sindrom sjogren

30
BAB I PENDAHULUAN Sindrom Sjogren merupakan penyakit komplek autoimun yang ditandai dengan infiltrasi sel mononuklear pada jaringan eksokrin. 1 Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan kelenjar yang sering terserang pada Sindrom Sjogren, sehingga disebut juga sebagai autoimun eksokrinopati. Manifestasi klinis yang sering terjadi berupa dry eye (keratokonjungtivitis sicca) dan dry mouth (xerostomia), namun gejala pada mukosa beberapa organ lain juga terkadang ditemukan seperti pada faring, laring, vagina, dan kelenjar eksokrin yang lain. Sindrom Sjogren bisa merupakan penyakit primer ataupun sekunder. Sindrom Sjogren primer merupakan keadaan yang terjadi tanpa didapatkannya gejala autoimun sistemik yang lain. Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan terget utama dari infiltrasi sel monokulear yang kemudian menyebabkan atrofi kelenjar dan kehilangan fungsi. Sehingga gejala yang paling menonjol adalah dry eye (keratokonjungtivitis sicca) dan dry mouth (xerostomia) . Sedangkan, Sindrom Sjogren sekunder berhubungan dengan penyakit autoimun sistemik lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus, Rheumatoid Arthritis, atau Scleroderma. 2,3 Sindrom Sjogren dapat ditemukan pada semua umur, namun kejadian ini sering ditemukan pada umur 40-60 tahun, dan perempuan memiliki perbandingan lebih banyak daripada laki- laki, yaitu 9:1. Prevalensi dari Sindrom Sjogren belum 1

Upload: ahmadafiyyuddin

Post on 29-Sep-2015

52 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Sindrom Sjogren merupakan penyakit komplek autoimun yang ditandai dengan infiltrasi sel mononuklear pada jaringan eksokrin.1 Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan kelenjar yang sering terserang pada Sindrom Sjogren, sehingga disebut juga sebagai autoimun eksokrinopati

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom Sjogren merupakan penyakit komplek autoimun yang ditandai dengan infiltrasi sel mononuklear pada jaringan eksokrin.1 Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan kelenjar yang sering terserang pada Sindrom Sjogren, sehingga disebut juga sebagai autoimun eksokrinopati. Manifestasi klinis yang sering terjadi berupa dry eye (keratokonjungtivitis sicca) dan dry mouth (xerostomia), namun gejala pada mukosa beberapa organ lain juga terkadang ditemukan seperti pada faring, laring, vagina, dan kelenjar eksokrin yang lain. Sindrom Sjogren bisa merupakan penyakit primer ataupun sekunder. Sindrom Sjogren primer merupakan keadaan yang terjadi tanpa didapatkannya gejala autoimun sistemik yang lain. Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan terget utama dari infiltrasi sel monokulear yang kemudian menyebabkan atrofi kelenjar dan kehilangan fungsi. Sehingga gejala yang paling menonjol adalah dry eye (keratokonjungtivitis sicca) dan dry mouth (xerostomia) . Sedangkan, Sindrom Sjogren sekunder berhubungan dengan penyakit autoimun sistemik lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus, Rheumatoid Arthritis, atau Scleroderma.2,3

Sindrom Sjogren dapat ditemukan pada semua umur, namun kejadian ini sering ditemukan pada umur 40-60 tahun, dan perempuan memiliki perbandingan lebih banyak daripada laki-laki, yaitu 9:1. Prevalensi dari Sindrom Sjogren belum diketahui dengan pasti, hal ini akibat dari tumpang tindih Sindrom Sjogren dengan penyakit autoimun yang lain dan gejala awal penyakit ini yang tidak spesifik. Data di Eropa menyebutkan bahwa sekitar 2 orang dari 1.000 pasien tiap tahun mengalami Sindrom Sjogren.4

Penyebab terjadinya Sindrom Sjogren belum sepenuhnya diketahui dengan pasti, beberapa teori dan penelitian telah dilakukan untuk mengetahui penyebab dan faktor pencetus dari Sindrom Sjogren. Penyebab dari Sindrom Sjogren dapat berupa kelainan genetik dan non-genetik. Faktor pencetus terjadinya Sindrom Sjogren pun masih menjadi bahan penelitian hinga saat ini. Infeksi virus yang menyebabkan terjadi reaksi autoimun merupakan salah satu hal yang sedang diteliti. James et. al (2001) meneliti virus yang dapat mencetuskan terjadinya reaksi autoimun pada Sindrom Sjogren, salah satu nya adalah virus Ebstein Barr. Lingkungan juga dapat berperan dalam pencetusan reaksi autoimun didalam tubuh.3,4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

Sindrom Sjogren merupakan penyakit komplek autoimun yang ditandai dengan infiltrasi sel mononuklear pada jaringan eksokrin. Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan kelenjar yang sering terserang pada Sindrom Sjogren, sehingga disebut juga sebagai autoimun eksokrinopati.1,2

B. ETIOLOGI

Sindrom Sjogren dapat merupakan penyakit primer atau sekunder. Sindrom Sjogren primer merupakan keadaan yang terjadi tanpa didapatkannya gejala autoimun sistemik yang lain dan terutama menyerang kelenjar eksokrin. Glandula lacrimalis dan glandula saliva merupakan terget utama dari infiltrasi sel monokulear yang kemudian menyebabkan atrofi kelenjar dan kehilangan fungsi. Sehingga gejala yang paling menonjol adalah dry eye (keratokonjungtivitis sicca) dan dry mouth (xerostomia) . Sedangkan, Sindrom Sjogren sekunder berhubungan dengan penyakit autoimun sistemik lain, seperti Systemic Lupus Erythematosus, Rheumatoid Arthritis, atau Scleroderma.3

Etiologi dari Sindrom Sjogren belum diketahui dengan pasti. Kehadiran dari MHC kelas II yang merupakan ekspresi dari sel epitel kelenjar saliva dapat memperkirakan asal pencetus dari lingkungan atau antigen endogen yang kemudian mengakibatkan respon inflamasi pada individu tertentu. Interferon pada Sindrom Sjogren merupakan penanda dari peran sistem imun bawaan. Interaksi antara sistem imun bawaan dan dididapat ini kemudian akan berperan pada Sindrom Sjogren.2,4

HLA-DR52 berperan pada 87% pasien Sindrom Sjogren primer dan angka ini meningkat pada Sindrom Sjogren sekunder yang terjadi bersamaan dengan rheumatoid athritis dan systemic lupus erythematosus. Hubungan HLA dengan Sindrom Sjogren terbatas pada individu yang memiliki antbodi terhadap antigen SSA dan SSB.3

Salah satu faktor pencetus dari lingkungan adalah virus, meskipun bukti keterlibatannya sulit dipahami dan tidak satupun diperkirakan telah terlibat. Ebstein Barr virus (EBV), HTLV-1, Human Herpes Virus (HHV), HIV, Hepatitis C Virus (HCV), dan cytomegalovirus (CMV) mungkin berperan dalam Sindrom Sjogren. Sjogren-like syndrome ditemukan pada pasien dengan infeksi HIV, HTLV-1, dan Hepatitis C.3

Kerusakan dan atau kematian sel akibat infeksi virus atau penyebab lain akan mencetuskan antigen ke Toll-like receptor pada sel epitel atau sel dendritik yang kemudian akan mengaktifkan dan memulai produksi sitokin, kemokin, dan molekul adesi. Sel dendritik dan sel epitel kemudian akan mengaktifkan sel T dan sel B yang kemudian akan bermigrasi ke kelenjar saliva dan lacrimalis.4

Sex hormon mungkin berpengaruh pada manifestasi imunlogi pada Sindrom Sjogren primer, hal ini disebabkan karena penyakit ini lebih sering ditemukan pada wanita daripada pria. Meskipun peran dari sex hormon (estrogen, androgen) pada patogenesis Sindrom Sjogren primer masih belum diketahui, namun defisiensi adrenal dan hormon steroid mungkin mempengaruhi fungsi imun. 2,4

C. PATOFISIOLOGI

Lesi limfoepitelial dan limfoid neogenesis4

Temuan patognomonik histologi pada biopsi kelenjar berupa infiltrasi fokal yang progresif dari sel limfoid mononuklear yang menggantikan epitel kelenjar (lesi limfoepitelial) yang bisa dilihat pada gambar 1. Hal ini yang kemudian akan menyebabkan berkurangnya sekresi saliva. Sel yang menginfiltrasi kemudian akan mengganggu fungsi kelenjar dan destruksi pada struktur kelenjar melalui mekanisme yang diperantarai oleh sel, sekresi sitokin yang kemudian akan mengaktifkan jalur interferon (IFN), dan produksi lokal antibodi.

Fokal infiltrasi terdiri dari sel T, makrofag, dan sel plasma. Dalam keadaan normal, linfosit bersirkulasi di darah dan menuju jaringan sebagai akibat respon dari infeksi atau kerusakan sel. Proses kompleks ini diatur oleh molekul adesi pada permukaan sel inflamasi dan sel endotel jaringan. Limfosit akan menempel pada endotel dan dapat berpindah dari sirkulasi ke jaringan. Hal yang menarik adalah serum level molekul adesi yang berhubungan dengan sel epitel, E-cadherin, telah ditemukan meningkat pada Sindrom Sjogren yang mengindikasikan terjadi interaksi antara sel epitel dan sistem limfositik.

Studi terbaru telah mengidentifikasi struktur germinal centre-like yang dapat diidentifikasi pada 1/3 sampel kelenjar saliva (gambar 1) dan bersamaan dengan kenaikan faktor reumatoid dan peningkatan level IgG. Keterlibatan kelenjar saliva sebagai tempat terbentuknya ectopic germinal centre dapat menjadi strategi terapi imunomodulator saat yang akan datang.

Gambar 1. Gambaran Mikroskopis Kelenjar Saliva pasien Sindrom Sjogren4

Sitokin dan Kemokin4

Berbagai studi telah menunjukkan sitokin-sitokin yang berperan dalam patogenesis Sindrom Sjogren, selain interaksi antara sel epitel dan infiltrasi sel T telah dijelaskan, sitokin berperan dalam aktivasi lokal sel B. Pasien dengan dengan Sindrom Sjogren terdapat IFN tipe I yang telah teraktivasi. Meskipun virus berperan dalam inisiasi dari produksi IFN, selanjutnya sintesis IFN dilakukan oleh RNA yang mengandung komplek imun kemudian mengaktifkan sel dendritik plasmasitoid untuk memperbanyak produksi IFN pada jaringan. Infiltrasi sel limfosit pada kelenjar memiliki peran penting pada gambaran patologi jaringan Sindrom Sjogren. Proses ini diatur oleh kemokin dan ekspresi dari reseptor lokal. Sel B dapat menarik kemokin CXCL13 yang dibutuhkan dalam pengaturan limfoid neogenesis.

B-cell Activating Factor (BAFF) merupakan bagian dari TNF dan faktor penting dalam pembentukan dan diferensiasi sel B. Pada Sindrom Sjogren terdapat gangguan pada sel B dan imunitas humoral, termasuk BAFF. Pada kelenjar-kelenjar, pengurangan aktivitas apoptosis diantara BAFF-expressing cells mengakibatkan peningkatan produksi BAFF dan mengeluarkan sinyal untuk proliferasi sel B dan menjadi sel plasma penghasil autoantibodi. Bersama-sama aktifitas sistem BAFF dan IFN merupakan sistem yang kuat dalam terjadinya autoimuniti Sindrom Sjogren.

Gambar 2. Patofisiologi Sindrom Sjogren4

D. MANIFESTASI KLINIS

Gambaran klinik Sindrom Sjogren sangat luas berupa suatu eksokrinopati yang disertai gejala sistemik dan ektraglandular. Xerostomia dan xerotrakea merupakan gambaran eksokrinopati pada mulut. Gambaran eksokrinopati pada mata berupa mata kering atau keratokonjungtivitis sicca akibat mata kering. Manifestasi ektraglandular dapat mengenai paru-paru, ginjal, pembuluh darah maupun otot. Gejala sistemik yang dijumpai pada Sindrom Sjogren sama seperti penyakit autoimun lainnya dapat berupa kelelahan, demam, nyeri otot, artritis. Poliartritis non erosif merupakan bentuk artritis yang khas pada Sindrom Sjogren. Raynauds phenomena merupakan gangguan vaskuler yang sering ditemukan, biasanya tanpa disertai teleektasis ataupun ulserasi pada jari. Manifestasi ektraglandular lainnya tergantung penyakit sistemik yang terkait misalnya AR, SLE dan skerosis sistemik. Sindrom Sjogren tergolong penyakit autoimun yang jinak, namun sindrom ini bisa berkembang menjadi suatu malignansi. Hai ini diduga adanya transformasi sel B kearahan keganasan.5

MATA

Kelainan mata akibat Sindrom Sjogren adalah KeratoConjungtivitis Sicca (KCS). KCSterjadi akibat penurunan produksi kelenjar air mata dalam jangka panjang dan perubahan kualitas air mata. Gejala klinis berupa rasa seperti ada benda asing dimata, rasa panas seperti terbakar dan sakit dimata, tidak ada air mata, mata merah dan fotofobia. Beberapa pasien KCS ada yang asimtomatik. Pemeriksaan yang dilakukan untuk penilaian KCS adalah Slit lamp dan pemeriksaan Rose Bengal atau Lissamin green. Pemeriksaan jumlah produksi air mata dilakukan dengan Schimer test. Bila hasilnya < 5 mm dalam 5 menit menunjukan produksi yang kurang.5,6

Tabel 1. Diagnosis Banding Mata Kering

Sjogren Syndrome(keratoconjunctivitis)

Conjunctival cicatrization

1. Stevens Johnson Syndrome

2. Ocular cicatricial pemphigoid

3. Drug induced pseudopemphigoid

4. Trachoma

5. Graft-vs-host disease

Anticholinergic drug effects

AIDS-associated keratoconjunctivitis sicca

Trigeminal or facial nerve paralysis

Vitamin A deficiency (xerophthalmia)

Menurunnya produksi air mata dapat merusak epitel kornea maupun konjungtiva, bila kondisi ini berlanjut, maka kornea maupun konjungtiva mendapat iritasi kronis, iritasi kronis pada epitel kornea dan konjungtiva memberikan gambaran klinik KeratoConjungtivitis Sicca. Pada pemeriksaan terdapat pelebaran pembuluh darah didaerah konjungtiva, perikornea, dan pembesaran kelenjer lakrimalis.6

MULUT

Pada awal penyakit gejala yang paling sering adalah mulut kering (xerostomia). Keluhan lain adalah kesulitan mengunyah dan menelan makanan, kesulitan mengunakan gigi bawah serta mulut rasa panas. Tetapi beberapa pasien ada yang tanpa gejala. Pemeriksaan yang paling spesifik untuk kelenjer saliva pasien Sindrom Sjogren adalah biopsi Labial Salivary Gland ( LSG). Pemeriksaan biopsi LSG tidak diperlukan pada pasien yang sudah terbukti terdapat KCS dan anti Ro atau anti La. Fungsi kelenjer saliva dapat dinilai dengan mengukur unstimulated salivary flow selama 5-10 menit.6

Keluhan xerostomia merupakan eksokrinopati pada kelenjer ludah yang menimbulkan keluhan mulut kering karena menurunnya produksi kelenjer saliva. Akibat mulut kering ini sering pasien mengeluh kesulitan menelan makanan dan berbicara lama. Selain itu kepekaan lidah berkurang dalam merasakan makanan, gigi banyak yang mengalami karies. Pada pemeriksaan fisik didapatkan mukosa mulut yang kering dan sedikit kemerahan, atropi papila filiformis pada pangkal lidah, serta pembesaran kelenjar.7

Gambar 3. Xerostomia

Tabel 2. Diagnosis Banding Mulut Kering

Chronically administered drugs (antidepressants, parasympatholytics, neuroleptics)

Sjogrens syndrome

Sarcoidosis tuberculosis

HIV or hepatitis C infection

Uncontrolled diabetes

Amyloidosis

Therapeutic radiation to head and neck

Graft-vs-host diseas

PEMBESARAN KELENJER PAROTID

Sekitar 20-30 % pasien Sindrom Sjogren Primer mengalami pembesaran kelenjer parotis atau submandibula yang tidak nyeri. Pembesaran kelenjer ini bisa mengalami tranformasi menjadi limfoma.7

Gambar 4. Pembesaran Kelenjar Parotis

Suatu penelitian mendapatkan 98 orang dari 2311 pasien Sindrom Sjogren (4%) berkembang menjadi limfoma, sementara Ioannidis mendapatkan 38 pasien berkembang menjadi limfoma pada 4384 pasien Sindrom Sjogren.7

ORGAN LAIN

Kekeringan bisa terjadi pada saluran nafas serta orofaring yang sering menimbulkan suara parau, bronkitis berulang, serta pneumonitis. Gejala lain yang mungkin dijumpai adalah menurunnya produksi kelenjer pankreas. Kekeringan juga juga bisa terjadi pada vagina, suatu penelitian pada 169 pasien Sindrom Sjogren, 26 % pasien juga mempunyai keluhan vagina kering.8

MANIFESTASI EKTRAGLANDULAR

Banyak sekali manifestasi ektraglandular pada Sindrom Sjogren yaitu artritis atau artralgia (25%-85%), fenomena raynaud (13%-62%), tiroiditis autoimun Hashimoto (10%-24%), renal tubular asidosis (5%-33%), sirosis bilier primer dan hepatitis autoimun (2%-4%), penyakit paru (7%-35%) seperti batuk kronik, fibrosis paru, alveolitis dan vaskulitis (9%-32%). Resiko terjadinya limfoma meningkat pada pasien SS.8

MANIFESTASI KULIT

Manifestasi kulit merupakan gejala ektraglandular yang paling sering dijumpai, dengan gambaran klinik yang luas. Kulit kering dan gambaran vaskulitis merupakan keluhan yang sering dijumpai. Manifestasi vaskulitis pada kulit bisa mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil. Vaskulitis pembuluh darah sedang biasanya terkait dengan krioglobulin dan vaskulitis pada pembuluh darah kecil berupa purpura. Vaskulitis dikulit merupakan petanda prognosis buruk.8

A. Kutaneus Vaskulitis :

Sjogren Sindrom yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah kecil.

Kyoglobulinemia vaskulitis.

Vaskulitis Urtikaria.

Sindrom Sjogren yang terkait dengan vaskulitis pembuluh darah sedang.

B. Manifestasi kutaneus yang lain :

Fotosensitif cutaneus lesion

Erytema nodosum

Livedoretikularis

Trombositopenia purpura

Lichen planus

Vitiligo

Nodular Vaskulitis

Kutaneus amyloidosis

Granuloma anuler

Granulomatus panikulitis

MANIFESTASI PARU

Manifestasi paru yang paling menonjol yaitu gambaran penyakit bronkial dan bronkiolar dan saluran nafas kecil. Penyakit paru Intertisial lebih sering dijumpai pada Sindrom Sjogren Primer dengan gambaran patologi infiltrasi limfosit pada intersisial atau fibrosis yang berat. Adanya pembesaran kelenjer limfe yang parahiler yang sering menyerupai suatu limfoma (pseudolimfoma). Manifestasi paru pada Sindrom Sjogren Primer dan Sekunder memberikan gambaran yang berbeda. Pada Sindrom Sjogren Sekunder, manifestasi parunya disebabkan oleh primer penyakit yang mendasari.9

MANIFESTASI PEMBULUH DARAH

Vaskulitis ditemukan sekitar 5 % dapat mengenai pembuluh darah sedang maupun kecil dengan manifestasi klinik berbentuk purpura, urtikaria yang berulang, ulkus kulit dan mononeuritis multipel. Vaskulitis pada organ internal jarang ditemukan. Raynaunds fenomena dijumpai pada 35 % kasus dan biasanya muncul setelah sindrom sicca terjadi sudah bertahun-tahun, tanpa disertai teleektasis dan ulserasi.9

MANIFESTASI PADA GINJAL

Keterlibatan ginjal hanya ditemukan sekitar 10%. Manifestasi yang tersering berupa kelainan tubulus dengan gejala subklinis. Gambaran kliniknya dapat berupa hipophospaturia, hipokalemia, hiperkloremia, renal tubular asidosis tipe distal. Yang sering dijumpai diklinik gambarannya tidak jelas dan seringkali menimbulkan komplikasi batu kalsium dan gangguan fungsi ginjal. Gejala hipokalemia seringkali dijumpai diklinik dengan manifestasi kelemahan otot. Pada biopsi ginjal didapatkan infiltrasi limfosit pada jaringan intersisial.9

MANIFESTASI NEUROMUSKULAR

Manifestasi neurologi yaitu diakibatkan vaskulitis pada sistim syaraf dengan manifestasi klinik neuropati perifer. Kranial neuropati juga dapat dijumpai pada Sindrom Sjogren, biasanya mengenai serat saraf tunggal, misalnya neuropati trigeminal atau neuropati optik, neuropati sensorik merupakan komplikasi neurologi yang sering. Kelainan muskular hanya berupa mialgia dengan enzim otot dalam batas normal.9

Tabel 4. Manifestasi Sistem Saraf Pusat pada Sindrom Sjogren

GAMBARAN GASTRO INTESTINAL

Keluhan yang sering dijumpai adalah disfagia, karena kekeringan daerah kerongkongan, mulut dan esofagus, disamping itu faktor dismotilitas esofagus akan menambah kesulitan proses menelan. Mual dan nyeri perut daerah epigastrik juga sering dijumpai. Biopsi mukosa lambung menunjukan gastritis kronik atropik yang secara histopatologi didapatkan infiltrasi limfosit. Gambaran ini persis seperti yang didapatkan pada kelenjar liur. Hepatomegali, peningkatan alkali fosfatase, sirosis bilier primer lebih sering pada tipe primer.9

ARTRITIS

Lima puluh persen gejala artritis pada Sindrom Sjogren, artritisnya mungkin muncul lebih awal sebelum gejala sindrom sicca muncul. Artritis pada Sindrom Sjogren tidak erosif. Artralgia, kaku sendi, sinovitis, poliartitis kronis gejala lain yang mungkin dijumpai.9

E. DIAGNOSIS

Lebih dari 10 kriteria diagnosis dan klasifikasi untuk Sindrom Sjogren telah dibuat. Kriteria paling baru adalah dari American-European Consensus Group Classification Criteria, seperti pada gambar 5.9

Gambar 5. American-European Consensus Group Classification Criteria

Gambaran Laboratorium

Pada pasien Sindrom Sjogren sering didapatkan peningkatan immunoglobulin serum poliklonal dan sejumlah auto antibodi yang sesuai dengan aktifitas kronik sel B. Laju endap darah meningkat sesuai dengan peningkatan globulin gama. Suatu penelitian multisenter dari 400 pasien Sindrom sjogren berdasarkan kriteria The European Community Preliminary Criteria tahun 1993 didapatkan Anti Ro 40 % dan anti- La pada 26%, ANA pada 74% dan faktor rematoid pada 38% pasien Sindrom Sjogren. Kelainan hematologi yang bisa didapatkan pada Sindrom Sjogren adalah anemia 20%, lekopenia 16% dan trombositopenia 13%. Hipergammaglobulin ditemukan hampir pada 80 % pasien.9,10

Suatu penelitian di London yang mengevaluasi 34 pasien dengan keluhan mata dan mulut kering tapi tidak termasuk Sindrom Sjogren dikenal dengan Dry Eyes and Mouth Syndrome (DEMS) pada pemeriksaan anti Ro dan anti La semuanya negative walaupun ANA positif (19 %).11

Tes untuk Diagnosis Keratokonjungtivitis

A. Tes Schimers

Tes ini digunakan untuk mengevaluasi produksi kelenjer air mata. Tes dilakukan dengan menggunakan kertas filter dengan panjang 30 mm, caranya kertas ditaruh dikelopak mata bagian bawah dibiarkan selama 5 menit. Setelah 5 menit kemudian dilihat berapa panjang pembasahan air mata pada kertas filter, bila pembasahan kurang dari 5 mm dalam 5 menit maka tes positif. Suatu penelitian di Spanyol yang menggunakan Pilokarpin 5 mg sublingual pada 60 pasien Sindrom sjogren primer, 46 pasien yang rendah produksi salivanya, 22 orang diantaranya terdapat peningkatan produksi saliva setelah menggunakan 5mg Pilokarpin.12,13

Gambar 6. Tes Schimers

B. Rose Bengal Staining

Keratokonjungtivitis merupakan sequele pada kornea dan konjungtiva karena menurunnya air mata. Dengan pengecatan Rose bengal yang menggunakan anilin yang dapat mewarnai epitel kornea maupun konjungtiva. Dengan pengecatan ini keratokonjungtivitis sicca tampak sebagai keratitis puntata, bila dilihat dengan slit lamp. Tear film break up : tes ini dilakukan untuk melihat kecepatan pengisian flouresin pada kertas film.13

C. Sialometri

Sialometri adalah pengukuran kecepatan produksi kelenjer liur tanpa adanya rangsangan, baik untuk mengukur kelenjer parotis, submandibula, sublingual ataupun total produksi kelenjer liur. Pada Sindrom Sjogren menunjukan penurunan kecepatan sekresi. Suatu penelitian di Spanyol untuk memeriksa fungsi kelenjar ludah pasien Sindrom Sjogren dengan menggunakan pilokarpin 5mg sublingual apakah terjadi peningkatan produksi kelenjer saliva setelah pemberian pilokarpin 5 mg, dari 60 pasien SS diukur Basal Saliva Flow (BSF) pada semua pasien dimana BSF < 1,5 ml/ 15 menit berarti abnormal. Dari 60 pasien terdapat 46 pasien dengan BSF < 1,5 ml , kemudian diberi pilokarpin 5 mg (SSF = Stimulated salivary Flow ). Hasil didapatkan setelah pemberian pilokarpin terdapat peningkatan produksi saliva.13

D. Sialografi

Pemeriksaan secara radiologi untuk menetapkan kelainan anatomi pada saluran kelenjer eksokrin. Pada pemeriksaan ini tampak gambaran teleektasis.13,14

E. Skintigrafi

Untuk mengevaluasi kelenjar dengan mengunakan 99m Tc, dengan pemeriksaan ini dilihat ambilan 99m Tc dimulut selama 60 menit setelah injeksi intravena.13,14

F. Biopsi

Biopsi kelenjar eksokrin minor memberikan gambaran yang sangat spesifik yaitu tampak gambaran infiltrasi limfosit yang dominan. Biopsi kelenjar saliva minor merupakan gold standar untuk diagnosis Sindrom Sjogren.14

Diagnosis Sindrom Sjogren

Banyak gejala Sindrom Sjogren yang non spesifik sehingga seringkali menyulitkan dalam mendiagnosis. Ketepatan membuat diagnosis diperlukan waktu pengamatan yang panjang. Oleh karena manifestasi yang luas dan tidak spesifik akhirnya American European membuat suatu konsensus untuk menegakkan diagnosis Sindrom Sjogren, kriteria ini mempunyai sensitivitas spesifisitas sebesar 95 %. 10

Adapun kriteria tersebut :

Gejala mulut kering

Gejala mata kering

Tanda mata kering dibuktikan dengan tes schimer atau tes Rose bengal

Tes fungsi kelenjer saliva, abnormal flow rate dengan skintigrafi /sialogram

Biopsi kelenjer ludah minor

Autoantibodi (SS-A, SS-B)

SS bila memenuhi 4 kriteria, satu diantaranya terbukti pada biopsi kelenjar eksokrin minor atau positif antibodi. Suatu penelitian melaporkan dari 3000 pasien Sindrom Sjogren rata-rata waktumulai timbul keluhan sampai diagnosis adalah 6,5 tahun.10

Tabel 5. Penyakit Sistemik Terkait Sindrom Sjogren

F. Penatalaksanaan

Tatalaksana Sindrom Sjogren meliputi tatalaksana akibat disfungsi sekresi kelenjar mata dan mulut dan manifestasi ektraglandular. Prinsipnya hanyalah simtomatis mengantikan fungsi kelenjer eksokrin dengan memberikan lubrikasi.15

Mata

Pengobatan untuk mata meliputi penggunaan air mata buatan bebas pengawet untuk siang hari dan salep mata untuk malam hari. Lubrikasi pada mata kering dengan tetes mata buatan membantu mengurangi gejala akibat sindrom mata kering. Untuk mengurangi efek samping sumbatan drainase air mata pengganti bisa diberikan lensa kontak, tetapi resiko infeksi sangat besar. Tetes mata yang mengandung steroid sebaiknya dihindarkan karena merangsang infeksi.16

Bila gagal dengan terapi tersebut dapat diberikan sekretagogum yaitu stimulat muskarinik reseptor. Ada dua jenis sekretagogum yang beredar di pasaran yaitu golongan pilokarpin dan cevimelin. Dosis pilokarpin 5 mg 4 kali sehari selama 12 minggu sedangkan cevimelin 3 x 30 mg diberikan 3 kali sehari.16

Mulut

Pengobatan kelainan dimulut akibat Sindrom Sjogren meliputi pengobatan dan pencegahan karies, mengurangi gejala dimulut, memperbaiki fungsi mulut. Pengobatan xerostomia sangat sulit sampai saat ini belum ada obat yang dapat untuk mengatasinya.17

Pada umumnya terapi ditujukan pada perawatan gigi, kebersihan mulut, merangsang kelenjar liur, memberi sintetik air liur. Pada kasus ringan digunakan sugar-free lozenges, cevimeline atau pilokarpin. Pengobatan kandidiasis mulut pada kasus yang masih ada produksi saliva dapat digunakan anti jamur sistemik seperti flukonazol, sedang pada kasus yang tidak ada produksi saliva digunakan anti jamur topikal.17,18

Ekstraglandular

OAINS digunakan bila ada gejala muskuloskeletal, hidroksi klorokuin digunakan untuk atralgia, mialgia hipergammaglobulin. Kortikosteroid sistemik 0,5-1 mg/kgBB/hari dan imunosupresan antara lain siklofosfamid digunakan untuk mengontrol gejala ekstraglandular misalnya difus intersisial lung disease, glomerulonefritis, vaskulitis.18

Obat yang digunakan dalam terapi Sindrom Sjogren

1. Muskarinik agonis 19

Pilokarpin dan Cevimelin digunakan untuk terapi sicca symptoms karena merangsang reseptor M1 dan M3 pada kelenjer ludah sehingga meningkatkan fungsi sekresi. Suatu penelitian pasien Sindrom Sjogren yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg selama 12 minggu terdapat perbaikan keluhan. Sementara itu penelitian lain menggunakan Cevimelin dengan dosis 3 x15 mg/30 mg selama 6 minggu juga dapat memperbaiki keluhan.Sedangkan penelitian di Loannina.Greece pada 29 pasie SS yang mendapat Pilokarpin 2 x 5 mg selama 12 minggu juga terdapat perbaikan keluhan.

Suatu penelitian pada 373 pasien Sindrom Sjogren primer dan sekunder yang diterapi dengan Pilokarpin 4 x 5 mg/hari (20 mg) selama 12 minggu terdapat perbaikan keluhan mata dan mulut kering. Pilokarpin dapat meningkatkan produksi kelenjer saliva dan mata. Efek samping pilokarpin berupa keringat yang berlebih, diare, rasa panas dikulit terutama disekitar wajah dan leher, nyeri otot, ingusan dan gangguan penglihatan.

2. Agen Biologik

Suatu penelitian oleh Steinfeld pada 16 pasien sindrom sjogren primer yang diterapi dengan infus Infliximab 3mg/kg pada minggu 0, minggu 2, minggu 6 terdapat perbaikan keluhan. Penggunaan Rituximab infus 375 mg/m2 dengan prednison 25 mg i.v pada 8 pasien sindrom sjogren primer selama 12 minggu dapat mengurangi keluhan mata dan mulut kering.20

3. Terapi lain

Penelitian Miyawaki 20 pasien Sindrom Sjogren diterapi dengan prednisolon secara siknifikan menurunkan serum IgG, anti-Ro/SS. Hidroksiklorokuin yang digunakan untuk terapi malaria juga digunakan untuk penyakit autoimun dan dari penelitian pada 14 pasien Sindrom Sjogren primer dapat meningkatkan produksi kelenjer ludah setelah diterapi selama 6 bulan.21

Sedangkan penelitian lain yang mengunakan Hidroksiklorokuin dengan dosis 400 mg /hari selama 12 bulan pada 19 pasien Sindrom Sjogren tidak terdapat perbaikan keluhan.21

Tabel 6. Obat dalam terapi Sindrom Sjogren

DAFTAR PUSTAKA

1. Sumariyono.Diagnosis dan tatalaksana Sindrom sjogren. Kumpulan makalah temu ilmiah Reumatologi.2008:134-136.

2. Yuliasih. Sindrom sjogren. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam.jilid II edisi IV. Pusat Penerbitan IPD FKUI.2006:1193-1196.

3. Troy Daniels, DDS, MS. Sjogrens Syndrome.Primer on rheumatic diseases.2008;13:389-397.

4. Jonsson R. Sjogrens Syndrome. Encyclopedia of life sciences. 2010. 49:50-60.

5. Ramos M. Primary Sjogren syndrome. British Medical Journal. 2012. 10: 15-22.

6. Casals MR.Font J. Primary Sjogren Syndrome: Current and emergent aetiopathogenic concepts.Rheumatology.2005;44:1354-1367.

7. Brun JG. Madland TM. Gjesdal CB. Sjogren syndrome in an-out-patient clinic; classification of patient according to the preliminary European criteria and and the proposed modified European criteria. Rheumatol. 2002:41;301-304.

8. Price EJ. Venables PJ. Dry eyes and mouth syndrome, a subgroup of patient presenting with sicca symptoms. Rheumatol. 2002:41;416-425.

9. Kassan SS. Marulampos M. Moutsopoulos MD. Clinical manifestation and early diagnosis of sjogren syndrome. Arch. Int. Med. 2004:164;1275-1284.

10. Casals MR. Tzioufas AG. Front J. Primary sjogren syndrome; new clinic and therapeutic concepts. Ann.Rheum. Dis. 2005:64;347-354.

11. Nicolas Delaleu. Malin V.Jonsson. New concepts in the pathogenesis of Sjogren Syndrome.Rheum.Dis Clin N Am.2008;34:833-845.

12. Theander E.Lennart.Jacobsson TH. Relationship of Sjogren Syndrome to other connective tissue and autoimmune disorders. Rheum. Dis Clin N Am. 2008;34:935- 947.

13. Rosas J. Casals MR. Ena J.Usefulness of basal and Pilocarpin stimulated salivary flow in primary sjogren syndrome correlation with clinical immunological and histological features. Rheumatology.2002;41:670-675.

14. Tsifetaki N.Kitsos CA. Paschides. Oral Pilocarpin for the treatment of ocular symptoms in patient with Sjogren Syndrome. A randomized 12 weeks controlled Study. Ann. Rheum. Dis.2003;62:1204-1207

15. Frederick B. Vivino MD.Pilocarpine tablets for the treatment of dry mouth and dry eye symptoms in patient with Sjogren Syndrome.Arch Intern Med.2000;159:174-181.

16. Ramos-Casals M.Loustaud-Ratti V.De Vita S, et al. Sjogren syndrome associated with hepatitis C virus. A multicenter analysis of 137 cases. Medicine.2005;84:81-89.

17. Carson S.Sjogren Syndrom. Kelleys Textbook of Rheumatology.2005;69:1105-1124.

18. Garcia-Carrasco M. Ramos-casals M. Rosas J, et al. Primary Sjogren syndrome. Clinical and immunologic disease patterns in a cohort of 400 patient. Medicine.2002;81:270-280.

19. Meijer JM.Pijpe J.Vissink A. Treatment of Primary Sjogren syndrome with Rituximab; extended follow up, safety and efficacy of treatment. Annals of the Rheumatic.Diseases.2009;68:284-285.

20. Markus R. Ulbrick R. Treatment of sicca symptoms with Hydroxychloroquine in patients with Sjogren Syndrome.Rheumatology.2005;11:1093-1094.

21. Kruize AA. Hene RJ. Kallenberg CG. Hydroxycloroquine treatment for primary sjogren syndrome; a two years double blind crossover trial. Annals of the Rheumatic Diseases.1993;52:360-364.

22. Haga HJ. Gjesdal CG. Koksvik HS. Pregnancy outcome in patients with primary sjogren syndrome, a case-control study. The Journal of Rheumatology.2005;32:1734-1736.

1