skripsi guee
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Isu lingkungan merupakan isu non-tradisional yang saat ini menjadi perhatian dan
pembahasan utama dalam studi hubungan internasional. Setelah berakhirnya era perang dingin,
isu lingkungan juga sudah mulai menjadi pembicaraan utama dalam setiap agenda Internasional
khususnya di kawasan Asia Tenggara. Indonesia merupakan Negara dalam kawasan Asia
Tenggara yang juga sangat berperan aktif didalam setiap agenda Internasional khususnya dalam
pembahasan isu lingkungan. Komitmen Indonesia dalam isu lingkungan dicerminkan dengan
menjadi tuan rumah untuk tiga pertemuan internasional, yaitu pertemuan ke-11 Special Session
of The UNEP Governing Council/Global Ministerial Environment Forum (GC-UNEP),
pertemuan tingkat menteri Forest Eleven (F-11), dan Simultaneous Extraordinary Conference of
the Parties (ExCOPs) Basel, Rotterdam, and Stockholm Conventions. Ketiganya
dieselenggarakan di Bali Internasional Conference Centre (BICC), Nusa Dua, Bali.1
Indonesia merupakan salah satu negara di kawasan Asia Tenggara dengan pembangunan
dan pertumbuhan bertahap yang menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara di Asia
Tenggara dengan percepatan pembangungan yang menakjubkan sepanjang dekade 90-an, Tetapi
pembangunan dan pertumbuhan tersebut bukan tanpa akibat buruk dari segi lingkungan.
Kerusakan lingkungan khususnya akibat pembangunan dan pertumbuhan salah satunya di
tunjukkan dengan adanya pengalihan fungsi lahan dengan cara membakar lahan sebelumnya.
Berdasarkan data pemantauan satelit NOAA sepanjang tahun 2006, teridentifikasi sejumlah titik
api yang tersebar di Kalimantan Tengah. Hal tersebut memberikan indikasi kuat masih
dilakukannya aktivitas pembukaan lahan dengan cara membakar, karena lebih dari 45% titik api
terjadi di areal perkebunan kelapa sawit yang tertutup hutan. Penyiapan lahan yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan perkebunan dengan cara pembakaran adalah upaya jalan pintas yang
murah dan cepat. Emisi karbon yang dihasilkan dari kebakaran pembukaan lahan secara
1“komitmen Indonesia untuk lingkungan hidup Dunia” Diakses dari http://www.deplu.go.id/budapest/Pages/News.aspx?IDP=3188&l=id tanggal 24 Mei 2010.
1
signifikan berperan dalam mempercepat terjadinya proses perubahan iklim. Asap hasil
pembakaran lahan seluas 3 juta hektar yang menciptakan 6,4 juta karbon di Kalimantan Tengah
menjadi bencana global.2
Fenomena kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia semakin mendapatkan
perhatian internasional dan harus segera ditindaklanjuti. Kebakaran hutan dan lahan tersebut
tidak hanya menimbulkan kerugian pada negara asal tempat terjadinya kebakaran, namun juga
kerugian pada negara lain berupa pencemaran asap lintas batas. Asap yang berasal dari
pembakaran hutan-hutan di Kalimantan dan juga Sumatera menciptakan ancaman keamanan
penduduk di kawasan ASEAN.3 Pembakaran ini dilakukan karena merupakan cara-cara
tradisional untuk membersihkan hutan dari sisa-sisa penebangan liar (illegal loging) sehingga
dapat segera digunakan untuk fungsi yang lain. Selama 20 tahun terakhir, kebakaran hutan telah
menjadi peristiwa tahunan yang sudah merugikan negara dan rakyat Indonesia. Sejak tahun
1997-1998 kebakaran hutan telah mengakibatkan kerugian Negara sebesar US$ 3 milyar.4
Tahun 1997 adalah puncak permasalahan polusi asap lintas-batas yang terparah, selama
kurang lebih tujuh bulan asap menyelubungi langit Singapura, Malaysia, Thailand, Australia,
Indonesia, dan Filipina. Karena luasnya dampak negatif yang diberikan dari polusi asap terhadap
lingkungan, ASEAN pada saat itu sudah membicarakan masalah ini dengan negara-negara
ASEAN. Hasilnya, Tahun 2002 ASEAN akhirnya mengesahkan sebuah perjanjian lingkungan
hidup yang ditandatangani oleh negara-negara anggota ASEAN yang bertujuan untuk
mengendalikan pencemaran polusi asap di Asia Tenggara yaitu The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP).5
2 “Ancaman dan kerusakan lahan gambut di tengah pembangungan perkebunan kelapa sawit Kalimantan Tengah” diakses dari http://fwi.or.id/?p=76 pada tanggal 8 Juli 2010.
3 Kusuma Snitwongse and Suchit Bunbongkarn, “New Security Issues and Their Impact On ASEAN”, Dr.Bambang Cipto, MA, Hubungan Internasional di Asia Tenggara,Pustaka Pelajar,Yogyakarta, hal.235.
4 “WWF desak indonesia retifikasi perjanjian asap” diakses dari http://www.bakornaspb.go.id/website/index.php?option=com_content&task=view&id=1691&Itemid=120 pada tanggal 28 April 2010.
5 “Sekretariat ASEAN” diakses dari Persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas, tanggal 12 Okt 2006.2
Indonesia yang pada waktu itu dipimpin oleh Presiden Megawati telah menandatangani
perjanjian pengendalian penceraman polusi asap di Kuala Lumpur, 10 Juni 2002. Tindakan
pencegahan dalam persetujuan ASEAN mencakup pengembangan dan melaksanakan peraturan
program dan strategi kebijakan pembukaan lahan tanpa bakar (zero burning policy), memperkuat
pengelolaan dan kapasitas pemadaman kebakaran di tingkat lokal, meningkatkan kesadaran
pendidikan dan peran serta masyarakat, serta mejamin adanya tindakan hukum dan administratif.
Tetapi, setelah lima tahun berlalu Komisi VII DPR RI belum juga meloloskan Rancangan
Undang Undang (RUU) ratifikasi perjanjian tersebut. Alasan lainnya dikarenakan banyak pihak
yang tidak menginginkan permasalahan domestik ‘di-Internasionalisasi’, permasalahan tersebut
juga tidak mendapat tekanan politis atau dipolitisasi. Banyak isu-isu lainnya yang menjadi
penghambat dalam meloloskan RUU perjanjian tersebut. Jika dilihat dari sisi bargaining power
seharusnya jika perjanjian ini di setujui maka Indonesia dapat memegang kontrol terhadap
permasalahan ini, karena sebenarnya sumber masalah berada di wilayah Indonesia.
Sepatutnya Indonesia mengambil garis terdepan dalam penanganan kasus polusi asap
lintas batas ini dengan menjadi Negara pertama yang meratifikasi The ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut sebenarnya banyak
keuntungan yang akan didapat oleh Indonesia. Dengan meratifikasi perjanjian tersebut, Indonesia
akan mendapatkan keuntungan secara langsung seperti bantuan untuk menangani polusi asap
yang telah membuat negara kita banyak kerugian secara materi. Bantuan yang akan diberikan
nantinya seperti tenaga ahli, transfer teknologi, dana segar dan bantuan teknis, serta hal-hal yang
Indonesia sendiri belum memilikinya. Selain itu Indonesia diuntungkan dengan ratifikasi
AATHP karena dapat menjadi tuan rumah bagi adanya pertemuan ASEAN tentang perjanjian
tersebut serta menjadi pusat kegiatan untuk penanggulangan polusi asap di ASEAN. Untuk itu,
dengan meratifikasi perjanjian tersebut, nantinya Indonesia tidak dapat dituntut secara sepihak,
karena hal tersebut telah menjadi tanggung jawab bersama negara ASEAN yang telah
meratifikasi perjanjian AATHP, meskipun munculnya asap berasal dari Indonesia. 6
B. Rumusan Masalah
6 .ibid.3
Dari penjelasan di atas maka rumusan masalah dalam skripsi ini adalah: “faktor-faktor
apa saja yang membuat Indonesia belum meratifikasi The Asean Agreement On Transboundary
Haze Pollution (AATHP)”.
C. Kerangka Konseptual
Sistem politik merupakan teori yang digagas oleh David Easton untuk menerjemahkan
politik sebagai “proses alokasi nilai dalam masyarakat secara otoritatif.”7 Sistem adalah kesatuan
dari seperangkat struktur yang memiliki fungsi masing-masing yang bekerja untuk mencapai
tujuan tertentu. Sistem politik adalah keseluruhan interaksi yang mengatur pembagian nilai-nilai
secara otoritatif untuk dan atas nama masyarakat.8 Dalam bukunya di jelaskan kerja sistem
politik melalui sebuah skema David Easton, skema kerja sistem politik menurut David Easton
menjelaskan proses politik yang berlangsung dalam masyarakat melalui input – sistem politik –
output. Input terdiri dari dua jenis: dukungan dan tuntutan, dukungan (support) bisa berupa
sebuah tindakan atau orientasi untuk melestarikan ataupun menolak sistem politik. Sedangkan
tuntutan dapat berasal dari sistem politik maupun lingkungan (intra dan extrasocietal). Tuntutan
yang sudah terstimulasi akan menjadi pembahasan bagi pihak-pihak dalam sistem politik untuk
bersiap menentukan masalah yang penting untuk didiskusikan melalui saluran-saluran dalam
sistem politik.9
Setelah tuntutan dan dukungan diproses di dalam sistem politik, hasilnya disebut output.
Menurut Easton ada 2 bentuk output yaitu keputusan (decision) dan tindakan (action). Nantinya
output ini akan menghasilkan sebuah feedback (umpan balik) baik dari sistem politik ataupun
lingkungan. Reaksi tersebut kemudian diterjemahkan kembali kedalam format tuntutan dan
dukungan, lalu akan dikembalikan ke dalam proses kerja sistem politik lagi. Oleh karena itu
proses kerja sistem politik ini bekerja dalam pola siklus.10 Unit-unit dalam sistem politik menurut
7 Ronald H. Chilcote, Theories of Comparative Politics: The Search for a Paradigm (Boulder, Colorado: WestView Press, 1981) h. 201.
8 Easton, David. A Framework for Political Analysis (1965). h 165.
9 Easton, David, A System Analysis of Political Life (1965).
10 Ibid.4
Easton adalah tindakan politik (political actions) misalnya pembuatan UU, pengawasan DPR
terhadap presiden, tuntutan elemen masyarakat terhadap pemerintah, dan sejenisnya. Dalam awal
kerjanya, sistem politik menerima input-input, input yang terdiri dari dua bentuk tersebut berasal
dari masyarakat, karena masyarakat mempunyai kepentingan yang harus diartikulasikan sebelum
akhirnya diproses dan menjadi output. Lalu terdapat organisasi masyarakat, partai politik,
kelompok kepentingan yang menjadi faktor lingkungan atau perantara antara kepentingan
maysarakat yang akan di proses dalam sistem politik. Pada saat berlangsungnya proses politik
aktor yang berperan adalah pemerintah baik legislatif maupun eksekutif sebagai policy maker.
Dalam masalah ratifikasi the ASEAN agreement on transboundary haze pollution,
tuntutan dalam siklus sistem politik yang dibuat oleh Easton berasal dari masyarakat,
masyarakat merupakan elemen utama pembentukan tuntutan, tanpa adanya tuntutan maka sistem
politik tidak akan bisa menghasilkan sebuah output. Tuntutan dalam masalah polusi asap lintas
batas ASEAN ini berasal dari organisasi non-pemerintah seperti Greenpeace yang mendesak
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil langkah mengatasi kebakaran hutan
yang semakin meluas. Saat ini kebakaran hutan melanda wilayah Indonesia di Provinsi Riau di
Sumatra, Kalimantan Tengah dan Barat. Mayoritas kebakaran ini diawali dengan sengaja oleh
perusahaan untuk membuka lahan perkebunan. WALHI dan WWF juga pernah melaporkan
sejumlah perusahaan yang ditengarai terlibat dalam aksi pembukaan lahan dengan pembakaran.
Dalam salah satu pasal ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pasal 3 nomor 5
dijelaskan tentang prinsip yang menegaskan bahwa “pihak-pihak, dalam mengatasi polusi asap
lintas batas, harus melibatkan, sepantasnya, semua stakeholder, termasuk masyarakat lokal,
kalangan LSM, petani dan perusahaan swasta.” Tak perlu dipertanyakan lagi kalau kalangan
LSM mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera meratifikasi perjanjian tersebut. Hal tersebut
seharusnya memberikan pemahaman kepada pemerintah dan parlemen yang seharusnya tidak
mengulur-ngulur waktu untuk meratifikasi perjanjian tersebut.
Peran lembaga organisasi non-pemerintah yang bergerak di bidang lingkungan seperti
WALHI memiliki peran penting dalam menangani sebuah masalah, lembaga seperti WALHI
berfungsi sebagai perantara antara masyarakat dengan pemerintah. Dalam perkembangannya,
WALHI perlahan mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah sebagai representasi
5
LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam
pembahasan UU lingkungan hidup. 11 Hingga pertengahan 1980-an wacana yang berkembang
dari berbagai diskusi LSM menunjukan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan
antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah.
Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga
tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan
di pemerintahan.12 Tetapi dalam sejalan perkembangannya hubungan antara WALHI dan
pemerintah sering tarik ulur. Hal tersebut dikarenakan pertumbuhan organisasi yang
membutuhkan ruang hidup dan ruang gerak yang cukup, oleh karena itu pertumbuhan tersebut
membawa konsekuensi perkembangan dalam keragaman isu dan gerakan. Perubahan WALHI
dalam mencapai tujuannya membuat hubungan dengan pemerintah sedikit renggang, kebijakan
yang dibuat WALHI dalam mengkampanyekan isu lingkungan semakin tegas, seperti melakukan
aksi-aksi protes keras terhadap kebijakan pemerintah, langkah WALHI melakukan hard
campaign, dan memasukkan isu lingkungan kedalam advokasi. Sejak memasukkan isu
lingkungan kedalam advokasi, secara langsung maupun tidak langsung, WALHI bersentuhan
dengan masalah-masalah struktural dan politik. Persoalan lingkungan di Indonesia adalah
persoalan politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-
kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik. Parahnya, tidak satupun partai
politik yang mempunyai kepedulian pada politik. Walaupun ada beberapa persoalan lingkungan
menjadi agenda utama beberapa partai politik pada saat kampanye. Selain itu, WALHI juga
sadar bahwa dalam berbagai konflik lingkungan hidup terdapat kolaborasi antara kepentingan
negara dan bisnis perusahaan yang sangat kuat. Hal ini berakibat masyarakat menjadi tersudut
dan lemah.13
Persoalan polusi asap hasil kebakaran hutan yang sudah merugikan banyak Negara
sebenarnya berasal dari kebiasaan masyarakat pertanian dan perkebunan yang menyiapkan lahan
meraka untuk musim tanam berikutnya atau persiapan penanaman tanaman perkebunan, 11 “Sejarah WALHI”,Di akses dari http://www.walhi.or.id/in/tentang-kami/sejarah tanggal 20 Juni 2010.
12 Ibid.
13 Ibid.6
termasuk juga dunia usaha di bidang perkebunan dan kehutanan dengan cara membakar lahan
yang sebelumnya telah digunakan. Hal tersebut dianggap lebih mudah, karena tidak memerlukan
biaya besar dan ada yang menganggap bahwa hasil lahan yang telah dibakar akan menghasilkan
pupuk organik. Kebiasaan inilah yang menjadi faktor utama dalam kasus-kasus kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia. Sebelum masuknya industri pertanian dan perkebunan, tradisi membakar
lahan untuk membuka kawasan baru (land clearing) selalu dilakukan secar bijaksana,
masyarakat tradisional melakukan pembakaran pada areal yang tidak terlalu luas. Pada saat ini,
karena alasan perhitungan ekonomis untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya, pembakaran
lahan dilakukan secara besar-besaran dan tidak terkendali. Lemahnya tindakan pengawasan yang
dilakukan pemerintah terhadap pengelolaan hutan yang mempertimbangkan kelestarian.
Perusahan perusahan dengan mudahnya memperoleh izin baru pengalihan hutan alam menjadi
hak pengusahaan hutan (HPH) dan hutan tanaman industri (HTI). Izin izin tersebut merupakan
cara agar perusahaan agar dapat membuka lahan secara legal yang didapat dari pemerintah
daerah setempat, tetapi perusahan-perusahaan tersebut dengan mudahnya mendapatkan izin
tersebut dari pemerintah dan akhirnya sewenang wenang menggunakan lahan. Pemberian
pembukaan lahan sebagai konsesi bagi perusahaan dinilai tidak tepat. Kasus yang sering terjadi
di daerah seperti di Riau, pengusaha yang mengantongi HPH dan HTI di areal hutan alam hanya
mengambil kayunya tanpa melihat efek kedepannya. Akibatnya, terjadi kerusakan lingkungan
yang berdampak kepada masyarakat sekitar.14 Mungkin ada niat yang tidak baik melegalisasi
pemanfaatan kayu hutan alam atas nama HPH, HTI, atau apa pun demi mendapatkan keuntungan
sepihak.
Dukungan adalah salah satu bentuk input selain tuntutan sebagai bagian dalam siklus
sistem politik. Input dukungan (support) menjadi energi untuk menjaga keberlangsungan fungsi
sistem politik itu sendiri, adanya tuntutan tapi tidak ada dukungan, sistem politik tidak dapat
berjalan, tuntutan tidak bisa di penuhi / konflik mengenai tujuan tidak terselesaikan. Jika tuntutan
ingin di tanggapi, anggota-anggota sistem yang memperjuangkan menjadi keputusan yang
14Diakses dari http://www.pewarta-indonesia.com/Warta-Utama/Warta-Utama/dpd-desak-menhut-hentikan-izin-usaha-hutan.html?comment_id=758&joscclean=1 tanggal 3 Juni 2010.
7
mengikat dan mereka yang ingin mempengaruhi proses-proses yang relevan harus mampu
memperoleh dukungan dari pihak-pihak lain dalam sistem tersebut. 15
Legislatif, khususnya komisi VII DPR yang membawahi masalah Lingkungan Hidup
sebenarnya adalah aktor utama yang berperan dalam memberikan dukungan untuk segera
mengupayakan the ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution di ratifikasi. Saat ini
Indonesia belum meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas di kawasan ASEAN, karena
memang belum tercapai kesepakatan-kesepakatan mengenai masalah-masalah pendanaan,
peningkatan sumber daya manusia, transfer teknologi dan kelembagaan dll, apakah akan
ditanggung bersama-sama atau hanya negara pengespor asap yang notabene adalah indonesia.
Sejatinya prinsip-prinsip keadilan dan kebersamaan harus disepakati dulu.16 Selain itu, program
RUU mengenai masalah ini belum mendapatkan tempat utama dalam prolegnas DPR 2010-2014.
Hingga saat ini agenda RUU mengenai penanggulangan kebakaran hutan hanya sampai pada
Dewan Perwakilan Daerah. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab dan bewewenang
menanggulangi bencana adalah pemerintah pusat. Hal tersebut sesuai disebutkan dalam RUU
Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, tetapi saat ini pemerintah daerah tidak bisa
menyelesaikan masalah ini sendiri. Jadi, permasalahan tersebut saat ini di limpahkan kepada
pemerintah pusat untuk di bahas lebih dalam agenda prolegnas.17
Komisi VII DPR sebenarnya mempunyai beberapa hasil upaya yang sudah dilakukan
sebagai sebuah dukungan untuk mempersiapkan kekurangan yang Indonesia miliki dalam upaya
meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas. Dalam upaya menekan kebakaran lahan, anggota
komisi VII DPR, Muhammad Najib (F-PAN) menyerukan adanya koordinasi yang baik diantara
instansi yang terkait untuk mengatasi kebakaran hutan di Indonesia. Hal tersebut ditegaskannya
15 Mochtar Mas'oed dan Colin MacAndrews, (1984). Perbandingan Sistem Politik, Gadjah Mada University Press.
16 Hasil wawancara dengan Ir. Chandra Tirta Wijaya, salah satu anggota Komisi VII DPR, Fraksi PAN, tanggal 18 Juni 2010.
17 “RUU Pengendalian Hutan disetujui DPD” diakses dari http://www.jpnn.com/?mib=berita.detail&id=10869 tanggal 18 Juni 2010.
8
saat rapat kerja dengan Meneg LH, Gubernur Provinsi Kalimantan Tengah, dan Gubernur
Provinsi Riau, yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komisi VII Sonny Keraf (F-PDIP), di DPR.18
Upaya serta berbagai cara sudah cukup dilakukan oleh Komisi VII DPR seperti
menyosialisasikan perjanjian polusi asap lintas batas ke daerah-daerah sebelum meratifikasinya,
kata salah seorang Wakil Ketua Komisi VII DPR, Ahmad Fahrial.19 Dengan adanya upaya-upaya
dan usaha yang dilakukan Komisi VII DPR sebagai persiapan untuk mempelajari RUU
perjanjian polusi asap lintas batas, nantinya Indonesia diharapkan sudah siap menerima serta
mengetahui untung-rugi isi dari perjanjian polusi asap lintas batas tersebut, sehingga tidak ada
lagi negara-negara yang dirugikan oleh polusi asap dan mau bersama-sama mencari cara
menanggulangi masalah tersebut. Tetapi untuk kedepannya penulis akan mencari faktor-faktor
apa saja yang membuat Indonesia sampai saat ini beum juga meratifikasi perjanjian AATHP
tersebut berdasarkan kerangka konseptual diatas.
Konsep kelompok kepentingan (interest group) yang dikemukakan oleh David B.Truman
adalah beberapa kelompok yang tersusun atas satu atau lebih sikap bersama yang membuat klaim
tertentu atas kelompok lain dalam masyarakat untuk menjaga, memelihara atau memperluas
sikap melalui tindakan bersama.20 Mereka bertindak dan berbuat karena adanya suatu
kepentingan bagi kelompok tersebut dengan membawa satu isu tertentu dengan mempengaruhi
kebijakan pemerintah demi tercapainya kepentingan-kepentingan, tujuan-tujuan dan keinginan-
keinginan tersebut.
Kelompok kepentingan yang berpengaruh diharapkan dapat mempengaruhi
kebijaksanaan negara. Tindakan untuk mewujudkan kepentingan tersebut bisa diwujudkan
melalui institusi pemerintah seperti legislatif. Pemerintah dalam mengeluarkan sebuah keputusan
18 “ koordinasi antar instansi atasi kebakaran”Diambil dari http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2009/sep/11/707/dpr-minta-koordinasi-antar-instansi-atasi-kebakaran-lahan tanggal 6 Juni 2010.
19 Diambil dari http://www.dpr.go.id/id/berita/komisi7/2006/july/31/Ratifikasi-Konvensi-Lintas-Batas-Asap-Tunggu-Dukungan Daerah tanggal 6 Juni 2010.
20 Charles V. Hamilton, “American Government”, Scoot, Foresman and Company, New York, 1993, h. 62, diambil dari Fatkurrohman, S.IP,M.Si, Pemanasan Global dan Lubang Ozon: Bencana Masa Depan, Yogyakarta, 2009, h. 29, pada tanggal 12 Juli 2010.
9
dapat bersifat menolong masyarakat dan bisa pula dinilai sebagai kebijaksanaan yang justru
menyulitkan masyarakat. Oleh karena itu setidaknya wakil dari suatu kelompok harus berjuang
untuk mengangkat kepentingan, agar dapat dimasukkan ke dalam agenda kebijaksanaan negara.
Salah satu cara penyampaian kepentingan adalah melalui agregasi kepentingan untuk
dimasukkan kedalam alternatif kebijakan pemerintah. Agregasi kepentingan dalam sistem politik
Indonesia berlangsung dalam diskusi lembaga legislatif. DPR berupaya merumuskan tuntutan
dan kepentingan-kepentingan untuk selanjutnya ditetapkan sebagai Undang-Undang. Dalam
proses tersebut kelompok kepentingan berperan mempengaruhi pembuatan keputusan dari luar,
sedangkan partai politik berperan dari dalam sistem.
D. Argumentasi Utama
Berdasarkan penjelasan konseptual di atas, maka gagasan utama dari faktor-faktor
mengapa Indonesia belum ratifikasi perjanjian The Asean Agreement On Transboundary Haze
Pollution adalah: pertama, legislatif belum menjadikan agenda ratifikasi rancangan undang-
undang perjanjian AATHP sebagai agenda utama dalam proses politik. Kedua, kurangnya peran
yang ditunjukkan Presiden dalam pengambilan kebijakan proses ratifikasi perjanjian polusi asap
lintas batas ASEAN. Ketiga, kurang optimalnya upaya yang dilakukan LSM dalam mendorong
isu polusi asap kebakaran hutan untuk segera di ratifikasi di DPR.
E. Metode Penulisan
10
Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan
metode deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data-data sekunder yang diperoleh dari
literature, buku-buku, jurnal, majalah-majalah, koran-koran, serta tulisan-tulisan yang relevan
dengan masalah-masalah yang akan dibahas. Selain itu data atau informasi juga diperoleh
melalui internet yang berhubungan dengan tulisan.
F. Tujuan Penelitian
Penulisan skripsi ini bertujuan, pertama, untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang
membuat Indonesia sampai saat ini belum juga meratifikasi perjanjian ASEAN on
Transboundary Haze Pollution. Kedua, diharapkan skripsi ini dapat memberikan informasi yang
sifatnya edukatif bagi mahasiswa Hubungan Internasional, khususnya peran pemerintah dalam
penanganan masalah perjanjian Polusi asap lintas batas melalui setiap pembahasan yang ada di
dalam skripsi penulis
G. Sistematika Penulisan
Pembahasan dalam tulisan ini akan dibagi menjadi empat bagian :
Bab I, merupakan pendahuluan penulisan yang berisi latar belakang, rumusan masalah,
kerangka konseptual dan teori, argumentasi utama, tujuan penelitian, metode penelitian
dan sistematika penulisan.
Bab II, membahas fenomena polusi asap lintas batas yang terjadi di Indonesia. Bab ini
juga akan membahas sejarah awal terjadinya polusi asap lintas batas, penyebab terjadinya
polusi asap lintas batas, serta dampak yang diberikan polusi asap lintas batas terhadap
Indonesia, serta agenda perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN.
11
Bab III, membahas Negara-negara yang meratifikasi perjanjuan polusi asap lintas batas
ASEAN, lalu kepentingan negara malaysa serta Singapura dalam perjanjian tersebut.
Bab IV, membahas faktor faktor penghambat Indonesia dalam meratifikasi perjanjian
polusi asap lintas batas ASEAN.
Bab V, pada bab ini merupakan kesimpulan dan rangkuman atas uraian yang telah
dibahas dalam bab-bab sebelumnya.
BAB II
POLUSI KABUT ASAP KEBAKARAN HUTAN YANG TERJADI DI INDONESIA
A. Sejarah Awal Terjadinya Polusi Kabut Asap Kebakaran Hutan
Pertengahan tahun 1997 merupakan awal dari fenomena kebakaran hutan yang menimbulkan
adanya polusi asap hasil kebakaran hutan yang terjadi di Indonesia. Saat itu asap yang dihasilkan
dari kebakaran hutan menimbulkan efek negatif terhadap negara tetangga yaitu Malaysia dan
Singapore. Pada tahun 1998, Brunei, lalu Thailand, Vietnam dan Filipina juga dapat merasakan
efek buruk dari polusi asap hasil kebakaran hutan yang ada di Indonesia. Pada tahun 1997-1998,
Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di seluruh dunia. Citra situasi kota yang
12
diselimuti kabut, hutan yang terbakar dan hewan hewan yang menderita tampil di halaman utama
berbagai koran, televisi dan menarik perhatian umum pada saat itu. Negara tetangga seperti
malaysia dan singapura serta lembaga lembaga bantuan pembangunan melibatkan diri dalam
usaha memadamkan kebakaran hutan tersebut. Kejadian ini dinyatakan sebagai salah satu
bencana lingkungan terburuk sepanjang abad.
Kebakaran yang terjadi di Indonesia termasuk diantara yang terburuk di dunia, telah menarik
perhatian berbagai media massa, organisasi lingkungan, dan pemerintah negara di seluruh dunia.
Kebakaran yang cukup besar terjadi di Kalimantan Timur yaitu pada tahun 1982-1983 dan tahun
1997-1998. Pada tahun 1982-1983 kebakaran telah menghanguskan hutan sekitar 3,5 juta hektar
di Kalimantan Timur dan ini merupakan rekor terbesar kebakaran hutan dunia setelah kebakaran
hutan di Brazil yang mencapai 2 juta hektare pada tahun 1963. Kemudian rekor tersebut
dipecahkan lagi oleh kebakaran hutan pada tahun 1997-1998 yang telah menghanguskan hutan
seluas 11,7 hektar. Kebakaran terluas terjadi di kalimantan dengan total lahan yang terbakar 8,13
juta hektar, disusul Sumatera, Papua Barat, Sulawesi dan Jawa masing-masing 2,07 hektar, 1 juta
hektar, 400 ribu hektar dan 100 ribu hektar.
Indonesia merupakan negara yang memiliki areal hutan terluas ketiga di dunia setelah brazil
dan kongo, dihargai karena nilai konservasi keragaman hayatinya, potensi dalam menghasilkan
devisa, dan sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Hutan menempati urutan kedua
setelah minyak sebagai penyumbang terbesar untuk perekonomian nasional. Pada masa
pemerintahan Orde Baru, penguasaan hutan merupakan alat sekaligus hadah bagi kekuasaan
negara. Berbagai hutan yang lebat pohonnya dibagikan sebagai hadiah dalam bentuk konsesi
HPH, HTI, dan perkebunan untuk keluarga, teman, dan rekan kerja pada era kepemimpinan
Soeharto, dan juga untuk para anggota kunci militer dan elit politik. Pihak yang menguasai hutan
memiliki kekayaan dan pengaruh yang sangat besar.21
Pasca reformasi tahun 1998 sampai pada saat akhir pemerintahan Presiden Megawati 20
Oktober 2004, bentuk pengelolaan hutan pun tak kunjung membaik. Sebaliknya, deforestasi 1,6
juta hektar per tahun (1985-1997) meningkat tajam di era reformasi menjadi 2,83 juta hektar per
21 “Dinamika Proses Desentralisasi Sektor kehutanan di Sulawesi”, www.cifor.cgiar.org/publications/pdf.../decentralisation-case11b.pdf, diakses tanggal 17 September 2010.
13
tahun (1998-2000), yang antara lain didorong oleh kebakaran hutan dan lahan seluas 9 juta
hektar tahun 1997-1998. Lahan kosong di kawasan hutan mencapai 31,952 juta hektar plus
sekitar 17,283 hektar belum terdeteksi. Sedangkan kawasan hutan yang terindikasi perlu
direhabilitasi telah mencapai 59,2 juta hektar.22
Kebakaran hutan di Indonesia yang menghasilkan polusi kabut asap terjadi sejak
kebijakan pembalakan (logging) besar-besaran terhadap hutan hujan tropis sebagai salah satu
andalan utama untuk mendapatkan modal pembangunan, dimulai pada akhir tahun 1960-an.
Sebagai dampak dari pembalakan-pembalakan tersebut, pada tahun 1982-1983 kebakaran hutan
dan lahan secara besar-besaran untuk pertama kalinya terjadi di Indonesia. Dalam peristiwa
tersebut sekitar 3,5 juta hektar di Kalimantan musnah terbakar. Sejak saat itu, kebakaran hutan
dan lahan di Indonesia hampir menjadi peristiwa tahunan seiring dengan semakin maraknya
pembalakan hutan, khususnya proses pembalakan dan perladangan tanpa kendali yang
mengakibatkan kerusakan hutan cukup parah dan semakin meluas.23
Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya menghanguskan area yang terbakar. Tetapi
kebakaran hutan dan lahan juga menimbulkan kabut asap yang seringkali mencemarkan udara
sehingga tidak saja mengganggu aktifitas masyarakat, namu juga mengancam kesehatan
manusia. Sejak tahun 1990-an, kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia mulai
mendapatkan “perhatian” dari negara-negara tetangga di kawasan Asia Tenggara. Sebagaimana
yang diketahui bahwa setiap kebakaran hutan dan lahan cenderung menimbulkan asap, begitu
juga halnya dengan kebakaran yang terjadi di Indonesia. Hal tersebut lebih dikarenakan masalah
kabut asap yang ditimbulkan oleh kebakaran-kebakaran hutan dan lahan, seringkali melanda
negara-negara tetangga, seperti halnya dalam peristiwa kebakaran-kebakaran besar tahunan.
Secara umum kebakaran hutan yang melanda beberapa daerah di Indonesia seperti,
Kalimantan, Sumatera, pada saat itu terkait dengan kegiatan pembukaan hutan dan lahan baik 22 “Jalan Panjang Perbaikan Pengelolaan Hutan”, http://www.sttnas.ac.id/gapadri/Artikel/16%20Maret%202006/Jalan.html, diakses tanggal 17 September 2010.
23 Otto Soemarowoto , “Pencegahan dan Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan di Tingkat Regional” , disampaikan dalam Temu Wicara Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap yang diselenggarakan oleh Direktoran Jenderal Kerjasama ASEAN pada tanggal 18 Mei 2004 di Mandarin Oriental Hotel, Jakarta.
14
untuk perkebunan maupun yang dilakukan oleh penduduk serta peladang tradisional dalam
mengupayakan mata pencaharian mereka. Di propinsi Jambi misalnya, kebakaran lahan dan
hutan yang terjadi antara tahun 1997-1998 dirasakan memberikan dampak yang buruk terhadap
kondisi sosial-ekonomi masyarakat setempat. Di propinsi ini kebakaran hutan dan lahan yang
terjadi disebabkan oleh masyarakat, petani dan peladang tradisional dalam membuka lahan baru.
Di Sumatera Selatan juga menunjukkan gambaran yang tidak jauh berbeda. Sumber kebakaran
hutan dan lahan 99% disebabkan karena ulah manusia yang melakukan kegiatan tebang, tebas,
dan bakar dalam setiap pembukaan lahan untuk perladangan. Sementara di Propinsi Kalimantan
Timur peristiwa kebakaran hutan dan lahan 90% juga disebabkan oleh pembukaan lahan dan
hutan dengan cara membakar. Sejak pertengahan bulan Agustus, penyebaran titik api (hotspots)
telah menunjukkan peningkatan di Propinsi Jambi, khususnya di wilayah kabupaten Muoro
Jambi, Tanjung Jabung Timur, Tanjung Jabung Barat dan Batanghari. Berdasarkan status
lahannya, sebaran titik api berada pada Taman Nasional Berbak, hutan produksi, hutan gambut
lindung, lahan transmigrasi dan masyarakat.24
Hingga saat ini pertistiwa kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 masih merupakan
yang terburuk, baik dari tingkat kebakarannya, pencemaran kabut asap yang ditimbulkannya,
maupun dampak serta kerugiannya. Bencana El Nino yang melanda dunia termasuk di kawasan
Asia Tenggara pada tahun 1997-1998, tidak saja menumbulkan musim kemarau yang
berkepanjangan, namun juga turut memberikan kontribusi terhadap peristiwa kebakaran global,
dimana sekitar 25 jut hektar hutan di seluruh dunia hangus terbakar. Dari jumlah tersebut,
peristiwa kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia merupakan yang terbsesar dimana
sekitar 11,7 juta hektar hutan ikut musnah terbakar dengan total kerugian Rp.107 miliar. Selain
hutan dan lahan yang ditimbulkan oleh kebakaran hutan dan lahan juga telah menimbulkan
perhatian dan kekhawatiran tersendiri.
Kebakaran hebat yang terjadi pada rentan tahun 1997-1998 merupakan akibat dari
kombinasi antara pengelolaan hutan yang tidak beraturan dan fenomena iklim El-Nino yang telah
menghancurkan 210.000 km persegi dari wilayah propinsi Kalimantan Timur selama beberapa
24 Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN Departemen Luar Negeri Republik Indonesia, peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Penanggulanan Masalah Kabut Asap, Jakarta, 2004, hal. 24
15
tahun tersebut. Selain itu, praktek kegiatan pembalakan yang menciptakan efek sangat buruk
karena meninggalkan hasil limbah pembalakan yang luar biasa dalam hutan. Kekeringan akibat
fenomena El-Nino yang hebat melanda kawasan ini antara bulan Juni 1997 dan bulan Mei 1998,
dan kebakaran terjadi serempak hampir di seluruh wilayah propinsi ini pada akhir tahun 1997.
Kebakaran ini tidak bisa dikendalikan sampai akhirnya musim hujan tiba kembali pada bulan
Mei 1998. Saat itu 3,2 juta ha hutan habis terbakar, 2,7 juta ha diantaranya adalah hutan hujan
tropis. Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran yang merambat
perlahan di hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh di areal yang baru saja di balak
dan di hutan rawa gambut. Kebakaran yang luas kembali terjadi beberpa kali dalam dekade
berikutnya. Di Kalimantan Timur terbakar 500.000 hektar pada tahun 1991 dan 5 juta ha pada
tahun 1994.25
Kebakaran hutan merupakan gejala krisis yang paling dramatis dan nyata yang
mempengaruhi hutan Indonesia dan masyarakat di hutan. Masyarakat di dan di sekitar hutan juga
menanggung beban jangka panjang atas terjadinya kebakaran oleh hilangnya sumber
penghidupan dan dampak terhadap kesehatan. Kebakaran merupakan efek langsung dari politik-
ekologi yang ada di Indonesia, karena akibat dari alokasi penebangan dan konsesi perkebunan
pada kelompok elit yang berkuasa, korupsi yang menghalangi pemantauan hutan secara efektif di
lapangan. Kebakaran secara langsung dan tidak langsung dipengaruhi oleh keputusan politik dan
permainan pengusaha. Meskipun kebakaran hutan 1997-1998 yang dasyat belum terjadi lagi di
Indonesia, siklus tahunan pembakaran, asap dan kabut asap masih berlanjut. Meskipun tidak
menjadi tajuk berita surat kabar internasional, kerusakan yang diakibatkan tidak sedikit baik
dalam hal cakupan hutan yang rusak maupun biaya untuk kesehatan dan penghidupan. Sekarang
ini banyak kebakaran yang disulut untuk kepentingan kantong pribadi. Jumlahnya bervariasi,
tetapi semua sumber sepakat bahwa perkebunan kayu pulp dan kelapa sawit besar yang paling
bertanggung jawab. Perusahan dan kontraktor mereka tidak segan melecehkan hukum dalam
iklim politik yang tidak jelas sekarang ini. kajian terbaru Bank Dunia menunjukkan bahwa
pembukaan lahan skala besar ikut menyebabkan sampai 34% kasus kebakaran hutan,
25 “kebakaran hutan dan lahan”, pdf.wri.org/indoforest_chap4_id.pdf, hal. 62.16
perladangan tebas-bakar 25%, pertanian menetap 17%, konflik antara penduduk lokal dan
pemegang ijin hutan 14%.
Beberapa hal di atas yang menunjukkan bukti bukti adanya cara ilegal dalam pengelolaan
lingkungan menyebabkan adanya kebakaran sehingga timbul polusi asap kebakaran hutan.
Kebakaran hutan juga merupakan gejala konflik sosial di Indonesia, khususnya konflik masalah
kepemilikan dan penggunaan tanah. Pembakaran adalah senjata yang dipakai oleh kedua belah
pihak. Perusahaan perkebunan mempertaruhkan klaim mereka atas tanah masyarakat adat
dengan cara membakar dan masyarakat setempat yang sakit hati membalas dendam dengan
menghancurkan perkebunan yang didirikan pada lahan adat tanpa persetujuan mereka.
Penegakkan hukum dapat mencegah dan mengendalikan kebakaran hutan. Pembakaran
untuk membuka lahan adalah tidakan illegal di Indonesia sejak 1995. Larangan ini diperkuat
dengan UU Kehutanan 1999. Staf perusahaan dianggap salah karena membuka lahan hutan
dengan membakarnya dan diancam hukuman penjara maksumum 15 tahun dan denda sampai
lima milyar rupiah. Jika kebakaran ditemukan di atas lahan HPH, tidak peduli dari mana
mulainya, pegawai perusahaan dapat didenda karena kelalaian sebesar 1,5 milyar rupiah atau
lima tahun penjara. Indonesia menuai banyak kritik internasional karena tidak berbuat cukup
untuk mengendalikan kebakaran hutan. Usaha-usaha negara-negara anggota ASEAN untuk
menangani permasalahan ini dinilai tidak efektif. Bagi negara tetangga Indonesia sesama
ASEAN, persoalannya adalah asapnya bukan apinya. Kerjasama regional lingkunan telah
membahas jalan keluar bersama mengatasi kabut asap sejak awal 1990an. Telah ada serangkaian
konferensi, seminar dan lokakarya internasional tentang polusi lintas perbatasan sejak 1997.
Tanpa adanya tindakan efektif pada tingkat pemerintah, maka masalah ini akan berlarut larut dan
tidak akan menemui penanganan serius dalam masalah ini.26
1. Penyebab polusi kabut asap di Indonesia
Polusi asap hasil kebakaran hutan merupakan suatu fenomena rutin yang hampir dialami oleh
negara-negara yang memiliki hutan pada saat musim kemarau setiap tahunnya. Di Kanada
misalnya, kebakaran hutan biasanya terjadi pada saat dry-seasson sekitra bulan April – Agustus,
26 Liz chidley, “Forest, People, Right: a Down to Earth Special Report”, Juni 2002, hal. 60.17
rata-rata menghanguskan sekitar 3 juta hektar hutan setiap tahunnya serta menelan kerugian atas
struktur dan properti sekitar $2,2 juta. Peristiwa kebakaran hutan terbesar yang terjadi pada tahun
1994-1995 bahkan telah membakar hangus sekitar 13,4 jtua hektar hutan.27
Sebanarnya apakah yang disebut dengan pencemaran asap lintas batas? “asap lintas batas”
lebih dikenal sebagai “kabut asap” atau secara sederhana diartikan “asap”. Encyclopedia
Amerika mendefinisikan “asap” sebagai “suatu kondisi meteorologi di mana partikel-partikel
kecil yang berasal dari debu, garam, atau air yang berada di atmosfer. Sebenarnya ada
perbedaam amtara letiga istilah “asap”, “kabut”, dan “asap lintas batas”, ketika timbulnya api
saat kebakaran akan menumbulkan asap tetapi ketika asap tersebut berhenti di atmosfer itulah
yang disebut kabut. Jika kabut asap tersebut melintasi batas-batas politik, atau batas-batas
negara, itulah yang kemudia disebut dengan “polusi asap lintas batas”. Ketika asap hasil
kebakaran hutan yang berada di atmosfer terbawa angin melewati batas-batas negara maka hal
tersebut akan menjadi masalah dan gangguan serta merugikan negara yang terkena kabut asap
tersebut.28
Ada beberapa faktor umum terjadinya polusi kabut asap lintas batas, yaitu:
1. Faktor alam, seperti terjadinya kilat, letusan gunung berapi, dan yang paling berpengaruh
adalah musim kemarau yang berkepanjangan termasuk pengaruh El-Nino sebagai pemicu
utama kebkaran hutan yang pernah melanda kawasan Asia Tenggara, khususnya di
Indonesia pada tahun 1997.
2. Faktor manusia, dalam melakukan kegiatan seperti pembukaan lahan dan peladagangan
berpindah khususnya dengan metode pembakaran serta pembalakan. Jika dilihat dari
kedua faktor penyebab tersebut, terjadinya kebakaran hutan dan lahan di kawasan Asia
Tenggara selama ini cenderung lebih disebabkan oleh faktor alam, sepert pada tahun
27 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit, hal. 19.
28 Ebinezer R. Florano, Konverensi International Environmental Governance, “Regional Environment Cooperation without tears of fears: The Case of the ASEAN Regional Haze Action Plan”, hal. 2
18
1997 dimana peristiwa kebakaran hutan dan lahan di Indonesia semakin memburuk
akibat musim kemarau yang berkepanjangan yang disebabkan fenomena El-Nino.
Adanya dua faktor umum di atas, ditambah dengan kondisi alam Indonesia sebagai negara
yang memiliki hutan hujan tropis terbesar kedua setelah Brasil, tidak terlepas dari permasalahan
kebakaran hutan dan lahan yang terjadi hampir setiap tahun. Kebakaran hutan akan lebih parah
apabila lokasi yang terbakar merupakan area lahan gambut, yang berarti pada saat musim
kemarau akan menjadi “bahan bakar: yang sangat mudah terbakar. Kebakaran hutan akan terjadi
apabila memenuhi dua syarat yaitu api dan adanya bahan bakar di tempat. Kondisi hutan hujan
tropis di Indonesia yang sebagian besar area nya telah rusak akibat pembalakan serta metode
pembakaran yang merupakan “bahan bakar” potensial yang mudah sekali terbakar, khususnya
pada saat musim kemarau. Hal tersebutlah yang terjadi dalam setiap kebakaran hutan dan lahan
pada tahun 1997-1998, serta tahun tahun berikutnya. Asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan
tersebut yang menganggu keadaan domestik, serta adanya angin yang berhembus kencang
selama musim kemarau yang membuat asap tersebut mudah terbawa angin sehinga membawa
asap tersebut ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Dari segi ekonomi, total
kerugian di delapan propinsi yang mengalami kebakaran hutan secara hebat, seperti daerah Riau,
Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Timur diperkirakan
mencapai Rp.3,64 triliun.
Gambaran di propinsi Sumatera Selatan juga menunjukkan keadaan yang tidak jauh berbeda.
Sumber kebakaran hutan dan lahan di Propinsi Sumatera Selatan 90% disebabkan oleh kegiatan
manusia yang melakukan tebang, tebas, dan bakar dalam setiap pembukaan lahan untuk
perladangan. Sementara di Propinsi Kalimantan Timur, peristiwa kebakaran hutan dan lahan
merupakan kejadian yang berulang kali terjadi, yaitu sejak tahun 1981-1982 hingga saat in.
namun kebakaran hutan dan lahan tahun 1997-1998 masih dianggap sebagai kejadian yang
terbesar yang telah menimbulkan kerugian besar ditinjau dari aspek ekonomi, ekologi, kesehatan
dan sosial. Seperti daerah lainnya, penyebab terjadinya kebakaran di Kalimantan Timur adalah
faktor manusia yang mencapai sekitar 90%.29
29 Penjelasan Dinas Kehutanan dan Kebakaran Propinsi Kalimantan Timur kepada Wakil-wakil Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN, Direktorat Jenderal Kerjasama ASEAN, Deplu, pada saat kunjungan ke Samarinda dalam rangka pengumpulan data dan informasi, tanggal 11 April 2004.
19
Kejadian kebakaran hutan dan lahan merupakan hal yang sepatutnya tidak terjadi secara
berulang ulang kali, harus ada pemahaman terhadap kepatuhan hukum, tata cara pengelolaan
lahan, kepatuhan izin pengelolaan hutan, serta tindakan pemerintah yang tegas terhadap pelaku
perusakan lahan. Kegiatan kegiatan yang memberikan wawasan ekologi tersebut harus diberikan
dari pemerintah hingga para petani tradisional. Meskipun banyak kegiatan pengelolaan hutan dan
lahan seperti pengembangan organisasi pengelolaan kebakaran hutan dan lahan, namun
kebakaran hutan dan lahan masih saja terus terjadi setiap tahunnya mengingat pemahaman
mengenai konsep-konsep pengelolaan hutan dan lahan secara baik dan berwawasan ekologi
masih belum dimengerti dan diterima, khususnya oleh para peladang tradisional.
Dalam kebakran tahun 2000 dan tahun-tahun selanjutnya, dapat dikatakan bahwa fenomena
alam adalah faktor yang sangat kecil memberikan andil dalam kebakaran yang terjadi. Sumber
daya hutan dan lahan Indonesia telah berada pada titik ketidakseimbangan ekologi (ecological
imbalance). Kerusakan hutan di Indonesia diperkirakan antara 800.000 hektar hingga 1,3 juta
hektar per tahun. Sedangkan kerusakan hutan dan lahan telah mencapai 43 jtua hektar per tahun.
Pada umumnya, hal ini disebabkan karena terjadinya eksploitasi besar-besaran terhadap sumber
daya hutan baik untuk keperluan pengambilan hasil hutan, pembukaan lahan perkebunan maupun
untuk keperluan lain seperti pertambangan. Persoalan kerusakan hutan dan lahan diperburuk lagi
oleh kegiatan pembakaran hutan dan lahan sebagai akibat kegiatan pembukaan lahan melalui
pembakaran. Pembakaran hutan dan lahan ini telah menimbulkan pencemaran asap, yang
menyumbang terhadap pemanasan bumi dan perubahan iklim yang pada akhirnya memberikan
bebanbagi ekosistem hutan.30
Secara umum, polusi asap yang berasal dari kebakaran hutan terjadi apabila ada setidaknya
tiga faktor penentu, yaitu bahan yang dapat terbakar, sumber api, dan zat asam yang bertemu
atau berintraksi dalam proses pembakaran. Bagaimanapun keringnya kayu dan bahan organis
lainnya bila tidak ada sumber api, tentunya tidak akan menyulut kebakaran.31
Adapun beberapa faktor penyebab terjadinya kebakaran hutan di Indonesia sebagai berikut:30 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit., Hal.159
31 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, hal.4-5.20
1. Peladangan Berpindah
Peladangan berpindah telah dilakukan secara luas di Indonesia selama ribuan tahun, dan
terus berlanjut sampai sekarang di beberapa tempat di Indonesia. Untuk jangka panjang,
peladangan berpindah secara tradisional dianggap memiliki dampak yang kecil terhadap
ekosistem hutan. Kecendrungan saat ini mengarah pada pembukaan lahan yang lebih
besar untuk waktu yang lebih lama, sehingga kejadian ini akan terjadi berulang ulang
kali.
2. El Nino
Kekeringan yang berkaitan dengan El Nino muncul di Indonesia setiap dua sampai tujuh
tahun dengan intensitas yang berbeda-beda. Kejadian yang parah menyebabkan
kegagalan panen, kekurangan air, dan menimbulkan dampak terhadap hutan yang
meliputi matinya pohon atau terganggunya daur pembuangan. Kekeringan yang tinggi
disertai dengan tingginya bahan bakar di hutan yang telah ditebang, dan digunakannya
api untuk pemukaan lahan telah menciptakan tingginya bahaya kebakaran. Dalam
keadaan seperti ini, kebakaran dapat timbul secara alamiah. Tetapi, kelalaian dan
keserakahan manusia bertanggung jawab atas sejumlah besar meluasnya sebaran
kebakaran di Indonesia.
3. Konsesi Kayu
Pengelolaan hutan dan praktek guna lahan di Indonesia telah berkembang pesat selama
tiga dekade terakhir. Penggunaan secara komersial sumber daya dan alahan hutan
dilakukan secara terbatas sampai setengah abad terakhir. Keadaan ini berubah cepat saat
rezim orde baru. Puluhan juta hektar lahan hutan diberikan pada perusahaan perkayuaan
pada akhir 1960-an dan awal 1970-an. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan
secara tiba-tiba kegiatan perkayuan di Indonesia yang mengakibatkan berubahnya
lansekap dalam dua dasawarsa terakhir. Kebijakan pemerintah dan prosedur de facto
tentang alokasi lahan dan penyelesaian konsesi kayu memiliki banyak kesalahan,
21
diantaranya: sangat terbuka korupsi, mendorong dilakukannya penebangan yang
mengakibatkan dampak yang parah terhadap ekosistem hutan, keanekaragaman hayati,
dan penduduk yang tinggal di hutan. Buruknya praktek penebangan menyebabkan
tertinggalnya limbah kayu dalam jumlah besar di hutan yang akan meningkatkan resiko
kebakaran.
4. Tanaman Perkebunan
Pada periode 1990-an terlihat adanya peningkatan luas lahan tanaman perkebunan yang
merupakan pendorong paling besar dibelakang konversi lahan di Indonesia. Pemerintah
mendukung pengembangan perkebunan kayu dna perkebunan kelapa sawit melalui
beberapa rangsangan seperti lahan bebas atau gratis, serta modal disubsidi. Adanya
peningkatan permintaan domestik dan internasional akan kelapa sawit disertai dengan
kenyataan bahwa Indonesia adalah produsen berbiaya rendah atas komoditas ini, telah
menambah dorongan terhadap pertumbuhan industri minyak kelapa sawit yang sering
kali mendapat dukungan teknis dan keuangan dari luar negri. Seperti juga kasus konsesi
kayu yang terjadi sebelumnya, perkebunan juga menciptakan permasalahan sosial dan
lingkungan, termasuk menjadi sumber tunggal terbesar risiko kebakaran hingga timbul
polusi asap. Perusahaan perkebunan dan kontraktor yang disewa umumnya hanya
menggunakan api untuk pembukaan lahan. Sekitar tahun 1990-an, skala pembakaran
meluas setiap tahunnya sejalan dengan pembukaan lahan dari tahun ke tahun. Dampak
dari kebakaran disengaja ini adalah timbulnya asap setiap musim kering yang sampai
pada negara tetangga.
5. Penduduk
22
Penduduk yang tinggal di dalam dan di dekat hutan seringkali menjadi orang yang
mengeksploitasi hutan sekaligus juga sebagai korban dari eksploitasi komersial. Hal ini
merupakan pendorong untuk mengesploitasi hutan secara serampangan. Peladang
perorangan bertanggung jawab atas terbakarnya hampir setengah dari luas lahan hutan
yang terbakar di Indonesia karena mereka menggunakan api untuk membuka lahan dan
membakar limbah pertanian. Masyarakat asli dan pendatang sering dikorbankan bila para
pengeksploitasi besar seperti penerima konsesi kayu dan perkebunan mengambil paksa
lahan dan sumber daya hutan tempat bergantungnya penghidupan penduduk.
Pengeksploitasi dan yang tereksploitasi menggunakan api sebagai senjata untuk melawan
sau sama lain. Tidak adanya hukum yang jelas tentang kepemilikan lahan dan lemahnya
prosedur pemerintah dalam mengalokasikan lahan untuk penggunaan komersial
bertanggung jawab atas konflik ini. hal ini disebabkan ketidakmampuan pemerintah
dalam mengatur penggunaan api untuk pembukaan lahan.
Dapat di simpulkan bahwa kebakaran hutan di Indonesia diakibatkan oleh
kurangnya kesadaran akan bahaya membuka lahan dengan cara pembakaran hutan,
buruknya pengelolaan hutan, lemahnya pengendalian kebakaran disertai dengan
kekeringan, dan tidak adanya ketegasan tindakan berdasarkan hukum yang berlaku oleh
pihak yang berwenang. Oleh karena itu, diperlukan adanya pengendalian dalam tata cara
penggunaan api dan pencegahan pengrusakan lahan. Sehingga tidak lagi nantinya
kebakaran hutan sehingga menimbulkan kabut asap hasil kebakaran hutan dan membuat
polusi hingga negara tetangga, serta merugikan negara sendiri.32
2. Dampak polusi kabut asap lintas batas
Ada beberapa dampak yang ditimbukan oleh adanya polusi kabut asap hasil kebakaran hutan
adalah sebagai berikut: Dampaknya terhadap sosial, budaya dan Ekonomi
a. Hilangnya mata pencaharian masyarakat hutan.
32 ibid hal. 5-7.23
Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil hutan
tidak mampu melakukan aktivitas mereka kembali. Hal tersebut dikarenakan aktivitas
pembakaran lahan oleh perusahan perusahan yang mengakibatkan kerusakan lahan
tanaman. Asap yang ditimbulkan dari adanya kebakaran hutan sedikit mengganggu
aktivitas yang secara otomatis mempengaruhi penghasilan masyarakat hutan. Adanya
kebakaran juga membuat hilangnya beberapa luas areal hutan tempat biasa
mengambil hasil hutan, seperti rotan, karet.
b. Terganggunya aktivitas sehari-hari.
Adanya gangguan asap akibat dari kebakaran hutan secara otomatis juga menggangu
aktivitas sehari-hari manusia. Sulitnya penglihatan jarak pandang di jalan akan
membuat produktifitas seseorang mengecil sehingga kegiatan di luar lapangan
terhambat.
c. Terganggunya kesehatan.
Adanya polusi kabut asap hasil kebakaran hutan memberikan dampak langsung
terhadap kesehatan masyarakat, baik di Indonesia maupun negara tetangga yang
terkena dampak dari polusi kabut asap tersebut. Dalam kebakaran hutan tahun 1997-
1998 dilaporkan sekitar 20 juta orang di Sumatera dan Kalimantan terkena gangguan
saluran pernafasan akut (ISPA).
d. Dampak politik.
Pencemaran polusi kabut asap lintas batas ke wilayang negara tetangga, seperti
Malaysia, Singapore, dan Brunei tidak saya menimbulkan kerugian kerugian yang
seperti Indonesia rasakan, namnun juga mendatangkan reaksi concern dari pemerintah
negara-negara tersebut. Terlepas apa yang mereka ketahui tentang permasalahan
kabut asap di Indonesia, tetapi berlanjutnya masalah kebakaran hutan dan lahan setiap
24
tahunnya dikhawatirkan akan melahirkan suatu bentuk protes dari negara-negara
tetangga.33
Tidak adanya perhatian yang serius dari pemerintah terhadap permasalahan ini
merupakan indikasi kelemahan pemerintah dalam mengatasi suatu masalah, permasalahan polusi
kabut asap ini conthonya, telah berulang kali terjadi dari tahun puncaknya 1997-1998, hingga
beberapa tahun kedepannya sehingga hal ini menjadi perhatian beberapa pihak-pihak yang
concern terhadap permasalahan lingkungan. Pemerintah kurang serius untuk memilimalisir
apalagi menindak pelaku pengrusakan hutan dan lahan. Sejak bencana kebakaran hutan yang
terjadi di tahun 1997, berbagai studi dan kajian telah dilakukan, bahkan sejumlah bantuan yang
diberikan pada tahun 1998 oleh UNDP yang telah menghasilkan Rancang Tindak Pengelolaan
Bencana Kebakaran tidak dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Payung hukum yang harusnya melindungi dan dapat mencegah adanya kebakaran hutan
dinilai kurang kuat dalam usahanya menertibkan tindakan-tindakan perusahaan-perusahaan yang
melakukan cara bakar, pembalakan, serta membuka lahan yang berlebihan. UU Kehutanan No
41 tahun 1999 yang membawahi permasalahan lingkungan dinilai kurang memberikan perhatian
yang memadai bagi upaya penanggulangan kebakaran. Sebagai contoh bahwa larangan
membakar hutan yang terdapat dalam UU Kehutanan pasal 50 ayat 3 ternyata dapat dimentahkan
untuk tujuan-tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang. Demikian
halnya dengan Peraturan Pemerintah No. 6/99 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan
Hasil Hutan pada Hutan Produksi dimana tidak ada satupun referensi Peraturan Pemerintah yang
menyinggung masalah pencegahan kebakaran hutan.34 Dari fakta tersebut kita dapat menilai
tindakan pemerintah yang kurang tegas dan seperti membiarkan permasalahan ini belarut larut
sehingga tidak ada titik terang dalam pemecahan masalah ini.
Beberapa lembaga pemerintah memiliki berbagai kebijakan tentang pencegahan dan
pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnya tidak
33 “Kebakaran Hutan dan Lahan Riau: Kebijakan dan Dampaknya Bagi Kehidupan Manusia”, http://www.walhi.or.id/kampanye/bencana/bakarhutan/kebkr hut riau mak 230403, diakses tanggal 13 September 2010.
34
25
ditegakkan. Indonesia juga memiliki beragam undang-undang lingkungan dan peraturan lainnya
yang menghuku, pelaku pembakaran yang dilakukan secara sengaja, baik di tingkat nasional dan
di tingkat propinsi. Namun demikian berbagai Undang-Undang mengenai perlindungan terhadap
lingkungan jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada
tindakan resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam
pembakaran, dan pada saat penulisan laporan, tidak ada hukuman resmi penting yang dijatuhkan.
Pada bulan Februari 2001, pemerintah mengeluarkan satu peraturan baru tentang
kebakaran hutan (Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2001). Yang meliputi polusi dan kerusakan
terhadap lingkungan yang disebabkan oleh kebakaran hutan dan lahan. Peraturan baru ini
mengatur tanggung jawab masing-masing pemerintah pusat, propinsi, dan daerah dalam
menangani kebakaran. Tetapi menjelang tahun 2001 terjadi kebakaran hebat yang
mengakibatkan adanya polusi kabut asap hingga mencapai negara tetangga, kenyataan tersebut
memberikan penjelasan kepada ktia bahwa prospek adanya kebijakan yang efektif dalam
menangani permasalahan kebakaran hutan setiap tahun di Indonesia masih kurang serius.35
B. Kerugian yang diderita Malaysia, Singapura dan Indonesia Akibat Polusi Kabut
Asap Kebakaran Hutan
1. Kerugian yang diderita Malaysia Akibat Asap Kebakaran Hutan
Kehadiran asap yang menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sehari-hari di Malaysia
terjadi pertama kali pada bulan April 1983. Gangguan terjadi lagi pada bulan Agustus 1990, Juni
sampai Oktober 1991, dan berulang muncul setiap tahun sejak tahun 1992 pada tiap bulan
Agustus, September, dan Oktober. Dampak asap mencapai puncaknya pada tahun 1997, ketika
itu langit tercemar dari bulan Agustus sampai November.
Asap tahun 1997 telah menyebabkan ketidaknyamanan dan sangat mempengaruhi
perekonomian Malaysia. Asap memicu penyakit pernafasan, menyebabkan penurunan produksi
tanaman dan perikanan, gangguan terhadap jasa transpotasi, dan industri pariwisata. Indeks
35 Hermanus B. Rumajomi, makalah Pengantar filsafah sains, “Kebakaran Hutan di Indonesia dan Dampakanya terhadap Kesehatan”, Bogor, 4 Desember 2006, diakses tanggal 08 Agustus 2010.
26
pencemaran udara mencapai batas tertinggi untuk pertama kalinya di Malaysia, sehingga
diberlakukan keadaan darurat di negara bagian serawak selama 10 hari pada saat itu.
Nilai perkiraan kerugian akibat asap di malaysia dari bulan Agustus sampai Oktober 1997
adalah RM 802 juta. Nilai kerugian per kapita adalah RM 37. Nilai keseluruhan, kerugian akibat
asap cukuplah besar karena dengan nilai sebesar itu, beberapa proyek sosial dapat dilakukan
Malaysia bila uang tersebut tidak digunakan untuk mengatasi asap. Total Biaya yang dikeluarkan
oleh malaysia untuk mengatasi polusi kabut asap kebakaran hutan 3,34 kali dan 2,51 kali
pengeluaran tahunan untuk setiap program sosial dan prasarana yang Malaysia buat.36
2. Kerugian yang diderita Singapura Akibat Polusi Kabut Asap
Bencana Polusi Kabut Asap yang terjadi berulang kali sejak tahun 1994, bukanlah hal
baru di Asia Tenggara atau di Singapura, walaupun tingkat keparahan dan lamanya kejadian
berbeda setiap tahunnya.
Bila asap muncul, sebagian orang melihatnya sebagai sebuat ketidaknyamanan yang
terjadi secara sepintas. Kondisi ini umumnya berlangsung selama dua minggu. Tetapi asap tahun
1997 telah mengubah hal tersebut. Tahun itu, asap terus berlangsung selama lebih dari dua bulan,
dan telah mengisi judul halaman media massa dengan perhatian pemerintah dan masyarakat.
Selama periode asap (Agustus-Oktober), pemantauan harian PSI (Pollutan Standart
Index) menunjukkan bahwa Singapura mengalami tentang tidak sehat selama 14 hari pada tahun
1997. Hal tersebut menimbulkan permasalahan pada kesehatan masyarakat di Singapura.
Kelompok yang memiliki risiko lebih besar adalah anak-anak, orang lanjut usia, dan orang yang
telah menderita gangguan medis seperti asma, alergi kulit, dan penyakit paru-paru kronis.
Selain di bidang kesehatan Singapura juga mengalami kerugian di bidang pariwisata.
Industri pariwisata terkena dampak cukup parah. Memburuknya asap disertai adanya peliputan
mengenai bencana lingkungan tersebut membuat pengunjung mancanegara menjauh. Data Dinas
Pariwisata Singapura mencatat adanya penurunan jumlah pengunjung Singapura pada tahun
36 ? David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, Op. cit, hal. 5727
1997 sebesar 1,5%. Dari bulan Agustus sampai Oktober 1997, wisatawan berkurang jumlahnya
sekitar 650.000, menjadi berada di bawah 500.000. pada bulan Agustus 1997 kedatangannya
berkurang sebesar 1,5% dibanding tahun 1996. 37
3. Kerugian yang diderita Indonesia Akibat Polusi Kabut Asap
Indonesia mengalami keadaan yang paling buruk dibandingkan negara tetangga yang
terkena bencana polusi kabut asap. Media melaporkan adanya hubungan antara kebakaran dan
asap dengan berbagai kerusakan, termasuk memburuknya kesehatan, hilangnya pohon-pohon
dan tanaman perkebunan, hilangnya mata pencaharian, hingga kecelakaan pesawat.
Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Seringkali terdengan sebuah pesawat
tidak bisa turun di suatu tempat karena tebalnya asap yang menyelimuti daerah tersebut. Sudah
tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata karena seperti negara tetangga lainnya,
pengunjung mancanegara akan merasa terganggu dan bahkan takut untuk datang ke Indonesia.
Kerugia akiba asap seperti hilangnya pengunjung pariwisata mancanegara mencapai 187.000
orang sapai 281.000 orang selama periode kebakaran terjadi. Sedangkan kerugian ekonomi
diperkirakan sebesar US$ 59,61 juta.38
C. Agenda Perjanjian Polusi Kabut Asap Lintas Batas ASEAN
Sejak akhir tahun 1970-an, masalah lingkungan hidup khususnya masalah polusi kabut asap
telah menjadi perhatian yang penting di negara-negara Asia Tenggara. Karena masalah ini telah
menjadi isu lintas batas negara, dimana masalah ini telah menjadi isu lintas batas negara, serta
akibat dari permasalahan tersebut mengakibatkan masalah sosial, ekonomi dan politik sehingga
perlu mendapatkan perhatian khusus dan ditangani secara menyeluruh. Dalam 20 tahun
37 Ibid, hal. 77.
38 Ibid, hal. 117.28
belakangan dunia telah kehilangan 200 juta hektar pepohonan yang sebanding dengan 1/3 luas
daratan Amerika Serikat. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia menjadi negara terbesar ke-2 di
dunia sebagai negara yang memiliki hutan hujan tropis, sehingga diperlukan adanya perhatian
khusus dari seluruh masyarakat domestik maupun internasional.
Polusi kabut asap lintas batas merupakan akibat dari terjadinya bencana kebakaran hutan dan
lahan di Indonesia. Pada tingkat pemerintah mungkin dapat dicapai suatu upaya yang nyata
untuk segera mencari cara penanggulangan pencemaran polusi kabut asap lintas batas dalam
bentuk kerjasama antar negara-negara tetangga. Untuk menangani masalah kebakaran hutan dan
lahan yang menyebabkan polusi kabut asap lintas batas dimulai dengan kerjasama ASEAN di
bidang lingkungan hidup yang sejak tahun 1978. Dalam perkembangannya, masalah
penanggulangan polusi kabut asap lintas batas semakin terlembaga dalam berbagai kerangka
kerjasama ASEAN. Seperti yang telah disepakati oleh para Kepala Negara ASEAN masing-
masing pada tahun 1997 dan 1998 maka telah disahkan Strategic Plan Of Action on Environment
1999-2004 (SPAE 1999-2004). Salah satu bagian terpenting dari SPAE 1999-2004 adalah
masalah penanggulangan polusi kabut asap lintas batas negara sebagai dampak dari kebakaran
hutan dan lahan.39
Penanganan masalah polusi kabut asap lintas batas tidak lepas dari pengalaman bencana
kabut asap tahun 1997. Ketika itu terjadi kebakaran hutan dan lahan yang sangat besar, terutama
di Sumatera bagian utara dan Kalimantanm, yang dipicu oleh kekeringan akiba dari El Nino,
serta adanya kegiatan pembakaran lahan oleh manusia. Kebakaran tersebut mengakibatkan kabut
asap yang sangat besar dan luas hingga menutupi wilayah sekitar hingga samapi ke negara
tetangga. Semenjak peristiwa tersebut negara-negara ASEAN lebih menyadari perlunya
mengantisipasi kemungkinan kebakaran hutan dan lahan, terutama pada puncak musim kemarau
di berbagai daerah yang rentan terhadap kebakaran. Indonesia sendiri menyatakan ketegasannya
dalam menyelesaikan masalah ini melalui beberapa pertemuan internasional mengenai
Lingkungan Hidup bersama dengan Negara-negara ASEAN.
39 Peningkatan Kerjasama ASEAN di Bidang Pertukaran Informasi dalam Upaya Menanggulangi Masalah Kabut Asap, Op. Cit., Hal. 3
29
Dalam perkembangannya, atas prakasa Indonesia yang disampaikan pada Pertemuan ke-6
ASEAN di Bali bulan September 1995, telah diputuskan pembentukan forum di bawah ASOEN
(ASEAN Senior Officials on the Environment) yang secara khusus menangani masalah kebakaran
hutan dan kabut asap, yaitu HTTF (Haze Technical Task Force) yang diketuai oleh Indonesia.
Forum tersebut bertujuan untuk lebih memusatkan kegiatan dalam upaya penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan serta pencemaran polusi kabut asap lintas batas di kawasan ASEAN.40
Kerjasama antar negara ASEAN dalam penanggulangan masalah polusi kabut asap
semakin nyata setelah negara-negara ASEAN menandatangani Perjanjian ASEAN melalui tahap
negosiasi sejak bulan Maret-September 2001 mengenai Pencemaran Kabut Asap Lintas Batas
atau ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) di Kuala Lumpur,
Malaysia, pada bulan Juni 2002, bertepatan dengan penyelenggaraan ASEAN Ministerial Meeting
on Haze (AMMH) dan World Conference and Exhibition on Land and Forest Fire Hazzards.
Sejak 25 November 2003, perjanjian AATHP resmi berlaku setelah diratifikasi oleh 8 Negara,
Brunei Darussalam, Camboja, Laos, Malaysia, Myanmar, Singapore, Thailand, Vietnam.
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP)
Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) merupakan
perjanjian yang bertujuan untuk menanggulangi masalah pencemaran polusi kabut asap hasil
kebakaran hutan, memberikan dasar hukum dalam pembuatan kebijakan dan mengadakan
kerjasama melalui berbagai kegiatan secara bersama-sama. Persetujuan AATHP ditandatangani
pada tanggal 10 Juni 2002 di Kuala Lumpur, Malaysia. Setahun kemudian persetujuan AATHP
mulai berlaku secara resmi pada tanggal 25 November 2003.
Perjanjian ini berisi peraturan-peraturan serta tata cara menangani masalah polusi kabut asap
lintas batas yang berlaku kepada seluruh anggota Negara yang telah menandatangani perjanjian
tersebut tanpa mengikat salah satu negara. Peraturan serta tata cara didalam perjanjian AATHP
menekankan koordinasi setiap negara untuk bersama-sama menangani masalah yang berada di
40 Ibid, hal. 530
Indonesia. Salah satu isi pokok AATHP adalah melakukan pertukaran informasi dalam
menanggulangi masalah polusi kabut asap lintas batas. Beberapa inti dari perjanjian polusi kabut
asap lintas batas ASEAN sebagai berikut:
1. ASEAN Agreement on Transboundary Haze Poluution terdiri dari ketentuan-ketentuan
untuk mengawasi, melakukan penilaian dan pencegahan, kerjasama teknis dan riset
ilmiah, mekanisme koordinasi, jalur komunikasi, dan penyederhanaan prosedur bea cukai
dan imigrasi untuk penanggulangan bencana alam.
2. Perjanjian AATHP menyusun pembentukan kegiatan di tingkat regional antara lain
kegiatan pencegahan, mitigasi, pemantauan dan penilaian, serta tanggap darurat bersama.
Beberapa institusi yang bertanggung jawab dalam program ini adalah NFP (National
Focal Point), NMC (National Monitoring Centre) dan CA (Competent Authorities).
3. Dalam perjanjian ini juga dijelaskan untuk lebih memperkuat kerjasama antar negara
serta mengkoordinasi aksi setiap negara dalam mencegah serta memonitor dan memantau
polusi kabut asap. Dengan adanya koordinasi dan kerjasama diharapkan permasalahan ini
diselesaikan secara bersama-sama sehingga tidak ada pihak yang dipojokkan serta merasa
disalahkan terhadap masalah ini.
4. Perjanjian AATHP menjelaskan bahwa perjanjian dibuat untuk mengingatkan komitmen
terhadap pencegahan kebakaran hutan dan menetapkan prosedur dan mekanisme
kerjasama antara ASEAN negara anggota dalam pencegahan kebakaran hutan dan kabut
asap. Karena adanya efek buruk terhadap negara-negara tetangga akibat bencana
kebakaran hutan, dalam pasal pembukaan ditegaskan perlunya mempelajari akar
penyebab serta implikasi dari polusi asap lintas batas untuk mencari solusi dengan
kesediaan para negara anggota untuk memperkuat kerjasama internasional dalam
pencegahan polusi asap lintas batas.
5. Tujuan dari perjanjian ini adalah mencegah dan memonitor polusi asap lintas batas
melalui upaya nasional dan kerjasama internasional.41
41Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution.31
Dalam pembahasan setiap bagian pasal ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution (AATHP) tidak ada penjelasan yang menyudutkan posisi Indonesia sebagai pengekspor
asap kebakaran hutan kepada negara tetangga. Secara keseluruhan perjanjian AATHP
menyatakan penyelesaian permasalahan kebakaran hutan dan polusi asap lintas batas
diselesaikan secara bersama-sama melalui kerjasama internasional, pasal 27 tentang penyelesaian
permasalahan polusi asap lintas batas dijelaskan “setiap perselisihan antara pihak mengenai
masalah ini diselesaikan secara damai atau melalui perundingan”. Dengan dibuatnya perjanjian
AATHP, posisi indonesia sebagai “tuan rumah” permasalahan ini diuntungkan, karena semua
penanganan diatur dalam perjanjian secara kolektif. Jadi, seharusnya tidak ada alasan Indonesia
untuk tidak meratifikasi perjanjian ini.
32
BAB III
NEGARA NEGARA PERATIFIKASI PERJANJIAN ASEAN AGREEMENT
ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
A. Kepentingan Singapura Dalam Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary
Haze Pollution
Pada tahun 1997/1998, Indonesia mengalami kebakaran hutan paling parah di dunia. Situasi
kota yang terselimuti kabut, hutan yang terbakar dan orangutan yang menderita menjadi
perbincangan utama di setiap pemberitaan media dan menarik perhatian umum. Negara tetangga
seperti Singapura dan Malaysia, dan juga lembaga-lembaga bantuan pembangunan, melibatkan
diri dalam usaha pemadaman kebakaran hutan tersebut. Kejadian ini dinyatakan sebagai salah
satu bencana lingkungan terburuk sepanjang tahun, karena dampaknya terhadapa hutan serta
emisi karbon yang dihasilkan dari asap hasil pembakaran hutan sangat besar.
Kebakaran hutan dan lahan menyebabkan kerugian yang besar bagi Indonesia maupun
negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Singapura dan Malaysia merupakan dua negara
yang sangat merasakan dampak dari adanya kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, karena asap
yang dihasilkan dari kebakaran tersebut terbawa angin hingga melewati batas negara Indonesia.
Masalah polusi kabut asap merupakan masalah utama kebijakan yang terkait dengan kebakaran
dan menarik perhatian negara-negara tetangga dan melalui tekanan yang mereka berikan telah
menarik perhatian pemerintah Indoneisa.
Kebakaran yang melanda hutan gambut merupakan penyumbang terbesar pencemaran polusi
kabut asap terbesar yang berasal dari Indonesia. Tahun 1997-1998, kebakaran hutan gambut
mungkin menghasilkan 60-90% emisi dengan estimasi jumlah karbon sebesar 206,6 juta ton
karbon yang menyebabkan kabut asap dan kebakaran hutan yang terjadi merupakan sumber
utama penghasil emisi karbon. Pada tahun 1997, kebakaran hebat yang terjadi di Indonesia
33
merupakan penyumbang terbesar pencemaran polusi kabut asap yang menyebar hingga
Singapura, Malaysia, serta sekitar Sumatera berasal dari kebakaran hutan gambut di Provinsi
Jambi, Riau, dan Sumatera Selatan. Sampai saat ini memang belum ada kepastian mengenai
jumlah karbon sebagai akibat dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia tahun
1997-1998.42
Ekonomi
Salah satu dampak buruk yang diakibatkan oleh adanya polusi kabut asap hasil kebakaran
hutan adalah sektor ekonomi. Kebakaran hutan di Indonesia khususnya di Sumatera dan
kalimantan telah menghancurkan lebih dari 10 juta ha areal hutan dengan total kerugian akibat
kebakaran dan asap yang timbul dari kebakaran tersebut mencapai USD 3.8 miliar untuk
Indonesia, dan USD 0.7 miliar untuk negara tetangga yang terkena dampaknya. Adanya kerugian
di sektor ekonomi yang cukup besar membuat negara tetangga seperti Singapura telah
menjadikan masalah ini sebagai prioritas utama untuk mencari cara menanggulangi masalah
tersebut. Singapura merupakan salah satu negara ASEAN yang ikut menandatangani serta
meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution pada tanggal 13
Januari 2003.43 Peran Singapura dalam penanganan masalah ini tidak lepas dari masalah kerugian
ekonomi akibat kebakaran hutan dan polusi kabut asap lintas batas yang beberapa tahun lalu
melanda hutan-hutan di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu efek buruk ekonomi akibat
polusi asap lintas batas adalah menurunnya transaksi perdagangan serta terganggunya
transportasi yang mengganggu lancarnya kegiatan perekonomian.
polusi kabut asap yang berada di daerah provinsi Riau menyebabkan kekhawatiran bagi
negara tetangga seperti Singapura. Selain mengganggu aktivitas warga, bencana tersebut
menimbulkan kerugian ekonomi khususnya di daerah Batam kepulauan Riau. Akibat bencana
polusi kabut asap tersebut telah mengganggu aktivitas ekonomi di Batam yang dikhawatirkan
oleh investor asing. Beberapa investor asing di Batam mengkhawatirkan adanya efek buruk
42 Luca Tacconi, “Kebakaran Hutan di Indonesia: penyebab, biaya, dan implikasi kebijakan”, Bogor, 2003, hal. 6
43 “Negara-negara yang Telah Meratifikasi Perjanjian”, http://id.wikipedia.org/wiki/Persetujuan_ASEAN_tentang_Pencemaran_Asap_Lintas-Batas, diakses tanggal 19 September 2010.
34
akibat polusi kabut asap yang berasal dari provinsi Riau. Di Batam saat ini terdapat 79
penanaman modal asing, salah satu penanam modal asing tersebut adalah Singapura. Dalam
kurun waktu Januari-Desember 2007 total nilai investasi penanaman modal asing di Batam
mencapai U$ 298.864.665. Singapura merupakan salah satu investor asing terbesar di Batam
karena letaknya yang berdekatan dengan Batam sehingga adanya bencana polusi kabut asap
sangat mengganggu kegiatan perekonomian Singapura di Batam.
Investasi Singapura di Batam sudah berlangsung sejak tahun 1990. Pada tahun itu dibentuk
perjanjian antara pemerintah Indonesia dan Singapura dalam pengembangan Batam. Secara garis
besar perjanjian itu meliputi pengembangan pariwisata, pembangunan infrastruktur dan
kerjasama di bidan pengiriman arus barang. Singapura merupakan negara utama yang
menanamkan modalnya di Batam, sebagian besar modal itu berasal dari perusahaan
multinasional yang berkedudukan di Singapura. Investasi di Pulau Batam hingga Juni 1992
mencapai US$3,7 milyar, U$3,0 milyar berasal dari pihak swasta atau luar negeri. Investasi asing
berasal dari 14 negara, dengan 47,8 persen dari Singapura, dengan 53 perusahaan yang berasal
dari Singapura.44
Fenomena polusi kabut asap bukan hal yang baru bagi Singapura. Dimulai tahun 1994,
sejak saat itu fenomena polusi kabut asap mulai terjadi berulang kali di beberapa tahun
kemudian. Selama kurun waktu tersebut, persepsi maysarakat Singapura terhadap polusi kabut
asap hanya sebagai hal yang kurang menyenangkan, serta menilai permasalahan tersebut akan
hilang dan berlalu begitu saja. Tetapi ketika bencana kebakaran hutan dan lahan tahun 1997,
persepsi masyarakat terhadap permasalahan polusi kabut asap berubah, polusi kabut asap
berlangsung selama lebih dari dua bulan dan mengganggu aktivitas masyarakat Singapura.
Bencana tahun 1997 mulai mendapat perhatian dari berbagai pihak, mulai dari masyarakat,
menjadi headline utama Singapore Strait Times edisi 23 Agustus 1997, hingga pemerintahan
Singapura. Mereka mulai menganggap permasalahan polusi kabut asap kebakaran hutan adalah
hal yang serius, dan harus segera di selesaikan.
Sosial
44 Luhulima, “ASEAN Menuju Postur Baru”, Jakarta, 1997, hal. 12935
Bencana polusi kabut asap kebakaran hutan juga memberikan efek yang cukup besar
pada sektor kesehatan, gangguan asap yang menyelimuti langit kota menyebabkan gangguan
kesehatan kepada masyarakat Singapura. Timbul beberapa penyakit pernafasan seperti asma,
bronkhitis, gangguan saluran pernafasan (ISPA). Timbulnya gangguan kesehatan tersebut juga
memberikan efek lanjutan terhadap berkurangnya produktivitas warga singapura akibat adanya
polusi kabut asap. Akibat dari adanya polusi asap kebakaran hutan adalah tingginya cuti medis
akibat banyaknya masyarakat Singapura yang dirawat karena mengidap penyakit pernafasan,
sehingga hal tersebut membuat rasio hari kerja masyarakat Singapura hilang. Dengan hilangnya
rasio hari kerja, dianggap sebagai “pendapatan yang hilang” oleh masyarakat yang tidak bisa
bekerja. Pendapatan perhari masyarakat Singapura pada tahun 1996 berkisar U$ 42-U$ 71,
sedangkan estimasi kerugian dari hilangnya jam kerja masyarakat Singapura setelah bencana
polusi kabut asap kebakaran hutan adalah U$ 1.522.902 – U$ 5.060.464.45
Budaya
Selain sektor ekonomi dan sosial, ada dua sektor ekonomi yang terkena dampak polusi
asap kebakaran hutan yang cukup besar, yaitu sektor pariwisata dan kesehatan. Dua sektor
tersebut menjadi perhatian utama pemerintah Singapura karena memberikan kerugian cukup
besar sehingga perlu adanya pemulihan dan perbaikan sehingga kerugian tersebut tidak
membesar. Adanya penurunan jumlah pengunjung wisatawan pertama kali sejak tahun 1983
sebebsar 1.3%. Bisnis parwisata merupakan pendorong utama sektor ekonomi Singapura, karena
letak negara Singapura yang berdekatan dengan Indonesia dan Malaysia, membuat negara
tersebut menjadi tempat transit diantara kedua negara tersebut. Bisnis pariwisata Singapura
meliputi hotel, tempat makan, serta transportasi.46
Melihat kerugian tersebut akhirnya pada tanggal 13 Januari telah meratifikasi perjanjian
Polusi Asap Lintas Batas ASEAN. dengan meratifikasi perjanjian tersebut menunjukkan
komitmen Singapura untuk membantu menyelesaikan masalah kebakaran hutan dan polusi asap
45 Ibid. hal 60-61
46 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, singapore, 2006, hal. 6336
lintas batas. Melihat kerugian akibat bencana polusi asap lintas batas terhadap Singapura,
tindakannya meratifikasi perjanjian tersebut dinilai sangat tepat, karena adanya kepentingan
Singapura di Indonesia seperti investasi di Batam dan bisnis pariwisata. Bencana polusi asap
lintas batas telah menghambat kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan nilai ekonomi, sehingga
membuat Singapura dirugikan atas permasalahan ini. Komitmen Singapura dalam melaksanakan
perjanjian Polusi Asap Lintas Batas ASEAN dengan melaksanakan beberapa kerjasama dengan
Indonesia untuk mengatasi bencana polusi asap kebakaran hutan.
Untuk menyelesaikan permasalahan bencana polusi kabut asap kebakaran hutan,
Singapura berkerja sama dengan pemerintah daera Jambi dalam penanganan dan pengelolaan
hutan. SIngapura menawarkan kerjasama dengan Provinsi Jambi dan Kementrian Lingkungan
Hidup untuk membuat suatu master plan penanganan kebakaran hutan di Muaro Jambi.
Singapura menawarkan bantuan pendanaan, dukungan dan keahlian teknis untuk
mengimplementasikan beberapa program kerjasama. Upaya yang dilakukan Singapura dan
pemerintah Indonesia merupakan sebagian kecil dari upaya lainnya untuk mengatasi masalah
kebakaran hutan dan lahan di Indonesia. Dengan adanya bantuan yang diberikan oleh Singapura
diharapkan Indonesia lebih siap dalam menanggulangi bencana kebakaran hutan. Keunggulan
teknologi, pengalaman, serta sumber daya manusia yang dimiliki Singapura diharapkan dapat
membantu permasalahan polusi kabut asap kebakaran hutan sehingga tidak mengganggu
aktivitas kerjasama ekonomi antara Singapura dan Indonesia.
B. Kepentingan Malaysia dalam Perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze
Pollution
37
Tidak berbeda dengan Singapura, Malayasia merupakan salah satu negara yang telah
meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution (AATHP) pada
tanggal 3 Desember 2002. Malaysia merupakan salah satu negara yang terkena dampak polusi
kabut asap kebakaran hutan yang berasal dari Indonesia. Malaysia juga menerima kerugian yang
cukup besar terhadap beberapa sektor utama dalam pembangunan negaranya, seperti ekonomi
dan pariwisata.
Ekonomi
Bencana kabut asap pertama kali yang melanda Malaysia sehingga menimbulkan gangguan
yang cukup banyak pada April 1983. Gangguan polusi kabut asap kebakaran hutan berlanjut
pada bulan Agustus 1990, dari bulan Juni-Oktober 1991, dan terus berulang kali terjadi setiap
pada bulan Agustus, September, Oktober. Bencana polusi kabut asap mencapai puncaknya di
Malaysia pada tahun 1997, bulan Agustus hingga November, ketika itu asap kebakaran hutan
menyelimuti di atas langit Malaysia. Asap kebakaran hutan tahun 1997 telah mencapai intensitas
yang lama, menyebabkan banyak ketidaknyamanan dan gangguan ekonomi di Malaysia.
Sosial
kabut asap kebakaran hutan juga menyebabkan penyakit pernafasan, mengganggu layanan
transportasi, menurunkan hasil produksi perikanan dan makanan, serta menganggu industri
pariwisata. Sekitar 18 juta masyarakat Malaysia, atau 83,2 persen dari total populasi telah
ditempatkan pada resiko efek buruk bencana asap tahun 1997, sehingga kehilangan aktivitas
produktivitasnya.47 Adanya bencana asap kebakaran hutan telah merugikan pendapatan
perekonomian masyarakat Malaysia. selama kejadian polusi asap kebakaran hutan tersebut, para
pengusaha meliburkan pada pekerjanya, sehingga para pengusaha kehilangan tingkat pendapatan
ekonomi. Total kehilangan keuntungan dari hilangnya masa produktivitas masyarakat Malaysia
sebesar US$ 157.40 miliar selama 8 hari kejadian bencana tersebut.
Budaya
47 David Glover & Timothy Jessup, indonesia’s fire and haze, op. cit, hal. 2738
selain kerugian mengenai kehilangan produktivitas dari masyarakatnya, Malaysia juga
mengalami kerugian di sektor pariwisata, sama halnya dengan apa yang dirasakan Singapura.
Pariwisata merupakan penghasil devisa tersbesar kedua di Malaysia menghasilkan keuntungan
US$ 4,5 miliar kepada perekonomian Malaysia pada tahun 1996. Ketika memasuki tahun 1997
saat bencana kabut asap kebakaran hutan mulai melanda Malaysia, diperkirakan kerugian sektor
pariwisata Malaysia turun 30 persen. Nilai penurunan industri pariwisata Malaysia diperkirakan
sebesar US$ 127.420.000.48
Malaysia telah membuktikan komitmennya untuk membantu menyelesaikan permasalahan
kabut asap kebakaran hutan dengan meratifikasi perjanjian ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution (AATHP). Melihat besarnya kerugian yang telah diderita oleh
Malaysia, perjanjian AATHP merupakan solusi yang paling baik untuk merubah keterpurukan
keadaan ekonomi serta sektor lainnya akibat benaca polusi kabut asap kebakaran hutan yang
berasal dari Indonesia. Dengan meratifikasi perjanjian AATHP juga mengurangi sensitivitas
hubungan kedua negara yang dinilai beberapa kali pasang surut. Seperti yang kita tahu memang
hubungan Indonesia-Malaysia kadang pasang kadang surut, suatu hal kecil dapat menjadi besar
jika tidak disikapi dengan baik. Hubungan yang dilakukan antar negara terdapat kepentingan-
kepentingan yang ingin dicapai oleh kedua negara sehingga mempengaruhi pola hubungan antara
kedua negara tersebut, tinggal bagaimana kedua negara mengatur masing masing
kepentingannya agar tidak saling menimbulkan konflik. Diharapkan dengan adanya perjanjian
AATPH dapat menjadi perantara serta solusi kedua negara untuk saling mengatasi masalah
secara bersama-sama.
BAB IV
FAKTOR-FAKTOR INDONESIA BELUM MERATIFIKASI PERJANJIAN
ASEAN AGREEMENT ON TRANSBOUNDARY HAZE POLLUTION
48 Ibid hal 3939
A. Legislatif
Legislatif merupakan salah satu elemen penting dalam teori sistem politik David Easton.
Dalam skema teori sistem polilik, legislatif merupakan bagian dari unit-unit sistem politik yang
menerima input untuk diproses menjadi sebuah kebijakan. Input merupakan masukan dari
elemen masyarakat yang dapat berupa tuntutan serta dukungan sebagai bahan pembahasan dalam
sistem politik untuk dijadikan output. Output adalah hasil kerja sistem politik yang berasal dari
tuntutan serta dukungan elemen masyarakat. Lembaga legislatif di Indonesia yang sesuai dengan
tertera dalam UUD 45 adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Lembaga perwakilan rakyat
berfungsi merumuskan kepentingan kepentingan rakyat yang menyangkut kepentingan politik,
sosial, ekonomi dan budaya, yang akhirnya menjadi sebuah undang-undang. Dalam undang-
undang diatur kehidupan politik, sosial ekonomi dna budaya. Lembaga perwakilan rakyat ini
mempunyai kedudukan yang kuat karena mewakili seluruh rakyat.49 Peran DPR dalam masalah
polusi asap lintas batas sangat penting, karena hingga saat ini DPR belum juga meratifikasi
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution sejak tahun 2002. Perjanjian polusi asap
lintas batas ASEAN tersebut diharapkan sebagai sebuah solusi sebagai penanganan masalah
kebakaran hutan yang menyebabkan polusi asap yang menyebar hingga negara tetangga. Dengan
adanya perjanjian tersebut maka penanganan kebakaran hutan di Indonesia menjadi lebih mudah
karena terdapat bantuan negara-negara yang telah meratifikasi perjanjian tersebut. Oleh karena
itu, DPR merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia hingga saat ini belum juga meratifikasi
perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN.
Selama ini memang telah ada beberapa kebijakan pemerintah dalam mengatasi polusi asap
kebakaran hutan melalui tata cara pengelolaan hutan dan lahan. Pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah telah memiliki berbagai program kebijakan tentang pencegahan dan
pengendalian kebakaran, tetapi kebijakan ini tidak terkoordinasi dengan baik dan umumnnya
tidak ditegakkan. Suatu kajian tahun 1998 oleh Kantor Menteri Negara Lingkungan hidup dan
United Nations Development Program menyimpulkan bahwa berbagai peraturan yang ada tidak
begitu efektif untuk mengendalikan kebakaran. Indonesia juga memiliki beragam undang-undang
lingkungan dan peraturan lain yang menghukum pelaku pembakaran yang dilakukan secara
sengaja. Baik di tingkat nasional dan tingkat provinsi. Namun demikian berbagai undang-undang
49 Drs.Sukarna, “Sistim Politik”, Bandung, 1977, hal. 17640
ini jarang ditegakkan. Bahkan akibat kebakaran tahun 1997-1998, hampir tidak ada tindakan
resmi yang diambil untuk menghukum berbagai perusahaan yang terlibat dalam pembakaran.
Beberapa kelemahan pokok dalam hal pemadaman kebakaran di Indonesia yang diidentifikasi
oleh kajian Menteri Negara dan Lingkungan Hidup meliputi: tumpang tindih fungsi antara
lembaga, wewenang dan tanggung jawab kelembagaan yang tidak jelas, mandat yang tidak
memadai dan berbagai kemampuan kelembagaan lokal yang lemah.50
Sejumlah hasil kajian penelitian menilai tidak adanya kejelasan hak atas hutan akibat dari
penguasaan hutan secara hukum oleh negara dan buruknya tata kelola pemerintahan, serta
lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam pengelolaan sumber daya hutan.
Keadaan tersebut diperpararah dengan sejalan momentum demokratisasi dan otonomi daerah
sehingga kuatnya campur tangan pemerintah daerah dalam memanfaatkan hasil hutan secara
legal maupun politis. Semua hal tersebut dikarenakan lemahnya penegakkan hukum serta tidak
adanya dukungan politik, sehingga pelaksanaan kebijakan hanya sebatas sementara.51
Pemerintah merupakan salah satu elemen dalam sistem politik yang menurut saya sebagai
pihak yang mendukung agar perjanjian AATHP segera diratifikasi. Tetapi tampaknya dukungan
tersebut tidak didukung dengan adanya keseriusan pemerintah dalam kebijakannya mengatasi
kebakaran hutan. Hal tersebut menjadi permasalahan antara DPR dengan pemerintah. Pemerintah
dan DPR saling melempar tanggung jawab dalam menangani masalah polusi asap lintas batas.
DPR berpendapat, pemerintah tidak punya konsep dalam menanggulangi asap. Sedangkan
pemerintah menilai DPR mengabaikan masalah asap dengan tidak segera menyepakati ASEAN
Agreement on Transboundary Haze Pollution. Di DPR muncul dua fraksi dalam menyikapi
ratifikasi perjanjian mengenai asap. Yang pertama mendukung segera diratifikasi, tetapi yang
lain belum bersikap. Hingga saat ini proses ratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN
masih dalam proses di DPR.52
50 “Kebakaran hutan dan lahan”, hal .66-68, diakses dari “pdf.wri.org/indoforest_chap4_id.pdf”, tanggal 1 Oktober 2010.
51 Hariyadi, makalah “Politik Penebangan Kayu dan Kebijakan Penanganan Pembalakan Liar”, hal. 100-105, di akses dari www.dpr.go.id , tanggal 30 September 2010.
52 “Soal Asap: Pemerintah –DPR Saling Lempar Tanggung Jawab”, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2006/10/11/Utama/ut01.htm, tanggal 30 September 2010.
41
Sebuah sikap DPR dalam masalah polusi asap kebakaran hutan di jelaskan melalui rapat
Menteri Pertanian dengan komisi VII DPR tentang pembahasan RUU tentang pengesahan
ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Secara garis besar hasil rapat tersebut
menjelaskan apa saja yang telah dilakukan pemerintah dalam menangani kebakaran hutan,
mengingatkan koordinasi antar lembaga dalam menangani kebakaran hutan, menjelaskan
permasalahan serta sumber sumber kebakaran hutan, tetapi tidak ada dijelaskan komitmen atau
langkah-langkah DPR untuk segera merumuskan undang-undang ratifikasi perjanjian polusi asap
lintas batas.53
Kurangnya dukungan politik dalam masalah polusi asap lintas batas membuat tertundanya
ratifikasi perjanjian AATHP. Perlunya partisipasi aktif dari setiap elemen seperti masyarakat,
partai politik, mahasiswa, lemaga swadaya masyarakat (LSM), sesuai dengan kapasitas masing-
masing untuk mendukung permasalahan polusi asap lintas batas agar cepat diselesaikan. Lebih
lagi, perlunya dukungan yang kuat dari partai politik terhadap isu lingkungan dapat memperkuat
permasalahan ini menjadi pembahasan yang kuat dalam lingkungan DPR. Partai politik
merupakan struktur atau lembaga yang menyalurkan dan mengartikulasikan berbagai
kepentingan yang berasal dari lingkungan masyarakat ke dalam sistem politik. Kepentingan dan
aspirasi yang diajukan partai politik tersebut merupakan energi bagi sistem politik untuk
membuat berbagai kebijakan. Partai politik dalam lembaga perwakilan rakyat merupakan
representatif dari tatanan kenegaraan modern, penyelenggaraan demokrasi dilakukan melalui
sistem demokrasi.54 Tetapi, tidak adanya dukungan partai politik tertentu secara langsung
khususnya di Indonesia terhadap isu lingkungan memberikan efek kepada pembuatan kebijakan
di legislatif khususnya dalam isu lingkungan. Beberapa partai politik di Indonesia belum
mempunyai kepedulian khusus terhadap isu lingkungan, mayoritas masih mengusung isu HAM,
Ekonomi, atau Hukum.55 Salah satu fungsi partai politik adalah memuaskan kepentingan rakyat.
53“Rapat Kerja Menteri Pertanian Degnan Komisi VII DPR RI: Pembahasan RUU Tentang Pengesahan ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution”, 12 Maret 2007, diakses dari ”pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffiles/Pidato_Mentan_12-03-07.pdf” tanggal 30 September 2010.54 “Sistem Politik Indonesia”, diakses dari http://blog.unila.ac.id/young/sistem-politik-indonesia, tanggal 2 Oktober 2010.
55 “Ekologi Sebagai (Tunggangan?) Gerakan Politik”, diakses dari http://www.csrindonesia.com/data/articles/20070426100407-a.pdf, tanggal 2 Oktober 2010.
42
kepentingan tersebut harus diperjuangkan oleh partai politik. Perjuangan ini dalam negara
dengan sistem demokrasi biasanya dilakukan secara parlementer. Untuk penyaluran perjuangan
secara parlementer, maka dalam parlemen diadakan fraksi-fraksi menurut partainya atau
golongan. Bagi partai/golongan mayoritas, perjuangan kepentingan tidak akan banyak
mengalami kesulitan, karena ketika diajukan dalam sidang parlemen untuk dijadikan undang
undang akan memperoleh dukungan atau persetujuan mayoritas dari parlemen. Tetapi bagi partai
partai kecil atau partai minoritas perjuangan ini akan mengalami kesulitan, mengingat untuk
memperoleh dukungan atau persetujuan mayoritas anggota parlemen, harus memperoleh
dukungan atau persetujuan fraksi mayoritas.
Suatu hal yang lebih menyulitkan jika dalam parlemen tidak ada partai mayoritas sehingga
untuk memperjuangkan kepentingan politik, harus memerlukan persetujuan dari fraksi lain. Jika
keadaan seperti ini maka sukar terjadi kompromi, tetapi kalau kompromi itu juga tidak tercapai,
maka mengakibatkan kemaceta atau kebuntuan, sehingga pembahasan suatu undang undang itu
bisa berjalan sangat lama bahkan tidak selesai.56 Jika ada partai politik yang mendukung dan
peduli isu lingkungan, maka isu tersebut akan menjadi salah satu itu utama dalam pembahasan
pembuatan undang undang di DPR selain isu isu seperti Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Saat ini
memang sudah ada dukungan yang digencarkan berbagai pihak, tetapi mungkin hal tersebut
belum cukup kuat untuk dijadikan dorongan bagi DPR untuk meratifikasi perjanjian tersebut.
B. Eksekutif
Eksekutif dalam sistem politik david easton dijelaskan sebagai pembuat kebijakan (policy
maker) dalam berlangsungnya proses politik bersama sama dengan legislatif. Selain itu setelah
proses politik dari dalam sistem keluar sebagai output menjadi sebuah kebijakan, lalu di awasi
oleh eksekutif sebagai penerapan kebijakan di masyarakat. Oleh karena itu, hubungan antara
eksekutif serta legislatif saling berhubungan satu sama lain dalam konteks komunikasi politik
untuk sistem dalam proses politik. Adanya hubungan antara eksekutif dan legislatif memberikan
arti bahwa adanya keseimbangan dalam proses politik dalam mengawasi pembuatan kebijakan,
dengan begitu presiden tidak bisa membuat peraturan undang undang dengan sewenang-wenang,
56 Drs. Sukarna, “Sistem Politik”, Op. cit, hal. 172.43
karena legislatif akan membatasinya. Di Indonesia, proses pembuatan RUU yang mendapatkan
persetujuan dari Presiden secara tertulis disampaikan kepada Pimpinan DPR, kemudian
Pimpinan DPR memberitahukan masuknya RUU tersebut kepada Anggota serta
membagikannya, baru kemudian RUU di bahas di DPR.57
Indonesia hingga saat ini belum meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN,
sejak terbentuknya perjanjian tahun 2002. Melihat permasalahan ini yang telah ada sejak tahun
1997, dan berlangsung pada tahun-tahun berikutnya, tetapi tidak ada inisiatif dari pemimpin
Negara untuk segera menyelesaikan masalah ini, apa lagi permasalahan ini tidak hanya
menimbulkan kerugian di dalam negeri tetapi Negara tetaangga juga mengalami kerugian yang
cukup besar, sehingga menimbulkan citra buruk bagi Indonesia sendiri. Dari tahun 2003 hingga
kini perjanjian mengenai polusi asap lintas batas ASEAN masih dalam proses ratifikasi.58 Pada
periode kedua kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), beliau memiliki 100
hari program kerja yang salah satunya mengenai lingkungan hidup dan penanggulangan bencana.
Presiden meminta Menhut mengajak lembaga terkait untuk menangani masalah kebakaran hutan
guna mengurangi emisi karbon.59 Tetapi hingga saat ini tidak ada bukti agenda yang pasti
bagaimana program tersebut dilaksanakan. Menurut saya tidak adanya tindakan Presiden juga
terpengaruh oleh sikap DPR yang belum mengagendakan permasalahan ini, sehingga keputusan
presiden mengenai masalah ini mungkin menunggu keputusan DPR. Selama ini Presiden hanya
mengintruksikan lembaga terkait untuk saling berkoordinasi dalam penanganan masalah polusi
asap kebakaran hutan.
C. Lelmabaga Swadaya Masyarakat (LSM)
57 “Pembuatan Undang-Undang”, diakses dari http://www.dpr.go.id/id/tentang-dpr/pembuatan-undang-undang, tanggal 2 Oktober 2010.
58 “Kebijakan Dalam dan Luar Negeri di Bidang Lingkungan Hidup”, diakses dari http://www.menlh.go.id/i/art/pdf_1050964283.pdf, tanggal 20 Oktober 2010.
59 “program 100 hari”, diakses dari http://www.suarapembaruan.com/News/2009/10/23/Utama/ut02.htm, tanggal 1 Oktober 2010.
44
Kelompok kepentingan dapat dipahami sebagai suatu organisasi yang terdiri dari sekelompok
individu yang mempunyai kepentingan-kepentingan, tujuan0tujuan, keinginan-keinginan yang
sama. Mereka melakukan kerja sama untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah demi
tercapainya kepentingan-kepentingan dan tujuannya tersebut.60 Salah satu kelompok kepentingan
yang peduli lingkungan dalam masalah polusi asap kebakaran hutan adalah WALHI (Wahana
Lingkungan Hidup Indonesia). WALHI merupakan Organisasi yang peduli lingkungan hidup
yang juga memperjuangkan masalah polusi asap dan kebakaran hutan secara tegas. Dalam
melakukan kampanye nya WALHI juga bersentuhan dengan masalah politik dan advokasi, maka
tidak di pungkiri hubungan antara WALHI dengan pemerintah sering tarik ulur, karena pada
dasarnya organisasi non pemerintah seperti WALHI melakukan gerakan advokasi dengan
mengkritis kebijakan kebijakan pemerintah. Menurut WALHI persoalan lingkungan di Indonesia
adalah persoalan politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat
kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik.61
WALHI sebenarnya sudah melakukan langkah-langkah dalam mendukung permasalahan
polusi asap kebakaran hutan. Diantaranya adalah mendorong adanya aturan yang tegas dalam
pembukaan lahan pada perkebunan skala besar dan pembukaan hutan/lahan untuk hutan
tanaman. Karena hampir sebagaian besar kebakaran yang terjadi berada diareal tersebut. WALHI
juga mendorong adanya billateral agreement terkait investasi yang bertanggung jawab. Sebab
lebih dari 50% perusahaan perkebunan sawit berasal dari malaysia atau foreign investment
lainnya. Sehingga Indonesia tidak dirugikan ketika investor melakukan praktek pembakaran
hutan/lahan. Kalau tidak disiapkan hal tersebut, Negara akan dirugikan sebab pihak swasta asing
yang melakukan pembakaran namun yang menanggung justru rakyat Indonesia. Untuk itu
WALHI telah bertemu dengan SUHAKAM (komisi hak asasi manusia dr malaysia) serta
MPOA/B/C (semacam persatuan pengusaha perkebunan kelapa sawit malaysia) dan Parlemen
Malaysia untuk mendorong adanya perjanjian antara pemerintah Malaysia dan Indonesia terkait
bagaimana berinvestasi dengan bertanggung jawab dan bertanggung gugat serta menjunjung hak
asasi manusia. WALHI jg mendorong keaktifan Komnas HAM Indonesia untuk melakukan
60 “struktur Pemerintahan”, diakses dari www.poppysw.staff.ugm.ac.id/file/01-Struktur%20Pemerintahan.pdf , tanggal 2 Oktober 2010.
61 “Sejarah WALHI”, diakses dari http://walhi.hostei.com/?page_id=44, tanggal 3 Oktober 2010.45
upaya upaya lobby dan desakan agar pemerintah Indonesia segera membuat aturan bersama
dengan pemerintah Malaysia terkait hal tersebut.62
Semua rencana serta dukunga yang telah atau akan dilakukan oleh WALHI harus
mendapatkan dukungan politik. Salah satunya melalui partai politik yang tergabung dalam
legislatif sebagai tempat proses politik. Kelompok kepentingan tergantung kepada partai politik
suatu negara untuk menjebatani segala kepentingan dan aspirasi yang datangnya dari masyarakat.
Tetapi hingga saat ini belum ada lembaga non pemerintah yang memiliki basis atau hubungan
dengan organisasi rakyat, gerakan sosial, terlebih dengan partai politik dan organisasi politik.63
Dengan adanya partai politik yang mendukung isu lingkungan akan mudah bagi kelompok
kepentingan seperti WALHI melakukan lobby kepada partai politik untuk mendorong berbagai
kebijakan terkait isu lingkungan.64 Karena belum adanya kepastian partai politik yang benar
benar mengkampanyekan isu lingkungan hingga saat ini mungkin menjadi hal yang sulit bagi
WALHI untuk menyampaikan aspirasi kepentingan serta tujuannya, selain itu faktor hubungan
antara WALHI dengan pemerintah yang sering tarik ulur dapat menjadi penyebab sulitnya
agenda politik tercapai.
62 Wawancara Dengan Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Skala Besar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Deddy Ratih, tanggal 6 Agustus 2010.
63 “Go Politics, dan Berhenti Menjadi Pengemis”, diakses dari http://www.walhikalsel.org/content/view/92/48/, tanggal 3 Oktober 2010.
64 Ibid.46
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
Polusi asap kebakaran hutan yang terjadi beberapa tahun belakangan belum juga
mendapatkan penyelesaiannya dari pemerintah, walaupun sudah ada penanganan bersama negara
negara tetangga melalui ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution. Perjanjian
tersebut menjelaskan penanganan masalah polusi asap kebakaran hutan secara bersama sama,
tidak ada satu pasal dalam perjanjian tersebut yang berusaha menyudutkan atau memberikan
sanksi kepada Indonesia. Sudah banyak upaya yang dilakukan untuk pencegahan terjadinya
kebakaran hutan mulai dari Kementrian Lingkungan Hidup, pemerintah daerah, Lembaga
Swadaya Masyarakat, serta masyarakat lokal. Tetapi, upaya upaya tersebut di rasakan masih
47
kurang, buktinya kebakaran hutan tetap terjadi di setiap tahunnya sejak tahun 1997. Banyak
faktor yang menyebabkan Indonesia belum meratifikasi permasalahan polusi asap kebakaran
hutan yang dinilai sebagai jalan keluar yang paling tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini.
Tetapi, terdapat tiga faktor utama yang menjadi alasan mengapa Indonesia belum juga
meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Beberapa lembaga seperti DPR,
Eksekutif, dan LSM seperti WALHI adalah aktor aktor yang menjadi penghambat proses
ratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Upaya yang dilakukan legislatif dalam
proses ratifikasi ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution berjalan lambat, hingga
kini belum ada kejelasan sampai mana proses pembahasan perjanjian tersebut di DPR. Padahal,
sudah cukup banyak tuntutan serta dukungan yang dilakukan berbagai pihak yang menyerukan
bagi DPR untuk segera meratifikasi perjanjian polusi asap lintas batas ASEAN. Lambatnya
proses pembahasan tersebut karena kurangnya dukungan politik di DPR, tidak adanya partai
politik yang mendukung dan peduli terhadap isu lingkungan sehingga tidak dapat menyampaikan
artikulasi kepentingan dari lingkungan masyarakat kedalam sistem politik, sehingga belum
adanya political will dari DPR membuat pembahasan suatu isu tertentu tentang lingkungan
seperti permasalahan polusi asap kebakaran hutan akan sulit menjadi sebuah prioritas dalam
pembahasan agenda DPR.
Upaya yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada masa
kepemimpinanya tidak jauh berbeda dengan DPR. Kebijakan yang dikeluarkan oleh
pemerintahan di masa kepemimpinannya untuk menangani masalah polusi asap kebakaran hutan
dirasakan kurang, karena masih banyak kelemahan di berbagai segi kebijakan yang dikeluarkan.
Walaupun Presiden sendiri memasukkan isu lingkungan dalam program 100 hari di periode
kedua kepemimpinannya, tetapi belum ada aksi yang nyata untuk mengatasi permasalahan
kebakaran hutan. Lemahnya dukungan dan perhatian yang diberikan Presiden terhadap
permasalahan ini merupakan faktor penghambat agenda ratifikasi di DPR.
WALHI telah melakukan berbagai upaya untuk menyampaikan artikulasi kepentingan
masalah polusi asap melalui lobby untuk membantu penyelesaian masalah polusi asap lintas
batas. Tetapi, adanya ketergantungan antara kelompok kepentingan dengan partai politik sebagai
penyampai artikulasi kepentingan membuat proses penyampaian politik menjadi terhambat,
karena hingga saat ini belum ada partai politik yang benar benar peduli terhadap isu lingkungan.
48
Selain itu seringnya tarik ulur hubungan antara WALHI dengan pemerintah mengakibatkan
rendahnya intensitas komunikasi politik antara kedua belah pihak terjalin sehingga hal tersebut
merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia belum meratifikasi ASEAN Agreement on
Transboundary Haze Pollution.
49