sepsis merupkan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin dilepaskan ke...
DESCRIPTION
sssTRANSCRIPT
Syok Sepsis Diperberat dengan KAD
Anggi Aviandri Putra
Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jl. Arjuna Utara/6 Jakarta Barat
Email: [email protected]
Pendahuluan
Sepsis merupakan respon sistemik pejamu terhadap infeksi dimana pathogen atau toksin
dilepaskan ke dalam sirkulasi darah sehingga terjadi aktivasi proses inflamasi. Berbagai definisi
yang saat ini digunakan dalam klnik adalah definisi yang ditetapkan dalam consensus American
Collage of Chest Physician dan Society of Critical Care Medicine pada tahan 1992 yang
mendefinisikan sepsis, sindroma respon inflamasi sistemik (SIRS), sepsis berat dan syok septic.1
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi jaringan
menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolism jaringan. Terdapat berbagai sebab
terjadinya syok seperti perdarahan, infark miokard, anafilaksis, emboli paru dan yang cukup
sering ditemukan adalah syok septic.
Syok septic merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah disertai kegagalan
sirkulasi, meskipun telah dilakukan resusitasi cairan secara adekuat atau memerlukan
vasopressor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ.
Syok septic merupakan keadaan gawat darurat yang memerlukan penanganan segera oleh karena
semakin cepat syok dapat diatasi, akan meningkatan keberhasilan pengobatan dan menurunkan
resiko kegagalan organ dan kematian. Oleh karena itu strategi penatalaksanaan syok septic yang
tepat dan optimal perlu diketahui untuk mendapatkan hasil yang diharapkan.1
1
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Skala Koma Glasgow
Membuka Mata(Eye Respons)
RESPON
SCORE KET CONTOH
Spontan 4 Membuka mata dengan panggilan
Mas…. (Klien langsung membuka matanya)
Dengan perintah
3 Membuka mata dengan perintah yang diperintahkan
Mas….. Buka matanya (Klien baru membuka matanya
Dengan rangsang nyeri
2 Membuka mata bila ada rangsang nyeri
Klien dicubit baru membuka matanya
Tidak Ber respon
1 Tidak membuka mata saat ada rangsang apapun
Respon Verbal(Verbal Respons)
RESPON SCORE KET
Berorientasi 5 Menjawab pertanyaan tentang orientasi waktu, lingkungan, orang, tempat dengan benar
Bicara membingungkan
4 Menjawab pertanyaan sesuai pertanyaan tetapi jawaban tidak sesuai dengan kenyataan / jawaban di luar pertanyaan
Kata-kata tidak tepat 3 Menjawab pertanyaan tidak sesuai dengan
2
pertanyaan tetapi jawaban membentuk satu satu kalimat
Suara tidak dapat dimengerti
2 Menjawab dengan tidak membentuk kalimat / kata
Tidak berespons 1 Tidak ada respon
Respon Motorik(Motorik Respons)
RESPON SCORE KET:
Dengan perintah 6 Mengankat anggota badan sesuai dengan perintah kita
Melokalisasi nyeri 5 Mengankat anggota badan yang dirangsang nyeri
Menarik area yang nyeri
4 Mengangkat dengan cepat dan menghindar bagian yang dirangsang nyeri>
Fleksi abnormal 3 Menarik flexi anggota badan yang dirangsang nyeri
Ekstensi 2 Menarik extensi anggota badan yang dirangsang nyeri
Tidak berespons 1 Tidak ada respon
Pengenalan dini dan teliti dari tanda dan gejala sepsis diharuskan dalam penerimaan pasien.
Faktor risiko seperti umur, jenis kelamin, ras, status imunocompromised dan pemakaian alat-alat
invasive atau kondisi lain yang dapat menyebabkan kolonisasi bakteri. Temuan klinis dan
laboratorium sangat penting. Demam adalah salah satu tanda infeksi walaupun hipotermia dapat
3
terjadi pada pasien-pasien tertentu. Tanda-tanda nonspesifik lainnya seperti takipneu dan
hipotensi sebaiknya juga diperiksa. Penyebab infeksi juga dicari dengan pemeriksaan klinis yang
cermat dan dapat dilengkapi dengan pemeriksaan x-ray, CT scan, USG atau yang lainnya.
Adanya gangguan organ dan beratnya gangguan juga harus diperiksa.2
Pemeriksaan darah
Penurunan sel darah merah tanpa adanya perdarahan dan penurunan trombosit < 100.000/mm3
sering ditemukan. Sepsis menambah koagulasi dan menurunkan fibrinolisis. Endogenous-
activated Protein C yang mencegah trombosis mikrovaskular juga turun selama sepsis. Ketika
terjadi penyumbatan pembuluh darah kecil dapat terjadi gangguan mikrosirkulasi yang akan
menyebabkan dysoxia jaringan. Dalam sepsis berat, pemberian rhAPC dapat membantu
memperbaiki gangguan koagulasi.1,2
Fungsi ginjal
Gangguan fungsi ginjal dapat terjadi dengan produksi urin yang normal maupun berkurang.
Peningkatan kreatinin > 0,3mg/dl dari nilai sebelumnya atau peningkatan > 50% atau oliguri <
0,5 cc/kgbb/jam lebih dari 6 jam menandakan gangguan ginjal akut dan dapat mempengaruhi
keluaran yang buruk.1,2
Pemeriksaan bakteri
Identifikasi sumber infeksi dan agen microbial penting selama sepsis. Pemeriksaan mikrobiologi
sangat diperlukan dan pemberian terapi antibiotik yang adekuat harus dimulai sesegera mungkin.
Kecurigaan sepsis harus diikuti dengan pemeriksaan kultur yang diambil dari darah dan fokus
lain yang dicurigai. Pemeriksaan lainnya tidak boleh tertunda dan dapat melengkapi informasi.
Kultur darah yang positif hanya didapat pada 50% penderita. 20-30% penderita sepsis tidak
ditemukan penyebab bakterial. Infeksi secara umum dapat disebabkan oleh bakteri, virus dan
jamur.1,2
4
SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome)
Respons tubuh terhadap inflamasi sistemik mencakup 2 hal atau lebih keadaan berikut:
1. suhu >380C atau <360C
2. frekuensi jantung >90x.menit
3. frekuensi napas >20x/menit atau PaCO2 <32 mmHg
4. leukosit darah >12000/mm3, <4000/mm3 atau batang >10%
Sepsis
Keadaan klinis berkaitan dengan infeksi dengan manifestasi SIRS
Sepsis berat
Sepsis yang disertai dengan disfungsi organ, hipoperfusi atau hipotensi termasuk asidosis laktat,
oligouria dan penurunan kesadaran
Sepsis dengan hipotensi
Sepsis dengan tekanan darah sistolik <90 mmHg atau penurunan tekanan darah sistolik >40
mmHg dan tidak ditemukan penyebab hipotensi lainnya.
Syok septik
Sepsis dengan hipotensi meskipun telah diberikan resusitasi cairan secara adekuat atau
memerlukan vasopresor untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi organ1
Syok dan mekanisme hemodinamik
5
Pada keadaan syok terjadi gangguan hemodinamik yang menyebabkan perfusi jaringan menjadi
tidak adekuat dan mengganggu metabolism pada sel dan jaringan. Terdapat 8 faktor
hemodinamik yang berperan dalam terjadinya syok, antara lain : 1). Factor pertama yang
berperan penting dalam terjadinya syok adalah volume intravaskuler. Volume intravascular
berperan dalam mempertahankan tekanan dan aliran balik vena ke jantung. Penurunan volumen
intravaskular akibat kehilangan darah, plasma atau cairan dapat mempengaruhi aliran balik dan
curah jantung; 2). Jantung merupakan faktor kedua terpenting yang mempengaruhi sirkulasi
hemodinamik. Curah jantung dipengaruhi oleh frekuensi da irama jantung, kontraktilitas dan
keseimbangan preload dan afterload; 3). Resistensi vaskule merupakan faktor ketiga yang
berperan penting dalam mempertahankan sirkulasi. Perubahan tonus arteriola kan mempengaruhi
pengisian ventrikel, tekanan arteri dan distribusi volumen sistemik. Perbedaan tonus arteriol pada
organ akan menyebabkan maldistribusi volumen darah yang mengakibatkan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen; 4). Mikrosirkulasi dan kapiler berperan dalam transportasi
cairan dan nutrisi. Gangguan sirkulasi mikrovaskular akan menyebabkan gangguan metabolisme
sel, sedangkan peningkatan pemeabilotas kapiler akan menyebabkan terjadinya edema intersitial;
5). Resisteni vénula berperan dala 10-15% resistensi vaskular. Peningkatan resistensi vénula dan
tekanan hidrostatik menyebabkan keluarnya cairan dari intravaskular ke intersisial.; 6).
Hubungan arteri-vena tanpa melalui kapiler akan menyebabkan hipoksia dan gangguan transpor
nutrisi; 7). Kapasitas vena dapat menampung hingga 80% volume sirkulasi. Penurunan tonus
vena dan peningkatan kapasitas vena akan mempengaruhi volumen sistemik; 8). Faktor terakhir
yang berperan adalah patensi pembuluh darah. Obstruksi pembuluh darah menyebabkan
penurunnan aliran balik vena.1
Patofisiologi syok septik dan kegagalan organ
Patofisiologi syok septik tidak terlepas dari patofisiologi sepsis itu sendiri dimana endotoksin
(lipopolisakarida) yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi yaitu: sitokin, neutrofil, komplemen, NO dan berbagai
mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana terjadi
keseimbangan antara proses inflamasi dan antiinflamasi. Kemampuan homeostasis pada proses
inflamasi ini terkait dengan faktor suseptibilitas individu terhadap proses inflamasi tersebut.
6
Bilamana terjadi proses inflamasi yang melebihi kemampuan homeostasis, maka akan terjadi
proses inflamasi yang maladapatif, sehingga terjadi berbagai proses inflamasi yang
bersifatdestruktif. Keadaan tersebut akan menimbulkan gangguan pada tingkat selular pada
berbagai organ.1
Gangguan pada tingkat sel yang menyebabkan disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh
NO meyebabkan terjadinya maldistribusi volumen darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan
dan syok. Faktor lain yang juga berperan adalah disfungsi miokard akibat pengaruh berbagai
mediator sehingga terjadi penurunan curah jantung. Proses ini mendasari terjadinya hipotensi dan
syok pada sepsis.
Berlanjutnya proses inflamasi yang maladaptif aka menyebabkan gangguan fungsi berbagai
organ yang dikenal sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF
merupakan kerusakan pada tingkat selular, gangguan perfusi ke organ/jaringan sebagai akibat
hipoperfusi, isquemia reperfusi dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut
berperan adalah terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi, malnutrisi kalori protein, translokasi
toksin bakteri, gangguan pada eritrosit dan efek samping dari terapi yang diberikan.1
Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi metabolik yang ditandai oleh
hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau
relatif.KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang serius dan
membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami
dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok.3
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes melitus yang ditandai dengan
dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis. Ketoasidosis diabetik merupakan akibat dari
defisiensi berat insulin dan disertai gangguan metabolisme protein, karbohidrat dan lemak.
Keadaan ini merupakan gangguan metabolisme yang paling serius pada diabetes ketergantungan
insulin.
Patofisiologi
7
Ketoasidois terjadi bila tubuh sangat kekurangan insulin. Karena dipakainya jaringan lemak
untuk memenuhi kebutuhan energi, maka akan terbentuk keton. Bila hal ini dibiarkan
terakumulasi, darah akan menjadi asam sehingga jaringan tubuh akan rusak dan bisa menderita
koma. Hal ini biasanya terjadi karena tidak mematuhi perencanaan makan, menghentikan sendiri
suntikan insulin, tidak tahu bahwa dirinya sakit diabetes mellitus, mendapat infeksi atau penyakit
berat lainnya seperti kematian otot jantung, stroke, dan sebagainya.
Faktor-faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan ketoasidosis diabetik (KAD)
adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin.Semua gangguan gangguan
metabolik yang ditemukan pada ketoasidosis diabetik (KAD) adalah tergolong konsekuensi
langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.1-3
Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan
hiperglikemia yang meningkatkan glukosuria. Meningkatnya lipolisis akan menyebabkan
kelebihan produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (diubah)
menjadi keton, menimbulkan ketonaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glikosuria akan
menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolit seperti sodium,
potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrsi terjadi bila terjadi secara hebat,
akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik. Asidodis
metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajad ventilasi
(peranfasan Kussmaul).
Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolit.
Sehingga, perkembangan KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious
yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan
lipid normal.1-3
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki sel akan berkurang juga.
Disamping itu produksi glukosa oleh hati menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan
menimbulkan hiperglikemi. Dalam upaya untuk menghilangkan glukosa yang berlebihan dari
dalam tubuh, ginjal akan mengekskresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti
natrium dan kalium). Diuresis osmotik yang ditandai oleh urinasi yang berlebihan (poliuri) akan
menyebabkan dehidrasi dan kehilangna elektrolit. Penderita ketoasidosis diabetik yang berat
8
dapat kehilangan kira-kira 6,5 L air dan sampai 400 hingga 500 mEq natrium, kalium serta
klorida selama periode waktu 24 jam.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak (lipolisis) menjadi asam-asam lemak
bebas dan gliserol. Asam lemak bebas akan diubah menjadi badan keton oleh hati. Pada
ketoasidosis diabetik terjadi produksi badan keton yang berlebihan sebagai akibat dari
kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya keadaan tersebut. Badan keton
bersifat asam, dan bila bertumpuk dalam sirkulasi darah, badan keton akan menimbulkan
asidosis metabolic
9
10
Gangguan Produksi atau Gangguan Reseptor Insulin
Penurunan proses penyimpanan glukosa
dalam hati
Penurunan kemampuan reseptor sel dalam uptake
glukosa
Kadar glukosa darah
Hiperosmolar darah
Kelaparan tingkat selular
Peningkatan proses glukolisis dan
glukoneogenesis
Shift cairanProses pemekatan kurang
Glukosuria
Poliura
Keseimbangan kalori negatif
Polipagi dan tenaga berkurang
Nutrisi : kurang dari kebutuhan
Pembentukan benda keton
Rangsangan metabolisme
anaerobik
Asidosis
Gangguan keseimbangan caira dan elektrolit
Dehidrasi
Resiko tinggi cidera
Kesadaran terganggu
Diferrential Diagnosis
Stroke
Stroke adalah terminologi klinis untuk gangguan sirkulasi darah non traumatik yang terjadi
secara akut pada suatu fokal area di otak, yang berakibat terjadinya keadaan iskemia dan
gangguan fungsi neurologis fokal maupun global, yang berlangsung lebih dari 24 jam, atau
langsung menimmbulkan kematian. Dalam hitungan detik dan menit, sel otak yang tidak
mendapatkan aliran darah yang adekuat lagi akan mati melalui berbagai proses patologis. Secara
tipikal, stroke bermanifestasi sebagai munculnya defisit neurologis secara tiba-tiba, seperti
kelemahan gerakan atau kelumpuhan, defisit sensorik, atau bisa juga gangguan berbahasa.4
Otak merupakan jaringan yang memiliki tingkat metabolisme paling tinggi. Meskipun
masa yang dimiliki hanya sekitar 2% dari masa keseluruhan tubuh, jaringan otak menggunakan
hingga 20% dari total curah jantung. Curah jantung digunakan sebagai sumber pemenuhan
kebutuhan glukosa dan oksigen yang diperlukan jaringan otak untuk metabolismenya.
Gejala fokal dan tanda-tanda gangguan fungsi otak pada stroke akan muncul sesuai
dengan area dari jaringan otak yang mengalami gangguan aliran darah. Dengan demikian, gejala
yang muncul sering kali dapat memberikan prediksi yang baik mengenai lokasi terjadinya
sumbatan pada pembuluh darah. Gejala fokal yang terlokalisir ini terutama dijumpai pada stroke
yang bersifat iskemik. Sedangkan pada stroke hemoragik, gejala fokal sering kali kurang jelas
dan kurang memberikan prediksi lokasi tertentu.
Hal ini berkaitan dengan sifat stroke hemoragik dimana umumnya segera terjadi berbagai
komplikasi perdarahan otak, seperti peningkatan tekanan intra kranial, edema otak, kompresi
jaringan otak dan pembuluh darah, dan terdispersinya darah yang keluar ke berbagai arah
sehingga memberikan gangguan fungsi otak di daerah selain terjadinya perdarahan.
Sebagian besar kasus stroke iskemik, dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik neuroligis,
akan diperoleh informasi yang cukup jelas untuk melokalisir lokasi lesi terdapat dan disisi
sebelah mana dari otak. Sebagai contoh, lesi akan terdapat pada sisi berlawanan (kontralateral)
11
dari hemiparesis atau hemisensorik yang dialami pasien. Gejala afasia juga akan didapat bila lesi
terletak pada sisi kiri otak. Selain itu, dapat pula diprediksi apakah lesi terdapat pada sistem
sirkulasi serebri anterior atau posterior dari sirkulus willisi, yaitu sistem sirkulasi darah yang
terdapat di dasar otak yang menjadi sumber aliran darah otak.4
Berdasrkan lokasi area otak yang dialirinya, serangan stroke pada sistem sirkulasi
posterior akan memberikan gejala disfungsi batang otak, termasuk koma, drop attack (lumpuh
tiba-tiba tanpa gangguan kesadaran), vertigo, nausea, vomitus, kelumpuhan nervus kranialis,
ataksia, dan defisit sensorimotorik yang menyilang (defisit pada wajah salah satu sisi dan pada
tubuh/ekstremitas sisi kontralateralnya). Hemiparesis, hemisensorik, dan defisit lapangan
pandang dapat pula terjadi, namun gejala ini tidak spesifik pada stroke di sirkulasi posteriol.
Setelah fase akut stroke tertangani, maka pasien perlu segera mendapatkan terapi
rehabilitasi medik. Hal ini perlu karena bentuk, masalah, pola penyembuhan, situasi sosial, dan
respon terhadap pengobatan yang berbeda-beda pada setiao pasien stroke maka sangat
diperlukan perencanaan program rehabilitasi yang bersifat individual. Beberapa hal yang bersifat
umum dalam penatalaksaan rehabilitasi medik pasien stroke yaitu : perawatan secara holistik,
terapi dengan gangguan terarah, lingkunagan dan waktu terapi, problema psikososial, dan
rehabilitasi pada fase akut.4
Hubungan Diabetes Mellitus dengan Stroke
1. Peningkatan aktivitas Renin Angiotensin System(RAS) pada Diabetes
Peningkatan aktivitas RAS ini pada pasien Diabetes Melitus diakibatkan karena Diabetes
dapat meningkatkan ekspresi dari reseptor angiotensin I. Peningkatan ekspresi reseptor
angiotensin I tersebut tentunya berpengaruh pada peningkatan aksi Angiotensin II yang pada
akhirnya aksi RAS akan meningkat. Jika RAS dibiarkan terus meningkat maka vasokontriksi pun
terjadi dan resorpsi Natrium pada renal tubular meningkat, kedua hal tersebut bisa menyebabkan
terjadinya hipertensi yang pada akhirnya resiko terjadinya Stroke akan bertambah.
2. Diabetes menyebabkan terjadinya aterosklerosis
Diabetes Mellitus dapat menimbulkan trial lipid yaitu hipertrigliseridemia,
hiperkolesterolemia terutama kolesterol LDL yang kecil/padat, dan rendahnya kadar kolesterol
HDL. Peran trial lipid pada aterogenesis sudah tidak diperdebatkan lagi karena memang sudah
terbukti dari berbagai penelitian epidemiologis.
12
Diabetes Mellitus mampu menebalkan dinding pembuluh darah otak yang berukuran
besar. Menebalnya dinding pembuluh darah otak akan menyempitkan diameter pembuluh darah
dan penyempitan tersebut kemudian akan mengganggu kelancaran aliran darah ke otak, yang
pada akhirnya akan menyebabkan infark sel – sel otak. 4
Ensefalopati Metabolik
Ensefalopati {Ensefalo + pati} adalah Penyakit degeneratif otak sedangkan
Metabolisme merupakan suatu Biotransformasi. Maka Ensefalopati Metabolik adalah
Gangguan neuropsikiatrik akibat penyakit metabolik otak.
Ensefalopati Metabolik adalah pengertian umum keadaan klinis yang ditandai dengan :
1. Penurunan kesadaran sedang sampai berat
2. Gangguan neuropsikiatrik : kejang, lateralisasi
3. Kelainan fungsi neurotransmitter otak
4. Tanpa di sertai tanda – tanda infeksi bacterial yang jelas
Ensefalopati metabolik merupakan suatu kondisi disfungsi otak yang global yang
menyebabkan terjadi perubahan kesadaran, perubahan tingkah laku dan kejang yang disebabkan
oleh kelainan pada otak maupun diluar otak. Kondisi ini mempengaruhi fungsi Ascending
Reticular Activating System dan atau mengganggu proyeksinya di kortek serebri sehingga terjadi
gangguan kesadaran dan atau kejang. Mekanisme terjadinya disfungsi otak ini multifaktorial,
termasuk perubahan aliran darah dan gangguan fungsi neurotransmitter diikuti gagalnya energi
metabolisme dan depolarisasi seluler.
Singkatnya, ensefalopati metabolik merupakan kelainan fungsi otak yang penyebabnya
berasal dari intra dan ekstraserebral. Prosesnya termasuk gangguan metabolik (elektrolit, serum
osmolaritas, fungsi renal dan disfungsi hepar, beberapa defisiensi (subtrat metabolik, hormon
turoid, vitamin B12, dll), racun (obat-obatan, alkohol,dll) atau kelainan toksik sistemik (misalnya
sepsis). Pada ensefalopati metabolik terdapat disfungsi difus dari otak, yang onsetnya cepat
dengan fluktuasi tingkat kesadaran (perhatian dan konsentrasi).
13
Klinis pasien dengan enselopati metabolik tergantung penyebabnya, usia dan keadaan
neural (misalnya kapasitas untuk kompensasi pada suatu disfungsi), biasanya klinisnya mirip,
berupa penurunan keadaran, kehilangan intelek progres (dementia), hypereksitasi seperti
dementia agitasi (delirium) atau kejang (myoclonus general dan multifokal, kejang tonik-klonik).
Kondisi seperti hyponatremi, hyperosmolar, hypercapnia, hypercalcemia, gagal hati
(Hepatic Encephlopathy, Porto Systemic Encephlopathy, Hepatic Coma) dan gagal ginjal
(aluminium encephalopathy, dialysis encephalopathy syndrome, dialysis dysequilibrium
syndrome) akan menyebabkan kelainan yang reversibel pada asrosit dan neuron, sehingga terjadi
gangguan cadangan energi, perubahan flux ion yang melintasi membran neural dan
menyebabkan kelainan neurotransmitter. Contohnya, tingginya konsentrasi amoniak dalam otak
berhubungan dengan koma hepatik yang mengganggu metabolisme energi serebral dan pompa
Na-K ATPase, sehingga meningkatkan jumlah dan ukuran astrosit, kelainan fungsi sel saraf, dan
meningkatnya konsentrasi produk toksik dari metabolisme amonia, juga menyebabkan
abnormalitas neurotransmitter, berupa ”false” neurotransmitter yang aktif pada pada permukan
reseptor. Berbeda dengan hyperammonia, dimana mekanismenya berbeda dan belum diketahui.
Mekanisme ensefalopati metabolik pada gagal ginjal juga tidak diketahui. Tidak seperti
ammonia, urea tidak menyebabkan toksisitas pada pusat persarafan (Central Nervous System).
Penyebabnya multifaktor, termasuk peningkatan permeabilitas sawar darah otak terhadap
substansi seperti asam organik dan peningkatan kalsium otak atau muatan fosfat LCS.
Volume cairan otak berhubungan dengan status kesadaran, faktor lain juga berperan.
Kadar sodium dibawah 125 mmol/L menybabkan konfusi dan di bawah 115 mmol/L
berbuhungan dengan koma dan konvulsi. Besarnya perubahan neurologlk tergantung dari
perubahankadar yang cepat serum.
Dialisis pada gagal ginjal dapat meningkatkan resiko tejadinya kejang : hampir sepertiga
pasien dengan gagal ginjal mengalami ensefalopati metabolik akibat dialisis. Insidennya dapt
diturunkan dengan cara merubah prosedur dialisis. Dysequilibrium syndrome, berupa pertukaran
cairan yang cepat yang terlihat pada pasien dengan sindroma uremik, biasanya setelah dialisis
pertama. Manifestasinya berupa kejang dan konfusi sedang. Lesi pada struktur otak,yang dapat
dilihat dengan pencitraan otak, juga meningkatkan resiko terjadinya kejang.
14
Penatalaksanaan syok septik
Penatalaksanaan
Dalam melakukan evaluasi pasien sepsis, diperlukan ketelitian dan pengalaman dalam
mencari dan menentukan sumber infeksi, menduga patogen yang menjadi penyebab (berdasarkan
pengalaman klinis dan pola kuman di RS setempat), sebagai panduan dalam memberikan terapi
antimikroba empirik.1
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencakup eliminasi patogen penyebab infeksi,
mengontrol sumber infeksi dengan tindakan drainase atau bedah bila diperlukan, terapi
antimikroba yang sesuai, resusitasi bila terjadi kegagalan organ atau renjatan. Vasopresor dan
inotropik, terapi suportif terhadap kegagalan organ, gangguan koagulasi dan terapi imunologi
bila terjadi respons imun maladaptif host terhadap infeksi.
1. Resusitasi
Mencakup tindakan airway (A), breathing (B), circulation (C) dengan oksigenasi,
terapi cairan (kristaloid dan/atau koloid), vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Tujuan resusitasi pasien dengan sepsis berat atau yang mengalami hipoperfusi dalam 6 jam
pertama adalah CVP 8-12 mmHg, MAP >65 mmHg, urine >0.5 ml/kg/jam dan saturasi
oksigen >70%. Bila dalam 6 jam resusitasi, saturasi oksigen tidak mencapai 70% dengan
resusitasi cairan dengan CVP 8-12 mmHg, maka dilakukan transfusi PRC untuk mencapai
hematokrit >30% dan/atau pemberian dobutamin (sampai maksimal 20 μg/kg/menit).5
2. Eliminasi sumber infeksi
Tujuan: menghilangkan patogen penyebab, oleh karena antibiotik pada umumnya
tidak mencapai sumber infeksi seperti abses, viskus yang mengalami obstruksi dan implan
prostesis yang terinfeksi.1 Tindakan ini dilakukan secepat mungkin mengikuti resusitasi yang
adekuat.1
15
3. Terapi antimikroba
Merupakan modalitas yang sangat penting dalam pengobatan sepsis. Terapi
antibiotik intravena sebaiknya dimulai dalam jam pertama sejak diketahui sepsis berat,
setelah kultur diambil. Terapi inisial berupa satu atau lebih obat yang memiliki aktivitas
melawan patogen bakteri atau jamur dan dapat penetrasi ke tempat yang diduga sumber
sepsis Oleh karena pada sepsis umumnya disebabkan oleh gram negatif, penggunaan
antibiotik yang dapat mencegah pelepasan endotoksin seperti karbapenem memiliki
keuntungan, terutama pada keadaan dimana terjadi proses inflamasi yang hebat akibat
pelepasan endotoksin, misalnya pada sepsis berat dan gagal multi organ.1
Pemberian antimikrobial dinilai kembali setelah 48-72 jam berdasarkan data mikrobiologi dan
klinis. Sekali patogen penyebab teridentifikasi, tidak ada bukti bahwa terapi kombinasi lebih
baik daripada monoterapi.5
4. Terapi suportif
a. Oksigenasi
Pada keadaan hipoksemia berat dan gagal napas bila disertai dengan penurunan
kesadaran atau kerja ventilasi yang berat, ventilasi mekanik segera dilakukan.
b. Terapi cairan
o Hipovolemia harus segera diatasi dengan cairan kristaloid (NaCl 0.9% atau ringer
laktat) maupun koloid.1
o Pada keadaan albumin rendah (<2 g/dL) disertai tekanan hidrostatik melebihi tekanan
onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan.
16
o Transfusi PRC diperlukan pada keadaan perdarahan aktif atau bila kadar Hb rendah
pada kondisi tertentu, seperti pada iskemia miokard dan renjatan septik. Kadar Hb
yang akan dicapai pada sepsis masih kontroversi antara 8-10 g/dL.
c. Vasopresor dan inotropik
Sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian cairan
adekuat, akan tetapi pasien masih hipotensi. Vasopresor diberikan mulai dosis rendah dan
dinaikkan (titrasi) untuk mencapai MAP 60 mmHg atau tekanan darah sistolik 90mmHg.
Dapat dipakai dopamin >8μg/kg.menit,norepinefrin 0.03-1.5μg/kg.menit, phenylepherine
0.5-8μg/kg/menit atau epinefrin 0.1-0.5μg/kg/menit. Inotropik dapat digunakan:
dobutamine 2-28 μg/kg/menit, dopamine 3-8 μg/kg/menit, epinefrin 0.1-0.5 μg/kg/menit
atau fosfodiesterase inhibitor (amrinone dan milrinone).1
d. Bikarbonat
Secara empirik bikarbonat diberikan bila pH <7.2 atau serum bikarbonat <9 mEq/L
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.1
e. Disfungsi renal
Akibat gangguan perfusi organ. Bila pasien hipovolemik/hipotensi, segera diperbaiki
dengan pemberian cairan adekuat, vasopresor dan inotropik bila diperlukan. Dopamin
dosis renal (1-3 μg/kg/menit) seringkali diberikan untuk mengatasi gangguan fungsi
ginjal pada sepsis, namun secara evidence based belum terbukti. Sebagai terapi pengganti
gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun hemofiltrasi kontinu.1
f. Nutrisi
Pada metabolisme glukosa terjadi peningkatan produksi (glikolisis, glukoneogenesis),
ambilan dan oksidasinya pada sel, peningkatan produksi dan penumpukan laktat dan
kecenderungan hiperglikemia akibat resistensi insulin. Selain itu terjadi lipolisis,
hipertrigliseridemia dan proses katabolisme protein. Pada sepsis, kecukupan nutrisi:
kalori (asam amino), asam lemak, vitamin dan mineral perlu diberikan sedini mungkin.1
17
g. Kontrol gula darah
Terdapat penelitian pada pasien ICU, menunjukkan terdapat penurunan mortalitas sebesar
10.6-20.2% pada kelompok pasien yang diberikan insulin untuk mencapai kadar gula
darah antara 80-110 mg/dL dibandingkan pada kelompok dimana insulin baru diberikan
bila kadar gula darah >115 mg/dL. Namun apakah pengontrolan gula darah tersebut dapat
diaplikasikan dalam praktek ICU, masih perlu dievaluasi, karena ada risiko
hipoglikemia.1
h. Gangguan koagulasi
Proses inflamasi pada sepsis menyebabkan terjadinya gangguan koagulasi dan DIC
(konsumsi faktor pembekuan dan pembentukan mikrotrombus di sirkulasi). Pada sepsis
berat dan renjatan, terjadi penurunan aktivitas antikoagulan dan supresi proses fibrinolisis
sehingga mikrotrombus menumpuk di sirkulasi mengakibatkan kegagalan organ. Terapi
antikoagulan, berupa heparin, antitrombin dan substitusi faktor pembekuan bila
diperlukan dapat diberikan, tetapi tidak terbukti menurunkan mortalitas.
i. Kortikosteroid
Hanya diberikan dengan indikasi insufisiensi adrenal. Hidrokortison dengan dosis 50 mg
bolus IV 4x/hari selama 7 hari pada pasien dengan renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibandingkan kontrol. Keadaan tanpa syok, kortikosteroid
sebaiknya tidak diberikan dalam terapi sepsis.1
5. Modifikasi respons inflamasi
Anti endotoksin (imunoglobulin poliklonal dan monoklonal, analog
lipopolisakarida); antimediator spesifik (anti-TNF, antikoagulan-antitrombin, APC, TFPI;
antagonis PAF; metabolit asam arakidonat (PGE1), antagonis bradikinin, antioksidan (N-
18
asetilsistein, selenium), inhibitor sintesis NO (L-NMMA); imunostimulator (imunoglobulin,
IFN-γ, G-CSF, imunonutrisi); nonspesifik (kortikosteroid, pentoksifilin, dan hemofiltrasi).
Endogenous activated protein C memainkan peranan penting dalam sepsis: inflamasi, koagulasi
dan fibrinolisis. Drotrecogin alfa (activated) adalah nama generik dari bentuk rekombinan dari
human activated protein C yang diindikasikan untuk menurunkan mortalitas pada pasien dengan
sepsis berat dengan risiko kematian yang tinggi.1
Prognosis
Sepsis sangat mengancam nyawa, terlebih lagi pada orang yang mempunyai system imun yang
rendah dengan penyakit kronis
Kerusakan yang disebabkan adanya gangguan sirkulasi darah ke organ yang penting seperti otak,
jantung dan ginjal memerulkan waktu yang lama untuk proses penyembuhannya .
Tidak semua pasien bias selamat dari serangan sepsis
19
Daftar pustaka
1. Sudoyo AW et al. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid 1. FKUI. Jakarta.2007. p;728-30
2. Corwin EJ. Buku saku patofisiologi. EGC. Jakarta.2009. p;448-50
3. Robbins, Contran, Kumar. Buku saku dasar patologi penyakit. Edisi 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran ECG;2004
4. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Jilid 3.Edisi ke-5. Jakarta : InternaPublishing; 2009. H.1680-84
5. Mansjoer, Arif et al. Kapita selekta kedokteran. Jilid 1. Edisi ke-3. Jakarta : EGC ; 2007.
Hal 488-491
20