang tergambar dalam

syair lagu dan minuman sake yang menjadi identitas sebagai Jepang, tidak cocok

untuknya. Lagu-lagu tersebut menjadi semangat yang mendorong Jepang menjadi

imperialis di masa lalu dan melibatkan diri dalam perang dunia. Lagu itu

mengingatkan Hamada pada masa lalunya sebagai penolak wajib militer karena ia

menolak perang dan kesulitan hidup yang dialaminya. Hal ini menunjukkan di

bawah sadarnya saat mabuk, ia masih memiliki sikap yang menolak identitas

Jepang pada dirinya meski ia berkompromi dengan ritual dan kebiasaan lain di

tempatnya bekerja.

Ritual dilakukan tanpa mempertanyakan untuk apa dan mengapa.

Kepatuhan pada tradisi kolektif menjamin keberadaan diakui dalam kelompok dan

identitas sebagai orang Jepang terbentuk bersamaa kelompok. Dialog Hamada

dengan antara professor senior dari jurusan Bahasa Inggris berikut menunjukkan

kepatuhan tersebut.

Prof. Sakurai : 「浜田君、このお神社は何という神様をまつって

いるか、知ってるかい」

Hamada : 「存じません」

Prof. Sakurai : 「長い間勤めてる人が、みんな知らない。織田君さえ不合

格なんだよ」

Prof. Sakurai : 「そう、小早川さんから教わったのだから……確実な知

識だ。いいかね。このお神社は……八百よろずの神々をま

つっている」

(Sasamakura: 38)

Prof. Sakurai : ‘Hamada, kau tahu dewa apa yang disembah di kuil ini?’

Hamada : ‘Saya tidak tahu’

Prof. Sakurai : ‘Mereka yang sudah bekerja lama di sini pun tidak tahu. Si tua

Professor Odasaja bahkan tidak tahu.

Prof. Sakurai : ‘Ya, Direktur Eksekutif Kobayakawa yang memberitahuku.

Karena dia yang mengatakannya, maka bisa dipastikan benar.

Katanya, kuil ini dipersembahkan untuk …semua dewa-dewa yang

ada di surga dan di bumi’

Setelah Jepang kalah dalam perang dan bekerja sebagai pegawai di

universitas, Hamada menjadikan dirinya sebagai warga Jepang yang “baik” yang

menghormati kaisar yang ia tunjukkan dengan memberi hormat menundukkan

kepala ke arah kuil Shinto setiap kali melewati gerbang kampusnya, yang menurut

Profesor Sakurai adalah‘hal yang seharusnya orang Jepang lakukan’

(Sasamakura: 130).

Hamada berusaha untuk berkompromi dengan kebiasaan yang ada, tetapi

surat yang memberitahukan kematian Akiko, kekasihnya di masa lalu, telah

membawa ingatannya ke kehidupan menjadi pelarian di masa perang hampir 20

tahun silam. Peristiwa di suatu sore dimana ia tidak berbuat apa-apa ketika

melihat perampok, menjadi berita di seluruh kampus yang membuat orang

meyakini bahwa reaksinya adalah wujud dari tindakan seorang pengecut, seperti

yang dilakukan seorang penolak wamil. Hamada hanya tertegun dan tidak berbuat

apa-apa saat perampok itu melewatinya.Hingga akhirnya seseorang menekel kaki

perampok hingga terjatuh dan orang-orang memukulinya. Pemandangan

perampoklari dengan orang-orang yang memburu dan memukuli, membuat

Hamada seolah melihat dirinya sendiri di masa lalu yang hidup dalam pelarian

(Sasamakura: 30-31). Peristiwa Hamada yang tidak berbuat apa-apa mencegah

perampok, menjadi pembicaraan di seluruh kampus keesokan harinya hingga

beberapa minggu kemudian.Hal ini membuat Hamada menyadari kenyataan bahwa

sesungguhnya masa lalunya sebagai penolak wamil menjadi aib yang tidak pernah

pupus meski perang telah berakhir hampir 20 tahun sebelumnya.

Setting sosial tahun 1965 dalam novel ini menggambarkan pergerakan

politik Jepang yang mempengaruhi pergerakan mahasiswa di kampus.Pers

mahasiswa yang beraliran kiri mengusung Komunisme menyerukan paham anti

militerisme, anti perang, menolak keberadaan Amerika di Pasifik dalam perang

Vietnam, dan anti imperialism Amerika yang mengusung kapitalisme.Mahasiswa

beraliran kiri ini menjalin gerakan bersama dengan mahasiswa di Amerika yang

menolak perang Vietnam, menyerukan perdamaian, dan mendukung

keberadaanpenolak wamil. Di saat yang sama, kalangan yang beraliran

konservatif yang mendominasi hirarki atas di universitas, menyoroti keberadaan

staf pengajar yang beraliran kiri yang memprotes imperialism Amerika yang

mengusung kapitalisme.

Kalangan konservatif mendukung suara yang mendukung keberadaan

kaisar dan mendukung agar Jepang memiliki senjata nuklir untuk meningkatkan

martabat Jepang dalam peranannya di dunia.

日本もここまで国力が充実した以上、もうそろそろ大国らしく原水

爆を持って、国民の誇りを高めなければならないという論旨なので

ある。(Sasamakura: 70)

‘Jepang sekarang telah berhasil menjadi negara yang kuat, sudah tiba

saatnya untuk meningkatkan kebanggaan bangsa dengan memiliki bom

nuklir’.

Koran kampus Totality (天地玄黄)yang beraliran kanan, menyoroti

gerakan mahasiswa aliran kiri tersebut yang dianggap mengusung paham sosialis

komunis. Koran kembali mengangkat tulisan seorang alumni yang menolak

kehadiran paham ini dan menyoroti kuliah tentang sosialisme dan komunisme

diajarkan oleh seorang professor di jurusan ekonomi:

野本教授は経済学研究に当たっての必読書として十冊をあげたの

であるが、とつ!その中にはかのマルクスの著書が実に二冊も入っ

ているのだ。何たる暴挙ぞや。これは真に建学の精神にもとる態度

と云わなければならない。私は卒業生の末席を汚す者として、新装

なった母校の屋上に赤い旗のへんぽんとひるがえるのを見るに忍

びないのである。…… (Sasamakura: 76)

‘Setelah membaca 10 laporan penelitian ekonomi dari Profesor Nemoto

yang dianggap penting itu, apa yang dapat kita simpulkan? Sangat

menjijikkan! Dua di antara penelitiannya adalah tentang Karl

Marx.Sungguh-sungguh berani dan lancing, suatu sikap yang sangat

bertentangan dengan semangat yang telah membangun universitas

ini.Saya mungkin hanya seorang lulusan yang bukan siapa-siapa, tapi saya

tidak bisa menerima bendera merah berkibar di atap gedung universitas

ini.’

Kelompok mahasiswa ini juga menurunkan artikel di koran kampus untuk

menanggapi upaya staf pengajar dan kelompok mahasiswa yang menolak gerakan

yang menentang kaisar. Hal-hal yang ditentang oleh mahasiswa aliran kiri adalah

hal yang didukung oleh pemerintah, universitas, dan mahasiswa gerakan aliran

kanan (Sasamakura: 70).

Dari artikel yang tersebut di atas menunjukkan adanya upaya dan

semangat untuk menghidupkan kembali Semangat Jepang yang terwujud dalam

negara yang kuat secara militer, yakni dengan memiliki senjata nuklir. Di awal

tahun 1960, Jepang yang telah pulih dari kehancuran perang dan menjadi negara

yang makmur berusaha untuk menunjukkan keberadaannya di tengah masyarakat

internasional dengan memiliki senjata nuklir dan bekerja sama dengan Amerika

menjaga perdamaian dunia. Kerjasama dengan Amerika ditanggapi negatif oleh

aliran kiri karena dianggap mendukung imperialism Amerika dan mendukung

Amerika yang pada tahun 1965 berperang dengan Vietnam.

Hamada dianggap pengecut dan pengkhianat karena menjadi penolak

perang.Koran kampus mengangkat isu pengangkatan seorang pegawai administrasi

menjadi kepala bagian administrasi.

『敢えて母校の職員人事に干渉し、建学の精神の衰頽を憂える』

(Sasamakura: 214)

Artikel menyoroti bahwa pegawai administrasi tersebut adalahseorang

pengecut karena di masa Jepang berperang menolak wamil.Tulisan ini dibuat oleh

kepala bagian administrasi dan Nishi yang menjadi rekan Hamada di bagian

administrasi dan mewakili suara staf pengajar dan mahasiswa yang beraliran kanan.

Mereka menentang rencana pengangkatan Hamada menjadi kepala bagian

Adminsitrasi dan menganggap recana pengangkatannya sebagai bentuk

pengkhianatan pada semangat pendiri universitas dan cita-cita universitas

(Sasamakura: 214-215).

Tahun 1960-an di Jepang menjadi masa gerakan intelektual

mengedepankan masyarakat sipil. Pada masa 1960-an, Jepang sedang berada di

masa pertumbuhan ekonomi pesat yang disibukkan dengan agenda mengejar

pertumbuhan ekonomi dan memperluas pengaruh dalam bidang ekonomi dan

politik di dunia internasional. Pada masa 1960-an ini pula, kaum intelektual

memposisikan diri di 2 kubu, yakni sebagai penganut Marxisme yang bangkit

kembali setelah masa perang dan di kubu lain penganut “postwar progressivism.”

Perhatian terhadap ide masyarakat sipil tahun 1960-an di Jepang banyak terkait

pada teori Marxis dan usaha-usaha untuk melakukan reformasi terhadap teori

tersebut (Sugiyama Mitsunobu dalam Yamanouchi: 118). Di sisi lain, kubu yang

menolak Marxisme, berusaha untuk membangkitkan kembali Semangat Jepang

dengan menonjolkan sosok kaisar sebagai identitas bangsa dan kebanggaan

sebagai negara yang kuat secara militer.

Untuk menanggapi upaya aliran kanan, mahasiswa aliran kiri

mewawancarai Hamada sebagai bentuk suara yang mewakili gerakan

mereka.Keberadaan Hamada dengan masa lalunya yang menolak wajib militer

dalam desas-desus di kampus, dianggap sebagai sosok pahlawan oleh kalangan

kiri (Sasamakura: 220-221)

Hamada semakin merasa terasing di kampus setelah Profesor Ekonomi,

Nemoto yang beraliran kiri, yang mendukung ajaran sosialis komunis, yang oleh

Hamada dianggap sebagai orang yang berpihak padanya karena bersimpati pada

pengalaman hidup Hamada sebagai penolak wamil, dan yang mendukung

pengangkatan Hamada sebagai kepala bagian administrasi, ternyata berkhianat

padanya. Nemoto menulis artikel yang menyerukan agar masa lalu seorang penolak

wamil tidak menjadi hambatan untuk orang tersebut mendapat peranan dalam

masyarakat. Selama Jepang mendukung konstitusi damai anti perang, maka isu

tentang penolak wamil yang terjadi 20 tahun silam tidak lagi relevan(Sasamakura:

242-243). Pengkhianatan Nemoto adalah saat ia mencatumkan catatan tambahan

di akhir tulisan bahwa ia adalah seorang yang turun di medan perang di garis depan

dalam Perang Pasifik, yang bagi Hamada hal ini bentuk pembelaan diri Nemoto

yang tidak ingin disamakan dengan Hamada meski di awal tulisan ia menunjukkan

dukungannya pada Hamada (Sasamakura: 204).

Hamada mendapati kenyataan bahwa orang-orang yang ia kira akan

membelanya, yang tidak akan mempersoalkan masa lalunya sebagai penolak

wamil, ternyata mengkhianatinya. Hamada terasingkan oleh reaksi orang-orang di

kampus, mulai dari mahasiswa yang mencoba mengorek keterangan lebih dalam,

rekan kerjanya sesama asisten juru tulis Nishi, Asisten Profesor Kuwano dari

jurusan Sastra Prancis yang dianggap liberal, Profesor Nemoto dari jurusan

ekonomi yang oleh mahasiswa dianggap simpatisan aliran kiri yang ia anggap

berpihak pada dirinya, Sakai yang menjadi sahabatnya sejak remaja tetapi

dengannya Hamada merahasiakan alasan pelariannya, hingga Horikawa direktur

eksekutif universitas yang telah memberinya pekerjaan dan mengatur perjodohan

pernikahannya, ternyata mengkhianatinya. Horikawa lah yang mengatur

perpindahan Hamada ke daerah untuk menjadi pegawai di sekolah yang dikelola

universitas. Penugasan itu adalah suatu bentuk hukuman (Sasamakura:

290-292)

Meski ia dikhianati oleh orang-orang yang ia percaya, Hamada tidak

menyesali keputusannya dahulu menolak wamil. Menjadi penolak wamil adalah

sikap yang harus ia lakukan. Ia bukanlah orang egois seperti yang dikatakan oleh

istrinya, yang menilainya bertindak seturut yang ia inginkan saja (Sasamakura: 260

dan 339). Hamada memutuskan ia akan keluar dari lingkungan yang tidak

menerima keberadaannya. Ia tidak akan menerima tawaran pindah ke daerah

menjadi pegawai di sekolah menengah yang dikelola universitasnya.

Peristiwa istrinya yang ditangkap polisi karena mengutil di supermarket

membuka kesadaran dirinya akan hidupnya yang sebenarnya diinginkannya. Saat

ia menatap wajah istrinya yang tertidur pulas di dalam mobil setelah keluar dari

kantor polisi, ia mendapati istrinya tertidur pulas laksana bayi yang tidak

berdosa.Ia tersadar bahwa Horikawa, yang telah mengatur pernikahan dengan

istrinya yang 15 tahun lebih muda, menikahkannya dengan perempuan yang

menderita kleptomania (Sasamakura, 410).Ia cemburu karena selama ini ia tidak

memiliki kehidupan yang ‘tenang’ seperti yang terbayang dalam wajah polos

istrinya. Ia ingin bebas. Narator menggambarkannya sebagai berikut:

……それにおれは、今の世界の一番大切な掟に……盗むなという掟

や殺すなという掟よりももっと重い掟に……逆らった男なのだか

ら。逆らってしまった男なのだから。国家に対し、社会に対し、体

制に対し、一度反抗した者は最後までその反抗を続けるしかない。

引き返すことは許されぬ。いつまでも、いつまでも、危険な旅の旅

人であるしかない。そう、危険なたび、不安な旅、笹まくら。(『笹

まくら』412)

‘Selain itu, aku adalah laki-laki yang telah melakukan pelanggaran berat terhadap

perintah yang paling utama dari masyarakat, lebih berat dari perintah dilarang

mencuri, dilarang membunuh.Aku adalah laki-laki yang telah melawan arus.Dia

melawan negaranya, melawan masyarakat, melawan sistem.Sekali menjadi

laki-laki yang melawan hal yang demikian, dia harus melanjutkannya.Penyesalan

adalah tidak termaafkan.Tidak ada jalan kembali.Selamanya aku menjadi laki-laki

pengembara yang melanjutkan perjalanan yang berbahaya.Ya, perjalanan yang

berbahaya, yang tidak tenang, dengan rumput sebagai alas kepala.’

Hamada menyadari bahwa ia adalah orang yang telah melawan sistem,

negara, dan masyarakat. Ia bukanlah orang yang mengutamakan kepentingan

kelompok, ia menolak sistem yang artinya ia menolak keharmonisan dan kesatuan

dalam kelompok, dan menolak pengakuan akan hirarki. Setiap individu di Jepang

dituntut untuk menjaga keharmonisan (和) kelompoknya dengan mengorbankan

kepentingan/keinginan pribadinya. Orang yang merusak keharmonisan kelompok,

akan dikeluarkan (Takano: 9). Keharmonisan ini akan menjamin kelangsungan

hirarki. Hamada memilih untuk keluar dari sistem dan masyarakat yang

menentukan identitasnya.

Hamada menghadapi kenyataan bahwa masyarakat yang dihadapinya di

tahun 1965 adalah sama dengan yang hidup 20 tahun yang lalu, saat ia menjadi

pelarian karena menolak wamil: yang melihat tiada tempat bagi orang yang

mengedepankan pilihannya sendiri. Menyuarakan pilihan sendiri adalah

pengkhianatan bagi semangat kolektif.Ia tidak menyesal keputusannnya di masa

lalu menjadi penolak perang dan wamil dan konsekuensi yang diterimanya 20

tahun kemudian. Ia akan melanjutkan perjalanan hidup yang ia inginkan, meski

menjadi orang terbuang.

PENUTUP

Hal yang paling penting dari novel ini menurut pemakalah adalah

Sasamakura memberi gambaran kepada pembaca tentang kehidupan tokoh yang

melawan nilai-nilai yang dianut masyarakat dan akibat yang harus

ditanggungnya.Novel ini memberi gambaran secara umum yang nyata tentang

masyarakat Jepang pada masa penting dalam sejarah Jepang, yakni di masa perang

dan pasca perang.Novel ini secara detil menggambarkan spirit sebuah bangsa yang

diwujudkan dalam aspek kehidupan secara agama, sosial, budaya, dan politik.

Semangat atau spirit dalam masyarakat yang ternyata tidak berubah, yang padanya

semangat masa lalu dirayakan dan coba dihidupkan.Semangat itu lah yang pernah

mendorong Jepang untuk menjadi penjajah dan membuktikan kejayaannya di

tengah ‘penguasa’ dunia lain saat itu, Amerika. Semangat yang demikian itu lah

yang ditolak oleh protagonis, yang membuatia tidak ingin memiliki identitas

sebagai Jepang. Ia melawan negara, masyarakat, dan lembaga dan memilih keluar

lepas dari identitas tersebut dengan menanggung konsekuensi dari perlawanan itu.

Melalui novel ini pula, pembaca dapat menemukan bagaimana kekuasaan

negara dapat mengatur dan menentukan nasib warganya.Kekuasaan yang kuat

ditentukan oleh hirarki yang dipatuhi masyarakat.Hirarki pula yang menjamin

kolektivisme menjadi rekat.Kolektivisme di satu sisi dapat menjadi daya pemersatu

bangsa melalui masa sulit, menjadi entitas berupa jejaring besar yang menjamin

keberadaan individu.Namun, di sisi lain, masyarakat adalah entitas yang terdiri dari

beberapa individu-individu yang memiliki akal budi dengan

pilihan-pilihannya.Hanya saja, masyarakat Jepang di masa 1965, masa di mana

protagonis memutuskan jalan hidupnya, merupakan masa di mana entitas kolektif

masih mengemuka: masa di mana entitas individu dengan pikiran dan pilihannya

belum memiliki tempat.

Entitas individu protagonis mencoba berkompromi dengan nilai-nilai

kolektif yang diusung masyarakat dan tempatnya bekerja. Hal ini pada mulanya ia

lakukan untuk semata-mata bertahan hidup. Jepang di tahun 1965 telah menjelma

menjadi negara yang makmur. Elemen-elemen budaya barat yang tergambar secara

fisik dalam setting tempat dan dalam gaya hidup beberapa tokoh lain di novel ini

menggambarkan Jepang yang berubah. Perang yang telah berakhir 20 tahun

sebelumnya dan kebangkitan ekonomi yang membawa kemakmuran, ternyata tidak

membawa Jepang berangkat dari spirit masa lalu, spirit yang sama yang mendorong

Jepang menjadi imperialis. Tiada jalan lain bagi protagonis, Hamada untuk kembali

melepaskan diri dari identitas kolektif Jepang yang menolak identitas individunya

dimana pernah menjadi chohei kihisha‘penolak perang dan wajib militer’.

SINOPSIS

Suatu pagi di bulan September 1940, Shokichi Hamada yang berusia 20

tahun berpamitan dengan orang tuanya untuk mengikuti wajib militer dengan

bergabung di Resimen Tiga di Akasaka, Tokyo.Namun, dia meninggalkan rumah

untuk melarikan diri.Dia menolak perintah negara dan melarikan diri dari wajib

militer dan pergi meninggalkan Tokyo. Selama 5 tahun sejak Oktober 1940

hingga Jepang kalah perang di bulan Agustus 1945, Hamada mengganti identitas

dirinya menjadi Kenji Sugiura dan hidup berpindah-pindah di daerah pelosok

Jepang. Selama dalam pelarian, ia hidup dalam ketakutan dan mengasingkan

diri agar tidak tertangkap polisi atau tentara, dan menghindari interaksi dengan

orang-orang yang akan bertanya-tanya bila mendapati pria dewasa tidak berada di

medan perang. Dia bekerja serabutan, adakalanya ia bekerja memperbaiki radio,

di saat yang lain sebagai artis jalanan dan menawarkan karyanya berupa lukisan

dari pasir. Hingga suatu hari ia berkenalan dengan Akiko Yuki, perempuan yang

berusia hampir 10 tahun lebih tua darinya, yang kemudian menjadi kekasihnya

dan tinggal bersama di rumah keluarga Akiko sebagai ‘pria simpanan’. Hidupnya

penuh kesulitan, ia dan Akiko hidup miskin dan kelaparan.

Selama pelariannya, ibunya bunuh diri.Tidak tahan menanggung malu

memiliki anak laki-laki yang lari dari wajib militer, menjadi alasan ibunya bunh

diri. Meski demikian, Hamada percaya bahwa lari dari wajib militer adalah

tindakan yang harus ia lakukan. Ada 4 alasan mengapa ia menolak wajib militer.

Pertama, ia menolak segala macam bentuk perang dan alasan apapun yang

mencetuskan alasan untuk berperang. Secara khusus ia menolak Perang Pasifik

(dalam catatan sejarah berlangsung dari tahun 1941-1945). Ia tidak menyukai

tentara. Alasan ke-empat adalah dia menentang secara khusus Tentara Jepang.

Setelah perang berakhir dengan kekalahan Jepang, Hamada kembali ke

Tokyo dan mencari pekerjaan.Ia direkomendasikan oleh Horikawa, teman

ayahnya untuk melamar sebagai tukang ketik di bagian administrasi universitas

tempat Horikawa bekerja. Pada CV yang ia ajukan saat melamar di tahun 1946

itu, tidak memuat informasi mengenai pekerjaan yang ia lakukan selama tahun

1940 hingga 1945.

Suatu hari di tahun 1965, yang menjadi setting utama penelitian pada

paper, Shokichi Hamada yang bekerja sebagai asisten dari juru tulis kepala di

bagian administrasi Fakultas Sastra, menerima surat yang mengabarkan kematian

Akiko Yuki. Sejak menerima surat itu, ingatannya terbawa kembali kepada

kehidupannya yang penuh penderitaan di masa perang.

これもまたかりそめ臥しのさ、枕一夜の夢の契りばかりに

‘Perjalanan kali ini pun, seperti hari-hari tidur yang gelisah itu, dengan

beralas rumput, bermimpi sepanjang malam’

Adalah puisi yang ditulis sekitar masa Shinkokinshuu (New Anthology of Ancient

and Modern Verse) yang selesai ditulis pada tahun 1205. Hidup Hamada tergambar

seperti puisi yang ia baca di sebuah buku. Ia takut oleh suara gemerisik rumput

(rumput yang tumbuhnya tinggi dan tidak nyaman untuk berbaring karena helainya

tajam) yang ditiup angin. Ia harus hidup dengan ketakutan dan selalu waspada agar

tidak tertangkap.

Meski pemerintah yang berkuasa saat Jepang terlibat perang telah kalah

dan perang telah berakhir, di setting tahun 1965 tidak berarti ia menjadi manusia

yang bebas. Suatu peristiwa yang terjadi di depan kampus telah menjadi awal

kesulitan hidup yang ia alami di tempat bekerja. Hamada menyaksikan pencuri

yang beraksi di dalam kampus melarikan diri ke arah Hamada.Hamada hanya

tertegun dan tidak berbuat apa-apa saat pencuri itu melewatinya.Pemandangan

perampok lari dengan orang-orang yang memburunya dan memukuli, membuat

Hamada seolah melihat dirinya sendiri di masa lalu yang hidup dalam pelarian.

Peristiwa Hamada yang tidak berbuat apa-apa mencegah perampok, menjadi gosip

di seluruh kampus keesokan harinya hingga beberapa minggu kemudian akhirnya

membawa ia pada kenyataan bahwa sesungguhnya masa lalunya sebagai penolak

wamil menjadi aib yang tidak pernah pupus meski perang telah berakhir hampir 20

tahun sebelumnya. Menjadi penolak wamil merupakan aib yang disematkan

terus-menerus oleh masyarakat yang menganggapnya pengecut dan pengkhianat.

Hamada terasingkan oleh reaksi orang-orang di kampus, mulai dari

mahasiswa yang mencoba mengorek keterangan lebih dalam, rekan kerjanya

sesama asisten tukang ketik Nishi, Asisten Profesor Kuwano dari jurusan Sastra

Prancis yang dianggap liberal, Profesor Nemoto dari jurusan ekonomi yang oleh

mahasiswa dianggap simpatisan aliran kiri komunis yang ia anggap berpihak pada

dirinya, Sakai yang menjadi sahabatnya sejak remaja tetapi dengannya Hamada

merahasiakan alasan pelariannya, hingga Horikawa direktur eksekutif universitas

yang telah memberinya pekerjaan dan mengatur perjodohan pernikahannya,

ternyata mengkhianatinya.Mereka adalah orang-orang yang juga melihat masa

lalu sebagai penolak wamil sebagai bentuk tindakan pengecut dan pengkhianat.

Berita kematian Akiko yang membawa ingatan masa lalunya hidup

kembali, peristiwa pencurian yang membangkitkan perihal dirinya sebagaipenolak

wamil, membuat ia merenungkan kembali alasan mengapa ia memilih demikian. Ia

berusaha mengatasi rasa takut dengan berusaha optimis dan mengingatkan dirinya

sendiri tentang alasan ia memilih hidup sebagaipenolak wamil dan lari dari wajib

militer. Keputusan menjadi penolak wamiladalah masa lalu yang ia terima dengan

tanggung-jawab dan tidak ia sesali. Hamada akhirnya memutuskan untuk

meninggalkan istri dan tempatnya bekerja, untuk hidup menjadi orang yang ia

anggap bebas. Ia memilih hidup dimana ‘rumput’ menjadi tempat ia merebahkan

kepala.

Daftar Pustaka

Furukawa, Tesshi. 1968. “The Individual in Japanese Ethics”. Di dalam The status

of the individual in East and West. Honolulu: University of Hawaii Press.

Kawamoto, Saburo. 川本三郎. 2014. Di dalam Epilog Sasamakura. Tokyo:

Shinchosha.Cetakan ke-19.

Keene, Donald. 1978. The Barren Years. Japanese War Literature. Monumenta

Nipponica, Vol. 33, No. 1 (Spring, 1978). Tokyo: Sophia University: 67-112

(46 halaman). Diakses 2 Agustust 2016, dari

http://www.jstor.org/stable/2384256

Kokusai Bunka Shinkokai. 1970. Synopsis of Contemporary Japanese Literature II

1936-1955. Yokohama: Kokusai Bunka Shikokai.

Kokusai Bunka Shinkokai. 1972. Introduction to Contemporary Japanese

Literature 1956-1970. Yokohama: Kokusai Bunka Shinkokai.

Kotani, Katsuhiko. 1997. 『兵役拒否宣言-全体主義から個人主義へ』

Heiekikyohi Sengen-Zentaishugi kara Kojinshugi he. Tokyo:

Kindaibungeisha.

Lee, Steven. P.. 2013. Ethics and War. Inggris: Cambridge University Press.

Makito, Saya. 2009. The Sino-Japanese War and The Birth of Japanese

Nationalism. Diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Noble. 2011.

Tokyo. International House of Japan, 2011.(Judul asli Nisshin Senso:

Kokumin no Tanjo. Tokyo: Kodansha, 2009).

Saiichi, Maruya. 才一丸谷. 2014.『笹まくら』Sasamakura. Tokyo: Shinchosha.

Cetakan ke-19

Schwartz, Frank J. dan Susan J Pharr. 2003. The State of Civil Society in Japan.

Cambridge University Press.

Takano, Yotaro. 高野陽太郎. 2008.「集団主義」という錯覚.‘Kesalahpahaman

tentang Kolektivisme’.2008.Tokyo: Shinyosha.

Yamanouchi, Yasushi, J. Victor Koschmann, Ryuuichi Narita. 1998. Total War

and ‘Modernization’. New York: Cornel University.