sindroma wallenberg

Upload: inez-amelinda

Post on 14-Oct-2015

156 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

sindroma wallenberg

TRANSCRIPT

Sindroma Wallenberg

Definisi Sindroma Wallenberg atau memiliki nama lain Sindroma medula lateral atau Sindroma arteri cerebelar posterior inferior (PICA syndrome) merupakan suatu penyakit dimana pasien memiliki gejala neurologis yang disebabkan karena adanya cedera pada bagian lateral medula di otak yang mengakibatkan iskemia dan nekrosis. Sering pula disebut disebabkan oleh stroke pada batang otak. Stroke adalah tanda-tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal atau global, dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih atau menyebabkan kematian, tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler.

Epidemiologi Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat 100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun (Hacke dkk, 2003). Di Amerika diperkirakan terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari 160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup. (Goldstein dkk, 2006). Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada kelompok usia diatas 85 tahun (Lloyd dkk, 2009). Untuk kategori stroke pada vertebrobasilar, frekuensi, insiden dan prevalensi bervariasi tergantung areanya. Sekitar 80-85% dari seluruh stroke merupakan stroke iskemik dan 20% lesi penyebab iskemik terjadi di sistem vertebrobasilar. Stroke hemoragik terjadi sekitar 15-20%. Walaupun hampir keseluruhan perdarahan intraserebral terjadi di regio putamen dan talamus, sekitar 7 % nya melibatkan serebelum dan 6% lainnya melibatkan pons.

Anatomi Perdarahan otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.

Arteri Carotis Interna Arteri karotis interna keluar dari sinus cavernosus pada sisi medial processus clinoideus anterior dengan menembus duramater. Kemudia arteri ini membelok ke belakang menuju sulcus cerebri lateralis dan disini bercabang menjadi : A. Ophtalmica A. Comunicans posterior A. Choroidea

A. Cerebri anteriorArteri ini berjalan di atas nervus optikus dan mengikuti alur dari corpus calosum. Segera setelah beranjak dari asalnya, kedua pembuluh dari a. Cerebri anterior digabungkan oleh arteri comunicans anterior. Arteri ini memperdarahi hemisfer orbital, frontal dan parietal. Cabang dalamnya melewati kapsula interna dan basal nuklei.

A. Cerebri media Arteri ini merupakan cabang terbesar dari arteri karotis interna. Memberikan perdarahan dengan cabang yang dalam ( perforating vessels) pada badan anterior kapsula interna dan basal nuclei. Selain itu juga memberi cabang untuk temporal, parietal dan frontal.

Arteri Vertebralis Merupakan cabang dari bagian pertama a. Subclavia. Berjalan ke atas melalui foramen processus transversus vertebra C1-C6. Pembuluh ini masuk ke otak melalui foramen magnum dan berjalan ke atas, depan dan medial medula oblongata. Arteri vertebralis dan cabangnya memperdarahi medula dan bagian bawah serebelum. Cabangnya ialah : a. Meningea, a. Spinalis anterior dan posterior, a. Cerebeli postero inferior dan a. Medulares.

Arteri Basilar Arteri ini dibentuk dari gabungan kedua a. Vertebralis dan berjalan naik dalam alur pada permukaan pons. Pada pinggir atas pons bercabang dua menjadi a. Cerebri Posterior.Cabang dari arteri basilar dibagi menjadi :

- Arteri Cerebral posterior Merupakan arteri terminal dari a. Basilar. Cabang kecil memperdarahi struktur midbrain, pleksus koroid dan posterior thalamus. Cabang kortikal memperdarahi bagian bawah temporal dan korteks occipital dan visual. - Cabang long circumflex - Cabang paramedian1

Setiap arteri vertebralis biasanya memberi cabang menjadi arteri cerebelli posterior inferior. Di atas dari pons, arteri basilar membagi menjadi 2 arteri cerebral posterior. Proksimal dari percabangan arteri terminal tersebut, terdapat percabangan lagi yaitu arteri cerebelar superior yang memperdarahi aspek lateral pons dan midbrain yaitu permukaan atas serebelum. Serebelum sendiri duperdarahi oleh arteri cabang long circumfleksial, arteri cerebelli posterior inferior dan arteri cerebelli anterior inferior serta arteri cerebelli superior. Medula diperdarahi oleh arteri cerebelli posterior inferior dan cabang kecil langsung dari arteri vertebralis. Pons diberikan suplai darah oleh cabang kecil dari arteri basilar dan cabang utamanya. Arteri penetrasi dari arteri cerebelli posterior inferior memperdarahi midbrain dan thalamus serta korteks occipital oleh cabang dari arteri cerebral posterior.

Pada arteri cerebeli posterior inferior cabang medial memperdarahi pleksus koroid ventrikel keempat sedangkan bagian lateral ke bagian bawah cerebelum dan kemudian beranastomosis dengan arteri cerebeli anterior inferior dan arteri cerebelli superior. Struktur yang terdapat pada bagian ini ialah : - Peduncle inferior cerebeli - Traktus spinotalamikus lateral - Traktur descending dari n. V - Nucleus ambigus - Nucleus dan traktus solitarius - Bagian kaudal nucleus vestibular inferior - Serat nervus vagus dan asesorius - Bagian substansi reticular yang mengandung serat simpatis descending dari thalamus

Arteri karotis dan basilar bersatu membentuk sirkulus Willisi. Karena sistem ini mempunyai bentuk aliran kolateral maka bila adanya arteri yang teroklusi, maka perfusi ke otak masih dapat dilakukan.

Etiologi Etiologi dari sindroma Wallenberg ialah adanya oklusi dapat berupa trombosis ataupun emboli dari arteri cerebeli posterior inferior. Adanya oklusi ini menyebabkan terjadinya infark pada bagian lateral dari medula oblongata. Oklusi sering berasal dari arteri vertebralis yang merupakan ibu cabang dari arteri cerebeli posterior inferior. Hal ini sering disebabkan oleh trauma pada leher, contoh kegiatan ciropractic, yoga dan trauma kepala leher. Arteri vertebralis melintas di sepanjang leher sebelum masuk ke dalam kepala dan bercabang menjadi arteri cerebeli posterior inferior.Faktor resiko Beberapa faktor yang meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami stroke baik itu jenis yang iskemik maupun hemoragik :

A. Faktor Definitif Usia Usia merupakan faktor utama pembentukan ateroma, sehingga merupakan faktor utama terjadinya stroke. Pembentukan ateroma terjadi seiring bertambahnya usia, dimana stroke paling sering terjadi pada usia lebih dari 65 tahun, tetapi jarang terjadi pada usia dibawah 40 tahun. Dikatakan bahwa proses pembentukan ateroma tersebut dapat terjadi 20 - 30 tahun tanpa menimbulkan gejala. Jenis kelamin pria Stroke lebih sering terjadi pada pria. Diperkirakan bahwa insidensi stroke pada wanita lebih rendah dibandingkan pria, akibat adanya estrogen yang berfungsi sebagai proteksi pada proses aterosklerosis. Di lain pihak pemakaian hormon estrogen dosis tinggi menyebabkan peningkatan kematian akibat penyakit kardiovaskuler pada pria. Oleh karena itu faktor ini sebenarnya masih diperdebatkan. Tekanan darah tinggi Merupakan faktor yang penting pada pathogenesa terjadinya stroke iskemia dan perdarahan. Biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan diastolik. Mekanismenya belum diketahui secara pasti, tetapi pada percobaan binatang (anjing) didapatkan bahwa adanya tekanan darah yang tinggi menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas dinding pembuluh darah terhadap lipoprotein. Di Framingham, resiko relatif terjadinya stroke pada setiap peningkatan 10 mmHg tekanan darah sistolik adalah 1,9 pada pria dan 1,7 pada wanita dimana faktor-faktor lain telah diatasi. Merokok Merokok merupakan faktor resiko yang independen. Mekanisme terjadinya ateroma tersebut belum diketahui secara pasti, tetapi kemungkinan akibat: a. Stimulasi sistim saraf simpatis oleh nikotin dan ikatan O2 dengan hemoglobin akan digantikan dengan Karbonmonoksida b. Reaksi imunologi direk pada dinding pembuluh darah c. Peningkatan agregasi trombosit d. Peningkatan permeabilitas endotel terhadap lipid akibat zat-zat yang terdapat di dalam rokok.

Diabetes mellitus Salah satu penyulit vaskuler pada penderita ini adalah penyakit pembuluh darah serebral. Penderita ini mempunyai resiko terjadinya stroke 1,5-3 kali lebih sering jika dibandingkan dengan populasi normal. Hipertensi yang terjadi pada penderita DM, merupakan salah satu faktor terjadinya stroke. Hiperglikemi kronis akan menimbulkan glikolisasi protein-protein dalam tubuh. Bila hal ini berlangsung hingga berminggu-mingu, akan terjadi AGES (advanced glycosylate end products) yang toksik untuk semua protein. AGE protein yang terjadi diantaranya terdapat pada receptor makrofag dan reseptor endotel. AGE reseptor dimakrofag akan meningkatkan produksi TNF (tumor necrosis factors), ILI (interleukine-I), IGF-I (Insuline like growth factors-I). Produk ini akan memudahkan prolipelisasi sel dan matriks pembuluh darah. AGE Reseptor yang terjadi di endotel menaikkan produksi faktor jaringan endotelin-I yang dapat menyebabkan kontriksi pembuluh darah dan kerusakan pembuluh darah. Peningkatan fibrinogen plasma Fibrinogen berhubungan dengan pembentukan aterogenesis dan pembentukan trombus arteri. Pada penelitan di Bramingham, angka kejadian penyakit Kardiovasculer meningkat sesuai dengan peningkatan kadar fibrinogen plasma. Profil lipid darah Produk kolesterol didalan darah yang terbanyak adalah Low Density Lipoprotein (LDL), LDL ini meningkat dengan adanya proses aterosklerosis. Sedangkan High Density Lipoprotein (HDL) merupakan proteksi terhadap terbentuknya aterosklerosis akibat fasilitas pembuangan (disposal) partikel kolestrol. B. Posibel Aktifitas fisik yang rendah Pada pekerja dengan aktifitas fisik yang berat menimbulkan penurunan angka kejadian penyakit kardiovaskuler. Hal ini disebabkan karena, pada pekerja berat, akan terjadi penurunan tekanan darah akibat kehilangan berat badan, dan menyebabkan penurunan denyut nadi, peningkatan kolesterol HDL, penurunan kolesterol LDL, memperbaiki toleransi glukosa, perubahan kebiasaan buruk seperti merokok.

Peningkatan hematokrit Biasanya akibat peningkatan sel darah merah dengan peningkatan fibrinogen darah yang menyababkan peningkatan viskositas darah. Hal ini menyebabkan kelainan patologis yang akan menyebabkan penyempitan arteri penetrasi yang berukuran kecil, dan arteri serebri yang besar mengalami stenosis yang berat.

Obesitas Obesitas menjadi faktor resiko biasanya berhubungan dengan tingginya tekanan darah, gula darah, dan lipid serum.

Diet Pada makanan yang paling menentukan angka kejadian penyakit kardiovaskuler adalah konsumsi garam yang berhubungan dengan peningkatan tekanan darah. Jika pada penderita kelainan vaskuler akibat konsumsi minuman yang mengandung kafein, hal ini disebabkan karena adanya efek hiperlipidemia pada minuman kopi, atau karena pada peminum kopi sering disertai dengan adanya kebiasaan merokok.

Alkohol Alkohol dapat menyebabkan terhambatnya proses fibrinolisis, biasanya terjadi pada penderita dengan hipertensi dan diabetes mellitus. Ada yang mengatakan bahwa alkohol masih merupakan faktor resiko yang kontroversial. Walaupun begitu angka kejadian stroke meningkat pada peminum alkohol sedang hingga berat dibandingkan dengan seseorang yang bukan peminum alkohol.

Ras Prevelansi yang berbeda terjadi pada orang dengan kulit putih, hitam dan Asia, bukan hanya akibat faktor genetik. Hal ini akibat rendahnya kolesterol serum, tingginya intake alkohol dan konsumsi makanan tradisional Asia yang rendah lemak dan protein yang berasal dari hewan berhubungan dengan rendahnya penyakit jantung koroner tetapi menyababkan tingginya kejadian stroke.

Patofisiologi Penyebab utama kelainan vaskular yang menyerang ke sistem vertebrobasilar adalah aterosklerosis, dimana terbentuk plak di dinding pembuluh darah yang menyebabkan lumennya menyempit dan dapat terjadi oklusi. Aterosklerosis ini terjadi pada pembuluh darah yang besar. Kejadian tersebut berbeda dimana menyerang pembuluh darah kecil yaitu pada diameter 50 200 m. Pada pembuluh darah kecil prosesnya bernama lipohyalinosis yang sering terjadi berhubungan dengan hipertensi. Oklusi dari pembuluh darah kecil ini akan membentuk infark kecil dan melingkar bernama lakuna dimana dapat muncul soliter ataupun multiple di daerah subkorteks dan batang otak. Lipohyalinosis melemahkan dinding pembuluh darah dan pada penderita hipertensi rupturnya arteri dapat terjadi dan menyebabkan hemoragik fokal. Hampir selurah perdarahan intracerebral berasal dari rupturnya arteri kecil yang merupakan penghubung. Karena didapatkannya kedekatan secara anatomi antara arteri vertebral dan servikal, maka bentuk-bentuk manipulasi pada leher dapat mencederai arteri vertebral di leher dan akhirnya membentuk oklusi dari trauma yang ditimbulkan tersebut. Oklusi emboli dari sistem vertebrobasilar tidaklah umum terjadi. Plak aterotrombotik yang terjadi pada pembuluh darah ekstrakranial dapat lisis akibat mekanisme fibrinotik pada dinding arteri dan darah, yang menyebabkan terbentuknya emboli, yang akan menyumbat arteri yang lebih kecil, distal dari pembuluh darah tersebut. Trombus dalam pembuluh darah juga dapat terjadi akibat kerusakan atau ulserasi endotel, sehingga plak menjadi tidak stabil dan mudah lepas membentuk emboli. Emboli dapat menyebabkan penyumbatan pada satu atau lebih pembuluh darah. Emboli tersebut akan mengandung endapan kolesterol, agregasi trombosit dan fibrin. Emboli akan lisis, pecah atau tetap utuh dan menyumbat pembuluh darah sebelah distal, tergantung pada ukuran, komposisi, konsistensi dan umur plak tersebut, dan juga tergantung pada pola dan kecepatan aliran darah. Sumbatan pada pembuluh darah tersebut (terutama pembuluh darah di otak) akan meyebabkan matinya jaringan otak, dimana kelainan ini tergantung pada adanya pembuluh darah yang adekuat. Otak yang hanya merupakan 2% dari berat badan total, menerima perdarahan 15% dari cardiac output dan memerlukan 20% oksigen yang diperlukan tubuh manusia, sebagai energi yang diperlukan untukmenjalankan kegiatan neuronal. Energi yang diperlukan berasal dari metabolisme glukosa, yang disimpan di otak dalam bentuk glukosa atau glikogen untuk persediaan pemakaian selama 1 menit, dan memerlukan oksigen untuk metabolisme tersebut, lebih dari 30 detik gambaran EEG akan mendatar, dalam 2 menit aktifitas jaringan otak berhenti, dalam 5 menit maka kerusakan jaringan otak dimulai, dan lebih dari 9 menit, manusia akan meninggal. Bila aliran darah jaringan otak berhenti maka oksigen dan glukosa yang diperlukan untuk pembentukan ATP akan menurun, akan terjadi penurunan Na-K ATP ase, sehingga membran potensial akan menurun. K+ berpindah ke ruang CES sementara ion Na dan Ca berkumpul di dalam sel. Hal ini menyebabkan permukaan sel menjadi lebih negatif sehingga terjadi membran depolarisasi. Saat awal depolarisasi membran sel masih reversibel, tetapi bila menetap terjadi perubahan struktural ruang menyebabkan kematian jaringan otak. Keadaan ini terjadi segera apabila perfusi

menurun dibawah ambang batas kematian jaringan, yaitu bila aliran darah berkurang hingga dibawah 10 ml/100 gr.menit. Akibat kekurangan oksigen terjadi asidosis yang menyebabkan gangguan fungsi enzim-enzim, karena tingginya ion H. Selanjutnya asidosis menimbulkan edema serebral yang ditandai pembengkakan sel, terutama jaringan glia, dan berakibat terhadap mikrosirkulasi. Oleh karena itu terjadi peningkatan resistensi vaskuler dan kemudian penurunan dari tekanan perfusi sehingga terjadi perluasan daerah iskemik. Peranan ion Ca pada sejumlah proses intra dan ekstra seluler pada keadaan ini sudah makin jelas, dan hal ini menjadi dasar teori untuk mengurangi perluasan daerah iskemi dengan mengatur masuknya ion Ca. Komplikasi lebih lanjut dari iskemia serebral adalah edema serbral. Kejadian ini terjadi akibat peningkatan jumlah cairan dalam jaringan otak sebagai akibat pengaruh dari kerusakan lokal atau sistemis. Segera setelah terjadi iskemia timbul edema serbral sitotoksik. Akibat dari osmosis sel cairan berpinda dari ruang ekstraseluler bersama dengan kandungan makromolekulnya. Mekanisme ini diikuti dengan pompa Na/K dalam membran sel dimana transpor Na dan air kembali keluar ke dalam ruang ekstra seluler. Pada keadaan iskemia, mekanisme ini terganggu dan neuron menjadi bengkak. Edema sitotoksik adalah suatu intraseluler edema. Apabila iskemia menetap untuk waktu yang lama, edema vasogenic dapat memperbesar edema sitotoksik. Hal ini terjadi akibat kerusakan dari sawar darah otak, dimana cairan plasma akan mengalir ke jaringan otak dan ke dalam ruang ekstraseluler sepanjang serabut saraf dalam substansia alba sehingga terjadi pengumpalan cairan. Sehingga vasogenik edema serbral merupakan suatu edema ekstraseluler. Pada stadium lanjut vasigenic edema serebral tampak sebagai gambaran fingerlike pada substansia alba. Pada stadium awal edema sitotoksik serbral ditemukan pembengkakan pada daerah disekitar arteri yang terkena. Halini menarik bahwa gangguan sawar darah otak berhungan dengan meningkatnya resiko perdarahan sekunder setelah rekanalisasi (disebut juga trauma reperfusy). Edema serbral yang luas setelah terjadinya iskemia dapat berupa space occupying lesion. Peningkatan tekanan tinggi intrakranial yang menyebabkan hilngnya kemampuan untuk menjaga keseimbangan cairan didalam otak akan menyebabkan penekanan sistem ventrikel, sehingga cairan serebrospinalis akan berkurang. Bila hal ini berlanjut,maka akan terjadi herniasi kesegala arah, dan menyebabkan hidrosephalus obstruktif. Akhirnya dapat menyebabkan iskemia global dan kematian otak.

Gejala Klinis Dapat disebabkan oleh oklusi salah satu dari lima pembuluh darah yang bertanggung jawab antara lain arteri vertebral, posterior inferior cerebellar, atau superior, tengah atau inferior lateral medullary. Infark yang berada di daerah medula umumnya mempunyai gambaran paralisis di satu sisi ekstremitas atas dan ekstremitas bawah di sisi lainnya.

Gejala klinis pada sindroma Wallenberg terbentuk karena adanya trombosis yang membentuk plak ateromatosa di bagian a. Vertebralis. Hanya sekitar 25 % sindroma ini yang berasal benar-benar oklusi dari arteri cerebeli posterior inferior.Gejala klinis Struktur yang berperan

Ipsilateral

1. Nyeri, baal, kelainan sensasi pada setengah wajah Traktus descenden dan nukleus nervus 5

2. Ataxia ekstrmitas dan jatuh pada sisi sakit Belum pasti restiform body, cerebellar hemisphere, serat olivocerebellar dan traktus spinocerebellar

3. Vertigo, mual dan muntah Nukleus Vestibular dan hubungannya

4. Nistagmus, diplopia dan oscilopsia Nukleus Vestibular dan hubungannya

5. Horner syndrome ( miosis, ptosis dan anhidrosis) Traktus descending simpatis

6. Disfagia, serak, berkurang refleks menelan, paralisis pita suara Serat saraf ke 9 dan 10 (ambigus)

7. Kehilangan rasa Nucleus and tractus solitarius

8. Baal ipsilateral lengan, badan atau kaki Nukleus Cuneate and gracile

9. Cekukan ( hiccup) Tidak pasti

Kontralateral

1. Nyeri dan kelainan rasa suhu pada setengah badan atau muka Spinothalamic

Anamnesis Diperlukan anamnesis yang baik dalam menunjang terdiagnosisnya suatu penyakit. Ditanyakan apakah keluhan utama pasien dan sejak berapa lama. Komponen waktu sangat penting dalam perjalanan penyakit. Ditanyakan pula keluhan tambahan yang mengikuti keluhan utama. Pada sindroma Wallenberg, dapat ditanyakan gejala-gejala umum yang terjadi pada stroke. Akan tetapi karena ini merupakan lokasi yang khusus, maka didapatkan gejala-gejala khusus seperti yang sudah dijelaskan di bagian gejala klinis seperti baal, nyeri di wajah, tangan dan kaki, penglihatan ganda, vertigo dan gejala lainnya. Bagaimanakah gerakan-gerakan aktif yang dilakukan biasa, adakah kelemahan, penurunan kesadaran, disabilitas dan sebagainya. Ditanyakan pula mengenai faktor resiko yang melatarbelakangi seperti kencing manis, tekanan darah tinggi, kolesterol dan sebagainya. Ditanyakan pula penyakit apa saja yang pernah diderita pasien maupun keluarga. Perlu digali sebanyak mungkin informasi yang membantu menegakkan diagnosis.

Pemeriksaan fisik

1. Status generalis a. Keadaan umum : b. Gizi : c. Tanda vital : Tekanan darah kanan : Tekanan darah kiri : Nadi kanan : Nadi kiri : Pernafasan : Suhu : d. Limfanodi : e. Toraks : meliputi jantung dan paru f. Abdomen : meliputi hepar, lien, ginjal g. Ekstremitas : adakah odem, keadaan akral hangat / dingin

2. Status psikiatris a. Tingkah laku : b. Perasaan hati : c. Orientasi :

d. Jalan fikiran : e. Daya ingat :

3. Status neurologis a. Kesadaran : kualitas ( CM, sopor, somnolen)

kuantitas ( GCS E..M..V..) b. Sikap tubuh : c. Cara berjalan : apakah pasien datang berjalan sendiri, dituntun / berbaring d. Gerakan abnormal : adakah korea, atetosis dan sebagainya e. Kepala Bentuk : Simetris : Pulsasi a.temporalis : Nyeri tekan : f. Leher Sikap : apakah tegang, lemah Gerakan : apakah bebas atau terbatas Vertebrae : adakah penonjolan, miring Nyeri tekan : Pulsasi a. carotis :

4. Gejala rangsang meningeal: (kanan/kiri) a. Kaku kuduk : b. Laseque : c. Kernig : d. Brudzinsky I : e. Brudzinsky II :

5. Syaraf kranialis: a. Nervus I (N. olfactorius) : Daya penciuman baik atau tidak, adakah kelainan atau halusinasi. Diperiksa dengan menutup salah satu hidung dan memberikan aroma untuk dicium.

b. Nervus II (N. opticus) : Yang dinilai ialah ketajaman penglihatan, pengenalan warna, lapang pandang pasien apakah ada bagian yang tidak terlihat dan dilakukan funduskopi untuk menilai keadaan retina.

c. Nervus III, IV dan VI (N. occulomotorius/ trochlearis/ abdusens) : Yang dinilai apakah terdapat ptosis yang merupakan parese nervus III, strabismus yang merupakan terjadi kelumpuhan otot penggerak bola mata. Hal ini diperiksa dengan meminta pasien melirik ke arah jari tangan yang pemeriksa gerakkan untuk menilai gerakan bola mata. Hal lainnya ialah apakah ada eksoftalmus maupun enoptalmus. Diperiksa juga mengenai pupil yaitu ukuran, bentuk, isokor atau tidak, refleks cahaya baik langsung maupun tak langsung serta refleks konvergensi.

d. Nervus V (N. trigeminus) : Merupakan bagian dari sensoris dan sebagian motoris. Sensoris diperiksa dengan menggunakan kapas di bagian atas tengah dan bawah. Pasien juga diminta mengatupkan gigi seperti menggigit. Apakah refleks maseter, kornea, bersin dan zygomatikus pasien baik juga diperiksa.

e. Nervus VII (N. fasialis) : Dapat diperiksa dengan melihat gerakan aktif maupun pasif. Gerakan pasif dapat berupa kerutan kulit dahi, kedipan mata, lipatan nasolabial dan sudut mulut. Dari gerakan pasif tersebut dinilai apakah terdapat kemiringan dan lebih jatuh di satu sisi tubuh. Gerakan aktif diperiksa dengan meminta pasien untuk mengerutkan dahi, alis, menutup mata, meringis, menggembungkan pipi dan bersiul. Untuk fungsi sensosirs N. VII dilakukan dengan menguji daya pengecepan lidah 2/3 depan.

f. Nervus VIII (N. acusticus) : Diperiksa fungsi pendengaran pasien dengan alat sederhana mulai suara gesekan jari pemeriksa sampai menggunakan garputala.

g. Nervus IX (N. glossopharyngeus) : Fungsi saraf ini diketahui biasanya bersama dengan saraf kesepuluh. Pasien diminta membuka mulutnya dan melihat dimanakan posisi uvula, apakah tertarik ke salah satu sisi. Terdapat pula daya pengecapan lidah 1/3 bagian belakang, namun sulit dilakukan karena sering juga merangsang refleks muntah yang membuktikan fungsinya masih baik.

h. Nervus X (N. vagus) : Dinilai bagaimana cara berbicara apakah terdapat serak ,pelo maupun sulit dimengerti. Pasien juga diminta menelan, apakah terdapat kesulitan atau tidak.

i. Nervus XI (N. assesorius) : Merupakan fungsi kerja dari otot sternocleidomastoideus dan trapezius yaitu dengan cara memalingkan kepala, sikap dan mengangkat bahu.

j. Nervus XII (N. hipoglosus) : Pasien diminta untuk menjulurkan lidah, apakah terdapat kemiringan ke salah satu sisi. Kemudian pasien diminta mempertahankannya, dilihat kekuatannya. Apakah ada atrofi dari lidah. Cara berbicara pasien juga dinilai, yang menyebabkan disartria tidak hanya n. VII tapi XII juga bisa.

6. Motorik: Gerakan : gerakan yang diperiksa ialah gerakan aktif maupun pasif. Kekuatan : dinilai dengan jarak 0 5. 0 untuk yang tidak bergerak sama sekali dan 5 untuk yang dapat menahan beban yang diberikan. Tonus otot : dinilai bagaimana tonus otot tersebut. Trofi :

7. Refleks fisiologis: a. Refleks tendon: bisep, trisep, patela dan achiles. b. Refleks permukaan: dinding perut, spinchter ani dan cremaster

8. Refleks Patologis: Dicari apakah terdapat refleks patologis seperti hoffman trommer, babinski, chaddok, oppenheim, gordon, schaefer, rosolimo, mendel beckertrew dan klonus.

9. Sensibilitas: Yang dinilai ialah sensibilitas suhu, nyeri dan taktil serta posisi, vibrasi dan tekanan dalam. Alat pemeriksa dapat menggunakan kapas maupun jarum halus.

10. Koordinasi dan keseimbangan: a. Tes Romberg b. Tes tandem c. Rebound phenomen d. Dismetri e. Tes telunjuk hidung f. Tes telunjuk telunjuk

g. Tes tumit lutut

11. Fungsi otonom: Dinilai fungsi miksi dan defekasi. Dicari apakah terjadi inkostinesia, retensi. Hal ini dapat disebabkan oleh lesi di daerah konus maupun kauda.

12. Fungsi luhur: a. Fungsi bahasa b. Fungsi orientasi c. Fungsi memori d. Fungsi emosi

Pemeriksaan penunjang

a. Darah lengkap Dengan pemeriksaan darah lengkap akan didapatkan kadar hemoglobin. Kadar hemoglobin berguna untuk menilai faktor resiko yang berhubungan dengan penyakit cerebrovaskular dan stroke seperti anemia dan polisitemia. b. Laju endap darah Laju endah darah didapatkan meningkat pada penyakit-penyakit kronis, malignan dan cranial arteritis. c. Gula darah ( sewaktu, puasa dan 2 jam post prandial) Digunakan untuk melihat ada tidaknya diabetes melitus yang diketahui penyakit ini memiliki hubungan yang erat dengan penyakit kardiovaskular dan cerebrovaskular. d. Fungsi ginjal ( ureum dan kreatinin) Fungsi ginjal yang terganggu, menunjukkan adanya kelainan pada ginjal yang dapat berupa akut maupun kronis. Pada gagal ginjal kronis, memiliki hubungan yang erat dengan hipertensi dan diabetes melitus yang diketahui berhubungan erat dengan stroke. e. Asam urat Peningkatan kadar asam urat lebih bertendesi dalam membentuk plak di arteri carotis dan vertebralis. f. Hormon tiroid Pada individu dengan hipotiroid, didapatkan kadar kolesterol yang tinggi oleh karena itu lebih mudah terjadi aterosklerosis. g. Screening penyakit kolagen ( ANA, ACA, C3,C4) h. Serologi sifilis

i. Elektrokardiografi Berguna dalam melihat irama jantung dan mendeteksi adanya kelainan pada jantung seperti gangguan irama / konduksi. Sebagaimana diketahui, penyakit jantung dapat melepaskan emboli yang menyebabkan oklusi di otak. j. Xray ( cervical dan kepala ) Dengan foto cervical dapat dilihat bila adanya spondilosis cervical yang dapat mengkompresi a. Vertebralis. Sedang dengan foto kepala, dapat terlihat bila ada tumor maupun perdarahn. k. USG Doppler Dapat melihat aliran dan perjalanan dari a. Carotis dan a. Vertebralis. l. CT-Scan CT scan non kontras baik untuk melihat infark untuk membedakan iskemik dan perdarahan. m. MRI Lebih superior daripada CT Scan, dapat mendeteksi yang tidak terdeteksi di CT scan. n. Arteriografi Bila hasil USG doppler menunjukkan adanya stenosis, dapat dilakukan arteriografi untuk diagnosis dan terapi. o. Lumbal punksi Penggunaannya sudah sangat terbatas pada masa kini, tergantikan dengan adanya CT scan.

Penatalaksanaan Strategi penatalaksanaan pada stroke mempunyai tujuan utama untuk memperbaiki keadaan penderita sehingga kesempatan hidupnya maksimum. Merupakan usaha terapeutik/medik terutama dalam fase akut hingga optimal. Perencanaan umum

1. Breathing Harus dijaga agar jalan nafas bebas dan bahwa fungsi paru-paru cukup baik. Karena dengan pernapasan yang baik, oksigen akan cukup untuk diperfusikan ke otak. Pengobatan dengan oksigen hanya perlu bila kadar oksigen darah berkurang. Pantau berkala pernapasan dengan auskultasi atau roentgen bila perlu. Hal ini disebabkan dapat terjadinya resiko ateletaksis atau pneumonia terutama untuk pasien yang imobilisasi lama. 2. Brain Udem otak dan kejang-kejang harus dicegah dan diatasi. Bila terjadi udem otak, dapat dilihat dari keadaan penderita yang mengantuk, adanya bradikardi atau dengan pemeriksaan funduskopi, dapat diberikan manitol. Untuk mengatasi kejang-kejang yang timbul dapat diberikan Diphenylhydantoin atau Carbamazepin. 3. Blood Tekanan Darah dijaga agar tetap cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak. Pengobatan hipertensi pada fase akut dapat mengurangi tekanan perfusi yang justru akan menambah iskemik lagi. Kadar Hb dan glukosa harus dijaga cukup baik untuk metabolisme otak. Pemberian infus glukosa harus dicegah karena akan menambah terjadinya asidosis di daerah infark yang ini akan mempermudah terjadinya udem. Keseimbangan elektrolit harus dijaga. 4. Bowel Defekasi dan nutrisi harus diperhatikan. Hindari terjadinya obstipasi karena akan membuat pasien gelisah. Nutrisi harus cukup. Bila pelu diberikan nasogastric tube.

5. Bladder Miksi dan balance cairan harus diperhatikan. Jangan sampai terjadi retentio urinae. Karena bila terdapat retensi urin, akan terjadi distensi bladder dan meningkatkan tekanan darah. Pemasangan kateter jika terjadi inkontinensia. Akan tetapi, perawatan kateter harus dijaga untuk mencegah infeksi sekunder. Pada fase akut pengobatan ditujukan untuk membatasi kerusakan otak semaksimal mungkin. Untuk daerah yang mengalami infark kita tidak bisa berbuat banyak. Yang penting adalah menyelamatkan daerah disekitar infark yang disebut daerah penumbra. Neuron-neuron di daerah penumbra ini sebenarnya masih hidup, akan tetapi tidak dapat berfungsi oleh karena aliran darahnya tidak adekuat. Daerah inilah yang harus diselamatkan agar dapat berfungsi kembali.

Perlu di perhatikan pada pemberian: - Cairan Pada pasien stroke biasa di berikan cairan koloid atau kristalkoloid (hindari pemberian cairan yang mengandung glukosa kecuali dalam keadaan hipoglikemi). Balans cairan diperhitungkan dengan mengukur produksi urin sehari ditambahn dengan pengeluaran cairan yang tidak dirasakan (produksi urine sehari ditambah 500 ml untuk kehilangan cairan yang tidak tampak dan di tambah lagi 300 ml per derajat celcius pada penderita panas)

- Nutrisi Nutrisi enteral paling lambat sudah diberikan dalam 48 jam, oral nutrisi hanya boleh diberikan setelah hasil tes fungsi menelan baik. Bila terdapat gangguan menelan atau kesadaran menurun, makanan dapat diberikan melalui pipa nasogastrik. Pada keadaan akut kebutuhan kalori 25-30 kkal/kg/hari.

- Kulit Perawatan terhadap pasien koma atau tidak dapat bergerak dan hanya berbaring di tempat tidur, harus diperhatikan mengenai kulit dan sendi karena mudah terbentuk ulkus decubitus. Pasien harus dipindah-pindahkan posisi untuk mencegah itu terutama di bagian yang menumpu kuat seperti tumit dan sakrum.

Medika Mentosa Pengelolaan harus bedasarkan penyebabnya dengan obat-obatan yang berfungsi untuk - Pemberian obat-obatan yang dapat memperbaiki aliran darah ke otak seperti rt-PA ( recombinant tissue activator plasminogen) tetapi hal ini bermanfaat apabila diberikan kurang dari 3 jam setelah terjadi serangan. Fungsinya ialah rekanalisasi arteri yang mengalamai oklusi. Dosisnya ialah secara intravena 0,9 mg.kgBB maksimal 90 mg dengan 10 % secara bolus dalam 1 menit dan sisanya infus drip selama 1 jam.

- Nimodipin dapoat menurunkan morbiditas dan mortalitas terutama bila diberikan dalam 12 jam pertama. - Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan imaging yang memastikan bahwa tidak ada pendarahan intracranial primer. Terhadap penderita yang mendapatkan pengobatan antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar antikoagulan. Contoh obat antikoagulan adalah heparin, LMWH atau heparinoid. Dalam pemeberian antikoagulan harus diperhatoikan mengenai perdarahan. Hal ini dipantau dengan pemeriksaan INR secara berkala. Nilai yang ditetapkan ialah 2.5-3.0 dengan PT 1.5 kali normal. Akan tetapi terdapat pengecualian bagi penderit atrial fibrilasi atau gangguan katup jantung ialah INR 3.0-3.5. penggunaan antikoagulan berkepanjangan pasien dapat terjadi stroke hemorgaik, oleh karena itu pemantauan harus dilakukan secara ketat. - Pemberian antiplatelet aggregasi seperti aspirin, clopidogrel, dipiridamol. - Pemakaian vasodilator seperti pentoksifilin tidak dianjurkan dalam terapi stroke iskemik akut - Dalam keadaan tertentu dapat digunakan vasopresor untuk memperbaiki aliran darah ke otak. Pada keadaan tersebut harus dilakukan pantauan kondisi neurologic dan jantung secara tepat. - Pemberian obat-obatan neuroprotektan (citicolin) - Pemberian vitamin B (neurobion) - Pengobatan terhadap faktor-faktor resiko seperti hipertensi (menurunkan tekanan darah harus secara bertahap), hiperglikemi atau hipoglikemi3,4

Pengendalian faktor resiko dan komplikasi : a. Diabetes melitus - Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. - Hipoglikemia (kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.

b. Hipertensi - Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik 220 mmHg dan diastolik 120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) 130 Sindroma Wallenberg Sophie isabela FK UKRIDA 11.2010.068 Page 22

mmHg (pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20% MAP, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid 10 ug/kgBB, penyekat reseptor alfa-beta ( ct : labetalol 20 mg selama 2 menit). Jangan diberikan penyekat ACE, atau antagonis kalsium karena dapat terjadi vasodilatasi dan meningkatkan tekanan intrakranial. - Jika terjadi hipotensi, yaitu tekanan sistolik 90 mm Hg, diastolik 70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1 jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg, dapat diberi dopamin 2-20 g/kg/menit sampai tekanan darah sistolik 110 mmHg.c. Kejang Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv perlahan selama 3 menit, maksimal 100 mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin). Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang. d. Tekanan intrakranial meningkat Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25 sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari. Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (