serologi dbd.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Demam Berdarah Dengue (DBD) merupakan salah satu masalah
kesehatan masyarakat secara global, nasional dan lokal. Lebih dari 2,5
milyar penduduk (lebih dari 40% populasi dunia) berisiko terinfeksi DBD.
Saat ini, DBD menjadi penyakit endemik di lebih dari 100 negara di Afrika,
Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat dan untuk
pertama kalinya dilaporkan terjadi kasus DBD di Prancis, Kroasia dan
beberapa negara lain di Eropa (WHO, 2012). Di Indonesia, anak-anak
merupakan kelompok usia yang paling banyak menderita DBD, dengan
proporsi sekitar 30% (Kemenkes RI, 2012).
Demam Dengue (DD) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
disebabkan virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family
Flaviviridae, dan mempunyai 4 jenis serotipe akan menimbulkan antibody
terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibody yang terbentuk
terhadap serotype laen sangat kurang, sehingga tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai terhadap serotype laen tersebut. Seseorang
yang tinggal didaerah keempat serotype virus dengue dapat ditemukan
diberbagai daerah di Indonesia. Di Indonesia, pengamatan virus dengue
yang dilakukan sejak tahun 1975 di beberapa rumah sakit menunjukan
bahwa keempat serotype ditemukan dan bersikulasi disepanjang tahun.
Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan
banyak yang menunjukan manifestasi klinik yang berat.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana respon imun tubuh terhadap virus demam berdarah dengue ?
1
BAB II
DEMAM BERDARAH DENGUE
2.1. Definisi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue / DF dan demam berdarah dengue / DBD (dengue
haemorrhagic fever / DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan / atau nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diathesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang ditandai
oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah
demam berdarah dengue yang ditandai oleh renjatan / syok (Suhendro,
Nainggolan, Chen, 2006).
2.2. Etiologi Demam Berdarah Dengue
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus
dengue, yang termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae.
Flavivirus merupakan virus dengan diameter 30 nm terdiri dari asam
ribonukleat rantai tunggal dengan berat molekul 4 x 106.
Terdapat 4 serotipe virus tipe yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan
DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan demam dengue atau demam
berdarah dengue keempat serotype ditemukan di Indonesia dengan DEN-3
merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotype
dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encephalitis
dan West Nile virus (Suhendro, Nainggolan, Chen).
2.3. Epidemiologi Demam Berdarah Dengue
Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik
Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di
seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per
100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat
kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998,
3
sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada
tahun 1999.
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus
Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap
tahunnya berkaitan dengan sanitasi lingkungan dengan tersedianya tempat
perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak
mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya).
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi
virus dengue yaitu :
Vektor : perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan,
transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain;
Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan / keluarga, mobilisasi
dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk (WHO,
2000).
2.4. Patogenesis Demam Berdarah Dengue
Patogenesis terjadinya demam berdarah dengue hingga saat ini masih
diperdebatkan. Berdasarkan data yang ada, terdapat bukti yang kuat bahwa
mekanisme imunopatologis berperan dalam terjadinya demam berdarah
dengue dan sindrom renjatan dengue.
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD
adalah :
a. Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berperan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimediasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus dengue
berperan dalam mempercepat replikasi virus pada monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE);
b. Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berperan dalam
respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T helper yaitu
4
2.2 . :Sumber (dengue virus infeksi klinis Manifestasi Monograph on
Dengue virus infection
Symptomatic Asymptomatic Undifferentiated Dengue fever Dengue haemorrhagic fever syndrome fever
No shock Dengue shock Without With unusual syndrome haemorrhage haemorrhage gue haemorrhagicenD D engue fever fever
TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan limfokin,
sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
c. Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
d. Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
Dengue/Dengue Haemorrahgic fever, WHO 1983)
2.5. Manifestasi Klinis dan Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatik,
atau dapat berupa demam yang tidak khas, demam dengue, demam berdarah
dengue atau sindrom syok dengue (SSD).
Pada umumnya pasien mengalami fase demam 2-7 hari, yang diikuti
oleh fase kritis selam 2-3 hari. Pada waktu fase ini pasien sudah tidak
demam, akan tetapi mempunyai risiko untuk terjadi renjatan jika tidak
mendapat pengobatan tidak adekuat (Kabra, Jain, Singhal, 1999).
5
Gejala utama dari demam berdarah adalah demam tinggi, sakit kepala
parah, sakit parah di belakang mata, nyeri sendi, nyeri otot dan tulang, ruam,
dan perdarahan ringan (misalnya, hidung atau gusi berdarah, mudah
memar). Umumnya, anak-anak muda dan orang-orang dengan infeksi
dengue pertama mereka memiliki penyakit ringan dari anak-anak dan orang
dewasa.
Ketika penurunan demam, gejala termasuk muntah terus menerus,
sakit perut parah, dan kesulitan bernapas, mungkin berkembang. Ini
menandai awal dari untuk periode 24-48 jam ketika pembuluh darah
terkecil (kapiler) menjadi berlebihan permeabel, yang memungkinkan
komponen cairan untuk melarikan diri dari pembuluh darah ke dalam
peritoneum (menyebabkan ascites) dan rongga pleura (menyebabkan efusi
pleura). Hal ini dapat menyebabkan kegagalan sistem peredaran darah dan
shock, diikuti dengan kematian, jika kegagalan sirkulasi tidak dikoreksi.
Selain itu, pasien dengan DBD memiliki jumlah platelet yang rendah dan
manifestasi perdarahan, kecenderungan untuk mudah memar atau jenis lain
dari perdarahan kulit, perdarahan hidung atau gusi, dan pendarahan
mungkin internal.
2.6. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menapis pasien
tersangka demam dengue adalah melalui pemeriksaan kadar hemoglobin,
hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanya limfositosis relative disertai gambaran limfosit plasma biru.
Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue (cell
culture) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan teknik RT-
PCR (Reserve Transcriptase Polymerase Chain Reaction), namun karena
teknik yang lebih rumit, saat ini tes serologis yang mendeteksi adanya
antibody spesifik terhadap dengue berupa antibody total, IgM maupun
IgG.
6
Parameter Laboratoris yang dapat diperiksa antara lain :
Leukosit: dapat normal atau menurun. Mulai hari ke-3 dapat ditemui
limfositosis relative (>45% dari total leukosit) disertai adanya limfosit
plasma biru (LPB) > 15% dari jumlah total leukosit yang pada fase
syok akan meningkat.
Trombosit: umumnya terdapat trombositopenia pada hari ke 3-8.
Hematokrit: Kebocoran plasma dibuktikan dengan ditemukannya
peningkatan hematokrit ≥ 20% dari hematokrit awal, umumnya
dimulai pada hari ke-3 demam.
Hemostasis: Dilakukan pemeriksaan PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer,
atau FDP pada keadaan yang dicurigai terjadi perdarahan atau
kelainan pembekuan darah.
Protein/albumin: Dapat terjadi hipoproteinemia akibat kebocoran
plasma.
SGOT/SGPT (serum alanin aminotransferase): dapat meningkat.
Ureum, Kreatinin: bila didapatkan gangguan fungsi ginjal.
Golongan darah: dan cross macth (uji cocok serasi): bila akan
diberikan transfusi darah atau komponen darah.
Imuno serologi dilakukan pemeriksaan IgM dan IgG terhadap dengue.
o IgM: terdeksi mulai hari ke 3-5, meningkat sampai minggu ke-3,
menghilang setelah 60-90 hari.
o IgG: pada infeksi primer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke-14,
pada infeksi sekunder IgG mulai terdeteksi hari ke-2.
Uji III: Dilakukan pengambilan bahan pada hari pertama serta saat
pulang dari perawatan, uji ini digunakan untuk kepentingan
surveilans. (WHO, 2006).
b. Pemeriksaan Radiologis
Pada foto dada didapatkan efusi pleura, terutama pada hemitoraks
kanan tetapi apabila terjadi perembesan plasma hebat, efusi pleura dapat
dijumpai pada kedua hemitoraks. Pemeriksaan foto rontgen dada
sebaiknya dalam posisi lateral dekubitus kanan (pasien tidur pada sisi
7
badan sebelah kanan). Asites dan efusi pleura dapat pula dideteksi
dengan pemeriksaan USG. (WHO, 2006).
2.7. Diagnosis
Masa inkubasi dalam tubuh manusia sekitar 4-6 hari (rentang 3-14
hari), timbul gejala prodormal yang tidak khas seperti : nyeri kepala, nyeri
tulang belakang dan perasaan lelah.
a. Demam Dengue (DD)
Merupakan penyakit demam akut selama 2-7 hari, ditandai dengan
dua atau lebih manifestasi klinis sebagai berikut:
Nyeri kepala.
Nyeri retro-oebital.
Mialgia / artralgia.
Ruam kulit.
Manifestasi perdarahan (petekie atau uji bending positif).
Leukopenia.
b. Demam Berdarah Dengue (DBD)
Berdasarkan kriteria WHO 1997 diagnosis DBD ditegakkan bila
semua hal ini di bawah ini dipenuhi :
Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari, biasanya bifasik.
Terdapat minimal satu dari manifestasi perdarahan berikut :
o Uji bendung positif.
o Petekie, ekimosis, atau purpura.
o Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau
perdarahan dari tempat lain.
o Hematemesis atau melena.
Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ul).
Terdapat minimal satu tanda-tanda plasma leakage (kebocoran
plasma) sebagai berikut :
8
o Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuai dengan
umur dan jenis kelamin.
o Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi cairan,
dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
o Tanda kebocoran plasma seperti : efusi pleura, asites atau
hipoproteinemia.
Dari keterangan di atas terlihat bahwa perbedaan utama antara DD
dan DBD adalah pada DBD ditemukan adanya kebocoran plasma.
(WHO, 1997)
2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding perlu dipertimbangkan bilamana terdapat
kesesuaian klinis dengan demam tiroid, campak, influenza, chikungunya
dan leptospirosis.
Seluruh kriteria di atas untuk DBD disertai kegagalan sirkulasi dengan
manifestasi nadi yang cepat dan lemah, tekanan darah turun (≤ 20 mmHg),
hipotensi dibandingkan standar sesuai umur, kulit dingin dan lembab serta
gelisah. (Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan, 2006)
9
2.9. Derajat penyakit infeksi Virus Dengue
Untuk menentukan penatalaksanaan pasien infeksi virus dengue, perlu
diketahui klasifikasi derajat penyakit seperti tertera pada tabel berikut :
Tabel Klasifikasi Derajat Penyakit Infeksi Virus Dengue (WHO,1997)
DD/DBD Derajat Gejala Laboratorium Keterangan
DD
Demam disertai 2 atau
lebih tanda: sakit
kepala, nyeri retro-
orbital, mialgia,
artralgia.
Leucopenia
Trombositopenia,
tidak ditemukan bukti
kebocoran plasma
Serologi
Dengue
Positif
DBD I
Gejala di atas
ditambah uji bendung
positif .
Trombositopenia,
(<100.000/? l), bukti
ada kebocoran plasma
DBD II
Gejala di atas
ditambah perdarahan
spontan
Trombositopenia,
(<100.000/? l),
bukti ada kebocoran
plasma
DBD III
Gejala di atas
ditambah kegagalan
sirkulasi (kulit dingin
dan lembab serta
gelisah)
Trombositopenia,
(<100.000/? l), bukti
ada kebocoran
plasma
DBD IV
Syok berat disertai
dengan tekanan
darah dan nadi tidak
terukur.
Trombositopenia,
(<100.000/? l), bukti
ada kebocoran
plasma
DBD derajat III dan IV juga disebut sindrom syok dengue (SSD)
2.10. Definisi gambaran Enzim Transaminase
Dalam pekerjaannya, hati kita membuat beberapa produk, termasuk
jenis protein yang disebut sebagai enzim. Gambaran enzim transaminase
adalah sejenis tes yang digunakan untuk mengukur level beberapa jenis
10
enzim hati, yang merupakan protein spesifik yang membantu tubuh untuk
memecahkan dan menggunakan (metabolisme) substansi yang lain. Produk
ini dapat keluar dari hati dan masuk ke aliran darah. Tingkat produk tersebut
dapat diukur dalam darah. (Wendon, William, 2008)
2.11. Bagian gambaran enzim transaminase
Produk berikut biasanya diukur sebagai bagian dari gambaran enzim
transaminase:
▪ ALT (alanin aminotransferase), juga dikenal sebagai SGPT (serum
glutamik piruvik transaminase)
▪ AST (aspartat aminotransferase), juga dikenal sebagai SGOT (serum
glutamik oksaloasetik transaminase)
Tabel 2.2. Nilai Rujukan Gambaran Fungsi Hati
Ukuran Satuan Nilai Rujukan P/L
ALT (SGPT) U/L< 23 P
< 30 L
AST (SGOT) U/L< 21 P
< 25 L
(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).
2.12. Hasil Tes
Penyakit hati yang berbeda akan menyebabkan kerusakan yang
berbeda, dan tes fungsi hati dapat menunjukkan perbedaan ini. Hasil tes
fungsi hati dapat memberi gambaran mengenai penyakit apa yang mungkin
menyebabkan kerusakan, tetapi tes ini tidak mampu mendiagnosis akibat
penyakit hati.
Hasil tes ini juga bermanfaat untuk memantau perjalanan penyakit
hati, tetapi sekali lagi, mungkin tidak memberi gambaran yang tepat. Namun
biasanya hasil tes fungsi hati memberi gambaran mengenai tingkat
peradangan (Wendon, Williams, 2008).
11
2.13. Enzim Hati
ALT adalah lebih spesifik untuk kerusakan hati. ALT adalah enzim
yang dibuat dalam sel hati (hepatosit), jadi lebih spesifik untuk penyakit hati
dibandingkan dengan enzim lain. Biasanya peningkatan ALT terjadi bila
ada kerusakan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan hati dapat
menyebabkan peningkatan pada selaput sel hati. Setiap jenis peradangan
hati dapat menyebabkan peningkatan pada ALT. Peradangan pada hati dapat
disebabkan oleh hepatitis virus, beberapa obat, penggunaan alkohol, dan
penyakit pada saluran cairan empedu.
AST adalah enzim mitokondria yang juga ditemukan dalam jantung,
ginjal dan otak. Jadi tes ini kurang spesifik untuk penyakit hati. Dalam
beberapa kasus peradangan hati, peningkatan ALT dan AST akan serupa
(Gowda, Desai, Hull, Math, Kulkarni, Vernekar, 2009).
2.14. Hubungan infeksi dengue dengan gambaran enzim transaminase
Organ sasaran dari virus adalah organ RES meliputi sel kuffer hepar,
endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Data dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa sel-sel monosit dan
makrofag mempunyai peranan besar pada infeksi ini. Dalam peredaran
darah, virus tersebut akan difagosit oleh sel monosit perifer.
Setelah virus dengue masuk dalam tubuh manusia, virus berkembang
biak dalam sel retikuloendotelial ( hepar) yang selanjutnya diikuiti dengan
viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat infeksi virus ini muncul respon
imun baik humoral maupun selular, antara lain anti netralisasi, anti-
hemaglutinin, anti komplemen. Antibodi yang muncul pada umumnya
adalah IgG dan IgM, pada infeksi dengue primer antibodi mulai terbentuk,
dan pada infeksi sekunder kadar antibodi yang telah ada meningkat (booster
effect).
Antibodi terhadap virus dengue dapat ditemukan di dalam darah
sekitar demam hari ke-5, meningkat pada minggu pertama sampai dengan
ketiga, dan menghilang setelah 60-90 hari. Kinetik kadar IgG berbeda
dengan kinetik kadar antibodi IgM, oleh karena itu kinetik antibodi IgG
12
harus dibedakan antara infeksi primer dan sekunder. Pada infeksi primer
antibodi IgG meningkat sekitar demam hari ke-14 sedang pada infeksi
sekunder antibodi IgG meningkat pada hari kedua. Oleh karena itu diagnosa
dini infeksi primer hanya dapat ditegakkan dengan mendeteksi antibodi IgM
setelah hari sakit kelima, diagnosis infeksi sekunder dapat ditegakkan lebih
dini dengan adanya peningkatan antibody IgG dan IgM yang cepat.
Hipotesis tentang patogenesis DBD / SSD seperti antibody-dependent
enhancement, virus virulence, dan imunopatogenesis yang diprakarsai oleh
IFN-γ / TNF-α dianggap belum cukup untuk menjawab terjadinya
trombositopenia dan hemokonsentrasi pada DBD / SSD. Menurut Lei HY
dkk, 2001, infeksi virus dengue akan mempengaruhi sistem imun tubuh
berupa perubahan dari rasio CD4 / CD8, overproduksi dari sitokin dan dapat
menginfeksi sel-sel endotel dan hepatosit dengan akibat terjadinya apoptosis
serta disfungsi dari sel-sel tersebut. Begitu juga sistem koagulasi dan
fibrinolisis ikut teraktivasi selama infeksi virus dengue.
Gangguan terhadap respon imun tidak hanya berupa gangguan dalam
membersihkan virus dari dalam tubuh, akan tetapi over produksi sitokin
dapat mempengaruhi sel-sel endotel, monosit dan hepatosit. Kerusakan
trombosit akibat dari reaksi silang otoantibodi anti-trombosit, karena
overproduksi IL-6 yang berperan besar dalam terbentuknya otoantibodi anti-
trombosit dan anti-sel endotel, serta meningkatnya level dari tPA dan
defisiensi koagulasi.
Disimpulkan bahwa penyebab dari kebocoran plasma yang khas
terjadi pada pasien DBD dan SSD disebabkan oleh kerja bersama seperti
suatu konser dari aktivasi komplemen, induksi kemokin dan kematian sel
apoptotik. Dihipotesiskan bahwa peningkatan sintesis IL-8 memegang peran
penting dalam terjadinya kebocoran plasma pada pasien DBD dan SSD. Hal
ini dapat dilihat dalam serum pasien DBD / DSS berat terjadi peningkatan
level IL-8, dan dibuktikan secara in vitro oleh Bosch I dkk (2002) melalui
kultur primer dari monosit manusia yang diinfeksi dengan virus dengue tipe
2, terjadi peningkatan level IL-8 dalam supernatan kultur, yang diperkirakan
karena terjadi peningkatan aktivasi dari NF-kappaB. Penelitian oleh Bethell
13
dkk (1998) terhadap anak di Vietnam dengan DBD dan SSD menyebutkan
bahwa pada anak dengan SSD ternyata level IL-6 dan soluble intercellular
adhesion molecule-1 rendah, hal ini merefleksikan adanya kehilangan
protein dalam sirkulasi karena kebocoran kapiler dan hanya level dari
reseptor TNF terlarut (TNFR) yang meninggi seiring dengan beratnya
penyakit.
2.15. Respon Imunologis
Virus dengue termasuk ke dalam Arthropoda Borne Virus (Arbo
virus) dan terdiri dari 4 serotype yaitu DEN 1, 2, 3, dan 4. Infeksi virus
dengue untuk pertama kali akan merangsang terbentuknya antibodi non-
netralisasi. Sesuai dengan namanya, antibodi tersebut tidak bersifat
menetralkan replikasi virus, tetapi justru memacu replikasi virus. Akibatnya
terbentuk kompleks imun yang lebih banyak pada infeksi sekunder
oleh serotype lain. Hal itu yang menyebabkan manifestasi klinis infeksi
sekunder lebih berat dibanding infeksi sekunder (Soedarmo, 2002).
Antibodi non-netralisasi yang terbentuk akan bersirkulasi bebas di
darah atau menempel di sel fagosit mononuklear yang merupakan tempat
utama infeksi virus dengue. Antibodi non-netralisasi yang menempel pada
sel fagosit mononuklear berperan sebagai reseptor dan generator replikasi
virus. Kemudian virus dengue dengan mudah masuk dan menginfeksi sel
fagosit (mekanisme aferen). Selanjutnya virus bereplikasi di dalam sel
fagosit dan bersama sel fagosit yang telah terinfeksi akan menyebar ke
organ lain seperti hati, usus, limpa, dan sumsum tulang belakang
(mekanisme eferen). Adanya sel fagosit yang terinfeksi akan memicu respon
dari sel imun lain sehingga muncul berbagai manifestasi klinis\yang disebut
sebagai mekanisme efektor (Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
Mekanisme efektor dimulai dengan aktivasi sel T helper (CD4), T
sitotoksik (CD8), dan sistem komplemen oleh sel fagosit yang terinfeksi. Th
selanjutnya berdiferensiasi menjadi Th1 dan Th2. Th1 akan melepaskan
IFN-γ, IL-2, dan limfokin sedangkan Th2 melepaskan IL-4, IL-5, IL-6, dan
IL-10. Selanjutnya IFN-γ akan merangsang monosit melepaskan TNF-α, IL-
14
1, PAF, IL-6, dan histamin. Limfokin juga merangsang makrofag melepas
IL-1. IL-2 juga merupakan stimulan pelepasan IL-1, TNF-α, dan IFN-γ.
Pada jalur komplemen, kompleks imun akan menyebabkan aktivasi jalur
komplemen sehingga dilepaskan C3a dan C5a (anafilatoksin) yang
meningkatkan jumlah histamin. Hasil akhir respon imun tersebut adalah
peningkatan IL-1, TNF-α, IFN-γ, IL-2, dan histamin (Kresno, 2001;
Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
IL-1, TNF-α, dan IFN-γ dikenal sebagai pirogen endogen sehingga
timbul demam. IL-1 langsung bekerja pada pusat termoregulator sedangkan
TNF-α dan IFN-γ bekerja tidak secara langsung karena merekalah yang
merangsang pelepasan IL-1. Bagaimana mekanisme IL-1 menyebabkan
demam ? Daerah spesifik IL-1 adalah pre-optik dan hipothalamus anterior
dimana terdapat corpus callosum lamina terminalis (OVLT). OVLT terletak
di dinding rostral ventriculus III dan merupakan sekelompok saraf
termosensitif (cold dan hot sensitive neurons). IL-1 masuk ke dalam OVLT
melalui kapiler dan merangsang sel memproduksi serta melepaskan PGE2.
Selain itu, IL-1 juga dapat memfasilitasi perubahan asam arakhidonat
menjadi PGE2.
Selanjutnya PGE2 yang terbentuk akan berdifusi ke dalam
hipothalamus atau bereaksi dengan cold sensitive neurons. Hasil akhir
mekanisme tersebut adalah peningkatan thermostatic set pointyang
menyebabkan aktivasi sistem saraf simpatis untuk menahan panas
(vasokontriksi) dan memproduksi panas dengan menggigil (Kresno, 2001;
Abdoerrachman, 2002).
Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap
gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan
penurunan sintesis albumin serta transferin. Penurunan nafsu makan
merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan
meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam
sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus ventromedial yang
berakibat pada penurunan intake makanan (Luheshi et al., 2000).
15
IFN-γ sebenarnya berfungsi sebagai penginduksi makrofag yang
poten, menghambat replikasi virus, dan menstimulasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Namun, bila jumlahnya terlalu banyak akan
menimbulkan efek toksik seperti demam, rasa dingin, nyeri sendi, nyeri
otot, nyeri kepala berat, muntah, dan somnolen(Soedarmo, 2002).
Sejak awal demam sebenarnya telah terjadi penurunan jumlah
trombosit pada penderita DBD. Penurunan jumlah trombosit memudahkan
terjadinya perdarahan pada pembuluh darah kecil seperti kapiler yang
bermanifes sebagai bercak kemerahan. Di sisi lain, peningkatan jumlah
histamin meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga terjadi perembesan
cairan plasma dari intravaskuler ke interstisiel. Hal itu semakin diperparah
dengan penurunan jumlah albumin akibat kerja IL-1 dan gangguan fungsi
hati.
Adanya plasma leakage tersebut menyebabkan peningkatan Hct.
Trombositopenia terjadi akibat pemendekan umur trombosit akibat destruksi
berlebihan oleh virus dengue dan sistem komplemen (pengikatan fragmen
C3g); depresi fungsi megakariosit, serta supresi sumsum tulang. Destruksi
trombosit terjadi di hepar, lien, dan sumsum tulang. Trombositopenia
menyebabkan perdarahan di mukosa tubuh sehingga sering muncul keluhan
melena, epistaksis, dan gusi berdarah.
Hepatomegali pada pasien DBD terjadi akibat kerja berlebihan hepar
untuk mendestruksi trombosit dan untuk menghasilkan albumin. Selain itu,
sel-sel hepar terutama sel Kupffer mengalami banyak kerusakan akibat
infeksi virus dengue. Bila kebocoran plasma dan perdarahan yang terjadi
tidak segera diatasi, maka pasien dapat jatuh ke dalam kondisi kritis yang
disebut DSS (Dengue Shock Sydrome) dan sering menyebabkan kematian
(Soedarmo, 2002; Nainggolan et al., 2006).
2.16. Penularan Virus Dengue
Dengue ditularkan antar manusia oleh nyamuk Aedes aegypti dan
Aedes albopictus, yang ditemukan di seluruh dunia. Serangga yang
menularkan penyakit adalah vektor. Gejala infeksi biasanya mulai 4-7 hari
16
setelah gigitan nyamuk dan biasanya berlangsung 3 - 10 hari. Dalam rangka
untuk transmisi terjadi nyamuk harus memberi makan pada seseorang
selama periode 5 hari ketika sejumlah besar virus dalam darah, periode ini
biasanya dimulai sebelum penderita mengalami gejala. Beberapa penderita
tidak memiliki gejala yang signifikan namun masih dapat terinfeksi
nyamuk. Setelah virus masuk ke dalam darah, virus akan memerlukan
inkubasi 8-12 hari sebelum kemudian dapat ditularkan ke manusia lain.
Dalam kasus yang jarang terjadi dengue dapat ditransmisikan dalam
transplantasi organ atau transfusi darah dari donor yang terinfeksi, dan ada
bukti penularan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada janinnya. Namun
dalam sebagian besar infeksi, gigitan nyamuk merupakan penyebab yang
sering terjadi.
Di banyak bagian daerah tropis dan subtropis, demam berdarah adalah
endemik, yait terjadi setiap tahun, biasanya selama musim ketika populasi
nyamuk Aedes yang tinggi, sering ketika curah hujan optimal untuk
pembibitan. Dengue epidemi memerlukan banyak nyamuk vektor, banyak
orang tanpa kekebalan terhadap salah satu jenis empat virus (DENV 1,
DENV 2, DENV 3, DENV 4), dan kesempatan untuk kontak antara
keduanya. Meskipun Aedes yang umum di AS selatan, demam berdarah
adalah endemik di Meksiko utara, dan penduduk AS tidak memiliki
kekebalan, kurangnya transmisi dengue di benua Amerika terutama karena
kontak antara manusia dan vektor terlalu jarang untuk mempertahankan
transmisi.
2.17. Entomologi dan Ekologi Aedes Aegypti
Aedes aegypti, nyamuk vektor utama virus dengue adalah serangga
berhubungan erat dengan manusia dan tempat tinggal mereka. Manusia
tidak hanya menyediakan darah sebagai makanan untuk nyamuk tetapi juga
menyediakan tempat untuk berkembangbiak. Nyamuk meletakkan telur
mereka di sisi wadah penampungan air dan telur menetas menjadi larva
setelah hujan atau banjir. Sebuah larva berubah menjadi pupa dalam waktu
sekitar seminggu dan menjadi nyamuk dalam dua hari. Habitat perairan
17
utama Aedes, dari rongga pohon ke toilet dan belajar tentang siklus hidup
nyamuk.
Sangat sulit untuk mengontrol atau menghilangkan Ae. aegypti karena
mereka memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang membuat
mereka kuat, atau dengan kemampuan untuk cepat kembali ke keadaan awal
setelah gangguan akibat fenomena alam (misalnya, kekeringan) atau
intervensi manusia (misalnya, tindakan pengendalian). Salah satu adaptasi
tersebut adalah kemampuan telur untuk menahan pengeringan (drying) dan
untuk bertahan hidup tanpa air selama beberapa bulan pada dinding bagian
dalam wadah penampung air. Sebagai contoh, jika kita menghilangkan
semua larva, pupa, dan nyamuk dewasa Ae. aegypti sekaligus, populasinya
bisa pulih dua minggu kemudian sebagai akibat dari telur menetas setelah
hujan atau penambahan air untuk wadah menyimpan telur.
Sangat mungkin bahwa Ae.aegypti terus merespons atau beradaptasi
dengan perubahan lingkungan. Sebagai contoh, baru-baru ini dinemukan
bahwa Ae. aegypti mampu mengalami perkembangan dewasa septic tank
yang rusak atau terbuka di Puerto Rico, sehingga produksi mencapai ratusan
atau ribuan nyamuk dewasa Ae.aegypti per hari.
Aedes aegypti
Virus dengue terutama ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes yang
terinfeksi aegyptimosquitoes, sebuah invasif, spesies domestik dengan
distribusi di seluruh dunia tropis dan subtropis yang berasal dari Afrika.
18
Aedes albopictus
Vektor nyamuk lain yang penting dari demam berdarah adalah Aedes albopictus,
yang juga merupakan spesies invasif berasal dari Asia.
2.18. Siklus Hidup Nyamuk
Aedes aegypti dan nyamuk lainnya memiliki siklus hidup kompleks
dengan perubahan dramatis dalam bentuk, fungsi, dan habitat. Nyamuk
betina bertelur di dalam dinding basah wadah dengan air. Larva menetas
(gambar 1) saat air membanjiri telur sebagai akibat dari hujan atau
penambahan air oleh orang-orang. Pada hari-hari berikutnya, larva (gambar
2) akan memakan mikroorganisme dan partikel organik, mencurahkan kulit
mereka tiga kali untuk dapat tumbuh dari awal sampai instar keempat.
Ketika larva telah memperoleh energi dan ukuran yang cukup dan dalam
instar keempat, metamorfosis dipicu, mengubah larva menjadi pupa
(gambar 3). Pupa tidak makan, mereka hanya mengubah dalam bentuk
sampai tubuh orang dewasa, terbang nyamuk terbentuk. Kemudian, orang
dewasa yang baru terbentuk muncul dari air setelah melanggar kulit
kepompong (gambar 4, inset). Seluruh siklus hidup berlangsung 8-10 hari
pada suhu kamar, tergantung pada tingkat makan. Dengan demikian, ada
fase air (larva, pupa) dan fase terestrial (telur, dewasa) di Ae tersebut.
aegypti-siklus hidup.
Inilah kompleksitas siklus hidup yang membuatnya agak sulit untuk
mengerti darimana nyamuk berasal. Mirip kompleks siklus hidup dengan
bentuk air dan darat yang diamati dalam amfibi.
19
Siklus Hidup Nyamuk
2.19. Habitat Perairan Nyamuk
Habitat air adalah wadah dimana telur berkembang menjadi nyamuk
dewasa. Nyamuk yang menularkan dengue bertelur pada dinding wadah
berisi air di rumah dan teras. Telur menetas saat terendam air dan dapat
bertahan selama berbulan-bulan. Nyamuk dapat meletakkan puluhan telur
hingga 5 kali selama hidup mereka.
Ada berbagai macam buatan wadah penampung di halaman belakang
atau teras yang mengumpulkan air hujan atau yang diisi dengan air oleh
orang-orang di mana vektor DBD dapat berkembang. Membuang wadah
yang tidak terpakai, menempatkan wadah yang berguna di bawah atap atau
wadah yang tertutup, dan sering mengubah air panci minum hewan dan pot
bunga akan sangat mengurangi risiko infeksi dengue. Wadah penyimpanan
air harus tetap bersih dan ditutup sehingga nyamuk tidak dapat
menggunakannya sebagai habitat perairan.
20
a. Wadah alami yang berasal dari tanaman
Rongga pohon yang dipenuhi hujan, ruas bambu, daun axils tanaman
b. Wadah buatan yang diisi dengan air hujan
Bekas wadah besar (ban, peralatan rusak) dan bekas wadah kecil (kaleng cat)
Tong sampah, ember atau ember, nampan lukisan, mainan
c. Wadah yang diisi dengan air oleh manusia untuk mengumpulkan air
Wadah penyimpanan air (sumur, tangki, waduk, tong, guci, ember)
21
Wadah hias atau rekreasi (pot tanaman dan piring, kolam renang plastik, perakaran tanaman pada tanaman air / air)
Wadah minum hewan peliharaan
Septic tank rusak
22
BAB III
PENUTUP
1.
3.1. Kesimpulan
Demam dengue/DF dan demam berdarah dengue/DBD (dengue
haemorrhagic fever/DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue yang termasuk kelompok B Arthropod Borne Virus
(Arboviroses) yang sekarang dikenal sebagai genus Flavirus, family
Flaviviridae, dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan/atau nyeri
sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopeniadan
diathesis hemoragik.
Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus
dengue yaitu :
o Vektor : perkembang biakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan
vektor di lingkungan, transportasi vektor dilingkungan, transportasi
vektor dai satu tempat ke tempat lain;
o Pejamu : terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan
paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin;
o Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk
(WHO, 2000).
Respon imun yang diketahui berperan dalam pathogenesis DBD adalah :
o Respon humoral berupa pembentukan antibody yang berparan dalam
proses netralisasi virus, sitolisis yang dimeasi komplemen dan
sitotoksisitas yang dimediasi antibody. Antibody terhadap virus
dengue berperan dalam mempercepat replikasi virus pad monosit atau
makrofag. Hipotesis ini disebut antibody dependent enhancement
(ADE);
o Limfosit T baik T-helper (CD4) dan T sitotoksik (CD8) berepran
dalam respon imun seluler terhadap virus dengue. Diferensiasi T
helper yaitu TH1 akan memproduksi interferon gamma, IL-2 dan
limfokin, sedangkan TH2 memproduksi IL-4, IL-5, IL-6 dan IL-10;
23
o Monosit dan makrolag berperan dalam fagositosis virus dengan
opsonisasi antibodi. Namun proses fagositosis ini menyebabkan
peningkatan replikasi virus dan sekresi sitokin oleh makrofag;
o Selain itu aktivitasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan
terbentuknya C3a dan C5a.
3.2. Saran
1. Menjaga sanitasi lingkungan disekitar tempat tinggal untuk menghindari
penyebaran virus demam berdarah dengue.
2. Menjaga kesehatan tubuh dengan cara olahraga, makan yang teratur,
istirahat yang cukup, dll.
24
DAFTAR PUSTAKA
Abdoerrachman MH. 2002. Demam : Patogenesis dan Pengobatan. In: Soedarmo
dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi
Pertama.Jakarta: IDAI, pp: 27-51.
Agustin, Seffianti. 2011. Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi Kejadian
Demam Berdarah Dengue (Studi Kasus di Wilayah Kerja Puskesmas Tegal
Timur Kota Tegal Tahun 2010). Tesis Pascasarjana. Universitas Negeri
Semarang, Semarang. [online] http://lib.unnes.ac.id/8912/1/10931a.pdf
[diakses tanggal 9 Februari 2013]
Dinkes Kota Palu. 2012. Profil Kesehatan Kota Palu Tahun 2011. Palu: Dinas
Kesehatan Kota Palu.
Falah, Miftakhul. (2010). Faktor-Faktor yang Behubungan dengan Kejadian
Demam Berdarah (DBD) di Kelurahan Sendangmulyo Kecamatan
Tembalang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro, Semarang.
[online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25 September
2012]
Fitria, A.U. 2006. Beberapa Faktor Perilaku Kepala Keluarga yang Berhubungan
dengan Kejadian Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) di Puskesmas
Slawi Kabupaten Tegal. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,
Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/31481/ [diakses tanggal 25
September 2012]
Kemenkes RI. 2012. Kasus DBD Indonesia Masih Tertinggi di Dunia. [online]
http://news.okezone.com/read/2012/06/15/340/647934/kasus-dbd-
indonesia-masih- tertinggi-di-dunia [diakses 27 September 2012]
Kresno SB. 2001. Respons Imun terhadap Infeksi Virus. In: Imunologi –
Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta : FK UI, pp: 178-181.
Luheshi GN, Gardner JD, Rushforth DA, Luodon SA, Rothwell NJ. 2000. Leptin
actions on food intake and body temperature are mediated by IL-
1. Neurobiology Journal, pp: 7047-52.
25
Mahardika, Wahyu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Kesehatan Dengan Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja Puskesmas Cepiring
Kecamatan Cepiring Kabupaten Kendal. Skripsi Sarjana. Fakultas Ilmu
Keolahragaan. Universitas Negeri Semarang, Semarang. [online]
http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/download/2571/2566
[diakses tanggal 22 November 2012]
Munsyir, M.A., Ridwan, Amiruddin. 2009. Pemetaan dan Analisis Kejadian
Demam Berdarah Dengue di Kabupaten Bantaeng Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2009. Makassar. [online] http://jurnalmedika.com/edisi-
tahun-2011/edisi-no-06-vol-xxxvii- 2011/326-artikel-penelitian/633-
pemetaan-dan-analisis-kejadian-demam-berdarah- dengue-di-kabupaten-
bantaeng-sulawesi-selatan-2009 [diakses tanggal 15 Desember 2012]
Nainggolan L, Chen K, Pohan HT, Suhendro. 2006. Demam Berdarah Dengue.
In: In: Sudoyo dkk (ed). Buku Ajar Ilmu Peyakit Dalam Jilid III Edisi IV.
Jakarta: FKUI, pp: 1731-1736.
Nugroho, A.S. 2003. Risiko Infeksi Dengue pada Anak Terkait Faktor
Lingkungan di Wilayah Puskesmas Pandanaran, Karangayu dan
Bandarharjo Kota Semarang. Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,
Semarang. [online] http://eprints.undip.ac.id/12315/ [diakses tanggal 9
November 2012]
Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik
3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health
2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal
15 Februari 2013]
Rahman, Deni Abdul. 2012. Hubungan Kondisi Lingkungan Rumah DAN Praktik
3M dengan Kejadian Demam Berdarah Dengue (DBD) di Wilayah Kerja
Puskesmas Blora Kabupaten Blora.[online] Unnes Journal of Public Health
2 (1), hal. 1-8. http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujph [diakses tanggal
15 Februari 2013]
26
Riyadi, Rudjito. dkk. 2007. Hubungan Kondisi Sanitasi Lingkungan Rumah
Tangga Dengan Keberadaan Jentik Vektor Dengue Di Daerah Rawan
Demam Berdarah Dengue Kota Lubuklinggau. [online] Jurnal Ekologi
Kesehatan Vol. 6 No.2. hal. 594-601
http://isjd.pdii.lipi.go.id/index.php/Search.html?
act=tampil&id=68484&idc=24 [diakses tanggal 11 Februari 2013]
Salawati, dkk. 2010. Kejadian Demam Berdarah Dengue Berdasarkan Faktor
Lingkungan dan Praktik Pemberantasan Sarang Nyamuk. [online] Jurnal
Kesehatan Masyarakat Indonesia 6 (2),hal. 46-54.
http://jurnal.unimus.ac.id/index.php/jkmi/article/view/142 [diakses tanggal
11 Februari 2013]
Sari, Puspita dkk. 2012. Hubungan Kepadatan Jentik Aedes sp dan Praktik PSN
dengan Kejadian DBD di Sekolah Tingkat Dasar di Kota Semarang. [online]
JURNAL KESEHATAN MASYARAKAT. Volume 1, Nomor 2,
p.413422http://ejournals1.undip.ac.id/index.php/jkm/article/view/1128/1151
[diakses tanggal 2 Desember 2012]
Schmidt, W.P et al. 2011. Population Density, Water Supply, and the Risk of
Dengue Fever in Vietnam: Cohort Study and Spatial Analysis. [online]
PLoS Medicine. Volume 8, Issue 8, p.
1-10http://www.plosmedicine.org/article/fetchObjectAttachment.action?
uri=info%3Adoi
%2F10.1371%2Fjournal.pmed.1001082&representation=PDF [diakses 11
November 2012]
Soedarmo PS. 2002. Infeksi Virus Dengue. In: Soedarmo dkk (ed). Buku Ajar
Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta:
IDAI, pp: 176-209.
Trapsilowati, W, Susanti, L & Pujiyanti, A., 2008. Gambaran Kemudahan
Memperoleh Air dan Sarana Penyimpanan Air terhadap Kasus DBD di Kota
Semarang, Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Jepara. [online] Jurnal
Vektora. Volume II, No 1, p. 1-13
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/vk/article/download/13/13
[diakses 18 September 2012]
27
Widianto, Teguh. 2007. Kajian Manajemen Lingkungan Terhadap Kejadian
Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kota Purwokerto Jawa –tengah.
[online] Tesis Pascasarjana. Universitas Diponegoro,
Semarang.http://eprints.undip.ac.id/17910/1/TEGUH_WIDIYANTO.pdf
[diakses 20 November 2012]
WHO. 2012. Dengue and severe dengue. [online] (diupdate Januari 2012)
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/ [diakses 25 September
2012]
28