sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-062004062844-68.pdf · permasalahan kajian...
TRANSCRIPT
-
104
AKSARA WIJAKSARA DALAM ULAP – ULAP
MASYARAKAT HINDU DI BALI
(Suatu Kajian Linguistik Kebudayaan)
Drs. I Wayan Sugita, M.Si.
1. Pengantar
Keberhasilan pembangunan di daerah Bali telah membawa suatu
perubahan dan pergeseran. Perubahan dan pergeseran ini dirasakan terutama
dalam tata kehidupan masyarakat Bali yang telah mengalami transisi dan
tranformasi dari kebudaya agraris ke budaya industry. Begitupula dari orientasi
budaya etnik menuju orientasi budaya nasional dan global. Bali dikatakan sebagai
pusat pariwisata dan ajang pergaulan internasional senantiasa bersentuhan dengan
budaya mancanegara.
Menyadari akan hal ini, pemerintah daerah Bali telah mengantisipasi
dengan berbagai terobosan seperti penetapan Perda Nomor 3 Tahun 1992, tentang
bahasa, aksara, dan sastra Bali. Ketetapan ini diharapkan usaha untuk menggali,
mengkaji dan mewariskan nilai – nilai luhur bangsa, moralitas, etika, estetika
yang bersumber pada bahasa dari sastra daerah dapat ditingkatkan. Melalui usaha
ini dapat diyakini bahwa perkembangan bahasa Bali dalam kontribusi nilai – nilai
luhur budaya etnis Bali dalam perkembangan sistem budaya nasional.
Pembangunan daerah Bali telah menetapkan kebudayaan sebagai potensi dasar,
baik fisik maupun non-fisik senantiasa berwawasan budaya. Oleh karena itu,
bahasa Bali sebagai media bahasa untuk kebudayaan Bali sudah semestinya
mendapat posisi yang penting dan perhatian yang sungguh – sungguh dalam
pembangunan ini. Didorong oleh kesadaran bahwa bahasa, sastra, dan aksara Bali
mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan masyarakt dan budaya
Bali, maka usaha pembinaan, pengkajian, pemeliharaan dan pelestarian perlu
dilakukan secara berlanjut dan terprogram.
Berlandaskan latar belakang budaya, kebudayaan Bali dengan segala
bentuknya mendapat pengaruh dari kebudayaan Hindu-Jawa sejak abad X, yang
mewariskan tradisi sastra Jawa Kuno, yang ditulis dengan aksara Bali. Bahasa
-
105
Jawa Kuno digunakan dalam kelompok kekawin dan parwa, sedangkan bahasa
Sanskerta yang ditulis dengan aksara Bali digunakan dalam kelompok weda.
Bahasa Bali di samping ditulis dengan kasara Bali, juga ditulis dengan aksara
latin. Aksara latin pada umumnya digunakan untuk menulis masalah – masalah
yang bersifat modern, sedangkan masalah yang bersifat tradisional lebih banyak
ditulis dengan aksara Bali. Masalah tradisional meliputi masalah keagamaan, adat
istiadat, budaya dan juga masalah – masalah yang menyangkut magis atau gaib,
banyak memanfaatkan aksara Bali sebagai simbol – simbol.
Objek kajian ini dibatasi pada wacana ritual ulap – ulap yang terdapat
pada suatu bangunan baik pada bangunan biasa maupun bangunan suci,
permasalahan kajian ini meliputi, (1) keberadaan bentuk ulap – ulap wacana
ritual, (2) penggunaan ulap-ulap wacana ritual, dan (3) nilai – nilai yang
terkandung dalam ulap-ulap wacana ritual masyarakat Hindu di Bali.
Tujuan penelitian ini untuk membina, melestarikan dan turut
mengembangkan kebudayaan Bali. Selain itu tujuan untuk menggali, mengkaji
dan mendeskripsikan aspek lingual terkait, dengan wacana ritual dalam ulap-ulap
sebagai sasaran penelitian merupakan fenomena lingual yang memiliki kualitas
(ciri-ciri data yang alami) sesuai dengan pemahaman deskripsi dan alamiah itu
sendiri. Data yang dijaring dalam penelitian ini adalah data tentang pemakaian
wacana ritual dalam bentuk sekstual baik yang berasal dari sumber substantive
maupun yang berasal dari sumber lokasional.
Penelitian ini menggunakan metode dan teknik pengumpulan data, metode
dan teknik analisis data, dan metode dan teknik pelaporan hasil penelitian. Teori
yang digunakan sebagai landasan untuk memecahkan dan menjawab
permasalahan dalam penelitian ini adalah teori etnografi tulisan (ethnography of
writing) yang dikemukakan oleh Dell Hynes (1985). Spradley (1997), vhao (1968)
dan Basso (1985). Teori ini didukung oleh beberapa teori lain terkait dengan
permasalahan penelitian untuk melihat bentuk, fungsi dan makna ulap-ulap
sebagai wacana ritual meliputi : (1) teori semiotika dari Noth (1990), Chao (1968)
dan Gelb (1952) untuk melihat aspek bentuk ulap-ulap wacana ritual, (2) teori
semiotic social yang dikemukakan oleh Hodge dan Kress (1988) untuk melihat
aspek fungsi ulap – ulap itu sebagai wacana bagi masyarakat pemakai simbol itu.
-
106
Sedangkan makna simbolisasi itu digali dengan adaptasi langsung secara
metodologi dan empiric. Beberapa teori lain yang memiliki kontribusi dan
relevansi dengan ketiga permasalahan penelitian ini digunakan secara eklitik.
Chao (1968 : 101 – 111) dalam bukunya Laguage and Symbolic System
mengatakan bahwa tulisan sebagai simbol bahasa. Tidak ada manusia di dunia
yang tidak memiliki tulisan. Simbol visual tidak dilakukan dengan tulisan
sebelum ada hubungan yang erat dengan bahasa.
Noth (1990:251 – 266) dalam bukunya Handbook of Semiotics,
mengatakan bahwa tulisan berfokus pada simbul, grafis dan karakteristik
linguistik tulisan. Disamping itu, Gelb (1952:12) nebdefinisikan tulisan sebagai
suatu sistem interkomunikasi manusia dengan alat – alat penanda atau pernarkah
visual. Sedangkan Jensen (1935-18) menekankan dua aspek yang berbeda dalam
tulisan yaitu : (1) tulisan adalah campuran melalui sebuah latar belakang aktivitas
tulisan yang solid dengan alat sebuah grafik atau gambar, (2) tulisan memiliki
fungsi komunikatif dan menunjuk kepada seseorang atau sebagai tujuan bagi
penulis sendiri, Trager (1974 : 377) mengatakan bahwa sistem tulisan adalah
sistem yang bersifat konfesional dengan tanda-tanda, gambar dan arti artefak yang
mengambarkan ujaran suatu bahasa tertentu.
Basso (1985:425), Chao dan Noth (1990 : 251 – 266) lebih banyak
membicarakan bentuk – bentuk sistem tulisan itu yang berlaku dalam beberapa
masyarakat bahasa di dunia seperti sistem silabis, fonemis, dan orthografis.
Konsep semiotic social mengacu pada dua hal, yaitu sekaligus pada sistem social
yang merupakan sinonim dari sistem budaya. Jadi semiotic social merujuk ada
definisi sistem sosial atau sistem budaya sebagai sistem makna yang secara
bersama – sama membentuk budaya manusia (Halliday&Hassan, 1985). Bahasa
merupakan salah satu sistem semiotic, sebuah aspek dalam studi makna, artinya
bahasa adalah salah satu di antara sejumlah sistem makna di samping bentuk-
bentuk yang lainnya.
Hodge dan Kress (1988:261) dalam bukunya Sosial Samiotics mengatakan
bahwa semiotic social merupakan kajian umum tentang semiosis, yaitu proses,
efek dari produksi, penerimaan dan sirkulasi makna dalam semua bentuk, yang
digunakan oleh semua manusia dalam berkomunikasi. Jadi, pada dasarnya
-
107
semiotic social meliputi fenomena social baik dalam sumber, fungsi, konteks,
maupun pengaruhnya, serta berhubungan dengan makna sosial yang dibentuk
melalui bentuk-bentuk semiotic, teks semiotic dan kebiasaan – kebiasaan
semiotik.
2. Analisis Bentuk, Fungsi dan makna Ulap-ulap : Wacana Ritual
Masyarakat Hindu Bali
Dalam kajian bentuk, fungsi dan makna ulap – ulap wacana ritual dapat
digolongkan atas dua, yaitu (1) ulap-ulap wacana ritual yang terdapat pada
bangunan suci, dan (2) ulap-ulap wacana ritual pada bangunan biasa. Hal ini
didasarkan atas perspektif tentang ruang sebagai salah satu manifestasi kesadaran
budaya secara esensial banyak dipengaruhi oleh asas – asas logika yang bersifat
elementer. Atas pemikiran itu dijelaskan melalui suatu konsepsi kosmos yang
bersifat klasifikasi simbolika. Dalam dimensi ruang yang lebih besar
(makrokosmos) seperti yang terdapat dalam konsepsi orang Bali bahwa alam
semesta ini bentuknya seperti wadah dengan batas – batas yang jelas dan tidak
berubah – ubah. Sebagai suatu wadah alam semesta dipersepsikan mempunyai isi
yaitu elemen – elemen yang terdiri atas berbagai bentuk yang terlibat dan yang
tidak terlibat masing- masing berdiri dan berfungsi sendiri tetapi saling
mempengaruhi. Sebagai logika elementer seluruh isi alam itu dikelompokkan ke
dalam golongan – golongan yang saling bertentangan. Misalnya golongan yang
bersifat baik akan mengisi elemen – elemen alam semesta yang diangap
membawa dan mencerminkan kebaikan, yaitu kehidupan, kesuburan,
kebahagiaan, kesejahteraan, kesehatan dan yang lainnya.
Secara universal, dalam konsep Bali elemen – elemen alam yang dijadikan
kerangka lanasan dalam logika klasifikasi simbolik seperti pertentangan antara
arah matahari terbit dengan matahari terbenam, pertentangan antara gunung dan
laut, dan unsur – unsur lainnya : tinggi dengan rendah, arah (kompas), api dengan
air, warna, dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam banyak aspek kegiatan
kebudayaannya, orang Bali bersandar kepada konsepsi tersebut termasuk
pedoman atau ketentuan dalam arsitektur tradisionalnya yang disebut “Asta
Kosal-kosali” dan “Asta Bumi” (Arsana, dkk. 1991 : 3).
-
108
Wacana ritual yang terdapat pada bangunan suci, yaitu ulap – ulap padma.
Simbol padma pada ulap – ulap memiliki makna kesucian yang dilukis berdaun
delapan yang melambangkan delapan pancaran sifat agung kemahakuasaan dari
Tuhan yang disebut dengan Asta Iswarya, yang meliputi :
1. Anima ialah sifat Tuhan yang mahakecil
2. Mahima ialah sifat Tuhan yang mahabesar
3. Lagima ialah sifat Tuhan yang maharingan
4. Praptima ialah sidat Tuhan sampai pada tujuan
5. Pramakamya ialah sifat Tuhan kehendak-Nya tercapai
6. Isitwa ialah sifat Tuhan maharaja
7. Wasitwa ialah sifat tuhan menguasai segala-galanya
8. Yatrakama wasitwa ialah sifat Tuhan yang tdak ada yang menentang
kodrat-Nya.
Padma disebut dengan teratai, seroja, tunjung dan pangkaja, yaitu jenis
tumbuh-tumbuhan yang biasa hidup di telaga. Pada hakikatnya padma hidup
melalui tanah, air, udara dan ujungnya selalu menjulang tinggi ke atas serta
kelopak bunganya senantiasa menunjukkan kea rah kiblatnya mata angin. Padma
atau teratai ini dilukis sedemikian rupa indahnya mengandung beberpa simbol,
yaitu sebagai simbol kesucian, tumbuh di dalam lumpur namun tidak terlekati
oleh lumpur atau kotoran sebagai lendirnya mengelincirkan segala kotoran.
Sebagai simbolis Singhasana Sang Hyang Widhi sehingga disebut teratai troja.
Sebagai simbol dari kemahakuasaan Tuhan yang dilukiskan berdaun bunga
delapan yang disebut dengan Asta Dala sebagai simbol Asta Iswarya.
Di samping simbol padma, di dalam ulap-ulap terdapat juga ekaksara [ Oi
] Ongkara yang merupakan aksara suci (modre) yang memiliki peran sentral
dalam filsafat ketuhanan Hindu. Aksara ongkara sebagai perwujudan pencipta dan
ciptaannya yaitu alam semesta ini. Ongkara merupakan simbol dari alam semesta
(makrokosmos) yang terdiri atas / u / nada sebagai simbul angin, tenaga,
bintang, windu /o/ simbol sinar, api, tarung/ mpt º/ sebagai simbol angkasa, langit
yang memenuhi dunia ini. Aksara AU atau angka tiga /3/ adalah simbol Tri
-
109
Bhuwana, yaitu Bhur, Bwah, Swah yang merupakan simbol Tuhan dan ciptaan-
Nya (dunia dan alam semesta) yaitu disimbolkan dengan aksara ongkara.
Kesadaran dan keseimbangan antara alam semesta dan penciptanya harus
senantiasa dijaga sehingga akan mendatangkan kebahagiaan dan kesejahteraan di
dunia ini dan di dunia yang lain. Dalam praktek kehidupan sehari – hari konsep
ini dijabarkan dalam upacara – upacara keagamaan terutama yang berkaitan
dengan Bhuta Yadnya. Untuk menunjang pelaksanaan upacara atau yadnya yang
pada intinya bertujuan menjaha keseimbangan hubungan antara dunia dengan
segala isinya. Simbol ongkara diatas berkembang menjadi pengider-ider.
Pengider-ider adalah arah mata angin yang masing – masing merupakan
kedudukan manifestasi Sang Hyang Widhi (Dewa Penguasa arah mata angin
dengan simbol warna, senjata dan aksara masing – masing).
Ulap–ulap wacana ritual pada bangunan biasa, dapat ditemui pada
bangunan meten atau gedong. Dilihat dari struktur dan isinya terdiri atas beberapa
aksara suci dan modre seperti aksara Ong, Ang, Yang. Tata urutan aksara itu
secara vertical, yaitu dari atas ke bawah merupakan cerminan dari rwa-bhineda.
Aksara Ong, Ang, dan Yang mempunyai makna untuk mohon doa restu dari Yang
Maha Kuasa yang merupakan manifestasi Dewa Brahma dan Dewa Siwa agar
kesucian bangunan meten atau gedong tetap terjaga atau terpelihara. Disamping
itu gedong atau meten merupakan tempat peristirahatan serta tempat tidur. Aksara
Ang yang dihadirkan pada ulap-ulap diatas terkait dengan rwa-bhineda yang
merupakan suatu simbol masuk atau membuka segala hal yang baik dan buruk
maupun kotor (cuntaka) kemudian dinetralisir oleh aksara Ing (Isan). Sedangkan
variasi aksara suci yang dibuat pada ulap-ulap itu (Isana). Sedangkan variasi
aksara suci yang dibuat pada ulap-ulap itu merupakan suatu nilai kemagisan yang
sulit untuk diungkapkan seperti suara alam lyuwung.
Ada beberapa fungsi dasar aksara dalam ulap-ulap menurut pandangan
masyarakat Hindu di Bali. Adapun fungsi tersebut adalah sebagai alat penyucian,
sebagai penolakan bala, dan sebagai fungsi budaya.
1) Sebagai alat Penyucian
-
110
Dalam fungsi ini secara religious ulap-ulap memiliki nilai yang sangat
penting pada bangunan masyarakat Hindu di Bali karena pada hakikatnya orang
baru berani menempati bangunan tersebut bila telah disucikan secara ritual dan
telah dipasang ulap-ulap. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Hindu di Bali
dalam membuat bangunan tidak bias lepas dari unsur ke Tuhannya. Masalah
kepercayaan dan keyakinan terhadap Tuhan telah meresap dan merekat di hati
masyarakat Hindu sehingga segala praktek kehidupannya selalu dikaitkan dengan
adanya Tuhan, yaitu memohon anugrah-Nya agar segala yang dikerjakannya
mendapatkan kebaikan dan karunia dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
2) Sebagai Penolak Bala
Dalam fungsi ini, ulap-ulap dilihat secra magis mengandung arti bahwa
dalam membuat bangunan keyakinan dan kepercayaan terhadap adanya Tuhan
diwujudkan dalam bentuk ulap-ulap dengan maksud untuk memohon kekuatan
agar bangunan itu mempunyai kekuatan tertentu yang dapat memberikan
kemantapan jiwa dan kesucian lahir dan batin. Bila kita kaji lebih jauh bahwa
ulap-ulap mengandung suatu kekuatan mistik atau kekuatan gaib yang betul –
betul memberi arti dan nilai pada bangunan masyarakat Hindu. Maslah mistik
dalam ajaran suci Tantrayana ada disebutkan antara lain, mistik selalu menjadi
simbol dalam pemujaan pada dewa – dewa atau Tuhan Yang Maha Kuasa dengan
maksud untuk mempermudah berhubungan dengan dewa-dewa. Mistik yang
dipakai sebagai simbol pemuja terhadap Tuhan akan dapat membuat praktek-
praktek ajaran agama untuk membuktikan kebenaran yang tertinggi di dunia ini
dan akan memberikan kemantapan jiwa dalam memuja kebesaran Tuhan.
Pemujaan Tuhan diharapkan menggunakan mantra-mantra. Mantra merupakan
suatu yang sudah umum digunakan untuk pemujaan di dalam agama Hindu.
Disamping itu mantra-mantra itu secara wacana merupakan simbol-simbol dari
ucapan yang terdapat didalam ilmu filsafat yang sangat mendalam mengenai ilmu
kebenaran yang disebut dengan pranawa yang sering diucapkan dengan kata
Om,Om atau pranawa yang terdiri dari dua vocal dan satu konsonan yaitu A (kara)
sebagai sombol dari ciptaan, U (kara) sebagai simbol dari pemeliharaan dan M
(kara) sebagai simbol dari pelebur.
-
111
3) Sebagai Fungsi Budaya
Nilai budaya merupakan gugusan nilai-nilai dan ide-ide luhur yang
mendasari alam pikiran dan tingkah laku manusia baik sebagai makhluk pribadi
maupun makhluk sosial dalam memahami dan menghayati dunia dan
lingkungannya. Nilai budaya sangat erat kaitannya dengan agama karena agama
mempunyai arti, peranan, dan sumbangan yang sangat penting serta berharga bagi
kehidupan manusia. Agama merupakan sumber daya kreatif dan sublimatif bagi
pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan. Bahkan dapat dikatakan bahwa
kebudayaan ialah diilhami dan dilatarbelakangi oleh nilai-nila dan ide-ide yang
berakar dan bersumber pada agama. Agama merupakan aspek azasi dari suatu
kebudayaan, sebab pada dasarnya agamalah yang memberikan spiritual yang
sangat besar pengaruhnya bagi perkembangan kebudayaan. Di dalam kemajuan
teknologi sekarang ini, agama memang peranan yang sangat penting karena
manusia tanpa dilandasi oleh agama tentu akan mengundang berbagai akibat
sampingan seperti kekosongan dalam batin, keterasingan dan kemelaratan.
Keadaan seperti ini lambat laut akan lepas dari kendali manusia dan bias jadi
berbalik arah menghancurkan diri sendiri, masyarakat dan kebudayaan atau
lingkungannya. Dengan kuatnya iman dan mantapnya keagamaan maka
kebudayaan itu semakin kokoh dan lestari karena yang diungkapkan adalah agama
dengan kebudayaan yang merupakan dua hal yang tak agama maka ulap-ulap
yang terdapat pada bangunan suci dan bangunan biasa mempunyai nilai-nilai
budaya yang sangat tinggi dan luhur dalam ajaran agama Hindu. Ulap-ulap itu
dilukis sedemikian rupa disertai dengan tulisan aksara Bali sesuai dengan bentuk
dan fungsi dari bangunan itu, seperti lukisan Acintya, Padma dan lukisan senjata
dari Dewa Nawa Sanga, merupakan perwujudan dari Tuhan dengan
kemahakuasaan-Nya. Dengan adanya lukisan – lukisan itu maka rasa seni
berkembang yang menimbulkan suatu budaya yang tinggi dan luhur di samping
memberikan rasa kemantapan jiwa atau pikiran dalam memuja dan menyembah
Tuhan.
-
112
Ulap-ulap pada hakikatnya merupakan suatu sarana pendidikan
keagamaan untuk memupuk kreatifitas seni budaya dalam menghayati ajaran
agama Hindu yang dapat memberikan pengaruh positif pada perkembangan
kebudayaan khususnya dan kemantapan jiwa dalam menjalankan ajaran agama
Hindu pada umumnya sehingga keserasian dan keharmonisan akan tercapai dalam
kehidupan beragama merupakan modal utama dalam mencapai tujuan hidup.
3. Penutup
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ulap-ulap wacana ritual
masyarakat Hindu di Bali memiliki variasi bentuk, fungsi, dan makna. Ulap-ulap
wacana ritual merupakan satu kesatuan bentuk (integral) yang terdiri atas aksara
dan simbol. Aksara yang terdapat pada ulap-ulap wacana ritual meliputi : aksara
Omkara yang disebut dengan istilah pranawa atau ekaksara yang diwujudkan
dalam bentuk omkara atau ongkara/ /, rwa-bhineda yang disebut dengan
dwiaksara melambangkan Ang / / dam Ah / / yaitu perusa dan pradana,
triaksara adalah aksara yang tiga, yaitu Ang/ / Ung/ /, dan Mang/ / yang
merupakan lambang Trimurti, yaitu Brahma, Wisnu dan Siwa, pancaksara adalah
Na/ /, Ma/ /, Si/ /, Wa/ /, Ya/ /, dasakara adalah gabungan dari Pancabrahma
dan pancaksara, dan sodasaksara yang terdiri atas Ongkara, Dwiaksara, Triaksara
dan Dasaksara.
Simbol-simbol yang terdapat pada ulap-ulap wacana ritual meliputi (1)
simbol wacana ulap-ulap pada bangunan suci yang berupa Acintya, Padma dan
senjata para Dewa yang disesuaikan dengan arah mata angin dan (2) simbol ulap-
ulap pada bangunan biasa yang berupa senjata para dewa (Dewa Nawa Sanga)
yang disesuaikan dengan arah mata angin sehingga dalam fungsinya sebagai ulap-
ulap bangunan juga disesuaikan dengan letak bangunan itu dalam pekarangan.
DAFTAR PUSTAKA
Alfin (ed.) 1985. Persepsi Masyarakat tentang Kebudayaan. Jakarta : Gramedia
Arsana, I G. K.G. dkk. 1991/1993. "Kesadaran Budaya tentang tata ruang pada
Masyarakat di Daerah Bali". Jakarta : Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan.
-
113
Bagus, I G.N 1980. Aksara dalam Kebudayaan Bali suatu kajian Antropologi.
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Antropologi
Budaya. Denpasar : Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Ginarsa, ketut. 1980. "Sepintas tentang Sejarah Aksara Bali". Singaraja : Balai
Penelitian Bahasa.
Granoka, Ida Wayan Oka. 1998. "Pemburuan ke Prana Jiwa". Denpasar : Sanggar
Banjra Sandhi bekerjasama dengan Seraya Bali Style.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1989. Language, Context and Text :
Aspects of Language in a Social-semiotic Perspective. Victoria : Deskin
University Press.
Noth, Winfriend. 1990. Handbook of Semiotics. Indiana University Press.
Soebadio, Haryati. 1985. Jnanasiddhanta. Jakarta : Jambatan.
Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakiki Bahasa. Yogyakarta : Duta