sinusitis
TRANSCRIPT
STUDI KASUS II
Pembimbing : Prof. dr. Supomo Sukardono, Sp. THT-KL (K)
Disusun oleh :
Fenny 2010-061-052
Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya
Rumah Sakit Panti Rapih Yogyakarta
Periode September – Oktober 2011
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn S.
Umur : 49 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Alamat : Demangan GK1/134 Demangan Gondokusuma,
Yogyakarta
Suku bangsa : Jawa
Tanggal periksa : 20 September 2011
II. ANAMNESIS (autoanamnesis)
Keluhan Utama : sakit kepala yang bertambah berat sejak 7 hari sebelum
pasien datang ke rumah sakit
Keluhan Tambahan : hidung tersumbat, nyeri pada pipi kanan, ingus hijau
kental berbau dan kadang-kadang turun ke tenggorok
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala sudah
dirasakan sejak lama. Selain itu pasien juga mengalami nyeri pada pipi
sebelah kanan, hidung tersumbat, ingus yang hijau dan kental dan berbau serta
ingus yang turun ke tenggorok. Namun, pada tanggal 20 September, pasien
merasakan keluhan-keluhan tersebut bertambah berat. Riwayat trauma,
kemasukan benda asing pada hidung disangkal oleh pasien. Riwayat
perdarahan pada hidung disangkal oleh pasien
7 hari yang lalu, pasien pergi berobat ke Rumah Sakit Panti Rapih dan
dilakukan rontgen sinus paranasal dengan hasil sinusitis maksilaris dekstra
dan diberikan Azithromycin dihydrate, Tramadol dan PCT, serta Kalium
Diclofenac. Namun pasien tidak merasakan adanya perbaikan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sinusitis maksilaris dekstra
Riwayat Penyakit Keluarga :
Diabetes melitus -, Hipertensi -, Asma -
Riwayat Pengobatan :
Pasien telah berobat namun tidak merasa ada perbaikan
III. HASIL PEMERIKSAAN
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Tanda vital
Suhu : 37,00C
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Respirasi : 24 x/menit, teratur
Laju nadi : 88 x/menit, teratur-kuat-penuh
Pemeriksaan fisik :
o Inspeksi wajah
allergic shinner -, allergic crease –, adenoid face -, simetris.
o Pemeriksaan hidung
- inspeksi dan palpasi hidung luar : tidak tampak perdarahan dan
deformitas, tidak tampak massa.
- rinoskopi anterior : konkha tampak edema dan hipertrofi, tidak tampak
discharge, tidak tampak krusta, point of bleeding -/-.
- rinoskopi posterior : tidak dilakukan
o Pemeriksaan telinga
- inspeksi : pina dextra dan sinistra, kanalis akustikus eksterna, membran
timpani dalam batas normal
- palpasi : nyeri tekan tragus –
o Pemeriksaan mulut dan orofaring : tidak tampak kelainan (stomatitis -,
tonsil hipertrofi -/-, hiperemis -/-)
o Pemeriksaan leher : tidak terlihat dan tidak teraba adanya pembesaran
kelenjar getah bening
Tabel Gejala & Penyakit Hidung
I. KONGENITAL
Gejala penyakit Nasal Dermoid Nasal Glioma Encephalocele KasusTerdapat massa dalam cavum nasi
+ + + -
Massa dapat ditekan dan berdenyut
- - + -
Rhinorea + - + +Lubang pada sambungan osteokartilagenosa
+ - - -
II. INFLAMASIGejala penyakit Rhinitis vasomotor/alergi Sinusitis Kasus
Hidung tersumbat + + +Rhinorhea + -/+ +Post nasal drip - + +Memburuk pagi hari + -/+ -Memburuk dengan dingin, debu, asap, udara kering
+ -/+ -
Demam -/+ -/+ -Sakit kepala - + +Nyeri pada sinus yang terkena
_ + +
Gangguan penciuman +/- +/- -
III. INFEKSIGejala penyakit Rhinitis Atrofi (Ozaena) Rhinitis Simpleks Kasus
Hidung tersumbat + + +Rhinorhea + + +Bersin berulang - + -Nyeri kepala + -/+ +Demam + - -Gangguan penciuman + -/+ -Nafas berbau + - -Ingus mukopurulen + -/+ +
IV. TRAUMAGejala penyakit Deviasi Septum Hematom Septum Kasus
Hidung tersumbat + + +Nyeri kepala + - +Nyeri septum - + -Gangguan penciuman -/+ -/+ -Riwayat trauma + + -Septum bengkak - + -
V. NEOPLASMAGejala penyakit Tumor Sinus Ganas Tumor hidung dan sinus
paranasalKasus
Epitaksis + - -Hidung tersumbat -/+ -/+ +Gangguan penciuman -/+ -/+ -Rhinorea + + +Sekret berbau + - +Progresifitas/ meluas + + -Nyeri kepala -/+ + +
Deformitas hidung -/+ - -
VI. LAIN-LAINGejala penyakit Benda hidup/ Lintah Benda mati Kasus
Riwayat kemasukan korpal + + -Hidung tersumbat -/+ -/+ +Unilateral -/+ -/+ -Perdarahan hidung + -/+ -Discharge/rhinorhea + + +Bau busuk -/+ -/+ +Tampak benda asing + + -
IV. RESUME
Pasien datang dengan keluhan sakit kepala. Sakit kepala sudah dirasakan sejak
lama. Selain itu pasien juga mengalami nyeri pada pipi sebelah kanan, hidung
tersumbat, ingus yang hijau dan kental dan berbau serta ingus yang tertelan
melalui kerongkongan. Namun pada tanggal 20 September, pasien merasakan
keluhan-keluhan tersebut bertambah berat. Riwayat trauma, kemasukan benda
asing pada hidung disangkal oleh pasien. Riwayat perdarahan pada hidung
disangkal oleh pasien
7 hari yang lalu, pasien pergi berobat ke Rumah Sakit Panti Rapih dan
dilakukan rontgen sinus paranasal dengan hasil sinusitis maksilaris dekstra
dan diberikan Azithromycin dihydrate, Tramadol dan PCT, serta Kalium
Diclofenac. Namun pasien tidak merasakan adanya perbaikan.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan: konkha tampak edema dan hipertrofi, tidak
tampak discharge pada rinoskopi anterior.
Dari pemeriksaan penunjang didapatkan: sinusitis maksilaris dekstra pada
rontgen sinus paranasal.
V. DIAGNOSIS KERJA
Rhinosinusitis maksilaris dextra
VI. PENATALAKSANAAN
Preventif :
o Mengedukasi pasien untuk tidak minum es dan makan makanan yang
bergizi
o Menjaga kesehatan gigi dan mulut
Kuratif :
o Konservatif : konsumsi multivitamin dan makanan yang
bergizi untuk menjaga daya tahan tubuh
o Medikamentosa : Klindamisin (2 x 300 mg)
Kalium diklofenak (2 x 50 mg)
Adona (3 x 1 tablet)
Rhinoz (2 x 1 tablet)
o Tindakan : Kaak punctie
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : bonam
Quo ad functionam : bonam
Quo ad sanationam : dubia bonam
TINJAUAN PUSTAKA
EMBRIOLOGI DAN ANATOMI SINUS PARANASAL
Embriologi :
Sinus maksilaris merupakan sinus pertama yang berkembang, dimulai dari sebuah
tangkai sepanjang permukaan inferolateral lempeng ethmoid pada kapsul hidung pada
usia kehamilan 65 hari. Sifat pertumbuhan sinus ini adalah bifasik, yaitu akan mengalami
penghentian sementara sebelum memasuki usia tertentu, yaitu dengan periode waktu
sebagai berikut :
Periode 1 : selama 3 tahun pertama kehidupan
Periode 2 : mulai antara usia 7-12 tahun, selesai pada usia 18 tahun
Pertumbuhan berupa pneumatisasi yang meluas ke lateral hingga dinding lateral orbita,
dan ke arah inferior menginvasi prosesus alveolaris mengikuti erupsi gigi permanen
Sinus ethmoid mulai berkembang pada usia kehamilan 3 bulan. Bagian
anteriornya berasal dari evaginasi dari dinding lateral nasal pada meatus media sepanjang
perkembangan infundibulum ethmoid. Kemudian di akhir bulan ke-4 kehamilan, bagain
posterior ethmoid mulai berkembang dari pertumbuhan meatus superior ke arah luar.
Kemudian, sel-sel tersebut akan membesar hingga mencapai ukuran 2 × 4 × 2 mm untuk
bagian anterior and 4 × 5 × 2 mm untuk bagian posterior pada saat lahir.
Sinus frontalis mulai berkembang pada kehamilan usia 4 bulan sebagai bentukan
pelebaran menuju ke bagian atas dari sebagian besar sel ethmoid anterosuperior yang
berada pada area resesus frontalis. Sinus frontal tidak tampak pada gambaran radiografi
hingga usia 2 tahun. Sinus ini akan menginvasi tulang frontal pada usia 5 tahun dan
secara perlahan mencapai ukuran dewasa pada adolescent lanjut menjadi ukuran 17 × 28
× 27 mm dengan kandungan cairan 6-7 ml.
Sinus sphenoid terbentuk pada usia kehamilan 4 bulan sebgai pasangan evaginasi
dari mukosa di bagian superoposterior dari kavitas nasal, yang disebut juga sebgaai
resesus sphenoethmoidalis. Bentukan ini akan bertahan sebagai indetasi kecil pada tulang
sphenoid hingga usia 3 tahun ketika pneumatisasi mulai berlangsung.
Anatomi
Sinus ethmoid
Terletak pada rongga nasal superior, diipisahkan dengan orbita oleh lamina
papyraceae. Sebelah anterior terletak di depan dan di bawah perlekatan konka media
pada dinding nasal lateral, sedangkan daerah posteriornya terletak di belakang dan di atas
perlekatan konka media pada dinding nasal lateral. Vaskularisasi berasal dari cabang
nasal dari arteri sfenopalatina dan arteri ethmoid anterior-posterior, cabang arteri
oftalmika dari sistem karotis interna. Sementara, inervasinya berasal dari cabang nasal
posterior dari saraf maksilaris (saraf kranial V2) dan cabang ethmoidal anterior dan
posterior dari saraf oftalmika (saraf kranial V1).
Sinus Maksilaris
Sinus maksila (anthrum highmore) merupakan sinus terbesar dari sinus paranasal
lainnya. Sinus ini berbentuk piramida, dengan dasarnya dibentuk dari dinding lateral
rongga hidung dan bagian apeks mengarah ke prosessus zygomaticus. Bagian atap, yang
juga berfungsi sebagai dasar orbital, tersusun dari tulang-tulang tipis yang melintang
terhadap pusat nervus infraorbita. Sel Haller yang merupakan hasil pneumatisasi dari
kompleks ethmoid terhadap atap dari sinus maksila, terkadang dapat dikenali. Hal ini
penting karena sel ini berkembang menutupi sinus maksila atau infundibulum ethmoid.
Dinding anterior bersama dengan fossa canine memisahkan sinus dari kulit pipi. Dinding
posterior memisahkan sinus dari bagian dalam fosa infratemporal dan pterygomaksila.
Dasar sinus, yang lebarnya mencapai setengah dari lebar atap, terbentuk dari prosesus
alveolar dari maksila. Walaupun terletak 4 mm di atas rongga hidung anak-anak, pada
akhirnya menjadi 4-5 mm di bawah dasar rongga hidung dewasa. Molar pertama dan
kedua adalah gigi yang bisa mencapai sinus maksila. Dengan pneumatisasi yang meluas,
molar ketiga, bikuspid, dan gigi kaninus, dapat terpapar pada sinus maksila. Paparan akar
gigi ini dapat membahayakan neurovaskular bila dilakukan kuretase sinus. Infeksi dari
akar gigi tadi dan pengangkatan gigi tersebut dapat menyebabkan fistula oral-antral.
Dinding media sinus maksila merupakan dinding lateral hidung, dan terdiri dari ostium
sinus utama yang menghubungkan sinus maksila dengan infundibulum ethmoid. Ostium
berlokasi di sebelah superior dari dinding media, biasanya setengah posterior
infundibulum, kurang lebih 9 mm sebelah posterior dari duktus lakrimalis. Batas
posterior ostium menyambung dengan lamina papyracea dari tulang ethmoid,
menyebabkan batas ostium ini menjadi batas lateral intranasal. Pada 15-405 kasus,
terdapat ostium asesori yang merupakan sebuah lubang pada membrane mukosa yang
menutupi tulang, yang disebut fontanel. Ostium asesori yang jarang terdapat pada anak-
anak dapat berada di sebelah superior maupun posterior dari prosesus uncinatus di atas
tempat insersi dari konka inferior.
Vaskularisasinya berasal dari cabang arteri dari maksilaris interna termasuk cabang
infraorbital dan lateral nasal dari sphenopalatina, palatina descenden, dan arteri alveolar
superior anterior-posterior sementara inervasinya berasal dari sensasi mukosa dari hidung
lateroposterior dan cabang alveolar superior dari saraf infraorbital, semua berasal dari
saraf kranial V2.
Sinus frontal
Sinus frontal berkembang dari sel ethmoid anterosuperior pada resesus frontal.
Resesus frontal merupakan struktur kompleks yang dapat menjadi berbagai bentuk.
Fungsi konka media sebagai dinding media dan lamina papyracea membentuk sebagian
besar dinding lateral. Dinding posterior, adalah bagian depan dari bula ethmoidalis
(disebut sebagai basal lamella kedua), sel nasi agger minimal, resesus frontal meluas.
Bila pneumatisasi pada daerah ini terjadi berlebihan, resesus frontal menjadi sempit dan
tampak seperti tubular.
Struktur sinus frontal dapat bervariasi antara masing-masing manusia. Tingginya
bervariasi antara 5-66 mm, dengan lebar 17-49 mm. septum intrasinus biasanya ada,
batas distal sinus menyebar membentuk pola irregular, menyebabkan mukosa sulit
diangkat ketika terjadi obliterasi sinus.dinding anterior merupakan dinding sinus terkuat
dan tebalnya dua kali lipat dibandingkan dinding posterior. Dinding posterior
memisahkan sinus frontal dari fosa kranii. Dasar sinus yang juga berfungsi sebagai atap
supraorbita, dan drainase ostium berlokasi di bagian posteromedial dasar sinus.
Infundibulum frontal merupakan area yang lebih sempit di dalam sinus yang mengarah
pada ostium. Kompleks resesus frontalis-ostium-sinus frontal berbentuk seperti jam pasir.
Vaskularisasinya berasal dari cabang supratoklear dan suborbital arteri oftalmika;
drainase vena ke dalam sinus kavernosus sementara inervasinya berasal dari sensasi
mukosa berasal dari cabang supratoklear dan supraorbital saraf frontalis (saraf kranial
V1).
Sinus sphenoid
Sinus sphenoid biasanya merupakan struktur asimetris berpasangan yang dibagi
oleh deviasi septum intersinus. Terdapat 3 tipe pneumatisasi sinus, yang pertama
digambarkan sebagai konka, muncul ketika Tipe pertama adalah konka, muncul ketika
perluasan sinus sphenoid sebelah posterios mencapai anterior dari sella tursika.
Pneumatisasi presellar terjadi ketika dinding posterior dari sinus sphenoid mencapai
anterior dari sella tursika. Pneumatisasi postsellar terjadi ketika sinus sphenoid melewati
batas sella tursika mencapai posterior pons dan membuat sella mengalami indentasi
superior pada sinus. Sinus sphenoid melewati pneumatisasi luas dan bisa mencapai
vomer, palatine, dan tulang maksila sampai sphenoid sepanjang lempeng pterygoid.
Tuberkel tulang mengelilingi saraf optikus menjadi pneumatisasi, menyebabkan
indentisasi anterosupeior pada atap sinus . sinus sphenoid eksternal dan lateral adalah
sinus kavernosa yang mana didalamnya dilewati berbagai struktur penting. Setiap sinus
sphenoid mengarah ke resesus sphenoethmoidal melalui lubang kecil. Lubang tersebut
berukuran 0,5-4 mm, 10 mm di atas lantai sinus, 30 derajat di atas lantai rongga nasal.
Batas sinus sphenoid sebelah superior berupa N.optikus, dan hipofisis, bagian
posterior dibatasi oleh pons sementara bagian eksternal dan lateral dibatasi oleh sinus
kavernosus, fisura orbita, arteri karotis, dan beberapa saraf kranial. Adapun
vaskularisasinya berasal dari cabang arteri sfenopalatina dan arteri ethmoidalis posterior
sementara persarafannya berasal dari saraf ethmoidalis posterior dari saraf kranial V1 dan
cabang nasal sfenopalatina saraf kranial V2.
Adapun beberapa fungsi dari sinus paranasal yang dikemukakan oleh berbagai
teori, di antaranya :
1. Humidifikasi dan menghangatkan aliran udara inspirasi
2. Membantu pengaturan tekanan intranasal
3. Meningkatkan area permukaan dari membrane olfaktorius
4. Membantu meringankan struktur tengkorak untuk mempertahankan
keseimbangan posisi kepala.
5. Mentransmisikan getaran terhadap suara yang terbentuk
6. Mengabsorbsi tekanan terhadap kepala
7. Berkontribusi terhadap perkembangan bentuk wajah
8. Bertindak sebagai rongga-rongga udara yang memiliki kegunaan tertentu
DEFINISI
Menurut PERHATI-KL 2007, rinosinusitis merupakan inflamasi hidung dan sinus
paranasal dengan rhinorrhea purulen > 7 hari, sumbatan hidung, nyeri muka, sakit
kepala, gangguan penghidu, demam. Sedangkan menurut European Position Paper
on Rinosinusitis and Nasal Polyps (EPOS) 2007, definisi rinosinusitis secara klinis
adalah sebagai berikut5 :
Peradangan pada hidung dan sinus paranasal ditandai dengan 2 atau lebih gejala,
salah satunya dapat berupa sumbatan/obstruksi/kongesti hidung atau keluarnya
sekret dari hidung (nasal drip anterior maupun posterior): ±nyeri wajah, ±
penurunan kemampuan mencium dan juga meliputi hasil endoskopi berupa polip
dan/ atau sekret mukopurulen terutama dari meatus media dan/atau
edem/obstruksi terutama dari meatus media dan/atau hasil CT berupa : perubahan
mukosa dalam kompleks osteomeatal dan/atau sinus.
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan durasi gejala yang timbul, rinosinusitis dapat dibagi menjadi :
Rinosinusitis akut jika gejala menetap selama 4 minggu atau kurang. Rinosinusitis
akut rekuren jika pasien dengan empat atau lebih episode per tahun dengan adanya
interval bebas penyakit. Rinosinusitis akut selanjutnya dapat dibedakan menjadi
rinosinusitis akut viral dan rinosinusitis akut bakterial. Sebagian besar rinosinusitis
akut dimulai dengan infeksi virus pada saluran pernapasan bagian atas, yang
kemudian meluas ke sinus paranasal dan diikuti dengan superinfeksi oleh bakteri.
Tabel 1. Definisi Rinosinusitis Akut
Rinosinusitis subakut jika gejala menetap selama 4-12 minggu,
Rinosinusitis kronik jika gejala menetap selama lebih dari 12 minggu.
Rinosinusitis kronik eksaseberasi akut adalah keadaan di mana gejala pasien tiba-tiba
memburuk pada pasien yang sudah didiagnosis sebagai rinosinusitis kronik, yang
akan kembali ke baseline symptomps setelah diberikan terapi.
Tabel 2. Definisi rinosinusitis kronik
2. Berdasarkan etiologinya, rinosinusitis dapat dibagi menjadi virus, bakteri dan fungi.
Rinosinusitis karena infeksi virus, misalnya virus influenza, parainfluenza,
adenovirus, rhinovirus, respiratory syncytial virus.
Rhinosinusitis karena bakteri, misalnya Streptococcus pneumoniae, H. influenza, M.
catarrhalis.
Rinosinusitis fungi dapat diklasifikasikan menjadi rinosinusitis invasif dan noninfasif.
Sinusitis fungi invasif, antara lain sinusitis fungi invasif fulminan akut, sinusitis fungi
invasif granulomatous, dan sinusitis fungi invasif kronis. Sedangkan sinusitis fungi
noninvasif, antara lain infestasi fungi saprofit, sinus fungus ball, rinosinusitis fungi
alergik.
E TIOLOGI DAN FAKTOR PREDISPOSISI
Penyebab rinosinusitis bersifat multifaktorial, dipengaruhi oleh beberapa faktor,
seperti faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor struktural.
Faktor genetik atau fisiologi yang berperan terhadap terjadinya rinosinusitis
antara lain hipereaktivitas jalan napas, sensitivitas terhadap aspirin, defisiensi
imun, keadaan hiperimunitas, penyakit keturunan, disfungsi silia, penyakit
granulomatus, dan gangguan autoimun.
Faktor lingkungan berhubungan dengan alergi misalnya rinitis alergi, rokok
dan bahan-bahan polusi, virus, bakteri, dan fungi. Virus lebih berperan
terhadap rinosinusitis pada anak yang usianya kurang dari tiga tahun. Virus
yang sering berhubungan dengan terjadinya rinosinusitis adalah virus
influenza, parainfluenza, adenovirus, rhinovirus, respiratory syncytial virus.
Beberapa bakteri penyebab rinosinusitis akut, antara lain Streptococommon
coldus penumoniae, H. influenza,M. catarrhalis.
Faktor struktural dan anatomi juga berperan terhadap terjadinya rinosinusitis,
salah satunya kompleks osteomeatal, yaitu merupakan suatu struktur fisiologi
untuk mengalirkan sekret dari sinus frontal, maxilla, dan ethmoid anterior.
PATOFISIOLOGI
Patofisiologi rinosinusitis dapat dibedakan antara rinosinusitis akut dan kronik.
Rinosinusitis akut
Rinosinutis bakterial akut umumnya diawali dengan infeksi virus pada saluran
pernapasan atas. Alergi, trauma, dan faktor lingkungan lainnya turut menunjang
berlangsungnya inflamasi pada area nasal dan sinus paranasal. Hampir 50% common cold
disebabkan oleh human rhinovirus, sisanya dapat disebabkan oleh coronavirus, influenza
A dan B, adenovirus dan enterovirus. Human rhinovirus dan coronavirus tidak
menyebabkan kerusakan epitel secara langsung, tetapi virus influenza dan adenovirus
dapat menyebabkan kerusakan epitel nasal secara signifikan. Human rhinovirus
menginfeksi dengan cara memasuki hidung melalui duktus lakrimalis kemudian melekat
pada reseptor ICAM-1 di sel epithelial pada dinding posterior nasofaring. Perlekatan ini
akan menyebabkan meningkatnya produksi histamin, bradikinin, dan berbagai macam
sitokin lainnya seperti IL-1,IL-6,IL-8, TNF dan leukotrien c4.
Virus juga secara tidak langsung menekan kemampuan neutrofil, sel makrofag dan
fungsi sel limfosit. Adapun efek dari penekanan fungsi neutrofil adalah berkurangnya
fungsi fagositosis, kemotaktik, sekretorik, dan bakterisidal. Hal ini tentu saja mendukung
terjadinya pertumbuhan berlebihan dari bakteri-bakteri yang menetap di nasofaring,
seperti S. pneumonia dan H.influenzae. Dari sebuah studi yang dilakukan terhadap tikus
dengan infeksi RSV, ternyata ditemukan adanya kolonisasi bakteri H.influenzae yang
atipik maksimum 4 hari setelah infeksi RSV.
Adanya koloniasai bakteri ini juga akan meningkatkan produksi mediator-mediator
inflamasi dan mengaktifkan persarafan parasimpatis sehingga menghasilkan berbagai
manifestasi klinis dari rinosinusitis, seperti demam, myalgia, faringitis yang umumnya
membaik dalam 5 hari, yaitu setelah infeksi virusnya mengalami self limiting, sedangkan
kongesti nasal dan batuk cenderung akan bertahan hingga 2-3 minggu menandai adanya
superinfeksi oleh bakteri. Infeksi sekunder bakteri terhadap infeksi virus tentunya
dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti kondisi imunitas tubuh yang cenderung
menurun karena infeksi virus, kolonisasi nasofaring dengan agen bakteri patogen seperti
S.pneumoniae dan berbagai kondisi lingkungan lainnya yang tentunya sangat mendukung
masuknya bakteri ke dalam kavitas sinus paranasal.
Rinosinusitis kronik
Penyebab rinosinusitis kronik bersifat multifaktorial, dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti faktor genetik atau fisiologi, faktor lingkungan, dan faktor struktural.
1. Faktor genetik atau fisiologi yang berperan terhadap terjadinya rinosinusitis antara
lain hipereaktivitas jalan napas, sensitivitas terhadap aspirin, defisiensi imun, keadaan
hiperimunitas, penyakit keturunan, disfungsi silia, penyakit granulomatus, dan gangguan
autoimun. Hipereaktivitas jalan napas seperti asma memiliki hubungan yang kuat dengan
terjadinya CRS. Defisiensi imun dapat terjadi pada pasien human immunodeficiency virus
(HIV) dimana pasien mengalami level immunoglobulin (Ig) yang rendah dan deifisiensi
fungsi sel T. Penyakit keturunan seperti fibrosis kistik dan Sindroma Young terdapat
abnormalitas klirens mukosilia sinus sehingga dapat menimbulkan inflamasi dan edema
lokal mukosa.
Silia membutuhkan media cairan untuk dapat berfungsi secara normal. Oleh karena
itu, sekresi sinus dan hidung menjadi sangat penting untuk menunjang fungsi silia
tersebut. Lingkungan di mana silia berfungsi terdiri dari lapisan mukus yang tebal,
terbagi atas lapisan superficial dengan gel yang lengket dan di sebelah bawahnya dapat
ditemui lapisan serosa. Mukus nasal diproduksi baik oleh sel goblet yang tersebar merata
di antara sel-sel epitel kolumnar bersilia maupun oleh kelenjar mukus submukosal.
Perubahan dalam komposisi mukus, berkurangnya elastisitas atau meningkatkan
viskositas akan sedikt banyak mempengaruhi efektivitas silia dalam proses pembersihan
mukus intrabnasal dan intrasinus. Kavitas sinus yang diyakini bersifat steril pada stiap
orang dengan fungsi imun yang normal, tentunya akan beresiko menjadi media
pertumbuhan bakteri bila dijumpai akumulasi cairan yang berlebihan di dalamnya.
Komposisi mukus dapat dipengaruhi oleh perubahan dalam transport cairan dan
elektrolit, seperti yang berlangsung dalam kondisi dehidrasi ataupun pada kistik fibrosis.
Begitupula dengan jumlahnya yang dapat semakin meningkat karena iritan atau polutan
di jalan napas, atau distimulasi oleh allergen maupun paparan terhadap udara dingin.
Perubahan fungsi silia akan menyebabkan akumulasi cairan dan bakteri di dalam
sinus. Pembersihan oleh silia yang tidak efektif dapat disebabkan oleh melambatnya
motilitas silia, kehilangan kordinasi yang baik antar silia dalam pergerakannya, atau
hilangnya sel-sel bersilia dari epithelium nasal. Motilitas silia yang melambat dapat
disebabkan oleh berbagai hal, seperti udara dingin, siliotoksin yang dihasilkan oleh virus
maupun bakteri, sitokin dan mediator-mediator inflamasi lainnya. Gangguan pembersihan
silia dapat bersifat congenital, seperti pada diskinesia silia primer. Terganggunya
koordinasi antar silia saat melakukan pembersihan dapat disebabkan oleh scar berisi
jaringan fibrosa yang terbentuk pada epitel nasal. Sementara itu, hilangnya sel-sel bersilia
dapat disebabkan oleh perlukaan pada epitel nasal oleh iritan jalan napas, polutan,
pembedahan (stripping dan scaring mukosa), penyakit kronik, toksin virus atau bakteri
yang akhirnya menyebabkan kematian sel, dan tingginya aliran udara intranasal.
2. Faktor lingkungan berhubungan dengan alergi misalnya rinitis alergi, rokok dan
bahan-bahan polusi, virus, bakteri, dan fungi. Virus lebih berperan terhadap rinosinusitis
pada anak yang usianya kurang dari tiga tahun. Virus dapat mengubah morfologi dan
fungsi sel epitelial nasal, dimana virus dapat masuk ke dalam sel, memperpendek silia,
mengurangi pergerakan silia, dan mengurangi kemampuan klirens mukosiliar. Bakteri
merupakan patogen primer ataupun patogen sekunder yang bersifat oportunistik. Bakteri
dapat mengaktifkan kaskade inflamasi secara langsung sehingga memicu terjadinya
respons imun.
3. Faktor struktural dan anatomi juga berperan terhadap terjadinya rinosinusitis.
Osteomeatal complex merupakan suatu struktur fisiologi untuk mengalirkan sekret dari
sinus frontal, maxilla, dan ethmoid anterior. Obstruksi sinus dapat terjadi karena variasi
anatomi seperti deviasi septum, jaringan parut post-operasi atau trauma sehingga
mengganggu aliran sinus, penyakit gigi-geligi yang merupakan sumber terjadinya
sinusitis maxilla persisten, benda asing. Hal tersebut dapat mengakibatkan obstruksi
ostium sehingga terjadi akumulasi cairan, menimbulkan suasana lembab dan lingkungan
yang kurang akan oksigen sehingga menjadi media yang ideal untuk pertumbuhan
patogen. Obstruksi pada ostium sinus dapat disebabkan oleh edema, polip hidung, dan
faktor-faktor struktural lainnya seperti konka bullosa yang prominen, kehadiran sel
Haller, deviasi septal, dan sinekia post operasi.
GEJALA DAN TANDA
Keluhan utama rinosinusitis akut ialah hidung tersumbat disertai nyeri tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Ada
gejala sistemik juga seperti demam dan lesu.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas
sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga terasa di tempat lain (reffered pain). Nyeri
pada pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau di belakang kedua bola mata
menandakan sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis
frontal. Pada sinusitis sfenoid, nyeri dirasakan pada verteks, oksipital, belakang bola mata
dan daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke gigi dan
telinga.
Gejala lain yang timbul adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post
nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak.
Keluhan sinuitis kronik kadang tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang-
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala ini, antara lain sakit kepala kronik, post nasal
drip, batuk kronik, gangguan tenggorokkan, gangguan telinga akibat sumbatan kronik
muara tuba eustachius, gangguan paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis
dan yang terpenting adalh serangan asma yang meningkat dan suli diobati. Pada anak,
mukus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.
DIAGNOSIS
Anamnesis
Dari anamnesis, dapat ditanyakan mengenai gejala – gejala klinis yang
dialami pasien, berupa:
- Gambaran gejala yang dialami
- durasi munculnya gejala tersebut
- lokalisasi dari gejala
- faktor yang memperberat dan faktor yang memperingan gejala
- obat-obatan yang sudah diberikan
- riwayat alergi/atopi
Gejala bisa juga digunakan untuk melihat kemungkinan sumber sinusitis seperti:
1. Obstruksi hidung, sekret dari anterior maupun posterior hidung, bersin, kongesti
muka tidak dapat dilokalisir sumbernya.
2. Kehilangan kemampuan membau maupun mengecap bisa disebut sebagai
rinosinusitis difus dan kemungkinan berasal dari adanya polip.
3. Cacosmia dan nyeri wajah yang terlokalisir atau yang berasal dari anterior hidung
terutama berasal dari gangguan di gigi atau adanya benda asing.
Pemeriksaan fisis
1. Pemeriksaan sinus
Inspeksi: pembengkakan pada pipi, dahi, periorbital dapat terlihat.
Palpasi dan perkusi: nyeri ketika di palpasi di daerah dahi, periorbital, pipi.
2. Pemeriksaan mulut dan orofaring
Perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan gangguan di gigi dan untuk menilai
adanya postnasal drip
3. Rinoskopi anterior
Dilakukan di bawah pencahayaan yang baik, biasanya dilaksanakan sebelum
maupun sesudah pemberian dekongestan, sehingga dapat sekaligus menilai respon
tubuh terhadap dekongestan tersebut. Dilakukan untuk menilai hiperemis dari
mukosa, edema septum dan konka inferior, menilai adanya sekret mukopurulen.
4. Endoskopi
Terdapat dua macam endoskopi yaitu rigid dan fleksibel. Keuntungan dari
endoskopi rigid adalah dapat memungkinkan pemeriksa melihat dengan
pandangan yang luas dan jelas sekaligus bisa menggunakan instrument tambahan
dengan menggunakan tangan yang lain. Sedangkan keuntungan dari endoskopi
fleksibel adalah dapat digunakan untuk melihat secara luas dasar dari sinus
maksila dan sebelah lateral dari rongga sinus frontal. Endoskopi dilakukan dengan
menggunakan anestesi lokal dan dekongestan. Kemudian terdapat 3 tahap dalam
endoskopi sehingga pemeriksaan bisa dilakukan secara sistematis, yaitu :
Gambar : Pemeriksaan Fisis Rinosinusitis
1. Endoskopi menyusuri konka inferior, sepanjang dasar hidung ke arah
nasofaring.
Area yang bisa dilihat pada tahap ini meliputi: septum inferior, Krista maksila,
konka inferior, koana, orifisium tuba eustachius, fossa rossenmueller,
nasofaring.
2. Endoskopi menyusuri sebelah atas dari konka inferior dan sebelah medial dari
konka media untuk memeriksa septum superior, konka media dan superior,
fisura olfaktorius, recessus sphenoethmoidalis, ostium sinus sphenoid.
3. Endoskopi diarahkan pada meatus media untuk memeriksa struktur yang ada
di dalamnya.
Pemeriksaan penunjang
1. X-ray
Dapat ditemui gambaran berupa air fluid level pada sinus maxilla untuk infeksi
akut, sinusitis yang tidak sembuh setelah pemberian terapi, atau adanya gejala
sinus secara persisten tanpa adanya hasil endoskopi. X-ray kurang efektif karena
banyak terjdi false positif dan negatif.
2. CT scan
Merupakan pemeriksaan penunjang yang penting digunakan karena melalui CT
scan pemeriksa bisa melihat anatomi tulang secara detail, mendapatkan gambaran
variasi anatomis, dan dapat digunakkan untuk membantu perencanaan preoperasi.
CT scan sangat sensitif dalam menunjukkan adanya penebalan mukosa dan
adanya cairan yang terperangkap dalam rongga sinus. Adapun penebalan mukosa
karena rinitis viral dapat menghilang dalam 2 minggu, sedangkan bila
dikarenakan infeksi bakteri, penebalan mukosa dapat menghilang lebih dari 1
bulan.
Gambar : Sinus Imaging from Water’s Projection
Biasanya potongan yang diambil adalah koronal dengan ketebalan 2-3 mm.
potongan aksial terkadang juga diambil untuk menilai variasi anatomis dari sinus
frontal dan kompleks sphenoethmoid. Penggunaan kontras secara intravena tidak
diperlukan kecuali untuk melihat kemungkinan tumor dan komplikasi dari
infeksi yang melibatkan orbita dan otak.
3. MRI
Membantu melihat penebalan mukosa dan adanya cairan dalam sinus paranasal,
tetapi prosedur ini pun tidak direkomendasikan untuk diterapkan secara rutin.
4. Punksi sinus maksilaris
Punksi ini dilakukan untuk mengambil sampel guna kultur bakteri. Prosedur ini
dilakukan melalui canine fossa atau pun meatus inferior. Prosedur ini tidak rutin
dilakukan dan menimbulkan rasa tidak nyaman pada pasien, kecuali pada pasien
yang memiliki komplikasi.
TATALAKSANA
a. Rinosinusitis Akut
Alogoritme tata laksana rinosinusitis akut pada dewasa oleh dokter umum
Dari bagan di atas, didapatkan bahwa tata laksana awal ditentukan oleh derajat keparahan
penyakitnya.
Pada kondisi yang ringan (hanya menderita common cold), maka terapi yang
diberikan hanya bersifat simptomatik seperti pemberian antipiretik, dekongestan,
nasal saline dan analgesik.
Pada kondisi yang moderate, maka dapat ditambahkan dengan steroid topikal
yang dievaluasi pemakaiannya dalam 48 jam. Bilamana tidak ditemui adanya
perbaikan klinis, maka dapat dipertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis THT-
KL.
Pada kondisi yang berat, maka selain steroid topikal, dapat ditambahkan
antibiotik. Bila dalam pemantauan 48 jam tidak ditemui adanya perbaikan klinis,
maka dapat dirujuk ke spesialis THT-KL.
Alogoritme tata laksana rinosinusitis akut pada dewasa oleh spesialis THT-KL
Pada saat dilakukan rujukan ke spesialis THT-KL, maka penegakkan diagnosis
rinosinusitis akut dapat ditambah dengan pemeriksaan fisis nasal (hiperemis, edema, dan
sekret berupa pus), oral (ditemukan sekret di bagaian posterior) dan eksklusi terhadap
adanya infeksi gigi geligi. Terkadang perlu dilengkapi dengan pemeriksaan endoskopi
nasal. Pemeriksaan penunjang seperti foto rontgen dan CT scan tidak dianjurkan. Namun
CT-scan dapat dipertimbangkan untuk dilakukan jika ditemui rinosinusitis dalam derjat
berat, pasien dalam keadaan imunosupresi dan sudah terdapat berbagai komplikasi yang
menyertai penyakitnya.
Adapun tata laksana yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
Antibiotik oral jika ditemui manifestasi klinis dalam derajat sedang dan tidak
membaik dengan perawatan selama 14 hari sebelumnya. Pemberian antibiotik oral
akan lebih baik lagi jika disesuaikan dengan hasil kultur kuman.
Pemberian antbiotik IV, steroid lokal maupun manajemen pembedahan
dipertimbangkan bilamana ditemui adanya manifestasi klinis dalam derajat berat dan
tidak membaik dalam 48 jam perawatan sebelumnya.
Pemberian antibitoik IV dan bisa dipertimbangkan pembedahan jika sudah ditemui
manifestasi komplikasi. Dalam kondisi seperti ini, pasien harus dirawat di rumah
sakit.
b. Rinosinusitis Kronik
Tata laksana yang diberikan adalah penggunaan steroid topikal, bilas nasal dan
ditambahkan antihistamin bila ada riwayat alergi. Kemudian direevaluasi kembali
setelah 4 minggu. Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan rujukan ke spesialis
THT-Kl begitu juga bila dapat dilakukan pemeriksaan endoskopi nasal dan
ternyata ditemukan adanya polip. Jika ditemui eksarserbasi akut pada rinusinusitis
kronik maka tata laksana yang digunakan sama seperti rinosinusitis akut. Berikut
merupakan bagan alogoritme tata laksana rinosinusitis kronik dengan ataupun
tanpa polip nasal oleh spesialis THT-KL.
Alogoritme tata laksana rinosinusitis kronik dengan maupun tanpa polip nasal oleh dokter
umum maupun non spesialis THT-KL.
Algoritme tata laksana rinosinusitis kronik tanpa polip nasal oleh spesialis THT-KL
Algoritma tatalaksana rinosinusitis kronik dengan polip nasal oleh spesialis THT-KL
DAFTAR PUSTAKA
1. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Ed.
Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi
keenam. Jakarta: FKUI, 2007. hal 150-153.
2. Soekardono, S. Buku ajar Ringkas Ilmu Kesehatan THT-KL. Yogyakarta. 2011. Hal 41-44
3. Byron J. Bailey. Head and Neck Surgery Otolaryngology 4 th ed.Lipincott
Wiliiams and Wilkins;2006.
4. Guideline Penyakit THT-KL di Indonesia:Sinusitis.2003-2007.
5. Richard M. Rosenfeld, MD, MPH. Clinical practice guideline: Adult sinusitis.
American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery Foundation
(2007) 137, S1-S31.
6. Sinus and Allergi Health Partnership. Executive Summary : Antimicrobial
treatment guidelines for acute bacterial rhinosinusitis. Otolaryngology– Head and
Neck Surgery;January 2004 : 130.
7. John Jacob Ballenger, MD. Otorhinolaryngology-Head and Neck Surgery 16 th
ed.BC Decker, 2003.