skripsi tingkat nyeri akibat pemasangan infus...

91
SKRIPSI TINGKAT NYERI AKIBAT PEMASANGAN INFUS DENGAN TEKNIK DISTRAKSI PADA ANAK USIA SEKOLAH YANG DIRAWAT DIRUANG IRD RSUD H.A SULTAN DAENG RAJA KABUPATEN BULUKUMBA TAHUN 2010 Diajukan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar Oleh : NUR AWALIAH RASYID C 121 09 504 PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2010

Upload: others

Post on 28-Jan-2021

40 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

  • SKRIPSI

    TINGKAT NYERI AKIBAT PEMASANGAN INFUS DENGAN TEKNIK DISTRAKSI PADA ANAK USIA SEKOLAH YANG DIRAWAT DIRUANG

    IRD RSUD H.A SULTAN DAENG RAJA KABUPATEN BULUKUMBATAHUN 2010

    Diajukan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Keperawatan pada Program Studi Ilmu

    Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar

    Oleh :

    NUR AWALIAH RASYIDC 121 09 504

    PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATANFAKULTAS KEDOKTERAN

    UNIVERSITAS HASANUDDINMAKASSAR

    2010

  • 4

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’allaikum Wr. Wb.

    Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat

    menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Teknik Distraksi terhadap

    Penurunan Nyeri Pemasangan Infus pada Anak Usia Sekolah Di Ruang IRD

    RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba”

    Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat dalam

    menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas

    Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

    Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis memperoleh banyak

    bimbingan, arahan dan bantuan dari berbagai pihak. Untuk itu, dalam kesempatan

    berbahagia ini penulis ingin mengucapkan rasa hormat, simpati serta terima kasih

    yang sedalam-dalamnya kepada :

    1. Prof. Irawan Yusuf, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Program Studi

    Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar.

    2. Prof. Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi,M.Kes Selaku Ketua Program Studi Ilmu

    Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dan

    selaku Dewan Penguji I.

    3. Ibu Kadek Ayu Erika,S.Kep,Ns,M.Kes selaku pembimbing I dan Ibu Tuti

    Seniwati,S.Kep,Ns selaku pembimbing II yang telah memberikan bimbingan

    dan arahan selama penyusunan ini dimulai dari proposal hingga hasil

    penelitian.

  • 5

    4. Ibu Suni Hariati,S.Kep,Ns,M.Kep selaku Dewan Penguji II yang telah

    memberikan masukan dan arahan demi penyempurnaan skripsi ini.

    5. Ibu dr.Hj.A.Diah Marni Gandhis,MARS selaku Direktur RSUD H.A Sultan

    Daeng Raja beserta stafnya yang memberikan izin uuntuk melakukan

    penelitian diwilayah kerjanya.

    6. Seluruh staf Pengajar dan Karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar.

    7. Teman-teman seperjuangan PSIK UNHAS 2009 dan keluarga besar yang

    telah banyak membantu dan mensupport penulis dalam penyelesaian skripsi

    ini.

    Semoga segala bentuk bantuan dari semua pihak bernilai ibadah dan

    mendapat balasan dari Allah SWT.

    Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari

    kesempurnaan, untuk itu segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat

    penulis harapkan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

    Makassar, Februari 2010

    Nur Awaliah Rasyid

  • 4

    KATA PENGANTAR

    Assalamu’allaikum Wr. Wb.

    Alhamdulillah Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT yang

    telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga usulan proposal dengan

    judul “Tingkat Nyeri pada Pemasangan Infus dengan Teknik Distraksi pada

    Anak Usia Sekolah Di Ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten

    Bulukumba” dapat di selesaikan untuk di ujiankan pada seminar proposal tanggal

    17 Desember 2010.

    Ucapan terima kasih yang tulus serta limpahan hormat penulis haturkan

    kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta, Suamiku Irvan Handy dan Fiqry anakku

    tersayang. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis

    haturkan kepada Ibu Kadek Ayu Erika,S.Kep,Ns,M.Kes dan Ibu Tuti

    Seniwati,S.Kep,Ns selaku pembimbing pertama dan kedua yang telah meluangkan

    waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan bimbingan dan arahan kepada

    Penulis.

    Terimakasih pula penulis ucapkan kepada :

    1. Prof. Irawan Yusuf, Ph.D selaku Dekan Fakultas Kedokteran Program Studi

    Ilmu Keperawatan Universitas Hasanuddin Makassar.

    2. Dr. dr. Ilhamjaya Patellongi,M.Kes Selaku Ketua Program Studi Ilmu

    Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar dan

    selaku Dewan Penguji I.

  • 5

    3. Ibu Suni Hariati,S.Kep,Ns,M.Kep selaku Dewan Penguji II yang akan

    meluangkan waktu serta memberikan saran kepada penulis saat seminar

    proposal penelitian nanti.

    4. Seluruh staf Pengajar dan Karyawan Program Studi Ilmu Keperawatan

    Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin Makassar. Dan teman-teman

    mahasiswa seperjuangan. Serta semua pihak yang terkait yang tidak bisa

    disebutkan satu-persatu.

    Penulis sadari bahwa usulan proposal ini masih jauh dari kesempurnaan.

    Oleh karena itu saran dan masukan dari dewan penguji I dan II guna perbaikan

    proposal ini sangat kami harapkan. Serta dukungan, waktu dan bimbingan dari

    pembimbing I dan II senantiasa kami butuhkan hingga penyusunan Skripsi.

    Makassar, Desember 2010

    Nur Awaliah Rasyid

  • ABSTRAKNur Awaliah Rasyid,”TINGKAT NYERI AKIBAT PEMASANGAN INFUS DENGAN TEKNIK DISTRAKSI PADA ANAK USIA SEKOLAH YANG DIRAWAT RUANG IRD RSUD H.A SULTAN DAENG RAJA KABUPATEN BULUKUMBA”. Dibimbing oleh Ibu Kadek Ayu Erika dan Ibu Tuti Seniwati. Jumlah 61 halaman + 3 tabel + 9 lampiran.Latar belakang : Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami prosedur medis yang menyakitkan seperti pemasangan infus sehingga menimbulkan stress situasional,kecemasan dan pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Untuk mengurangi nyeri tersebut maka sebaiknya dilakukan tindakan non farmakologis seperti teknik distraksi.Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat nyeri yang dirasakan oleh anak usia sekolah pada pemasangan infus setelah dilakukan teknik distraksi.Metode : Penelitian ini menggunakan desain penelitian pra eksperimental dengan rancangan post test only design dengan jumlah sampel 37 orang anak usia sekolah (6-12 tahun) yang dirawat di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba dan menggunakan teknik sampling non-propability sampling yaitu consecutive sampling. Hasil : Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 37 subjek penelitian yang diberikan teknik distraksi pada saat pemasangan infus ditemukan 19 orang (51,4 %) yang mengalami nyeri ringan, 9 orang (24,3 %) yang mengalami nyeri sedang dan 9 orang (24,3 %) yang mengalami nyeri berat.Kesimpulan :Tingkat nyeri yang dirasakan anak usia sekolah pada saat pemasangan infus setelah dilakukan teknik distraksi sebagian besar mengalami nyeri ringan. Teknik distraksi merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi nyeri akibat pemasangan infusKata Kunci : Tingkat nyeri, Pemasangan infus, Teknik Distraksi, Anak usia sekolah.Sumber Pustaka : 20 (1993-2010)

  • 6

    DAFTAR ISI

    HALAMAN JUDUL……………………………………………….……………. i

    HALAMAN PERSETUJUAN…………………………………….………...…...ii

    HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………...…….....iii

    KATA PENGANTAR……………………………………………………………iv

    DAFTAR ISI.……………………………………………………………………vi

    BAB I Pendahuluan

    A. Latar Belakang………………………………………………...…....1

    B. Rumusan Masalah ………………………………………………….5

    C. Tujuan Penelitian …………………………………………………..6

    D. Manfaat Penelitian …………………………………………………7

    BAB II Tinjauan Pustaka

    A. Tinjauan Tentang Nyeri……... ……………………….……………8

    B. Tinjauan Tentang Teknik Distraksi ….……………………………25

    C. Tinjauan Tentang Anak Usia Sekolah…..…………………………28

    D. Tinjauan Tentang Pemasangan Infus……………………………...34

    BAB III Kerangka Konsep ……………………………………..……………..39

    BAB IV Metode Penelitian

    A. Desain Penelitian …………………………………………………40

    B. Tempat dan Waktu Penelitian……..………………………………40

    C. Populasi dan Sampel………..…………...…………………………40

    D. Alur Penelitian……………………………………………………..42

    E. Defenisi Operasional……………………………………………….44

  • 7

    F. Instrumen Penelitian……………..…………………………………45

    G. Pengolahan Data…………………………………………………..45

    H. Etika Penelitian ……………………………………………………46

    BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………..47

    A. Hasil………………………………………………………………...47

    B. Pembahasan…………………………………………………………51

    C. Keterbatasan Penelitian……………………………………………..59

    BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………60

    A. Kesimpulan………………………………………………………….60

    B. Saran………………………………………………………………...60

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

  • DAFTAR TABEL/DIAGRAM

    Tabel 1 Distribusi responden berdasarkan karakteristik demografi

    responden di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten

    Bulukumba tahun 2011…………...…………………………….. 48

    Tabel 2 Distribusi responden berdasarkan tingkat nyeri post test di ruang

    IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba tahun

    2011………………………………………………………………49

    Tabel 3 Tabulasi silang tingkat nyeri pada pemasangan infus setelah

    dilakukan teknik distraksi berdasarkan kelompok umur, jenis

    kelamin dan pengalaman infus yang lalu di ruang IRD RSUD H.A

    Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba tahun 2011.................50

    Diagram 1 Tingkat nyeri pada pemasangan infus setelah dilakukan teknik

    distraksi berdasarkan umur di ruang IRD RSUD H.A Sultan

    Daeng Raja Kabupaten Bulukumba tahun

    2011…............................................................................................50

    Diagram 2 Tingkat nyeri pada pemasangan infus setelah dilakukan teknik

    distraksi berdasarkan jenis kelamin di ruang IRD RSUD H.A

    Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba tahun

    2011………………………………………………………………51

    DAFTAR LAMPIRAN

  • Lampiran 1 Surat rekomendasi penelitian dari Balitbangda Kabupaten

    Bulukumba kepada Direktur RSUD H.A Sultan Daeng Raja

    Kabupaten Bulukumba

    Lampiran 2 Surat permohonan kesediaan menjadi responden

    Lampiran 3 Surat persetujuan menjadi responden

    Lampiran 4 Prosedur pelaksanaan teknik distraksi

    Lampiran 5 Skala pengukuran nyeri “wajah”

    Lampiran 6 Lembar observasi

    Lampiran 7 Lembar master tabel hasil penelitian

    Lampiran 8 Lembar hasil uji statistik dengan program SPSS 16,0

    Lampiran 9 Surat keterangan telah melaksanakan penelitian di RSUD H.A

    Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Kondisi sakit dan hospitalisasi sering kali menimbulkan krisis pada

    kehidupan anak dimana akan menimbulkan stress pada anak karena

    menghadapi lingkungan yang asing dan terjadi gangguan pada gaya hidup

    mereka. Stressor utama dari hospitalisasi diantaranya adalah karena

    perpisahan, kehilangan kendali, cedera tubuh dan nyeri (Wong, 2008)

    International Association of Pain (1979) menyatakan bahwa nyeri

    adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan

    yang berkaitan dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial.

    Persepsi nyeri pada anak kompleks dan sering sulit untuk dinilai. Meskipun

    bayi dan anak telah mengalami nyeri pada awal kehidupan, namun ada banyak

    faktor yang mempengaruhi persepsi anak tentang nyeri seperti usia anak,

    tingkat perkembangan, keterampilan kognitif, pengalaman sebelumnya dan

    keyakinan yang terkait. Pada anak usia sekolah biasanya mengkomunikasikan

    secara verbal nyeri yang mereka alami berkaitan dengan letak, intensitas, dan

    deskripsinya. (Srouji.R, Ranapalen.S & Schneeweiss.S, 2010).

    Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami

    prosedur medis yang menyakitkan dan tak terduga seperti pemasangan infus

    sehingga menimbulkan stress situasional dan kecemasan yang mengarahkan

    pada pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Reaksi yang

    ditunjukkan juga bermacam-macam sesuai dengan usia mereka. Reaksi anak

  • 2

    usia sekolah terhadap perlukaan atau rasa nyeri akan ditunjukkan dengan

    ekspresi, baik secara verbal maupun non verbal karena anak sudah mampu

    mengkomunikasikannya. Anak-anak cenderung bertindak agresif yaitu sebagai

    pertahanan diri, bertindak dengan mengekspresikan secara verbal yaitu dengan

    mengeluarkan kata-kata mendesis, membentak dan sebagainya, serta dapat

    bersikap dependent yaitu menutup diri, tidak kooperatif. (Supartini, 2004;

    Wong, 2008).

    Anak yang mengalami prosedur yang menimbulkan nyeri cenderung

    memperlihatkan perilaku yang negatif termasuk menendang, berteriak-teriak

    dan melakukan perlawanan. Perilaku yang negatif seperti ini dapat

    menyulitkan pelaksanaan prosedur tersebut sehingga bisa terjadi kecelakaan

    baik pada anak itu sendiri maupun petugas kesehatan.Selain itu hal ini dapat

    membuat ketegangan pada petugas kesehatan dan orang tua yang bisa

    mengganggu pelaksanaan prosedur (Bart Smet,1994).

    Menangis selama prosedur medis, misalnya karena jarum suntik atau

    pemasangan infus telah dipertimbangkan sebagai indikator nyeri untuk bayi.

    Akan tetapi masih sedikit penelitian mengenai menangis yang disebabkan oleh

    nyeri. Dalam penelitian lain tentang tindakan invasive yang menggunakan

    jarum (tindakan aspirasi sumsum tulang dan fungsi lumbar), didapatkan

    bahwa anak usia muda yang mengalami tindakan tersebut menunjukan

    menangis lebih keras dari pada anak yang lebih tua (Yates et al, 1998)

    Mengurangi intensitas nyeri merupakan kebutuhan dasar dan hak dari

    setiap anak. Profesional kesehatan sebaiknya memiliki kemampuan untuk

  • 3

    mencoba berbagai intervensi untuk mengontrol intensitas nyeri. Dalam

    penatalaksanaan nyeri biasa digunakan manajemen nyeri baik secara

    farmakologik dengan menggunakan analgetik dan narkotik maupun non

    farmakologik seperti teknik distraksi, teknik relaksasi dan teknik stimulasi

    kulit. Namun sebaiknya tindakan nonfarmakologis harus di dahulukan

    daripada tindakan farmakologis. Karena tindakan nonfarmakologis lebih

    ekonomis, lebih adekuat dalam mengontrol nyeri dan tidak ada efek samping.

    Hal ini dilakukan dengan harapan anak tidak mengalami trauma psikologis

    dan melakukan penolakan terhadap tindakan invasif pemasangan infus

    (Priharjo, 1993).

    Intervensi nonfarmakologis dalam mengatasi nyeri pada anak paling

    efektif bila disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. Pada anak

    sekolah teknik distraksi sangat efektif digunakan untuk mengalihkan nyeri, hal

    ini disebabkan karena distraksi merupakan metode dalam upaya menurunkan

    nyeri pada anak, dan sering membuat pasien lebih banyak menahan nyeri.

    Selain itu anak usia sekolah juga sudah dapat di ajak bekerja sama dan

    memiliki kemampuan kognitif yang memadai.( Hasanpour dikutip dalam

    Tufecki et al, 2009)

    Beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan metode

    nonfarmakologis seperti teknik distraksi dapat mengurangi nyeri. Di Turki,

    kehadiran orang tua adalah satu-satunya metode nofarmakologis yang terbaik

    untuk menghilangkan rasa sakit pada tindakan prosedural. Penelitian lain

    menunjukkan bahwa penggunaan keleidoskop sebagai alat distraksi visual

  • 4

    dapat menurunkan intensitas nyeri pada pelaksanaan fungsi vena pada anak.

    Dari 206 anak yang diteliti, ada 105 anak yang diberi intervensi dan 101 anak

    yang menjadi kelompok kontol (tanpa intervensi). Dari penelitian ini

    didapatkan bahwa tingkat nyeri yang dirasakan anak yang diberi intervensi

    lebih rendah dibanding dengan kelompok kontrol. Di Indonesia sendiri juga

    telah banyak yang melakukan penelitian tentang penggunaan teknik distraksi

    untuk menurunkan intensitas nyeri, seperti pada penelitian A.Suci.E (2005)

    yang membuktikan bahwa teknik distraksi musik dengan menggunakan musik

    anak-anak memiliki efektivitas yang lebih tinggi dalam menurunkan nyeri

    pada anak-anak, terutama pada saat pemasangan infus ( Tufecki et al, 2009;

    A.Suci.E dikutip dalam Widyastuti et al, 2010).

    Selain penelitian tentang upaya untuk menurunkan intensitas nyeri

    akibat prosedur medis yang menyakitkan seperti karena pemasangan infus,

    adapula penelitian tentang respon nyeri yang dialami oleh anak pada saat

    pemasangan infus. Menurut penelitian Mediani et al, (2005) yang menyatakan

    bahwa anak mampu mengungkapkan rasa nyeri yang dialaminya pada saat

    pemasangan infus dan terdapat perbedaan respon nyeri yang ditampilkan anak

    dimana untuk infant, balita dan anak usia sekolah menunjukkan bahwa anak

    mengalami nyeri pada saat pemasangan infus sedangkan untuk anak remaja

    tidak menunjukkan respon nyeri baik pada respon fisiologis maupun respon

    perilaku. Namun pada penelitian ini tidak digambarkan tentang tingkatan nyeri

    yang dirasakan oleh anak yang mengalami nyeri (Mediani.H.S, Mardhiyah.A

    & Rakhmawati,W , 2005)

  • 5

    Data RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba

    menunjukkan bahwa dari 2368 anak yang di rawat tahun 2009, 867 anak (36,6

    %) adalah anak dengan usia 6-12 tahun. Sedangkan anak usia sekolah (6-12

    tahun) yang dirawat dari bulan Januari sampai September 2010 sebanyak 868

    anak (37,7 %) dari 2301 anak yang di rawat. Hal ini menunjukkan

    peningkatan jumlah anak usia sekolah yang di rawat pada periode yang sama

    sebanyak 216 anak (33,1 %). Dari seluruh anak yang dirawat, 100 % anak

    tersebut mendapatkan tindakan invasif pemasangan infus (Data RSUD H.A

    Sultan Dg Raja Kab. Bulukumba, 2010).

    Hasil wawancara sederhana peneliti dengan seorang perawat pelaksana

    ruang IRD serta seorang anak yang dirawat di ruang perawatan anak RSUD

    H.A Sultan Dg Raja Kab. Bulukumba, didapatkan bahwa teknik non

    farmakologis untuk mengurangi nyeri pada pemasangan infus belum

    dilakukan sedangkan anak mengatakan dia merasa sangat nyeri saat dilakukan

    tindakan pemasangan infus.

    Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti mencoba untuk

    mengembangkan penelitian tentang “Tingkat nyeri akibat pemasangan

    infus dengan teknik distraksi pada anak usia sekolah yang dirawat di

    Ruang IRD Rumah Sakit Umum daerah H.A Sultan dg Raja Kabupaten

    Bulukumba”

    B. Rumusan Masalah

    Rumah sakit merupakan tempat dimana anak sering mengalami

    prosedur medis yang menyakitkan dan tak terduga seperti pemasangan infus

  • 6

    sehingga menimbulkan stress situasional dan kecemasan yang mengarahkan

    pada pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Reaksi yang

    ditunjukkan juga bermacam-macam sesuai dengan usia mereka. Anak-anak

    cenderung bertindak agresif yaitu sebagai pertahanan diri, bertindak dengan

    mengekspresikan secara verbal yaitu dengan mengeluarkan kata-kata

    mendesis, membentak dan sebagainya, serta dapat bersikap dependent yaitu

    menutup diri, tidak kooperatif. Untuk mengurangi nyeri tersebut maka

    sebaiknya dilakukan tindakan non farmakologis seperti teknik distraksi.

    Namun sebaiknya perlu pula diketahui tingkat nyeri yang dirasakan anak pada

    saat pemasangan infus setelah diberi teknik distraksi.

    Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan pertanyaan penelitian

    sebagai berikut : “Bagaimana tingkat nyeri akibat pemasangan infus

    dengan teknik distraksi pada anak usia sekolah yang dirawat di Ruang

    IRD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba“.

    C. Tujuan Penelitian

    a. Tujuan Umum

    Mengetahui gambaran tingkat nyeri yang dirasakan anak usia sekolah pada

    pemasangan infus dengan teknik distraksi

    b. Tujuan Khusus

    Mengidentifikasi tingkat nyeri yang dirasakan anak usia sekolah pada

    pemasangan infus dengan teknik distraksi

  • 7

    D. Manfaat Penelitian

    Adapun manfaat dilakukan penelitian ini adalah :

    1. Bagi Rumah Sakit

    Memberi masukan bagi rumah sakit dalam meningkatkan kualitas

    pelayanan kesehatan khususnya pada anak yang mendapat tindakan

    pemasangan infus.

    2. Bagi Pendidikan

    Sebagai sumbangan ilmiah dan masukan untuk pengembangan ilmu

    pengetahuan keperawatan di Indonesia khususnya dapat senantiasa

    berkembang dan meningkatkan pemahaman tentang pemasangan infus

    pada anak.

    3. Bagi Penelitian

    Sebagai data untuk penelitian lebih lanjut dalam kaitannya dengan proses

    keperawatan anak dalam hal tindakan pemasangan infus sekaligus

    memberi masukan bagi peningkatan mutu asuhan keperawatan anak.

    4. Bagi Peneliti

    Sebagai bahan pengetahuan untuk mendapatkan pengalaman dan

    meningkatkan kemampuan diri dalam bidang penelitian serta menambah

    pengetahuan tentang tinkat nyeri yang dirasakan anak usia sekolah pada

    pemasangan infus dengan teknik distraksi.

  • 8

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Tinjauan Umum Tentang Nyeri

    1. Defenisi Nyeri

    Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional yang tidak

    menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan baik yang aktual maupun

    potensial. Dari defenisi ini, pemahaman tentang nyeri lebih menitikberatkan

    bahwa nyeri adalah kejadian fisik, yang tentu saja untuk penatalaksanaan

    nyeri menitikberatkan pada manipulasi fisik atau menghilangkan kausa

    nyeri (Tamsuri, 2007).

    Nyeri dapat dibedakan menjadi nyeri akut yaitu nyeri yang biasanya

    berlangsung singkat (waktu atau durasinya dari 1 detik sampai kurang dari

    6 bulan) dan nyeri kronik yaitu nyeri yang berkembang lebih lambat dan

    terjadi dalam waktu yang lebih lama sehingga terkadang pasien sulit untuk

    mengingat sejak kapan nyeri tersebut dirasakan. Nyeri juga dapat

    dibedakan menjadi nyeri somatogenik yaitu nyeri secara fisik dan nyeri

    psikogenik yaitu nyeri secara psikis atau mental.

    Nyeri merupakan tanda penting terhadap adanya gangguan atau

    akibat dari stimulasi fisik dan mental atau stimuli emosional. Oleh karena

    itu dalam hal pengkajian dan penatalaksanaannya tidak hanya akan

    menitikberatkan pada faktor fisik semata tapi juga faktor mental dan

    emosional yang mempengaruhi persepsi individu tentang nyeri.

  • 9

    Pokok penting yang harus diingat adalah , apa yang “dikatakan”

    tentang nyeri adalah tidak pada pernyataan verbal. Beberapa pasien tidak

    dapat atau tidak akan melaporkan secara verbal bahwa mereka mengalami

    nyeri. Karenanya, perawat juga bertanggung jawab terhadap perilaku non

    verbal yang dapat terjadi bersamaan dengan nyeri (Brunner & Suddarth,

    2002).

    2. Fisiologi Nyeri

    Reseptor nyeri adalah organ tubuh yang berfungsi untuk menerima

    rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

    ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

    yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor.

    Secara anatomis, nosiseptor ada yang bermielin dan ada juga yang tidak

    bermielin dari saraf perifer.

    Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat dikelompokkan dalam

    beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit dan subkutan (kutaneus), somatik

    dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya berbeda-

    beda maka nyeri yang timbul juga memiliki sensasi yang berbeda.Nyeri

    yang berasal dari kutaneus biasanya mudah untuk dilokalisasi dan

    didefenisikan. Reseptor kutaneus terbagi dalam 2 komponen :

    a. Serabut A delta

    Merupakan serabut komponen cepat (kecepatan transmisi 6-30

    m/det) yang memungkinkan timbulnya nyeri tajam, yang akan cepat

    hilang apabila penyebab nyeri dihilangkan

  • 10

    b. Serabut C

    Merupakan serabut komponen lambat (kecepatan transmisi 0,5-2

    m/det) yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya

    bersifat tumpul dan sulit dilokalisasi.

    Struktur reseptor nyeri somatic dalam meliputi reseptor nyeri

    yang terdapat pada tulang, pembuluh darah, saraf, otot, dan jaringan

    penyangga lainnya. Karena struktur reseptornya kompleks, nyeri yang

    timbul merupakan nyeri yang tumpul dan sulit dilokalisasi.

    Reseptor nyeri jenis ketiga adalah reseptor visceral yang meliputi

    organ-organ visceral seperti jantung, hati, usus, ginjal dan sebagainya.

    Nyeri yang timbul biasanya terus-menerus dan tidak sensitif terhadap

    pemotongan organ tetapi sangat sensitive terhadap penekanan, iskemia

    dan inflamasi ( Tamsuri,2007).

    Terdapat berbagai teori yang berusaha menggambarkan

    bagaimana nosiseptor dapat menghasilkan rangsang nyeri. Sampai saat

    ini dikenal berbagai teori yang mencoba menjelaskan bagaimana nyeri

    dapat timbul, namun teori gate control yang dianggap paling relevan

    (Tamsuri,2007).

    Teori gate control dari Melzack & Wall (1978) mengusulkan

    bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme

    pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini menyatakan bahwa

    impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls

  • 11

    dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup pertahanan

    tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

    Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut

    control desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A

    dan C melepaskan substansi C untuk mentransmisi impuls melaui

    mekanisme pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor , neuron

    delta-A yang lebih tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter

    penghambat. Apabila masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A

    maka akan menutup mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme

    penutupan ini dapat terlihat saat perawat mengusap punggung klien

    dengan lembut. Pesan yang dihasilkan akan menstimuli mekanoreseptor,

    apabila masukan yang dominan berasal dari serabut delta-A dan serabut

    C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan klien mempersepsikan

    sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat

    pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri. Alur

    saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan

    dinorfin, suatu pembunuh alami nyeri dari dalam tubuh. Neuromodulator

    ini menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan

    substansi P. Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo

    merupakan upaya untuk melepaskan endorfin ( Potter,2005 ).

    Anas Tamsuri tahun 2007 menyatakan bahwa ada beberapa

    respon tubuh terhadap nyeri, antara lain :

  • 12

    1. Respon Fisik

    Respon fisik timbul karena pada saat impuls nyeri

    ditransmisikan oleh medulla spinalis menuju batang otak dan

    thalamus, system saraf otonom terstimulasi, sehingga menimbulkan

    respon yang serupa dengan respon tubuh terhadap nyeri. Respon

    fisiologis terhadap nyeri dibedakan menjadi reaksi simpatis dan

    parasimpatis.Adapun reaksi simpatis tubuh terhadap nyeri antara lain

    a. Dilatasi saluran pernapasan dan peningkatan respirasi rate

    b. Peningkatan heart rate

    c. Vasokontriksi perifer sehingga meningkatkan tekanan darah

    d. Peningkatan nilai gula darah

    e. Diaporesis

    f. Peningkatan kekuatan otot

    g. Dilatasi pupil

    h. Penurunan motilitas gastro intestinal

    Respon fisik timbul karena Sedangkan reaksi parasimpatis

    tubuh terhadap nyeri antara lain:

    a. Muka pucat

    b. Kelelahan otot

    c. Peburuban tekanan darah dan nadi

    d. Napas cepat dan tidak teratur

    e. Mual dan muntah

    f. Kelelahan.

  • 13

    2. Respon Psikologis

    Respon psikologis sangat berkaitan dengan pemahaman klien

    terhadap nyeri yang terjadi. Arti nyeri bagi individu berbeda-beda

    antara lain :

    a. Bahaya atau merusak

    b. Komplikasi seperti infeksi

    c. Penyakit baru

    d. Penyakit yang berulang

    e. Penyakit yang fatal

    f. Peningkatan ketidakmampuan

    g. Kehilangan mobilitas

    h. Menjadi tua

    i. Sembuh

    j. Perlu untuk penyembuhan

    k. Hukuman karena berdosa

    l. Tantangan

    m. Penghargaan terhadap penderitaan orang lain

    n. Sesuatu yang harus ditoleransi

    o. Bebas dari tanggung jawab yang tidak dikehendaki.

    Pemahaman dan pemberian arti bagi nyeri sangat dipengaruhi

    tingkat pengetahuan, persepsi, pengalaman masa lalu, dan factor

    sosial budaya.

  • 14

    3. Respon Perilaku

    Respon perilaku yang ditampilkan oleh individu jika

    mengalami nyeri bermacam-macam. Meinhart & Mc.Caffery (1983)

    dalam Anas Tamsuri (2007) menggambarkan 3 fase perilaku

    terhadap nyeri antara lain :

    a. Fase antisipasi

    Fase ini merupakan fase yang paling penting karena fase

    ini menentukan dua fase berikutnya. Fase ini memungkinkan

    seseorang belajar tentang nyeri dan upaya untuk menghilangkan

    nyeri tersebut.Peran perwat sangat penting dalam fase ini

    terutama dalam memberikan informasi terhadap klien.

    b. Fase sensasi

    Fase ini terjadi ketika klien merasakan nyeri. Karena nyeri

    bersifat subyektif maka tiap orang menyikapinya dengan cara

    yang berbeda. Toleransinya pun berbeda antara orang yang satu

    dengan yang lain. Orang yang mempunyai tingkat toleransi yang

    tinggi terhadap nyeri tidak akan mengeluh nyeri dengan stimulus

    kecil dan mampu menahan stimulus nyeri tanpa bantuan.

    Berbeda dengan orang yang memiliki tingkat toleransi yang

    rendah terhadap nyeri akan mudah merasakan nyeri pada

    stimulus kecil dan sudah berupaya mencegah nyeri sebelum nyeri

    itu datang.

  • 15

    Keberadaan enkafalin dan endorphin membantu

    menjelaskan bagaimana orang yang berbeda merasakan tingkat

    nyeri dari stimulus yang sama. Kadar endorphin berbeda pada

    tiap individu dimana individu dengan kadar endorphin tinggi

    sedikit merasakan nyeri sedangkan individu dengan kadar

    endorphin yang rendah merasakan nyeri lebih besar.

    Klien bisa mengungkapkan nyerinya dengan berbagai

    cara, mulai dari ekspresi wajah, vokalisasi dan gerakan tubuh.

    Ekspresi yang ditunjukkan itulah yang digunakan perawat untuk

    mengenali pola perilaku yang menunjukkan nyeri. Perawat harus

    melakukan pengkajian secara teliti apabila klien sedikit

    mengekspresikan nyerinya. Karena belum tentu orang yang tidak

    mengekspresikan nyeri tidak mengalami nyeri. Kasus seperti itu

    tentunya membutuhkan bantuan perawat untuk membantu klien

    mengkomunikasikan nyeri secara efektif.

    c. Fase akibat (pasca nyeri)

    Fase ini terjadi saat nyeri sudah berkurang atau hilang.

    Pada fase ini klien masih membutuhkan kontrool dari perawat.

    Karena nyeri bersifat krisis, sehingga dimungkinkan klien

    mengalami gejala sisa pasca nyeri. Apabila klien mengalami

    episode nyeri berulang, maka respon akibat (aftermath) dapat

    menjadi masalah kesehatan yang berat. Peran perawat dalam

  • 16

    membantu memperoleh kontrol diri untuk meminimalkan rasa

    takut akan kemunkinan berulang.

    3. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi nyeri

    Ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi respon nyeri pada

    seseorang antara lain :

    1. Budaya

    Orang belajar dari budayanya tentang bagaimana mereka

    berespon terhadap nyeri misalnya suatu daerah menganut kepercayaan

    bahwa nyeri adalah akibat yang harus diterima karena mereka

    melakukan kesalahan sehingga mereka tidak mengeluh jika mengalami

    nyeri.

    2. Perhatian

    Tingkat seorang klien memfokuskan perhatiannya pada nyeri

    dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian yang meningkat

    dihubungkan dengan nyeri yang meningkat , sedangkan upaya distraksi

    diupayakan dengan respon nyeri yang menurun ( Gill, 1990).

    3. Pengalaman Nyeri yang Lalu

    Individu dengan pengalaman nyeri berulang dapat mengetahui

    ketakutan peningkatan nyeri dan pengobatannya tidak adekuat. Sekali

    individu mengalam nyeri berat, individu tersebut mengetahui hanya

    seberapa berat nyeri ini dapat terjadi. Sebaliknya, individu yang tidak

    pernah mengalami nyeri hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap

    nyeri itu. Cara seseorang berespon terhadap nyeri adalah akibat dari

  • 17

    banyaknya kejadian nyeri selama rentang kehidupan.bagi beberapa

    orang, nyeri masa lalu dapat saja menetap dan tidak

    terselesaikan,seperti pada nyeri berkepanjangan atau kronis dan

    persisten ( Brunner & Suddarth,2002).

    4. Usia dan Nyeri

    Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak

    diketahui secara luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit

    karena perubahan fisiologis dan psikologis yang menyertai proses

    penuaan. Pada lansia cenderung memendam nyeri yang dialami, karena

    mereka menganggap nyeri adalah hal yang harus dijalani dan mereka

    takut kalau mengalami penyakit berat atau meninggal jika nyeri

    diperiksakan (Brunner & Suddarth,2002).

    5. Kecemasan dan Stressor lain

    Pada umumnya diyakini bahwa ansietas akan meningkatkan

    nyeri, tetapi ada pula riset yang tidak memperlihatkan suatu hubungan

    yang konsisten antara ansietas dan nyeri. Namun, ansietas yang relevan

    atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan persepsi pasien

    terhaap nyeri (Brunner & Suddart,2002).

    6. Efek plasebo

    Efek placebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap

    pengobatan atau tindakan lain karena suatu harapan bahwa pengobatan

    atau tindakan tersebut akan memberikan hasil bukan karena tindakan

    atau pengobatan tersebut benar-benar bekerja. Menerima pengobatan

  • 18

    atau tindakan saja sudah memberikan efek positif. Individu yang

    diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri

    hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding pasien yang

    diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek

    apapun (Brunner & Suddarth,2002).

    4. Mengkaji persepsi nyeri

    Brunner & Suddart tahun 2002 menyatakan bahwa alat-alat

    pengukuran nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri

    seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut

    harus mmenuhi kriteria berikut :

    a. Mudah dimengerti dan digunakan

    b. Memerlukan sedikit upaya pada pihak pasien

    c. Mudah dinilai

    d. Sensitif terhadap perubahan kecil dalam intensitas nyeri.

    Alat-alat pengkajian nyeri dapat digunakan untuk

    mendokumentasikan kebutuhan intervensi, untuk mengevaluasi efektivitas

    intervensi dan untuk mengidentifikasi kebutuhan akan intervensi alternatif

    dan tambahan jika intervensi sebelumnya tidak efektif dalam meredakan

    nyeri individu.

    Nyeri sukar digambarkan, saat pasien mengeluh nyeri, dengarrkan

    (lakukan sesuatu) karena nyerinya adalah apa yang ia rasakan meskipun iia

    mungkin kesulitan menggambarkannya. Observasi objektif yang bisa

    ditemui yakni :

  • 19

    a. Kulit – menjadi pucat, dingin dan lembab saat nyeri hebat dan lama.

    b. Ekspresi wajah – kening mengernyit, mulut dan gigi terkatup rapat;

    pasien mungkin meringis.

    c. Mata – tertutup rapat atau terbuka; pupil mungkin dilatasi.

    d. Nadi – nadi mungkin meningkat atau menurun dengan beragam

    intensitas.

    e. Respirasi – frekwensinya meningkat dan berubah karakternya.

    f. Tekanan darah – bisa berubah jika terjadi nyeri.

    g. Muskuloskeletal – menegang atau kaku.

    h. Distres gastric – bisa terjadi mual, dengan atau tanpa muntah; anorexia

    atau menolak makan bisa terjadi.

    i. Aktivitas fisik dan reaksi – pasien mungkin sangat tenang, hanya

    bergerak saat disuruh atau perlu; mungkin tidak pernah istirahat dan

    tidak dapat tidur.

    j. Aktivitas mental dan emosional – pasien mungkin menangis, bicara

    terlalu banyak atau terlalu banyak meminta.

    k. Observasi mengenai asuhan keperawatan – apakah pasien puas dengan

    efek pengobatannya, lebih tenang, dapat tidur atau istirahat.

    Instrumen yang dapat digunakan untuk mengukur dan mengkaji

    intensitas nyeri pada anak menurut Wong (1996) adalah:

    (1) Visual Analog Scale (VAS)

    Visual Analog Scale (VAS) mengukur besarnya nyeri pada garis

    sepanjang 10 cm. Biasanya berbentuk horizontal, tetapi mungkin saja

  • 20

    ditampilkannya secara vertikal. Garis ini digerakkan oleh gambaran

    intensitas nyeri, misalnya: “no hurt”, sampai “worst hurt”. Baik skala

    vertical maupun horizontal merupakan pengukuran yang sama valid,

    tetapi VAS yang vertical lebih sensitive menghasilkan score yang lebih

    besar dan lebih mudah digunakan dari pada skala horizontal. VAS ini

    dapat digunakan pada anak yang mampu memahami perbedaan dan

    mengindikasikan derajat nyeri yang sedang dialaminya (Wong, 1996).

    Skala Visual Analog

    Tidak sedikit nyeri nyeri sangat

    Nyeri nyeri sedang lebih banyak nyeri

    Gambar 2.1 Rentang nyeri dengan VAS

    (2) Numerical Rating Scale (NRS)

    Numerical Rating Scale (NRS) hampir sama dengan Visual Analog

    Scale, tetapi memiliki angka-angka sepanjang garisnya. Angka 0-10

    atau 0-100 dan anak diminta untuk menunjukkan rasa nyeri yang

    dirasakannya. Skala Numerik ini dapat digunakan pada anak yang lebih

    muda seperti 3-4 tahun atau lebih.

    1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

    Tidak sangat

    Nyeri nyeri

    Gambar 2.2 Rentang nyeri dengan NRS

  • 21

    Dari skala diatas, tingkatan nyeri yang dapat diklasifikasikan

    sebagai berikut:

    (a) Skala 1 : tidak ada nyeri

    (b) Skala 2-4 : nyeri ringan, dimana klien belum mengeluh nyeri, atau

    masih dapat ditolerir karena masih dibawah ambang rangsang.

    (c) Skala 5-6 : nyeri sedang, dimana klien mulai merintih dan mengeluh,

    ada yang sambil menekan pada bagian yang nyeri

    (d) Skala 7-9 : termasuk nyeri berat, klien mungkin mengeluh sakit sekali

    dan klien tidak mampu melakukan kegiatan biasa

    (e) Skala 10 : termasuk nyeri yang sangat, pada tingkat ini klien tidak

    dapat lagi mengenal dirinya.

    (3) Faces Rating Scale dari Wong Baker

    Instrumen dengan menggunakan Faces Rating Scale terdiri dari 6

    gambar skala wajah yang bertingkat dari wajah yang tersenyum untuk

    “no pain” sampai wajah yang berlinang air mata. Penjelasan Faces

    Rating Sacle yaitu:

    (a) Nilai 0; nyeri tidak dirasakan oleh anak

    (b) Nilai 1: nyeri dirasakan sedikit saja

    (c) Nilai 2: nyeri agak dirasakan oleh anak

    (d) Nilai 3: nyeri yang dirasakan anak lebih banyak

    (e) Nilai 4: nyeri yang dirasakan anak secara keseluruhan

    (f) Nilai 5; nyeri sekali dan anak menjadi menangis

  • 22

    Kelebihan dari skala wajah ini yaitu anak dapat menunjukkan sendiri

    rasa nyeri yang baru dialaminya sesuai dengan gambar yang telah ada

    dan skala wajah ini baik digunakan pada anak usia prasekolah.

    0 1 2 3 4 5

    Gambar 2.3 Rentang nyeri dengan Face Rating Scale

    5. Manajemen Nyeri

    Brunner & Suddart tahun 2002 menyatakan bahwa alat-alat

    pengukuran nyeri dapat digunakan untuk mengkaji persepsi nyeri

    seseorang. Agar alat-alat pengkajian nyeri dapat bermanfaat, alat tersebut

    harus mmenuhi kriteria berikut :

    Manajemen nyeri mencakup baik pendekatan farmakologis dan

    nonfarmakologis. Pendekatan ini diseleksi berdasarkan pada kebutuhan dan

    tujuan pasien secara individu. Semua intervensi akan sangat berhasil bila

    dilakukan sebelum nyeri menjadi parah, dan keberhasilan terbesar sering

    dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara simultan. (Brunner &

    Suddarth,2002)

    a. Intervensi Farmakologis

  • 23

    Menangani nyeri yang dialami pasien melalui intervensi

    farmakologis dilakukan dalam kolaborasi dengan dokter atau pemberi

    perawatan utama lainnya dan pasien. Obat-obatan tertentu untuk

    penatalaksanaan nyeri seperti analgesia, opoid atau obat anti inflamasi

    nonsteroid mungkin diresepkan atau kateter epidural mungkin dipasang

    untuk memberikan dosis awal. Untuk pemberian analgesia, perawat

    perlu mempertahankan analgesia, mengkaji keefektifannya dan

    melaporkannya jika intervensi tersebut tidak efektif atau menimbulkan

    efek samping.oleh karena itu, penatalaksanaan nyeri memerlukan

    kolaborasi erat dan komunikasi yang efektif diantara pemberi perawatan

    kesehatan.

    b. Intervensi Nonfarmakologis

    Banyak aktivitas keperawatan yang menggunakan pendekatan

    nonfarmakologis dalam menghilangkan nyeri. Meskipun demikian

    masih banyak pasien maupun tim kesehatan yang cenderung

    memandang obat sebagai satu-satunya metode untuk menghilangkan

    nyeri. Metode pereda nyeri nonfarmakologis biasanya memiliki resiko

    yang sangat rendah karena tindakan ini diperlukan untuk

    mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik

    atau menit. Dalam hal ini, pada saat nyeri hebat berlangsung selama

    berjam-jam atau berhari-hari, mengkombinasikan teknik

    nonfarmakologis dengan obat-obatan mungkin cara yang efektif untuk

    menghilangkan nyeri.

  • 24

    Brunner & Suddarth (2002) mengemukakan bahwa adapun

    tindakan nonfarmakologis yang biasa dilakukan antara lain :

    1) Stimulasi dan masase kutaneus

    Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering

    dipusatkan pada punggung dan bahu. Masase ini membuat pasien

    lebih nyaman karena membuat relaksasi otot.

    2) Kompres es dan panas

    Penggunaan kompres panas dingin meliputi penggunaan

    kantong es, masase mandi air dingin atau panas, penggunaan

    selimut atau bantal panas.Kompres panas dingin, selain menurunkan

    sensasi nyeri juga dapat meningkatkan proses penyembuhan

    jaringan yang mengalami kerusakan.

    3) Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS)

    Stimulasi saraf elektris transkutan menggunakan satu unit

    peralatan yang dijalankan dengan elektroda yang dipasang pada

    kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan, getaran atau

    mendengung pada area kulit tertentu.

    4) Teknik distraksi

    Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien

    pada sesuatu selain nyeri. Teknik distraksi antara lain : distraksi

  • 25

    visual, distraksi pendengaran, distraksi pernapasan, distraksi

    intelektual, distraksi taktil kinetic dan imajinasi terbimbing.

    5) Teknik relaksasi

    Teknik relaksasi dapat merilekskan ketegangan otot yang

    menunjang nyeri. Teknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas

    abdomen dengan frekwensi lambat, berirama.

    6) Imajinasi terbimbing

    Adalah kegiatan membuat suatu bayangan yang

    menyenangkan dan mengkonsentrasikan diri pada bayangan

    tersebut serta berangsur-angsur membebaskan diri dari perhatian

    terhadap nyeri.

    7) Hipnotis

    Hipnotis mungkin membantu dalam memberikan peredaan

    nyeri terutama dalam situasi sulit misalnya luka bakar.Keefektifan

    hipnotis juga tergantung pada kemudahan hipnotik individu.

    B. Teknik Distraksi

    Tehnik distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian terhadap nyeri

    ke stimulus yang lain. Tehnik distraksi dapat mengatasi nyeri berdasarkan

    teori bahwa aktivasi retikuler menghambat stimulus nyeri. jika seseorang

    menerima input sensori yang berlebihan dapat menyebabkan terhambatnya

    impuls nyeri ke otak (nyeri berkurang atau tidak dirasakan oleh klien),.

    Stimulus yang menyenangkan dari luar juga dapat merangsang sekresi

  • 26

    endorfin, sehingga stimulus nyeri yang dirasakan oleh klien menjadi

    berkurang. Peredaan nyeri secara umum berhubungan langsung dengan

    partisipasi aktif individu, banyaknya modalitas sensori yang digunakan dan

    minat individu dalam stimulasi, oleh karena itu, stimulasi penglihatan,

    pendengaran dan sentuhan mungkin akan lebih efektif dalam menurunkan

    nyeri dibanding stimulasi satu indera saja (Tamsuri, 2007).

    Jenis Tehnik Distraksi antara lain :

    1) Distraksi visual

    Melihat pertandingan, menonton televisi, membaca koran, melihat

    pemandangan dan gambar termasuk distraksi visual.

    2) Distraksi pendengaran

    Diantaranya mendengarkan musik yang disukai atau suara burung

    serta gemercik air, individu dianjurkan untuk memilih musik yang disukai

    dan musik tenang seperti musik klasik, dan diminta untuk berkosentrasi

    pada lirik dan irama lagu. Klien juga diperbolehkan untuk menggerakkan

    tubuh mengikuti irama lagu seperti bergoyang, mengetukkan jari atau kaki.

    (Tamsuri, 2007).

    Musik klasik salah satunya adalah musik Mozart. Dari sekian

    banyak karya musik klasik, sebetulnya ciptaan milik Wolfgang Amadeus

    Mozart (1756-1791) yang paling dianjurkan. Beberapa penelitian sudah

    membuktikan, Mengurangi tingkat ketegangan emosi atau nyeri fisik.

    Penelitian itu di antaranya dilakukan oleh Dr. Alfred Tomatis dan Don

    Campbell. Mereka mengistilahkan sebagai “Efek Mozart”.

  • 27

    Dibanding musik klasik lainnya, melodi dan frekuensi yang tinggi

    pada karya-karya Mozart mampu merangsang dan memberdayakan daerah

    kreatif dan motivatif di otak. Yang tak kalah penting adalah kemurnian

    dan kesederhaan musik Mozart itu sendiri. Namun, tidak berarti karya

    komposer klasik lainnya tidak dapat digunakan (Andreana, 2006)

    3) Distraksi pernafasan

    Bernafas ritmik, anjurkan klien untuk memandang fokus pada satu

    objek atau memejamkan mata dan melakukan inhalasi perlahan melalui

    hidung dengan hitungan satu sampai empat dan kemudian

    menghembuskan nafas melalui mulut secara perlahan dengan menghitung

    satu sampai empat (dalam hati). Anjurkan klien untuk berkosentrasi pada

    sensasi pernafasan dan terhadap gambar yang memberi ketenangan,

    lanjutkan tehnik ini hingga terbentuk pola pernafasan ritmik.

    Bernafas ritmik dan massase, instruksi kan klien untuk melakukan

    pernafasan ritmik dan pada saat yang bersamaan lakukan massase pada

    bagaian tubuh yang mengalami nyeri dengan melakukan pijatan atau

    gerakan memutar di area nyeri. Pernapasan dalam adalah teknik yang

    termudah yang digunakan untuk anak kecil. Anak di instruksikan

    mengambil napas melalui hidung dan meniup keluar melalui mulut.

    Sambil menghitung respirasi anak, perhatian dapat dipusatkan pada

    pernapasannya. Bagi anak usia sekolah, dengan meminta mereka menahan

    napas sewaktu prosedur yang menyakitkan akan memindahkan perhatian

    mereka pada pernapasannya bukan pada prosedurnya. Meminta anak

  • 28

    “meniup keluar nyeri” telah didiskusikan sebagai alat distraksi yang efektif

    (French, Painterand Coury, 1994)

    4) Distraksi intelektual

    Antara lain dengan mengisi teka-teki silang, bermain kartu,

    melakukan kegemaran (di tempat tidur) seperti mengumpulkan perangko,

    menulis cerita.

    5) Tehnik pernafasan

    Seperti bermain, menyanyi, menggambar atau sembayang

    6) Imajinasi terbimbing

    Adalah kegiatan klien membuat suatu bayangan yang

    menyenangkan dan mengonsentrasikan diri pada bayangan tersebut serta

    berangsur-angsur membebaskan diri dari dari perhatian terhadap nyeri.

    Peran perawat dalam manajemen nyeri tidaklah lengkap tanpa

    evaluasi yang akurat tentang keefektifan intervensi spesifik keperawatan.

    Evaluasi memerlukan data tentang derajat penyembuhan yang dihasilkan

    dari tiap intervensi. Observasi perilaku pasien dan menanyakan perasaan

    pasien tentang penurunan nyeri adalah elemen penting dalam proses

    keperawatan. Komunikasi staf melalui rencana asuuhan keperawatan dan

    catatan pasien adalah alat vital dalam mengevaluasi intervensi untuk

    penyembuhan nyeri.

    C. Anak Usia Sekolah

  • 29

    Anak adalah individu yang berusia 0-18 tahun dipnadnag sebagai

    individu yang unik, yang punya potensi untuk tumbuh dan berkembang. Anak

    usia sekolah, umur 6-12 tahun adalah suatu usia paliing sejahtera dari

    kehidupan, yang dikarakteristikkan dengan pertumbuhan yang lambat, terjadi

    terus menerus, serta perkembangan kognitif dan social yang cepat (Supartini,

    2004)

    Pertumbuhan dan perkembangan anak usia sekolah :

    1. Perkembangan fisik

    Anak usia sekolah lebih langsing daripada anak prasekolah,

    sebagai akibat perubahan distribusi dan ketebalan lemak. Laju

    pertumbuhan berbeda pada setiap anak. Rata-rata tinggi berat badan yang

    lebih bervariasi, meningkat 2-3,5 kg per tahun. Anak laki-laki sedikit lebih

    tinggi dan lebih berat daripada anak perempuan selama tahun pertama

    sekolah. Kira-kira 2 tahun sebelum pubertas anak mengalami pertumbuhan

    yang cepat. Anak perempuan yang lebih dulu mengalami pubertas mulai

    melampaui berat badan dan tinggi badan anak laki-laki. Perbahan ini

    terjadi pada anak perempuan berusia 9 tahun tetapi biasanya tidak terjadi

    pada anak laki-laki sebelum 12 tahun (Edelman dan Mandle dikutip dalam

    Perry & Potter, 2005)

    Koordinasi otot meningkat dan kekuatan otot meningkat dua kali

    lipat membuat anak lebih lentur. Banyak anak berlatih keterampilan

    motorik kasar dasar yaitu berlari, melompat, menyeimbangkangerak

  • 30

    tubuh, melempar dan menangkap selama bermain, menyebabkan

    peningkatan fungsi dan keterampilan neuromuskuler.

    Kemampuan meningkatkan keterampilan motorik halus pada anak

    membuat mereka menjadi sangat mandiri untuk mandi, berpakaian dan

    memenuhi kebutuhan personal lain. Penyakit dan hospitaliisasi

    mengancam pengendalian anak sehingga sangat penting mengizinkan

    kemandirian sebanyak mungkin.

    2. Perkembangan kognitif

    Saat berusia 7 tahun, anak mengalami perkembangan kognitif

    berupa operasional konkret diimana perubahan kognitif yang terjadi adalah

    kemampuan untuk berpikir dengan cara logis. Anak mampu

    mengklasifikasikan benda dan perintah dan menyelesaikan masalah secara

    konkret dan sistematis berdasarkan apa yang diterima dari

    lingkungannya.kemampuan berpikir anak sudah rasional, imajinatif dan

    dapat menggali objek atau situasi lebih banyak untuk memecahkan

    masalah.

    3. Perkembangan psikososial

    Tugas perkembangan anak pada usia sekolah adalah industri versus

    inferioritas. Selama masa ini anak berjuang untuk mendapatkan

    kompetensi dan keterampilan yang penting bagi mereka untuk berfungsi

    sama seperti orang dewasa. Terjadinya perubahan fisik, emosi dan social

    pada anak berpengaruh terhadap gambaran tubuh. Interaksi social lebih

    luas dengan teman, umpan balik berupa kritik dan evaluasi dari teman atau

  • 31

    lingkungannya, mencerminkan penerimaan dari kelompok akan membantu

    anak semakin mempunyai konsep diri yang positif.

    Perasaan tidak adekuat dan rasa rendah diri akan berkembang

    apabila anak terlalu mendapat tuntutan dari lingkuungannya dan anak tidak

    berhasil memenuhinya. Selain itu, harga diri yang kurang akan menjadi

    dasar yang kurang untuk penguasaan tugas-tugas di fase remaja dan

    dewasa. Pujian (reinforcement) dari orang tua dan orang dewasa lainnya

    terhadap prestasi yang dicapainya menjadi begitu penting untuk

    menguatkan perasaan berhasil dalam melakukan sesuatu.

    4. Perkembangan psikoseksual

    Freud mengemukakan perkembangan psikoseksual pada usia 6

    sampai 12 tahun berada pada fase laten yaitu fase ketika anak

    menggunakan energi fisik dan psikologis yang merupakan media untuk

    mengeksplorasi pengetahuan dan pengalamannya melalui aktivitas fisik

    maupun sosialnya. Pada awal fase laten, anak perempuan lebih menyukai

    teman dengan jenis kelamin yang sama demikian pula dengan anak laki-

    laki. Pertanyaan tentang seks semakin banyak, mengarah pada system

    reproduksi. Dalam hal ini orang tua harus bijaksana dalam merespons,

    yaitu menjawabnya dengan jujur dan hangat dan disesuaikan dengan

    maturitas anak.

    5. Perkembangan komunikasi

    Komunikasi yang dapat dilakukan pada usia sekolah adalah tetap

    memperhatikan tingkat kemampuan bahasa anak yaitu gunakan kata

  • 32

    sederhana yang spesifik, jelaskan sesuatu yang membuat ketidakjelasan

    pada anak atau sesuatu yang tidak diketahui, pada usia ini keingintahuan

    pada aspek fungsional dan procedural dari objek tertentu sangat tinggi

    maka jelaskan arti fungsi dan prosedurnya, maksud dan tujuan dari sesuatu

    yang ditanyakan secara jelas dan jangan menyakiti atau mengancam sebab

    ini akan membuat anak tidak mampu berkomunikasi secara efektif.

    6. Perkembangan moral

    Perkembangan moral dan aturan social menjadi lebih nyata sesuai

    peningkatan kemampuan kognitif dan pengalaman social anak usia

    sekolah. Mereka memandang aturan sebagai prinsip dasar kehidupan,

    bukan hanya perintah dari yang memiliki otoritas. Pada anak masa

    sekolah, anak menginterpretasikan secara ketat dan patuh terhadap aturan.

    Seiring dengan perkembangan, mereka menilai lebih fleksibel dan

    mengevaluasi aturan untuk diterapkan pada situasi yang ada. Anak usia

    sekolah mempertimbangkan motivasi dan perilaku mereka mempengaruhi

    mereka sendiri dan orang lain. Kemampuan untuk fleksibel saat

    menerapkan aturan dan mengambil perspektif orang lain yang esensial

    dalam mengembangkan penilaian moral. Kemampuan ini muncul pada

    masa awal tetapi tampak lebih konsisten pada masa usia sekolah

    beikutnya.

    Di rumah sakit anak seringkali harus mengalami prosedur yang

    menimbulkan nyeri, kehilangan kemandirian dan berbagai hal yang tidak

    diketahui. Interpretasi anak terhadap suatu kejadian, respons terhadap

  • 33

    pengalaman dan signifikansi yang mereka tempatkan pada pengalaman

    secara langsung berhubungan dengan tingkat perkembangan.

    Umumnya anak takut akan perlukaan dan nyeri. Anak dengan

    penyakit kronik kemungkinan lebih mengenal prosedur inttrusif sebagai

    penyebab stress, sebaliknya anak dengan penyakit akut mungkin lebih

    menunjukkan respon fisik (Bossert, 1994).

    Anak wanita cenderung memperlihatkan rasa takut yang berlebihan

    disbanding anak laki-laki dan hospitalisasi sebelumnya tidak

    mempengaruhi frekwensi dan intensitas ketakutannya. Anak usia sekolah

    yang mengalami perkembangan kognitif lebih mengetahui arti bermacam-

    macam penyakit, kemungkinan resiko dalam perawatan atau pengobatan,

    akibat trauma, kehilangan fungsi dan arti dari kematian. Perhatian utama

    hospitalisasi pada anak usia sekolah adalah ketakutan mereka terhadap

    masalah (Hart and Bossert,1994).

    Umumnya anak usia sekolah sangat perhatian terhadap kesehatan

    atau penyakit mereka. Bahkan anak jarang bertanya, biasanya

    mengungkapkan masalah secara detil pengetahuan tentang kondisi mereka

    oleh karena mendengar dari orang disekitar mereka. Anak mulai

    menunjukkan perhatian terhadap keuntungan dan resiko dari suatu

    prosedur. Adanya rasa ingin tahu anak tentang prosedur menyebabkan

    anak mencari informasi : apakah menykitkan atau tidak, apa manfaatnya,

    bagaimana cara mengatasinya agar tidak sakit dan rasa sakit yang timbul

    seperti apa. Biasanya anak toleransi terhadap prosdur seperti pemeriksaan

  • 34

    fisik secara rutin, namun perhatian terhadap privacy menjadi lebih penting.

    Pada usia 9 atau 10 tahun, sebagian besar anak menunjukkan ketakutan

    yang minimal terhadap nyeri dibandingkan anak yang lebih muda. Reaksi

    terhadap perlukaan atau rasa nyeri ditunjukkan dengan ekspresi yang baik

    secara verbal maupun nonverbal karena anak sudah mampu

    mengkomunikasikannya. Reaksi anak terhadap nyeri berupa merintih atau

    merengek, memegang dengan kaku, menunda kejadian penyebab nyeri

    bahkan ada yang mencoba bertindak berani. Jika mereka menunjukkan

    reaksi yang berlebihan seperti : menggigit, menendang, berusaha

    melepaskan diri dan menangis. Mereka mungkin menyangkl khususnya

    kepada teman sebaya karena malu.

    D. Pemasangan Infus

    1. Pengertian

    Pemasangan infus adalah prosedur tindakan invasif yang dilakukan dengan

    cara memasukkan kateter intravena dengan tujuan pengobatan atau

    rehidrasi (Weinstein,2001)

    2. Tujuan

    Terapi intravena diberikan pada bayi dan anak dengan alasan sebagai

    berikut :

    a. Penggantian cairan

    b. Pemeliharaan cairan

    c. Rute pemberian obat atau substansi terapeutik lain (misalnya darah,

    produk darah, immunoglobulin).

  • 35

    3. Pemilihan Vena

    Pada umumnya, vena yang harus digunakan padaa terapi IV adalah vena-

    vena distal pada tangan dan lengan seperti vena basilica, vena sefalika dan

    vena metakarpal. Sebelum vena dipilih, ekstremitas harus diobservasi dan

    dipalpasi untuk melihat kekenyalan dan lokasi. Sebaiknya vena yang

    digunakan adalah vena yang belum digunakan dan lurus. Adapun pedoman

    untuk pemilihan vena yaitu :

    a. Gunakan vena-vena distal terlebih dahulu

    b. Gunakan lengan pasien yang tidak dominan jika mungkin

    c. Pilih vena-vena diatas area fleksi

    d. Pilih vena yang cukup besar untuk memungkinkan aliran darah yang

    adekuat ke dalam kateter

    e. Palpasi vena untuk menentukan kondisinya. Selalu pilih vena yang

    lunak, penuh dan yang tidak tersumbat, jika ada

    f. Pastikan bahwa lokasi yang dipilih tidak mengganggu aktivitas pasien

    sehari-hari

    g. Pilih lokasi yang tidak akan mempengaruhi posedur-prosedur yang

    direncanakan.

    Pertimbangan pediatrik :

    - Vena dorsal kaki memungkinkan anak mempunyai mobilitas yang

    paling besar

    - Selalu memilih tempat penusukan yang akan menimbulkan

    pembatasan yang minimal

  • 36

    - Tempat penusukan pada kaki, kulit kepala dan antekubiti adalah yang

    paling umum digunakan pada kelompok umur bayi sampai pada anak

    usia bermain (toodler)

    4. Peralatan

    a. Larutan IV yang tepat

    b. Jarum/kateter untuk pungsi vena yang sesuai

    c. Untuk infus cairan IV

    d. Tourniquet

    1) Perangkat pemberian (pilihan tergantung pada tipe larutan dan

    kecepatan pemberian, bayi dan anak kecil memerlukan selang

    mikrodrip, yang memberikan 60 tetes/ml)

    2) Filter 0,22 μm 9bila diperlukan oleh kebijakan institusi atau bila

    bahan berpartikel akan diberikan)

    3) Tambahan selang (digunakan bila jalur IV lebih panjang perlu)

    e. Tourniquet

    f. Sarung tangan sekali pakai

    g. Papan tangan

    h. Kasa 2x2 dan salep pavidon iodine; atau, untuk balutan transparan,

    larutan pavidon iodine

    i. Plaster yang telah dipotong dan siap digunakan

    j. Handuk untuk diletakkan dibawah tangan klien

    k. Pakaian khusus dengan kancing dilapisan bahu, bila tersedia.

  • 37

    l. Tiang infuse

    5. Pelaksanaan

    a. Cuci tangan

    b. Atur peralatan di samping atau di atas meja tempat tidur

    c. Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptic

    d. Periksa larutan terhadap warna, kejernihan dan tanggal kadaluarsa

    e. Bila menggunakan larutan IV dalam botol, lepaskan penutup logam

    dan lempeng karet dan logam di bawah penutup

    f. Buka set infus, mempertahankan sterilitas pada kedua ujung

    g. Pasang klem rol sekitar 2 sampai 4 cm di bawah balik drip dan

    pindahkan klem rol pada posisi “off”

    h. Tusukkan set infus ke dalam botol cairan

    i. Isi selang infus

    1) Tekan bilik drip dan lepaskan, biarkan terisi

    2) Lepaskan pelindung jarum dan klem rol uuntuk memungkinkan

    cairan memenuhi bilik drip melalui selang ke adapter jarum.

    Kembalikan klem rol ke posisi off setelah selang terisi

    3) Pastikan selang bersih dari udara dan gelembung udara

    j. Pilih jarum IV yang tepat

    k. Pilih tempat distal vena yang digunakan, bila mungkin letakkan

    ekstremitas pada posisis dependen

    l. Letakkan torniket 10 sampai 12 cm di atas tempat penususkan

    m. Kenakan sarung tangan sekali pakai

  • 38

    n. Pilih vena berdilatasi baik, bersihkan tempat insersi dengan gerakan

    sirkuler menggunnakan larutan pavidon iodine atau alcohol 70 %

    o. Lakukan pungsi vena. Tahan vena dengan menggunakan ibu jari di

    atasvena dengan meregangkan kulit berlawanan arah dengan arah

    penusukan 5 sampai 7,5 cm kearah distal tempat penusukan. Tusuk

    dengan bevel menghadap ke atas pada sudut 20 sampai 30 derajat

    sedikit kea rah distal terhadap tempat actual pungsi vena

    p. Perhatikan keluarnya darah melalui bilik flashback over the needle

    catheter (ONC), yang menandakan jarum telah masuk ke vena.

    Turunkan jarum sampai hamper menyentuhh kulit. Dorong kateter

    ONC 0,6 cm ke dalam vena lalu lepaskan stiletnya. Dorong kateter ke

    dalam vena sampai hubungan menempel dengan tempat pungsi vena

    q. Tahan kateter dengan satu tangan, lepaskan torniket dan lepaskan stilet

    dari ONC. Dengan cepat hubungkan adapter jarum dan perangkat

    pemberi ke hubungan dari ONC

    r. Lepaskan klem roler untuk memulai infus pada kecepaatan untuk

    mempertahankan aliran IV

    s. Amankan kateter dan jarum IV (prosedur dapat saja berbeda

    tergantung kebijakan institusi)

    t. Atur kecepatan aliran sampai tetesan yang tepat per menit

    u. Tuliskan tanggal dan waktu pemasangan infus serta ukuran jrum pada

    balutan

    v. Lepaskan sarung tangan, singkirkan alat-alat dan cuci tangan

  • 39

    w. Catat pada catatan perawat jenis larutan, letak insersi, kecepatan aliran,

    ukuran dan tipe kateter atau jarum, kapan infuse dimulai dan

    bagaimana toleransi klien terhadap prosedur ( Perry, Anne griffin,

    1999).

    BAB III

    KERANGKA KONSEP

    A. Kerangka Konsep

    Berdasarkan uraian teori pada tinjauan pustaka, maka kerangka

    konsep dapat digambarkan sebagai berikut :

    Gambar 3.1 Kerangka konsep penelitian

    Pemasangan infus dengan teknik

    distraksi pada anak usia sekolah

    Tingkat nyeri

  • 40

    BAB IV

    METODE PENELITIAN

    A. Desain Penelitian

    Dalam penelitian ini, desain penelitian yang digunakan adalah pra

    eksperimentl design : post test only design yaitu penelitian yang dilakukan

    dengan memberikan intervensi / perlakuan kemudian dilihat hasilnya

    (Notoatmodjo, 2010). Dalam penelitian ini, peneliti memberikan perlakuan

    berupa teknik distraksi pada saat pemasangan infus. Setelah itu di ukur tingkat

    nyeri yang dirasakan oleh anak dengan menggunakan skala nyeri “wajah”.

    B. Tempat dan Waktu Penelitian

    1. Tempat

    Tempat penelitian di Ruang IRD RSUD H.A Sulthan Dg Raja Kabupaten

    Bulukumba.

    2. Waktu

    Waktu pelaksanaan penelitian ini pada tanggal 10 sampai 31 januari 2011.

    C. Populasi dan Sampel

    1. Populasi

  • 41

    Populasi dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah (6-12 tahun) yang

    dirawat di RSUD H.A Sulthan Dg Raja Kabupaten Bulukumba dengan

    rata-rata kunjungan 59 orang/bulan.

    2. Sampel

    Sampel dalam penelitian ini adalah anak usia sekolah (6-12 tahun) yang

    dirawat di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten

    Bulukumba dengan teknik sampling non-propability sampling dengan cara

    consecutive sampling yaitu pengambilan sampel yang dilakukan dengan

    memilih sampel yang memenuhi kriteria penelitian sampai kurun waktu

    tertentu sehingga jumlah sampel terpenuhi (Sugiyono,dikutip dalam

    Hidayat, 2009).

    Bungin (2010) jumlah sampel dapat diperoleh dengan menggunakan

    rumus perhitungan besaran sampel:

    Nn = N (d)2 + 1

    Keterangan:

    n : Jumlah sampel yang dicari

    N : Jumlah populasi

    d : Nilai presisi (ditentukan sebesar a=0,1)

    Dengan demikian maka jumlah sampel dalam penelitian ini adalah:

    59 59n = = = 37,10 = 37 orang 59 (0,1)2 + 1 1,59

  • 42

    Sampel yang digunakan adalah semua anak usia sekolah (6-12

    tahun) yang dirawat di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja

    Kabupaten Bulukumba dengan kriteria inklusi dan ekslusi yaitu :

    a. Kriteria Inklusi

    1) Anak usia sekolah (6-12 tahun) yang akan dilakukan pemasangan

    infus

    2) Anak didampingi orang tua

    3) Dalam keadaan sadar

    4) Dapat berkomunikasi verbal

    b. Kriteria Eksklusi

    1) Anak yang menderita sakit berat yang mengharuskan pemasangan

    infus segera

    2) Tidak bersedia menjadi responden

    D. Alur Penelitian

    Alur penelitian menguraikan pengambilan data, penempatan sampel,

    pembuatan proposal, pelaksanaan intervensi, pengisian lembar observasi,

    pengolahan dan analisa data, hasil dan pembahasan serta kesimpulan.

  • 43

    Izin pengambilan data awal

    Pengambilan data awal

    Penempatan sampel (Kriteria inklusi dan Ekslusi)

    Intervensi (melakukan teknik distraksi)

    Pengukuran tingkat nyeri dengan menggunakan skala nyeri “wajah”

    Pengolahan data dan analisa data

    Pemasangan infus

    Penelitian

    Anak usia sekolah masuk di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba

    Pengisian lembar observasi

    Ujian proposal dan surat izin penelitian

  • 44

    Gambar 4.1 Alur penelitian.

    E. DEFENISI OPERASIONAL

    1. Pemasangan infus dengan teknik distraksi

    Teknik distraksi pernapasan yang dilakukan oleh anak usia sekolah

    (6-12 tahun) untuk mengalihkan perhatian terhadap nyeri pada saat

    pemasangan infus.

    2. Tingkat nyeri

    Tingkatan nyeri yang dirasakan oleh anak setelah dilakukan teknik

    distraksi pada saat pemasangan infus, yang di ukur dengan skala peringkat

    nyeri “wajah” dengan menggunakan 6 skala wajah kartun yang direntang

    dari wajah tersenyum untuk “tidak ada nyeri” sampai wajah yang

    menangis untuk “nyeri yang paling berat” (Wong & Baker, 1998 & 2000

    dikutip dalam Wong,2010)

    Kriteria Objektif :

    Nyeri ringan : Bila anak menunjukkan/mengungkapkan nyeri

    yang dirasakan pada wajah 1 dan 2

    Hasil dan pembahasan

    Kesimpulan

  • 45

    Nyeri sedang : Bila anak menunjukkan/mengungkapkan nyeri

    yang dirasakan pada wajah 3

    Nyeri berat : Bila anak menunjukkan/mengungkapkan nyeri

    yang dirasakan pada wajah 4 dan 5

    F. Instrumen Penelitian

    Instrumen penelitian yang digunakan digunakan dalam penelitian ini

    adalah dengan menggunakan lembar prosedur pelaksanaan teknik distraksi,

    skala nyeri dengan skala peringkat nyeri “wajah” dari Wong & Baker (1998 &

    2000) dan lembar observasi yang berisi catatan tentang intensitas nyeri yang

    dirasakan anak setelah dilakukan teknik distraksi pada saat pemasangan infus

    G. Pengolahan Data

    Proses pengolahan data yang dilakukan adalah :

    1. Editing

    Lembar observasi diisi kemudian dikumpulkan dalam bentuk data, data

    dilakukan pengecekan dengan memeriksa kelengkapan data,

    kesinambungan dan keseragaman data.

    2. Koding

  • 46

    Memudahkan pengolahan data semua jawaban atau data yang

    disederhanakan yaitu dengan memberikan simbol-simbol tertentu untuk

    setiap jawaban.

    3. Tabulasi

    Data diolah dan disajikan dalam bentuk tabel.

    4. Analisa Data

    Analisa data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah Analisa univariat

    yang dilakukan terhadap setiap variabel dari hasil penelitian dengan

    menggunakan tabel distribusi frekwensi sehingga menghasilkan distribusi

    persentasi dari tiap tabel yang diteliti.

    H. Etika Penelitian

    Peneliti perlu mendapatkan rekomendasi dari Program studi lmu

    Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin sebelum

    melakukan penelitian dengan mengajukan permohonan ijin kepada Direktur

    RSUD H.A Sulthan Dg Raja Kabupaten Bulukumba. Setelah mendapatkan

    persetujuan barulah penelitian ini dilakukan dengan menekankan masalah

    etika yang meliputi :

    1. Informed Consent

    Lembar persetujuan ini diberikan kepada responden yang akan

    diteliti yang memenuhi kriteria inklusi dan disertai judul penelitian dan

    manfaat penelitian, bila subjek menolak maka peneliti tidak memaksa dan

    tetap menghormati hak-hak subjek.

    2. Anonimity

  • 47

    Peneliti tidak akan mencantumkan nama responden, tetapi pada

    lembar tersebut diberikan kode. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

    kerahasiaan.

    3. Confidentiality

    Kerahasiaan informasi responden dijamin peneliti hanya kelompok

    data tertentu yang akan dilaporkan sebagai hasil penelitian.

  • 48

  • 47

    BAB V

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Hasil Penelitian

    Pada bab ini dikemukakan hasil dan pembahasan tentang tingkat nyeri

    pada pemasangan infus dengan teknik distraksi pada anak usia sekolah di

    Ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba. Penelitian

    dilakukan sesuai dengan rencana yaitu selama 3 minggu mulai tanggal 10-31

    januari 2011 di ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten

    Bulukumba dengan jumlah sampel sebanyak 37 orang anak usia sekolah.

    Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan instrument

    penelitian yang telah dipersiapkan sebelumnya. Setelah pengumpulan data,

    langkah selanjutnya adalah pengolahan data untuk memperoleh hasil

    penelitian. Untuk analisa data digunakan analisis univariat dengan tampilan

    dalam bentuk distribusi frekwensi. Selanjutnya hasil penelitian secara lengkap

    akan disajikan dalam bentuk tabel meliputi data umum dan khusus. Yang

    termasuk data umum adalah data demografi yang meliputi umur, jenis

    kelamin, pendidikan, suku dan pengalaman pemasangan infus yang lalu

    sedangkan yang termasuk data khusus adalah data tentang tingkat nyeri pada

    pemasangan infus dengan teknik distraksi. Data yang diperoleh dari peneliti

    adalah sebagai berikut :

    1. Karakteristik Demografi Responden Berdasarkan Umur, Jenis Kelamin,

    Pendidikan dan Suku

  • 48

    Tabel 5.1Distribusi Responden berdasarkan Karakteristik Demografi di Ruang IRD RSUD H.A

    Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba Tahun 2011

    Karakteristik Jumlah (n) Persentase (%)

    Umur6789101112

    7932871

    18,924,28,15,421,618,92,7

    Jenis KelaminLaki-laki

    Perempuan2413

    64,935,1

    PendidikanTKSD

    829

    21,678,4

    SukuBugis

    Makassar298

    78,421,6

    Pengalaman Infus Yang LaluPernah diinfus

    Belum pernah diinfus1621

    43,256,8

    Jumlah 37 100Sumber : Data Primer, Januari 2011

    Dari Tabel 1 menunjukkan bahwa berdasarkan umur, yang

    menduduki jumlah terbesar yaitu 7 tahun sebanyak 9 responden (24,2 %),

    umur 10 tahun sebanyak 8 responden (21,6 %), kelompok umur 6 dan 11

    tahun masing-masing sebanyak 7 responden (18,9 %), umur 8 tahun

    sebanyak 3 responden (8,1 %), umur 9 tahun sebanyak 2 responden (5,4 %)

    dan umur 12 tahun sebanyak 1 responden (2,7 %). Berdasarkan jenis

    kelamin, dari 37 responden terdapat 24 responden (64,9 %) berjenis

    kelamin laki-laki dan 13 responden (35,1 %) berjenis kelamin perempuan.

    Berdasarkan tingkat pendidikan, terlihat bahwa pasien anak usia sekolah

    yang dirawat, dari 37 responden terdapat 29 responden (78,4 %)

  • 49

    berpendidikan SD sedangkan 8 responden (21,6 %) berpendidikan TK.

    Berdasarkan suku, terdapat 29 responden (78,4 %) yang merupakan suku

    bugis dan 8 responden (21,6 %) yang merupakan suku makassar.

    Sedangkan berdasarkan pengalaman infus yang lalu, dari 37 responden

    sebanyak 16 responden (43,2 %) yang pernah dipasangi infus sebelumnya

    dan 21 responden (56,8 %) yang belum pernah dipasangi infus.

    2. Tingkat nyeri post test

    Tabel 5.2Distribusi Responden berdasarkanTingkat Nyeri Post Test

    di Ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba Tahun 2011

    Tingkat Nyeri Post Test Jumah (n) Persentase (%)Nyeri ringanNyeri sedangNyeri berat

    1999

    51,424,324,3

    Jumlah 37 100 Sumber : Data Primer, Januari 2011

    Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa anak usia sekolah yang dirawat

    setelah diberikan teknik distraksi pada saat pemasangan infus, sebanyak 19

    responden (51,4 %) yang mengalami nyeri ringan, 9 responden (24,3 %)

    yang mengalami nyeri sedang dan sebanyak 9 responden (24,3 %) yang

    mengalami nyeri berat.

    3. Tabulasi Silang Tingkat Nyeri pada Pemasangan Infus setelah dilakukan

    Teknik Distraksi berdasarkan Umur, Jenis Kelamin dan Pengalaman infus

    yang lalu.

    Tabel 5.3Tabulasi Silang Tingkat Nyeri pada Pemasangan Infus setelah dilakukan Teknik

    Distraksi berdasarkan Kelompok Umur, Jenis Kelamin dan Pengalaman Infus

  • 50

    yang lalu di Ruang IRD RSUD H.A Sultan Daeng Raja Kabupaten Bulukumba Tahun 2011

    Karakteristik Tingkat Nyeri Responden Jumlah %Ringan % Sedang % Berat %

    Umur6789101112

    1321660

    14,333,366,75075

    85,70

    1311111

    14,333,333,350

    12,514,3100

    5300100

    71,433,3

    00100

    79328710

    100100100100100100

    Jenis KelaminLaki-laki

    Perempuan163

    66,723,1

    27

    8,353,8

    63

    2523,1

    2413

    100100

    Pengalaman Infus yang

    laluPernah di infusBelum pernah

    di infuse

    514

    31,266,7

    45

    2523,8

    72

    43,89,5

    1621

    100100

    Sumber : Data Primer, Januari 2011

    Tabel 3 menunjukkan bahwa berdasarkan umur anak diatas bahwa

    yang yang mengalami nyeri ringan pada saat pemasangan infus setelah

    diberikan teknik distraksi lebih banyak pada umur 11 tahun yaitu 6

    responden (85,7 %) dan umur 10 tahun yaitu 6 responden (75 %),

    sedangkan yang mengalami nyeri sedang lebih banyak pada umur 7

    tahun sebanyak 3 responden (33,3 %) dan yang mengalami nyeri berat

    lebih banyak pada umur 6 tahun yaitu 5 responden (71,4 5%). Tabel

    diatas juga menunjukkan bahwa berdasarkan jenis kelamin, yang

    mengalami nyeri ringan setelah diberikan teknik distraksi pada saat

    pemasangan infus adalah anak dengan jenis kelamin laki-laki yaitu

    sebanyak 16 responden (66,7 %), sedangkan yang mengalami nyeri

  • 51

    sedang lebih banyak pada anak dengan jenis kelamin perempuan yaitu

    sebanyak 7 responden (53,8 %) dan yang mengalami nyeri berat lebih

    banyak pada anak laki-laki yaitu sebanyak 6 responden (25 %).

    Sedangkan untuk pengalaman infus yang lalu terlihat bahwa yang

    mengalamai nyeri ringan setelah diberikan teknik distraksi pada

    pemasangan infus adalah anak dengan pengalaman belum pernah

    dipasangi infus yaitu sebanyak 14 responden (66,7 %) dan yang

    mengalami nyeri berat adalah anak dengan pengalaman pernah dipasangi

    infus yaitu sebanyak 7 responden (43,8 %).

    B. Pembahasan

    Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional yang tidak

    menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual atau potensial.

    Nyeri terjadi bersama banyak proses penyakit atau bersamaan dengan

    beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Rangsangan nyeri ini

    secara langsung akan merangsang nosiseptor melalui bekerjanya saluran

    natrium atau kation non-selektif. Selain itu kerusakan jaringan menyebabkan

    dilepaskannya berbagai macam mediator kimia seperti prostaglandin,

    substansia P, bradikinin, leukotrien, histamin, serotonin, dan sitokin

    (interleukin, tumor necrotizing factor dan neurotropin). Beberapa substrat ini

    dapat merangsang nosiseptor (menyebabkan impuls) secara langsung atau

    tidak langsung melalui sel inflamator dan kebanyakan akan mensensitisasi

    (meningkatkan frekwensi on off impuls) nosiseptor, serta memiliki efek

  • 52

    sinergistik. Proses diterimanya rangsangan oleh nosiseptor hingga

    menyebabkan timbulnya impuls disebut proses transduksi. Proses ini, terjadi

    sangat rumit, melibatkan banyak substrat dan reseptor. Pada tingkat ini bahkan

    terdapat mekanisme modulasi perifer. Adanya rangsangan akan meyebabkan

    terjadinya potensial aksi pada membran yang selanjutnya akan diteruskan

    melalui akson. Ada tidaknya myelin berpengaruh pada proses penghantaran

    impuls saraf yang melalui akson. Pada neuron yang tidak bermielin impuls

    saraf atau potensial aksi menjalar sebagai gelombang yang tidak terputus.

    Sedangkan pada akson yang bermielin impuls akan menjalar dengan potensial

    aksi hanya pada daerah yang tidak bermielin atau nodus ranvier, sehingga

    penjalaran akan berlangsung lebih cepat. Hal ini disebut sebagai penghantaran

    saltatori. Proses penghantaran impuls dari perifer hingga ke SSP hingga

    impuls dapat diterjemahkan disebut transmisi. Transmisi terjadi dalam

    beberapa fase. Fase pertama yaitu dari perifer menuju medulla spinalis. Impuls

    yang terjadi di nosiseptor akan menjalar melalui akson dari serabut aferen

    primer menuju kornu dorsalis di medula spinalis. Tetapi tidak semua proses

    yang terjadi di sini memfasilitasi nosiseptif. Interneuron spinal melepaskan

    asam amino inhibisi, yaitu gama-aminobutiric acid (GABA) dan neuropeptida,

    yaitu opioid endogen, yang akan mengikat reseptor pada serabut aferen primer

    dan serabut saraf di kornu dorsalis yang akan mencegah transmisi dengan

    mekanisme pre- dan post-sinaps. Selain itu ada pula input inhibisi yang

    berasal dari otak, yang akan memodulasi proses transmisi. Informasi yang

  • 53

    diteruskan ke sistim yang lebih tinggi pada akhirnya akan diterjemahkan

    sebagai persepsi nyeri.

    Tindakan pemasangan infus merupakan salah satu tindakan

    pengobatan yang dapat menimbulkan nyeri Namun untuk anak-anak

    khususnya anak usia sekolah hal ini bisa menimbulkan stress situasional dan

    kecemasan yang mengarahkan pada pengalaman yang tidak menyenangkan.

    Sebagai seorang perawat sebaiknya mampu membantu pasien khususnya anak

    untuk dapat mengurangi atau menghilangkan nyeri yang dirasakan. Salah

    satunya dengan cara memberikan tindakan nonfarmakologik seperti teknik

    distraksi untuk mengurangi rasa nyeri tersebut. Teori gate control dari

    Melzack & Wall (1978) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat diatur atau

    dihambat oleh mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat. Teori ini

    menyatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka

    dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup

    pertahanan tersebut merupakan dasar teori menghilangkan nyeri.

    Suatu keseimbangan aktivitas dari neuron sensori dan serabut

    control desenden dari otak mengatur proses pertahanan. Neuron delta-A dan C

    melepaskan substansi C untuk mentransmisi impuls melaui mekanisme

    pertahanan. Selain itu, terdapat mekanoreseptor , neuron delta-A yang lebih

    tebal yang lebih cepat melepaskan neurotransmitter penghambat. Apabila

    masukan yang dominan berasal dari serabut beta-A maka akan menutup

    mekanisme pertahanan. Diyakini mekanisme penutupan ini dapat terlihat saat

    perawat mengusap punggung klien dengan lembut. Pesan yang dihasilkan

  • 54

    akan menstimuli mekanoreseptor, apabila masukan yang dominan berasal dari

    serabut delta-A dan serabut C, maka akan membuka pertahanan tersebut dan

    klien mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika impuls nyeri dihantarkan ke

    otak, terdapat pusat kortek yang lebih tinggi di otak yang memodifikasi nyeri.

    Alur saraf desenden melepaskan opiate endogen, seperti endorphin dan

    dinorfin, suatu pembunuh alami nyeri dari dalam tubuh. Neuromodulator ini

    menutup mekanisme pertahanan dengan menghambat pelepasan substansi P.

    Teknik distraksi, konseling dan pemberian plasebo merupakan upaya untuk

    melepaskan endorfin ( Potter,2005 ).

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka didapatkan

    bahwa dari 37 responden yang diberikan teknik distraksi pada saat

    pemasangan infus menunjukkan bahwa yang mengalami nyeri ringan

    sebanyak 19 orang anak. Dari 19 anak usia sekolah tersebut, umur 10 tahun

    dan 11 tahun lebih banyak yang mengalami nyeri ringan (wajah 1 dan 2). Hal

    ini disebabkan karena anak pada umur tersebut lebih kooperatif daripada anak

    yang umurnya lebih muda. Selain itu mereka lebih mudah untuk diajarkan

    melakukan teknik distraksi pernapasan. Mereka dengan cepat memahami apa

    yang diajarkan oleh perawat sehingga mampu melakukan teknik distraksi

    yang di ajarkan secara maksimal. Anak merasa sangat mudah melakukan

    teknik distraksi pernapasan yakni hanya dengan menarik napas secara

    perlahan dari hidung dan mengeluarkannya melalui mulut secara teratur

    sambil menghitung jumlah pernapasannya dalam hati. Dengan meminta

    mereka melakukan teknik pernapasan yang teratur pada saat prosedur

  • 55

    pemasangan infus maka akan memindahkan perhatian mereka pada

    pernapasannya bukan pada prosedurnya.

    Pada penelitian ini juga didapatkan hasil bahwa masih ada 9 orang

    anak yang mengalami nyeri berat pada saat pemasangan infus meskipun telah

    dilakukan teknik distraksi pada anak. Rata-rata yang mengalami nyeri berat ini

    adalah anak-anak dengan umur 6 dan 7 tahun. Hal ini disebabkan karena anak

    pada umur tersebut lebih takut terhadap keberadaan mereka di rumah sakit dan

    petugas sehingga mereka agak sulit untuk di bujuk dan di ajak kerja sama.

    Butuh waktu yang agak lama untuk membujuk anak dan menjelaskan tindakan

    yang akan dilakukan. Belum lagi anak harus diajarkan berulang-ulang cara

    melakukan teknik distraksi pada saat pemasangan infus sehingga anak kurang

    mampu melakukan teknik distraksi yang diajarkan secara maksimal.

    Meskipun masih ada seorang anak dengan umur 10 tahun yang mengalami

    nyeri berat pada saat pemasangan infus setelah diberikan teknik distraksi. Hal

    ini disebabkan karena anak tersebut pernah di rawat di rumah sakit

    sebelumnya dan pernah mengalami tindakan pemasangan infus dan pada saat

    itu tidak ada tindakan dari petugas untuk mengurangi nyeri yang dirasakan

    sehingga anak tersebut tahu bahwa pemasangan infus akan menimbulkan

    nyeri. Hal inilah yang membuat anak tersebut menjadi ketakutan dan merasa

    trauma sehingga meskipun telah diajarkan teknik distraksi anak tetap

    menangis pada saat dilakukan pemasangan infus.

    Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Wong (2008) yang

    menyatakan pada anak dengan usia 9 atau 10 tahun, sebagian besar anak

  • 56

    menunjukkan ketakutan yang lebih sedikit atau resistensi yang lebih terbuka

    terhadap nyeri dibandingkan dengan anak yang lebih kecil. Secara umum

    mereka telah mempelajari metode koping untuk menghadapi rasa tidak

    nyaman seperti dengan berpegangan erat, mengepalkan tangan atau

    mengatupkan gigi. Selain itu mereka merasa malu jika harus menunjukkan

    tanda-tanda resistensi yang terbuka seperti menangis, menendang atau

    mencoba melarikan diri terutama jika diilihat oleh teman sebayanya.

    Tamsuri (2007) mengatakan bahwa distraksi sangat baik dilakukan

    sebelum timbul nyeri atau segera setelah nyeri timbul. Distraksi dapat

    menurunkan persepsi nyeri dengan menstimulasi system kontrol desenden

    yang mengakibatkan lebih sedikit stimulasi nyeri yang ditransmisikan ke otak.

    Salah satunya dengan cara distraksi pernapasan. Menurut French Painterand

    Coury (1994) menyatakan bahwa meminta anak “meniup keluar nyeri”

    dengan menggunakan pernapasan teratur telah didiskusikan sebagai alat

    distraksi yang efektif. Namun keefektifan teknik distraksi ini juga tergantung

    pada kemampuan pasien untuk menerima dan membangkitkan input sensori

    selain nyeri. Selain itu peredaan nyeri secara umum dapat meningkat dalam

    hubungan langsung dengan partisipasi aktif individu itu sendiri, banyaknya

    modalitas sensori yang digunakan dan minat individu dalam stimuli.

    Pada penelitian diatas juga didapatkan bahwa pada anak yang

    diberikan teknik distraksi pada saat pemasangan infus yang mengalami nyeri

    ringan lebih banyak pada anak yang belum pernah dipasangi infus sebelumnya

    yaitu sebanyak 14 responden (66,7 %) sedangkan yang mengalami nyeri berat