selamat datang tahun masyarakat ekonomi asean (asrul sidiq).docx

5
Selamat Datang Tahun Masyarakat Ekonomi ASEAN Oleh Asrul Sidiq ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) atau dalam bahasa Indonesianya sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau Komunitas Ekonomi ASEAN menjadi isu yang hangat di seluruh antero Asia Tenggara termasuk di Aceh. AEC 2015 yang akan kita hadapi di Desember 2015 merupakan hasil dari Cebu Declaration on Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015 yang ditandantangani pada KTT-ASEAN ke 12. Secara khusus, para pemimpin sepakat untuk mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan kawasan ASEAN menjadi suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih terampil. Menarik melihat sejauh mana sudah kemampuan Aceh sebagai suatu Provinsi untuk dapat berkompetisi dan berkolaborasi dengan kawasan lain dalam meningkatkan perekonomiannya. Sebelum melihat skala Asia Tenggara, kita dapat melihat dalam skala yang lebih kecil yaitu terkait hubungan dan daya saing perekonomian Aceh dengan provinsi di luar Aceh seperti Sumatera Utara. Berdasarkan rilis Bank Indonesia di Harian Serambi Indonesia (8 Agustus 2014) disebutkan bahwa sampai dengan triwulan II 2014, jumlah uang yang beredar di Aceh mencapai Rp 2,8 Triliun. Tetapi

Upload: asrul-sidiq

Post on 08-Nov-2015

17 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

ASEAN Economic Community (AEC) 2015. Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) 2015

TRANSCRIPT

Selamat Datang Tahun Masyarakat Ekonomi ASEANOlehAsrul Sidiq

ASEAN Economic Community 2015 (AEC 2015) atau dalam bahasa Indonesianya sering disebut dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN atau Komunitas Ekonomi ASEAN menjadi isu yang hangat di seluruh antero Asia Tenggara termasuk di Aceh. AEC 2015 yang akan kita hadapi di Desember 2015 merupakan hasil dari Cebu Declaration on Acceleration of the Establishment of an ASEAN Community by 2015 yang ditandantangani pada KTT-ASEAN ke 12. Secara khusus, para pemimpin sepakat untuk mempercepat pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN pada tahun 2015 dan mentransformasikan kawasan ASEAN menjadi suatu kawasan dimana terdapat aliran bebas barang, jasa, dan tenaga kerja terampil, serta aliran modal yang lebih terampil.

Menarik melihat sejauh mana sudah kemampuan Aceh sebagai suatu Provinsi untuk dapat berkompetisi dan berkolaborasi dengan kawasan lain dalam meningkatkan perekonomiannya. Sebelum melihat skala Asia Tenggara, kita dapat melihat dalam skala yang lebih kecil yaitu terkait hubungan dan daya saing perekonomian Aceh dengan provinsi di luar Aceh seperti Sumatera Utara.

Berdasarkan rilis Bank Indonesia di Harian Serambi Indonesia (8 Agustus 2014) disebutkan bahwa sampai dengan triwulan II 2014, jumlah uang yang beredar di Aceh mencapai Rp 2,8 Triliun. Tetapi dari jumlah tersebut hanya sebesar Rp 588 Miliar yang ditransaksikan di Aceh. Sisanya Rp 2,1 Triliun atau sekitar 75 persennya ditransaksikan ke luar Aceh. Hal ini diakibatkan oleh banyaknya uang yang keluar dari Aceh dimana banyak orang Aceh membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perekonomian Aceh masih belum sehat dan belum kompetitif.

Saat ini Aceh mendapatkan dana otonomi khusus dalam rentang waktu terbatas yaitu dari tahun 2008 sampai tahun 2027. Dana otonomi khusus inilah yang saat ini menjadi sumber utama dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh. Aceh masih sangat bergantung dengan dana otonomi khusus dalam pembiayaan pembagunan. Dana otonomi khusus mengambil peran lebih dari 50 persen dalam APBA. Sementara peran Pendapatan Asli Aceh (PAA) sendiri dalam APBA masih sangat kecil yaitu kurang dari 10 persen total APBA. Diperlukan munculnya sektor-sektor ekonomi yang potensial dan produktif di Aceh sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.

Selain masalah di atas, seorang ekonom senior dari Australian National University Chris Manning mengungkapkan bahwa salah satu permasalahan utama yang dihadapi Aceh saat ini adalah pengangguran dikalangan pemuda. Tingkat pengangguran usia muda di Aceh berada cukup jauh di atas rata-rata tingkat pengangguran usia muda di Indonesia. Hal ini terjadi karena kurangnya sektor-sektor ekonomi produktif yang dapat menyerap lapangan kerja. Seperti kita ketahui bahwa sektor minyak bumi dan gas alam yang menjadi andalan Aceh selama ini terus berkurang. Aceh harus segera dapat menemukan sektor-sektor ekonomi produktif baru yang dapat mendorong perekonomian. Aceh memiliki banyak potensi dari sektor pertanian, perikanan, pertambangan, dan potensi sumber daya alam lainnya. Namun hal tersebut menjadi sia-sia jika tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Hal ini juga yang mengakibatkan masih banyaknya orang Aceh membelanjakan uangnya di luar Aceh untuk memenuhi berbagai kebutuhan.

Menghadapi AEC 2015, dibutuhkan sumber daya manusia Aceh yang inovatif dan kreatif sebagai pondasi utama dalam pembangunan Aceh kedepan. Hal ini tentunya dapat menjadi solusi utama mengatasi permasalahan pengangguran terutama di kalangan pemuda. Sejauh ini pemuda Aceh masih sangat terpaku pada pekerjaan PNS dan pekerjaan-pekerjaan yang dekat dengan akses dana ke APBA. Seolah-olah kalau belum PNS maka belum bekerja. Kalau belum menjadi kontraktor maka belum menjadi pengusaha.

Pola pikir untuk dapat menciptakan lapangan kerja dari berbagai potensi pasar yang ada harus dibudayakan. Kalau kita tidak siap, maka Indonesia dan Aceh khususnya akan menjadi pihak yang dirugikan. Masyarakat kita harus mempersiapkan diri untuk dapat bersaing dalam kancah nasional bahkan global. Sumber daya manusia yang berjiwa inovasi dan kreativitaslah yang dapat menjadi garda terdepan dalam persaingan secara nasional dan global ini. Keunggulan bersaing dan penentu pertumbuhan bukan lagi semata-mata hanya berbasiskan pada pengetahuan, tetapi kreativitas.

Kondisi Perpolitikan dan Pembangunan EkonomiPerekonomian dan perpolitikan memiliki keterkaitan yang sangat erat. Pengamat politik Fachry Ali dalam seminar nasional yang diadakan di UIN Ar-Raniriy pada tanggal 20 Agustus 2014 mengatakan bahwa pasca perjanjian damai di Helsinki, terjadi pertumbuhan lebih banyak kelas menengah atas serta super elite Aceh daripada kelas menengah profesional Aceh dan kelas pedagang yang ada saat ini (Serambi Indonesia, 21 Agustus 2014).

Fachry juga mengungkapkan bahwa dengan proses seperti ni maka akan sangat sulit muncul kelas masayarakat manufaktur dan industri di Aceh. Kelas manufaktur dan industri di Aceh ini sangat penting dalam mendorong pembangunan perekonomian di Aceh. Fachry Ali juga menyebutkan bahwa akibat dari pertumbuhan lebih banyak kelas super elite ini juga melahirkan kelas masyarakat konsumtif dimana perputaran uang di Aceh tidak sehat, karena sebagian pendapatan dikuasai oleh kelas masyarakat yang didominasi kaum romantisme yang didapat dari sektor tidak produktif.

Untuk itu perlu dibangun budaya kreatif melalui penanaman pikiran kritis, yaitu pikiran yang selalu kritis terhadap apa yang telah ada, untuk menemukan sesuatu yang baru. Selain itu kita juga perlu membangun budaya produktif, yaitu hasrat untuk meneliti, merancang, menciptakan, membuat, dan memproduksi sesuatu, bukan sekedar menggunakan, mengimpor, dan mefngkonsumsi apa-apa yang telah disediakan. Budaya konsumtif yang lahir dari kalangan yang saat ini telah sangat merasuk di dalam masyarakat Aceh ini sebaiknya ditransformasikan ke dalam budaya produktif. Diperlukan perubahan fundamental pada sistem yang lebih mendorong kreativitas, perubahan struktur ekonomi dan industri yang menghargai nilai inovasi, dan perubahan struktur kepemerintahan yang mendorong ke arah cara berpikir yang kreatif.

Asrul SidiqProgram Manager di International Centre for Aceh and Indian Ocean Studies (ICAIOS)[email protected]