sejarah masuknya islam di tana luwu

22
Sejarah Masuknya Islam di Tana Luwu by Wija To Luwu on Sunday, June 13, 2010 at 7:12am PENDAHULUAN Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading. Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari langit diutus oleh ayahnya Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di dunia tengah. Beliau turun tepat di daerah Ussu, kecamatan Malili, kabupaten Luwu Timur lalu dikawinkan dengan We Nyili Timo’ sepupu satu kalinya yang berasal dari dunia bawah, sehingga lahirlah beberapa keturunan. Setelah dunia tengah sudah banyak penghuninya dan kehidupan di dalamnya sudah berjalan baik, maka kembalilah Batara Guru ke atas langit. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan paling sepuh diantara beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari Luwu. Seperi dalam kerajaan Gowa, mereka meyakini bahwa raja pertama mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu begitu halnya dengan kerajaan Bone dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan dan bahkan di Pulau Sulawesi serta sebagian

Upload: fahul-majnun

Post on 27-Jun-2015

1.241 views

Category:

Documents


13 download

TRANSCRIPT

Page 1: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Sejarah Masuknya Islam di Tana Luwu

by Wija To Luwu on Sunday, June 13, 2010 at 7:12amPENDAHULUAN

Kerajaan Luwu adalah kerajaan tertua, terbesar, dan terluas di Sulawesi Selatan yang wilayahnya mencakup Tana Luwu, Tana Toraja, Kolaka, dan Poso. Perkataan “Luwu” atau “Luu” itu sebenarnya berarti “Laut”. Luwu adalah suku bangsa yang besar yang terdiri dari 12 anak suku. Walaupun orang sering mengatakan bahwa Luwu termasuk suku Bugis, tetapi orang-orang Luwu itu sendiri menyatakan mereka bukan suku Bugis, tetapi suku Luwu. Sesuai dengan pemberitaan lontara Pammana yang mengisahkan pembentukan suku Ugi’ (Bugis) di daerah Cina Rilau dan Cina Riaja, yang keduanya disebut pula Tana Ugi’ ialah orang-orang Luwu yang bermigrasi ke daerah yang sekarang disebut Tana Bone dan Tana Wajo dan membentuk sebuah kerajaan. Mereka menamakan dirinya Ugi’ yang diambil dari akhir kata nama rajanya bernama La Sattumpugi yang merupakan sepupu dua kali dari Sawerigading dan juga suami dari We Tenriabeng, saudara kembar dari Sawerigading.

Kerajaan Luwu diperkirakan berdiri sekitar abad X yang dibangun oleh, sekaligus sebagai raja pertama adalah Batara Guru (Tomanurung) yang dipercaya turun dari langit diutus oleh ayahnya Dewa Patoto’e untuk turun mengisi kekosongan di dunia tengah. Beliau turun tepat di daerah Ussu, kecamatan Malili, kabupaten Luwu Timur lalu dikawinkan dengan We Nyili Timo’ sepupu satu kalinya yang berasal dari dunia bawah, sehingga lahirlah beberapa keturunan. Setelah dunia tengah sudah banyak penghuninya dan kehidupan di dalamnya sudah berjalan baik, maka kembalilah Batara Guru ke atas langit.

Kerajaan Luwu merupakan kerajaan paling sepuh diantara beberapa kerajaan di Sulawesi Selatan karena asal-usul setiap raja di Sulawesi Selatan berasal dari Luwu. Seperi dalam kerajaan Gowa, mereka meyakini bahwa raja pertama mereka mempunyai asal-usul dari kerajaan Luwu begitu halnya dengan kerajaan Bone dan kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan dan bahkan di Pulau Sulawesi serta sebagian Kalimantan. Oleh sebab itu, Luwu sangat disegani dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan.

Pusat kerajaan Luwu (Ware’) pertama adalah di daerah Ussu. Ussu terkenal akan hasil alamnya berupa besi dan pelabuhannya yang terletak di muara sungai Cerekang , dan diyakini kalau besi-besi yang ada di Jawa untuk dipakai membuat keris pada zaman itu berasal dari Luwu. Hal ini bisa di benarkan karena dulunya Luwu sudah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain di luar Sulawesi dan hal ini dapat dibuktikan dengan tercantumnya nama kerajaan Luwu dalam kitab Negarakertagama milik kerajaan Majapahit. Kerajaan Luwu juga dikenal dengan hasil karya sastranya, yaitu I La Galigo. I La Galigo merupakan karya sastra terbesar dan terpanjang di dunia mengalahkan Mahabrata yang berasal dari India yang ditulis sekitar abad 14 lalu disalin ulang lagi oleh Colli’ Puji’e Arung Pancana Toa sebanyak 12 jilid yang kini tersimpan di perpustakaan Universitas Leiden Belanda.

Pusat kerajaan Luwu (Ware’) yang terakhir adalah Palopo. Pemindahan Ware’ ini (Ware’ sebelumnya Malangke) karena letak Palopo yang strategis di pinggir Teluk Bone sehingga memudahkan untuk menjalin hubungan dengan kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan melalui

Page 2: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

laut. Pemindahan Ware’ ini dilakukan pada masa Pajung / Datu Luwu ke- 15, yaitu Andi Pattiware’ Daeng Parabung pada abad ke XV awal masuknya Islam ke Tana Luwu.

Raja terakhir dari kerajaan Luwu adalah Andi Djemma yang bergelar Petta Matinro’e ri Amaradekanna yang memerintah mulai tahun 1935-1965 Masehi. Beliau merupakan raja yang sangat dikagumi dan dibangga-banggakan oleh rakyatnya bahkan raja-raja lain di Sulawesi Selatan karena keberaniannya dalam menghadapi penjajah Belanda. Beliau rela mati dan meninggalkan seluruh harta dan kekuasaannya untuk mempertahahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Karena itulah beliau diberi gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah pusat sekitar tahun 2003, dimana beliau merupakan satu-satunya raja Luwu dari sekian raja Luwu yang memerintah ketika Belanda datang menjajah negara kita yang memperoleh gelar kehormatan tersebut.

PEMBAHASAN

Sebelum agama Islam masuk ke Tana Luwu, masyarakat mulanya menganut Animisme. Setelah sepuluh abad lebih berdiri, kerajaan Luwu baru menerima agama Islam sekitar abad ke-15, yaitu pada tahun !593. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan pertama di Sulawesi Selatan yang menganut agama Islam. Agama Islam sendiri di bawa ke Tana Luwu oleh Dato’ Sulaiman dan Dato’ ri Bandang yang berasal dari Aceh. Hal-hal mistik banyak mewarnai proses awal masuknya Islam di Luwu. Diyakini bahwa Dato Sulaiman dan Dato ri Bandang datang ke Luwu dengan menggunakan kulit kacang. Mereka pertama kali tiba di Luwu tepatnya di desa Lapandoso, kecamatan Bua, kabupaten Luwu.

Setelah sampai, Datu Sulaiman lalu dipertemukan dengan Tandipau (Maddikka Bua saat itu). Sebelum menerima agama yang dibawa oleh kedua Datu itu, Tandipau terlebih dahulu menantang Datu Sulaiman. Tantangan itu adalah Tandipau akan menyusun telur sampai beberapa tingkat, apabila Datu Sulaiman mengambil telur yang ada di tengah-tengah tetapi telur itu tidak jatuh atau bergeser sedikitpun, maka Tandipau akan mengakui ajaran agama Islam yang dibawa oleh Datu Sulaiman. Tandipau berani disyahadatkan asalkan tidak diketahui oleh Datu’ karena ia takut durhaka bila mendahului Datu’. Sebelum ke Malangke (Ware’) untuk menghadap Datu’, ke dua Dato’ itu terlebih dahulu membangun sebuah masjid di Bua tepatnya di desa Tana Rigella yang dibangun sekitar tahun 1594 Masehi yang merupakan masjid tertua di Sulawei Selatan. Masjid ini pernah dimasuki oleh tentara NICA pada zaman penjajahan lalu menginjak dan merobek-robek Al-Qur’an yang ada di dalam masjid. Hal inilah yang memicu kemarahan rakyat Luwu lalu terjadilah perang semesta rakyat Luwu pada tanggal 23 Januari 1946 yang selalu diperingati oleh masyarakat Luwu setiap tahunnya.

Setelah membuat masjid di Bua, Dato’ Sulaiman lalu diantar ke Ware’ (Malangke) untuk menemui Datu’ Pattiware’. Setelah terjadi dialog siang dan malam antara Datu’ dengan Dato’ Sulaiman mengenai ajaran agama yang dibawanya, maka Datu’ Pattiware’ pun bersedia diislamkan bersama seisi istana. Pada Waktu itu Pattiware’ sudah memiliki tiga orang anak, yaitu Pattiaraja (12 tahun), Pattipasaung (10 tahun, yang kemudian menjadi Pajung / Datu Luwu ke 16 menggantikan ayahnya) dan Karaeng Baineya (3 tahun), serta adik iparnya Tepu

Page 3: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Karaeng (25 tahun). Islam lalu dijadikan sebagai agama kerajaan dan dijadikan pula sebagai sumber hukum. Walaupun sudah dijadikan sebagai agama kerajaann, penduduk yang jauh dari Ware’ dan Bua masih tetap menganut kepercayaan Sawerigading. Mereka mengatakan bahwa ajaran Sawerigading lebih unggul dibanding ajaran agama yang daibawa oleh Dato’ tersebut.

Setelah berhasil mengislamkan Datu’ Pattiware’, Dato’ ri Bandang atau Khatib Bungsu lalu pergi untuk menyebarkan Islam didaerah lain di Sulawesi Selatan. Sedangkan Dato’ Sulaiman tetap tinggal di Luwu agar bisa mengislamkan seluruh rakyat Luwu karena hal ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Beliau lalu wafat dan dikuburkan di Malangke, tepatnya di daerah Pattimang, dan ia pun diberi gelar Dato’ Pattimang.

Saat pusat kerajaan Luwu (Ware’) dipindahkan dari Malangke ke Palopo, Andi Pattiware’ yang bergelar Petta Matinro’e ri Pattimang (1587-1615 M) Datu’ pada zaman itu, memerintahkan untuk membuat suatu masjid yang dapat digunakan oleh masyarakat Palopo untuk menunaikan Shalat secara berjamaah yang letaknya tidaklah jauh dari “Salassae” istana Luwu. Masjid itu sendiri dibuat oleh Pong Mante pada tahun 1604 Masehi dimana makamnya terdapat dalam masjid Djami itu sendiri, tepatnya di bawah mimbar yang besar. Konon batu yang dipakai untuk membangun masjid itu dibawa dari Toraja dengan cara orang-orang berjejer dari Toraja sampai ke Palopo lalu batu-batu itu dioper satu per satu. Sedangkan bahan yang dipakai untuk merekatkan batu yang satu dengan yang lainnya adalah putih telur yang diambil dari kecamatan Walenrang, kabupaten Luwu.

Nama Palopo itu sendiri yang sudah lama kita kenal berasal dari kata “Pallopo’ni” yang diucapkan oleh orang-orang saat ingin menancapkan tiang masjid yang besar. Panjang tiang utama masjid ini sekitar 16 meter dan kayu yang dipakai adalah kayu Cina Guri, namun sekarang kayu jenis ini sudh tidak ada lagi. Konon kayu jenis Cina Guri ini dikutuk sehingga sekarang hanya menjadi rerumputan kecil yang biasa diberikan pada ternak sebagai makanan. Arti kata “Pallopo’” yang secara bebas berarti “masukkan dengan tepat”. Menurut kepercayaan masyarakat, seseorang belum bisa dikatakan menginjak Palopo jika ia belum pernah masuk ke dalam Masjid Djami.

Setelah empat abad lebih, bangunan masjid Jami’ masih utuh dan tetap terawat dengan baik sehingga pada tahun 2002 yang lalu Masjid Djami’ Palopo memperoleh penghargaan sebagai Masjid Tua terbaik se-Indonesia mengalahkan ribuan masjid tua lainnya di Nusantara. Setelah berkembang selama kurang lebih empat abad, agama Islam kini menjadi agama yang mayoritas dianut oleh warga Tana Luwu dan Sulawesi Selatan pada umumnya.

Beni Sjamsuddin Toni (Admin Wija To Luwu)

SUMBER

Anton Andi Pangerang… (et al). 2002. Andi Djemma-Datu Luwu, Tahta Bagi Republik. Yayasan Bina Profesi dan Wirausaha (BENUA) : Jakarta Selatan.

Page 4: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Salim, Muhammad…(et al). 2003. La Galigo, Menelusuri Jejak Warisan Sastra Dunia. Pusat Studi La Galigo, Divisi Ilmu Sosial dan Humaniora : Makassar.

TOMANURUNG TANA LUWU

SEBAHAGIAAN orang kadang mengungkapkan bahwa, To Manurung sering diartikan sebagai turunan dari kayangan dan ditakdirkan untuk memerintah manusia dimuka bumi. Tidak sedikit orang mengungkapkan bahwa To Manurung itu bukanlah manusia sejarah, atau hanya merupakan mitos belaka, akan tetapi penulis lontara dan para petutur di zanan luwu purba di Wotu ketika itu masih terletak disekitar ussu dan bilassa lamoa (kebun dewata) mengungkapkan bahwa raja pertama disebut To Manuru , hal ini disebabkan oleh karena tidak diketahui darimana kedatangannya demikian pula menghilangnya. Jadi sebenarnya oleh masyarakatnya dia dianggap sebagai manusia surgawi atau wija polamoa ( berbeda dengan tradisi-tradisi jawa) tetapi diakui sebagai orang yang datang dan mempunyai kepintaran dan keahlian. Seorang To Manurung (orang Asing) kadang diangkat sebagai raja (belum tentu raja pertama) oleh karena beberapa alasan antara lain:a, Mungkin sebagai daerah bawahan dari suatu kerajaan yang lebih besar.b. Karena kehebatan dari pribadi sang pendatang.c. Karena alasan politik untuk mempersatukan wilayah.Dapat disinpulkan bahwa nama ToManurung adalah sebenarnya gelaran yang diberikan kemudian oleh turunan dan masyarakatmya pada seorang tokoh sejarah dari suatu kerajaan yang kadangkala di mitoskan sebagai turunan dari kayangan..Pada umumnya orang sulawesi utamanya orang Luwu mempunyai silsilah baik tertulis maupun tidak yang dihapalkan secara turun temurun.Biasanya pada pertemuan-pertemuan keluarga atau antar keluarga, unpamanya dalam peristiwa peminangan atau pesta-pesta, ungkapan silsilah saling dicocokan kembali oleh para pengatur masyarakat atau para ahli silsilah. Dengan cara-cara ini kebenaran silsilah dapat dipertahankan. Disamping itu silsilah-silsilah masih terdapat cerita-cerita rakyat yang disebut Sinrilli atau Tolo. Kedua duanya adalah cerita-cerita kepahlawanan dan peperangan yang pernah terjadi. Sinrilli dan tolo adalah cerita fakta manusiawi yang bebas dari campur tangan tokoh-tokoh kayangan.Tempat To manurung Tana LuwuDari cerita tentang To Manurung, bagi masyarakat Sulawesi Selatan dan Tenggara telah banyak ditulis, baik penulis penulis sejarah dalam negeri naupun luar negeri utama nya Belanda, dan terakhir sastrawan negeri jiran Arenawati Yaitu “ Silsilah Kerajaan Bugis dan Melayu” dimana disebutkan, raja raja nusantara dan semenanjung berasal dari Luwu Sulawesi Selatan yaitu keturunan dari La Maddusala (ejaan malayu La Maddusalat) antara lain hampir seluruh kerajaan disemananjung Malaysia dan Nusantara. Sebagaimana umumnya orang mengeketahui bahwa kedatuan Luwu atau kerajaan Luwu memiliki sejarah yang sangat panjang, luas wilayah, sisten pemerintahan,asal muasal darimana berasal pangkal awalnya sang tokoh (To Manurung) masih terjadi perdebatan panjang dan tidak pernah selesai. Nomenklatur “Luwu” atau Luwuq belum ada kesepakatan, tetapi secara pasti oleh orang Wotu tempat muasal sang tokoh menyebut Luwu sebagai Luwo yang berasal dari kata “LU” yang berarti sangat luas hal ini dapat dibuktikan bahwa luas wilayah Luwu purba memang sangat luas, terdampar hampir seluruh daratan sulawesi. Suatu hal yang sulit terbantahkan dan hampir telah menjadi kesepakatan bahwa To Manurung Tanah Luwu adalah Sawerigading. Orang Luwu percaya ia turun kedunia dianggap membawa rahmat bagi keselamatan kemakmuran dan kesejahteraan. Hanya kadang sangat disayangkan dan sering terjadi silang pendapat utamanya para etnis yang ada di Luwu ada yang terang terangan mengklaim bahwa dirinya atau clennya yang yang pewaris luwu atau wija sawerigading sementara yang lain adalah tidak sehingga kelompoknya yang berhak berbicara tentang Luwu

Page 5: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

dan kelompok lain tidak utamanya tentang adat istiadat., padahal bila kita mau mengkajinya secara obyektif mereka semua keturunan atau wija asselinna Luwu, tidak ada yang dapat mengklaim kelompoknya yang wija to Luwu asli karena yang membedakannya adalah fase atau waktu saja, hal ini dapat dilihat dari sudut dimana dan kapan Ware (pusat penerintahan kerajaan Luwu berpusat) dalan catatan sejarah dapat memberikan kepada kita gambaran masa dimana Ware Pertama sampai Ware Kelima.,1.Ware.Pertama. Dimulai pada akhir abad ke IX dan memasuki abad keX masehi sampai pada abad ke XIII, dikenal sebagai fase Luwu purba berlangsung kurang lebih 300 tahun lamanya. Pusat kerajaan (Ware) masih di sekitar Wotu lama sampai runtuhnya kerajaan luwu pertama, Wotu lama sebagian pindah Wotu sekarang, sebagian pindah atau hijrah orang Wotu menyebutmya cerrea (orang bugis menyebutnya cerekang) dan sebagian menetap disekitar lampia. Kota Malili belum dikenal karena nanti disekitar abad ke XIII barulah ada yaitu pada saat datangnya orang bugis diLuwu.Sebagian penduduk masih menetap dan sebagian lagi mengikuti Datu atau Raja Luwu Anakaji.2.Ware Kedua. Dimulai pada abad ke XIV masehi ware (pusat penerintahan) berada di Mancapai , dekat Lelewaru diselatan Danau Towuti pada masa pemerintahan Raja Anakaji.3.Ware Ketiga Dimulai disekitar abad ke XV Masehi. Ware (pusat kerajaan) berada di Kamanre, ditepi Sungai Noling sekitar 50 km selatan Kota Palopo Rajanya dikenal; sebagai Dewaraja.4. Ware Keempat Dimulai pada abad ke XVI Masehi pusat kedatuan Luwu (ware) di pindahkan ke Pao, di Pattimang Malangke dan disini peristiwa besar tercatat yaitu masuknya agama Islam di tanah Luwu.5. Ware Kelima Dimulai ketika memasuki abad ke XVII Malangke menjadi surut sehingga Ware berpindah ke Palopo sampai dengan sekarang.Jika kita menyimak catatan perjalanan ware diatas, maka tidak ada satu kelompokpun yang dapat mengklaim dirinya sebagai peduduk asli Luwu dan berhak menyebut alenami tomatase”na Luwu karena semua suku bangsa berdasarkan adat luwu adalah penduduk asli Luwu dan berkewajiban mematuhi siapapun yang menjadi Datu ri Luwu. Orang Wotu termasuk Pamona,To padoe(mori) dan Tolaki tidak bisa dipungkiri sebagai penduduk luwu purba abad X, tidak bisa juga mengklaim bahwa dialah penduduk asli Luwu. Walaupun diakui bahwa mereka adalah pewaris Macoa.Orang Palopo dan sekitarnya tidak dapat juga mengklaim bahwa hanya merekalah peduduk asli Luwu walaupun mereka memangku jabatan adat pada masa ware terakhir sampai sekarang, disisilain tidak dapat pula dikesampingkan peran pada masa ware kedua,ketiga dan keempat, semua memiliki peran yang sama, hanya waktulah yang membedakannya.semuanya keturunan para tomanurung.... (Penulis adalah wakil Ketua Kerukunan Keluarga Luwu Raya Sulawesi Tengah)

Silsilah Kerajaan Sidenreng-Rappang

Dalam buku Panduan Maccera Arajang di Massepe Tahun 2006, dijelaskan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang adalah kerajaan kembar yang diperintah oleh 2 orang Raja, kakak beradik, oleh karena tidak ada batas yang tegas yang memisahkan kedua wilayah kerajaan tersebut. Lontaraq hanya menggambarkan bahwa penduduk Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang hanya dapat dibedakan pada waktu panen. Yang menyangkut padinya ke utara, itulah rakyat Kerajaan Rappang, sedangkan yang menyangkut padinya ke selatan itulah rakyat Kerajaan Sidenreng.

Selain itu, kedua rajanya juga membuat ikrar, yaitu Mate Elei Rappang, Mate Arawengngi Sidenreng. Mate Arawengngi Rappang, Mate Elei Sidenreng. Yang berarti Mati Pagi Rappang, mati sore Sidenreng. Mati sore Rappang, Mati Pagi Sidenreng.Ada versi yang mengatakan bahwa Kerajaan Sidenreng dan Kerajaan Rappang berasal dari

Page 6: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Tomanurung, seperti halnya mitos raja-raja yang memerintah di berbagai kerajaan di Sulawesi Selatan. Dalam versi lain, asal mula Sidenreng berasal dari sebuah kelompok dari Sangalla, Tana Toraja, yang meninggalkan daerahnya akibat kezaliman Rajanya, La Maddaremmeng, yang tidak lain adalah saudara dari mereka sendiri. Rombongan tersebut dipimpin oleh 8 bersaudara yang terdiri dari; La Wewangriu, La Togelipu, La Pasampoi, La Pakolongi, La Pababbari, La Panaungi, La Mappasessu dan La Mappatunru. Menilik dari nama-nama mereka tersebut yang tidak bercirikan nama Toraja, maka diduga mereka itu bukanlah penduduk asli Sangalla (Toraja), melainkan mungkin berasal dari Kerajaan Luwu. Hal ini diperkuat oleh sebuah sumber yang mengatakan bahwa Sangalla pada zaman dahulu pernah berada dibawah Payung Kerajaan Luwu. Pemberian nama Sidenreng adalah untuk memperingati awal mula kedatangan mereka ditempat itu pada saat berbimbingan tangan mendatangi danau untuk mandi dan mengambil air. Tempat itu sekarang disebut Kampung Sidenreng. Namun daerah batu itu disebut sebagai Tanae Aja Tappareng oleh orang Wajo, Soppeng dan Bone. Dimana Tanae Aja Tappareng berarti daerah yang berada di sebelah barat danau, yang sekarang dikenal dengan nama Danau Sidenreng. Kemudian di daerah Aja Tappareng ini terbentuk 5 kerajaan, yaitu Sidenreng, Rappang, Sawitto, Suppa dan Alitta. Kerajaan-kerajaan ini yang sesungguhnya disebut Lima Aja Tappareng. Sekarang Lima Aja Tappareng ini nampaknya diperluas wilayahnya yang meliputi bekas afdeling Pare-pare, yakni Kabupaten Barru, Kota Madya Pare-pare, Kabupaten Pinrang, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Enrekang.1. La Mallibureng, Addaowang I. Versi lain mengatakan bahwa Addaowang I Sidenreng adalah Manurungnge ri Lowa (Bululowa)2. La Pawawoi, Addaowang II, anak dari La Mallibureng. Versi lain mengatakan Songkopulawengnge, anak dari Manurungnge ri Lowa3. La Makkarakka, Addaowang III, anak dari La PawawoiPada masa pemerintahan Addaowang III Sidenreng, La Makkarakka, maka dalam rangka mengatur kehidupan sosial masyarakatnya, kemudian bermufakatlah raja, pemangku adat dan masyarakat untuk menetapkan suatu kebijakan umum pemerintahan yang dalam lontaraq disebut Ade Puronrona Sidenreng, yang terdiri dari 5 (lima) pasal, yaitu :1. Ade Mappuronro, maksudnya adat yang tetap utuh (tidak berubah)2. Wari Rialitutui, yaitu kebiasaan-kebiasaan baik harus dipelihara3. Janci Rippeaseri, artinya janji harus dipegang teguh/tidak diingkari4. Rapang Ripasanre, maksudnya semacam yurisprudensi5. Agama Ritarenre Maberre, yakni agama harus diagungkanSelain Ade Puronrona Sidenreng, Addaowang III Sidenreng juga menetapkan aturan-aturan yang harus ditaati, yang disebut Taro Bicarana Sidenreng yang merupakan ketentuan pelaksanaan dari pada Ade Puronrona Sidenreng, yaitu :1. Maluka Taro Ade, Temmaluka Taro Anang, yaitu keputusan adat bisa berubah, tetapi keputusan keluarga tidak dapat dirubah2. Maluka Taro Anang, Temmaluka Taro Maranang, yaitu keputusan keluarga dapat berubah tetapi kesepakatan keluarga besar atau masyarakat tidak dapat dirubahSetelah ditetapkan kebijakan pokok dan aturan hukum tersebut, maka raja, pemangku adat dan masyarakat membuat perjanjian atau ikrar, yang dalam bahasa lontaraq disebut Assijanciangenna Arungnge Sibawa AdeE Neniya PabbanuaE. Adapun ikrar tersebut diucapkan pada saat penobatan Addaowang III Sidenreng La Makkarakka, yaitu sebagai berikut :

IKRAR RAJAE….Sininna PabbanuaE ri Sidenreng, Issengngi Sininna Atoreng Pura RipattentuE Temmakkeinai, Temaakke Amai, Temmakke Anai. Mappenigi-nigi Temmappe Niga-niga.

Page 7: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Adakku Nenniya Eloku Tongeng. Iyami Nade Natongeng Narekko Natumpai AdeEArtinya : Hai semua rakyat Sidenreng ! ketahuilah bahwa semua aturan yang telah ditetapkan, tidak memandang ibu, bapak atau anak, tidak ada pengecualian. Ucapanku dan kehendakku yang benar hanya bisa salah kalau melanggar adat.

IKRAR PEMANGKU ADATMalilu Ipakainge, Rebba Sipatokkong, Mali Siparappa, Tasi Akkoling-kolingeng.. Mauni Massorong Pawo, Nakkasolang ri PabbanuaE Napagilingngi AdeEArtinya : Saling mengingatkan dalam kekeliruan, saling mengangkat bila jatuh, saling memintasi bila hanyut, hubungan baik tetap dipelihara, meskipun kehendak dari atas (Raja), tetapi dapat merusak orang banyak, maka adat harus membetulkan.

IKRAR RAKYATTenri Cacca MupojiE (Raja), Tenri Poji MucaccaE. Anging-ko ki-raukkaju, salokko naki batang. Lompo-lompo mutettongi. Lompo-lompo kilewo-ilewo. Bulu-bulu mulettongi bulu-bulu ki lewo-lewo. Makkedako mutenri bali, mettekko mutenri sumpalaArtinya : Takkan kami tolak yang engkau sukai, takkan kami sukai yang engkau tolak. Ibarat engkau arus, maka kami batang yang hanyut. Jika lembah tempatmu (Raja) berpijak, maka lembah jua yang kami pagari. Jika bukit tempatmu berpijak, maka bukit itu pula yang kami pagari. Perintahmu kami ikuti, sabdamu kami patuhi.

4. We Tipulinge, Addaowang IV, putri dari La Makkarakka5. We Pawawoi, Addaowang V, putri We Tipulinge dengan Manurungnge Bacukiki, La Bangenge6. La Batara, Addaowang VI, putra dari We Pawawoi7. La Pasampoi, Addaowang VII, putra dari La Batara8. La Pateddungi, Addaowang VIII, putra dari La Pasampoi. Raja ini didampingi seorang cendekiawan/penasehat yang bernama La Pagala/Nene Mallomo, yang ahli dalam bidang hukum, pemerintahan dan ekonomi. Ia meninggal Tahun 1654 M di Allakuang. Salah satu mottonya yang menjadi motivasi kerja adalah Resopa Temmangingngi Namollomo Naletei Pammase Dewata9. La Patiroi, Addaowang IX, putra dari La Pateddungi. Pada masa pemerintahan La Patiroi, Tahun 1634 H, sekelompok orang Wani dari Wajo yang meninggalkan daerahnya karena diminta oleh Arung Matoa Wajo untuk memeluk agama Islam, padahal mereka tidak sudi meninggalkan kepercayaan nenek moyangnya. Merekapun minta izin tinggal disekitar Amparita. Oleh La Patiroi menerima permohonan mereka, dengan syarat harus mematuhi Ade Puronrona Sidenreng. Kemudian masyarakat ini diberi nama Tolotang, yang berasal dari kata Tau Lautang, yang berarti orang yang bermukim di sebelah selatan. Sekarang orang menyebutnya Towani Tolotang.10. We Abeng, Tellu Latte I Sidenreng, anak dari La Patiroi. Inilah yang pertama membangun Istana Tellu Latte, yang mungkin dapat dipersamakan dengan sebuah otorita.11. La Makkarakka, Addatuang I Tahun 1634-1671 M, anak dari La Patiroi12. La So’ni Karaeng Massepe, Addatuang II, putra dari La Makkarakka. Raja ini pernah mencatat sejarah berupa hubungan yang baik antara Sidenreng dengan Bone. Pada waktu Raja Bone La Tenri Tatta, Arung Palakka berperang dengan Gowa dibawah pimpinan I Mappaosong Daeng Mangewai Karaeng Be’si, anak dari I Mallombasi Sultan Hasanuddin Tahun 1675 M. Pada waktu itu Bone nyaris kalah karena seorang panglima yang bernama Betta Senrimana Belo gugur dalam perang tersebut. Maka La Tenri Tatta minta bantuan kepada La So’ni dan berhasil mengalahkan Gowa. Atas jasa-jasanya tersebut, maka La Tenri Tatta menghadiahkan sebilah keris kepada La So’ni, yang kemudian La So’ni digelari Lamba

Page 8: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Sidenreng. Keris ini menjadi lambang keperkasaan Sidenreng. Dan sejak itu, Addatuang La So’ni, Lamba Sidenreng diserahterimakan pada setiap peralihan Addatuang sampai pada Addatuang terakhir, yaitu La Cibu. Jadi Lamba Sidenreng menjadi Arajang, simbol pemersatu masyarakat Sidenreng Rappang. Kedekatan La So’ni dengan Raja Bone tersebut mengundang rasa iri anggota Hadat Bone, sehingga ia berusaha menyingkirkan La So’ni dari sisi La Tenri Tatta dengan cara menyebarkan fitnah bahwa La So’ni telah berselingkuh dengan salah seorang istri La Tenri Tatta yang bernama I Sarampa. Hal ini pun sampai ke telinga Raja Bone yang menyebabkan beliau amat murka. Iapun memerintahkan seorang algojonya dari Lise yang bernama Janggo Pance untuk membunuh La So’ni dengan cara memenggal lehernya. Ketika Janggo Pance menyampaikan perintah itu kepada La So’ni, ia pun meminta agar sebelum dibunuh disampaikan dulu pesannya kepada Torisompae (La Tenri Tatta) sebagai berikut : Pauwangngi Puang ri Boneta, engkanaga tolebba pole makkeda cappuni sawung kannae naribattajeng ewangngenge nariroppo wala-walae narilebbo manu katiangnge. Tennaengngerrani siya labela riwettunna tudang caradang-kadang riturungeng massamoe. Salo-salo tenna jongkari, padang-padang tennaliweng, La So’ni-mi Karaeng Massepe betta massola-solai resoi alena mangaru ritengngana padang cukkaE.Maksudnya : sampaikan kepada Raja Bone yang dipertuan, apakah ada orang sirik yang menyampaikan bahwa perang sudah selesai, sehingga ayam laga yang andal hendak dibinasakan. Apakah tidak diingat lagi, ketika menghadapi musuh besar (Gowa), La So’ni-mi Karaeng Massepe sang pemberani tampil dalam peperangan mengamuk ditengah medan laga yang berkecamuk.Akan tetapi Janggo Pance tidak menghiraukan lagi ucapan La So’ni dan ia tetap melaksanakan tugas memenggal leher La So’ni yang teguh memegang adat Polopang-Polopanni Narekko Elona Toriase’ta, yang berarti menerima tanpa syarat kalau itu kemauan/perintah dari Raja.Kepala La So’ni kemudian diantar menghadap Torisompae (La Tenri Tatta). Akan tetapi kepala La So’ni tidak mau menghadap. Tiga kali diputar menghadap namun kembali membelakangi Mankaue. Janggo Pance dan anggota Hadat mulai ketakutan. La Tenri Tatta pun bertanya : Apa gerangan yang terjadi ?. Janggo Pance pun berterus terang bahwa ada pesan almarhum yang tidak dihiraukan. Setelah mendengar pesan La So’ni, maka La Tenri Tatta menjadi amat murka karena mengetahui bahwa La So’ni adalah korban fitnah. Sebagai imbalannya maka Janggo Pance harus dibunuh pula tujuh turunan. La Tenri Tatta kemudian mengantar kepala La So’ni ke Massepe untuk dimakamkan.13. Todani, Addatuang III, sepupu sekali La So’ni14. La Tenri Tatta, Addatuang IV, anak Taranatie dengan We Mappanyiwi, cucu We Abeng, Tellu Latte I15. La Mallewai, Addatuang V, anak dari La Tenri Tippe16. Bau Rukiyah, Addatuang VI, putri dari La Mallewai17. Taranatie, Addatuang VII, anak dari Irukiya dengan Toaggamette18. Towappo, Addatuang VIII, saudara kandung Taranatie19. La Wawo, Addatuang IX, anak dari Towappo, Matinroe ri Soreang pada 1837 M.20. La Panguriseng, Addatuang X/Arung Rappang XIX, anak dari Muhammad Arsyad Petta Cambangnge21. Sumangerukka, Addatuang XI, 1889-1904 M, anak dari La Panguriseng dengan I Bangki, Arung Rappang XVIII22. La Sadapotto, Addatuang XII, 1904-1906, saudara kandung Sumangerukka23. La Cibu, Addatuang XIII dan terakhir, anak dari La Sadapotto

(selain la Cibu...anak2 dari La sadapotto (addatuang Sidenreng XII ) adalah antara lain Besse

Page 9: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

bulo (istri dr A.Mappanyukki-Arungpone=ortu dari bau massepe), arung malluse tasik, arung Sawitto, arung baranti dan H.Andi Oddang (bapak dari andi Patawari petta Pata) dll

Sureq La Galigo Bukan Karya Sastra Bugis

Tahukah anda atau masih ingatkah anda pernyataan dari Muh. Salim - salah seorang penerjemah Sureq La Galigo bahwa Kitab tersebut berbahasa Proto Bugis (Bugis Kuno) bercampur bahasa Sansekerta. Dan menurutnya, hanya tersisa kurang lebih 100 orang saja di Sulawesi Selatan yang mengerti bahasa tersebut. Olehnya itu Muh. Salim butuh waktu 5 tahun 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahan yang seluruhnya berjumlah 300.000 baris yang terbagi dalam 36 Bab itu. (dikutip dari catatan Ashari Thamrin)

Dari pernyataan Salim ini, lantas muncul pertanyaan dalam hati, Pertama, kalau Kitab tersebut berbahasa Bugis, tentu Salim hanya butuh waktu sebulan atau paling tidak 2 sampai 3 bulan untuk menyelesaikan terjemahannya. Tapi ternyata tidak. Salim yang berdarah bugis dan lancar berbahasa bugis ternyata butuh waktu lama dan kesulitan menerjemahkan Kitab tersebut. Kedua, bagaimana hal itu bisa ada (sebagaimana Muh. Salim katakan) sedangkan selama ini kita semua mengetahui dan meyakini bahwa Lontara Bugis adalah merupakan pengembangan dari Aksara Lontara Makassar...?

Untuk mendapatkan jawaban pertanyaan kedua diatas saya mencari literatur yang bisa menjawab hal itu, berkat panduan seorang teman sayapun mendapatkan literatur tersebut setelah menelusuri Genesis bahasa Austronesia, bahwa bahasa yang merupakan turunan terakhir di Sulawesi Selatan adalah bahasa Mandar dan Bugis. Kedua bahasa ini diturunkan dari bahasa Wolio (Buton). Bahasa Wolio sendiri adalah turunan dari bahasa Makassar. Tidak berhenti disitu, saya pun coba mencari literatur yang lain, tanpa sengaja sambil membaca buku "Lontara Makassar" yang ditulis oleh Drs. Syarifuddin Kulle dan Zainuddin Tika, SH mendapatkan bahwa Lontara Makassar (Lontara pertama/ Lontara Jangang-Jangang) ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara SANGSEKERTA. Berikut kutipannya "Saat kebingungan itu, muncullah ide dari Daeng Pamatte yang saat itu menjabat sebagai syahbandar (sabannara) dermaga Somba Opu. Ia memperhatikan burung-burung dari berbagai gaya, baik gaya terbang, berdiri. dari hasil pengamatan terciptalah 18 aksara. Lontara itu kemudian dikenal dengan istilah Lontara Jangang-Jangang (Jangang-jangang = burung). (Monografi kebudayaan Makassar di Sulawesi Selatan, 1984 : 10). Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa Lontara Jangang-Jangang ini tercipta karena pengaruh dari pola bunyi dan aksara Sangsekerta (A. Moein MG, 1990 : 14)". Dari tulisan A. Moein ini, sayapun mencari bukti kebenarannya, Alhamdulillah... saya pun mendapatkannya, betul bahwa Aksara Pallawa pun tersebut mempunyai jumlah 18 aksara berikut bunyinya sama dengan Lontara Mangkasara (Lontara Jangang-Jangang ciptaan Daeng Pamatte'). Sejarah lahirnya Lontara Makassar inilah yang dimaksud oleh Salim, jadi sangatlah salah kalau Salim mengatakan bahwa bahasa asli dari Sureq Lagaligo itu bercampur dengan Aksara Sangsekerta.

Lalu apa alasan Salim menutupinya dengan “Proto Bugis” bercampur bahasa Sangsekerta dan hanya tersisa 100 orang saja yang mengerti...? Hanya Allah dan dia saja yang tahu. Belum puas sampai disitu. bahwa untuk benar-benar memastikan Kitab Lagaligo itu bukan berbahasa Bugis, tapi berbahasa lain, maka yang harus saya lakukan adalah melihat langsung Kitab tersebut ke Perpustakaan Leiden Belanda. Jelas, suatu hal yang belum mampu saya lakukan sendiri, mengingat keterbatasan dalam hal finansial dan kapasitas keilmuan. Tapi tidak berhenti disitu, sayapun berusaha untuk mencari keterangan lain, mungkin saja ada

Page 10: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

keterangan lain yang bisa lebih menguatkan keyakinan saya. Dan benar saja, saya menemukan sebuah keterangan dari Prof. DR. Ahmad M. Sewang, M.A melalui bukunya yang berjudul ISLAMISASI KERAJAAN GOWA, ditulis bahwa B.F. Matthes pada tahun 1883 menghimpun Lontara Pattorioloang dan Lontara Latoa milik Gowa Tallo, Lontara Pattorioloang ini selanjutnya diberi judul Makassaarche Crestomathie, dan disebutkan pula bahwa dalam menggunakan jenis Lontara ini diperlukan kehati-hatian, sebab sebagian bercampur mitos, hal 11 dan 12)* Dari semua inilah yang membuat keyakinan saya menjadi bulat bahwa Lontara asli yang di tulis ulang oleh Collieq Pujie bersama Matthes sebagaimana kita ketahui bersama, diatas kertas papirrus yang lebih dikenal dengan nama Sureq La Galigo yang menjadi tanda tanya besar selama ini bagi masyarakat, adalah Lontara Pattorioloang milik Gowa Tallo dengan kata lain Sureq La Galigo adalah KARYA SASTRA MAKASSAR.

Perubahan Dari Zaman Logam

Kerajaan-kerajaan awal Bugis mengikut teks La Galigo

Permulaan sejarah Bugis lebih kepada mitos dari sejarah lojik. Di dalam teks La Galigo, populasi awal adalah terhad dan terletak di persisiran pantai dan tebing sungai dan penempatan ini dihubungi dengan pengangkutan air. Penempatan di tanah tinggi pula didiami oleh orang Toraja. Penempatan-penempatan ini bergantung kepada salah satu daripada tiga pemerintahan iaitu Wewang Nriwuk, Luwu’ dan Tompoktikka. Walaubagaimanapun, pada abad ke 15, terdapat kemungkinan penempatan awal tersebar di seluruh Tana Ugi, malahan jauh ketengah hutan dimana tidak dapat dihubungi melalui pengangkutan air. Mengikut mitos, terdapat migrasi yang ingin mencari tanah baru untuk didiami. Implikasi penempatan ditengah-tengah hutan ini ialah perubahan fizikal hutan, dimana hutan-hutan ditebang dan proses diteruskan sehingga abad ke20.

Teknik Dan Perbedaan Ekonomi

Penebangan hutan ini mungkin seiring dengan pembuatan besi untuk membuat alat-alat tertentu seperti kapak. Malahan, pemerintah pertama (mengikut sejarah) kerajaan Bone memakai gelaran ‘Panre Bessi’ atau ‘Tukang Besi’. Selain itu, terdapat juga hubungan yang cukup rapat diantara pemerintah Sidenreng dengan penduduk kampung Massepe, tempat penumpuan pembuatan alatan besi oleh orang Bugis dan tempat suci dimana ‘Panre Baka’

Page 11: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

(’Tukang Besi Pertama’) turun dari Syurga/Langit. Walaubgaimanapun, sesetengah mengatakan ‘Panre Baka’ berasal dari Toraja.

Satu lagi inovasi yang diperkenalkan ialah penggunaan kuda. Walaupun tidak disebut di dalam teks La Galigo, menurut sumber Portugis, pada abad ke16, terdapat banyak penggunaan kuda di kawasan gunung. Maka, inovasi ini mungkin diperkenalkan antara abad ke 13 dan abad ke 16. Maksud kuda di dalam Bahasa Bugis , ialah ‘anyarang’ (Makassar: jarang), cukup berbeza dengan Bahasa Melayu, malahan ianya diambil dari Jawa ( ‘jaran’ ). Perkataan ini mungkin digunakan pada abad ke14, ketika Jawa diperintah oleh Majapahit.

Pertambahan penduduk memberi kesan kepada teknik penanaman padi. Teknik potong dan bakar digantikan dengan teknik penanaman padi sawah. Penanaman padi sawah terang-terangan diimport kerana penyuburan sawah (plough) di dalam Bahasa Bugis ialah ‘rakalla’ berasal dari perkataan ‘langala’ yang digunakan hampir seluruh Asia Tenggara, contohnya Cam, ‘langal’, Khmer, angal dan Bahasa Melayu, tengala. Teknik ‘rakalla’ ini digunakan di India dan sebahagian Asia Tenggara, manakala sebahagian lagi daripada Asia Tenggara diambil dari China. Ini sekaligus membuktikan wujudnya perhubungan diantara Sulawesi Selatan dengan bahagian barat Asia Tenggara selain Jawa.

Perubahan di dalam bidang ekonomi berhubung kait dengan pertambahan penduduk di tangah-tengah benua. Pada mulanya, sumber ekonomi majoriti populasi Bugis ialah penanaman padi manakala golongan elit mengawal sumber-sumber asli dari hutan, perlombongan dan sumber-sumber dari laut. Sumber-sumber asli ini mendapat permintaan dari luar Sulawesi dan ini membolehkan golongan elit memperdagangkan sumber-sumber ini dan membolehkan mereka membeli barang-barang mewah dari luar seperti seramik China, Sutera India, cermin etc. Walaubagaimanapun, pengawalan pertanian oleh golongan elit masih memainkan peranan penting ketika itu.

Perubahan Sosio-Politik

Implikasi terakhir dari penyebaran etnik Bugis keseluruh Sulawesi Selatan ialah perubahan didalam politik. Kerajaan-kerajaan lama Bugis iaitu Luwu’, Sidenreng, Soppeng dan Cina (kemudiannya menjadi Pammana) masih berkuasa tetapi mungkin terdapat pembaharuan didalam pentadbiran ataupun pertukaran dinasti. Kuasa-kuasa kecil muncul di penempatan-penempatan baru ( ‘wanua’ ) dan diperintah oleh seorang ketua digelar ‘matoa’ atau ‘arung’. Sesetengah penempatan awal ini (tidak disebut didalam La Galigo) seperti Bone, Wajo dan Goa kemudiannya menjadi kerajaan-kerajaan utama.

Walaubagaimnapun, sesetengah kerajaan yang disebut di dalam teks La Galigo seperti Wewang Nriwu’ dan Tompoktikka ‘hilang’ di dalam rekod sejarah, dan ini menyebabkan sesetengah sejarahwan percaya bahawa kerajaan-kerajaan ini tidak wujud sama sekali.

Kontranya, terdapat perubahan didalam sosio-politik yang nyata di permulaan teks sejarah iaitu wujudnya satu perhubungan kontrak di antara pemerintah dan pa’banua (rakyat negeri tersebut yang merupakan orang kebanyakkan.) Di dalam masyarakat awal, keselamatan dan sumber pendapatan penduduk (seperti mendirikan rumah, memberi kerja dan membekalkan keperluan tertentu) merupakan tanggungjawab pemerintah. Situasi ini berbeza sekali seperti di dalam teks La Galigo di mana pemerintah tidak perlu membekalkan apa-apa kepada penduduk.

Page 12: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Perubahan Agama

Kesinambungan dari zaman logam diteruskan di dalam bidang keagamaan. Bissu (bomoh) kekal menjadi elemen penting di dalam hal-hal keagamaan sebelum kedatangan Islam. Perubahan di dalam bidang keagamaan ialah pembakaran mayat dan debu bagi orang-orang terpenting di simpan di dalam tempat penyimpanan debu (bersaiz seperti labu) manakala tempat pembakaran mayat disebut Patunuang. Walaubagaimanapun, pembakaran mayat terhad kepada tempat-tempat tertentu. Menurut sumber Portugis, Makassar mengekalkan teknik penanaman mayat dan Toraja pula membiarkan mayat reput di gua-gua.

Pemerintah-pemerintah awal pula tidak ditanam mahupun dibakar dan mereka dikatakan ‘hilang’, bermaksud kembali ke syurga. Menurut sumber, mayat-mayat pemerintah awal dibiarkan bersandar di pokok reput sehingga tinggal tulang. Mayat bayi pula di tenggelamkan di sungai ataupun laut.

Kerajaan-Kerajaan Awal Bugis

Di akhir abad ke 15, Luwu’, yang dianggap sebagai ketua bagi komuniti Bugis, mendominasi kebanyakkan kawasan di Tana Ugi termasuklah tebing Tasik Besar, sepanjang sungai Welennae, tanah pertanian di sebelah timur, sepanjang persisiran pantai yang menghadap Teluk Bone, Semenanjung Bira, Pulau Selayar dan Tanjung Bataeng. Walaubagaimanapun, kerajaan ini mula menghadapi tentangan dari kerajaan-kerajaan lain di sekitarnya.

Situasi Politik Di Akhir Abad ke 15

Pada awal abad ke 15, Luwu’ menguasai Sungai Cenrana yang menghubungi Tasik Besar. Penempatan Luwu’ pula terletak di muara sungai Cenrana, manakala di hulu sungai pula terdapat beberapa kerajaan kecil. Luwu’ cuba mengekalkan pengaruhnya di bahagian barat, di jalan perhubungan antara Selat Makassar dan Sungai Cenrana melalui Tasik Besar, untuk mengawal perdagangan sumber-sumber asli di sebelah barat, mineral dari pergunungan Toraja dan sumber pertanian sepanjang Sungai Welennae. Walaubagaimanapun, Sidenreng, terletak di bahagian barat Tasik Besar telah memilih untuk berlindung di bawah Soppeng. Pada masa yang sama, Sawitto’, Alitta, Suppa’, Bacukiki’ dan Rappang, juga terletak di sebelah barat telah membentuk satu konfederasi dinamakan ‘ Aja’tappareng ‘ (tanah disebelah barat tasik) sekaligus menyebabkan Luwuk hilang pengaruh di atas kawasan ini.

Malahan, sesetengah penempatan-penempatan Bugis mula enggan berada dibawah pemerintahan Luwu’. Di hulu Sungai Cenrana pula, kerajaan Wajo’ sedang membangun dan mula menyebarkan pengaruhnya untuk mengawal kawasan sekelilingnya. Manakala pemerintah-pemerintah di kawasan sekeliling Wajo’ pula di gelar ‘Arung Matoa’ bermaksud Ketua Pemerintah. Sekitar 1490, salah seorang dari pemerintah ini membuat perjanjian dengan Wajo’, dan sekaligus meletakkan Luwu’ dibawah pengaruh Wajo’. Pada tahun 1498 pula, penduduk Wajo’ melantik Arung Matoa Puang ri Ma’galatung, seorang pemerintah yang disegani oleh orang Bugis, dan berjaya menjadikan Wajo’ sebagai salah satu kerajaan utama Bugis.

Di sebelah selatan pula, Bone, di bawah pemerintahan Raja Kerrampelua, sedang meluaskan sempadannya di kawasan pertanian sekaligus membantu ekonomi Bone, menambah kuasa buruh dan kuasa tentera.

Page 13: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Penempatan Bugis yang disebut di dalam La Galigo kini terletak di bawah pengaruh kerajaan-kerajaan yang membangun. Soppeng pula terperangkap di antara Sidenreng, Wajo’ dan Bone manakala penempatan di tanah tinggi cuba keluar dari pengaruh Luwu’ dan pada masa yang sama ingin mengelakkan pengaruh kerajaan-kerajaan yang sedang membangun.

Kejatuhan Luwu

Tempoh antara 1500 dan 1530 menyaksikan kerajaan Luwu’ mula merosot. Ketika itu, Luwu’ diperintah oleh Dewaraja, seorang pahlawan yang hebat. Didalam pertemuan diantara Dewaraja dan Arung Matoa Puang ri Ma’galatung pada tahun 1508, Dewaraja bersetuju untuk menyerahkan kawasan-kawasan di sepanjang Sungai Cenrana kepada Wajo’ sebagai pertukaran Wajo’ hendaklah membantu Luwu’ menguasai Sidenreng dimana Sidenreng berjaya dikuasai oleh Luwuk dan Sidenrang terpaksa menyerahkan kepada Wajo’ kawasan timur laut dan utara Tasik Besar.

Pada tahun 1509, Luwu’ menyerang Bone untuk menyekat kuasa Bone tetapi ketika itu, Bone sudah pun menjadi sebuah kerajaan yang kuat dan tentera Luwuk mengalami kekalahan. Malahan Dewaraja, walaupun berjaya melarikan diri, hampir dibunuh jika tidak kerana amaran pemerintah Bone kepada tenteranya untuk tidak ‘menyentuh’ ketua musuh Bone. Walaubagaimanapun, Payung Merah milik Luwu’ yang menjadi simbol ketuanan tertinggi berjaya dimiliki Bone sekaligus mengakhiri ketuanan Luwu’ di negeri-negeri Bugis. Walaubagaimanapun, ketuanan Luwu’ masih disanjung tinggi dan dihormati oleh kerajaan-kerajaan lain di Sulawesi Selatan. Bila penggantinya Dewaraja mangkat, Wajo’ menyerang Luwu’ dan meluaskan pengaruhnya di daerah-daerah Luwu’. Ini membolehkan Wajo’ menguasai beberapa kawasan-kawasan yang strategik.

Kemunculan Makassar

Pada masa yang sama, berlakunya peristiwa-peristiwa penting di sebelah barat dan selatan Sulawesi Selatan. Siang ketika itu masih lagi menjadi kuasa utama di persisiran barat Makassar dan Bantaeng (ketika itu dibawah penagruh Luwu’) di sebelah selatan manakala terdapat dua penempatan Makassar iaitu Goa dan Tallo’ yang mula membangun dan meluaskan pengaruh mereka.

Mengikut sumber yang diragui kesahihannya, Goa dan Tallo’ pada mulanya adalah satu negeri. Pada sekitar abad ke 15, Raja Tunatangka’lopi membahagikan kawasan itu kepada dua orang puteranya menjadi Goa dan Tallo’. Terdapat juga kisah yang lain di mana dibawah Raja Daeng Matanre’ (1510-1547), suatu pejanjian telah dibuat. Mengikut perjanjian tersebut, Goa dan Tallo’ akan menjadi kerajaan kembar, di mana terdapat dua pemerintah tetapi satu kerakyatan. Sesiapa yang cuba menentang perjanjian ini akan dihukum oleh Tuhan. Peristiwa ini mengikut Bulbeck(’History Archeology’:117) berlaku selepas 1535. Peta Sulawesi yang dilukis Portugis pertama kali pada tahun 1534 tidak menyentuh tentang Goa, dan hanya memeta ‘Siom”(Siang), ‘Tello’(Tallo’) dan ‘Agacim’(Garassi’). Mengikut penulisan Antonio de Paiva, Goa, (di mana didalam penulisannya merujuk kepada Bandar Besar) yang kemudiannya muncul di peta Portugis, sebelumnya dianggap di bawah pengaruh Siang. Sebaliknya kerajaan Tallo’ yang dibawah pengaruh Siang dan kemudiannya dibawah pengaruh Goa. Goa kemudiannya menguasai Garassi’, sebuah pelabuhan yang menghubungkan Jawa, sekaligus membolehkan Goa mengawal perdagangan laut.

Page 14: Sejarah Masuknya Islam Di Tana Luwu

Permualaan sejarah Goa dan Tallo’ berlaku di akhir abad ke 15, tetapi laporan mengenai peristiwa-peristiwa yang berlaku di kedua-dua kawasan itu masih tidak jelas. Polisi perluasan kuasa mungkin bermula ketika zaman pemerintahan Raja Daeng Matenre, Goa, dan berterusan selama dua abad selepasnya. Antara daerah-daerah yang dikuasainya ialah Bajeng, sekutu-sekutu Tallo’, kawasan-kawasan di bawah pengaruh Bantaeng dan Gantarang.

Kejayaan kerajaan kembar ini, lebih dikenali dikalangan pedagang asing sebagai sebuah ‘negara’ digelar Makassar. Ianya boleh dikatakan satu gabungan yang bijak di mana pemerintah Goa meneruskan penguasaan wilayah manakala pemerintah Tallo’, yang mendapati potensi Makassar sebagai pelabuhan yang berjaya, menumpukan bahagian perdagangan. Ini kemudiannya menjadikan Makassar salah satu kuasa yang kuat di Sulawesi Selatan.

Kemangkatan Dewaraja, pemerintah Luwuk, menyebabkan berlakunya perbalahan dinasti. Daeng Mantare membantu Bone menawan Luwuk di mana ketika itu pemerintahan Luwuk dituntut oleh Sanggaria. Pada sekitar tahun 1535, Sanggaria kemudiannya mendapatkan perlindungan di Wajo’. Kesempatan ini direbut oleh Bone dan Goa di mana Luwuk kemudiannya terpaksa menandatangani perjanjian mengakui kekalahannya dan akan menyertai Goa, Bone dan Soppeng menentang Wajo’ atas tindakan Wajo’ yang bersifat neutral ketika peperangan berlaku. Ini menyebabkan Wajo’ terpaksa menukar ikrar setianya dari Luwu kepada Goa. Sanggaria kemudiannya dibenarkan menjadi raja Luwu tanpa kuasa.