skripsi risiko staphylococcus aureus · staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat...

116
SKRIPSI RISIKO Staphylococcus aureus PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK Oleh TRI ERZA APRIYADI F24052683 2010 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

Upload: buiquynh

Post on 13-Mar-2019

248 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

SKRIPSI

RISIKO Staphylococcus aureus

PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP

DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK

Oleh

TRI ERZA APRIYADI

F24052683

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

RISIKO Staphylococcus aureus

PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP

DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

TRI ERZA APRIYADI

F24052683

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

ii

Judul Skripsi : Risiko Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap

Santap dan Evaluasi Keberadaannya Dalam Nasi Uduk

Nama : Tri Erza Apriyadi

NIM : F24052683

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

(Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc)

NIP: 19620920 198603 2 002

Mengetahui,

Ketua Departemen

(Dr. Ir. Dahrul Syah)

NIP: 19650814 199002 1 001

Tanggal Lulus: 20 Januari 2010

iii

Tri Erza Apriyadi. F24052683. RISIKO Staphylococcus aureus PADA PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP DAN EVALUASI KEBERADAANNYA DALAM NASI UDUK. Di bawah bimbingan Ratih Dewanti-Hariyadi.

RINGKASAN

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia. Bakteri ini tergolong sebagai bakteri patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia, terutama melalui pangan yang mengalami kontak dengan manusia selama penanganan, pengolahan, penyimpanan, dan penyajian. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin stafilokoki, toksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus. Intoksikasi merupakan salah satu jenis dari food-borne disease. Food-borne disease adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979). Kasus-kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan penanganan. Di Indonesia data-data mengenai food-borne disease sangat terbatas sehingga manajemen pangan yang tepat sulit dirancang. Kajian risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang lazim disajikan oleh industri jasa boga perlu dilakukan dan memerlukan dukungan data yang mencukupi. Tujuan penelitian ini adalah menetapkan risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap secara kualitatif serta melakukan evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha diantaranya sebagai upaya verifikasi kajian risiko kualitatif yang dilakukan. Penetapan risiko pada penelitian ini dilakukan dengan melakukan kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif (BPOM, 2004b). Pada tahap ini dikaji tiga puluh pangan tradisional siap santap (PTSS) berdasarkan tinjauan literatur dan diskusi dengan pakar, dan keluarannya berupa pengelompokan pangan ke dalam kelompok risiko diabaikan, rendah, sedang, dan tinggi. Evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dilakukan dengan memeriksa keberadaan dan jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku usaha kecil jasa boga. Pengujian dilakukan sesuai metode BAM (2001) dengan modifikasi. Berdasarkan hasil penetapan peluang kontaminasi yang telah dilakukan pada 30 PTSS, didapatkan bahwa peluang kontaminasi Staphylococcus aureus dalam 28 PTSS (termasuk nasi uduk) adalah sedang, sementara 2 PTSS lainnya memiliki peluang kontaminasi yang rendah. Bila dikombinasikan dengan peluang dan dampak risiko lainnya, maka PTSS dengan peluang kontaminasi sedang memiliki risiko Staphylococcus aureus sedang. Faktor-faktor yang mendorong peningkatan peluang kontaminasi adalah faktor rekontaminasi, waktu penyimpanan, dan keadaan matriks pangan, sedangkan proses pemanasan yang cukup merupakan faktor yang menurunkan peluang kontaminasi. Verifikasi di lapangan meliputi enumerasi, isolasi, dan karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk yang dijajakan di enam warung. Sampel nasi uduk yang diuji umumnya tercemar Staphylococcus aureus.

iv

Jumlah cemaran selama selang waktu penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang diuji berkisar antara 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g, sehingga ada kondisi dimana diduga Staphylococcus aureus mampu membentuk enterotoksin dalam pangan. Meskipun demikian, tidak semua Staphylococcus aureus yang ditemukan bersifat koagulase positif. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif dalam sampel nasi uduk adalah 6,67%, serta tidak semua ditemukan pada jumlah yang cukup untuk membentuk enterotoksin. Hasil pengujian Staphylococcus aureus dalam nasi uduk sejalan dengan penetapan risiko kualitatif yang menyimpulkan bahwa risiko Staphylococcus aureus pada nasi uduk tergolong sedang.

v

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Tri Erza Apriyadi yang merupakan putra ketiga

dari Bapak Zainal Amanti dan Ibu Ellya Roza. Penulis dilahirkan di desa Tanjung

Sari, salah satu desa di daerah Lampung Selatan, pada tanggal 18 April 1987.

Penulis memulai pendidikan formal di TK Dharmawanita Palas, lalu

berlanjut ke SD Negeri 2 Bangunan, kemudian berlanjut ke SLTP PGRI 2 Palas.

Sebagai usaha memperoleh pendidikan yang lebih baik, penulis melanjutkan

sekolah ke daerah perkotaan, tepatnya di SMA Negeri 2 Bandar Lampung, yang

kemudian di sekolah ini penulis mendapat undangan seleksi masuk ke Institut

Pertanian Bogor (IPB), dan penulis menerimanya.

Penulis memulai pendidikan di IPB pada tahun 2005 tanpa memiliki

jurusan karena saat itu IPB sedang melakukan uji coba sistem baru yang dikenal

dengan sistem Mayor Minor. Setelah setahun kuliah tanpa jurusan, akhirnya

penulis diterima di departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (ITP). Di departemen

ini penulis mendapatkan dasar-dasar teknologi pangan dari berbagai bidang

seperti kimia pangan, analisis pangan, mikrobiologi pangan, dan lainnya.

Selama masa kuliah penulis tidak banyak aktif dalam kegiatan organisasi

internal kampus dikarenakan satu dan lain hal, demikian juga penulis tidak banyak

aktif dalam kegiatan-kegiatan internal kemahasiswaan yang ada.

Kemudian, untuk menyelesaikan pendidikan di departemen ITP, penulis

memilih untuk melakukan penelitian pada bidang mikrobiologi pangan yang

dibiayai oleh Seafast Center. Penelitian yang dipilih penulis adalah Risiko

Staphylococcus aureus Pada Pangan Tradisional Siap Santap dan Evaluasi

Keberadaannya Dalam Nasi Uduk, yang tertuang dalam skrisi ini.

Dia pernah, dia sedang, dan dia ingin, tetapi dia hanyalah keturunan seorang yang telah diusir dari rumahnya oleh

Robb-nya, lalu menjadi musafir di dunia, dan tidaklah ada tujuan seorang musafir, melainkan kembali ke rumahnya.

Meski belum mengerti semuanya, yang dia tau, terbaik yang dapat dilakukannya saat ini, itulah yang dia perbuat, untuk

menyelesaikan misinya di dunia, satu hari, satu minggu, satu bulan, satu, sepuluh, seratus tahun...

...hingga dia kembali kepada penciptanya.

Dia tumbuh menjadi tunas baru, yang dulu bibitnya telah disemai, disiram segarnya air hujan, dan dihangatkan kilau

mentari. Dua telah berselang, dan tunas ketiga mulai tumbuh. Berharap kelak akarnya menjadi akar yang kokoh, daunnya

menjadi yang terhijau, dan batangnya menjadi penopang kuat, karena kelak, bunga-bunga yang indah juga yang akan

bertahta di atasnya, insya Alloh...

vi

KATA PENGANTAR

ÉÉ ÉÉΟΟΟΟ óó óó¡¡¡¡ ÎÎ ÎÎ0000 «« ««!!!! $$ $$#### ÇÇ ÇÇ≈≈≈≈ uu uuΗΗΗΗ ÷÷ ÷÷qqqq §§ §§����9999 $$ $$#### ÉÉ ÉÉΟΟΟΟŠŠŠŠ ÏÏ ÏÏmmmm §§ §§����9999 $$ $$####

Assalamu’alaikum warohmatullohi wabarokatuh Segala puji beriring cinta dan pengagungan hanya untuk Alloh, kami

memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon ampun kepada-Nya. Dan

kami berlindung kepada Alloh dari kejahatan jiwa-jiwa kami dan dari keburukan

amal-amal kami, barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Alloh maka tidak akan

ada yang mampu menyesatkannya, dan barang siapa yang disesatkan oleh Alloh

maka tidak akan ada yang mampu menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada

sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali hanya Alloh yang tidak

ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan

Rosul-Nya.

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Alloh dengan

sebenar-benarnya takwa, dan janganlah sekali-kali kalian mati melainkan dalam

keadaan Islam.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 102) “Hai sekalian manusia, bertakwalah

kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan dari

padanya Alloh menciptakan isterinya, dan dari keduanya Alloh memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak, dan bertakwalah kepada Alloh

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,

dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga

dan mengawasi kamu.” (QS. An Nisaa’ [4]: 1) “Hai orang-orang yang beriman,

bertakwalah kamu kepada Alloh dan katakanlah perkataan yang benar. Niscaya

Alloh memperbaiki bagimu amalan-amalanmu dan mengampuni bagimu dosa-

dosamu. Dan barangsiapa mentaati Alloh dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia

telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzaab [33]: 70-71)

Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitabulloh, dan sebaik-

baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Sholallahu ‘alaihi wa sallam, dan

seburuk-buruk perkara adalah yang diada-adakan dalam agama, dan setiap yang

diada-adakan dalam agama adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat, dan setiap

kesesatan tempatnya di neraka. Amma ba’du:

vii

Penulis menyadari bahwa skripsi ini diselesaikan dengan bantuan banyak

pihak. Oleh karena itu, penulis hendak mengucapkan terimakasih kepada:

1. Ba’, Ibu, Bang Eko, Bang Dwi, Kak Linda, Kak Rini, dan segenap

keluarga atas doa dan dukungannya.

2. Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. selaku dosen pembimbing

akademik.

3. Dr. Dra. Suliantari, M.S. dan Elvira Syamsir, S.TP, M.Si., yang telah

bersedia menjadi dosen penguji dan memberikan masukan dalam

perbaikan skripsi ini.

4. Seafast Center atas dukungan dana penelitian dan fasilitas yang

disediakan, terutama fasilitas DE yang sering menjadi tempat istirahat

penulis saat melakukan penelitian.

5. Seluruh staf dan teknisi Seafast Center atas bantuannya selama penulis

melakukan penelitian.

6. Seluruh laboran, pegawai, dan teknisi, baik dari Seafast Center maupun

Departemen ITP, terutama Mba Ari, Pak Abah, Bu Ntin, Mas Yeris dan

Mba Sofah.

7. Rekan-rekan satu laboratorium, termasuk laboratorium tetangga, yang

juga sedikit banyak telah membantu penulis dalam melakukan penelitian.

8. Teman-teman di markas, baik At Tauhid, Al Furqon, Al Ghuroba,

maupun yang semisal dengan mereka, atas, atas apa ya, pokoknya syukron

lah, Jazakumullohu khoiron.

9. Juga kepada teman-teman ITP 42, khususnya para penghuni dan alumni

Aulia, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Terakhir, penulis berharap agar hasil penelitian ini berguna bagi dunia

teknologi pangan dan bidang-bidang lain yang terkait dengan penelitian ini. Dan

akhir doa penulis adalah Alhamdulillahi Robbil ‘Alamin.

Bogor, 26 Safar 1431 H/10 Feb 2010

Penulis

kaptenbombay.wordpress.com

viii

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN .........................................................................ii

RINGKASAN ...............................................................................................iii

RIWAYAT HIDUP ......................................................................................v

KATA PENGANTAR .................................................................................vi

DAFTAR ISI ................................................................................................viii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................ix

DAFTAR TABEL ........................................................................................x

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................xii

I. PENDAHULUAN .....................................................................................1

A. LATAR BELAKANG .................................................................1

B. TUJUAN PENELITIAN .............................................................3

C. MANFAAT PENELITIAN ........................................................3

II. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................4

A. Staphylococcus aureus .................................................................4

B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA S. aureus ................9

C. PENETAPAN RISIKO ..............................................................16

III. METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................24

A. BAHAN DAN ALAT ..................................................................24

B. METODE PENELITIAN ...........................................................24

C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS .......................................26

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................47

A. PENETAPAN RISIKO KERACUNAN S. aureus

DALAM PANGAN TRADISIONAL SIAP SANTAP..............47

B. EVALUASI KEBERADAAN Staphylococcus aureus

KOAGULASE POSITIF PADA NASI UDUK .........................61

V. KESIMPULAN DAN SARAN ...............................................................79

A. KESIMPULAN ............................................................................79

B. SARAN .........................................................................................79

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................xiii

LAMPIRAN ..................................................................................................81

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop

elektron.....................................................................................6

Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus.............................7

Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease.................................................10

Gambar 4. Komponen analisis Risiko............... .......................................17

Gambar 5. Diagram alir kajian risiko........................................................19

Gambar 6. Proses manajemen Risiko........................................................20

Gambar 7. Peta penyamplingan nasi uduk................................................41

Gambar 8. Kondisi sampel yang diperoleh dari warung...........................42

Gambar 9. Penampakan sampel nasi uduk................................................42

Gambar 10. Diagram alir penelitian............................................................46

Gambar 11. Tabung-tabung MPN yang keruh karena pertumbuhan

Staphylococcus aureus.............................................................62

Gambar 12. Timbulnya endapan putih menunjukkan pertumbuhan

Staphylococcus aureus.............................................................63

Gambar 13. Cawan berisi agar Baird-Parker yang telah ditumbuhi

Staphylococcus aureus dengan koloni berwarna hitam...........64

Gambar 14. Penampakan koloni Staphylococcus aureus pada agar Baird-

Parker.......................................................................................64

Gambar 15. Isolat Staphylococcus aureus pada TSA miring......................65

Gambar 16. Penampakan sel Gram (+) dan bulat bergerombol..................65

Gambar 17. Gumpalan plasma kelinci pada uji koagulase.........................66

Gambar 18. Gelembung-gelembung gas pada uji katalase.........................67

Gambar 19. Perubahan warna media pada uji fermentasi...........................68

Gambar 20. Grafik jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari

6 warung pengujian.................................................................68

x

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa

daerah anatomi manusia............................................................5

Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus.................................5

Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan

Mikrococci................................................................................7

Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa

periode tahun 1990-1992.........................................................12

Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia......................................15

Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa jenis

pangan......................................................................................16

Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang

dijadikan sampel dalam penetapan risiko S. aureus.................26

Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor.....................32

Tabel 9. Kisaran total skor terbobot.......................................................32

Tabel 10. Identifikasi bahaya pada pangan..............................................33

Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus

aureus.......................................................................................34

Tabel 12. Efektivitas proses produksi dalam menurunkan jumlah

Staphylococcus aureus.............................................................35

Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi............................................35

Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus.............................................................36

Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi...............................................37

Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhanS. aureus.......38

Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan..... .......................39

Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi........................40

Tabel 19. Penetapan peluang kontaminasi pada 30 PTSS.......................47

Tabel 20. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk.56

Tabel 21. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan risiko

Staphylococcus aureus pada nasi uduk...................................60

xi

Tabel 22. Jumlah presumtif Staphylococcus aureus...............................69

Tabel 23. Data simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada

nasi uduk.................................................................................71

Tabel 24. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif

dari nasi uduk..........................................................................75

Tabel 25. Hubungan antara keberadaan Staphylococcus aureus

koagulase positif dengan jumlah dugaan Staphylococcus

aureus......................................................................................76

Tabel 26. Pengaruh penambahan waktu inkubasi terhadap keberadaan

Staphylococcus aureus koagulase positif................................77

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Data penetapan peluang kontaminasi dari tiga puluh

jenis PTSS.................................................................................81

Lampiran 2. Data Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Staphylococcus

aureus koagulase positif pada nasi uduk..................................83

Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan.....................................................95

Lampiran 4. Tabel nilai MPN 3 Seri Pengenceran untuk 0.1, 0.01,

dan 0.001 g inokulum...............................................................98

1

I. PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang umum terdapat pada manusia

dan tergolong sebagai patogen yang dapat menyebabkan keracunan pada manusia

melalui pangan. Keracunan yang disebabkan oleh bakteri ini tergolong dalam

kasus intoksikasi, yaitu tertelannya enterotoksin yang dihasilkan oleh

Staphylococcus aureus dalam pangan. Menurut Pelczar dan Chan (2005), gejala

umum keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare.

Heritage et al. (1999) menyebutkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk

terjadinya gejala keracunan sejak tertelannya toksin tersebut adalah sekitar tiga

puluh menit sampai enam jam.

Staphylococcus aureus secara alami terdapat pada tubuh manusia, maka

bakteri ini merupakan salah satu agen terpenting penyebab food-borne disease

yang sering terjadi di masyarakat. Food-borne disease (penyakit asal pangan)

adalah gejala-gejala yang diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang

mengandung sejumlah tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan

Bryan, 1979). Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama

morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia.

Penyebab terbesar masuknya Staphylococcus aureus ke dalam rantai

pangan (yang kemudian menyebabkan keracunan stafilokoki) adalah karena

rendahnya sanitasi pekerja yang menangani pangan. Selain itu, faktor lingkungan

juga berpengaruh pada tingkat kontaminasi. Pangan yang disiapkan di bawah

kondisi dan lingkungan yang kurang baik berimplikasi dengan tingginya kejadian

food-borne disease dari pada yang lainnya (Ray, 2001). Ray (2001) juga

menjelaskan bahwa secara umum, kejadian food-borne disease lebih banyak

terjadi pada negara berkembang dari pada negara maju. Hal ini tentunya karena

perbedaan tingkat sanitasi antara negara maju dengan negara berkembang.

Di Amerika Serikat yang tergolong sebagai negara maju, food-borne

disease diduga bertanggung jawab terhadap 76 juta kasus sakit, 325.000 kasus

rawat inap, dan 5.000 kasus kematian per tahunnya (Mead et al., 1999 di dalam

Jaykus, 2003). Hal ini baru dampak terhadap kesehatan, sementara itu masih ada

dampak lain berupa turunnya produktivitas kerja, biaya rumah sakit, dan lainnya.

2

Banyaknya kasus food-borne disease yang terjadi tentunya memerlukan

penanganan. Akan tetapi, penanganan ini terhambat dengan sedikitnya data hasil

pelaporan kejadian sehingga sulit dilakukan identifikasi penyebab kasus-kasus ini.

Kebanyakan kasus keracunan tidak dilaporkan sehingga monitoring dan

evaluasinya pun tidak terlaksana dengan baik. Heritage et al. (1999) menjelaskan

salah satu penyebabnya adalah bahwa kasus-kasus ini banyak terjadi pada kondisi

terbatas dalam selang waktu yang singkat sehingga tidak pernah dilaporkan pada

petugas yang berwenang untuk dicatat. Lebih lanjut Heritage et al. (1999)

menambahkan bahwa kejadian keracunan pangan sebenarnya mungkin sepuluh

sampai seratus kali lebih besar dari pada dugaan resmi yang ada. Oleh karena itu,

penelitian untuk mengidentifikasi penyebab kasus-kasus food-borne disease

sangat penting untuk dilakukan.

Di Indonesia, yang merupakan negara berkembang, sedikitnya pelaporan

kejadian keracunan pangan juga menyebabkan sulitnya mengidentifikasi

penyebab keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi

kejadian dan jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya.

Data yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang

dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa

penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia adalah faktor

mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan sisanya tidak diketahui

(57%).

Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan

pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus

keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktek sanitasi dalam

mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga. Hal ini

didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan

(2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan pangan di Indonesia

selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu sebanyak 31%.

Berdasarkan dugaan di atas, maka besar kemungkinannya bahwa

keracunan pangan yang terjadi di Indonesia merupakan kasus-kasus food-borne

disease, terutama pada industri jasa boga tradisional yang menyediakan pangan

siap santap. Hal ini karena umumnya industri jasa boga tradisional menyediakan

3

pangan dalam jumlah yang cukup banyak dan disajikan dalam waktu yang cukup

lama dengan praktek sanitasi yang minimalis, sehingga memungkinkan terjadinya

kontaminasi bakteri dari tubuh manusia. Berdasarkan dugaan ini juga, maka besar

kemungkinannya bahwa Staphylococcus aureus merupakan salah satu agen

penyebab food-borne disease karena keberadaannya yang secara alami ada pada

tubuh manusia.

Oleh karena itu, perlu dilakukan kajian untuk mengetahui risiko

Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap yang

umumnya disajikan oleh industri jasa boga. Pengetahuan yang baik mengenai

risiko Staphylococcus aureus pada pangan-pangan tradisional siap santap tersebut

dapat digunakan untuk memprediksi peluangnya sebagai penyebab kasus-kasus

food borne disease. Selain itu, diketahuinya risiko Staphylococcus aureus pada

pangan-pangan tradisional siap santap dapat digunakan sebagai salah satu acuan

untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia.

Kemudian, untuk memverifikasi risiko Staphylococcus aureus yang telah

ditetapkan pada pangan-pangan tradional siap santap, maka perlu dilakukan

evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada salah satu jenis pangan tersebut.

Pangan yang dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah nasi uduk.

B. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini adalah untuk menetapkan risiko Staphylococcus

aureus pada pangan tradisional siap santap secara kualitatif, serta mengevaluasi

keberadaan Staphylococcus aureus di dalam nasi uduk yang dijajakan oleh pelaku

usaha, yang juga merupakan verifikasi dari penetapan risiko kualitatif di atas.

C. MANFAAT PENELITIAN

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak terkait sebagai salah satu

acuan untuk menetapkan prioritasisasi manajemen risiko di Indonesia, khususnya

pengelolaan keamanan pangan tradisioanal siap santap.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus adalah salah satu bakteri yang umum

ditemukan pada berbagai bagaian tubuh manusia. Kira-kira 50% penduduk

membawa Staphylococcus aureus dalam daerah saluran pernafasan, yaitu

hidung dan kerongkongan. Dari sini organisme dengan mudah dipindahkan ke

kulit, terutama tangan, dan ke rambut. Juga, Staphylococcus aureus adalah

bakteri yang biasa menginfeksi luka, bisul, dan luka terbuka. Organisme

tersebut juga dijumpai pada hewan, seperti lembu dan kambing, dan

kemungkinan dalam susu segar (Gaman dan Sherrington, 1992). Keberadaan

Staphylococcus aureus dan beberapa jenis mikroba lainnya yang umum

ditemukan pada beberapa bagian tubuh manusia dapat dilihat pada Tabel 1.

Di dalam Bergey’s Manual oleh Holt et al. (1994) diterangkan ciri-ciri

genus Staphylococcus sebagai berikut. Sel-sel berbentuk bola, berdiameter 0,5

sampai 1,5 µm, terdapat tunggal, berpasangan, dan dalam kelompok tak

beraturan. Gram positif, nonmotil, tidak membentuk spora. Anaerob fakultatif.

Kemoorganotrof baik dengan respirasi maupun fermentasi. Koloni umumnya

opaq dan mungkin putih atau krim, dan juga terkadang kuning sampai jingga,

biasanya katalase positif. Memiliki sitokrom tapi umumnya oksidase negatif.

Seringkali mereduksi nitrat menjadi nitrit. Mudah lisis oleh lysostaphin tapi

tidak dengan lysozim (Schleifer dan Kloos, J. Clin, Mikrobiol. 1: 337-338,

1995). Umunya tumbuh dengan 10% NaCl. Suhu optimum 30-37°C. Sebagian

besar berasosiasi dengan kulit dan membran mukosa hewan vertebrata

berdarah panas, namun sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air.

Beberapa spesies berpeluang bersifat patogen pada manusia dan hewan, atau

membentuk toksin ekstraselular. Spesies tipe: Staphylococcus aureus.

Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus dapat dilihat pada Tabel 2,

sementara penampakannya di bawah mikroskop elektron dapat dilihat pada

Gambar 1.

5

Tabel 1. Spesies mikroba predominan yang dijumpai di beberapa daerah anatomi manusia (Pelczar dan Chan, 2005)

DAERAH MIKROORGANISME % TIMBULNYA Kulit Staphylococcus epidermidis

Staphylococcus aureus Propionibacterium acnes Korinebakteri (difteroid) aerobik

85 – 100 5 – 25

45 – 100 55

Hidung dan nasofaring

Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Korinebakteri (difteroid) aerobik Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae

90 20 – 85 5 – 80

12 12

Mulut (air liur dan permukaan

gigi)

Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Streptococcus mitis dan Streptococcus α-hemolitik lainnya Staphylococcus salivarius Peptostreptokokus Veillonella alcalescens Lactobasilus Actinomyces israelii Haemophilus influenzae Bacterioides fragilis B. melaninogenicus B. oralis Fusobacterium nucleatum Candida albicans Treponema denticola dan T. vincentii

75 – 100 Umum

100 100

Banyak 100 95

Umum 25 – 100 Umum Umum Umum 15 – 90 6 – 50

Umum

Orofaring (bagian

belakang mulut, ed)

Staphylococcus epidermidis Staphylococcus aureus Difteroid Streptococcus pneumoniae Streptococcus –α dan nonhemolitik Branhamella catarrhalis Haemophilus influenzae H. parainfluenzae Neisseria meningitidis

30 – 70 35 – 40 50 – 90 0 – 50 25 – 99 10 – 97 5 – 20 20 – 35 0 - 15

Tabel 2. Klasifikasi ilmiah Staphylococcus aureus (Anonim, 2009)

Domain Bakteria

Kingdom Eubakteria

Filum Firmicutes

Kelas Cocci

Ordo Bacillales

Famili Staphylococcaceae

Genus Staphylococcus

Spesies Staphylococcus aureus

6

Gambar 1. Penampakan Staphylococcus aureus di bawah mikroskop elektron (Anonim, 2008) Jay (2000) mengatakan bahwa meskipun Staphylococcus aureus dapat

tumbuh baik pada media tanpa NaCl, Staphylococcus aureus dapat tumbuh

dengan baik pada konsentrasi garam 7-10%, dan beberapa strain dapat tumbuh

pada konsentrasi garam 20%. Staphylococcus aureus dapat tumbuh pada pH

antara 4.0 sampai 9.9, tetapi pH optimumnya ada pada kisaran 6 sampai 7,

sementara aw minimum untuk pertumbuhan Staphylococcus aureus umumnya

adalah 0.86.

Secara sederhana, pengujian untuk mengisolasi dan mengarakterisasi

Staphylococcus aureus pada suatu sampel dilakukan dengan mengikuti

serangkaian prosedur yang diperlihatkan pada Gambar 2. Gambar 2 tersebut

merupakan prosedur pengujian bertahap untuk mengisolasi Staphylococcus

aureus berdasarkan perbedaan-perbedaan karakterteristik dengan bakteri-

bakteri lainnya. Sementara itu, karakteristik tipikal Staphylococcus aureus

dapat dilihat pada Tabel 3.

7

Bakteri Gram positif Bulat? Batang? (cocci) (bacili) Hidup di udara? Tidak Ya Anaerobic Katalase? cocci Tidak Ya Memfermentasi glukosa? Ya Tidak Koagulase? Micrococci Ya Tidak Staphylococcus aureus

Gambar 2. Diagram penentuan Staphylococcus aureus (Heritage et al., 1999, dengan modifikasi) Tabel 3. Karakteristik tipikal dari S. aureus, S. epidermidis, dan Mikrococcia

Karakteristik S. aureus S. epidermidis Mikrococci

Aktivitas katalase + + +

Kemampuan membentuk

koagulase

+ - -

Kemampuan membentuk

termonuclease

+ - -

Sensitifitas lisostafin + + -

Fermentasi glukosa + + -

Fermentasi mannitol + - - a+, Kebanyakan (lebih dari 90%) strain positif; -, kebanyakan (lebih dari 90%) strain negatif (BAM, 2001)

8

Dua uji yang umumnya digunakan untuk membedakan Staphylococcus

aureus dari stafilokoki lainnya adalah uji koagulase (penggumpalan plasma

darah) dan uji thermostable nuclease (pemecahan DNA oleh nuklease yang

bertahan selama pemanasan). Namun, kedua uji ini tidak secara mutlak

bersifat spesifik terhadap Staphylococcus aureus (Baird-Parker, 1979, di

dalam ICMSF, 1996). Hal ini disebabkan karena adanya stafilokoki lain yang

juga memproduksi koagulase. Spesies stafilokoki lainnya mungkin

memproduksi sejumlah kecil koagulase dan karena alasan ini biasanya

disarankan bahwa hanya pembentuk koagulase yang kuat (banyak) saja yang

dianggap sebagai Staphylococcus aureus (ICMSF, 1978, di dalam ICMSF,

1996).

Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah berlangsung lama

secara menyakinkan membuktikan bahwa strain stafilokoki koagulase positif

adalah penghasil enterotoksin. Demikian pula Bryan (1976) menyatakan

bahwa keberadaan koagulase sangat terkait erat dengan patogenisitas dan

digunakan sebagai pembeda antara Staphylococcus aureus dengan stafilokoki

lainnya.

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa

dari 11.384 sampel (terdiri dari 9869 sampel pangan dan 1515 sampel usap

dari permukaan yang kontak dengan pangan) yang diuji, sebanyak 1971

sampel (17,3%) terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif.

Sebanyak 541 sampel diuji lebih lanjut (dengan uji katalase, pewarnaan Gram,

dan API Staph Sytem) dan terbukti bahwa 537 sampel (99,3%) teridentifikasi

sebagai Staphylococcus aureus. Kemudian, dari 537 isolat tersebut terbukti

bahwa 298 isolat (55,5%) diketahui memproduksi enterotoksin. Dengan

demikian, uji kemampuan Staphylococcus aureus untuk membentuk enzim

koagulase merupakan bagian penting dari pendugaan kemampuannya sebagai

pembentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan keracunan pangan.

Keberadaan thermostable nuclease juga merupakan bagian penting

dari pendugaan kemampuan Staphylococcus aureus untuk memproduksi

enterotoksin. Minor dan Marth (1976) menyatakan bahwa heat-stable

nuclease (atau thermostable nuclease) adalah salah satu karakteristik fisiologi

9

yang dapat digunakan sebagai indikasi kemampuan Staphylococcus untuk

membentuk enterotoksin. Prinsip pengujian karakteristik ini adalah dengan

menumbuhkan kultur bakteri pada suatu agar yang mengandung DNA.

Perubahan penampakan agar, yang umumnya dengan terbentukanya zona

jernih, menunjukkan adanya proses pemecahan DNA pada agar oleh enzim

thermostable nuclease yang dihasilkan oleh bakteri uji. Dengan demikian,

perubahan penampakan tersebut menunjukkan keberadaan bakteri yang

memiliki karakteristik pembentuk thermostable nuclease.

Uji lain yang digunakan untuk membedakan Staphylococcus aureus

dari stafilokoki lainnya adalah pengujian sensitifitas lisostafin. Lisostafin

adalah salah satu jenis antimikroba. Lisostafin dapat berfungsi sebagai

antimikroba terhadap Staphylococcus aureus (Anonim1, 2009). Uji

sensitifitas lisostafin pada Staphylococcus aureus ditunjukkan dengan

kemampuan lisostafin melisiskan sel-sel Staphylococcus aureus dalam suatu

suspensi yang ditandai dengan berubahnya suspensi dari keruh (suspensi sel

Staphylococcus aureus) menjadi jernih.

B. PENYAKIT ASAL PANGAN KARENA Staphylococcus aureus

Penyakit asal pangan (food-borne disease) adalah gejala-gejala yang

diakibatkan karena mengkonsumsi pangan yang mengandung sejumlah

tertentu suatu bahan beracun atau patogen (Riemann dan Bryan, 1979).

Menurut Jaykus (2003), food-borne disease adalah penyebab utama

morbiditas dan mortilitas di seluruh dunia. Terdapat berbagai jenis food-borne

disease yang penyebabnya juga bermacam-macam. Secara ringkas, jenis-jenis

food-borne disease ini dapat dilihat pada Gambar 3.

10

Gambar 3. Klasifikasi food-borne disease (Bryan, 1976 di dalam Frazier dan Westhoff, 1978)

Jika ruang lingkup penyebabnya dikhususkan pada bakteri, maka food-

borne disease secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu intoksikasi dan

infeksi. Heritage et al. (1999) menjelaskan bahwa pada kasus intoksikasi,

toksin diproduksi oleh mikroba dan dapat menimbulkan gejala penyakit

meskipun seseorang tidak mengkonsumsi bakteri hidup. Pada kasus infeksi

bakteri harus terkonsumsi dalam bentuk hidup dan melakukan perbanyakan

dalam saluran pencernaan sebelum akhirnya gejala keracunan mulai tampak.

Diantara kedua jenis kasus ini terdapat kasus lain yang disebut toksikoinfeksi.

Ray (2001) menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan toksikoinfeksi adalah

penyakit yang disebabkan tertelannya bakteri patogen hidup dalam jumlah

besar melalui makanan dan air yang terkontaminasi, kemudian bakteri ini

11

mengalami sporulasi atau mati, kemudian mengeluarkan toksin yang

menyebabkan gejala sakit.

Salah satu jenis food borne disease adalah keracunan stafilokoki.

Kasus ini merupakan jenis kasus intoksikasi, yaitu tertelannya stafilokoki

enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus ke dalam saluran

pencernaan. Gejala keracunan atau intoksikasi stafilokoki ini pertama kali

dipelajari pada tahun 1894 oleh J. Denys dan berikutnya tahun 1914 oleh

Barber, yang membuat tanda-tanda dan gejala penyakit pada dirinya sendiri

dengan mengkonsumsi susu yang dikontaminasi dengan kultur

Staphylococcus aureus (Jay, 1996). Menurut Buckle et al. (1978) jumlah

Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam

suatu pangan adalah sekitar 106 sel/g pangan. Sumber lain (Forsythe, 2000 di

dalam Forsythe, 2002) menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus

yang diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah

105 - <106 sel/g. Sementara itu, jumlah minimal toxin yang menyebabkan

keracunan adalah 0,5-5 µg (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002). Menurut

Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya gejala keracunan enterotoksin

stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay (2000) menyatakan

bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia juga

menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara

keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978) menambahkan bahwa waktu

yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat (sekitar satu

hari). Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki

oleh konsumen.

Keracunan yang disebabkan oleh Staphylococcus aureus merupakan

salah satu kasus keracunan terpenting di dunia. Zhang et al. (1998) di dalam

Normanno et al. (2005) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus

dipertimbangkan sebagai penyebab terbesar ketiga dari kejadian-kejadian

food-borne illness di dunia. Laporan WHO mengenai food-borne disease di

Eropa pada tahun 1990-1992 menempatkan Staphylococcus aureus diurutan

kedua dalam sepuluh besar agen penyebab food-borne disease (Tabel 4).

12

Tabel 4. 10 Besar agen penyebab food-borne disease di Eropa periode tahun 1990-1992 (Clark et al., 2000)

Agen food borne disease Jumkah kejadian % Salmonella spp. 9822 84,5 Staphylococcus aureus 409 3,5 Clostridium perfringens 356 3 Trichinella 181 1,5 Jamur 152 1,3 Clostridium botulinum 123 1,1 Bacilus cereus 113 1 Campylobacter spp. 85 0,7 Shigella spp. 64 0,5 Escherichia coli 33 0,3 Lainnya* 301 2,6

*Lainnya meliputi virus (60 kejadian), senyawa kimia (54), Scombrotoxin (48), E. coli O157 (12)

Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan

pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000).

Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus

tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh

nyata pada bahan pangan mentah. Namun, pada pangan matang atau pangan

bergaram yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat

pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang

sampai pada level yang membahayakan.

Dengan demikian, modus keracunan oleh Staphylococcus aureus yang

umum adalah pada pangan matang (terutama pangan yang tinggi protein) yang

telah bersih dari mikroba, namun kemudian terkontaminasi oleh

Staphylococcus aureus dalam selang waktu yang cukup hingga terbentuknya

racun pada pangan tersebut. Hal ini dicontohkan oleh Bergdoll (1979) yang

menjelaskan salah satu modus keracunan yang disebabkan karena ham

panggang. Ham panggang merupakan menu yang umum dalam acara piknik,

yang biasanya melibatkan banyak orang, dan secara umum sangat sulit untuk

menjaga ham pada suhu refrigerasi hingga ham tersebut dikonsumsi.

Refrigerasi diperlukan untuk menghambat pertumbuhan Staphylococcus yang

mungkin ada pada pangan. Terlebih, suhu hangat pada musim panas akan

memperparah keadaan ini. Keadaan ini akan memberikan kesempatan bagi

Staphylococcus aureus yang telah mengontaminasi ham untuk tumbuh dan

13

membentuk racun sehingga saat dikonsumsi akan menyebabkan keracunan

pangan.

Sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus adalah manusia

yang menangani pangan. Gaman dan Sherrington (1992) menyebutkan bahwa

Staphylococcus aureus disebarkan oleh para pengelola pangan, selama

pemasakan dan penyiapannya. Penanganan pangan dengan tangan, yang tidak

meggunakan peralatan memadai, barangkali merupakan cara penyebaran yang

paling umum, terutama jika orang yang menangani pangan mengalami infeksi

atau luka pada tangannya. Batuk dan bersin dekat dengan pangan dapat

menyebabkan kontaminasi, dan rambut yang jatuh pada makanan atau

menggantung (terurai) dekat dengan makanan juga dapat menimbulkan

bahaya.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi

Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan

keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.

Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan

dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,

misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan ham

panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang yang

mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber kontaminasi,

seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan Staphylococcus yang

disebabkan karena ham panggang, ternyata pada mesin pemotong ham

ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik yang sama dengan yang

ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit. Walaupun ham secara

langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber aslinya kemungkinan

besar adalah manusia.

Staphylococcus aureus hidup pada matriks yang tinggi protein,

sehingga kasus-kasus keracunan Staphylococcus aureus pun umumnya terjadi

pada pangan dengan kriteria tersebut. Beberapa jenis pangan yang pernah

dilaporkan berasosiasi dengan keracunan Staphylococcus aureus adalah

daging dan ayam, ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya

(Buckle et al., 1978); produk roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas,

14

daging dan produk daging, ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus

krim, salad, puding, custard, pai, dan salad dressing (Frazier dan Westhoff

1978); sementara di Amerika Serikat, daging babi, terutama ham panggang,

adalah pangan yang paling sering menyebabkan kejadian keracunan (Bergdoll

1979).

Kejadian food-borne disease di Indonesia (yang tergolong sebagai

negara berkembang) masih cukup tinggi. Di tahun 2004 misalnya telah terjadi

lebih dari 50 kali kejadian keracunan makanan massal di Indonesia, 15 orang

korbannya dinyatakan meninggal dunia (UNTAG, 2008). Sementara itu,

menurut data Departemen Kesehatan (2008), setidaknya ada 32 kasus

keracunan pangan sepanjang April 2006 sampai dengan November 2008. Tiga

puluh dua kasus tersebut mencakup 4307 korban dengan rincian 57 orang

meninggal, 2357 orang rawat inap, dan 1893 orang rawat jalan (Tabel 5).

Namun, minimnya tindakan lanjut dari pelaporan kasus-kasus

keracunan pangan ini menyebabkan sulitnya mengidentifikasi penyebab

keracunan. Data yang tersedia umunya hanya menyatakan lokasi kejadian dan

jumlah korban, namun tidak sampai pada menjelaskan penyebabnya. Data

yang lain menyebutkan penyebabnya, namun sangat umum, seperti yang

dilaporkan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan Andarwulan (2007) bahwa

penyebab keracunan pangan yang dilaporkan di Indonesia selama tahun 2001-

2004 adalah faktor mikrobiologis sebesar 14%, faktor kimia sebesar 12%, dan

sisanya tidak diketahui (yaitu sebesar 57%), bahkan sebanyak 9% data laporan

tidak diketahui lokasi kejadiannya. Hal ini karena 50% data yang diterima

oleh BPOM sendiri berasal dari media massa (koran), sehingga sudah

terlambat bagi pihak BPOM melakukan analisis penyebab keracunan

mengingat sudah tidak tersedianya lagi sampel pangan untuk diuji.

Namun, dengan mempertimbangkan latar belakang sosial, budaya, dan

pendidikan yang ada di Indonesia, maka diduga kuat bahwa kasus-kasus

keracunan yang terjadi merupakan dampak dari rendahnya praktetk sanitasi

dalam mengolah dan menyiapkan pangan, terutama pada industri jasa boga.

Hal ini didukung dengan laporan BPOM (2005) di dalam Hariyadi dan

Andarwulan (2007) bahwa salah satu sumber terbesar penyebab keracunan

15

makanan di Indonesia selama tahun 2001-2004 adalah industri jasa boga, yaitu

sebanyak 31%.

Tabel 5. Data Keracunan Pangan di Indonesia (Depkes, 2008)

Korban No

Tempat dan Tanggal Meninggal Rawat Inap Rawat Jalan

1 Bandung, 04-04-06 0 0 82 2 Klaten, 02-06-06 0 380 0 3 Cirebon, 30-10-06 0 118 0 4 Kediri, 02-12-06 0 5 107 5 Jayapura, 19-07-07 0 0 135 6 Magelang, 22-07-07 10 22 0 7 Subang, 13-08-07 0 29 22 8 Bogor, 03-02-08 0 3 83 9 Makasar, 09-02-08 0 169 0 10 Magetan, 26-02-08 0 39 57 11 Cianjur, 08-03-08 0 34 13 12 Cianjur, 15-03-08 0 0 415 13 Jambi, 20-03-08 23 5 0 14 Takalar, 21-03-08 0 71 0 15 Malang, 30-03-08 0 0 56 16 Dompu, 09-04-08 4 130 244 17 Sukabumi, 14-04-08 1 240 0 18 Banyumas, 19-04-08 0 76 16 19 Tegal, 16-05-08 1 121 115 20 Kediri, 31-05-08 0 4 48 21 Sukabumi, 06-06-08 0 89 103 22 Makasar, 08-06-08 0 30 0 23 Majalengka, 09-06-08 0 45 20 24 Sukabumi, 23-07-08 0 2 28 25 Subang, 24-07-08 0 113 229 26 Merauke, 27-07-08 18 119 0 27 Bandung, 16-08-08 0 132 0 28 Bandung,18-08-08 0 160 0 29 Magelang, 19-09-08 0 55 10 30 Lhokseumawe, 20-09-08 0 143 0 31 Bantul, 25-09-08 0 16 0 32 Jayapura, 21-11-08 0 7 110

Jumlah 57 2357 1893

Berdasarkan data-data yang dijelaskan di atas, Staphylococcus aureus

kemungkinan merupakan salah satu agen penyebab keracunan pangan yang

selama ini terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan karena Staphylococcus

aureus yang secara alami ada pada tubuh manusia sangat mungkin untuk

mengkontaminasi pangan yang diolah dan disiapkan dengan kondisi sanitasi

yang tidak baik. Penelitian di Indonesia, di antaranya oleh Hartini (2001) dan

16

Ruslan (2003), menunjukkan bahwa beberapa produk pangan tradisional siap

santap yang dijajakan oleh pelaku usaha jasa boga yang diuji telah tercemar

bakteri Staphylococcus aureus (Tabel 6).

Tabel 6. Data cemaran Staphylococcus aureus pada beberapa pangan

Jenis Pangan Jumlah Staphylococcus aureus (Log CFU/g)

Sumber data

Bakso 1,74 a (Hartini, 2001)* Gado-gado 3,72 a Mie ayam 1,78 a Nasi Rames 3,21 a Siomay 2,43 a Soto ayam 1,65 a Touge goreng 5,10 a Gado-gado 5,81 b (Ruslan, 2003)^ Kacang panjang rebus 5,61 b Kol rebus 5,15 b Wortel rebus 5,23 b Tauge rebus 4,74 b

*) Dengan media Vogel-Johnson Agar (VJA), sampel diambil jam 11 siang ^) Dengan media Baird-Parker Agar (BPA), sampel diambil 2-3 jam sejak

penjaja mulai berjualan (data asli dalam satuan CFU/g).

C. PENETAPAN RISIKO

Risiko adalah fungsi dari kemungkinan terjadinya efek buruk terhadap

kesehatan dan tingkat keparahan dari efek tersebut (Forsythe, 2002). Analisis

risiko merupakan perkembangan terbaru dalam dunia keamanan pangan,

sebagimana yang dikatakan oleh Forsythe (2002) bahwa analisis risiko adalah

“generasi ketiga” dari sistem keamanan pangan, yang terdiri dari:

1. Good hygienic practices dalam produksi dan penyiapan pangan untuk

mereduksi prevalensi dan konsentrasi bahaya mikrobiologi.

2. HACCP atau pendekatan yang serupa dengan HACCP yang secara

proaktif mengidentifikasi dan mengendalikan bahaya.

3. Analisis risiko yang memfokuskan pada penanggulangan kemungkinan

terjadinya gangguan kesehatan jika manusia mengkonsumsi pangan yang

mengandung bahaya mikrobiologi, dan terdaparnya bahaya pada seluruh

rantai pangan (from farm to fork).

Lebih lanjut Forsythe (2002) menjelaskan bahwa analisis risiko terdiri

dari tiga komponen, yaitu 1) kajian risiko untuk mengidentifikasi risiko dan

17

faktor yang mempengaruhinya; 2) manajemen risiko untuk mengetahui

bagaimana risiko dikendalikan atau dicegah; dan 3) komunikasi risiko.

Hubungan ketiga komponen tersebut dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Komponen analisis Risiko (Forsythe, 2002, dengan tambahan dari Ross dan McMeekin, 2003)

Kajian risiko adalah suatu proses penentuan risiko yang berlandaskan

pada data-data ilmiah yang terdiri dari empat tahapan, yaitu: 1) identifikasi

bahaya; 2) karakterisisasi bahaya; 3) kajian pemaparan; dan 4) karakterisasi

risiko, selain tahap awal berupa penetapan tujuan dan tahap akhir berupa

pembuatan laporan resmi.

Identifikasi bahaya terdiri dari identifikasi agen-agen biologi, kimia,

dan fisik yang mungkin menyebabkan efek buruk terhadap kesehatan yang

mungkin ada pada suatu pangan atau suatu kelompok pangan. Informasi

potensi bahaya mikroba dan toksinnya dapat diperoleh dari berbagai sumber,

seperti studi pengawasan oleh pemerintah dan berbagai jenis organisasi yang

memiliki reputasi dalam hal ini (Forsythe, 2002).

Kajian pemaparan adalah evalusi secara kualitatif dan/atau kuantitatif

terhadap kemungkinan asupan agen-agen biologi, kimia, dan fisik melalui

pangan atau sumber lain yang relevan. Kajian pemaparan menentukan

kemungkinan pengkonsumsian dan kemungkinan dosis patogen yang mungkin

terpapar pada konsumen melalui pangan (Forsythe, 2002). Kajian pemaparan

terhadap agen mikrobial didasarkan pada potensi terkontaminasinya pangan

Kajian Risiko

(‘scientific’)

Manajemen Risiko

(‘political’)

Komunikasi Risiko

Pertukaran informasi dan opini yang

interaktif

18

oleh agen tersebut atau oleh toksinnya, dan didasarkan juga pada informasi

yang berhubungan dengan pangan. Jika memungkinkan, data prevalensi dan

konsentrasi bahaya dapat digunakan (Sumner, 2002).

Forsythe (2002) menjelaskan bahwa kajian pemaparan adalah bagian

paling kompleks dari kajian risiko. Faktor-faktor yang terlibat pada tahap ini

antara lain meliputi:

o Ekologi mikroba pada pangan

o Kebutuhan pertumbuhan mikroba (parameter intrinsik dan ekstrinsik)

o Tingkat kontaminasi awal bahan mentah

o Prevalensi infeksi pada pakan ternak

o Efek produksi, proses, pemasakan, penanganan, penyimpanan,

distribusi, dan penyiapan akhir terhapat agen mikrobial

o Variabilitas proses dan kontrol proses

o Level sanitasi, praktek pemotongan, dan tingkat penyebaran hewan

o Potensi terjadinya rekontaminasi (seperti kontaminai silang)

o Metode dan kondisi pengemasan, distribusi, dan penyimpanan pangan.

Karakterisasi bahaya adalah evalusi secara kualitatif dan/atau

kuantitatif terhadap efek merugikan yang diasosiasikan dengan agen biologi,

kimia, dan fisik yang mungkin ada pada pangan (Forsythe, 2002). Sumner

(2002) menjelaskan bahwa karakterisasi bahaya diperoleh dengan

mengumpukan informasi perilaku bahaya dan asupan bahaya yang

kemungkinan menyebabkan sakit.

Karakterisasi risiko adalah integrasi dari tiga langkah sebelumnya

(identifikasi bahaya, kajian pemaparan, karakterisasi bahaya) untuk

memperoleh dugaan risiko yang mungkin terjadi dan tingkat keparahan dari

efek buruknya terhadap suatu populasi, yang disertai adanya ketidakpastian

(Forsythe, 2002). Hubungan keempat tahap kajian risiko ini dapat dilihat pada

Gambar 5.

19

Gambar 5. Diagram alir kajian risiko (Notermans et al., 1996, di dalam Forsythe, 2002) Kajian risiko bersifat spesifik terhadap suatu kombinasi bakteri dan

jenis pangan tertentu. Forsythe (2002) menyebutkan beberapa kajian risiko

yang telah dilakukan, yang secara spesifik memfokuskan pada kombinasi

suatu bakteri dan pangan tertentu, seperti risiko B. cereus pada susu

pasteurisasi, Salmonella pada produk daging ayam, E. coli O157:H7 pada

daging giling (cincang), dan S. enteritidis pada telur dan produk telur.

Manajemen risiko diperlukan ketika data epidemiologi dan

pengawasan menunjukkan bahwa sutu pangan yang spesifik mungkin

membahayakan kesehatan konsumen karena adanya mikroorganisme patogen

atau toksinnya (Forsythe, 2002). Forsythe (2002) juga menjelaskan bahwa

manajemen risiko adalah proses yang terpisah dari kajian risiko, dengan

mempertimbangkan alternatif kebijakan yang ada, dalam suatu konsultasi

dengan pihak-pihak yang terkait, dengan mempertimbangkan kajian risiko dan

faktor lain yang relevan, untuk melindungi kesehatan konsumen dan

PENETAPAN TUJUAN

IDENTIFIKASI BAHAYA Identifikasi bahaya mikrobiologis, yang dapat

membahayakan kesehatan

KAJIAN PEMAPARAN Evaluasi tingkat asupan yang mungkin terhadi

KARAKTERISASI BAHAYA Evaluasi efek buruk kesehatan yang

berasosiasi dengan bahaya mikrobiologi, yang mungkin ada pada pangan.

Kajian dosis-respon sebaiknya dilakukan jika data tersedia.

KARAKTERISASI RISIKO Integrasi kajian pemaparan dan karakterisasi bahaya.

Perkiraan risiko terhadap kesehatan yang mungkin terjadi pada suatu populasi, dengan adanya keragaman dan ketidakpastian.

PENULISAN LAPORAN RESMI

20

mempromosikan perdagangan yang ‘fair’, dan jika diperlukan memilih opsi

pencegahan dan pengendalian yang sesuai.

Manajemen risiko dapat dibagi ke dalam empat aspek, yaitu: 1)

evaluasi risiko yang merupakan bagian awal dari aktivitas manajemen; 2)

pengkajian opsi manajemen risiko; 3) implementasi dan manajemen

keputusan; dan 4) monitoring dan review (Forsythe, 2002). Bagian-bagian dari

tahap manajemen risiko dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Proses manajemen Risiko (BPOM, 2004a)

Komunikasi risiko adalah pertukaran informasi dan opini secara

interaktif dalam pelaksanaan analisis risiko mengenai risiko, faktor yang

berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko, antara pengkaji risiko, manajer

risiko, konsumen, industri, komunitas akademisi, dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan, termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian

risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (Forsythe, 2002).

Evaluasi Risiko - identifikasi masalah - pengembangan profil risiko - pengurutan bahaya - pembentukan komisi kajian risiko - pertimbangan keputusan

Monitoring dan Review - review hasil - pengkajian keberhasilan tindakan yang diambil

Mengkaji Opsi Manajemen Risiko

- identifikasi opsi - seleksi opsi - pengambilan keputusan akhir manajemen

Implementasi Keputusan Manajemen Risiko

- pelaksanaan tindakan terbaik untuk menangani masalah

21

Keluaran yang dihasilkan dari suatu analisis risiko dapat berbentuk

kuantitatif maupun kualitatif. Hal ini bergantung pada kajian risiko yang

dilakukan. Forsythe (2002) menyatakan bahwa karakterisasi risiko adalalah

tahap akhir dalam kajian risiko yang dapat berupa karakterisasi kualitatif

(rendah, sedang, tinggi) atau kuantitatif (jumlah manusia yang terinfeksi, sakit,

atau mati per tahun atau per 100.000 populasi), tergantung pada tahap kajian

pemaparan.

Dengan demikian, kajian risiko dapat dibedakan menjadi dua, yaitu

kajian risiko secara kualitatif dan kajian risiko secara kuantitatif. Kajian risiko

secara kuantitatif merupakan analisis matematis terhadap data-data numerik.

Analisis matematis yang digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif ini

terdiri dari metode-metode statistika yang dibangun atas dua dasar, yaitu

adanya ketidakpastian (uncertainty) dan adanya keragaman (variability) dari

analisis yang dilakukan. Keluaran yang dihasilkan merupakan perkiraan risiko

yang meliputi peluang dan keparahan sakit yang disebabkan karena

mengkonsumsi pangan yang mengandung bahaya, misalnya jumlah kejadian

luar biasa per tahun; jumlah sakit per tahun atau per jumlah tertentu (misal

100.000) populasi, atau jumlah yang sakit per jumlah tertentu (misal 100.000)

porsi pangan. Kajian risiko kuantitatif dapat memberikan jawaban terhadap

pertanyaan-pertanyaan manajemen risiko secara yang lebih detil daripada

kajian risiko kualitatif.

Ching (2009) menjelaskan bahwa secara umum ada dua pendekatan

yang dapat digunakan dalam kajian risiko secara kuantitatif, yaitu pendekatan

secara deterministic dan pendekatan secara probabilistic (stochastic).

Pendekatan secara deterministic merupakan pendekatan untuk

mengkuantifikasi risiko dalam suatu nilai tertentu, sedangkan pendekatan

secara probabilistic merupakan pendekatan untuk mengkuantifikasi risiko

dalam suatu interval nilai tertentu.

Kajian risiko secara kualitatif adalah kajian yang deskriptif atau

merupakan penetapan kategori risiko berdasarkan informasi-informasi yang

tersedia. Keluaran yamg diperoleh biasanya dinyatakan dalam kategori risiko

tinggi, sedang, rendah, atau risiko yang dapat diabaikan.

22

Baik kajian risiko kualitatif maupun kuantitatif adalah penting pada

keadaan yang berbeda (BPOM, 2004a). Lebih lanjut BPOM (2004a)

menyebutkan bahwa kajian kuantitatif merupakan pilihan yang lebih disukai,

terutama jika data cukup tersedia. Pada kondisi di mana terdapat keterbatasan

data, waktu, ataupun sumber daya lain, pilihan dapat diberikan pada kajian

kualitatif.

BPOM (2004b) menyatakan bahwa pada kajian risiko secara kualitatif,

dalam memberikan perkiraan peringkat kategori risiko seringkali sangat

diperlulan opini atau pertimbangan para ahli (expert panel) dari berbagai

bidang ilmu. Peran para ahli dalam memberikan opininya menjadi sangat

penting, karena dalam memperkirakan suatu peluang, misalnya peluang

kontaminasi atau peluang pemaparan, diperlukan pertimbangan ahli-ahli

dalam bidang masing-masing.

Penetapan risiko kualitatif merupakan penetapan besarnya risiko suatu

sumber bahaya pada suatu jenis pangan berdasarkan kategori-kategori risiko.

Salah satu kajian risiko secara kualitatif adalah kajian risiko yang mengacu

pada prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara kualitatif yang disusun

oleh BPOM (2004b).

Unsur-unsur yang tercakup dalam penetapan kategori risiko ini

meliputi peluang dan dampak. Peluang meliputi peluang kontaminasi, peluang

pemaparan, dan penyebaran yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder

penyakit. Sedangkan dampak meliputi spektrum inang dan dampak kesehatan,

dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.

Peluang kontaminasi adalah peluang terjadinya kontaminasi sepanjang

rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan produk, selama proses,

penyimpanan, distribusi, dan penyiapan. Peluang pemaparan merupakan

peluang yang diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis pemaparan atau

jumlah mikroba yang diperlukan untuk menyebabkan penyakit atau

menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Sementara penyebaran

yang luas dan/atau potensi penyebaran sekunder penyakit, penting untuk

menentukan dampak penyakit dan pengontrolannya.

23

Spektrum inang dan dampak kesehatan memuat dampak biologis dari

bahaya, termasuk dosis-respon, status kronis atau akut, serta dampak bagi

kelompok umur atau kondisi populasi tertentu. Dampak ekonomi mencakup

dampak akibat perawatan yang dilakukan atau diharapkan, eradikasi penyakit,

kehilangan pekerjaan akibat sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan, dan

kerugian finansial. Sementara dampak lingkungan merupakan akibat dari

kemungkinan berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji.

24

III. METODOLOGI PENELITIAN

A. BAHAN DAN ALAT

1. Bahan

Bahan yang digunkan adalah nasi uduk, kultur Staphylococcus

aureus (kontrol positif, ATCC 25923, koleksi Seafast Center), kultur

Staphylococcus epidermidis (kontrol koagulase negatif, dari UI), dan

berbagai media. Media-media tersebut adalah Trypticase Soy Broth (TSB,

Difco), Trypton Soya Agar (TSA, Oxoid), Baird-Parker Base (BP, Difco),

Brain Heart Infusion (BHI, Oxoid) Broth, kuning telur, tellurit 1%, yeast

extract, glukosa, mannitol, tripton, agar, buffer posfat, NaCl, plasma

kelinci dengan EDTA (FKH IPB), H2O2 5%, pereaksi pewarnaan Gram,

parafin cair steril, bromcresol purple, air destilata, alkohol 70%, spritus,

kapas, tissue, plastik stomacher, alufo, label, minyak imersi, dan korek

api.

2. Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain adalah otoklaf (121ºC; 103,4

kPa), inkubator 35ºC, neraca analitik, hot plate, vortex, stomacher,

termometer, mikroskop, gelas preparat, bunsen, pipet mikro, pipet

volumetrik, bulb, gelas ukur, erlenmeyer, botol semprot, cawan petri,

jarum ose, tabung reaksi bertutup, rak tabung reaksi, sendok steril, sudip

steril, gelas pengaduk steril, gelas preparat, termos nasi uduk, dispenset,

dan alat untuk pembersihan peralatan.

B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu: 1) penetapan risiko

Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional siap santap; dan 2)

evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus pada nasi uduk, yang meliputi

enumerasi, isolasi, dan karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif.

25

1. Penetapan Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional

Siap Santap

Penetapan risiko dilakukan dengan kajian risko secara kualitatif

berdasarkan informasi-informasi yang tersedia dalam pustaka. Keluaran

yang diperoleh dinyatakan dalam kategori risiko tinggi, sedang, rendah,

atau risiko yang dapat diabaikan. Penetapan risiko ini mengacu dan

dikembangkan dari prinsip-prinsip kajian risiko mikrobiologis secara

kualitatif yang disusun oleh BPOM (2004b). Penetapan risiko keracunan

Staphylococcus aureus ini diterapkan pada tiga puluh jenis pangan

tradisional siap santap.

2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Dalam

Nasi Uduk yang Dijajakan Oleh Pelaku Usaha Jasa Boga

Tahap ini bertujuan untuk menghitung, mengisolasi, dan

mengkarakterisasi Staphylococcus aureus dalam nasi uduk yang dijajakan

oleh pelaku usaha. Staphylococcus aureus yang dijadikan target dalam

tahap ini adalah Staphylococcus aureus yang memproduksi enzim

koagulase. Tahap ini sekaligus sebagai verifikasi dari penetapan risiko

pada tahap pertama. Untuk itu, evaluasi ini dilakukan pada satu pangan

tradisional siap santap, yaitu nasi uduk.

Sampel nasi uduk diperoleh dari warung-warung di sekitar tempat

penelitian (kampus IPB Dramaga) yang menyediakan sampel tersebut.

Pemilihan warung dilakukan secara acak dengan sistem pengundian.

Sampel dibeli dari pedagang pada pagi hari (sekitar jam 7.00), kemudian

di bawa ke laboratorium mikrobiologi Seafast Center untuk di analisis

pada beberapa selang waktu penyimpanan pada suhu termos (sekitar

37oC).

Evaluasi ini dilakukan dengan metode BAM (2001) yang

dikembangkan oleh US FDA, dengan beberapa perubahan. Tahap ini

diawali dengan menentukan satu sampel yang akan diuji. Penentuan

sampel ini didasarkan pada tahap penetapan risiko sebelumnya. Kemudian,

sampel diuji untuk menghitung Staphylococcus aureus secara

26

semikuantitatif dengan menggunakan metode Most Probable Number

(BAM, 2001). Tahap evaluasi ini juga dilakukan untuk menentukan

frekuensi isolat Staphylococcus aureus koagulase positif melalui uji

pembentukan koloni pada agar Baird-Parker, lalu uji-uji biokimia yang

meliputi aktivitas koagulase, aktivitas katalase, pewarnaan Gram, uji

fermentasi glukosa, dan uji fermentasi mannitol.

Hasil akhir penelitian adalah laporan hasil dari pengolahan data yang

diperoleh selama penelitian, berupa data penetapan risiko keracunan

Staphylococcos aureus pada tiga puluh jenis pangan tradisional siap santap

dan data evaluasi keberadaan Staphylococcos aureus koagulase positif pada

nasi uduk. Selain itu, diharapkan diperoleh isolat Staphylococcos aureus

koagulase positif yang dapat digunakan untuk penelitian selanjutnya.

C. METODE KAJIAN DAN ANALISIS

1. Risiko Staphylococcus aureus pada Pangan Tradisional Siap Santap

(BPOM, 2004b)

Risiko Staphylococcus aureus ditetapkan terhadap tiga puluh jenis

pangan tradisional siap santap (Tabel 7). Pangan-pangan tersebut dipilih

karena merupakan jenis pangan yang umum ditemukan pada industri jasa

boga tradisional.

Tabel 7. 30 Jenis Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS) yang dijadikan sampel dalam penetapan risiko Staphylococcus aureus

Telur mata sapi Tahu goreng Martabak kacang Telur dadar Sate padang Karedok Sate jeroan Rujak Ayam suir di bubur ayam Ikan tongkol sambal Pergedel kentang Tempe goreng Ikan goreng Lele goreng pecel lele Tempe bacem Ikan asin teri goreng Bakso Ketoprak Ayam goreng Soto mi Gado-gado Telur asin Pecel sayur Rendang Soto daging Nasi kuning Siomay Nasi uduk Mie ayam Nasi goreng

27

Risiko Staphylococcus aureus pada ketiga puluh pangan tradisional

siap santap tersebut dilakukan dengan memeriksa unsur peluang

kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dampak kesehatan,

dampak ekonomi, dan dampak lingkungan.

a. Peluang Kontaminasi

Peluang ini ditentukan dengan memperkirakan peluang

terjadinya kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan

baku dan produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan

penyiapan; sumber kontaminasi; dan jalur kontaminasinya. Hal-hal

yang harus dipertimbangkan meliputi:

• Diagram skenario penanganan, pengolahan, distribusi,

penyajian

• Sumber kontaminasi (tanaman, hewan, atau manusia)

• Prevalensi dan distribusi mikroba

• Pemanenan, pengolahan, penyimpanan, distrubusi, pengolahan

• Praktek sanitasi pangan

• Program preventif sepanjang rantai pangan

Peringkat peluang kontaminasi dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang kontaminasi dangat rendah atau dapat

diabaikan pada kombinasi faktor-faktor yang disebutkan di atas.

B = Rendah: peluang kontaminasi rendah tetapi mungkin terjadi

dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor seperti yang

dijelaskan di atas.

S = Sedang: peluang kontaminasi mungkin terjadi dengan

pertimbangan faktor yang dijelaskan di atas.

T = Tinggi: peluang kontaminasi sangat mungkin atau pasti terjadi

dengan pertimbangan kombinasi faktor-faktor yang dijelaskan di

atas.

b. Peluang Pemaparan

Peluang pemaparan diperkirakan berdasarkan ambang batas

kritis pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk

28

menyebabkan penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap

kesehatan. Peluang pemaparan diperkirakan dengan

mempertimbangkan:

• Survival mikroba, potensi untuk tumbuh atau mati pada pangan

dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengolahan,

penyimpanan, distribusi, dan penyiapan yang meliputi suhu,

waktu, pH, dan aktivitas air (aw), kompetisi mikroba dan

interaksinya serta perubahan kimia.

• Efektifitas dan pengendalian proses untuk menghambat atau

menginaktivasi bahaya.

• Konsumen beserta pola konsumsinya.

• Variasi dan distribusi populasi yang rentan.

Peringkat peluang pemaparan dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan

sangat rendah atau dapat diabaikan dengan mempertimbngankan

faktor-faktor yang disebutkan di atas.

B = Rendah: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan

rendah tetapi jelas mungkin terjadi dengan mempertimbangkan

kombinasi faktor-faktor di atas.

S = Sedang: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan

mungkin terjadi dengan mempertimbangkan faktor-faktor di

atas.

T = Tinggi: peluang pemaparan terhadap populasi yang rentan

mungkin terjadi dengan mempertimbangkan kombinasi faktor-

faktor di atas.

c. Penyebaran yang Luas dan/atau Potensi Peyebaran Sekunder

Penyakit

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba patogen

dan penyebaran sekundernya penting untuk menentukan dampak

penyakit dan pengontrolannya. Potensi penyebaran tingkat pemaparan

secara luas dan penyebarab sekundernya dari tempat asal kejadian

29

penyakit dipengaruhi oleh metode distribusi pangan dan biologi

penyakit atau mikroba. Biologi penyakit dapat dinyatakan sebagai

jumlah kasus per kejadian keracunan pangan di daerah studi

epidemiologi dengan metode distribusi yang sama. Peringkat distribusi

dan potensi penyebaran dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dari asal

wabah dapat diabaikan.

B = Rendah: peluang distribusi dan/atau penyebarannya dan

kejadian wabah penyakit cenderung sangat lokal.

S = Sedang: peluang distribusi dan/atau penyebarannya moderat.

T = Tinggi: peluang distribusi dan/atau penyebarannya tinggi dengan

potensi untuk terjadi pada beberapa daerah selain daerah asal.

d. Spektrum Inang dan Dampak Kesehatan

Dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, dapat

diketahui dengan mencatat kisaran populasi yang potensial terpengaruh

dan dampak penyakit terhadap kesehatan dan kualitas hidup.

Keparahan dampak bisa bervariasi berdasarkan kelompok umur,

misalnya anak-anak versus dewasa versus orang tua dan kondisi yang

bersangkutan (misalnya individu dengan immuno compromised).

Peringkat spektrum dan dampak kesehatan dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: penyakit terjadi pada kelompok yang terbatas dan

atau mempunyai dampak kesehatan dan kualitas hidup yang

dapat diabaikan.

B = Rendah: kisaran populasi yang menderita penyakit terbatas

dengan dampak kesehatan minor.

S = Sedang: kisaran populasi yang terkena penyakit cukup luas

(moderat) dengan dampak kesehatan sedang.

T = Tinggi: penyakit terjadi pada kisaran yang luas dan/atau dengan

dampak terhadap kesehatan dan kualitas hidup yang berat.

30

e. Dampak Ekonomi

Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang

dilakukan/diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat

sakit, kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial

jika suatu pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko

tinggi serta biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya

risiko seperti biaya inspeksi dan lain-lain. Peringkat dampak ekonomi

dikelompokkan menjadi:

A = Diabaikan: dampak kecil atau tidak ada terhadap biaya

pengobatan atau biaya pembersihan, kehilangan pekerjaan atau

perdagangan.

B = Rendah: dampak minor terhadap faktor-faktor di atas.

S = Sedang: dampak moderat terhadap faktor-faktor di atas.

T = Tinggi: dampak berat (parah) terhadap faktor-faktor di atas.

f. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan

berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya

pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap

lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan

desinfektan, eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya

dengan peraturan perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu

dipertimbangkan. Peringkat dampak lingkungan dikelompokkan

menjadi:

A = Diabaikan: tidak ada potensi merusak lingkungan/merubah

ekosistem.

B = Rendah: potensi dampak terbatas terhadap lingkungan.

S = Sedang: berpotensi menyebabkan dampak yang moderat pada

lingkungan.

T = Tinggi: berpotensi menyebabkan kerusakan berat pada

lingkungan dengan kerugian yang nyata pada ekosistem.

31

Masing-masing kemungkinan peringkat dari keenam unsur peluang

dan dampak di atas memiliki simbol dan nilai, yaitu peluang atau dampak

yang diabaikan diberi simbol A (bernilai 1), peluang atau dampak rendah

diberi simbol R (bernilai 2), peluang atau dampak sedang diberi simbol S

(bernilai 3), dan peluang atau dampak tinggi diberi simbol T (bernilai 4).

Sementara itu, masing-masing unsur tersebut juga memiliki bobot sebagai

berikut:

1. Peluang kontaminasi berbobot 0.2

2. Peluang pemaparan berbobot 0.2

3. Peluang penyebaran berbobot 0.2

4. Spektrum inang berbobot 0.2

5. Dampak ekonomi berbobot 0.1

6. Dampak lingkungan berbobot 0.1

Jumlah bobot keseluruhan peluang dan dampak adalah 1 dengan

bobot terbesar (0,8) diberikan kepada perkiraan risiko yang berhubungan

langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan, yaitu peluang

kontaminasi, peluang pemaparan, peluang penyebaran, dan spektrum.

Sementara bobot sisanya (0,2) diberikan kepada perkiraan risiko yang

tidak berhubungan langsung dengan pengaruh buruk terhadap kesehatan.

Kemudian, dari kombinasi enam unsur, empat kemungkinan, dan

bobot tersebut, dibentuklah sebuah matriks yang akan digunakan untuk

menentukan nilai skor terbobot suatu risiko. Berdasarkan nilai skor

terbobot, ditentukan pengelompokan risiko secara kualitatif berdasarkan

kisaran nilai skor. Matriks kombinasi skor dan pembobotan tersebut

disajikan pada Tabel 8. Sedangkan kisaran total skor terbobot untuk

pengelompokan risiko secara kualitatif disajikan pada Tabel 9.

Matriks tersebut diperlukan untuk mendapatkan peringkat

keseluruhan yang diperlukan untuk menetapkan risiko dari masing-masing

pangan tradisional siap santap yang dikaji. Kombinasi yang mungkin dari

keenam peluang dan dampak dengan empat kemungkinan peringkat

32

peluang dan dampak adalah sebanyak 4096 kombinasi. Skor kombinasi

terbobot tertinggi adalah 4 di mana seluruh peluang dan dampak berisiko

tinggi (T,T,T,T,T,T), dan yang terendah adalah 1 di mana seluruh peluang

dan dampak dapat diabaikan (A,A,A,A,A,A). Sementara skor kombinasi

terbobot lainnya berkisar antara 1-4.

Tabel 8. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan skor

Skor peluang/dampak Peluang/

dampak

Bobot

Konta-

minasi

(X)

Pema-

paran

(Y)

Penye-

baran

(Z)

Spek-

trum

(K)

Eko-

nomi

(L)

Ling-

kungan

(M)

Skor

terbobot

Kontaminasi

0.2 (a)

A=1 R=2 S=3 T=4

aX

Pemaparan

0.2 (b)

A=1 R=2 S=3 T=4

bY

Penyebaran

0.2 (c)

A=1 R=2 S=3 T=4

cZ

Spektrum

0.2 (d)

A=1 R=2 S=3 T=4

dK

Ekonomi

0.1 (e)

A=1 R=2 S=3 T=4

eL

Lingkungan

0.1 (f)

A=1 R=2 S=3 T=4

fM

Total skor terbobot (aX+bY+cZ+dK+eL+fM)

Tabel 9. Kisaran total skor terbobot Risiko Kisaran total skor terbobot

N= diabaikan 1 - 1.4

L= rendah 1.5 - 2.4

M= sedang 2.5 - 3.4

H= tinggi 3.4 - 4.0

Namun, karena matriks kombinasi skor ini diterapkan hanya pada

satu jenis mikroba (yaitu Staphylococcus aureus) pada kelompok pangan

33

yang memiliki karakterisasi yang hampir sama (yaitu pangan tradisional

siap santap) maka peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum

inang dan dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan

akan bernilai relatif sama sehingga dapat dianggap sebagai konstanta.

Dengan demikian, penetapan risiko keracunan Staphylococcus

aureus pada pangan tradisional siap santap ini akan difokuskan pada

penetapan peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Peluang

kontaminasi sepanjang rantai pangan tersebut ditetapkan berdasarkan

identifikasi aspek-aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai

pangan seperti tercantum dalam Tabel 10. Identifikasi ini merupakan

kumpulan keadaan-keadaan yang mendukung atau tidak mendukung

keberadaan dan atau pertumbuhan Staphylococcus aureus pada suatu

pangan, termasuk asal keberadaan Staphylococcus aureus tersebut pada

pangan.

Tabel 10. Identifikasi aspek risiko peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan

No Aspek Risiko Peluang Kontaminasi Nilai 1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada

bahan mentah a

2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus

b

3 Peluang terjadinya rekontaminasi (dari tangan, udara terbuka, dan lainnya)

c

4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus

d

5 Peluang adanya waktu inkubasi e 6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus f

7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang g Peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan Σ

Penentuan nilai-nilai pada Tabel 10 ini mengikuti perincian yang

tercantum pada Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 yang memuat

penjabaran kriteria nilai dari aspek-aspek risiko yang berhubungan dengan

peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan. Penyusunan tabel-tabel

penjabaran tersebut didasarkan pada studi literatur seperti yang dijelaskan

di bawah setiap tabel. Selain itu, penyusunan kriteria ini juga melibatkan

diskusi dengan tenaga ahli.

34

Tabel 11. Peluang kontaminasi bahan mentah oleh Staphylococcus aureus Nilai Keterangan

1 Tipe 1: Bahan mentah yang tidak memberikan lingkungan

yang mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti

dominan nabati dan adanya mikroba kompetitor

3 Tipe 2: Bahan mentah yang merupakan keadaan pertengahan

antara nilai 1 dan 5.

5 Tipe 3: Bahan mentah yang memberikan lingkungan yang

mendukung adanya Staphylococcus aureus, seperti dominan

hewani dan tidak adanya mikroba kompetitor

Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan

kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun

sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air (Holt et al., 1994)

Namun, Staphylococcus aureus adalah mikroba kompetitor lemah dan

pertumbuhannya mudah dihambat oleh mikroba lainnya (Baird-Parker,

2000). Demikian juga Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa

Staphylococcus aureus tidak berkompetisi kuat dengan mikroba lainnya

sehingga tidak berpengaruh nyata pada bahan pangan mentah.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa kebanyakan daging telah

terkontaminasi oleh Staphylococcus, namun secara normal hal ini tidak

terlalu penting karena organisme ini biasanya tidak membelah secara cepat

pada bahan pangan mentah dan dihancurkan ketika proses pemasakan.

Staphylococcus yang ada pada daging sebelum pengolahan jarang

berhubungan dengan kejadian keracunan pangan.

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) membuktikan

bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%)

terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sampel-sampel

tersebut terdiri dari daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan,

keju, es krim, produk telur, produk ikan, dan lainnya.

Dengan demikian, keberadaan Staphylococcus aureus pada bahan

mentah kemungkinan akan menimbulkan masalah jika proses pengolahan

bahan pangan tidak mampu menghancurkan bakteri tersebut.

35

Tabel 12. Efektivitas proses pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus

Nilai Keterangan

1 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau

penambahan bahan yang mampu menghancurkan seluruh

kontaminasi mikroba pada bahan mentah.

3 Pengolahan dengan kombinasi suhu dan waktu atau

penambahan bahan yang mampu menekan jumlah

kontaminasi mikroba pada bahan mentah, namun tidak

memusnakan seluruhnya.

5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas.

Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus

aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC selama

10 menit.

Tabel 13. Peluang terjadinya rekontaminasi

Nilai Keterangan

1 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya

rendah dan pangan dikemas

3 Peluang kontak dengan tangan atau bagian tubuh lainnya

tinggi tetapi pangan tersebut dikemas, atau peluang kontak

dengan tangan atau bagian tubuh lainnya rendah tetapi

pangan tidak dikemas

5 Peluang kontak dengan tangan tinggi dan pangan tidak

dikemas

Keberadaan Staphylococcus aureus baik pada bagian-bagian tubuh

manusia maupun pada lingkungan memberikan peluang untuk

mengkontaminasi pangan jika terjadi kontak pangan dengan manusia dan

atau dengan lingkungan. Pangan yang tidak terbungkus dan atau

mengalami kontak dengan manusia selama penyiapan akan lebih mudah

terkontaminasi daripada pangan yang dikemas dan atau disiapkan tanpa

kontak dengan tubuh manusia. Demikian juga frekuensi kontak pangan

dengan tubuh manusia dan atau lingkungan akan mempengaruhi tingkat

kontaminasi.

36

Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa keracunan pangan oleh

Staphylococcus aureus umumnya berasosiasi dengan pangan matang yang

memerlukan proses penanganan oleh manusia seperti daging dan ayam,

ham, produk-produk susu, seperti es krim, keju, dan lainnya. Penelitian

yang dilakukan Hartini (2001) dan Ruslan (2003) membuktikan bahwa

Staphylococcus aureus telah mencemari beberapa pangan tradisional siap

santap seperti gado-gado, nasi rames, soto ayam, touge goreng, dan lain-

lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena pangan-pangan yang diuji telah

mengalami kontak dengan tubuh pedagang dan atau dengan lingkungan.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi

Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan

keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.

Contoh yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan

dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,

misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan

ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang

yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber

kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan

Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada

mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus enterotoksigenik

yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang menyebabkan sakit.

Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari mesin, namun sumber

aslinya kemungkinan besar adalah manusia.

Tabel 14. Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus

Nilai Keterangan

1 Penyimpanan suhu rendah (suhu refrigerasi, yaitu pada suhu

di bawah 10oC)

3 Penyimpanan suhu kamar (± 25-28oC yang merupakan bagian

dari danger zone, yaitu 5-65oC)

5 Penyimpanan suhu pertumbuhan optimum Staphylococcus

aureus (30-37°C)

37

Penilitian yang dilakukan Dewi (2008) dengan melakukan simulasi

pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional

siap santap (nasi uduk, soto ayam, dan tumis buncis) menunjukkan bahwa

penyimpanan pada suhu 5ºC tidak memperlihatkan pertumbuhan

Staphylococcus aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini

juga terjadi pada penyimpanan suhu 10ºC yang tidak memperlihatkan

pertumbuhan sel Staphylococcus aureus yang signifikan.

BMKG (Undate) melaporkan bahwa rata-rata suhu udara bulanan

di Jakarta adalah berkisar antara 26-28°C. Sementara Mas’ad (Undate) di

dalam BMKG (Undate) menjelaskan bahwa suhu di daerah Jakarta

cenderung lebih tinggi 0,7-0,9°C dibandingkan daerah pinggiran. Dengan

demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini (Bogor) diperkirakan sedikit

di bawah suhu ruang daerah Jakarta, terlebih daerah Bogor adalah daerah

pegunungan sehingga suhu udara cenderung lebih dingin. Dengan

demikian, suhu ruang di daerah penelitian ini masuk ke dalam danger zone

yang merupakan zona suhu di mana bakteri akan tumbuh dengan cepat,

namun tidak masuk dalam kisaran suhu optimum pertumbuhan

Staphylococcus aureus. Suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus

aureus adalah 30-37°C (Holt et al.,1994), sementara suhu pertumbuhan

Staphylococcus aureus secara umum berkisar pada 7-47,8°C (Jay, 2000).

Tabel 15. Peluang adanya waktu inkubasi

Nilai Keterangan

1 Pangan disantap langsung setelah diolah

3 Pangan baru disantap beberara lama (kurang dari 3 jam)

setelah diolah

5 Pangan baru disantap setelah lama dibiarkan (lebih dari 3

jam) sejak waktu pengolahan

Berdasarkan penelitian Rawendra (2008) tentang simulasi

pertumbuhan Staphylococcus aureus pada beberapa pangan tradisional

siap santap (nasi uduk, tumis buncis, dan soto ayam), direkomendasikan

bahwa waktu maksimum penyimpanan pada suhu ruang untuk

meminimalisasikan risiko keracunan pangan adalah 6 jam. Sementara itu,

38

FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan pangan-pangan

yang mudah rusak seperti daging, unggas, telur, dan casserole lebih dari 2

jam pada suhu ruang. Berdasarkan kedua rekomendasi ini, maka pada

penelitian ini ditetapkan bahwa pangan yang dikaji dikatakan telah

memiliki waktu inkubasi yang cukup berbahaya jika telah disimpan lebih

dari 3 jam pada suhu ruang.

Tabel 16. Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus

Nilai Keterangan

1 Tipe 1, yaitu pangan dengan matriks dengan aw yang tidak

mendukung pertumbuhan S. aureus, rendah protein, dan atau

mengandung mikroba kompetitor atau faktor penghambat

pertumbuhan sehingga benar-benar menghambat

pertumbuhan Staphylococcus aureus.

3 Tipe 2, yaitu pangan dengan matriks yang mendukung

pertumbuhan Staphylococcus aureus, namun bukan

pertumbuhan optimum, yaitu dengan adanya sebagian faktor

pendukung pertumbuhan, namun juga ada faktor penghambat

pertumbuhan.

5 Tipe 3, yaitu pangan dengan matriks yang benar-benar

mendukung pertumbuhan optimum Staphylococcus aureus

seperti aw yang tinggi, tanpa mikroba kompetitor, dan

kandungan protein yang cukup tinggi.

Staphylococcus aureus merupakan kompetitor lemah terhadap

mikroba lainnya. Akan tetapi, pada pangan matang atau pangan bergaram

yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat

pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat berkembang

sampai pada level yang membahayakan (Buckle et al., 1978). Frazier dan

Westhoff (1978) menyebutkan bahwa pangan yang banyak terkait dengan

penyebab keracunan Staphylococcus aureus diantaranya adalah produk

roti berisi custard –dan krim-, ham, unggas, daging dan produk daging,

ikan dan produk ikan, susu dan produk susu, saus krim, salad, puding,

custard, pai, dan salad dressing.

39

Bergdoll (1979) juga menjelaskan bahwa banyak pangan yang

menyediakan medium yang baik bagi pertumbuhan Staphylococcus yang

terkait dengan kasus keracunan pangan. Di Amerika Serikat, daging babi,

terutama ham panggang, adalah pangan yang paling sering menyebabkan

kejadian keracunan. Selain itu, bahan dari unggas, salad, dan roti-roti yang

berisi krim adalah pangan-pangan lain yang bertanggungjawab terhadap

banyak kasus keracunan.

Penelitian yang dilakukan Dewi (2008) membuktikan bahwa

pertumbuhan Staphylococcus aureus di soto ayam dan nasi uduk lebih

cepat daripada di tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan nutrisi

berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia sehingga pertumbuhan yang

terjadi tidak optimum.

Tabel 17. Keberadaan pemanasan ulang pada pangan Nilai Keterangan

1 Pemanasan dengan kombinasi suhu dan waktu yang mampu

menghancurkan seluruh rekontaminan pada pangan.

3 Pemanasan ulang minimalis dengan kombinasi suhu dan

waktu yang mampu menekan jumlah rekontaminan pada

bahan namun tidak memusnakan seluruhnya.

5 Pengolahan minimalis tanpa adanya proses panas.

Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus

aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC selama

10 menit. Akan tetapi, jika pada pangan telah terbentuk enterotoksin maka

proses pemanasan ulang tidak cukup untuk menghancurkannya karena

enterotoksin yang dihasilkan oleh Staphylococcus aureus memiliki sifat

tahan panas, yaitu bertahan selama 30 menit pada suhu 100ºC.

Penjumlahan nilai-nilai dari Tabel 11 sampai dengan Tabel 17 di

atas menunjukkan peluang adanya Staphylococcus aureus pada pangan,

yang mewakili peluang kontaminasi. Untuk menentukan kemungkinan

penjumlahan dari ketujuh nilai ini digunakan Tabel 18 yang merupakan

pengkategorian tingkat peluang kontaminasi pada pangan.

40

Tabel 18. Penentuan kemungkinan peluang kontaminasi Nilai Kemungkinan

7 - 13 A (diabaikan)

14 - 20 R (rendah)

21 - 27 S (sedang)

28 - 35 T (tinggi)

Kemudian, setelah didapatkan nilai skor terbobot dari ketigapuluh

pangan tradisional siap santap tersebut, maka dilakukan pemilihan pangan

tradisonal yang akan dijadikan sampel pada pengujian tahap selanjutnya,

yaitu tahap evaluasi keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif

pada salah satu pangan tradisonal siap santap. Pangan tradisional siap

santap yang dipilih pada penelitian ini adalah nasi uduk.

2. Evaluasi Keberadaan Staphylococcus aureus Koagulase Positif Pada

Nasi Uduk (BAM, 2001, dengan modifikasi)

Tahap ini merupakan kelanjutan tahap sebelumnya. Diagram alir

tahap ini serta hubungannya dengan tahap sebelumnya dapat dilihat pada

Gambar 10. Tahap ini terdiri dari bagian-bagian sebagai berikut.

a. Sampling

Sampel yang dibeli dari warung-warung di sekitar tempat

penelitian (kampus IPB Dramaga) dibawa menuju laboratorium analisis.

Pada penelitian ini keadaan alami sampel dijaga dengan membawa

sampel ke laboratorium lalu disimpan di dalam termos nasi sebagai

simulasi keberadaan nasi uduk pada warung-warung penjualan.

Sampel yang digunakan diambil dari 6 warung (Gambar 7). Dari

setiap warung diambil sebanyak 5 unit sampel untuk uji selama 5

interval waktu. Dari setiap warung diuji sebanyak 2 kali ulangan.

Dengan demikian, sampel yang diuji berjumlah 60 unit sampel. Setiap

unit sample diuji secara duplikat. Selama pengambilan sampel juga

dilakukan pengamatan terhadap praktek sanitasi pekerja dan proses

penyiapannya.

41

Gambar 7. Peta penyamplingan nasi uduk

b. Persiapan Peralatan

Semua peralatan gelas dan logam yang akan digunakan harus

dibersihkan dan disterilkan terlebih dahulu. Sterilisasi dilakukan dengan

menggunakan otoklaf. Sterilisasi di dalam aotoklaf umumnya dicapai

dengan perlakuan pada 121°C selama 15-30 menit dalam uap jenuh

murni pada tekanan 103,4 kPa (15 lb in-2) di atas tekanan atmosfir

(Harrigan, 1998).

c. Persiapan Media dan Bahan Lain

Prosedur penyiapan media dan bahan lainnya dapat dilihat pada

bagian Lampiran 3.

d. Persiapan Sampel Pangan

Nasi uduk didapatkan dalam keadaan terbungkus kertas

pembungkus nasi (Gambar 8) yang berisi nasi dan lauk pauk (Gambar

9) seperti bihun, tempe orek, telur dadar iris, kerupuk, dan bawang

goreng. Namun, dalam penelitian ini hanya digunakan bagian nasinya

saja. Nasi dipisahkan dari lauk pauk kemudian diambil 25 g nasi sebagai

42

sampel secara aseptik ke dalam plastik stomacher, kemudian tambahkan

larutan pengencer sebanyak 225 ml, lalu lakukan penghancuran sampel

dengan stomacher selama 2 menit. Kemudian dibuat pengenceran

berseri dalam tabung-tabung pengenceran secara aseptik. Pengenceran

yang dibuat adalah 10-1, 10-2, 10-3, dan 10-4 atau disesuaikan dengan

keadaan.

Gambar 8. Kondisi sampel yang diperoleh dari warung

Gambar 10. Penampakan sampel nasi uduk

43

e. Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Stapylococcus aureus

Metode enumerasi, isolasi, dan karekterisasi Staphylococcus

aureus yang digunakan adalah metode Most Probable Number (MPN)

dari BAM (2001). Sebanyak 1 ml dari masing-masing pengenceran

sampel diinokulasikan ke tiga tabung berisi media trypticase soy broth

(TSB) + 10% NaCl. Tabung dengan pengenceran tertinggi harus

memberikan titik akhir/hasil yang negatif. Tabung-tabung diinkubasi

pada 35oC selama 4 hari ± 2 jam.

Tabung yang terlihat keruh harus divorteks terlebih dahulu dan

sebanyak 1 loop inokulum dari masing-masing tabung yang

menunjukkan pertumbuhan (keruh) ini dipupuk ke permukaan cawan

berisi media Baird-Parker (BP) agar yang permukaannya telah

memadat. Inokulum digoreskan di atas permukaan agar untuk

memperoleh koloni terisolasi dan diinkubasi terbalik pada 35oC selama

48 jam.

Dari setiap cawan yang menunjukkan pertumbuhan, pilih minimal

satu koloni yang tumbuh, yang diduga sebagai Staphylococcus aureus,

lalu dipindahkan ke BHI Broth untuk tes konfirmasi. Koloni yang

dipilih adalah koloni tipikal Staphylococcus aureus yakni berbentuk

bundar, halus, cembung, basah, diameter koloni 2-3 mm pada cawan

yang tidak padat pertumbuhannya, berwarna abu-abu kehitaman dengan

pinggiran sedikit putih keruh, dikelilingi oleh zona opaquedan

seringkali dengan zona terluar yang jernih, koloni mempunyai

konsistensi seperti mentega sampai seperti gum ketika disentuh dengan

jarum inokulasi. Terkadang, dari jenis pangan tertentu dan dari produk-

produk susu, dijumpai strain nonlipolitik yang memiliki penampakan

serupa, kecuali tidak ada zona apaquedan dan zona jernih.

Jumlah Staphylococcus aureus per gram sampel dilaporkan

sebagai MPN/gram berdasarkan tabel nilai-nilai MPN dengan tiga seri

tabung. Tabel nilai-nilai MPN dengan tiga seri tabung dapat dilihat pada

Lampiran 4. Selanjutnya dilakukan karekterisasi mikroba yang tumbuh

pada cawan berisi agar Baird-Parker dengan uji-uji di bawah ini.

44

f. Uji Aktivitas Koagulase (BAM, 2001)

Uji koagulase dilakukan dengan cara satu koloni tipikal presumtif

Staphylococcus aureus dari masing-masing cawan dipindahkan ke

dalam tabung-tabung kecil berisi 0.2-0.3 ml brain heart infusion (BHI)

broth dan diemulsikan seutuhnya. Sebanyak 1 loop suspensi BHI

diinokulasikan pada agar miring dengan medium TSA. Inkubasi kultur

BHI dan agar miring pada 35oC selama 18-24 jam. Kultur pada agar

miring dipertahankan pada suhu ruang untuk uji tambahan atau uji

lanjutan apabila uji koagulase diragukan hasilnya.

Sebanyak 0.5 ml plasma koagulase rekonstitusi dengan EDTA

ditambahkan ke dalam kultur BHI broth, dicampur seluruhnya,

diinkubasi pada 35oC dan diperiksa pembentukan gumpalan secara

periodik dengan periode lebih dari 6 jam. Tabung yang positif

mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif adalah tabung

berisi gumpalan yang sempurna dan mantap berada di dasar tabung

ketika tabung digoyang atau dibalikkan. Pada tabung yang berisi

gumpalan sebagian (mengalami reaksi koagulase 2+ dan 3+) harus diuji

lebih lanjut. Pengujian dilakukan bersamaan dengan kultur positif dan

negatif yang telah diketahui. Semua kultur yang diduga Staphylococcus

aureus diberi pewarnaan Gram dan diamati di bawah mikroskop.

g. Uji Pewarnaan Gram (Harrigan, 1998)

� Siapkan lapisan tipis yang difiksasi-panas dari kultur berusia 18-24

jam pada gelas preparat.

� Genangi dengan larutan kristal violet selama 2 menit, pastikan

semua bagian lapisan tergenangi oleh larutan pewarna.

� Letakkan gelas preparat dengan sudut 45°, bilas sempurna larutan

kristal violet dengan air, kemudian genangi dengan iodium selama

1 menit.

� Buang larutan iodium, keringkan dengan kertas hisap lalu letakkan

dengan sudut 45°, bilas dengan etanol 95% hingga tidak ada lagi

sisa pewarna violet yang mengalir (sekitar 5 – 15 detik).

45

� Bilas dengan air, kemudian genangi dengan larutan safranin selama

15 detik.

� Bilas dengan air dan keringkan dengan kertas hisap.

h. Uji Aktivitas Katalase (Harrigan, 1998)

Diambil kultur dari TSA dengan menggunakan loop, letakkan

pada gelas preparat. Kemudian emulsikan dengan satu loop hidrogen

peroksida. Amati pembentukan gelembung-gelembung gas yang

mengindikasikan keberadaan katalase pada kultur yang di uji.

i. Uji Fermentasi Glukosa (BAM, 2001)

Inokulasikan kultur pada tabung fermentasi karbohidrat yang

mengandung glukosa (0,5%) dengan menggunakan loop inokulum.

Pastikan inokulum mencapai dasar tabung. Tutupi permukaan medium

dengan parafin steril paling sedikit dengan ketebalan 25 mm. Inkubasi

selama 5 hari pada suhu 35°C. Asam yang terproduksi secara anaerob

akan mengubah warna indikator menjadi kuning. Lakukan uji ini

bersamaan dengan kontrol (kultur positif, kultur negatif, dan medium).

j. Uji Fermentasi Mannitol (BAM, 2001)

Serupa dengan uji fermentasi glukosa, hanya saja menggunakan

mannitol sebagai karbohidrat. Lakukan juga pengujian bersama kontrol

(kultur positif, kultur negatif, dan medium).

46

Gambar 10. Diagram alir penelitian

Enumerasi dengan MPN

Konfirmasi dengan Agar Baird Parker + EY Telurit

Uji konfirmasi pewarnaan Gram

Uji konfirmasi aktivitas koagulase

Isolasi

Pengolahan data

Laporan

Uji konfirmasi aktivitas katalase, fermentasi glukosa, dan fermentasi mannitol

Persiapan alat dan bahan

Sampel terpilih dari warung

Isolat

Penentuan 30 sampel

Diskusi dengan pakar

Penetapan Risiko

47

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. RISIKO Staphylococcus aureus DALAM PANGAN TRADISIONAL

SIAP SANTAP

Risiko Staphylococcus aureus pada tiga puluh jenis pangan tradisional

siap santap hanya ditekankan pada unsur peluang kontaminasi, karena unsur

peluang dan dampak lainnya dianggap sebagai konstanta. Berdasarkan penetapan

peluang kontaminasi yang telah dilakukan, diperoleh hasil sebagaimana terlihat

dalam Tabel 19, sementara perinciannya dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 19. Peluang kontaminasi S. aureus pada 30 Pangan Tradisional Siap Santap (PTSS)

No. PTSS Nilai Peluang Kontaminasi 1 Sate jeroan 27 Sedang 2 Ayam goreng 27 Sedang 3 Nasi uduk 27 Sedang 4 Telur dadar 25 Sedang 5 Telur mata sapi 25 Sedang 6 Ikan tongkol sambal 25 Sedang 7 Ikan goreng 25 Sedang 8 Ikan asin teri goreng 25 Sedang 9 Soto daging 25 Sedang 10 Ayam suir di bubur ayam 25 Sedang 11 Martabak kacang 25 Sedang 12 Tahu goreng 25 Sedang 13 Karedok 25 Sedang 14 Telur asin 23 Sedang 15 Bakso 23 Sedang 16 Sate padang 23 Sedang 17 Rujak 23 Sedang 18 Tempe goreng 23 Sedang 19 Tempe bacem 23 Sedang 20 Mie ayam 23 Sedang 21 Soto mi 23 Sedang 22 Lele goreng pecel lele 21 Sedang 23 Pergedel kentang 21 Sedang 24 Gado-gado 21 Sedang 25 Ketoprak 21 Sedang 26 Pecel sayur 21 Sedang 27 Nasi kuning 21 Sedang 28 Rendang 21 Sedang 29 Nasi goreng 17 Rendah 30 Siomay 15 Rendah

48

Berdasarkan Tabel 19 di atas terlihat bahwa 28 pangan tradisional siap

santap yang dikaji memiliki peluang kontaminasi sedang, sedangkan sisanya

memiliki peluang kontaminasi rendah (yaitu sebanyak 2 jenis). Namun, jika

diurutkan berdasarkan nilai peluang, maka dapat terlihat urutan nilai yang cukup

beragam. Nilai peluang kontaminasi dapat dikelompokkan menjadi 6 kelompok

nilai, yaitu kelompok nilai 27, 25, 23, 21, 17, dan 15. Kelompok tertinggi, yaitu

kelompok nilai 27, terdiri dari sate jeroan, ayam goreng, dan nasi uduk. Kelompok

nilai 25 terdiri dari telur dadar, telur mata sapi, ikan tongkol sambal, ikan goreng,

ikan asin teri goreng, soto daging, ayam suir di bubur ayam, martabak kacang,

tahu goreng, dan karedok. Kelompok nilai 23 terdiri dari telur asin, bakso, sate

padang, rujak, tempe goreng, tempe bacem, mie ayam, dan soto mi. Kelompok

nilai 21 terdiri dari lele goreng pecel lele, pergedel kentang, gado-gado, ketoprak,

pecel sayur, nasi kuning, dan rendang. Sedangkan kelompok nilai 17 dan 15

masing-masing terdiri dari satu jenis PTSS, yaitu nasi goreng dan siomay.

Berdasarkan penetapan peluang kontaminasi (Lampiran 1), maka terlihat

ada 3 aspek yang meningkatkan peluang kontaminasi, yaitu aspek rekontaminasi,

adanya waktu inkubasi, dan matriks pangan. Demikian pula terlihat ada 1 aspek

yang menurunkan peluang kontaminasi, yaitu aspek proses pengolahan. Hal ini

mengonfirmasi bahwa modus keracunan Staphylococcus aureus adalah pada

pangan matang yang diolah dengan proses yang mampu menghancurkan

Staphylococcus aureus, namun kemudian mengalami rekontaminasi, baik dari

pekerja, lingkungan, maupun peralatan, yang kemudian mengalami waktu

inkubasi yang cukup hingga terbentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan

keracunan pada orang yang mengonsumsi pangan tersebut.

Nasi uduk bersama dua jenis pangan tradisional siap santap lainnya

memiliki nilai peluang kontaminasi tertinggi dengan nilai sebesar 27, dan dipilih

sebagai sampel untuk uji verifikasi. Nasi uduk dipilih sebagai sampel uji verifikasi

dikarenakan adanya beberapa data penelitian lain tentang Staphylococcus aureus

pada nasi uduk sehingga dapat digunakan sebagai data tambahan pada tahap

penetapan risiko yang lebih rinci. Alasan lainnya adalah karena nasi uduk

merupakan jenis pangan tradisional siap santap yang banyak ditemukan di sekitar

tempat penelitian.

49

Berikut ini adalah pengembangan kerangka kajian risiko kualitatif untuk

Staphylococcus aureus dalam nasi uduk.

1. Peluang Kontaminasi

Peluang ini ditentukan dengan memperkirakan peluang terjadinya

kontaminasi sepanjang rantai pangan, yang meliputi bahan baku dan

produk, selama proses, penyimpanan, distribusi, dan penyiapan; sumber

kontaminasi; dan jalur kontaminasinya. Hal-hal yang harus

dipertimbangkan meliputi:

• Diagram skenario penanganan, pengolahan, distribusi, dan

penyajian

• Sumber kontaminasi

• Prevalensi dan distribusi mikroba

• Pengolahan, penyimpanan, distrubusi, dan pengolahan

• Praktek sanitasi pangan

• Program preventif sepanjang rantai pangan

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, maka peluang

kontaminasi dijabarkan dalam poin-poin di bawah ini.

a. Kontaminasi Awal Pada Bahan Mentah

Genus Staphylococcus aureus sebagian besar berasosiasi dengan

kulit dan membran mukosa hewan vertebrata berdarah panas, namun

sering juga diisolasi dari produk pangan, debu, dan air (Holt et al., 1994)

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) menunjukkan

beberapa sampel yang telah terkontaminasi Staphylococcus, seperti

daging segar, produk daging, susu segar, susu olahan, keju, es krim,

produk telur, produk ikan, dan lainnya. Namun, Staphylococcus aureus

adalah mikroba kompetitor lemah dan pertumbuhannya mudah dihambat

oleh mikroba lainnya (Baird-Parker, 2000). Demikian juga Buckle et al.

(1978) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus tidak berkompetisi

kuat dengan mikroba lainnya sehingga tidak berpengaruh nyata pada

bahan pangan mentah.

50

Bahan mentah utama yang digunakan pada pembuatan nasi uduk

meliputi beras, santan kelapa, tempe, dan telur. Kadar protein beras

adalah sekitar 6,9% (Dowd dan Jameson, 1925) dengan kondisi kering

(aw kurang dari 0,85); kadar protein telur adalah sekitar 11,9% (Dowd

dan Jameson, 1925), namun umumnya terkontaminasi dengan mikroba

lainnya, terutama Salmonella spp; sedangkan kadar protein tempe adalah

sekitar 18,3% (Soedarmo dan Sediaoetama, 1985 di dalam Koswara,

1992), namun kehadiran kapang pada tempe akan menghambat

pertumbuhan Staphylococcus aureus.

Dengan kondisi tersebut, maka peluang kontaminasi awal

Staphylococcus aureus pada bahan mentah adalah rendah. Dengan

demikian, peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada bahan-

bahan mentah untuk pembuatan nasi uduk diberi nilai 1.

b. Efektivitas Pengolahan

Gaman dan Sherington (1992) menyatakan bahwa Staphylococcus

aureus mudah mati karena panas, yaitu pemanasan pada suhu 66oC

selama 10 menit. Kondisi ini akan tercapai pada pengolahan nasi uduk

karena suhu yang digunakan adalah suhu tinggi dengan waktu yang lama.

Hal ini cukup untuk mereduksi Staphylococcus aureus karena

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang sensitif terhadap pemanasan

meskipun enterotoksinnya tahan panas.

Oleh karena itu, pengolahan nasi uduk dapat dikatakan mampu

memberikan kondisi yang aman dari tertinggalnya sel-sel Staphylococcus

aureus yang mengalami kondisi subletal. Fardiaz (1990) menjelaskan

bahwa kondisi subletal adalah kondisi yang dapat terjadi karena sebagian

dari sel-sel mikroorganisme yang terdapat dalam makanan yang telah

mengalami proses pengolahan tersebut mungkin belum mati meskipun

tidak dapat hidup secara normal seperti sel-sel yang normal. Sel-sel

tersebut dikatakan mengalami kerusakan subletal, yaitu kerusakan sel

yang tidak mematikan, di mana sel mengalami stres atau sakit. Jika

kemudian nutrien dan kondisi lingkungan memungkinkan, sel-sel yang

51

sakit atau stres tersebut dapat kembali dan berkembang biak seperti

halnya sel-sel normal.

Dengan demikian, efektifitas pengolahan pada proses pembuatan

nasi uduk untuk mereduksi Staphylococcus aureus yang mungkin ada

pada bahan mentah dikatakan cukup efektif sehingga diberi nilai 1.

c. Peluang Terjadinya Rekontaminasi

Keberadaan Staphylococcus aureus baik pada bagian-bagian tubuh

manusia maupun pada lingkungan memberikan peluang untuk

mengkontaminasi pangan jika terjadi kontak pangan dengan manusia dan

atau dengan lingkungan. Pangan yang tidak terbungkus dan atau

mengalami kontak dengan manusia selama penyiapan akan lebih mudah

terkontaminasi daripada pangan yang dikemas dan atau disiapkan tanpa

kontak dengan tubuh manusia. Demikian juga frekuensi kontak pangan

dengan tubuh manusia dan atau lingkungan akan mempengaruhi tingkat

kontaminasi.

Buckle et al. (1978) menyatakan bahwa keracunan pangan oleh

Staphylococcus aureus umumnya berasosiasi dengan pangan matang

yang memerlukan proses penanganan oleh manusia. Penelitian yang

dilakukan Hartini (2001) dan Ruslan (2003) membuktikan bahwa

Staphylococcus aureus telah mencemari beberapa pangan tradisional siap

santap seperti gado-gado, nasi rames, soto ayam, touge goreng, dan lain-

lain. Hal ini kemungkinan terjadi karena pangan-pangan yang diuji telah

mengalami kontak dengan tubuh pedagang dan atau dengan lingkungan.

Bergdoll (1979) menyatakan bahwa sumber utama kontaminasi

Staphylococcus aureus pada pangan yang banyak berhubungan dengan

keracunan Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan.

Staphylococcus aureus umumnya berpindah ke makanan dari sumber

manusia, misalnya orang yang menangani makanan, atau karena

kontaminasi silang dari sumber lainnya (seperti peralatan) yang

sebelumnya telah terkontaminasi oleh manusia (Eley, 1992). Gaman dan

Sherrington (1992) menyebutkan bahwa penanganan pangan dengan

52

tangan, yang tidak meggunakan peralatan memadai, barangkali

merupakan cara penyebaran yang paling umum, terutama jika orang yang

menangani pangan mengalami infeksi atau luka pada tangannya. Batuk

dan bersin dekat dengan pangan dapat menyebabkan kontaminasi, dan

rambut yang jatuh pada makanan atau menggantung (terurai) dekat

dengan makanan juga dapat menimbulkan bahaya. Hal ini diperkuat oleh

fakta bahwa Staphylococcus aureus merupakan mikroba alami yang ada

pada berbagai bagian tubuh manusia.

Pengamatan yang dilakukan pada praktek penyajian nasi uduk pada

warung-warung yang diuji produknya pun menunjukkan bahwa peluang

terjadinya rekontaminasi pada nasi uduk sangat besar, baik pada nasinya

maupun pada lauk pauknya seperti tempe orek, bihun, telur dadar iris,

dan lainnya. Hal ini karena selama penyajian begitu sering terjadi kontak

antara tangan dengan produk pangan yang disajikan. Selain itu, penjual

pun umumnya berbicara ketika menyiapkan nasi uduk sehingga ada juga

kemungkinan rekontaminasi dari saluran pernafasan. Peralatan yang

digunakan pun terlihat kurang bersih, seperti serbet yang selain

digunakan untuk membersihkan tangan juga digunakan untuk menyeka

meja. Demikian pula piring, sendok, dan garpu yang dicuci ala kadarnya

dengan air yang jumlahnya terbatas pun sangat mungkin menjadi sumber

rekontaminasi. Hal ini diperkuat dengan penelitian Kusumawardani

(2002) yang menunjukkan bahwa Staphylococcus aureus dapat

menempel pada permukaan stainless steel (yang umumnya bahan ini

merupakan bahan pembuatan sendok dan garpu). Selain itu, transaksi

langsung yang terjadi antara pedagang dan pembeli memungkinkan

adanya rekontaminasi dari uang yang digunakan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peluang terjadinya

rekontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk sangat besar, baik

dari manusia maupun dari lingkungan. Dengan demikian, peluang

rekontaminasi ini diberi nilai 5.

53

d. Suhu Penyimpanan

Berdasarkan pengamatan terhadap warung-warung penjualan nasi

uduk, nasi uduk biasanya disimpan di dalam termos nasi untuk menjaga

suhunya tetap hangat, meskipun ada beberapa warung yang tidak

melakukan hal yang demikian. Berdasarkan penelitian yang dilakukan

Rawendra (2008) suhu rata-rata termos adalah 37°C. Hal ini berarti suhu

tersebut sangat mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus karena

suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus 30-37ºC (Holt et al.,

1994).

Dengan demikian, bila terjadi rekontaminasi Staphylococcus

aureus pada nasi uduk maupun pada lauknya, sangat besar

kemungkinannya bagi Staphylococcus aureus untuk melakukan

pertumbuhan cepat karena setidaknya dua hal. Pertama, nasi uduk dan

lauk tersebut telah bersih dari mikroba kompetitor sehingga

Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik pada nasi uduk

tersebut. Kedua, pertumbuhan pada nasi didukung oleh suhu yang sesuai

dengan suhu optimum pertumbuhan Staphylococcus aureus.

Rawendra (2008) melakukan penelitian yang menyimulasikan

pertumbuhan Staphylococcus aureus pada tiga jenis pangan, yaitu nasi

uduk yang disimpan pada suhu 37°C, serta soto ayam dan tumis buncis

yang disimpan pada suhu ruang. Berdasarkan penelitian tersebut,

diperoleh hasil bahwa pada nasi uduk terjadi pertumbuhan

Staphylococcus aureus yang lebih cepat daripada soto ayam dan tumis

buncis. Hal tersebut dijelaskan oleh Rawendra (2008) terjadi karena suhu

penyimpanan nasi uduk adalah suhu optimum yang mendukung

pertumbuhan Staphylococcus aureus.

Kesimpulan di atas didukung dengan penelitian Dewi (2008) yang

melakukan simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk

pada suhu rendah. Berdasarkan penelitian tersebut, diketahui bahwa

penyimpanan pada suhu 5ºC tidak memperlihatkan pertumbuhan

Staphylococcus aureus bahkan jumlah bakteri cenderung konstan. Hal ini

54

juga terjadi pada penyimpanan suhu 10ºC yang tidak memperlihatkan

pertumbuhan sel Staphylococcus aureus yang signifikan.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka suhu penyimpanan nasi uduk

sangat mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus. Dengan

demikian, aspek suhu penyimpanan nasi uduk diberi nilai 5.

e. Waktu Inkubasi

Berdasarkan penelitian Rawendra (2008) yang melakukan simulasi

pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk diketahui bahwa

Staphylococcus aureus dapat meningkat hingga 7,39 Log CFU/g dengan

waktu inkubasi selama 12 jam (dengan konsentrasi awal 3 Log CFU/g)

atau meningkat hingga 8,22 Log CFU/g (dengan konsentrasi awal 5 Log

CFU/g). Jumlah ini sudah cukup bagi Staphylococcus aureus untuk

membentuk enterotoksin dalam pangan, karena menurut Buckle et al.

(1978) jumlah Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk

enterotoksin dalam suatu pangan adalah sekitar 106 sel/g pangan.

Berdasarkan penelitiannya tersebut, Rawendra (2008)

merekomendasikan waktu maksimum penyimpanan pada suhu ruang

untuk meminimalisasikan risiko keracunan pangan adalah 6 jam.

Sementara itu, FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan

pangan-pangan yang mudah rusak seperti daging, unggas, telur, dan

casserole lebih dari 2 jam pada suhu ruang. Berdasarkan kedua

rekomendasi ini, maka pada penelitian ini ditetapkan bahwa pangan yang

dikaji dikatakan telah memiliki waktu inkubasi yang cukup berbahaya

jika telah disimpan lebih dari 3 jam pada suhu ruang.

Berdasarkan pengamatan terhadap aktivitas pedagang nasi uduk,

secara umum pedagang nasi uduk beroperasi dari pagi hari (sekitar jam 6)

hingga menjelang siang, walaupun ada juga yang selesai beroperasi lebih

cepat dari itu. Waktu inkubasi ini cukup untuk Staphylococcus aureus

melakukan pertumbuhan sebagaimana simulasi yang dilakukan oleh

Rawendra (2008), atau mungkin lebih besar mengingat sumber

kontaminasi pada keadaan sebenarnya tidak hanya berasal dari

55

kontaminasi awal, tetapi juga dari manusia dan lingkungan sepanjang

waktu penyimpanan.

Dengan demikian, waktu inkubasi yang cukup lama ini

berkontribusi besar pada tingkat kontaminasi Staphylococcus aureus

pada nasi uduk, sehingga diberi nilai 5.

f. Matriks Pangan

Staphylococcus aureus merupakan kompetitor lemah terhadap

mikroba lainnya. Akan tetapi, pada pangan matang atau pangan bergaram

yang bakteri lainnya telah dihancurkan dengan panas atau dihambat

pertumbuhannya dengan garam, Staphylococcus aureus dapat

berkembang sampai pada level yang membahayakan (Buckle et al.,

1978).

Penelitian yang dilakukan Dewi (2008) membuktikan bahwa

pertumbuhan Staphylococcus aureus di soto ayam dan nasi uduk lebih

cepat daripada di tumis buncis, karena pada tumis buncis kebutuhan

nutrisi berupa protein atau karbohidrat tidak tersedia sehingga

pertumbuhan yang terjadi tidak optimum. Penelitian yang dilakukan

Dewi (2008) hanya dilakukan pada bagian nasi saja, sementara

berdasarkan pengamatan di lapangan, dalam penyajiannya, seringkali

nasi uduk disajikan bersama telur dan tempe orek. Kedua lauk ini

merupakan matriks protein yang mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus.

Selain itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa nasi

uduk yang telah mengalami proses pengolahan telah bersih dari mikroba

kompetitor, sehingga jika terjadi rekontaminasi Staphylococcus aureus

maka mikroba tersebut dapat tumbuh dengan baik. Berdasarkan

penjelasan ini, maka matriks nasi uduk tergolong matriks pangan tipe 3,

yaitu matriks pangan yang cukup untuk mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus. Dengan demikian, aspek matriks pangan ini

diberi nilai 5.

56

g. Pemanasan Ulang

Berdasarkan pengamatan dilapangan diketahui bahwa nasi uduk

yang umum ditemukan adalah untuk dijual sekali jalan. Maksudnya, para

pedagang hanya akan menghentikan usahanya jika nasi uduk mereka

telah habis, sehingga sangat rendah adanya kemungkinan pemanasan

ulang.

Dengan demikian, pemanasan ulang dianggap tidak pernah ada

sehingga tidak berpengaruh dalam penurunan jumlah cemaran yang ada

pada sampel, sehingga aspek pemanasan ulang ini diberi nilai 5.

Berdasarkan penjelasan di atas, jumlah nilai peluang kontaminasi

adalah 27 (Tabel 20). Berdasarkan Tabel 18, maka nilai tersebut berarti

peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk adalah sedang.

Dengan demikian nilai skor peluang untuk peluang kontaminasi adalah 3,

dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot sebesar 0,6.

Tabel 20. Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada nasi uduk

No Aspek Risiko Nilai 1 Peluang kontaminasi awal Staphylococcus aureus pada

bahan mentah 1

2 Efektivitas pengolahan dalam menurunkan jumlah Staphylococcus aureus

1

3 Peluang terjadinya rekontaminasi (dari tangan, udara terbuka, dan lainnya)

5

4 Suhu penyimpanan yang mendukung pertumbuhan Staphylococcus aureus

5

5 Peluang adanya waktu inkubasi 5 6 Matriks pangan yang mendukung pertumbuhan

Staphylococcus aureus 5

7 Ada tidaknya proses pemanasan ulang 5 Peluang adanya Staphylococcus aureus pada nasi uduk 27

2. Peluang Pemaparan

Peluang pemaparan diperkirakan berdasarkan ambang batas kritis

pemaparan atau jumlah mikroba yang diperlukan untuk menyebabkan

penyakit atau menyebabkan pengaruh buruk terhadap kesehatan. Peluang

pemaparan diperkirakan dengan mempertimbangkan survival mikroba,

efektifitas dan pengendalian proses untuk menghambat atau menginaktivasi

57

bahaya, konsumen beserta pola konsumsinya, serta variasi dan distribusi

populasi yang rentan.

Menurut Buckle et al. (1978) jumlah Staphylococcus aureus yang

diperlukan untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah

sekitar 106 sel/g pangan. Sumber lain (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe,

2002) menyatakan bahwa jumlah Staphylococcus aureus yang diperlukan

untuk membentuk enterotoksin dalam suatu pangan adalah 105 - <106 sel/g.

Sementara jumlah minimal toxin yang menyebabkan keracunan adalah 0,5-

5 µg (Forsythe, 2000 di dalam Forsythe, 2002).

Secara umum pengolahan nasi uduk maupun lauknya mampu

menghancurkan Staphylococcus aureus, namun rendahnya praktetk sanitasi

menyebabkan mudahnya Staphylococcus aureus merekontaminasi baik nasi

uduk maupun lauknya, baik dari tubuh manusia, lingkungan, maupun

peralatan. Jika Staphylococcus aureus telah mengkontaminasi nasi uduk

atau lauknya, maka bakteri ini dapat bertahan dalam nasi uduk atau lauk

tersebut karena tersedia cukup nutrisi untuk pertumbuhan, sehingga ada

peluang untuk tumbuh hingga jumlah yang membahayakan.

Nasi uduk biasa dikonsumsi oleh segala golongan umur sehingga

mungkin memamar populasi rentan seperti orang tua, ibu hamil, dan orang

sakit, bahkan balita. Dengan demikian, peluang pemaparan ini dinyatakan

tinggi dengan nilai skor peluang sebesar 4, dengan bobot 0,2 maka memiliki

nilai skor terbobot sebesar 0,8.

3. Peluang Penyebaran

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran mikroba patogen dan

penyebaran sekundernya penting untuk menentukan dampak penyakit dan

pengontrolannya. Potensi penyebaran tingkat pemaparan secara luas dan

penyebarab sekundernya dari tempat asal kejadian penyakit dipengaruhi

oleh metode distribusi pangan dan biologi penyakit atau mikroba.

Keracunan Staphylococcus aureus merupakan kasus intoksikasi

yang disebabkan oleh enterotoksin, dan bukan oleh sel hidupnya, sehingga

kasus ini tidak menular. Dengan demikian, peluang penyebaran dapat

58

diabaikan sehingga nilai skor peluang untuk peluang penyebaran adalah 1,

dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot sebesar 0,2.

4. Spektrum dan Dampak Kesehatan

Dampak biologis dari bahaya, termasuk dosis-respon, dapat

diketahui dengan mencatat kisaran populasi yang potensial terpengaruh dan

dampak penyakit terhadap kesehatan dan kualitas hidup. Keparahan dampak

bisa bervariasi berdasarkan kelompok umur, misalnya anak-anak versus

dewasa versus orang tua dan kondisi yang bersangkutan (misalnya individu

dengan immuno compromised).

Keracunan Staphylococcus aureus menyerang populasi yang luas

dengan dampak kesehatan yang sedang berupa diare, pusing, muntah-

muntah, dan lainnya. Menurut Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya

gejala keracunan enterotoksin stafilokoki berupa mual, pusing, muntah, dan

diare. Jay (2000) menyatakan bahwa tingkat kematian karena keracunan ini

rendah atau nol. Dia juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan

istirahat dan memelihara keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978)

menambahkan bahwa waktu yang diperlukan untuk penyembuhan

umumnya cukup cepat (sekitar satu hari).

Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak

dikehendaki oleh konsumen karena sedikit banyak akan mengganggu

aktivitas keseharian mereka. Dengan demikian, dampak spektrum dan

kesehatan dikatakan sedang dengan nilai skor dampak untuk dampak

spektrum adalah 3, dengan bobot 0,2 maka memiliki nilai skor terbobot

sebesar 0,6.

5. Dampak Ekonomi

Kajian mencakup dampak ekonomi akibat perawatan yang

dilakukan/diharapkan, eradikasi penyakit, kehilangan pekerjaan akibat sakit,

kehilangan perdagangan dan penjualan dan kerugian finansial jika suatu

pangan yang mempunyai nilai ekonomis diketahui berisiko tinggi serta

59

biaya-biaya lain yang berhubungan dengan terjadinya risiko seperti biaya

inspeksi dan lain-lain.

Dampak ekonomi keracunan Staphylococcus aureus berbeda antara

produsen maupun konsumen tergantung skala ekonomi industri yang

bersangkutan. FSIS (Undate) melaporkan bahwa di Amaerika Serikat telah

terjadi beberapa kali penarikan produk yang kemungkinan tercemar

Staphylococcus aureus, seperti 340 pon daging ham dan daging sapi asap

pada tahun 2005, 664 pon daging ham pada tahun 2006, dan 330 pon sosis

siap santap pada tahun 2007. Namun, untuk kasus nasi uduk, dampak

ekonomi tidak akan terlalu tinggi mengingat skala penjualan industri jasa

boga tradisional tidaklah terlalu besar. Sehingga kalaupun terjadi

pemusnahan produk, maka hal itu tidak akan menyebabkan kerugian besar

bagi produsen.

Adapun bagi konsumen, seperti yang telah dijelaskan pada dampak

kesehatan bahwa menurut Jay (2000) pengobatan karena keracunan

Staphylococcus aureus cukup dengan istirahat dan memelihara

keseimbangan cairah tubuh. Dengan demikian, efek ini tidak akan

berpengaruh nyata secara ekonomi baik terhadap produsen maupun

konsumen. sehingga dampak ekonomi dikatakan rendah. Nilai skor dampak

ekonomi adalah 2, dengan bobot 0,1 maka memiliki nilai skor terbobot

sebesar 0,2.

6. Dampak Lingkungan

Dampak lingkungan merupakan akibat dari kemungkinan

berpindahnya mikroba patogen ke ekosistem yang dikaji, misalnya

pengaruhnya terhadap spesies lain. Potensi dampak negatif terhadap

lingkungan akibat manajemen risiko misalnya penggunaan desinfektan,

eradikasi penyakit, atau pembersihan serta hubungannya dengan peraturan

perlindungan lingkungan yang berlaku juga perlu dipertimbangkan.

Keracunan Staphylococcus aureus dapat diabaikan karena

Staphylococcus aureus merupakan mikroba alami yang ada pada

lingkungan, bahkan memiliki kapasitas kompetisi rendah dengan mikroba-

60

mikroba lainnya. Dengan demikian, nilai skor dampak lingkungan adalah 1,

dengan bobot 0,1 maka memiliki skor terbobot sebesar 0.1.

Total skor terbobot dari ketiga peluang dan ketiga dampak di atas sebesar

2,5 (Tabel 21) yang berdasarkan Tabel 9 maka diketahui bahwa peluang risiko

Staphylococcus aureus pada nasi uduk adalah sedang.

Tabel 21. Matriks kombinasi peringkat dan perkiraan risiko Staphylococcus aureus pada nasi uduk

Skor peluang/dampak Peluang/

dampak

Bobot

Konta-

minasi

(X)

Pema-

paran

(Y)

Penye-

baran

(Z)

Spek-

trum

(K)

Eko-

nomi

(L)

Ling-

kungan

(M)

Skor

terbobot

Kontaminasi 0.2 (a) S=3 0.6

Pemaparan 0.2 (b) S=4 0.8

Penyebaran 0.2 (c) A=1 0.2

Spektrum 0.2 (d) S=3 0.6

Ekonomi 0.1 (e) R=2 0.2

Lingkungan 0.1 (f) A=1 0.1

Total skor terbobot 2.5

Risiko keseluruhan: SEDANG

Penetapan risko terhadap 29 pangan tradisional lainnya serupa dengan cara

di atas, bahkan untuk peluang pemaparan, peluang penyebaran, spektrum dan

dampak kesehatan, dampak ekonomi, dan dampak lingkungan dapat dianggap

sebagai konstanta. Dengan demikian, pembeda status risiko keracunan

Staphylococcus aureus dari 30 pangan tradisional siap santap ini adalah pada

peluang kontaminasi seperti yang tertuang dalam Tabel 19. Penjabaran peluang

kontaminasi untuk 29 pangan tradisional siap santap lainnya dapat dilihat pada

Lampiran 1. Bila hasil penetapan peluang kontaminasi dari 30 pangan tradisional

siap santap (termasuk nasi uduk) tersebut dimasukkan ke dalam matriks skor

terbobot, maka untuk PTSS dengan peluang kontaminasi sedang akan diperoleh

kategori risiko keseluruhan yang sedang. Adapun PTSS dengan peluang

kontaminasi yang rendah, maka akan memiliki kategori risiko keseluruhan yang

rendah.

Tidak adanya PTSS yang memiliki risiko Staphylococcus aureus yang

tinggi dikarenakan bahaya keracunan Staphylococcus aureus relatif lebih kecil

61

dibandingkan dengan bahaya bakteri patogen lainnya, bahkan beberapa patogen

dapat menyebabkan kematian dalam jangka waktu singkat. Sementara menurut

Pelczar dan Chan (2005), pada umumnya gejala keracunan enterotoksin

stafilokoki hanya berupa mual, pusing, muntah, dan diare. Jay (2000) juga

menyatakan bahwa tingkat kematian karena keracunan ini rendah atau nol. Dia

juga menyatakan bahwa pengobatannya cukup dengan istirahat dan memelihara

keseimbangan cairah tubuh. Buckle et al. (1978) menambahkan bahwa waktu

yang diperlukan untuk penyembuhan umumnya cukup cepat (sekitar satu hari).

Meskipun demikian, dampak keracunan ini tentunya tidak dikehendaki oleh

konsumen.

Selanjutnya, untuk melakukan verifikasi dari penetapan risiko di atas,

maka dilakukan pengujian laboratorium untuk mengevaluasi keberadaan

Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk.

B. EVALUASI KEBERADAAN Staphylococcus aureus KOAGULASE

POSITIF PADA NASI UDUK

Berdasarkan penetapan risiko Staphylococcus aureus pada berbagai

PTSS, khususnya pada nasi uduk, selanjutnya dilakukan evaluasi keberadaan

Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk yang dijajakan oleh

pelaku usaha untuk memverifikasi penetapan peluang kontaminasi pada saat

penetapan risiko dengan keadaan sesungguhnya. Untuk melakukan verifikasi ini

maka dilakukan pengujian labolatorium berupa enumerasi, isolasi, dan

karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk.

Nasi uduk yang akan digunakan dalam tahap verifikasi ini diambil dari

enam warung yang berada di sekitar kampus IPB sebanyak dua kali ulangan.

Setiap ulangan diambil sebanyak lima sampel sehingga total sampel dari tiap

warung adalah sepuluh sampel. Enumerasi, isolasi, dan karakterisasi

Staphylococcus aureus yang dilakukan mengacu pada metode BAM (2001)

dengan modifikasi. Staphylococcus aureus yang dievaluasi keberadaanya adalah

Staphylococcus aureus koagulase positif karena diduga bahwa Staphylococcus

aureus yang menghasilkan enterotoksin adalah Staphylococcus aureus yang

bersifat koagulase positif. Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah

62

berlangsung lama secara menyakinkan membuktikan bahwa strain stafilokoki

koagulase positif adalah penghasil enterotoksin. Berikut ini penjelasan uji-uji

yang digunakan.

1. Enumerasi Semi Kuantitaif dengan MPN

Enumerasi semi kuantitatif dilakukan dengan metode Most Probable

Number (MPN). Uji MPN yang dilakukan menggunakan tiga seri

pengenceran dengan medium Trpticase Soy Broth (TSB) dengan tambahan

10% NaCl. NaCl digunakan sebagai inhibitor terhadap bakteri lainnya yang

umumnya tidak tahan garam dalam konsentrasi tinggi, sementara

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang tahan garam. Jay (2000)

mengatakan bahwa meskipun Staphylococcus aureus dapat tumbuh baik

pada media tanpa NaCl, Staphylococcus aureus dapat tumbuh dengan baik

pada konsentrasi garam 7-10%, dan beberapa strain dapat tumbuh pada

konsentrasi garam 20%. Hasil pertumbuhan positif Staphylococcus aureus

berupa perubahan medium menjadi keruh dan/atau adanya endapan putih

seperti terlihat pada Gambar 11 dan Gambar 12.

Gambar 11. Tabung-tabung MPN yang keruh karena pertumbuhan Staphylococcus aureus

Tabung jernih

Tabung keruh

63

Gambar 12. Timbulnya endapan putih menunjukkan pertumbuhan Staphylococcus aureus

2. Isolasi

Setelah tahap enumerasi, dilakukan tahap isolasi Staphylococcus

aureus dari tabung MPN. Tahap ini dimulai dengan menumbuhkan

Staphylococcus aureus pada agar Baird-Parker yang diperkaya dengan Egg

Yolk Telurit. Robinson et al. (2000) mengatakan bahwa kuning telur dan

telurit digunakan untuk diagnostik, sedangkan litium klorida dan potasium

telurit digunakan sebagai inhibitor selektif. Harrigan (1998) menjelaskan

bahwa potasium telurit menghambat pertumbuhan bakteri Gram negatif.

Koloni yang dipilih adalah koloni tipikal Staphylococcus aureus

yakni berbentuk bundar, halus, cembung, basah, diameter koloni 2-3 mm

pada cawan yang tidak padat pertumbuhannya, berwarna abu-abu

kehitaman dengan pinggiran sedikit putih keruh, dikelilingi oleh zona

opaquedan seringkali dengan zona terluar yang jernih, koloni mempunyai

konsistensi seperti mentega sampai seperti gum ketika disentuh dengan

jarum inokulasi (Gambar 13 dan Gambar 14). Warna hitam adalah hasil

reduksi garam telurit (potasium telurit), metabolisme kuning telur

menghasilkan zona jernih disekitar koloni (Baird-Parker, 2000; Minor dan

Marth, 1976), sedangkan endapan putih di dalam zona jernih adalah hasil

pengendapan garam kalsium dan magnesium (Baird-Parker, 2000).

Endapan putih

64

Gambar 13. Cawan berisi agar Baird-Parker yang telah ditumbuhi Staphylococcus aureus dengan koloni berwarna hitam

Gambar 14. Penampakan koloni Staphylococcus aureus pada agar Baird-Parker

Kemudian, koloni terpilih dipindah ke dalam agar miring Tryton

Soya Agar (TSA) sebagai isolat untuk uji karakterisasi (Gambar 15).

Karakterisasi yang dilakukan meliputi uji pewarnaan Gram, uji koagulase,

uji katalase, uji fermentasi glukosa, dan uji fermentasi manitol.

Zona opaq

Zona jernih

Zona putih

65

Gambar 15. Isolat Staphylococcus aureus pada TSA miring

3. Karakterisasi

Karakterisasi pertama yang dilakukan adalah pewarnaan Gram.

Bakteri Staphylococcus aureus adalah bakteri Gram positif dengan bentuk

kokus (bulat) bergerombol (Gambar 16). Gram positif tampak dari sel yang

berwarna ungu.

Gambar 16. Penampakan sel Gram (+) dan bulat bergerombol

66

Karekterisasi utama Staphylococcus aureus penghasil enterotoksin

adalah aktivitas koagulasenya. Koagulase adalah enzim yang dapat

menyebabkan menggumpalnya plasma darah. Pada penelitian ini digunakan

plasma kelinci dengan EDTA sebagai target bagi aktivitas koagulase yang

dihasilkan Staphylococcus aureus. Hasil positif ditunjukkan dengan

menggumpalnya plasma kelinci (Gambar 17).

Gambar 17. Gumpalan plasma kelinci pada uji koagulase

Karakterisasi berikutnya adalah uji aktivitas katalase.

Staphylococcus aureus adalah bakteri katalase positif yang menghasilkan

enzim katalase yang berperan dalam pengolahan oksigen dalam sel. Fardiaz

(1992) menjelaskan bahwa setiap bakteri mempunyai suatu enzim yang

tergolong flavoprotein yang dapat bereaksi dengan oksigen membentuk

senyawa-senyawa beracun, yaitu H2O2 dan suatu radikal bebas yaitu O2-*

sebagai berikut:

Flavoprotein H2O2 + O2-*

Bakteri yang bersifat aerobik dan bersifat anaerobik tetapi tidak

sensitif terhadap oksigen (aerotoleran) mempunyai enzim-enzim yaitu

superoksida dismutase yang memecah radikal bebas tersebut, dan enzim

katalase yang memecah H2O2 sehingga menghasilkan senyawa-senyawa

akhir yang tidak beracun. Reaksinya dapat dituliskan sebagai berikut:

+ O2

(+)

(-)

67

2O2-* + 2H+ H2O2 + O2

2H2O2 2H2O + O2

Gas yang dihasilkan dilepaskan sebagai gelembung-gelembung gas

yang teramati secara kasat mata (Gambar 18).

Gambar 18. Gelembung-gelembung gas pada uji katalase

Uji terakhir adalah uji fermentasi glukosa dan mannitol.

Staphylococcus aureus adalah bakteri yang mampu melakukan fermentasi

bila lingkungan kurang oksigen. Pada percobaan ini lingkungan kurang

oksigen dibentuk dengan melapisi medium fermentasi dengan parafin cair

lalu diinkubasi selama lima hari pada suhu 35ºC. Hasil positif ditandai

dengan berubahnya warna medium yang awalnya merah keunguan menjadi

kuning karena berubahnya pH sebagai akibat fermentasi asam. Indikator

yang digunakan adalah bromkresol purple, yang memiliki kisaran pH 5.2-

6.8 (kuning-purple) (Harjadi, 1986) sehingga manjadi kuning pada kondisi

asam (Gambar 19).

Gelembung udara

Superoksida dismutase

Katalase

68

Gambar 19. Perubahan warna media pada uji fermentasi

Berdasarkan enumerasi, isolasi, dan karakterisasi yang dilakukan diperoleh

sekumpulan data yang akan dijelaskan sebagai berikut.

1. Jumlah Presumtif Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk

a. Keberadaan Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk

Jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari tiap-tiap warung

pada beberapa selang waktu pengamatan disajikan pada Tabel 22,

sedangkan visualisasinya dalam bentuk grafik disajikan pada Gambar 20.

Jumlah Presumtif S. aureus pada berbagai waktu penyimpanan

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

6 8 10 12 14 16 18

Jam pengujian

Lo

g M

PN

/g

Warung 1 Warung 2 Warung 3 Warung 4 Warung 5 Warung 6

Gambar 20. Grafik jumlah presumtif Staphylococcus aureus dari 6 warung pengujian

Warna kuning menunjukkan hasil positif

69

Tabel 22. Jumlah presumtif Staphylococcus aureus Jumlah presumtif S. aureus (Log MPN/g) pada jam- Warung

8 10 12 14 16 1 3,63 4,42 5,08 5,83 6,89 2 2,36 3,36 4,77 3,18 5,29 3 4,44 3,63 4,16 4,11 4,12 4 3,38 3,83 4,53 4,20 6,54 5 4,37 5,29 6,22 6,93 6,04 6 3,92 4,18 5,40 5,77 6,51

Berdasarkan Tabel 22 dan Gambar 20 di atas, terilhat bahwa

secara umum sampel dari setiap warung telah tercemar oleh

Staphylococcus aureus. Cemaran ini mungkin berasal dari manusia

maupun peralatan karena selama penyajian seringkali terjadi kontak

antara tangan penjual dengan produk. Demikian juga peralatan yang

digunakan relatif tidak bersih. Jumlah cemaran selama selang waktu

penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang

diuji berkisar dari 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g.

Berdasarkan tabel tersebut juga terlihat bahwa terjadi

peningkatan jumlah bakteri selama waktu penyimpanan yang

menunjukkan terjadinya pertumbuhan Staphylococcus aureus dalam nasi

uduk. Bahkan, dari keenam warung tersebut, nasi uduk dari warung 5

telah menunjukkan angka 5,29 Log MPN/g pada jam 10, suatu jumlah

yang diduga memungkinkan bagi Staphylococcus aureus untuk

membentuk enterotoksin bila diasumsikan bahwa jumlah minimum

Staphylococcus aureus yang dibutuhkan untuk membentuk toksin adalah

105 sel/g. Pada jam 12, nasi uduk dari warung 1, 5, dan 6 telah memiliki

kandungan Staphylococcus aureus yang diduga memungkinkan untuk

membentuk enterotoksin, yaitu 5,08; 6,22; dan 5,40 Log MPN/g.

Sementara pada akhir waktu pengujian (jam 16) hanya satu warung

(warung 3) yang tidak menunjukkan kandungan Staphylococcus aureus

pada nasi uduk yang diduga memungkinkan untuk membentuk

enterotoksin.

Hasil lain yang diperoleh dari tahap ini adalah bahwa jumlah

Staphylococcus aureus dari setiap warung untuk setiap jam pengujian

menunjukkan jumlah yang bervariasi. Warung 1 dan warung 5 secara

70

umum menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus yang lebih tinggi

daripada warung lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapangan, warung

1 adalah warung yang menunjukkan kontak tangan dengan produk paling

tinggi, sementara pada warung 5 seorang pedagangnya terlihat memiliki

penyakit kulit yang menunjukkan rendahnya praktek sanitasi. Hal ini

menguatkan dugaan bahwa cemaran Staphylococcus aureus pada nasi

uduk kemungkinan berasal dari kontaminasi oleh pekerja. Sementara itu,

warung 3 merupakan warung dengan jumlah Staphylococcus aureus

paling rendah. Hal ini karena berdasarkan pengamatan di lapangan,

warung 3 menunjukkan sanitasi pekerja yang cukup baik.

b. Rekomendasi Waktu Penyimpanan Nasi Uduk

Jika diasumsikan bahwa seluruh nasi uduk yang diuji ini dibuat

pada jam 6 pagi, maka hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat

sampel yang dengan penyimpanan selama 4 jam (jam 10) telah

mengandung Staphylococcus aureus mencapai jumlah lebih dari 5 Log

MPN/g (Warung 5), sehingga diduga berpeluang menyebabkan

keracunan Staphylococcus jika dikonsumsi.

Jika dibandingkan dengan penelitian Rawendra (2008) yang

merekomendasikan batas aman penyimpanan pangan siap santap pada

suhu ruang selama tidak lebih dari 6 jam (Tabel 23), maka data pada

penelitian ini menunjukkan bahwa waktu 6 jam telah cukup untuk

menjadikan pangan siap santap tidak aman lagi untuk dikonsumsi.

Penyimpanan nasi uduk selama 6 jam pada penelitian ini (yang diamati

pada selang waktu jam 12-14) menunjukkan bahwa tidak semua nasi

uduk yang diuji mengandung Staphylococcus aureus di bawah jumlah

aman. Jumlah aman yang dimaksud adalah jumlah yang diduga belum

mampu menghasilkan toksin. Hal ini jika diasumsikan bahwa jumlah

minimum Staphylococcus aureus yang diperlukan untuk membentuk

toksin adalah 5 Log MPN/g). Warung-warung yang menunjukkan bahwa

penyimpanan selama 6 jam telah mampu memberi kesempatan bagi

71

Staphylococcus aureus untuk tumbuh sampai jumlah yang diduga mampu

membentuk toksin adalah warung 1, 5, dan 6.

Tabel 23. Data simulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus pada nasi uduk (Rawendra, 2008)

Jumlah Staphylococcus aureus (Log CFU/g) Waktu Penyimpanan

Inokulasi awal 3 Log CFU/g

Inokulasi awal 5 Log CFU/g

0 3,10 5,09 2 4,19 5,66 4 5,21 6,53 6 6,50 7,76 8 6,95 8,03 10 7,16 8,05 12 7,39 8,22 24 7,49 8,77

Perbedaan hasil tersebut disebabkan karena pada penelitian

Rawendra (2008) pertumbuhan Staphylococcus aureus yang terjadi pada

nasi uduk adalah pertumbuhan simulasi, yaitu pertumbuhan hasil dari

penginokulasian Staphylococcus aureus pada nasi uduk buatan sendiri,

lalu disimpan di lingkungan labolatorium yang tentunya lebih baik dari

pada lingkungan penjualan nasi uduk sebenarnya. Demikian pula

simulasi yang dilakukan memungkinkan pencegahan kontak tangan

antara peneliti dengan nasi uduk sehingga peluang kontaminasi selain

dari inokulasi adalah rendah. Hal ini mengakibatkan jumlah

Staphylococcus aureus pada penelitian ini melebihi dari rekomendasi

penyimpanan yang diajukan oleh Rawendra (2008).

Selain itu, pada kondisi sebenarnya, nasi uduk seringkali

disajikan dengan lauk pauk yang mungkin juga telah terkontaminasi

Staphylococcus aureus, bahkan lauk pauk seperti tempe orek dan telur

dadar iris merupakan matriks yang lebih bagi pertumbuhan

Staphylococcus aureus daripada matriks nasinya. Dengan demikian,

rekomendasi waktu 6 jam yang diberikan Rawendra (2008) masih belum

cukup untuk mencegah keracunan Staphylococcus aureus pada nasi uduk.

Terlebih FSIS (2007) merekomendasikan untuk tidak menyimpan

pangan-pangan yang mudah rusak (perishable) lebih dari 2 jam pada

suhu ruang.

72

c. Sumber Kontaminasi Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa sampel nasi yang diuji di

dapatkan dengan tambahan lauk pauk seperti tempe orek, bihun, dan telur

dadar suir, maka ada kemungkinan bahwa Staphylococcus aureus yang

terdeteksi pada penelitian ini berasal dari lauk pauknya. Namun, terlepas

dari manakah Staphylococcus aureus yang terdeteksi (apakah dari nasi

atau dari lauk), maka sumber utama yang diduga sebagai sumber

kontaminasi adalah pedagang yang menangani pangan.

Hal ini diperkuat dengan pernyataan Bergdoll (1979) yang

menjelaskan bahwa sumber utama kontaminasi Staphylococcus aureus

pada pangan yang banyak berhubungan dengan keracunan

Staphylococcus adalah orang yang bekerja menangani pangan. Contoh

yang diberikan dalam hal ini adalah pangan yang telah dipanaskan

dengan cukup selama pengolahan untuk menghancurkan Staphylococcus,

misalnya ham panggang, maka keracunan pangan yang berkaitan dengan

ham panggang kebanyakan adalah karena hasil kontaminasi dari orang

yang mengiris ham. Demikian pula peralatan dapat menjadi sumber

kontaminasi, seperti yang pernah terjadi pada suatu kasus keracunan

Staphylococcus yang disebabkan karena ham panggang, ternyata pada

mesin pemotong ham ditemukan banyak Staphylococcus

enterotoksigenik yang sama dengan yang ditemukan pada ham yang

menyebabkan sakit. Walaupun ham secara langsung terkontaminasi dari

mesin, namun sumber aslinya kemungkinan besar adalah manusia.

d. Perbandingan Jumlah Staphylococcus aureus dalam Nasi Uduk

dengan PTSS Lain yang Diuji pada Penelitian Lainnya

Hartini (2001) melakukan penelitian untuk menghitung

Staphylococcus aureus pada bakso, gado-gado, mie ayam, nasi rames,

siomay, soto ayam, dan tauge goreng. Namun penelitian yang

dilakukannya tersebut menggunakan media Vogel-Johnson Agar (VJA)

dengan metode hitungan cawan. Hartini (2001) melakukan penelitiannya

tersebut dengan mengambil sampel pada jam 11 siang. Jika dibandingkan

73

dengan penelitian ini, maka data Hartini (2001) dapat dibandingkan

dengan data nasi uduk yang diuji pada selang waktu antara jam 10

sampai dengan jam 12. Berdasarkan perbandingan tersebut, didapatkan

bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari keenam

warung yang diuji relatif lebih tinggi dari ketujuh sampel yang diuji oleh

Hartini (2001), kecuali untuk tauge goreng yang jumlahnya hampir sama

dengan nasi uduk. Jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari

keenam warung yang diuji pada selang waktu antara jam 10 sampai jam

12 adalah berkisar pada 3,36 sampai 6,22 Log MPN/g, sementara jumlah

Staphylococcus aureus pada pangan-pangan yang diteliti oleh Hartini

(2001) berturu-turut adalah, bakso 1,74; gado-gado 3,72; mie ayam 1,78;

siomay 2,43; soto ayam 1,65; dan tauge goreng 5,10 Log CFU/g.

Rendahnya jumlah Staphylococcus aureus pada bakso, mie

ayam, siomay, dan soto ayam kemungkinan karena pangan-pangan ini

mendapat pemanasan yang cukup selama proses penyimpanan.

Sementara pada gado-gado jumlah Staphylococcus aureus menempati

jumlah terbanyak kedua setelah tauge goreng meskipun masih lebih

rendah bila dibandingkan dengan jumlah Staphylococcus aureus pada

nasi uduk secara umum. Cukup tingginya jumlah Staphylococcus aureus

pada gado-gado mungkin berasal dari bumbu kacang yang merupakan

bahan yang mengandung protein yang tinggi, dalam keadaan sudah

matang, dan adanya kemungkinan sering kontak dengan tangan sehingga

diduga telah terkontaminasi dengan Staphylococcus aureus.

Penelitian yang lain yang dilakukan oleh Ruslan (2003) yang

menggunakan metode hitungan cawan dengan media Baird-Parker Agar

menunjukkan jumlah Staphylococcus aureus pada gado-gado sebesar

5,81 Log CFU/g. Penelitian ini dilakukan untuk sampel yang diambil 2-3

jam sejak pedagang mulai berjualan. Jika diasumsikan pedagang mulai

berjualan mulai pukul 6 pagi, maka data ini dapat dibandingkan dengan

data jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk yang diuji pada selam

waktu jam 8 sampai jam 10.

74

Jumlah Staphylococcus aureus pada nasi uduk dari keenam

warung pada selang waktu tersebut berkisar antara 2,36 sampai 5,29 Log

MPN/g. Hal ini berarti bahwa jumlah Staphylococcus aureus pada nasi

uduk lebih rendah daripada gado-gado. Tingginya jumlah Staphylococcus

aureus pada gado-gado mungkin berasal dari bumbu kacang seperti yang

telah dijelaskan di atas. Adapun bila penelitian Ruslan (2003) ini

dibandingkan dengan penelitian Hartini (2001), perbedaan jumlah

Staphylococcus aureus pada gado-gado mungkin disebabkan karena

perbedaan media analisis yang digunakan, meskipun sebenarnya

pengujian yang dilakukan Hartini (2001) dilakukan dengan waktu

inkubasi yang lebih lama daripada yang dilakukan oleh Ruslan (2003).

Secara umum penggunaan media Baird-Pareker lebih baik dalam

merecovery Staphylococcus aureus dari sampel uji dari pada agar Vogel-

Johnson. Hal ini karena medium Baird-Parker mengandung sodium

piruvat yang menstimulasi pertumbuhan Staphylococcus aureus (Minor

dan Marth, 1976). Selain itu, penambahan kuning telur pada media

Baird-Parker juga membantu merecovery sel-sel yang mengalami

kerusakan (Baird-Parker, 2000). Oleh karena itu Bair-Parker (2000)

menyatakan bahwa dari banyak percobaan internasional yang dilakukan,

medium Baird-Parker secara umum menunjukkan performa terbaik

daripada media lainnya.

2. Frekuensi Isolasi Staphylococcus aureus Koagulase Positif

Pengujian aktifitas koagulase dilakukan untuk mengetahui frekuensi

isolat Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui secara tidak langsung apakah Staphylococcus

aureus yang mengontaminasi nasi uduk yang diuji berpotensi membentuk

enterotoksin atau tidak. Jay (2000) menyatakan bahwa pengujian yang telah

berlangsung lama secara menyakinkan membuktikan bahwa strain

stafilokoki koagulase positif adalah penghasil enterotoksin. Demikian pula

Bryan (1976) menyatakan bahwa keberadaan koagulase sangat terkait erat

75

dengan patogenisitas dan digunakan sebagai pembeda antara

Staphylococcus aureus dengan stafilokoki lainnya.

Penelitian yang dilakukan Normanno et al. (2005) membuktikan

bahwa dari 11.384 sampel yang diuji, sebanyak 1971 sampel (17,3%)

terbukti mengandung Staphylococcus koagulase positif. Sebanyak 541

sampel diuji lebih lanjut dan terbukti bahwa 537 sampel (99,3%)

teridentifikasi sebagai Staphylococcus aureus, dan dari 537 isolat tersebut

terbukti bahwa 298 isolat (55,5%) diketahui memproduksi enterotoksin.

Dengan demikian, uji kemampuan Staphylococcus aureus untuk

membentuk enzim koagulase merupakan bagian penting dari pendugaan

kemampuannya sebagai pembentuk enterotoksin yang dapat menyebabkan

keracunan pangan.

Data isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif menunjukkan

bahwa sebagian warung positif terkontaminasi Staphylococcus aureus

koagulase positif. Data tersebut dapat dilihat pada Tabel 24, sementara

rinciannya dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 24. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif dari nasi uduk

Jam pengujian Warung 8 10 12 14 16

Total

1 0/2 0/2 0/2 0/2 0/2 0/10 2 0/2 0/2 1/2 0/2 0/2 1/10 3 0/2 0/2 0/2 0/2 0/2 0/10 4 0/2 0/2 0/2 0/2 1/2 1/10 5 0/2 0/2 1/2 0/2 0/2 1/10 6 0/2 0/2 0/2 0/2 1/2 1/10

Total 0/12 0/12 2/12 0/12 2/12 4/60 (6,67%)

Berdasarkan data di atas, dari keenam warung yang diuji, empat

warung memiliki frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif

sebesar 10%, sedangkan dua warung lainnya memiliki frekuensi isolasi

Staphylococcus aureus koagulase positif sebesar 0%. Pada penelitian ini

digunakan sejumlah 60 sampel nasi uduk, sementara jumlah sampel yang

menunjukkan positif mengandung Staphylococcus aureus koagulase adalah

4 sampel. Dengan demikian, frekuensi isolasi Staphylococcus aureus

76

koagulase positif pada nasi uduk berdasarkan penelitian ini adalah sebesar

6,67%.

Kemudian, bila diperhatikan sampel-sampel yang mengandung

Staphylococcus aureus koagulase positif (Lampiran 2), maka terlihat bahwa

isolat-isolat Staphylococcus aureus koagulase positif tersebut ditemukan

pada saat jumlah presumtif Staphylococcus aureus berkisar antara 3,96

sampai dengan 6,63 Log MPN/g sampel (Tabel 25). Dengan demikian, jika

diasumsikan bahwa jumlah minimal Staphylococcus aureus yang

diperlukan untuk memproduksi enterotoksin adalah 105 sel/g (Forsythe,

2000 di dalam Forsythe, 2002), maka sebagian besar (10 isolat)

Staphylococcus aureus koagulase positif yang diisolasi pada penelitian ini

diperoleh dari sampel dengan jumlah Staphylococcus aureus yang telah

mencapai jumlah minimum yang diduga mampu menghasilkan

enterotoksin. Maknanya, meskipun pada beberapa sampel dinyatakan

mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif namun belum tentu

sampel itu mengandung enterotoksin stafilokoki.

Tabel 25. Hubungan antara keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif dengan jumlah dugaan Staphylococcus aureus

Isolat Staphylococcus aureus Koagulase Positif

Jumlah Staphylococcus aureus (Log MPN/g)

NU1 4,63 NU2 6,38 NU3 5,97 NU4 6,56 NU5 5,38 NU6 5,97 NU7 4,97 NU8 6,38 NU9 6,38 NU10 6,63 NU11 6,63 NU12 5,38 NU13 3,96 NU14 4,36

77

3. Pengaruh Inkubasi Terhadap Keberadaan Staphylococcus aureus

Koagulase positif

Data-data yang disajikan sebelumnya adalah hasil yang diperoleh

dengan waktu inkubasi 0, 2, 4, 6, dan 8 jam untuk lima sampel. Jika

keempat sampel awal (dari jam 8, 10, 12, dan 14) ditambah waktu

inkubasinya selama 8, 6, 4, dan 2 jam (yaitu semuanya diuji ulang pada jam

16), beberapa sampel yang awalnya tidak mengandung Staphylococcus

aureus koagulase positif menjadi mengandung Staphylococcus aureus

koagulase positif sebagaimana yang terlihat pada Tabel 26.

Tabel 26. Pengaruh penambahan waktu inkubasi terhadap keberadaan Staphylococcus aureus koagulase positif

Warung

Jumlah Sampel Positif

Sampel dengan hasil nehatif

dari jam-

Tambahan Waktu

Inkubasi (jam) 1 0 - - 2 2 12 4 14 2 3 1 14 2 4 2 10 6 14 2 5 1 14 2 6 1 12 4

Hal ini menunjukkan bahwa sampel yang berdasarkan pengujian

tidak mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif sebenarnya

mungkin saja mengandung Staphylococcus aureus koagulase positif dalam

jumlah yang sedikit sehingga tidak terdeteksi. Dengan penambahan waktu

inkubasi maka jumlah Staphylococcus aureus koagulase positif meningkat

sehingga terdeteksi saat diuji ulang. Alasan lain yang mungkin

menyebabkan hal ini adalah kontaminasi Staphylococcus aureus koagulase

positif yang tidak seragam pada sampel sehingga pada dua pengujian bisa

saja terdeteksi pada satu sampel dan tidak pada sampel lainnya.

Berdasarkan perincian jumlah presumtif Staphylococcus aureus dan isolasi

Staphylococcus aureus koagulase positif di atas, dapat dikatakan bahwa peluang

kontaminasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk bernilai

sedang, yang didefinisikan oleh BPOM (2004b) bahwa peluang kontaminasi

78

mungkin terjadi dengan pertimbangan faktor-faktor yang telah dijelaskan. Dengan

demikian, bila hasil verifikasi peluang kontaminasi ini dikombinasikan dengan

nilai peluang dan dampak lainnya yang juga telah dijelaskan pada tahap penetapan

risiko, maka didapatkan bahwa status risiko Staphylococcus aureus koagulase

positif pada nasi uduk adalah sedang.

79

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Peluang kontaminasi Staphylococcus aureus pada 28 PTSS (termasuk nasi

uduk) adalah sedang, sementara 2 PTSS lainnya memiliki peluang kontaminasi

yang rendah. Bila dikombinasikan dengan peluang dan dampak risiko lainnya,

maka dinyatakan bahwa risiko Staphylococcus aureus adalah sedang pada PTSS

dengan peluang kontaminasi sedang. Faktor-faktor yang mendorong peningkatan

peluang kontaminasi adalah faktor rekontaminasi, waktu penyimpanan, dan

keadaan matriks pangan, sedangkan proses pemanasan yang cukup merupakan

faktor yang menurunkan peluang kontaminasi. Verifikasi hasil penetapan risiko

Staphylococcus aureus dilakukan pada nasi uduk yang dipilih karena ketersediaan

data-data pendukung.

Sampel nasi uduk yang diperoleh dari pelaku usaha jasa boga pada

umumnya mengandung Staphylococcus aureus. Jumlah cemaran selama selang

waktu penyimpanan dari jam 8 pagi sampai jam 16 sore dari 6 warung yang diuji

berkisar dari 2,36 sampai dengan 6,93 Log MPN/g, sehingga ada kondisi dimana

diduga Staphylococcus aureus mampu membentuk enterotoksin dalam pangan.

Meskipun demikian, Staphylococcus aureus koagulase positif yang

umumnya mampu memproduksi enterotoksin ditemukan tidak pada semua

sampel. Frekuensi isolasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada sampel

nasi uduk adalah 6,67%, serta tidak selalu ditemukan pada jumlah yang cukup

untuk membentuk enterotoksin.

Hasil pengujian Staphylococcus aureus pada nasi uduk sesuai dengan hasil

penetapan risiko kualitatif yang menyatakan bahwa risiko Staphylococcus aureus

pada nasi uduk tergolong sedang.

B. SARAN

Mengingat adanya beberapa kekurangan pada penelitian ini, maka

disarankan untuk melakukan penelitian lanjutan dengan beberapa perbaikan,

seperti:

80

1. Pada tahap penetapan peluang kontaminasi perlu penjabaran lebih lanjut

terhadap aspek-aspek peluang kontaminasi sepanjang rantai pangan.

2. Perlu pengujian lebih lanjut untuk mengetahui sumber kontaminasi utama

Staphylococcus aureus pada nasi uduk.

3. Memperbanyak jenis pangan tradisional siap santap yang dianalisis, baik

pada tahap penetapan risiko maupun tahap verifikasinya.

4. Memperbanyak jumlah warung yang disampling (maupun jumlah

sampelnya) pada tahap verifikasi.

5. Mengidentifikasi kemampuan membentuk enterotoksin dari isolat-isolat

yang telah didapatkan.

6. Melakukan analisis keberadaan stafilokoki enterotosin pada pangan yang

diuji.

xiii

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2008. Staphylococcus aureus. http://commons.wikimedia.org/wiki/ File:Staphylococcus_aureus_01.jpg [3 Maret 2009]

Anonim. 2009. Staphylococcus aureus. http://en.wikipedia.org/wiki/

Staphylococcus_aureus [3 Maret 2009] Anonim1. 2009. Lysostaphin. http://en.wikipedia.org/wiki/Lysostaphin [20 April

2009] Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG). Undate. Rata-rata

Suhu Udara Bulanan di Jakarta. http://iklim.bmg.go.id/normal.asp?Jenis=URL&IDS=5298674162878850443 [27 Januari 2010]

Baird-Parker, A. C. 1979. Methods for identification of Staphylococci and

Micrococci. Di dalam Skinner, F.A. dan Lovelock D. W. (eds): Identification Methods for Microbiologists 2nd ed. SAB Technical serries No. 14. 201-9. Academic Press, London.

Baird-Parker, T. C. 2000. Stapylococcus aureus. Di dalam The Microbiolocical

Safety and Quality of Food Volume II. Editor: Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan Gould, G. W. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland.

Bergdoll, M. S. 1979. Staphylococcal Intoxications. Di dalam Food Borne

Infections and Intoxications Second Edition. Editor: Riemann, H. dan Bryan, F. L. Acedemic Press, Newyork-San Francisco-London.

BPOM. 2004a. Prinsip-Prinsip Analisis Risiko. Direktorat Surveilan dan

Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

BPOM. 2004b. Prinsip-Prinsip Kajian Risiko Mikrobiologis Secara Kualitatif.

Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, Deputi Bidang Pengawasan Keamanan Pangan dan Bahan Berbahaya, Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, Jakarta.

Bryan, F. L. 1976. Diseases transmitted by foods. US DHEW Pub. No. (CDC) 76-

8237, Center for Disease Control, Atlanta, Ga. Bryan, F. L. 1976. Staphylococcus aureus. Di dalam Food Microbiology, Public

Health & Spoilage Aspects. Editor: Defigueiredo, M. P. dan Splittstoesser, D. F. The Avi Publishing Company, Inc., Westport, Connecticut.

xiv

Buckle, K.A., Edwards, R.A., Fleet, H.H., dan Wootton, M. 1978. Food Science. Australian Vice-Chancellors’ Commitee.

Ching, C.L. 2009. Scenario analysis: Probabilistic approach. Makalah workskop

ICMSF Seafast Center. Bogor. Clark, J., Sharp, M., dan Reilly, W (Bill) J. 2000. Food Borne Disease. Di dalam

The Microbiolocical Safety and Quality of Food Volume II. Editor: Lund, B. M., Baird-Parker, T. C., dan Gould, G. W. Aspen Publishers, Inc, Gaithersburg, Maryland.

Depkes. 2008. Data Bencana. Pusat Penaggulangan Krisis Departemen

Kesehatan. http://www.ppk-depkes.org/index.php?option=com_databencana&task=bencana&id=12&Itemid=163 [28 Maret 2009]

Dewi, S. P. 2008. Praktik Sanitasi dan Penyimpanan Pangan Pada Suhu Rendah

di Tingkat Rumah Tangga dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus. IPB, Bogor. Skripsi.

Kusumawardani, D. 2002. Kompetisi Bakteri Asam Laktat dan Staphylococcus

aureus Dalam Penempelan dan Pembentukan Biofilm Pada Permukaan Stainless Steel. IPB, Bogor. Skripsi.

Dowd, M. T. dan Jameson, J. D. 1925. Food, Its Composition and Preparation

Second Edition. John Wiley & Sons, Inc., New York. Eley, A. R. 1992. Microbial Food Poisoning. Chapman & Hall, London-Glasgow-

New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Fardiaz, S. 1990. Mikrobiologi Pengolahan Pangan Lanjut. Labolatorium

Mikrobiologi Pangan, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan 1. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Food Safety and Inspection Service (FSIS). 2007. Take out and delivered foods.

United States Department of Agriculture. http://www.fsis.usda.gov/ [27 Januari 2010]

Food Safety and Inspection Service (FSIS). Undated. News & Events: News

Release. United States Department of Agriculture. http://www.fsis.usda.gov/Search/Search_Results/Index.asp?q=staphylococcus+aureus&mode=simple&num=10&as_occt=any&btnG.x=15&btnG.y=8&btnG=Submit&site=FSIS&select=Information+For... [27 Januari 2010]

Forsythe, S. J. 2000. The Microbiology of Safe Food. Blackwell Science, Oxford.

xv

Forsythe, S. J. 2002. The Microbiological Risk Assessment of Food. Blackwell Science.

Frazier, W.C. dan Westhoff, D.C. 1978. Food Microbiology. Mc Graw-Hill Book

Company, New York, St. Louis, San Francisco, Auckland, Bogotá, Düsseldorf, Johannesburg, London, Madrid, Mexico, Montreal, New Delhi, Panama, Paris, São Paulo, Singapore, Sydney, Tokyo, Toronto.

Gaman, P.M. dan Sherrington, K. B. 1992. Ilmu Pangan, Pengantar Ilmu Pangan

dan Mikrobiologi Edisi kedua. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Hadioetomo, R. S. 1993. Teknik dan Prosedur Dasar Laboratorium. PT Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta. Hariyadi, P. dan Andarwulan, N. 2007. Menghentikan Peredaran Pangan

Bermasalah di Pasar, Konsolidasi Sistem Keamanan Pangan di Indonesia. Piramedia, Depok.

Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik Dasar. PT Gramedia, Jakarta. Harrigan, W. F. 1998. Laboratory Methods in Food Microbiology Third Edition.

Academic Press, San Diego, London, Boston, New York, Sydney, Tokyo, Toronto.

Hartini, P. B. 2001. Studi Keamanan Mikrobiologis Makanan Jajanan Di Kantin

FATETA-IPB, Bogor. Skripsi. IPB. Heritage, J., Evans, E.G.V., dan Killington, R.A. 1999. Microbiology in Action.

Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom. Holt, J.G., Krieg, N. R., Sneath, P. H. A., Staley, J. T., dan Williams, S. T. 1994.

Bergey’s Manual of Deteminative Bacteriology Ninth Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia-Baltimore-New York-London-Buenos Aieres-Hong Kong-Sydney-Tokyo.

ICMSF. 1978. Microorganism in Food 1. Their Significance and Methods of

Evaluation 2nd ed. University of Toronto Press, Toronto. ICMSF. 1996. Microorganisms in Foods 5. Microbiological Specifications of

Food Pathogens. Blackie Academic & Professional, London-Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras.

Jay, J. M. 1996. Modern Food Microbiology Fifth Edition. Chapman & Hall, New

York, Albany, Bonn, Boston, Cincinnati, Detroit, London, Madrid, Melbourne, Mexico City, Pacific Grove, Paris, San Francisco, Singapore, Tokyo, Toronto, Washington.

xvi

Jay, J. M. 2000. Modern Food Microbiology Sixth Edition. An Anpen Publication, Aspen Publishers, Maryland.

Jaykus, L.A.. 2003. Academic activities in food safety: Centers, consortia, and

initiatives. Di dalam: Torrence, M. E. dan Isaacson, R. E. Microbial Food Safety in Animal Agriculture, Current Topics. Iowa State Press, USA.

Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai. Pustaka Sinar Harapan,

Jakarta. Mas’at, A. Undate. Dampak Pembangunan Terhadap Perubahan Iklim di Wilayah

DKI Jakarta. Di dalam bagian artikel iklim BMKG: http://www.bmkg.go.id/depan.bmkg [27 Januari 2010]

Mead, P.S., Slutsker, L., Dietz, V. McCaig, C.F., Bresee, J.S., Shapiro, C. Griffin,

P.M., dan Tauxe, R.V. 1999. Food-borne illness and death in the United States. Emerg. Infect. Dis. 5: 607-625.

Minor, T. E. dan Marth, E. H. 1976. Staphylococci and Their Significance in

Foods. Elsevier Scintific Publishing Company, Amsterdam-Oxford-New York.

Normanno, G., Firinu, A., Virgilio, S., Mula, G., Dambrosio, A., Poggiu, A.,

Decastelli, L., Mioni, R., Scuota, S., Bolzoni, G., Di Giannatale, E., Salinetti, A.P., La Salandra, G., Bartoli, M., Fuccon, F., Pirino, T., Sias, S., Parisi, A., Quaglia, N.C., Celano, G.V. 2005. Coagulase positive staphylococci and staphylococcus aureus in food products marketed in italy. Int J. Food Microbiology 98: 73-79.

Notermans, S., Nauta, M.J., dan Jouve, J.L. 1996. Food products and consumer

protection: a conceptual approach and glossary of termas. Int. J. Food Microbiol. 30, 175-183.

Pelczar Jr., M.J. dan Chan, E.C.S. 2005. Dasar-dasar Mikrobiologi 2.

Diterjemahkan dari Elements of Microbiology. Penerjemah: Ratna Siri Hadioetomo, Teja Imas, S. Sutarmi Tjitrosomo, dan Sri Lestari Angka. UI Press, Jakarta.

Rawendra, R. 2008. Pengaruh Praktik Penyimpanan dan Pemanasan Ulang

Dengan Oven Microwave Terhadap Pertumbuhan Staphylococcus aureus Dalam Beberapa Pangan Tradisional Indonesia. IPB, Skripsi.

Ray, B. 2001. Fundamental Food Microbiology Second Edition. CRC Press, Boca

Raton, London, New York, Washington D.C. Riemann, H. dan Bryan, F. L. 1979. Food-Borne Infections and Intoxications

Second Edition. Academic Press, New York-San Francisco-London.

xvii

Robinson, R. K., Batt, C. A., dan Patel, P. D. 2000. Encyclopedia of Food Microbiology Volume III. Academic Press, San Diego-San Francisco-New York-Boston-London-Sydney-Tokyo.

Ruslan. 2003. Keamanan Mikrobiologi Dan Survei Lapang Sayuran Olahan Di

Daerah Bogor Barat. IPB, Bogor. Skripsi. Shapton, D. A. dan Shapton, N. F. 1993. Principles and Practices for the Safe

Processing of Foods. Butterworth-Heineman Ltd., Oxford, Great Britain. Soedarmo, P. dan Sediaoetama, A. D. 1985. Ilmu Gizi. Dian Rakyat, Jakarta. Sumner, J. 2002. Food Safety Risk Profile for Primary Industries in South

Australia (Final Report). Primary Industries and Resources South Australia.

Tom, R. dan McMeekin, T. 2003. Risk assessment and pathogen management. Di

dalam Foodborne Pathogens, Hazard, Risk Analysis, and Control, editor: Clive de W. Blackburn dan Peter J. McClure. CRC Press, Boca Raton- Boston-New York-Washington DC.

UNTAG. 2008. Keracunan Makanan Penyebab & Cara Menghindarinya. Web

Universitas 17 Agustus 1945, Surabaya. http://www.untag-sby.ac.id/index.php?mod=berita&id=65 [28 Maret 2009]

US FDA. 2001. Chapter 12, Staphylococcus aureus. Bacteriological Analytical

Manual Online. Center for Food Safety & Applied Nutrition. US FDA. 2006. Appendix 2, Most Probable Number from Serial Dilutions.

Bacteriological Analytical Manual Online. Center for Food Safety & Applied Nutrition.

Zhang, S., Iandolo, J., dan Stewart, C. 1998. The enterotoxin D plasmid of

Staphylococcus aureus encodes a second enterotoxin determinant (sej). FEMS Microbiol. Lett. 168, 227–233.

81

Lampiran 1. Data penetapan peluang kontaminasi dari tiga puluh sampel PTSS

Kontaminasi Awal

Efektifitas Pengolahan

Peluang Kontaminasi

Suhu Penyimpanan

Waktu Inkubasi

Matriks Pangan

Pemanasan Ulang

No.

PTSS N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket N Ket

N

Peluang Kontaminasi

1 Sate jeroan 5 Tipe 3 1 ST WL* 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 3 Minimalis 27 Sedang

2 Ayam goreng 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 27 Sedang

3 Nasi uduk 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 5

Suhu termos 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 27 Sedang

4 Telur dadar 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

5 Telur mata sapi 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

6 Ikan tongkol sambal 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

7 Ikan goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

8 Ikan asin teri goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

9 Soto daging 5 Tipe 3 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 25 Sedang

10 Ayam suir di bubur ayam 5 Tipe 3 1 ST WL 5

Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 25 Sedang

11 Martabak kacang 1 Tipe 1 1 ST WL 5

Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

12 Tahu goreng 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 25 Sedang

13 Karedok 1 Tipe 1 5 PM** 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 25 Sedang

14 Telur asin 3 Tipe 2 1 ST WL 1 Terlindung cangkang 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 23 Sedang

15 Bakso 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang

82

16 Sate padang 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 3

1 - 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 23 Sedang

17 Rujak 1 Tipe 1 5 PM 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 3

1 - 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 23 Sedang

18 Tempe goreng 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 23 Sedang

19 Tempe bacem 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 23 Sedang

20 Mie ayam 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang

21 Soto mi 3 Tipe 2 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 5 Tipe 3 1 Ada 23 Sedang

22 Lele goreng pecel lele 3 Tipe 2 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1

Suhu tinggi 3

1 - 3 Jam 5 Tipe 3 5

Tidak ada 21 Sedang

23 Pergedel kentang 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 3 Tipe 2 5

Tidak ada 21 Sedang

24 Gado-gado 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 21 Sedang

25 Ketoprak 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 21 Sedang

26 Pecel sayur 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 21 Sedang

27 Nasi kuning 1 Tipe 1 1 ST WL 5 Dari tubuh dan lingkungan 3

Suhu ruang 5

> 3 Jam 1 Tipe 1 5

Tidak ada 21 Sedang

28 Rendang 5 Tipe 3 1 ST WL 3 Dari lingkungan 3 Suhu ruang 5

> 3 Jam 3 Tipe 2 1 Ada 21 Sedang

29 Nasi goreng 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 3

1 - 3 Jam 3 Tipe 2 5

Tidak ada 17 Rendah

30 Siomay 1 Tipe 1 1 ST WL 3 Dari lingkungan 1 Suhu tinggi 5

> 3 Jam 3 Tipe 2 1 Ada 15 Rendah

Keterangan: ST WL : Suhu Tinggi Waktu Lama PM : Pangan Mentah

83

Lampiran 2. Data Enumerasi, Isolasi, dan Karakterisasi Staphylococcus aureus koagulase positif pada nasi uduk Warung 1 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) (+++) (+++) (-)

10 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 2,62E+04 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-)

12 1 3 2 1 0 210 1,50E+05 1,22E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)

14 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

16 1 3 3 3 2 332 1,10E+07 7,80E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

84

Warung 1 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 2 0 0 320 9,30E+02 1,67E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 2 2 0 220 2,10E+04 1,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+04 Kokus (+) (-) (-)

12 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 9,30E+03 Basilus (+) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

16 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 2,77E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (-) (-) (-)

8* 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 8,40E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 1 311 7,50E+05 Kokus (+) (-) (-)

10* 1 3 3 2 1 321 1,50E+06 1,80E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 2 322 2,10E+06 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 2 1 2 212 2,70E+05 2,10E+05 Kokus (+) (-) (-)

2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 9,65E+05 Kokus (-) (-) (-)

2 3 3 2 1 321 1,50E+06 Kokus (+) (-) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

85

Warung 2 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 0 0 0 300 2,30E+02 2,30E+02 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+02 TD

10 1 3 3 0 0 300 2,30E+03 2,30E+03 Basilus (+) 2 3 3 0 0 300 2,30E+03 Basilus (+)

12 1 3 3 1 1 311 7,50E+04 5,90E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU1

14 1 2 2 0 0 220 2,10E+03 1,51E+03 Basilus (+) 2 2 0 0 0 200 9,20E+02 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)

16 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 1,95E+05 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (+) (-) (++) (++) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

86

Warung 2 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 1 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)

12 1 3 3 0 0 330 2,40E+04 3,35E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 4,95E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 1 311 7,50E+05 Kokus (+) (-) (-)

16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,42E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 3 3 1 331 4,60E+06 2,38E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+05 Kokus (+) (-) (-)

10* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 5,85E+05 Kokus (+) (-) (-)

2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU5 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-)

2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU6

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

87

Warung 3 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 2 0 320 9,30E+03 2,77E+04 TD 2 3 3 3 1 331 4,60E+04 TD

10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 4,30E+03 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 TD

12 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,45E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 2 0 1 201 1,40E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)

14 1 2 1 0 0 210 1,50E+04 1,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 1 1 1 0 111 1,10E+04 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

16 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 1,33E+04 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-) 2 1 0 0 0 100 3,60E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

88

Warung 3 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 1 0 310 4,30E+03 4,30E+03 TD 2 3 3 1 0 310 4,30E+03 TD

10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+03 TD

12 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 0 0 0 300 2,30E+03 TD

14 1 1 0 0 0 100 3,60E+03 6,40E+03 TD 2 2 0 0 0 200 9,20E+03 TD

16 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 6,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 2,15E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 2 1 1 0 211 2,00E+04 Kokus (+) (-) (-)

10* 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 3,65E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 1 0 010 3,00E+04 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 2 0 0 0 200 9,20E+03 6,40E+03 TD

2 1 0 0 0 100 3,60E+03 TD 14* 1 3 2 0 0 320 9,30E+04 1,47E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU7

2 3 2 1 1 211 2,00E+05 Kokus (+) (-) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

89

Warung 4 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 0 0 330 2,40E+03 2,40E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

10 1 3 1 0 0 310 4,30E+03 6,80E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

12 1 3 3 0 0 330 2,40E+04 3,35E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)

14 1 2 2 0 0 220 2,10E+04 1,60E+04 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 1 2 0 0 120 1,10E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+) (-)

16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 3,50E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU2 2 3 3 3 1 331 4,60E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

90

Warung 4 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 1 0 310 4,30E+04 6,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 3,35E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

12 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 2 0 0 320 9,30E+05 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

16 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 1,67E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 2,20E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 2 1 1 211 2,00E+06 Kokus (+) (-) (-)

10* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 2,40E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (++) (+) NU8 2 3 3 0 0 330 2,40E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU9 12* 1 3 3 0 0 330 2,40E+06 3,35E+06 Kokus (+) (-) (-)

2 3 3 1 0 310 4,30E+06 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 1 0 310 4,30E+06 4,30E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU10

2 3 3 1 0 310 4,30E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU11

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

91

Warung 5 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 0 1 301 3,80E+04 2,37E+04 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 2 0 0 320 9,30E+03 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-)

10 1 3 2 1 0 210 1,50E+05 1,95E+05 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)

12 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,67E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (+++) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU3

14 1 3 3 2 1 321 1,50E+07 8,55E+06 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-) 2 3 2 2 0 220 2,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (++) (+) (-)

16 1 3 1 1 1 111 1,10E+06 1,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (+++) (-) (-) 2 3 1 1 1 111 1,10E+06 Kokus (+) (+) (-) (+) (+) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

92

Warung 5 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 1 0 0 310 4,30E+02 4,30E+02 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+02 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 6,80E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Kokus (+) (-) (-)

12 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,28E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 3 2 0 320 9,30E+05 5,85E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 0 0 330 2,40E+05 Kokus (+) (-) (-)

16 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 1,95E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 1 321 1,50E+06 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 3 1 0 310 4,30E+05 6,80E+05 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-)

10* 1 3 3 3 0 330 2,40E+06 2,40E+06 Kokus (+) (-) (-) 2 3 3 3 0 330 2,40E+06 Kokus (+) (-) (-) 12* 1 3 1 1 1 111 1,10E+05 5,20E+05 Kokus (+) (-) (-)

2 3 3 2 0 320 9,30E+05 Kokus (+) (-) (-) 14* 1 3 3 0 0 330 2,40E+05 7,20E+05 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+)** (+) NU12

2 3 3 1 2 312 1,20E+06 Basilus (+) (+)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (+)** Putih kekuning-kuningan (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

93

Warung 6 Ulangan 1

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 8,25E+03 TD 2 3 1 0 1 101 7,20E+03 TD

10 1 3 2 1 0 210 1,50E+04 1,50E+04 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 1 0 210 1,50E+04 TD

12 1 3 2 3 0 230 2,90E+05 2,50E+05 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 2 0 220 2,10E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

14 1 3 3 1 1 311 7,50E+05 5,90E+05 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 3 1 0 310 4,30E+05 Kokus (+) (+) (-) (-)

16 1 3 2 2 1 221 2,80E+06 3,20E+06 Kokus (+) (+) (-) (-) 2 3 2 3 1 231 3,60E+06 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU4

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah

94

Warung 6 Ulangan 2

Uji MPN Jam

D 10-2 10-3 10-4 10-5 10-6 10-7 10-8 Kombinasi MPN/g Rataan

Morfologi

Uji Katalase

Uji Koagulase

Fer. Glukosa

Fer. Mannitol

S. aureus

8 1 3 3 0 0 330 2,40E+03 2,40E+03 TD 2 3 3 0 0 330 2,40E+03 Kokus (+) (-) (-)

10 1 3 0 0 0 300 2,30E+03 3,30E+03 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+03 Basilus (+) (+)

12 1 3 2 0 0 320 9,30E+03 6,15E+03 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 0 1 001 3,00E+03 Kokus (+) (-) (-)

14 1 3 0 0 0 300 2,30E+04 3,30E+04 TD 2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

16 1 2 1 0 0 210 1,50E+04 2,90E+04 Basilus (+) (+) 2 3 1 0 0 310 4,30E+04 Kokus (+) (-) (-)

8* 1 3 2 0 0 320 9,30E+04 5,80E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 3 0 0 0 300 2,30E+04 TD

10* 1 3 1 0 1 101 7,20E+04 4,35E+04 Kokus (+) (-) (-) 2 2 1 0 0 210 1,50E+04 Kokus (-) (-) (-) 12* 1 2 0 0 0 200 9,20E+03 1,61E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU13

2 3 0 0 0 300 2,30E+04 Kokus (+) (+) (+) (+++) (+++) (+) NU14 14* 1 3 1 0 0 310 4,30E+04 3,65E+04 Kokus (-) (-) (-)

2 3 0 0 1 001 3,00E+04 Basilus (+) (-)

Keterangan: Uji Koagulase: (+) Menggumpal nyata (-) Tidak menggumpal, atau menggumpal tidak nyata Uji Fermentasi: (+++) Seluruh larutan berwarna kuning (++) Lebih dari separuh larutan berwarna kuning (+) Kurang dari separuh larutan berwarna kuning (-) Seluruh larutan berwarna merah X*: Sampel dari jam ke-X yang diuji ulang pada jam 16

95

Lampiran 3. Persiapan Media dan Bahan 1. Persiapan Media

a. Tabung TSB

Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSB (lihat

petunjuk dikemasan), NaCl (10 %), dan sodium piruvat (1%)) lalu

dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai

konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas

hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan media ke

dalam tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi

terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4

kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, simpan medium untuk

digunakan saat analisis.

b. Tabung miring TSA

Ditimbang setiap bahan yang dibutuhkan (bubuk TSA (lihat

petunjuk dikemasan), NaCl (10%), dan sodium piruvat (1%)) lalu

dicampur di dalam gelas piala. Tambahkan air destilata hingga dicapai

konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan memanaskannya di atas

hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH. Masukkan larutan ke dalam

tabung-tabung reaksi lalu tabung reaksi ditutup. Lakukan sterilisasi

terhadap medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4

kPa selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, letakkan tabung pada

posisi miring dan biarkan membeku, kemudian simpan medium untuk

digunakan saat analisis.

c. Cawan Baird Parker Agar dengan EY Tellurit

Ditimbang bubuk Baird Parker yang diperlukan (lihat petunjuk

dikemasan), masukkan ke dalam erlenmeyer. Tambahkan air destilata

hingga dicapai konsentrasi yang diinginkan, lalu larutkan dengan

memanaskannya di atas hot plate sambil diaduk, kemudian atur pH.

Erlenmeyer yang digunakan diusahakan tidak terlalu besar agar pindah

panas tidak terganggu. Ukuran yang umumnya digunakan adalah 100 ml

96

medium untuk setiap satu erlenmryer. Lakukan sterilisasi terhadap

medium ini dengan otoklaf pada suhu 121°C dan tekanan 103,4 kPa

selama 15-30 menit. Setelah strilisasi selesai, campurkan 50 ml EY tellurit

untuk setiap 1 liter medium jadi (950 ml Baird Parker base), campur rata.

Tuangkan medium pada cawan-cawan petri steril secara aseptis, biarkan

memadat. Cawan Baird Parker siap digunakan untuk analisis.

EY tellurit dibuat dengan mencampur 20 ml kuning telur, 20 ml

NaCl 0.85%, dan 10 ml tellurit 1%.

2. Persiapan Larutan Pengencer

Pelarut digunakan untuk melakukan pengenceran berseri terhadap

sampel. Pelarut dibuat dengan melarutkan 3,4 g KH2PO4 ke dalam 50 ml air

destilata, atur pada pH 7, kemudian tepatkan hingga 100 ml. Ini adalah larutan

stock. Jika akan digunakan, 1,25 ml larutan stock dipipet lalu ditepatkan

hingga 1 liter dengan air destilata. Kemudian, larutan dimasukkan ke dalam

erlenmeyer sebanyak 225 ml dan ke dalam tabung reaksi sebanyak 9 ml.

Erlenmeyer dan tabung reaksi kemudian ditutup lalu disterilisasi dengan

otoklaf suhu 121°C pada tekanan 103,4 kPa selama 15-30 menit. Setelah

sterilisasi selesai, simpan larutan pengencer ini untuk keperluan analisis.

3. Persiapan Reagen Uji Aktivitas Koagulase

Siapkan tabung-tabung kecil, isi dengan 0.2-0.3 ml brain heart

infusion. Siapkan pula plasma koagulase dengan EDTA.

4. Persiapan Bahan Pewarnaan Gram

Dibuat larutan kristal violet, safranin, iodium, dan etanol 95% masing-

masing dalam botol berpipet. Simpan reagen ini untuk keperluan analisis.

Berikut ini prosedur pembuatan masing-masing reagen (Hadioetomo, 1993).

Crystal violet (modifikasi Hucker)

Larutan A:

Crystal violet (kandungan zat warna 85%) 2 g

97

Ethanol (95%) 20 ml

Larutan B:

Amonium oxalate 0.8 g

Air suling 80 ml

Campurkan larutan A dan B

Safranin

Safranin O 0.25 g

Ethanol (95%) 10 ml

Air suling 100 ml

Iodium

KI 2 g

I2 kristal 2 g

Air suling 300 ml

5. Persiapan Medium Fermentasi Glukosa dan Mannitol

Tryptone 10.0 g

Yeast extract 1.0 g

Glukosa / Mannitol 10.0 g

Bromcresol purple 0.04 g

Agar 2.0 g

Air destilata 1 liter

Larutkan agar dengan pemanasan sambil diaduk berlahan, tepatkan

pH sampai 7.0 ± 0.2. Isikan pada tabung 16 x 125 mm sampai 2/3 penuh.

Otoklaf 20 menit pada 115°C. Sebelum digunakan, steam medium 10-15

menit. Bekukan dengan meletakkan tabung pada air es.

98

Lampiran 4. Tabel nilai MPN 3 Seri Pengenceran untuk 0.1, 0.01, dan 0.001 g inokulum (BAM, 2006)