sejarah kerajaan mataram kuno
TRANSCRIPT
SEJARAH KERAJAAN MATARAM KUNO
a. Berdirinya Kerajaan Mataram Kuno
Pada abad ke-8 di pedalaman Jawa Tengah berdiri Kerajaan Mataram
Hindu. Pendirinya adalah Raja Sanjaya. Munculnya Kerajaan Mataram
diterangkan dalam Carita Parahyangan. Kisahnya adalah dahulu ada sebuah
kerajaan di Jawa Barat bernama Galuh.
Rajanya bernama Sanna (Sena). Suatu ketika, ia diserang oleh saudaranya
yang menghendaki takhta. Raja Sanna meninggal dalam peristiwa tersebut,
sementara saudara perempuannya, Sannaha, bersama keluarga raja yang lainnya
berhasil melarikan diri ke lereng Gunung Merapi.
Anak Sannaha, Sanjaya, di kemudian hari mendirikan Kerajaan Mataram
dengan ibu kota Medang ri Poh Pitu. Tepatnya pada tahun 717 M.
B. Bukti-Bukti Sejarah
Bukti lain mengenai keberadaan Kerajaan Mataram Hindu atau sering juga
disebut Mataram Kuno adalah prasasti Canggal yang dikeluarkan oleh Sanjaya.
Prasasti ini berangka tahun Cruti Indria Rasa atau 654 Saka (1 Saka sama dengan
78 Masehi, berarti 654 Saka sama dengan 732 M), hurufnya Pallawa, bahasanya
Sanskerta, dan letaknya di Gunung Wukir, sebelah selatan Muntilan.
Isinya adalah pada tahun tersebut Sanjaya mendirikan lingga di Bukit
Stirangga untuk keselamatan rakyatnya dan pemujaan terhadap Syiwa, Brahma,
dan Wisnu, di daerah suci Kunjarakunja. Menurut para ahli sejarah, yang
dimaksud Bukit Stirangga adalah Gunung Wukir dan yang dimaksud
Kunjarakunja adalah Sleman (kunjara = gajah = leman; kunja = hutan). Lingga
adalah simbol yang menggambarkan kekuasaan, kekuatan, pemerintahan,
lakilaki, dan dewa Syiwa.
c. Pemerintahan Wangsa Sanjaya
Raja-raja wangsa Sanjaya, seperti dimuat dalam prasasti Mantyasih
(Kedu), sebagai berikut.
1) Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (717 – 746 M)
Raja ini adalah pendiri Kerajaan Mataram sekaligus pendiri wangsa
Sanjaya. Setelah wafat, ia digantikan oleh Rakai Panangkaran.
2) Sri Maharaja Rakai Panangkaran (746 – 784 M)
Dalam prasasti Kalasan (778 M) diceritakan bahwa Rakai Panangkaran
(yang dipersamakan dengan Panamkaran Pancapana) mendirikan candi Kalasan
untuk memuja Dewi Tara, istri Bodhisatwa Gautama, dan candi Sari untuk
dijadikan wihara bagi umat Buddha atas permintaan Raja Wisnu dari dinasti
Syailendra.
Ini menunjukkan bahwa pada masa pemerintahan raja ini datanglah dinasti
Syailendra dipimpin rajanya, Bhanu (yang kemudian digantikan Wisnu), dan
menyerang wangsa Sanjaya hingga melarikan diri ke Dieng, Wonosobo. Selain
itu, Raja Panangkaran juga dipaksa mengubah kepercayaannya dari Hindu ke
Buddha. Adapun penerus wangsa Sanjaya setelah Panangkaran tetap beragama
Hindu.
3) Sri Maharaja Rakai Panunggalan (784 – 803 M)
4) Sri Maharaja Rakai Warak (803 – 827 M)
Dua raja ini tidak memiliki peran yang berarti, mungkin karena kurang
cakap dalam memerintah sehingga dimanfaatkan oleh dinasti Syailendra untuk
berkuasa atas Mataram. Setelah Raja Warak turun takhta sebenarnya sempat
digantikan seorang raja wanita, yaitu Dyah Gula (827 – 828 M), namun karena
kedudukannya hanya bersifat sementara maka jarang ada sumber sejarah yang
mengungkap peranannya atas Mataram Hindu.
5) Sri Maharaja Rakai Garung (828 – 847 M)
Raja ini beristana di Dieng, Wonosobo. Ia mengeluarkan prasasti
Pengging (819 M) di mana nama Garung disamakan dengan Patapan Puplar
(mengenai Patapan Puplar diceritakan dalam prasasti Karang Tengah –
Gondosuli).
6) Sri Maharaja Rakai Pikatan (847 – 855 M)
Raja Pikatan berusaha keras mengangkat kembali kejayaan wangsa
Sanjaya dalam masa pemerintahannya. Ia menggunakan nama Kumbhayoni dan
Jatiningrat (Agastya). Beberapa sumber sejarah yang menyebutkan nama Pikatan
sebagai berikut.
a) Prasasti Perot, berangka tahun 850 M, menyebutkan bahwa Pikatan adalah
raja yang sebelumnya bergelar Patapan.
b) Prasasti Argopuro yang dikeluarkan Kayuwangi pada tahun 864 M.
c) Tulisan pada sebelah kanan dan kiri pintu masuk candi Plaosan
menyebutkan nama Sri Maharaja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan.
Diduga tulisan tersebut merupakan catatan perkawinan antara Rakai
Pikatan dan Sri Kahulunan. Sri Kahulunan diduga adalah Pramodhawardhani,
putri Samaratungga, dari dinasti Syailendra. Mengenai pernikahan mereka
dikisahkan kembali dalam prasasti Karang Tengah.
Rakai Pikatan sendiri mengeluarkan tiga prasasti berikut.
1) Prasasti Pereng (862 M), isinya mengenai penghormatan kepada Syiwa dan
penghormatan kepada Kumbhayoni.
2) Prasasti Code D 28, berangka tahun Wulung Gunung Sang Wiku atau 778
Saka (856 M). Isinya adalah
(1) Jatiningrat (Pikatan) menyerahkan kekuasaan kepada putranya,
Lokapala (Kayuwangi dalam prasasti Kedu);
(2) Pikatan mendirikan bangunan Syiwalaya (candi Syiwa), yang dimaksud adalah
candi Prambanan;
(3) kisah peperangan antara Walaputra (Balaputradewa) melawan
Jatiningrat (Pikatan) di mana Walaputra kalah dan lari ke Ungaran (Ratu Boko).
3) Prasasti Ratu Boko, berisi kisah pendirian tiga lingga sebagai tanda
kemenangan.
Ketiga lingga yang dimaksud adalah Krttivasa Lingga (Syiwa sebagai
petapa berpakaian kulit harimau), Tryambaka Lingga (Syiwa menghancurkan
benteng Tripura yang dibuat raksasa), dan Hara Lingga (Syiwa sebagai dewa
tertinggi atau paling berkuasa).
Sebagai raja, Pikatan berusaha menguasai seluruh Jawa Tengah, namun
harus menghadapi wangsa Syailendra yang saat itu menjadi penguasa Mataram
Buddha. Untuk itu, Pikatan menggunakan taktik menikahi Pramodhawardhani,
putri Samaratungga, Raja Mataram dari dinasti Syailendra. Pernikahan ini
memicu peperangan dengan Balaputradewa yang merasa berhak atas tahta
Mataram sebagai putra Samaratungga. Balaputradewa kalah dan Rakai Pikatan
menyatukan kembali kekuasaan Mataram di Jawa Tengah.
7) Sri Maharaja Kayuwangi (855 – 885 M)
Nama lain Sri Maharaja Kayuwangi adalah Lokapala. Ia mengeluarkan,
antara lain, tiga prasasti berikut.
a) Prasasti Ngabean (879 M), ditemukan dekat Magelang. Prasasti ini terbuat
dari tembaga.
b) Prasasti Surabaya, menyebutkan gelar Sajanotsawattungga untuk Kayuwangi.
c) Prasasti Argopuro (863 M), menyebutkan Rakai Pikatan pu
Manuku berdampingan dengan nama Kayuwangi.
Dalam pemerintahannya, Kayuwangi dibantu oleh dewan penasihat
merangkap staf pelaksana yang terdiri atas lima orang patih. Dewan penasihat ini
diketuai seorang mahapatih.
8) Sri Maharaja Watuhumalang (894 – 898 M)
Masa pemerintahan Kayuwangi dan penerus-penerusnya sampai
masa pemerintahan Dyah Balitung dipenuhi peperangan perebutan kekuasaan. Itu
sebabnya, setelah Kayuwangi turun takhta, penggantinya tidak ada yang bertahan
lama.
Di antara raja-raja yang memerintah antara masa Kayuwangi dan Dyah
Balitung yang tercatat dalam prasasti Kedu adalah Sri Maharaja Watuhumalang.
Raja-raja sebelumnya, yaitu Dyah Taguras (885 M), Dyah Derendra (885 – 887
M), dan Rakai Gurunwangi (887 M) tidak tercatat dalam prasasti tersebut
mungkin karena masa pemerintahannya terlalu singkat atau karena Balitung
sendiri tidak mau mengakui kekuasaan mereka.
9) Sri Maharaja Watukura Dyah Balitung (898 – 913 M)
Raja ini dikenal sebagai raja Mataram yang terbesar. Ialah yang berhasil
mempersatukan kembali Mataram dan memperluas kekuasaan dari Jawa Tengah
sampai ke Jawa Timur. Dyah Balitung menggunakan beberapa nama:
a) Balitung Uttunggadewa (tercantum dalam prasasti Penampihan),
b) Rakai Watukura Dyah Balitung (tercantum dalam kitab Negarakertagama),
c) Dharmodaya Mahacambhu (tercantum dalam prasasti Kedu), dan
d) Rakai Galuh atau Rakai Halu (tercantum dalam prasasti Surabaya).
Prasasti-prasasti yang penting dari Balitung sebagai berikut.
a) Prasasti Penampihan di Kediri (898 M).
b) Prasasti Wonogiri (903 M).
c) Prasasti Mantyasih di Kedu (907 M).
d) Prasasti Djedung di Surabaya (910 M).
Sebenarnya, Balitung bukan pewaris takhta Kerajaan Mataram. Ia dapat
naik takhta karena kegagahberaniannya dan karena perkawinannya dengan putri
Raja Mataram. Selama masa pemerintahannya, Balitung sangat
memerhatikan kesejahteraan rakyat, terutama dalam hal mata pencaharian, yaitu
bercocok tanam, sehingga rakyat sangat menghormatinya.
Tiga jabatan penting yang berlaku pada masa pemerintahan Balitung
adalah Rakryan i Hino (pejabat tertinggi di bawah raja), Rakryan i Halu, dan
Rakryan i Sirikan. Ketiga jabatan itu merupakan tritunggal dan terus dipakai
hingga zaman Kerajaan Majapahit.
Balitung digantikan oleh Sri Maharaja Daksa dan diteruskan oleh Sri
Maharaja Tulodhong dan Sri Maharaja Wana. Namun, ketiga raja ini sangat lemah
sehingga berakhirlah kekuasaan dinasti Sanjaya.
d. Pemerintahan Dinasti Syailendra
Ketika Mataram diperintah oleh Panangkaran (wangsa Sanjaya), datanglah
dinasti Syailendra ke Jawa. Ada beberapa pendapat mengenai asal-usul dinasti
Syailendra ini. Dr. Majumdar, Nilakanta Sastri, dan Ir. Moens berpendapat bahwa
dinasti Syailendra berasal dari India. Adapun Coedes berpendapat bahwa dinasti
Syailendra berasal dari Funan.
Dinasti ini lalu berhasil mendesak wangsa Sanjaya menyingkir ke
Pegunungan Dieng, Wonosobo, di wilayah Jawa Tengah bagian utara. Di sanalah
wangsa Sanjaya kemudian memerintah. Sementara itu, dinasti Syailendra
mendirikan Kerajaan Syailendra (Mataram Buddha) di wilayah sekitar
Yogyakarta dan menguasai Jawa Tengah bagian selatan.
e. Kehidupan ekonomi Kerajaan Mataram
Kerajaan Mataram Kuno merupakan negara agraris yang bersifat
tertutup. Akibatnya, kerajaan ini sulit berkembang secara ekonomi, terutama
karena segi perdagangan dan pelayaran sangat kering. Kejayaan baru diperoleh
pada masa pemerintahan Balitung. Ia membangun pusat perdagangan seperti
disebutkan dalam prasasti Purworejo (900 M). Dalam prasasti Wonogiri (903 M)
diterangkan bahwa desa-desa yang terletak di kanan-kiri Sungai Bengawan Solo
dibebaskan dari pajak dengan syarat penduduk desa tersebut harus menjamin
kelancaran hubungan lalu lintas melalui sungai.
f. Kehidupan kebudayaan Kerajaan Mataram
Ketika wangsa Sanjaya menyingkir ke Pegunungan Dieng sejak masa
Panangkaran hingga Rakai Pikatan, banyak didirikan candi yang kini dikenal
sebagai kompleks candi Dieng. Kompleks candi ini, antara lain, terdiri atas candi
Bimo, Puntadewa, Arjuna, dan Nakula. Adapun di Jawa Tengah bagian selatan
ditemukan candi Prambanan (Roro Jonggrang), Sambi Sari, Ratu Boko, dan
Gedung Songo (Ungaran) sebagai hasil budaya Mataram Kuno.
SEJARAH BALI
Masa Prasejarah
Zaman prasejarah Bali merupakan awal dari sejarah masyarakat Bali, yang
ditandai oleh kehidupan masyarakat pada masa itu yang belum mengenal tulisan.
Walaupun pada zaman prasejarah ini belum dikenal tulisan untuk menuliskan
riwayat kehidupannya, tetapi berbagai bukti tentang kehidupan pada masyarakat
pada masa itu dapat pula menuturkan kembali keadaanya Zaman prasejarah
berlangsung dalam kurun waktu yang cukup panjang, maka bukti-bukti yang telah
ditemukan hingga sekarang sudah tentu tidak dapat memenuhi segala harapan
kita.
Berkat penelitian yang tekun dan terampil dari para ahli asing khususnya
bangsa Belanda dan putra-putra Indonesia maka perkembangan masa prasejarah di
Bali semakin terang. Perhatian terhadap kekunaan di Bali pertama-tama diberikan
oleh seorang naturalis bernama Georg Eberhard Rumpf, pada tahun 1705 yang
dimuat dalam bukunya Amboinsche Reteitkamer. Sebagai pionir dalam penelitian
kepurbakalaan di Bali adalah W.O.J. Nieuwenkamp yang mengunjungi Bali pada
tahun 1906 sebagai seorang pelukis. Dia mengadakan perjalanan menjelajahi Bali.
Dan memberikan beberapa catatan antara lain tentang nekara Pejeng, Trunyan,
dan Pura Bukit Penulisan. Perhatian terhadap nekara Pejeng ini dilanjutkan oleh
K.C Crucq tahun 1932 yang berhasil menemukan tiga bagian cetakan nekara
Pejeng di Pura Desa Manuaba, Tegallalang.
Penelitian prasejarah di Bali dilanjutkan oleh Dr. H.A.R. van Heekeren
dengan hasil tulisan yang berjudul Sarcopagus on Bali tahun 1954. Pada tahun
1963 ahli prasejarah putra Indonesia Drs. R.P. Soejono melakukan penggalian ini
dilaksanakan secara berkelanjutan yaitu tahun 1973, 1974, 1984, 1985.
Berdasarkan hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap benda-benda
temuan yang berasal dari tepi pantai Teluk Gilimanuk diduga bahwa lokasi Situs
Gilimanuk merupakan sebuah perkampungan nelayan dari zaman perundagian di
Bali. Di tempat ini sekarang berdiri sebuah museum.
Berdasarkan bukti-bukti yang telah ditemukan hingga sekarang di Bali,
kehidupan masyarakat ataupun penduduk Bali pada zaman prasejarah Bali dapat
dibagi menjadi :
1. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
2. Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
3. Masa bercocok tanam
4. Masa perundagian
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat sederhana
Sisa-sisa dari kebudayaan paling awal diketahui dengan penelitian-
penelitian yang dilakukan sejak tahun 1960 dengan ditemukan di Sambiran
(Buleleng bagian timur), serta di tepi timur dan tenggara Danau Batur (Kintamani)
alat-alat batu yang digolongkan kapak genggam, kapak berimbas, serut dan
sebagainya. Alat-alat batu yang dijumpai di kedua daerah tersebut kini disimpan
di Museum Gedong Arca di Bedulu, Gianyar.
Masa berburu dan mengumpulkan makanan tingkat lanjut
Pada masa ini corak hidup yang berasal dari masa sebelumnya masih
berpengaruh. Hidup berburu dan mengumpulkan makanan yang terdapat dialam
sekitar dilanjutkan terbukti dari bentuk alatnya yang dibuat dari batu, tulang dan
kulit kerang. Bukti-bukti mengenai kehidupan manusia pada masa mesolithik
berhasil ditemukan pada tahun 1961 di Gua Selonding, Pecatu (Badung). Gua ini
terletak di pegunungan gamping di Semenanjung Benoa. Di daerah ini terdapat
goa yang lebih besar ialah Gua Karang Boma, tetapi goa ini tidak memberikan
suatu bukti tentang kehidupan yang pernah berlangsung disana. Dalam penggalian
Gua Selonding ditemukan alat-alat terdiri dari alat serpih dan serut dari batu dan
sejumlah alat-alat dari tulang. Di antara alat-alat tulang terdapat beberapa lencipan
muduk yaitu sebuah alat sepanjang 5 cm yang kedua ujungnya diruncingkan.
Masa bercocok tana
Masa bercocok tanam lahir melalui proses yang panjang dan tak mungkin
dipisahkan dari usaha manusia prasejarah dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya pada masa-masa sebelumnya. Masa neolithik amat penting dalam
sejarah perkembangan masyarakat dan peradaban, karena pada masa ini
beberapa penemuan baru berupa penguasaan sumber-sumber alam bertambah
cepat. Penghidupan mengumpulkan makanan (food gathering) berubah
menjadi menghasilkan makanan (food producing). Perubahan ini sesungguhnya
sangat besar artinya mengingat akibatnya yang sangat mendalam serta meluas
kedalam perekonomian dan kebudayaan.
Masa perundagian
Dalam masa neolithik manusia bertempat tinggal tetap dalam kelompok-
kelompok serta mengatur kehidupannya menurut kebutuhan yang dipusatkan
kepada menghasilkan bahan makanan sendiri (pertanian dan peternakan). Dalam
masa bertempat tinggal tetap ini, manusia berdaya upaya meningkatkan kegiatan-
kegiatannya guna mencapai hasil yang sebesar-besarnya dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Pada zaman ini jenis manusia yang mendiami Indonesia dapat diketahui
dari berbagai penemuan sisa-sisa rangka dari berbagai tempat, yang terpenting di
antaranya adalah temuan-temuan dari Anyer Lor (Banten), Puger (Jawa Timur),
Gilimanuk (Bali) dan Melolo (Sumbawa). Dari temuan kerangka yang banyak
jumlahnya menunjukkan ciri-ciri manusia. Sedangkan penemuan di Gilimanuk
dengan jumlah kerangka yang ditemukan 100 buah menunjukkan ciri Mongoloid
yang kuat seperti terlihat pada gigi dan muka. Pada rangka manusia Gilimanuk
terlihat penyakit gigi dan encok yang banyak menyerang manusia ketika itu.
Masuknya Agama Hindu
Berakhirnya zaman prasejarah di Indonesia ditandai dengan datangnya bangsa
dan pengaruh Hindu. Pada abad-abad pertama Masehi sampai dengan lebih
kurang tahun 1500, yakni dengan lenyapnya kerajaan Majapahit merupakan masa-
masa pengaruh Hindu. Dengan adanya pengaruh-pengaruh dari India itu
berakhirlah zaman prasejarah Indonesia karena didapatkannya keterangan tertulis
yang memasukkan bangsa Indonesia ke dalam zaman sejarah. Berdasarkan
keterangan-keterangan yang ditemukan pada prasasti abad ke-8 Masehi dapatlah
dikatakan bahwa periode sejarah Bali Kuno meliputi kurun waktu antara abad ke-
8 Masehi sampai dengan abad ke-14 Masehi dengan datangnya ekspedisi
Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit yang dapat mengalahkan Bali. Nama
Balidwipa tidaklah merupakan nama baru, namun telah ada sejak zaman dahulu.
Hal ini dapat diketahui dari beberapa prasasti, di antaranya dari Prasasti Blanjong
yang dikeluarkan oleh Sri Kesari Warmadewa pada tahun 913 Masehi yang
menyebutkan kata "Walidwipa". Demikian pula dari prasasti-prasasti Raja
Jayapangus, seperti prasasti Buwahan D dan prasasti Cempaga A yang berangka
tahun 1181 Masehi.
SEJARAH KERAJAAN KUTAI
Letak Kerajaan
Kerajaan kutai adalah kerajaan tertua di Indonesia. Kerajaan ini terletak
ditepi sungai Mahakam di Muarakaman, Kalimantan Timur, dekat kota
Tenggarong.
Pendiri Dinasti
Diperkirakan Kerajaan Kutai berdiri pada abad 4 M prasasti tersebut
didirikan oleh Raja Mulawarman. Bukti sejarah tentang kerajaan Kutai adalah
ditemukannya tujuh prasasti yang berbentuk yupa (tiang batu) tulisan yupa itu
menggunakan huruf pallawa dan bahasa sansekerta.
Adapun isi prasati tersebut menyatakan bahwa raja pertama Kerajaan
Kutai bernama Kudungga. Ia mempunyai seorang putra bernama Asawarman
yang disebut sebagai wamsakerta (pembentuk keluarga). Setelah meninggal,
Asawarman digantikan oleh Mulawarman. Penggunaan nama Asawarman dan
nama-nama raja pada generasi berikutnya menunjukkan telah masuknya pengaruh
ajaran Hindu dalam kerajaan Kutai dan hal tersebut membuktikan bahwa raja-raja
Kutai adalah orang Indonesia asli yang telah memeluk agama Hindu.
Kehidupan Kerajaan
Kehidupan sosial di Kerajaan Kutai merupakan terjemahan dari prasasti-
prasasti yang ditemukan oleh para ahli. Diantara terjemahan tersebut adalah
sebagai berikut :
[+] Masyarakat Di Kerajaan Kutai Tertata, Tertib Dan Teratur
[+] Masyarakat di Kerajaan Kutai memiliki kemampuan beradaptasi dengan
budaya luar (India), mengikuti pola perubahan zaman dengan tetap memelihara
dan melestarikan budayanya sendiri.
Kehidupan ekonomi di Kerajaan Kutai dapat diketahui dari dua hal berikut
ini :
Letak geografis Kerajaan Kutai berada pada jalur perdagangan antara Cina dan
India. Kerajaan Kutai menjadi tempat yang menarik untuk disinggahi para
pedagang. Hal tersebut memperlihatkan bahwa kegiatan perdagangan telah
menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Kutai, disamping pertanian.
Keterangan tertulis pada prasasti yang mengatakan bahwa Raja Mulawarman
pernah memberikan hartanya berupa minyak dan 20.000 ekor sapi kepada para
Brahmana.
Kehidupan budaya masyarakat Kutai sebagai berikut :
Masyarakat Kutai adalah masyarakat yang menjaga akar tradisi budaya nenek
moyangnya.
Masyarakat yang sangat tanggap terhadap perubahan dan kemajuan
kebudayaan.
Menjunjung tingi semangat keagamaan dalam kehidupan kebudayaannya.
Masuknya Pengaruh Budaya
Masuknya pengaruh budaya India ke Nusantara, menyebabkan budaya
Indonesia mengalami perubahan. Perubahan yang terpenting adalah timbulnya
suatu sistem pemerintahan dengan raja sebagai kepalanya. Sebelum budaya India
masuk, pemerintahan hanya dipimpin oleh seorang kepala suku.
Selain itu, percampuran lainnya adalah kehidupan nenek moyang bangsa
Indonesia mendirikan tugu batu. Kebiasaan ini menunjukkan bahwa dalam
menerima unsur-unsur budaya asing, bangsa Indonesia bersikap aktif. Artinya
bangsa Indonesia berusaha mencari dan menyesuaikan unsur-unsur kebudayaan
asing tersebut dengan kebudayaan sendiri.
Bangsa Indonesia mempunyai kebiasaan mendirikan tugu batu yang
disebut menhir, untuk pemujaan roh nenek moyang, sedangkan tugu batu (Yupa)
yang didirikan oleh raja Mulawarman digunakan untuk menambatkan hewan
kurban.
Pada prasasti itu juga diceritakan bahwa Raja Mulawaraman memerintah
dengan bijaksna. Ia pernah menghadiahkan ± 20.000 ekor sapi untuk korban
kepada para brahmana / pendeta. Dan dalam prasasti itu pun menyatakan bahwa
Raja Aswawarman merupakan pendiri dinasti, mengapa bukan ayahnya Kudungga
yang menjadi pendiri dinasti tetapi anaknya Aswawarman?
SEJARAH KERAJAAN TARUMANEGARA
Keberadaan Kerajaan Tarumanegara dapat diketahui dari beberapa sumber
sejarah, baik sumber sejarah yang berasal dari dalam negeri maupun luar negeri.
Berita dari Dalam Negeri. Yaitu berupa tujuh buah prasasti batu yang ditemukan
secara terpisah di Bogor, Jakarta, dan Banten. Ketujuh prasasti tersebut antara
lain.
Prasasti Ciaruteun. Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Ciaruteun,
Bogor. Prasasti ini ditulis menggunakan huruf Pallawa dan Bahasa
Sansekerta. Pada prasasti ini terdapat cap sepasang telapak kaki milik Raja
Purnawarman yang melambangkan kekuasaan raja yang dipercaya sebagai
penjelmaan Dewa Wisnu.
Prasasti Kebon Kopi. Ditemukan di Kecamatan Cibungbulang, Bogor.
Pada prasasti yang diperkirakan berasal dari abad ke-5 ini, ditemukan cap
telapak kaki gajah yang melambangkan Gajah Airawata, hewan
tunggangan Dewa Wisnu.
Prasasti Jambu. Disebut juga dengan Prasasti Pasir Koleangkak. Prasasti
ini ditemukan di area perkebunan jambu di Bogor. Prasasti yang ditulis
menggunakan Huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta ini mengisahkan
tentang kebijaksanaan Raja Purnawarman dalam memerintah Kerajaan
Tarumanegara.
Prasasti Muara Cianten. Sesuai dengan namanya, prasasti ini ditemukan
di daerah Muara Cianten, Jawa Barat. Prasasti ini ditemukan dalam
keadaan rusak, jadi isi dari prasasti ini belum dapat dibaca. Satu-satunya
yang masih tercetak jelas adalah adanya lukisan sepasang telapak kaki.
Prasasti Pasir Awi. Sama seperti Prasasti Muara Cianten, prasasti ini juga
masih misterius isinya karena beberapa tulisan sudah rusak.
Prasasti Cidanghiyang. Disebut juga dengan Prasasti Munjul. Prasasti ini
ditemukan di Kampung Lebak, Kecamatan Munjul, Banten. Prasasti yang
ditulis menggunakan Huruf Pallawa dan Bahasa Sansekerta ini
mengkisahkan tentang keberanian Raja Purnawarman.
Prasasti Tugu. Prasasti ini ditemukan di Kampung Batutumbu, Desa
Tugu, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara. Prasasti ini mengisahkan
tentang penggalian Sungai Candrabaga dan Gomati sepanjang 6112
tombak (12 KM) pada masa pemerintahan Raja Purnawarman. Penggalian
sungai ini dimaksudkan untuk mencegah datangnya bencana banjir dan
sebagai sarana irigrasi sawah untuk mengatasi kekeringan.
Berita dari Luar Negeri. Selain sumber sejarah dari dalam negeri yang
berbentuk prasasti, keberadaan Kerajaan Tarumanegara juga dapat diketahui dari
sumber-sumber berita luar negeri. Diantaranya adalah dari literatur kuno berjudul
Fa-Kao-Chi yang ditulis oleh Fa-Hsien dari tahun 414 Masehi. Literatur ini
menyebutkan tentang kehidupan masyarakat di Jawa Bagian Barat yang telah
terpengaruh agama Hindu India. Masyarakat Hindu yang ditemui oleh Fa-Hsien
ini diperkirakan merupakan bagian dari masyarakat kerajaan yang berpusat di
daerah Bogor, yang tidak lain dan tidak bukan adalah Kerajaan Tarumanegara.
Pemerintahan Kerajaan Tarumanegara
Raja Purnawarman adalah satu-satunya raja yang namanya dicantumkan
dalam prasasti-prasasti peninggalan Kerajaan Tarumanegara. Raja ini
digambarkan sebagai seorang raja yang sangat bijaksana dan telah berhasil
meningkatkan kesejahteraan rakyatnya berkat penggalian sebuah sungai sebagai
sarana irigrasi. Namun meskipun begitu, Purnawarman bukanlah satu-satunya raja
yang pernah memerintah Kerajaan Tarumanegara. Hal ini didasarkan pada sebuah
sumber dari naskah kuno bernama Wangsakerta.
Meskipun kevalidan naskah ini masih diperdebatkan oleh para ahli, namun
kitab ini berisi informasi yang cukup menarik, yaitu tentang silsilah lengkap raja-
raja yang pernah memerintah Tarumanegara dari mulai awal berdirinya hingga
raja terakhirnya. Berikut adalah daftar raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan
Tarumanegara berdasarkan Naskah Wangsakerta.
Runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
Kerajaan Tarumanegara diperkirakan runtuh pada sekitar abad ke-7
Masehi. Hal ini didasarkan pada fakta bahwa setelah abad ke-7, berita mengenai
kerajaan ini tidak pernah terdengar lagi baik dari sumber dalam negeri maupun
luar negeri . Para ahli berpendapat bahwa runtuhnya Kerajaan Tarumanegara
kemungkinan besar disebabkan karena adanya tekanan dari Kerajaan Sriwijaya
yang terus melakukan ekspansi wilayah.
KERAJAAN KEDIRI
a. Berdirinya Kerajaan Kediri
Pembagian Kerajaan Kahuripan menjadi Jenggala (Kahuripan) dan
Panjalu (Kediri) dikisahkan dalam prasasti Mahaksubya (1289 M), kitab
Negarakertagama (1365 M), dan kitab Calon Arang (1540 M).
Seperti telah disebutkan dalam pembahasan terdahulu, begitu Raja
Airlangga wafat, terjadilah peperangan antara kedua bersaudara tersebut. Panjalu
dapat dikuasai Jenggala dan diabadikanlah nama Raja Mapanji Garasakan (1042 –
1052 M) dalam prasasti Malenga. Ia tetap memakai lambang Kerajaan Airlangga,
yaitu Garuda Mukha.
b. Perkembangan politik Kerajaan Kediri
Mapanji Garasakan memerintah tidak lama. Ia digantikan Raja Mapanji
Alanjung (1052 – 1059 M). Mapanji Alanjung kemudian diganti lagi oleh Sri
Maharaja Samarotsaha. Pertempuran yang terus menerus antara Jenggala dan
Panjalu menyebabkan selama 60 tahun tidak ada berita yang jelas mengenai kedua
kerajaan tersebut hingga munculnya nama Raja Bameswara (1116 – 1135 M) dari
Kediri.
Pada masa itu ibu kota Panjalu telah dipindahkan dari Daha ke Kediri
sehingga kerajaan ini lebih dikenal dengan nama Kerajaan Kediri. Raja
Bameswara menggunakan lencana kerajaan berupa tengkorak bertaring di atas
bulan sabit yang biasa disebut Candrakapala. Setelah Bameswara turun takhta, ia
digantikan Jayabaya yang dalam masa pemerintahannya itu berhasil mengalahkan
Jenggala.
Berturut-turut raja-raja Kediri sejak Jayabaya sebagai berikut.
1) Raja Jayabaya (1135 M – 1159 M)
Raja Jayabaya menggunakan lencana kerajaan berupa lencana Narasingha.
Kemenangannya atas peperangan melawan Jenggala diperingatinya dengan
memerintahkan Mpu Sedah menggubah kakawin Bharatayudha. Karena Mpu
Sedah tidak sanggup menyelesaikan kakawin tersebut, Mpu Panuluh melanjutkan
dan menyelesaikannya pada tahun 1157 M. Pada masa pemerintahannya ini,
Kediri mencapai puncak kejayaan. Selain menulis Bharatayudha, Mpu Panuluh
juga menulis kitab Hariwangsa dan Gatotkacasraya.
2) Raja Sarweswara (1159 – 1169 M)
Pengganti Jayabaya adalah Raja Sarweswara. Tidak banyak yang
diketahui mengenai raja ini sebab terbatasnya peninggalan yang ditemukan. Ia
memakai lencana kerajaan berupa Ganesha.
3) Raja Kameswara (1182 – 1185 M)
Selama beberapa waktu, tidak ada berita yang jelas mengenai raja
Kediri hingga munculnya Kameswara. Pada masa pemerintahannya ini ditulis
kitab Kakawin Smaradahana oleh Mpu Darmaja yang berisi pemujaan terhadap
raja, serta kitab Lubdaka dan Wretasancaya yang ditulis oleh Mpu Tan Alung.
Kitab Lubdaka bercerita tentang seorang pemburu yang akhirnya masuk surga
dan Wretasancaya berisi petunjuk mempelajari tembang Jawa Kuno.
4) Raja Kertajaya (1185 – 1222 M)
Pada masa pemerintahan Kertajaya, terjadi pertentangan antara para
brahmana dan Raja Kertajaya. Hal ini terjadi karena para brahmana menolak
menyembah raja yang menganggap dirinya sebagai dewa. Para brahmana lalu
meminta perlindungan pada Ken Arok. Kesempatan ini digunakan Ken Arok
untuk memberontak terhadap Kertajaya. Pada tahun 1222 M terjadi pertempuran
hebat di Ganter dan Ken Arok berhasil mengalahkan Kertajaya.
c. Kehidupan sosial masyarakat Kerajaan Kediri
Kehidupan sosial kemasyarakatan pada zaman Kerajaan Kediri dapat kita
lihat dalam kitab Ling-Wai-Tai-Ta yang disusun oleh Chou Ku-Fei pada tahun
1178 M. Kitab tersebut menyatakan bahwa masyarakat Kediri memakai kain
sampai bawah lutut dan rambutnya diurai. Rumah-rumahnya rata-rata sangat
bersih dan rapi.
Lantainya dibuat dari ubin yang berwarna kuning dan hijau.
Pemerintahannya sangat memerhatikan keadaan rakyatnya sehingga pertanian,
peternakan, dan perdagangan mengalami kemajuan yang cukup pesat.
Golongan-golongan dalam masyarakat Kediri dibedakan menjadi tiga
berdasarkan kedudukan dalam pemerintahan kerajaan.
1) Golongan masyarakat pusat (kerajaan), yaitu masyarakat yang terdapat
dalam lingkungan raja dan beberapa kaum kerabatnya serta kelompok pelayannya.
2) Golongan masyarakat thani (daerah), yaitu golongan masyarakat yang terdiri
atas para pejabat atau petugas pemerintahan di wilayah thani (daerah).
3) Golongan masyarakat nonpemerintah, yaitu golongan masyarakat yang
tidak mempunyai kedudukan dan hubungan dengan pemerintah secara resmi
atau masyarakat wiraswasta.
Kediri memiliki 300 lebih pejabat yang bertugas mengurus dan mencatat
semua penghasilan kerajaan. Di samping itu, ada 1.000 pegawai rendahan yang
bertugas mengurusi benteng dan parit kota, perbendaharaan kerajaan, dan gedung
persediaan makanan.
KERAJAAN SINGHASARI
Kerajaan Singhasari atau sering pula ditulis Singasari atau Singosari,
adalah sebuah kerajaan di Jawa Timur yang didirikan oleh Ken Arok pada tahun
1222. Lokasi kerajaan ini sekarang diperkirakan berada di daerah Singosari,
Malang.
Nama ibu kota
Berdasarkan prasasti Kudadu, nama resmi Kerajaan Singhasari yang
sesungguhnya ialah Kerajaan Tumapel. Menurut Nagarakretagama, ketika
pertama kali didirikan tahun 1222, ibu kota Kerajaan Tumapel bernama
Kutaraja.
Pada tahun 1253, Raja Wisnuwardhana mengangkat putranya yang
bernama Kertanagara sebagai yuwaraja dan mengganti nama ibu kota menjadi
Singhasari. Nama Singhasari yang merupakan nama ibu kota kemudian justru
lebih terkenal daripada nama Tumapel. Maka, Kerajaan Tumapel pun terkenal
pula dengan nama Kerajaan Singhasari.
Nama Tumapel juga muncul dalam kronik Cina dari Dinasti Yuan dengan
ejaan Tu-ma-pan.
Awal berdiri
Menurut Pararaton, Tumapel semula hanya sebuah daerah bawahan
Kerajaan Kadiri. Yang menjabat sebagai akuwu (setara camat) Tumapel saat itu
adalah Tunggul Ametung. Ia mati dibunuh dengan cara tipu muslihat oleh
pengawalnya sendiri yang bernama Ken Arok, yang kemudian menjadi akuwu
baru. Ken Arok juga yang mengawini istri Tunggul Ametung yang bernama Ken
Dedes. Ken Arok kemudian berniat melepaskan Tumapel dari kekuasaan Kadiri.
Pada tahun 1254 terjadi perseteruan antara Kertajaya raja Kadiri melawan kaum
brahmana. Para brahmana lalu menggabungkan diri dengan Ken Arok yang
mengangkat dirinya menjadi raja pertama Tumapel bergelar Sri Rajasa Sang
Amurwabhumi. Perang melawan Kadiri meletus di desa Ganter yang
dimenangkan oleh pihak Tumapel.
Nagarakretagama juga menyebut tahun yang sama untuk pendirian
Kerajaan Tumapel, namun tidak menyebutkan adanya nama Ken Arok. Dalam
naskah itu, pendiri kerajaan Tumapel bernama Ranggah Rajasa Sang
Girinathaputra yang berhasil mengalahkan Kertajaya raja Kadiri.
Prasasti Mula Malurung atas nama Kertanagara tahun 1255, menyebutkan
kalau pendiri Kerajaan Tumapel adalah Bhatara Siwa. Mungkin nama ini adalah
gelar anumerta dari Ranggah Rajasa, karena dalam Nagarakretagama arwah
pendiri kerajaan Tumapel tersebut dipuja sebagai Siwa. Selain itu, Pararaton juga
menyebutkan bahwa, sebelum maju perang melawan Kadiri, Ken Arok lebih dulu
menggunakan julukan Bhatara Siwa.
Prasasti Mula Malurung
Penemuan prasasti Mula Malurung memberikan pandangan lain yang
berbeda dengan versi Pararaton yang selama ini dikenal mengenai sejarah
Tumapel.
Kerajaan Tumapel disebutkan didirikan oleh Rajasa yang dijuluki "Bhatara
Siwa", setelah menaklukkan Kadiri. Sepeninggalnya, kerajaan terpecah menjadi
dua, Tumapel dipimpin Anusapati sedangkan Kadiri dipimpin Bhatara
Parameswara (alias Mahisa Wonga Teleng). Parameswara digantikan oleh
Guningbhaya, kemudian Tohjaya. Sementara itu, Anusapati digantikan oleh
Seminingrat yang bergelar Wisnuwardhana. Prasasti Mula Malurung juga
menyebutkan bahwa sepeninggal Tohjaya, Kerajaan Tumapel dan Kadiri
dipersatukan kembali oleh Seminingrat. Kadiri kemudian menjadi kerajaan
bawahan yang dipimpin oleh putranya, yaitu Kertanagara.
Pemerintahan bersam
Pararaton dan Nagarakretagama menyebutkan adanya pemerintahan
bersama antara Wisnuwardhana dan Narasingamurti. Dalam Pararaton
disebutkan nama asli Narasingamurti adalah Mahisa Campaka.
Apabila kisah kudeta berdarah dalam Pararaton benar-benar terjadi, maka
dapat dipahami maksud dari pemerintahan bersama ini adalah suatu upaya
rekonsiliasi antara kedua kelompok yang bersaing. Wisnuwardhana merupakan
cucu Tunggul Ametung sedangkan Narasingamurti adalah cucu Ken Arok.
Kerajaan Pajajaran adalah nama lain dari Kerajaan Sunda saat kerajaan ini
beribukota di kota Pajajaran atau Pakuan Pajajaran (Bogor) di Jawa Barat yang
terletak di Parahyangan (Sunda). Kata Pakuan sendiri berasal dari kata Pakuwuan
yang berarti kota. Pada masa lalu, di Asia Tenggara ada kebiasaan menyebut
nama kerajaan dengan nama ibu kotanya. Beberapa catatan menyebutkan bahwa
kerajaan ini didirikan tahun 923 oleh Sri Jayabhupati, seperti yang disebutkan
dalam Prasasti Sanghyang Tapak (1030 M) di kampung Pangcalikan dan
Bantarmuncang, tepi Sungai Cicatih, Cibadak, Suka Bumi.
KERAJAAN PAJAJARAN
Seperti tertulis dalam sejarah, akhir tahun 1400-an Majapahit kian
melemah. Pemberontakan, saling berebut kekuasaan di antara saudara berkali-kali
terjadi. Pada masa kejatuhan Prabu Kertabumi (Brawijaya V) itulah mengalir pula
pengungsi dari kerabat Kerajaan Majapahit ke ibukota Kerajaan Galuh di Kawali,
Kuningan, Jawa Barat.
Raden Baribin, salah seorang saudara Prabu Kertabumi termasuk di
antaranya. Selain diterima dengan damai oleh Raja Dewa Niskala ia bahkan
dinikahkan dengan Ratna Ayu Kirana salah seorang putri Raja Dewa Niskala. Tak
sampai di situ saja, sang Raja juga menikah dengan salah satu keluarga pengungsi
yang ada dalam rombongan Raden Barinbin.
Pernikahan Dewa Niskala itu mengundang kemarahan Raja Susuktunggal
dari Kerajaan Sunda. Dewa Niskala dianggap telah melanggar aturan yang
seharusnya ditaati. Aturan itu keluar sejak “Peristiwa Bubat” yang menyebutkan
bahwa orang Sunda-Galuh dilarang menikah dengan keturunan dari Majapahit.
Nyaris terjadi peperangan di antara dua raja yang sebenarnya adalah besan.
Disebut besan karena Jayadewata, putra raja Dewa Niskala adalah menantu dari
Raja Susuktunggal.
Untungnya, kemudian dewan penasehat berhasil mendamaikan keduanya
dengan keputusan: dua raja itu harus turun dari tahta. Kemudian mereka harus
menyerahkan tahta kepada putera mahkota yang ditunjuk.
Dewa Niskala menunjuk Jayadewata, anaknya, sebagai penerus
kekuasaan. Prabu Susuktunggal pun menunjuk nama yang sama. Demikianlah,
akhirnya Jayadewata menyatukan dua kerajaan itu. Jayadewata yang kemudian
bergelar Sri Baduga Maharaja mulai memerintah di Pakuan Pajajaran pada tahun
1482.
Selanjutnya nama Pakuan Pajajaran menjadi populer sebagai nama
kerajaan. Awal “berdirinya” Pajajaran dihitung pada tahun Sri Baduga Maharaha
berkuasa, yakni tahun 1482.
Selain naskah-naskah babad, Kerajaan Pajajaran juga meninggalkan
sejumlah jejak peninggalan dari masa lalu, seperti:
• Prasasti Batu Tulis, Bogor
• Prasasti Sanghyang Tapak, Sukabumi
• Prasasti Kawali, Ciamis
• Prasasti Rakyan Juru Pangambat
• Prasasti Horren
• Prasasti Astanagede
• Tugu Perjanjian Portugis (padraõ), Kampung Tugu, Jakarta
• Taman perburuan, yang sekarang menjadi Kebun Raya Bogor
• Kitab cerita Kidung Sundayana dan Cerita Parahyangan
• Berita asing dari Tome Pires (1513) dan Pigafetta (1522)
Segi Geografis Kerajaan Pajajaran
Terletak di Parahyangan (Sunda). Pakuan sebagai ibukota Sunda dicacat
oleh Tom Peres (1513 M) di dalam “The Suma Oriantal”, ia menyebutkan bahwa
ibukota Kerajaan Sunda disebut Dayo (dayeuh) itu terletak sejauh sejauh dua hari
perjalanan dari Kalapa (Jakarta).
Kondisi Keseluruhan Kerajaan pajajaran (Kondisi POLISOSBUD), yaitu
Kondisi Politik (Politik-Pemerintahan)
Kerajaan Pajajaran terletak di Jawa Barat, yang berkembang pada abad ke
8-16. Raja-raja yang pernah memerintah Kerajaan Pajajaran, antara lain :
Daftar raja Pajajaran
• Sri Baduga Maharaja (1482 – 1521), bertahta di Pakuan (Bogor sekarang)
• Surawisesa (1521 – 1535), bertahta di Pakuan
• Ratu Dewata (1535 – 1543), bertahta di Pakuan
• Ratu Sakti (1543 – 1551), bertahta di Pakuan
• Ratu Nilakendra (1551-1567), meninggalkan Pakuan karena serangan Hasanudin
an anaknya, Maulana Yusuf
Puncak Kejayaan/ Keemasan Kerajaan Pajajaran
Kerajaan Pajajaran pada masa pemerintahan Sri Baduga Maharaja
mengalami masa keemasan. Alasan ini pula yang banyak diingat dan dituturkan
masyarakat Jawa Barat, seolah-olah Sri Baduga atau Siliwangi adalah Raja yang
tak pernah purna, senantiasa hidup abadi dihati dan pikiran masyarakat.
Pembangunan Pajajaran di masa Sri Baduga menyangkut seluruh aspek
kehidupan. Tentang pembangunan spiritual dikisahkan dalam Carita Parahyangan.
Sang Maharaja membuat karya besar, yaitu ; membuat talaga besar yang
bernama Maharena Wijaya, membuat jalan yang menuju ke ibukota Pakuan dan
Wanagiri. Ia memperteguh (pertahanan) ibu kota, memberikan desa perdikan
kepada semua pendeta dan pengikutnya untuk menggairahkan kegiatan agama
yang menjadi penuntun kehidupan rakyat. Kemudian membuat Kabinihajian
(kaputren), kesatriaan (asrama prajurit), pagelaran (bermacam-macam formasi
tempur), pamingtonan (tempat pertunjukan), memperkuat angkatan perang,
mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang
kerajaan
Pembangunan yang bersifat material tersebut terlacak pula didalam
Prasasti Kabantenan dan Batutulis, di kisahkan para Juru Pantun dan penulis
Babad, saat ini masih bisa terjejaki, namun tak kurang yang musnah termakan
jaman.
Dari kedua Prasasti serta Cerita Pantun dan Kisah-kisah Babad tersebut
diketahui bahwa Sri Baduga telah memerintahkan untuk membuat wilayah
perdikan; membuat Talaga Maharena Wijaya; memperteguh ibu kota; membuat
Kabinihajian, kesatriaan, pagelaran, pamingtonan, memperkuat angkatan perang,
mengatur pemungutan upeti dari raja-raja bawahan dan menyusun undang-undang
kerajaan
Puncak Kehancuran
Kerajaan Pajajaran runtuh pada tahun 1579 akibat serangan kerajaan
Sunda lainnya, yaitu Kesultanan Banten. Berakhirnya zaman Pajajaran ditandai
dengan diboyongnya Palangka Sriman Sriwacana (singgahsana raja), dari Pakuan
Pajajaran ke Keraton Surosowan di Banten oleh pasukan Maulana Yusuf.
Batu berukuran 200x160x20 cm itu diboyong ke Banten karena tradisi
politik agar di Pakuan Pajajaran tidak mungkin lagi dinobatkan raja baru, dan
menandakan Maulana Yusuf adalah penerus kekuasaan Sunda yang sah karena
buyut perempuannya adalah puteri Sri Baduga Maharaja. Palangka Sriman
Sriwacana tersebut saat ini bisa ditemukan di depan bekas Keraton Surosowan di
Banten. Masyarakat Banten menyebutnya Watu Gilang, berarti mengkilap atau
berseri, sama artinya dengan kata Sriman.
Kondisi Kehidupan Ekonomi
Pada umumnya masyarakat Kerajaan Pajajaran hidup dari pertanian,
terutama perladangan. Di samping itu, Pajajaran juga mengembangkan pelayaran
dan perdagangan. Kerajaan Pajajaran memiliki enam pelabuhan penting, yaitu
Pelabuhan Banten, Pontang, Cigede, Tamgara, Sunda Kelapa (Jakarta), dan
Cimanuk (Pamanukan)
Kondisi Kehidupan Sosial
Kehidupan masyarakat Pajajaran dapat di golongan menjadi golongan
seniman (pemain gamelan, penari, dan badut), golongan petani, golongan
perdagangan, golongan yang di anggap jahat (tukang copet, tukang rampas, begal,
maling, prampok, dll)
Kehidupan Budaya
Kehidupan budaya masyarakat Pajajaran sangat di pengaruhi oleh agama
Hindu. Peninggalan-peninggalannya berupa kitab Cerita Parahyangan dan kitab
Sangyang Siksakanda, prasasti-prasasti, dan jenis-jenis batik.
KERAJAAN SUNDA
Kerajaan Sunda adalah kerajaan yang pernah ada antara tahun 932 dan
1579 Masehi di bagian Barat pulau Jawa (Provinsi Banten, Jakarta, Jawa Barat,
dan sebagian Jawa Tengah sekarang). Kerjaan ini bahkan pernah menguasai
wilayah bagian selatan Pulau Sumatera. Kerajaan ini bercorak Hindu dan Buddha,
kemudian sekitar abad ke-14 diketahui kerajaan ini telah beribukota di Pakuan
Pajajaran serta memiliki dua kawasan pelabuhan utama di Kalapa dan Banten.
Kerajaan Sunda runtuh setelah ibukota kerajaan ditaklukan oleh Maulana Yusuf
pada tahun 1579. Sementara sebelumnya kedua pelabuhan utama Kerajaan Sunda
itu juga telah dikuasai oleh Kerajaan Demak pada tahun 1527, Kalapa ditaklukan
oleh Fatahillah dan Banten ditaklukan oleh Maulana Hasanuddin.
Catatan sejarah
Meskipun nama Sunda disebutkan dalam prasasti, naskah-naskah kuno,
dan catatan sejarah dari luar negeri, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho
Notosusanto menyatakan bahwa belum begitu banyak prasasti yang ditemukan di
Jawa Barat dan secara jelas menyebutkan nama kerajaannya, walau dalam
berbagai sumber kesusastraan, secara tegas Sunda merujuk kepada nama kawasan.
Diduga sebelum keruntuhannya tahun 1579, Kerajaan Sunda telah mengalami
beberapa kali perpindahan pusat pemerintahannya, dimulai dari Galuh dan
berakhir di Pakuan Pajajaran.
Naskah Kuno
lain dari beberapa prasasti dan berita dari luar, beberapa karya sastra dan
karya bentuk lainnya dari naskah lama juga digunakan dalam merunut keberadaan
Kerajaaan Sunda, antaranya naskah Carita Parahyangan, Pararaton, Bujangga
Manik, naskah didaktik Sanghyang siksakanda ng karesian, dan naskah sejarah
Sajarah Banten.
Berdirinya kerajaan Sunda
Berdasarkan Prasasti Kebonkopi II, yang berbahasa Melayu Kuno dengan
tarikh 932, menyebutkan seorang "Raja Sunda menduduki kembali tahtanya". Hal
ini dapat ditafsirkan bahwa Raja Sunda telah ada sebelumnya. [3] Sementara dari
sumber Tiongkok pada buku Zhufan Zhi yang ditulis pada tahun 1178 oleh Zhao
Rugua menyebutkan terdapat satu kawasan dari San-fo-ts'i yang bernama Sin-to
kemudian dirujuk kepada Sunda.
Menurut naskah Wangsakerta, naskah yang oleh sebagian orang diragukan
keasliannya serta diragukan sebagai sumber sejarah karena sangat sistematis,
menyebutkan Sunda merupakan kerajaan yang berdiri menggantikan kerajaan
Tarumanagara. Kerajaan Sunda didirikan oleh Tarusbawa pada tahun 669 (591
Saka). Kerajaan ini merupakan suatu kerajaan yang meliputi wilayah yang
sekarang menjadi Provinsi Banten, Jakarta, Provinsi Jawa Barat, dan bagian barat
Provinsi Jawa Tengah.
Wilayah kekuasaa
Berdasarkan naskah kuno primer Bujangga Manik (yang menceriterakan
perjalanan Bujangga Manik, seorang pendeta Hindu Sunda yang mengunjungi
tempat-tempat suci agama Hindu di Pulau Jawa dan Bali pada awal abad ke-16),
yang saat ini disimpan pada Perpustakaan Boedlian, Oxford University, Inggris
sejak tahun 1627), batas Kerajaan Sunda di sebelah timur adalah Ci Pamali
("Sungai Pamali", sekarang disebut sebagai Kali Brebes) dan Ci Serayu (yang saat
ini disebut Kali Serayu) di Provinsi Jawa Tengah. Kerajaan Sunda yang
berikbukota di Pajajaran juga mencakup wilayah bagian selatan pulau Sumatera.
Setelah Kerajaan Sunda diruntuhkan oleh Kesultanan Banten maka kekuasaan atas
wilayah selatan Sumatera dilanjutkan oleh Kesultanan Banten.
Menurut Naskah Wangsakerta, wilayah Kerajaan Sunda mencakup juga daerah
yang saat ini menjadi Provinsi Lampung melalui pernikahan antara keluarga
Kerajaan Sunda dan Lampung. Lampung dipisahkan dari bagian lain kerajaan
Sunda oleh Selat Sunda.
KERAJAAN MAJAPAHIT
Majapahit adalah sebuah kerajaan kuno di Indonesia yang pernah berdiri
dari sekitar tahun 1293 hingga 1500 M. Kerajaan ini mencapai puncak
kejayaannya pada masa kekuasaan Hayam Wuruk, yang berkuasa dari tahun 1350
hingga 1389.
Kerajaan Majapahit adalah kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang
menguasai Semenanjung Malaya dan dianggap sebagai salah satu dari negara
terbesar dalam sejarah Indonesia.Kekuasaannya terbentang di Jawa, Sumatra,
Semenanjung Malaya, Borneo, Kepulauan Sulu, Manila (Saludung), hingga
Indonesia timur, meskipun wilayah kekuasaannya masih diperdebatkan.
Historiografi
Hanya terdapat sedikit bukti fisik sisa-sisa Majapahit, dan sejarahnya tidak
jelas. Sumber utama yang digunakan oleh para sejarawan adalah Pararaton ('Kitab
Raja-raja') dalam bahasa Kawi dan Nagarakretagama dalam bahasa Jawa Kuno.
Pararaton terutama menceritakan Ken Arok (pendiri Kerajaan Singhasari)
namun juga memuat beberapa bagian pendek mengenai terbentuknya Majapahit.
Sementara itu, Nagarakertagama merupakan puisi Jawa Kuno yang ditulis pada
masa keemasan Majapahit di bawah pemerintahan Hayam Wuruk. Setelah masa
itu, hal yang terjadi tidaklah jelas. Selain itu, terdapat beberapa prasasti dalam
bahasa Jawa Kuno maupun catatan sejarah dari Tiongkok dan negara-negara lain.
Keakuratan semua naskah berbahasa Jawa tersebut dipertentangkan. Tidak
dapat disangkal bahwa sumber-sumber itu memuat unsur non-historis dan mitos.
Beberapa sarjana seperti C.C. Berg menganggap semua naskah tersebut bukan
catatan masa lalu, tetapi memiliki arti supernatural dalam hal dapat mengetahui
masa depan. Namun demikian, banyak pula sarjana yang beranggapan bahwa
garis besar sumber-sumber tersebut dapat diterima karena sejalan dengan catatan
sejarah dari Tiongkok, khususnya daftar penguasa dan keadaan kerajaan yang
tampak cukup pasti.
Sejarah Berdirinya Majapahit
Sesudah Singhasari mengusir Sriwijaya dari Jawa secara keseluruhan pada
tahun 1290, Singhasari menjadi kerajaan paling kuat di wilayah tersebut. Hal ini
menjadi perhatian Kubilai Khan, penguasa Dinasti Yuan di Tiongkok. Ia
mengirim utusan yang bernama Meng Chi ke Singhasari yang menuntut upeti.
Kertanagara, penguasa kerajaan Singhasari yang terakhir menolak untuk
membayar upeti dan mempermalukan utusan tersebut dengan merusak wajahnya
dan memotong telinganya.
Kublai Khan marah dan lalu memberangkatkan ekspedisi besar ke Jawa
tahun 1293. Ketika itu, Jayakatwang, adipati Kediri, sudah membunuh
Kertanagara. Atas saran Aria Wiraraja, Jayakatwang memberikan pengampunan
kepada Raden Wijaya, menantu Kertanegara, yang datang menyerahkan diri.
Raden Wijaya kemudian diberi hutan Tarik. Ia membuka hutan itu dan
membangun desa baru. Desa itu dinamai Majapahit, yang namanya diambil dari
buah maja, dan rasa "pahit" dari buah tersebut.
Ketika pasukan Mongol tiba, Wijaya bersekutu dengan pasukan Mongol
untuk bertempur melawan Jayakatwang. Raden Wijaya berbalik menyerang
sekutu Mongolnya sehingga memaksa mereka menarik pulang kembali
pasukannya secara kalang-kabut karena mereka berada di teritori asingSaat itu
juga merupakan kesempatan terakhir mereka untuk menangkap angin muson agar
dapat pulang, atau mereka harus terpaksa menunggu enam bulan lagi di pulau
yang asing.
Tanggal pasti yang digunakan sebagai tanggal kelahiran kerajaan
Majapahit adalah hari penobatan Raden Wijaya sebagai raja, yaitu pada tanggal
10 November 1293. Ia dinobatkan dengan nama resmi Kertarajasa Jayawardhana.
Kerajaan ini menghadapi masalah. Beberapa orang terpercaya Kertarajasa,
termasuk Ranggalawe, Sora, dan Nambi memberontak melawannya, meskipun
pemberontakan tersebut tidak berhasil.
Slamet Muljana menduga bahwa mahapatih Halayudha lah yang
melakukan konspirasi untuk menjatuhkan semua orang terpercaya raja, agar ia
dapat mencapai posisi tertinggi dalam pemerintahan. Namun setelah kematian
pemberontak terakhir (Kuti), Halayudha ditangkap dan dipenjara, dan lalu
dihukum mati. Wijaya meninggal dunia pada tahun 1309.
Anak dan penerus Wijaya, Jayanegara, adalah penguasa yang jahat dan amoral. Ia
digelari Kala Gemet, yang berarti "penjahat lemah". Pada tahun 1328, Jayanegara
dibunuh oleh tabibnya, Tanca. Ibu tirinya yaitu Gayatri Rajapatni seharusnya
menggantikannya, akan tetapi Rajapatni memilih mengundurkan diri dari istana
dan menjadi pendeta wanita. Rajapatni menunjuk anak perempuannya
Tribhuwana Wijayatunggadewi untuk menjadi ratu Majapahit. Selama kekuasaan
Tribhuwana, kerajaan Majapahit berkembang menjadi lebih besar dan terkenal di
daerah tersebut. Tribhuwana menguasai Majapahit sampai kematian ibunya pada
tahun 1350. Ia diteruskan oleh putranya, Hayam Wuruk.
Kejayaan Majapahit
Hayam Wuruk, juga disebut Rajasanagara, memerintah Majapahit dari
tahun 1350 hingga 1389. Pada masanya Majapahit mencapai puncak kejayaannya
dengan bantuan mahapatihnya, Gajah Mada. Di bawah perintah Gajah Mada
(1313-1364), Majapahit menguasai lebih banyak wilayah. Pada tahun 1377,
beberapa tahun setelah kematian Gajah Mada, Majapahit melancarkan serangan
laut ke Palembang, menyebabkan runtuhnya sisa-sisa kerajaan Sriwijaya
Menurut Kakawin Nagarakretagama pupuh XIII-XV, daerah kekuasaan
Majapahit meliputi Sumatra, semenanjung Malaya, Borneo, Sulawesi, kepulauan
Nusa Tenggara, Maluku, Papua, dan sebagian kepulauan Filipina. Namun
demikian, batasan alam dan ekonomi menunjukkan bahwa daerah-daerah
kekuasaan tersebut tampaknya tidaklah berada di bawah kekuasaan terpusat
Majapahit, tetapi terhubungkan satu sama lain oleh perdagangan yang mungkin
berupa monopoli oleh raja. Majapahit juga memiliki hubungan dengan Campa,
Kamboja, Siam, Birma bagian selatan, dan Vietnam, dan bahkan mengirim duta-
dutanya ke Tiongkok
Jatuhnya Majapahit
Sesudah mencapai puncaknya pada abad ke-14, kekuasaan Majapahit
berangsur-angsur melemah. Tampaknya terjadi perang saudara (Perang Paregreg)
pada tahun 1405-1406, antara Wirabhumi melawan Wikramawardhana. Demikian
pula telah terjadi pergantian raja yang dipertengkarkan pada tahun 1450-an, dan
pemberontakan besar yang dilancarkan oleh seorang bangsawan pada tahun 1468.
Dalam tradisi Jawa ada sebuah kronogram atau candrasengkala yang berbunyi
sirna ilang kretaning bumi. Sengkala ini konon adalah tahun berakhirnya
Majapahit dan harus dibaca sebagai 0041, yaitu tahun 1400 Saka, atau 1478
Masehi. Arti sengkala ini adalah “sirna hilanglah kemakmuran bumi”. Namun
demikian yang sebenarnya digambarkan oleh candrasengkala tersebut adalah
gugurnya Bre Kertabumi, raja ke-11 Majapahit, oleh Girindrawardhana.
Raja-raja Majapahit
Berikut adalah daftar penguasa Majapahit. Perhatikan bahwa terdapat
periode kekosongan antara pemerintahan Rajasawardhana (penguasa ke-8) dan
Girishawardhana yang mungkin diakibatkan oleh krisis suksesi yang memecahkan
keluarga kerajaan Majapahit menjadi dua kelompok.
1. Raden Wijaya, bergelar Kertarajasa Jayawardhana (1293 - 1309)
2. Kalagamet, bergelar Sri Jayanagara (1309 - 1328)
3. Sri Gitarja, bergelar Tribhuwana Wijayatunggadewi (1328 - 1350)
4. Hayam Wuruk, bergelar Sri Rajasanagara (1350 - 1389)
5. Wikramawardhana (1389 - 1429)
6. Suhita (1429 - 1447)
7. Kertawijaya, bergelar Brawijaya I (1447 - 1451)
8. Rajasawardhana, bergelar Brawijaya II (1451 - 1453)
9. Purwawisesa atau Girishawardhana, bergelar Brawijaya III (1456 - 1466)
10. Bhre Pandansalas, atau Suraprabhawa, bergelar Brawijaya IV (1466 - 1468)
11. Bhre Kertabumi, bergelar Brawijaya V (1468 - 1478)
12. Girindrawardhana, bergelar Brawijaya VI (1478 - 1498)
SEJARAH KERAJAAN KALINGGA
Kerajaan Kalingga adalah sebuah kerajaan bercorak Hindu di Jawa
Tengah. Letak pusat kerajaan ini belumlah jelas, kemungkinan berada di suatu
tempat antara Kabupaten Pekalongan dan Kabupaten Jepara sekarang. Kalingga
telah ada pada abad ke-6 Masehi dan keberadaannya diketahui dari sumber-
sumber Tiongkok. Kerajaan ini pernah diperintah oleh Ratu Shima, yang dikenal
memiliki peraturan barang siapa yang mencuri, akan dipotong tangannya.
Putri Maharani Shima, Parwati, menikah dengan putera mahkota Kerajaan
Galuh yang bernama Mandiminyak, yang kemudian menjadi raja kedua dari
Kerajaan Galuh.
Maharani Shima memiliki cucu yang bernama Sanaha yang menikah
dengan raja ketiga dari Kerajaan Galuh, yaitu Brantasenawa. Sanaha dan
Bratasenawa memiliki anak yang bernama Sanjaya yang kelak menjadi raja
Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh (723-732 M).
Setelah Maharani Shima meninggal di tahun 732 M, Sanjaya
menggantikan buyutnya dan menjadi raja Kerajaan Kalingga Utara yang
kemudian disebut Bumi Mataram, dan kemudian mendirikan Dinasti/Wangsa
Sanjaya di Kerajaan Mataram Kuno.
Kekuasaan di Jawa Barat diserahkannya kepada putranya dari
Tejakencana, yaitu Tamperan Barmawijaya alias Rakeyan Panaraban.
Kemudian Raja Sanjaya menikahi Sudiwara puteri Dewasinga, Raja
Kalingga Selatan atau Bumi Sambara, dan memiliki putra yaitu Rakai
Panangkaran.
Pada abad ke-5 muncul Kerajaan Ho-ling (atau Kalingga) yang
diperkirakan terletak di utara Jawa Tengah. Keterangan tentang Kerajaan Ho-ling
didapat dari prasasti dan catatan dari negeri Cina. Pada tahun 752, Kerajaan Ho-
ling menjadi wilayah taklukan Sriwijaya dikarenakan kerajaan ini menjadi bagian
jaringan perdagangan Hindu, bersama Malayu dan Tarumanagara yang
sebelumnya telah ditaklukan Sriwijaya. Ketiga kerajaan tersebut menjadi pesaing
kuat jaringan perdagangan Sriwijaya-Buddha.
Berita Cina
Berita keberadaan Ho-ling juga dapat diperoleh dari berita yang berasal
dari zaman Dinasti Tang dan catatan I-Tsing.
Catatan dari zaman Dinasti Tang
Cerita Cina pada zaman Dinasti Tang (618 M – 906 M) memberikan tentang
keterangan Ho-ling sebagai berikut.
Ho-ling atau disebut Jawa terletak di Lautan Selatan. Di sebelah utaranya
terletak Ta Hen La (Kamboja), di sebelah timurnya terletak Po-Li (Pulau
Bali) dan di sebelah barat terletak Pulau Sumatera.
Ibukota Ho-ling dikelilingi oleh tembok yang terbuat dari tonggak kayu.
Raja tinggal di suatu bangunan besar bertingkat,beratap daun palem, dan
singgasananya terbuat dari gading.
Penduduk Kerajaan Ho-ling sudah pandai membuat minuman keras dari
bunga kelapa
Daerah Ho-ling menghasilkan kulit penyu, emas, perak, cula badak dan
gading gajah.
Prasasti
Prasasti peninggalan Kerajaan Ho-ling adalah Prasasti Tukmas. Prasasti
ini ditemukan di Desa Dakwu daerah Grobogan, Purwodadi di lereng Gunung
Merbabu di Jawa Tengah. Prasasti bertuliskan huruf Pallawa dan berbahasa
Sansekerta. Prasasti menyebutkan tentang mata air yang bersih dan jernih. Sungai
yang mengalir dari sumber air tersebut disamakan dengan Sungai Gangga di
India. Pada prasasti itu ada gambar-gambar seperti trisula, kendi, kapak,
kelasangka, cakra dan bunga teratai yang merupakan lambang keeratan hubungan
manusia dengan dewa-dewa Hindu.
SEJARAH KERAJAAN SRIWIJAYA
Sejarah Kerajaan Sriwijaya - Kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
Buddha yang berdiri di Sumatera pada abad ke-7. Pendirinya adalah Dapunta
Hyang. Kerajaan ini pernah menjadi kerajaan terbesar di Nusantara, bahkan
mendapat sebutan Kerajaan Nasional I sebab pengaruh kekuasaannya mencakup
hampir seluruh Nusantara dan negara-negara di sekitarnya.
Letaknya sangat strategis. Wilayahnya meliputi tepian Sungai Musi di
Sumatera Selatan sampai ke Selat Malaka (merupakan jalur perdagangan India –
Cina pada saat itu), Selat Sunda, Selat Bangka, Jambi, dan Semenanjung Malaka.
Sumber-sumber sejarah
1) Berita dari Cina
Dalam perjalanannya untuk menimba ilmu agama Buddha di India, I-
Tsing pendeta dari Cina, singgah di Shi-li-fo-shih (Sriwijaya) selama enam bulan
dan mempelajari paramasastra atau tata bahasa Sanskerta. Kemudian, bersama
guru Buddhis, Sakyakirti, ia menyalin kitab Hastadandasastra ke dalam bahasa
Cina. Kesimpulan I-Tsing mengenai Sriwijaya adalah negara ini telah maju dalam
bidang agama Buddha.
Pelayarannya maju karena kapal-kapal India singgah di sana dan
ditutupnya Jalan Sutra oleh bangsa Han. Buddhisme di Sriwijaya dipengaruhi
Tantraisme, namun disiarkan pula aliran Buddha Mahayana. I-Tsing juga
menyebutkan bahwa Sriwijaya telah menaklukkan daerah Kedah di pantai barat
Melayu pada tahun 682 – 685.
Berita Cina dari dinasti Tang menyebutkan bahwa Shi-li-fo-shih
(Sriwijaya) adalah kerajaan Buddhis yang terletak di Laut Selatan. Adapun berita
sumber dari dinasti Sung menyebutkan bahwa utusan Cina sering datang ke San-
fo-tsi. Diyakini bahwa yang disebut San-fo-tsi itu adalah Sriwijaya.
2) Berita dari Arab
Berita Arab menyebutkan adanya negara Zabag (Sriwijaya). Ibu
Hordadheh mengatakan bahwa Raja Zabag banyak menghasilkan emas. Setiap
tahunnya emas yang dihasilkan seberat 206 kg. Berita lain disebutkan oleh
Alberuni. Ia mengatakan bahwa Zabag lebih dekat dengan Cina daripada India.
Negara ini terletak di daerah yang disebut Swarnadwipa (Pulau Emas) karena
banyak menghasilkan emas.
3) Berita dari India
Prasasti Leiden Besar yang ditemukan oleh raja-raja dari dinasti Cola
menyebutkan adanya pemberian tanah Anaimangalam kepada biara di Nagipatma.
Biara tersebut dibuat oleh Marawijayattunggawarman, keturunan keluarga
Syailendra yang berkuasa di Sriwijaya dan Kataka.
Prasasti Nalanda menyebutkan bahwa Raja Dewa Paladewa dari Nalanda,
India, telah membebaskan lima buah desa dari pajak. Sebagai imbalannya, kelima
desa itu wajib membiayai para mahasiswa dari Kerajaan Sriwijaya yang menuntut
ilmu di Kerajaan Nalanda.
Hal ini merupakan wujud penghargaan sebab Raja Sriwijaya saat itu,
Balaputradewa, mendirikan vihara di Nalanda. Selain itu, prasasti Nalanda juga
menyebutkan bahwa Raja Balaputradewa sebagai raja terakhir dinasti Syailendra
yang terusir dari Jawa meminta kepada Raja Nalanda untuk mengakui hak-haknya
atas dinasti Syailendra.
4) Berita dari dalam negeri
Sumber-sumber sejarah dalam negeri mengenai Sriwijaya adalah prasasti-prasasti
berhuruf Pallawa dan berbahasa Melayu Kuno.
a) Prasasti Kedukan Bukit berangka tahun 605 Saka (683 M) ditemukan di tepi
Sungai Tatang, dekat Palembang.
b) Prasasti Talang Tuo berangka tahun 606 Saka (684 M) ditemukan di sebelah
barat Pelembang.
c) Prasasti Kota Kapur berangka tahun 608 Saka (686 M) ditemukan di Bangka.
Prasasti ini menjadi bukti serangan Sriwijaya terhadap Tarumanegara yang
membawa keruntuhan kerajaan tersebut, terlihat dari bunyi: "Menghukum bumi
Jawa yang tidak tunduk kepada Sriwijaya."
d) Prasasti Karang Berahi berangka tahun 608 Saka (686 M). Isi prasasti ini
memperjelas bahwa secara politik, Sriwijaya bukanlah negara kecil, melainkan
memiliki wilayah yang luas dan kekuasaannya yang besar. Prasasti ini juga
memuat penaklukan Jambi.
e) Prasasti Telaga Batu (tidak berangka tahun). Prasasti ini menyebutkan bahwa
negara Sriwijaya berbentuk kesatuan dan menegaskan kedudukan putra-putra raja:
Yuwaraja (putra mahkota), Pratiyuwaraja (putra mahkota kedua), dan Rajakumara
(tidak berhak menjadi raja).
f) Prasasti Ligor berangkat tahun 697 Saka (775 M) ditemukan di Tanah Genting
Kra. Prasasti ini memuat kisah penaklukan Pulau Bangka dan Tanah Genting Kra
(Melayu) oleh Sriwijaya
g) Prasasti Palas Pasemah (tidak berangka tahun) ditemukan di Lampung berisi
penaklukan Sriwijaya terhadap Kerajaan Tulangbawang pada abad ke-7.
Kehidupan politik
Sriwijaya dikenal sebagai kerajaan besar dan masyhur. Selain mendapat
julukan sebagai Kerajaan Nasional I, Sriwijaya juga mendapat julukan Kerajaan
Maritim disebabkan armada lautnya yang kuat. Raja-rajanya yang terkenal adalah
Dapunta Hyang (pendiri Sriwijaya) Balaputradewa, dan Sanggrama
Wijayatunggawarman. Berdasarkan Prasasti Kedukan Bukit diketahui bahwa Raja
Dapunta Hyang berhasil memperluas wilayah Kerajaan Sriwijaya dari
Minangatwan sampai Jambi.
Pemerintahan Raja Balaputradewa berhasil mengantarkan Sriwijaya
menjadi kerajaan yang besar dan mencapai masa kejayaan. Balaputradewa adalah
putra Raja Syailendra, Samaratungga, yang karena dimusuhi saudarinya,
Pramodhawardhani (istri Raja Pikatan dari wangsa Sanjaya), terpaksa melarikan
diri ke Sriwijaya. Saat itu, Sriwijaya diperintah oleh Raja Dharmasetu, kakek dari
ibunda Balaputradewa.
Raja ini tidak berputra sehingga kedatangan Balaputradewa disambut
dengan baik, bahkan diserahi takhta dan diangkat menjadi raja di Sriwijaya.
Dalam masa pemerintahannya, Sriwijaya mengadakan hubungan dengan Nalanda
dalam bidang pengembangan agama Buddha. Pada masa pemerintahan
Sanggrama Wijayattunggawarman, Sriwijaya mendapat serangan dari Kerajaan
Colamandala. Sang Raja ditawan dan baru dilepaskan ketika Colamandala
diperintah Raja Kolottungga I.
Kehidupan ekonomi
Letak Sriwijaya sangat strategis, yakni di tengah jalur perdagangan India -
Cina, dekat Selat Malaka yang merupakan urat nadi perhubungan daerah-daerah
di Asia Tenggara. Menurut Coedes, setelah Kerajaan Funan runtuh, Sriwijaya
berusaha menguasai wilayahnya agar dapat memperluas kawasan
perdagangannya.
Untuk mengawasi kelancaran perdagangan dan pelayarannya, Sriwijaya
menguasai daerah Semenanjung Malaya, tepatnya di daerah Ligor. Adanya
hubungan perdagangan dengan Benggala dan Colamandala di India, lalu lintas
perdagangan Sriwijaya makin ramai. Ekspor Sriwijaya terdiri atas gading, kulit,
dan beberapa jenis binatang. Adapun impornya adalah sutra, permadani, dan
porselin.
Hubungan Sriwijaya dengan lndia
Di daerah Benggala, di India, ada sebuah kerajaan bernama Nalanda yang
diperintah oleh dinasti Pala. Kerajaan ini berdiri sejak abad ke 8 hingga pada abad
ke 11. Rajanya yang terbesar adalah raja Dewa Pala. Hubungan Sriwijaya dengan
kerajaan ini sangat baik, terutama dalam bidang kebudayaan, khususnya dalam
pengembangan agama Buddha. Banyak bhiksu dari Kerajaan Sriwijaya yang
belajar agama Buddha di perguruan tinggi Nalanda.
Hubungan Kerajaan Sriwijaya dengan Kerajaan Colamandala
Hubungan kedua kerajaan ini pada awalnya sangat baik. Diawali dengan
hubungan dalam bidang agama kemudian meningkat ke bidang ekonomi
perdagangan. Pada tahun 1006, Raja Sriwijaya bernama Sanggrama
Wijayattunggawarman mendirikan biara di Colamandala untuk tempat tinggal
para bhiksu dari Sriwijaya.
Akibat adanya persaingan dalam pelayaran dan perdagangan, persahabatan
kedua kerajaan itu berubah menjadi permusuhan. Raja Rajendra Cola menyerang
Sriwijaya sampai dua kali. Serangan pertama pada tahun 1007 gagal. Serangan
kedua pada tahun 1023/1024 berhasil merebut kota dan bandar dagang Sriwijaya.
Raja Sanggrama Wijayattunggawarman berhasil ditawan dan baru dibebaskan
pada zaman Raja Kulottungga I.
Kekayaan Sriwijaya diperoleh dari :
1. bea masuk dan keluar bandar-bandar Sriwijaya,
2. bea cukai semua kapal yang melalui perairan Asia Tenggara,
3. upeti persembahan dari raja-raja negara vasal, dan
4. hasil keuntungan perdagangan.
Kemunduran Sriwijaya
Pada akhir abad ke-13, Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran yang
disebabkan oleh faktor-faktor berikut.
1) Faktor geologis, yaitu adanya pelumpuran Sungai Musi sehingga para
pedagang tidak singgah lagi di Sriwijaya.
2) Faktor politis, yaitu jatuhnya Tanah Genting Kra ke tangan Siam membuat
pertahanan Sriwijaya di sisi utara melemah dan perdagangan mengalami
kemunduran.