skenario e blok 19 l5 fix
DESCRIPTION
fixTRANSCRIPT
LAPORAN TUTORIAL E
BLOK 19
disusun oleh:
Kelompok V
Anggota:
Retno Anjar Sari 04111001144
Ganda Putra 04111001131
M. Tafdhil T. 04111001102
Moza Guyanto 04111001112
Johannes Lie 04111001038
Vhandy Ramadhan 04111001070
Terry Mukminah Sari 04111001124
Ayu Risky Fitriawan 04111001018
Meylinda 04111001028
Risha Meilinda M. 04111001069
Fitri Heriyati Pratiwi 04111001003
Khumaisiyah 04111001094
Muhammad Syahid 04111001107
Tutor: dr. Ani, Sp. M
PENDIDIKAN DOKTER UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas ridho dan karunia-Nya laporan Tutorial
ini dapat terselesaikan dengan baik.
Adapun laporan ini bertujuan untuk memenuhi rasa ingin tahu akan penyelesaian dari
skenario yang diberikan, sekaligus sebagai tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem
pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Tim Penyusun tak lupa mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang terlibat
dalam pembuatan laporan ini.
Tak ada gading yang tak retak. Tim Penyusun menyadari bahwa dalam pembuatan
laporan ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, saran dan kritik pembaca
akan sangat bermanfaat bagi revisi yang senantiasa akan penyusun lakukan.
Tim Penyusun
1
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR..............................................................................................................1
DAFTAR ISI.............................................................................................................................2
PEMBAHASAN SKENARIO :
I.SKENARIO..........................................................................................................................2
II.KLARIFIKASI ISTILAH...................................................................................................2
III.IDENTIFIKASI MASALAH............................................................................................2
IV.ANALISIS MASALAH....................................................................................................2
V.HIPOTESIS........................................................................................................................2
VI.LEARNING ISSUES........................................................................................................2
VII.SINTESIS.........................................................................................................................2
VIII.KERANGKA KONSEP.................................................................................................2
IX.KESIMPULAN.................................................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................1
2
Skenario E Blok 19 Tahun 2013
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan keluhan
kejang. Dari catatan dari rekam medis didapatkan penderita masih sering mengalami
serangan kejang saat datang ke RS. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan
intravena satu kali, kejang belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin.
Kejang tidak didahului atau disertai demam. Pascakejang penderita masih tidak sadar.
Setelah delapan jam perawatan di rumah sakit, kesadaran penderita mulai membaik,
namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.
Dari anamnesis dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS
penderita mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik ke
atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung kurang lebih
lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar. Penderita kemudian dibawa ke RS. Sekitar 10
menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam perjalanan ke RS, bangkitan serupa
berulang sampai penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10
kilometer. Setelah mendapat obat kejang seperti yang sudah disebutkan di aras, kejang
berhenti. Pascakejang penderita masih tidak sadar. Sekitar tiga jam di RS, penderita mulai
sadar. Orang tua memperhatikan lengan dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan
penderita sering tersedak.
Riwayat Penyakit Sebelumnya:
Saat berusia sembilan bulan, penderita mengalami kejang dengan demam tinggi.
Dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal dan penderita didiagnosis meningitis. Penderita
dirawat di RS selama 15 hari.
Pada usia 1 tahun penderita mengalami kejang yang tidak disertai demam sebanyak
dua kali. Pada usia 18 bulan, penderita kembali mengalami kejang yang disertai demam tidak
tinggi. Penderita berobat ke dokter dan diberi obat asam valproat. Setelah enam bulan
berobat, orang tua menghentikan pengobatan karena penderita tidak pernah kejang. Penderita
sudah bisa bicara lancar, sudah bisa memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.
Pemeriksaan Fisik:
Anak nampak sadar, suhu 37oC, TD: 90/45 mmHg (normal untuk usia), nbadi 100x/menit,
laju nafas 30x/menit.
3
Pemeriksaan neurologis:
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua kelopak mata
dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi
deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah. Pergerakan lengan dan tungkai kanan Nampak
terbatas dan kekuatannya lebih lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan
dapat sedikit diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa.
Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan refleks
fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan refleks Babinski di kaki
sebelah kanan.
4
II. KLARIFIKASI MASALAH
1. Kejang : Serangan mendadak atau gangguan penyakit
2. Bangkitan berulang :
3. Unconciousness : Tidak mampu memberi espons terhadap rangsangan
sensoris dan tidak dapat menikmati pengalaman subjektif
4. Meningitis : Radang pada selaput otak atau meningen
5. Diazepam : Benzodizepin yang digunakan sebagai agen
antianxietas, sedatif, agen antipanik, agen antitremor, relaksan otot rangka,
antikonvulsan, dan dalam penatalaksanaan gejala akibat penghentian pemakaian
alkohol.
6. Kelojotan (Tonus klonus): Rangkaian kntraksi dan relaksasi otot involunter serta
bergantian secara cepat.
7. Drip Fenitoin : Antikonvulsan dan depresan jantung yang digunakan
pada pengobatan semua bentuk epilepsi kecuali jenis petitmal dan sebagai anti-
aritmia melalui intravena.
8. Asam Valproat : Antikonvulsan, asam 2-propilpentanoat digunakan
untuk mengontrol kejang yang tidak terlihat
9. Deviasi : Seseorang dengan sifat yang berbeda dari apa yang
dianggap normal atau standar.
10. Refleks Babinsky : Dorsofleksi ibu jari kaki pada perangsangan telapak
kaki yang menunjukkan terjadinya lesi yang mengenai traktus piramidalis waaupun
refleks normal pada bayi.
11. Tremor : Getaran atau gigilan yang involunter
12. Tonus otot : Kontraksi otot yang ringan dan terus menerus yang
pada otot rangka membantu dalam mempertahankan postur dan pengmbalian darah
jantung.
13. Refleks fisiologis : Refleks yang terdapat atau muncul pada orang normal.
14. Cairan serebrospinal : Cairan sejernih kristal yang menyerupai plasma darah
dalam komposisi, tetapi dengan kandungan protein yang jauh lebih rendah
5
III. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan
keluhan kejang. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Dari anamnesis
dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS penderita
mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik ke
atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini berlangsung
kurang lebih lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar. Penderita kemudian
dibawa ke RS. Setelah 10 menit setelah bangkitan pertama saat masih dalam
perjalanan ke RS, bangkitan serupa berulang sampai penderita tiba di rumah sakit.
Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10 kilometer.
2. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan intravena satu kali, kejang belum
teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Pascakejang penderita
masih tidak sadar.
3. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar. Orang tua memperhatikan lengan dan
tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering tersedak. Setelah delapan
jam perawatan di RS, kesadaran penderita mulai membaik, namun masih malas
bicara serta tatapan seringkali kosong.
4. Riwayat Penyakit Sebelumnya:
9 bulan : kejang demam tinggi, didiagnosis meningitis (Pemeriksaan CSP), dirawat
di RS selama 15 hari
12 bulan : Kejang tidak disertai demam sebanyak 2x.
18 bulan : Kejang disertai demam tidak tinggi, diberi obat asam valproat, respons
(+) -> kejang (-), setelah 6 bulan, orang tua menghentikan pengobatan karena tidak
kejang lagi. Penderita bisa bicara lancar, bisa memakai baju sendiri dan
mengendarai sepeda roda tiga.
5. Pemeriksaan neurologis:
6
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua
kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta
mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah. Pergerakan
lengan dan tungkai kanan Nampak terbatas dan kekuatannya lebih lemah
disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit diangkat, namun
sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa. Lengan dan tungkai kiri
dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus otot dan refleks fisiologis
lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan refleks Babinski di kaki
sebelah kanan.
IV. ANALISIS MASALAH
1. Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, berat badan 13 kg, dibawa ke RS dengan
keluhan kejang. Kejang tidak didahului atau disertai demam. Dari anamnesis
dengan ibu penderita, sekitar dua puluh menit sebelum masuk RS penderita
mengalami bangkitan di mana seluruh tubuh penderita tegang mata mendelik
ke atas, kemudian dilanjutkan kelojotan seluruh tubuh. Bangkitan ini
berlangsung kurang lebih lima menit. Pascakejang penderita tidak sadar.
Penderita kemudian dibawa ke RS. Setelah 10 menit setelah bangkitan pertama
saat masih dalam perjalanan ke RS, bangkitan serupa berulang sampai
penderita tiba di rumah sakit. Jarak antara rumah dengan RS lebih kurang 10
kilometer.
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin, berat badan dengan keluhan?
Jawab :
Rasio jenis kelamin anak epilepsi, lelaki sedikit lebih banyak dibanding anak
perempuan yaitu hal ini sesuai dengan penelitian Shorvon dkk,yang
mendapatkan rasio 1,1 dan Cowan dkk.1,5 .Sebaran usia kasus yang diteliti
sesuai dengan insidens epilepsi yang berubah-ubah menurut usia, yaitu
insidens tertinggi pada usia anak dini, mencapai nadirnya pada usia dewasa
dini, dan naik kembali pada usia tua. Bangkitan epilepsi jarang dijumpai pada
usia bulan-bulan pertama, dan lebih sering antara usia 4 bulan-4 tahun,
kemudian frekuensinya menurun sampai remaja. Bangkitan kejang pada bayi
7
premature lebih jarang terjadi dibanding bayi cukup umur, karena sistem saraf
bayi prematur belum berkembang. Hal ini menunjukkan faktor usia dan
perkembangan ikut mempengaruhi terjadinya epilepsi pada anak. Pada
kelompok epilepsi jenis bangkitan umum tidak didapatkan pasien epilepsi jenis
bangkitan umum klonik, sedangkan jumlah pasien epilepsi jenis umum tonik
dan jenis umum tonik-klonik sebanding. Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan penelitian Menkes dan Cowan dkk. yang mendapatkan epilepsi jenis
bangkitan umum tonik-klonik merupakan manifestasi epilepsi yang paling
sering terdapat pada masa anak. Lebih kurang 70% bangkitan epilepsi pada
anak merupakan bangkitan umum tonik-klonik.
b. Apa saja klasifikasi dan patogenesis kejang?
Jawab:
Sebelum mengklasifikasikan kejang, terlebih dahulu Diagnosis kejang ditegakkan
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan penunjang, sangat penting membedakan
apakah serangan yang terjadi adalah kejang atau serangan yang menyerupai
kejang. Perbedaan diantara keduanya adalah pada tabel 1:
Tabel 1. Perbedaan antara kejang dan serangan yang menyerupai kejang
8
Klasifikasi kejang
Setelah diyakini bahwa serangan ini adalah kejang, selanjutnya perluditentukan
jenis kejang. Saat ini klasifikasi kejang yang umum digunakan adalah
berdasarkan Klasifikasi International League Against Epilepsy of Epileptic
Seizure [ILAE] 1981, yaitu dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi kejang
9
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut
diduga disebabkan oleh; 1] kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuron
untuk melepaskan muatan listrik yang berlebihan; 2] berkurangnya inhibisi oleh
neurotransmitter asam gama amino butirat [GABA]; atau 3] meningkatnya
eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan aspartat melalui jalur eksitasi
yang berulang.
Note: Gamma AminoButyric Acid (GABA), merupakan neurotransmitter utama
yang bekerja sebagai inhibisi cepat dengan membuka kanal anion Cl- atau
inhibitory postsynaptic potential (IPSP).
c. Apa etiologi kejang?
Jawab:
Faktor perinatal, kelainan yang timbul akibat gangguan pada proses
kehamilan.
Malformasi otak congenital
Factor genetik
Penyakit infeksi seperti ensefalitis dan meningitis
Gangguan metabilisme (Hipoglikemia,Hiponatremia)
Trauma kepala
Tumor Otak
Toksin/keracunan
Gangguan sirkulasi/peredaran darah
Penyakit degeneratif susunan saraf.
d. Apa hubungan kejang dengan demam?
Jawab:
Kejang demam atau febris convulson ialah bangkitnya kejang yang terjadi pada
kenaikan suhu tubuh (suhu rectal di atas 380 C) yang disebabkan oleh proses
10
ekstrakranium (tidak didapatkan adanya infeksi ataupun kelainan lain yang jelas
di intrakranial ).
Etiologi kejang demam adalah:
a. Demam itu sendiri, demam yang disebabkan oleh infeksi saluran
pernapasan, otitis media, pneumonia, gastroentritis dan infeksi saluran
kemih.
b. Efek produk toksik dari pada mikroorganisme.
c. Respon alergik atau keadaan umum yang abnormal oleh infeksi.
d. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit.
e. Ensefalitis viral ( radang otak akibat virus ) yang ringan .
Hubungan kejang dengan demam :
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan
suatu energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak
yang terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan dengan perantaraan fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui
sistem kardiovaskuler. Jadi sumber energi otak adalah glukosa yang melalui
proses oksidasi menjadi CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang
terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid dan permukaan luar adalah ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui dengan mudah oleh ion
kalium dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium dan elektrolit lainnya, kecuali ion
klorida. Akobatnya konsentrasi kalium dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
ion natrium rendah, sedangkan diluar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan
bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat di permukaan sel. Keseimbangan
potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan konsentrasi ion di
ruang ekstraseluler, rangsangan yang datangnya mendadak misalnya mekanis dan
kimiawi, perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan.
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
11
anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh
dibandingkan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh
tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan
dalam waktu yang singkat terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik
ini demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel tetangganya dengan bantuan bahan yang disebut neurotransmiter dan
terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda tergantung
dari tinggi rendahnya ambang kejang seseorang anak yang menderita kejang
demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak dengan ambang kejang yang
rendah, kejang terjadi pada suhu 38°C sedangkan anak dengan ambang kejang
yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih .
Mekanisme demam menimbulkan kejang :
Perubahan kenaikan temperatur tubuh berpengaruh terhadap nilai ambang kejang
dan ekstabilitas neural, karena kenaikan suhu tubuh berpengaruh pada kanal ion
dan metabolisme seluler serta produksi ATP. Setiap kenaikan suhu tubuh satu
derajat celsius akan meningkatkan metabolisme karbohidrat 10-15% sehingga
dengan adanya peningkatan suhu akan mengakibatkan peningkatan kebutuhan
glukosa dan oksigen. Pada demam tinggi akan mengakibatkan hipoksia jaringan
termasuk jaringan otak. Pada keadaan metabolisme di siklus skreb normal, satu
molekul glukosa akan menghasilkan 38 ATP, sedangkan pada keadaan hipoksia
jaringan metabolisme anaerob, satu molekul glukosa hanya akan menghasilkan 2
ATP, sehingga pada keadaan hipoksia akan kekurangan energi, hal ini akan
mengganggu fungsi normal pompa Na+ dan reuptake asam glutamat oleh sel glia.
Kedua hal tersebut mengakibatkan masuknya ion Na+ ke dalam sel meningkat dan
timbunan asam glutamat ekstrasel. Timbunan asam glutamat ekstrasel akan
mengakibatkan permeabilitas membran sel terhadap ion Na+ sehingga semakin
meningkatkanmasuknya ion Na+ ke dalam sel. Masuknya ion Na+ ke dalam sel
dipermudah dengan adanya demam, sebab demam akan meningkatkan mobilitas
dan benturan ion terhadap membran sel. Perubahan konsentrasi ion Na+ intrasel
dan ekstrasel tersebut akan mengakibatkan perubahan potensial membran sel
neuron sehingga membran sel dalam keadaan depolarisasi. Selain itu demam
dapat merusak neuron GABA-ergik sehingga fungsi inhibisi terganggu.
12
e. Apa perbedaan kejang dan bangkitan?
Jawab:
Seizure (bangkitan) adalah cetusan aktivitas listrik abnormal yang terjadi secara
mendadak dan bersifat sementara di antara saraf-saraf di otak yang tidak dapat
dikendalikan. Akibatnya, kerja otak menjadi terganggu. Manifestasi dari seizure
bisa bermacam-macam, dapat berupa penurunan kesadaran, gerakan tonik
(menjadi kaku) atau klonik (kelojotan), konvulsi dan fenomena psikologis
lainnya. Kumpulan gejala berulang dari seizure yang terjadi dengan sendirinya
tanpa dicetuskan oleh hal apapun disebut sebagai epilepsi (ayan).
Sedangkan konvulsi adalah gerakan mendadak dan serentak otot-otot yang tidak
bisa dikendalikan, biasanya bersifat menyeluruh. Hal inilah yang lebih sering
dikenal orang sebagai kejang. Jadi kejang hanyalah salah satu manifestasi
dari seizure.
f. Apa saja klasifikasi dan patogenesis bangkitan?
Jawab:
Bangkitan disini dalam bahasa inggris adalah seizure, yang artinya adalah
serangan (tiba-tiba). Bisa juga diartikan sebagai kejang (serangan tiba-tiba
(paroksismal) pada fungsi otak tanpa sengaja yang dapat nampak sebagai
gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik yang abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom.
Daniel H. Lowenstein dalam Harrison Principles 17th, seizure/bangkitan
merupakan kejadian paroksismal yang disebabkan oleh pelepasan sekumpulan
neuron-neuron sistem saraf pusat (SSP) secara abnormal, berlebihan, dan
hipersinkron.
Pada kasus ini sudah terjadi bangkitan epilepsi. Klasifikasi bangkitan epilepsi:
Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981,
Klasifikasi berdasarkan tipe bangkitan epilepsi :
1. Bangkitan Parsial
13
Bangkitan parsial diklasifikasikan menjadi 3 yakni,
A. Parsial Sederhana (kesadaran tetap baik)
1. Dengan gejala motorik
2. Dengan gejala somatosensorik atau sensorik khusus
3. Dengan gejala autonom
4. Dengan gejala psikis
B. Parsial Kompleks (kesadaran menurun)
1. Berasal sebagai parsial sederhana dan berekambang menjadi penurunan
kesadaran
2. Dengan penurunan kesadaran sejak awaitan
C. Parsial yang menjadi umum sekunder
1. Parsial sederhana yang menajdi umum tonik-konik
2. Parsial kompleks menjadi umum tonik-klonik
3. Parsial sederhana menjadi parsial kompleks dan menjadi umum tonik-konik
2. Bangkitan Umum
A. Absence / lena / petit mal
Bangkitan ini ditandai dengan gangguan kesadaran mendadak (absence) dalam
beberapa detik (sekitar 5-10 detik) dimana motorik terhenti dan penderita diam
tanpa reaksi. Seragan ini biasanya timbul pada anak-anak yang berusia antara 4
sampai 8 tahun. Pada waktu kesadaran hilang, tonus otot skeletal tidak hilang
sehingga penderita tidak jatuh. Saat serangan mata penderita akan memandang
jauh ke depan atau mata berputar ke atas dan tangan melepaskan benda yang
sedang dipegangnya. Pasca serangan, penderita akan sadar kembali dan biasanya
lupa akan peristiwa yang baru dialaminya. Pada pemeriksaan EEG akan
menunjukan gambaran yang khas yakni “spike wave” yang berfrekuensi 3 siklus
per detik yang bangkit secara menyeluruh.14
B. Klonik
Kejang Klonik dapat berbentuk fokal, unilateral, bilateral dengan pemulaan fokal
dan multifokal yang berpindah-pindah. Kejang klonik fokal berlangsung 1 – 3
detik, terlokalisasi , tidak disertai gangguan kesadaran dan biasanya tidak diikuti
oleh fase tonik. Bentuk kejang ini dapat disebabkan oleh kontusio cerebri akibat
trauma fokal pada bayi besar dan cukup bulan atau oleh ensepalopati metabolik.
C. Tonik
Berupa pergerakan tonik satu ekstrimitas atau pergerakan tonik umum dengan
ekstensi lengan dan tungkai yang menyerupai deserebrasi atau ekstensi tungkai
dan fleksi lengan bawah dengan bentuk dekortikasi.
D. Tonik-klonik /Grand mal
Secara tiba-tiba penderita akan jatuh disertai dengan teriakan, pernafasan terhenti
sejenak kemudian diiukti oleh kekauan tubuh. Setelah itu muncul gerakan kejang
tonik-klonik (gerakan tonik yag disertai dengan relaksaki). Pada saat serangan,
penderita tidak sadar, bisa menggigit lidah atau bibirnya sendiri, dan bisa sampai
mengompol. Pasca serangan, penderita akan sadar secara perlahan dan merasakan
tubuhnya terasa lemas dan biasanya akan tertidur setelahnya.
E. Mioklonik
Bangkitan mioklonik muncul akibat adanya gerakan involuntar sekelompok otot
skelet yang muncul secara tiba-tiba dan biasanya hanya berlangsung sejenak.
Gambaran klinis yang terlihat adalah gerakan ekstensi dan fleksi lengan atau
keempat anggota gerak yang berulang dan terjadinya cepat.
F. Atonik
Bangkitan ini jarang terjadi. Biasanya penderita akan kehilangan kekuatan otot
dan terjatuh secara tiba-tiba.
15
Patogenesis bangkitan sama dengan kejang:
Terjadi :
- Gangguan pada membran sel neuron
- Gangguan mekanisme inhibisi prasinaps dan pascasinaps
- Neurotransmitter
- Peranan sel glia.
Patofisiologi Epilepsi:
- Imbalans antara eksitasi dan inhibisi
- Mekanisme sinkronisasi
- Iktogenesis
- Epileptogenesis
16
- Mekanisme peralihan interiktal-iktal
- Mekanisme neurokimiawi
- Mekanisme imun.
g. Apa yang menyebabkan bangkitan yang terjadi berulang?
Jawab:
Bangkitan berulang bersifat unprovokated(tanpa adanya faktor pencetus). Setiap
terjadi perubahan fungsi otak atau sel-sel neuron di otak , maka akan terjadi
ketidakseimbangan (berlebihan)muatan listrik. Saat terjadi ketidakseimbangan
antara neurotransmiter excitatory dan inhibitory akan menimbulkan bangkitan
kejang.
h. Apa komplikasi dari bangkitan yang terjadi selama 5 menit?
Jawab:
Kejang demam yang berlangsung singkat umumnya tidak berbahaya dan
tidak meninggalkan gejala sisa. Efek fisiologis kejang yang ≤ 5 menit biasanya
meningkatnya ecepatan denyut jantung, meningkatnya tekanan darah,
meningkatnya kadar glukosa, meningkatnya suhu pusat tubuh, meningkatnya sel
darah putih. Tetapi kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya
disertai dengan apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi
untuk kontraksi otot skeletal yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan
asidosis laktat.Hipotensi arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan
suhu tubuh disebabkan meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya
metabolisme otak.
Rangkaian kejadian di atas adalah faktor penyebab terjadinya kerusakan neuron
otak pada kejang yang lama. Faktor yang terpenting adalah gangguan peredaran
darah yang mengakibatkan hipoksia sehingga berakibat meningkatnya
permeabilitas vaskular danudem otak serta kerusakan sel neuron. Kerusakan
anatomi dan fisiologi yang bersifatmenetap bisa terjadi di daerah medial lobus
temporalis setelah ada serangan kejang yang berlangsung lama. Hal ini diduga
kuat sebagai faktor yang bertanggung jawab terhadap terjadinya epilepsi
17
( Demam kejang yang beralngsung lama dapat menyebabkan kelainan anatomis
di otak hingga terjadi epilepsi ).
Selain itu tidak pernah ada bukti bahwa kejang demam akan dapat menurunkan
kecerdasan anak. Anak yang pernah kejang demam sewaktu kecil sama cerdasnya
dengan mereka yang tidak pernah kejang demam. Lain halnya kalau ternyata
seorang pernah kejang disertai demam dan penyebabnya diketahui sebagai infeksi
otak (ensefalitis, meningoensefalitis) yang dapat menimbulkan kerusakan
permanen pada otak dan akhirnya mempengaruhi perkembangan anak termasuk
kecerdasannya.
i. Apa mekanisme badan tegang, mata mendelik ke atas, dan kelojotan
berdasarkan skenario ini?
Jawab:
Pada kejang demam, terjadi kejang tonik klonik. Kejang tonik merupakan
kontraksi dan kekakuan otot selama 10-20 detik. Kejang demam diawali dengan
demam yang cukup tinggi. Setiap kenaikan suhu 1 derajat C akan mengakibatkan
kenaikan metabolisme basal 10% - 15% dan kebutuhan oksigen 20%. Akibatnya
terjadi perubahan keseimbangan dari membran sel otak dan dalam waktu singkat
terjadi difusi dari ion Kalium maupun ion Natrium melalui membran tadi,
sehingga terjadi lepasnya muatan listrik. Lepasnya muatan listrik yang cukup
besar dapat meluas ke seluruh sel/membran sel di dekatnya dengan bantuan
neurotransmiter, sehingga terjadi kejang. Dalam kasus ini, mata penderita
mendelik setelah kejang. Hal ini disebabkan adanya kejang berupa kontraksi otot
pada M. Superior Oblique dan M. Inferior Oblique.
j. Apa hubungan kejang dengan penurunan kesadaran?
Jawab:
Kesadaran ditentukan oleh kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua
hemisfer serebridan Ascending Reticular Activating System (ARAS) Jika terjadi
kelainan pada kedua sistem ini, baik yang melibatkan sistem anatomi maupun
fungsional akan mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran dengan berbagai
tingkatan.Ascending Reticular Activating System merupakan suatu rangkaian atau
18
network system yang dari kaudal berasal dari medulla spinalismenuju rostral
yaitu diensefalon melalui brain stem sehingga kelainan yang mengenai
lintasanARAS tersebut berada diantara medulla, pons, mesencephalon menuju ke
subthalamus,hipothalamus, thalamus dan akan menimbulkan penurunan derajat
kesadaran.
Neurotransmiter yang berperan pada ARAS antara lain neurotransmiter
kolinergik, monoaminergik dan gammaaminobutyric acid (GABA) Respon
gangguan kesadaran pada kelainan di ARAS ini merupakan kelainan
yang berpengaruh kepada sistem arousal yaitu respon primitif yang merupakan
manifestasi rangkaianinti-inti di batang otak dan serabut-serabut saraf pada
susunan saraf. Korteks serebri merupakan bagian yang terbesar dari susunan saraf
pusat di mana kedua korteks ini berperan dalamkesadaran akan diri terhadap
lingkungan atau input-input rangsangan sensoris, hal ini disebut jugasebagai
awareness.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang
mengatur kesadaran.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,
sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya
disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan
kesadaran.
2. Setelah diberikan diazepam per rektal dua kali dan intravena satu kali, kejang
belum teratasi. Kejang berhenti setelah diberikan drip fenitoin. Pascakejang
penderita masih tidak sadar.
a. Mekanisme kerja dari :
- Diazepam (rektal dan IV)
19
Jawab:
Rektal (Anak-anak) : 0,2-0,5 mg/kg.
IM, IV (Anak-anak 1 bulan – 5 tahun) : 0,2-0,5 mg tiap 2-5 menit sampai
maksimum 5 mg, dapat diulang tiap 2-4 jam
Mekanisme : Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi
hambatan neuron GABA. Reseptor B Benzodiazepin dalam seluruh sistem
saraf pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak
frontal dan oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini,
benzodiazepin akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara
aktivitas farmakologi berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat
ikatan. Dengan adanya interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap
reseptornya akan meningkat, dan dengan ini kerja GABA akan meningkat.
Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion klorida akan terbuka sehingga
ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk ke dalam sel.
Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi sel
bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk dirangsang
berkurang.
- Fenitoin (Drip)
Jawab:
Fenitoin merupakan obat golongan antiepilepsi. Mekanisme kerja
utamanya pada korteks motoris yaitu menghambat penyebaran aktivitas
kejang. Kemungkinan hal ini disebabkan peningkatan pengeluaran natrium
dari neuron dan fenitoin cenderung menstabilkan ambang rangsang terhadap
hipereksitabilitas yang disebabkan perangsangan berlebihan atau kemampuan
perubahan lingkungan di mana terjadi penurunan bertahap ion natrium melalui
membran. Ini termasuk penurunan potensiasi paska tetanik pada sinaps.
Fenitoin menurunkan aktivitas maksimal pusat batang otak yang berhubungan
dengan fase tonik dari kejang tonik-klonik (grand mal).
Cara kerja fenitoin pada epilepsi adalah memblokade pergerakan ion
melalui kanal natrium dengan menurunkan aliran ion Na yang tersisa maupun
aliran ion Na yang mengalir selama penyebaran potensial aksi, selain itu
20
fenitoin memblokade dan mencegah potensiasi pos tetanik, membatasi
perkembangan aktivitas serangan yang maksimal dan mengurangi penyebaran
serangan. Fenitoin berefek sebagai stabilisasi pada semua membran neuronl,
termasuk saraf perifer dan mungkin bekerja pada membran yang eksitabel
( mudah terpacu ) maupun yang tidak eksitabel.
Fenitoin juga menghambat kanal Ca dan menunda aktifasi aliran ion K
keluar selama potensial aksi, sehingga mengakibatkan kenaikan refractorry
dan menghambat cetusan ulangan.
b. Farmakologi : (dosis, efek samping, indikasi, kontrandikasi, cara
penggunaan, komplikasi)
- Diazepam (rektal dan IV)
Jawab:
Nama Dagang :
- Cetalgin - Danalgin - Hedix - Mentalium
- Neurodial - Neuroval - Paralium - Proneuron
- Stesolid - Trankinon - Validex - Valisanbe
- Valium - Lovium
Dosis :
a. Oral :Ansietas, 2 mg 3 kali sehari jika perlu dapat dinaikkan menjadi
15-30 mg sehari dalam dosis terbagi;
o Lansia (atau yang sudah tidak mampu melakukan aktivitas)
setengah dosis dewasa
o Insomsia yang disertai ansietas, 5-15 mg sebelum tidur.
o Anak-anak, night teror dan somnambulisme, 1-5 mg sebelum
tidur.
b. Injeksi i.m atau injeksi i.v lambat :(kedalam vena besar dengan
kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit)untuk ansietas akut berat,
pengendalian serangan panik akut, penghentian alkohol akut, 10 mg,
jika perlu ulangi setelah 4 jam.
Catatan : Rute i.m hanya digunakan jika rute oral dan i.v tidak mungkin
diberikan.
Indikasi21
Pemakaian jangka pendek pada ansietas atau insomnia, tambahan pada putus
alkohol akut, status epileptikus, kejang demam, spasme otot.
Kontraindikasi
Depresi pernafasan, gangguan hati berat, miastenia gravis, insufisiensi
pulmoner akut, glaukoma sudut sempit akut, serangan asma akut, trimester
pertama kehamilan, bayi prematur; tidak boleh digunakan sebagai terapi
tunggal pada depresi atau ansietas yang disertai dengan depresi
Ffek Samping
Efek samping pada susunan saraf pusat : rasa lelah, ataksia, rasa malas,
vertigo, sakit kepala, mimpi buruk dan efek amnesia. Efek lain : gangguan
pada saluran pencernaan, konstipasi, nafsu makan berubah, anoreksia,
penurunan atau kenaikan berat badan, mulut kering, salivasi, sekresi bronkial
atau rasa pahit pada mulut.
Interaksi
- Dengan Obat Lain :
Alkohol : Meningkatkan efek sedatif
Anestetik : Meningkatkan efek sedatif
Analgetik : Analgetik opioid meningkatkan efek sedatif
Antibakteri : Isoniazid menghambat metabolisme diazepam; rifampisin
meningkatkan
metaolisme diazepam dan mungkin benzodiazepin lainnya
Antiepileptika : Kadar plasma fenitoin dinaikkan atau diturunkan oleh
diazepam dan
mungkin benzodiazepina lainnya
Antihistamin : Meningkatkan efek sedatif
Antihipertensi : Meningkatkan efek hipotensif; meningkatkan efek
sedatif dengan alphablockers
Antipsikotik : Meningkatkan efek sedatif
Disulfiram : Metabolisme benzodiazepin dihambat, dengan
peningkatan efek sedatif
Dopaminergik : Kadang benzodiazepin melawan efeklevodopa
Lofeksidin : Meningkatkan efek sedatif
Relaksan otot : Baklofen meningkatkan efek sedatif
22
Nabilon : Meningkatkan efek sedatif
Obat-obat Antiulkus : Simetidin menghambat metabolisme
benzodiazepin (menaikkan
kadar plasma); meprazol menghambat metabolisme diazepam
(menaikkan kadar plasma)
- Dengan Makanan : -
Bentuk Sediaan
Tablet, Cairan Injeksi, Sirup.
Parameter Monitoring
Pernafasan, Kardiovaskular, dan mental status (status kejiwaan); periksa
orthostasis
Stabilitas Penyimpanan
Dalam wadah tertutup rapat, tidak tembus cahaya. (FI.IV) Lindungi sediaan
parenteral dari cahaya; khasiat obat bertahan sampai 3 bulan bila disimpan
dalam suhu kamar; stabil pada pH 4-8, terjadi hidrolisis pada pH <3; jangan
campur sediaan i.v dengan obat lain.
Informasi Pasien
a. Pasien harus diinformasikan bahwa penggunaan diazepam akan
mengurangi kemampuan kewaspadaan, koordinasi fisik seperti
mengoperasikan mesin atau mengendarai kendaraan bermotor.
b. Pasien harus diinformasikan tentang kemungkinan terjadinya gangguan
pada ingatan (amnesia), perubahan sifat mental, seperti adanya pikiran
yang mengganggu dan berubahnya sikap dan perilaku
- Fenitoin (Drip)
Jawab:
Posologi:
Kemungkinan diperlukan penyesuaian dosis dan monitoring level
serum bila terjadi perubahan dari pemakaian bentuk “free acid”
menjadi bentuk garam natriumnya dan sebaliknya karena fenitoin
bentuk “free acid”mengandung kadar fenitoin 8% lebih tinggi
dibanding bentuk sediaan garam natriumnya. Adanya variasi intra-
individual yang cukup besar, dan penambahan dosis kecil kadang-
23
kadang menyebabkan perubahan besar pada kadar obat dalam serum
yang tak terduga.
Dosis harus disesuaikan dengan keadaan penderita dan konsentrasi
plasma harus dimonitor.
Dewasa:
o Dosis awal: 300 mg sehari dibagi dalam 2-3 dosis.
o Dosis pemeliharaan: 300-400 mg atau 3-5 mg/kg BB sehari
(maksimal 600 mg sehari).
Anak-anak:
o Dosis awal 5 mg/kg BB sehari dibagi dalam 2-3 dosis dan tidak
lebih dari 300 mg sehari.
o Dosis pemeliharaan awal yang dianjurkan: 4-7 mg/kg BB
sehari.
o Anak usia lebih dari 6 tahun dapat diberikan dosis minimal
dewasa (300 mg sehari).
Efek samping:
Susunan Saraf pusat: manifestasi paling sering yang berhubungan dengan
terapi fenitoin dengan SSP biasanya tergantung dosis. Efek samping ini
berupa nistagmus, ataksia, banyak bicara, koordinasi menurun dan konfusi
mental, vertigo, susah tidur, gelisah, kejang motorik dan sakit kepala, sukar
berbicara (slurred speech) disertai gejala lain, misalnya tremor, gugup,
kantuk, rasa lelah, gangguan mental yang sifatnya berat, ilusi, halusinasi
sampai psikotik.
Saluran cerna: mual, muntah dan konstipasi.Nyeri ulu hati, anoreksia, mual
dan muntah, terjadi karena fenitoin bersifat alkali. Pemberian sesudah
makan atau dalam dosis terbag, dapat mencegah atau mengurangi
gangguan saluran cerna.Proliferasi epitel dan jaringan ikat gusi dapat
terjadi pada penggunaan kronik, dan menyebabkan hiperplsia pada 20 %
pasien. Edema gusi mudah terjadi gingivitis, terutama bila kebersihan
mulut tidak terjaga. Pengobatan tidak perlu dihentikan pada gangguan
gusi; dapat diringankan bila kebersihan mulut dipelihara.
24
Kulit: kelainan dermatologik berupa ruam kulit skarlatimiform atau
morbiliform kadang-kadang disrtai dengan demam. Bentuk lebih serius
dapat berupa dermatitis eksfoliativ, lupus eritematosus, sindroma Stevens-
Johnson dan nekrolisis epidermal toksik.
Sistem hemopoetik: efek samping yang dapat bersifat fatal ini kadang-
kadang dilaporkan terjadi. Hal ini dapat berupa trombositopenia
leukopenia, granulositopenia, agranulositosis, pansitopenia dengan atau
tanpa supresi sumsum tulang.
Jaringan penunjang: muka menjadi kasar, bibir melebar, hiperplasia gusi,
hipertrikosis dan penyakit peyroni.
Kardiovaskular: periarterisis nodosa.
Imunologik: sindroma sensitifitas, lupus eritromatosus sistemik dan
kelainan immunoglobulin.
Indikasi:
Fenitoin diindikasikan untuk mengontrol keadaan kejang tonik-klonik (grand
mal) dan serangan psikomotor “temporal lobe”.
Kontraindikasi:
Pasien dengan sejarah hipersensitif terhadap fenitoin atau produk hidantoin
lain.
Peringatan dan perhatian:
Bila diperlukan pengurangan dosis, penghentian pengobatan harus
dilakukan bertahap.
Pada kasus terjadi alergi atau reaksi hipersensitifitas, kemungkinan
diperlukan terapi alternatif yang bukan dari golongan hidantoin.
Hati-hati penggunaan pada penderita gangguan fungsi hati, usia lanjut.
Fenitoin dapat meningkatkan kadar glukosa pada pasien diabetes.
Fenitoin tidak diindikasikan untuk kejang yang disebabkan oleh
hipoglikemia atau kasus-kasus lain yang belum pasti.
Osteomalasia telah dihubungkan dengan terapi fenitoin dan disebabkan
pengaruh fenitoin terhadap metabolisme vitamin D.
Penderita harus diobservasi bila terjadi tanda-tanda adanya depresi
pernafasan.
25
Fenitoin tidak efek untuk kejang petit mal. Jika terjadi campuran antara
kejang tonik-kronik (grand mal) dan kejang petit mati, pengobatan harus
dilakukan dengan obat kombinasi.
Fenitoin harus dihentikan jika timbul ruam kulit.
Pada penggunaan jangka panjang, harus dilakukan pemeriksaan darah
secara kontinu.
Tidak dianjurkan penggunaan pada wanita hamil dan menyusui.
Pasien diingatkan pentingnya menjaga kebersihan gigi untuk mengurangi
berkurangnya hiperplasia gusi dan komplikasinya.
Interaksi obat:
Obat-obat yang dapat meningkatkan kadar fenitoin yaitu: asupan alkohol
akut, amiodaron, kloramfenikol, klordiazepoksid, diazepam, dikumarol,
disulfiram, estrogen, H2-antagonis, halotan, isoniazid, metilfenidat,
fenotiazin, fenilbutazon, salisilat, suksinimid, sulfonamid, tolbutamid,
trazodan.
Obat-obat yang dapat menurunkan kadar fenitoin yaitu: karbamazepin,
penggunaan alkohol kronis, reserpin dan sukralfat.
Obat-obat yang dapat meningkatkan atau menurunkan kadar fenitoin yaitu:
Fenobarbital, natrium valproat dan asam valproat.
Meskipun bukan interaksi obat yang sebenarnya, antidepressam trisiklik
dapat menyebabkab kejang pada pasien yang peka, karena itu dosis
fenitoin perlu disesuaikan.
Obat-obat yang khasiatnya terganggu oleh fenitoin yaitu: kortikosteroid,
antikoagulan, kumarin, digitoksin, estrogen, furosemid, kontrasepsi oral,
kuinidin, rifampisin, teofilin, vitamin D.
c. Apa yang menyebabkan kejang penderita tidak teratasi setelah pemberian
diazepam dan mengapa kejang teratasi setelah pemberian drip fenitoin?
Jawab:
Pada pasien kejang, dilakukan pemberian diazepam iv kalau tidak bisa pasang
infus, berikan diazepam lewat anus (per rectum). Jika tidak berhasil mengatasi
kejang , maka diberikan fenitoin , Diberikan diazepam terlebih dahulu karena efek
26
sampingnya lebih sedikit dari fenitoin. Fenitoin bekerja pada pompa ion Na dan K
,sedangkan diazepam bekerja pada neurotransmitter. Jadi Fenitoin memotong
mekanisme lebih awal dibandingkan diazepam.
d. Apa yang menyebabkan penderita masih tidak sadar pascakejang?
Jawab:
Secara umum penyebab kejang dapat diklasifikasikan menjadi 3 yaitu:
a. Idiopatik :penyebabnya tidak diketahui, umumnya mempunyai
predisposisi genetik
b. Kriptogenik : Dianggap simptomatik tatapi penyebabnya belum
diketahui, termasuk disini sindrom west, sindrom lennox-gastaut, dan
epilepsi mioklonik, gambaran klinik sesuai dengan ensefalopati difus
c. Simptomatik: Disebabkan oleh kelainan/lesi ada susunan saraf pusat
misalnya trauma kepala, infeksi susunan saraf (SSP), kelainan kongenital,
lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat),
metabolik, kelainan neuro degenerative.
Tidak sadar pasca kejang diakibatkan bukan oleh kejang demam melainkan
infeksi SSP atau ada kelainan di otak yang menyebabkan kesadaran menurun.
Mekanisme Status epileptikus :
Sel saraf diootak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi
aktifitas listrik otak.
Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak sel
saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel
saraf yang abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel
yang memilik hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan
sel saraf tereksitasi bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas
tubuh berlebihan.
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi sel
eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan
produksi berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel mengeluarkan
sinyal listrik yang abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga dilepasakan
27
berlebihan dan mengganggu bendungan listrik sel saraf yang normalnya
membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara neurotansmitter-
neurotarsmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin, dan
asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino
butyric acid (GABA).
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase.
Fase pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah
otak dan cardiac output, peningkatan oksigenase jaringan otak, peningkatan
tekanan darah, peningkatan laktat serum, peningkatan glukosa serum dan
penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat. Perubahan syaraf reversibel pada
tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua, kemampuan tubuh
beradaptasi berkurang dimana tekanan darah , pH dan glukosa serum kembali
normal. Kerusakan syaraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas
kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat),
perburukan pernafasan dan peningkatan kerusakan syaraf yang irreversibel.
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat,
ketika peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi.
Keadaan ini diikuti oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada
tahap kelima, tetapi kehilangan syaraf dan kehilangan otak berlanjut.
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan
kehilangan syaraf maksimal dalam zona Summer.
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan syaraf begitu kompleks
dan melibatkan penurunan inhibisi aktivitas syaraf melalui reseptor GABA dan
meningkatkan pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan
masuknya ion Natrium dan Kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Penurunan Kesadaran :
Kerusakan dan kematian syaraf tidak seragam pada status epileptikus, tetapi
maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan keenam dari
korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
28
Padahal korteks serebri dan batang otak merupakan dua pusat anatomi yang
mengatur kesadaran.
Pada tingkat membran sel, neuron epileptik ditandai oleh fenomena biokimia
tertentu. Beberapa diantaranya adalah ketidakstabilan membran sel saraf sehingga
lebih mudah diaktifkan. Neuron hipersensitif dengan ambang yang menurun,
sehingga mudah terangsang, dan terangsang secara berlebihan. Akibatnya adanya
disritmia pada bagian otak tertentu ini bisa memberikan manifestasi penurunan
kesadaran.
3. Sekitar 3 jam di RS, penderita mulai sadar. Orang tua memperhatikan lengan
dan tungkai sebelah kanan nampak lemah dan penderita sering tersedak.
Setelah delapan jam perawatan di RS, kesadaran penderita mulai membaik,
namun masih malas bicara serta tatapan seringkali kosong.
a. Apa yang menyebabkan penderita baru sadar setelah 3 jam?
Jawab:
Penderita sadar setelah 3 jam disebabkan adanya proses pemulihan tubuh setelah
kejang. Pada saat kejang, seluruh sel tubuh bekerja lebih sehingga sel merasa
lelah. Hal ini menyebabkan setelah serangan epilepsi penderita pada umumnya
akan kehilangan kesadaran (tertidur) selama beberapa jam
b. Apa efek yang terjadi pada tubuh setelah tidak sadar selama 3 jam? (efek pd
CNS)
Jawab:
Adapun kondisi yang segera mengancam kehidupan terdiri atas peninggian
tekanan intrakranial, herniasi dan kompresi otak dan meningoensefalitis/
ensefalitis.
Penurunan kesadaran secara kwalitatif, GCS kurang dari 13, Sakit kepala hebat,
Muntah proyektil, Papil edema, Asimetris pupil, Reaksi pupil terhadap cahaya
melambat atau negative, Demam, Gelisah, Kejang, Retensi lendir / sputum di
tenggorokan, Retensi atau inkontinensia urin, Hipertensi atau hipotensi, Takikardi
29
atau bradikardi, Takipnu atau dispnea, Edema lokal atau anasarka, Sianosis, pucat
dan sebagainya
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang terhadap
rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Compos Mentis(conscious), yaitu tingkat kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya..
2. Apatis, yaitu keadaan tingkat kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3. Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu), memberontak,
berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4. Somnolen(Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon psikomotor
yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih bila dirangsang
(mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu memberi jawaban
verbal.
5. Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada respon
terhadap nyeri.
6. Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon terhadap
rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek muntah, mungkin
juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
1 = fully awake
2 = conscious but drowsy
3 = unconscious but responsive to pain with purposeful movement e.g. flexion/withdrawal
4 = unconscious but responding to pain by extension
5 = unconscious and unresponsive to pain
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk menentukan/menilai tingkat
kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya sampai keadaan koma. Teknik penilaian
30
dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien
setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan
respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi
bernilai 15.
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)· Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)· Respon terhadap suara (suruh buka mata)· Respon terhadap nyeri (dicubit)· Tida ada respon (meski dicubit)
4321
Respon verbal (V)· Berorientasi baik· Berbicara mengacau (bingung)· Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”)· Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)· Tidak ada suara
54321
Respon motorik terbaik (M)· Ikut perintah· Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi rangsang nyeri)· Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)· Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)· Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)· Tidak ada (flasid)
65
43
2
1
c. Apa yang menyebabkan lengan dan tungkai sebelah kanan lemah serta
penderita sering tersedak?
Jawab:
Pada saat terjadinya kejang, maka diperlukan ATP lebih untuk memompa Na
keluar, Sehingga hal ini akan membuat kebutuhan oksigen dan glukosa
meningkat. Apabila kejang terjadi sebntar, hal ini bisa trepenuhi. Bila kejang
berlangsung lama, maka oksigen dan glukosa tidak terpenuhi sehingga terjadi
hipoksia sel neuron , dan dapat menyebabkan nekrosis. Pada kasus kita sel-sel
neuron yang mengalami nekrotik tersebut adalah pada nervus VII dan XII . Lesi di
nervus VII menyebabkan lengan dan tungkai kanan lemah sementara lesi di
nervus XII menyebabkan penderita sering tersedak.
31
d. Apa yang menyebabkan penderita baru membaik setelah 8 jam namun
masih malas bicara serta tatapan sering kosong?
Jawab:
Karena recovery pada status epileptikus membutuhkan waktu yang lama , apalagi
8 jam kemungkinan sudah berat kerusakan yang terjadi. Waktu yang lama pada
recovery karena adanya penghambatan inhibisi syaraf yang terjadi, serta terjadi
kebutuhan metabolik yang besar dan mengakibatkan terjadinya gangguan
pernafasan sehingga bisa hipoksia pada otak bahkan bisa menyebabkan edema
serebral bahkan kerusakan permanen.
Kejang lama yang terjadi ini bisa menyebabkan gangguan perilaku, alam
perasaan, sensasi dan persepsi. Selain itu, respons pasca kejang, ada respon fisik (
contoh, sakit kepala, sakit otot ) dan respon psikologis ( ketakutan, depresi,
penurunan nafsu makan, respon penolakan, menarik diri ). Dan juga efek yang
terjadi di otak akibat terjadinya status epileptikus menyebabkan gangguan respon
fisik maupun psikologis.
e. Apa yang dimaksud dengan kesadaran yang mulai membaik dan apa
kriterianya?
Jawab:
Pediatric Coma Scale adalah setara dengan Glasgow Coma Scale digunakan
padaanak-anak. Terdiri dari tiga tes: respon membuka mata, respon verbal dan
responmotorik. Ketiganya di nilai secara terpisah serta jumlah mereka
dipertimbangkan.PCS serendah mungkin (jumlahnya) adalah 3 (koma atau
kematian) sedangkan tertinggi adalah 15 (sepenuhnya terjaga dan sadar orang).
Modified Glasgow Coma Scale for Infants and Children
Area Assessed Infants Children
Score
*
32
respon membuka mata Open spontaneously Open spontaneously 4
Open in response to verbal stimuli
Open in response to verbal stimuli 3
Open in response to pain only
Open in response to pain only 2
No response No response 1
respon verbal Coos and babbles Oriented, appropriate 5
Irritable cries Confused 4
Cries in response to pain Inappropriate words 3
Moans in response to pain
Incomprehensible words or nonspecific sounds 2
No response No response 1
respon motorik**
Moves spontaneously and purposefully Obeys commands 6
Withdraws to touchLocalizes painful stimulus 5
Withdraws in response to pain
Withdraws in response to pain 4
Responds to pain with decorticate posturing (abnormal flexion)
Responds to pain with flexion 3
33
Responds to pain with decerebrate posturing (abnormal extension)
Responds to pain with extension 2
No response No response 1
*Score:12 suggests a severe head injury.8 suggests need for intubation and ventilation.6 suggests need for intracranial pressure monitoring.
**If the patient is intubated, unconscious, or preverbal, the most important part of
this scale is motor response. This section should be carefully evaluated.
Interpretasi PCS Scores :3-8 : koma9-12 : Lethargy13-14 : butuh observasi15 :
kesadaran penuhRiwayat Penyakit Sebelumnya:
o 9 bulan : kejang demam tinggi, didiagnosis meningitis (Pemeriksaan
CSP), dirawat di RS selama 15 hari
o 12 bulan : Kejang tidak disertai demam sebanyak 2x.
o 18 bulan : Kejang disertai demam tidak tinggi, diberi obat asam valproat,
respons (+) -> kejang (-), setelah 6 bulan, orang tua menghentikan
pengobatan karena tidak kejang lagi. Penderita bisa bicara lancar, bisa
memakai baju sendiri dan mengendarai sepeda roda tiga.
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal?
- 9 bulan (hubungan meningitis dengan kejang demam)
Jawab:
Meningitis merupakan salah satu penyebab timbulnya kejang demam.
Perbedaan Kejang Demam dengan Kejang disertai demam (proses
intrakranial):
34
Kejang demam lama atau fokal dapat berhubungan dengan kerusakan otak.
Mekanisme abnormal:
Meningitis pada umumnya sebagai akibat dari penyebaran penyakit di
organatau jaringan tubuh yang lain. Virus / bakteri menyebar secara
hematogen sampai ke selaput otak, misalnya pada penyakit Faringitis,
Tonsilitis, Pneumonia, Bronchopneumonia dan Endokarditis. Penyebaran
bakteri/virus dapat pula secara perkontinuitatum dari peradangan organ atau
jaringan yang ada di dekat selaput otak, misalnya Abses otak, Otitis Media,
Mastoiditis,Trombosis sinus kavernosus dan Sinusitis. Penyebaran kuman bisa
juga terjadi akibat trauma kepala dengan fraktur terbuka atau komplikasi
bedah otak. Invasi kuman-kuman ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan
reaksi radang pada pia dan araknoid, CSS (Cairan Serebrospinal) dan sistem
ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi; dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subarakhnoid, kemudian terbentuk eksudat.
Dalam beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam
minggu kedua sel-sel plasma. Eksudat yang terbentuk terdiri dari dua lapisan,
bagian luar mengandung leukosit polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di
lapisaan dalam terdapat makrofag.
Proses radang selain pada arteri juga terjadi pada vena-vena di korteks dan
dapat menyebabkan trombosis, infark otak, edema otak dan degenerasi neuron-
35
neuron. Trombosis serta organisasi eksudat perineural yang fibrino-purulen
menyebabkan kelainan kraniales. Pada Meningitis yang disebabkan oleh virus,
cairan serebrospinal tampak jernih dibandingkan Meningitis yang disebabkan
oleh bakteri.
- 12 bulan
Jawab:
Interpretasi : Epilepsi (Abnormal)
Mekanisme : Pada dasrnya, keadaan epilepsi pada pasien ini disebbakan
karena adanya relaps dari epilepsi sebelmnya. Seperti yang kita ketahui, Otak
terdiri dari sekian biliun sel neuron yang satu dengan lainnya saling
36
berhubungan. Hubungan antar neuron tersebut terjalin melalui impuls listrik
dengan bahan perantara kimiawi yang dikenal sebagai neurotransmiter.
Dalam keadaan normal, lalu-lintas impuls antar neuron berlangsung dengan
baik dan lancar. Apabila mekanisme yang mengatur lalu-lintas antar neuron
menjadi kacau dikarenakan breaking system pada otak terganggu maka
neuron-neuron akan bereaksi secara abnormal. Neurotransmiter yang berperan
dalam mekanisme pengaturan ini adalah:
- Glutamat, yang merupakan brain’s excitatory neurotransmitter
- GABA (Gamma Aminobutyric Acid), yang bersifat sebagai brain’s inhibitory
neurotransmitter
Epileptic seizure apapun jenisnya selalu disebabkan oleh transmisi
impuls di area otak yang tidak mengikuti pola yang normal, sehingga
terjadilah apa yang disebut sinkronisasi dari impuls. Sinkronisasi ini
dapat mengenai pada sekelompok kecil neuron atau kelompok neuron
yang lebih besar atau bahkan meliputi seluruh neuron di otak secara
serentak. Lokasi yang berbeda dari kelompok neuron yang ikut terkena
dalam proses sinkronisasi inilah yang secara klinik menimbulkan
manifestasi yang berbeda dari jenis-jenis serangan epilepsi. Secara
teoritis faktor yang menyebabkan hal ini yaitu:
Keadaan dimana fungsi neuron penghambat (inhibitorik) kerjanya
kurang optimal sehingga terjadi pelepasan impuls epileptik secara
berlebihan, disebabkan konsentrasi GABA yang kurang. Pada
penderita epilepsi ternyata memang mengandung konsentrasi GABA
yang rendah di otaknya (lobus oksipitalis).Hambatan oleh GABA ini
dalam bentuk inhibisi potensial post sinaptik.
- Keadaan dimana fungsi neuron eksitatorik berlebihan sehingga terjadi
pelepasan impuls epileptik yang berlebihan. Disini fungsi neuron penghambat
normal tapi sistem pencetus impuls (eksitatorik) yang terlalu kuat. Keadaan ini
ditimbulkan oleh meningkatnya konsentrasi glutamat di otak. Pada penderita
epilepsi didapatkan peningkatan kadar glutamat pada berbagai tempat di otak.
- Pada dasarnya otak yang normal itu sendiri juga mempunyai potensi untuk
mengadakan pelepasan abnormal impuls epileptik
37
Area di otak dimana ditemukan sekelompok sel neuron yang
abnormal, bermuatan listrik berlebihan dan hipersinkron dikenal sebagai
fokus epileptogenesis (fokus pembangkit serangan kejang). Fokus
epileptogenesis dari sekelompok neuron akan mempengaruhi neuron
sekitarnya untuk bersama dan serentak dalam waktu sesaat menimbulkan
serangan kejang.
Berbagai macam kelainan atau penyakit di otak (lesi serebral, trauma otak,
stroke, kelainan herediter dan lain-lain) sebagai fokus epileptogenesis dapat
terganggu fungsi neuronnya (eksitasi berlebihan dan inhibisi yang kurang)
dan akan menimbulkan kejang bila ada rangsangan pencetus seperti
hipertermia, hipoksia, hipoglikemia, hiponatremia, stimulus sensorik dan
lain-lain.
Serangan epilepsi dimulai dengan meluasnya depolarisasi impuls dari fokus
epileptogenesis, mula-mula ke neuron sekitarnya lalu ke hemisfer
sebelahnya, subkortek, thalamus, batang otak dan seterusnya. Kemudian
untuk bersama-sama dan serentak
- 18 bulan
Jawab:
Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder
terhadap inflamasi vaskuler dan trombosis pada meningitis. Adanya gejala ini
memberikan prognosis buruk timbulnya sekuelae jangka panjang.
Pada jejas otak terdapat lebih banyak acetylcholine daripada dalam keadaan
otak sehat. Adanya sikatriks setempat pada permukaan otak sebagai gejala sisa
meningitis dapat terjadi penimbunan setempat dari acetylcholine. Oleh karena
itu pada tempat tersebut akan terjadi lepas muatan listrik neuron-neuron.
Penimbunana acethylcholine setempat harus mencapai suatu konsent sehingga
tertentu untuk dapat merendahkan potensial membran sehingga lepas muatan
listrik dapat terjadi. Mungkin karena harus menunggu waktu sehingga tercapai
konsentrasi yang dapat mengungguli ambang lepas muatan listrik neuron. Oleh
karena itulah fenomena lepas muatan listrik epileptik terjadi secara berkala.
38
Sehingga kejang yang terjadi merupakan epilepsi fokal yang disebabkan oleh
sikatrik di otak. Sedangkan demam yang tidak tinggi bukanlah penyebab
kejang, kemungkinan hanya penyulit saja.
b. Bagaimana cara pemeriksaan CSP dan interpretasinya?
Jawab:
INDIKASI
1 Meningitis bacterial / TBC.
2 Perdarahan subarahnoid.
3 Febris (Kaku kuduk) dengan kesadaran menurun (sebab tak jelas).
4 encepahilitis atau tumor malignan.
5 Tumor mielum : sebelum dan sesudah mielografi / caudiografi.
6 Sindroma GuillainBarre (bila perlu diulang-ulang + satu minggu).
7 Kelumpuhan yang tidak jelas penyebabnya.
8 Untuk mengidentifikasi adanya darah dalam CSS akibat trauma atau
dicurigai adanya perdarahan subarachnoid.
9 Kejang
10 Paresis atau paralisis termasuk paresis Nervus VI
11 Ubun – ubun besar menonjol
KONTRA INDIKASI
1 Syock/renjatan
2 Infeksi local di sekitar daerah tempat pungsi lumbal
3 Peningkatan tekanan intracranial (oleh tumor, space occupying
lesion,hidrosefalus)
4 Gangguan pembekuan darah yang belum diobati
5 Pasien yang mengalami penyakit sendi-sendi vertebra degeneratif. Hal
ini akan sulituntuk penusukan jarum ke ruang interspinal
6 Pasien dengan peningkatan tekanan intra cranial. Herniasi serebral atau
herniasi serebralbisa terjadi pada pasien ini.
D. KOMPLIKASI
39
1 Infeksi
2 Iritasi zat kimia terhadap selaput otak
3 Jarum pungsi pata
4 Hernias
5 Tertusuknya saraf oleh jarum pungs
6 Nyeri kepala hebat akibat kebocoran CSS.
7 Meningitis akibat masuknya bakteri ke CSS.
8 Paresthesia/ nyeri bokong atau tungkai.
9 Injury pada medulla spinalis.
10 Injury pada aorta atau vena cava, menyebabkan perdarahan serius.
11 Herniasi otak. Pada pasien denga peningkatan tekanan, tiba-tiba terjadi
penurunan tekanan akibat lumbar puncture, bisa menyebabkan herniasi
kompressi otak terutama Batang otak.
12 10 – 30% pasien dalam 1 – 3 hari dan paling lama 2 – 7 hari mengalami
postlumbar puncture headache. Sebagian kecil mengalami nyeri, tapi
bisa dikurangi dengan berbaring datar. Penanganan meliputi bed rest dan
cairan dengan analgetik ringan.
E. ALAT DAN BAHAN
1 Sarung tangan steril
2 Duk luban
3 Kassa steril, kapas dan plester
4 Antiseptic: povidon iodine dan alcohol 70
5 Troleey
6 Baju steril
7 Jarum punksi ukuran 19, 20, 23 G.
8 Manometer spinal
9 Two way tap
10 Alcohol dalam lauran antiseptic untuk membersihkan kulit.
11 Tempat penampung csf steril x 3 (untuk bakteriologi, sitologi dan
biokimia)
12 Plester
13 Depper
14 Jam yang ada penunjuk detiknya
40
15 Tempat sampah.
Anestesi local
1 Spuit dan jarum untuk memberikan obat anestesi local
2 Obat anestesi loka (lidokian 1% 2 x ml), tanpa epinefrin.
3 Tempat sampah.
F. PERSIAPAN PASIEN
Pasien diposisikan tidur lateral pada ujung tempat tidur dengan lutut ditarik ke
abdomen. Catatan : bila pasiennya obesitas, bisa mengambil posisi duduk di atas
kursi, dengan kursi dibalikan dan kepala disandarkan pada tempat sandarannya.
G. PROSEDUR PELAKSANAAN
1. Lakukan cuci tangan steril
2. Persiapkan dan kumpulkan alat-alat
3. Jamin privacy pasien
4. Bantu pasien dalam posisi yang tepat, yaitu pasien dalam posisi miring
pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi maksimal (dahi ditarik kearah
lutut), eksterimitas bawah fleksi maksimum (lutut di atarik kearah
dahi), dan sumbu kraniospinal (kolumna vertebralis) sejajar dengan
tempat tidur.
5. Tentukan daerah pungsi lumbal diantara vertebra L4 dan L5 yaitu
dengan menemukan garis potong sumbu kraniospinal (kolumna
vertebralis) dan garis antara kedua spina iskhiadika anterior superior
(SIAS) kiri dan kanan. Pungsi dapat pula dilakukan antara L4 dan L5
atau antara L2 dan L3 namuntidak boleh pada bayi
6. Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius
10 cm dengan larutan povidon iodine diikuti dengan larutan alcohol 70
% dan tutup dengan duk steril di mana daerah pungsi lumbal dibiarkan
terbuka Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari
tangan yang telah memakai sarung tangan steril selama 15-30 detik
yang akan menandai titik pungsi tersebut selama 1 menit.
41
7. Anestesi lokal disuntikan ke tempat tempat penusukan dan tusukkan
jarum spinal pada tempat yang telah di tentukan. Masukkan jarum
perlahan – lahan menyusur tulang vertebra sebelah proksimal dengan
mulut jarum terbuka ke atas sampai menembus durameter. Jarak antara
kulit dan ruang subarakhnoi berbeda pada tiap anak tergantung umur
dan keadaan gizi. Umumnya 1,5 – 2,5 cm pada bayi dan meningkat
menjadi 5 cm pada umur 3-5 tahun. Pada remaja jaraknya 6-8 cm.
8. Lepaskan stylet perlahan – lahan dan cairan keluar. Untuk
mendapatkan aliran cairan yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut
jarum mengarah ke cranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan.
9. Cabut jarum dan tutup lubang tusukkan dengan plester
10. Rapihkan alat-alat dan membuang sampah sesuai prosedur rumah sakit
11. Cuci tangan
c. Apa farmakologi (dosis, efek samping, indikasi, kontrandikasi, cara
penggunaan, komplikasi) dan mekanisme kerja asam valproat?
Jawab:
Dosis:
Dosis awal : 300-600 mg/hari terbagi dalam 2 dosis, setelah makan, dinaikkan
200 mg/hari tiap 3 hari, maksimum: 2,5 g/hari, dalam dosis terbagi.
Dosis Pemeliharaan biasanya : 12 g/hari (20-30 mg/kg/hari).
ANAK : sampai 20 kg (sekitar 4 th): dosis awal 20 mg/kg/hari, dalam dosis
terbagi. Dapat bertahap dinaikkan sampai 40 mg/kg/hari. Lebih dari 20 kg:
dosis: awal 400 mg/hari biasanya 20-30 mg/hari, maksimal 35 mg/kg/hari.
Indikasi:Asam valproat adalah obat pilihan utama untuk pengobatan epilepsi
umu seperti serangan umum lena (petit mal), untuk serangan mioklonik,
serangan tonik-klonik umum, dan juga epilepsi parsial misalnya bangkitan
parsial kompleks, terutama bila serangan ini merupakan bagian dari sindrom
epilepsi umum primer. Sedangkan terhadap epilepsi fokal lain efektivitasnya
kurang memuaskan. Obat ini juga dapat digunakan untuk semua jenis serangan
42
lainnya. Penggunaan untuk anak kecil harus dibatasi karena obat ini bersifat
hepatotoksik.
Valproat telah diakui efektivitasnya sebagai obat untuk bangkitan lena, tetapi
bukan merupakan obat terpilih karena efek toksiknya terhadap hati. Valproat
juga efektif untuk bangkitan mioklonik dan bangkitan tonik-klonik.
Kontraindikasi: Penyakit hati aktif, riwayat disfungsi hati berat dalam
keluarga, porfiria.
Efek samping:
Toksisitas valproat berupa gangguan saluran cerna, sistem saraf, hati, ruam
kulit, dan alopesia. Gangguan saluran cerna berupa anoreksia, mual dan muntah
terjadi pada 16% kasus. Efek terhadap susunan saraf pusat berupa kantuk,
ataksia, dan tremor, menghilang dengan penurunan dosis. Gangguan pada hati
berupa peninggian aktivitas enzim-enzim hati, dan sesekali terjadi nekrosis hati
yang sering berakibat fatal. Kira-kira 60 kasus kematian telah dilaporkan akibat
penggunaan obat ini. Dari suatu uji klinik terkendali, dosis valproat 1200 mg
sehari, hanya menyebabkan kantuk, ataksia, dan mual selintas. Terlalu dini
untuk mengatakan bahwa obat ini aman dipakai karena penggunaan masih
terbatas.
Efek samping yang kronik dapat berupa mengantuk, perubahan tingkah laku,
tremor, hiperamonemia, bertambahnya berat badan, rambut rontok, penyakit
perdarahan, gangguan lambung (formulasi bersalut non-enterik).
Efek hematologis.
Aplasia sumsum tulang yang berat tetapi jarang juga telah dilaorkan pada
penggunaan etosuksimid, benzodiazepin dan valproat. Eosinofilia dengan ruam
kulit dan demam dapat juga terjadi sebagai bagian reaksi hipersensitivitas
terhadap banyak obat antikonvulsi. Reaksi imunologis yang jarang terjadi
termasuk purpura trombositopenia autoimun akibat terapi valproat.
Efek hepatologi
43
Efek samping yang jarang tapi berbahaya dari valproat adalah gagal hati akut
yang seringkali fatal. Mekanisme reaksinya yang tidak biasa ini belum jelas.
Efek samping ini terjadi terutama pada anak yang biasanya menerima terapi
multipel, dalam 6 bulan pertama pengobatan dan mungkin berhubungan dengan
telah adanya kelainan dasar metabolisme. Efek samping ini harus dibedakan
dengan kenaikan enzim hati yang sepintas dan ringan yang sering terjadi akibat
valproat (pada kira-kira 30% kasus) yang secara klinis tidak bermakna.
Efek idiosinkratik akut berupa pankreatitis hemoragik fatal pernah dilaporkan.
Karena berbahai efek ini, dokter wajib memonitor secara klinis semua pasien
yang menerima valproat dan mempertimbangkan dengan seksama kebutuhan
dari obat tersebut pada pasien dengan katagori berisiko tinggi (tetapi
pemeriksaan biokimia rutin pada pasien yang asimpthomatik tidak begitu
bermanfaat).
Efek neurologis.
Valproat dapat menyebabkan mengantuk hebat dan kelambanan mental,
terutama tetapi tidak selalu hanya bila digunakan bersama-sama dengan
fenobarbital. Mekanisme hal ini tidak jelas, tetapi kemungkinan berhubungan
dengan hiperamonemia akibat valproat. Tremor dapat terjadi pada pasien yang
mendapat terapi valproat kronik.
Efek metabolik dan endokrin.
Valproat secara konsisten menyebabkan hiperamonemia sebagai fenomena yang
berkaitan dengan dosis karena menghambat siklus enzim urea. Derajat kenaikan
amonia serum bervariasi cukup besar dan mungkin bergantung pada faktor
genetik. Makna klinis hiperamonemia yang diindusi oleh obat tidak seluruhnya
jelas, tetapi mungkin karena kurang mendapat perhatian. Keadaan ini dapat
berupa letargi, hilang nafsu makan, nausea atau muntah dan terapi valproat
harus dihentikan jika timbul gejala-gejala tersebut.
Hiperglisinemia, hiperaminoasiduria dan defisiensi karnitin relatif telah juga
dilaporkan, mungkin mempunyai makna klinis yang kecil dan disebabkan
44
karena gangguan metabolisme seluler. Valproat merupakan asam lemak rantai
pendek dan mempunyai banyak efek metabolik yang potensial karena hambatan
enzim mitokondria, yang banyak belum diteliti secara formal. Valproat kadang-
kadang menimbulkan amenorea dan menstruasi tidak teratur.
Efek pada rambut dan jaringan ikat.
Valproat dapat mempunyai beberapa efek yang aneh terhadap pertumbuhan
rambut. Penipisan atau pengeritingan rambut bukan tidak biasa dan bisa berat,
kadang-kadang menimbulkan botak total. Perubahan ini kadang-kadang
sementara, tetapi kadang-kadang perlu penghentian terapi. Perubahan rambut
biasanya terjadi dalam 6 bulan setelah mulai pengobatan.
Interaksi:
Dengan Obat Lain :
Analgesi : asetosal menambah khasiat
Resin penukar ion : efek koagulan dari nikumalon dan warfarin mungkin
meningkat
Antidepresan : antagonisme terhadap efek antikonvulsan (ambang kejang
menurun)
Antiepileptika lain : pemberian bersama dua atau lebih obat antiepileptika dapat
meningkatkan toksisitas tanpa meningkatkan efek antiepileptika; disamping itu,
interaksi antar dua antiepileptika dapat menyulitkan pemantauan pongobatan;
Interaksi meliputi peningkatan khasiat, peningkatan sedasi dan penurunan kadar
plasma;
Anti malaria : klorokuin dan meflokuin melawan efek antikonvulsan
Antipsikotik : antagonisme terhadap efek anti konvulsan (ambang kejang
menurun)
Obat-obat anti ulkus : Simetidin menghambat metabolisme (kadar plasma
valproat meningkat)
45
d. Apakah ada hubungan antar gejala dari usia 9 bulan hingga 2 tahun? Kala
ada jelaskan!(Apakah ada hubungan pada meningitis di usia 9 bulan
dengan kejang selanjutnya?)
Jawab:
Meningitis menyebabkan timbulnya lesi pada daerah intrakranial, apakah lesi
tersebut bersifat fokal atau pun secara keseluruhan. Dimana lesi tersebut
menyebabkan timbulnya gangguan pada sekelompok kecil sel neuron, atau
sekelompok besar sel neuron atau keseluruhna neuron. Hal ini menyebabkan
terganggunga fungsi neurotransmitter sehingga terjadi hiperaktvitas atau
berlebihan muatan listrik sehingga ecxitatory > inhibitory sehingga memacu
timbulnya kejang paroksismal (epilepsi)
e. Mengapa kejang terjadi kembali 1 tahun setelah penghentian obat?
Jawab:
Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang
absens, kejang mioklonik, dan kejang tonik-klonik, dan kurang efektif terhadap
epilepsi fokal . Asam valproat dapat meningkatkan GABA di sinaps dengan
menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA dengan cara
mengurangi GABA transaminase. Asam valproat juga berpotensi terhadap
respon GABA ( inhibitor, antikonvulsan alami di otak ) post sinaptik yang
langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi kanal kalium. GABA
berikatan dengan reseptornya di Sinaps akan mengaktivasi kanal clorida
sehingga canal clorida membuka akibatnya clorida yang ada di luar sel akan
masuk ke dalam sel, ketika clorida masuk ke dlam sel. Membran potensial sel
menjadi lebih negatif, sehingga sel yang awalnya depolarisasi dengan ambang –
59 mv akan menjadi lebih negatif -70 mw, dan kembali ke potensial normal dan
tidak terjadi depolarisasi. Jadi selama 6 bulan obat dikonsumsi, konsentrasi
GABA meningkat untuk mempengaruhi kanal kalium. Setelah obat dihentikan
konsentrasi GABA berangsur-angsur mulai berkurang untuk menghambat
terjadinya kejang. Tetapi penumpukan acetylcholine tetap terjadi.
46
4. Pemeriksaan neurologis:
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan kedua
kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan. Saat penderita diminta
mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan disertai tremor lidah.
Pergerakan lengan dan tungkai kanan Nampak terbatas dan kekuatannya lebih
lemah disbanding sebelah kiri. Lengan dan tungkai kanan dapat sedikit
diangkat, namun sama sekali tidak dapat melawan tahanan dari pemeriksa.
Lengan dan tungkai kiri dapat melawan tahanan kuat sewajar usianya. Tonus
otot dan refleks fisiologis lengan dan tungkai kanan meningkat, serta ditemukan
refleks Babinski di kaki sebelah kanan.
a. Apa interpretasi dan mekanisme abnormal?
Jawab:
Mulut penderita mengot ke sebelah kiri. Lipatan dahi masih nampak dan
kedua kelopak mata dapat menutup penuh saat dipejamkan:
Keadaan di atas merupakan penanda adanya lesi pada nervus fasialis. Jika
terdapat lesi pada satu sisi nervus fasialis, mulut akan miring. Sebagian besar
daerah gigi-geligi diperlihatkan pada sisi saraf yang masih utuh karena mulut
tertarik ke sisi yang sehat.
Bagian nucleus facialis yang mengendalikan otot-otot wajah bagian atas
menerima serabut kortikonuklearis dari kedua hemispherium cerebri sehingga
lesi yang mengenai upper motot neuron hanya menyebabkan paralisis otot-otot
wajah bagian bawah. Akan tetapi, pasien dengan lesi pada nucleus motorius n.
facialis atau nervus facialisnya saja – yaitu lesi lower motor neuron – semua
otot wajah pada sisi lesi akan lumpuh. Kelopak mata bawah dan sudut mulut
akan turun. Air mata akan mengalir melalui kelopak mata bawah, dan saliva
keluar dari sudut mulut. Pasien tidak dapat menutup matanya dan tidak dapat
memperlihatkan gigi geliginya pada sisi lesi.
47
Gambar Perbedaan lesi perifer dan sentral nervus fasialis
Gambar Perbedaan terjadinya lesi perifer dan sentral nervus fasialis
Saat penderita diminta mengeluarkan lidah terjadi deviasi ke kanan dan
tremor lidah:
Terjadi kelumpuhan/ parese pada N. XII (hipoglossal)
b. Cara pemeriksaan refleks fisiologis
Jawab:
1. Refleks dinding abdomen
Cara :48
Menggores dinding abdomen dengan 4 goresan yang
membentuk segi empat (belah ketupat) dengan titik-titik sudut
di bawah xifoid, di atas simpisis dan kanan kiri umbilikus.
Hasil :
Umbilikus akan bergerak pada tiap goresan.
Hasil negatif pada :
Bayi kurang 1 tahun
Poliomielitis
Lesi sentral atau piramidal
2. Refleks tendon biceps
Cara:
Lengan anak setengah difleksikan pada sendi siku. Ketuklah
pada tendo otot biseps yang akan menyebabkan fleksi lengan
pada siku dan tampak kontraksi otot biseps.
Hasil:
Fleksi sendi siku
3. Refleks triseps
Cara:
49
Lengan bawah difleksikan pada sendi siku dan sedikit
dipronasikan. Ketuklah pada tendo otot triseps 5 cm di atas siku
akan menyebabkan ekstensi lengan dan kontraksi otot triseps.
4. Refleks Patela/ Knee Pess Reflex (KPR)
Cara:
Anak duduk pada tempat yang agak tinggi sehingga kedua
tungkai akan tergantung bebas atau orang coba berbaring
terlentang dengan fleksi tungkai pada sendi lutut. Ketuklah
tendo patella dengan Hammer sehingga terjadi ekstensi tungkai
disertai kontraksi otot kuadrisips.
Hasil:
Ekstensi sendi lutut
Refleks akan meningkat pada :
Lesi upper motor neuron
Hipertiroidism
Hipokalsemia
Tumor batang otak.
Refleks menurun pada :
Lesi lower motor neuron
Sindroma Down
Malnutrisi
5. Refleks Achilles/Achilles Pess Reflex (APR)
Cara :
Tungkai difleksikan pada sendi lutut dan kaki didorsofleksikan.
Ketuklah pada tendo Achilles, sehingga terjadi plantar fleksi
dari kaki dan kontraksi otot gastronemius.
6. Refleks Periosteum Radialis
Cara:
50
Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku
dan tangan sedikit dipronasikan. Ketuklah periosteum pada
ujung distal os radii. Respons berupa fleksi lengan bawah pada
siku dan supinasi tangan.
7. Refleks Periosteum Ulnaris
Cara:
Lengan bawah orang coba setengah difleksikan pada sendi siku
dan tangan antara pronasi dan supinasi. Ketuklah pada periost
prosessus stiloideus. Respons berupa pronasi tangan
k. Apa DD dari kasus ini?
Jawab:
l. Bagaimana cara menegakkan diagnosa dari kasus ini dan apa WD nya?
Jawab:
Epilepsi
Anamnesis:
Riwayat penyakit sekarang
Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini? Usia
serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang. Serangan
kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder gangguan pada
masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi kongenital. Serangan kejang
umum cenderung muncul pada usia anak-anak dan remaja. Pada usia sekitar 70
tahunan muncul serangan kejang biasanya ada kemungkinan mempunyai kelainan
patologis di otak seperti stroke atau tumor otak.
Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak pada
waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala peringatan yang
dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul disebut dengan “aura”
dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum serangan kejang parsial sederhana
berarti ada fokus di otak. Sebagian “ aura” dapat membantu dimana letak lokasi
serangan kejang di otak. Pasien dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan
adanya “déjà vu” dan atau ada sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen 51
yang mungkin merupakan epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan
sementara mungkin dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada
serangan kejang umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan
terdapat gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien
sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang patologis.
Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien tidak
dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan dengan
saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah ada deviasi
mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang terdapat gejala
aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah pasien dapat berbicara
selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata berkedip berlebihan pada
serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan “automatism” pada satu sisi ?
Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit?
Apakah pasien mengompol ? Serangan kejang yang berasal dari lobus frontalis
mungkin dapat menyebabkan kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi.
Serangan kejang yang berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan
mengecapkan bibir dan atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus
oksipitalis dapat menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan
gangguan penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan kejang
parsial kompleks.
Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post ictal
period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik pasien lalu
tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun terhadap sekelilingnya
biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial kompleks. Hemiparese atau
hemiplegi sesudah serangan kejang disebut “Todd’s Paralysis“ yang
menggambarkan adanya fokus patologis di otak. Afasia dengan tidak disertai
gangguan kesadaran menggambarkan gangguan berbahasa di hemisfer dominan.
Pada “Absens“ khas tidak ada gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang tonik
klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga dan pagi hari.
52
Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu, sedangkan serangan
kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu malam hari.
Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum yang
tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress emosional,
panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug abuse”, “ reading &
eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus ini dalam konseling dengan
pasien maupun keluarganya dapat membantu dalam mencegah serangan kejang.
Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu untuk
mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat obat anti
kejang
Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan ini
mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat anti
kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang sedang
digunakan spesifik bermanfaat ?
Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan menanyakan
tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan setiap jenis serangan
kejang secara lengkap.
Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan kejang?
Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka ditubuh akibat
serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak ada cukup waktu
untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh akibat serangan kejang
atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini informasi tersebut dapat
dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi bahaya terjadinya luka.
Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat dapat
mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang mungkin
disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien, ketidakpatuhan minum obat,
ada perubahan minum obat dan penyakit lain yang menyertai.
Riwayat penyakit dahulu.
• Apakah pasien lahir normal dengan kehamilan genap bulan maupun proses
persalinannya?
• Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory distress”?
53
• Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?
• Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi sesudah serangan
kejang demam sederhana sekitar 2 % dan serangan kejang demam kompleks 13
%.
• Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti meningitis, ensefalitis?
atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis, pneumonia yang disertai serangan
kejang. Dibeberapa negara ada yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
• Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala, perdarahan intra
serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
• Apakah ada riwayat tumor otak?
• Apakah ada riwayat stroke?. 1
Riwayat sosial.
Apa latar belakang pendidikan pasien? Tingkat pendidikan pasien epilepsi
mungkin dapat menggambarkan bagaimana sebaiknya pasien tersebut dikelola
dengan baik. Dan juga dapat membantu mengetahui tingkat dukungan masyarakat
terhadap pasien dan bagaimana potensi pendidikan kepada pasien tentang cara
menghadapi penyakit yang dialaminya itu.
Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya? Pasien epilepsi yang seragan
kejangnya terkendali dengan baik dapat hidup secara normal dan produktif.
Kebanyakan pasien dapat bekerja paruh waktu atau penuh waktu. Tetapi bila
serangan kejangnya tidak terkendali dengan baik untuk memperoleh dan
menjalankan pekerjaan adalah merupakan suatu tantangan tersendiri. Pasien
sebaiknya dianjurkan memilih bekerja dikantoran, sebagai kasir atau tugas - tugas
yang tidak begitu berisiko, tetapi bagi pasien yang bekerja di bagian konstruksi,
mekanik dan pekerjaan yang mengandung risiko tinggi diperlukan penyuluhan
yang jelas untuk memodifikasikan pekerjaan itu agar supaya tidak membahayakan
dirinya.
Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor? Pasien dengan epilepsi yang
serangan kejangnya tidak terkontrol serta ada gangguan kesadaran sebaiknya tidak
mengemudikan kendaraan bermotor. Hal ini bisa membahayakan dirinya maupun
masyarakat lainnya. Dibeberapa negara mempunyai peraturan sendiri tentang
pasien epilepsi yang mengemudikan kendaraan bermotor.
54
Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral? Apakah pasien merencanakan
kehamilan pada waktu yang akan datang? Pasien epilepsi wanita sebaiknya diberi
penyuluhan terlebih dahulu tentang efek teratogenik obat-obat anti epilepsi,
demikian juga beberapa obat anti epilepsi dapat menurun efeknya bila pasien juga
menggunakan kontrasepsi oral seperti fenitoin, karbamasepin dan fenobarbital.
Dan bagi pasien yang sedang hamil diperlukan obat tambahan seperti asam folat
untuk mengurangi risiko terjadinya “ neural tube defects“ pada bayinya.
Apakah pasien peminum alkohol? Alkohol merupakan faktor risiko terjadinya
serangan kejang umum, sebaiknya tidak dianjurkan minum-minuman alkohol.
Selain berinteraksi dengan obat-obat anti epilepsi tetapi dapat juga menimbulkan
ekstraserbasi serangan kejang khususnya sesudah minum alkohol.
Riwayat keluarga.
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan apakah ada sindrom
epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang ada kaitannya dengan faktor
genetik dimana manifestasinya adalah serangan kejang. Sebagai contoh “Juvenile
myoclonic epilepsy (JME)“,“ familial neonatal convulsion“,“ benign rolandic
epilepsy“ dan sindrom serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam
plus.
Riwayat allergi
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi, perlu
dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau efek reaksi
hipersensitif. Bila terdapat semacam ”rash“ perlu dibedakan apakah ini terbatas
karena efek fotosensitif yang disebabkan eksposur dari sinar matahari atau karena
efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas?
Riwayat pengobatan.
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan antiepilepsi, perlu ditanyakan
bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali diminum sehari dan berapa lama
sudah diminum selama ini, berapa dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.1,2
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik Umum:
Pemeriksaan fisik umum pada dasarnya adalah mengamati adanya tanda-tanda dari
gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga
55
atau sinus, gangguan kongenital, kecanduan alkohol, atau obat terlarang, kelainan
pada kulit (neurofakomatosis), kanker, dan defisit neurologik fokal atau difus.
Pemeriksaan Neurologik :
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan neurologik sangat bergantung pada interval
antara saat dilakukanya pemeriksaan dengan bangkitan terakhir.
* Jika dilakukan pada beberapa menit atau jam setelah bangkitan maka akan tampak
tanda pasca-iktal terutama tanda fokal seperti Todd’s paresis, transient aphasic
symptoms, yang tidak jarang dapat menjadi petunjuk lokalisasi.
* Jika dilakukan pada beberapa waktu setelah bangkitan terakhir berlalu, sasaran
utama adalah untuk menentukan apakah ada tanda-tanda disfungsi sistem saraf
permanen (epilepsi simptomatik) dan walaupun jarang apakah ada tanda-tanda
peningkatan tekanan intrakranial.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Electro-encephalography (EEG).
Rekaman EEG merupakan pemeriksan yang paling berguna pada dugaan suatu
bangkitan. Pemeriksaan EEG akan membantu menunjang diagnosis dan membantu
penentuan jenis bangkitan maupun sindrom epilepsi. Pada keadaan tertentu dapat
membantu menentukan prognosis dan penentuan perlu/tidaknya pengobatan dengan
AED.
Pemeriksaan pencitraan Otak (brain imaging)
Pemeriksaan CT Scan dan MRI meningkatkan kemampuan kita dalam mendeteksi lesi
epileptogenik di otak. Dengan MRI beresolusi tinggi berbagai macam lesi patologik
dapat terdiagnosis secara non-invasif, misalnya mesial temporal sclerosis, glioma,
ganglioma, malformasi kavernosus, DNET (dysembryoplastic neuroepihelial tumor).
Ditemukannya lesi-lesi ini menambah pilihan terapi pada epilepsi yang refrakter
terhadap OAE. Funtional brain imaging seperti Positron Emission Tomography
(PET), Single Photon Emission Comuted Tomography (SPECT) dan Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) bermanfaat dalam menyediakan informasi tambahan
mengenai dampak perubahan metabolik dan perubahan aliran darah regional di otak
berkaitan dengan bangkitan.3
Pemeriksaan Laboratorium.
Pemeriksaan hematologik
56
Pemeriksaan ini mencakup hemoglobin, lekosit, hematokrit, trombosit, apusan darah
tepi, elektrolit (natrium, kalium, kalsium, magnesium). kadar gula, fungsi hati, ureum,
kreatinin). Pemeriksaan ini dilakukan pada awal pengobatan, beberapa bulan
kemudian, diulang bila timbul gejala klinik, dan rutin setiap tahun sekali.
Pemeriksaan kadar OAE
Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat target level setelah tercapai steady state,
pada saat kebangkitan terkontrol baik, tanpa gejala toksik. Pemeriksaan ini diulang
setiap tahun, untuk memonitor kepatuhan pasien. Pemeriksaan ini dilakukan pula bila
bangkitan timbul kembali, atau bila terdapat gejala toksisitas, bila akan dikombinasi
dengan obat lain, atau saat melepas kombinasi dengan obat lain, bila terdapat
perubahan fisiologi pada tubuh penyandang (kehamilan, luka bakar, gangguan fungsi
ginjal).
Sedangkan status epileptikus bisa kita bedakan dengan gejala klinis berupa kejang
yang serangan terus menerus lebih dari 5 hingga 10 menit atau serangan datang dan
pergi, masing-masing berlangsung kurang dari 5 menit, tetapi tanpa memperoleh
kesadaran di antara serangan.
WD nya epilepsi, hemiparesis dektra tipe sentral, parese n. VII dan n. XII, parese tipe
sntral e.c. status epilptikus.
m. Apa epidemiologi dan faktor resiko dari kasus ini?
Jawab: (sintesis)
n. Apa etiologi dari kasus ini?
Jawab: (sintesis)
o. Apa patofisiologi dari temuan fisik pada kasus ini?
Jawab: (Sintesis)
p. Apa manifestasi klinis dari kasus ini?
Jawab: (Sintesis)
q. Apa tata laksana dan pencegahan pada kasus ini?
Jawab: (Sintesis)57
r. Apa komplikasi pada kasus ini?
Jawab: (Sintesis)
s. Apa prognosis pada kasus ini?
Jawab:
Vitam : dubia et bonamFungsionam : dubia et malam
t. Apa KDU dari skenario ini?
Jawab:
Kejang demam: 4A
Meningitis: 3B
Kejang: 3B
Epilepsi: 3A
Status Epileptikus: 3B
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk
3A. Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan yang bukan gawat darurat. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri
dan tuntas. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan
penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah
58
keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan
rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga
mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
V. HIPOTESIS
Anak laki-laki usia 3 tahun mengalami epilepsi, hemiparesis dekstra tipe sentral, paresis
nervus VII dan nervus XII dextra tipe sentral, serta paresis tipe sentral et causa status
epileptikus
VI. LEARNING ISSUES
1. Anatomi dan fisiologis CNS pada anak
2. Meningitis
3. Bangkitan epileptik
4. Bangkitan non epileptik
VII. SINTESIS
1. Anatomi dan fisiologis CNS pada anak
Jawab:
Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf
59
A. Embriologi Pembentukan Sistem Persarafan
Jaringan saraf berkembang dari ectoderm embrional yang diinduksi untuk berkembang
oleh korda dorsalis di bawahnya. Pertama, terbentuk lempeng saraf; kemudian tepian
lempeng menebal, membentuk alur neural. Tepian alur saling mendekat untuk akhirnya
60
menyatu, membentuk tuba neural. Struktur ini membentuk seluruh susunan saraf pusat, yang
meliputi neuron, sel glia, sel ependim dan sel epitel pleksus koroidalis.
Diferensiasi dini suatu lempengan ectoderm yang menebar, neuralplate, berkembang di
sepanjang garis dorsomedial embryo dan ditransformasikan dengan invaginasi menjadi neural
tubi. Neuraltubi melepaskan diri dari ekstodem yang berada diatasnya dan menebal. Tumbuh
menjadi medulla spinalis dan ujung rostral neuraltubi. Yang akhirnya membentuk otak
membagi diri menjadi 3 buah vesikula retak yang primer :
1. Prosenchepalon atau otak depan,yang terletak paling cranial
2. Mesencephalon, atau otak tengah,yang berada di belakang prosencephalon dan
3. Rhmbencephalon atau otak belakang yang terletak paling caudal.
Dari procesepallon dibentuk telencepalon dan diencephalon. Telencepalon membentuk
cortex cerebri, Corpus striatum, Rhinencephalon, vertrikulus lateralis. Dan bagian anterior
dari ventrikulus tertius. Diencephalon menjadi epitalamus, thalamus, metatalamus,
hipotalamus, ciasma oftikum, tubercirenium, lobus posterior hipopyse. Korpus mammelaris
dan sebagian besar dari ventrikulus tertius. Dari mesencephalon berkembang lamina
kuadrigemina. Pedunculus cerebri dan aquaeduktus cerebri. Rombhen cepalon kemudian
menjadi mecenchepalon dan mielencephalon. Metenchephalon membentuk cerebellum, pons
dan bagian dari ventriculuskuartus. Myencepalon membentuk medulla oblongata dan bagian
dari ventriculuskuartus.
Sel-sel yang berada lateral dari alur neural membentuk krista neural. Sel-sel ini
mengalami migrasi jauh dan ikut membentuk susunan saraf tepi, dan beberapa struktur lain.
Turunan krista neural mencakup: (1) sel kromafin medulla adrenal; (2) melanosit kulit dan
jaringan subkutan; (3) odontoblas; (4) sel-sel pia mater dan arakhnoid; (5) neuron sensorik di
ganglia sensorik cranial dan spinal; (6) neuron pascaganglion di ganglia simpatis dan
parasimpatis; (7) sel Schwann di akson perifer; dan (8) sel satelit di ganglia perifer.
B. Anatomi dan Fisiologi Sel-sel Saraf
1. Sel saraf (neuron)
61
Sistem saraf terdiri atas sel-sel saraf yang disebut neuron. Neuron bergabung membentuk
suatu jaringan untuk menghantarkan impuls atau rangsangan. Satu sel saraf tersusun dari
badan sel, dendrite dan akson.
2. Badan Sel
Badan sel yang juga disebut perikarion, adalah bagian neuron yang mengandung inti dan
sitoplasma disekelilingnya, dan tidak mencakup cabang – cabang sel. Badan sel terutama
merupakan pusat tropic, meskipun struktur ini juga dapat menerima impuls. Perikarion
dikebanyakan neuron menerima sejumlah besar ujung saraf yang membawa stimulus
eksitatorik atau inhibitorik yang datang dari sel saraf lain.
Kebanyakan sel saraf memiliki inti eukromatik (terpulas pucat) bulat dan sangat besar,
dengan anak inti yang nyata. Sel saraf binukleus terlihat dalam ganglia simpatis dan sensorik.
Kromatin halus tersebar rata, yang menggambarkan tingginya aktivitas sistesis di sel – sel ini.
Badan sel mengandung suatu reticulum endoplasma kasar yang berkembang sangat baik,
berupa kelompok – kelompok siterna parallel. Didalam sitoplasma diantara sisterna terdapat 62
banyak poliribosom, yang member kesan bahwa sel – sel ini menyintesis protein stuktural
dan protein transport. Bila di pulas dengan pewarna yang cocok, reticulum endoplasma kasar
dan ribosom bebas tampak sebagai daerah bergranul basofilik di bawah mikroskop cahaya,
yang di sebut badan nasal. Jumlah badan nasal bervariasi sesuai jenis neuron dan keadaan
fungsionalnya. Badan nasal sangat banyak di jumpai dalam sel saraf besar seperti neuron
motorik. Kompleks golgi hanya terdapat pada bagian sel dan terdiri atas banyak deretan
parallel sisterna licin yang tersusun di sekitar tepi inti. Mitokondria juga banyak di jumpai
khususnya dalam akson terminal. Mitokondria tersebar dalam sitoplasma badan sel.
Neuro filamen (filamen intermediat berdiameter 10mm) banyak di jumpai dalam
perikarion dan cabang sel. Neuro filament bergabung sebagi akibat dari kerja bahan fiksasi
tertentu. Bila di impregnasi dengan perak, neurofilamen akan membentuk neurofibril, yang
tampak dengan mikroskop cahaya. Neuron juga mengandung microtubulus yang identik
dengan mikrotubulus yang terdapat banyak sel lain. Sel saraf kadang – kadang mengandung
iklusipigmen, seperti lipopoksin, yakni suatu residu meteri yang tak tercerna oleh lisosom.
3. Dendrit
Dendrit umumnya pendek dan bercabang-cabang mirip pohon. Dendrite menerima
banyak sinaps dan merupakan tempat penerimaan sinyal dan pemrosesan utama di neuron.
Kebanyakan sel saraf memiliki banyak dendrite, yang sangat memperluas daerah penerimaan
sel. Percabangan dendrite memungkinkan sebuah neuron untuk menerima dan mengintegrasi
prograsi sejumlah besar akson terminal dari sel saraf lain. Di perkiraan bahwa sejumlah
200000 akson terminal membentuk hubungan fungsional dengan dendrite sel furtinje
diserebelum. Jumlah tersebut mungkin lebih besar lagi di sel saraf lain. Neuron bipolar,
dengan hanya satu dendrite, tidak banyak dijumpai dan hanya terdapat pada tempat khusus.
Berbeda dari akson yang memiliki diameter tetap dari satu ujung ke ujung lain, dendrite
semakin mengecil setiap kali bercabang. Komposisi sitoplasma dibasis dendrite, dekat
dengan badan neuron mirip dengan komposisi sitoplasma perikarion namun tak mengandung
komplek golgi. Kebanyakan sinaps yang berkontak dengan neuron terdapat di spina (ujung-
ujung) dendrite, yang umumnya merupakan struktur berbentuk jamur (bagian kepala
membesar), dihubungkan dari batang dendrite oleh bagian leher yang lebih sempit) spinja ini
berfungsi penting dsn berjumlah banyak. Spina dendrite merupakan tempat pemrosesan
pertama bagi sinyal sinaptik yang tiba di kumpuylan protein yang melekat pada permukaan
63
sitosol dari membrane pascasinapstik, yang tampak dengan mikrosop electron dan disebut
membrane pascasinaptik jauh sebelum fungsinya diketahui. Spina dendrite ikut serta dalam
perubahan plastis yang mendasari proses adaptasi, belajar, dan mengingat. Spina-spina
tersebut merupakan struktur dinamis dengan plastisitas morfologi berdasarkan protein aktin
sitoskeleton, yang berhubungan dengan perkembanagn sinaps dan adaptasi fungsionalnya
pada orang dewasa.
4. Akson
Kebanyakan neuron hanya memiliki satu akson. ada sejumlah kecil yang tak mempunyai
akson sama sekali. Sebuah akson merupakan cabang silindris denagn panjang dan diameter
yang bervariasi, sesuai jenis neuronya. Meskipun ada neuron dengan akson pendek akson
umumnya berukuran panjang. Misalnya akson sel motorik dimedula spinalis yang
mempersarafi otot kaki harus memiliki panjang sampai 100 cm. semua akson berasal dari
daerah berbentuk piramida pendek, yaitu muara akson, yang umumnya muncil dari
perikarion. Membrane plasma di akson disebut aksolemma isinya dikenal sebagai akso
plasma.
Pada neuron yang membentuk akson yang bermielin, bagian akson diantara muara
akson dan titik awal mielinisasi disebut segmen inisial. Segmen ini merupakan tempat
berkumpulnya berbagai stimulus yang merangsang dan menghambat pada neuron, yang
dijumlahkan secara aljabar, dan menghasilkan keputusan untuk meneruskan atau tidak
meneruskan suatu potensial aksi, atau impuls saraf. Diketahui beberapa jenis kanal ion
terdapat pada inisial dan kanal tersebut penting untuk mengadakan perubahan potensial listrik
yang membentuk potensial aksi. Berbeda dengan dendrite, akson memiliki diameter yang
tetap dan tidak bercabang banyak. Kadang-kadang segera setelah keluar dari badan sel, akson
menghasilkan sebuah cabang yang kembali kedaerah sel saraf. Semua cabang akson dikenal
sebagai cabang kolateral. Sitoplasma akson mengandung mitokondria, mikrotubulus,
neurofilamen dan sejumlah sisterna reticulum endoplasma halus. Tidak adanya poliribosum
dan reticulum endoplasma kasar memperjelas kerergantungan akson pada perikardion untuk
mempertahankan diri. Jika akson di potong, bagian perifernya akan berdegenerasi dan mati.
Terdapat lalu lintas dua arah yang sibuk dari molekul besar dan kecil di sepanjang akson.
64
Makromolekul dan organel yang disentesis di dalam badan sel akan diangkut secara
kontinu oleh suatu aliran anterograd di sepanjang akson kebagian terminalnya. Aliran
anterograd berlangsung dengan 3 kecepatan yang berbeda. Aliran dengan kecepatan sedang
mengangkut mitokondria dan aliran cepat mengangkut zat yang ditampung dalam vesikel
yang diperlukan di akson terminal selama transmisi saraf berlangsung.
Bersamaan dengan aliran anterograd, aliran retrograd dalam arah berlawanan
mengangkut sejumlah molekul ke badan sel, termasuk zat yang masuk melalui endositosis.
Proses ini digunakan untuk mempelajari jalur-jalur neuron : peroksidase atau zat penanda
yang lain disuntikkan ke daerah dengan akson terminal, dan penyebarannya diikuti dalam
selang waktu tertentu.
Protein motorik yang terkait dengan aliran akson meliputi dinein, suatu protein dengan
aktivitas ATPase yang terdapat dalam mikrotubulus dan kinesin, yakni suatu mikrotubulus
yang beraktivasi ATPase yang mempercepat aliran anterograd dalam akson ketika melekat
pada vesikel.
1. Sistem Saraf Pusat
a. Otak
Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
1) Cerebrum (Otak Besar)
65
Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama
Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang
membedakan manusia dengan binatang. Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan
berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.
Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini.
Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus. Bagian lobus
yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus.
Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus
Occipital dan Lobus Temporal.
a) Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus
ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi,
perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol
perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum.
b) Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti
tekanan, sentuhan dan rasa sakit.
c) Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran,
pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara.
d) Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual
yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap
oleh retina mata.
2) Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung
leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya:
mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan
tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan serangkaian gerakan otomatis yang
66
dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan
mengunci pintu dan sebagainya.
Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan
koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak
mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju.
3) Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian
dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak
ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu
tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight
or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang
otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial”
sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika
orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda.
Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
a) Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari
batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam
hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan
tubuh dan pendengaran.
b) Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju
bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol fungsi otomatis otak,
seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan.
c) Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan
formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4) Limbic System (Sistem Limbik)
Sistem Limbik terletak pada bagian tengah otak membungkus batang otak ibarat kerah
baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini sama dimiliki juga
67
oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara
lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik. Sistem limbik
berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi hormon, memelihara homeostasis, rasa
haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka
panjang.
Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya
adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak.
Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera. Dialah
yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran.
Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif,
yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya.
LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia,
tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran.
5) Medulla Spinalis
Medulla spinalis merupakan bagian dari susunan saraf pusat yang berbentuk silinder
memanjang dan terletak seluruhnya di dalam canalis verterbalis, dikeliling oleh tiga lapis
selaput pembungkus yang di sebut meninges. Apalagi lapisan-lapisan, struktur-struktur dan
ruangan-rungan yang mengeliling medulla spinalis itu disebutkan dari luar ke dalam secara
berturut-turut, maka terdapatlah :
a) Dinding canalis verterbralis (terdiri atas vertebrae dan ligmenta)
b) Lapisan jaringan lemak (ekstradural) yang mengandung anyaman pembuluh-pembuluh
darah vena
c) Dura mater
d) Arachnoidea
e) Ruang subrachnoidal (cavitas subarachnoidealis), yang antara lain berisi liquor
cerebrospinalis
f) Pia mater, yang kaya dengan pembuluh-pembuluh darah dan yang langsung membungkus
permukaan sebelah luar medulla spinalis.
68
Lapisan meninges terdiri atas pachymeninx (dura meter) dan leptomeninx (arachnoidea
dan pia meter). Lapisan arachnoidea menempel langsung pada permukaan sebelah dalam dura
meter, sehingga di antara kedua lapisan ini dalam keadaan normal tidak dijumpai suatu
ruangan. Ruangan subarachoidal selain mengelilingi medulla spinalis, juga mengelilingi
radices dan ganglia. Di dalam cavitas subarachoidealis selain liquor cerebrospinalis, juga
dapat dijumpai septum subarachnoideale, ligmentum denticulatum dan pembuluh-pembuluh
darah. Septum subarachoideale merupakan perluasan lapisan pia meter yang terbentang
antara sulcus medianus dorsalis medulla spinalis dan permukaan sebelah dalam aracnoidea.
Ligamentum denticulatum juga dapat dianggap sebagi perluasan pia meter yang terbentang
antara permukaan lateral medulla spinalis dan kearah lateral melekat pada permukaan sebelah
dalam arachoidea dengan perantara titik-titik perlekatan yang terletak di antara pangkal-
pangkal radices n. Spinalis yang berdekatan.
Pada tubuh dewasa, panjang medulla spinalis adalah sekitar 43 sentimeter. Pada masa
kehidupan intrauterina usia 3 bulan, panjang medulla spinalis sama dengan panjang canalis
vertebralis, sedang dalam masa-masa berikutnya terjadi suatu perbedaan kecepatan
pertumbuhan memnjang, canalis vertebralis tumbuh lebih cepat dari pada medulla spinalis,
sehingga ujung caudal medulla spinalis berangsur-angsur terletak pada tingkat-tingkat yang
lebih tinggi. Pada masa kehidupan intrauterina usia 6 bulan, ujung caudal corpus vertebrae
lumbalis III; pada saat lahir ujung tersebut sudah terletak setinggi tepi caudal corpus
vertebrae lumbalis II. Pada usia dewasa, ujung caudal medulla spinalis biasanya terletak
setinggi tepi cranial corpus vertebrae lumbinalis I dan II. Posisi ujung caudal medulla spinalis
ini dapat menunjukkan variasi satu corpus vertebrae ke arah cranial atau caudal.
Perbedaan panjang antara medulla spinalis dan canalis vertebrae ini mempunyai makna
dalam dua hal, sebagai:
(1) Pembentukan cauda equeina. Pada tinggkat manapun sekmen-sekmen medulla spinalis
terletak radices nervispinalis selalu akan kluar dari canalis vertebralis melalui vronamina
intervertebralia yang sesuai didaerah servikal bagian kranial redices tersebut berjalan keluar
secara hampir horisontal, akan tetapi makin kearah tingkat-tingkat yang lebih caudal, radices
nervi lumbales bagian caudal dan radices nervi sacralis praktis berjalan secara vertikal kearah
caudal untuk beberapa saat sebelum mereka dapat mencapai foreminal intervertebralia yang
sesuai, yang terletak beberapa sekmen di sebelah caudal tempat radices tersebut keluar dari
69
permukaan medulla spinalis. Oleh karena itu caudal equena merupakan struktur yang terdiri
atas radices nervi lumbalis bagian caudal dan radices nervi sacralis disebelah caudal conus
medularis. Conus medularis merupakan bagian paling caudal medulla spinalis yang
berbentuk krucut dan terutama terdiri dari atas segmen-segmen sacral medulla spinalis.
(2) Punksi limbal. Kearah caudal cavitas subarachnoidealis akan berakhir setinggi segmen
sacral II atau III columna vertebralis jadi pada orang dewasa setinggi antara tepi caudal
corvus vertebrae lumbalis I dan corpus vertebrae sacralis II atau III tidak lagi terdapat
medulla spinlis, akan tetapi bhanya terdapat caudal equina yang terapung-apung di dalam
liquor cerebrospinalis di dalam suatu ruangan subrachnoidal yang luas. Dari daerah inilah
liquor cerebrospinalis itu dapat diambil melalui sesuatu tindakan yang disebut punksi lumbal
untuk kepentingkan diagnostik atau pengobatan. Pada tindakan ini jarum punksi biasanya
ditusukkan ke dalam cavitas subrachnoidealis menembus ligamentum flavum yang
terbentang antara vertebrae lumbales III dan IV (atau vertebrae lumbales IV dan V). Dalam
tindakan ini caudal equina biasanya tidak mengalami cedera, oleh karena ia terapung-apung
secara agak bebas didalam eliquor serebrospinalis, dan ketika jarum punksi mencapai
ruangan subara chnoidal tersebut, radices nervispinalis terdesak ke samping.
2. Meningitis
Jawab:
Meningitis merupakan peradangan dari meningen yang menyebabkan terjadinya
gejala perangsangan meningen seperti sakit kepala, kaku kuduk, fotofobia disertai
peningkatan jumlah leukosit pada liquor cerebrospinal (LCS). Berdasarkan durasi dari
gejalanya, meningitis dapat dibagi menjadi akut dan kronik. Meningitis akut memberikan
manifestasi klinis dalam rentang jam hingga beberapa hari, sedangkan meningitis kronik
memiliki onset dan durasi berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Pada banyak kasus,
gejala klinik meningitis saling tumpang tindih karena etiologinya sangat bervariasi.
Meningitis juga dapat dibagi berdasarkan etiologinya. Meningitis bakterial akut merujuk
kepada bakteri sebagai penyebabnya. Meningitis jenis ini memiliki onset gejala meningeal
dan pleositosis yang bersifat akut. Penyebabnya antara lain Streptococcus pneumoniae,
70
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae. Jamur dan parasit juga dapat menyebabkan
meningitis seperti Cryptococcus, Histoplasma, dan amoeba.
Meningitis aseptik merupakan sebutan umum yang menunjukkan respon selular nonpiogenik
yang disebabkan oleh agen etiologi yang berbeda-beda. Penderita biasanya menunjukkan
gejala meningeal akut, demam, pleositosis LCS yang didominasi oleh limfosit. Setelah
beberapa pemeriksaan laboratorium, didapatkan peyebab dari meningitis aseptik ini
kebanyakan berasal dari virus, di antaranya Enterovirus, Herpes Simplex Virus (HSV).
Pada referat ini akan dibahas mengenai meningitis bakterialis. Meningitis bakterialis
merupakan penyakit yang mengancam jiwa disebabkan oleh infeksi lapisan meningen oleh
bakteri. Insidensi meningitis bakterialis di Amerika Serikat sudah menurun sejak
diterapkannya penggunaan rutin vaksin Haemophilus influenzae tipe B (HIB). Umumnya
penderita berusia di bawah 5 tahun dan pada 70% kasus terjadi pada anak-anak usia 2 tahun.
FAKTOR PREDISPOSISI
Faktor predisposisinya antara lain: infeksi saluran pernapasan, otitis media, mastoiditis,
trauma kepala, hemoglobinopathy, infeksi HIV, keadaan defisiensi imun lainnya.
PATOFISIOLOGI MENINGITIS BAKTERIALIS
Pertama-tama bakteri berkolonisasi dan menyebabkan infeksi lokal pada inang. Kolonisasi
dapat terbentuk pada kulit, nasofaring, saluran pernapasan, saluran pencernaan, atau saluran
kemih dan genital. Dari tempat ini, bakteri akan menginvasi submukosa dengan menghindari
pertahanan inang (seperti barier fisik, imunitas lokal, fagosit/makrofag) dan mempermudah
akses menuju sistem syaraf pusat (SSP) dengan beberapa mekanisme:
Invasi ke dalam aliran darah (bakteremia) dan menyebabkan penyebaran secara
hematogen ke SSP, yang merupakan pola umum dari penyebaran bakteri. Penyebaran melalui
kontak langsung, misalnya melalui sinusitis, otitis media, malformasi kongenital, trauma,
inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial.
71
Sesampainya di aliran darah, bakteri akan berusaha menghindar dari pertahanan imun
( misalnya: antibodi, fagositosis neutrofil, sistem komplemen). Kemudian terjadi penyebaran
hematogen ke perifer dan organ yang letaknya jauh termasuk SSP.
Mekanisme patofisiologi spesifik mengenai penetrasi bakteri ke dalam SSP sampai sekarang
belum begitu jelas. Setelah tiba di SSP, bakteri dapat bertahan dari sistem imun inang karena
terbatasnya jumlah sistem imun pada SSP. Bakteri akan bereplikasi secara tidak terkendali
dan merangsang kaskade inflamasi meningen. Proses inflamasi ini melibatkan peran dari
sitokin yaitu tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin(IL)-1, chemokin (IL-8), dan
molekul proinflamasi lainnya sehingga terjadi pleositosis dan kerusakan neuronal.
Peningkatan konsentrasi TNF-α, IL-1, IL-6, dan IL-8 merupakan ciri khas meningitis
bakterial.
Paparan sel (endotel, leukosit, mikroglia, astrosit, makrophag) terhadap produk yang
dihasilkan bakteri selama replikasi dan kematian bakteri merangsang sintesis sitokin dan
mediator proinflamasi. Data-data terbaru memberi petunjuk bahwa proses ini dimulai oleh
ligasi komponen bakteri (seperti peptidoglikan, lipopolisakarida) untuk mengenali reseptor
(Toll-like receptor)
TNF-α merupakan glikoprotein yang diderivasi dari monosit-makrophag, limfosit, astrosit,
dan sel mikroglia. IL-1 yang dikenal sebagai pirogen endogen juga berperan dalam induksi
demam saat infeksi bakteri. Kedua mediator ini dapat terdeteksi setelah 30-45 menit inkulasi
endotosin intrasisternal.
Mediator sekunder seperti IL-6, IL-8, Nitric Oxide (NO), prostaglandin (PGE2) dan platelet
activation factor (PAF) diduga memperberat proses inflamasi. IL-6 menginduksi reaktan fase
akut sebagai respon dari infeksi bakteri. IL-8 membantu reaksi chemotaktik neutrofil. NO
merupakan molekul radikal bebas yang menyebabkan sitotoksisitas saat diproduksi dalam
jumlah banyak. PGE-2 akan meningkatkan permeabelitas blood-brain barrier (BBB). PAF
dianggap memicu pembentukan trombi dan aktivasi faktor pembekuan di intravaskular.
Pada akhirnya akan terjadi jejas pada endotel vaskular dan terjadi peningkatan permeabelitas
BBB sehingga terjadi perpindahan berbagai komponen darah ke dalam ruang subarachnoid.
Hal ini menyebabkan terjadinya edema vasogenik dan peningkatan protein LCS. Sebagai
72
respon terhadap molekul sitokin dan kemotaktik, neutrofil akan bermigrasi dari aliran darah
menuju ke BBB yang rusak sehingga terjadi gambaran pleositosis neutrofil yang khas untuk
meningitis bakterial.
Peningkatan viskositas LCS disebabkan karena influk komponen plasma ke dalam ruang
subarachnoid dan melambatnya aliran vena sehingga terjadi edema interstitial, produk-produk
degradasi bakteri, neutrofil, dan aktivitas selular lain yang menyebabkan edema sitotoksik.
Edema serebral tesebut sangat bermakna dalam menyebabkan tekanan tinggi intra kranial dan
pengurangan aliran darah otak/cerebral blood flow (CBF). Metabolisme anaerob terjadi dan
mengakibatkan peningkatan konsentrasi laktat dan hypoglycorrhachia. Hypoglycorrhachia
merupakan hasil dari menurunnya transpor glukosa ke LCS. Jika proses yang tidak terkendali
ini tidak ditangani dengan baik, dapat terjadi disfungsi neuronal sementara atau pun
permanen.
Tekanan tinggi intra kranial (TTIK) merupakan salah satu komplikasi penting dari meningitis
di mana keadaan ini merupakan gabungan dari edema interstitial (sekunder terhadap
obstruksi aliran LCS), edema sitotoksik (akibat pelepasan produk toksik bakteri dan neutrofil)
serta edema vasogenik (peningkatan permeabelitas BBB).
Edema serebral dapat menyebabkan terjadinya midline shift dengan adanya penekanan pada
tentorial dan foramen magnum. Pergeseran ini akan menimbulkan herniasi gyri
parahippocampus dan cerebellum. Secara klinis keadaan ini ditunjukkan oleh adanya
penurunan kesadaran dan reflek postural, palsy nervus kranial III dan VI. Jika tidak diobati
maka terjadi dekortikasi dan deserebrasi yang secara pesat berkembang menjadi henti napas
atau henti jantung.
FREKUENSI
Berdasarkan grafik dari Centers for Diseases Control and Prevention 2003, kasus meningitis
terbanyak pada usia 15-24 tahun (20,4%). Pada anak usia 1-4 tahun sebanyak 13,8%, usia
kurang dari 1 tahun sebanyak 11,9% .
Di Amerika Serikat, sebelum penggunaan Vaksin HIB secara luas, insidensi sekitar 20.000-
30.000 kasus/tahun. Sedangkan Neisseria meningitidis meningitis kurang lebih 4
73
kasus/100.000 anak usia 1-23 bulan. Rata-rata kasus Streptococcus pneumoniae meningitis
adalah 6,5/100.000 anak usia 1-23 bulan. Insidensi meningitis pada neonatus adalah 0,25-1
kasus/1000 kelahiran hidup. Pada kelahiran aterm, insidensinya adalah 0,15 kasus/1000
kelahiran aterm sedangkan pada kelahiran preterm adalah 2,5 kasus/1000 kelahiran preterm.
Kurang lebih 30% kasus sepsis neonatorum berhubungan dengan meningitis bakterial.
MORTALITAS-MORBIDITAS
Sebelum ditemukannya antimikroba, mortalitas akibat meningitis bakterial cukup
tinggi. Dengan adanya terapi antimikroba, mortalitas menurun tapi masih tetap dikhawatirkan
tinggi. 19-26% mortalitas diakibatkan karena meningitis oleh Sterptococcus pneumoniae, 3-
6% oleh Haemophilus influenzae, 3-13% oleh Neisseria meningitidis. Rata-rata mortalitas
paling tinggi pada tahun pertama kehidupan, menurun pada usia muda, dan kembali meninggi
pada usia tua.
RAS
Insidensi rata-rata lebih tinggi pada populasi Afro-Amerika dan Indian dibandingkan
pada populasi Kaukasia dan Hispanik.
JENIS KELAMIN
Bayi laki-laki memiliki insidensi lebih tinggi terkena meningitis oleh gram negatif dibanding
bayi perempuan. Tetapi bayi perempuan lebih rentan terhadap meningitis oleh Listeria
monocytogenes. Sedangkan insidensi meningitis oleh Streptococcus pneumoniae adalah sama
untuk bayi perempuan maupun laki-laki.
USIA
Kebanyakan penderita adalah anak dengan usia kurang dari 5 tahun. 70% kasus terjadi pada
anak dengan usia kurang dari 2 tahun.
74
GEJALA KLINIS
Gejala klinis meningitis bakterialis pada neonatus tidak spesifik meliputi gejala sebagai
berikut: sulit makan, lethargi, irritable, apnea, apatis, febris, hipotermia, konvulsi, ikterik,
ubun-ubun menonjol, pucat, shock, hipotoni, shrill cry, asidosis metabolik. Sedangkan gejala
klinis pada bayi dan anak-anak yang diketahui berhubungan dengan meningitis adalah kaku
kuduk, opisthotonus, ubun-ubun menonjol (bulging fontanelle), konvulsi, fotofobia,
cephalgia, penurunan kesadaran, irritable, lethargi, anoreksia, nausea, vomitus, koma, febris
umumnya selalu muncul tetapi pada anak dengan sakit yang berat dapat hipotermia.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan:
● Tanda disfungsi serebral seperti confusion, irritable, deliriun sampai koma, biasanya
disertai febris dan fotofobia.
● Tanda-tanda rangsang meningen didapatkan pada kurang lebih 50% penderita meningitis
bakterialis. Jika rangsang meningen tidak ada, kemungkinan meningitis belum dapat
disingkirkan. Perasat Brudzinski, Kernig ataupun kaku kuduk merupakan petunjuk yang
sangat membantu dalam menegakan diagnosis meningitis. Tetapi perasat ini negatif pada
anak yang sangat muda, debilitas, bayi malnutrisi.
● Palsy nervus kranialis, merupakan akibat TTIK atau adanya eksudat yang menyerang
syaraf.
● Gejala neurologis fokal yang disebabkan karena adanya iskemia sekunder terhadap
inflamasi vaskuler dan trombosis. Adanya gejala ini memberikan prognosis buruk terhadap
hospitalisasi dan timbulnya sekuelae jangka panjang.
● Bangkitan kejang umum atau fokal terjadi pada 30% penderita. Bangkitan yang
memanjang dan tidak terkendali khususnya bila ditemukan sebelum hari ke-4 hospitalisasi
merupakan faktor yang memberikan prognosis akan adanya sekuelae yang berat.
● Papil edema dan gejala TTIK dapat muncul seperti koma, peningkatan tekanan darah
disertai bradikardia dan palsy nervus III. Adanya papil edema memberikan alternatif
diagnosis yang mungkin seperti abses otak.
75
● 6% bayi dan anak-anak menunjukkan gejala DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
● Pada tahap akhir penyakit, beberapa penderita menunjukkan gejala SSP fokal dan sistemik
(seperti febris) yang memberikan petunjuk adanya transudasi cairan yang cukup banyak pada
ruang subdural. Insidensi efusi subdural tergantung pada etiologinya.
● Pemeriksaan sistemik yang dilakukan dapat memberikan petunjuk terhadap etiologi
meningitis:
› Makula dan petekiae yang cepat berkembang menjadi purpura dapat memberikan petunjuk
adanya meningococcemia tanpa atau disertai meningitis.
› Sinusitis atau otitis yang ditandai oleh rhinorrhea atau otorrhea menunjukkan adanya
kebocoran LCS yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus pneumoniae atau Haemophilus
influenzae dan meningitis yang berhubungan dengan fraktur basis cranii.
› Adanya murmur merupakan manifestasi dari endokarditis infektif sekunder terhadap
pertumbuhan bakteri di meningen.
ETIOLOGI
* Etiologi meningitis neonatal
Bakteri sering didapatkan dari flora vaginal ibu di mana flora usus gram negatif (Escherichia
coli) dan Streptococcus grup B adalah patogen predominan. Pada neonatus preterm yang
menerima berbagai terapi antimikroba, berbagai prosedur pembedahan sering didapatkan
Staphilococcus epidermidis dan Candida sp sebagai penyebab meningitis. Listeria
monocytogenes merupakan patogen yang jarang dijumpai tetapi sering menyebabkan
mortalitas.
Meningitis Streptococcus grup B dengan onset dini yang terjadi dalam 7 hari pertama
kehidupan sering dihubungkan dengan komplikasi obstetri sebelum atau saat persalinan.
Penyakit ini sering menyerang bayi preterm atau pun bayi dengan berat badan lahir rendah
(BBLR). Meningitis onset lanjut terjadi setelah 7 hari pertama kehidupan yang disebabkan
oleh patogen nosokomial atau patogen selama masa perinatal. Streptococcus grup B serotipe
3 adalah 90% penyebab meningitis onset lanjut.
76
Penggunaan alat bantu respirasi meningkatkan resiko meningitis oleh Serratia marcescens,
Pseudomonas aeruginosa dan Proteus mirabilis. Infeksi oleh Citrobacter diversus dan
Salmonella sp jarang terjadi tetapi memberikan mortalitas tinggi pada penderita yang juga
menderita abses otak.
* Etiologi meningitis pada bayi dan anak-anak
Pada anak-anak di atas 4 tahun, penyebab tersering adalah Streptococcus pneumoniae,
Neisseria meningitidis, Haemophilus influenzae tipe B (HIB). HIB pernah menjadi etiologi
tersering tetapi sudah tereradikasi pada negara-negara yang telah menggunakan vaksin
konjugasi secara rutin.
› Streptococcus pneumoniae meningitis
Patogen ini berbentuk seperti lancet, merupakan diplokokus gram positif dan
penyebab utama meningitis. Dari 84 serotipe, serotipe 1, 3, 6, 7, 14, 19, dan 23 adalah jenis
yang sering dihubungkan dengan dengan bakteremia dan meningitis. Anak pada berbagai usia
dapat terpapar tetapi insidensi dan tingkat keparahan penyakit paling tinggi pada bayi dan
lansia. Kurang lebih 50% penderita memiliki riwayat fokus infeksi di parameningen atau
pneumonia. Pada penderita meningitis rekuren perlu dipikirkan ada tidaknya riwayat trauma
kepala atau kelainan dural. S. pneumoniae sering menimbulkan meningitis pada penderita
sickle cell anemia, hemoglobinopathy, penderita asplenia anatomis atau fungsional. Patogen
ini membentuk kolonisasi pada saluran pernapasan individu sehat. Transmisi terjadi antar
manusia dengan kontak langsung. Masa inkubasi sekitar 1-7 hari dan prevalensi terbanyak
pada musim dingin. Gejala yang ditimbulkan di antaranya kehilangan pendengaran
sensorineural, hidrocephalus, dan sekuelae SSP lainnya.
Pengobatan antimikroba efektif mengeradikasi bakteri dari sekresi nasofaring dalam
24 jam. Pneumococcus membentuk resistensi yang bervariasi terhadap antimikroba.
Resistensi terhadap penicillin berkisar antara 10-60%. Hal ini disebabkan oleh perubahan
dalam enzim yang berperan dalam pertumbuhan dan perbaikan protein pengikat penicillin
pada bakteri sehingga beta-laktamase inhibitor menjadi tidak berguna. Pneumococcus yang
resisten terhadap penicillin juga menampakkan resistensi terhadap cotrimoxazole, tetrasiklin,
chloramphenicol, dan makrolide. Cephalosporin generasi 3 (cefotaxime, ceftriaxone) saat ini
77
merupakan pilihan karena mampu menghambat sejumlah bakteri yang telah resisten.
Beberapa golongan fluoroquinolon (levofloksasin, trovafloksasin) walaupun merupakan
kontraindikasi untuk anak-anak tetapi memiliki daya kerja tinggi melawan kebanyakan
pneumococcus dan memiliki penetrasi adekuat ke SSP.
› Neisseria meningitidis meningitis
Patogen ini merupakan bakteri gram negatif berbentuk seperti ginjal dan sering ditemukan
intraselular. Organisme ini dikelompokkan secara serologis berdasarkan kapsul polisakarida.
Serotipe B, C, Y, dan W-135 merupakan serotipe yang menyebabkan 15-25% kasus
meningitis pada anak. Saluran pernapasan atas sering dikolonisasi oleh patogen ini dan
ditularkan antar manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius dari sekresi saluran
pernapasan, dan sering pula dari karier asimptomatik. Masa inkubasi umumnya kurang dari 4
hari, dengan kisaran waktu 1-7 hari. Faktor resiko meliputi defisiensi komponen komplemen
terminal (C5-C9), infeksi virus, riwayat tinggal di daerah overcrowded, penyakit kronis,
penggunaan kortikosteroid, perokok aktif dan pasif.
Kasus umumnya terjadi pada bayi usia 6-12 bulan dan puncak insidensi tertinggi kedua
adalah saat adolesen. Manifestasi purpura atau petekiae sering dijumpai. LCS pada
meningococcal meningitis biasanya memberi gambaran normoseluler. Kematian umumnya
terjadi 24 jam setelah hospitalisasi pada penderita dengan prognosis buruk yang ditandai
dengan gejala hipotensi, shock, netropenia, petekiae dan purpura yang muncul kurang dari 12
jam, DIC, asidosis, adanya bakteri dalam leukosit pada sediaan apus darah tepi.
› Haemophilus influenzae tipe B (HIB) meningitis
HIB merupakan batang gram negatif pleomorfik yang bentuknya bervariasi dari kokobasiler
sampai bentuk panjang melengkung. HIB meningitis umumnya terjadi pada anak-anak yang
belum diimunisasi dengan vaksin HIB. 80-90% kasus terjadi pada anak-anak usia 1 bulan-3
tahun. Menjelang usia 3 tahun, banyak anak-anak yang belum pernah diimunisasi HIB telah
memperoleh antibodi secara alamiah terhadap kapsul poliribofosfat HIB yang cukup memberi
efek protektif. Penularan dari manusia ke manusia melalui kontak langsung, droplet infeksius
dari sekresi saluran pernapasan. Masa inkubasi kurang dari 10 hari.
78
Mortalitas kurang dari 5% umumnya kematian terjadi pada beberapa hari awal
penyakit. Beberapa data menunjukkan 30-35% patogen ini sudah resisten terhadap ampicillin
karena produksi beta-laktamase oleh bakteri. Sebanyak 30% kasus menyebabkan sekuelae
jangka panjang. Pemberian dini dexamethasone dapat menurunkan morbiditas dan sekuelae.
› Listeria monocytogenes meningitis
Bakteri ini menyebabkan meningitis pada neonatus dan anak-anak immunocompromised.
Patogen ini sering dihubungkan dengan konsumsi makanan yang terkontaminasi (susu dan
keju). Kebanyakan kasus disebabkan oleh serotipe Ia, Ib, IVb. Gejala pada penderita dengan
Listerial meningitis cenderung tersamar dan diagnosis sering terlambat ditegakkan. Pada
pemeriksaan laboratorium, patogen ini sering disalahartikan sebagai Streptococcus
hemolyticus atau diphteroid.
› Etiologi lain-lain
Staphylococcus epidermidis sering menimbulkan meningitis dan infeksi saluran LCS pada
penderita dengan hidrocephalus dan post prosedur bedah. Anak-anak yang
immunocompromised sering mendapatkan meningitis oleh spesies Pseudomonas, Serratia,
Proteus dan diphteroid.
DIFFERENTIAL DIAGNOSIS
Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan:
1. Abses otak
2. Tumor otak
3. Vaskulitis SSP
4. Lead encephalopathy
5. Meningitis fungal
6. Meningitis tuberculosis
7. Tuberculoma
79
8. Stroke
9. Encephalitis
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Meningitis adalah keadaan gawat darurat medik. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi
bakteri dari LCS dengan metode lumbal punksi. Adanya inflamasi pada meningen ditandai
oleh pleositosis, peningkatan kadar protein, dan penurunan kadar glukosa LCS. Tekanan LCS
(opening pressure) juga warna LCS (keruh, jernih, berdarah) perlu untuk dinilai. Jika LCS
tidak jernih maka pemberian terapi dilakukan secepatnya tanpa menunggu hasil pemeriksaan
LCS.
Jika penderita menunjukkan tanda herniasi otak maka perlu dipertimbangkan pemberian
terapi tanpa melakukan lumbal punksi. Lumbal punksi dapat dilakukan di lain waktu saat
tekanan intrakranial terkendali dan penderita tampak stabil secara klinis. CT scan atau MRI
sangat membantu penanganan penderita yang memerlukan pemantauan terhadap tekanan
intrakranial dan herniasi.
Pada spesimen LCS dilakukan pemeriksaan kimiawi (glukosa, protein), jumlah total leukosit
dan hitung jenis (differential count), pewarnaan gram dan kultur. Pada beberapa kasus, test
rapid bacterial antigen perlu dilakukan. Kadar glukosa LCS umumnya kurang dari 40 mg/dL
dengan kadar protein LCS lebih dari 100 mg/dL. Tetapi penilaian ini sangat bervariasi pada
penderita terutama pada meningitis dengan onset yang sangat dini. Pemeriksaan lumbal
punksi pada penderita dengan perjalanan penyakit yang fulminan dan memiliki respon imun
yang lemah kadang-kadang tidak menunjukkan perubahan kimiawi dan sitologis LCS.
Pada kasus penderita yang tidak diterapi terjadi peningkatan jumlah leukosit yang didominasi
oleh sel Polimorfonuklear (PMN) pada saat dilakukan pemeriksaan lumbal punksi.
Pewarnaan gram dari cytocentrifuged LCS dapat memperlihatkan morfologi bakteri.
Spesimen LCS harus langsung dikultur pada media agar darah atau agar cokelat. Kultur darah
juga perlu dilakukan. Apusan dari lesi petekiae juga dapat menunjukkan patogen penyebab
dengan pewarnaan gram. Pemeriksaan apus buffy coat juga dapat memperlihatkan gambaran
mikroorganisme intraseluler
80
AgentOpening
Pressure
WBC count
per mL
Glucose
(mg/dL)
Protein
(mg/dL)Microbiology
Bacterial
meningitis200-300
100-5000;
>80%
PMNs*
<40 >100
Specific pathogen
demonstrated in 60% of Gram
stains and 80% of cultures
Viral meningitis 90-20010-300;
lymphocytes
Normal,
reduced
in LCM
and
mumps
Normal
but may
be
slightly
elevated
Viral isolation, PCR† assays
Tuberculous
meningitis180-300
100-500;
lymphocytes
Reduced,
<40
Elevated,
>100
Acid-fast bacillus stain, culture,
PCR
Cryptococcal
meningitis180-300
10-200;
lymphocytesReduced 50-200
India ink, cryptococcal antigen,
culture
Aseptic meningitis 90-20010-300;
lymphocytesNormal
Normal
but may
be
slightly
elevated
Negative findings on workup
Normal values 80-2000-5;
lymphocytes50-75 15-40 Negative findings on workup
Tabel 1. Gambaran Liquor Cerebrospinal pada meningitis berdasarkan agen
etiologiknya.
Beberapa test didasari oleh prinsip aglutinasi untuk mendeteksi antigen bakteri pada
cairan tubuh juga telah tersedia. Deteksi antigen bakteri dapat diperoleh dari spesimen LCS,
darah atau urin. Test jenis ini bermanfaat pada penderita meningitis dengan riwayat
pengobatan belum lengkap (Partially treated meningitis/PTM) di mana bakteri tidak dapat
berkembang biak pada LCS tetapi antigennya tetap tinggal pada cairan tubuh penderita.
81
Deteksi antigen dalam urin berguna pada beberapa kasus karena urin dapat
dikonsentrasikan beberapa kali lipat di laboratorium. Beberapa bakteri gram negatif dan S.
pneumoniae serotipe tertentu yang memiliki antigen kapsuler dapat memberikan reaksi silang
dengan poliribofosfat HIB sehingga pewarnaan gram spesimen LCS lebih spesifik
dibandingkan rapid diagnostic test.
PARTIALLY TREATED MENINGITIS (PTM)
Beberapa anak sudah menerima antibiotik sebelum diagnosis pasti ditegakkan. Dosis kecil
antimikroba oral atau bahkan pemberian antimikroba secara intravena dosis tunggal tidak
mengubah hasil pemeriksaan LCS termasuk kultur bakteri khususnya pada penderita HIB
meningitis.
Hasil kultur dari spesimen LCS dapat menjadi steril secara cepat jika patogen penyebabnya
adalah pneumococcus atau meningococcus walaupun perubahan sitologis dan kimiawi tetap
eksis. Karena hal ini maka diperlukan test antigen bakteri dalam darah, urin, LCS. Apabila
terjadi kesulitan untuk membedakan antara PTM dengan meningitis viral (aseptik) maka
lumbal punksi dapat diulang dalam rentang waktu 24 jam. Pada kasus meningitis viral,
pleositosis LCS dan perubahan kimiawi cenderung untuk kembali menuju nilai normal.
PENATALAKSANAAN
*Perawatan medik
Pemberian terapi dilakukan secepatnya saat diagnosis mengarah ke meningitis. Idealnya
kultur darah dan LCS dilakukan sebelum pemberian antimikroba. Jika neonatus dalam terapi
dengan menggunakan ventilator atau menurut pertimbangan klinis bahwa punksi tersebut
berbahaya maka lumbal punksi dapat ditunda hingga keadaan stabil. Lumbal punksi yang
dilakukan beberapa hari setelah terapi inisial masih memberikan gambaran abnormal pada
pemeriksaan kimiawi dan sitologis.
Akses intravena dan pemantauan pemberian cairan secara ketat perlu dilakukan. Neonatus
dengan meningitis sangat rentan untuk jatuh ke dalam keadaan hiponatremia yang
berhubungan dengan SIADH. Perubahan elektrolit ini juga berperan dalam memicu
82
terjadinya kejang khususnya dalam 72 jam pertama. Cairan NaCl 0,9% dalam glukosa 5%
diberikan sampai elektrolit serum pada neonatus mencapai normal.
Peningkatan tekanan intrakranial sekunder terhadap edema serebral jarang terjadi pada bayi
tetapi tetap diperlukan pemantauan analisis gas darah untuk menjamin oksigenasi yang
adekuat dan stabilitas metabolisme.
Pemeriksaan penunjang seperti MRI dengan gadoteriol, USG, atau CT scan dengan kontras
diperlukan untuk menyelidiki ada tidaknya kelainan intrakranial. Pada neonatus yang sudah
sembuh dari meningitis perlu dilakukan uji fungsi pendengaran untuk menskrining gangguan
pendengaran.
Pada bayi dan anak-anak, penanganan meningitis bakterial akut meliputi terapi antimikroba
yang adekuat serta terapi suportif. Terapi cairan dan elektrolit dilakukan dengan:
memperhatikan tanda-tanda vital dan status neurologis sehingga dapat menentukan input dan
output yang akurat, penggunaan cairan dengan jenis dan volume yang sesuai untuk
mengurangi perkembangan edema serebral. Anak-anak harus mendapat terapi cairan untuk
mempertahankan tekanan darah sistolik sekitar 80 mmHg, jumlah urine output 500
ml/m2/hari dan perfusi jaringan yang adekuat. Dopamin dan agen inotropik lainnya dapat
digunakan untuk mempertahankan tekanan darah dan sirkulasi yang adekuat.
*Terapi antimikroba untuk neonatus
Antimikroba diberikan segera setelah akses vena dibuat. Secara konservatif terapi
antimikroba yang diberikan terdiri dari kombinasi ampicillin dan aminoglikosida. Ampicillin
memberikan jangkauan yang baik terhadap kokus gram positif termasuk Streptococcus grup
B, Enterococcus, Listeria monocytogenes, beberapa strain Escherichia coli, HIB dan dapat
mencapai kadar adekuat dalam LCS.
Aminoglikosida seperti gentamycin, amikacin, tobramycin baik dalam melawan basil gram
negatif termasuk Pseudomonas aeruginosa, Serratia marcescens. Tetapi aminoglikosida
memiliki kadar rendah dalam LCS atau cairan ventrikel bahkan pada saat meningen sedang
mengalami peradangan. Beberapa cephalosporin generasi III dapat mencapai LCS dengan
kadar tinggi dan berfungsi secara efektif melawan infeksi gram negatif. Pada suatu percobaan
didapatkan hasil bahwa ceftriaxone berkompetisi dengan bilirubin dalam mengikat albumin.
83
Ceftriaxone dalam kadar terapeutik mengurangi konsentrasi cadangan albumin pada serum
neonatus sebanyak 39% sehingga ceftriaxone dapat meningkatkan resiko bilirubin
encephalopathy khususnya pada neonatus beresiko tinggi. Penelitian lain menyimpulkan
bahwa tak satu pun cephalosporin memiliki aktivitas baik melawan L. monocytogenes dan
Enterococcus sehingga obat ini tidak pernah digunakan sebagai obat tunggal untuk terapi
inisial. Disarankan kombinasi ampicillin dengan cephalosporin generasi III.
Jika patogen sensitif terhadap ampicillin dengan MIC (minimum inhibition concentration)
yang sangat rendah maka ampicillin dapat dilanjutkan sebagai obat tunggal. Cefotaxime dan
ceftriaxone memberikan aktivitas yang baik melawan kebanyakan S. pneumoniae yang
resisten terhadap penicillin. Kombinasi Vancomycin dan cefotaxime dianjurkan untuk
penderita S. pneumoniae meningitis sebelum uji sensitivitas antimikroba dilakukan.
Di antara aminoglikosida, gentamycin dan tobramycin digunakan secara luas disertai
kombinasi dengan ampicillin. Pemberian gentamycin secara intrathecal dianggap tidak
memberikan keuntungan tambahan. Aminoglikosida jika digunakan bersama ampicillin atau
penicillin juga memiliki efek sinergis melawan Streptococcus grup B dan
Enterococcus.Tidak jarang didapatkan laporan rekurensi setelah terapi adekuat dengan
penicillin atau ampicillin terhadap kedua patogen tersebut karena adanya resistensi.
Infeksi yang melibatkan Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa memerlukan
antimikroba lain seperti oxacillin, methicillin, vancomycin atau kombinasi ceftazidime dan
aminoglikosida.
Etiologi dan gejala klinik menentukan durasi terapi, biasanya terapi selama 10-21 hari
adekuat untuk infeksi Streptococcus grup B. Terapi memerlukan waktu lama untuk
mensterilkan LCS dari basil gram negatif yaitu sekitar 3-4 minggu. Pemeriksaan LCS selama
terapi mungkin diperlukan untuk memastikan LCS steril . Pemeriksaan ulang terhadap LCS
berguna dalam 48-72 jam setelah terapi inisial untuk memantau respon terhadap terapi,
khususnya meningitis oleh basil gram negatif.
Antibiotics
(dosage in
Route
Of Administration
Body
weight
Body
Weight
Body
Weight
Body
Weight
84
mg/kg/day) <2000> <2000> >2000 g >2000 g
Age 0-7
days
Age > 7
days
Age 0-7
days
Age > 7
days
Penicillins
Ampicillin IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
300 div
q6h
Penicillin-G IV 100,000 U
div q12h
150,000 U
div q8h
150,000 U
div q8h
250,000 U
div q6h
Oxacillin IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
150 div
q8h
200 div
q6h
Ticarcillin IV,IM 150 div
q12h
225 div
q8h
225 div
q8h
300 div
q6h
Cephalosporins
Cefotaxime IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q12h
150 div
q8h
Ceftriaxone IV,IM 50 once
daily
75 once
daily
50 once
daily
75 once
daily
Ceftazidime IV,IM 100 div
q12h
150 div
q8h
100 div
q8h
150 div
q8h
Tabel 2. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus berdasarkan berat
badan dan usia
Anti
biotics
Route of
Admini
stration
Desired
Serum
Levels
(mcg/ml)
New
born
Age
≤26
New
born
Age
27-34
New
born
Age
35-42
New
born
Age
≥43
85
weeks
(mg/kg/
dose)
weeks
(mg/kg/
dose)
weeks
(mg/kg/
dose)
weeks
(mg/kg/
dose)
Aminoglycosides
Amikacin IV,IM 20-30
(peak)
<10
(trough)
7.5
q24h
7.5 q18h 10 q12h 10 q8h
Gentamycin IV,IM 5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5
q24h
2.5 q18h 2.5 q12h 2.5 q8h
Tobramycin IV,IM 5-10
(peak)
<2,5
(trough)
2.5
q24h
2.5 q12h 2.5 q12h 2.5 q8h
Glycopeptide
Vancomy
cin
IV,IM 20-40
(peak)
<10
(trough)
15 q24h 15 q18h 15 q12h 15 q8h
86
Tabel 3. Dosis antibiotik untuk meningitis bakterial pada neonatus yang diberikan
berdasarkan usia
*Terapi antimikroba untuk bayi dan anak-anak
Pemberian antibiotik yang sesuai untuk penderita dengan suspek meningitis bakterial sangat
penting. Pemilihan antibiotik inisial harus memiliki kemampuan untuk melawan 3 patogen
umum yaitu: S.pneumoniae, N. meningitidis, H. influenzae. Umumnya terapi dimulai dengan
pemberian vancomycin 60 mg/kg/hari IV dalam 4 dosis terbagi diberikan tiap 6 jam.
Ceftriaxone 100 mg/kg/hari dalam 2 dosis terbagi atau ceftriaxone 80 mg/kg/hari sekali/hari
dan dapat disubstitusi dengan cefotaxime. Kombinasi ini cukup baik dalam melawan S.
pneumoniae yang resisten penicillin dan Haemophilus influenzae tipe B yang resisten beta-
laktamase. Ceftazidime memiliki aktivitas yang kurang baik melawan pneumococcus dan
harus diganti dengan cefotaxime atau ceftriaxone.
Beberapa evidence-based medicine menyarankan penggunaan carbapenem (misalnya
meropenem) sebagai pilihan untuk patogen yang resisten terhadap cephalosporin. Peran
antibiotik baru seperti oxazolidinone (linezoid) masih dalam penelitian.
Karena penetrasi antibiotik ke dalam SSP berhubungan dengan respon inflamasi dan
sifat kortikosteroid yang mengurangi reaksi inflamasi, maka pemberian kortikosteroid dapat
mengurangi efektivitas antibiotik seperti vancomycin yang daya penetrasinya kecil. Sehingga
petugas kesehatan perlu mempertimbangkan keuntungan dan kerugian pemberian
kortikosteroid pada terapi meningitis.
Semua antibiotik diberikan secara intravena agar kadarnya dalam serum dan LCS
adekuat. Pemberian secara intraosseus dapat dilakukan jika akses vena tidak dapat dilakukan.
Chloramphenicol secara per oral dapat mencapai kadar terapeutik dalam serum dan diberikan
hanya jika tidak tersedia obat-obat lain, pada keadaan penderita yang stabil, dan keluhan
mual muntah berkurang.
Pada penderita dengan riwayat alergi yang bermakna penggunaan kombinasi
vancomycin dan chloramphenicol perlu dipertimbangkan. Tetapi jika efek samping
chloramphenicol tidak diinginkan maka dapat diganti dengan cotrimoxazole atau
trovafloxacin.
87
Penggunaan antibiotik beta lactamase-inhibitor seperti clavulanate, tazobactam,
sulbactam untuk mengobati meningitis belum dianjurkan karena masih kurangnya data
mengenai daya penetrasinya ke dalam SSP.
Penggunaan antibiotik diteruskan paling sedikit 10 hari. Lumbal punksi kadang-
kadang diulang sebelum penghentian terapi atau 24 jam sesudah penghentian terapi. Tetapi
pemeriksaan ulang ini tidak dapat memprediksi adanya relaps atau rekrudesensi meningitis.
Misalnya HIB dapat terus bertahan dalam sekret nasofaring bahkan setelah terapi meningitis
yang berhasil. Karena alasan ini, penderita perlu diberi rifampin 20 mg/kg sekali/hari selama
4 hari jika anak yang beresiko tinggi dirawat di rumah atau tempat perawatan anak.
Sedangkan S. pneumoniae dan N. meningitidis dapat eradikasi dari sekret nasofaring setelah
terapi meningitis berhasil.
Phlebitis pada tempat penyuntikan dan febris karena antibiotik adalah beberapa
penyebab umum febris sekunder pada penderita meningitis sehingga penderita dengan febris
perlu untuk dievaluasi ulang.
Antibiotics Dose
(mg/kg/day)
Dosing
Interval
Maximum
Daily Dose
Ampicillin 400 q6h 10 g
Vancomycin 60 q6h 4 g
Penicillin G 250,000 U q6h 24 million
Cefotaxime 200-300 q6h 12 g
Ceftriaxone 100 q12h 4 g
Chloramphenicol 100 q6h 4 g
Ceftazidime 150 q8h 6 g
Cefepime 100 q12h 4 g
Imipenem 60 q6h 4 g
Meropenem 120 q8h 6 g
Rifampin 20 q12h 600 mg
*Pemberian dexamethasone
88
Pada berbagai uji klinik double blind, efek menguntungkan dari dexamethasone
ditunjukkan pada bayi dan anak dengan meningitis HIB saat diberi dexamethasone (0,15
mg/kg) 15-20 menit sebelum dosis inisial antibiotik. Dexamethasone dilanjutkan setiap 6 jam
selama 4 hari. Dalam 24 jam, kondisi klinis dan prognosis rata-rata cukup bermakna.
Pemantauan yang dilakukan sepanjang terapi menunjukkan penurunan insidensi sekuelae
neurologis dan audiologis yang bermakna. Data-data yang berhubungan dengan kegunaan
dexamethasone untuk mengobati S. pneumoniae meningitis kurang meyakinkan. Selain
mengurangi reaksi inflamasi, pemberian dexamethasone dapat menurunkan penetrasi
antibiotik ke SSP.
*Pemantauan tekanan intra kranial dan tanda-tanda herniasi
Peningkatan tekanan intrakranial meningkatkan mortalitas dan sekuelae secara signifikan.
Gejala awal dari peningkatan tekanan intrakranial tidak spesifik di antaranya vomitus, stupor,
bulging fontanelle, palsy nervus VI. Jika tekanan intrakranial tidak terkendali penderita dapat
mengalami herniasi otak. Keadaan ini ditandai oleh pupil midriasis dan anisokor, gangguan
pergerakan okuler, bradikardia, hipertensi, apnea, dekortikasi atau deserebrasi.
Pemberian manitol; suatu diuretik osmotik; dapat meningkatkan secara transien osmolalitas
ruang intravaskular, menyebabkan perpindahan cairan dari jaringan otak ke dalam ruang
intravaskular. Manitol (0,25-1 g/kg IV) biasa diberikan selama 20-30 menit dan
pemberiannya dapat diulang bila diperlukan.
Dexamethasone sudah sering digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial tetapi data
terbaru tidak mendukung efikasi dari dexamethasone tersebut. Acetazolamid dan furosemid
juga sering digunakan untuk mengurangi TTIK tetapi efikasinya pada penderita meningitis
belum dapat ditunjukkan pada controlled trials.
*Antikonvulsi
Bangkitan kejang sering dialami pada kurang lebih 30% penderita. Jalan napas yang adekuat
dan oksigenasi juga dibutuhkan selama terjadinya kejang. Pemberian antikonvulsi secara
intravena. Phenobarbital natrium dengan dosis 20 mg/kg IV dengan kecepatan 1 mg/kg/menit
cukup efektif dalam mengendalikan kejang. Efek antikonvulsi sering memanjang dan karena
kadar adekuat dalam SSP dicapai dalam waktu 15-60 menit maka pemulihan kejang
89
berlangsung secara gradual. Phenytoin (Dilantin) 15-20 mg/kg IV dengan kecepatan rata-rata
1 mg/kg/menit juga dapat digunakan untuk kejang.
Jika obat-obat tersebut di atas tidak efektif, dapat diberikan diazepam (Valium) diberikan
secara bolus intravena dengan dosis 0,2-0,3 mg/kg dan tidak melebihi 10 mg. Efek
antikonvulsi berlangsung singkat, sehingga perlu ditambahkan phenytoin 5 mg/kg/hari IV
tiap 12 jam untuk mencegah timbulnya bangkitan kejang selanjutnya. Lorazepam (Ativan)
yaitu suatu benzodiazepin kerja lama juga aman untuk diberikan dengan dosis 0,05 mg/kg
tiap 4-6 jam. Pemberian antikonvulsi harus hati-hati karena obat tersebut dapat menyebabkan
henti napas atau jantung. Selain itu, efek aritmia jantung dapat disebabkan oleh phenytoin.
Phenobarbital dan phenytoin dapat merangsang enzim mikrosomal hati sehingga dapat
meningkatkan metabolisme beberapa obat termasuk chloramphenicol. Jika penderita tetap
kejang atau menunjukkan gejala yang mengarah pada kelainan intrakranial perlu dilakukan
pemeriksaan neuro-imaging.
PENCEGAHAN
Pencegahan dibagi 2 cara yaitu dengan kemoprofilaksis dan imunisasi.
*Kemoprofilaksis untuk N.meningitidis meningitis
Semua individu yang tinggal serumah dan petugas kesehatan yang kontak dengan penderita
perlu diberi kemoprofilaksis. Karena peningkatan resistensi terhadap sulfonamid maka obat
pilihannya adalah rifampin, ceftriaxone, ciprofloxacin. Sulfonamid digunakan sebagai
profilaksis pada keadaan tertentu di mana patogen tersebut masih sensitif. Bahkan setelah
kemoprofilaksis adekuat, kasus sekunder dapat terjadi sehingga orang yang kontak dengan
penderita harus segera mencari pertolongan medik saat timbul gejala pertama kali. Dosis
rifampin 600 mg peroral tiap 12 jam selama 2 hari.
* Kemoprofilaksis untuk HIB meningitis
Rifampin dengan dosis 20 mg/kg/hari untuk 4 hari dianjurkan kepada individu yang kontak
dengan penderita HIB meningitis. Jika anak usia 4 tahun atau lebih muda kontak dengan
penderita maka anak tersebut harus diberi profilaksis tanpa memedulikan status imunisasinya.
Yang dimaksud dengan ‘kontak’ adalah seseorang yang tinggal pada rumah yang sama
90
dengan penderita atau seseorang yang telah menghabiskan 4 jam atau lebih waktunya per hari
dengan penderita tersebut selama 5-7 hari sebelum diagnosis ditegakkan.
Jika 2 atau lebih kasus HIB meningitis terjadi pada anak yang mendatangi tempat pelayanan
kesehatan maka petugas kesehatan dan anak-anak lain perlu diberi profilaksis.
* Imunisasi
Imunisasi massal di seluruh dunia terhadap infeksi HIB telah memberikan penurunan
dramatis terhadap insidensi meningitis. FDA (Food and Drug Administration) telah
meluncurkan vaksin konjugasi pneumococcal yang pertama (Prevnar) pada April 2000.
Semua bayi dianjurkan untuk menerima imunisasi yang mengandung antigen dari 7 subtipe
pneumococcal.
Vaksin quadrivalent meningococcal dapat diberikan bersama kemoprofilaksis saat adanya
wabah. Vaksin quadrivalent yang mengandung antigen subgrup A, C, Y, W-135 dianjurkan
untuk kelompok resiko tinggi termasuk penderita dengan imunodefisiensi, penderita dengan
asplenia anatomik atau fungsional, defisiensi komponen terminal komplemen. Vaksin ini
terdiri dari 50 mcg polisakarida bakteri yang telah dimurnikan. The Advisory Committee on
Imunization Practices (ACIP) menganjurkan penggunaan vaksin ini untuk siswa sekolah yang
tinggal di asrama-asrama.
KOMPLIKASI
Sekuelae jangka panjang didapat pada 30% penderita dan bervariasi tergantung etiologi, usia
penderita, gejala klinis dan terapi. Pemantauan ketat berskala jangka panjang sangat penting
untuk mendeteksi sekuelae.
Sekuelae pada SSP meliputi tuli, buta kortikal, hemiparesis, quadriparesis, hipertonia otot,
ataxia, kejang kompleks, retardasi motorik, kesulitan belajar, hidrocephalus non-komunikan,
atropi serebral.
Gangguan pendengaran terjadi pada 20-30% anak. Pemberian dini dexamethasone dapat
mengurangi komplikasi audiologis pada HIB meningitis. Gangguan pendengaran berat dapat
menganggu perkembangan bicara sehingga evaluasi audiologis rutin dan pemantauan
91
perkembangan dilakukan tiap kali kunjungan ke petugas kesehatan. Jika ditemukan sekuelae
motorik maka perlu dilakukan terapi fisik, okupasional, rehabilitasi untuk menghindari
kerusakan di kemudian hari dan mengoptimalkan fungsi motorik.
PROGNOSIS
Penderita dengan penurunan kesadaran memiliki resiko tinggi mendapatkan sekuelae atau
resiko kematian. Adanya kejang dalan suatu episode meningitis merupakan faktor resiko
adanya sekuelae neurologis atau mortalitas. Meningitis yang disebabkan oleh S. pneumoniae,
L. monocytogenes dan basil gram negatif memiliki case fatality rate lebih tinggi daripada
meningitis oleh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh patogen oportunistik
juga bergantung pada daya tahan tubuh inang.
3. Epilepsi
Jawab:
1. Definisi Epilepsi adalah Cetusan listrik lokal pada substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat yang dapat mengakibatkan serangan penurunan kesadaran, perubahan fungsi motorik atau sensorik, perilaku atau emosional yang intermiten dan stereotipik. Pelepasan aktifitas listrik abnormal dari sel-sel neuron di otak terjadi karena fungsi sel neuron terganggu. Gangguan fungsi ini dapat berupa gangguan fisiologik, biokimia, anatomi dengan manifestasi baik lokal maupun general.Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang (lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis, dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epileptik sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan / gejala yang timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di otak.Terdapat beberapa elemen penting dari definisi epilepsi yang baru dirumuskan oleh ILAE dan IBE yaitu13 : a. Riwayat sedikitnya satu bangkitan epileptik sebelumnya. b. Perubahan di otak yang meningkatkan kecenderungan terjadinya bangkitan selanjutnya
92
c. Berhubungan dengan gangguan pada faktor neurobiologis, kognitif, psikologis, dan konsekuensi sosial yang ditimbulkan. Ketiga elemen di atas harus diperhatikan karena dalam mentatalaksana seorang penyandang epilepsi, tidak hanya faktor bangkitan atau kejang yang perlu diperhatikan namun konsekuensi sosial yang ditimbulkan juga harus diperhatikan seperti dikucilkan oleh masyarakat, stigma bahwa penyakit epilepsi adalah penyakit menular, dan sebagainya.Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa (stereotipik) yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara tiba-tiba dan sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, disebabkan oleh hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan oleh suatu penyakit otak akut (unprovoked). 2. Etiologi Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang yang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa diindikasikan sebagai disfungsi otak. Gangguan fungsi otak yang bisa menyebabkan lepasnya muatan listrik berlebihan di sel neuron saraf pusat, bisa disebabkan oleh adanya faktor fisiologis, biokimiawi, anatomis atau gabungan faktor tersebut. Tiap-tiap penyakit atau kelainan yang dapat menganggu fungsi otak atau fungsi sel neuron di otak, dapat menyebabkan timbulnya bangkitan kejang atau serangan epilepsi. Untuk menentukan faktor penyebab dapat diketahui dengan melihat usia serangan pertama kali. Misalnya : usia dibawah 18 tahun kemungkinan faktor penyebabnya ialah trauma perinatal, kejang demam, radang susunan saraf pusat, struktural, penyakit metabolik, keadaan toksik, penyakit sistemik, penyakit trauma kepala, dan lain-lain. Bangkitan kejang juga dapat disebabkan oleh berbagai kelainan dan macam-macam penyakit diantaranya ialah trauma lahir, trauma kapitis, radang otak, tumor otak, perdarahan otak, gangguan peredaran darah, hipoksia, anomali kongenital otak, kelainan degeneratif susunan saraf pusat, gangguan metabolisme, gangguan elektrolit, demam, reaksi toksis-alergis, keracunan obat atau zat kimia, dan faktor hereditas. 3. Faktor Risiko Faktor resiko untuk terjadinya epilepsi pada penderita kejang demam adalah : a. Jika ada kelainan neurologis atau perkembangan sebelum kejang demam pertama b. Kejang demam kompleks c. Adanya riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung. Masing-masing faktor resiko meningkatkan resiko epilepsi 4-6%; kombinasi faktor resiko tersebut meningkatkan resiko epilepsi menjadi 10-49%.13 Epilepsi diartikan sebagai kejang berulang dan multipel. Anak dengan riwayat kejang demam
93
mempunyai risiko sedikit lebih tinggi menderita epilepsi pada usia 7 tahun dibandingkan dengan anak yang tidak pernah mengalami kejang demam. 4. Klasifikasi Klasifikasi epilepsi : a. Bangkitan Parsial/fokal 1) Bangkitan parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) a) Dengan gejala motorik. b) Dengan gejala sensorik. c) Dengan gejala otonomik. d) Dengan gejala psikis. 2) Bangkitan parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) a) Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran. b) Dengan gangguan kesadaran sejak awal bangkitan. 3) Bangkitan umum sekunder (tonik-klonik, tonik atau klonik) a) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi bangkitan umum b) Bangkitan parsial kompleks berkembang menjadi bangkitan umum c) Bangkitan parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi bangkitan umum a. Bangkitan umum (konvulsi atau non-konvulsi) 1) Bangkitan lena (absence) Ciri khas serangan lena adalah durasi singkat, onset dan terminasi mendadak, frekuensi sangat sering, terkadang disertai gerakan klonik pada mata, dagu dan bibir. 2) Bangkitan mioklonik Kejang mioklonik adalah kontraksi mendadak, sebentar yang dapat umum atau terbatas pada wajah, batang tubuh, satu atau lebih ekstremitas, atau satu grup otot. Dapat berulang atau tunggal. 3) Bangkitan tonik Merupakan kontraksi otot yang kaku, menyebabkan ekstremitas menetap dalam satu posisi. Biasanya terdapat deviasi bola mata dan kepala ke satu sisi, dapat disertai rotasi seluruh batang tubuh. Wajah menjadi pucat kemudian merah dan kebiruan karena tidak dapat bernafas. Mata terbuka atau tertutup, konjungtiva tidak sensitif, dan pupil dilatasi. 4) Bangkitan atonik Berupa kehilangan tonus. Dapat terjadi secara fragmentasi hanya kepala jatuh ke depan atau lengan jatuh tergantung atau menyeluruh sehingga pasien terjatuh. 5) Bangkitan klonik Pada kejang tipe ini tidak ada komponen tonik, hanya terjadi kejang kelojot. dijumpai terutama sekali pada anak. 6) Bangkitan tonik-klonik Merupakan suatu kejang yang diawali dengan tonik, sesaat kemudian diikuti oleh gerakan klonik.
94
5. Patofisiologi Neuron memiliki potensial membran, hal ini terjadi karena adanya perbedaan muatan ion-ion yang terdapat di dalam dan di luar neuron. Perbedaan jumlah muatan ion-ion ini menimbulkan polarisasi pada membran dengan bagian intraneuron yang lebih negatif. Neuron bersinapsis dengan neuron lain melalui akson dan dendrit. Suatu masukan melalui sinapsis yang bersifat eksitasi akan menyebabkan terjadinya depolarisasi membran yang berlangsung singkat, kemudian inhibisi akan menyebabkan hiperpolarisasi membran. Bila eksitasi cukup besar dan inhibisi kecil, akson mulai terangsang, suatu potensial aksi akan dikirim sepanjang akson, untuk merangsang atau menghambat neuron lain, sehingga terjadilah epilepsi.Epilepsi ditandai oleh bangkitan berulang yang diakibatkan oleh aktivitas listrik yang berlebihan pada sebagian atau seluruh bagian otak. Seorang penderita dikatakan menderita epilepsi bila setidaknya mengalami dua kali bangkitan tanpa provokasi. Bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan antara faktor eksitasi dan inhibisi serebral, bangkitan akan muncul pada eksitabilitas yang tidak terkontrol. Pada sebagian besar kasus tidak dijumpai kelainan anatomi otak, namun pada beberapa kasus epilepsi disertai oleh kerusakan struktural otak yang mengakibatkan disfungsi fisik dan retardasi mental. 6. Diagnosis Ada 3 langkah untuk menuju diagnosis epilepsi, yaitu : a. Langkah pertama : Memastikan apakah kejadian yang bersifat paroksisimal merupakan bangkitan epilepsi. b. Langkah kedua : Apabila benar terdapat bangkitan epilepsi, maka tentukanlah bangkitan tersebut termasuk tipe bangkitan yang mana. c. Langkah ketiga : tentukan sindrom epilepsi apa yang ditunjukkan oleh bangkitan tadi, atau penyakit epilepsi apa yang diderita oleh pasien dan tentukan etiologinya. Diagnosis epilepsi ditegakkan atas dasar adanya bangkitan epilepsi berulang (minimum 2 kali) tanpa provokasi, dengan atau tanpa adanya gambaran epileptiform pada EEG.Secara lengkap urutan pemeriksaan untuk menuju ke diagnosis adalah sebagai berikut: a. Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Penjelasan perihal segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan informasi yang sangat berarti dan merupakan kunci diagnosis.Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: 1) Gejala sebelum, selama dan paska bangkitan a) Keadaan penyandang saat bangkitan : duduk / berdiri / berbaring / tidur / berkemih. b) Gejala awitan (aura, gerakan / sensasi awal / speech
95
arrest). c) Apa yang tampak selama bangkitan (Pola / bentuk bangkitan) : gerakan tonik / klonik, vokalisasi, otomatisme, inkontinensia, lidah tergigit, pucat, berkeringat, maupun deviasi mata. d) Keadaan setelah kejang : bingung, terjaga, nyeri kepala, tidur, gaduh gelisah, atau Todd’s paresis. e) Apakah terdapat lebih dari satu pola bangkitan, atau terdapat perubahan pola bangkitan. 2) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang, maupun riwayat penyakit neurologik dan riwayat penyakit psikiatrik maupun penyakit sistemik yang mungkin menjadi penyebab. 3) Usia awitan, durasi, frekuensi bangkitan, dan interval terpanjang antar bangkitan. 4) Riwayat bangkitan neonatal / kejang demam. b. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Pemeriksaan fisik harus menepis sebab-sebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada pasien anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, dan perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. c. Pemeriksaan penunjang 1) Pemeriksaan laboratorium Perlu diperiksa kadar glukosa, kalsium, magnesium, natrium, bilirubin, dan ureum dalam darah. Keadaan seperti Hiponatremia , hipoglikemia, hipomagnesia, uremia, dan hepatik ensefalopati dapat mencetuskan timbulnya serangan kejang. Pemeriksaan serum elektrolit bersama dengan glukose, kalsium, magnesium, Blood Urea Nitrogen, kreatinin dan test fungsi hepar mungkin dapat memberikan petunjuk yang sangat berguna.2) Elektro ensefalografi (EEG) Elektroensefalograf ialah alat yang dapat merekam aktifitas listrik di otak melalui elektroda yang ditempatkan dikulit kepala. Kelainan EEG yang sering dijumpai pada penderita epilepsi disebut epileptiform discharge atau epileptiform activity. Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi.Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik.Rekaman EEG dikatakan abnormal ditentukan atas dasar adanya : a) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak.
96
b) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. c) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak, paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal. 3) Rekaman video EEG Pemeriksaan video-EEG ini berhasil membedakan apakah serangan kejang oleh karena epilepsi atau bukan dan biasanya selama perekaman dilakukan secara terus-menerus dalam waktu 72 jam, sekitar 50-70% dari hasil rekaman dapat menunjukkan gambaran serangan kejang epilepsi.4) Pemeriksaan Radiologis Ct Scan (Computed Tomography Scan) kepala dan MRI (Magnetic Resonance Imaging) kepala merupakan Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging yang bertujuan untuk melihat apakah ada atau tidaknya kelainan struktural di otak dan melengkapi data EEG.CT Scan kepala ini dilakukan bila pada MRI ada kontra indikasi, namun demikian pemeriksaan MRI kepala ini merupakan prosedur pencitraan otak pilihan untuk epilepsi dengan sensitivitas tinggi dan lebih spesifik dibanding dengan CT Scan. Oleh karena dapat mendeteksi lesi kecil diotak, sklerosis hipokampus, disgenesis kortikal, tumor dan hemangioma kavernosa, maupun epilepsi refrakter yang sangat mungkin dilakukan terapi pembedahan. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri.5) Pemeriksaan neuropsikologi Pemeriksaan ini mungkin dilakukan terhadap pasien epilepsi dengan pertimbangan akan dilakukan terapi pembedahan. Pemeriksaan ini khususnya memperhatikan apakah ada tidaknya penurunan fungsi kognitif, demikian juga dengan pertimbangan bila ternyata diagnosisnya ada dugaan serangan kejang yang bukan epilepsi.7. Prognosis Prognosis epilepsi tergantung pada beberapa hal, diantaranya jenis epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat. Prognosis epilepsi cukup menggembirakan. Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obat, sedangkan sekitar 50% pada suatu waktu akan dapat berhenti minum obat. Prognosis epilepsi dihubungkan dengan terjadinya remisi serangan baik dengan pengobatan maupun status psikososial, dan status neurologis penderita. Batasan remisi epilepsi yang sering dipakai adalah 2 tahun bebas serangan (kejang) dengan terapi. Pada pasien yang telah mengalami remisi 2 tahun harus dipertimbangkan untuk penurunan dosis dan penghentian obat secara berkala. Batasan lain yang dipakai untuk menggambarkan remisi adalah bebas serangan (remisi terminal) minimal 6 bulan dalam terapi OAE. Setelah tercapai bebas serangan selama >6 bulan atau >2 tahun dengan terapi, maka perlu dipikirkan untuk menurunkan dosis secara berkala sampai kemudian obat dihentikan, perlu mempertimbangkan risiko terjadinya relaps setelah penghentian obat. Berbagai faktor
97
prediktor yang meningkatkan risiko terjadinya relaps adalah usia awitan pada remaja / dewasa, jenis epilepsi sekunder, dan adanya gambaran abnormalitas EEG.Berbagai penelitian memperlihatkan bahwa penderita epilepsi memiliki risiko kematian yang lebih tinggi dibanding populasi normal. Risiko kematian yang paling tinggi adalah pada penderita epilepsi yang disertai defisit neurologi akibat penyakit kongenital. Kematian pada penderita epilepsi anak-anak paling sering disebabkan oleh penyakit susunan saraf pusat yang mendasari timbulnya bangkitan epilepsi.
4. Bangkitan non epileptik
Jawab:
I. Pendahuluan
Bangkitan adalah suatu tanda dan gejala dari epilepsi, tetapi tidak semua bangkitan merupakan suatu tanda adanya kelainan neurologik. Bangkitan dapat juga dihasilkan dari kadar gula darah yang rendah, infeksi, demam, cedera kepala berat, kekurangan oksigen, dan kesemuanya tersebut bukan merupakan epilepsi. Bangkitan dapat juga merupakan gangguan mental maupun fisik. Bangkitan tersebut dapat juga disebabkan karena gangguan motorik yang disebut konvulsi (Davis, 2004).
Istilah kejang non epilepsi (non epileptic seizure) digunakan untuk menjelaskan suatu bangkitan yang menyerupai epilepsi tetapi mempunyai penyebab yang berbeda. Berbeda dengan bangkitan epilepsi, kejang non epilepsi tidak disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak (Selkirk et al., 2008.).
Gambar patofisiologi kejang yang disebabkan oleh epilepsi dimana ada perbedaan dengan kejang yang disebabkan non epilepsi.Pada epilepsi disebabkan oleh adanya perubahan pada aktivitas otak sedangkan Non epilepsi kejangnya Tidak disebabkan perubahan pada aktivitas otak
98
Terminologi bangkitan atau seizure adalah suatu kejadian mendadak, tiba-tiba, dan dalam waktu yang pendek dimana terjadi perubahan pada seorang yang dalam keadaan sadar dimanapun, dan dalam keadaan apapun berupa perilaku maupun perasaannya. Bangkitan sering digunakan untuk menjelaskan kejadian epilepsi dan pada epilepsi didapatkan beberapa perbedaan tipe bangkitan (Henry, 2000).
II. Penyebab bangkitan
Bangkitan dapat terjadi oleh beberapa keadaan, misalnya oleh karena penurunan kadar gula darah (hipoglikemia), pingsan atau perubahan kesadaran singkat pada seseorang yang mengalami infark miokard akut. Pada seseorang mungkin juga didapatkan lebih dari satu tipe bangkitan, berupa kejang epilepsi dan juga kejang non epilepsi (Henry, 2000).
Bangkitan epilepsi dapat terjadi oleh karena kejadian tiba-tiba dan berhentinya secara singkat dari mekanisme kerja sel-sel otak. Peristiwa tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan aktivitas listrik di dalam sel-sel neuron. Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian bangkitan epilepsi tergantung di mana perubahan tersebut berlangsung di dalam sel-sel neuron. Pengaruh dari kejadian tersebut mungkin dapat menyebabkan gangguan kesadaran maupun tingkah laku (Reuber et al., 2007).
Epilepsi mempunyai kecenderungan satu atau lebih area di otak yang memproduksi secara tiba-tiba lonjakan energi listrik yang menyebabkan terjadinya kerusakan fungsional sel-sel neuron. Bangkitan nerologik merupakan suatu reaksi tubuh terhadap lonjakan listrik yang abnormal di dalam sel-sel neuron. Sehingga dikatakan epilepsi apabila terjadi dua atau lebih bangkitan tanpa provokasi (Engelborghs et al., 2000).
III. Pembagian kejang non epilepsi
Menurut Kammerman dan Wasserman (2001), berdasarkan etiologinya maka didapatkan dua kategori utama kejang non epilepsi, yaitu: Bangkitan fisiologikBangkitan fisiologik dapat disebabkan oleh berbagai kondisi, misalnya terjadinya perubahan secara mendadak suplai aliran darah, glukosa maupun oksigen ke otak. Termasuk juga bangkitan fisiologik adalah adanya perubahan irama jantung, mendadak terjadi penurunan tekanan darah atau terjadinya hipoglikemia.Bangkitan psikogenikBangkitan psikogenik dapat disebabkan oleh karena adanya tekanan psikologis yang berat pada seseorang, misalnya trauma emosional oleh karena siksaan seksual maupun fisik, perceraian atau kematian orang yang dicintai.
99
IV. Penyebab kejang non epilepsi
Beberapa kejadian kejang non epilepsi mempunyai penyebab fisik (yang berhubungan dengan tubuh), misalnya adalah pingsan yang sering disebut juga sinkop. Tetapi terdapat juga beberapa kejadian kejang non epilepsi yang disebabkan oleh penyebab psikologik (yang berhubungan dengan jiwa), misalnya pada serangan panik.
Jika kejadian kejang non epilepsi penyebabnya adalah fisik maka akan lebih mudah untuk menegakkan diagnosisnya berdasarkan penyakit yang mendasarinya. Sebagai contoh adalah pingsan yang mungkin didiagnosis oleh karena adanya masalah pada jantungnya. Istilah kejang non epilepsi biasanya digunakan untuk menjelaskan kejadian bangkitan yang disebabkan oleh faktor psikologik.
Kadang-kadang sangat sulit untuk mendapatkan alasan mengapa terjadi dan kapan mulainya kejadian kejang non epilepsi. Beberapa penderita kejang non epilepsi mengatakan bahwa kejadiannya sangat cepat dan waktunya pendek setelah terjadinya stres yang spesifik, tetapi penderita lain melaporkan bahwa kejadian kejang non epilepsi bukan karena faktor stresor psikis maupun fisik. Sehingga sangat sulit untuk dicari penyebabnya secara pasti. Beberapa penderita kejang non epilepsi juga melaporkan terjadinya bangkitan setelah mengalami stres maupun kecemasan.
Penyebab kejang non epilepsi1. Penghentian konsumsi alkohol2. Penghentian konsumsi Benzodiazepine3. Massive sleep deprivation4. Penggunaan kokain5. Psikogenik (gangguan konversi, somatisasi, malingering)6. Cedera kepala akut (dalam satu minggu)7. Infeksi sisitem saraf pusat atau neoplasma8. Uremia9. Eklampsia10. Demam tinggi11. Hipoksemia12. Hiperglikemia atau hipoglikemia13. Gangguan elektrolit
Apa yang terjadi pada seseorang selama kejadian kejang non epilepsi sangat bervariasi. Apa yang terjadi selama kejadian kejang epilepsi dapat juga terjadi pada kejadian kejang non epilepsi. Selama kejadian kejang non epilepsi, seperti halnya pada kejang epilepsi, penderita mungkin dapat terjatuh dan melukai dirinya sendiri, terjadi konvulsi (gerakan menyentak) atau penderita mengalami inkontinensia. Keduanya dapat terjadi secara tiba-tiba dan tanpa ada tanda-tanda peringatan sebelumnya (Daoud, 2004).
100
Di bawah ini beberapa contoh penyebab kejang non epilepsi oleh karena faktor psikologik (Reuber, 2005).Serangan panikSerangan panik dapat terjadi oleh karena situasi ketakutan atau teringat pengalaman menakutkan sebelumnya. Serangan panik dapat sangat membingungkan pada diri seseorang. Penderita merasa cemas atau ketakutan sebagai awal dari suatu serangan. Pengaruh fisik terhadap serangan tersebut misalnya adalah kesulitan bernafas, berkeringat, berdebar-debar dan merasa bergetar. Penderita dapat juga kehilangan kesadaran dan terjadi serangan konvulsi. Serangan dapat terjadi lagi walaupun penderita sudah tidak dalam situasi yang menakutkan.Cut off atau serangan menghindarJenis serangan ini terjadi oleh karena penderita mendapatkan kesulitan mengatasi stres yang berat atau berada dalam situasi emosional yang sangat sulit. Serangan ini lebih sering dijumpai pada penderita yang tidak merasa dan tidak mengeluh adanya kesulitan yang membutuhkan penyelesaian. Seperti halnya pada serangan panik, serangan ini dapat juga berulang walaupun penderita tidak berada dalam situasi tertekan.Respon terlambat terhadap stres beratSerangan ini dapat terjadi sebagai reaksi terhadap stres yang berat atau dalam situasi peperangan atau bencana alam dimana penderita melihat banyak korban berjatuhan. Kejang non epilepsi mungkin merupakan sebagian dari post traumatic stress disorder, yaitu suatu keadaan yang timbul setelah trauma atau stres yang berat. Selama serangan tersebut penderita mungkin menangis, menjerit atau teringat dengan kejadian tersebut (tiba-tiba dan teringat secara jelas pengalamannya). Penderita tidak dapat mengontrol tingkah lakunya dan menginginkan kejadian tersebut hilang dalam ingatannya.
V. Diagnosis kejang non epilepsi
Untuk dapat menegakkan diagnosis kejang non epilepsi, seorang dokter membutuhkan riwayat pribadi penderita. Termasuk didalamnya adalah riwayat penyakit neurologi yang mungkin dideritanya, perkembangan psikologik, dan juga situasi terbaru sehubungan dengan keluhan dari penderita.
Sangat sulit untuk menjelaskan perbedaan antara kejang epilepsi dan kejang non epilepsi karena keduanya bisa sangat mirip. Mencari keterangan tentang seperti apa bentuk bangkitannya, dan sudah berapa lama penderita mengalami serangan bangkitan, maka hal tersebut akan membantu untuk mengidentifikasi jenis dan tipe kejang yang terjadi.
Diagnosis banding kelainan neurologik paroksismal pada orang dewasa1. Sinkop
101
Refleks sinkop (sinkop ortostatik, sinkom miksturasi) Sinkop kardiogenik (takhikardia, bradikardi, sindroma pemanjangan
gelombang QT, abnormalitas struktur jantung, stenosis aorta, kardiomiopati, arterio-venous shunt)
Gangguan perfusi (hipovolemik, gangguan otonom)2. Kejang non epilepsi psikogenik
Kejang non epilepsi psikogenik Serangan panik Serangan hiperventilasi
3. Transient Ischemic Attack4. Migrain5. Narkolepsi / katapleksi6. Parasomnia7. Vertigo paroksismal8. Hipoglikemia
Beberapa pemeriksaan yang dibutuhkan untuk dapat menegakkan bangkitan kejang non epeilepsi adalah:ObservasiPenderita yang mendapatkan serangan bangkitan mungkin tidak ingat beberapa hal yang terjadi. Informasi tersebut sangat berguna untuk dapat menjelaskan apa yang terjadi dan hal tersebut bisa minta penjelasan pada seseorang yang mungkin melihatnya pada waktu penderita mendapatkan serangan bangkitan.Berikut ini beberapa informasi yang sangat dibutuhkan untuk diketahui pada penderita serangan bangkitan (Reuber, 2005):Dimana dan sedang apa ketika serangan bangkitan terjadi?Seperti apakah serangan itu terjadi?Berapa lama serangan itu berhenti?Berapa lama waktu yang dibutuhkan antara serangan hingga di bawa ke rumah sakit?Bagaimanakah tingkah lakunya sebelum, selama dan setelah serangan bangkitan?Pemeriksaan darahPemeriksaan darah untuk mengetahui kelainan-kelainan yang mungkin terjadi yang dapat dilihat dari hasilnya dan juga untuk mengetahui status kesehatannya. Pemeriksaan darah terutama dapat untuk mengetahui etiologi bangkitan oleh karena faktor fisik yang disebabkan diabetes melitus (hipoglikemia atau hiperglikemia).Pemeriksaan Elektroensefalogram (EEG)Pemeriksaan EEG digunakan untuk melihat aktivitas listrik di otak. Pada bangkitan epilepsi terjadi oleh karena adanya perubahan dari aktivitas listrik di otak yang dapat dilihat dari hasil pmeriksaan EEG dengan gambaran tergantung dari jenis bangkitannya. Sedangkan pada kejang non epilepsi biasanya hasil pemeriksaan EEG tidak memperlihatkan adanya perubahan patologis aktivias listrik di otak. Sehingga hasil pemeriksaan EEG ini sangat bermanfaat untuk mengetahui apakah bangkitan yang terjadi merupakan kejang epilepsi atau bukan.
102
Telemetri VideoPemeriksaan kadang-kadang dilakukan setelah pemeriksaan EEG, dimana pasien dilakukan observasi di bangsal dengan pengamatan video dan juga terpasang EEG. Pemeriksaan ini untuk membandingkan apa yang dilakukan penderita selama terjadi bangkitan dengan apa yang terjadi pada otak selama terjadi bangkitan tersebut.Pemeriksaan CT Scan kepalaPemeriksaan CT Scan kepala pada penderita bangkitan sangat membantu untuk mengetahui kemungkinan terjadinya kelainan fisik di otak yang dapat menyebabkan terjadinya suatu bangkitan. Walaupun demikian CT Scan kepala bukan merupakan alat utama untuk mengetahui diagnosis epilepsi atau bukan. Pemeriksaan pencitraan lainnya yang fungsinya sama dengan CT Scan kepala adalah pemeriksaan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
VI. Penatalaksanaan Kejang non Epilepsi
Penanganan umumPenatalaksanaan terjadinya kejang non epilepsi sangat tergantung dari penyebabnya (Irwin et al., 2000). Seorang dokter umum, spesialis penyakit saraf, atau psikiatris dapat membantu penderita untuk memutuskan terapi apa yang dpat diberikan pada penderita ini. Jika penyebabnya adalah jelas faktor psikogenik maka penderita bisa ditangani oleh seorang psikiatris.Seorang psikiatris akan melakukan anamnesis yang cermat dan teliti tentang riwayat psikiatris sebelumnya, termasuk didalamnya adalah menanyakan adanya stres yang pernah dialaminya. Penanganan oleh seorang psikiatris terhadap penderita kejang non epilepsi yang disebabkan oleh faktor psikogenik akan sangat membantu penderita dalam menghadapi jika terjadi stres di kemudian hari. Konsultasi dengan psikiatris mungkin membutuhkan beberapa kali pertemuan sampai penderita sudah merasa lebih baik atau sembuh. Keterlibatan anggota keluarga dalam penanganan penderita kejang non epilepsi akan sangat membantu penyembuhannya.Suatu diagnosis kejang non epilepsi artinya pada penderita tersebut terjadinya kejang bukan oleh karena adanya bangkitan epilepsi, oleh karena itu tidak perlu diberikan obat anti epilepsi. Kecuali jika pada penderita didapatkan baik kejang epilepsi maupun kejang non epilepsi maka pemberian obat anti epilepsi harus diberikan. Pada penderita kejang non epilepsi jika didapatkan adanya kecemasan maupun gangguan afektif maka obat-obat yang sesuai dapat diberikan.Setelah penderita mengetahui tentang diagnosisnya yang mungkin disebabkan oleh karena pengaruh perasaan maupun emosi, maka beberapa penderita membutuhkan penjelasan jika suatu saat terjadi serangan bangkitan kembali atau penderita diminta untuk selalu konsultasi secara rutin dengan dokternya jika sewaktu-waktu timbul perasaan akan terjadi serangan ulang. Hal tersebut mungkin akan sulit dijelaskan jika terjadinya serangan bangkitan disebabkan oleh karena memang terdapat keduanya, baik kejang epilepsi maupun non epilepsi.
103
Pada penderita kejang non epilepsi suatu pemahaman tentang penyebab dan bagaimana cara mengurangi penyebabnya akan sangat membantu dalam mengurangi kejadian kejang berulang. Sehingga suatu informasi dan suport kepada penderita kejang non epilepsi untuk bisa meningkatkan pemahaman terjadinya kejang akan cukup untuk mengurangi terjadinya serangan bangkitan yang berulang. Informasi tersebut bisa diberikan oleh seorang dokter umum, dokter spesialis penyakit saraf, maupun psikiatris.Penanganan pertama pada penderita kejang non epilepsiKonsensus secara umum menjelaskan bahwa penanganan pertama adalah sama antara kejang oleh karena epilepsi maupun non epilepsi. Prinsipnya adalah jika didapatkan adanya kejang pada seseorang maka yang paling penting adalah mencegah terjadinya cedera lebih lanjut akibat kejangnya. Letakkan penderita pada tempat yang tidak membahayakan, atau cegah terjadinya cedera kepala jika terjatuh. Apapun penyebabnya maka yang terbaik adalah berikan penanganan terhadap kejangnya hingga kejang berhenti.
VIII. KERANGKA KONSEP
104
Meningitis (Kejang dengan demam) pada usia 9 bulan
Epilepsi pada usia 12&18 bulan
Relaps dan terjadi status epileptikus pada usia 3 tahun
Defisit neurologis (hemiparesis dekstra tipe sentral serta parese N. VII
dan N. XII)
Terapi dihentikan
IX. KESIMPULAN
Anak laki-laki usia 3 tahun mengalami epilepsi, hemiparesis dekstra tipe sentral, paresis
nervus VII dan nervus XII dextra tipe sentral, serta paresis tipe sentral et causa status
epileptikus
105
DAFTAR PUSTAKA
Deliana M. 2002. Tatalaksana Kejang Demam Pada Anak. Sari Pediatri Vol.4 No. 2 59-62.
Dimyati Y. Kejang Demam. UKK Neurologi IDAI.
Daoud, A., 2004. Febrile convulsion: review and update. Journal of Pediatric Neurology; 2 (1) : 9-14.
Davis, B.J., 2004. Predicting Nonepileptic Seizures Utilizing Seizure Frequency, EEG, and Response to Medication. Eur Neurol; 51: 153-156.
Engelborghs, S., D’hooge, R., and De Deyn, P.P., 2000. Pathophysiology of epilepsy. Acta Neurol. Belg.; 100: 201-213.
Henry, T.R., 2000. Non-Epileptic Seizures, in Gates, J.R., and Rowan, A.J., Epilepsy and Behavior. 2nd ed. Boston/Oxford: Butterworth–Heinemann; 1 (2): 135.
Irwin, K., Edwards, M., and Robinson, R., 2000. Psychogenic non-epileptic seizures: management and prognosis. Arch Dis Child; 82: 474-478.
Kammerman, S. and Wasserman, L., 2001. Seizure disorders: Part 1. Classification and diagnosis. The Bellevue Guide to Outpatient Medicine – An Evidence-Based Guide to Primary Care, BMJ Publishing Group; 175: 99-103.
Liusen J. 2012. Nervus Fasialis. Pekanbaru: Kepaniteraan Klinik KBKBagian Ilmu Penyakit SarafFakultas Kedokteran Universitas RiauRumah Sakit Umum Daerah Arifin Achmad.
Reuber, M., 2005. Psychogenic nonepileptic seizures: diagnosis, aetiology, treatment and prognosis. Arch Neurol Psychiatr;156: 47-57.
Reuber, M., Howlett, S., Khan, A., and Newald, R.A., 2007. Non-Epileptic Seizures and Other Functional Neurological Symptoms: Predisposing, Precipitating, and Perpetuating Factors. Psychosomatics; 48: 230-238.
Selkirk, M., Duncan, R., Oto, M and Pelosi, A., 2008. Clinical differences between patients with nonepileptic seizures who report antecedent sexual abuse and those who do not. Epilepsia; 48: 1446-50.
Shorvon S. The Management of status epilepticus. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2001 June; 70 (Suppl 2):1122-7.
Marik PE, Varon J. The management of status epilepticus. Chest 2004; 126:582-91.
Sirven J, Waterhorse E. Status Epilepticus. American Family Physician 2003 Aug 1;68(3).
Walker M. Status epilepticus: an evidence based guide. BMJ 2005; 331:673-7.
106
Pokdi Epilepsi. Terapi. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi 2. Jakarta: PERDOSSI; 2006. h. 10-21.
Lowenstein DH, Bleck T, Macdonald RL. It's time to revise the definition of status epilepticus. Epilepsia 1999 Jan; 40(1):120-2.
Pokdi Epilepsi. Terapi Epilepsi Refrakter. Dalam: Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Edisi 2. Jakarta: PERDOSSI; 2006. h. 10-21.
Leppik IE. Intractable Epilepsy in adult in intractable seizure. Diagnosis, treatment and prevention. Advances in experimental medicine and biology. 2002; 497:1-7.
Jimaad C. Status Epilepticus. Journal of the Indian Medical Association 2002; 100 (5): 299-303.
Wulandari D S. 2011. Penurunan Kesadaran. RSUD Serang: SMF Neurologi Universitas Yarsi.
Andrew CF, Tong AW, Leung TWH. Simple partial status epilepticus in Chinese adults. J Clin Neuro Sci [serial online] 2005 [cited 2008 Sep 12]; 12(8):902-4. Available from: URL: http://www.sciencedirect.com/science
Doloren RJ, Hauser WA, Towne AP. A prospective, population based epidemiologic study of status epilepticus in Richmond, Virginia. Neurology 1996 Aprl; 46 (4):1029-35.
Kania N. 2007. Kejang Pada Anak. Bandung: Acara Siang Klinik Penanganan Kejang Pada Anak di AMC Hospital.
Marek A, Mirski, Panayiotis N, Varelas. Seizures and status epilepticus in the critically ill. Crit Care Clin 2008; 24:115–47.
Wasterlain, CG, Fujikawa, DG, Penix, L, et al Pathophysiological mechanisms of brain damage from status epilepticus. Epilepsia 1993; 34(suppl):S37-53
Shorvon. Status epilepticus: its clinical features and treatment in children and adult. Cambridge: University Press; 1995.
Dulac O, Leppik IF. Initiating and discontinuing treatment in comprehensive textbook epilepsy. 1st ed. Philadelphia: Lippincott-Raven; 1998. p.1237-46.
Fenitoin. 2009. Diakses dari situs http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/fenitoin/ tanggal 25 September 2013.
Dexa Medica. Fenitoin Natrium. Diakses dari situs http://www.dexa-medica.com/ourproducts/prescriptionproducts/detail.php?id=110&idc=7. Tanggal 25 September 2013.
107
Asam Valproat. Diakses dari situs http://medicatherapy.com/index.php/content/printversion/136. Tanggal 25 September 2013.
Asam Valproat. 2009. Diakses dari situs http://dokmud.wordpress.com/2009/10/23/fenitoin/ tanggal 25 September 2013.
Rita Dewi Msy. Epilepsi. Divisi Neurologi Anak Departemen Kesehatan Anak RSMH/FK UNSRI.
[Referat Neurologi] Epilepsi. 2011. Diakses dari situs http://kholilahpunya.wordpress.com/2011/01/21/referat-neurologi-epilepsi/. Tanggal 25 September 2013.
Nugraha S. Tingkat Kesadaran. Diakses dari situs http://journal-kesehatan.blogspot.com/2012/01/tingkat-kesadaran.html. Tanggal 25 September 2013.
Wicaksono E R. 2013. Tingkat Kesadaran dan GCS. Diakses dari situs http://emirzanurwicaksono.blog.unissula.ac.id/2013/01/10/tingkat-kesadaran-dan-gcs/. Tanggal 25 September 2013.
Pasien dengan Penurunan Kesadaran. 2012. Diakses dari situs http://rizabarbie.blogspot.com/2012/06/pasien-dengan-penurunan-kesadaran_02.html. Tanggal 25 September 2013.
108