skripsi pendi.doc
TRANSCRIPT
1
PENGARUH TINGKAT PENDIDIKAN FORMAL DAN STATUS SOSIAL EKONOMI TERHADAP PARTISIPASI POLITIK MASYARAKAT PADA PEMILIHAN KEPALA DAERAH KOTA PARIAMAN TAHUN 2013 DI DESA BUNGO TANJUNG KECAMATAN PARIAMAN TIMUR KOTA PARIAMAN
SKRIPSI
OlehNERZ CLISH No. BP. 12345678910
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagai SyaratGuna Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Pemerintahan
JURUSAN ILMU PEMERINTAHANFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS EKASAKTIPADANG2014
ABSTRAK
2
Eka Efendi, Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal dan Status Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Pada Pemilihan Kepala Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 di Desa Bungo Tanjung Kecamatan Pariaman Timur Kota Pariaman
Partisipasi politik masyarakat adalah suatu bagian dalam proses secara langsung dalam pemilihan penguasa, dan secara tidak langsung merupakan suatu proses dalam pembentukkan kebijakan umum. Fenomena rendahnya partisipasi politik masyarakat dari setiap penyelenggaraan pemilu semakin meningkat. Pendidikan formal dan status sosial ekonomi masyarakat adalah dua faktor dari berbagai faktor rendahnya partisipasi politik masyarakat. Berdasarkan hal tersebut maka penulis tertarik untuk meneliti kenyataan ini lebih lanjut dalam sebuah penelitian.
Setelah ditetapkan judul penelitian seperti di atas, maka dapat ditetapkan berbagai persoalan yang akan diteliti yaitu : bagaimana gambaran pendidikan formal dan status sosial ekonomi masyarakat yang kemudian dilihat pengaruh kedua variabel tersebut terhadap partisipasi politik masyarakat.
Penelitian ini didesain sebagai penelitian deskriptif analisis yang bertujuan untuk mennggambarkan berbagai fenomena pada masyarakat dan menelaah hubungan fenomena tersebut terhadap suatu kejadian atau aksi.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa tingkat pendidikan masyarakat di Desa Bungo Tanjung adalah tinggi (65%) dan status sosial ekonomi masyarakatnya berada dalam kategori tidak miskin (82,5%), sedangkan sebagaian masyarakatnya ikut berpartisipasi dalam pilkada (57,5%). Dari analisa didapatkan adanya pengaruh tingkat pendidikan formal terhadap partisipasi politik masyarakat (p=0,029) begitu juga dengan status sosial ekonomi juga memberikan pengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat (p= 0.009). Kedua faktor tersebut memberikan pengaruh terhadap partisipasi politik masyarakat untuk menggunakan hak suaranya untuk memilih
Kata kunci : pendidikan, status sosial ekonomi, pemilu
KATA PENGANTARi
3
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan nikmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul “ Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal dan Status
Sosial Ekonomi Terhadap Partisipasi Politik Masyarakat Pada
Pemilihan Kepala Daerah Kota Pariaman Tahun 2013 di Desa Bungo
Tanjung Kecamatan Pariaman Timur Kota Pariaman”.
Selama proses penulisan skripsi ini penulis tidak terlepas dari
dukungan berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Andi Mustari.Pide, SH selaku rektor Universitas
Ekasakti Padang
2. Bapak Sumartono, S.Sos, Msi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial
dan Politik Universitas Ekasakti Padang dan selaku Pembimbing I
atas segala nasehat serta motivasi pada penulis.
3. Bapak Syaiful Ardi, S.Sos, M.Hum selaku Pembimbing I atas
segala nasehat serta motivasi pada penulis.
4. Seluruh dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik khususnya dan
dosen di Universitas Ekasakti Padang Khususnya yang telah
memberi begitu banyak pengetahuan yang tiada ternilai dan terukur
harganya.
5. Seluruh pegawai Sekretariat Fisipol Universitas Ekasakti Padang
yang telah membantu dalam kelanacaran penulisan skripsi ini.
ii
4
6. Bapak kepala dan Staff Kantor KPU Kota Pariaman yang telah
membatu dalam proses pengambilan data awal dan penelitian.
7. Bapak Camat Pariaman Timur dan staff yang telah banyak
membantu dalam pengambilan data dan melakukan survey awal
dan juga penelitian.
8. Bapak Kepala Desa Bunga Tanjung dan staff yang telah
memberikan kesempatan untuk melakukan penelitian di wilayah
kerjanya
9. Rekan-rekan senasib dan seperjuangan di Program Studi Strata I
jurusan Ilmu Pemerintahan.
10.Semua pihak yang mendukung, membantu, dan mendoakan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dan
kelemahan, hal ini bukanlah kesengajaan melainkan keterbatasan ilmu
dan kemampuan penulis. Untuk itu penulis mengharapkan kritikan dan
saran yang sifatnya membangun dari berbagai pihak demi kesempurnaan
skripsi ini.
Padang, Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
iii
5
HALAMAN PENGESAHAN
PENGESAHAN TIM PENGUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
ABSTRAK......................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................ ii
DAFTAR ISI....................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ............................................................. 1
I.1. Latar Belakang Masalah............................................ 1
I.2. Rumusan Masalah .................................................... 9
I.3. Tujuan Penulisan ...................................................... 9
I.4. Manfaat Penelitian .................................................... 10
I.5. Hipotesis ...................................................................
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................ 11
2.1. Partisipasi Politik ....................................................... 11
2.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Partispasi
Politik Masyarakat ..................................................... 16
2.3. Tingkat Pendidikan Formal ....................................... 24
2.4. Status Sosial Ekonomi .............................................. 30
2.5. Pemilihan Langsung Kepala Daerah ........................ 36
2.6. Parameter Pemilihan Langsung Kepala Daerah ....... 38
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ........................................... 39
3.1. Metode Yang Digunakan .......................................... 40
3.2. Populasi dan Sampel ................................................ 41
3.3. Teknik Pengumpulan Data ........................................ 43
3.4. Sumber Data ............................................................. 44
3.5. Analisa Data ............................................................. 45
3.6. Waktu dan Lokasi Penelitian ..................................... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ..................... 48
6
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ......................... 48
4.2. Pembahasan ............................................................. 51
BAB V PENUTUP ......................................................................... 70
5.1. Kesimpulan ............................................................... 70
5.2. Saran ........................................................................ 71
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Sistem demokrasi merupakan sistem yang menempatkan rakyat
sebagai objek pemerintahan, dimana rakyat memiliki pengaruh yang
sangat besar dalam suatu pemerintahan dan dilibatkan secara kolektif
dalam penentuan kebijakan di suatu negara. Demokrasi merupakan teori
sistem politik yang mengasumsikan bahwa rakyat adalah pemilik
kedaulatan atas negara, yang memerintah sekaligus yang diperintah,
melalui pemilihan pelaksana negara. Partisipasi politik merupakan salah
satu aspek penting dari demokrasi dan merupakan hal yang banyak
dipelajari terutama dalam kaitannya dengan perkembangan negara-
negara berkembang.
Secara konseptual, partisipasi politik berarti kegiatan seseorang
ataupun sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan
politik dengan jalan memilih pimpinan negara dan kebijakan pemerintah.
Rakyat yang melakukan partisipasi politik didasari asumsi bahwa
kepentingan dan kebutuhannya akan tersalurkan atau setidaknya dapat
diperhatikan.
Dewasa ini, partispasi politik hanya diartikan sebatas pemberian
suara pada pemilu, namun sebenarnya bentuk dari partisipasi politik
sangatlah beragam dan dapat diwujudkan melalui diskusi politik,
1
2
kampanye, ikut serta dalam partai politik, protes, demonstrasi, bahkan
tindak kekerasan yang ditujukan kepada pemerintah dalam penyampaian
aspirasi. Pemberian suara dalam pemilihan umum merupakan partisipasi
politik aktif yang paling banyak dilakukan warga negara. Dalam suatu
negara yang menganut paham demokrasi, rakyat adalah pemegang
kedaulatan tertinggi dimana rakyat mempunyai hak untuk ikut serta dalam
proses pemerintahan dan berhak menentukan siapa saja yang akan
menjadi pemimpin yang nantinya akan menentukan kebijakan umum.
Keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan diwujudkan melalui
adanya penyelenggaraan pemilihan umum. Pemilihan umum merupakan
sarana bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasi dalam menentukan wakil-
wakilnya baik yang akan duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Perwujudan pemilu juga sebagai sarana bagi rakyat untuk ikut serta
berpartisipasi dalam kegiatan politik.
Merujuk pemikiran politik tersebut dalam konteks sejarah
penyelenggaraan pemilihan umum sebagai pesta demokrasi, secara
empirik dapat dicermati tingkat partisipasi politik dan perkembangan
golput di Indonesia. Salah satu yang terjadi dari Pemilihan Umum hingga
saat ini adalah tingginya angka pemilih yang tidak ikut dalam pemilihan.
Tingkat partisipasi politik pada Pemilu rezim Orde Lama (1955), rezim
Orde Baru (1971-1997) dan Orde Reformasi (periode awal 1999) cukup
tinggi, yaitu rata-rata diatas 90%, diiringi dengan tingkat Golput yang relatif
rendah, yaitu dibawah 10% (masih dalam batas kewajaran).
3
Tingkat partisipasi politik pemilih dalam Pemilu di Indonesia pada
Pemilu tahun 1955 mencapai 91,4 % dan jumlah Golput mencapai 8,6%,
pada Pemilu 1971 tingkat partisipasi politik pemilih 96,6% dan jumlah
Golput mencapai 3,4 %, Pemilu 1977 dan Pemilu 1982 tingkat partisipasi
politik pemilih 96,5% dan jumlah Golput mencapai 3,5%, pada Pemilu
1987 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 96,4% dan jumlah Golput
3,6%, pada Pemilu 1992 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 95,1%
dan jumlah Golput mencapai 4,9%, pada Pemilu 1997 tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 93,6% dan jumlah Golput mencapai 6,4%, pada
Pemilu 1999 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 92,6% dan jumlah
Golput 7,3%, pada Pemilu Legislatif tahun 2004 tingkat partisipasi politik
pemilih mencapai 84,1% dan jumlah Golput 15,9%, pada Pilpres putaran
pertama tingkat partisipasi politik pemilih mencapai 78,2% dan jumlah
Golput 21,8%, sedangkan pada Pilpres putaran kedua tingkat partisipasi
politik pemilih mencapai 76,6% dan jumlah Golput 23,4%. Pada Pemilu
Legislatif tahun 2009 tingkat partisipasi politik pemilih semakin menurun
yaitu hanya mencapai 70,9% dan jumlah Golput semakin meningkat yaitu
29,1% dan pada Pilpres 2009 tingkat partisipasi politik pemilih mencapai
71,7% dan jumlah Golput mencapai 28,3%.
Hingga saat ini, ada sejumlah penjelasan yang dikemukakan oleh
para pengamat atau penyelenggara pemilu tentang penyebab adanya
Golput. Pertama, administratif. Seorang pemilih tidak ikut memilih karena
terbentur dengan prosedur administrasi seperti tidak mempunyai kartu
4
pemilih, tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan sebagainya. Kedua,
teknis. Seseorang memutuskan tidak ikut memilih karena tidak ada waktu
untuk memilih seperti harus bekerja di hari pemilihan, sedang ada
keperluan, harus ke luar kota di saat hari pemilihan dan sebagainya.
Ketiga, rendahnya keterlibatan atau ketertarikan pada politik (political
engagement). Seseorang tidak memilih karena tidak merasa tertarik
dengan politik, acuh dan tidak memandang Pemilu atau Pilkada sebagai
hal yang penting. Keempat, kalkulasi rasional. Pemilih memutuskan tidak
menggunakan hak pilihnya karena secara sadar memang memutuskan
untuk tidak memilih. Pemilu legislatif dipandang tidak ada gunanya, tidak
akan membawa perubahan berarti. Atau tidak ada calon kepala daerah
yang disukai dan sebagainya.1
Seperti halnya Lipset, penulis ingin melakukan penelitian bahwa
pendidikan itu mempengaruhi partisipasi politik. Di banyak negara
pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, mungkin karena
pendidikan tinggi, bisa memberikan informasi tentang politik, bisa
mengembangkan kecakapan menganalisa dan menciptakan minat dan
kemampuan dalam berpolitik. Orang terpelajar lebih sadar akan pengaruh
pemerintah terhadap kehidupan mereka, lebih meperhatikan kehidupan
politik, memperoleh lebih banyak informasi tentang proses – proses politik
dan lebih kompeten dalam tingkah laku politiknya.2
1 Eriyanto. 2007. Golput Dalam Pilkada. Kajian Bulanan LSI Edisi 05 September 2007, dikutip dari www.lsi.co.id
2 Mohtar Mas’oed. 2001. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada Press,,2001, hal.49.
5
Berangkat dari teori di atas dan seiring dengan indikator kemajuan
dibidang pendidikan, pembangunan ekonomi, stabilitas politik, ideologi
dan keamanan, maka meningkat pula pola pikir dan taraf hidup
masyarakat disertai meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat secara
kualitas dan kuantitas. Masyarakat juga menjadi semakin kritis dalam
setiap langkah, pemikiran, ucapan, tindakan, serta memberikan
partisipasinya secara intens. Hal ini harus ditanggapi secara wajar, karena
kenyataan ini justru menunjukkan semakin tingginya kesdaran berbangsa
dan bernegara di kalangan masyarakat.
Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan dan kemampuan
masyarakat dan berimbang dengan akomodasi yang mendukung terutama
pada sarana dan prasarana serta kenyataan yang ada di dunia
komunikasi, setiap kesempatan mendatangkan peluang dan peluang
haruslah berbuah yang menguntungkan di dalam partisipasi masyarakat.
Perencanaan harus berdasarkan fakta yang baru dan aktual. Hal itu
berbentuk visi yang mengantarkan tujuan pembangunan berisikan bobot
pembinaan partisipasi politik. Sehingga aktivitas pembangunan diwarnai
dengan berbagai macam istilah politik seperti pembangunan politik,
sosialisasi politik, partisipasi politik, sistem politik, kebijakan publik, dan
pendidikan politik.
Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel
penjelasan perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda. Pada
satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat diletakkan sebagai
6
variabel independen untuk menjelaskan perilaku non-voting tersebut.
Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga dapat digunakan sebagai
indikator untuk mengukur karakteristik pemilih non-voting itu sendiri.
Setidaknya ada empat indikator yang bisa digunakan mengukur variabel
status sosial ekonomi, yaitu tingkat pendidikan, tingkat pendapatan,
pekerjaan dan pengaruh keluarga. Lazimnya, variabel status sosial-
ekonomi digunakan untuk menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan
menggunakan proporsi yang berlawanan, pada saat yang sama variabel
tersebut sebenarnya juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku
non-voting. Artinya, jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan
kehadiran memilih, itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan
dengan ketidakhadiran pemilih.
Dalam penelitian ini penulis membahas tingkat pendidikan formal
dan status sosial ekonomi masyarakat terhadap tingkat partisipasi politik
sangat memiliki hubungan erat pendidikan, artinya semakin tinggi tingkat
pendidikan seseorang itu dapat mempengaruhi tingginya tingkat
partisipasi masyarakat dibidang politik, begitu juga dengan status social
ekonomi mereka. Partisipasi berhubungan dengan kepentingan-
kepentingan masayarakat sehingga apa yang dilakukan rakyat dalam
partisipasi politiknya menunjukkan derajat kepentingan mereka.
Pada tanggal 4 September 2013, rakyat Kota Pariaman telah
melaksanakan hak konstitusinya. Pesta demokrasi pemilihan kepala
7
daerah (Pilkada) di Kota Sala Lauk, kota yang berpenduduk lebih 79 ribu
jiwa ini berjalan aman, lancar dan sukses.
Kota Pariaman memang unik, walau tak terlalu luas, hanya seluas
73,36 kilo meter persegi, namun kontestan yang ikut dalam Pilkada kali ini
7 pasang. Sesuai dengan nomor urutnya, ketujuh pasangan calon
tersebut adalah Bahrul Anif-Hasno Welly, yang disingkat dengan BAHAS
dengan nomor urut 1, pasangan Helmi Darlis - Mardison Mahyudin yang
menggunakan singkatan HELM nomor urut 2, dan Edison TRD-Yulinesra
atau ERA pada nomor urut 3. Selanjutnya pasangan Mawardi Samah-
Bahari atau MARI pada nomor urut 4, Indra Jaya Piliang- Jose Rizal (IJP-
JOSS) di nomor urut 5, Mukhlis Rahman- Genius Umar yang
menggunakan singkatan MG di nomor urut 6, serta Is Prima Nanda-Ibnu
Hajar atau Pijar di nomor urut 7.
Sebelumnya, KPU Kota Pariaman juga telah mengumumkan Daftar
Pemilih Tetap (DPT) untuk Pilkada Kota Pariaman 2013 sebanyak 62.886
jiwa, yang terdiri dari 31.204 pemilih laki-laki dan 31.682 pemilih
perempuan.
Rincian pemilih untuk setiap kecamatan adalah sebagai berikut :
Kecamatan Pariaman Utara, 7.904 (laki-laki), 8.111 (perempuan) dan total
16.015 dengan 17 PPS dan 39 TPS. Kecamatan Pariaman Tengah,
11.154 (laki-laki), 11.242 (perempuan) dan total 22.396 dengan 22 PPS
dan 50 TPS. Kecamatan Pariaman Selatan, 6.311 (laki-laki), 6.432
(perempuan) dan total 12.743 dengan 16 TPS dan 32 TPS. Kecamatan
8
Pariaman Timur, 5.835 (laki-laki), 5.897 (perempuan) dan total 11.732
dengan 16 PPS dan 29 TPS.
Rincian perolehan suara seluruh pasangan calon berdasarkan
nomor urut : 1) Bahrul Anif-Hasno Welly 2.060 (4,99%), 2) Helmi Darlis-
Mardison Mahyudin 12.857 suara (31,13%). 3) Edison TRD-Yulinesra 835
suara (2,02%), 4) Mawardi Samah-Bahari 1.394 suara (3,38%), 5) Indra
Jaya Piliang-Jose Rizal 4.464 suara (11,25%), 6) Mukhlis Rahman-Genius
Umar 15.012 suara (36, 35%) dan 7) Is Prima Nanda-Ibu Hajar 4.497
suara (10.89%). Selanjutnya, adapun jumlah suara sah 41.301 (98,6%),
suara tidak sah (1,4%), jumlah DPT tercatat 41.603 suara, dan jumlah
pemilih dari pemilih dari TPS lain 284 suara.
Partisipasi pemilih cukup tinggi yaitu sebanyak 41.887 (66,1%).
Partisipasi pemilih berdasarkan kecamatan adalah sebagai berikut : 1)
Pariaman Tengah (66,5%), Pariaman Utara (63,3%), Pariaman Selatan
(64,9%) dan Pariaman Timur yaitu (68,0%). Untuk tingkat kelurahan,
kelurahan dengan jumlah pemilih terbanyak terdapat di kelurahan Bungo
Tanjung di Kecamatan Padang Timur yaitu sebanyak 403 jumlah pemilih.
Dari fenomena jelas terlihat masih terdapat partisipasi masyarakat
yang rendah terhadap pemilukada yang diadakan di Kota Pariaman yaitu
sebanyak 33,9%. Ada banyak hal yang mempengaruhi masih adanya
partisipasi politik masyarakat yang rendah, diantaranya adalah seperti
tingkat pendidikan formal dan status sosial ekonomi mereka, berdasarkan
latar belakang di atas naka penulis menetapkan judul skripsi ini.
9
1.2. Rumusan Masalah
Melalui uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam
penelitian ini adalah “bagaimanakah pengaruh tingkat pendidikan
formal dan status sosial ekonomi terhadap partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan kepala daerah kota pariaman tahun
2013 di Desa Bungo Tanjung Kecamatan Pariaman Timur?”.
1.3. Tujuan Penulisan
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan
menganalisis faktor-faktor berikut :
1.3.1. Deskripsi pendidikan formal masyarakat Desa Bungo
Tanjung Kecamatan Pariaman Timur.
1.3.2. Deskripsi status sosial ekonomi masyarakat Desa Bungo
Tanjung Kecamatan Pariaman Timur
1.3.3. Deskripsi partisipasi politik masyarakat pada pemilihan
kepala daerah Pariaman Tahun 2013 di Desa Bugo Tanjung
Kecamatan Pariaman Timur.
1.3.4. Analisis pengaruh pendidikan formal terhadap partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah Pariaman
Tahun 2013 di Desa Bugo Tanjung Kecamatan Pariaman
Timur.
1.3.5. Analisis pengaruh staus sosial ekonomil terhadap partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah Pariaman
10
Tahun 2013 di Desa Bugo Tanjung Kecamatan Pariaman
Timur.
1.4. Manfaat Penelitian
1.4.1. Secara praktis, dapat memberikan telaah terhadap
fenomena rendahnya partisipasi politik masyarakat,
sehingga dapat memberikan kontribusi untuk memperbaiki
partisipasi politik masyarakat di masa yang akan datang.
1.4.2. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi untuk menambah khazanah keilmuan,
mengembangkan konsep maupun teori yang berhubungan
dengan partisipasi politik masyarakat. Menambah informasi
dan pengetahuan bagi masyarakat tentang partisipasi politik
masyarakat dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
1.5. Hipotesis
Dari latar belakang di atas maka hipotesis dari penelitian ini
adalah sebagai berikut :
a. Ha : Ada pengaruh pendidikan formal terhadap partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan kepala daerah Kota Pariaman
Tahun 2013 di Desa bungo Tanjung Kecamatan Pariaman
Timur.
11
b. Ha : Ada pengaruh status sosial ekonomi terhadap partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah Kota
Pariaman Tahun 2013 di Desa bungo Tanjung Kecamatan
Pariaman Timur.
c. H0 : Tidak ada pengaruh pendidikan formal terhadap partisipasi
politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah Kota
Pariaman Tahun 2013 di Desa bungo Tanjung Kecamatan
Pariaman Timur.
d. H0 : Tidak ada pengaruh status sosial ekonomi terhadap
partisipasi politik masyarakat pada pemilihan kepala daerah
Kota Pariaman Tahun 2013 di Desa bungo Tanjung
Kecamatan Pariaman Timur.
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Partisipasi Politik
Partisipasi merupakan salah satu aspek penting demokrasi.
Partisipasi merupakan taraf partisipasi politik warga masyarakat dalam
kegiatan-kegiatan politik baik yang bersifat aktif maupun pasif dan
bersifat langsung maupun yang bersifat tidak langsung guna
mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Wahyudi Kumorotomo mengatakan, “Partisipasi adalah
berbagai corak tindakan massa maupun individual yang
memperlihatkan adanya hubungan timbal balik antara pemerintah dan
warganya.”3
“Partisipasi adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan
keputusan oleh pemerintah, partisipasi bisa bersifat pribadi-pribadi
atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara
damai atau dengan kekerasan, legal atau illegal, efektif atau tidak
efektif.”
Lebih jauh dia mengingatkan bahwa secara umum corak
partisipasi warga negara dibedakan menjadi empat macam, yaitu :
pertama, partisipasi dalam pemilihan (electoral participation), kedua,
partisipasi kelompok (group participation), ketiga, kontak antara warga
3 Wahyudi Kumorotomo, Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press, 1999, hal. 112
11
13
negara dengan warga pemerintah (citizen government contacting) dan
keempat, partisipasi warga negara secara langsung.
Menurut Samuel P. Hutington dan Joan Nelson dalam No Easy
Choice : Political participation in developing : 4
Sedangkan Ramlan Surbakti mendefinisikan, partisipasi politik
adalah kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi pembuatan
dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan
pemimpin pemerintah.5
Dengan demikian, pengertian Hutington dan Nelson dibatasi
beberapa hal, yaitu : pertama, Hutington dan Nelson mengartikan
partisipasi politik hanyalah mencakup kegiatan-kegiatan dan bukan
sikap-sikap. Dalam hal ini, mereka tidak memasukkan komponen-
komponen subjektif seperti pengetahuan tentang politik, keefektifan
politik, tetapi yang lebih ditekankan adalah bagaimana berbagai sikap
dan perasaan tersebut berkaitan dengan bentuk tindakan politik.
Kedua, yang dimaksud dengan partisipasi politik adalah warga negara
biasa, bukan pejabat-pejabat pemerintah. Hal ini didasarkan pada
pejabat-pejabat yang mempunyai pekerjaan profesional di bidang itu,
padahal justru kajian ini pada warga negar biasa. Ketiga, kegiatan
politik adalah kegiatan yang dimaksud untuk mempengaruhi keputusan
pemerintah. Kegiatan yang dimaksudkan misalnya membujuk atau
4 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal. 3, dalam Miriam
Budiarjo.5 Arifin Rahmat, Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC, 1998, hal. 128
14
menekan pejabat pemerintah untuk bertindak dengan cara-cara
tertentu untuk menggagalkan keputusan, bahkan dengan cara
mengubah aspek- aspek sistem politik. Dengan itu protes-protes,
demonstrasi, kekerasan bahkan bentuk kekerasan pemberontak untuk
mempengaruhi kebijakan pemerintah dapat disebut sebagai partisipasi
politik. Keempat, partisipasi juga mencakup semua kegiatan yang
mempengaruhi pemerintah, terlepas tindakan itu efektif atau tidak,
berhasil atau gagal. Kelima, partisipasi politik dilakukan langsung atau
tidak langsung, artinya langsung oleh pelakunya sendiri tanpa
menggunakan perantara, tetapi ada pula yang tidak langsung melalui
orang-orang yang dianggap dapat menyalurkan ke pemerintah.
Perilaku politik seseorang dapat dilihat dari bentuk partisipasi
politik yang dilakukannya. Bentuk partisipasi politik dilihat dari segi
kegiatan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Partisipasi aktif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada
segi masukan dan keluaran suatu sistem politik. Misalnya,
kegiatan warga negara mengajukan usul mengenai suatu
kebijakana umum, mengajukan alternatif kebijakan umum
yang berbeda dengan kebijakan pemerintah, mengajukan
kritik dan saran perbaikan untuk meluruskan kebijaksanaan,
membayar pajak, dan ikut srta dalam kegiatan pemilihan
pimpinan pemerintahan.
15
b. Partisipasi pasif, bentuk partisipasi ini berorientasi kepada
segi keluaran suatu sistem politik. Misalnya, kegiatan
mentaati peraturan/perintah, menerima, dan melaksanakan
begitu saja setiap keputusan pemerintah.6
Selain kedua bentuk partisipasi diatas tetapi ada sekelompok
orang yang menganggap masyarakat dan sistem politik yang ada
dinilai telah menyinggung dari apa yang dicita-citakan sehingga tidak
ikut serta dalam politik. Orang-orang yang tidak ikut dalam politik
mendapat beberapa julukan, seperti apatis, sinisme, alienasi, dan
anomie.
1) Apatis (masa bodoh) dapat diartikan sebagai tidak punya
minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain,
situasi, atau gejala-gejala.
2) Sinisme menurut Agger diartikan sebagai “kecurigaan yang
busuk dari manusia”, dalam hal ini dia melihat bahwa politik
adalah urusan yang kotor, tidak dapat dipercaya, dan
menganggap partisipasi politik dalam bentuk apa pun sia-sia
dan tidak ada hasilnya.
3) Alienasi menurut Lane sebagai perasaan keterasingan
seseorang dari politik dan pemerintahan masyarakat dan
kecenderungan berpikir mengenai pemerintahan dan politik
6 Boediharjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. 1998.Hal. 24-25
16
bangsa yang dilakukan oleh orang lain untuk oranng lain
tidak adil.
4) Anomie, yang oleh Lane diungkapkan sebagai suatu
perasaan kehidupan nilai dan ketiadaan awal dengan kondisi
seorang individu mengalami perasaan ketidakefektifan dan
bahwa para penguasa bersikap tidak peduli yang
mengakibatkan devaluasi dari tujuan-tujuan dan hilangnya
urgensi untuk bertindak.7
Menurut Rosenberg ada 3 alasan mengapa orang enggan
sekali berpartisipasi politik :
Pertama bahwa individu memandang aktivitas politik merupakan
ancaman terhadap beberapa aspek kehidupannya. Ia beranggapan
bahwa mengikuti kegiatan politik dapat merusak hubungan sosial,
dengan lawannya dan dengan pekerjaannya karena kedekatannya
dengan partai-partai politik tertentu.
Kedua, bahwa konsekuensi yang ditanggung dari suatu aktivitas
politik mereka sebagai pekerjaan sia-sia. Mungkin disini individu
merasa adanya jurang pemisah antara cita-citanya dengan realitas
politik. Karena jurang pemisah begitu besarnya sehingga dianggap
tiada lagi aktifitas politik yang kiranya dapat menjembatani.
Ketiga, beranggapan bahwa memacu diri untuk tidak terlibat
atau sebagai perangsang politik adalah sebagai faktor yang sangat
penting untuk mendorong aktifitas politik. Maka dengan tidak adanya
7 Sudijono, Sastroadmojo, Perilaku Politik, IKIP Semarang Press, 1995, hal. 74
17
perangsang politik yang sedemikian, hal itu membuat atau mendorong
kearah perasaan yang semakin besar bagi dorongan apati. Disini
individu merasa bahwa kegiatan bidang politik diterima sebagai yang
bersifat pribadi sekali daripada sifat politiknya. Dan dalam hubungan
ini, individu merasa bahwa kegiatan-kegiatan politik tidak dirasakan
secara langsung menyajikan kepuasan yang relatif kecil. Dengan
demikian partisipasi politik diterima sebagai suatu hal yang sama
sekali tidak dapat dianggap sebagai suatu yang dapat memenuhi
kebutuhan pribadi dan kebutuhan material individu itu.
2.2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Partisipasi Politik Masyarakat
Faktor-faktor yang memepengaruhi partisipasi politik seseorang
adalah :
1. Kesadaran politik, yakni kesadaran akan hak dan
kewajibannya sebagai warga negara.
2. Kepercayaan politik, yaitu sikap dan kepercayaan orang
tersebut terhadap pemerintahannya.
Berdasarkan dua faktor tersebut, terdapat empat tipe partisipasi
politik yaitu8 :
1. Partisipasi politik aktif jika memiliki kesadaran dan
kepercayaan politik yang tinggi.
8 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia Widya Pustaka. Utama, 1992, Hal. 144
18
2. Partisipasi politik apatis jika memiliki kesadaran dan
kepercayaan politik yang rendah.
3. Partisipasi politik pasif jika memiliki kesadaran politik rendah,
sedangkan kepercayaan politiknya tinggi.
4. Partisipasi politik militan radikal jika memiliki kesadaran
politik tinggi, sedangkan kepercayaan politiknya rendah.
Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa
dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau
mempengaruhi kehidupannya. Semua pihak yang menjadi tujuan
utama kontestan untuk dipengaruhi dan diyakinkan agar mendukung
dan kemudian memberikan suaranya kepada kontestan yang berkaitan
pendukungan bisa diartkan bahwa itu adalah pemilih.
Perlu diketahui bahwa yang berperan melakukan kegiatan politik
itu adalah warga negara yang mempunyai jabatan dalam
pemerintahan dan warga negara yang mempunyai jabatan dalam
pemerintahan dan warga negara biasa yang tidak memiliki jabatan.
Yang berwenang membuat dan melaksanakan keputusan politik
adalah pemerintah. Namun demikian, warga masyarakat berhak
mempengaruhi proses pembuatan serta pelaksanaan keputusan
tersebut. Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik
masyarakat antara lain : 9
9 Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press 1997, Hal.16-18.
19
1. Faktor Sosial Ekonomi
Menempatkan variabel status sosial-ekonomi sebagai variabel
penjelasan perilaku non-voting selalu mengandung makna ganda.
Pada satu sisi, variabel status sosial ekonomi memang dapat
diletakkan sebagai variabel independen untuk menjelaskan perilaku
non-voting tersebut. Namun, pada sisi lain, variabel tersebut juga
dapat digunakan sebagai indikator untuk mengukur karakteristik
pemilih non-votingitu sendiri. Setidaknya ada empat indikator yang bisa
digunakan mengukur variabel status sosial ekonomi, yaitu tingkat
pendidikan, tingkat pendapatan, pekerjaan dan pengaruh keluarga.
Lazimnya, variabel status sosial ekonomi digunakan untuk
menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi
yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya
juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya,
jika tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih,
itu berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan
ketidakhadiran pemilih.
Ada beberapa alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi
berkorelasi dengan kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, yaitu :
a. Pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi
warga. Para pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga
sektor-sektor yang berkaitan langsung dengan kebijakan
pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat kehadiran dalam
20
pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada lembaga-
lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan
langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para
pegawai negeri atau pensiunan, menunjukkan tingkat
kehadiran memilih lebih tinggi dibanding dengan yang lain.
Sebab, mereka sering terkena langsung dengan kebijakan
pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan
hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan
yang sangat berkepentingan langsung dengan berbagai
kebijakan pemerintah, khususnya tentang besarnya
tunjangan pensiun kesehatan, kesejahteraan atau tunjangan-
tunjangan lainnya.
b. Tingkat pendidikan, tingkat pendidikan dapat dikatakan turut
mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat. Faktor
pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk
diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang
dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam
menganalisa teori serta mampu untuk menentukan
keputusan dalam persoalan-persoalan untuk mencapai tujuan
menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai pelaku
partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi
pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa
informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial yang
21
diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan
kemampuannya dalam berpolitik.
c. Pengaruh Keluarga, keluarga juga memberikan pengaruh
yang cukup besar pada masyarakat dalam hal tidak ikut
memilih pada Pemilu Legislatif, kuatnya pengaruh pimpinan
keluarga (ayah) dalam menentukan pilihan politik keluarga.
Secara umum apabila kepala keluarga (ayah) tidak ikut
memilih akan memberikan pengaruh kepada anggota
keluarga lainnya untuk tidak ikut memilih.
2. Faktor Psikologis
Penjelasan non-voting dari faktor psikologis pada dasarnya
dikelompokkan dalam dua kategori. Pertama, berkaitan dengan ciri-ciri
kepribadian seseorang. Kedua, berkaitan dengan orientasi kepribadian.
Penjelasan pertama melihat bahwa perilaku non-voting disebabkan oleh
kepribadian yang tidak toleran, otoriter, tak acuh, perasaan tidak aman,
perasaan khawatir, kurang mempunyai tanggung jawab secara pribadi,
dan semacamnya. Orang yang mempunyai kepribadian yang tidak toleran
atau tak acuh cenderung untuk tidak memilih. Sebab, apa yang
diperjuangkan kandidat atau partai politik tidak selalu sejalan dengan
kepentingan peroragan secara langsung, betapapun mungkin hal itu
menyangkut kepentingan umum yang lebih luas.
Dalam konteks semacam ini, para pemilih yang mempunyai
kepribadian tidak toleran atau tak acuh cenderung menarik diri dari
22
percaturan politik langsung, karena tidak berhubungan dengan
kepentingannya.
Ciri-ciri kepribadian ini umumnya diperoleh sejak lahir bahkan lebih
bersifat keturunan dan muncul secara konsisten dalam setiap perilaku.
Faktor lain yang dapat digunakan untuk menandai ciri kepribadian ini
adalah kefektifan personal (personal effectiveness), yaitu kemampuan
atau ketidakmampuan seseorang untuk memimpin lingkungan di
sekitarnya. Misalnya, seberapa jauh seseorang merasa mampu memimpin
teman- teman sepermainan, organisasi-organisasi sosial, profesi atau
okupasi di mana mereka bekerja, dan sebagainya.
Sementara itu, penjelasan kedua lebih menitikberatkan faktor
orientasi kepribadian. Penjelasan kedua ini melihat bahwa perilaku
nonvoting disebakan oleh orientasi kepribadian pemilih, yang secara
konseptual menunjukkan karakteristik apatis, anomi, dan alienasi.10
Secara teoritis, perasaan apatis sebenarnya merupakan jelmaan
atau pengembangan lebih jauh dari kepribadian otoriter, yang secara
sederhana ditandai dengan tiadanya minat terhadap persoalan-persoalan
politik. Hal ini bisa disebabkan oleh rendahnya sosialisasi atau
rangsangan (stimulus) politik, atau adanya perasaan (anggapan) bahwa
aktivitas politik tidak menyebabkan perasaan kepuasan atau hasil secara
langsung. Anomi merujuk pada perasaan tidak berguna. Mereka melihat
bahwa aktivitas politik sebagai sesuatu yang sia-sia, karena mereka
10 Arnold K. Sherman dan Aliza Kolker, The Social Bases of Politics , California : A Division of Wodsworth Inc, 1987, hal. 208-209
23
merasa tidak mungkin mampu mempengaruhi peristiwa atau
kebijaksanaan politik. Bagi para pemilih semacam ini, memilih atau tidak
memilih tidak mempunyai pengaruh apa-apa, karena keputusan-
keputusan politik seringkali berada diluar kontrol para pemilih. Sebab,
para terpilih biasanya menggunakan logika-logikanya sendiri dalam
mengambil berbagai keputusan politik, dan dalam banyak hal mereka
berada jauh di luar jangkauan para pemilih. Perasaan powerlessness
inilah yang disebut sebagai anomi. Sedangkan alienasi berada di luar
apatis dan anomi. Alienasi merupakan perasaan keterasingan secara
aktif. Seseorang merasa dirinya tidak terlibat dalam banyak urusan politik.
Pemerintah dianggap tidak mempunyai pengaruh terutama pengaruh baik
terhadap kehidupan seseorang. Bahkan pemerintah dianggap sebagai
sesuatu yang mempunyai konsekuensi jahat terhadap kehidupan
manusia. Jika perasaan alienasi ini memuncak, mungkin akan mengambil
bentuk alternatif aksi politik, seperti melalui kerusuhan, kekacauan,
demonstrasi dan semacamnya.
3. Faktor Pilihan Rasional
Faktor pilihan rasional melihat kegiatan memilih sebagai produk
kalkulasi untung dan rugi. Yang dipertimbangkan tidak hanya “ongkos”
memilih dan kemungkinan suaranya dapat mempengaruhi hasil yang
24
diharapkan, tetapi juga perbedaan dari alternatif berupa pilihan yang ada.
Pertimbangan ini digunakan pemilih dan kandidat yang hendak
mencalonkan diri untuk terpilih sebagai wakil rakyat atau pejabat
pemerintah. Bagi pemilih, pertimbangan untung dan rugi digunakan untuk
membuat keputusan tentang partai dan kandidat yang dipilih, terutama
untuk membuat keputusan apakah ikut memilih atau tidak ikut memilih.
Pada kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihan
politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Ini disebabkan oleh
ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja
mengubah preferensi pilihan politik seseorang. Hal ini berarti ada variabel-
variabel lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik
seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam
mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu,
pemilih bukan hanya pasif melainkan juga individu yang aktif. Ia tidak
terbelenggu oleh karakteristik sosiologis, melainkan bebas bertindak.
Faktor-faktor situasional, bisa berupa isu-isu politik atau kandidat yang
dicalonkan, seperti ketidakpercayaan dengan pemilihan yang bisa
membawa perubahan yang lebih baik. Atau ketidakpercayaan masalah
akan bisa diselesaikan jika pemimpin baru terpilih, dan sebagainya.
Pemilih yang tidak percaya dengan pemilihan akan menciptakan keadaan
lebih baik, cenderung untuk tidak ikut memilih.
Berdasarkan pendekatan ini Him Helwit mendefinisikan perilaku
pemilih sebagai pengambilan keputusan yang bersifat instant, tergantung
25
pada situasi sosial politik tertentu, tidak berbeda dengan pengambilan
keputusan lain. Jadi tidak tertutup kemungkinan adanya pengaruh dari
faktor tertentu dalam mempengaruhi keputusannya.11
2.3. Tingkat Pendidikan Formal
Pendidikan pada hakekatnya adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, ahklak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya
masyarakat, bangsa dan negara.
Pendidikan jalur formal adalah kegiatan yang sistematis,
berstruktur, bertingkat dimulai dari sekolah dasar sampai perguruan tinggi
dan yang setaraf dengannya; termasuk didalamnya adalah kegiatan studi
yang berorientasi akademis dan umum, program spesialisasi, dan latihan
profesional yang dilaksanakan dalam waktu yang terus menerus.
Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang
yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah dan pendidikan
tinggi. Sedangkan pengertian pendidikan informal adalah jalur pendidikan
keluarga dan lingkungan. Pendidikan diselenggarakan dengan memberi
keteladanan, membangun kemauan, dan mengembangkan kreativitas
peserta didik dalam proses pembelajaran (Undang Undang No 20 tahun
2003 Pasal 1 Ayat (11) dan Ayat (13).
11 Muhammad, Asfar, Presiden Golput, Jakarta : Jawa Pos Press, 2004, hal. 35-51
26
Pendidikan jalur formal merupakan bagian dari pendidikan
nasional yang bertujuan untuk membentuk manusia Indonesia seutuhnya
sesuai dengan fitrahnya, yaitu pribadi yang beriman dan bertaqwa
terhadap Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, demokratis,
menjunjung tinggi hak asasi manusia, menguasai ilmu pengetahuan,
teknologi dan seni, memiliki kesehatan jasmani dan rohani, memiliki
keterampilan hidup yang berharkat dan bermartabat, memiliki kepribadian
yang mantap, mandiri, dan kreatif, serta memiliki tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan yang mampu mewujudkan kehidupan
bangsa yang cerdas dan berdaya saing di era global.
Pendidikan didapatkan tidak terbatas hanya dari sekolah-sekolah
formal saja, melainkan dapat dilaksanakan di lingkungan keluarga pula.
Hal tersebut diuraikan oleh S. Sudarmi, dimana pendidikan memiliki tiga
bentuk yaitu : 12
a. Pendidikan formal yaitu pendidikan yang kita kenal dengan
pendidikan di sekolah yang diatur bertingkat dengan syarat-
syarat yang jelas.
b. Pendidikan non formal, yaitu pendidikan yang teratur dan sadar
tetapi tidak perlu mengikuti aturan yang ketat dan tetap.
c. Pendidikan informal, yaitu pendidikan yang diperoleh seseorang
dengan pengalaman sehari-hari dengan sadar atau tidak sadar
sejak lahir sampai mati, didalam pergaulan sehari-hari.
12 S. Sudarmi. Pendidikan Non Formal Dalam Rangka Pembangunan Sumber Tenaga Manusia Usia Muda. Jakarta: LP3ES. Hlm 45
27
Uraian dari S. Sudarmi tersebut, lebih lanjut lagi dapat dijabarkan
bahwa pendidikan formal merupakan suatu aktivitas yang terorganisir ,
diatur bertingkat, dan dengan syarat-syarat yang jelas untuk
mengembangkan pengetahuan dan kepribadian seseorang yang diperoleh
melalui lembaga-lembaga pendidikan formal seperti SD, SLTP, SMA, dan
Perguruan Tinggi. Sedangkan pendidikan non formal juga bertujuan untuk
mengembangkan pengetahuan seseorang dalam bidang tertentu dan
membangun kepribadian, namun tidak perlu mengikuti aturan yang ketat
dan tetap, dimana pendidikan seperti ini didapatkan melalui kursus-kursus
dalam hal tertentu. Lain pula halnya dengan pendidikan informal yang
dapat dijelaskan sebagai proses yang berlangsung dalam kehidupan
sehari-hari sehingga memberikan hasil yang berpengaruh kepada
pembangunan pengetahuan, dan kepribadian seseorang yang didapatkan
melalui pergaulan, maupun pengalaman sehari-hari.
Dalam tataran ideal, seseorang individu yang memiliki pendidikan
yang relatif tinggi tentunya memiliki kapastas pengetahuan yang cukup
memadai tentang berbagai aspek kehidupan.13 Termasuk pengetahuan
politik seseorang.
Hutington juga menyatakan bahwa pendidikan mempengaruhi
partisipasi politik seseorang. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang
maka semakin tinggi tingkat partisispasinya. 14
13 Polak Margaret. 1987. Sosialogi Kontenporer. Jakarta. Rajawali. Hal. 2814 Samuel P. Hutington dan Joan Nelson, Partisipasi di Negara Berkembang. Rinika Cipata.
Jakarta. 1994. Hal. 6
28
Dari beberapa teori diatas yang menjelaskan mengenai orientasi
pemiliih dalam menjatuhkan pilihannya, maka dapat kita lihat bahwa
semua pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan pemilih dalam
menjatuhkan pilihannya tidak terlepas dari aspek pendidikan. Bahwa
pendekatan-pendekatan seperti pendekatan sosiologis, psikologis
maupun pilihan rasional memiliki keterkaitan dengan latar belakang
pendidikan seseorang. Taufik Abdullah menyebutkan bahwa pendidikan
merupakan usaha untuk membina kepribadian dan kemampuan
seseorang, baik itu kemampuan jasmani dan rohani yang dilakukan dalam
rumah tangga, sekolah, dan dalam masyarakat agar dengan kemampuan
tersebut dapat mempertahankan, mengembangkan kelangsungan hidup
masyarakat.15
Dalam hubungannya dengan perilaku pemilih, Samuel J. Dan
Eldersvelt menyatakan bahwa masyarakat yang pendidikannya rendah
memiliki motivasi yang rendah pula dalam memilih 16. Hal ini diperkuat
oleh Thomas E. Canavaugh bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan
sekolah dasar memiliki motivasi yang rendah dalam memilih (motivasi
memilih hanya 59%), seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah
menengah memiliki motivasi sebesar 72%, dan seseorang yang
pendidikannya sarjana memiliki motivasi yang sangat tinggi dalam memilih
yaitu sebesar 85%. Menurut Bernard R. Berelson dkk
masyarakat yang demokratis haruslah mengetahui dengan baik mengenai
15 Taufik Abdulah. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: PT. Rajawali,1987. Hlm 32716 Samuel J. Dan Eldersvelt. Political Parties In American Society. New York: Basic Book Inc., 1982. Hlm 338-
339.
29
kondisi perpolitikan disekitarnya, isu apa yang sedang berkembang,
bagaimana sejarahnya, keterhubungannya dengan fakta yang terjadi,
untuk apa suatu partai politik didirikan dan apa pengaruh dari hadirnya
partai politk tersebut. Disinilah pendidikan dibutuhkan, pendidikan
dibutuhkan bagi pemilih untuk melihat situasi politik yang ada, menilai
kampanye yang dilakukan suatu partai politik, sehingga ia dapat
menentukan pilihannya secara rasional. Berbeda dengan masyarakat
yang berpendidikan rendah sehingga cenderung memilih berdasarkan
ikatan emosional kepada kandidat, partai maupun sosial group tertentu.
Maka dalam penelitian ini, penulis mengasumsikan bahwa pendidikan
merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan politik
seseorang, dimana pendidikan merupakan faktor penting sebagai alat
untuk membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap seorang
calon anggota legislatif maupun suatu partai politik sehingga pada
akhirnya orang tersebut dapat menentukan pilihannya.
Tingkat pendidikan dapat dikatakan turut mempengaruhi perilaku
pemilih masyarakat. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat
penting untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan
yang dapat meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa
teori serta mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-
persoalan untuk mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi
masyarakat sebagai pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena
semakin tinggi pendidikan seseorang, maka ketajaman dalam
30
menganalisa informasi tentang politik dan persoalan-persoalan sosial
yang diterima semakin meningkat dan menciptakan minat dan
kemampuannya dalam berpolitik.
Tingkat pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian ini
adalah jenjang pendidikan formal yang telah ditempuh yang dibuktikan
dengan penerimaan ijazah pada tingkatan pendidikan formal tersebut. Di
Indonesia wajib belajar dilaksanakan sampai 9 tahun atau setara dengan
tingkat pendidikan SMP sederajat, maka pendidikan formal SMP/sederajat
dijadikan skala ukur untuk menentukan pendidikan formal seseorang
dengan hasil ukur sebagai berikut :
1) Bila pendidikan formal > SMP/sederajat maka hasil ukurnya
adalah Tinggi.
2) Bila pendidikan formal < SMP/sederajat maka hasil ukurnya
adalah Rendah
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah
angket/kuesioner
2.4. Status Sosial Ekonomi
Kata sosial berasal dari kata “socius” yang artinya kawan
(teman). Dalam hal ini arti kawan bukan terbatas sebagai teman
sepermainan, teman kerja dan sebagainya. Yang dimaksud teman
adalah mereka yang ada disekitar kita, yakni yang tinggal dalam suatu
lingkungan tertentu dan mempunyai sifat yang saling mempengaruhi.
31
Sedangkan istilah ekonomi berasal dari bahasa Yunani yaitu “oikos”
yang artinya rumah tangga dan “nomos” yang artinya mengatur, jadi
secara harafiah ekonomi berarti cara mengatur rumah tangga.17
Status sosial ekonomi orangtua sangat berpengaruh bagi
pemenuhan kebutuhan hidup sehari- hari. Manusia sebagai mahluk
sosial mempunyai potensi serta kepribadian yang memungkinkan dia
diterima dalam pergaulan dengan individu yang lain. Karena setiap
individu akan menyalurkan potensinya tersebut untuk kepentigan
tertentu, kemudian individu yang lain dapat menerima dan
mengakuinya. Atas dasar itulah dia akan mendapatkan status itu di
dalam kelompok dimana dia berada. Perkataan sosial telah mendapat
banyak interprestasi, walaupun demikian orang berpendapat bahwa
perkataan ini mencapai reciprocal behaviour atau perilaku yang saling
mempengaruhi dan saling tergantungnya manusia satu sama lain.
Status sosial ekonomi merupakan suatu keadaan atau kedudukan
yang diatur secara sosial dalam posisi tertentu dalam struktur
masyarakat, pemberian posisi ini disertai pula seperangkat hak dan
kewajiban yang hanya dipenuhi sipembawa statusnya, misalnya:
pendapatan, pekerjaan, dan pendidikan.18
Sosial ekonomi dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan atau
kedudukan yang diatur secara sosial dan menetapkan seseorang
dalam posisi tertentu dalam struktur masyarakat. Pemberian posisi ini
17 Shadily, Hasan, (1984), Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta. Hal. 1218 Soekanto, S., (2003), Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. Hal. 23
32
disertai pula seperangkat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi
sipembawa status misalnya, pendapatan, dan pekerjaan. Status sosial
ekonomi orangtua sangat berdampak bagi pemenuhan kebutuhan
keluarga dalam mencapai standar hidup yang sejahtera dan mencapai
kesehatan yang maksimal. Status adalah keadaan atau kedudukan
seseorang, sedangkan pengertian sosial sangat berhubungan dengan
kehidupan bermasyarakat di lingkungan sekitar. Di dalam kehidupan
bermasyarakat terdapat pembeda posisi atau kedudukan seseorang
maupun kelompok di dalam struktur sosial tertentu. Perbedaan
kedudukan dalam masyarakat dalam sosiologi dikenal dengan stilah
lapisan sosial. Lapisan sosial merupakan sesuatu yang selalu ada dan
menjadi ciri yang umum di dalam kehidupan manusia. Seorang
sosiolog yang bernama Sorokin dalam Soekanto (2003) menyatakan
bahwa lapisan sosial adalah perbedaan penduduk atau masyarakat ke
dalam kelas-kelas secara bertingkat (secara hirakri). 19
Klasifikasi status sosial ekonomi menurut Coleman & Cressey
adalah: 20
a. Status sosial ekonomi atas
Status sosial ekonomi atas adalah kelas sosial yang
berada paling atas dari tingkatan sosial yang terdiri dari
orang-orang yang sangat kaya, yang sering menempati posisi
teratas dari kekuasaan.
19 Soekanto, S., (2003), Sosiologi Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta. Hal. 24-2620 Sardiman, S, A, dkk., (2002), Media Pendidikan Pengertian Pengembangan dan Pemanfaatan,
PT. Raja Grasindo Persada, Jakarta. Hal . 13-17
33
Status sosial ekonomi atas adalah status atau
kedudukan seseorang di masyarakat yang diperoleh
berdasarkan penggolongan menurut harta kekayaan, di mana
harta kekayaan yang dimiliki di atas rata-rata masyarakat
pada umumnya dan dapat memenuhi kebutuhan hidupnya
dengan baik. 21
Havinghurst dan Taba mengemukakan masyarakat
dengan status sosial yaitu sekelompok keluarga dalam
masyarakat yang jumlahnya relatif sedikit dan tinggal di
kawasan elit perkotaan. Berdasarkan pendapat para ahli
diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya status
sosial ekonomi atas adalah status sosial atau kedudukan
seseorang di masyarakat yang diperoleh berdasarkan
penggolongan menurut kekayaan, di mana harta yang dimiliki
di atas rata-rata masyarakat pada umumnya dan dapat
memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan baik. 22
b. Status sosial bawah
Sosial ekonomi bawah adalah kedudukan seseorang
di masyarakat yang diperoleh berdasarkan penggolongan
menurut kekayaan, dimana harta kekayaan yang dimiliki
termasuk kurang jika dibandingkan dengan rata-rata
21 Sitorus, M., (2000) Sosiologi, Cahaya Budi, Bandung. Hal. 4522 Wijaksana, Adi, 1992,Minat Remaja dalam Pemilihan Bidang Karir pada Status Sosial
Ekonomi Keluarga Tingkat Atas, Menengah dan Bawah. Skripsi, Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Jakarta. Hal. 7
34
masyarakat pada umumnya serta tidak mampu dalam
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 23
Sedangkan menurut Havinghurst dan Taba
mengemukakan masyarakat dengan status sosial ekonomi
bawah adalah masyarakat dalam jumlah keluarga yang
cukup besar dan juga pada umumnya cenderung selalu
konflik dengan aparat hukum.
Menurut Nimkoff, status ekonomi menentukan kelas seseorang,
maka status seseorang dalam masyarakat menjadi penting, dari yang
diungkapkan di atas bahwa satus ekonomi memisahkan orang dalam
golongan yang berbeda-beda, seseorang yang memiliki ekonomi yang
mapan terkelompok dalm kelas yang sama, begitu juga sebaliknya.24
“Status sosial ekonomi adalah kedudukan seorang warga
Negara dalam pelapisan sosial yang disebabkan oleh pemilikan
kekayaan. Pemilikan kekayaan di dalam masyarakat sebagai dasar di
dalam menentukan tinggi rendahnya status sosial ekonomi individu
dalam masyarakat.”25
Minat politik bertambah bersamaan dengan bertambahnya
kondisi sosial ekonomi. Hal ini diungkapkan Samuel-Nelson dalam
bukunya. Semakin tinggi faktor sosial ekonomi, maka ia pun semakin
tertarik terlibat dalam politik pembangunan desa seara motorik, dan
perhatian yang lebih besar dalam pembangunan desa serta lebih
23 Sitorus, M., (2000) Sosiologi, Cahaya Budi, Bandung. Hal. 4524 Polak Margaret, 1987. Sosiologi Kontemporer. Jakarta. Rajawali. hal. 2825 Sastroatmodjo Sudijono, Perilaku Politik, RIKIP Press, Semarang, 1995, hal. 67.
35
banyak untuk mempengaruhi keputusan program pembangunan yang
diambil oleh pemerintah desa.
Hubungan yang erat dan pengaruh yang positif, kuat dan
signifikan antara faktor sosial ekonomi dengan partisipasi politik
masyarakat terutama di desa pada khususnya sesuai dengan apa
yang dibahas nantinya dalam skripsi ini. Indikator pendapatan tentu
berkaitan langsung dengan pekerjaan yang mempengaruhi pola
partisipasi masyarakat dan ini mempengaruhi pola pikir secara tidak
langsung demikian juga pendidikan. Di kebanyakan Negara,
pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik, karena
pendidikan lebih tinggi dapat memberikan informasi tentang politik dan
persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisis dan
menciptakan minat dan kemampuan berpolitik juga di banyak Negara,
lembaga pendidikan dan kurikulumnya sengaja berusaha
mempengaruhi proses sosialisasi politik kaum muda. Di samping itu
orang yang berpendapatan dan mempunyai pekerjaan yang tinggi
lebih aktif daripada yang berstatus rendah.
Contoh dari Negara yang mengutamakan status sosial ekonomi
karena mempengaruhi partisipasi politik adalah Amerika. Sesuai
dengan penelitian dalam buku Samuel-Nelson, sikap umum orang
Amerika terhadap partisipasi politik tercermin dalam model
pembangunan yang liberal, yang secara implisit atau eksplisit
diutarakan di dalam banyak tulisan Amerika dan tulisan- tulisan lainnya
36
mengenai soal itu. Di dalam model itu diasumsikan bahwa sebab-
sebab ketimpangan sosio- ekonomi, kekerasan politik, dan ketiadaan
partisipasi politik yang demokratis terletak dalam keterbelakangan
sosio- ekonomi masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena itu
penting pembangunan sosio-ekonomi yang cepat, yang akan
menaikkan kesejahteraan ekonomi secara keseluruhan dalam
masyarakat itu dan dengan begitu memungkinkan suatu distribusi
kekayaan yang lebih adil, memajukan kestabilan politik, dan
meletakkan landasan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan sistem
pemerintahan yang lebih demokratis.
Status sosial ekonomi, dalam penelitian ini adalah jumlah
pendapatan minimal pribadi seseorang tiap bulannya. Berdasarkan
hasil rekapitulasi BPS tahun 2010 indeks fiskal setiap kabupaten kota
di seluruh Indonesia, titik garis kemiskinan Kota Pariaman adalah : Rp.
268.875 / bulan. Maka skala ukurnya adalah :
1) Bila pendapatan pribadi perbulan > Rp. 268.875 maka hasil
ukurnya adalah : Tidak Miskin
2) Bila pendapatan pribadi perbulan < Rp. 268.875 maka hasil
ukurnya adalah : Miskin
Alat ukur yang digunakan untuk mengukur variabel ini adalah
angket/kuesioner
2.5. Pemilihan Langsung Kepala Daerah
37
Seiring dengan dilaksanakannya pemilihan Kepala Darah
Langsung (Pilkada) merupakan bagian dari UU No. 32 Tahun 2004
tentang pemerintahan daerah dalam PP No. 6 Tahun 2005. Khususnya
pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, maka kegiatan
partisipasi politik ini semakin terlihat dalam kehidupan masyarakat.
Karena Pilkada merupakan salah satu produk demokrasi dan
merupakan salah satu sarana pendidikan politik, dimana semua
masyarakat. Hebert Mc Closky menyatakan bahwa partisipasi pilitik
merupakan bagian dari proses pembentukan dari kebijakan umum.
Pemilihan Langsung Kepala Daerah baik itu Gubernur/wakil
Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, maupun Walikota/Wakil Walikota,
dilaksanakan mulai bulan Juni 2005 dan dipilih secara langsung oleh
rakyat. Hal ini merupakan pelaksanaan dari Undang – Undang No.
32/2004 tentang pemerintahan Daerah pasal 56 jo Pasal 119 dan
Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2005 tentang tata cara pemilihan,
pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan
wakil kepala daerah. Dengan lahirnya UU No.32/2004 dan PP No.
6/2005 merupakan hukum yang harus dilaksanakan. Dengan
pemilihan langsung, yang menggunakan asas – asas langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur dan adil, pilkada langsung layak disebut sebagai
sistem rekrutmen pejabat publik yang hampir memenuhi parameter
demokratis.26
26 Joko J. Prihatmoko.Pemilihan Kepala Daerah Langsung. Yogyakarta : Penerbit Pustaka Pelajar. 2005. Hal 20.
38
1. Menggunakan mekanisme Pemilu yang teratur.
2. Adanya rotasi kekuasaan.
3. Pemilihan dilakukan secara terbuka.
4. Akuntabilitas publik.
2.6. Parameter Demokrasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung
Beberapa Parameter untuk melihat terciptanya demokrasi di
pemilihan umum menurut pendapat Bingham Powel (1978). Antara
lain:
a. Pemilu
Rekrutmen yang dilakukan secara teratur dengan tenggang
waktu yang jelas, kompetitif, jujur dan adil.
b. Rotasi Kekuasaan
Kekuasaan tidak boleh dipegang dengan waktu lama secara
terus menerusjika seperti itu yang terjadi maka lebih
dikatakan sistem seperti itu disebut monarkhi.
c. Rekrutmen terbuka
39
Terbuka buat semua orang atau kelompok untuk mengisi
jabatan politik, jika tidak maka itu bisa disebut dengan otoriter
atau totaliter yang merekrut hanya dariseseorang saja.
d. Kepercayaan publik
Pemegang jabatan publik harus senantiasa
mempertanggungjawabkan kepada publik apa yang dilakukan
secara pribadi maupun menjabat sebagai pejabat publik.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
1.1. Metode yang Digunakan
Adapun jenis penelitian yang diambil dalam penelitian ini adalah
deskriptif analisis dengan konsep Correlational Research “Penelitian
kuantitatif dengan format deskriptif analisis bertujuan untuk menjelaskan,
meringkaskan berbagai kondisi, serbagai situasi, atau berbagai variabel
yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan
apa yang terjadi, sedangkan correlational research adalah penelitian yang
dialakukan untuk melihat hubungan diantara dua variable. Korelasi tidak
40
menjamin adanya kausaliti (hubungan sebab akibat), tetapi kausaliti
menjamin adanya korelasi.27.
Dalam penelitian ini penulis memakai metode deskriptif analitis
sebagai prosedur pemecah masalah yang diselidiki, dengan
menggunakan keadaan/ objek penelitian pada saat sekarang berdasarkan
fakta- fakta yang tepat sebagaimana adanya dengan melakukan
pendekatan secara cross sectional study yaitu suatu penelitian untuk
mempelajari dinamika korelasi antara variabel dependent dengan variabel
independen, dengan cara pendekatan observasi atau pengumpulan data
sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan
terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal
ini tidak berarti semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama.
3.2. Populasi dan Sampel Penelitian
3.2.1 Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subjek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Jadi populasi
bukan hanya orang, tetapi juga benda-benda alam yang lain. populasi
juga bukan sekedar jumlah yang ada pada objek/subjek yang dipelajari,
27 Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif,. Cetakan Pertama, Airlangga University Press, Surabaya. Hal 36
39
41
tetapi meliputi seluruh karakteristik/sifat yang dimiliki oleh objek atau
subjek itu. 28
Menurut Margono (2004: 118), populasi adalah seluruh data yang
menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita
tentukan. Jadi populasi berhubungan dengan data, bukan manusianya.
Kalau setiap manusia memberikan suatu data maka, maka banyaknya
atau ukuran populasi akan sama dengan banyaknya manusia. 29
Kerlinger (Furchan, 2004: 193) menyatakan bahwa populasi
merupakan semua anggota kelompok orang, kejadian, atau objek yang
telah dirumuskan secara jelas. Sebuah populasi dengan jumlah individu
tertentu dinamakan populasi finit sedangkan, jika jumlah individu dalam
kelompok tidak mempunyai jumlah yang tetap, ataupun jumlahnya tidak
terhingga, disebut populasi infinit. Misalnya, jumlah petani dalam sebuah
desa adalah populasi finit. Sebaliknya, jumlah pelemparan mata dadu
yang terus-menerus merupakan populasi infinit. 30
Kaitannya dengan batasan tersebut, populasi dapat dibedakan
berikut :
a. Populasi terbatas atau populasi terhingga, yakni populasi
yang memiliki batas kuantitatif secara jelas karena memilki
karakteristik yang terbatas.
28 Sugiyono. 2005. Memahami Penelitian Kualitatif , Bandung: Alfabeta. Hal. 5529 Margono. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 11830 Furchan, A., 2004, Pengantar Penelitian dalam Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal.
193
42
b. Populasi tak terbatas atau populasi tak terhingga, yakni
populasi yang tidak dapat ditemukan batas-batasnya,
sehingga tidak dapat dinyatakan dalam bentuk jumlah
secara kuantitatif.
Berdasarkan hal tersebut di atas maka jumlah sampel pada
penelitian adalah seluruh masyarakat di Desa Bunga Tanjung yang
tercatat dalam Daftar Pemilih Tetap Tahun 2013 yang berjumlah sebanyak
403 orang.
3.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti atau
sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Bila
populasi besar, dan peneliti tidak mungkin mempelajari semua yang ada
pada populasi, misalnya karena keterbatasan dana, tenaga dan waktu,
maka peneliti dapat menggunakan sampel yang diambil dari populasi itu.
Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan diberlakukan
untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-
betul representatif.
Dalam bukunya Metode Penelitian Survai, Singarimbun dituliskan
bahwa “Beberapa peneliti menyatakan besarnya sampel, tidak boleh
kurang dari 10% dan ada peneliti lain yang menyatakan bahwa besarnya
sampel minimum 5 %.31
31 Singarimbun, Masri & Syofyan Efendi. Metode Penelitian Survay. Jakarta. : LP3ES. 1982.Hal. 106
43
Jika jumlah DPT Desa Bungo Tanjung adalah sebanyak 403 orang
maka dan jika sampel minimum ditetapkan 5% maka jumlah sampel pada
penelitian ini adalah :
n = 10% x N
orang
Teknik sampling adalah cara untuk menentukan sampel yang
jumlahnya sesuai dengan ukuran sampel yang akan dijadikan sumber
data sebenarnya, dengan memperhatikan sifat-sifat dan penyebaran
populasi agar diperoleh sampel yang representatif.Untuk menentukan
sampel yang akan digunakan dalam penelitian, terdapat berbagai teknik
sampling yang digunakan. 32
Dalam penelitian ini digunakan teknik Simple Random Sampling,
dinyatakan simple (sederhana) karena pengambilan sampel anggota
32 Margono. 2004. Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta. Hal. 125
44
populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada
dalam populasi itu. Simple random sampling adalah teknik untuk
mendapatkan sampel yang langsung dilakukan pada unit sampling.
Kelebihan dari pemngembilan acak sederhana ini adalah mengatasi
bias yang muncul dalam pemilihan anggota sampel dan kemampuan
menghitung standard error
3.3. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada dasarnya merupakan suatu kegiatan
operasional agar tindakannya masuk pada penelitian yang sebenarnya.
Pada penelitian ini penulis akan mengunakan metode :
1) Metode angket, Sering pula disebut dengan metode kuesioner
atau dalam bahasa inggris disebut questionnaire (daftar
pertanyaan). “Metode angket merupakan serangkaian atau
daftar pertanyaan yang disusun secara sistematis, kemudian
diberikan untuk diisi oleh responden. Setelah diisi,angket dikirim
kembali atau dikembalikan ke petugas atau ke peneliti.”33
Jenis angket yang dipergunakan dalam penelitian ini
adalah dengan pertanyaan terbuka (open). Angket jenis
pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang dengan
kemungkinan jawabannya tidak ditentukan terlebih dahulu dan
responden bebas menentukan jawaban. Kuesioner terbuka
33 Soehartono, Hawan., Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Ros Dakarya, 2004.Hal.123
45
pada umumnya sistem penyebarannya dilakukan dengan
dihantar secara langsung oleh peneliti dan pada saat itu pula
dimintakan jawabannya selama responden menyanggupinya.
2) Metode wawancara atau interview, adalah suatu proses
memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara
tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dan
responden atau orang yang diwawancara. “Inti dari metode
wawancara ini ini, bahwa di setiap penggunaan metode ini
selalu ada pewawancara, responden, materi wawancara, dan
pedoman wawancara (yang terakhir ini tidak mesti ada)”34
3.4. Sumber Data
a. Data Primer
Data primer merupakan data yang diperoleh melalui kegiatan
penelitian langsung ke lokasi penelitian (field research) untuk mencari
data- data yang lengkap dan berkaitan dengan masalah yang diteliti.
b. Data Sekender
Data sekunder adala data yang dikumpulkan melalui studi
kepustakaan, yaitu menyadur dari buku-buku, jurnal ilmiah, peraturan
perundang- undangan yang relevan dengan penelitian.
34 Burhan Bungin,Metode Penelitian Sosial : Format-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya. Airlanga Press. 200. hal. 126
46
3.5. Teknik Analisa Data
Dalam Penelitian ini teknik analisa data yang dipergunakan adalah
deskriptif, terbagi atas dua analisa yaitu analisa univariat yaitu suatu
analisa yang berusaha memberikan gambaran yang terperinci
berdasarkan kenyataan yang ditemui di lapangan. Teknik ini Kemudian
data yang ada dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan
uraian. Jadi penulis hanya menganalisa dengan cara menggambarkan
data yang diperoleh dengan mengadakan dan memberi interpretasi.
Selanjutnya adalah analisa bivariate diamana tujuan dilakukan
analisa ini adalah untuk mengetahui korelasi antar variabel dengan tujuan
pembuktian benar-tidaknya hipotesis, maka peneliti menggunakan analisa
Deskriptif Kuantitatif menggunakan alat uji statistik SPSS. Data-data akan
disajikan kedalam tabel-tabel frekuensi dan tabel silang (Crosstabs) yang
nantinya akan dianalisa untuk melihat ada-tidaknya hubungan antara
variabel X (Tingkat Pendidikan Formal dan Status Sosial Ekonomi) dan
Variabel Y (Partisipasi Masyarakat).
Analisa dilakukan dengan mengkombinasikan antara hasil
penelitian dalam bentuk data-data dengan hasil wawancara yang telah
dilakukan selama masa penyebaran kuisioner.
Analisa ini digunakan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkanya itu mempelajari hubungan antara variabel. Analisa yang
digunakan adalah uji chi square dengan derajat kepercayaan 95%
menggunakan program SPSS atau menggunakan rumus chi square.
47
Mencari nilai chi square hitung (X2) dengan rumus:
Keterangan:
X2 = Chi square
fo (observed) = Nilai hasil pengamatan
fe (expected) = Nilai ekspektasi
Kemudian mencari nilai chi square tabel (X2) dengan rumus:
dk = (k-1)(b-1)
Keterangan:
k = banyaknya kolom
b = banyaknya baris
Pengambilan keputusan dengan taraf signifikan (5%) yaitu .
1) Jika p-value _ _ (0,05) maka Ho ditolak artinya signifikan.
2) Jika p-value _ _ (0,05) maka Ho diterima artinya tidak signifikan.
3.6. Waktu dan Lokasi Penelitian
Pada penelitian ini, agar lebih objektif, peneliti memilih Kecamatan
Pariaman Timur, Kota Pariaman sebagai tempat penelitian, karena
berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara oleh KPU Kota
Pariaman, Kecamatan Pariaman Timur memiliki partisipasi paling tinggi
yaitu sebesar 68%. Penelitian ini difokuskan di Desa Bungo Tanjung.
48
Penelitian ini dilakukan semenjak dilakukannya pengambilan data
dan survey awal sebagai data sekunder penelitian hingga dilakukannya
pengambilan data primer dengan menggunakan kuesioner kepada
responden. Penelitian ini dimulai dari Bulan September hingga Desember
2013.
Penelitian ini dilakukan di Desa Bungo Tanjung Kecamatan
Pariaman Timur Kota Pariaman. Alasan peneliti mengambil lokasi ini
sebagai lokasi penelitian adalah karena jumalah DPT pada tingkat
kelurahan di Kota Pariaman adalah berada di Kelurahan Bungo Tanjung.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Desa Bungo Tanjung secara administratif termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Pariaman Timur, Kota Pariaman. Secara geografis,
49
posisi Kota Pariaman terletak antara 0o 33’ 00’’ – 0o 45’ 00’’ Lintang
Selatan dan 100o 07’ 00’’ – 100o 16’ 00’’ Bujur Timur, dengan keadaan
iklim tropis yang sangat dipengaruhi oleh angin darat dengan curah hujan
rata-rata 2.456 mm/tahun dan suhu udara rata-rata 25o C.
Berdasarkan Undang-Undang No. 12 tahun 2002, Kota otonom
Pariaman terdiri dari 3 kecamatan, 55 desa dan 16 kelurahan. Luas
wilayah Kota Pariaman adalah 73,36 Km2 dengan panjang garis pantai 12
Km. 0,17% dari luas Propinsi Sumatera Barat.) dengan luas wilayah
daratan 73,36 Km² dan luas lautan 282,69km². Wilayah Kota Pariaman
yang paling luas yaitu Kecamatan Pariaman Utara dengan luas 28,45
Km², serta yang terkecil adalah wilayah kecamatan Pariaman Selatan
dengan luas 21,14 Km². Sedangkan Pariaman Timur merupakan wilayah
ke dua terluas di Kota Pariaman.
Berdasarkan hasil pencatatan pada tahun 2010, penduduk Kota
Pariaman berjumlah 79.073 jiwa dengan tingkat kepadatan 1077,88 orang
dalam satuan luas kilometer wilayah. Penduduk terbanyak berada pada
Kecamatan Pariaman Tengah yakni 28.980 orang, sedangkan kecamatan
yang memiliki penduduk paling sedikit adalah Pariaman Timur dengan
jumlah 14.895 jiwa. Kepadatan penduduk tertinggi ditemukan pada
Kecamatan Pariaman Tengah yaitu 1.911,61 sedangkan kecamatan
dengan tingkat kepadatan penduduk terendah adalah Kecamatan
Pariaman Timur yakni 809,07 jiwa. 35
35 SLHD Kota Pariaman 2010
48
50
Kecamatan Pariaman Timur dengan luas wilayah 18.41 Km2
mempunyai kepadatan penduduk sebesar 809 jiwa per Km2, dan
Kecamatan Pariaman Timur mendapatkan tekanan paling rendah.
Kecamatan kepadatan tertinggi adalah kecamatan Pariaman Tengah yang
merupakan Ibu kota Kota Pariaman. Kepadatan jumlah penduduk pada
kecamatan ini tidak lepas dari historis perkembangan wilayah yaitu
sebagai Ibu kota Kabupaten Padang Pariaman sekaligus juga pusat
kegiatan perkonomian Kota Pariaman.
Tinggi-rendahnya tingkat kepadatan penduduk suatu wilayah akan
langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap kesempatan-
kesempatan ekonomi. Pada wilayah agraris terutama perdesaan, maka
kesempatan ekonomi erat kaitannya dengan kepemilikan dan luas ke-
pemilikan lahan pertanian. Semakin padat penduduk, maka semakin
sempit pemilikan dan penguasaan lahan, dan berarti semakin sedikit
produksi yang dapat dihasilkan per individu. Semakin padat juga
berpengaruh terhadap nilai lahan, baik itu untuk keperluan pertanian
maupun pemukiman. Biasanya penduduk miskin akan banyak kehilangan
kesempatan-kesempatan ekonomi karena pengaruh kepadatan penduduk
yang tinggi.
Kebutuhan akan pendidikan merupakan hak dasar rakyat seperti
tertera dalam UUD 1945 Pasal 31 dan Undang-undang Nomor 20 Tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pembangunan pendidikan
seperti halnya kesehatan adalah investasi bangsa dan juga investasi
51
keluarga, karena berhubungan erat dengan produktivitas dan kesempatan
sosial, ekonomi, maupun politik.
Pendidikan merupakan faktor penting dalam pembangunan daerah
dan menjadi salah satu prioritas pemerintah kota ini, karena dengan
ketersediaan sumberdaya manusia yang berkualitas tentu akan
mendorong perkembangan pembangunan kota Pariaman. Beberapa
program pemerintah kota diarahkan pada peningkatan sarana prasarana
penunjang pendidikan, baik pengadaan alat laboratorium, alat peraga
sekolah, maupun buku-buku sekolah. Selain itu peningkatan kemampuan
dan pemerataan tenaga pendidik juga dilakukan secara kontinu termasuk
dukungan pendanaan, pelatihan maupun studi lanjut.
Berdasarkan jumlah sarana pendidikan di Kota Pariaman dapat
digambarkan berdasarkan tabel berikut :
Tabel 4.1Jumlah Sarana Jenjang Pendidikan Formal Kota Pariaman Tahun
2013
No. Jenjang Pendidikan Formal Jumlah1. SD atau MI negeri dan swasta 80
2. SMP atau MTs negeri dan swasta 19
3. SMA atau SMK atau MA negeri dan swasta 18
52
4. Perguruan Tinggi negeri atau swasta 1
Dilihat dari tingkat pendidikan, penduduk Kota Pariaman lebih
didominasi oleh penduduk dengan pendidikan setingkat SLTA. Masih
sedikit penduduk yang ditemui berpendidikan sarjana. Sementara
penduduk yang berpendidikan dibawah SLTP merupakan jumlah yang
dominan.
4.2. Pembahasan
4.2.1. Tingkat Pendidikan Formal Masyarakat
Berdasarkan hasil pengolahan data secara komputerisasi, tingkat
pendidikan formal masyarakat Desa Bungo Tanjung Kecamatan Pariaman
Timur Kota Pariaman, termasuk dalam kategori tinggi.
Dari hasil analisa univariat dari 40 orang sampel didapatkan bahwa
26 orang sampel atau sekitar 65% mempunyai tingkat pendidikan formal
yang tinggi atau telah menamat bangku SMP/sederajad. Sedangkan
sebanyak 14 orang atau 35% lainnya hanya sebatas tidak menamatkan
pendidikan SMP/sederajad dan hanya berhasil menamatkan pendidikan
SD/sederajad.
Landasan pokok keberadaan sistem pendidikan nasional adalah
UUD 45 Bab XIII, Pasal 31, ayat (1) Yang menyatakan bahwa: Tiap-tiap
warga negara berhak mendapatkan pengajaran. Hal ini mengandung
implikasi bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi
53
kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara.
Dengan demikian, dalam penerimaan seseorang sebagai peserta didik,
tidak dibenarkan adanya perlakuan yang berbeda yang didasarkan atas
jenis kelarruin, agama, ras, suku, latar belakang sosial dan tingkat
kemampuan ekonomi.
Walaupun saat sekarang telah dilaksanakan peningkatan
pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belalar 9 tahun dengan
harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar (SD dan SLIP) yang
bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Hal ini sesuai
dengan UU No: 2 tahun 1989 tentang stern pendidikan nasional,
kemudian lebih dipertegas lagi di dalam Undang-Undang RI No. 20 tahun
2003 tentang sistem pendidikan nasional sebagaimana yang tertuan pada
pasal 34 sebagai berikut:
(1) Setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti
program wajib belajar.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terse-
lenggaranya wajib belajar minimal pada jenjang pendidikan
dasar tanpa memungut biaya.
(3) Wajib belajar merupakan tanggung jawab negara yang
diselenggarakan oleh lembaga pendidikan. Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat.
54
(4) Ketentuan mengenai wajib belajar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur lebih lanjut dengan
peraturan pemerintah.
Pada dasarnya pendidikan wajib belajar 9 tahun menganut
konsepsi pendidikan semesta (universal basic education), yaitu suatu
wawasan untuk membuka kesempatan pendidikan dasar. Jadi sasaran
utamanya adalah menumbuhkan aspirasi pendidikan orang tua dan
peserta didik yang telah cukup umur untuk mengikuti pendidikan, dengan
maksud untuk meningkatkan produktivitas angkatan kerja secara makro.
Berdasarkan alasan-alasan yang melatarbelakangi dicanangkan
program-program pendidikan wajib belajar 9 tahun sebagaimana yang
dikemukakan di atas, memberikan gambaran bahwa untuk mencapai
peningkatan kualitas sumber daya manusia, yang dapat memberi nilai
tambah pada diri individu (masyarakat) itu sendiri mengenai penguasaan
ilmu engetahuan, keterampilan, yang dapat mengantar kepertumbuhan
ekonomi, peningkatan produktivitas kerja, martabat, dan kesejahteraan
hidupnya, hanya dapat dicapai lewat penuntasan pelaksanaan pendidikan
untuk semua.
Walaupun pelaksanaan pendidikan nasional telah serta merta
dilakukan di Kota Pariaman, akan tetapi masih saja terdapat pendidikan
sampel yang ditemukan dengan angka yang cukup tinggi. Sampel dengan
pengetahuan rendah berda kelompok umur dewasa sampai tua atau lebih
dari 35 tahun. Bisa saja sejak diteapkanya sistem pendidikan nasional
55
atau wajib belajar 9 tahun belum sampai pada masa mereka saat anak-
anak atau usia wajib belajar. Namun keadaan demikian tidak serta merta
menjadikan mereka tidak mengikuti program wajib belajar ini karena ada
kegiatan belajar Paket B setara SMP dan Paket C setara SMA. Dari
penelitian ini jelas terlihat bahwa motivasi belajar masyarakat masih
terlihat rendah di Kota Pariaman.
4.2.2. Status Sosial Ekonomi Masyarakat
Dari 40 orang sampel 33 orang atau sebesar 82,5% diantaranya
mempunyai satus sosial ekonomi dalam kategori tidak miskin atau status
sosial ekonomi atas. Sedangkan 7 orang atau sebesar 17,5% lainnya
mempunyai status sosial ekonomi dalam kategori miskin atau status sosial
ekonomi bawah.
Desa Bungo Tanjung merupakan sentra pertanian dan perdangan
di Kota Pariaman. Desa ini sebagian besar penduduknya adalah bertani
dan berdagang. Hasil pertanian desa Bungo Tanjung merupakan hasil
dengan nilai jual yang tinggi yaitu padi dan komiditi perkebunan seperti
kakao, cengkeh dan pala. Desa Bungo Tanjung merupakan salah satu
desa di kecamatan Pariaman Timur yang menjadi lumbung padi untuk
Kota Pariaman. Sedangkan disentra peternakan Desa Bungo Tanjung
adalah peternakan ayam, puyuh dan sapi yang menjadi komoditas dengan
harga jual tinggi.
56
Dari sektor pajak Desa Bungo Tanjung merupakan penyumbang
terbesar ke tiga di Kecamatan Pariaman Timur yaitu dengan besaran
target 20,19 milyar dan baru terealisasi dengan kisaran angka 49% pada
tahun 2012, apabila realisasi pencapaian berada paka kisaran angka
100% tidak memungkinkan Bungo Tanjung menjadi penyumbang terbesar
dari PAD dari sektor Pajak di Kecamatan Pariaman Timur.
Pendapatan dari sektor perdagangan adalah berbagai macam
bentuk barang yang diperjualkan yang tersebar di sepanjang jalan lintas
Padang – Pariaman, sektor perdagangan di dominasi oleh produk
pakaian, bahan bangunan, rumah makan dan restoran, bengkel dan
automotive serta obat-obatan. Kisaran omset jual beli perhari berkisar
antara 5 juta hingga 30 juta perhari.
4.2.3. Partisipasi Politik Masyarakat
Gambaran partisipasi politik masyarakat kelurahan Bungo Tanjung
yang dilihat dari partisipasi dalam keikutsertaan mereka pada pemilihan
umum kepala daerah Kota Pariaman Tahun 2013.
Hasil analisa data didapatkan bahwa dari 40 orang sampel sebanak
23 orang sampel atau sekitar 57,5% berpartisipasi dalam pemilihan kepala
57
daerah kota Pariaman Tahun 2013, sedangkan 17 orang atau sekitar
42,5% lainnya memilih untuk tidak menggunakan hak suaranya pada
dalam pemilihan kepala daerah kota Pariaman Tahun 2013
Dari data di atas dapat dilihat bahawa partisipasi politik masyarakat
masih tergolong rendah, dimana masyarakat yang tidak menggunakan
hak suaranya mendekati 50%. Data ini berbeda dengan perolehan data
dari survey awal di Kecamatan Pariaman Timur dimana dari hasil
rekapitulasi data Kecamatan Timur memiliki partisipasi paling tinggi di
Kota Pariaman yaitu sebesar 68%.
4.2.4. Pengaruh Tingkat Pendidikan Formal Masyarakat terhadap
Partisipasi Politik Masyarakat
Gambaran pengaruh atau hubungan tingkat pendidikan formal
terhadap partisipasi politik masyarakat dengan menggunakan analisa chi-
square yaitu dengan menentukan nilai P (p value) yang didapatkan dari
hasil tabel silang (crosstab) antara variabel tidak terikat (independent
variable) yaitu tingkat pendidikan formal masyarakat dengan variabel
terikat (dependent variable) yaitu partisipasi politik masyarakat.
Hasil analisa data secara cross sectional diketahui bahwa dari 25%
masyarakat dengan pendidikan rendah terlihat tidak ada partisipasi
mereka dalam pemilihan umum kepala daerah Kota Pariaman Tahun
2013 dan 47,5% masyarakat lainnya dengan pendidikan tinggi mempunyai
partisipasi dalam pemilihan umum kepala daerah tersebut.
58
Dari hasil uji analalisa chi-square didapatkan p value sebesar 0,009
yang berarti nilai tersebut lebih kecil dari 0,05. Nilai yang didapat tersebut
mengisyaratkan bahwa terdapat hubungan bermakna atau ada pengaruh
tingkat pendidikan formal terhadap partisipasi politik masyarakat.
Dari hasil analisa tersebut tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan
juga merupakan faktor yang cukup penting di dalam menentukan tingkat
partisipasi politik yang akan ditunjukkan oleh seseorang. Berdasarkan
data di atas kita dapat melihat distribusi responden berdasarkan
pendidikan yang terakhir adalah tingkat pendidikan tinggi yaitu pendidkkan
setaraf SMA/sederajad bahakan lebih sebanyak 65%, maka dapat
disimpulkan bahwa masyarakat dianggap merupakan pemilih-pemilih yang
mampu selektif dan berpikir rasional dalam menentukan pilihan dan ikut
berpartisipasi dalam menentukan pilihan pada pemilihan umum kepala
daerah.
Pendidikan merupakan suatu kegiatan untuk meningkatkan
pengetahuan umum seseorang termasuk didalamnya peningkatan
penguasaan teori dan keterampilan memutuskan terhadap persoalan-
persoalan yang menyangkut kegiatan mencapai tujuan. Oleh karena itu
pendidikan tinggi bisa memberikan informasi tentang politik dan
persoalan-persoalan politik, bisa mengembangkan kecakapan
menganalisa dan menciptakan minat dan kemampuan berpolitik. Di
banyak negara pendidikan tinggi sangat mempengaruhi partisipasi politik,
mungkin karena pendidikan tinggi, bisa memberikan informasi tentang
59
politik, bisa mengembangkan kecakapan menganalisa dan menciptakan
minat dan kemampuan dalam berpolitik, juga lembaga pendidikan dan
kurikulumnya sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik
kaum muda. Hal itu terjadi disemua negara, baik negara komunis, otoriter
maupun demokkratis.
Orang terpelajar lebih sadar akan pengaruh pemerintah terhadap
kehidupan mereka, lebih memperhatikan kehidupan politik, memperoleh
lebih banyak informasi tentang proses-proses politik dan lebih kompeten
dalam tingkah laku politiknya. Bertitik tolak dari konteks kalimat diatas
dibarengi dengan kemajuan-kemajuan dalam bidang pendidikan,
pembangunan ekonomi, stabilitas politik, ideologi dan keamanan maka
meningkat pula pola pikir dan taraf hidup masyarakat disertai
meningkatnya tuntutan kebutuhan masyarakat secara kwalitas dan
kwantitas. Masyarakat juga semakin kritis dalam setiap langkah,
pemikiran, ucapan, dan tindakan serta memberikan partisipasinya secara
intens. Hal ini sangat ditanggapi secara wajar, karena kenyataan ini justru
semakin tingginya kesadaran berbangsa dan bernegara dalam
masyarakat.
Meningkatnya rata-rata tingkat pendidikan dan kemampuan
masyarakat diimbangi kondisi prasarana dan sarana mendukung dan
fakta meningkatnya secara pesat media komonikasi, merupakan peluang
yang menguntungkan dalam membina partisipasi politik masyarakat.
Apalagi perencanaan pembangunan sekarang ini memiliki pandangan
60
yang baru dan aktual, karena terlihat fisi yang baru. Fisi itu mengangkat
bahwa tujuan pembangunan seyogiyanya mengandung bobot pembinaan
partisipasi politik. Sehingga aktifitas pembangunan diwarnai dengan istilah
politik seperti pembangunan politik, sosialisasi politik, partisipasi politik,
sistem politik, public policy dan pendidikan politik. Selain itu tingkat
pendidikan rendah maupun tinggi sangat mempengaruhi masyarakat
dalam pemilihan. Karena tingkat pendidikan tinggi menciptakan
kemampuan lebih besar untuk mempelajari kehidupan politik tanpa rasa
takut, disamping memungkinkan seseorang menguasai aspek-aspek
birokrasi, baik pada saat pendaftaran maupun pemilihan. Semakin tinggi
tingkat pendidikan seseorang semakin besar kepeduliannya terhadap
politik, sebaliknya semakin rendah tingkat pendidikan seseorang semakin
kecil tingkat kepeduliannya terhadap masalah politik.
Dalam Mardatilah (2009) berpendapat tingkat pendidikan dapat
dikatakan turut mempengaruhi perilaku pemilih masyarakat di Kecamatan
Medan Amplas. Faktor pendidikan merupakan hal yang sangat penting
untuk diperhatikan, sebab pendidikan sebagai suatu kegiatan yang dapat
meningkatkan kemampuan seseorang dalam menganalisa teori serta
mampu untuk menentukan keputusan dalam persoalan-persoalan untuk
mencapai tujuan menjadi faktor yang penting bagi masyarakat sebagai
pelaku partisipasi aktif dalam pemilihan. Karena semakin tinggi pendidikan
seseorang, maka ketajaman dalam menganalisa informasi tentang politik
61
dan persoalan-persoalan sosial yang diterima semakin meningkat dan
menciptakan minat dan kemampuannya dalam berpolitik. 36
Di kebanyakan Negara, pendidikan tinggi sangat mempengaruhi
partisipasi politik, karena pendidikan lebih tinggi dapat memberikan
informasi tentang politik dan persoalan politik, bisa mengembangkan
kecakapan menganalisis dan menciptakan minat dan kemampuan
berpolitik juga di banyak Negara, lembaga pendidikan dan kurikulumnya
sengaja berusaha mempengaruhi proses sosialisasi politik kaum muda. Di
samping itu orang yang berpendapatan dan mempunyai pekerjaan yang
tinggi lebih aktif daripada yang berstatus rendah.
Dalam hubungannya dengan perilaku pemilih, Samuel J. Dan
Eldersvelt menyatakan bahwa masyarakat yang pendidikannya rendah
memiliki motivasi yang rendah pula dalam memilih 37. Hal ini diperkuat
oleh Thomas E. Canavaugh bahwa seseorang dengan tingkat pendidikan
sekolah dasar memiliki motivasi yang rendah dalam memilih (motivasi
memilh hanya 59%), seseorang dengan tingkat pendidikan sekolah
menengah memiliki motivasi sebesar 72%, dan seseorang yang
pendidikannya sarjana memiliki motivasi yang sangat tinggi dalam memilih
yaitu sebesar 85%.33 menurut Bernard R. Berelson dkk 38
masyarakat yang demokratis haruslah mengetahui dengan baik mengenai
36 Mardatillah. 2009. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Munculnya Golput (Studi Masyarakat Kecamatan Medan Amplas Pada Pemilu Legislatif Tahun 2009).Skripsi. USU. Medan
37 Eldersvelt Dan Samuel J. Political Parties In American Society. New York: Basic Book .1982. hal. 338-339.
38 Eldersvelt Dan Samuel J. Political Parties In American Society. New York: Basic Book .1982. Hal . 362
34 Bernard R. Barelson dkk, dalam Peter Woll. American Goverment, Reading And Cases. USA: Litlle, Brown, Hlm 212-214.
62
kondisi perpolitikan disekitarnya, isu apa yang sedang berkembang,
bagaimana sejarahnya, keterhubungannya dengan fakta yang terjadi,
untuk apa suatu partai politik didirikan dan apa pengaruh dari hadirnya
partai politik tersebut. Disinilah pendidikan dibutuhkan, pendidikan
dibutuhkan bagi pemilih untuk melihat situasi politik yang ada, menilai
kampanye yang dilakukan suatu partai politik, sehingga ia dapat
menentukan pilihannya secara rasional. Berbeda dengan masyarakat
yang berpendidikan rendah sehingga cenderung memilih berdasarkan
ikatan emosional kepada kandidat, partai maupun social group tertentu.
Maka dalam penelitian ini, penulis mengasumsikan bahwa pendidikan
merupakan suatu faktor yang dapat mempengaruhi pilihan politik
seseorang, dimana pendidikan merupakan faktor penting sebagai alat
untuk membuat pertimbangan-pertimbangan tertentu terhadap seorang
calon anggota legislatif maupun suatu partai politik sehingga pada
akhirnya orang tersebut dapat menentukan pilihannya.
4.2.5. Pengaruh Status Sosial Ekonomi Masyarakat terhadap
Partisipasi Politik Masyarakat
Hasil uji secara cross sectional dapat diketahui bahwa dari 27,5%
masyarakat dengan status ekonomi tidak miskin ternyata tidak terdapat
adanya partisipasi mereka pada pemilihan umum kepala daerah Kota
Pariaman Tahun 2013, sedangkan 55% lainnya dengan masyarakat
63
dengan status sosial ekonomi tidak miskin mempunyai partisipasi pada
pemilihan umum kepala daerah tersebut.
Dari hasil analisa didapatkan nilai p yaitu sebesar 0,029 yang
berbarti nilai tersebut kecil dari 0,05 yang berarti juga terdapat hubungan
bermakna antara status sosial ekonomi dengan partisipasi politik
masyarakat pada pemilihan umum kepala daerah Kota Pariman tahun
2013.
Dari hasil yang diperoleh tersebut mengisyarakatkan bahwa dari
berbagai status sosial ekonomi menyurutkan niat masyarakat untuk
berpartisipasi untuk memberikan suaranya dalam pemilihan umum kepala
daerah Kota Pariaman. Hal penting yang menarik, bahwa masyarakat
kelurahan ini memiliki sikap fanatik terhadap calon yang mereka pilih. hal
lain yang juga perlu diketahui adalah saat pemilihan kepala daerah yang
dilakukan secara langsung, tingkat antusias masyarakat cukup tinggi,
lebih dari sebagian masyarakat berpartisipasi dalam pemilihan kepala
daerah ini, dalam hal ini dapat dilihat bahwa pemberian suara dalam
pemilihan umum kepala daerah di kelurahan ini, merupakan partisipasi
politik masyarakat yang cukup tinggi.
Secara sederhana, perbedaan status sosial bisa terjadi dan dilihat
dari perbedaan besar penghasilan rata-rata seseorang setiap hari atau
setiap bulannya. Status sosial ekonomi masyarakat tersebut terbagi
kedalam tiga tingkatan yaitu status sosial ekonomi tingkat atas, tingkat
menengah, dan tingkat bawah. Masyarakat kelas atas, misalnya, dalam
64
banyak hal memiliki karakteristik yang berbeda dengan masyarakat
bawah, bukan hanya dalam penampilan fisik mereka, seperti cara
berpakaian dan sarana transportasi yang dipergunakan, atau bahkan
merek transportasinya, tetapi antar mereka biasanya juga berbeda
ideologi politik, nilai yang dianut, sikap, dan perilaku sehari-harinya.
Tingkat status ekonomi sosial yang tinggi memungkinkan perilaku
politik yang lebih berkualitas daripada seseorang yang berada dalam
status sosial di bawahnya. Dengan status sosial ekonomi yang tinggi
diperkirakan seseorang akan memiliki tingkat pengetahuan politik, minat
dan perhatian pada politik, serta sikap dan kepercayaan yang tinggi pada
pemerintah. Semakin rendah kedudukan seseorang di dalam pelapisan
sosial, biasanya semakin sedikit pula perkumpulan dan hubungan
sosialnya. Orang-orang dari lapisan rendah lebih sedikit berpartisipasi
dalam jenis organisasi apa pun misalnya klub, organisasi sosial, lembaga
formal, atau bahkan lembaga keagamaan daripada orang-orang yang
berasal dari strata atau kelas menengah dan atas.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa status sosial ekonomi
masyarakat mempunyai peranan penting dalam keikutsertaan masyarakat
dalam berpartisi pada kehidupan politiknya. Kehidupan sosial ekonomi
yang lebih baik memberikan kesempatan, waktu dan ruang pada
masyarakat dalam memberikan suaranya pada pemilihan umum kepala
daerah Kota Pariaman. Dimana kehidupan ekonomi yang telah
berkecukupan mejadikan seseorang tersebut mempunyai waktu luang
65
untuk sekedar memberikan hak suaranya dan mempunyai harapan
bahawa dengan pemilihan kepala daerah tersebut akan timbul kebijakan-
kebijakan yang akan memperbaiki dan menjadikan kehidupan ekonomi
mereka menjadi lebih baik lagi. Sedangkan masyarakat dengan status
ekonomi yang rendah menjadi orang tersebut mempunyai waktu luang
yang lebiih sedikit, karena mereka lebih mementingkan mencari nafkah
dibandingkan untuk sekedar memberikan hak suara mereka dalam
pemilihan umum. Apalagi kehidupan ekonomi yang dari tahun ke tahun
atau malah dari tiap pergantian peride kepemimpinan yang tidak ada
perbaikan kehidupan ekonomi mereka menjadikan mereka mengganggap
siapapun pemimpin mereka tidak akan mampu merubah perekonomian
mereka.
Lazimnya, variabel status sosial-ekonomi digunakan untuk
menjelaskan perilaku memilih. Namun dengan menggunakan proporsi
yang berlawanan, pada saat yang sama variabel tersebut sebenarnya
juga dapat digunakan untuk menjelaskan perilaku non-voting. Artinya, jika
tinggi tingkat pendidikan berhubungan dengan kehadiran memilih, itu
berarti rendahnya tingkat pendidikan berhubungan dengan ketidakhadiran
pemilih.
Dalam penelitiannya Mardatilah (2009) mengemukakan beberapa
alasan mengapa tingkat status sosial-ekonomi berkorelasi dengan
kehadiran atau ketidakhadiran pemilih, salah satu diantaranya adalah
pekerjaan-pekerjaan tertentu lebih mengahargai partisipasi warga. Para
66
pemilih yang bekerja di lembaga-lembaga sektor-sektor yang berkaitan
langsung dengan kebijakan pemerintah cenderung lebih tinggi tingkat
kehadiran dalam pemilu dibanding para pemilih yang bekerja pada
lembaga-lembaga atau sektor-sektor yang tidak mempunyai kaitan
langsung dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. Para pegawai negeri
atau pensiunan, menunjukkan tingkat kehadiran memilih lebih tinggi
dibanding dengan yang lain. Sebab, mereka sering terkena langsung
dengan kebijakan pemerintah, seperti misalnya kenaikan gaji, pemutusan
hubungan kerja, dan sebagainya. Begitu pula para pensiunan yang sangat
berkepentingan langsung dengan berbagai kebijakan pemerintah,
khususnya tentang besarnya tunjangan pensiun kesehatan, kesejahteraan
atau tunjangan-tunjangan lainnya.
Hubungan yang erat dan pengaruh yang positif, kuat dan signifikan
antara faktor sosial ekonomi dengan partisipasi politik masyarakat.
Indikator pendapatan tentu berkaitan langsung dengan pekerjaan yang
mempengaruhi pola partisipasi masyarakat dan ini mempengaruhi pola
pikir secara tidak langsung demikian juga pendidikan.
Di kebanyakan Negara, orang yang berpendapatan dan
mempunyai pekerjaan yang tinggi lebih aktif daripada yang berstatus
rendah. Contoh dari Negara yang mengutamakan status sosial ekonomi
karena mempengaruhi partisipasi politik adalah Amerika. Sesuai dengan
penelitian dalam buku Samuel- Nelson, sikap umum orang Amerika
terhadap partisipasi politik tercermin dalam model pembangunan yang
67
liberal, yang secara implisit atau eksplisit diutarakan di dalam banyak
tulisan Amerika dan tulisan- tulisan lainnya mengenai soal itu. Di dalam
model itu diasumsikan bahwa sebab- sebab ketimpangan sosio- ekonomi,
kekerasan politik, dan ketiadaan partisipasi politik yang demokratis
terletak dalam keterbelakangan sosio- ekonomi masyarakat yang
bersangkutan. Oleh karena itu penting pembangunan sosio- ekonomi
yang cepat, yang akan menaikkan kesejahteraan ekonomi secara
keseluruhan dalam masyarakat itu dan dengan begitu memungkinkan
suatu distribusi kekayaan yang lebih adil, memajukan kestabilan politik,
dan meletakkan landasan bagi partisipasi politik yang lebih luas dan
sistem pemerintahan yang lebih demokratis.
Masyarakat di Kelurahan Bungo Tanjung sebagian besar
mempunyai mata pencaharian sebagai wiraswasta dan pedagang, hanya
10 orang responden yang PNS. Hal ini tentunya terkait dengan
kepercayaan masyarakat terhadap partai politik dan pemerintah.
Masyarakat sudah tidak lagi menganggap pemilu legislatif sebagai sarana
penting dalam memperbaiki kondisi kesejahteraan. Masyarakat sudah
lelah dengan janji-janji kampanye yang tidak pernah ditepati. Pemilu kini
mulai dipertanyakan oleh masyarakat, tidak ada keuntungan signifikan
yang diperoleh masyarakat dalam keikutsertaan mereka dalam pemilihan.
Dengan persepsi inilah yang menjadikan masyarakat lebih mementingkan
urusan lain seperti berdagang atau membuka usahanya daripada
menghadiri acara pemilihan. Karena dengan melakukan pekerjaan
68
mereka otomatis akan memberikan keuntungan secara material kepada
mereka daripada menghadiri acara pemungutan suara, apalagi mayoritas
masyarakat di Kecamatan ini berpenghasilan sebagai wiraswasta dan
pedagang.
Bagi para pedagang, wiraswastawan, dan pekerja sektor informal
ini, keterlibatan politik dalam Pemilu justru dinilai oleh sebagian dari
mereka malah kurang menguntungkan. Sebab, kalau ikut mencontreng
Pemilu saja, itu berarti mereka harus kehilangan pemasukan satu hari.
Apalagi, jika keterlibatan politik dalam Pemilu itu diikuti dengan aktivitas
politik lainnya seperti ikut kampanye, pawai, dan sebagainya. Kalau
kerugian kehilangan pemasukan itu bisa ditutupi dengan harapan akan
terjadinya perubahan politik yang lebih baik, demikian penjelasan
beberapa responden dari ”pekerja bebas”, mungkin masih bisa dipahami.
Persoalannya, para wakil rakyat yang didukung pada saat Pemilu
maupun Kepala Daerah itu seringkali tidak perduli lagi ketika sudah duduk
di kursi DPRD dan sebagai Kepala Daerah sehingga kerugian yang
mereka tanggung tidak sebanding dengan harapan yang akan dicapai.
Sebaliknya, bagi para pegawai negeri sangat sedikit yang golput. Dari 40
orang responden 17 orang diantaranya (42,5%) dan hanya 10 orang
berperan sebagai sebagai pegawai negeri. Data ini menunjukkan bahwa
perilaku golput sebagai bentuk partisipasi mereka tampaknya tidak
memperoleh dukungan di kalangan pegawai negeri. Dari kacamata
pemerintah, data ini mungkin cukup menggembirakan dan ini
69
menunjukkan bahwa mereka masih mempercayai kinerja pemerintah yang
sedang berjalan, karna tugas dan kewajiban mereka sebagai PNS selalu
berkaitan dengan kebijakan dan program yang dibuat oleh pemerinta, atau
setidaknya mereka masih mengharapkan adanya perubahan itu melalui
sarana Pemilu. Kecilnya jumlah pegawai negeri yang Golput ini juga
menunjukkan mereka masih menganggap bahwa kehadiran pemilih
merupakan salah satu tolok ukur kepercayaan masyarakat terhadap
pemerintah. Sebagai orang pemerintah, atau yang menjalankan
kebijakan-kebijakan pemerintah, para pegawai negeri ini juga
bertanggungjawab atas kinerja pemerintah.
Bagaimanapun, kalau ada penilaian tidak baik kepada pemerintah,
penilaian itu tidak semata-mata ditujukan kepada para penguasa dari
partai politik, tetapi juga tidak menutup kemungkinan penilaian tersebut
ditujukan kepada para penyelenggara negara atau aparat pemerintah.
Disinilah letak tanggungjawab pegawai negeri untuk mensukseskan
Pemilu dengan meningkatkan kehadiran pemilih di bilik suara.
70
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan dari penelitian yang telah penulis lakukukan di
Kelurahan Bungo Tanjung Kecamatan Pariaman Timur Kota Pariaman
Tahun 2013, maka penulis memperoleh kesimpulan sebagai berikut :
71
a. Tingkat pendidikan formal masyarakat di Desa Bungo Tanjung
adalah tinggi. Dimana sebagian besar masyarakat mempunyai
tingkat pendidikan formal > SMP/sederajad.
b. Status sosial ekonomi masyarakat di Desa Bungo Tanjung
adalah tinggi berada pada kategori tidak miskin, karena
sebagian besar masyarakat mempunyai pendapatan melebihi
indeks level perekonomian Kota Pariaman.
c. Lebih dari separuh masyarakat Desa Bungo Tanjung
mempunyai partisipasi politik terhadap pemilihan kepala daerah
Kota Pariaman, dimana lebih dari separuhnya masyarakat
menggunakan hak suaranya dalam pemilihan kepala daerah
Kota Pariaman Tahun 2013.
d. Terdapat adanya pengaruh tingkat pendidikan formal terhadap
partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum kepala
daerah Kota Pariaman Tahun 2013, dimana pendidikan formal
menjadikan kemampuan seseorang dalam berfikir lebih rasional
dan mempunyai kemampuan pemikiran praktis dalam
memberikan partisipasi mereka dalam kehidupan politik mereka,
sehingga menciptakan kemampuan lebih besar untuk
mempelajari kehidupan politik tanpa rasa takut, disamping
memungkinkan seseorang menguasai aspek-aspek birokrasi,
baik pada saat pendaftaran maupun pemilihan
70
72
e. Terdapat adanya pengaruh status sosial ekonomi terhadap
partisipasi politik masyarakat pada pemilihan umum kepala
daerah Kota Pariaman Tahun 2013, dimana dengan status
sosial ekonomi yang mereka sandang memperlihatkan
ketersedian waktu dan ruang bagi mereka untuk berpartisipasi
dalam kehidupan politik mereka.
5.2. Saran
Partisipasi politik masyarakat dalam kegiatan pemilihan umum
kepala daerah yang berupa tidak memberikan hak suaranya dalam
pemilihan umum merupakan fenomena yang sedang sering terjadi dalam
pemilu di beberapa daerah di Indonesia saat ini khususnya di Kelurahan
Bungo Tanjung Kecamatan Pariaman Timur Kota Pariaman Tahun 2013.
Untuk menghindari fenomena ini agar tidak terjadi lagi ke masa depan,
oleh karena itu dalam proses menyelesaikan penelitian ini ada beberapa
saran :
a. Pendidikan sangat berperan karena melalui pendidikan
masyarakat dapat menganalisa setiap pilihan yang akan
ditetapkan. Untuk itu, masyarakat hendaknya diberikan
pendidikan politik khususnya tentang wakil-wakil mereka yang
akan duduk sebagai pemimpin, sehingga mereka tidak salah
pilih dan memahami untuk apa mereka memilih wakil mereka
tersebut.
73
b. Tingkat kepercayaan masyarakat terhadap pelaksanaan Pemilu
dan partai Politik juga sangat minim saat ini, sehingga hal ini
perlu diperhatikan oleh semua Wakil-Wakil Rakyat maupun
Partai-Partai Politik. Hendaknya semua Wakil-Wakil Rakyat
yang sudah terpilih dan Partai-Partai Politik yang sudah
memperoleh kedudukan harus menunjukkan perilaku yang baik
dan melakukan pendekatan yang baik kepada masyarakat serta
menepati janji-janjinya kepada masyarakat pada saat
berkampanye. Jangan memberikan janji-janji hanya pada saat
masa kampanye saja. Akan tetapi semua Wakil-Wakil Rakyat
beserta Partai Politik yang mengusungnya harus benar-benar
menjalankan semua program-program kerjanya dengan baik
yang mereka berikan pada saat kampanye mereka
berlangsung. Dengan demikian, kepercayaan masyarakat
terhadap pelaksanaan Pemilu akan meningkat dan juga
meningkatkan partisipasi masyarakat untuk aktif dan ikut dalam
pemilihan.
c. Sebaiknya semua instansi-instansi kepemerintahan
memberikan kemudahan bagi mahasiswa untuk memperoleh
surat izin penelitian. Meskipun penelitian harus sesuai dengan
prosedur yang berlaku dan harus ada surat izin dari instansi
pemerintah, tetapi tidak seharusnya memperlambat proses
pembuatan surat izin ke daerah yang akan diteliti. Oleh sebab
74
itu, penulis harus menunggu lama untuk mendapatkan surat izin
penelitian tersebut. Sehingga hal ini memperlambat penelitian
penulis.
DAFTAR PUSTAKA
Almond dan Verba, 1990. Dalam Buku, Budaya Pollitik, Tingkah Laku Politik Dan Demokrasi Di Lima Negara, Bumi Aksara : Jakarta, 1990.
Arifin, Rahmat. 1998. Sistem Politik Indonesia, Surabaya : Penerbit SIC
Asfar, Muhammad, Pemilu Dan Perilaku Memilih 1955 – 2004, Pustaka Eureka.,2006
Budiarjo,Miriam. 1998, Partisipasi Dan Partai Politik.,Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.
75
……………….2008. Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia pustaka utama.
Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial: Format-Format Kuantitatif Dan Kualitatif,. Cetakan Pertama, Airlangga University Press, Surabaya.
Chilcot, Ronaldh, 2004. Teori Perbandingan Politik, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada.
Damsar. 2010. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Fauls, Keith Fauls, 1999. Polotical Sociology : A Critical Introduction,
Furchan, A., 2004, Pengantar Penelitian Dalam Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Joko J. Prihatmoko. 2007. Mendemokratiskan Pemilu, Dari Sistem Sampai Elemen Teknis. Jogjakarta: Pustaka Pelajar
Gunawan Bondan S. 2000. Apa Itu Demokrasi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Jalaluddin, Rahmat, 1991. Metode Komunikasi, Bandung : Remaja Rosdakarya,.
Kumorotomo, Wahyudi. 1999. Etika Administrasi Negara, Jakarta : Etika Rajawali Press,
Margono, 2004, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta.
Michael Rusf dan Philip Althoff. 2003 Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada
Mohtar, Mas’oed. 2001. Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta: Gajah Mada Press.
Rahman H, 2007. Sistem Politik Indonesia, Yogyakarta ; Graha Ilmu.
Samuel P. Huntington Dan Joan M. Nelson, 1999. No Easy Choice : Political Participation In Developing Countries Cambridge, mass : Harvard University Press
76
Silalahi, Hariman. 2010. Skripsi : Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Golongan Putih ( GOLPUT ) Dalam Pemilu Legislatif 2009 (Studi Deskriptif Pada Masyarakat Kecamatan Tarutung Kabupaten Tapanuli Utara). Medan : USU
Sardiman, S, A, dkk., (2002), Media Pendidikan Pengertian Pengembangan Dan Pemanfaatan, Jakarta : PT. Raja Grasindo Persada
Sastroatmodjo Sudijono. 1995, Perilaku Politik, Semarang : IKIP Press,
Shadily, Hasan. 1984, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.
Singarimbun, Masri & Sofyan Efendi.1982, Metode Penelitian Survai, Jakarta: Penerbit LP3ES
Sitorus, M., 2000 Sosiologi, Bandung : Cahaya Budi
Soehartono, Hawan., 2004. Metode Penelitian Sosial. Bandung: PT Remaja Ros Dakarya,
Sudijono, Sastroadmojo.1995. Perilaku Politik, IKIP Semarang Press,
Syarbaini, Syahrial., dkk, .2002. Sosiologi Dan Politik, Jakarta : Ghalia Indonesia.
Wahyudi Kumorotomo, 1999. Etika Administrasi Negara, Jakarta : Rajawali Press
Wijaksana, Adi, 1992,Minat Remaja Dalam Pemilihan Bidang Karir Pada Status Sosial Ekonomi Keluarga Tingkat Atas, Menengah dan Bawah. Sekripsi, Jakarta : Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
Peraturan dan Perundang-undangan
Amandemen Undang- Undang Dasar 1945, (Jakarta: Penerbit Interaksara, 2003).
Peraturan Pemerintah No. 12 tahun 1999, Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Pegawai
77
Negri Sipil Yang Menjadi Anggota Partai Politik, (Jakarta: 1999).
InternetEriyanto, 2007. Golput Dalam Pilkada, Kajian Bulanan LSI Edisi 05
September 2007, Dikutip dari www.lsi.co.id