sintesis dan diagnosis pbl
DESCRIPTION
Sintesis dan Diagnosis Penyakit Berbasis LingkunganTRANSCRIPT
DOSEN PENGAMPUH : Djoko Purwoko, SKMMATA KULIAH : Penyakit Berbasis Lingkungan
SINTESIS DAN DIAGNOSIS PENYAKIT BERBASIS LINGKUNGAN
NAMA : SUKMAWATI
NIM : PO 71.4.221.13.2.047
KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR
KESEHATAN LINGKUNGAN
PRODI D.IV
2013/2014
KATA PENGANTAR
Syukur alhamdulillah, merupakan satu kata yang pantas penulis ucapkan kepada Allah SWT, yang karena bimbingan-Nya maka penulis dapat menyelesaikan
makalah dengan judul " Sintesis Dan Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan".
Makalah ini dibuat sebagai tugas pengganti ujian semester mata kuliah Penyakit Berbasis Lingkungan.
Penulis ucapkan terima kasih kepada pihak terkait yang telah membantu penulis dalam menghadapi berbagai tantangan dalam penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa masih sangat banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu penulis mengundang pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan ini.
Terima kasih dan semoga makalah ini dapat memberikan sumbangsih positif bagi kita semua.
Makassar, Desember 2014
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI .............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................................ 1
B. Tujuan.............................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................ 3
A. Sintesis Teori Penyakit Berbasis Lingkungan ................................
B. Totalitas Sistem................................................................................
C. Model Dinamika Transmisi Penyakit
Berbasis Lingkungan .......................................................................
D. Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan........................................
BAB III PENUTUP ...................................................................................
A. Kesimpulan .....................................................................................
B. Saran ................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Upaya diagnosis penyakit berbasis lingkungan bertujuan untuk
mencari strategi solusi upaya pencegahan dan pengendalian penyakit.
Sedangkan sintesis perlu dilakukan agar dapat diperoleh pemahaman dan
pengertian yang utuh, singkat, padat, dan jelas. Sintesis juga perlu karena
untuk melakukan upaya diagnosis penyakit berbasis lingkungan, diperlukan
suatu pemahaman yang utuh, pengetahuan yang bersifat integratif
menggunakan komponen sistem dalam sebuah wilayah.
Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan merupakan upaya strategis
untuk melakukan pencegahan dan pengendalian kejadian penyakit di sebuah
wilayah komunitas. Mengingat begitu banyak penyakit-penyakit yang harus
dikendalikan, tentu harus dipilih penyakit mana yang dianggap prioritas.
Penentuan prioritas diserahkan kepada pengambil kebijakan lokal sebuah
wilayah bersama masyarakat, bagaimana kehendak masyarakat. Dalam upaya
diagnosis maupun implementasi pemecahan permasalahan itupun harus
menggunakan prinsip pelibatan masyarakat sebagaimana prinsip-prinsip
kesehatan masyarakat. Prinsip-prinsip pendekatan kesehatan masyarakat
adalah: setiap upaya kesehatan harus berbasis komunitas, preventif oriented,
harus ada partisipasi masyarakat, serta melibatkan berbagai disiplin ilmu dan
terorganisasi (Achmadi, 2008).
Prinsip-prinsip kesehatan masyarakat di atas pada hakikatnya adalah
sebuah pendekatan. Pendekatan untuk meningkatkan derajat kesehatan.
Dalam setiap upaya kesehatan harus ada tema atau sesuatu yang dijadikan
pokok masalah yang harus diselesaikan. Pengelompokkan masalah kesehatan
dalam suatu wilayah itupun berbeda satu sama lain, tergantung prioritas
daerah. Sebuah wilayah bisa menentukan tema kurang gizi pada kelompok
balita, wilayah lain lebih menekankan bagaimana membebaskan masyarakat
1
dari penyakit malaria, agar penduduknya bisa lebih produktif. Wilayah lain
bisa saja menetapkan penyakit filariasis, atau penyakit gangguan pertumbu-
han janin akibat penggunaan pestisida (Suhartono, 2010). Semua tergantung
prioritas wilayah masing-masing. Yang paling sulit adalah apabila menghada-
pi kelompok masyarakat yang tidak memahami apa masalah dan apa penyakit
yang menjadi prioritas di wilayahnya.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui sintesis teori penyakit berbasis lingkungan
2. Untuk mengetahui totalitas sistem.
3. Untuk mengetahui model dinamika transmisi penyakit berbasis lingku-
ngan.
4. Untuk mengetahui diagnosis penyakit berbasis lingkungan
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sintesis Teori Penyakit Berbasis Lingkungan
Kita memahami bahwa adanya prevalensi dan insidensi suatu penyakit
yang menyerang atau terjadi dalam sebuah komunitas yang tinggal dalam
sebuah wilayah pada dasarnya merupakan babak akhir dari sebuah proses.
Proses tersbut pada hakikatnya merupakan resultante hubungan interaksi
antara komponen lingkungan dan manusia dengan genomic statusnya, dengan
peradaban, budaya, perilaku, dan status pekerjaan yang dimilikinya dan lain-
lain. Berbagai variabel pembentuk manusia seutuhnya atau yang ada pada diri
manusia tersebut merupakan variabel kontributor penentu hubungan interaksi
antara penduduk dengan lingkungannya.
Sementara itu, komponen lingkungan yang berisi agen penyakit serta
senantiasa berinteraksi dengan manusia adalah air, udara, pangan, binatang
dan serangga penular penyakit. Keberadaan agen penyakit pada media
transmisi berasal dari suatu tempat asalnya atau lazim kita sebut sebagai
sumber penyakit. Baik keberadaan sumber penyakit maupun dinamika
perjalanan atau kinetika agen + media di lingkungan, amatlah kompleks,
memerlukan waktu, serta tidak tertutup kemungkinan agen penyakit di
dalamnya mengalami perubahan-perubahan, sebelum akhirnya bertemu atau
kontak dengan kelompok population at risk atau kelompok penduduk yang
berada dalam posisi terkena resiko. Kelompok ini entah karena hobi atau
pekerjaannya atau tempat tinggalnya berada dalam posisi berhubungan
dengan kombinasi agen dan media tersebut, atau lazim kita kenal sebagai
komponen lingkungan yang tercemar atau terkontaminasi baik oleh karena
bakteri, bahan kimia maupun agen fisik.
Hubungan interaktif antara komunitas dengan lingkungan dalam suatu
wilayah, dipengaruhi oleh determinan perubahan-perubahan global seperti
pemanasan bumi dan globalisasi perdagangan. Globalisasi telah menyebab-
3
kan perubahan lingkungan dan pergerakan manusia pembawa penyakit,
intensitas pergerakan barang dan jasa yang pada akhirnya kejadian penyakit.
Semakit cepat perubahan tersebut terjadi dalam suatu wilayah, semakin cepat
risiko kejadian penyakit baru itu datang. Global Warming menyebabkan
perubahan dinamika agen dan media transmisi, terutama nyamuk dan reaksi
sekunder beberapa bahan pencemar udara, pvngan maupun air.
Diketahui pula bahwa hubungan interaksi manusia dengan berbagai
komponen lingkungan tersebut sangat bervariatif, kompleks sifatnya. Ada
yang mendapatkan kontak dengan komponen lingkungan yang beragen
penyakit di hutan, ada yang di gedung mewah, di hotel, di pantai sedang ber-
kreasi, semua tergantung perilaku atau behavioral aspeknya. Di sini timbul
konsep behavioral exposure (Achmadi, 2005). Berbagai variabel lain yang
ikut berperan antara lain suhu lingkungan, ketinggian atau topografi,
kelembapan, arah dan kecepatan angin, musim kemarau, musim hujan dan
lain-lain. Semua berperan baik terhadap media, terhadap agen itu sendiri,
terhadap sumber, bahkan terhadap perilaku manusia itu sendiri. Masyarakat
yang tinggal di wilayah musim dingin akan lebih suka berjemur, sebaliknya
masyarakat tropis suka berteduh di kerindangan pohon. Pemajanan terhadap
ultraviolet akan menyebabkan perbedaan risiko dan distribusi penyakit kanker
yang dihubungkan dengan sinar ultraviolet dari matahari.
Sementara itu, agen penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia
mengalami berbagai hambatan yang dikenal sebagai sistem pertahanan tubuh.
Ketika bahan kimia beracun masuk ke dalam tubuh, dihadapkan pada suatu
kenyataan adanya struktur anatomi yang mencoba menghadan masuknya
bahan kimia ke dalam tubuh, kemudian kalau ternyata berhasil menerobos
masuk ke dalam tubuh melalui mekanisme uptake, maka akan masuk ke
dalam sistem peredaran darah, yang terlebih dulu dinetralkan melalui meka-
nisme biotransformasi. Biotransformasi menggunakan prinsip penetralan
(membuat sifat racun menjadi kurang beracun) yakni bahan-bahan kimia
beracun yang semula bersifat lipofilik direaksikan menjadi bahan kimia yang
bersifat hidrofilik atau mudah larut dalam air, sehingga mudah dikeluarkan
4
melalui urin, keringat atau kotoran. Meski demikian kadang metabolit sebagai
hasil biotransformasi ada yang menjadi lebih berbahaya dan justru meracuni
manusia. Sebagian bahan kimia dideposit dalam berbagai organ, sebagian
dikeluarkan. Prinsip keracunan atau tidaknya seseorang tergantung kecepatan
absorpsi, distribusi transformasi dan ekskresi. Ada kalanya terjadi kerusakan
tingkat genetika dan menimbulkan kelainan-kelainan yang dapat diturunkan
kepada anak cucu dan/atau menimbulkan cacat bawaan atau kelainan
kongenital.
Akan halnya mikroorganisme yang menyerang kelompok penduduk,
pada dasarnya tubuh manusia telah dilengkapi dengan sistem kekebalan.
Sistem kekebalan ini dimulai dari bentuk anatomi tubuh, hingga sistem
kekebalan yang diciptakan oleh Tuhan. Sistem kekebalan ada dua yakni
selular dan humoral, serta masing-masing ada yang spesifik dan nonspesifik.
Konsep kekebalan spesifik ditujukan pada mikroorganisme tertentu dikem-
bangkan ke dalam vaksin buatan.
Pertempuran baik antara mikroorganisme, bahan kimia be-racun, agen
fisik dengan masyarakat yang tinggal di sebuah wilayah, pada hakikatnya
menggunakan prinsip ekosistem. Bagi sebagian dari mikroorganisme kejadian
penyakit adalah masalah survival. Masalah survival kehidupan dapat dilihat
baik dari sisi manusia, maupun sisi mikroorganisme tersebut. Mikroorganis-
me menginfeksi manusia karena hendak merebut materi genetik yang ada
pada manusia. Virus misalnya, terutama virus polio dan virus cacar.
Demikian pula ada virus yang menyerang tanaman, ada yang menyerang
hewan, semua dalam rangka survival perebutan materi genetik.
Dalam hal bahan kimia beracun yang meracuni kelompok penduduk
misalnya pestisida, dapat dilihat kepada sifat dasar egoisme dan kerakusan
manusia itu sendiri. Manusia dengan peradaban berhasil merekayasa berbagai
bahan kimia sintetik untuk tujuan kemaslahatan kehidupan manusia itu
sendiri. Namun, pada akhirnya berbagai bahan kimia sintetik tersebut menjadi
agen penyakit apabila kontak dengan manusia itu sendiri beserta anak
cucunya. Teknologi rekayasa kimia menjadikan manusia senantiasa terancam
5
karena ciptaannya sendiri. Berbagai simpul dinamika transmisi, dinamika
kontak dan lain sebagainya, dapat digambarkan ke dalam sebuah model.
Proses kejadian penyakit pada hakikatnya amat kompleks. Seperti
telah disampaikan perpindahan agen penyakit melalui berbagai media seperti
air, udara, pangan, serangga atau langsung kontak dengan tubuh manusia,
memiliki jalur rumit dan memiliki sifat khas masing-masing agen penyakit.
Untuk tujuan pencegahan, setiap ahli kesehatan masyarakat harus
mampu memberikan gambaran dinamika transmisi tiap penyakit, baik
penyakit menular maupun penyakit tidak menular, dengan penggambaran ke
dalam model atau paradigma. Kemudian melakukan manajemen pencegahan
penyakit tersebut dengan sebaik-baiknya.
B. Totalitas Sistem
Kejadian penyakit merupakan ujung dari sebuah proses. Merujuk ke-
pada uraian tersebut di atas, dalam perspektif kesisteman proses tersebut
melibatkan berbagai institusi dalam sebuah wilayah. Kejadian penyakit pada
wilayah pertanian misalnya melibatkan berbagai institusi, mulai dari penjual
bahan kimia, sektor pertanian, sektor perdagangan, dan institusi petani itu
sendiri. Dalam kejadian penyakit malaria tipe perkebunan misalnya, akan
melibatkan baik petani, dinas-dinas perkebunan, perdagangan, agen tenaga
kerja, dinas tenaga kerja dan lain sebagainya. Di lain pihak, prinsip-prinsip
kesehatan masyarakat modern mengajarkan perlunya pemahaman terhadap
sistem secara totalitas dalam sebuah wilayah (Achmadi, 2008; Baum, 2002).
Oleh karena kejadian penyakit dalam sebuah wilayah administratif melibat-
kan berbagai institusi, maka diperlukan kemampuan analisis lapangan dengan
melihat kejadian penyakit dalam perspektif totalitas sebuah sistem dalam satu
wilayah. Diperlukan kemampuan analisis dan kemudian menggambarkannya
ke dalam sebuah model hubungan keterkaitan satu sama lain.
6
C. Model Dinamika Transmisi Penyakit Berbasis Lingkungan
Proses transmisi atau penularan malaria tampak sederhana, yakni ada
sumber penularan yaitu penderita dan tersedia nyamuk penular dan terjadilah
proses penularan kepada manusia di sekitarnya. Namun, di mana penularan
terjadi? Apakah di rumah ketika sedang tidur, ketika sedang memancing atau
di pinggir jalan ketika penduduk sedang berangin-angin di halaman di malam
hari, atau mungkin di tempat-tempat sumber air ketika penduduk mengambil
air atau buang hajat di kolam ikan di pagi hari ketika hari masih gelap?
Semua harus digambarkan dalam sebuah model dinamika transmisi.
Diperlukan prosedur tertentu sebelum mendapatkan gambaran permodelan.
Permodelan diperlukan agar strategi pencegahan dan pengendalian dapat di-
lakukan sebaik-baiknya. Tanpa penggambaran dinamika transmisi, upaya
pencegahan tidak akan berjalan efektif. Misalnya saja, kekeliruan dalam
upaya penyemprotan residu pestisida yang dilakukan di dinding rumah,
padahal penularan terjadi di halaman atau di tempat pengambilan air di lereng
lembah pegunungan. Ibu-ibu hamil diharuskan tidur di dalam kelambu
padahal proses transmisi sudah terjadi di luar rumah di tempat pengambilan
air di mata air.
Untuk menggambarkan dinamika transmisi malaria, Hakim (2009)
dan Susana (2009) menggunakan metode SDP-Survey Dinamika penularan
malaria. Pertama-tama didahului dengan penemuan kasus di sebuah wilayah.
Penemuan kasus harus di konfirmasi dengan pemeriksaan untuk mendapatkan
plasmodium di dalam sediaan darah atau dapat juga menggunakan teknik
Diagnostik Tes lainnya. Setelah itu dilakukan investigasi, baik dengan
wawancara mendalam, Focus Group Discussion maupun observasi lingku-
ngan lainnya. Harus diketahui pula spesies nyamuk, maka segera diketahui
sifat dan karakteristik nyamuk tersebut seperti tempat istirahat,
perindukannya, dan lain-lain. Ini dapat dikenal dengan cara memahami
karakteristik media transmisi. Kemudian harus diketahui pula pola perilaku
penduduk seperti jam berapa dan kegiatan apa yang dilakukan penduduk
7
sehingga penduduk tersebut berakibat exposed atau tergigit nyamuk.
Semuanya digambarkan ke dalam sebuah dinamika transmisi.
Langkah-langkah survei
Gambar 1. Bagian Survei Dinamika Penularan
Sumber: Lukman Hakim, 2009
1. Contoh lain adalah perjalanan logam berat timah hitam atau lead. Dulu,
bahan bakar bensin menggunakan timah hitam untuk memperpanjang
oktana atau anti-knocking. Akibatnya, lead akan berada di udara menjadi
salah satu pencemar udara berbahaya di kota-kota besar. Timah hitam
yang melayang di udara dapat terhirup penduduk secara langsung.
Sebagian timah hitam di udara yang kemudian mengendap di tanah, akan
terserap oleh tanaman. Akibatnya, manusia akan keracunan secara kronik
apabila memakan sayur-mayur yang telah tercemar timah hitam tersebut.
Timah hitam juga dapat jatuh ke air, mengendap, dan bercampur dengan
8
Parasitologi Pengumpulan dan analisis data Epidemiologi
Penentuan lokasi survei
Kasus malaria
Observasi lingkungan
Penangkapan jentik di TPN dan nyamuk dewasa
Analisis faktor risiko
Wawancara dan observasi kasus
(riwayat penyakit dan perilaku berisiko)
Pengambilan dan pemeriksaan SD
Entomologi
Penentuan pemberantasan malaria
Teridentifikasinya mitra potensial terkait
Promosi kesehatan
lumpur yang merupakan bahan penyubur tanaman, yang pada akhirnya
kontak dengan manusia melalui jalur pangan dan seterusnya.
Perjalanan yang amat kompleks dari timah hitam, kita kenal sebagai
kinetika atau pergerakan timah hitam. Hal ini harus diketahui, dengan cara
membaca berbagai literatur penelitian, sehingga dapat digambarkan
sebagai model dinamika transmisi penyakit, atau proses enhance
knowledge. Dalam teknik diagnostik penyakit berbasis lingkungan
diperlukan tahapan penambahan dan pemantapan pengetahuan kepada
persoalan yang dihadapi.
2. Contoh lain adalah perjalanan merkuri organik sebagai hasil buangan
proses penambangan emas rakyat pengguna merkuri sebagai bahan
pemrosesan untuk mendapatkan emas. Sebagian dari merkuri berubah
menjadi merkuri organik yang sangat berbahaya. Dari proses penelusuran,
pengamatan, wawancara, observasi didapatkan bahwa proses penamba-
ngan mengeluarkan atau mengemisikan merkuri anorganik dalam tiga
jalur, yakni udara, air, dan pangan seperti digambarkan dalam model. Jalur
badan air atau air sungai kontak dengan manusia terkena risiko, melalui air
secara langsung atau proses pangan. Jalur udara dapat mengendap ke tanah
dan diserap oleh tanaman sekitar dan masuk ke manusia melalui jalur
pangan. Jalur udara menjadi pencemaran udara yang dapat kontak manusia
melalui jalur pernapasan. Penduduk yang sakit-sakitan dalam jangka
panjang tidak bisa meneruskan proses produksi, dan kemiskinan akan
membayangi penduduk sekitar pertambangan emas yang tidak
memerhatikan lingkungan. Kemiskinan akan menimbulkan situasisanitasi
buruk dan penduduk akan bertambah sakit-sakitan terutama penyakit
infeksi.
9
Gambar 2. Model Teori Simpul Lanjut
Penggambaran dinamika transmisi (atau modelling) amat diperlukan
oleh setiap ahli kesehatan masyarakat atau manajer pengendali penyakit.
Tanpa pengetahuan patogenesis yang lebih rinci seperti digambarkan oleh
dinamika transmisi, upaya pencegahan atau manajemen penyakit tidak akan
berjalan efektif.
Untuk mengendalikan tiap-tiap penyakit harus dibuat gambar model
dinamika transmisi, agar dapat ditentukan di titik mana intervensi preventif
maupun promotifnya dapat dilakukan. Merujuk dinamika transmisi malaria di
atas, maka intervensi dapat dilakukan di tempat pengambilan air. Di rumah
dengan menerapkan kelambunisasi, mungkin efektif, tetapi hanya untuk
balita. Bagi orang dewasa mungkin sudah mendapat penulara penyakit di luar
rumah. Sedangkan untuk mencegah terjadinya keracunan timah hitam yang
berasal dari pencemaran udara, harus diwaspadai kontak langsung dengan
10
Penambangan
Gangguan Ekosistem
Cd Hg dll
Air
Produktivitas
Penduduk/ Pekerja
Tanah/ Pangan
Sanitasi Bururk
Udara
Kriminalitas
Kemiskinan
Sakit
udara yang tercemar. Tidak mengonsumsi air tercemar Pb, ataupun pangan
yang diperkirakan mengandung logam berat tersebut.
Berbagai Agen Penyakit dalam Aneka Media. Jarang ada sebuah proses
yang bersifat sungle agen single exposure, atau satu jenis agen penyakit
dalam satu media. Yang lebih banyak terjadi adalah, multiple agen multiple
exposure. Kelompok penduduk perkotaan akan mengalami pemajanan dari
berbagai media yang mengandung berbagai agen penyakit. Begitu banyak
ragam bahan pencemaran, masuk ke dalam tubuh manusia melalui berbagai
macam ragam media. Sebagai contoh udara kota-kota besar seperti Surabaya,
Jakarta, Bandung didapati keanekaragaman bahan pencemar di udara, baik
aneka bahan kimia beracun seperti CO, SO2, NOx, hingga bakteri, spora jamur
mungkin virus melayang-layang ikut arah dan kecepatan angin kontak dengan
sekelompok penduduk. Kelompok risiko tinggi berbagai bahan pencemar
adalah kelompok yang karena pekerjaannya harus berada di pinggir jalan.
Sebagian dari orang tersebut perokok aktif dan sebagian perokok pasif.
Mereka merokok seusai menyantap makanan-makanan yang kebetulan juga
menggunakan berbagai bahan kimia, mulai dari pengawet, bahan pewarna,
serta mengonsumsi pula ayam maupun sayur berbahan kimia. Setelah minum
air yang mengandung bakteri E. Coli ataupun bahan kimia. Masih ditambah
lagi tertidur pulas karena terlalu capek di malam dan siang hari, dan orang-
orang ini dihisap darahnya oleh Aedes aegypti yang membawa virus Demam
Berdarah. Orang atau kelompok penduduk perkotaan seperti ini akan
mendapatkan multiple agen dari berbagai media yang kontak dengan
tubuhnya atau multiple exposure dari berbagai media tersebut.
D. Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan
Berbeda pengertian dengan tata cara diagnostik pada praktik
kedokteran, diagnosis penyakit berbasis lingkungan bertujuan untuk
identifikasi faktor risiko atau risk factors identification, mengukur, analisis,
menegakkan kesimpulan untuk menyusun alternative solution dalam sebuah
komunitas yang hidup dalam sebuah wilayah. Sedangkan praktik kedokteran
11
memiliki prinsip, anamnestik, pemeriksaan baik fisik maupun penunjang
seperti laboratorium, analisis dan kesimpulan yakni diagnostik (medik), dan
pada akhirnya tindakan untuk menyelesaikan masalah yang lazim dikenal
sebagai pengobatan ‘treatment’. Dunia praktik kedokteran berbasis individu.
Kesehatan masyarakat berorientasi ‘pencegahan’. Demikian pula ke-
sehatan lingkungan yang merupakan satu rumpun ilmu-ilmu kesehatan
masyarakat juga berorientasi pencegahan. Oleh sebab itu, pada proses identi-
fikasi bukan hanya agen penyakitnya, namun semua faktor risiko kelompok
untuk kemudian dikendalikan. Baik upaya diagnostik maupun upaya
pengendalian menggunakan prinsip-prinsip kesehatan masyarakat (Achmadi,
2005; Achmadi, 2008). Diagnostik Penyakit Berbasis Lingkungan dapat
dilakukan dengan menggunakan dua metode retrospektif dan prospektif,
sebagaimana lazimnya studi epidemiologi lingkungan. Apabila hanya
informasi outcome gejala penyakitnya yang diketahui, maka upaya-upaya
penggalian faktor risiko secara retrospektif harus digunakan. Faktor risiko
adalah semua variabel baik variabel yang ada dalam lingkungan maupun yang
ada dalam diri manusia (termasuk status genomiknya) yang berperan atau
memberikan kontribusi terhadap kejadian penyakit pada seseorang atau
kelompok penduduk.
Dalam proses diagnostik selain terfokus pada kejadian interaksi antara
komponen linkungan dengan penduduk, juga berbagai faktor risiko yang
berada di belakang (latar belakang kejadian) proses hubungan interaktif
tersebut. Sebagai contoh kebijakan atau peraturan larangan memelihara
unggas pada proses pencegahan merebaknya flu burung di Jakarta adalah
sebuah contoh. Untuk mengurangi kedekatan manusia dengan unggas, maka
diberlakukan larangan tersebut.
Contoh lain adalah Model penularan malaria di sebuah wilayah di
Pulau Sumatra. Dalam kejadian merebaknya malaria di wilayah ini, penderita
malaria akan terpengaruh produktivitasnya, yang pada akhirnya akan
menurunkan kondisi sosial ekonomi, dan menghasilkan teori perampokan
tambak sebagai penyebab terlantarnya tambak, serta penggundulan hutan
12
bakau. Keduanya baik penggundulan bakau, serta penelantaran tambak akan
menyebabkan populasi nyamuk meningkat dan migrasi ke pemukiman. Siklus
lingkaran tak berkesudahan ini, akan selesai kalau upaya pencarian dan
pengobatan kasus malaria secara pro aktif, dibarengi pula dengan upaya
reboisasi, dan rehabilitasi tambak. Merebaknya kasus malaria di wilayah
tersebut disebabkan karena ‘meledaknya’ populasi nyamuk penular malaria,
akibat terlantarnya tambak. Berkurangnya ikan tambak pemangsa jentik dan
tumbuhnya lumut sutera sebagai penyebab timbulnya perindukan Anopheles
Sundaicus. Tambak terlantar, karena sering terjadi perampokan tambak.
Penyakit Berbasis Lingkungan adalah sebuah konsep atau ‘body of
knowledge’ yang mempelajari kejadian penyakit yang berakar pada lingku-
ngan dan kependudukan. Telah disebutkan pada dasarnya kejadian penyakit
berbasis lingkungan. Penyakit berbasis lingkungan juga mempelajari berbagai
variabel lingkungan dan kependudukan yang berperan dalam timbulnya
kejadian penyakit. Contoh faktor risiko adalah budaya, perilaku, umur,
gender, habitat, suhu lingkungan, kelembapan, musim, ketinggian tanah dan
lain sebagainya. Hal ini lazim dikenal sebagai faktor risiko kejadian penyakit.
Di sebuah masyarakat kejadian penyakit selalu kompleks dan saling
terkait. Tidak ada variabel tunggal yang berperan dalam kejadian sebuah
penyakit. Oleh sebab itu, diperlukan teknik untuk bagaimana melakukan
identifikasi berbagai variabel berperan dalam kejadian penyakit yang terjadi
di lapangan atau di sebuah komunitas. Teknik ini dikembangkan oleh
Achmadi (2008), dengan mengembangkan pendekatan apa yang disebut
sebagai: Community dignosis for Spatial Management of the Disease
Occurrences. Konsep Community dignosis itu sendiri dikembangkan oleh
Departemen Kesehatan Amerika Serikat tahun 1996. Konsep ini pada
dasarnya bukan untuk melakukan diagnosis penyakit berbasis lingkungan,
namun didapatkan ide untuk mengembangkannya ke dalam teknik diagnosis
penyakit berbasis lingkungan yang melibatkan masyarakat.
13
Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan merupakan modifikasi dari
Community Diagnosis atau diagnosis kesehatan masyarakat. Istilah
Community Diagnosis atau diagnosis kesehatan masyarakat adalah (WHO) :
“a quantitative and qualitative description of
the health of citizens and the factors which
influence their health. It identifies problems,
proposes areas for improvement and
stimulates action”.
Secara bebas diartikan sebagai upaya untuk mendeskripsikan
kesehatan masyarakat dan variabel yang berperan (influence) dalam
kesehatan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.
Memodifikasi pengertian di atas, maka diagnosis penyakit berbasis
lingkungan adalah deskripsi bagaimana penyakit yang terjadi di masyarakat
itu terjadi. Dengan mengidentifikasi berbagai variabel atau faktor risiko yang
berperan serta totalitas sistem dalam sebuah wilayah, maka diharapkan
masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan, serta upaya-upaya pengen-
dalian faktor risiko lainnya.
Teknik diagnostik Penyakit Berbasis Lingkungan harus berbagai di-
siplin ilmu dan lintas sektor. Sebagai contoh malaria, harus melibatkan ento-
mologis, ahli antropologi kesehatan, dokter, epidemiologis kesehatan
lingkungan, bahkan sektor pertanian, sektor perikanan, dan lain sebagainya.
Sedangkan penyakit berkenaan dengan bahan beracun memerlukan toksiko-
logi, yang terpenting tergantung penyakit apa yang diduga atau kemudian bisa
berkembang. Bila diperlukan bisa ditambah dengan ahli-ahli lain.
Definisi atau batasan-batasan Diagnosis Penyakit Berbasis Lingku-
ngan adalah:
Suatu upaya analisis kejadian penyakit
dengan cara-cara identifikasi berbagai
variabel yang berperan dalam sebuah
kejadian penyakit yang beredar atau terjadi di
masyarakat dalam suatu wilayah, mengukur,
14
analisis, prediksi, memvisualisasi ke dalam
model hubungan berbagai variabel dan
institusi yang berperan, serta mengusulkan
usulan cara-cara pengendalian dan/atau
pencegahannya.
Langkah-langkah Diagnosis Penyakit Berbasis Lingkungan adalah
1. Inisiasi Penentuan Prioritas dan Wilayah
Inisiasi kegiatan bisa dimulai dari penentuan prioritas baik itu outcome
gejala penyakit maupun faktor risiko. Prioritas penyakit bisa ditetapkan
dengan cara-cara yang lazim, misalnya berdasa insidensi dan prevalensi
laporan rutin, hasil penelitian perguruan tinggi, concern para pemimpin
wilayah, maupun luar wilayah, ancaman terhadap produktivitas penduduk,
dan lain sebagainya.
Pengamatan baik secara visual observasi dalam rangka identifikasi
faktor risiko yang beredar atau terjadi di wilayah tersebut. Misalnya saja
daerah pertambangan yang banyak mengeluarkan bahan radioaktif, atau
bahan kimia beracun berbentuk limbah. Kemudian langkah berikutnya
menentukan wilayah pengamatan berdasar sifat dan karakteristik media agen
serta variabel lain yang berperan, misalnya habitat binatang penular penyakit,
baik berdasar ecosystem, berdasar sebaran atau dinamika bahan pencemar
ataupun wilayah administratif.
Inisiasi bisa bermula dari penemuan kasus, misalnya kasus kanker
nasopharings. Bila ketemu kasus pertama diikuti oleh ‘cluster’ yakni kasus
yang sama tidak jauh dari kasus pertama, maka semakin bisa dijadikan
pertimbangan prioritas. Bisa juga yang diketemukan adalah faktor risiko,
misalnya konsentrasi agen dalam salah satu atau lebih media, udara, pangan,
air dan lain sebagainya. Bila dalam hal pertama kita menggunakan
pendekatan teknik retrospektif, maka pada penemuan faktor risiko bia
melakukan mencari kasus pada kelompok yang terkena risiko.
15
Proses inisiasi boleh jadi merupakan proses tersulit, karena harus
membentuk Tim dan meyakinkan pengambil keputusan untuk membiayai.
Tim harus terdiri dari berbagai keahlian baik dalam rumpun ilmu-ilmu
kesehatan masyarakat, atau non kesehatan. Unsur dokter sangat diperlukan,
kemudian berturut-turut Ahli Kesehatan Lingkungan yang memiliki pemaha-
man epidemiologi, entomologi kesehatan, ahli antropologi kesehatan, teknik
lingkungan dan lain sebagainya. Intinya dari berbagai keahlian yang diperlu-
kan baik dari pemerintah, profesi, LSM dan/atau masyarakat harus dilibatkan.
Dalam hal ini masalah pembiayaan harus dipikirkan mengingat bahwa untuk
penentuan kasus maka beberapa jenis pemeriksaan terutama Non-Communi-
cable Disease itu cukup mahal. Apabila diperlukan karena beberapa penyakit
perlu diselidiki sekaligus, maka perlu dibentuk sub-sub tim. Misalnya Sub-
tim Malaria, Japanese Encephalitis.
2. Pengumpulan Data
Dimulai dengan sebuah rencana dengan mengikuti kaidah studi
epidemiologi lingkungan (lihat WHO, 1983). Pada prinsipnya berbagai teknik
pengukuran baik kualitatif maupun kuantitatif diperlukan. Dalam hal ini
desain, metodologi harus diperhatikan. Kesemuanya harus memenuhi asas
validitas sebagaimana studi epidemiologi lingkungan.
Intrumen yang digunakan tergantung kebutuhan, seperti wawancara
mendalam, self-administerd questionnaire, hingga teknik diagnostik seperti
echo cardiography, Geiger Muller counter, radiologi, PCR, dan lain sebagai-
nya.
Dalam tahap ini diperlukan pada suatu kegiatan: Enhance Knowledge
to support risk identification and measurement. Teori-teori kinetika dan
dinamika agen + media dipelajari, teori bionomic nyamuk yang bersangkutan
(kalau berkaitan dengan penyakit ditransmisikan oleh nyamuk, aspek beha-
vioral kependudukan-budaya, pekerjaan, institusi dan lain-lain.
3. Observasi Variabel Lain yang Berperan
16
Observasi variabel lain yang berperan, dimaksud adalah observasi hal-
hal yang diperkirakan ikut berperan seperti topografi, budaya, lokasi
penularan, termasuk pengamatan jentik, tempat perindukan. Termasuk di sini
pengukuran sumber atau variabel lain. Dalam hal ini, selain mengumpulkan
evidence yang berfokus pada dinamika hubungan interaktif antara agen
patogen-media dengan kelompok penduduk, maka diperlukan observasi atau
lakukan penggalian-penggalian informasi kepada institusi terkait, ataupun
software seperti peraturan yang berperan dalam proses kejadian penyakit
yang bersangkutan.
Pelibatan masyarakat dan institusi lintas sektor non-kesehatan
setidaknya dalam sebuah tim besar untuk setiap langkah upaya perencanaan
dan pengumpulan data harus dipikirkan.
4. Analisis
Analisis adalah tahapan critical stage lain yang harus diperhatikan,
terutama dalam penentuan berbagai simpul variabel yang berperan yang ditu-
jukan untuk penentuan upaya atau strategi pencegahan. Berbagai teknik
analisis baik kualitatif, kuantitatif harus dipelajari dengan baik. Pada tahap ini
enhance knowledge sangat bermanfaat. Local specificity juga harus
diperhatikan. Seperti halnya setiap individu adalah unik, maka setiap wilayah
dengan ekosistemnya juga unik. Upaya-upaya generalisasi harus dilakukan
dengan hati-hati.
5. Modeling
Pembuatan model dari analisis proses kejadian baik mikro yakni yang
hanya memerhatikan hubungan interaktif atau proses transmisi agen dari
sumber hingga kontak dengan korban berikutnya, hingga analisis komprehen-
sif sesuai dengan model hubungan berbagai variabel yang berperan adalah
penting untuk dilakukan. Baik model yang terfokus pada hubungan interaktif
agen-media dengan kelompok penduduk maupun model komprehensif keja-
dian malaria di sebuah wilayah di Sumatra.
17
6. Pengembangan Alternatif Solusi Pengendalian atau Pencegahan
Tahap terakhir dari penyusunan langkah diagnosis penyakit berbasis
lingkungan adalah menyusun alternatif solusi. Penyelesaian endemisitas ma-
laria di sebuah wilayah harus melibatkan Dinas Kehutanan dan Dinas Perika-
nan. Sedangkan di tempat lain misalnya di Banjarnegara Jawa Tengah pada
2003 melibatkan Departemen Agama, Dinas Pendidikan, Dinas Perkebunan
(salak) dan lain sebagainya. Perencanaan yang terintegrasi dengan sektor lain,
seyogianya Dinas Kesehatan setempat harus bekerja sama dengan dinas ter-
kait dengan salah satu penyakit yang dijadikan prioritas pengendalian.
Selanjutnya Upaya Community Diagnosis Penyakit Berbasis Lingku-
ngan bisa pula diterapkan atau bermakna untuk mencari prioritas kesehatan
yang ada di lapangan seperti kurang gizi, angka kematian bayi, angka
kematian ibu dan lain sebagainya.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berbagai variabel pembentuk manusia seutuhnya atau yang ada pada diri
manusia tersebut merupakan variabel kontributor penentu hubungan
interaksi antara penduduk dengan lingkungannya.
2. Kejadian penyakit dalam sebuah wilayah administratif melibatkan ber-
bagai institusi, maka diperlukan kemampuan analisis lapangan dengan
melihat kejadian penyakit dalam perspektif totalitas sebuah sistem dalam
satu wilayah.
3. Permodelan diperlukan agar strategi pencegahan dan pengendalian dapat
dilakukan sebaikbaiknya. Tanpa penggambaran dinamika transmisi, upa-
ya pencegahan tidak akan berjalan efektif.
4. Dalam proses diagnostik selain terfokus pada kejadian interaksi antara
komponen linkungan dengan penduduk, juga berbagai faktor risiko yang
berada di belakang (latar belakang kejadian) proses hubungan interaktif.
B. Saran
Dengan mengidentifikasi berbagai variabel atau faktor risiko yang
berperan, serta totalitas sistem dalam sebuah wilayah, maka diharapkan masya-
rakat dapat melakukan upaya pencegahan, serta upaya-upaya pengendalian
faktor risiko terhadap penyakit berbasis lingkungan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. (2011). Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.