sentuhan industri variatif untuk mengembalikan kejayaan rempah indonesia

41
SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA (Tugas Akhir Mata Kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah dan Fitofarmaka) Oleh Muhammad Ariadi E1F107005 TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS PERTANIAN

Upload: ariadeemuhammad

Post on 29-Jun-2015

635 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN

KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

(Tugas Akhir Mata Kuliah Teknologi Minyak Atsiri, Rempah dan Fitofarmaka)

Oleh

Muhammad Ariadi E1F107005

TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT

BANJARBARU

2009

Page 2: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN

KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Rempah Indonesia. Indonesia terkenal dengan negara yang kaya akan

hasil rempah-rempah sampai-sampai disebut dengan Spice Island Country, maka

tidak heran jika negara tropis ini menjadi rebutan bangsa lain. Tanaman rempah

tersebar di seluruh wilayah nusantara, yang mana terdapat 40 jenis dari 100 jenis

tanaman rempah yang ada di dunia (Datin, 2007). Rempah-rempah merupakan

barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial. Banyak rempah-

rempah dulunya digunakan dalam pengobatan. Rempah-rempah merupakan salah

satu alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan

Maluku. Rempah-rempah ini pula yang menyebabkan Belanda kemudian

menyusul ke Maluku (Hakim, 2008). Namun, ketika kemerdekaan sudah

dinikmati selama 62 tahun, kejayaan rempah-rempah malah memudar.

Pemerintah mengakui hingga saat ini daya saing rempah Indonesia masih

sangat rendah dibanding negara-negara tetangga di kawasan ASEAN. Menteri

Pertanian, Anton Apriyantono mengatakan, Indonesia belum mampu bersaing

dengan negara lain seperti India, Malaysia, Thailand maupun Vietnam yang relatif

lebih baru dalam mengenal rempah. Kini kita masih harus mengimpor beberapa

jenis rempah untuk memenuhi konsumsi dan bahan baku industri dalam negeri.

Permintaan produk rempah semakin meningkat baik untuk konsumsi dalam negeri

maupun luar negeri dalam volume dan persyaratan mutu. Namun, produksi,

produktivitas dan mutu rempah Indonesia justru belum mampu memenuhi

tuntutan tersebut (Anonim1, 2007).

Anton mengatakan, dari komoditas rempah seperti lada, pala, vanili dan

kayu manis diperkirakan Indonesia memperoleh devisa sebanyak 300 juta dolar

AS per tahun. Khusus untuk cengkeh, tambahnya, bahkan pada 2006 mampu

menghasilkan cukai rokok sebesar Rp37,7 triliun (Anonim1, 2007).

Pengembangan rempah nasional tidak secepat komoditas utama

perkebunan lain seperti kelapa sawit, karet dan kakao, bahkan cenderung

mendapat tekanan dan saingan dari negara produsen rempah lain. Posisi lada

Indonesia saat ini, menurut dia, menduduki urutan ketiga setelah Vietnam dan

Page 3: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

India, sementara pala disaingi Grenada, bahkan untuk vanili menunjukkan

kemunduran dengan penurunan harga sejak 2003 sedangkan cengkih ada

kecenderungan Indonesia kembali mengimpor jika tidak dilakukan upaya

pembenahan. Dari segi mutu, produk rempah Indonesia masih tetap sebagai

produk primer sementara diversifikasi produk belum berkembang. Oleh karena

itu, perkembangan rempah ke depan perlu mendapat perhatian serius (Anonim1,

2007).

Departemen Pertanian (Deptan) siap mengembangkan lima komoditas

rempah unggulan, yakni lada, cengkeh, pala, vanili, dan kayu manis hingga tahun

2025. Dalam laporan Ditjen Perkebunan bertajuk "Kebijakan Pengembangan

Rempah Indonesia", disebutkan saat ini produktivitas rempah Indonesia sangat

rendah yakni 40--60% dari potensi yang ada. Rendahnya produktivitas ini karena

sebagian tanaman rusak atau tua dan tidak produktif serta belum menggunakan

benih unggul dan permodalan petani yang kurang sehingga mereka tidak bisa

melakukan pemeliharaan dengan baik (Lampung Post, 2007).

Upaya pengembangan rempah tersebut terutama untuk meningkatkan

produktivitas. Pengembangan rempah tersebut terdiri dari intensifikasi dan

rehabilitasi (peremajaan) tanaman yang terbagi dalam dua periode yakni 2007-

2010 dan 2011-2025. Selama periode 2007-2010, pengembangan lada

direncanakan seluas 100 ribu hektare (ha), cengkeh 160 ribu ha, pala 20 ribu ha,

vanili 12 ribu ha, dan kayu manis 24 ribu ha. Untuk mencapai target produksi

tersebut, beberapa langkah yang akan dilakukan yakni pembangunan dan

pengembangan sumber benih yang disesuaikan dengan keunggulan lokal,

kemudian pengendalian hama, penyakit, dan penerapan praktek pertanian yang

baik atau good agriculture practices (GAP) (Lampung Post, 2007).

Prospek Industri Oleoresin. Indonesia telah lama dikenal sebagai negara

penghasil rempah-rempah yang sangat berguna sebagai pemberi citarasa atau

bumbu, di samping itu banyak juga digunakan sebagai jamu dan kosmetik serta

dunia kesehatan. Sifat tersebut disebabkan kandungan zat aktif aromatis di

dalamnya yang apabila diekstrak dengan pelarut tertentu atau dengan

penyulingan, akan menghasilkan oleoresin. Oleoresin merupakan campuran antara

resin dan minyak atsiri yang dapat diekstrak dari berbagai jenis rempah. Baik

Page 4: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

rempah yang berasal dari buah, biji, daun, kulit maupun rimpang, antara lain jahe,

lada, cabe, kapulaga, kunyit, pala, vanili dan kayu manis (Abubakar et al, 2007).

Oleoresin juga dapat diperoleh dari hasil samping dan limbah pengolahan

rempah-rempah, ataupun ampas sisa penyulingan minyak atsiri. Oleh karena itu

pengolahan oleoresin sebaiknya merupakan usaha terpadu dengan pengolahan

minyak atsiri. Di samping itu bila ekstraksi oleoresin dilakukan sesudah

penyulingan minyak atsiri, maka kehilangan minyak atsiri pada waktu proses

penguapan pelarut yang masih terkandung dalam oleoresin dapat ditekan

(Abubakar et al, 2007).

Indonesia merupakan salah satu negara produsen dan pengekspor rempah-

rempah utama di dunia. Oleh karena itu, bahan baku oleoresin, baik berupa

rempah-rempah, hasil samping ataupun limbah pengolahan rempah-rempah,

tersedia cukup melimpah dan kontinyu. Potensi ini memungkinkan

dikembangkannya industri oleoresin di Indonesia, meskipun untuk usaha tersebut

masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai potensi bahan baku, baik jenis,

kuantitas maupun kualitasnya, aspek teknik produksi dan alih teknologi, aspek

manajerial dan tenaga kerja, aspek pemasaran serta kaitannya dengan

perkembangan perekonomian setempat (Abubakar et al, 2007).

Sampai saat ini penggunaan oleoresin sangat luas. Oleoresin dan minyak

atsiri rempah-rempah banyak digunakan dalam industri makanan, minuman,

farmasi, flavor, parfum, pewarna dan lain-lain. Oleoresin dalam industri pangan

banyak digunakan sebagai pemberi cita rasa dalam produk-produk olahan daging,

ikan dan hasil laut lainnya, roti, kue, puding, sirup, saus dan lain-lain. Penggunaan

oleoresin yang makin meluas telah mengakibatkan diproduksinya oleoresin dalam

berbagai bentuk olahan yang siap pakai (Abubakar et al, 2007).

Produk-produk tersebut antara lain dispersed spices, fat-based spices dan

encapsulated spices. Dispersed spices dibuat dengan mendispersikan oleoresin

dalam suatu media pembawa tertentu. Dalam hal ini media pembawa yang sering

digunakan yaitu bahan-bahan yang larut dalam air, seperti garam, tepung dan

dekstrose. Dispersed spices banyak digunakan pada pembuatan minuman (soft

drink) dan makanan-makanan yang kering, basah ataupun semi padat, misalnya

kue-kue, biskuit, sosis dan makanan bayi. Pada fat-based spices oleoresin

Page 5: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

didispersikan pada lemak atau minyak (vegetable oil). Fat-based spices ini sering

digunakan pada makanan yang berlemak, seperti salad dressing, saus dan

makanan kaleng. Dispersed spices dan fat-based spices tidak dapat disimpan lama

karena flavornya mudah menguap. Pada encapsulated spices, oleoresin dalam

bentuk bubuk (spray dried) dikapsulkan untuk mengurangi kehilangan flavor,

sehingga dapat disimpan lebih lama (Abubakar et al, 2007).

Penggunaan oleoresin siap pakai mempunyai beberapa keuntungan

dibandingkan penggunaan rempah-rempah secara tradisional, terutama untuk

penggunaannya dalam skala industri. Keuntungan-keuntungan tersebut antara

lain: (1) bahan dapat distandardisasi dengan tepat, terutama flavor dan warnanya,

sehingga kualitas produk akhir dapat terkontrol, (2) bahan lebih homogen dan

lebih mudah ditangani, (3) bahan bebas enzim lipase, bakteri, kotoran atau bahan

asing, dan (4) bahan mudah didispersikan secara merata ke dalam bahan pangan.

Saat ini banyak industri makanan dan minuman menggunakan

rempah-rempah bukan dalam bentuk asal melainkan dalam

bentuk oleoresin (Abubakar et al, 2007).

Melimpahnya ketersediaan rempah-rempah di Indonesia,

maka industri oleoresin mempunyai prospek yang sangat

menjanjikan, baik untuk tujuan ekspor maupun untuk industri

dalam negeri. Pada penggunaan rempah-rempah sebagai bahan

penyedap makanan dan minuman dapat dilakukan dengan

berbagai cara yaitu penggunaan dalam bentuk bahan asal,

ekstrak atau oleoresin (Abubakar et al, 2007).

Penggunaan oleoresin sendiri sangat luas, selain

diaplikasikan pada makanan dan minuman, juga banyak

digunakan pada pembuatan kosmetik, bahan aditif pada

pembuatan parfume/fragrance dan obat-obatan. Selain itu,

oleoresin banyak juga digunakan dalam dunia kesehatan atau

dunia kedokteran antara lain sebagai antimikroba, untuk

arthritis, shingles, psoriasis, diabetic neuropathy, mengobati

migran, antimual dan antimuntah, antiradang, pereda nyeri dan

memperlancar aliran darah, efek balsamic, digestive dan

Page 6: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

stimulating, dispell anger, frustration dan tension, calming dan

camforting (Abubakar et al, 2007).

Penggunaan oleoresin ditinjau dari segi teknis dan efisiensi

penggunaan bahan baku lebih unggul dibanding dengan

penggunaan rempah secara tradisional, khususnya bila

diterapkan dalam skala industri. Keuntungan komparatif yang

dapat diperoleh adalah biaya produksi yang lebih rendah dengan

adanya pengurangan biaya angkut bahan baku. Adanya

keuntungan dari segi biaya produksi, di samping keuntungan-

keuntungan lain dari segi teknis menyebabkan penggunaan

oleoresin sebagai bahan industri makanan dan minuman,

kosmetik serta kesehatan, merupakan salah satu alternatif yang

pantas untuk dikembangkan (Abubakar et al, 2007).

Meskipun dalam pembuatan oleoresin diperlukan teknologi

dan tingkat keahlian yang tinggi, tetapi dengan semakin

meningkatnya tuntutan efisiensi maka penggunaan oleoresin

dapat ditingkatkan peranannya, terutama untuk memenuhi

kebutuhan pada masa yang akan datang. Di samping itu, dengan

semakin kompleksnya permasalahan efisiensi biaya produksi,

tenaga kerja pada masing-masing tempat, maka pemilihan

penggunaan oleoresin, penggunaan bahan rempah secara

tradisional atau kombinasi keduanya perlu didasarkan pada

pertimbangan yang tepat. Saat ini produksi dan konsumsi

oleoresin masih didominasi oleh negara-negara Eropa dan

Amerika. Indonesia sebagai penghasil utama rempah-rempah

berpeluang untuk dapat memproduksi oleoresin di dalam negeri.

Adapun jenis-jenis oleoresin yang sudah dikenal antara lain Anise

oleoresin, Black Pepper oleoresin, Cardamom oleoresin, Celery

oleoresin, Capsicum oleoresin, Clove oleoresin, Coriander

oleoresin, Cumin oleoresin, Fennel oleoresin, Fenugreek

oleoresin, Garlic oleoresin, Ginger oleoresin, Nutmeg oleoresin,

Page 7: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Onion oleoresin, Paprika oleoresin, Rosemary oleoresin, Saffron

oleoresin, Turmeric oleoresin dan Vanilla oleoresin (Abubakar et al,

2007).

Meskipun produksi dan pemasaran oleoresin sudah

didominasi oleh negara-negara maju seperti Inggris dan Amerika,

namun dengan adanya ketekunan dan adanya keuntungan

komparatif seperti pengurangan biaya angkut dan tenaga kerja

yang relatif banyak tersedia, tidak mustahil produksi oleoresin di

dalam negeri akan dapat bersaing di pasaran dunia. Konsumsi

oleoresin juga masih didominasi oleh negara-negara Eropa,

Amerika dan Australia, sedangkan konsumsi di dalam negeri

belum tampak cerah. Oleh karena itu, pengembangan produksi

oleoresin di dalam negeri perlu diorientasikan ke arah ekspor.

Berkembangnya industri-industri “makanan mudah” (convenient

food) seperti makanan bayi, bumbu-bumbu siap pakai, jahe

instan dan beberapa jenis soft drink dapat menciptakan angin

segar bagi perkembangan industri oleoresin di Indonesia

(Abubakar et al, 2007).

Prospek Industri Jamu. Salah satu produk olahan rempah yang paling

tradisional adalah jamu. Adapun rempah yang umum diolah menjadi jamu antara

lain jahe dan kunyit. Dewasa ini, produk jamu sudah masuk pada skala industri,

yang artinya jamu sudah merambah berbagai kalangan, dan sejajar dengan produk

kesehatan dalam kemasan lainnya.

Industri jamu memiliki karakter yang khas, karena setiap produknya

mengalami proses perjalanan dari hulu ke hilir yang terbilang unik. Proses

tersebut meliputi mulai dari penanaman tanaman obat, mengambil bagian dari

tanaman obat untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan jamu, pengolahan di

pabrik, dan pendistribusian sampai ke tangan konsumen (Anonim6, 2009).

Saat ini, di lingkungan industri jamu, tercatat ada 10 perusahaan jamu

berskala besar, sekitar 100 industri jamu skala menengah, dan selebihnya sekitar

1.000 perusahaan jamu skala kecil. Hingga saat ini, industri jamu menyerap

hampir 15 juta tenaga kerja (3 juta terserap langsung di industri jamu, sedangkan

Page 8: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

12 juta lainnya bekerja di industri jamu yang telah berkembang ke arah makanan,

minuman, food supplement, spa, aromaterapi, dan kosmetik) (Anonim6, 2009).

Gabungan Pengusaha Jamu dan Obat Tradisional Indonesia (GP Jamu) saat ini

terdiri atas 129 industri besar dan sekitar 1.037 anggota berupa Industri Kecil

Obar Tradisional (IKOT), termasuk industri rumah tangga dan pengecer

(Anonim4, 2008).

Industri jamu Indonesia bangkit salah satunya ditandai dengan semakin

banyaknya jamu digunakan sebagai bahan dasar pengobatan, dan

direkomendasikan oleh Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan

(Depkes) sebagai obat untuk pasien. Selain itu, industri dan pariwisata berbasis

jamu juga menunjukkan kinerja yang sangat baik, dengan pertumbuhan mencapai

9 persen per tahun, bahkan beberapa usaha spa berbasis jamu dan ramuan

tradisional tumbuh dengan laju hingga 14 persen per tahun. Meski bertumbuh

sangat pesat, industri jamu di Indonesia masih kalah gencar dibandingkan negeri

tetangga seperti Malaysia. Di Malaysia industri obat tradisionalnya sudah

mencapai 1,5 miliar dolar, sementara di Asia industri obat tradisional mencapai

6,5 miliar dolar (Anonim4, 2008).

Indonesia baru mencapai 720 juta dolar Amerika, dan masih harus

dikembangkan lagi agar bertumbuh melebihi negara tetangga di Asia.

Indonesia sebenarnya memiliki keuntungan tersendiri sebagai negeri penghasil

bahan baku jamu. Indonesia harus membatasi ekspor bahan baku jamu ke luar

negeri terutama India, agar manfaat industri jamu tidak melayang dan direbut

India (Anonim4, 2008).

Ketua Umum GP Jamu, Charles Saerang mengatakan, pada 2010

penjualan jamu ditargetkan mencapai Rp. 10 triliun. Jumlah tersebut termasuk

penjualan di pasar ekspor yang merambah ke 20 negara, termasuk negara-negara

yang sangat ketat menerapkan standar kualitas seperti Jepang dan Eropa. Untuk

membuat jamu sebagai merek Indonesia yang dapat dikenal luas di pasar

intemasional dibutuhkan dukungan pemerintah, terutama untuk membuka pasar

luar negeri. Sekarang pemerintah dan industri sepakat membuat jamu sebagai

merek Indonesia. Kini yang terpenting tindak lanjutnya, yaitu dukungan

pemerintah dalam membuka pasar luar negeri secara lebih luas (Kompas, 2008).

Page 9: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Omzet industri jamu dunia saat ini mencapai 25 miliar dollar AS per

tahun, dengan 7,2 miliar dollar AS di antaranya berada di kawasan Asia.  Untuk

kawasan Asia, Korea merupakan produsen terbesar dengan omzet 400 juta dollar

AS, sementara omzet Thailand 200 juta dollar AS. Thailand tergolong baru di

industri ini. Namun, mereka memiliki potensi mengejar Indonesia karena di

negara ini industri jamunya mendapatkan dukungan penuh, yakni mulai dari

insentif pajak, pengadaan lahan, hingga kredit murah bagi usaha kecilnya

(Kompas, 2008).

Untuk memantapkan merek jamu Indonesia pemerintah perlu membantu

perluasan pasar luar negeri, memperbanyak lahan untuk menanam bahan baku,

dan mempertinggi frekuensi seminar serta penelitian. Pengembangan penelitian

terhadap tanaman obat unggulan dapat meningkatkan nilai ekonomi juga dapat

memberikan nilai tambah bagi petani sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan

hidup. Pusat studi dan kajian jamu, obat tradisional juga telah berkembang di

berbagai perguruan tinggi terkemuka, seperti ITB, UI, UGM, Unair dan Andalas

(Kompas, 2008).

Prospek Industri Minyak Atsiri. Negara produsen minyak atsiri tersebar

luas di lima benua. Kondisi perdagangannya pun semakin ramai. Satu problem

yang tidak dapat dielakkan adalah terjadinya persaingan pasar yang sangat ketat

karena jenis minyak atsiri yang sama diproduksi oleh banyak negara. Akibat

persaingan pasar ini, diusahakan agar minyak atsiri yang diproduksi oleh masing-

masing negara dapat memperoleh pasaran yang mantap di negara lain. Upaya

yang perlu dilakukan adalah perbaikan mutu minyak atsiri, peningkatan areal

tanam, pemilihan varietas tanaman minyak atsiri yang terbaik dan perbaikan

sistem manajerial (Lutony, 2000).

Negara produsen minyak atsiri bukan hanya negara berkembang saja,

melainkan juga negara maju. Perbedaannya, negara-negara berkembang lebih

berfokus untuk memproduksi minyak atsiri dari bahan baku menjadi bentuk

setengah jadi kemudian diekspor ke negara lain, terutama negara maju. Lain

halnya dengan yang dilakukan oleh negara maju, pada mulanya negara ini

mengimpor minyak atsiri dalam bentuk setengah jadi dari negara berkembang,

kemudian diolah lebih lanjut menjadi barang jadi. Selanjutnya, barang jadi ini

Page 10: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

dipasarkan ke negara berkembang selain utnuk konsumsi dalam negeri (Lutony,

2000).

Produsen utama minyak atsiri untuk kelompok negara berkembang di

antaranya adalah Cina, Brasil, Indonesia, India, Argentina dan Meksiko,

sedangkan produsen utama minyak atsiri untuk kelompok negara maju antara lain

Amerika Serikat, Prancis, Jerman, Italia dan Inggris. Masing-masing negara

berkembang umumnya mempunyai atau berusaha memproduksi jenis minyak

atsiri yang dijadikan andalan. Indonesia misalnya, mempunyai beberapa

komoditas andalan antara lain yang merupakan jenis rempah yaitu cengkeh dan

pala (Lutony, 2000).

Dibandingkan negara berkembang lainnya, Indonesia mempunyai peluang

yang lebih baik untuk mendominasi pasaran ekspor minyak atsiri. Hal ini

didukung oleh banyaknya jumlah tanaman minyak atsiri potensial yang dapat

dikembangkan, adanya lahan yang luas untuk lokasi budidaya, dan tersedianya

tenaga kerja. Di Indonesia saja, tercatat ada 40 jenis minyak atsiri yang mampu

diproduksi di dalam negeri dari sekitar 70 jenis minyak atsiri yang

diperdagangkan di dunia, sebagian merupakan komoditas rempah. Terkait

masalah minyak atsiri ini, Indonesia telah membentuk Asosiasi Perdagangan

Minyak Atsiri Indonesia atau Indonesian Essential Oil Trade Association

(Indessota) (Lutony, 2000).

Indonesia merupakan salah satu negara produsen minyak atsiri yang cukup

penting, untuk beberapa komoditas seperti minyak cengkeh dan minyak pala,

Indonesia merupakan pemasok terbesar ke pasar dunia. Namun demikian,

teknologi produksi minyak atsiri di Indonesia umumnya masih rendah sehingga

mutu minyak tergolong rendah. Untuk meningkatkan nilai tambah minyak atsiri,

penelitian diarahkan pada dua sasaran, yaitu peningkatan produktivitas pada

komoditas yang telah berkembang serta penggalian sumber atsiri baru yang untuk

dikembangkan.

Secara umum, jalur tata niaga minyak atsiri tidak berbeda dengan aneka

komoditas pertanian lainnya. Mata rantai tata niaga minyak atsiri sebagai berikut.

Produk (dari produsen) langsung ke tengkulak keliling atau ke pedagang perantara

atau agen eksportir. Setelah itu, barulah produk minyak atsiri sampai di tangan

Page 11: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

eksportir. Dalam mata rantai tata niaga ini, pihak eksportir senantiasa terlibat

langsung di dalamnya karena sebagian besar perdagangan minyak atsiri terutama

ditujukan untuk keperluan pasar ekspor (Lutony, 2000).

Dalam tata niaga ini, terdapat dua cara pemasaran yang berlaku.cara

pertama, pihak produsen datang sendiri untuk menjualnya ke tengkulak, pedagang

perantara atau agen ekspor. Sayangnya, cara ini seringkali sangat merugikan

produsen karena biasanya produsen berada pada posisi rebut tawar (bargaining

possition) yang lemah. Dalam hal ini, harga minyak atsiri lebih banyak ditentukan

oleh pedagang yang membelinya. Cara kedua, pihak pedagang sendirilah yang

mencari produsen. Dalam cara ini, posisi produsen bisa lebih dominan untuk

melakukan transaksi atau rebut tawar dengan harga yang lebih baik. Hal semacam

ini terjadi karena situasi pasar minyak atsiri yang dicari pedagang atau distributor

memang prospektif atau sangat dibutuhkan (Lutony, 2000).

Komoditi Lada. Lada (Piper nigrum L.) merupakan ”rajanya” rempah-

rempah di dunia, dan merupakan produk pertama yang diperdagangkan antara

Barat dan Timur. Saat ini, lada sangat berperan dalam perekonomian Indonesia

sebagai penghasil devisa, penyedia lapangan kerja, bahan baku industri dalam

negeri dan konsumsi langsung. Meskipun

demikian, usaha tani lada yang ada sekarang tidak

terkait dengan industri pengolahan, industri hilir,

serta industri jasa, keuangan dan pemasaran.

Akibatnya agribisnis lada tidak berhasil

mendistribusikan nilai tambah, tidak dapat

meningkatkan pendapatan petani (Kemala, 2006).

Faktor-faktor yang menyebabkan tidak berkembangnya sistem agribisnis

lada di Indonesia antara lain adalah (1) Sebagian besar teknologi belum dapat

digunakan oleh petani, (2) Tidak tersedianya peralatan yang mudah didapat dan

murah, (3) Kurangnya diversifikasi produk lada, (4) Adanya pesaing Indonesia

sebagai produsen lada dunia (Brazilia, India, Malaysia, Srilangka, Thailand dan

Vietnam), dan (5) Hasil-hasil penelitian berupa komponen dan paket teknologi

serta kebijakan sudah banyak dihasilkan, tetapi belum banyak terserap oleh petani

(Kemala, 2006).

Page 12: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Oleh karena itu, strategi pengembangan sistem agribisnis lada di

Indonesia, harus dilakukan melalui (1) Program pengendalian hama dan penyakit

terpadu, (2) Pengembangan industri alat dan mesin pertanian dengan jaringan

distribusinya, (3) Diversivikasi produk melalui pembuatan lada menjadi barang

jadi dan setengah jadi, sehingga dapat merubah permintaan menjadi elastis untuk

meningkatkan daya serap pasar, (4) Program promosi pasar di pasar dunia baik

melalui kantor kedutaan maupun kelembagaan lain, dan (5) Pemberdayaan petani

dalam kelembagaan yang sudah ada seperti KUAT (Kelembagaan Usaha

Agribisnis Terpadu), Asosiasi Petani Lada Indonesia (APLI), KIMBUN

(Kelompok Industri Masyarakat Perkebunan), KUD (Kemala, 2006).

Jenis produk lada yang dihasilkan oleh petani tergantung pada cara dan

alat pengolahan. Di samping itu lada dapat pula dijadikan sebagai bahan makanan,

obat dan parfum (Kemala, 2006).

Dari sistem agribisnis lada Indonesia terdapat sinyal-sinyal perubahan

yang merupakan fenomena dari produksi, konsumsi, perdagangan, teknologi dan

kelembagaan, berupa (1) turunnya pangsa ekspor lada Indonesia di pasar dunia,

(2) pemakaian lada hitam yang makin bertambah, (3) meningkatnya konsumsi

lada domestik; (4) perubahan teknologi input luar tinggi ke input luar rendah, (5)

penurunan areal dan produksi di beberapa sentra lada, (6) pergeseran daerah lada

dari daerah tradisional ke daerah pengembangan. Fenomena-fenomena yang

terjadi merupakan resultante dari keunggulan, kelemahan, peluang dan ancaman

pada simpul-simpul sistem agribisnis lada di Indonesia (Kemala, 2006).

Permintaan pasar lada terus meningkat dan produk-produknya seperti lada

hijau, lada jingga, minyak lada, oleoresin lada, bubuk lada adalah peluang

berkembangnya industri pengolahan hasil. Ancaman berupa manipulasi kualitas

sangat sering terjadi, sehingga Indonesia sering mengalami klaim ekspor (Kemala,

2006).

Lada sebagai komoditas pasar terbuka merupakan keunggulan dalam

pemasaran. Keunggulan lain pangsa pasar lada Indonesia yang besar di dunia serta

jaringan pasar pada semua negara pengimpor lada. Kelemahan dari subsistem

pemasaran lada terlihat dari beberapa indikator adalah struktur pasar yang

oligopoli, informasi pasar dan transparansi pembentukan harga, promosi produk

Page 13: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

yang lemah. Permintaan dan diversifikasi produk sesuai dengan selera konsumen

seperti lada hijau, lada jingga, lada asalan dan acar lada merupakan peluang.

Ancaman terhadap pemasaran dan perdagangan lada adalah kebijakan tarif dan

pajak ekspor (Kemala, 2006).

Strateginya mencakup perbaikan mutu dan kualitas serta diversifikasi

produk. Standar mutu dan kualitas lada Indonesia yang dikenal dengan “Munthok

White Pepper dan Lampong Black Pepper” dijaga dan dipertahankan. Standar ini

dicirikan atas kadar air, warna, bau, serangan hama dan lainnya. Strateginya

komponen dari standar ini dapat dipertahankan dan menjadi lebih baik melalui

tindakan-tindakan agronomis dan pasca panen. Diversifikasi produk dapat

merubah permintaan menjadi lebih elastis untuk meningkatkan daya serap pasar.

Keberadaan koperasi di masyarakat perladaan sangat strategis, baik sebagai

organisasi pemasaran maupun sebagai organisasi pembiayaan (Kemala, 2006).

Dari kajian empiris efisiensi tata niaga lada hitam lebih tinggi dan bagian

harga yang diterima petani 85%, hal ini terjadi karena koordinasi vertikal simpul-

simpul sistem agribisnis lada hitam lebih baik. Sebaliknya pada lada putih

ketergantungan petani pada pemodal (pengumpul) sangat besar sehingga

berdampak terjadinya “contract farming” secara tersembunyi. Strateginya adalah

memperbaiki simpul-simpul agribisnis terutama pada lada putih. Kurangnya

informasi pasar ditandai oleh lemahnya integrasi harga di tingkat eksportir dengan

petani. Strateginya peningkatan intensitas informasi pasar melalui media yang

dapat menjangkau petani. Negara-negara yang mempunyai net impor dibawah 100

gram/kapita berpeluang menjadi pasar baru. Strateginya promosi pasar baik

melalui cantor kedutaan maupun kelembagaan lain (Kemala, 2006).

Kondisi pasar menuntut kualitas hasil olahan yang meningkat mutunya.

Agar lada Indonesia mampu bersaing di pasar internasional perlu diterapkan

standar ISO 9000, ISO 14000, HACCP dan SPS. Pangsa pasar lada hijau

Indonesia masih kecil (2%), Indonesia berpeluang untuk meningkatkannya. Upaya

yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah mendorong dan memfasilitasi

pendirian industri pengolahan dan sosialisasinya (Kemala, 2006).

Efisiensi pemasaran kebijakan operasionalnya adalah menekan biaya

tataniaga, pencabutan beberapa perda tentang ekspor lada, penurunan pajak ekspor

Page 14: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

dan lainnya. Perkuatan posisi tawar petani dilakukan peningkatan informasi pasar.

Promosi produk sebagai ajang peningkatan pemakaian lada untuk konsumsi

domestik dan ekspor. Kebijakan operasional melalui pendekatan dan pengenalan

produk lada yang mudah dijangkau oleh masyarakat, serta pengenalan lada perdu

sebagai tanaman hias. Promosi pasar untuk ekpor dilakukan dengan mendorong

intensitas usaha-usaha IPC (Internasional Papper Community), dan promosi

melalui Badan Pengembangan Ekspor serta kedutaan besar Indonesia (Kemala,

2006).

Lada hitam merupakan jenis rempah penghasil devisa karena selain

diperdagangkan dalam bentuk butiran, juga memberikan hasil samping dalam

bentuk minyak lada, oleoresin dan balsam yang memiliki nilai ekonomi tinggi.

Sebagai penghasil devisa, lada menempati urutan ke-6 setelah minyak sawit

(CPO), karet, kakao, kelapa dan kopi.

Komoditi Cengkeh. Cengkeh (Syzygium aromaticum, syn. Eugenia

aromaticum) merupakan salah satu komoditas sub-sektor perkebunan yang

sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat. Hasil utama tanaman cengkeh

adalah bunganya yang dipanen pada saat kelopak bunga belum mekar. Bunga

cengkeh kering merupakan salah satu bahan baku utama untuk rokok kretek yang

merupakan rokok khas Indonesia. Pada awal

tahun 1990, total areal cengkeh mencapai

sekitar 700.000 ha dengan produksi 120.000

ton per tahun. Produksi tersebut sudah

melampaui kebutuhan cengkeh dalam negeri

yang waktu itu sekitar 100.000 ton per tahun,

sehingga terjadi kelebihan pasokan. Produksi

cengkeh Indonesia sejak tahun 1996 mengalami penurunan sebagai dampak dari

ketidakpastian harga yang menyebabkan petani enggan memelihara tanamannya

(Anonim3, 2008).

Berdasarkan data produksi cengkeh, khususnya tahun 2004 dan 2005

terjadi defisit pasokan, karena kebutuhan industri rokok kretek rata-rata 92.133

ton per tahun. Diperkirakan lima tahun mendatang, produksi cengkeh habis

terserap untuk kebutuhan pabrik rokok (Anonim3, 2008).

Page 15: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Produksi bunga cengkeh Indonesia sebagian besar (80 – 90%) diserap oleh

industri rokok kretek, sisanya untuk industri rempah-rempah lokal dan diekspor.

Peranan industri rokok kretek dalam perekonomian nasional sangat nyata, antara

lain menyumbang sekitar Rp. 23,2 trilyun ke kas negara sebagai bea cukai rokok.

Tenaga kerja yang terkait, baik langsung maupun tidak langsung dengan industri

rokok kretek yaitu di sektor pertanian, industri dan perdagangan serta sektor

informal, mencapai sekitar 6 juta tenaga kerja (Anonim3, 2008).

Potensi tanaman cengkeh yang belum dimanfaatkan secara optimal adalah

daun cengkeh (daun gugur) dan tangkai bunga. Produk olahan yang dapat

dihasilkan dari bunga, daun dan tangkai bunga (gagang) adalah (1) minyak

cengkeh, (2) eugenol yang diisolasi dari minyak cengkeh dan (3) senyawa derivat

dari eugenol. Produksi minyak cengkeh terutama menggunakan bahan baku daun

gugur yang harganya murah, telah lama dilakukan oleh pengusaha Indonesia.

Skala usahanya umumnya skala Usaha Kecil Menengah (UKM) yang lokasi

produksinya di sentra tanaman cengkeh terutama di Jawa dan Sulawesi Utara.

Pasokan minyak cengkeh Indonesia ke pasar dunia sekitar 60% kebutuhan dunia.

Pada tahun 2000, dari 2.080 ton minyak cengkeh yang dipasarkan dunia,

Indonesia memasok 1.317 ton (Anonim3, 2008).

Saat ini Indonesia merupakan negara produsen, sekaligus konsumen

cengkeh terbesar di dunia. Dua negara lain yang cukup potensial sebagai

penghasil cengkeh adalah Madagaskar dan Zanzibar (Tanzania) yang total

produksinya sekitar 15.000 ton/tahun (Anonim3, 2008).

Usaha agribisnis hilir yang dapat dilakukan dalam 5 tahun (2005-2010)

meliputi (1) Peningkatan mutu bunga cengkeh kering melalui perbaikan

penanganan pascapanen (perontokan, sortasi basah untuk memisahkan bunga dan

tangkai bunga dan kotoran, pengeringan bunga dan tangkai bunga, pengemasan

dan penyimpanan), (2) Peningkatan produksi dan mutu tepung bunga cengkeh

sebagai rempah bumbu untuk konsumsi rumah tangga dan industri makanan, (3)

Peningkatan produksi dan mutu minyak daun cengkeh (dan gagang/tangkai

bunga), melalui perbaikan teknologi penyulingan (destilasi) minyak, (4)

Diversifikasi produk minyak daun cengkeh melalui peningkatan produksi dan

mutu eugenol, dengan perbaikan teknologi isolasi eugenol, (5) Diversifikasi

Page 16: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

produk minyak daun cengkeh melalui peningkatan produksi dan mutu pestisida

nabati (fungisida dan insektisida), (6) Penggunaan bunga cengkeh sebagai rempah

dalam industri makanan, umumnya dipakai dalam bentuk tepung untuk bumbu

masak selain penggunaannya dalam bentuk oleoresin cengkeh (fluida padat seperti

pasta dengan rasa dan aroma cengkeh), (7) Penggunaan oleoresin dalam

campuran/formulasi industri makanan mempunyai kelebihan antara lain flavor

lebih seragam, menekan terjadinya kontaminasi bakteri, aroma dan rasa asli

cengkeh lebih terjaga. Kelebihan lainnya adalah rasio penggunaannya dengan

makanan yang akan diolah lebih kecil dibanding cengkeh untuk menghasilkan

rasa dan aroma yang sama, tahan disimpan dan mudah aplikasinya di industri

makanan (Anonim3, 2008).

Minyak daun cengkeh Indonesia sudah dikenal di pasar dunia sejak tahun

1970, sedangkan minyak tangkai/gagang cengkeh mulai tahun 1992 memasuki

pasaran dunia. Sebagai bahan obat, cengkeh telah lama digunakan terutama untuk

kesehatan gigi dalam bentuk produk obat kumur, pasta dan bahan penambal gigi.

Produk kesehatan lainnya adalah balsam cengkeh yang menggunakan minyak

cengkeh sebagai komponen formulanya. Eugenol yang terdapat dalam minyak

cengkeh merupakan bahan baku yang banyak dipakai dalam industri kesehatan

gigi (obat kumur, pasta dan formulasi bahan penambal gigi). Di Indonesia sudah

ada beberapa perusahaan yang memproduksi eugenol murni yang. Sebagian

produksinya diserap pasar dalam negeri, sebagian diekspor. Sebagian kebutuhan

industri dalam negeri masih harus dicukupi dari produk impor (Anonim3, 2008).

Produksi eugenol kasar dari minyak daun cengkeh relatif tidak

membutuhkan peralatan mahal dan dapat dilakukan pada skala UKM. Proses

derivasi lanjutan dari eugenol dapat menghasilkan beberapa produk derivatnya

(turunan) antara lain isoeugenol, metal eugenol dan vanillin sintetis. Isoeugenol

dihasilkan melalui reaksi isomerisasi eugenol pada suhu dan tekanan tinggi

menjadi dalam kondisi basa menjadi soeugenolat yang selanjutnya diasamkan

menjadi isoeugenol dan kemudian dimurnikan. Prosesnya memerlukan peralatan

ketel bertekanan dan alat destilasi fraksinasi yang tentunya memerlukan biaya

Page 17: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

modal yang cukup mahal. Isoeugenol digunakan sebagai bahan baku industri

parfum dan flavor (Anonim3, 2008).

Agroindustri eugenol murni dan senyawa turunan (derivatnya) dan

agroindustri pestisida nabati dalam bentuk ekstrak serta agroidustri oleoresin,

dalam periode jangka panjang dapat dilakukan oleh PBS dan PBN dalam bentuk

agroindustri terpadu. Perkebunan besar swasta dan negara ini dapat berperan juga

dalam agroindustri minyak cengkeh dan pestisida nabati lainnya, dengan prinsip

dilakukan dalam usaha terpadu dengan aspek on-farm, untuk menjamin efisiensi

dan kesinambungan produksi (Anonim3, 2008).

Komoditi Pala. Tanaman pala (Myristica fragrans Houtt) terdiri dari 15

genus dan 250 species. Dari 15 genus tersebut, 5 di antaranya terdapat di daerah

tropis Amerika, 6 di daerah tropis Afrika, dan 4 genus di daerah tropis Asia,

termasuk Indonesia. Tanaman pala merupakan salah satu tanaman rempah-rempah

asli Indonesia yang daerah produksinya tersebar dari Kepulauan Maluku,

Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Aceh, dan Papua.

Pada awal masa perdagangan (VOC), pala

merupakan rempah-rempah yang dicari layaknya

emas. Pada zaman penjajahan Belanda, tanaman

pala disebarkan ke berbagai pelosok daerah di

Indonesia. Hingga kini, peran pala sebagai mata

dagang tradisional Indonesia di dunia masih

sangat besar. Indonesia merupakan produsen utama pala dengan memasok sekitar

74 persen dari kebutuhan pala dunia) (Astawan, 2008).

Tanaman pala merupakan tanaman multiguna karena setiap bagiannya

dapat dimanfaatkan dalam berbagai industri. Biji, fuli, dan minyak atsiri dari pala

merupakan yang paling banyak dieskpor, serta digunakan dalam industri makanan

dan minuman. Minyak yang berasal dari biji, fuli, dan daun digunakan dalam

industri obat-obatan, parfum, dan kosmetik (Astawan, 2008).

Page 18: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Bagian buah pala yang paling tinggi nilai ekonominya adalah biji dan fuli.

Biji umumnya digunakan pada makanan manis dan kaya rempah, seperti produk

roti, dan juga sebagai bumbu dalam masakan daging serta produk minuman dan

dessert. Sementara itu, fuli digunakan sebagai bahan flavor pada produk roti,

seperti cake, cookies, pie, dan topping, juga sebagai bumbu pada masakan laut,

pikel, dan minuman (Astawan, 2008).

Biji pala kaya akan lemak sehingga dapat diekstrak untuk menghasilkan

minyak pala. Daging buah pala kaya kalsium, fosfor, vitamin C dan A, serta

sedikit zat besi.   Daging buah pala mengandung 29 komponen volatil (senyawa

yang mudah menguap) dengan 23 komponen telah teridentifikasi dan 6 komponen

lain belum teridentifikasi (Astawan, 2008).

Di beberapa daerah, daging buah pala dibuang sebagai limbah setelah

diambil biji dan fulinya. Hal tersebut patut disayangkan karena daging buah pala

merupakan komponen terbesar dari buah pala segar (83,3 persen), dibanding fuli

(3,22 persen), tempurung biji (3,94 persen), dan daging biji (9,54 persen).

Pemanfaatan buah pala secara optimal akan dapat meningkatkan pendapatan

petani. Sebab, dengan pengembangan produk olahan strategis yang memanfaatkan

limbah daging buah pala, bisa memberikan keuntungan ganda (Astawan, 2008).

Daging buah pala banyak diolah menjadi manisan. Di Bogor, yang

merupakan salah satu sentra produksi pala, manisan pala paling populer. Konon,

manisan pala telah dikenal di Bogor sejak zaman Belanda, yaitu ketika petinggi-

petinggi VOC banyak berdiam di kota hujan tersebut. Ada dua jenis manisan pala,

yaitu manisan pala basah dan manisan pala kering. Selain sebagai manisan, daging

buah pala juga dapat diolah menjadi jeli, sirop, dodol, chutney, selai, sari buah,

wine, dan cider pala (Astawan, 2008).

Dalam industri obat-obatan, buah pala memiliki beragam khasiat yang

bermanfaat bagi kesehatan manusia. Dalam dosis rendah, pala dapat digunakan

untuk mengurangi flatulensi (kembung perut), meningkatkan daya cerna dan

selera makan, serta untuk mengobati diare, muntah, dan mual. Komponen

myristicin yang terkandung dalam daging buah memiliki kemampuan sebagai

Page 19: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

agen insektisidal dan dianggap berkontribusi terhadap sifat halusinogen yang

dapat menyebabkan halusinasi (Astawan, 2008).

Komoditi Vanili. Vanili (Vanilla planifolia Andrews) merupakan

komoditas bernilai ekonomis tinggi. Indonesia merupakan negara produsen dan

eksportir vanili kedua setelah Madagaskar (59%), dengan pangsa pasar sekitar 20-

30% dari kebutuhan dunia. Vanili Indonesia sangat digemari

para konsumen karena memiliki kadar bahan vanilline cukup

tinggi. Sayangnya kualitas produksi vanili Indonesia belum

didukung oleh teknologi pascapanen yang memenuhi

persyaratan SNI, khususnya dalam pengolahan, pelayuan,

pemeraman dan pengeringan, dan penyimpanan (conditioning) (Helmy, 2008).

Di pasaran internasional harga vanili ditentukan oleh mutunya. Setiap

negara pengimpor menetapkan persyaratan mutu yang berlainan. Pasar di

Amerika Serikat lebih memerlukan vanili berkadar air rendah (20-25%) karena

digunakan untuk bahan baku industri ekstraksi. Pasar di Eropa yang umumnya

untuk dikonsumsi langsung oleh rumah tangga menghendaki vanili utuh

(berpenampilan baik), kadar vanili tinggi, beraroma tajam dan kadar air 30-35%.

International Standar Organitation (ISO) telah menetapkan spesifikasi vanili yang

diperdagangkan di pasaran dunia, sedangkan secara nasional telah ditetapkan oleh

Dewan Standardisasi Nasional dengan nama Standar Nasional Indonesia (SNI)

(Helmy, 2008).

Page 20: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Produk vanili Indonesia yang diekspor masih berbentuk polong kering.

Aroma vanili banyak digunakan dalam industri makanan/minuman, farmasi dan

kosmetika. Dalam industri makanan/minuman umumnya digunakan dalam bentuk

ekstrak, keperluan farmasi dalam bentuk tincture dan untuk parfum dalam bentuk

tincture atau absolut. Untuk konsumsi langsung dalam rumah tangga umumnya

dalam bentuk utuh atau bubuk. Penggunaannya langsung dicampurkan ke dalam

bahan makanan atau minuman (Helmy, 2008).

Polong vanili kering ini dapat diolah lebih lanjut menjadi ekstrak

oleoresin, yang penggunaannya di luar negeri cukup banyak. Ekspor vanili dalam

bentuk oleoresin ini lebih menguntungkan karena tidak memerlukan tempat yang

besar dalam pengemasan dan pengangkutannya serta nilai jualnya lebih tinggi.

Keuntungan lain bentuk oleoresin dibandingkan bentuk aslinya adalah (1) bebas

dari kontaminasi mikroorganisme, (2) mempunyai tingkat aroma yang lebih kuat

dibanding bahan aslinya, dan (3) lebih mudah dalam proses pencampuran dalam

pengolahan makanan (Helmy, 2008).

Direktur Jenderal Perkebunan Departemen Pertanian, Achmad Mangga

Barani, mengatakan Indonesia mempunyai posisi strategis dalam pengembangan

vanili, karena mampu menghasilkan 23% dari produksi vanili dunia. Bahkan

UNDP merekomendasi vanili Indonesia tidak berbeda dari "Bourbon vanili" citra

komoditas yang sangat baik di masyarakat internasional. Hal itu menjadi modal

dasar bagi vanili Indonesia untuk terus memperluas pasaran ekspor, guna

meningkatkan penerimaan devisa negara serta meningkatkan pendapatan petani

(Anonim2, 2008).

Dirjen Mangga Barani menambahkan, kebutuhan dunia akan vanili

semakin meningkat seiring dengan terus bertambahnya industri yang berbasis

vanili, baik sebagai pengharum dalam industri makanan, minuman maupun bubuk

ekstrak. Selain itu, vanili juga diperlukan untuk keperluan farmasi maupun bahan

alat-alat kecantikan, sehingga kebutuhan vanili semakin meningkat di masa-masa

mendatang (Anonim2, 2008).

Pengembangan tanaman vanili di Indonesia kini mencapai 31.000 hektar

dengan produksi setiap tahunnya rata-rata 3.700 ton vanili kering. Usaha

perkebunan rakyat tersebut melibatkan 4.000 kepala keluarga (KK) petani dengan

Page 21: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

sentra penghasilan utama Jawa Barat, Jawa timur, Bali, Nusa Tenggara Timur,

Sulawesi Utara, sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara

(Anonim2, 2008).

Komoditi Kayu Manis. Tanaman kayu manis (Cinnamomum sp.) adalah

penghasil kulit manis. Tanaman yang sudah dewasa ditebang untuk diambil

kulitnya. Di pasar dunia, kulit kayu manis Indonesia yang telah dikeringkan

dikenal dengan nama Cassia vera alias Padang keneel. Kayu manis merupakan

komoditas unggulan bagi India (termasuk Srilanka),

China dan Kepulauan Nusantara sejak ribuan tahun

Sebelum Masehi. Produk  kayu manis telah dikenal oleh

masyarakat Babyllonia, Mesir, Assyria, Yunani dan

Romawi. Kulit kayu manis adalah bahan rempah-rempah,

minuman, obat-obatan, kosmetik dan parfum. Rempah-

rempah sebagai bahan pengawet mumi para Fira'un di

Mesir Kuno, antara lain adalah kulit kayu manis (Anonim5, 2008).

Minyak cinnamon dalam kulit kayu manis yang terdiri dari eugenol dan

cinnaldehide,  memang memiliki daya bunuh terhadap mikroorganisme. Dalam uji

coba di sebuah lab, minyak cinnamon mampu membunuh rickettsia

(mikroorganisme berbentuk bakteri tetapi bersifat seperti virus, penyebab

penyakit tyfus) dalam waktu 12 menit. Minyak cengkeh yang juga mengandung

eugenol, baru bisa membunuh rickettsia setelah 25 menit. Aroma cinnamon

digunakan antara lain dalam masakan gulai kambing, agar-agar dan lapis legit.

Page 22: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Selain itu, cinnamon juga dimanfaatkan dalam industri pasta gigi, minuman keras,

krim kulit dan juga parfum (Anonim5, 2008).

Kayu manis yang lazim dibudidayakan ada beberapa spesies. Di India

ditanam Cinnamomum tamala dengan produknya bernama Indian Cassia.  Dari

Srilanka dihasilkan Ceylon Cinnamon dari tanaman Cinnamomum zeylanicum. 

Chinese Cinnamon dihasilkan China dari tanaman Cinnamomum cassia.

Sementara di Indonesia dibudidayakan Cinnamomum burmani dari Sumatera,

dengan produknya yang dikenal sebagai Padang Keneel, Padang Cassia atau

Cassia vera. Di Jawa dikenal Cinnamomum javanicum namun tidak pernah

dibudidayakan secara massal karena hasil kulitnya tidak sebaik Cinnamomum

burmani. Selain itu, di Jawa juga bisa ditemui Cinnamomum sintok  (kayu sintok)

yang biasa disuling untuk diambil minyak asirinya. Di Maluku dikenal

Cinnamomum cullilawan atau lazim pula disebut sebagai kulit lawang atau kayu

lawang. Minyak asirinya dikenal sebagai minyak lawang. Sampai dengan saat ini,

di Asia Tenggara dikenal  ada 55 spesies Cinnamon. Selain dimanfaatkan sebagai

bahan rempah dan minyak asiri dan oleoresin, beberapa spesies Cinnamon juga

merupakan penghasil kayu. Misalnya C. eugenoliferum, C. grandiflorum, C. iners

dan masih banyak lagi (Anonim5, 2008).

Kayu manis Srilanka yang kualitas kulitnya paling baik, sebenarnya

pernah pula didatangkan oleh pemerintah Kolonial Belanda ke Indonesia. Di pasar

dunia, kualitas Ceylon Cassia, menduduki tempat yang paling tinggi, disusul oleh

Padang Keneel alias Cassia Vera dan baru kemudian Chinese Cassia dan Indian

Cassia (Anonim5, 2008).

Kayu manis pernah menjadi komoditi andalan Indonesia. Saat nilai jual

kulit batang mencapai level Rp. 6000/kg, petani kayu manis dapat hidup makmur

dan mampu menyekolahkan anaknya sampai ke perguruan tinggi. Namun, saat ini

kayu manis tidak lagi menjanjikan kemakmuran di saat nilai jual kulit kayu manis

gulungan terus menurun bahkan mencapai nilai Rp. 2500/kg. Kenyataan ini

membuat petani kayu manis enggan mengurus tanamannya dan mulai beralih ke

tanaman lain. Penurunan nilai jual ini ditunjukkan oleh data statistik pada dua

tahun yang berbeda. Tahun 1993 volume ekspor kulit kayu manis mencapai

21.952 ton dengan nilai US $ 38.646, sedangkan tahun 2005 volume ekspor

Page 23: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

23.216 ton dengan nilai US $ 12.822. Nilai ini lebih rendah dari nilai pada tahun

2002-2004. Usaha untuk meningkatkan nilai tambah dari kulit kayu manis juga

telah dilakukan melalui pemasaran kulit kayu manis dalam bentuk bubuk, namun

belum dapat meningkatkan nilai jual (Sundari, 2007).

Sementara itu di beberapa negara maju pemakaian kayu manis tidak lagi

berbentuk gulungan atau bubuk, tetapi dalam bentuk minyak atsiri atau oleoresin.

Saat ini produsen kedua produk tersebut didominasi oleh negara India dan

Srilanka. Petani kayu manis Indonesia belum beralih untuk memproduksi minyak

atsiri dan oleoresin. Hal ini disebabkan oleh dua faktor yaitu sebagian besar

petani belum mengetahui teknologi yang tepat untuk pengambilan minyak atsiri

dan oleoresin dan belum terbukanya pasar terhadap kedua produk tersebut

(Sundari, 2007).

Survey menunjukkan saat ini pengambilan minyak atsiri dari kulit kayu

manis telah dilakukan oleh pengusaha perorangan dengan metode penyulingan air,

namun perolehannya masih rendah. Minyak kayu manis ini dipasarkan ke negara

Belanda. Meskipun volume pemasarannya masih kecil, hal ini cukup memberi

harapan bagi petani kayu manis untuk mengurus kembali tanamannya. Pemasaran

terhadap minyak atsiri kayu manis sebenarnya dapat dirintis lebih jauh asalkan

semua pihak terkait mau bekerja sama (Sundari, 2007).

Untuk membantu petani kayu manis menemukan teknologi pengolahan

minyak atsiri dan oleoresin, telah dilakukan beberapa modifikasi pada proses

penyulingan. Perolehan minyak atsiri dari kulit kayu manis dapat ditingkatkan

jika ditemukan teknologi penyulingan dengan kondisi operasi yang tepat.

Walaupun pengambilan minyak atsiri dari kayu manis ini terus ditingkatkan

namun jika pemasarannya tidak lancar, maka harapan petani untuk memperoleh

penghasilan yang layak tidak akan tercapai, dan sangat mungkin suatu saat

perdagangan kayu manis di Indonesia akan hilang (Sundari, 2007).

Meskipun kurang dikenal oleh masyarakat, kayu manis adalah komoditas

agribisnis yang relatif luas budidayanya. Total areal tanaman kayu manis di

Indonesia sekitar 70.000 ha, dengan hasil berkisar antara 15.000 sampai dengan

20.000 ton kulit kayu manis kering per tahun. Nilai ekspornya, rata-rata per tahun 

berkisar antara US$ 20 juta sampai dengan US$ 25 juta (Anonim5, 2008).

Page 24: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

Produk kayu manis, baik Ceylon Cassia, Cassia Vera maupun Chinese

Cassia, biasanya diperdagangkan dalam bentuk kulit kering. Penggunaan kulit

kayu manis bisa berupa kulit utuh untuk bumbu masakan maupun dalam bentuk

serbuk. Tetapi, pemanfaatan kayu manis secara modern biasanya dalam bentuk

minyak atsiri maupun oleoresin. Nilai oleoresin lebih tinggi dibanding dengan

minyak atsirinya. Meskipun teknologi pengolahan serbuk kayu manis menjadi

oleoresin sudah bukan lagi merupakan rahasia, namun sampai saat ini Indonesia

masih belum mampu mengembangkan produk ini. Jago oleoresin dunia tetap

didominasi oleh Perancis dan India. Sementara Indonesia sebagai salah satu

penghasil kayu manis dunia, harus puas bisa  menjualnya dalam bentuk kulit

kering utuh (Anonim5, 2008).

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar, Edy Mulyono dan Yulianingsih. 2007. Prospek Oleoresin dan Penggunaannya di Indonesia. http://www.atsiri-indonesia.com/ uploaded_files/library_12makalah3_abu_bakar_oleoresin.pdf. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim1. 2007. Daya Saing Rempah Indonesia Sangat Rendah. http://www.kapanlagi.com/h/0000177634.html. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim2. 2008. 23% Produksi Vanili Dunia Dihasilkan Indonesia. http://agroindo.wordpress.com/2008/08/22/ agroindustri-cengkeh/. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim3. 2008. Agroindustri Cengkeh. http://agroindo.wordpress.com/ 2008/08/22/ agroindustri-cengkeh/. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim4. 2008. Industri Jamu Tahun 2008 Tumbuh 20%. http://www.antara.co.id/view/?i=1211878638&c=EKB&s=. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim5. 2008. Kayu Manis Kerinci sebagai Komoditas Unggulan. http://foragri.blogsome.com/kayu-manis-kerinci-sebagai-komoditas-unggulan/. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Anonim6. 2009. Krisis Ekonomi Global dan Peluang bagi Industri Jamu. http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1678%3Akrisis-ekonomi-global-

Page 25: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA

dan-peluang-bagi-industri-jamu&catid=53%3Aaumum&Itemid=62. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Astawan, Made. 2008. Manfaat Lebih dari Pala. http://masenchipz.com/manfaat-lebih-dari-pala. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Datin. 2007. Mengembalikan Kejayaan Rempah Indonesia. http://www.disperindag-jabar.go.id/cetak.php?id=2541. Diakses tanggal 19 Juni 2009.

Hakim, Lucky L.. 2008. Industri Rempah-Rempah di Tengah Krisis Ekonomi. http://radar-bogor.co.id/?ar_id=MTM1Njc=&click=Nw==. Diakses tanggal 19 Juni 2009.

Helmy, Zahron. 2008. Pengolahan dan Penganekaragaman Hasil Vanili Berdasarkan Standar Mutu Nasional. http://www.litbang.deptan.go.id/ artikel/one/217/pdf/Pengolahan%20dan%20Penganekaragaman%20Hasik%20Vanili%20Berdasarkan%20Standar%20Mutu%20Nasional.pdf. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Kemala, Syafril. 2006. Strategi Pengembangan Sistem Agribisnis Lada Untuk Meningkatkan Pendapatan Petani. http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/ upload.files/File/publikasi/perspektif/5%20Sjafril%20_set_.pdf. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Kompas. 2008. Tiap Tahun, Industri Jamu Tumbuh Sembilan Persen. http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2008/11/20/17434676/tiap.tahun.industri.jamu.tumbuh.sembilan.persen. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Lampung Post. 2007. Agrobisnis: 5 Rempah Unggulan Siap Dikembangkan. http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2007101803125868. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Lutony, Tony Luqman dan Yeyet Rahmayati. 2000. Produksi dan Perdagangan Minyak Asiri. Jakarta: Penebar Swadaya.

Sundari, Elmi dan Ellyta Sari. 2007. Prospek Minyak Atsiri Kayu Manis di Sumatera Barat. http://www.atsiri-indonesia.com/uploaded_files/library _11makalah2_elmi_sundari_kayu%20manis%20Sumbar.pdf. Diakses tanggal 21 Juni 2009.

Page 26: SENTUHAN INDUSTRI VARIATIF UNTUK MENGEMBALIKAN KEJAYAAN REMPAH INDONESIA