skripsi guee

76
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Isu lingkungan merupakan isu non-tradisional yang saat ini menjadi perhatian dan pembahasan utama dalam studi hubungan internasional. Setelah berakhirnya era perang dingin, isu lingkungan juga sudah mulai menjadi pembicaraan utama dalam setiap agenda Internasional khususnya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan Negara dalam kawasan Asia Tenggara yang juga sangat berperan aktif didalam setiap agenda Internasional khususnya dalam pembahasan isu lingkungan. Komitmen Indonesia dalam isu lingkungan dicerminkan dengan menjadi tuan rumah untuk tiga pertemuan internasional, yaitu pertemuan ke-11 Special Session of The UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP), pertemuan tingkat menteri Forest Eleven (F-11), dan Simultaneous Extraordinary Conference of the Parties (ExCOPs) Basel, Rotterdam, and Stockholm Conventions. Ketiganya dieselenggarakan di Bali Internasional Conference Centre (BICC), Nusa Dua, Bali. 1 Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dengan pembangunan dan pertumbuhan bertahap yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia Tenggara 1 “komitmen Indonesia untuk lingkungan hidup Dunia” Diakses dari http://www.deplu.go.id/budapest/Pages/News.aspx?IDP=3188&l=id tanggal 24 Mei 2010. 1

Upload: muhamad-thoriq

Post on 27-Jun-2015

670 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SKRIPSI GUEE

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Isu lingkungan merupakan isu non-tradisional yang saat ini menjadi perhatian dan

pembahasan utama dalam studi hubungan internasional. Setelah berakhirnya era perang dingin,

isu lingkungan juga sudah mulai menjadi pembicaraan utama dalam setiap agenda Internasional

khususnya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan Negara dalam kawasan Asia

Tenggara yang juga sangat berperan aktif didalam setiap agenda Internasional khususnya dalam

pembahasan isu lingkungan. Komitmen Indonesia dalam isu lingkungan dicerminkan dengan

menjadi tuan rumah untuk tiga pertemuan internasional, yaitu pertemuan ke-11 Special Session

of The UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP),

pertemuan tingkat menteri Forest Eleven (F-11), dan Simultaneous Extraordinary Conference of

the Parties (ExCOPs) Basel, Rotterdam, and Stockholm Conventions. Ketiganya

dieselenggarakan di Bali Internasional Conference Centre (BICC), Nusa Dua, Bali.1

Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dengan pembangunan

dan pertumbuhan bertahap yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia

Tenggara dengan percepatan pembangungan yang menakjubkan sepanjang dekade 90-an, Tetapi

pembangunan dan pertumbuhan tersebut bukan tanpa akibat buruk dari segi lingkungan.

Kerusakan lingkungan khususnya akibat pembangunan dan pertumbuhan salah satunya di

tunjukkan dengan adanya pengalihan fungsi lahan dengan cara membakar lahan sebelumnya.

Berdasarkan data pemantauan satelit NOAA sepanjang tahun 2006, teridentifikasi sejumlah titik

api yang tersebar di Kalimantan Tengah. Hal tersebut memberikan indikasi kuat masih

dilakukannya aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar, karena lebih dari 45% titik api

terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang tertutup hutan. Penyiapan lahan yang dilakukan

oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dengan cara pembakaran adalah upaya jalan pintas yang

murah dan cepat. Emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran pembukaan lahan secara

1“komitmen Indonesia untuk lingkungan hidup Dunia” Diakses dari http://www.deplu.go.id/budapest/Pages/News.aspx?IDP=3188&l=id tanggal 24 Mei 2010.

1

Page 2: SKRIPSI GUEE

signifikan berperan dalam mempercepat terjadinya proses perubahan iklim. Asap hasil

pembakaran lahan seluas 3 juta hektar yang menciptakan 6,4 juta karbon di Kalimantan Tengah

menjadi bencana global.2

Fenomena kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia semakin mendapatkan

perhatian internasional dan harus segera ditindaklanjuti. Kebakaran hutan dan lahan tersebut

tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat terjadinya kebakaran, namun juga

kerugian pada negara lain berupa pencemaran asap lintas batas. Asap yang berasal dari

pembakaran hutan-hutan di Kalimantan dan juga Sumatera menciptakan ancaman keamanan

penduduk di kawasan ASEAN.3 Pembakaran ini dilakukan karena merupakan cara-cara

tradisional untuk membersihkan hutan dari sisa-sisa penebangan liar (illegal loging) sehingga

dapat segera digunakan untuk fungsi yang lain. Selama 20 tahun terakhir, kebakaran hutan telah

menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sejak tahun

1997-1998 kebakaran hutan telah mengakibatkan kerugian Negara sebesar US$ 3 milyar.4

Tahun 1997 adalah puncak permasalahan polusi asap lintas-batas yang terparah, selama

kurang lebih tujuh bulan asap menyelubungi langit Singapura, Malaysia, Thailand, Australia,

Indonesia, dan Filipina. Karena luasnya dampak negatif yang diberikan dari polusi asap terhadap

lingkungan, ASEAN pada saat itu sudah membicarakan masalah ini dengan negara-negara

ASEAN. Hasilnya, Tahun 2002 ASEAN akhirnya mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan

hidup yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk

mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP).5

2 “Ancaman dan kerusakan lahan gambut di tengah pembangungan perkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah” diakses dari http://fwi.or.id/?p=76 pada tanggal 8 Juli 2010.

3 Kusuma Snitwongse and Suchit Bunbongkarn, “New Security Issues and Their Impact On ASEAN”, Dr.Bambang Cipto, MA, Hubungan Internasional di Asia Tenggara,Pustaka Pelajar,Yogyakarta, hal.235.

4 “WWF desak indonesia retifikasi perjanjian asap” diakses dari http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=1691&Itemid=120 pada tanggal 28 April 2010.

5 “Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, tanggal 12 Okt 2006.2

Page 3: SKRIPSI GUEE

Indonesia yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Megawati telah menandatangani

perjanjian pengendalian penceraman polusi asap di Kuala Lumpur, 10 Juni 2002. Tindakan

pencegahan dalam persetujuan ASEAN mencakup pengembangan dan melaksanakan peraturan

program dan strategi kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy), memperkuat

pengelolaan dan kapasitas pemadaman kebakaran di tingkat lokal, meningkatkan kesadaran

pendidikan dan peran serta masyarakat, serta mejamin adanya tindakan hukum dan administratif.

Tetapi, setelah lima tahun berlalu Komisi VII DPR RI belum juga meloloskan Rancangan

Undang Undang (RUU) ratifikasi perjanjian tersebut. Alasan lainnya dikarenakan banyak pihak

yang tidak menginginkan permasalahan domestik ‘di-Internasionalisasi’, permasalahan tersebut

juga tidak mendapat tekanan politis atau dipolitisasi. Banyak isu-isu lainnya yang menjadi

penghambat dalam meloloskan RUU perjanjian tersebut. Jika dilihat dari sisi bargaining power

seharusnya jika perjanjian ini di setujui maka Indonesia dapat memegang kontrol terhadap

permasalahan ini, karena sebenarnya sumber masalah berada di wilayah Indonesia.

Sepatutnya Indonesia mengambil garis terdepan dalam penanganan kasus polusi asap

lintas batas ini dengan menjadi Negara pertama yang meratifikasi The ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut sebenarnya banyak

keuntungan yang akan didapat oleh Indonesia. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia

akan mendapatkan keuntungan secara langsung seperti bantuan untuk menangani polusi asap

yang telah membuat negara kita banyak kerugian secara materi. Bantuan yang akan diberikan

nantinya seperti tenaga ahli, transfer teknologi, dana segar dan bantuan teknis, serta hal-hal yang

Indonesia sendiri belum memilikinya. Selain itu Indonesia diuntungkan dengan ratifikasi

AATHP karena dapat menjadi tuan rumah bagi adanya pertemuan ASEAN tentang perjanjian

tersebut serta menjadi pusat kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN. Untuk itu,

dengan meratifikasi perjanjian tersebut, nantinya Indonesia tidak dapat dituntut secara sepihak,

karena hal tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama negara ASEAN yang telah

meratifikasi perjanjian AATHP, meskipun munculnya asap berasal dari Indonesia. 6

B. Rumusan Masalah

6 .ibid.3

Page 4: SKRIPSI GUEE

Dari penjelasan di atas maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: “faktor-faktor

apa saja yang membuat Indonesia belum meratifikasi The Asean Agreement On Transboundary

Haze Pollution (AATHP)”.

C. Kerangka Konseptual

Sistem politik merupakan teori yang digagas oleh David Easton untuk menerjemahkan

politik sebagai “proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.”7 Sistem adalah kesatuan

dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai

tujuan tertentu. Sistem politik adalah keseluruhan interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai

secara otoritatif untuk dan atas nama masyarakat.8 Dalam bukunya di jelaskan kerja sistem

politik melalui sebuah skema David Easton, skema kerja sistem politik menurut David Easton

menjelaskan proses politik yang berlangsung dalam masyarakat melalui input – sistem politik –

output. Input terdiri dari dua jenis: dukungan dan tuntutan, dukungan (support) bisa berupa

sebuah tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Sedangkan

tuntutan dapat berasal dari sistem politik maupun lingkungan (intra dan extrasocietal). Tuntutan

yang sudah terstimulasi akan menjadi pembahasan bagi pihak-pihak dalam sistem politik untuk

bersiap menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran dalam

sistem politik.9

Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, hasilnya disebut output.

Menurut Easton ada 2 bentuk output yaitu keputusan (decision) dan tindakan (action). Nantinya

output ini akan menghasilkan sebuah feedback (umpan balik) baik dari sistem politik ataupun

lingkungan. Reaksi tersebut kemudian diterjemahkan kembali kedalam format tuntutan dan

dukungan, lalu akan dikembalikan ke dalam proses kerja sistem politik lagi. Oleh karena itu

proses kerja sistem politik ini bekerja dalam pola siklus.10 Unit-unit dalam sistem politik menurut

7 Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm (Boulder, Colorado: WestView Press, 1981) h. 201.

8 Easton, David. A Framework for Political Analysis (1965). h 165.

9 Easton, David, A System Analysis of Political Life (1965).

10 Ibid.4

Page 5: SKRIPSI GUEE

Easton adalah tindakan politik (political actions) misalnya pembuatan UU, pengawasan DPR

terhadap presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal

kerjanya, sistem politik menerima input-input, input yang terdiri dari dua bentuk tersebut berasal

dari masyarakat, karena masyarakat mempunyai kepentingan yang harus diartikulasikan sebelum

akhirnya diproses dan menjadi output. Lalu terdapat organisasi masyarakat, partai politik,

kelompok kepentingan yang menjadi faktor lingkungan atau perantara antara kepentingan

maysarakat yang akan di proses dalam sistem politik. Pada saat berlangsungnya proses politik

aktor yang berperan adalah pemerintah baik legislatif maupun eksekutif sebagai policy maker.

Dalam masalah ratifikasi the ASEAN agreement on transboundary haze pollution,

tuntutan dalam siklus sistem politik yang dibuat oleh Easton berasal dari masyarakat,

masyarakat merupakan elemen utama pembentukan tuntutan, tanpa adanya tuntutan maka sistem

politik tidak akan bisa menghasilkan sebuah output. Tuntutan dalam masalah polusi asap lintas

batas ASEAN ini berasal dari organisasi non-pemerintah seperti Greenpeace yang mendesak

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah mengatasi kebakaran hutan

yang semakin meluas. Saat ini kebakaran hutan melanda wilayah Indonesia di Provinsi Riau di

Sumatra, Kalimantan Tengah dan Barat. Mayoritas kebakaran ini diawali dengan sengaja oleh

perusahaan untuk membuka lahan perkebunan. WALHI dan WWF juga pernah melaporkan

sejumlah perusahaan yang ditengarai terlibat dalam aksi pembukaan lahan dengan pembakaran.

Dalam salah satu pasal ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pasal 3 nomor 5

dijelaskan tentang prinsip yang menegaskan bahwa “pihak-pihak, dalam mengatasi polusi asap

lintas batas, harus melibatkan, sepantasnya, semua stakeholder, termasuk masyarakat lokal,

kalangan LSM, petani dan perusahaan swasta.” Tak perlu dipertanyakan lagi kalau kalangan

LSM mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi perjanjian tersebut. Hal tersebut

seharusnya memberikan pemahaman kepada pemerintah dan parlemen yang seharusnya tidak

mengulur-ngulur waktu untuk meratifikasi perjanjian tersebut.

Peran lembaga organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan seperti

WALHI memiliki peran penting dalam menangani sebuah masalah, lembaga seperti WALHI

berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam perkembangannya,

WALHI perlahan mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah sebagai representasi

5

Page 6: SKRIPSI GUEE

LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam

pembahasan UU lingkungan hidup. 11 Hingga pertengahan 1980-an wacana yang berkembang

dari berbagai diskusi LSM menunjukan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan

antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah.

Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga

tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan

di pemerintahan.12 Tetapi dalam sejalan perkembangannya hubungan antara WALHI dan

pemerintah sering tarik ulur. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan organisasi yang

membutuhkan ruang hidup dan ruang gerak yang cukup, oleh karena itu pertumbuhan tersebut

membawa konsekuensi perkembangan dalam keragaman isu dan gerakan. Perubahan WALHI

dalam mencapai tujuannya membuat hubungan dengan pemerintah sedikit renggang, kebijakan

yang dibuat WALHI dalam mengkampanyekan isu lingkungan semakin tegas, seperti melakukan

aksi-aksi protes keras terhadap kebijakan pemerintah, langkah WALHI melakukan hard

campaign, dan memasukkan isu lingkungan kedalam advokasi. Sejak memasukkan isu

lingkungan kedalam advokasi, secara langsung maupun tidak langsung, WALHI bersentuhan

dengan masalah-masalah struktural dan politik. Persoalan lingkungan di Indonesia adalah

persoalan politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-

kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik. Parahnya, tidak satupun partai

politik yang mempunyai kepedulian pada politik. Walaupun ada beberapa persoalan lingkungan

menjadi agenda utama beberapa partai politik pada saat kampanye. Selain itu, WALHI juga

sadar bahwa dalam berbagai konflik lingkungan hidup terdapat kolaborasi antara kepentingan

negara dan bisnis perusahaan yang sangat kuat. Hal ini berakibat masyarakat menjadi tersudut

dan lemah.13

Persoalan polusi asap hasil kebakaran hutan yang sudah merugikan banyak Negara

sebenarnya berasal dari kebiasaan masyarakat pertanian dan perkebunan yang menyiapkan lahan

meraka untuk musim tanam berikutnya atau persiapan penanaman tanaman perkebunan, 11 “Sejarah WALHI”,Di akses dari http://www.walhi.or.id/in/tentang-kami/sejarah tanggal 20 Juni 2010.

12 Ibid.

13 Ibid.6

Page 7: SKRIPSI GUEE

termasuk juga dunia usaha di bidang perkebunan dan kehutanan dengan cara membakar lahan

yang sebelumnya telah digunakan. Hal tersebut dianggap lebih mudah, karena tidak memerlukan

biaya besar dan ada yang menganggap bahwa hasil lahan yang telah dibakar akan menghasilkan

pupuk organik. Kebiasaan inilah yang menjadi faktor utama dalam kasus-kasus kebakaran hutan

dan lahan di Indonesia. Sebelum masuknya industri pertanian dan perkebunan, tradisi membakar

lahan untuk membuka kawasan baru (land clearing) selalu dilakukan secar bijaksana,

masyarakat tradisional melakukan pembakaran pada areal yang tidak terlalu luas. Pada saat ini,

karena alasan perhitungan ekonomis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, pembakaran

lahan dilakukan secara besar-besaran dan tidak terkendali. Lemahnya tindakan pengawasan yang

dilakukan pemerintah terhadap pengelolaan hutan yang mempertimbangkan kelestarian.

Perusahan perusahan dengan mudahnya memperoleh izin baru pengalihan hutan alam menjadi

hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Izin izin tersebut merupakan

cara agar perusahaan agar dapat membuka lahan secara legal yang didapat dari pemerintah

daerah setempat, tetapi perusahan-perusahaan tersebut dengan mudahnya mendapatkan izin

tersebut dari pemerintah dan akhirnya sewenang wenang menggunakan lahan. Pemberian

pembukaan lahan sebagai konsesi bagi perusahaan dinilai tidak tepat. Kasus yang sering terjadi

di daerah seperti di Riau, pengusaha yang mengantongi HPH dan HTI di areal hutan alam hanya

mengambil kayunya tanpa melihat efek kedepannya. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan

yang berdampak kepada masyarakat sekitar.14 Mungkin ada niat yang tidak baik melegalisasi

pemanfaatan kayu hutan alam atas nama HPH, HTI, atau apa pun demi mendapatkan keuntungan

sepihak.

Dukungan adalah salah satu bentuk input selain tuntutan sebagai bagian dalam siklus

sistem politik. Input dukungan (support) menjadi energi untuk menjaga keberlangsungan fungsi

sistem politik itu sendiri, adanya tuntutan tapi tidak ada dukungan, sistem politik tidak dapat

berjalan, tuntutan tidak bisa di penuhi / konflik mengenai tujuan tidak terselesaikan. Jika tuntutan

ingin di tanggapi, anggota-anggota sistem yang memperjuangkan menjadi keputusan yang

14Diakses dari http://www.pewarta-indonesia.com/Warta-Utama/Warta-Utama/dpd-desak-menhut-hentikan-izin-usaha-hutan.html?comment_id=758&joscclean=1 tanggal 3 Juni 2010.

7

Page 8: SKRIPSI GUEE

mengikat dan mereka yang ingin mempengaruhi proses-proses yang relevan harus mampu

memperoleh dukungan dari pihak-pihak lain dalam sistem tersebut. 15

Legislatif, khususnya komisi VII DPR yang membawahi masalah Lingkungan Hidup

sebenarnya adalah aktor utama yang berperan dalam memberikan dukungan untuk segera

mengupayakan the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution di ratifikasi. Saat ini

Indonesia belum meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas di kawasan ASEAN, karena

memang belum tercapai kesepakatan-kesepakatan mengenai masalah-masalah pendanaan,

peningkatan sumber daya manusia, transfer teknologi dan kelembagaan dll, apakah akan

ditanggung bersama-sama atau hanya negara pengespor asap yang notabene adalah indonesia.

Sejatinya prinsip-prinsip keadilan dan kebersamaan harus disepakati dulu.16 Selain itu, program

RUU mengenai masalah ini belum mendapatkan tempat utama dalam prolegnas DPR 2010-2014.

Hingga saat ini agenda RUU mengenai penanggulangan kebakaran hutan hanya sampai pada

Dewan Perwakilan Daerah. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan bewewenang

menanggulangi bencana adalah pemerintah pusat. Hal tersebut sesuai disebutkan dalam RUU

Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, tetapi saat ini pemerintah daerah tidak bisa

menyelesaikan masalah ini sendiri. Jadi, permasalahan tersebut saat ini di limpahkan kepada

pemerintah pusat untuk di bahas lebih dalam agenda prolegnas.17

Komisi VII DPR sebenarnya mempunyai beberapa hasil upaya yang sudah dilakukan

sebagai sebuah dukungan untuk mempersiapkan kekurangan yang Indonesia miliki dalam upaya

meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas. Dalam upaya menekan kebakaran lahan, anggota

komisi VII DPR, Muhammad Najib (F-PAN) menyerukan adanya koordinasi yang baik diantara

instansi yang terkait untuk mengatasi kebakaran hutan di Indonesia. Hal tersebut ditegaskannya

15 Mochtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, (1984). Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press.

16 Hasil wawancara dengan Ir. Chandra Tirta Wijaya, salah satu anggota Komisi VII DPR, Fraksi PAN, tanggal 18 Juni 2010.

17 “RUU Pengendalian Hutan disetujui DPD” diakses dari http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=10869 tanggal 18 Juni 2010.

8

Page 9: SKRIPSI GUEE

saat rapat kerja dengan Meneg LH, Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, dan Gubernur

Provinsi Riau, yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII Sonny Keraf (F-PDIP), di DPR.18

Upaya serta berbagai cara sudah cukup dilakukan oleh Komisi VII DPR seperti

menyosialisasikan perjanjian polusi asap lintas batas ke daerah-daerah sebelum meratifikasinya,

kata salah seorang Wakil Ketua Komisi VII DPR, Ahmad Fahrial.19 Dengan adanya upaya-upaya

dan usaha yang dilakukan Komisi VII DPR sebagai persiapan untuk mempelajari RUU

perjanjian polusi asap lintas batas, nantinya Indonesia diharapkan sudah siap menerima serta

mengetahui untung-rugi isi dari perjanjian polusi asap lintas batas tersebut, sehingga tidak ada

lagi negara-negara yang dirugikan oleh polusi asap dan mau bersama-sama mencari cara

menanggulangi masalah tersebut. Tetapi untuk kedepannya penulis akan mencari faktor-faktor

apa saja yang membuat Indonesia sampai saat ini beum juga meratifikasi perjanjian AATHP

tersebut berdasarkan kerangka konseptual diatas.

Konsep kelompok kepentingan (interest group) yang dikemukakan oleh David B.Truman

adalah beberapa kelompok yang tersusun atas satu atau lebih sikap bersama yang membuat klaim

tertentu atas kelompok lain dalam masyarakat untuk menjaga, memelihara atau memperluas

sikap melalui tindakan bersama.20 Mereka bertindak dan berbuat karena adanya suatu

kepentingan bagi kelompok tersebut dengan membawa satu isu tertentu dengan mempengaruhi

kebijakan pemerintah demi tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan keinginan-

keinginan tersebut.

Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi

kebijaksanaan negara. Tindakan untuk mewujudkan kepentingan tersebut bisa diwujudkan

melalui institusi pemerintah seperti legislatif. Pemerintah dalam mengeluarkan sebuah keputusan

18 “ koordinasi antar instansi atasi kebakaran”Diambil dari http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2009/sep/11/707/dpr-minta-koordinasi-antar-instansi-atasi-kebakaran-lahan tanggal 6 Juni 2010.

19 Diambil dari http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2006/july/31/Ratifikasi-Konvensi-Lintas-Batas-Asap-Tunggu-Dukungan Daerah tanggal 6 Juni 2010.

20 Charles V. Hamilton, “American Government”, Scoot, Foresman and Company, New York, 1993, h. 62, diambil dari Fatkurrohman, S.IP,M.Si, Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan, Yogyakarta, 2009, h. 29, pada tanggal 12 Juli 2010.

9

Page 10: SKRIPSI GUEE

dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru

menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu setidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang

untuk mengangkat kepentingan, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara.

Salah satu cara penyampaian kepentingan adalah melalui agregasi kepentingan untuk

dimasukkan kedalam alternatif kebijakan pemerintah. Agregasi kepentingan dalam sistem politik

Indonesia berlangsung dalam diskusi lembaga legislatif. DPR berupaya merumuskan tuntutan

dan kepentingan-kepentingan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Dalam

proses tersebut kelompok kepentingan berperan mempengaruhi pembuatan keputusan dari luar,

sedangkan partai politik berperan dari dalam sistem.

D. Argumentasi Utama

Berdasarkan penjelasan konseptual di atas, maka gagasan utama dari faktor-faktor

mengapa Indonesia belum ratifikasi perjanjian The Asean Agreement On Transboundary Haze

Pollution adalah: pertama, legislatif belum menjadikan agenda ratifikasi rancangan undang-

undang perjanjian AATHP sebagai agenda utama dalam proses politik. Kedua, kurangnya peran

yang ditunjukkan Presiden dalam pengambilan kebijakan proses ratifikasi perjanjian polusi asap

lintas batas ASEAN. Ketiga, kurang optimalnya upaya yang dilakukan LSM dalam mendorong

isu polusi asap kebakaran hutan untuk segera di ratifikasi di DPR.

E. Metode Penulisan

10

Page 11: SKRIPSI GUEE

Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan

metode deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data-data sekunder yang diperoleh dari

literature, buku-buku, jurnal, majalah-majalah, koran-koran, serta tulisan-tulisan yang relevan

dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Selain itu data atau informasi juga diperoleh

melalui internet yang berhubungan dengan tulisan.

F. Tujuan Penelitian

Penulisan skripsi ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang

membuat Indonesia sampai saat ini belum juga meratifikasi perjanjian ASEAN on

Transboundary Haze Pollution. Kedua, diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi yang

sifatnya edukatif bagi mahasiswa Hubungan Internasional, khususnya peran pemerintah dalam

penanganan masalah perjanjian Polusi asap lintas batas melalui setiap pembahasan yang ada di

dalam skripsi penulis

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian :

Bab I, merupakan pendahuluan penulisan yang berisi latar belakang, rumusan masalah,

kerangka konseptual dan teori, argumentasi utama, tujuan penelitian, metode penelitian

dan sistematika penulisan.

Bab II, membahas fenomena polusi asap lintas batas yang terjadi di Indonesia. Bab ini

juga akan membahas sejarah awal terjadinya polusi asap lintas batas, penyebab terjadinya

polusi asap lintas batas, serta dampak yang diberikan polusi asap lintas batas terhadap

Indonesia, serta agenda perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN.

11

Page 12: SKRIPSI GUEE

Bab III, membahas Negara-negara yang meratifikasi perjanjuan polusi asap lintas batas

ASEAN, lalu kepentingan negara malaysa serta Singapura dalam perjanjian tersebut.

Bab IV, membahas faktor faktor penghambat Indonesia dalam meratifikasi perjanjian

polusi asap lintas batas ASEAN.

Bab V, pada bab ini merupakan kesimpulan dan rangkuman atas uraian yang telah

dibahas dalam bab-bab sebelumnya.

BAB II

POLUSI KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN YANG TERJADI DI INDONESIA

A. Sejarah Awal Terjadinya Polusi Kabut Asap Kebakaran Hutan

Pertengahan tahun 1997 merupakan awal dari fenomena kebakaran hutan yang menimbulkan

adanya polusi asap hasil kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Saat itu asap yang dihasilkan

dari kebakaran hutan menimbulkan efek negatif terhadap negara tetangga yaitu Malaysia dan

Singapore. Pada tahun 1998, Brunei, lalu Thailand, Vietnam dan Filipina juga dapat merasakan

efek buruk dari polusi asap hasil kebakaran hutan yang ada di Indonesia. Pada tahun 1997-1998,

Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia. Citra situasi kota yang

12

Page 13: SKRIPSI GUEE

diselimuti kabut, hutan yang terbakar dan hewan hewan yang menderita tampil di halaman utama

berbagai koran, televisi dan menarik perhatian umum pada saat itu. Negara tetangga seperti

malaysia dan singapura serta lembaga lembaga bantuan pembangunan melibatkan diri dalam

usaha memadamkan kebakaran hutan tersebut. Kejadian ini dinyatakan sebagai salah satu

bencana lingkungan terburuk sepanjang abad.

Kebakaran yang terjadi di Indonesia termasuk diantara yang terburuk di dunia, telah menarik

perhatian berbagai media massa, organisasi lingkungan, dan pemerintah negara di seluruh dunia.

Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982-1983 dan tahun

1997-1998. Pada tahun 1982-1983 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar

di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran

hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektare pada tahun 1963. Kemudian rekor tersebut

dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan pada tahun 1997-1998 yang telah menghanguskan hutan

seluas 11,7 hektar. Kebakaran terluas terjadi di kalimantan dengan total lahan yang terbakar 8,13

juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 hektar, 1 juta

hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar.

Indonesia merupakan negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia setelah brazil

dan kongo, dihargai karena nilai konservasi keragaman hayatinya, potensi dalam menghasilkan

devisa, dan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Hutan menempati urutan kedua

setelah minyak sebagai penyumbang terbesar untuk perekonomian nasional. Pada masa

pemerintahan Orde Baru, penguasaan hutan merupakan alat sekaligus hadah bagi kekuasaan

negara. Berbagai hutan yang lebat pohonnya dibagikan sebagai hadiah dalam bentuk konsesi

HPH, HTI, dan perkebunan untuk keluarga, teman, dan rekan kerja pada era kepemimpinan

Soeharto, dan juga untuk para anggota kunci militer dan elit politik. Pihak yang menguasai hutan

memiliki kekayaan dan pengaruh yang sangat besar.21

Pasca reformasi tahun 1998 sampai pada saat akhir pemerintahan Presiden Megawati 20

Oktober 2004, bentuk pengelolaan hutan pun tak kunjung membaik. Sebaliknya, deforestasi 1,6

juta hektar per tahun (1985-1997) meningkat tajam di era reformasi menjadi 2,83 juta hektar per

21 “Dinamika Proses Desentralisasi Sektor kehutanan di Sulawesi”, www.cifor.cgiar.org/publications/pdf.../decentralisation-case11b.pdf, diakses tanggal 17 September 2010.

13

Page 14: SKRIPSI GUEE

tahun (1998-2000), yang antara lain didorong oleh kebakaran hutan dan lahan seluas 9 juta

hektar tahun 1997-1998. Lahan kosong di kawasan hutan mencapai 31,952 juta hektar plus

sekitar 17,283 hektar belum terdeteksi. Sedangkan kawasan hutan yang terindikasi perlu

direhabilitasi telah mencapai 59,2 juta hektar.22

Kebakaran hutan di Indonesia yang menghasilkan polusi kabut asap terjadi sejak

kebijakan pembalakan (logging) besar-besaran terhadap hutan hujan tropis sebagai salah satu

andalan utama untuk mendapatkan modal pembangunan, dimulai pada akhir tahun 1960-an.

Sebagai dampak dari pembalakan-pembalakan tersebut, pada tahun 1982-1983 kebakaran hutan

dan lahan secara besar-besaran untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Dalam peristiwa

tersebut sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan musnah terbakar. Sejak saat itu, kebakaran hutan

dan lahan di Indonesia hampir menjadi peristiwa tahunan seiring dengan semakin maraknya

pembalakan hutan, khususnya proses pembalakan dan perladangan tanpa kendali yang

mengakibatkan kerusakan hutan cukup parah dan semakin meluas.23

Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya menghanguskan area yang terbakar. Tetapi

kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kabut asap yang seringkali mencemarkan udara

sehingga tidak saja mengganggu aktifitas masyarakat, namu juga mengancam kesehatan

manusia. Sejak tahun 1990-an, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia mulai

mendapatkan “perhatian” dari negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana

yang diketahui bahwa setiap kebakaran hutan dan lahan cenderung menimbulkan asap, begitu

juga halnya dengan kebakaran yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut lebih dikarenakan masalah

kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran-kebakaran hutan dan lahan, seringkali melanda

negara-negara tetangga, seperti halnya dalam peristiwa kebakaran-kebakaran besar tahunan.

Secara umum kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Indonesia seperti,

Kalimantan, Sumatera, pada saat itu terkait dengan kegiatan pembukaan hutan dan lahan baik 22 “Jalan Panjang Perbaikan Pengelolaan Hutan”, http://www.sttnas.ac.id/gapadri/Artikel/16%20Maret%202006/Jalan.html, diakses tanggal 17 September 2010.

23 Otto Soemarowoto , “Pencegahan dan Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan di Tingkat Regional” , disampaikan dalam Temu Wicara Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap yang diselenggarakan oleh Direktoran Jenderal Kerjasama ASEAN pada tanggal 18 Mei 2004 di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta.

14

Page 15: SKRIPSI GUEE

untuk perkebunan maupun yang dilakukan oleh penduduk serta peladang tradisional dalam

mengupayakan mata pencaharian mereka. Di propinsi Jambi misalnya, kebakaran lahan dan

hutan yang terjadi antara tahun 1997-1998 dirasakan memberikan dampak yang buruk terhadap

kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Di propinsi ini kebakaran hutan dan lahan yang

terjadi disebabkan oleh masyarakat, petani dan peladang tradisional dalam membuka lahan baru.

Di Sumatera Selatan juga menunjukkan gambaran yang tidak jauh berbeda. Sumber kebakaran

hutan dan lahan 99% disebabkan karena ulah manusia yang melakukan kegiatan tebang, tebas,

dan bakar dalam setiap pembukaan lahan untuk perladangan. Sementara di Propinsi Kalimantan

Timur peristiwa kebakaran hutan dan lahan 90% juga disebabkan oleh pembukaan lahan dan

hutan dengan cara membakar. Sejak pertengahan bulan Agustus, penyebaran titik api (hotspots)

telah menunjukkan peningkatan di Propinsi Jambi, khususnya di wilayah kabupaten Muoro

Jambi, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Batanghari. Berdasarkan status

lahannya, sebaran titik api berada pada Taman Nasional Berbak, hutan produksi, hutan gambut

lindung, lahan transmigrasi dan masyarakat.24

Hingga saat ini pertistiwa kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 masih merupakan

yang terburuk, baik dari tingkat kebakarannya, pencemaran kabut asap yang ditimbulkannya,

maupun dampak serta kerugiannya. Bencana El Nino yang melanda dunia termasuk di kawasan

Asia Tenggara pada tahun 1997-1998, tidak saja menumbulkan musim kemarau yang

berkepanjangan, namun juga turut memberikan kontribusi terhadap peristiwa kebakaran global,

dimana sekitar 25 jut hektar hutan di seluruh dunia hangus terbakar. Dari jumlah tersebut,

peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia merupakan yang terbsesar dimana

sekitar 11,7 juta hektar hutan ikut musnah terbakar dengan total kerugian Rp.107 miliar. Selain

hutan dan lahan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan juga telah menimbulkan

perhatian dan kekhawatiran tersendiri.

Kebakaran hebat yang terjadi pada rentan tahun 1997-1998 merupakan akibat dari

kombinasi antara pengelolaan hutan yang tidak beraturan dan fenomena iklim El-Nino yang telah

menghancurkan 210.000 km persegi dari wilayah propinsi Kalimantan Timur selama beberapa

24 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Penanggulanan Masalah Kabut Asap, Jakarta, 2004, hal. 24

15

Page 16: SKRIPSI GUEE

tahun tersebut. Selain itu, praktek kegiatan pembalakan yang menciptakan efek sangat buruk

karena meninggalkan hasil limbah pembalakan yang luar biasa dalam hutan. Kekeringan akibat

fenomena El-Nino yang hebat melanda kawasan ini antara bulan Juni 1997 dan bulan Mei 1998,

dan kebakaran terjadi serempak hampir di seluruh wilayah propinsi ini pada akhir tahun 1997.

Kebakaran ini tidak bisa dikendalikan sampai akhirnya musim hujan tiba kembali pada bulan

Mei 1998. Saat itu 3,2 juta ha hutan habis terbakar, 2,7 juta ha diantaranya adalah hutan hujan

tropis. Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran yang merambat

perlahan di hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja di balak

dan di hutan rawa gambut. Kebakaran yang luas kembali terjadi beberpa kali dalam dekade

berikutnya. Di Kalimantan Timur terbakar 500.000 hektar pada tahun 1991 dan 5 juta ha pada

tahun 1994.25

Kebakaran hutan merupakan gejala krisis yang paling dramatis dan nyata yang

mempengaruhi hutan Indonesia dan masyarakat di hutan. Masyarakat di dan di sekitar hutan juga

menanggung beban jangka panjang atas terjadinya kebakaran oleh hilangnya sumber

penghidupan dan dampak terhadap kesehatan. Kebakaran merupakan efek langsung dari politik-

ekologi yang ada di Indonesia, karena akibat dari alokasi penebangan dan konsesi perkebunan

pada kelompok elit yang berkuasa, korupsi yang menghalangi pemantauan hutan secara efektif di

lapangan. Kebakaran secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh keputusan politik dan

permainan pengusaha. Meskipun kebakaran hutan 1997-1998 yang dasyat belum terjadi lagi di

Indonesia, siklus tahunan pembakaran, asap dan kabut asap masih berlanjut. Meskipun tidak

menjadi tajuk berita surat kabar internasional, kerusakan yang diakibatkan tidak sedikit baik

dalam hal cakupan hutan yang rusak maupun biaya untuk kesehatan dan penghidupan. Sekarang

ini banyak kebakaran yang disulut untuk kepentingan kantong pribadi. Jumlahnya bervariasi,

tetapi semua sumber sepakat bahwa perkebunan kayu pulp dan kelapa sawit besar yang paling

bertanggung jawab. Perusahan dan kontraktor mereka tidak segan melecehkan hukum dalam

iklim politik yang tidak jelas sekarang ini. kajian terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa

pembukaan lahan skala besar ikut menyebabkan sampai 34% kasus kebakaran hutan,

25 “kebakaran hutan dan lahan”, pdf.wri.org/indoforest_chap4_id.pdf, hal. 62.16

Page 17: SKRIPSI GUEE

perladangan tebas-bakar 25%, pertanian menetap 17%, konflik antara penduduk lokal dan

pemegang ijin hutan 14%.

Beberapa hal di atas yang menunjukkan bukti bukti adanya cara ilegal dalam pengelolaan

lingkungan menyebabkan adanya kebakaran sehingga timbul polusi asap kebakaran hutan.

Kebakaran hutan juga merupakan gejala konflik sosial di Indonesia, khususnya konflik masalah

kepemilikan dan penggunaan tanah. Pembakaran adalah senjata yang dipakai oleh kedua belah

pihak. Perusahaan perkebunan mempertaruhkan klaim mereka atas tanah masyarakat adat

dengan cara membakar dan masyarakat setempat yang sakit hati membalas dendam dengan

menghancurkan perkebunan yang didirikan pada lahan adat tanpa persetujuan mereka.

Penegakkan hukum dapat mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan. Pembakaran

untuk membuka lahan adalah tidakan illegal di Indonesia sejak 1995. Larangan ini diperkuat

dengan UU Kehutanan 1999. Staf perusahaan dianggap salah karena membuka lahan hutan

dengan membakarnya dan diancam hukuman penjara maksumum 15 tahun dan denda sampai

lima milyar rupiah. Jika kebakaran ditemukan di atas lahan HPH, tidak peduli dari mana

mulainya, pegawai perusahaan dapat didenda karena kelalaian sebesar 1,5 milyar rupiah atau

lima tahun penjara. Indonesia menuai banyak kritik internasional karena tidak berbuat cukup

untuk mengendalikan kebakaran hutan. Usaha-usaha negara-negara anggota ASEAN untuk

menangani permasalahan ini dinilai tidak efektif. Bagi negara tetangga Indonesia sesama

ASEAN, persoalannya adalah asapnya bukan apinya. Kerjasama regional lingkunan telah

membahas jalan keluar bersama mengatasi kabut asap sejak awal 1990an. Telah ada serangkaian

konferensi, seminar dan lokakarya internasional tentang polusi lintas perbatasan sejak 1997.

Tanpa adanya tindakan efektif pada tingkat pemerintah, maka masalah ini akan berlarut larut dan

tidak akan menemui penanganan serius dalam masalah ini.26

1. Penyebab polusi kabut asap di Indonesia

Polusi asap hasil kebakaran hutan merupakan suatu fenomena rutin yang hampir dialami oleh

negara-negara yang memiliki hutan pada saat musim kemarau setiap tahunnya. Di Kanada

misalnya, kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat dry-seasson sekitra bulan April – Agustus,

26 Liz chidley, “Forest, People, Right: a Down to Earth Special Report”, Juni 2002, hal. 60.17

Page 18: SKRIPSI GUEE

rata-rata menghanguskan sekitar 3 juta hektar hutan setiap tahunnya serta menelan kerugian atas

struktur dan properti sekitar $2,2 juta. Peristiwa kebakaran hutan terbesar yang terjadi pada tahun

1994-1995 bahkan telah membakar hangus sekitar 13,4 jtua hektar hutan.27

Sebanarnya apakah yang disebut dengan pencemaran asap lintas batas? “asap lintas batas”

lebih dikenal sebagai “kabut asap” atau secara sederhana diartikan “asap”. Encyclopedia

Amerika mendefinisikan “asap” sebagai “suatu kondisi meteorologi di mana partikel-partikel

kecil yang berasal dari debu, garam, atau air yang berada di atmosfer. Sebenarnya ada

perbedaam amtara letiga istilah “asap”, “kabut”, dan “asap lintas batas”, ketika timbulnya api

saat kebakaran akan menumbulkan asap tetapi ketika asap tersebut berhenti di atmosfer itulah

yang disebut kabut. Jika kabut asap tersebut melintasi batas-batas politik, atau batas-batas

negara, itulah yang kemudia disebut dengan “polusi asap lintas batas”. Ketika asap hasil

kebakaran hutan yang berada di atmosfer terbawa angin melewati batas-batas negara maka hal

tersebut akan menjadi masalah dan gangguan serta merugikan negara yang terkena kabut asap

tersebut.28

Ada beberapa faktor umum terjadinya polusi kabut asap lintas batas, yaitu:

1. Faktor alam, seperti terjadinya kilat, letusan gunung berapi, dan yang paling berpengaruh

adalah musim kemarau yang berkepanjangan termasuk pengaruh El-Nino sebagai pemicu

utama kebkaran hutan yang pernah melanda kawasan Asia Tenggara, khususnya di

Indonesia pada tahun 1997.

2. Faktor manusia, dalam melakukan kegiatan seperti pembukaan lahan dan peladagangan

berpindah khususnya dengan metode pembakaran serta pembalakan. Jika dilihat dari

kedua faktor penyebab tersebut, terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kawasan Asia

Tenggara selama ini cenderung lebih disebabkan oleh faktor alam, sepert pada tahun

27 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit, hal. 19.

28 Ebinezer R. Florano, Konverensi International Environmental Governance, “Regional Environment Cooperation without tears of fears: The Case of the ASEAN Regional Haze Action Plan”, hal. 2

18

Page 19: SKRIPSI GUEE

1997 dimana peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin memburuk

akibat musim kemarau yang berkepanjangan yang disebabkan fenomena El-Nino.

Adanya dua faktor umum di atas, ditambah dengan kondisi alam Indonesia sebagai negara

yang memiliki hutan hujan tropis terbesar kedua setelah Brasil, tidak terlepas dari permasalahan

kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran hutan akan lebih parah

apabila lokasi yang terbakar merupakan area lahan gambut, yang berarti pada saat musim

kemarau akan menjadi “bahan bakar: yang sangat mudah terbakar. Kebakaran hutan akan terjadi

apabila memenuhi dua syarat yaitu api dan adanya bahan bakar di tempat. Kondisi hutan hujan

tropis di Indonesia yang sebagian besar area nya telah rusak akibat pembalakan serta metode

pembakaran yang merupakan “bahan bakar” potensial yang mudah sekali terbakar, khususnya

pada saat musim kemarau. Hal tersebutlah yang terjadi dalam setiap kebakaran hutan dan lahan

pada tahun 1997-1998, serta tahun tahun berikutnya. Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan

tersebut yang menganggu keadaan domestik, serta adanya angin yang berhembus kencang

selama musim kemarau yang membuat asap tersebut mudah terbawa angin sehinga membawa

asap tersebut ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Dari segi ekonomi, total

kerugian di delapan propinsi yang mengalami kebakaran hutan secara hebat, seperti daerah Riau,

Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur diperkirakan

mencapai Rp.3,64 triliun.

Gambaran di propinsi Sumatera Selatan juga menunjukkan keadaan yang tidak jauh berbeda.

Sumber kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Sumatera Selatan 90% disebabkan oleh kegiatan

manusia yang melakukan tebang, tebas, dan bakar dalam setiap pembukaan lahan untuk

perladangan. Sementara di Propinsi Kalimantan Timur, peristiwa kebakaran hutan dan lahan

merupakan kejadian yang berulang kali terjadi, yaitu sejak tahun 1981-1982 hingga saat in.

namun kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 masih dianggap sebagai kejadian yang

terbesar yang telah menimbulkan kerugian besar ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, kesehatan

dan sosial. Seperti daerah lainnya, penyebab terjadinya kebakaran di Kalimantan Timur adalah

faktor manusia yang mencapai sekitar 90%.29

29 Penjelasan Dinas Kehutanan dan Kebakaran Propinsi Kalimantan Timur kepada Wakil-wakil Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu, pada saat kunjungan ke Samarinda dalam rangka pengumpulan data dan informasi, tanggal 11 April 2004.

19

Page 20: SKRIPSI GUEE

Kejadian kebakaran hutan dan lahan merupakan hal yang sepatutnya tidak terjadi secara

berulang ulang kali, harus ada pemahaman terhadap kepatuhan hukum, tata cara pengelolaan

lahan, kepatuhan izin pengelolaan hutan, serta tindakan pemerintah yang tegas terhadap pelaku

perusakan lahan. Kegiatan kegiatan yang memberikan wawasan ekologi tersebut harus diberikan

dari pemerintah hingga para petani tradisional. Meskipun banyak kegiatan pengelolaan hutan dan

lahan seperti pengembangan organisasi pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, namun

kebakaran hutan dan lahan masih saja terus terjadi setiap tahunnya mengingat pemahaman

mengenai konsep-konsep pengelolaan hutan dan lahan secara baik dan berwawasan ekologi

masih belum dimengerti dan diterima, khususnya oleh para peladang tradisional.

Dalam kebakran tahun 2000 dan tahun-tahun selanjutnya, dapat dikatakan bahwa fenomena

alam adalah faktor yang sangat kecil memberikan andil dalam kebakaran yang terjadi. Sumber

daya hutan dan lahan Indonesia telah berada pada titik ketidakseimbangan ekologi (ecological

imbalance). Kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan antara 800.000 hektar hingga 1,3 juta

hektar per tahun. Sedangkan kerusakan hutan dan lahan telah mencapai 43 jtua hektar per tahun.

Pada umumnya, hal ini disebabkan karena terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber

daya hutan baik untuk keperluan pengambilan hasil hutan, pembukaan lahan perkebunan maupun

untuk keperluan lain seperti pertambangan. Persoalan kerusakan hutan dan lahan diperburuk lagi

oleh kegiatan pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan melalui

pembakaran. Pembakaran hutan dan lahan ini telah menimbulkan pencemaran asap, yang

menyumbang terhadap pemanasan bumi dan perubahan iklim yang pada akhirnya memberikan

bebanbagi ekosistem hutan.30

Secara umum, polusi asap yang berasal dari kebakaran hutan terjadi apabila ada setidaknya

tiga faktor penentu, yaitu bahan yang dapat terbakar, sumber api, dan zat asam yang bertemu

atau berintraksi dalam proses pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan bahan organis

lainnya bila tidak ada sumber api, tentunya tidak akan menyulut kebakaran.31

Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia sebagai berikut:30 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit., Hal.159

31 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, hal.4-5.20

Page 21: SKRIPSI GUEE

1. Peladangan Berpindah

Peladangan berpindah telah dilakukan secara luas di Indonesia selama ribuan tahun, dan

terus berlanjut sampai sekarang di beberapa tempat di Indonesia. Untuk jangka panjang,

peladangan berpindah secara tradisional dianggap memiliki dampak yang kecil terhadap

ekosistem hutan. Kecendrungan saat ini mengarah pada pembukaan lahan yang lebih

besar untuk waktu yang lebih lama, sehingga kejadian ini akan terjadi berulang ulang

kali.

2. El Nino

Kekeringan yang berkaitan dengan El Nino muncul di Indonesia setiap dua sampai tujuh

tahun dengan intensitas yang berbeda-beda. Kejadian yang parah menyebabkan

kegagalan panen, kekurangan air, dan menimbulkan dampak terhadap hutan yang

meliputi matinya pohon atau terganggunya daur pembuangan. Kekeringan yang tinggi

disertai dengan tingginya bahan bakar di hutan yang telah ditebang, dan digunakannya

api untuk pemukaan lahan telah menciptakan tingginya bahaya kebakaran. Dalam

keadaan seperti ini, kebakaran dapat timbul secara alamiah. Tetapi, kelalaian dan

keserakahan manusia bertanggung jawab atas sejumlah besar meluasnya sebaran

kebakaran di Indonesia.

3. Konsesi Kayu

Pengelolaan hutan dan praktek guna lahan di Indonesia telah berkembang pesat selama

tiga dekade terakhir. Penggunaan secara komersial sumber daya dan alahan hutan

dilakukan secara terbatas sampai setengah abad terakhir. Keadaan ini berubah cepat saat

rezim orde baru. Puluhan juta hektar lahan hutan diberikan pada perusahaan perkayuaan

pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan

secara tiba-tiba kegiatan perkayuan di Indonesia yang mengakibatkan berubahnya

lansekap dalam dua dasawarsa terakhir. Kebijakan pemerintah dan prosedur de facto

tentang alokasi lahan dan penyelesaian konsesi kayu memiliki banyak kesalahan,

21

Page 22: SKRIPSI GUEE

diantaranya: sangat terbuka korupsi, mendorong dilakukannya penebangan yang

mengakibatkan dampak yang parah terhadap ekosistem hutan, keanekaragaman hayati,

dan penduduk yang tinggal di hutan. Buruknya praktek penebangan menyebabkan

tertinggalnya limbah kayu dalam jumlah besar di hutan yang akan meningkatkan resiko

kebakaran.

4. Tanaman Perkebunan

Pada periode 1990-an terlihat adanya peningkatan luas lahan tanaman perkebunan yang

merupakan pendorong paling besar dibelakang konversi lahan di Indonesia. Pemerintah

mendukung pengembangan perkebunan kayu dna perkebunan kelapa sawit melalui

beberapa rangsangan seperti lahan bebas atau gratis, serta modal disubsidi. Adanya

peningkatan permintaan domestik dan internasional akan kelapa sawit disertai dengan

kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen berbiaya rendah atas komoditas ini, telah

menambah dorongan terhadap pertumbuhan industri minyak kelapa sawit yang sering

kali mendapat dukungan teknis dan keuangan dari luar negri. Seperti juga kasus konsesi

kayu yang terjadi sebelumnya, perkebunan juga menciptakan permasalahan sosial dan

lingkungan, termasuk menjadi sumber tunggal terbesar risiko kebakaran hingga timbul

polusi asap. Perusahaan perkebunan dan kontraktor yang disewa umumnya hanya

menggunakan api untuk pembukaan lahan. Sekitar tahun 1990-an, skala pembakaran

meluas setiap tahunnya sejalan dengan pembukaan lahan dari tahun ke tahun. Dampak

dari kebakaran disengaja ini adalah timbulnya asap setiap musim kering yang sampai

pada negara tetangga.

5. Penduduk

22

Page 23: SKRIPSI GUEE

Penduduk yang tinggal di dalam dan di dekat hutan seringkali menjadi orang yang

mengeksploitasi hutan sekaligus juga sebagai korban dari eksploitasi komersial. Hal ini

merupakan pendorong untuk mengesploitasi hutan secara serampangan. Peladang

perorangan bertanggung jawab atas terbakarnya hampir setengah dari luas lahan hutan

yang terbakar di Indonesia karena mereka menggunakan api untuk membuka lahan dan

membakar limbah pertanian. Masyarakat asli dan pendatang sering dikorbankan bila para

pengeksploitasi besar seperti penerima konsesi kayu dan perkebunan mengambil paksa

lahan dan sumber daya hutan tempat bergantungnya penghidupan penduduk.

Pengeksploitasi dan yang tereksploitasi menggunakan api sebagai senjata untuk melawan

sau sama lain. Tidak adanya hukum yang jelas tentang kepemilikan lahan dan lemahnya

prosedur pemerintah dalam mengalokasikan lahan untuk penggunaan komersial

bertanggung jawab atas konflik ini. hal ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah

dalam mengatur penggunaan api untuk pembukaan lahan.

Dapat di simpulkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia diakibatkan oleh

kurangnya kesadaran akan bahaya membuka lahan dengan cara pembakaran hutan,

buruknya pengelolaan hutan, lemahnya pengendalian kebakaran disertai dengan

kekeringan, dan tidak adanya ketegasan tindakan berdasarkan hukum yang berlaku oleh

pihak yang berwenang. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengendalian dalam tata cara

penggunaan api dan pencegahan pengrusakan lahan. Sehingga tidak lagi nantinya

kebakaran hutan sehingga menimbulkan kabut asap hasil kebakaran hutan dan membuat

polusi hingga negara tetangga, serta merugikan negara sendiri.32

2. Dampak polusi kabut asap lintas batas

Ada beberapa dampak yang ditimbukan oleh adanya polusi kabut asap hasil kebakaran hutan

adalah sebagai berikut: Dampaknya terhadap sosial, budaya dan Ekonomi

a. Hilangnya mata pencaharian masyarakat hutan.

32 ibid hal. 5-7.23

Page 24: SKRIPSI GUEE

Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan

tidak mampu melakukan aktivitas mereka kembali. Hal tersebut dikarenakan aktivitas

pembakaran lahan oleh perusahan perusahan yang mengakibatkan kerusakan lahan

tanaman. Asap yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan sedikit mengganggu

aktivitas yang secara otomatis mempengaruhi penghasilan masyarakat hutan. Adanya

kebakaran juga membuat hilangnya beberapa luas areal hutan tempat biasa

mengambil hasil hutan, seperti rotan, karet.

b. Terganggunya aktivitas sehari-hari.

Adanya gangguan asap akibat dari kebakaran hutan secara otomatis juga menggangu

aktivitas sehari-hari manusia. Sulitnya penglihatan jarak pandang di jalan akan

membuat produktifitas seseorang mengecil sehingga kegiatan di luar lapangan

terhambat.

c. Terganggunya kesehatan.

Adanya polusi kabut asap hasil kebakaran hutan memberikan dampak langsung

terhadap kesehatan masyarakat, baik di Indonesia maupun negara tetangga yang

terkena dampak dari polusi kabut asap tersebut. Dalam kebakaran hutan tahun 1997-

1998 dilaporkan sekitar 20 juta orang di Sumatera dan Kalimantan terkena gangguan

saluran pernafasan akut (ISPA).

d. Dampak politik.

Pencemaran polusi kabut asap lintas batas ke wilayang negara tetangga, seperti

Malaysia, Singapore, dan Brunei tidak saya menimbulkan kerugian kerugian yang

seperti Indonesia rasakan, namnun juga mendatangkan reaksi concern dari pemerintah

negara-negara tersebut. Terlepas apa yang mereka ketahui tentang permasalahan

kabut asap di Indonesia, tetapi berlanjutnya masalah kebakaran hutan dan lahan setiap

24

Page 25: SKRIPSI GUEE

tahunnya dikhawatirkan akan melahirkan suatu bentuk protes dari negara-negara

tetangga.33

Tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah terhadap permasalahan ini

merupakan indikasi kelemahan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah, permasalahan polusi

kabut asap ini conthonya, telah berulang kali terjadi dari tahun puncaknya 1997-1998, hingga

beberapa tahun kedepannya sehingga hal ini menjadi perhatian beberapa pihak-pihak yang

concern terhadap permasalahan lingkungan. Pemerintah kurang serius untuk memilimalisir

apalagi menindak pelaku pengrusakan hutan dan lahan. Sejak bencana kebakaran hutan yang

terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan, bahkan sejumlah bantuan yang

diberikan pada tahun 1998 oleh UNDP yang telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan

Bencana Kebakaran tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Payung hukum yang harusnya melindungi dan dapat mencegah adanya kebakaran hutan

dinilai kurang kuat dalam usahanya menertibkan tindakan-tindakan perusahaan-perusahaan yang

melakukan cara bakar, pembalakan, serta membuka lahan yang berlebihan. UU Kehutanan No

41 tahun 1999 yang membawahi permasalahan lingkungan dinilai kurang memberikan perhatian

yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Sebagai contoh bahwa larangan

membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan pasal 50 ayat 3 ternyata dapat dimentahkan

untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Demikian

halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan

Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensi Peraturan Pemerintah yang

menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan.34 Dari fakta tersebut kita dapat menilai

tindakan pemerintah yang kurang tegas dan seperti membiarkan permasalahan ini belarut larut

sehingga tidak ada titik terang dalam pemecahan masalah ini.

Beberapa lembaga pemerintah memiliki berbagai kebijakan tentang pencegahan dan

pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak

33 “Kebakaran Hutan dan Lahan Riau: Kebijakan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Manusia”, http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/kebkr hut riau mak 230403, diakses tanggal 13 September 2010.

34

25

Page 26: SKRIPSI GUEE

ditegakkan. Indonesia juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya

yang menghuku, pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat nasional dan

di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai Undang-Undang mengenai perlindungan terhadap

lingkungan jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada

tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam

pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi penting yang dijatuhkan.

Pada bulan Februari 2001, pemerintah mengeluarkan satu peraturan baru tentang

kebakaran hutan (Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001). Yang meliputi polusi dan kerusakan

terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Peraturan baru ini

mengatur tanggung jawab masing-masing pemerintah pusat, propinsi, dan daerah dalam

menangani kebakaran. Tetapi menjelang tahun 2001 terjadi kebakaran hebat yang

mengakibatkan adanya polusi kabut asap hingga mencapai negara tetangga, kenyataan tersebut

memberikan penjelasan kepada ktia bahwa prospek adanya kebijakan yang efektif dalam

menangani permasalahan kebakaran hutan setiap tahun di Indonesia masih kurang serius.35

B. Kerugian yang diderita Malaysia, Singapura dan Indonesia Akibat Polusi Kabut

Asap Kebakaran Hutan

1. Kerugian yang diderita Malaysia Akibat Asap Kebakaran Hutan

Kehadiran asap yang menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari di Malaysia

terjadi pertama kali pada bulan April 1983. Gangguan terjadi lagi pada bulan Agustus 1990, Juni

sampai Oktober 1991, dan berulang muncul setiap tahun sejak tahun 1992 pada tiap bulan

Agustus, September, dan Oktober. Dampak asap mencapai puncaknya pada tahun 1997, ketika

itu langit tercemar dari bulan Agustus sampai November.

Asap tahun 1997 telah menyebabkan ketidaknyamanan dan sangat mempengaruhi

perekonomian Malaysia. Asap memicu penyakit pernafasan, menyebabkan penurunan produksi

tanaman dan perikanan, gangguan terhadap jasa transpotasi, dan industri pariwisata. Indeks

35 Hermanus B. Rumajomi, makalah Pengantar filsafah sains, “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Dampakanya terhadap Kesehatan”, Bogor, 4 Desember 2006, diakses tanggal 08 Agustus 2010.

26

Page 27: SKRIPSI GUEE

pencemaran udara mencapai batas tertinggi untuk pertama kalinya di Malaysia, sehingga

diberlakukan keadaan darurat di negara bagian serawak selama 10 hari pada saat itu.

Nilai perkiraan kerugian akibat asap di malaysia dari bulan Agustus sampai Oktober 1997

adalah RM 802 juta. Nilai kerugian per kapita adalah RM 37. Nilai keseluruhan, kerugian akibat

asap cukuplah besar karena dengan nilai sebesar itu, beberapa proyek sosial dapat dilakukan

Malaysia bila uang tersebut tidak digunakan untuk mengatasi asap. Total Biaya yang dikeluarkan

oleh malaysia untuk mengatasi polusi kabut asap kebakaran hutan 3,34 kali dan 2,51 kali

pengeluaran tahunan untuk setiap program sosial dan prasarana yang Malaysia buat.36

2. Kerugian yang diderita Singapura Akibat Polusi Kabut Asap

Bencana Polusi Kabut Asap yang terjadi berulang kali sejak tahun 1994, bukanlah hal

baru di Asia Tenggara atau di Singapura, walaupun tingkat keparahan dan lamanya kejadian

berbeda setiap tahunnya.

Bila asap muncul, sebagian orang melihatnya sebagai sebuat ketidaknyamanan yang

terjadi secara sepintas. Kondisi ini umumnya berlangsung selama dua minggu. Tetapi asap tahun

1997 telah mengubah hal tersebut. Tahun itu, asap terus berlangsung selama lebih dari dua bulan,

dan telah mengisi judul halaman media massa dengan perhatian pemerintah dan masyarakat.

Selama periode asap (Agustus-Oktober), pemantauan harian PSI (Pollutan Standart

Index) menunjukkan bahwa Singapura mengalami tentang tidak sehat selama 14 hari pada tahun

1997. Hal tersebut menimbulkan permasalahan pada kesehatan masyarakat di Singapura.

Kelompok yang memiliki risiko lebih besar adalah anak-anak, orang lanjut usia, dan orang yang

telah menderita gangguan medis seperti asma, alergi kulit, dan penyakit paru-paru kronis.

Selain di bidang kesehatan Singapura juga mengalami kerugian di bidang pariwisata.

Industri pariwisata terkena dampak cukup parah. Memburuknya asap disertai adanya peliputan

mengenai bencana lingkungan tersebut membuat pengunjung mancanegara menjauh. Data Dinas

Pariwisata Singapura mencatat adanya penurunan jumlah pengunjung Singapura pada tahun

36 ? David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, Op. cit, hal. 5727

Page 28: SKRIPSI GUEE

1997 sebesar 1,5%. Dari bulan Agustus sampai Oktober 1997, wisatawan berkurang jumlahnya

sekitar 650.000, menjadi berada di bawah 500.000. pada bulan Agustus 1997 kedatangannya

berkurang sebesar 1,5% dibanding tahun 1996. 37

3. Kerugian yang diderita Indonesia Akibat Polusi Kabut Asap

Indonesia mengalami keadaan yang paling buruk dibandingkan negara tetangga yang

terkena bencana polusi kabut asap. Media melaporkan adanya hubungan antara kebakaran dan

asap dengan berbagai kerusakan, termasuk memburuknya kesehatan, hilangnya pohon-pohon

dan tanaman perkebunan, hilangnya mata pencaharian, hingga kecelakaan pesawat.

Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Seringkali terdengan sebuah pesawat

tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap yang menyelimuti daerah tersebut. Sudah

tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena seperti negara tetangga lainnya,

pengunjung mancanegara akan merasa terganggu dan bahkan takut untuk datang ke Indonesia.

Kerugia akiba asap seperti hilangnya pengunjung pariwisata mancanegara mencapai 187.000

orang sapai 281.000 orang selama periode kebakaran terjadi. Sedangkan kerugian ekonomi

diperkirakan sebesar US$ 59,61 juta.38

C. Agenda Perjanjian Polusi Kabut Asap Lintas Batas ASEAN

Sejak akhir tahun 1970-an, masalah lingkungan hidup khususnya masalah polusi kabut asap

telah menjadi perhatian yang penting di negara-negara Asia Tenggara. Karena masalah ini telah

menjadi isu lintas batas negara, dimana masalah ini telah menjadi isu lintas batas negara, serta

akibat dari permasalahan tersebut mengakibatkan masalah sosial, ekonomi dan politik sehingga

perlu mendapatkan perhatian khusus dan ditangani secara menyeluruh. Dalam 20 tahun

37 Ibid, hal. 77.

38 Ibid, hal. 117.28

Page 29: SKRIPSI GUEE

belakangan dunia telah kehilangan 200 juta hektar pepohonan yang sebanding dengan 1/3 luas

daratan Amerika Serikat. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara terbesar ke-2 di

dunia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis, sehingga diperlukan adanya perhatian

khusus dari seluruh masyarakat domestik maupun internasional.

Polusi kabut asap lintas batas merupakan akibat dari terjadinya bencana kebakaran hutan dan

lahan di Indonesia. Pada tingkat pemerintah mungkin dapat dicapai suatu upaya yang nyata

untuk segera mencari cara penanggulangan pencemaran polusi kabut asap lintas batas dalam

bentuk kerjasama antar negara-negara tetangga. Untuk menangani masalah kebakaran hutan dan

lahan yang menyebabkan polusi kabut asap lintas batas dimulai dengan kerjasama ASEAN di

bidang lingkungan hidup yang sejak tahun 1978. Dalam perkembangannya, masalah

penanggulangan polusi kabut asap lintas batas semakin terlembaga dalam berbagai kerangka

kerjasama ASEAN. Seperti yang telah disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN masing-

masing pada tahun 1997 dan 1998 maka telah disahkan Strategic Plan Of Action on Environment

1999-2004 (SPAE 1999-2004). Salah satu bagian terpenting dari SPAE 1999-2004 adalah

masalah penanggulangan polusi kabut asap lintas batas negara sebagai dampak dari kebakaran

hutan dan lahan.39

Penanganan masalah polusi kabut asap lintas batas tidak lepas dari pengalaman bencana

kabut asap tahun 1997. Ketika itu terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar, terutama

di Sumatera bagian utara dan Kalimantanm, yang dipicu oleh kekeringan akiba dari El Nino,

serta adanya kegiatan pembakaran lahan oleh manusia. Kebakaran tersebut mengakibatkan kabut

asap yang sangat besar dan luas hingga menutupi wilayah sekitar hingga samapi ke negara

tetangga. Semenjak peristiwa tersebut negara-negara ASEAN lebih menyadari perlunya

mengantisipasi kemungkinan kebakaran hutan dan lahan, terutama pada puncak musim kemarau

di berbagai daerah yang rentan terhadap kebakaran. Indonesia sendiri menyatakan ketegasannya

dalam menyelesaikan masalah ini melalui beberapa pertemuan internasional mengenai

Lingkungan Hidup bersama dengan Negara-negara ASEAN.

39 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit., Hal. 3

29

Page 30: SKRIPSI GUEE

Dalam perkembangannya, atas prakasa Indonesia yang disampaikan pada Pertemuan ke-6

ASEAN di Bali bulan September 1995, telah diputuskan pembentukan forum di bawah ASOEN

(ASEAN Senior Officials on the Environment) yang secara khusus menangani masalah kebakaran

hutan dan kabut asap, yaitu HTTF (Haze Technical Task Force) yang diketuai oleh Indonesia.

Forum tersebut bertujuan untuk lebih memusatkan kegiatan dalam upaya penanggulangan

kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran polusi kabut asap lintas batas di kawasan ASEAN.40

Kerjasama antar negara ASEAN dalam penanggulangan masalah polusi kabut asap

semakin nyata setelah negara-negara ASEAN menandatangani Perjanjian ASEAN melalui tahap

negosiasi sejak bulan Maret-September 2001 mengenai Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas

atau ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) di Kuala Lumpur,

Malaysia, pada bulan Juni 2002, bertepatan dengan penyelenggaraan ASEAN Ministerial Meeting

on Haze (AMMH) dan World Conference and Exhibition on Land and Forest Fire Hazzards.

Sejak 25 November 2003, perjanjian AATHP resmi berlaku setelah diratifikasi oleh 8 Negara,

Brunei Darussalam, Camboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand, Vietnam.

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)

Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan

perjanjian yang bertujuan untuk menanggulangi masalah pencemaran polusi kabut asap hasil

kebakaran hutan, memberikan dasar hukum dalam pembuatan kebijakan dan mengadakan

kerjasama melalui berbagai kegiatan secara bersama-sama. Persetujuan AATHP ditandatangani

pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Setahun kemudian persetujuan AATHP

mulai berlaku secara resmi pada tanggal 25 November 2003.

Perjanjian ini berisi peraturan-peraturan serta tata cara menangani masalah polusi kabut asap

lintas batas yang berlaku kepada seluruh anggota Negara yang telah menandatangani perjanjian

tersebut tanpa mengikat salah satu negara. Peraturan serta tata cara didalam perjanjian AATHP

menekankan koordinasi setiap negara untuk bersama-sama menangani masalah yang berada di

40 Ibid, hal. 530

Page 31: SKRIPSI GUEE

Indonesia. Salah satu isi pokok AATHP adalah melakukan pertukaran informasi dalam

menanggulangi masalah polusi kabut asap lintas batas. Beberapa inti dari perjanjian polusi kabut

asap lintas batas ASEAN sebagai berikut:

1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Poluution terdiri dari ketentuan-ketentuan

untuk mengawasi, melakukan penilaian dan pencegahan, kerjasama teknis dan riset

ilmiah, mekanisme koordinasi, jalur komunikasi, dan penyederhanaan prosedur bea cukai

dan imigrasi untuk penanggulangan bencana alam.

2. Perjanjian AATHP menyusun pembentukan kegiatan di tingkat regional antara lain

kegiatan pencegahan, mitigasi, pemantauan dan penilaian, serta tanggap darurat bersama.

Beberapa institusi yang bertanggung jawab dalam program ini adalah NFP (National

Focal Point), NMC (National Monitoring Centre) dan CA (Competent Authorities).

3. Dalam perjanjian ini juga dijelaskan untuk lebih memperkuat kerjasama antar negara

serta mengkoordinasi aksi setiap negara dalam mencegah serta memonitor dan memantau

polusi kabut asap. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama diharapkan permasalahan ini

diselesaikan secara bersama-sama sehingga tidak ada pihak yang dipojokkan serta merasa

disalahkan terhadap masalah ini.

4. Perjanjian AATHP menjelaskan bahwa perjanjian dibuat untuk mengingatkan komitmen

terhadap pencegahan kebakaran hutan dan menetapkan prosedur dan mekanisme

kerjasama antara ASEAN negara anggota dalam pencegahan kebakaran hutan dan kabut

asap. Karena adanya efek buruk terhadap negara-negara tetangga akibat bencana

kebakaran hutan, dalam pasal pembukaan ditegaskan perlunya mempelajari akar

penyebab serta implikasi dari polusi asap lintas batas untuk mencari solusi dengan

kesediaan para negara anggota untuk memperkuat kerjasama internasional dalam

pencegahan polusi asap lintas batas.

5. Tujuan dari perjanjian ini adalah mencegah dan memonitor polusi asap lintas batas

melalui upaya nasional dan kerjasama internasional.41

41Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.31

Page 32: SKRIPSI GUEE

Dalam pembahasan setiap bagian pasal ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution (AATHP) tidak ada penjelasan yang menyudutkan posisi Indonesia sebagai pengekspor

asap kebakaran hutan kepada negara tetangga. Secara keseluruhan perjanjian AATHP

menyatakan penyelesaian permasalahan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas

diselesaikan secara bersama-sama melalui kerjasama internasional, pasal 27 tentang penyelesaian

permasalahan polusi asap lintas batas dijelaskan “setiap perselisihan antara pihak mengenai

masalah ini diselesaikan secara damai atau melalui perundingan”. Dengan dibuatnya perjanjian

AATHP, posisi indonesia sebagai “tuan rumah” permasalahan ini diuntungkan, karena semua

penanganan diatur dalam perjanjian secara kolektif. Jadi, seharusnya tidak ada alasan Indonesia

untuk tidak meratifikasi perjanjian ini.

32

Page 33: SKRIPSI GUEE

BAB III

NEGARA NEGARA PERATIFIKASI PERJANJIAN ASEAN AGREEMENT

ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

A. Kepentingan Singapura Dalam Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary

Haze Pollution

Pada tahun 1997/1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di dunia. Situasi

kota yang terselimuti kabut, hutan yang terbakar dan orangutan yang menderita menjadi

perbincangan utama di setiap pemberitaan media dan menarik perhatian umum. Negara tetangga

seperti Singapura dan Malaysia, dan juga lembaga-lembaga bantuan pembangunan, melibatkan

diri dalam usaha pemadaman kebakaran hutan tersebut. Kejadian ini dinyatakan sebagai salah

satu bencana lingkungan terburuk sepanjang tahun, karena dampaknya terhadapa hutan serta

emisi karbon yang dihasilkan dari asap hasil pembakaran hutan sangat besar.

Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian yang besar bagi Indonesia maupun

negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura dan Malaysia merupakan dua negara

yang sangat merasakan dampak dari adanya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, karena asap

yang dihasilkan dari kebakaran tersebut terbawa angin hingga melewati batas negara Indonesia.

Masalah polusi kabut asap merupakan masalah utama kebijakan yang terkait dengan kebakaran

dan menarik perhatian negara-negara tetangga dan melalui tekanan yang mereka berikan telah

menarik perhatian pemerintah Indoneisa.

Kebakaran yang melanda hutan gambut merupakan penyumbang terbesar pencemaran polusi

kabut asap terbesar yang berasal dari Indonesia. Tahun 1997-1998, kebakaran hutan gambut

mungkin menghasilkan 60-90% emisi dengan estimasi jumlah karbon sebesar 206,6 juta ton

karbon yang menyebabkan kabut asap dan kebakaran hutan yang terjadi merupakan sumber

utama penghasil emisi karbon. Pada tahun 1997, kebakaran hebat yang terjadi di Indonesia

33

Page 34: SKRIPSI GUEE

merupakan penyumbang terbesar pencemaran polusi kabut asap yang menyebar hingga

Singapura, Malaysia, serta sekitar Sumatera berasal dari kebakaran hutan gambut di Provinsi

Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Sampai saat ini memang belum ada kepastian mengenai

jumlah karbon sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tahun

1997-1998.42

Ekonomi

Salah satu dampak buruk yang diakibatkan oleh adanya polusi kabut asap hasil kebakaran

hutan adalah sektor ekonomi. Kebakaran hutan di Indonesia khususnya di Sumatera dan

kalimantan telah menghancurkan lebih dari 10 juta ha areal hutan dengan total kerugian akibat

kebakaran dan asap yang timbul dari kebakaran tersebut mencapai USD 3.8 miliar untuk

Indonesia, dan USD 0.7 miliar untuk negara tetangga yang terkena dampaknya. Adanya kerugian

di sektor ekonomi yang cukup besar membuat negara tetangga seperti Singapura telah

menjadikan masalah ini sebagai prioritas utama untuk mencari cara menanggulangi masalah

tersebut. Singapura merupakan salah satu negara ASEAN yang ikut menandatangani serta

meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pada tanggal 13

Januari 2003.43 Peran Singapura dalam penanganan masalah ini tidak lepas dari masalah kerugian

ekonomi akibat kebakaran hutan dan polusi kabut asap lintas batas yang beberapa tahun lalu

melanda hutan-hutan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu efek buruk ekonomi akibat

polusi asap lintas batas adalah menurunnya transaksi perdagangan serta terganggunya

transportasi yang mengganggu lancarnya kegiatan perekonomian.

polusi kabut asap yang berada di daerah provinsi Riau menyebabkan kekhawatiran bagi

negara tetangga seperti Singapura. Selain mengganggu aktivitas warga, bencana tersebut

menimbulkan kerugian ekonomi khususnya di daerah Batam kepulauan Riau. Akibat bencana

polusi kabut asap tersebut telah mengganggu aktivitas ekonomi di Batam yang dikhawatirkan

oleh investor asing. Beberapa investor asing di Batam mengkhawatirkan adanya efek buruk

42 Luca Tacconi, “Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan”, Bogor, 2003, hal. 6

43 “Negara-negara yang Telah Meratifikasi Perjanjian”, http://id.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_ASEAN_tentang_Pencemaran_Asap_Lintas-Batas, diakses tanggal 19 September 2010.

34

Page 35: SKRIPSI GUEE

akibat polusi kabut asap yang berasal dari provinsi Riau. Di Batam saat ini terdapat 79

penanaman modal asing, salah satu penanam modal asing tersebut adalah Singapura. Dalam

kurun waktu Januari-Desember 2007 total nilai investasi penanaman modal asing di Batam

mencapai U$ 298.864.665. Singapura merupakan salah satu investor asing terbesar di Batam

karena letaknya yang berdekatan dengan Batam sehingga adanya bencana polusi kabut asap

sangat mengganggu kegiatan perekonomian Singapura di Batam.

Investasi Singapura di Batam sudah berlangsung sejak tahun 1990. Pada tahun itu dibentuk

perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Singapura dalam pengembangan Batam. Secara garis

besar perjanjian itu meliputi pengembangan pariwisata, pembangunan infrastruktur dan

kerjasama di bidan pengiriman arus barang. Singapura merupakan negara utama yang

menanamkan modalnya di Batam, sebagian besar modal itu berasal dari perusahaan

multinasional yang berkedudukan di Singapura. Investasi di Pulau Batam hingga Juni 1992

mencapai US$3,7 milyar, U$3,0 milyar berasal dari pihak swasta atau luar negeri. Investasi asing

berasal dari 14 negara, dengan 47,8 persen dari Singapura, dengan 53 perusahaan yang berasal

dari Singapura.44

Fenomena polusi kabut asap bukan hal yang baru bagi Singapura. Dimulai tahun 1994,

sejak saat itu fenomena polusi kabut asap mulai terjadi berulang kali di beberapa tahun

kemudian. Selama kurun waktu tersebut, persepsi maysarakat Singapura terhadap polusi kabut

asap hanya sebagai hal yang kurang menyenangkan, serta menilai permasalahan tersebut akan

hilang dan berlalu begitu saja. Tetapi ketika bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 1997,

persepsi masyarakat terhadap permasalahan polusi kabut asap berubah, polusi kabut asap

berlangsung selama lebih dari dua bulan dan mengganggu aktivitas masyarakat Singapura.

Bencana tahun 1997 mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat,

menjadi headline utama Singapore Strait Times edisi 23 Agustus 1997, hingga pemerintahan

Singapura. Mereka mulai menganggap permasalahan polusi kabut asap kebakaran hutan adalah

hal yang serius, dan harus segera di selesaikan.

Sosial

44 Luhulima, “ASEAN Menuju Postur Baru”, Jakarta, 1997, hal. 12935

Page 36: SKRIPSI GUEE

Bencana polusi kabut asap kebakaran hutan juga memberikan efek yang cukup besar

pada sektor kesehatan, gangguan asap yang menyelimuti langit kota menyebabkan gangguan

kesehatan kepada masyarakat Singapura. Timbul beberapa penyakit pernafasan seperti asma,

bronkhitis, gangguan saluran pernafasan (ISPA). Timbulnya gangguan kesehatan tersebut juga

memberikan efek lanjutan terhadap berkurangnya produktivitas warga singapura akibat adanya

polusi kabut asap. Akibat dari adanya polusi asap kebakaran hutan adalah tingginya cuti medis

akibat banyaknya masyarakat Singapura yang dirawat karena mengidap penyakit pernafasan,

sehingga hal tersebut membuat rasio hari kerja masyarakat Singapura hilang. Dengan hilangnya

rasio hari kerja, dianggap sebagai “pendapatan yang hilang” oleh masyarakat yang tidak bisa

bekerja. Pendapatan perhari masyarakat Singapura pada tahun 1996 berkisar U$ 42-U$ 71,

sedangkan estimasi kerugian dari hilangnya jam kerja masyarakat Singapura setelah bencana

polusi kabut asap kebakaran hutan adalah U$ 1.522.902 – U$ 5.060.464.45

Budaya

Selain sektor ekonomi dan sosial, ada dua sektor ekonomi yang terkena dampak polusi

asap kebakaran hutan yang cukup besar, yaitu sektor pariwisata dan kesehatan. Dua sektor

tersebut menjadi perhatian utama pemerintah Singapura karena memberikan kerugian cukup

besar sehingga perlu adanya pemulihan dan perbaikan sehingga kerugian tersebut tidak

membesar. Adanya penurunan jumlah pengunjung wisatawan pertama kali sejak tahun 1983

sebebsar 1.3%. Bisnis parwisata merupakan pendorong utama sektor ekonomi Singapura, karena

letak negara Singapura yang berdekatan dengan Indonesia dan Malaysia, membuat negara

tersebut menjadi tempat transit diantara kedua negara tersebut. Bisnis pariwisata Singapura

meliputi hotel, tempat makan, serta transportasi.46

Melihat kerugian tersebut akhirnya pada tanggal 13 Januari telah meratifikasi perjanjian

Polusi Asap Lintas Batas ASEAN. dengan meratifikasi perjanjian tersebut menunjukkan

komitmen Singapura untuk membantu menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan polusi asap

45 Ibid. hal 60-61

46 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, hal. 6336

Page 37: SKRIPSI GUEE

lintas batas. Melihat kerugian akibat bencana polusi asap lintas batas terhadap Singapura,

tindakannya meratifikasi perjanjian tersebut dinilai sangat tepat, karena adanya kepentingan

Singapura di Indonesia seperti investasi di Batam dan bisnis pariwisata. Bencana polusi asap

lintas batas telah menghambat kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nilai ekonomi, sehingga

membuat Singapura dirugikan atas permasalahan ini. Komitmen Singapura dalam melaksanakan

perjanjian Polusi Asap Lintas Batas ASEAN dengan melaksanakan beberapa kerjasama dengan

Indonesia untuk mengatasi bencana polusi asap kebakaran hutan.

Untuk menyelesaikan permasalahan bencana polusi kabut asap kebakaran hutan,

Singapura berkerja sama dengan pemerintah daera Jambi dalam penanganan dan pengelolaan

hutan. SIngapura menawarkan kerjasama dengan Provinsi Jambi dan Kementrian Lingkungan

Hidup untuk membuat suatu master plan penanganan kebakaran hutan di Muaro Jambi.

Singapura menawarkan bantuan pendanaan, dukungan dan keahlian teknis untuk

mengimplementasikan beberapa program kerjasama. Upaya yang dilakukan Singapura dan

pemerintah Indonesia merupakan sebagian kecil dari upaya lainnya untuk mengatasi masalah

kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dengan adanya bantuan yang diberikan oleh Singapura

diharapkan Indonesia lebih siap dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan. Keunggulan

teknologi, pengalaman, serta sumber daya manusia yang dimiliki Singapura diharapkan dapat

membantu permasalahan polusi kabut asap kebakaran hutan sehingga tidak mengganggu

aktivitas kerjasama ekonomi antara Singapura dan Indonesia.

B. Kepentingan Malaysia dalam Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze

Pollution

37

Page 38: SKRIPSI GUEE

Tidak berbeda dengan Singapura, Malayasia merupakan salah satu negara yang telah

meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada

tanggal 3 Desember 2002. Malaysia merupakan salah satu negara yang terkena dampak polusi

kabut asap kebakaran hutan yang berasal dari Indonesia. Malaysia juga menerima kerugian yang

cukup besar terhadap beberapa sektor utama dalam pembangunan negaranya, seperti ekonomi

dan pariwisata.

Ekonomi

Bencana kabut asap pertama kali yang melanda Malaysia sehingga menimbulkan gangguan

yang cukup banyak pada April 1983. Gangguan polusi kabut asap kebakaran hutan berlanjut

pada bulan Agustus 1990, dari bulan Juni-Oktober 1991, dan terus berulang kali terjadi setiap

pada bulan Agustus, September, Oktober. Bencana polusi kabut asap mencapai puncaknya di

Malaysia pada tahun 1997, bulan Agustus hingga November, ketika itu asap kebakaran hutan

menyelimuti di atas langit Malaysia. Asap kebakaran hutan tahun 1997 telah mencapai intensitas

yang lama, menyebabkan banyak ketidaknyamanan dan gangguan ekonomi di Malaysia.

Sosial

kabut asap kebakaran hutan juga menyebabkan penyakit pernafasan, mengganggu layanan

transportasi, menurunkan hasil produksi perikanan dan makanan, serta menganggu industri

pariwisata. Sekitar 18 juta masyarakat Malaysia, atau 83,2 persen dari total populasi telah

ditempatkan pada resiko efek buruk bencana asap tahun 1997, sehingga kehilangan aktivitas

produktivitasnya.47 Adanya bencana asap kebakaran hutan telah merugikan pendapatan

perekonomian masyarakat Malaysia. selama kejadian polusi asap kebakaran hutan tersebut, para

pengusaha meliburkan pada pekerjanya, sehingga para pengusaha kehilangan tingkat pendapatan

ekonomi. Total kehilangan keuntungan dari hilangnya masa produktivitas masyarakat Malaysia

sebesar US$ 157.40 miliar selama 8 hari kejadian bencana tersebut.

Budaya

47 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, op. cit, hal. 2738

Page 39: SKRIPSI GUEE

selain kerugian mengenai kehilangan produktivitas dari masyarakatnya, Malaysia juga

mengalami kerugian di sektor pariwisata, sama halnya dengan apa yang dirasakan Singapura.

Pariwisata merupakan penghasil devisa tersbesar kedua di Malaysia menghasilkan keuntungan

US$ 4,5 miliar kepada perekonomian Malaysia pada tahun 1996. Ketika memasuki tahun 1997

saat bencana kabut asap kebakaran hutan mulai melanda Malaysia, diperkirakan kerugian sektor

pariwisata Malaysia turun 30 persen. Nilai penurunan industri pariwisata Malaysia diperkirakan

sebesar US$ 127.420.000.48

Malaysia telah membuktikan komitmennya untuk membantu menyelesaikan permasalahan

kabut asap kebakaran hutan dengan meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution (AATHP). Melihat besarnya kerugian yang telah diderita oleh

Malaysia, perjanjian AATHP merupakan solusi yang paling baik untuk merubah keterpurukan

keadaan ekonomi serta sektor lainnya akibat benaca polusi kabut asap kebakaran hutan yang

berasal dari Indonesia. Dengan meratifikasi perjanjian AATHP juga mengurangi sensitivitas

hubungan kedua negara yang dinilai beberapa kali pasang surut. Seperti yang kita tahu memang

hubungan Indonesia-Malaysia kadang pasang kadang surut, suatu hal kecil dapat menjadi besar

jika tidak disikapi dengan baik. Hubungan yang dilakukan antar negara terdapat kepentingan-

kepentingan yang ingin dicapai oleh kedua negara sehingga mempengaruhi pola hubungan antara

kedua negara tersebut, tinggal bagaimana kedua negara mengatur masing masing

kepentingannya agar tidak saling menimbulkan konflik. Diharapkan dengan adanya perjanjian

AATPH dapat menjadi perantara serta solusi kedua negara untuk saling mengatasi masalah

secara bersama-sama.

BAB IV

FAKTOR-FAKTOR INDONESIA BELUM MERATIFIKASI PERJANJIAN

ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION

48 Ibid hal 3939

Page 40: SKRIPSI GUEE

A. Legislatif

Legislatif merupakan salah satu elemen penting dalam teori sistem politik David Easton.

Dalam skema teori sistem polilik, legislatif merupakan bagian dari unit-unit sistem politik yang

menerima input untuk diproses menjadi sebuah kebijakan. Input merupakan masukan dari

elemen masyarakat yang dapat berupa tuntutan serta dukungan sebagai bahan pembahasan dalam

sistem politik untuk dijadikan output. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal dari

tuntutan serta dukungan elemen masyarakat. Lembaga legislatif di Indonesia yang sesuai dengan

tertera dalam UUD 45 adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Lembaga perwakilan rakyat

berfungsi merumuskan kepentingan kepentingan rakyat yang menyangkut kepentingan politik,

sosial, ekonomi dan budaya, yang akhirnya menjadi sebuah undang-undang. Dalam undang-

undang diatur kehidupan politik, sosial ekonomi dna budaya. Lembaga perwakilan rakyat ini

mempunyai kedudukan yang kuat karena mewakili seluruh rakyat.49 Peran DPR dalam masalah

polusi asap lintas batas sangat penting, karena hingga saat ini DPR belum juga meratifikasi

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution sejak tahun 2002. Perjanjian polusi asap

lintas batas ASEAN tersebut diharapkan sebagai sebuah solusi sebagai penanganan masalah

kebakaran hutan yang menyebabkan polusi asap yang menyebar hingga negara tetangga. Dengan

adanya perjanjian tersebut maka penanganan kebakaran hutan di Indonesia menjadi lebih mudah

karena terdapat bantuan negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Oleh karena

itu, DPR merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia hingga saat ini belum juga meratifikasi

perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN.

Selama ini memang telah ada beberapa kebijakan pemerintah dalam mengatasi polusi asap

kebakaran hutan melalui tata cara pengelolaan hutan dan lahan. Pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah telah memiliki berbagai program kebijakan tentang pencegahan dan

pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnnya

tidak ditegakkan. Suatu kajian tahun 1998 oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan hidup dan

United Nations Development Program menyimpulkan bahwa berbagai peraturan yang ada tidak

begitu efektif untuk mengendalikan kebakaran. Indonesia juga memiliki beragam undang-undang

lingkungan dan peraturan lain yang menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara

sengaja. Baik di tingkat nasional dan tingkat provinsi. Namun demikian berbagai undang-undang

49 Drs.Sukarna, “Sistim Politik”, Bandung, 1977, hal. 17640

Page 41: SKRIPSI GUEE

ini jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan

resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran.

Beberapa kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi

oleh kajian Menteri Negara dan Lingkungan Hidup meliputi: tumpang tindih fungsi antara

lembaga, wewenang dan tanggung jawab kelembagaan yang tidak jelas, mandat yang tidak

memadai dan berbagai kemampuan kelembagaan lokal yang lemah.50

Sejumlah hasil kajian penelitian menilai tidak adanya kejelasan hak atas hutan akibat dari

penguasaan hutan secara hukum oleh negara dan buruknya tata kelola pemerintahan, serta

lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan.

Keadaan tersebut diperpararah dengan sejalan momentum demokratisasi dan otonomi daerah

sehingga kuatnya campur tangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hasil hutan secara

legal maupun politis. Semua hal tersebut dikarenakan lemahnya penegakkan hukum serta tidak

adanya dukungan politik, sehingga pelaksanaan kebijakan hanya sebatas sementara.51

Pemerintah merupakan salah satu elemen dalam sistem politik yang menurut saya sebagai

pihak yang mendukung agar perjanjian AATHP segera diratifikasi. Tetapi tampaknya dukungan

tersebut tidak didukung dengan adanya keseriusan pemerintah dalam kebijakannya mengatasi

kebakaran hutan. Hal tersebut menjadi permasalahan antara DPR dengan pemerintah. Pemerintah

dan DPR saling melempar tanggung jawab dalam menangani masalah polusi asap lintas batas.

DPR berpendapat, pemerintah tidak punya konsep dalam menanggulangi asap. Sedangkan

pemerintah menilai DPR mengabaikan masalah asap dengan tidak segera menyepakati ASEAN

Agreement on Transboundary Haze Pollution. Di DPR muncul dua fraksi dalam menyikapi

ratifikasi perjanjian mengenai asap. Yang pertama mendukung segera diratifikasi, tetapi yang

lain belum bersikap. Hingga saat ini proses ratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN

masih dalam proses di DPR.52

50 “Kebakaran hutan dan lahan”, hal .66-68, diakses dari “pdf.wri.org/indoforest_chap4_id.pdf”, tanggal 1 Oktober 2010.

51 Hariyadi, makalah “Politik Penebangan Kayu dan Kebijakan Penanganan Pembalakan Liar”, hal. 100-105, di akses dari www.dpr.go.id , tanggal 30 September 2010.

52 “Soal Asap: Pemerintah –DPR Saling Lempar Tanggung Jawab”, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/11/Utama/ut01.htm, tanggal 30 September 2010.

41

Page 42: SKRIPSI GUEE

Sebuah sikap DPR dalam masalah polusi asap kebakaran hutan di jelaskan melalui rapat

Menteri Pertanian dengan komisi VII DPR tentang pembahasan RUU tentang pengesahan

ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Secara garis besar hasil rapat tersebut

menjelaskan apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan,

mengingatkan koordinasi antar lembaga dalam menangani kebakaran hutan, menjelaskan

permasalahan serta sumber sumber kebakaran hutan, tetapi tidak ada dijelaskan komitmen atau

langkah-langkah DPR untuk segera merumuskan undang-undang ratifikasi perjanjian polusi asap

lintas batas.53

Kurangnya dukungan politik dalam masalah polusi asap lintas batas membuat tertundanya

ratifikasi perjanjian AATHP. Perlunya partisipasi aktif dari setiap elemen seperti masyarakat,

partai politik, mahasiswa, lemaga swadaya masyarakat (LSM), sesuai dengan kapasitas masing-

masing untuk mendukung permasalahan polusi asap lintas batas agar cepat diselesaikan. Lebih

lagi, perlunya dukungan yang kuat dari partai politik terhadap isu lingkungan dapat memperkuat

permasalahan ini menjadi pembahasan yang kuat dalam lingkungan DPR. Partai politik

merupakan struktur atau lembaga yang menyalurkan dan mengartikulasikan berbagai

kepentingan yang berasal dari lingkungan masyarakat ke dalam sistem politik. Kepentingan dan

aspirasi yang diajukan partai politik tersebut merupakan energi bagi sistem politik untuk

membuat berbagai kebijakan. Partai politik dalam lembaga perwakilan rakyat merupakan

representatif dari tatanan kenegaraan modern, penyelenggaraan demokrasi dilakukan melalui

sistem demokrasi.54 Tetapi, tidak adanya dukungan partai politik tertentu secara langsung

khususnya di Indonesia terhadap isu lingkungan memberikan efek kepada pembuatan kebijakan

di legislatif khususnya dalam isu lingkungan. Beberapa partai politik di Indonesia belum

mempunyai kepedulian khusus terhadap isu lingkungan, mayoritas masih mengusung isu HAM,

Ekonomi, atau Hukum.55 Salah satu fungsi partai politik adalah memuaskan kepentingan rakyat.

53“Rapat Kerja Menteri Pertanian Degnan Komisi VII DPR RI: Pembahasan RUU Tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution”, 12 Maret 2007, diakses dari ”pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pidato_Mentan_12-03-07.pdf” tanggal 30 September 2010.54 “Sistem Politik Indonesia”, diakses dari http://blog.unila.ac.id/young/sistem-politik-indonesia, tanggal 2 Oktober 2010.

55 “Ekologi Sebagai (Tunggangan?) Gerakan Politik”, diakses dari http://www.csrindonesia.com/data/articles/20070426100407-a.pdf, tanggal 2 Oktober 2010.

42

Page 43: SKRIPSI GUEE

kepentingan tersebut harus diperjuangkan oleh partai politik. Perjuangan ini dalam negara

dengan sistem demokrasi biasanya dilakukan secara parlementer. Untuk penyaluran perjuangan

secara parlementer, maka dalam parlemen diadakan fraksi-fraksi menurut partainya atau

golongan. Bagi partai/golongan mayoritas, perjuangan kepentingan tidak akan banyak

mengalami kesulitan, karena ketika diajukan dalam sidang parlemen untuk dijadikan undang

undang akan memperoleh dukungan atau persetujuan mayoritas dari parlemen. Tetapi bagi partai

partai kecil atau partai minoritas perjuangan ini akan mengalami kesulitan, mengingat untuk

memperoleh dukungan atau persetujuan mayoritas anggota parlemen, harus memperoleh

dukungan atau persetujuan fraksi mayoritas.

Suatu hal yang lebih menyulitkan jika dalam parlemen tidak ada partai mayoritas sehingga

untuk memperjuangkan kepentingan politik, harus memerlukan persetujuan dari fraksi lain. Jika

keadaan seperti ini maka sukar terjadi kompromi, tetapi kalau kompromi itu juga tidak tercapai,

maka mengakibatkan kemaceta atau kebuntuan, sehingga pembahasan suatu undang undang itu

bisa berjalan sangat lama bahkan tidak selesai.56 Jika ada partai politik yang mendukung dan

peduli isu lingkungan, maka isu tersebut akan menjadi salah satu itu utama dalam pembahasan

pembuatan undang undang di DPR selain isu isu seperti Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Saat ini

memang sudah ada dukungan yang digencarkan berbagai pihak, tetapi mungkin hal tersebut

belum cukup kuat untuk dijadikan dorongan bagi DPR untuk meratifikasi perjanjian tersebut.

B. Eksekutif

Eksekutif dalam sistem politik david easton dijelaskan sebagai pembuat kebijakan (policy

maker) dalam berlangsungnya proses politik bersama sama dengan legislatif. Selain itu setelah

proses politik dari dalam sistem keluar sebagai output menjadi sebuah kebijakan, lalu di awasi

oleh eksekutif sebagai penerapan kebijakan di masyarakat. Oleh karena itu, hubungan antara

eksekutif serta legislatif saling berhubungan satu sama lain dalam konteks komunikasi politik

untuk sistem dalam proses politik. Adanya hubungan antara eksekutif dan legislatif memberikan

arti bahwa adanya keseimbangan dalam proses politik dalam mengawasi pembuatan kebijakan,

dengan begitu presiden tidak bisa membuat peraturan undang undang dengan sewenang-wenang,

56 Drs. Sukarna, “Sistem Politik”, Op. cit, hal. 172.43

Page 44: SKRIPSI GUEE

karena legislatif akan membatasinya. Di Indonesia, proses pembuatan RUU yang mendapatkan

persetujuan dari Presiden secara tertulis disampaikan kepada Pimpinan DPR, kemudian

Pimpinan DPR memberitahukan masuknya RUU tersebut kepada Anggota serta

membagikannya, baru kemudian RUU di bahas di DPR.57

Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN,

sejak terbentuknya perjanjian tahun 2002. Melihat permasalahan ini yang telah ada sejak tahun

1997, dan berlangsung pada tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak ada inisiatif dari pemimpin

Negara untuk segera menyelesaikan masalah ini, apa lagi permasalahan ini tidak hanya

menimbulkan kerugian di dalam negeri tetapi Negara tetaangga juga mengalami kerugian yang

cukup besar, sehingga menimbulkan citra buruk bagi Indonesia sendiri. Dari tahun 2003 hingga

kini perjanjian mengenai polusi asap lintas batas ASEAN masih dalam proses ratifikasi.58 Pada

periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau memiliki 100

hari program kerja yang salah satunya mengenai lingkungan hidup dan penanggulangan bencana.

Presiden meminta Menhut mengajak lembaga terkait untuk menangani masalah kebakaran hutan

guna mengurangi emisi karbon.59 Tetapi hingga saat ini tidak ada bukti agenda yang pasti

bagaimana program tersebut dilaksanakan. Menurut saya tidak adanya tindakan Presiden juga

terpengaruh oleh sikap DPR yang belum mengagendakan permasalahan ini, sehingga keputusan

presiden mengenai masalah ini mungkin menunggu keputusan DPR. Selama ini Presiden hanya

mengintruksikan lembaga terkait untuk saling berkoordinasi dalam penanganan masalah polusi

asap kebakaran hutan.

C. Lelmabaga Swadaya Masyarakat (LSM)

57 “Pembuatan Undang-Undang”, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/pembuatan-undang-undang, tanggal 2 Oktober 2010.

58 “Kebijakan Dalam dan Luar Negeri di Bidang Lingkungan Hidup”, diakses dari http://www.menlh.go.id/i/art/pdf_1050964283.pdf, tanggal 20 Oktober 2010.

59 “program 100 hari”, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2009/10/23/Utama/ut02.htm, tanggal 1 Oktober 2010.

44

Page 45: SKRIPSI GUEE

Kelompok kepentingan dapat dipahami sebagai suatu organisasi yang terdiri dari sekelompok

individu yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan0tujuan, keinginan-keinginan yang

sama. Mereka melakukan kerja sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi

tercapainya kepentingan-kepentingan dan tujuannya tersebut.60 Salah satu kelompok kepentingan

yang peduli lingkungan dalam masalah polusi asap kebakaran hutan adalah WALHI (Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia). WALHI merupakan Organisasi yang peduli lingkungan hidup

yang juga memperjuangkan masalah polusi asap dan kebakaran hutan secara tegas. Dalam

melakukan kampanye nya WALHI juga bersentuhan dengan masalah politik dan advokasi, maka

tidak di pungkiri hubungan antara WALHI dengan pemerintah sering tarik ulur, karena pada

dasarnya organisasi non pemerintah seperti WALHI melakukan gerakan advokasi dengan

mengkritis kebijakan kebijakan pemerintah. Menurut WALHI persoalan lingkungan di Indonesia

adalah persoalan politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat

kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik.61

WALHI sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah dalam mendukung permasalahan

polusi asap kebakaran hutan. Diantaranya adalah mendorong adanya aturan yang tegas dalam

pembukaan lahan pada perkebunan skala besar dan pembukaan hutan/lahan untuk hutan

tanaman. Karena hampir sebagaian besar kebakaran yang terjadi berada diareal tersebut. WALHI

juga mendorong adanya billateral agreement terkait investasi yang bertanggung jawab. Sebab

lebih dari 50% perusahaan perkebunan sawit berasal dari malaysia atau foreign investment

lainnya. Sehingga Indonesia tidak dirugikan ketika investor melakukan praktek pembakaran

hutan/lahan. Kalau tidak disiapkan hal tersebut, Negara akan dirugikan sebab pihak swasta asing

yang melakukan pembakaran namun yang menanggung justru rakyat Indonesia. Untuk itu

WALHI telah bertemu dengan SUHAKAM (komisi hak asasi manusia dr malaysia) serta

MPOA/B/C (semacam persatuan pengusaha perkebunan kelapa sawit malaysia) dan Parlemen

Malaysia untuk mendorong adanya perjanjian antara pemerintah Malaysia dan Indonesia terkait

bagaimana berinvestasi dengan bertanggung jawab dan bertanggung gugat serta menjunjung hak

asasi manusia. WALHI jg mendorong keaktifan Komnas HAM Indonesia untuk melakukan

60 “struktur Pemerintahan”, diakses dari www.poppysw.staff.ugm.ac.id/file/01-Struktur%20Pemerintahan.pdf , tanggal 2 Oktober 2010.

61 “Sejarah WALHI”, diakses dari http://walhi.hostei.com/?page_id=44, tanggal 3 Oktober 2010.45

Page 46: SKRIPSI GUEE

upaya upaya lobby dan desakan agar pemerintah Indonesia segera membuat aturan bersama

dengan pemerintah Malaysia terkait hal tersebut.62

Semua rencana serta dukunga yang telah atau akan dilakukan oleh WALHI harus

mendapatkan dukungan politik. Salah satunya melalui partai politik yang tergabung dalam

legislatif sebagai tempat proses politik. Kelompok kepentingan tergantung kepada partai politik

suatu negara untuk menjebatani segala kepentingan dan aspirasi yang datangnya dari masyarakat.

Tetapi hingga saat ini belum ada lembaga non pemerintah yang memiliki basis atau hubungan

dengan organisasi rakyat, gerakan sosial, terlebih dengan partai politik dan organisasi politik.63

Dengan adanya partai politik yang mendukung isu lingkungan akan mudah bagi kelompok

kepentingan seperti WALHI melakukan lobby kepada partai politik untuk mendorong berbagai

kebijakan terkait isu lingkungan.64 Karena belum adanya kepastian partai politik yang benar

benar mengkampanyekan isu lingkungan hingga saat ini mungkin menjadi hal yang sulit bagi

WALHI untuk menyampaikan aspirasi kepentingan serta tujuannya, selain itu faktor hubungan

antara WALHI dengan pemerintah yang sering tarik ulur dapat menjadi penyebab sulitnya

agenda politik tercapai.

62 Wawancara Dengan Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Deddy Ratih, tanggal 6 Agustus 2010.

63 “Go Politics, dan Berhenti Menjadi Pengemis”, diakses dari http://www.walhikalsel.org/content/view/92/48/, tanggal 3 Oktober 2010.

64 Ibid.46

Page 47: SKRIPSI GUEE

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Polusi asap kebakaran hutan yang terjadi beberapa tahun belakangan belum juga

mendapatkan penyelesaiannya dari pemerintah, walaupun sudah ada penanganan bersama negara

negara tetangga melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Perjanjian

tersebut menjelaskan penanganan masalah polusi asap kebakaran hutan secara bersama sama,

tidak ada satu pasal dalam perjanjian tersebut yang berusaha menyudutkan atau memberikan

sanksi kepada Indonesia. Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk pencegahan terjadinya

kebakaran hutan mulai dari Kementrian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, Lembaga

Swadaya Masyarakat, serta masyarakat lokal. Tetapi, upaya upaya tersebut di rasakan masih

47

Page 48: SKRIPSI GUEE

kurang, buktinya kebakaran hutan tetap terjadi di setiap tahunnya sejak tahun 1997. Banyak

faktor yang menyebabkan Indonesia belum meratifikasi permasalahan polusi asap kebakaran

hutan yang dinilai sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Tetapi, terdapat tiga faktor utama yang menjadi alasan mengapa Indonesia belum juga

meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Beberapa lembaga seperti DPR,

Eksekutif, dan LSM seperti WALHI adalah aktor aktor yang menjadi penghambat proses

ratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Upaya yang dilakukan legislatif dalam

proses ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution berjalan lambat, hingga

kini belum ada kejelasan sampai mana proses pembahasan perjanjian tersebut di DPR. Padahal,

sudah cukup banyak tuntutan serta dukungan yang dilakukan berbagai pihak yang menyerukan

bagi DPR untuk segera meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Lambatnya

proses pembahasan tersebut karena kurangnya dukungan politik di DPR, tidak adanya partai

politik yang mendukung dan peduli terhadap isu lingkungan sehingga tidak dapat menyampaikan

artikulasi kepentingan dari lingkungan masyarakat kedalam sistem politik, sehingga belum

adanya political will dari DPR membuat pembahasan suatu isu tertentu tentang lingkungan

seperti permasalahan polusi asap kebakaran hutan akan sulit menjadi sebuah prioritas dalam

pembahasan agenda DPR.

Upaya yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa

kepemimpinanya tidak jauh berbeda dengan DPR. Kebijakan yang dikeluarkan oleh

pemerintahan di masa kepemimpinannya untuk menangani masalah polusi asap kebakaran hutan

dirasakan kurang, karena masih banyak kelemahan di berbagai segi kebijakan yang dikeluarkan.

Walaupun Presiden sendiri memasukkan isu lingkungan dalam program 100 hari di periode

kedua kepemimpinannya, tetapi belum ada aksi yang nyata untuk mengatasi permasalahan

kebakaran hutan. Lemahnya dukungan dan perhatian yang diberikan Presiden terhadap

permasalahan ini merupakan faktor penghambat agenda ratifikasi di DPR.

WALHI telah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan artikulasi kepentingan

masalah polusi asap melalui lobby untuk membantu penyelesaian masalah polusi asap lintas

batas. Tetapi, adanya ketergantungan antara kelompok kepentingan dengan partai politik sebagai

penyampai artikulasi kepentingan membuat proses penyampaian politik menjadi terhambat,

karena hingga saat ini belum ada partai politik yang benar benar peduli terhadap isu lingkungan.

48

Page 49: SKRIPSI GUEE

Selain itu seringnya tarik ulur hubungan antara WALHI dengan pemerintah mengakibatkan

rendahnya intensitas komunikasi politik antara kedua belah pihak terjalin sehingga hal tersebut

merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia belum meratifikasi ASEAN Agreement on

Transboundary Haze Pollution.

49