skripsi hubungan pola makan dan karakteristik...

107
SKRIPSI HUBUNGAN POLA MAKAN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU TERHADAP SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA ANGKATAN 2015 DAN 2016 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS HASANUDDIN Oleh : ASTRI DEWI C111 14 087 Pembimbing : dr. MUHAMMAD HUSNI CANGARA, Ph.D, Sp.PA, DFM DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2017

Upload: others

Post on 07-Feb-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • SKRIPSI

    HUBUNGAN POLA MAKAN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU

    TERHADAP SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA ANGKATAN 2015

    DAN 2016 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS HASANUDDIN

    Oleh :

    ASTRI DEWI

    C111 14 087

    Pembimbing :

    dr. MUHAMMAD HUSNI CANGARA, Ph.D, Sp.PA, DFM

    DISUSUN SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

    FAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS HASANUDDIN

    MAKASSAR

    2017

  • ii

  • iii

  • iv

  • v

    HUBUNGAN POLA MAKAN DAN KARAKTERISTIK INDIVIDU

    TERHADAP SINDROM DISPEPSIA PADA MAHASISWA ANGKATAN 2015

    DAN 2016 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERITAS HASANUDDIN

    ABSTRAK

    Latar Belakang : Berdasarkan Kriteria Roma III terbaru, dispepsia fungsional

    didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu atau lebih dari gejala-gejala seperti,

    perasaan perut penuh setelah makan, cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang

    berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya

    timbul 6 bulan sebelum diagnosis. Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun

    2007, ditemukan peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun

    1988 menjadi 3,3% pada tahun 2003.

    Tujuan : Untuk mengetahui hubungan antara pola makan dan karakteristik individu

    terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observational analitik dengan rancangan

    penelitian cross sectional. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling

    dengan total 612 orang. Analisis data menggunakan uji Chi-Square dengan p value =

    0,05 menggunakan program SPSS. Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin pada bulan September - November 2017.

    Hasil : Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa dari 612 mahasiswa terdapat 368

    orang (60,1%) menderita sindrom dispepsia dan 340 orang diantaranya adalah

    perempuan dan bertempat tinggal di kost sebanyak 326 orang. Terdapat hubungan

    antara jenis kelamin (p=0,000), tempat tinggal (p=0,000), keteraturan makan

    (p=0,000), dan makanan dan minuman iritatif (p=0,000) terhadap kejadian sindrom

    dispepsia.

    Kesimpulan : Terdapat hubungan yang bermakna antara karakteristik individu dan

    pola makan terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Dimana nilai p value < 0,05, yaitu 0,000

    Kata kunci : Sindrom Dispepsia, Karakteristik Individu, Pola Makan, Mahasiswa

  • vi

    CORRELATION OF EATING PATTERNS AND INDIVIDUAL

    CHARACTERISTICS TO DYSPEPSIA SYNDROME IN STUDENTS BATCH

    2015 AND 2016 MEDICAL FACULTY OF HASANUDDIN UNIVERSITY

    ABSTRACT

    Background: Based on the most recent Criteria of Rome III, functional dyspepsia is

    defined as a syndrome that includes one or more of the symptoms such as a full-

    stomach feeling after a meal, full satiety, or burning in the pit of the liver, lasting for at

    least 3 months, after the onset of symptoms for at least 6 months before the diagnosis.

    According to a population-based study in 2007, an increase in the prevalence of

    functional dyspepsia from 1.9% in 1988 to 3.3% in 2003.

    Objective: To know the context between eating patterns and individual characteristics

    of dyspepsia syndrome in student of batch 2015 and 2016 Medical Faculty of

    Hasanuddin University.

    Method: This was an observational analytic study with cross sectional study design.

    Sampling was conducted in total sampling with a total of 612 people. Data analysis

    using Chi-Square test with p value = 0,05 using SPSS program. This research was

    conducted at the Medical Faculty of Hasanuddin University in September - November

    2017.

    Results: The results of the study showed that out of 612 students there were 368 people

    (60.1%) suffering from dyspepsia syndrome which 340 of them were female and

    residing in boarding as many as 326 people. There was a relationship between sex (p =

    0,000), residence (p = 0,000), eating regularity (p = 0,000), and irritating food and

    beverage (p = 0,000) on the incidence of dyspepsia syndrome.

    Conclusion: There is a significant correlation between individual characteristic and

    eating patterns to dyspepsia syndrome in student of Batch 2015 and 2016 Faculty of

    Medicine Hasanuddin University. Where p value

  • vii

    KATA PENGANTAR

    Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah melimpahkan

    rahmat dan anugerah-Nya kepada kita semua dengan segala keterbatasan yang penulis

    miliki, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dalam rangka

    penyelesaian studi di semester akhir dalam mengikuti jenjang preklinik Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin. Shalawat serta salam senantiasa tercurah atas

    junjungan Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang

    senantiasa istiqamah di jalan Islam.

    Dengan rahmat dan petunjuk Yang Maha Kuasa, kemudian disertai usaha, doa,

    serta arahan dan bimbingan dokter pembimbing, maka skripsi yang berjudul

    “Hubungan Pola Makan dan Karakteristik Individu Terhadap Sindrom Dispepsia pada

    Mahasiswa Angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin”

    dapat terselesaikan.

    Dalam penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis menemui hambatan–

    hambatan, tetapi atas izin Allah kemudian bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,

    hambatan tersebut dapat teratasi.

    Dengan tulus ikhlas dan rendah hati penulis mengucapkan terima kasih yang

    tak terhingga kepada Allah SWT kemudian orangtua tercinta Ayahanda Thamrin dan

    Ibunda Dra. Sitti Aisyah atas doa, ketulusan, dan kasih sayangnya selama ini, serta

    kepada saudaraku tersayang Surya Aditama atas perhatian, motivasi dan bantuan

    selama ini.

  • viii

    Ucapan terima kasih penulis haturkan pula kepada :

    1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin, para Pembantu Dekan,

    staf Pengajar, dan tata usaha yang telah memberikan bantuan dan bimbingan

    kepada penulis.

    2. dr. Muhammad Husni Cangara, Ph.D., Sp.PA., DFM selaku dosen pembimbing

    yang telah memberikan berbagai bimbingan dan pengarahan dalam pembuatan

    dan membantu kami dapat menyelesaikan skripsi ini tepat waktu.

    3. Dr. dr. Berti Julian Nelwan, DFM., M.Kes., Sp.PA selaku penguji dalam skripsi

    ini yang telah meluangkan waktunya untuk turut memberikan perbaikan

    ataupun saran dalam penulisan skripsi ini.

    4. dr. Upik Anderiani Miskad, Ph.D., Sp.PA(K) selaku penguji dalam skripsi ini

    yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan saran yang membangun

    kepada penulis.

    5. dr.Tjiang Sari Lestari selaku KPM Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan

    Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    6. Staf pengajar dan karyawan Departemen Ilmu Kedokteran Forensik dan

    Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Pimpinan, staf

    pengajar, dan seluruh karyawan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    7. Sahabat–sahabatku Khaerunnisa, Dini, Eka, Amni, Indah, Feni, Mardha,

    Arwidya, Suci, Farnida, Anisah, Cindy, dan Anildhah yang telah berjuang

    bersama, saling menyemangati dan mendoakan.

  • ix

    8. Rekan-rekan seperjuangan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin

    Angkatan 2014 (Neutrof14vine) atas kebersamaan, bantuan, dan motivasi

    selama ini.

    9. Qanaah, Azizah, Ismi dan Uswa yang telah membantu dalam pengambilan data

    populasi dan sampel serta memberikan dukungan dalam penyelesaian skripsi

    ini.

    10. Teman-teman sepembimbing Gianina Helena, Muhammad Fikri Hadju, dan

    Lukman yang telah berjuang bersama dalam penyelesaian skripsi ini.

    11. Seluruh pihak yang tidak sempat disebutkan satu per satu yang telah membantu

    penulis selama penyusunan skripsi ini.

    Akhirnya, penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

    Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun dari

    semua pihak demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bisa berkontribusi

    dalam perbaikan upaya kesehatan dan bermanfaat bagi semua pihak.

    Makassar, November 2017

    Penulis

  • x

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL.……………………………………………………………....i

    HALAMAN PERSETUJUAN PANITIA SIDANG.................................................ii

    HALAMAN PERSETUJUAN PERCETAKAN......................................................iii

    HALAMAN PENGESAHAN ................................... Error! Bookmark not defined.

    ABSTRAK ................................................................................................................... v

    KATA PENGANTAR ............................................................................................... vii

    DAFTAR ISI ................................................................................................................ x

    DAFTAR GAMBAR ................................................................................................ xiii

    DAFTAR TABEL .................................................................................................... xiv

    DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................. xv

    BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ................................................................................................. 1

    1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................ 4

    1.3. Tujuan Penelitian ............................................................................................. 4

    1.4. Manfaat Penelitian ........................................................................................... 5

    BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 7

    2.1. Dispepsia ............................................................................................................ 7

    2.1.1. Definisi dispepsia ................................................................................... 7

    2.1.2. Epidemiologi .......................................................................................... 8

    2.1.3. Klasifikasi Dispepsia ............................................................................. 9

    2.1.4. Fungsi Motorik Lambung .................................................................. 10

    2.1.5. Sekresi Getah Lambung ..................................................................... 13

    2.1.6. Patofisiologi .......................................................................................... 15

    2.1.7. Diagnosis .............................................................................................. 20

    2.2. Pola makan ...................................................................................................... 23

    2.2.1. Pola Makan Keluarga ......................................................................... 23

    2.2.2. Pola Makan Sehat ............................................................................... 24

    2.3. Makanan dan Minuman Iritatif .................................................................... 25

  • xi

    2.4. Hubungan pola makan (keteraturan makan dan mengonsumsi makanan

    dan minuma iritatif) dengan sindrom dispepsia .......................................... 26

    2.5. Hubungan jenis kelamin dengan sindrom dispepsia ................................... 29

    2.6. Hubungan tempat tinggal dengan sindrom dispepsia ................................. 30

    BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ..................... 31

    3.1. Kerangka Konsep ........................................................................................... 31

    3.2. Definisi Operasional ....................................................................................... 32

    a. Hipotesis Penelitian ........................................................................................ 34

    BAB 4 METODE PENELITIAN ............................................................................. 36

    4.1. Desain Penelitian ............................................................................................ 36

    4.2. Tempat dan Waktu Penelitian ...................................................................... 36

    4.2.1. Tempat Penelitian ................................................................................. 36

    4.2.2. Waktu Penelitian .................................................................................. 36

    4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................................... 37

    4.3.1. Populasi penelitian ................................................................................ 37

    4.3.2. Sampel penelitian .................................................................................. 37

    4.3.3. Cara pengambilan sampel ................................................................... 37

    4.4. Variabel Penelitian ......................................................................................... 37

    4.4.1. Variabel terikat ..................................................................................... 37

    4.4.2. Variabel bebas....................................................................................... 37

    4.5. Kriteria Inklusi dan Ekslusi .......................................................................... 38

    4.5.1. Faktor inklusi ........................................................................................ 38

    4.5.2. Faktor Ekslusi ....................................................................................... 38

    4.6. Jenis Data dan Instrumen Penelitian ............................................................ 38

    4.6.1. Jenis Data .............................................................................................. 38

    4.6.2. Instrumen Penelitian ............................................................................ 39

    4.7. Manajemen Penelitian.................................................................................... 39

    4.7.1. Pengumpulan Data ............................................................................... 39

    4.7.2. Teknik Pengolahan dan Analisa Data ................................................ 41

    4.7.3. Penyajian Data ...................................................................................... 43

  • xii

    4.8. Etika Penelitian ............................................................................................... 43

    BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN ............. 44

    5.1. Analisis Univariat .......................................................................................... 45

    5.2. Analisis Bivariat ............................................................................................ 48

    BAB 6 PEMBAHASAN ............................................................................................ 52

    BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 59

    7.1. Kesimpulan...................................................................................................... 59

    7.2. Saran ................................................................................................................ 60

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 62

  • xiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 3.1 Kerangka Konsep ……………………………………..……………. 31

  • xiv

    DAFTAR TABEL

    Tabel 3.1. Definisi Operasional .……………………………………………………….. 32

    Tabel 5.1. Distribusi Responden Angkatan 2015 dan 2016 ………………………….... 44

    Tabel 5.2. Distribusi Responden menurut jenis kelamin …………………………......... 45

    Tabel 5.3. Distribusi Responden menurut tempat tinggal ……………………………... 46

    Tabel 5.4. Distribusi Responden menurut keteraturan makan ……………………........ 47

    Tabel 5.5. Distribusi Responden menurut makanan dan minuman iritatif …………….. 47

    Tabel 5.6. Distribusi Responden menurut Sindrom Dispepsia ……………………........ 48

    Tabel 5.7. Distribusi Responden menurut jenis kelamin dan sindrom dispepsia ……… 49

    Tabel 5.8. Distribusi Responden menurut tempat tinggal dan sindrom dispepsia …….. 50

    Tabel 5.9. Distribusi Responden menurut keteraturan makan dan sindrom dispepsia…. 51

    Tabel 5.10. Distribusi Responden menurut mengonsumsi makanan dan minuman

    iritatif dengan sindrom dispepsia ………………………………………........ 52

  • xv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Riwayat Hidup Penulis

    Lampiran 2 Lembar Informed Consent

    Lampiran 3 Lembar Persetujuan Menjadi Respoonden

    Lampiran 4 Kuesioner Penelitian

    Lampiran 5 Surat Rekomendasi Persetujuan Etik

    Lampiran 6 Data Hasil Kuesioner Penelitian

    Lampiran 7 Hasil Pengolahan Data dengan SPSS

  • 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

    1.1. Latar Belakang

    Menurut studi berbasiskan populasi pada tahun 2007, ditemukan

    peningkatan prevalensi dispepsia fungsional dari 1,9% pada tahun 1988

    menjadi 3,3% pada tahun 2003 (Halder SL dkk, 2007). Istilah dispepsia sendiri

    mulai gencar dikemukakan sejak akhir tahun 1980-an, yang menggambarkan

    keluhan atau kumpulan gejala (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak

    nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh,

    sendawa, regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau

    keluhan ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya

    termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang lebih

    dikenal sebagai penyakit maag. (Djojodiningrat D, 2009).

    Dispepsia fungsional, pada tahun 2010, dilaporkan memiliki tingkat

    prevalensi tinggi, yakni 5% dari seluruh kunjungan ke sarana layanan kesehatan

    primer (Lacy BE dkk, 2010). Bahkan, sebuah studi tahun 2011 di Denmark

    mengungkapkan bahwa 1 dari 5 pasien yang datang dengan dispepsia ternyata

    telah terinfeksi Helicobacter pylori yang terdeteksi setelah dilakukan

    pemeriksaan lanjutan (Dahlerup S dkk, 2011).

    Menurut profil data kesehatan Indonesia tahun 2011 yang diterbitkan

    oleh Depkes RI pada tahun 2012, dispepsia termasuk dalam 10 besar penyakit

    rawat inap di rumah sakit tahun 2010, pada urutan ke-5 dengan angka kejadian

  • 2

    kasus sebesar 9.594 kasus pada pria dan 15.122 kasus pada wanita. Sedangkan

    untuk 10 besar penyakit rawat jalan di rumah sakit tahun 2010, dispepsia berada

    pada urutan ke-6 dengan angka kejadian kasus sebesar 34.981 kasus pada pria

    dan 53.618 kasus pada wanita, jumlah kasus baru sebesar 88.599 kasus.

    Sindrom dispepsia dapat disebabkan oleh banyak hal. Menurut

    Djojoningrat (2009), penyebab timbulnya dispepsia diantaranya karena faktor

    diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung,

    persepsi viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori.

    Menurut Susanti (2011), sindroma dispepsia dipengaruhi oleh tingkat

    stres, makanan dan minuman iritatif dan riwayat penyakit (gastritis dan ulkus

    peptikum). Kebiasaan mengonsumsi makanan dan minuman, seperti makan

    pedas, asam, minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi dapat meningkatkan

    resiko munculnya gejala dispepsia. Suasana yang sangat asam di dalam

    lambung dapat membunuh organisme patogen yang tertelan bersama makanan.

    Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di

    lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004).

    Faktor yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya beberapa

    zat kimia, seperti alkohol, makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan

    yang pedas serta bumbu yang merangsang, misalnya jahe dan merica

    (Warianto, 2011). Pertumbuhan mahasiswa (remaja menuju dewasa) diiringi

    dengan meningkatnya partisipasi kehidupan sosial dan aktivitas dapat

    menimbulkan dampak terhadap apa yang mereka makan (Mulia, 2010).

  • 3

    Penelitian yang dilakukan Reshetnikov (2007) tentang gejala

    gastrointestinal menyatakan bahwa faktor diet pada sindrom dispepsia

    berkaitan dengan ketidakteraturan pada pola makan dan jeda antara jadwal

    makan yang lama. Ketidakteraturan pola makan sangat dipengaruhi oleh

    aktivitas dan kegiatan yang padat (Sayogo, 2006). Ketidakteraturan pola makan

    juga dipengaruhi oleh keinginan untuk mempunyai bentuk tubuh yang ideal.

    Selain itu, ketidakteraturan pola makan dipengaruhi oleh melemahnya

    pengawasan dari orang tua padahal orang tua menjadi penjaga pintu

    (gatekeeper) dimana memiliki peran dalam mengatur pola makan (Robert,

    2000).

    Remaja adalah salah satu suatu kelompok yang berisiko untuk terkena

    sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2009). Menurut Monks (2000), remaja adalah

    masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang memiliki usia antara 12-

    21 tahun termasuk mahasiswa. Pada mahasiswa khususnya mahasiswa

    perempuan, pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada bentuk tubuh

    yang dimiliki oleh mahasiswa serta kesadaran diri dalam menjaga

    penampilannya membuat mahasiswa memiliki gambaran tentang diri (body

    image) yang salah (Heinberg & Thompson, 2009).

    Selain hal tersebut di atas, kegiatan mahasiswa dalam mengerjakan

    berbagai macam tugas kuliah sangat menyita waktu. Kesibukan dari mahasiswa

    akan hal tersebut akan berdampak pada waktu atau jam makan sehingga

    walaupun sudah sampai pada saatnya waktu makan, mahasiswa sering

    menunda dan bahkan lupa untuk makan (Arisman, 2008).

  • 4

    Berdasarkan pemaparan di atas, penulis tertarik untuk melakukan

    penelitian tentang hubungan pola makan dan karakteristik individu terhadap

    sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin.

    1.2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan masalah

    penelitian yaitu Apakah Terdapat Hubungan Antara Pola Makan dan

    Karakteristik Individu terhadap Sindrom Dispepsia pada Mahasiswa Angkatan

    2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin?

    1.3. Tujuan Penelitian

    1.3.1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui hubungan antara pola makan dan karakteristik

    individu terhadap sindrom dispepsia pada mahasiswa Angkatan 2015

    dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    1.3.2. Tujuan Khusus

    Tujuan Penelitian yang diinginkan sebagai berikut :

    a. Untuk mengetahui deskripsi tentang pola makan (keteraturan makan

    dan konsumsi makanan dan minuman iritatif) pada mahasiswa

    angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin.

  • 5

    b. Untuk mengetahui deskripsi tentang karakteristik (jenis kelamin dan

    tempat tinggal) pada mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin.

    c. Untuk mengetahui deskripsi tentang sindrom dispepsia pada

    mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin.

    d. Untuk mengetahui hubungan pola makan (keteraturan makan dan

    konsumsi makanan dan minuman iritatif) dengan sindrom dispepsia

    pada mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin.

    e. Untuk mengetahui hubungan karakteristik individu (jenis kelamin

    dan tempat tinggal) dengan sindrom dispepsia pada mahasiswa

    angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin.

    1.4. Manfaat Penelitian

    1.4.1. Bagi peneliti

    Sebagai tambahan pengetahuan dan pengalaman bagi peneliti dalam

    melakukan penelitian kesehatan dan tambahan ilmu mengenai topik

    yang dibahas yaitu hubungan pola makan dan karakteristik individu

    terhadap sindrom dispepsia.

  • 6

    1.4.2. Bagi mahasiswa dan tenaga kesehatan

    Sebagai sumber informasi tentang hubungan pola makan dan

    karakteristik individu terhadap sindrom dispepsia sehingga diharapkan

    bagi mahasiswa dapat mengatur pola makan dengan baik.

    1.4.3. Bagi peneliti lain

    Sebagai acuan Sebagai acuan bagi peneliti-peneliti lain yang tertarik untuk

    melakukan penelitian mengenai hubungan pola makan dan karakteristik

    individu terhadap sindrom dispepsia.

  • 7

    BAB 2

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Dispepsia

    2.1.1. Definisi dispepsia

    Dispepsia berasal dari bahasa Yunani, yaitu dys- (buruk) dan -

    peptein (pencernaan) (Bonner GF, 2006). Berdasarkan konsensus

    International Panel of Clinical Investigators, dispepsia didefinisikan

    sebagai rasa nyeri atau tidak nyaman yang terutama dirasakan di daerah

    perut bagian atas, sedangkan menurut Kriteria Roma III terbaru,

    dispepsia fungsional didefinisikan sebagai sindrom yang mencakup satu

    atau lebih dari gejala-gejala berikut: perasaan perut penuh setelah makan,

    cepat kenyang, atau rasa terbakar di ulu hati, yang berlangsung

    sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula gejala sedikitnya

    timbul 6 bulan sebelum diagnosis.

    Istilah dispepsia sendiri mulai gencar dikemukakan sejak akhir

    tahun 1980-an, yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala

    (sindrom) yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium,

    mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa penuh, sendawa,

    regurgitasi, dan rasa panas yang menjalar di dada. Sindrom atau keluhan

    ini dapat disebabkan atau didasari oleh berbagai penyakit, tentunya

    termasuk juga di dalamnya penyakit yang mengenai lambung, atau yang

    lebih dikenal sebagai penyakit maag. (Djojodiningrat, 2009).

  • 8

    2.1.2. Epidemiologi

    Berdasarkan Konsensus Penatalaksanaan Dispepsia dan Infeksi

    Helicobacter pylori (2014), Prevalensi pasien dispepsia di pelayanan

    kesehatan mencakup 30% dari pelayanan dokter umum dan 50% dari

    pelayanan dokter spesialis gastroenterologi.

    Mayoritas pasien Asia dengan dispepsia yang belum diinvestigasi

    dan tanpa tanda bahaya merupakan dispepsia fungsional. Berdasarkan

    hasil penelitian di negara-negara Asia (Cina, Hong Kong, Indonesia,

    Korea, Malaysia, Singapura, Taiwan, Thailand, dan Vietnam)

    didapatkan 43-79,5% pasien dengan dispepsia adalah dispepsia

    fungsional (Miwa, dkk 2012).

    Dari hasil endoskopi yang dilakukan pada 550 pasien dispepsia

    dalam beberapa senter di Indonesia pada Januari 2003 sampai April

    2004, didapatkan 44,7 % kasus kelainan minimal pada gastritis dan

    duodenitis; 6,5% kasus dengan ulkus gaster; dan normal pada 8,2% kasus

    (Syam, dkk 2006).

    Di Indonesia, data prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada

    pasien ulkus peptikum (tanpa riwayat pemakaian obat-obatan anti-

    inflamasi non-steroid/OAINS) bervariasi dari 90-100% dan untuk pasien

    dispepsia fungsional sebanyak 20-40% dengan berbagai metode

    diagnostik (pemeriksaan serologi, kultur, dan histopatologi) (Rani, dkk

    2006).

  • 9

    Prevalensi infeksi Helicobacter pylori pada pasien dispepsia yang

    menjalani pemeriksaan endoskopik di berbagai rumah sakit pendidikan

    kedokteran di Indonesia (2003-2004) ditemukan sebesar 10.2%.

    Prevalensi yang cukup tinggi ditemui di Makasar tahun 2011 (55%),

    Solo tahun 2008 (51,8%), Yogyakarta (30.6%) dan Surabaya tahun 2013

    (23,5%), serta prevalensi terendah di Jakarta (8%) (Parewangi, 2011).

    2.1.3. Klasifikasi Dispepsia

    Dispepsia terbagi atas dua subklasifikasi, yakni dispepsia organik

    dan dispepsia fungsional, jika kemungkinan penyakit organik telah

    berhasil dieksklusi (Montalto M dkk, 2004). Dispepsia organik adalah

    apabila penyebab dispepsia sudah jelas, misalnya ada ulkus peptikum,

    karsinoma lambung, kholelithiasis, yang bisa ditemukan secara mudah.

    Dispepsia fungsional adalah apabila penyebab dispepsia tidak diketahui

    atau tidak didapati kelainan pada pemeriksaan gastroenterologi

    konvensional, atau tidak ditemukannya adanya kerusakan organik dan

    penyakit-penyakit sistemik (Tarigan, 2003).

    Dispepsia fungsional dibagi menjadi 2 kelompok, yakni

    postprandial distress syndrome dan epigastric pain syndrome.

    Postprandial distress syndrome mewakili kelompok dengan perasaan

    “begah” setelah makan dan perasaan cepat kenyang, sedangkan

    epigastric pain syndrome merupakan rasa nyeri yang lebih konstan

  • 10

    dirasakan dan tidak begitu terkait dengan makan seperti halnya

    postprandial distress syndrome.

    Dalam praktik klinis, sering dijumpai kesulitan untuk

    membedakan antara gastroesophageal reflux disease (GERD), irritable

    bowel syndrome (IBS), dan dispepsia itu sendiri. Hal ini sedikit banyak

    disebabkan oleh ketidakseragaman berbagai institusi dalam

    mendefinisikan masing-masing entitas klinis tersebut (Quigley EM &

    Keohane J, 2008). El-Serag dan Talley (2004) melaporkan bahwa

    sebagian besar pasien dengan uninvestigated dyspepsia, setelah diperiksa

    lebih lanjut, ternyata memiliki diagnosis dispepsia fungsional. Talley

    secara khusus melaporkan sebuah sistem klasifikasi dispepsia, yaitu

    Nepean Dyspepsia Index, yang hingga kini banyak divalidasi dan

    digunakan dalam penelitian di berbagai negara, termasuk baru-baru ini

    di China (Tian XP, 2009).

    2.1.4. Fungsi Motorik Lambung

    Menurut Laksono (2011), terdapat hubungan antara skor

    keparahan dispepsia dengan tingkat kerusakan mukosa lambung. Oleh

    karena itu, penting untuk memahami fungsi motorik dan sekresi lambung

    untuk mengetahui patogenesis dari sindroma dispepsia. Fungsi motorik

    lambung terdiri atas penyimpanan, pencampuran, dan pengosongan

    kimus (makanan yang masuk dihaluskan dan dicampur dengan sekresi

    lambung) ke dalam duodenum (Lindseth, 2012). Fungsi penyimpanan

  • 11

    (menyimpan makanan dalam jumlah besar sampai makanan tersebut

    dapat ditampung pada saluran cerna bagian bawah), fungsi pencampuran

    (mencampur makanan tersebut dengan sekret lambung sehingga

    membentuk suatu campuran setengah padat yang dinamakan kimus), dan

    fungsi pengosongan kimus (mengeluarkan makanan dengan lambat dari

    lambung masuk ke usus halus dengan kecepatan yang sesuai untuk

    pencernaan dan absorpsi oleh usus halus (Guyton, 2015).

    Dalam keadaan kosong, lambung memiliki volume sekitar 50 ml.

    Organ ini dapat mengembang sampai kapasitasnya mencapai sekitar

    1000 ml atau 1 liter. Akomodasi perubahan volume hingga 20 kali lipat

    disebabakan oleh 2 hal yaitu plastisitas otot lambung dan relaksasi

    reseptif (Sherwood, 2014).

    Apabila makanan masuk ke lambung, fundus dan bagian atas

    korpus akan melemas dan mengakomodasi makanan dengan sedikit

    peningkatan tekanan (relaksasi reseptif). Peristaltik dimulai dari bagian

    bawah korpus yang mencampur dan menghaluskan makanan serta

    memungkinkan makanan dalam bentuk setengah cair mengalir sedikit

    demi sedikit melalui pilorus dan memasuki duodenum (Ganong, 2008).

    Relaksasi reseptif diperantai oleh nervus vagus dan dipengaruhi

    oleh pergerakkan faring dan esofagus. Gelombang peristaltik yang diatur

    oleh sfingter esofagus bawah (SEB) lambung segera timbul dan

    menyapu ke arah pilorus. Kontraksi lambung yang ditimbulkan oleh

    setiap gelombang disebut sistol antrum dan dapat berlangsung selama 10

  • 12

    detik. Gelombang-gelombang ini timbul tiga sampai empat kali setiap

    menit (Ganong, 2008).

    Pola gelombang ini disebut sebagai irama listrik atau BER (basic

    electrical rythm) lambung. Bagian fundus dan korpus memiliki lapisan

    otot yang tipis sehingga kontraksi peristaltik di kedua daerah tersebut

    lemah. Gelombang peristaltik akan lebih kuat pada bagian antrum karena

    antrum memiliki lapisan otot yang kuat dibandingkan dengan bagian

    fundus dan korpus. Daerah fundus biasanya tidak menjadi tempat

    penyimpanan makanan tetapi hanya berisikan sejumlah gas (Sherwood,

    2014).

    Pada proses pencampuran di lambung, kontraksi peristaltik yang

    kuat akan menyebabkan makanan bercampur dengan sekresi lambung

    dan menghasilkan kimus. Gelombang peristaltik di antrum akan

    mendorong makanan ke depan ke arah sfingter pilorus. Dalam keadaan

    normal, kontraksi otot sfingter pilorus akan menjaga sfingter hampir

    tertutup rapat. Lubang yang tersedia cukup besar untuk air dan cairan

    yang lewat tetapi terlalu kecil untuk kimus yang kental melewati lubang

    tersebut (Sherwood, 2014).

    Kontraksi pada antrum dan sfingter memiliki arah yang

    berlawanan. Kontraksi antrum akan bergerak ke arah sfingter dan

    kontraksi sfingter ke arah antrum. Gerakan yang terjadi pada antrum dan

    sfingter ini dinamakan retropulsi sehingga membuat kimus menyebar

    secara merata (Sherwood, 2014).

  • 13

    Pada pengaturan pengosongan lambung, kontraksi peristaltik

    antrum, selain menyebabkan pencampuran lambung, juga menghasilkan

    suatu gaya pendorong untuk mengosongkan lambung. Jumlah kimus

    yang lolos ke duodenum pada setiap gelombang peristaltik sebelum

    sfingter bergantung pada kekuatan peristaltik. Intensitas peristaltik

    antrum ditentukan oleh pengaruh dari sinyal lambung dan duodenum

    (Sherwood, 2014).

    2.1.5. Sekresi Getah Lambung

    Selain sel-sel yang menyekresi mukus yang membatasi

    permukaan lambung, mukosa lambung memiliki dua kelenjar tubulosa,

    yaitu kelenjar gastrik atau fundus dan kelenjar pilorus. Kelenjar gastrik

    menyekresikan getah pencernaan dan kelenjar pilorus menyekresikan

    hampir seluruhnya mukus untuk perlindungan mukosa pilorus. Kelenjar

    gastrik terletak di sembarang tempat dalam mukosa korpus dan fundus

    lambung, sedangkan kelenjar pilorus terletak pada bagian antrum

    lambung (Guyton, 2015).

    Pada bagian pilorus dan kardia lambung, kelenjar tersebut

    mensekresikan mukus. Di korpus lambung, termasuk fundus, kelenjar

    juga mengandung sel parietal (oksintik). Sel parietal akan mensekresikan

    asam hidroklorida dan faktor intrinsik. Pada bagian korpus lambung ini

    juga terdapat chief cell (sel zimogen dan sel peptik) yang fungsinya

    adalah mensekresikan pepsinogen. Sekret-sekret ini akan bercampur

  • 14

    dengan mukus yang disekresikan oleh sel-sel bagian leher kelenjar atau

    mukosa neck. Mukus ini juga akan disekresikan bersama dengan HCO3-

    (asam bikarbonat) oleh sel-sel mukus di permukaan epitel antara

    kelenjar-kelenjar (Ganong, 2008).

    Sel kelenjar lambung mensekresikan sekitar 2500 ml getah lambung

    setiap hari. Getah lambung ini mengandung bermacam-macam zat,

    diantaranya adalah HCl, pepsinogen dan lain-lain. Bagian korpus lambung

    yang mensekresikan HCl berfungsi untuk membunuh sebagian besar bakteri

    yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH yang

    diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang aliran empedu

    dan cairan pankreas (Ganong, 2008).

    Menurut Ganong (2008) dalam Buku Ajar Fisiologi Kedokteran

    mengatakan bahwa konsentrasi asam dalam getah lambung cukup pekat

    untuk dapat menyebabkan jaringan mengalami suatu kerusakan, tetapi pada

    orang normal, mukosa lambung tidak mengalami iritasi karena adanya

    mukus dan HCO3- sebagai sawar atau pelindung mukosa lambung.

    Prostaglandin dalam lambung juga berfungsi untuk merangsang sekresi

    mukus dan HCO3- . Oleh karena itu, mukus dan HCO3- yang disekresikan

    oleh sel mukosa sangat berperan penting dalam melindungi lambung dari

    kerusakan ketika getah lambung yang sangat asam disekresikan ke dalam

    lambung.

    Menurut Price dan Wilson (2006), pengaturan sekresi lambung dapat

    dibagi menjadi fase sefalik, gastrik dan intestinal. Fase sefalik sudah dimulai

  • 15

    bahkan sebelum makanan masuk lambung, yaitu akibat melihat, mencium,

    memikirkan atau mengecap makanan. Fase sefalik ini menghasilkan sekitar

    10 % dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan.

    Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Gastrin dilepas

    dari antrum dan kemudian dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar

    lambung, untuk merangsang sekresi. Fase sekresi gastrik menghasilkan

    lebih dari dua pertiga sekresi lambung total setelah makan, sehingga

    merupakan bagian terbesar dari total sekresi lambung harian yang berjumlah

    sekitar 2.000 ml. Dan fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari

    lambung ke duodenum.

    Pada periode interdigestif (antar dua waktu pencernaan) sewaktu

    tidak ada pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung

    dalam kecepatan lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut

    pengeluaran asam basal (basic acid output, BAO) dan dapat diukur dengan

    pemeriksaan sekresi cairan lambung selama puasa 12 jam. Sekresi lambung

    normal selama periode ini terutama terdiri dari mukus dan hanya sedikit

    pepsin dan asam. Tetapi rangsangan emosional kuat dapat meningkatkan

    BAO melalui saraf parasimpatis (vagus) dan diduga merupakan salah

    satu penyebab ulkus peptikum (Price & Wilson, 2006).

    2.1.6. Patofisiologi

    Dari sudut pandang patofi siologis, proses yang paling banyak

    dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional

    adalah sekresi asam lambung, dismotilitas gastrointestinal,

  • 16

    hipersensitivitas viseral, disfungsi autonom, diet dan faktor lingkungan,

    psikologis (Djojoningrat, 2009).

    Ferri dkk. (2012) menegaskan bahwa patofisiologi dispepsia

    hingga kini masih belum sepenuhnya jelas dan penelitian-penelitian

    masih terus dilakukan terhadap faktor-faktor yang dicurigai memiliki

    peranan bermakna, seperti Abnormalitas fungsi motorik lambung

    (khususnya keterlambatan pengosongan lambung, hipomotilitas antrum,

    hubungan antara volume lambung saat puasa yang rendah dengan

    pengosongan lambung yang lebih cepat, serta gastric compliance yang

    lebih rendah), infeksi Helicobacter pylori dan faktor-faktor psikososial,

    khususnya terkait dengan gangguan cemas dan depresi.

    a) Sekresi asam lambung

    Kasus dispepsia fungsional umumnya mempunyai tingkat sekresi

    asam lambung, baik sekresi basal maupun dengan stimulasi

    pentagastrin, yang rata-rata normal. Diduga terdapat peningkatan

    sensitivitas mukosa lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa

    tidak enak di perut (Djojoningrat, 2009).

    Peningkatan sensitivitas mukosa lambung dapat terjadi akibat pola

    makan yang tidak teratur. Pola makan yang tidak teratur akan membuat

    lambung sulit untuk beradaptasi dalam pengeluaran sekresi asam

    lambung. Jika hal ini berlangsung dalam waktu yang lama, produksi

    asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding

    mukosa pada lambung (Rani, 2011).

  • 17

    b) Dismotilitas Gastrointestinal

    Berbagai studi melaporkan bahwa pada dispepsia fungsional terjadi

    perlambatan pengosongan lambung, adanya hipomotilitas antrum

    (sampai 50% kasus), gangguan akomodasi lambung saat makan, dan

    hipersensitivitas gaster. Salah satu dari keadaan ini dapat ditemukan

    pada setengah atau dua pertiga kasus dispepsia fungsional. Perlambatan

    pengosongan lambung terjadi pada 25-80% kasus dispepsia fungsional

    dengan keluhan seperti mual, muntah, dan rasa penuh di ulu hati

    (Djojoningrat, 2009).

    Gangguan motilitas gastrointestinal dapat dikaitkan dengan gejala

    dispepsia dan merupakan faktor penyebab yang mendasari dalam

    dispepsia fungsional. Gangguan pengosongan lambung dan fungsi

    motorik pencernaan terjadi pada sub kelompok pasien dengan dispepsia

    fungsional. Sebuah studi meta-analisis menyelidiki dispepsia

    fungsional dan ganguan pengosongan lambung, ditemukan 40% pasien

    dengan dispepsia fungsional memiliki pengosongan lebih lambat 1,5

    kali dari pasien normal (Chan & Burakoff, 2010).

    c) Hipersensitivitas viseral

    Dinding usus mempunyai berbagai reseptor, termasuk reseptor

    kimiawi, reseptor mekanik, dan nociceptor. Beberapa pasien dengan

    dispepsia mempunyai ambang nyeri yang lebih rendah. Peningkatan

    persepsi tersebut tidak terbatas pada distensi mekanis, tetapi juga dapat

    terjadi pada respon terhadap stres, paparan asam, kimia atau rangsangan

  • 18

    nutrisi, atau hormon, seperti kolesitokinin dan glucagon-like peptide

    (Djojoningrat, 2009).

    Berdasarkan studi, pasien dispepsia dicurigai mempunyai

    hipersensitivitas viseral terhadap distensi balon di gaster atau

    duodenum, meskipun mekanisme pastinya masih belum dipahami

    (Djojoningrat, 2009). Hipersensitivitas viseral juga disebut-sebut

    memainkan peranan penting pada semua gangguan fungsional dan

    dilaporkan terjadi pada 30-40% pasien dengan dispepsia fungsional.

    Mekanisme hipersensitivitas ini dibuktikan melalui uji klinis pada

    tahun 2012. Dalam penelitian tersebut, sejumlah asam dimasukkan ke

    dalam lambung pasien dispepsia fungsional dan orang sehat.

    Didapatkan hasil tingkat keparahan gejala dispeptik lebih tinggi pada

    individu dispepsia fungsional. Hal ini membuktikan peranan penting

    hipersensitivitas dalam patofisiologi dispepsia.

    d) Gangguan akomodasi lambung

    Dalam keadaan normal, waktu makanan masuk lambung terjadi

    relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa meningkatkan tekanan dalam

    lambung. Akomodasi lambung ini dimediasi oleh serotonin dan nitric

    oxide melalui saraf vagus dari sistem saraf enterik. Dilaporkan bahwa

    pada penderita dyspepsia fungsional terjadi penurunan kemampuan

    relaksasi fundus postprandial pada 40% kasus dengan pemeriksaan

    gastricscintigraphy dan ultrasound (USG) (Chan & Burakoff, 2010).

  • 19

    e) Helicobacter pylori

    Peran infeksi Helicobacter pylori pada dispepsia fungsional

    belum sepenuhnya dimengerti dan diterima. Kekerapan infeksi H.

    pylori terdapat sekitar 50% pada dispepsia fungsional dan tidak berbeda

    pada kelompok orang sehat. Mulai terdapat kecenderungan untuk

    melakukan eradikasi H. pylori pada dispepsia fungsional dengan H.

    pylori positif yang gagal dengan pengobatan konservatif baku

    (Djojoningrat, 2009).

    f) Disfungsi autonom

    Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas

    gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati

    vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian proksimal

    lambung sewaktu menerima makanan, sehingga menimbulkan

    gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang (Djojoningrat,

    2009).

    g) Peranan hormonal

    Peranan hormon masih belum jelas diketahui dalam patogenesis

    dispepsia fungsional. Dilaporkan adanya penurunan kadar hormon

    motilin yang menyebabkan gangguan motilitas antroduodenal. Dalam

    beberapa percobaan, progesteron, estradiol, dan prolaktin memengaruhi

    kontraktilitas otot polos dan memperlambat waktu transit

    gastrointestinal (Djojoningrat, 2009).

  • 20

    h) Diet dan faktor lingkungan

    Faktor makanan dapat menjadi penyebab potensial dari gejala

    dispepsia fungsional. Pasien dengan dispepsia fungsional cenderung

    mengubah pola makan karena adanya intoleransi terhadap beberapa

    makanan khususnya makanan berlemak yang telah dikaitkan dengan

    dispepsia. Intoleransi lainnya dengan prevalensi yang dilaporkan lebih

    besar dari 40% termasuk rempah-rempah, alkohol, makanan pedas,

    coklat, paprika, buah jeruk, dan ikan (Chan & Burakoff, 2010).

    i) Faktor psikologis

    Berdasarkan studi epidemiologi menduga bahwa ada hubungan

    antara dispepsia fungsional dengan gangguan psikologis. Adanya stres

    akut dapat mempengaruhi fungsi gastrointestinal dan mencetusakan

    keluhan pada orang sehat. Dilaporkan adanya penurunan kontraktilitas

    lambung yang mendahului mual setelah stimulus stres sentral. Tetapi

    korelasi antara faktor psikologik stres kehidupan, fungsi otonom dan

    motilitas masih kontroversial (Djojoningrat, 2009).

    2.1.7. Diagnosis

    Keluhan utama yang menjadi kunci untuk mendiagnosis dispepsia

    adalah adanya nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas.

    Apabila kelainan organik ditemukan, dipikirkan kemungkinan diagnosis

    banding dispepsia organik, sedangkan bila tidak ditemukan kelainan

    organik apa pun, dipikirkan kecurigaan kearah dispepsia fungsional.

  • 21

    Penting diingat bahwa dispepsia fungsional merupakan diagnosis by

    exclusion, sehingga idealnya terlebih dahulu harus benar-benar

    dipastikan tidak ada kelainan yang bersifat organik (Montalto M, dkk

    2004).

    Dispepsia fungsional mengacu kepada kriteria Roma III. Kriteria

    Roma III belum divalidasi di Indonesia. Konsensus Asia-Pasifik (2012)

    memutuskan untuk mengikuti konsep dari kriteria diagnosis Roma III

    dengan penambahan gejala berupa kembung pada abdomen bagian atas

    yang umum ditemui sebagai gejala dispepsia fungsional (Miwa H, dkk

    2012).

    Dispepsia menurut kriteria Roma III adalah suatu penyakit dengan

    satu atau lebih gejala yang berhubungan dengan gangguan di

    gastroduodenal:

    Nyeri epigastrium

    Rasa terbakar di epigastrium

    Rasa penuh atau tidak nyaman setelah makan

    Rasa cepat kenyang

    Gejala yang dirasakan harus berlangsung setidaknya selama tiga

    bulan terakhir dengan awitan gejala enam bulan sebelum diagnosis

    ditegakkan. Kriteria Roma III membagi dispepsia fungsional menjadi 2

    subgrup, yakni epigastric pain syndrome dan postprandial distress

    syndrome. Akan tetapi, bukti terkini menunjukkan bahwa terdapat

  • 22

    tumpang tindih diagnosis dalam dua pertiga pasien dispepsia (Ford AC,

    dkk 2013).

    Diagnosis dispepsia dapat bertumpang tindih dengan IBS. Pasien

    IBS, khususnya dengan predominan konstipasi, mengalami

    keterlambatan pengosongan lambung sehingga akhirnya disertai pula

    dengan gejala-gejala saluran pencernaan bagian atas yang menyerupai

    gejala dispepsia. Sebaliknya, pada pasien dispepsia, sering kali juga

    disertai dengan gejala-gejala saluran pencernaan bawah yang

    menyerupai IBS. Untuk membedakannya, beberapa ahli mengemukakan

    sebuah cara, yakni dengan meminta pasien menunjuk lokasi di perut

    yang terasa paling nyeri; dengan lokalisasi ini, kedua entitas tersebut

    dapat didiferensiasi (Kaji, dkk 2010).

    Quigley dkk (2008), Mengemukakan sebuah pendekatan baru,

    yaitu dengan menyatakan IBS dan dispepsia fungsional sebagai bagian

    dari spektrum penyakit fungsional saluran cerna.

    Esofagogastroduodenoskopi dapat dilakukan bila sulit

    membedakan antara dispepsia fungsional dan organik, terutama bila

    gejala yang timbul tidak khas, dan menjadi indikasi mutlak bila pasien

    berusia lebih dari 55 tahun dan didapatkan tanda-tanda bahaya (Tack J,

    dkk 2004).

    Evaluasi tanda bahaya harus selalu menjadi bagian dari evaluasi

    pasien-pasien yang datang dengan keluhan dispepsia. Tanda bahaya pada

    dispepsia yaitu:

  • 23

    Penurunan berat badan (unintended)

    Disfagia progresif

    Muntah rekuren atau persisten

    Perdarahan saluran cerna

    Anemia

    Demam

    Massa daerah abdomen bagian atas

    Riwayat keluarga kanker lambung

    Dispepsia awitan baru pada pasien di atas 45 tahun Pasien-pasien

    dengan keluhan seperti di atas harus dilakukan investigasi terlebih

    dahulu dengan endoskopi (Miwa H, dkk 2012).

    2.2. Pola makan

    Menurut Suhardjo (2003) berpendapat bahwa pola makan dapat

    didefinisikan sebagai cara seseorang atau sekelompok orang dalam memilih

    makanan dan mengonsumsi sebagai tanggapan pengaruh psikologi, fisiologi,

    budaya, dan sosial.

    2.2.1. Pola Makan Keluarga

    Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pola makan. Salah satu

    faktor yang dapat membentuk pola perilaku makan pada mahasiswa

    adalah peran serta orang tua. Orang tua menjadi penjaga pintu

    (gatekeeper) dimana memiliki peran dalam mengatur pola makan

    mahasiswa. Hal ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang tinggal

  • 24

    bersama dengan orang tuanya akan lebih teratur dalam pola makan

    dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak tinggal bersama dengan

    orang tuanya (Robert, 2000).

    Karyadi (1996) berpendapat bahwa keluarga mempunyai peran

    dan pengaruh yang besar terhadap anak. Dalam hal ini orang tua

    mempunyai pengaruh yang kuat dalam hal makan. Hubungan sosial

    yang dekat yang berlangsung lama antara anggota keluarga

    memungkinkan bagi anggotanya mengenal jenis makanan yang sama

    dengan keluarga. Berdasarkan pendapat para ahli bahwa faktor orang

    tua berperan besar terhadap keteraturan pola makan termasuk

    mahasiswa.

    2.2.2. Pola Makan Sehat

    Makanan yang sehat adalah tiga kali makan dalam sehari (makan

    pagi, makan siang dan makan malam) lebih baik daripada makan satu

    kali atau dua kali dalam sehari dengan porsi besar. Kebiasaan dalam

    meninggalkan sarapan pagi dan makan pagi tergesa merupakan hal yang

    tidak boleh dilakukan karena proses metabolisme tubuh akan terganggu

    (Wirakusumah, 2001). Pola makan yang tidak teratur seperti

    meninggalkan sarapan pagi karena kegiatan aktivitas yang padat dapat

    menyebabkan sindrom dispepsia (Reshetnikov, 2007)

  • 25

    2.3. Makanan dan Minuman Iritatif

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Susanti (2011) pada mahasiswa

    IPB, terdapat perbedaan antara kelompok kasus dan control dalam

    mengonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, kebiasaan minum

    teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Kebiasaan mengonsumsi makanan dan

    minuman tersebut dapat meningkatkan resiko munculnya gejala dispepsia pada

    mahasiswa tersebut. Jenis makanan yang dikonsumsi hendaknya mempunyai

    proporsi yang seimbang antara karbohidrat (55-65 %), protein (10-15 %) dan

    lemak (25-35 %) (Dewi, 2011).

    Makanan yang sehat adalah makanan yang didalamnya terkandung zat-

    zat gizi, seperti karbohidrat, protein dan lemak ditambah dengan vitamin dan

    mineral (Hardani, 2002). Kembung merupakan salah satu gejala dari sindroma

    dispepsia. Perut kembung dapat disebabkan oleh masuk angin (aerophagia) atau

    karena usus membuat banyak gas. Makan terburu-buru menyebabkan produksi

    gas usus lebih banyak dari biasanya. Jenis makanan/minuman tertentu seperti

    minuman bersoda, durian, sawi, nangka, kubis dan makanan sumber

    karbohidrat seperti beras ketan, mie, singkong, dan talas dapat menyebabkan

    perut kembung (Salma, 2011).

    Makanan yang sangat manis seperti kue tart dan makanan berlemak

    seperti keju, gorengan merupakan makanan yang lama di cerna/sulit dicerna

    menyebabkan hipersekresi cairan lambung yang dapat membuat nyeri pada

    lambung (Salma, 2011).

  • 26

    Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh

    organisme patogen yang tertelan bersama makanan. Namun, bila barrier

    lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di lambung akan

    memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004).

    Faktor yang memicu produksi asam lambung berlebihan, diantaranya

    beberapa zat kimia, seperti alkohol, umumnya obat penahan nyeri, asam cuka.

    Makanan dan minuman yang bersifat asam, makanan yang pedas serta bumbu

    yang merangsang, misalnya jahe, merica (Warianto, 2011).

    2.4. Hubungan pola makan (keteraturan makan dan mengonsumsi makanan

    dan minuma iritatif) dengan sindrom dispepsia

    Ketidakteraturan makan seperti kebiasaan makan buruk, tergesa-gesa,

    dan jadwal yang tidak teratur dapat menyebabkan dispepsia (Eschleman 1984

    dalam Firman 2009). Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal

    yang dilakukan oleh Reshetnikov (2007) kepada 1562 orang dewasa, jeda

    jadwal makan yang lama, dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala

    dispepsia (Firman, 2009).

    Mendukung hasil penelitian diatas, berdasarkan penelitian yang

    dilakukan oleh Ervianti (2008) pada 48 orang subjek tentang faktor yang

    berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia, didapatkan salah satu faktor

    yang berhubungan dengan kejadian sindrom dispepsia adalah keteraturan

    makan.

  • 27

    Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam

    lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu

    makan sehingga produksi asam lambung terkontrol. Kebiasaan makan teratur

    akan membuat lambung sulit untuk beradaptasi. Jika hal ini berlangsung lama,

    produksi asam lambung akan berlebihan sehingga dapat mengiritasi dinding

    mukosa pada lambung sehingga timbul gastritis dan dapat berlanjut menjadi

    tukak peptik. Hal tersebut dapat menyebabkan rasa perih dan mual. Gejala

    tersebut bias naik ke korongkongan yang menimbulkan rasa panas terbakar

    (Nadesul 2005 dalam Firman 2009). Jarang sarapan di pagi hari beresiko

    terkena kejadian dispepsia. Pada pagi hari tubuh memerlukan banyak kalori.

    Apabila tidak makan dapat menimbulkan produksi asam lambung (Harahap,

    2009).

    Fungsi dari cairan asam lambung adalah untuk mencerna makanan yang

    masuk ke lambung dan merubah makanan tersebut menjadi massa kental

    (khimus); membantu proses pencernaan makanan yang telah di mulai dari

    mulut. Cairan asam lambung merupakan cairan yang bersifat iritatif dan asam

    (Ganong, 2008).

    Suasana yang sangat asam di dalam lambung dapat membunuh

    organisme patogen yang tertelan atau masuk bersama dengan makanan.

    Namun, bila barier lambung telah rusak, maka suasana yang sangat asam di

    lambung akan memperberat iritasi pada dinding lambung (Herman, 2004).

    Selain faktor asam, efek proteolitik pepsin sesuai dengan sifat korosif

    asam lambung yang disekresikan merupakan komponen integral yang

  • 28

    menyebabkan cedera jaringan. Kebanyakan agen yang merangsang sekresi

    asam lambung juga meningkatkan sekresi pepsinogen. Walaupun sekresi asam

    lambung dihambat, sekretin tetap merangsang sekresi pepsinogen (McGuigan,

    2012).

    Pengaturan asam lambung diantaranya dipengaruhi oleh otak (fase

    sefalik), fase sekresi, dan fase intestinal. Fase sefalik ini dimulai sebelum

    adanya makanan dalam mulut bahkan dari proses melihat, mencium,

    memikirkan atau mengecap makanan dapat merangsang sekresi lambung secara

    refleks. Fase sefalik ini diperantarai seluruhnya oleh nervus vagal (Ganong,

    2008).

    Selain pengaruh sefalik, sekresi asam lambung interdigestif atau basal

    dapat dipertimbangkan untuk menjadi tahapan sekresi. Tahap ini tidak

    berhubungan dengan makan, mencapai puncaknya sekitar tengah malam dan

    titik terendahnya kira-kira pukul 7 pagi (McGuigan, 2012).

    Apabila terjadi peningkatan sekresi asam yang berlebihan dimana sifat

    korosif dan efek proteolitik pepsin lebih banyak daripada efek protektif

    pertahanan mukosa maka akan dapat mengiritasi mukosa lambung (McGuigan,

    2012). Produksi asam lambung berlangsung terus-menerus sepanjang hari.

    Tidak adanya konsumsi makanan yang masuk akan mengganggu proses

    pencernaan (Ganong, 2008). Hal ini terjadi pada sebagian besar mahasiswa

    yang diteliti oleh Khotimah (2012) dalam penelitian tentang analisis faktor-

    faktor yang mempengaruhi dispepsia memiliki pola makan yang tidak teratur.

  • 29

    Mahasiswa yang memiliki aktivitas dan jadwal pekuliahan yang sangat

    padat akan mempengaruhi perilaku hidup sehatnya terutama pada pola makan

    mahasiswa. Aktivitas yang padat tersebut dapat membuat seorang mahasiswa

    tersebut mengulur waktu makan bahkan lupa untuk makan (Arisman, 2008).

    Jenis-jenis makanan juga dapat mengakibatkan timbulnya dispepsia.

    Beberapa jenis makanan tersebut adalah makanan yang berminyak dan

    berlemak. Makanan ini berada di lambung lebih lama dari jenis makanan

    lainnya. Makanan tersebut lambat dicerna dan menimbulkan peningkatan

    tekanan di lambung. Proses pencernaan ini membuat katup antara lambung

    dengan kerongkongan (lower esophageal sphincter/LES) melemah sehingga

    asam lambung dan gas akan naik ke kerongkongan (Firman, 2009).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan Susanti (2011) pada mahasiswa

    Institut Pertanian Bogor, terdapat perbedaan antara kelompok kasus dan kontrol

    dalam mengonsumsi makanan pedas, makanan atau minuman asam, kebiasaan

    minum teh, kopi, dan minuman berkarbonasi. Kebiasaan mengonsumsi

    makanan dan minuman tersebut dapat meningkatkan resiko munculnya gejala

    dispepsia pada mahasiswa tersebut.

    2.5. Hubungan jenis kelamin dengan sindrom dispepsia

    Kejadian dispepsia lebih banyak diderita perempuan daripada laki-laki.

    Perbandingan insidennya 2 : 1 (Harahap, 2007). Penelitian yang dilakukan

    Tarigan di RSUP. Adam Malik tahun 2001, diperoleh penderita dispepsia

  • 30

    fungsional laki-laki sebanyak 9 orang (40,9 %) dan perempuan sebanyak 13

    orang (59,1 %).

    Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 449 siswa usia 14-17

    tahun, perempuan lebih banyak menderita dispepsia dibandingkan dengan laki-

    laki, yaitu 27% dan 16% (Reshetnikov, 2007).

    Penelitian yang dilakukan oleh Li (2014) tentang prevalensi dan

    karakteristik dispepsia pada mahasiswa di Provinsi Zhejiang, China

    berdasarkan kriteria diagnosis dispepsia bahwa sindrom dispepsia lebih besar

    terjadi pada perempuan yaitu 7,53% daripada laki-laki yaitu 4,14%.

    2.6. Hubungan tempat tinggal dengan sindrom dispepsia

    Dispesia sering ditemui pada lingkungan yang padat penduduk dengan

    sosial ekonomi rendah. Penyakit ini sering terjadi pada Negara berkembang,

    dengan perkiraan sebanyak 10% usia 8-12 tahun terinfeksi setiap tahunnya.

    Sedangkan pada Negara maju, hanya kurang dari 1% yang terkena dispesia.

    Salah satu faktor yang dapat membentuk pola makan mahasiswa adalah

    peran serta orang tua dengan pengawasan yang baik. Orang tua menjadi penjaga

    pintu (gatekeeper) dimana memiliki peran dalam mengatur pola makan

    mahasiswa (Robert, 2000). Hal ini menggambarkan bahwa mahasiswa yang

    tinggal bersama orang tuanya akan lebih teratur dalam hal pola makan

    dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya.

  • 31

    BAB 3

    KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

    3.1. Kerangka Konsep

    Berdasarkan tujuan penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya,

    maka kerangka konsep dalam penelitian ini :

    Pola makan

    1. Keteraturan makan

    2. Jenis makanan dan minuman iritatif

    Karakteristik individu

    1. Jenis kelamin

    2. Tempat tinggal

    Sindrom Dispepsia

    Variabel Dependen

    Variabel Independen

    Gambar 3.1. kerangka konsep

  • 32

    3.2. Definisi Operasional

    Tabel 3.1. Definisi Operasional

    Variabel Definisi Alat ukur Hasil ukur Skala

    Variabel Bebas

    1. Pola makan Struktur (waktu) yang

    tetap dalam hal makan

    (Kamus Besar Bahasa

    Indonesia, 2008)

    kuesioner 1. Teratur

    (0-16)

    2. Tidak teratur

    (17-33)

    Nominal

    2. Makanan dan

    Minuman

    Iritatif

    Jenis makanan dan

    minuman yang dapat

    mengiritasi lambung.

    kuesioner 1. Tidak iritatif

    (0-11)

    2. Iritatif

    (12-24)

    Nominal

    3. Jenis Kelamin Karakteristik biologis

    responden dari lahir

    yang bersifat

    permanen

    kuesioner 1. Perempuan

    (1)

    2. Laki-laki (0)

    Nominal

    4. Tempat

    tinggal

    Tempat menetap

    responden selama

    kuliah.

    kuesioner 1. Tidak tinggal

    bersama

    dengan orang

    tua/indekos

    Nominal

  • 33

    2. Tinggal

    bersama

    dengan

    orang tua

    Variabel Terikat

    1. Sindrom

    dispepsia

    Dispepsia menurut

    kriteria Roma III

    adalah suatu penyakit

    dengan satu atau

    lebih gejala yang

    berhubungan dengan

    gangguan di

    gastroduodenal

    seperti, nyeri

    epigastrium, rasa

    terbakar di

    epigastrium, rasa

    penuh atau tidak

    nyaman setelah

    makan, dan rasa cepat

    kenyang. Gejala yang

    dirasakan harus

    kuesioner Penilaian

    sindroma

    dispepsia positif

    (+) apabila

    terdapatnya

    jawaban (ya)

    pada 1 atau lebih

    pertanyaan 1-4

    ataupun 2 atau

    lebih dari seluruh

    pertanyaan dan

    negatif (-)

    apabila

    terdapatnya

    jawaban (tidak)

    pada seluruh

    pertanyaan

    Nominal

  • 34

    a. Hipotesis Penelitian

    i. Hipotesis Nol (H0)

    1. Tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian

    sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    2. Tidak terdapat hubungan antara tempat tinggal terhadap kejadian

    sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    3. Tidak terdapat hubungan antara keteraturan makan terhadap

    kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    4. Tidak terdapat hubungan antara makanan dan minuman iritatif

    terhadap kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    berlangsung

    setidaknya selama

    tiga bulan terakhir

    dengan awitan gejala

    enam bulan sebelum

    diagnosis ditegakkan.

    (Ford AC, dkk 2013)

    (Djojoningrat,

    2009)

  • 35

    ii. Hipotesis Alternatif (Ha)

    1. Terdapat hubungan antara jenis kelamin terhadap kejadian sindrom

    dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    2. Terdapat hubungan antara tempat tinggal terhadap kejadian sindrom

    dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    3. Terdapat hubungan antara keteraturan makan terhadap kejadian

    sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan 2016.

    4. Terdapat hubungan antara mengonsumsi makanan dan minuman

    iritatif terhadap kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Angkatan 2015 dan

    2016.

  • 36

    BAB 4

    METODE PENELITIAN

    4.1. Desain Penelitian

    Penelitian ini merupakan studi analitik (kuantitatif) dengan desain studi

    cross sectional yaitu penelitian non eksperimental dengan menggunakan data

    primer yang diteliti dalam satu waktu yang bersamaan. Dalam penelitian ini,

    peneliti ingin mengetahui pengaruh pola makan dan karakteristik individu

    dengan kejadian sindrom dispepsia pada Mahasiswa angkatan 2015 dan 2016

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin. Oleh karena itu peneliti memilih

    desain studi cross sectional sebagai desain studi yang paling tepat digunakan

    dalam penelitian ini.

    4.2. Tempat dan Waktu Penelitian

    4.2.1. Tempat Penelitian

    Penelitian ini dilakukan di Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin,

    Makassar, Sulawesi Selatan.

    4.2.2. Waktu Penelitian

    Penelitian ini dilakukan pada bulan September sampai November 2017.

  • 37

    4.3. Populasi dan Sampel Penelitian

    4.3.1. Populasi penelitian

    Populasi penelitian adalah Mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin. Jumlah populasi yang menjadi

    objek penelitian dalam skripsi ini adalah 627 mahasiswa.

    4.3.2. Sampel penelitian

    Sampel dalam penelitian ini adalah subyek yang diambil dari populasi

    yang memenuhi kriteria penelitian dan secara tertulis telah menyatakan

    bersedia ikut serta dalam penelitian dan telah menandatangani lembar

    persetujuan atau informed consent.

    4.3.3. Cara pengambilan sampel

    Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan metode total

    sampling yaitu semua populasi yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan

    sebagai sampel.

    4.4. Variabel Penelitian

    4.4.1. Variabel terikat

    Sindrom Dispepsia.

    4.4.2. Variabel bebas

    Pola makan (keteraturan makan dan mengonsumsi makanan dan

    minuman iritatif) dan karakteristik individu (jenis kelamin dan tempat

    tinggal).

  • 38

    4.5. Kriteria Inklusi dan Ekslusi

    4.5.1. Faktor inklusi

    1. Mahasiswa Fakultas Kedokteran Angkatan 2015 dan 2016

    Universitas Hasanuddin yang telah memiliki masa studi minimal 3

    bulan pada saat pengambilan data.

    2. Sindrom dispepsia terjadi selama 3 bulan dalam waktu 6 bulan

    terakhir sebelum diagnosis ditegakkan (Djojoningrat, 2009).

    3. Telah menandatangani lembar persetujuan penelitian.

    4.5.2. Faktor Ekslusi

    1. Pernah didiagnosis kelainan gastrointestinal.

    2. Alarm symptoms (umur > 45 tahun, perdarahan dari rektal dan

    melena, penurunan berat badan > 10%, anoreksia, muntah yang

    persisten, anemia, massa di abdomen atau limfadenopati, disfagia

    yang progresif atau odinofagia, riwayat keluarga keganasan saluran

    cerna bagian atas, riwayat keganasan atau operasi saluran cerna

    sebelumnya, riwayat ulkus peptikum, kuning/jaundice).

    4.6. Jenis Data dan Instrumen Penelitian

    4.6.1. Jenis Data

    Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer yang diperoleh melalui

    kuesioner penelitian.

  • 39

    4.6.2. Instrumen Penelitian

    Alat pengumpul data dan istrumen penelitian yang dipergunakan dalam

    penelitian ini yaitu menggunakan kuesioner.

    4.7. Manajemen Penelitian

    4.7.1. Pengumpulan Data

    Data yang dikumpulkan pada peneliti ini yaitu data primer. Data primer

    pada penelitian ini adalah data yang diperoleh langsung dari sumber data,

    yaitu dengan pengisian kuesioner oleh responden yang dilakukan secara

    langsung oleh peneliti terhadap sampel penelitian. Kuesioner tersebut

    terdiri dari kuesioner identitas responden (jenis kelamin mahasiswa dan

    tempat tinggal mahasiswa), kuesioner pola makan, dan kuesioner

    sindrom dispepsia. Kuesioner dispepsia merupakan kuesioner yang

    sudah baku sedangkan kuesioner pola makan mengadopsi dari kuesioner

    yang sudah valid dan reliable yang telah dilakukan pada penelitian

    sebelumnya.

    a) Pola makan

    Kuesioner ini terdapat 11 pertanyaan dimana 10 pertanyaan (1-10)

    adalah pertanyaan positif dan 1 pertanyaan negatif yaitu pertanyaan

    nomor 11. Kuesioner ini menggunakan skala likert dengan pilihan

    jawaban (a), (b), (c) atau (d). Nilai tertinggi untuk tiap pertanyaan

    adalah 3 dan nilai terendah adalah 0. Dikatakan pola makan teratur

    apabila jumlah skor 0-16 dan tidak teratur apabila jumlah skor 17-33.

  • 40

    b) Kuesioner makanan dan minuman iritatif

    Kuesioner ini terdapat 8 pertanyaan yang semuanya merupakan

    pertanyaan negatif. Kuesioner ini menggunakan skala likert dengan

    pilihan jawaban (a), (b), (c), atau (d). Dengan skor tertinggi untuk

    tiap pertanyaan adalah 3 dan skor terendah adalah 0. Dikatakan

    konsumsi jenis makanan dan minuman tidak iritatif apabila jumlah

    skor 0-11 dan iritatif apabila jumlah skor 12-24.

    c) Jenis Kelamin

    Data jenis kelamin didapatkan dari 1 pertanyaan kuesioner. Jika

    responden memiliki jenis kelamin laki-laki maka akan diberikan

    kode 0, sedangkan responden dengan jenis kelamin perempuan maka

    akan diberikan kode 1.

    d) Tempat Tinggal

    Data tempat tinggal responden dalam waktu 3 bulan terakhir

    didapatkan dari 1 pertanyaan kuesioner. Responden dengan tempat

    tinggal di rumah akan diberikan kode 0, sedangkan respon dengan

    tempat tinggal kost/asrama (tidak bersama orang tua) akan diberikan

    kode 1.

    e) Sindrom Dispepsia

    Kuesioner sindroma dispepsia dibuatkan berdasarkan Rome Criteria

    III yang terdiri dari 7 pertanyaan dengan pilihan jawaban ya atau

    tidak. Penilaian sindroma dispepsia positif (+) apabila terdapatnya

    jawaban (ya) pada 1 atau lebih pertanyaan 1-4 ataupun 2 atau lebih

  • 41

    dari seluruh pertanyaan dan negatif (-) apabila terdapatnya jawaban

    (tidak) pada seluruh pertanyaan.

    4.7.2. Teknik Pengolahan dan Analisa Data

    Pengolahan data dilakukan setelah semua data terkumpul dengan melalui

    beberapa tahap, yaitu editing untuk memeriksakan data responden dan

    memastikan bahwa semua jawaban telah diisi, kemudian data yang

    sesuai diberi kode untuk memudahkan melakukan tabulasi dan analisa

    data, selanjutnya memasukkan (entry) data ke komputer dan dilakukan

    pengolahan data dengan mengunakan teknik komputerisasi yaitu dalam

    Microsoft Excel dan SPSS. Analisis data yang digunakan adalah analisis

    univariat dan analisis bivariat.

    a) Analisis univariat

    Analisis univariat bertujuan untuk mendeskripsikan karakteristik

    dari masing-masing variabel penelitian. Data tersebut meliputi

    karakteristik mahasiswa yang diteliti (jenis kelamin mahasiswa dan

    tempat tinggal mahasiswa saat ini) dan pola makan dari mahasiswa

    yang akan diteliti. Data-data tersebut akan dijelaskan dengan nilai

    jumlah dan persentase masing-masing variabel dengan

    menggunakan tabel dan diinterpretasikan berdasarkan hasil yang

    diperoleh.

  • 42

    b) Analisis bivariat

    Analisis bivariat digunakan untuk membuktikan hipotesis dari

    penelitian, yaitu apakah terdapat hubungan antara pola makan, jenis

    kelamin, dan tempat tinggal terhadap sindroma dispepsia pada

    mahasiswa Fakultas Kedokteran angkatan 2015 dan 2016

    Universitas Hasanuddin. Data dianalisis menggunakan metode Chi-

    square. Untuk interpretasi hasil menggunakan derajat kemaknaan α

    (P alpha) sebesar 5% dengan catatan jika p 0,05 maka H0 diterima (tidak ada

    hubungan antara variabel bebas dengan terikat).

    Chi-square: menguji apakah ada hubungan antara baris dengan

    kolom pada sebuah tabel kontigensi. Data yang digunakan

    merupakan data kualitatif.

    Rumus Chi-square:

    X2= ⅀ (O-E)2

    E

    O= skor yang diobservasi (Observed)

    E= Skor yang diharapkan (Expected)

  • 43

    4.7.3. Penyajian Data

    Seluruh data yang diperoleh Data diolah melalui program SPSS dan

    Microsoft Excel. Hasil analisis disajikan dalam bentuk narasi yang

    diperjelas dengan tabel, diagram atau grafik.

    4.8. Etika Penelitian

    Hal-hal yang terkait dengan etika dalam penelitian ini adalah:

    1. Menyertakan surat pengantar yang ditujukan kepada pihak terkait sebagai

    permohonan izin untuk melakukan penelitian.

    2. Menjaga kerahasiaan identitas pasien sehingga diharapkan tidak ada pihak

    yang merasa dirugikan atas penelitian yang dilakukan.

    3. Diharapkan penelitian ini dapat memberi manfaat kepada semua pihak

    yang terkait sesuai dengan manfaat penelitian yang telah disebutkan

    sebelumnya.

  • 44

    BAB 5

    HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS HASIL PENELITIAN

    Data diperoleh dari hasil pengumpulan data berupa data primer (pengisian

    kuesioner) terhadap mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin. Pengumpulan data dilakukan dalam waktu 1 bulan dengan

    jumlah responden yang diperoleh sebesar 612 orang yang memenuhi kriteria inklusi.

    Data yang diperoleh diolah menggunakan Microsoft Excel dan SPSS. Penyajian data

    penelitian ini meliputi hasil analisis univariat dan bivariat. Hasil analisis univariat

    adalah deskripsi karakteristik responden (jenis kelamin dan tempat tinggal), deskripsi

    keteraturan makan, deskripsi makanan dan minuman iritatif, dan deskripsi sindrom

    dispepsia. Hasil analisis bivariat adalah data dianalisis menggunakan metode Chi-

    square, yaitu metode statistik yang digunakan untuk melihat kemaknaan dan hubungan

    antara masing-masing variabel (karakteristik individu dan pola makan terhadap

    kejadian sindrom dispepsia terhadap mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin).

    Tabel 5.1 : Distribusi responden angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin (n = 612)

    Responden Jumlah Persentase

    Angkatan 2015 298 48,7%

    Angkatan 2016 314 51,3%

    Total 612 100%

    Sumber : Data primer

  • 45

    5.1. Analisis Univariat

    5.1.1. Karakteristik Individu

    a. Jenis Kelamin

    Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 612 responden, jenis kelamin

    terbanyak, baik dari angkatan 2015 maupun 2016 adalah perempuan dengan

    total sebanyak 425 orang (69,4%), sedangkan laki-laki hanya berjumlah 187

    orang (30,6%).(Tabel 5.2.)

    Tabel 5.2 : Distribusi responden menurut jenis kelamin mahasiswa

    angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin (n = 612)

    b. Tempat Tinggal

    Distribusi responden menurut tempat tinggal (tabel 5.3.) memperlihatkan

    bahwa jumlah responden yang tidak tinggal bersama orang tua lebih banyak

    (392 orang; 64,1%) dibandingkan dengan yang tinggal bersama orang tua (220

    orang; 35,9%).

    Jenis Kelamin Jumlah (%) Total

    (%) Angkatan 2015 Angkatan 2016

    Laki-laki 101

    (33.9%)

    86

    (27,4%) 187

    (30,6%)

    Perempuan 197

    (66,1%)

    228

    (72,6%) 425

    (69,4%)

    Total 298

    (100%)

    314

    (100%)

    612

    (100%)

    Sumber : Data primer

  • 46

    Tabel 5.3. : Distribusi responden menurut tempat tinggal mahasiswa

    angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin (n = 612)

    Sumber : Data Primer

    5.1.2. Pola makan

    Distribusi responden menurut keteraturan makan (tabel 5.4.)

    menunjukkan bahwa dari 612 responden, lebih banyak mahasiswa yang

    makan tidak teratur (315 orang; 51,5%). daripada yang teratur (297 orang;

    48,5%). Dikatakan pola makan teratur apabila jumlah skor yang didapatkan

    dari data kuesioner mengenai keteraturan makan adalah 0-16 dan tidak

    teratur apabila jumlah skor 17-33.

    Tabel 5.4. : Distribusi responden menurut keteraturan makan

    mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin (n = 612)

    Sumber : Data Primer

    Tempat

    Tinggal

    Jumlah (%) Total

    (%) 2015 2016

    Bersama

    Orang tua

    111

    (37,2%)

    109

    (34,7%) 220

    (35,9%)

    Tidak Bersama

    Orang tua

    187

    (62,8%)

    205

    (65,3%) 392

    (64,1%)

    Total 298

    (100%)

    314

    (100%)

    612

    (100%)

    Keteraturan

    Makan

    Jumlah (%) Total

    (%) 2015 2016

    Teratur 149

    (50,0%)

    148

    (47,1%) 297

    (48,5%)

    Tidak Teratur 149

    (50,0%)

    166

    (52,9%) 315

    (51,5%)

    Total 298

    (100%)

    314

    (100%)

    612

    (100%)

  • 47

    Distribusi responden menurut makanan dan minuman iritatif (tabel 5.5.)

    menunjukkan bahwa dari 612 responden, lebih banyak mahasiswa yang

    mengonsumsi makanan dan minuman yang tidak iritatif sebanyak 358

    orang (58,5%) daripada yang iritatif sebanyak 254 orang (41,5%)..

    Dikatakan konsumsi jenis makanan dan minuman tidak iritatif apabila pada

    data kuesioner didapatkan jumlah skor 0-11 dan iritatif apabila jumlah skor

    12-24.

    Tabel 5.5. : Distribusi responden menurut makanan dan minuman

    iritatif pada mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin (n = 612)

    5.1.3. Sindrom Dispepsia

    Penilaian sindroma dispepsia dibuat berdasarkan kriteria Roma III yang

    terdiri dari 7 pertanyaan dengan pilihan jawaban ya atau tidak. Dikatakan

    positif (+) apabila terdapatnya jawaban (ya) pada 1 atau lebih pertanyaan 1-

    4 ataupun 2 atau lebih dari seluruh pertanyaan dan negatif (-) apabila

    terdapatnya jawaban (tidak) pada seluruh pertanyaan. Hasil penelitian

    menunjukkan bahwa lebih banyak mahasiswa yang menderita sindrom

    dispepsia, baik itu dari angkatan 2015 maupun 2016 dengan total sebanyak

    Makanan dan

    Minuman Iritatif

    Jumlah (%) Total

    (%) 2015 2016

    Iritatif 127

    (42,6%)

    127

    (40,4%) 254

    (41,5%)

    Tidak Iritatif 171

    (57,4%)

    187

    (59,6%) 358

    (58,5%)

    Total 298

    (100%)

    314

    (100%)

    612

    (100%)

    Sumber : Data Primer

  • 48

    368 orang (60,1%), sedangkan yang tidak menderita sindrom dispepsia

    sebanyak 244 orang (39,9%). (Tabel 5.6)

    Tabel 5.6. : Distribusi responden menurut sindrom dispepsia pada

    mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran

    Universitas Hasanuddin (n = 612)

    5.2. Analisis Bivariat

    5.2.1. Hubungan antara Karakteristik Individu (Jenis Kelamin dan Tempat

    Tinggal) dengan Sindrom Dispepsia

    Tabel 5.7. : Distribusi responden menurut jenis kelamin dan sindrom

    dispepsia mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin (n = 612)

    Jenis

    Kelamin

    Sindrom Dispesia Total

    p value Ya Tidak

    N % n % N %

    Laki-laki 28 15% 159 85% 187 100% 0,000

    Perempuan 340 80% 85 20% 425 100%

    Total 368 60,1% 244 39,9% 612 100%

    Sumber : Data Primer

    Berdasarkan tabel 5.7. terdapat kecenderungan jumlah responden

    dengan jenis kelamin perempuan yang lebih banyak mengalami sindrom

    Sindrom

    Dispepsia

    Jumlah (%) Total

    (%) 2015 2016

    Iya 167

    (56,0%)

    201

    (64,0%) 368

    (60,1%)

    Tidak 131

    (44,0%)

    113

    (36,0%) 244

    (39,9%)

    Total 298

    (100%)

    314

    (100%)

    612

    (100%)

    Sumber : Data Primer

  • 49

    dispepsia, yaitu 340 orang (80%). Sedangkan responden dengan jenis

    kelamin laki-laki hanya berjumlah 28 orang (15%). Hasil analisa statistik

    menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan yang bermakna

    antara jenis kelamin dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)

    Tabel 5.8. : Distribusi responden menurut tempat tinggal dan sindrom

    dispepsia mahasiswa angkatan 2015 dan 2016 Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin (n = 612)

    Tempat

    tinggal

    Sindrom Dispesia Total

    p value Ya Tidak

    N % n % N %

    Bersama

    Orang tua

    42 19,1% 178 80,9% 220 100%

    0,000 Tidak

    Bersama

    Orang tua

    326 83,2% 66 16,8% 392 100%

    Total 368 60,1% 244 39,9% 612 100%

    Sumber : Data Primer

    Pada tabel 5.8. terdapat kecenderungan jumlah responden yang tidak

    tinggal dengan orang tua lebih banyak mengalami sindrom dispepsia, yaitu

    326 orang (83,2%), sedangkan responden yang tinggal bersama orang tua

    atau keluarga hanya berjumlah 42 orang (19,1%). Berdasarkan hasil analisis

    menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan yang bermakna

    antara tempat tinggal dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)

  • 50

    5.2.2. Hubungan antara Keteraturan Makan dengan Sindrom Dispepsia

    Tabel 5.9. : Distribusi responden menurut keteraturan makan dan

    sindrom dispepsia mahasiswa angkatan 2015 dan 2016

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (n = 612)

    Keteraturan

    Makan

    Sindrom Dispesia Total p value

    Ya Tidak

    n % n % N %

    Teratur 53 17,8% 244 82,2% 297 100%

    0,000 Tidak

    Teratur

    315 100% 0 0% 315 100%

    Total 368 60,1% 244 39,9% 612 100%

    Sumber : Data Primer

    Berdasarkan Tabel 5.9. terdapat kecenderungan jumlah responden

    dengan pola makan yang tidak teratur lebih banyak mengalami sindrom

    dispepsia, yaitu 315 orang (100%), sedangkan responden dengan pola

    makan teratur hanya berjumlah 53 orang (17,8%). Hasil analisa statistik

    menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan yang bermakna

    antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)

    5.2.3. Hubungan antara Makanan dan Minuman Iritatif dengan Sindrom

    Dispepsia

    Hasil penelitian (tabel 5.10.) menunjukkan bahwa terdapat

    kecenderungan jumlah responden yang mengonsumsi makanan dan

    minuman iritatif lebih banyak mengalami sindrom dispepsia sebanyak 247

    orang (97,2%), sedangkan responden yang mengonsumsi makanan tidak

    iritatif hanya berjumlah 121 orang (33,8%). Hasil analisa statistik

  • 51

    menggunakan uji korelasi Chi-Square diperoleh hubungan yang bermakna

    antara keteraturan makan dengan sindrom dispepsia. (p < 0,05)

    Tabel 5.10. : Distribusi responden menurut makanan dan minuman

    iritatif dengan sindrom dispepsia mahasiswa angkatan

    2015 dan 2016 Fakultas Kedokteran Universitas

    Hasanuddin (n = 612)

    Makanan dan

    Minuman

    Iritatif

    Sindrom Dispesia Total p value

    Ya Tidak

    n % n % N %

    Iritatif 247 97,2% 7 2,8% 254 100% 0,000

    Tidak Iritatif 121 33,8% 237 66,2% 358 100%

    Total 368 60,1% 244 39,9% 612 100%

    Sumber : Data Primer

  • 52

    BAB 6

    PEMBAHASAN

    Dari penelitian mengenai hubungan jenis kelamin dengan sindrom

    dispepsia diketahui bahwa jumlah perempuan yang mengalami sindrom

    dispepsia lebih banyak dibandingkan laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian

    yang dilakukan oleh Reshetnikov (2007). Dimana perempuan lebih banyak

    menderita dispepsia dibandingkan dengan laki-laki. Penelitian yang dilakukan

    oleh Li (2014) tentang prevalensi dan karakteristik dispepsia pada mahasiswa

    di Provinsi Zhejiang, China berdasarkan kriteria diagnosis dispepsia bahwa

    sindrom dispepsia lebih besar terjadi pada perempuan. Menurut Woodrow

    (2005) dan Prio (2009), pria lebih toleran terhadap gejala-gejala gangguan

    lambung seperti nyeri daripada wanita.

    Seperti yang dikemukakan Guyton (2015), bahwa sekresi lambung diatur

    oleh mekanisme saraf dan hormonal. Pengaturan hormon berlangsung melalui

    hormon gastrin. Hormon ini bekerja pada kelenjar gastric dan menyebakan

    aliran tambahan lambung yang sangat asam. Sekresi tersebut berlangsung

    selama beberapa jam. Hormon gastrin dipengaruhi oleh beberapa hal seperti

    adanya makanan dalam jumlah besar yang berada di lambung, juga zat

    sekretatogue seperti ektrak makan, hasil pencernaan protein, alkohol, dan

    kafein. Namun, ternyata ada hal lain yang juga mempengaruhi kerja hormon

    gastrin, yaitu jenis kelamin. Menurut Prio (2009), faktor hormonal wanita lebih

    reaktif dibanding pria.

  • 53

    Pada hasil penelitian yang diperoleh, tidak hanya responden yang berjenis

    kelamin perempuan menderita sindrom dispepsia, tetapi ada 15% responden

    laki-laki juga menderita sindrom dispepsia. Kemungkinan hal ini dapat terjadi

    karena ada faktor-faktor lain yang memicu timbulnya sindrom dispepsia.

    Faktor stress diduga sebagai salah satu penyebab lain timbulnya sindrom

    dispepsia. Stress memiliki hubungan yang bermakna dengan kejadian sindrom

    dispepsia, hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Tarigan (2003)

    bahwa pasien yang mengalami dispepsia berhubungan dengan stres yang

    dialaminya.

    Dari data kuesioner penelitian menunjukkan bahwa tidak sedikit laki-laki

    yang mengonsumsi makanan dan minuman iritatif seperti kopi dan minuman

    bersoda, hal ini diduga sebagai penyebab lain terjadinya sindrom dispepsia.

    Sherwood (2014) yang menyatakan bahwa kafein dapat merangsang sekresi

    getah lambung yang sangat asam walaupun tidak ada makanan.

    Dari hasil penelitian mengenai hubungan tempat tinggal dengan sindrom

    dispepsia diketahui bahwa terdapat kecenderungan jumlah responden yang

    tidak tinggal bersama orang tua lebih banyak mengalami sindrom dispepsia

    dibandingkan dengan responden yang tinggal bersama orang tua. Hal ini sesuai

    dengan penelitian Robert (2000), Salah satu faktor yang dapat membentuk pola

    makan mahasiswa adalah peran serta orang tua dengan pengawasan yang baik.

    Orang tua menjadi penjaga pintu (gatekeeper) dimana memiliki peran dalam

    mengatur pola makan mahasiswa. Hal ini menggambarkan bahwa mahasiswa

  • 54

    yang tinggal bersama orang tuanya akan lebih teratur dalam hal pola makan

    dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak tinggal bersama orang tuanya.

    Menurut Reuters (2012), remaja sering gagal membuat prioritas kesehatan