sistem hukum indonesia ( mal-praktek)
TRANSCRIPT
(sumber artikel online www.dpr.go.id )
KASUS BLBI BUKTI KELAM KEBIJAKAN EKONOMI
INDONESIA
Anggota DPR dari PAN Drajad Wibowo mengatakan kasus KLBI/ BLBI merupakan sejarah
kelam dari kebijakan ekonomi dan juga dokumentasi di Indonesia. "Dokumen itu sudah jelas
karena ada flow of documentation bisa ditelusuri mulai dari Kejaksaan, BI tetapi kenapa
semuanya yang dipegang hanya fotocopy,"kata Drajad seusai menghadiri Raker Tim Pengawas
Penyelesaian KLB/BLBI dengan Jaksa Agung Hendarman Supandji di Gedung Nusantara, Rabu,
(13/5).
Kejaksaan, papar Drajad, mengaku kesulitan dan agak berat melakukan pencarian dokumentasi
karena sebagian pejabatnya ada yang sudah wafat dan pensiun. "Seharusnya secara teori ini bisa
ditelusuri data aslinya,"paparnya.
Menurut Drajad, tindakan penghilangan barang bukti bisa dikategorikan Pidana dan bisa
ditelusuri siapa saja pejabat yang memegang dokumen, dan memberikan alasan kenapa bisa
hilang datanya. "Rasanya kasus ini akan menguap begitu saja,"terangnya dengan nada pesimis.
Dia menambahkan, apabila di Amerika Serikat data bisa dihapus setelah 30 tahun sementara di
Indonesia baru 10 tahun datanya sudah hilang. "Seharusnya perlu disusun semacam UU yang
memberikan sanksi tegas terhadap pejabat negara yang menghilangkan barang bukti
penting,"katanya, dirinya mengkhawatirkan akan dijadikan modus operandi oknum-oknum untuk
menghilangkan barang bukti otentik dari kasus-kasus besar lainnya. Drajad mengataan, dana
BLBI termasuk Obligasi rekap dan jaminan totalnya mencapai 700 Triliun Rupiah dan negara
telah mengeluarkan uang membayar bunganya sebesar 300 Triliun Rupiah.
Jaksa Agung Hendarman Supandji mengatakan, terdapat 8 Obligor yang belum membayar yaitu,
Bank Deka, Bank Central Dagang, Bank Centris, Bank Orien, Bank Dewa Rutji, Bank Arya
Panduarta, Bank Pelita, Bank Aken.
8 Bank tersebut diserahkan kepada Menteri Keuangan dan kemudian ditindaklanjuti dengan
penyerahan dokumen pada tanggal 11 Agustus 2008, untuk dilakukan penyelesaian diluar
pengadilan (out of court settlement). "Ini lebih menguntungkan dari pada pidana karena wasting
time,"paparnya.Dia menambahkan, Kejaksaan akan terus mengejarnya sampai kepada ahli waris
dari para tersangka. (si)
***(Sekretariat Jenderal Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Apabila anda mengalami kesulitan dalam mengakses website www.dpr.go.id, Silahkan Email :
Analisis Kasus
Kasus tunggakan BLBI hingga kini tak pernah beres sejak dibentuknya BPPN menjelang
kejatuhan Soeharto. Berulang kali upaya menangani kasus ini selalu terhadang dan macet.
Sejumlah oknum pejabat BPPN malah disangka korupsi atau suap. Kini dialami Urip Tri
Gunawan. Secara resmi, para obligor BLBI dinilai telah merugikan negara sebesar Rp144,5
triliun.Tetapi mereka yang tergabung dalam Gerakan Rakyat Adili Koruptor BLBI menyebut
perkiraan kerugian negara mencapai sekitar Rp760 triliun, kurang dari Rp 3 triliun dari APBN
2007 yang besarnya Rp 763 triliun. BCA, sebelum di-take over, menikmati pinjaman sebesar
Rp52,7 triliun, sementara BDNI menikmati Rp 27 triliun. Dengan dua pihak saja, tumpukan dana
negara yang diduga diselewengkan telah mencapai Rp 79,7 triliun. Belum lagi dana yang
dinikmati oleh kroni-kroni rezim Soeharto yang lain. Tampak jelas bagaimana bank-bank negara
telah diubah begitu rupa oleh rezim Orde Baru sebagai sapi perah yang luar biasa.
Dapat dicatat bahwa kasus BLBI adalah kasus korupsi terbesar sepanjang sejarah RI. Upaya
menangani kasus itu pun selalu saja terhadang. Lebih dari sekadar penegakan hukum, kasus
BLBI ini telah menjadi isu politik yang terus-menerus diusung oleh para elite politik.
Pemerintahan satu ke pemerintahan berikutnya tetap didorong untuk menyelesaikannya, selalu
saja tak pernah beres. Sebelum Urip Tri Gunawan ditangkap bersama Artalyta Suryani, DPR
juga telah membawa kasus BLBI ke tingkat sidang interpelasi pada 12 Februari 2008.
DPR membagi kasus dalam beberapa kategori,yaitu BLBI telah merugikan negara Rp 144,5
triliun, obligasi rekap merugikan negara Rp 425,5 triliun, Surat Utang Negara Rp 73,8 triliun dan
dana talangan Rp 49,5 triliun. Jalannya sidang interpelasi diwarnai hujan interupsi. Sebagian
anggota DPR merasa tidak puas dengan ketidakhadiran Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Presiden mewakilkannya kepada para menterinya, yaitu Menko Perekonomian Boediono, Menko
Politik, Hukum, dan Keamanan Widodo AS untuk menanggapi DPR yang kecewa karena
jawaban pemerintah tidak ditandatangani Presiden. Padahal, presiden yang diwakili oleh Menko
Perekonomian Boediono, Menko Polhukkam Widodo AS, Menko Kesra Aburizal Bakrie,
Menkeu Sri Mulyani Indrawati, Mensesneg Hatta Radjasa, Menkumham Andi Matalatta, Kapolri
Jenderal Sutanto dan Jaksa Agung Hendarman Supandji, mampu menyingkap obligor yang
masuk dalam kategori non-kooperatif. Sayangnya, fakta ini tak direspon DPR secara cerdas
untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan
masih ada obligor dalam kategori non-kooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh
persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan
hujan interupsi, banyak anggota DPR yang mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke
meja pimpinan sidang. Anggota DPR dari F-PKS, Suryama M. Sastra, malah mempelopori walk
out sebagai tanda protes terhadap ketidakhadiran Presiden RI. Presiden terkesan dengan sengaja
mengabaikan kesejajaran kedudukan konstitusional antara pemerintah dan DPR.
Kericuhan sidang BLBI dipahami sebagai pukulan balik bagi parlemen. Parlemen
memperlihatkan diri sebagai pihak yang tercederai eksistesinya oleh ketidakhadiran presiden.
DPR tampak lebih mementingkan teknikalitas ketimbang substansi. Penuntasan skandal BLBI,
sampai kapan pun, dideterminasi oleh sikap pemerintah. Pemerintah mengedepankan prinsip out
of court settlement menurut skema PKPS, MSAA, MRNIA dan APU. Skema inilah yang lantas
mengondisikan skandal BLBI bermetamorfosis menjadi tawar-menawar. Apa yang ditengarai
sebagai politik penuntasan BLBI merupakan situasi yang memungkinkan rezim-rezim kekuasaan
mendapatkan keuntungan dari bekerjanya prinsip out of court settlement. Penyelesaian skandal
BLBI, pada akhirnya jauh dari kewajaran. Lima obligor dalam skema MSAA, misalnya, hanya
membayar 17,3% hingga 55,7% dari total kewajiban yang harus ditunaikan. Obligor yang
berutang Rp 52 triliun, ternyata hanya mengembalikan Rp 19 triliun.
Obligor lain yang berutang Rp 28 triliun, hanya mengembalikan Rp 4,9 triliun. DPR yang
diliputi aura korupsi menangkap semua kenyataan ini sebagai persoalan yang berpeluang untuk
dipelintir. Maka, actual BLBI 12 Februari 2008 benar-benar dramatis. Editorial Harian Media
Indonesia 13 Februari 2008, menyimpulkan semua ini sebagai malapetaka interpelasi.
Berdasarkan angka yang terungkap diatas, kasus BLBI memang telah menyebabkan keuangan
actual sangat menderita. Kasus ini pula yang mengakibatkan krisis moneter yang berefek serius
pada penderitaan rakyat seperti harga barang melambung, PHK marak, banyak perusahaan
bangkrut, juga pengangguran dan kemiskinan yang meningkat actual. BLBI memang tumpukan
uang yang dinikmati para konglomerat yang dapat memengaruhi siapa saja yang berada dalam
posisi lebih lemah. Godaan inilah yang meruntuhkan etik para jaksa pemeriksa kasus tersebut.
Urip Tri Gunawan adalah salah seorang jaksa yang tersandung godaan besarnya uang suap yang
bisa dinikmatinya di hari tua. Penangkapan dan penahanan Urip Tri Gunawan saat ini membawa
efek pada runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi kejaksaan. Apalagi Jampidsus
Kemas Yahya Rahman yang telah mengumumkan penghentian penyidikan mendapat sorotan
luas dari berbagai pihak. Dia mulai dituntut untuk mengajukan surat pengunduran diri. Bahkan,
perintah pemeriksaan telah ditempuh Jaksa Agung Hendarman Supandji. Hendarman
memerintahkan Jaksa Agung Muda Pengawasan MS Rahardjo untuk memeriksa Kemas Yahya
Rahman dan Direktur Penyidikan Jampidsus Muhammad Salim sehubungan tertangkap
tangannya jaksa Urip Tri Gunawan.
Selain atas institusi kejaksaan, sorotan juga mengarah ke pemerintah. Salah seorang pengaju
interpelasi kasus BLBI di DPR, Ade Daud Nasution, menilai pemerintah tak serius menuntaskan
masalah yang sudah bergulir selama 10 tahun. Anggota Komisi III DPR Aulia Rahman
menyatakan penangkapan Urip Tri Gunawan mencoreng muka pemerintah. Memang menjadi
persoalan ketika kejaksaan mengumumkan tidak ada indikasi korupsi dan perbuatan melawan
6ctua, tapi Urip Tri Gunawan justru menerima suap dari pihak yang disidik. Apakah surat
perintah penghentian penyidikan (SP3) kasus BLBI ini tidak diketahui oleh Jaksa Agung
Hendarman Supandji?
Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan menyatakan, ada tiga pertanyaan actual yang akan diajukan
kepada Kejaksaan Agung terkait penanganan kasus BLBI dalam rapat kerja yang digelar, yaitu
perihal penghentian penyelidikan, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan, dan peraturan disiplin
kejaksaan. Pemerintah memang dihadapkan pada kritik sehubungan dengan pemberantasan
korupsi sekaligus menggugat kemampuannya. Sementara Kejaksaan Agung dipersoalkan
kemampuannya untuk membersihkan kejaksaan.
***( TI-Indonesia DIV Komunikasi dalamTransparency International Indonesia 2008)
PEMBERANTASAN TINDAKPIDANA KORUPSI
Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tanggal 29 Maret 1971
BAB I
KETENTUANUMUM
Pasal 1
Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah:
(1)a. barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatanmemperkaya diri sendiri atau
orang lain, atau suatu Badan,yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan
negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa
perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;
b. barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan,
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara;
c. barang siapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416,417,
418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;
d. barang siapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal
2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada
jabatannya atau kedudukannya atau oleh si pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan itu;
e. barang siapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah
menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam
Pasalpasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada
yang berwajib.
(2) barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak
pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.
Pasal 2
Pegawai negeri yang dimaksud oleh Undang-undang ini, meliputi juga orang-orang yang menerima
gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah atau yang menerima gaji atau upah dari suatu
badan/badan hokum yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah, atau badan hukum
lain yang mempergunakan modal dan kelonggaran-kelonggaran dari negara atau masyarakat.
BAB IITENTANG PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 8
Kewajiban memberikan kesaksian yang dimaksud dalam Pasal 7 Undang-undang ini, berlaku juga
bagi mereka yang menurut ketentuan ketentuan hukum yang berlaku harus merahasiakan
pengetahuannya berhubung dengan martabat jabatan atau pekerjaannya, kecuali petugas agama.
Pasal 9
(1) Dengan tidak mengurangi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku mengenai rahasia
Bankseperti yang dimaksud Pasal 37 ayat (2) Undang-undang tentang Pokok-pokok Perbankan,
maka dalam perkara korupsi atas permintaan Jaksa Agung, Menteri Keuangan dapat memberi ijin
kepada Jaksa untuk minta keterangan kepada Bank tentang keadaan keuangan dari tersangka.
(2) Dengan ijin Menteri Keuangan seperti tersebut dalam ayat (1), Bank wajib memperlihatkan surat-
surat Bank, dan memberikan keterangan tentang keadaan keuangan dari tersangka
.
(3) Ketentuan mengenai perincian tersebut dalam kedua ayat (1) dan(2) diatas, harus diberikan dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal penerimaan permintaan ijin itu oleh Menteri
Keuangan.
Pasal 10
Dalam pemeriksaan pendahuluan saksi dilarang menyebut nama/alamat atau hal-hal lain yang
memberi kemungkinan dapat diketahuinya pelapor.
Pasal 11
(1) Untuk kelancaran serta keseksamaan pemeriksaan perkara yang bersangkutan, penyidik dapat
setiap waktu meminta kepada tersangka dan setiap orang yang ada hubungannya denganperkara itu
untuk memperlihatkan kepadanya segala surat dan barang-barang lain yang dipandang perlu untuk
diperiksa dan penyidik dapat menyitanya.
(2) Mereka yang menurut ketentuan-ketentuan hukum harus merahasiakan pengetahuannya
berhubung dengan martabat, jabatan atau pekerjaannya tidak dapat menolak untuk memperlihatkan
surat-surat atau bagian surat-surat atau bagian surat-surat yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini
kecuali petugas agama.
Pasal 12
Penyidik berhak membuka, memeriksa dan menyita surat-surat dan kiriman-kiriman melalui Badan
Pos, Telekomunikasi dan lain-lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan dengan perkara pidana
korupsi yang sedang diperiksa.
PENJELASAN ATAS
UNDANG-UNDANGNo. 3 TAHUN 1971
tentang
PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
PENJELASAN PASAL DEMI PASAL
BAB I
KETENTUANUMUM
Pasal 1
Tindak pidana korupsi pada umumnya memuat aktivitas yang merupakan manifestasi dari
perbuatankorupsi dalam arti yang luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada
seorang pegawai negeri atau kedudukan istimewa yang dipunyai seseorang di dalam jabatan umum
yang secara tidak patut atau menguntungkan diri sendiri maupun orang yang menyuap sehingga
dikwalifiseer sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan
dengan Hukum Pidananya dan Acaranya.
Ayat (1)
Sub.a.
Ayat ini tidak menjadikan perbuatan melawan hukum sebagai suatu perbuatan yang dapat dihukum,
melainkan melawan hukum ini adalah sarana untuk melakukan perbuatan yang dapat dihukum yaitu
"memperkaya diri sendiri" atau "orang lain" atau "suatu badan." Perkataan "memperkaya diri sendiri"
atau "orang lain" atau "suatu badan" dalam ayat ini dapat dihubungkan dengan Pasal 18 ayat(2), yang
memberi kewajiban kepada terdakwa untuk memberikan keterangan tentang sumber kekayaannya
sedemikian rupa, sehingga kekayaan yang tak seimbang dengan penghasilannya atau penambahan
kekayaan tersebut, dapat digunakan untuk memperkuat keterangan saksi lain bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana korupsi. Keuangan negara seperti yang dimaksud oleh Undang-undang ini
meliputi juga keuangan daerah atau suatu badan/badan hukum yang menggunakan modal atau
kelonggarankelonggaran dari negara atau masyarakat dengan dana-dana yang diperoleh dari
masyarakat tersebut untuk kepentingan sosial, kemanusiaan dan lainlain. Tidak termasuk "keuangan
negara" dalam undang-undang ini ialah keuangan dari badan/badan hukum yang seluruhnya modal
diperoleh dari swasta misalnya P.T., Firma, C.V. dan lain-lain. Yang dimaksud dengan perbuatan-
perbuatan yang dapat merugikan perekonomian negara ialah pelanggaran-pelanggaran pidana
terhadap peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Pemerintah dalam bidang kewenangannya
seperti dimaksud dalam Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966.
Sub. b.
Tindakpidana korupsi ini memuat sebagai perbuatan pidana unsur "menyalah-gunakan kewenangan"
yang ia peroleh karena jabatannya, yang semuanya itu menyerupai unsur dalam Pasal 52 K.U.H.P.
yang selain dari itu memuat pula unsur yang "secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan
keuangan negara" serta dengan "tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan."
Ketentuan dalam sub b. ini adalah luas dalam rumusannya karena mempergunakan istilah umum
"menyalah-gunakan" dan tidak mengadakan perincian seperti halnya dengan Pasal 52 K.U.H.P.
dengan kata "...oleh karena melakukan tindakpidana..........yang ia peroleh karena jabatannya."
Sub. c.
Dengan perumusan Pasal 1 ayat (1) a dan b, maka istilah korupsi dalam Undang-undang ini
dipergunakan dalam arti yang luas, hingga adalah layak apabila Pasal-pasal K.U.H.P. seperti tersebut
dalam sub. c., dikwalifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Sub. d.
DalamK.U.H.P. tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang memberi hadiah kepada pegawai
yang dimaksud dalam Pasal 418 K.U.H.P., juga tidak diancam dengan hukuman orang-orang yang
memberi hadiah kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal-pasal Undang-undang ini.
Untuk mengisi kekosongan itu maka diadakan tindak pidana korupsi yang tercantum dalamPasal 1
ayat (1) d.
Sub. e.
Ketentuan dalam sub. c. ini dimaksudkan untuk memidanakan seseorang yang tidak melaporkan
pemberian atau janji yang diperolehya dengan melakukan tindak-pidana-tindak-pidana yang
dimaksud dalam Pasal 418, 419, 420 K.U.H.P. Apabila tidak semua unsur dari tindak pidana tersebut
dipenuhi dan pelaporan itu misalnya dilakukan dengan tujuan semata-mata agar supaya diketahui
tentang peristiwa penyuapan, maka ada kemungkinan bahwa si penerima itu dapat dilepaskan dari
penuntutan berdasarkan pasal-pasal tersebut di atas. Hal demikian tidak berarti bahwa tiap pelaporan
tentang penerimaan pemberian/janji itu membebaskan terdakwa dari kemungkinan penuntutan,
apabila semua unsur dari tindak pidana dalam Pasal 418, 419, 420 K.U.H.P. dipenuhi.
Ayat (2).
Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan
untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman
sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikian pula
mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai
suatu tindak pidana tersendiri.
BAB II
TENTANG PENYIDIKAN DAN PENUNTUTAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 8
Pasal ini hanya menunjuk petugas agar khususnya petugas dalam agama Katolik (Imam) yang
dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untuk menyimpan rahasia.
Pada umumnya mereka yang harus menyimpan rahasia karena martabat, jabatan atau, pekerjaannya
ialah Dokter, Notaris, Advokat dan petugas agama mempunyai hak untuk membebaskan diri dari
kesaksian. Oleh karena itu di dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ini
sebagai Undang-undang yang ekseptionil sifatnya hak untuk membebaskan diri dari kesaksian
tersebut diberikan terbatas kepada petugas agama dalam arti tersebut di atas. Tetapi justru karena
hak-hak dari pejabat yang termasuk ketiga kategori lainnya tersebut di atas dikurangi, maka
keterangan-keterangan kesaksian dari mereka ini hanya dimintakan sebagai upaya terakhir untuk
melengkapi pembuktian.
Pasal 9
Ayat (1) dan (2)
Pada azasnya rahasiaBank dari para nasabah dipegang teguh seperti apa yang diatur dalam Pasal 36
dari Undang-undang Pokok Perbankan. Sesuai Dengan Pasal 37ayat (2) Undang-undang Pokok
Perbankan, ketentuan dalam Pasal 9 Undang-undang ini memberikan kewenangan kepada Menteri
Keuangan untuk memberi izin kepada Jaksa atas permintaan Jaksa Agung untuk minta keterangan
tentang keadaan keuangan dari tersangka dan memperlihatkan surat-surat Bank tersangka.
Ayat (3).
Untuk mempercepat dan mempermudah terlaksananva penyelidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi maka ketentuan perijinan seperti tersebut di atas perlu dibatasi hingga jangka waktu selama-
lamanya 14 (empat belas) hari sejak penerimaan permintaan ijin itu oleh Menteri keuangan.
Pasal 10
Pasal ini dimaksud untuk memberikan perlindungan terhadap pelapor ialah mereka yang memberikan
keterangan maupun informasi mengenai suatu tindak pidana korupsi, agar supaya pelapor tidak takut-
takut akan diketahui nama/alamatnyayang mungkin akan membahayakan keselamatannya, apabila ia
dikenal oleh umum. Karena sangat diharapkan laporan-laporan tentang tindak pidana korupsi yang
telah dilakukan atau diduga telah dilakukan maka perlulah diberikan perlindungan terhadap para
pelapor tersebut yang sungguhsungguh akan membantu usaha pemberantasan korupsi. Supaya
perlindungan ini dapat dijamin maka saksi wajib merahasiakan nama/alamat atauhal-hal yang
memungkinkan dikenalnya pelapor baik dalam phase pemeriksaan pendahuluan maupun dalam
sidang pengadilan (Pasal 19). Untuk mencegah pelanggaran ketentuan ini maka ditentukan
sanksinya, yang dimuat dalam Pasal 31.
Pasal 11
Ayat (1).
Pasal ini menetapkan beberapa ketentuan apabila penyidik menentukan keterangan keterangan
tentang keuangan dan/atau harta benda tersangka.
Ayat (2).
Alasan-alasan pengadaan pasal ini adalah sesuai dengan penjelasan Pasal 8 dan dihubungkan dengan
Pasal 9 di atas.
Pasal 12
Denganditentukan bahwa surat-surat dan kiriman melalui Badan Pos, Telekomunikasi dan lain-
lainnya yang dapat dibuka dan diperiksa oleh penyidik itu diduga keras mempunyai hubungan
dengan perkara pidana korupsi yang sedang diperiksa maka rahasia-rahasia surat kiriman yang oleh
si pengirim dipercayakan kepada Badan Pos. Telekomunikasi dan lain-lainnya tetap terjamin.
***(File dalam bentuk pdf Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tanggal 29 Maret 1971)
Kesimpulan
Kasus BLBI yang melibatkan tiga pilar demokrasi, yaitu parlemen (lembaga legislatif),
pemerintah (lembaga eksekutif) dan kejaksaan (lembaga yudikatif), memang merupakan
permasalahan yang tidak mudah diselesaikan. Permasalahan ini sudah berkait berkelindang antar
lembaga negara tersebut sehingga justru menjadi isu politik, alih-alih isu ekonomi dan korupsi
yang menyengsarakan rakyat.
Pertama, kebijakan BLBI ini sudah keliru sejak awal. Bank Indonesia tidak mampu mengelola
dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan likuiditas untuk merestrukturisasi
perbankan. Hal ini, merupakan ekses dari ketiadaan kelembagaan (aturan main/rules of the
games) yang berakibat pula pada ketiadaan kontrol yang efektif dalam implementasinya, yang
juga memunculkan potensi tindakan curang (moral hazard) pada para pelakunya. Perilaku curang
ini bisa terjadi pada pihak perbankan maupun Bank Indonesia.
Kedua, parlemen (DPR) tidak merespon secara cerdas untuk mengelaborasi lebih jauh alasan-
alasan fundamental mengapa sepuluh tahun berjalan masih ada obligor dalam kategori non-
kooperatif. Sidang interpelasi DPR malah ricuh oleh persoalan tidak hadirnya Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono. Tak cukup hanya menciptakan hujan interupsi, banyak anggota DPR yang
mengembalikan lembar jawaban tertulis Presiden ke meja pimpinan sidang tanpa membahas
lebih lanjut dan hanya menjadikannya konsumsi politik belaka.
Ketiga, penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan oleh KPK itu semakin membenarkan persepsi
masyarakat yang selalu menempatkan aparat penegak hukum, seperti kejaksaan dan kepolisian,
pada peringkat atas terkorup. Penggantian kepemimpinan kejaksaan pertengahan 2007 oleh
Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengganti Jaksa Agung, kinerja institusi yang dipimpinnya
tak menunjukkan perbaikan. Ada banyak indikasi yang menunjukkan masih buruknya kinerja
kejaksaan. Seberapa banyak dana yang berhasil diselamatkan untuk negara belum signifikan, tak
transparan, dan akuntabilitasnya rendah. Kasus-kasus besar tak tuntas seperti bebasnya terdakwa
korupsi dan pembalakan liar Adelin Lis dan tak jelasnya penyelesaian kasus mantan Presiden
Soeharto. Penyelesaian hukum yang tak tuntas itu juga terlihat pada kasus aliran dana Bank
Indonesia (BI) ke anggota DPR dan dihentikannya penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI).
ACUAN PUSTAKA
Yustika, Ahmad Erani., Ekonomi Politik, Kajian Teoritis dan Analisis Empris, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta 2009.
Zulverdi, Doddy., Bank Portofolio Model and Monetary Policy in Indonesia, Journal of Asian
Economic, 2007
Surat Kabar dan Internet
Harian Kompas, 23 Juli 2007.
Harian Republika, 13 Februari 2008.
Mingguan Tempo 5-11 Maret 2007
www.seputarindonesia.com
Waspada Online
website www.dpr.go.id ,Email : [email protected] )
TI-Indonesia DIV Komunikasi dalamTransparency International Indonesia 2008 dengan email
Email : [email protected]
File dalam bentuk pdf Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 Tanggal 29 Maret 1971
SISTEM HUKUM INDONESIA
TENTANG
ANALISIS HUKUM TERTULIS DALAM ARTIKEL
Disusun Untuk Memenuhi Nilai Tugas Dalam Mata Kuliah
Sistem Hukum Indonesia
Oleh:
Nama : DWI UTOMO
Nim : 080903071
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009