skripsi - digilib.uns.ac.id... · (upaya pembinaan eks wanita tuna susila melalui rehabilitasi ......
TRANSCRIPT
EFEKTIFITAS PROGRAM PEMBINAAN EKS WANITA TUNA SUSILA
(Upaya Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila Melalui Rehabilitasi Sosial Di Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta)
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana
dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Oleh:
Sri Handayani
D0102088
i
EFEKTIFITAS PROGRAM PEMBINAAN EKS WANITA TUNA SUSILA
(Upaya Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila Melalui Rehabilitasi Sosial Di Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta)
SKRIPSI
Diajukan Guna Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi
Syarat-syarat untuk Mencapai Gelar Sarjana
dalam Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan Ilmu Administrasi
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
Oleh:
SRI HANDAYANI
D0102088
ii
PERSETUJUAN
Disetujui untuk dipertahankan dihadapan Panitia Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pembimbing,
Drs. D. Priyo Sudibyo, M.Si NIP. 196205231988031001
iii
HALAMAN PENGESAHAN
Telah diuji dan disahkan oleh Panitia Ujian Skripsi
Jurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret
Surakarta
Pada hari :
Tanggal :
Panitia Penguji :
1. Drs. Agung Priyono, M.S.i ( ………….. ) NIP. 195504231981031002 Ketua
2. Dra. Sri Yuliani, M.Si ( ………….. ) NIP. 196307301990032002 Sekretaris
3. Drs. D. Priyo Sudibyo, M.S.i ( ………….. ) NIP. 196205231988031006 Penguji
Mengetahui,
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sebelas Maret Surakarta
Drs. Supriyadi, S.N, S.U NIP. 195504231981031002
iv
PERSEMBAHAN
Karya ini Ananda persembahkan kepada:
Ø Ibu dan Bapak tercinta yang telah
mencurahkan kasih sayang, perhatian,
kesabaran dan memanjatkan doa demi
Ananda
Ø Adik-adik tercinta atas doa dan dorongannya
Ø Keluarga besar dan sahabat-sahabat Ananda
yang telah memberikan dorongan dan
semangat yang tak putus-putusnya.
Ø My Soul…, atas kepedihan dan kebahagiaan
yang kau bagi.
v
MOTTO
Bersandarlah kalian dengan sabar dan sholat. Sesungguhnya sholat itu besar
(berat) kecuali pada orang yang khusuk.
(Al-Baqarah ayat 45)
Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu
telah selesai dari suatu urusan, kerjakanlah dengan sungguh-sungguh urusan
yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.
(Al-Insyroh ayat 6-8)
vi
KATA PENGANTAR
Assalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Segala puji penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
segala berkah, rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan skripsi dengan judul “ EFEKTIFITAS PROGRAM PEMBINAAN
EKS WANITA TUNA SUSILA (Upaya Pembinaan Melalui Rehabilitasi
Sosial PKW ‘Wanita Utama’ Surakarta).”
Akhirnya dengan segenap ketulusan dan kerendahan hati, penulis
menyampaikan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu
mengarahkan dan memberi dorongan hingga tersusunnya skripsi ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. D. Priyo Sudibyo, M.Si selaku pembimbing skripsi. Terima kasih atas
bimbingan, bantuan, waktu, dan kesabarannya.
2. Dra. Sri Yuliani, M.Si, selaku Pembimbing Akademik.
3. Pihak Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta atas data dan
informasinya.
4. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang telah
membantu dalam penyusunan skripsi ini.
Demikian skripsi ini penulis susun. Penulis menyadari bahwa dalam
skripsi ini masih sangat jauh dari kesempurnaan. Maka dari itu saran dan kritik
yang bersifat membangun sangat diharapkan demi sempurnanya skripsi ini.
Harapan penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
vii
bagi pembaca pada umumnya serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan
penyusunan skripsi ini.
Wassalamu ‘alaikum Wr. Wb.
Surakarta, April 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………….... i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………......... ii
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN …………………………………………..... iv
HALAMAN MOTTO ……………………………………………………... v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………… vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL ………………………………………………………… xi
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… xiii
ABSTRAK ………………………………………………………………… xiv
ABSTRACT ………………………………………………………………. xv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang Masalah ……………………………………………. 1
B. Perumusan Masalah ………………………………………………… 11
C. Tujuan Penelitian ………………………………………………….... 11
D. Manfaat Penelitian ………………………………………………….. 12
E. Landasan Teori ……………………………………………………... 12
F. Kerangka Berpikir …………………………………………………. 42
G. Metode Penelitian …………………………………………………... 46
1. Jenis Penelitian ………………………………………………… 46
2. Lokasi Penelitian ……………………………………………….. 46
ix
3. Sumber Data ……………………………………………………. 47
4. Teknik Pengumpulan Data …………………………………… 48
5. Teknik Sampling ………………………………………………. 50
6. Validitas Data ………………………………………………….. 50
7. Teknik Analisis Data …………………………………………… 50
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Letak Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta ..................... 52
B. Visi, Misi, Tujuan, Tugas Pokok dan Fungsi PKW “Wanita Utama” 54
C. Struktur Organisasi PKW “Wanita Utama” Surakarta ..................... 56
D. Keadaan Pegawai ............................................................................ 58
E. Bangunan di PKW “Wanita Utama” Surakarta ................................ 59
F. Kerja sama PKW “ Wanita Utama” Surakarta dengan Instansi ....... 60
G. Alat Peraga Pembinaan ..................................................................... 62
H. Kondisi Kelayan ................................................................................ 63
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Proses Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila Melalui Rehabilitasi
Sosial di PKW “Wanita Utama” Surakarta ....................................... 69
B. Bentuk- Bentuk Kegiatan Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial
di PKW “Wanita Utama” Surakarta ................................................. 75
C. Keefektifitasan Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial di PKW “
Wanita Utama” Surakarta ................................................................. 94
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keefektifan Pembinaan Melalui
Rehabilitasi Sosial ............................................................................ 112
x
BAB IV KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. Kesimpulan ....................................................................................... 119
B. Implikasi ........................................................................................... 122
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. 1 Jumlah Kelayan PKW “Wanita Utama” Tahun 2006-2010 .... 9
Tabel 2. 1 Jumlah Pegawai PKW “Wanita Utama” Berdasarkan Latar
belakang Pendidikan ............................................................... 58
Tabel 2. 2 Jumlah Pegawai PKW “Wanita Utama” Berdasarkan Golongan
Ruang ...................................................................................... 59
Tabel 2. 3 Kerja sama PKW “Wanita Utama” Tahun 2007-2008 ............ 61
Tabel 2. 4 Jumlah Kelayan PKW “Wanita Utama” Tahun 2007-2010 .... 63
Tabel 2. 5 Jumlah Kelayan Berdasarkan Asal Daerah Pengirim ............. 64
Tabel 2. 6 Jumlah Kelayan Berdasarkan Permasalahan .......................... 65
Tabel 2. 7 Jumlah Kelayan Berdasarkan Tingkat Pendidikan ................. 66
Tabel 2. 8 Jumlah Kelayan Berdasarkan Agama ..................................... 67
Tabel 2. 9 Jumlah Kelayan Berdasarkan Status Perkawinan ................... 67
Tabel 2. 10 Jumlah Kelayan Berdasarkan Umur ....................................... 68
Tabel 3. 1 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Fisik, Hasil, Kondisi kelayan
dan Manfaatnya ........................................................................ 78
Tabel 3. 2 Faktor-faktor yang Menyebabkan Kelayan Menjadi WTS ....... 82
Tabel 3. 3 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Mental Hasil, Kondisi
Kelayakan dan Manfaatnya ...................................................... 85
Tabel 3. 4 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Sosial, Hasil, Kondisi
Kelayakan dan Manfaatnya ...................................................... 89
Tabel 3. 5 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Keterampilan, Hasil, Kondisi
Kelayakan dan Manfaatnya ...................................................... 93
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. 1 Perspektif Efektivitas ............................................................ 31
Gambar 1. 2 Kerangka Berpikir ................................................................. 42
Gambar 1. 3 Skema Model Analisis Interaktif .......................................... 51
Gambar 2. 1 Struktur Organisasi PKW “ Wanita Utama” Tahun 2009 ..... 57
Gambar 3. 1 Bagan Proses Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial PKW
“Wanita Utama” Surakarta ................................................... 74
xiii
ABSTRAK
SRI HANDAYANI, D0102088, Efektifitas Program Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila (Upaya Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila Melalui Rehabilitasi Sosial Di Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta), Skripsi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sebelas Maret, 2010, 124 halaman. Pembinaan melalui rehabilitasi sosial eks Wanita Tuna Susila (WTS) di PKW adalah salah satu program pemerintah untuk mengatasi fenomena WTS yang semakin meningkat akhir-akhir ini. Tujuan program ini adalah terbinanya para penyandang masalah tuna susila menjadi berkemampuan dan berkemauan untuk mengembalikan harga diri, kepercayaan diri dan tanggung jawab sosial dalam melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar melalui pembinaan fisik, mental, sosial dan pelatihan ketrampilan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, teknik pengumpulan data menggunakan wawancara, dokumentasi, dan observasi dengan beberapa infoman yang terdiri dari beberapa kelayan yang telah dan sedang mengikuti program, petugas PKW, dan masyarakat sekitar. Sedang model analisis interatif yang digunakan dalam menganalisis data dan validitas diperoleh dengan cara triangulasi data. Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa kegiatan yang dilaksanakan PKW “Wanita Utama” adalah bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbngan sosial dan bimbingan ketrampilan. Hasil kegiatan menunjukkan adanya perubahan sikap dan tingkah laku serta mempunyai kemampuan untuk memahami dan menguasai ketrampilan yang diperoleh yang ditunjukkan dengan hasil keterampilan tersebut tetapi untuk pemanfaatanya belum menunjukkan hasil yang maksimal; mempunyai kemampuan untuk tidak kembali menjadi WTS; mempunyai kemampuan untuk hidaup berumah tangga dengan pasangan yang sah dan bertanggung jawab; tetapi sayangnya kurang dapat beriteraksi dengan masyarakat sekitar. Berdasarkan data-data yang dikumpulkan di lapangan disimpulkan bahwa program pembinaan melalui rehabilitasi sudah cukup efektif tetapi perlu ada perbaikan untuk program selanjutnya. PKW hendaknya lebih meningkatkan profesionalitas untuk kegiatan rehabilitasi, khususnya kegiatan keterampilan, lebih meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait dalam hal perencanaan program, penyediaan fasilitas, penyediaan trainer, pendanaan, maupun dalam hal pengawasan program. Juga perlu adanya kerja sama dengan ketua RT/ RW/ Desa/ Kelurahan/ Dinsos pengirim dan masyrakat setempat dalam hal pemantauan kelayan yang telah dibina.
xiv
ABSTRACT
SRI HANDAYANI, D012088, The Effectiveness of Ex Sex Commercializing Women (Eks Wanita Tuna Susila) Rehabilitation Program (The Effort of Rehabilitating Ex Sex Commercializing Women by Social Rehabilitation at Panti Karya Utama Wanita “Wanita Utama” Surakarta), Script, Faculty of Social and Political Science, Sebelas Maret University of Surakarta, 2010, 124 pages.
Rehabilitating the ex sex commercializing women through Social Rehabiltating Program at Panti Karya Wanita (PKW) Surakarta is a government’s program to overcome the tends of increasing of sex commercializing women phenomenon in recent days. The goal of this program is to rehabilitate the ex sex commercializing women in order that they have will and ability in returning their pride back, their self confidence, and their social responsibility in undertaking their social function naturally through rehabilitation programs in all aspects, i.e. physically, mentality, social, and skill ability.
This research is using qualitative method. The type of this research is qualitative description, the data is collected by interview method, opening documents, and observing with some ‘informan’ (selected people) i.e. ‘kelayans’, who have passed the program and who are still in the program, PKW officers, and surrounding community. The used interatif analyze model in analyzing and validating the data is achieved by data triangulation method.
As the result of this research that the program of PKW “Wanita Utama” in rehabilitating kelayans is in all aspects, i.e. physically, mentality, social/humanity, and skill ability. The program has changed the attitude, behavior, and increasing in skill ability; they have ability to not come as sex commercializing women back; and having ability to build family legally and responsibly. Unfortunately, they’re still less in interaction with the surrounding community.
The conclusion, based on the analyzed data, the rehabilitation program through social rehabilitation in PKW “Wanita Utama” is fairly effective, so the improvements for the next program are still needed. PKW should increase their professionalism in rehabilitation program, especially in skill training program, such as making and increasing in cooperating with related institution regarding with program planning, facilities and trainer providing, funding, and program supervising. Also PKW should cooperate with Dinas Sosial (Dinsos) which sent the kelayans to PKW and the surrounding community in rehabilitated kelayans monitoring.
1
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembangunan merupakan usaha yang secara sadar dilakukan untuk
meningkatkan kesejahteraan seluruh rakyat. Pelaksanaan pembangunan suatu
bangsa memerlukan dukungan tersedianya sumber daya baik Sumber Daya
Alam (SDA) maupun Sumber Daya Manusia (SDM). Kedua sumber daya
tersebut sangat mempengaruhi keberhasilan suatu pembangunan. Tersedianya
SDM yang berkualitas baik akan mampu mengolah SDA yang secara efektif
dan efisien sehingga proses pembangunan berjalan lancar. Sebagaimana
dikemukakan oleh Hadari Nawawi (2001: 48) bahwa manusia sebagai sumber
daya merupakan faktor sentral yang harus memberdayakan sumber daya
lainnya. Dalam kedudukannya sebagai faktor sentral itu berarti juga sumber
daya lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya tanpa SDM. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Sondang P. Siagian (1996: 3) yang menyatakan
bahwa aset terpenting yang dimiliki oleh suatu bangsa adalah SDM negara
yang terdidik, terampil, berdisiplin, tekun, dan mau bekerja keras ternyata
dapat berhasil meraih kemajuan yang besar. Sumber daya non manusia dan
kekayaan tidak akan banyak artinya tanpa dikelola manusia secara baik. Oleh
karenanya SDM dapat dikatakan sebagai unsur yang menentukan proses
pembangunan.
Proses pembangunan membutuhkan adanya partisipasi dari seluruh
SDM, artinya bahwa dalam pembangunan tidak hanya memerlukan partisipasi
2
dari suatu golongan atau sebagian masyarakat tertentu saja, tetapi
pembangunan juga memerlukan partisipasi dari golongan masyarakat yang
terpinggirkan yang salah satunya yaitu eks wanita tuna susila (WTS). Lepas
dari berbagai penyimpangan dan predikat negatif yang melekat pada dirinya,
sebenarnya dalam diri mereka masih terdapat potensi yang jika dilakukan
suatu usaha dan penanganan khusus maka mereka dapat dibina dan
diberdayakan secara optimal sehingga dapat menjadi SDM yang berkualitas
dan berperan dalam pembangunan.
Berbicara masalah wanita tuna susila berarti berbicara mengenai
prostitusi atau pelacuran. Dan berbicara masalah pelacuran sama saja dengan
membicarakan masalah yang paling purba di dunia. Hal ini terjadi karena
pelacuran merupakan “profesi” yang sangat tua usianya, setua usia kehidupan
manusia itu sendiri (Kartini Kartono, 1992: 199).
Menurut Soedjono (1984:14) istilah pelacuran dapat diartikan sebagai
penyerahan badan wanita dengan pembayaran kepada orang laki-laki guna
pemuasan nafsu seksual orang itu.
Pelacuran merupakan masalah sosial yang terjadi dan ada dalam
masyarakat dimanapun tempatnya, di negara berkembang atau di negara maju
dan tercanggih sekalipun. Masalah pelacuran atau ketunasusilaan disebut
sebagai masalah yang kompleks karena merupakan pelanggaran norma sosial,
agama, gangguan ketertiban dan kecenderungan meningkatnya penyimpangan
seksual. Kartini Kartono dalam Patologi Sosial mengungkapkan bahwa sejak
zaman dahulu, para pelacur selalu dikecam/dikutuk oleh masyarakat, karena
3
tingkah lakunya yang tidak susila, dan dianggap mengotori sakralitas
hubungan seks. Mereka disebut sebagai orang-orang yang melanggar norma
moral, adat, dan agama.
Di Indonesia sendiri, awal mula praktek pelacuran tidak diketahui
dengan pasti. Namun yang pasti dari dulu sampai sekarang pelacuran masih
banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Keberadaan wanita tuna
susila sebagai sosok yang lekat dengan prostitusi selalu ada hampir di setiap
daerah wilayah Indonesia.
Seperti halnya daerah lain, Solo juga tidak terlepas dari adanya
fenomena prostitusi. Bahkan sampai sekarang bagi sementara orang hidung
belang, memperbincangkan Solo tidak terlepas dari keberadaannya sebagai
“kota plesiran” dalam konotasi remang-remang menjurus ke perselingkuhan
seksual.
Kembali berbicara mengenai masalah prostitusi, sebenarnya memang
banyak faktor yang mendorong seseorang untuk terjun ke dalamnya.
Diantaranya adalah alasan yang mungkin klasik, yaitu kemiskinan, kondisi
ekonomi yang serba kekurangan memaksa melakukan pekerjaan asusila ini.
Tidak sedikit yang melakukannya karena frustasi, tidak harmonisnya rumah
tangga atau keluarga bahkan ada yang memang karena memang mencari
kepuasan.
Terlepas dari faktor pendorong tersebut, tapi yang jelas penyakit sosial
ini kian marak saja di Solo. Bagai dipupuk, jumlah wanita tuna susila semakin
berkembang sehingga jadilah Solo semakin terkenal dengan prostitusinya.
4
Semenjak ditutupnya lokalisasi Silir dengan SK Wali Kota
No.462.3/094/1/1998 beberapa tahun yang lalu, bukannya menyelesaikan
masalah prostitusi di Solo, tetapi justru menimbulkan dampak yang cukup
luas. Pertama dari sisi wanita tuna susila, yaitu praktek-praktek yang semakin
bebas dalam melakukan transaksi baik di eks lokalisasi atau di luar eks
lokalisasi seperti di hotel, prostitusi berkedok salon dan panti-panti pijat.
Kedua, penutupan lokalisasi Silir yang tanpa dipersiapkan terlebih dahulu
dengan pemberian keterampilan sebagai modal mereka beralih profesi, tidak
akan dapat menyelesaikan masalah tetapi justru menimbulkan masalah baru
yang berkaitan dengan penyebaran penyakit menular seksual
(www.balitbangjateng.go.id). Dan tentu saja hal tersebut menambah
keresahan pada masyarakat.
Selain itu sistem hukum yang diberikan para aparat kepada wanita tuna
susila juga tidak membuat jera untuk kembali beraktivitas. Dapat dikatakan
tujuan awal dari pembukaan maupun penutupan Resosialisasi Silir telah gagal
karena tidak mampu meminimalkan pelacuran di Solo. Hal tersebut dapat
dilihat misalnya saja dari segi kuantitasnya yaitu yang mana sebelum dan
sesudahnya penutupan lokalisasi Silir jumlah wanita tuna susila tidak semakin
berkurang tetapi semakin bertambah.
Sedangkan dari segi kualitasnya, pembukaan maupun penutupan
Resosialisasi Silir itu juga membawa dampak negatif bagi para wanita tuna
susila itu sendiri yang mana setelah penutupan itu kesehatan reproduksi
mereka tidak termonitor lagi, sehingga ini jelas membuat kemungkinan lebih
5
besar terancam tertular penyakt kelamin yang berbahaya. Lain halnya ketika
mereka waktu masih berada di Silir, kesehatan reproduksi mereka lebih
diperhatikan oleh petugas kesehatan di sana yang rutin memeriksa.
Pembukaan dan penutupan Resosialisasi Silir juga ternyata membuat
dampak negatif yang juga dirasakan oleh masyarakat sekitar yaitu yang salah
satunya adanya sebutan miring tentang tempat tinggal mereka yang
dikarenakan berada di kawasan pelacuran. Hal itu sangatlah jelas merugikan
mereka. Itupun belum termasuk dampak-dampak langsung yang dirasakan
karena pelacuran itu sendiri.
Fenomena wanita tuna susila memang bukan masalah yang baru dalam
kehidupan bangsa ini, tapi belakangan ini fenomena wanita tuna susila
menjadi begitu kontrofersial ketika jumlah wanita tuna susila dengan segala
kompleksitas permasalahannya meningkat pesat, apalagi semenjak krisis
multidimensi menerpa negara ini.
Meningkatnya jumlah wanita tuna susila belakangan ini, ternyata
diikuti pula dengan meningkatnya kompleksitas permasalahan yang dihadapi
oleh wanita tuna susila.Menurut data dari Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta,
dari 300 wanita tuna susila yang diteliti sampel darahnya ternyata ada 13
orang yang dinyatakan positif mengidap HIV (http://www.kompas.com).
Sementara itu di Pontianak sekitar 86,4 persen wanita tuna susila yang
tersebar di kota tersebut telah terinfeksi penyakit kelamin
(www.balikpapan.go.id). Hal tersebut hanyalah sebagian kecil dari
6
permasalahan yang dihadapi oleh para wanita tuna susila, ada banyak masalah
yang dihadapi maupun ditimbulkan oleh wanita tuna susila.
Kita sadari bersama bahwa dengan melonjaknya kehidupan wanita
tuna susila dengan segala kompleksitas permasalahannya sangat berpengaruh
negatif terhadap kehidupan bangsa dan negara serta tentu saja akan
menghambat lajunya pelaksanakan pembangunan.
Fenomena wanita tuna susila ini memang dirasakan semakin kompleks
dan dilematis, baik dari penyebab maupun dampak yang ditimbulkannya.
Terlebih lagi dengan adanya pengaruh adanya industrialisasi dan globalisasi
yang sedang dan akan terjadi secara langsung maupun tidak langsung akan
membawa pengaruh pada peningkatan pertumbuhan dan populasi wanita tuna
susila serta lebih lanjut dapat menimbulkan keadaan yang membahayakan
bagi kehidupan sosial dan moral yang sehat. Menyadari akan hal itu maka
pemerintah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi masalah wanita tuna
susila. Baik itu yang bersifat preventif, represif, rehabilitatif, maupun
penyaluran.
Satu dari sekian banyak upaya untuk mengatasi masalah wanita tuna
susila adalah melalui program pembinaan melalui rehabilitasi sosial wanita
tuna susila. Menurut Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah dalam
Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Sosial UPT Panti Karya Wanita (2002: 2),
rehabilitasi wanita tuna susila ini dilakukan dengan tujuan agar terbinanya
para penyandang masalah tuna susila menjadi berkemampuan dan
berkemauan untuk mengembalikan rasa percaya diri, harga diri, dan tanggung
7
jawab sosialnya, agar mereka dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara
wajar serta dapat hidup mandiri secara normatif sebagaimana layaknya
anggota masyarakat yang lainnya. Intinya rehabilitasi wanita tuna susila ini
bertujuan agar wanita tuna susila dapat berkarya sesuai dengan harkat dan
martabat wanita dan menjadi anggota masyarakat secara normatif.
Adapun asumsi yang melatarbelakangi perlunya rehabilitasi wanita
tuna susila ini adalah kedudukan dan keberadaan mereka sebagai warga
negara Indonesia. Secara tegas dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 yang
menyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas penghidupan dan
pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan. Wanita tuna susila secara hukum
adalah bagian dari warga negara Indonesia, mereka adalah warga negara yang
mempunyai kedudukan yang sama seperti penduduk lainnya, mereka berhak
memiliki penghidupan dan pekerjaan layak, dan merekapun berhak
mengenyam hasil pembangunan. Maka sudah sewajarnya jika mereka
mendapatkan pembinaan untuk kembali ke jalan yang benar, yang sesuai
dengan norma-norma yang berlaku di negara ini.
Selain hak dan kedudukannya sebagai warga negara, wanita tuna
susila secara umum tergolong ke dalam usia produktif. Menurut dr. Djuanda
dalam hasil penelitiannya sebagaimana dikutip oleh Simandjutak (1981: 54)
dari 893 wanita tuna susila yang diteliti 62,3 persen berusia antara 20-24
tahun dan 16,3 persen berusia antara 25-29 tahun. Ini berarti ada
kecenderungan bahwa mereka adalah tergolong usia produktif. Penduduk
dengan usia produktif adalah aset untuk pembangunan. Tapi bagaimana
8
mungkin mereka akan ikut berpartisipasi dalam pembangunan jika mereka
tidak mengenal apa yang disebut norma dan etika dalam kehidupan di
masyarakat. Asumsi lainnya yang mendukung adalah PP Nomor 25 Tahun
2000 Bab 2 Pasal 2 Ayat 12 huruf c yang menyatakan adanya penetapan
pedoman pelayanan dan rehabilitasi serta bantuan sosial dan perlindungan
sosial penyandang masalah kesejahteraan sosial.
Di Kota Surakarta, upaya rehabilitasi sosial wanita tuna susila ini
beberapa waktu yang lalu dilakukan oleh pemerintah melalui dua cara.Yang
pertama melalui lokalisasi Silir dan yang kedua melalui Panti Karya Wanita
(PKW). Dan sebagaimana yang telah kitas ketahui bahwa lokalisasi Silir telah
ditutup maka cara yang kedualah yang sampai saat ini dilakukan oleh
pemerintah untuk merehabilitasi wanita tuna susila, yaitu melalui Panti Karya
Wanita (PKW), dengan nama PKW “Wanita Utama” Surakarta.
PKW “Wanita Utama” Surakarta ini adalah unit pelaksana teknis
Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah yang bertugas memberikan
pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik,mental, sosial,
mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan dan resosialisasi
serta pembinaan lanjut bagi para wanita tuna susila agar mampu berperan aktif
dalam kehidupan bermasyarakat. Tujuan operasional dari pembinaan melalui
rehabilitasi sosial yang dilakukan PKW ini adalah: (1) memberikan
pembinaan terhadap tata kehidupan para wanita tuna susila dalam kehidupan
dan penghidupan secara normatif, (2) mengembangkan pemulihan kembali
harga diri, kepercayaan diri, tanggung jawab sosial, kemauan dan kemampuan
9
para wanita tuna susila agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
dalam kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Dari tahun 1971 sampai akhir tahun 2005, lebih dari 2500 orang
wanita tuna susila telah dibina di PKW ini. Berikut adalah jumlah para wanita
tuna susila yang dibina di PKW “Wanita Utama” dari tahun 2006-2010:
Tabel 1.1 Jumlah Kelayan PKW “Wanita Utama”
Tahun 2006-2010
No Tahun Jumlah Kelayan
(1) (2) (3) 1. 2006 120 2. 2007 140 3. 2008 140 4. 2009 160 5. 2010*) 80
Sumber: PKW “Wanita Utama” tahun 2010
Ket: *): Angkatan I
Dari hasil wawancara dengan Ibu Nani Rahmani, selaku Kepala
Bagian Tata Usaha, bahwa para wanita tuna susila itu diperoleh diantaranya
dari hasil razia yang dilakukan DKRPP dan KB, Polri, dan Satpol PP dalam
operasi penyakit masyarakat, hasil motivasi petugas sosial, maupun atas
kesadaran sendiri serta penyerahan dari keluarga para wanita tuna susila.
Dari semua wanita tuna susila itu diperoleh diantaranya dari hasil razia
yang dilakukan DKRPP dan KB, Polri dan Satpol PP dalam operasi penyakit
masyarakat, hasil motivasi petugas sosial, maupun atas kesadaran sendiri
serta penyerahan dari keluarga para wanita tuna susila.
10
Sebelum diterima secara resmi menjadi kelayan (WTS yang
memperoleh pelayanan rehabilitasi di panti) di PKW, seorang calon kelayan/
eks wanita tuna susila terlebih dahulu diidentifikasi diantaranya untuk
mengetahui latar belakang keluarga, potensi setiap kelayan, umur, tingkat
pendidikan, status perkawinan, dan status sosial ekonominya. Selain itu juga
diselidiki penyebab masuknya mereka ke dalam pelacuran.
Berdasarkan prasurvei yang telah dilakukan, setiap tahunnya proses
pembinaan melalui rehabilitasi ini terbagi dalam dua tahap (mulai awal tahun
2003), yang setiap tahapnya terdiri dari 55 kelayan. Dan pada awal tahun 2007
lalu kapasitas Panti Karya Wanita (PKW) “Wanita Utama” Surakarta menjadi
70 kelayan. Kemudian pada tahun 2009 meningkat lagi menjadi 80 kelayan.
Proses pembinaan dalam satu angkatan tersebut waktunya adalah enam bulan..
Dalam waktu enam bulan tersebut, para kelayan memperoleh pembinaan
berupa bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial kemasyarakatan
dan bimbingan keterampilan. Keterampilan tersebut meliputi: teori dan
praktek tata boga, teori dan praktek tata rias/salon, teori dan praktek tata
busana/menjahit. Dan keterampilan-keterampilan praktis lainnya yaitu bordir,
membatik, menyulam, dan lain-lain.
Dengan rehabilitasi tersebut diharapkan para eks wanita tuna susila
dapat mengembangkan diri dan potensinya sehingga akan meningkatkan
percaya diri, harga diri, dan tanggung jawab sosialnya dalam masyarakat serta
dapat hidup mandiri secara normatif sebagaimana layaknya masyarakat
11
lainnya. Hal tersebutlah yang menjadi inti dari Program Pembinaan Eks
Wanita Tuna Susila dapat untuk dikatakan efektif.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas,
maka dalam penelitian ini penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah efektifitas program pembinaan eks WTS melalui
rehabilitasi sosial yang dilakukan Panti Karya Wanita “Wanita Utama”
Surakarta?
2. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi program pembinaan eks
WTS untuk tercapainya efektifitas?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Operasional
a. Untuk mengetahui efektifitas upaya rehabilitasi sosial yang dilakukan
oleh Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta dalam membina
eks wanita tuna susila.
b. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
rehabilitasi sosial.
2. Tujuan Fungsional
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh instansi yang
bersangkutan sebagai bahan masukan dalam melaksanakan pembinaan
terhadap eks wanita tuna susila.
12
3. Tujuan Individual
Untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan di
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian ini mempunyai beberapa manfaat, yaitu:
1. Untuk memperoleh informasi dan gambaran mengenai upaya yang
dilakukan Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta dalam
pembinaan eks wanita tuna susila melalui rehabilitasi sosial.
2. Sebagai bahan masukan bagi pihak terkait dalam hal ini Panti Karya
Wanita “Wanita Utama” Surakarta terhadap pembinaaan eks wanita tuna
susila.
3. Untuk mengasah kemampuan penulis dalam merespon suatu masalah,
mengumpulkan data, dan informasi kemudian menganalisis secara
ilmiah.
E. Landasan Teori
Teori merupakan unsur penelitian yang paling besar peranannya dalam
suatu penelitian, hal itu dikarenakan melalui teori ilmiah inilah yang dapat
menerangkan suatu fenomena sosial atau fenomena alami yang menjadi fokus
perhatiannya. Menurut Kerlinger, teori adalah serangkaian asumsi, konsep,
konstrak, definisi, dan proposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial
secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antara konsep (Masri
13
Singarimbun dan Sofyan Efendi, 1995: 37). Untuk itulah maka di bawah ini
akan diuraikan beberapa teori yang mendukung dan menjelaskan arahan
penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Wanita Tuna Susila
a Pengertian Wanita Tuna Susila
Sebelum membicarakan mengenai apa itu efektivitas terlebih
dahulu akan dikemukakan konsep wanita tuna susila. Ada berbagai
istilah untuk atau sebutan wanita tuna susila. Dalam bahasa Inggris
wanita tuna susila disebut prostitue, sedang penamaan kasarnya adalah
sundal, balon, lonte (Kartini Kartono, 1992: 208). Ada pula yang
menyebut wanita tuna susila dengan pelacur. Baru pada tahun-tahun
60-an oleh beberapa pihak terutama petugas dari Dinas sosial
digunakan istilah eufemisme untuk memperhalus artinya, yaitu wanita
tuna susila dan belakangan ini ada istilah baru untuk menyebutnya
yaitu pekerja seks komersial. Dalam penelitian ini istilah yang
digunakan adalah eks wanita tuna susila yaitu WTS yang sedang
menerima pembinaan di panti dan tidak melakukan “profesinya” lagi.
Ada berbagai definisi tentang WTS. Menurut Kamus Umum
Bahasa Indonesia WTS adalah perempuan jalang, perempuan pelacur
(Poerwadarminto, 1987: 1104). Sedang menurut Kartini Kartono
(1992: 199), WTS atau pelacur adalah “Wanita yang tidak pantas
kelakuannya dan bisa mendatangkan mala/celaka dan penyakit baik
14
kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya maupun kepada dirinya
sendiri”.
Peraturan Pemerintah Daerah DKI Jakarta Raya tahun 1967 dan
Peraturan Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebagaimana dikutip oleh
Kartini Kartono menyebutkan bahwa WTS adalah wanita yang
mempunyai kebiasaan melakukan hubungan kelamin diluar
perkawinan, baik dengan imbalan jasa maupun tidak (Dalam Kartini
Kartono,1992: 205-206). Sementara menurut Soedjono (1982: 112),
WTS atau wanita pelacur adalah:
“Wanita yang menjual dirinya kepada laki-laki dengan menerima bayaran atas service yang diberikannya, atau wanita yang mata pencaharian(nafkahnya) menyediakan diri bagi siapa saja yang menghendakinya (tanpa pilihan), dan atas kesediannya dia mendapat upah, uang, atau barang-barang yang diterimanya sebagai pembayaran”.
Dinas Kesejahteraan Rakyat Pemberdayaan Perempuan dan KB
Kota Surakarta atau DKRPPKB mendefinisikan WTS atau wanita
pelacur adalah:
“Seseorang wanita yang mengadakan hubungan seksual (kelamin) dengan seseorang pria di luar perkawinan yang sah dengan sengaja atau berpengharapan upah sebagai balas jasa, sehingga menjadi kebiasaan dengan tanpa pertimbangan moral lagi”.
Dari batasan di atas kita dapat mengatakan bahwa WTS adalah
wanita yang mengadakan hubungan seksual (kelamin) dengan laki-laki
di luar perkawinan yang sah dan menjual dirinya kepada laki-laki
tersebut dengan sengaja dan menerima upah baik itu berupa uang
ataupun barang atas jasa yang diberikannya tanpa pertimbangan moral.
15
Berbicara masalah WTS atau wanita pelacur maka mau tidak
mau kita akan berbicara masalah prostitusi atau pelacuran itu sendiri.
Ada banyak pihak yang yang mendefinisikan prostitusi atau pelacuran.
Profesor W. A. Bonger dalam tulisannya yang berjudul
“Maatshappelijke Oozaken der prostitutie” sebagaimana dikutip oleh
Kartini Kartono (1992: 205) mengatakan bahwa definisi prostitusi
adalah gejala kemasyarakatan dimana wanita menjual diri melakukan
perbuatan-perbuatan seksual sebagai mata pencaharian.
Sementara Sarjana P. J. de Bruine Van Amstel (dalam Kartini
Kartono, 1992: 205) menyatakan prostitusi adalah penyerahan diri dari
wanita kepada banyak laki-laki dengan pembayaran.
Dari dua definisi di atas kita dapat mengatakan bahwa prostitusi
berkaitan erat dengan:
1) Peristiwa penjualan diri sebagai profesi atau mata pencaharian
sehari-hari dengan jalan melakukan relasi-relasi seksual secara
berulang-ulang atau terus menerus dewngan banyak laki-laki.
2) Adanya unsur ekonomi berupa pembayaran.
Menurut Kartini Kartono (1992: 229) WTS atau wanita pelacur
mempunyai ciri khas, yaitu:
1) Masih muda-muda, 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di
bawah 20 tahun yang terbanyak ialah 17-25 tahun. Pelacuran kelas
rendahan dan menengah acapkali memperkerjakan gadis-gadis
16
prapuber berusia 11-15 tahun yang ditawarkan sebagai barang
baru.
2) Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh/
eksentrik untuk menarik perhatian kaum pria. Mereka itu sangat
memperhatikan penampilan lahiriah, yaitu: wajah, rambut,
pakaian,alat-alat kosmetik dan parfum yang merangsang.
3) Menggunakan teknik-teknik seksual yang mekanistis, cepat, tidak
hadir secara psikis, tanpa emosi atau afeksi, tidak pernah mencapai
orgasme, sangat provokatif dalam ber-coitus, dan biasanya
dilakukan secara kasar.
4) Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari satu tempat ke tempat
yang lain. Biasanya mereka menggunakan nama samaran dan
sering berganti nama, juga berasal dari tempat atau kota lain, bukan
kotanya sendiri agar tidak dikenal oleh banyak orang.
5) Pelacur-pelacur profesional dari kelas rendah dan menengah
kebanyakan berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah.
Mereka itu pada umumnya tidak mempunyai keterampilan / skill
khusus dan kurang pendidikannya. Modal mereka hanyalah
kecantikan dan kemudaannya. Sedang pelacur-pelacur pada kelas
tinggi pada umumnya berpendidikan sekolah lanjutan pertama dan
atas, atau lepasan akademi dan perguruan tinggi yang beroperasi
secara amateur atau profesional.
17
6) 60-80 % dari jumlah pelacur memiliki tingkat intelektual yang
normal. Kurang dari 5 % mereka yang lemah ingatan (feeble
minded). Selebihnya mereka ada pada garis yang tidak menentu
atau tidak jelas derajat intelejensinya.
Sedang menurut Soedjono (1982: 116), suatu ciri khusus dari
kebanyakan perempuan-perempuan pelacur ialah watak mereka yang
borok dan kotor, licik, jahat, penuh tipu muslihat dan pintar sekali
main sandiwara untuk menarik sebanyak mungkin tamu-tamunya.
b Faktor-Faktor Penyebab Orang Menjadi Wanita Tuna Susila
Ada berbagai alasan yang menyebabkan seorang wanita untuk
menjadi wanita tuna susila. Menurut Simandjuntak (1981: 30-41) ada
empat faktor yang menyebabkan seorang wanita melacurkan diri,
yaitu:
1) Faktor psykologis, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan
penyimpangan-penyimpangan kejiwaan, seperti psykopat,
psykoneurosa dan psykhosa.
2) Faktor-faktor ekonomis, yakni faktor-faktor yang berhubungan
dengan sifat dasar manusia untuk berusaha memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari (sandang, pangan,papan)
3) Faktor sosial, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan proses
interaksi sosial dalam bentuk imitasi, sugesti, identifikasi, dan
simpati dalam lingkungan.
18
4) Faktor-faktor lain, yakni faktor-faktor yang berhubungan dengan
pendidikan, faktor biologis dan lain-lain.
Sementara Kartini Kartono (1992: 234-237) menyatakan secara
terperinci motif-motif yang melatarbelakangi wanita terjun ke arena
pelacuran adalah sebagai berikut:
1) Untuk menghindarkan diri dari kesulitan hidup, mendapatkan
kesenangan, melakukan jalan pendek, kurang pengertian, kurang
pendidikan, dan buta huruf.
2) Ada nafsu-nafsu seks yang abnormal, tidak teritegrasi dalam
kepribadian dan keroyalan seks.
3) Tekanan ekonomi dan faktor kemiskinan.
4) Aspirasi materiil yang tinggi pada diri wanita dan kesenangan.
5) Kompensasi terhadap perasaan-perasaan inferior.
6) Rasa melit dan ingin tahu gadis-gadis cilik dan anak-anak puber
pada masalah seks, yang kemudian kecebur dalam dunia pelacuran.
7) Anak-anak gadis memberontak terhadap otoritas orang tua yang
menekankan banyak tabu dan peraturan seks. Juga memberontak
terhadap masyarakat, dan norma-norma susila yang dianggap
terlalu mengekang diri anak-anak remaja.
8) Bujuk rayu kaum laki-laki dan para calo terutama yang
menjanjikan pekerjaan terhormat dengan gaji yang tinggi, namun
akhirnya gadis-gadis tersebut dengan kejamnya dijebloskan ke
dalam bordil-bordil dan rumah-rumah pelacuran.
19
9) Banyaknya stimulus seksual dalam bentuk film-film biru, gambar
porno dan bacaan cabul.
10) Penundaan perkawinan jauh sesudah kematangan biologis,
disebabkan oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomis dan
staandar hidup yang tinggi.
11) Disorganisasi dan disintegrasi dari kehidupan keluarga.
12) Pekerjaan sebagai pelacur tidak memerlukan keterampilan/skill,
tidak memerlukan intelejensi tinggi, mudah dikerjakan, asal yang
bersangkutan memiliki kecantikan, kemudaan, dan keberanian.
13) Kecanduan obat-obat bius.
14) Pengalaman traumatis.
15) Ajakan teman-teman sekampung/sekota yang sudah terjun lebih
dahulu dalam dunia pelacuran
Dari sekian banyak alasan yang menyebabkan wanita menjadi
wanita tuna susila ternyata alasan atau faktor ekonomi adalah faktor
yang paling mendominasi atau menempati rating tertinggi. Ini dapat
dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Dr. Djuanda
sebagaimana dikutip oleh Simandjuntak (1981: 46) dari 893 orang
wanita tuna susila yang diteliti 48,3% alasan ekonomi, 44,5% alasan
seksual dan sisanya 7,2 % karena alasan lain.
Alasan-alasan di atas adalah alasan-alasan yang berasal dari
dalam diri wanita tuna susila (endogen) sedangkan alasan-alasan yang
20
berasal dari luar (eksogen) yang juga memicu meningkatnya populasi
wanita tuna susila adalah:
1) Lemahnya dasar hukum yang bisa menindak para WTS. Dalam
KUHP tidak ada pasal yang melarang pelacuran dan juga tidak ada
larangan terhadap orang-orang yang melakukan relasai-relasi seks
sebelum pernikahan atau di luar pernikahan, yang dilarang dan
diancam dengan hukuman ialah praktek germo (pasal 296 KUHP)
dan mucikari (pasal 506 KUHP) (Dalam Kartini Kartono, 1992:
232). Kalaupun ada peraturan daerah yang memuat maslah
penanganan pelacuran sanksinya sangat ringan. Hal inilah yang
membuat para WTS tidak jera.
2) Dekandensi moral, merosotnya normo-norma susila dan
keagamaan pada saat-sat orang mengenyam kesejahteraan hidup.
3) Industrialisasi dan globalisasi.
4) Krisis ekonomi. (Kartini Kartono, 1992: 207-208).
Intinya ada dua alasan yang menyebabkan fenomena wanita tuna
susila menjadi semakin marak, yang pertama alasan endogen yaitu
faktor yang berasal dari dalam diri wanita itu sendiri dan yang kedua
adalah faktor eksogen yaitu faktor yang berasal dari lingkungan atau
dari luar individu WTS tersebut.
c Jenis-Jenis Wanita Tuna Susila
Menurut Soedjono (1982: 124) pelacur atau WTS dapat
dikategorikan ke dalam berbagai tipe:
21
1) Pelacur di bordil-bordil
2) Pelacur panggilan
3) Pelacur jalanan
Sedangkan dilihat dari tingkatan kelasnya ada beberapa tingkatan
pelacur, yaitu:
1) Pelacur kelas rendahan
2) Pelacur kelas menengah
3) Pelacur kelas tinggi
Apapun jenis dan kategori wanita tuna susila yang pasti
keberadaan dan profesinya itu telah menimbulkan dampak negatif
dalam berbagai bidang. Menurut Kartini Kartono (1992: 238-240), ada
beberapa akibat yang ditimbulkan oleh pelacuran, yaitu:
1) Menimbulkan dan menyebarkan penyakit kulit dan kelamin.
Penyakit yang paling banyak terdapat ialah syphilis dan gonorrhoe
(kencing nanah). Terutama akibat syphilis, apabila tidak
mendapatkan pengobatan yang sempurna bisa menimbulkan cacat
jasmani dan rohani pada diri sendiri dan anak keturunan.
2) Merusak sendi-sendi kehidupan keluarga, Suami yang tergoda oleh
pelacur sering menjadi lupa pada fungsinya sebagai kepala
keluarga sehingga keluarga menjadi berantakan.
3) Mendemoralisir atau memberikan pengaruh demoralisasi kepada
lingkungan khususnya anak-anak muda remaja pada masa puber
dan adolensi.
22
4) Berkorelasi dengan kriminalitas dan kecanduan bahan narkotika.
5) Merusak sendi-sendi moral, susila, hukum, dan agama. Terutama
sekali menggoyahkan norma perkawinan, sehingga menyimpang
dari adat kebiasaan, norma hukum dan agama karena digantikan
dengan pola pelacuran.
6) Adanya pengeksploitasian manusia oleh manusia lain. Pada
umumnya wanita-wanita pelacur hanya mendapatkan upah
sebagian kecil saja dari pendapatan yang harus diterimanya, karena
sebagian terbesar harus diberikan kepada germo, calo-calo,
centeng-centeng, pelindung dan lain-lain. Dengan kata lain ada
sekelompok benalu yang memeras darah dan keringat para pelacur
ini.
7) Bisa menyebabkan terjadinya disfungsi seksual, misalnya:
impotensi, anorgasme, nymfomania, ejakulasi prematur dan
sebagainya.
Sedang menurut Simandjuntak (1981: 55-59) akibat pelacuran ini
dikategorikan pada tiga hal:
1) Lapangan medis: artinya pelacuran mengakibatkan timbulnya
penyakit kulit dan kelamin.
2) Lapangan sosial ekonomi: artinya pelacuran dapat melumpuhkan
dan menhancurkan kehidupan sosial, menimbulkan degenerasi
yang parah, broken home, dan menimbulkan ketegangan sosial.
3) Lapangan moral: artinya pelacuran melahirkan demoralisasi.
23
Pelacuran mutlak harus ditanggulangi tidak saja karena akibat-
akibat yang membahayakan tapi juga agar gejala ini tidak diterima
oleh masyarakat sebagai pola budaya, dengan kata lain pelacuran yang
dibiarkan tanpa dicegah dan ditanggulangi lambat laun dapat
dipandang sebagai hal yang normal, wajar, dan mungkin akan
melembaga sebagai hal yang wajar. Untuk itu pemerintah harus
berusaha terus untuk menanggulanginya. Baik itu dengan upaya yang
bersifat preventif, represif, rehabilitatif maupun penyaluran.
Untuk itulah penelitian ini yang akan menggambarkan upaya
pemerintah yang bersifat rehabilitatif yaitu mengenai program
pembinaan eks wanita tuna susila.
2. Efektivitas
a Pengertian Efektivitas
Pengertian efektivitas biasanya ditekankan pada efeknya,
hasilnya, dan tanpa atau kurang memperdulikan pengorbanan yang
perlu diberikan untuk memperoleh hasil tersebut (Ibnu Syamsi, 1988:
2). Efektivitas juga dapat berarti upaya untuk menjamin terarahnya
usaha pada tujuan. Efektivitas lebih berkaitan dengan perencanaan
daripada pengawasan (Ndraha,1989: 34). Efektivitas dalam buku
“Organisasi Dan Manajemen” berarti pencapaian sasaran yang telah
disepakati atas usaha bersama (1994: 27). Sedangkan efektivitas
menurut Steers dipandang sebagai tujuan akhir oleh sebagian besar
organisasi. Efektivitas menurut pandangan Etzioni dalam Steers
24
dipandang dari sudut pencapaian sasaran perusahaan pada tingkat
umum (Steers, 1985: 44). The Liang Gie memberikan pengertian
efektivitas sebagai suatu keadaan yang mengandung pengertian
mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki (The
Liang Gie, 1981: 36). Menurut Suwarno Handayaningrat, efektivitas
berarti pengukuran dalam arti tercapainya sasaran atau tujuan yang
telah ditentukan sebelumnnya. (1986: 6).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa efektivitas
adalah suatu upaya yang dilakukan dalam rangka pencapaian tujuan
yang telah ditentukan sebelumnya.
Apabila dikaitkan dengan dengan suatu program dari sebuah
organisasi/ dinas maka efektivitas program menunjuk pada
kemampuan program untuk mencapai tujuan dan sasarannya. Hal ini
senada dengan pendapat Henry bahwa efektivitas program menunjuk
pada tingkat pencapaian tujuan (dalam Samodra Wibawa, 1994: 64).
Jadi dapat disimpulkan bahwa efektivitas Program Pembinaan eks
WTS adalah kondisi yang menggambarkan bahwa program kegiatan
telah menghasilkan akibat yang sesuai dengan sasaran.
b Kriteria- Kriteria Pengukuran Efektivitas
Terdapat beberapa indikator/kriteria yang dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam penilaian efektivitas organisasi. Henry,
Brian, dan White (dalam Samodra Wibowo, 1994: 65),
mengemukakan beberapa kriteria untuk mengukur efektivitas, yaitu:
25
1) Waktu pencapaian
2) Tingkat pengaruh yang diinginkan
3) Perubahan perilaku masyarakat
4) Pelajaran yang diperoleh para pelaksana proyek
5) Tingkat kesadaran masyarakat akan kemampuan dirinya.
Sementara itu, Richard M. Steers (1985: 206) mengemukakan
lima kriteria dalam pengukuran efektivitas organisasi, yaitu meliputi:
1) Kemampuan menyesuaikan diri (keluwesan, produktivitas,
kepuasan kerja)
2) Kemampuan berlaba
3) Pencarian sumber daya
Efektivitas organisasi menurut Price dalam Steers (1985: 53)
dapat dilihat dari:
1) Produktivitas
2) Konformitas
3) Semangat
4) Kemampuan adaptasi kelembagaan
Sedangkan menurut Schein masih dalam Steers (1985:53) ada
lima kriteria yang digunakan:
1) Komunikasi terbuka
2) Fleksibilitas
3) Kreativitas
26
4) Komitmen
5) Keterikatan psykologi
Terlepas dari berbagai indikator/ kriteria yang dapat digunakan
sebagai tolak ukur dalam pengukuran tingkat efektivitas organisasi
tersebut, pada dasarnya semua kriteria tersebut mengarah pada tujuan
yang sama, yaitu memiliki keakuratan yang tinggi.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan di atas, penelitian di
sini hanya akan mengambil beberapa kriteria yang dianggap sesuai
kondisi di lokasi penelitian. Adapun kriteria yang digunakan untuk
menggambarkan efektivitas Program Pembinaan Eks WTS oleh Panti
Karya Wanita "Wanita Utama" Surakarta, meliputi:
1) Waktu pencapaian
Waktu pencapaian dalam hal ini adalah waktu yang
dibutuhkan suatu program untuk mencapai sasaran/ tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam hal ini PKW "Wanita Utama" di dalam
melakukan pelayanan pembinaan eks WTS melalui rehabilitasi
Sosial dilakukan selama enam bulan. Jangka waktu tersebut para
eks WTS/ kelayan yang dibina memperoleh bimbingan-
bimbingan,yang meliputi bimbingan mental, bimbingan fisik,
bimbingan sosial/ kemasyarakatan dan bimbingan keterampilan
yang diberikan oleh pihak panti. Dan sesudah melewati jangka
waktu enam bulan tersebut para kelayan seharusnya benar-benar
dapat memanfaatkan apa yang sudah diperoleh dari panti, dengan
27
begitu setelah dia keluar dari panti dia bisa kembali ke masyarakat
secara normatif dan tidak kembali menjadi WTS lagi
2) Tingkat pengaruh yang diinginkan
Tingkat pengaruh yang diinginkan di sini mempunyai
maksud bahwa pelaksanaan suatu program itu mempunyai tujuan/
sasaran dan dalam proses pencapaiannya ada pengaruh-pengaruh
dari pelaksana program terhadap pihak yang ikut program.
Demikian juga program yang dilaksanakan PKW "Wanita Utama",
dalam setiap bimbingan pastinya atau seharusnya dapat
mempengaruhi para kelayan yang dibina. Sehingga para kelayan
dapat berubah sesuai dengan maksud dan tujuan program.
3) Komunikasi yang terbuka
Komunikasi yang terbuka di sini mempunyai maksud bahwa
dalam pelaksanaan program pembinaan eks WTS itu dalam
memberikan setiap bimbingan dikembangkan suatu komunikasi yang
terbuka/ komunikasi yang terjalin baik sehingga dapat menjadi
jembatan diantara pelaksana program/ pihak panti dengan yang
terkena program/ kelayan. Komunikasi yang terbuka ini dapat pula
menjadi jalan yang baik untuk mengatasi kendala dalam pelaksanaan
program.Salah satu bentuk komunikasi yang terbuka ini adalah adanya
penyampaian laporan/ hasil penilaian dari bimbingan yang telah di
peroleh kelayan. Dengan demikian komunikasi yang terbuka ini akan
sangat membantu dalam pencapaian tujuan program. Hal ini sejalan
28
dengan pernyataan David A. Lee (2005: 22) tentang teknik pengukuran
suatu efektifitas pelaksanaan suatu program :
“Several types of effectiveness measures are worth noting as part of an evaluation are: activity or output indicators focus on the activities and processes assciated with a program and outcome indicators focus on the results of program and are closely tied to the goals and objectives a program.”
Apabila dikaitkan dengan penelitian ini jika terdapat keadaan
yang baik pada ketiga indikator yang meliputi: waktu pencapaian,
tingkat pengaruh yang diinginkan, komunikasi yang terbuka, maka
program pembinaan eks WTS akan efektif.
Untuk selanjutnya, efektivitas organisasi perlu diukur/ adanya
suatu pengukuran. Menurut Stephen P.Robbins (1994: 58-68),
keefektifan organisasi dapat dilihat dari berbagai pendekatan,yaitu:
1) Pendekatan pencapaian tujuan (goal attainment Approach)
Bahwa keefektifan organisasi dinilai sehubungan dengan
pencapaian tujuan (ends) dari pada caranya (means). Organisasi
dikatakan efektif apabila tujuan yang telah ditetapkan oleh
organisasi dapat tercapai
2) Pendekatan sistem
Keefektifan dinilai dari kemampuannya untuk memperoleh
masukan, memproses masukan tersebut, menyalurkan keluarannya,
dan mempertahankan stabilitas dan keseimbangannya.
29
3) Pendekatan konstituensi-strategi (strategic-Constituencies
Approach)
Organisasi dikatakan efektif apabila dapat memenuhi tuntutan dari
kontituensi yang terdapat dalam lingkungan organisasi tersebut.
Pendekatan ini menilai sejauh mana organisasi berhasil memenuhi
tuntutan konstituensi kritisnya yaitu pihak-pihak yang menjadi
tempat bergantung organsasi untuk kelangsungan hidupnya di
masa depan.
4) Pendekatan nilai-nilai bersaing (Competing Values Approach)
Pendekatan ini mencoba mempersatukan sejumlah besar kriteria
mengenai efektivitas organisasi ke dalam model keempat. Kriteria
yang didukung adalah nilai-nilai untuk mengukur efektivitas
organisasi.
Sementara itu menurut H. Lubis(1987:87-88) ada tiga
pendekatan yang dapat digunakan dalam pengukuran efektivitas
organisasi, yaitu:
1) Pendekatan Sumber (System Resources Approach)
Pendekatan sumber ini mengukur efektivitas dari sisi input, yaitu
dengan mengukur keberhasilan organisasi dalam mendapatkan
sumber-sumber tersebut dari lingkungan. Pendekatan ini
didasarkan pada teori mengenai keterbukaan system organisasi
terhadap lingkungan.
30
2) Pendekatan Proses (Process Approach)
Pendekatan proses ini melihat kegiatan internal organisasi dan
mengukur efektivitas melalui berbagai indikator internal seperti
efisiensi ataupun iklim organisasi. Jadi pendekatan ini menganggap
efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan dari organisasi
internal). Pada organisasi yang efektif proses internal berjalan
dengan lancar, karyawan bekerja dengan kegembiraan serta tingkat
kepuasan kerja yang tinggi, kegiatan pelayanan dapat dilaksanakan
dengan baik.
3) Pendekatan Sasaran (Goal Approach)
Pendekatan sasaran ini dalam pengukuran efektivitas memuaskan
74 perhatian terhadap aspek output, yaitu dengan mengukur
keberhasilan organisasi dalam mencapai tingkatan output yang
direncanakan. Pendekatan ini dalam pengukuran efektivitas
dimulai dengan identifikasi sasaran organisasi dan mengukur
tingkat keberhasilan organisasi tersebut. Dengan demikian
mencoba sejauhmana organisasi berhasil merealisasikan sasaran
yang hendak dicapai.
Mengingat bahwa efektivitas paling baik dipahami jika dilihat
secara keseluruhan sistem organisasi maka pendekatan-pendekatan
tersebut digunakan sebagai satu kesatuan yang utuh untuk
mendapatkan suatu hasil yang penelitian yang baik tentang efektivitas
organisasi. Namun karena terbatasnya waktu, tenaga, biaya, dan
31
pemikiran maka penelitian ini lebih memfokuskan pada upaya untuk
mengetahui efektivitas program pembinaan eks wanita tuna susila
dilihat dari segi proses rehabilitasi sosial. Segi proses ini lebih
menyoroti pada pelaksanaan proses rehabilitasi sosial yang
dilaksanakan PKW “Wanita Utama” Surakarta. yang digunakan untuk
menggambarkan adanya efisiensi dalam pelaksanaan kegiatan atau
tugas apakah sesuai dengan tugas pokok dan fungsi PKW “Wanita
Utama” Surakarta.
c Jenis- Jenis Efektivitas
Menurut James L. Gibson (1996: 30) untuk mencapai efektivitas
organisasi, membagi tiga perspektif efektivitas seperti tergambar di
bawah ini:
Gambar 1.1 Perspektif Efektivitas
Gambar tersebut dapat kita ketahui bahwa efektivitas tingkat
dasar adalah efektivitas individual, yang menekankan pada kinerja
Efektivitas Individu
Sebab-sebab Kemampuan Keterampilan Pengetahuan Sikap Motivasi Stres
Sebab-sebab Keterpaduan Kepemimpinan Struktur Status Peran Norma-norma
Sebab-sebab Lingkungan Tehnologi Pilihan strategi Struktur Proses kultur
Efektivitas Organisasi
Efektivitas Kelompok
32
tugas karyawan tertentu atau organisasi tertentu. Sementara efektivitas
kelompok secara sederhana adalah jumlah kontribusi seluruh anggota.,
dan efektivitas organisasi merupakan sinergi dari efektivitas individu
dengan efektivitas kelompok. Kemudian efektivitas masing-masing
dipengaruhi oleh variabel sebab-sebab pada tingkatan perspektif
efektivitas ( James L. Gibson, 1996:30 ).
Apabila efektivitas program telah tercapai maka organisasi
tersebut akan efektif atau dengan kata lain jika program yang dimiliki
oleh suatu instansi/organisasi dilaksanakan secara efektif maka
instansi/organisasi tersebut telah efektif dalam melaksanakan program
yang dimaksud.
3. Program Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila
Setiap organisasi pasti memiliki tujuan atau sasaran. Begitupun
organisasi milik pemerintah, yang salah satunya kedinasan yang juga
memiliki tujuan atau sasaran yang harus dicapai, namun tujuan tersebut
masih bersifat abstrak. Jadi untuk dapat mencapainya tersebut harus
diubah ke bentuk yang lebih operasional. Tujuan yang telah diubah
bentuknya menjadi lebih operasional disebut dengan program.
Menurut Kamus Modern Bahasa Indonesia (1994: 538) program
adalah ketentuan rencana dari pemerintah; acara; rencana; rancangan
(kegiatan).
Sebelum mengetahui lebih jauh mengenai program pembinaan eks
WTS ini, alangkah lebih baik jika kita mengetahui definisi apa itu
33
pembinaan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1996), pembinaan
berasal dari kata “bina” yang berarti bangun. Pembinaan merupakan hal,
cara, atau hasil pekerjaan membina (membina adalah membina,
membangun, mengembangkan, menyempurnakan). Lebih lanjut definisi
tentang pembinaan juga dikemukakan oleh Tim Penyusun Kamus Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dimana pembinaan didefinisikan
sebagai proses perbuatan, cara membina (negara,dsb), pembaharuan,
penyempurnaan usaha, tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara
berdaya guna dan berhasil guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik.
Pembinaan adalah suatu tindakan, proses, hasil atau kemajuan,
peningkatan, pertumbuhan, evolusi atas berbagai kemungkinan,
berkembang, atau peningkatan atas sesuatu. Ada dua unsur dari pengertian
ini yaitu pembinaan itu sendiri bisa berarti tindakan, proses atau
pernyataan dari suatu tujuan, dan kedua, pembinaan itu bisa menunjukkan
kepada “perbaikan” atas sesuatu ( Miftah Thoha, 1993: 7).
Sehubungan dengan masalah keberadaan wanita tuna susila, maka
pembinaan adalah usaha yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini
Dinas Kesejahteraan Sosial Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melalui
PKW “Wanita Utama” Surakarta terhadap eks WTS untuk
mengembangkan usaha dan meningkatkan kesejahteraan melalui
pemberian bantuan, motivasi, bimbingan-bimbingan melalui rehabilitasi
sosial agar mereka kembali ke masyarakat secara wajar dan tidak lagi
menjadi sampah masyarakat.
34
Dari pengertian pembinaan diatas maka dapat diketahui bahwa
pembinaan sangat diperlukan dalam mengatasi masalah wanita tuna susila.
Wanita tuna susila pada dasarnya adalah wanita yang mempunyai hak
untuk mengenyam kehidupan yang layak seperti wanita-wanita lainnya.
Mereka mempunyai hak untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan. Ada kecenderungan bahwa usia para WTS
itu adalah usia produktif, usia dimana potensi dan kemampuan mereka
dapat digunakan untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi dirinya,
keluarganya, negara dan bangsanya. Mereka adalah aset untuk
pembangunan.
Para WTS dapat menjadi aset pembangunan dan memberikan
kontribusinya bagi pembangunan dengan syarat mereka hidup layaknya
penduduk lain yang mengetahui nilai dan norma-norma susila yang
berlaku dan membuat mereka dapat berkarya sesuai dengan harkat dan
martabat wanita dan menjadi anggota masyarakat secara normatif maka
diperlukan usaha pembinaan melalui rehabilitasi yaitu pemungsian serta
pemulihan kembali kemampuan fisik, sosial serta mental dari wanita
tersebut. Dengan ini diharapkan agar mereka benar-benar dapat berkarya
dari segi fisik, mental, dan sosial serta mempunyai bekal keterampilan,
sehingga nantinya mereka tidak lagi menjadi sampah masyarakat dan
dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan baik.
Untuk mewujudkan harapan tersebut dalam rangka mencapai
efisiensi dan hasil guna yang optimal, program-program
35
pembinaan/rehabilitasi harus dipilih, dipilah , dan dirumuskan sesuai
dengan kebutuhan aktual yang dapat diterima dan diperlukan di
masyarakat tempat dimana kelayan akan dikembalikan sehingga mampu
menjalankan fungsi sosialnya secara normal dan wajar selaras dengan
norma dan etika yang berlaku. Hal ini sejalan dengan pernyataan J.Robert
Flores (2004: 6), yaitu :
“Carefully matching a program to community needs will help ensure that the program is more readily accepted by other key players. Attention must also be given to matching a program to the targeted population. Many research-based programs are being implemented for populations for whom they were never intended, and for whom research has not proven their effectiveness”.
Program pembinaan eks wanita tuna susila ini dilakukan melalui
rehabilitasi sosial. Adapun pengertian rehabilitasi sosial adalah:
“Usaha penanggulangan pelacuran dengan mengembalikan keadaan dan kedudukan orang-orang yang terlibat dalam pelacuran agar mereka menjadi manusia yang berpribadi, berfungsi sesuai dengan situasi dan keadaan yang sehat, bermental kuat, bersikap dan bertingkah laku sesuai dengan norma yang berlaku pada masyarakat.” ( Dinsos Propinsi Jateng, 1993/1994).
Tujuan dari rehabilitasi sosial ini adalah terbinanya para
penyandang masalah tuna susila menjadi berkemampuan dan berkemauan
untuk mengembalikan harga diri, kepercayaan diri, tanggung jawab sosial
dalam melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar (Dinsos Prop Jateng,
1993/1994).
Proses pembinaan melalui rehabilitasi sosial terhadap wanita tuna
susila ini dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu:
36
a Tahap Pendekatan Awal, meliputi:
1.) Orientasi dan konsultasi
2.) Identifikasi
3.) Motivasi
4.) Seleksi
b Tahap Penerimaan, meliputi:
1) Registrasi
2) Pengungkapan dan penelaahan masalah
3) Penempatan dan pelayanan rehabilitasi
c Tahap Bimbingan, meliputi:
1) Bimbingan Fisik
Bimbingan ini ditujukan untuk meningkatkan ketahanan fisik
dan kondisi kesehatan para kelayan. Untuk itu para kelayan diberi
bimbingan hidup sehat, antara lain melalui: olahraga/SKJ,
pelayanan kesehatan dan pemberian makanan bergizi.
2) Bimbingan Mental/Psikologis
Bimbingan ini ditujukan untuk membimbing dan
memperbaiki kondisi mental para kelayan, meningkatkan semangat
juang agar mereka tidak lekas menyerah oleh keadaan serta mampu
mengangkat harkat dan martabatnya sendiri nmenuju pada keadaan
yang lebih baik. Untuk itu para kelayan diberi bimbingan atau
pelajaran agama, etika, sopan santun dan budi pekerti.
37
3) Bimbingan Sosial/ Kemayarakatan
Bimbingan ini ditujukan agar para kelayan dapat hidup
bermasyarakat dengan baik, untuk itu mereka diberi bimbingan
berupa P4, KB, PKK, Kamtibmas, dan kewirausahaan.
4) Bimbingan Keterampilan
Bimbingan ini dimaksudkan agar para kelayan nantinya dapat
hidup mandiri dalam masyarakat. Untuk itu mereka diberi
pendidikan keterampilan antara lain:menjahit, tata rias, memasak,
tata laksana rumah tangga, membordir dan lain-lain.
d Tahap Resosialisasi, meliputi:
1) Bimbingan Kesiapan dan peran serta mayarakat
2) Bimbingan sosial / hidup bermasyarakat
3) Bimbingan usaha / kerja
4) Penyaluran
e Tahap Bimbingan Lanjut, meliputi:
1) Bimbingan peningkatan kehidupan bermasyarakat
2) Bimbingan pengembangan usaha
3) Bimbingan pemantapan usaha
Sejalan dengan program yang telah ditetapkan di atas, Dinas
Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah telah menetapkan Panti Karya
Wanita sebagai tempat untuk membina dan merehabilitasi para eks WTS.
Di wilayah Jawa Tengah ada dua daerah yang ditunjuk sebagai tempat
untuk membina dan merehabilitasi para eks WTS, yang pertama di Kendal
38
dengan nama PKW “Wanodyatama” Kendal dan yang kedua di Surakarta (
tempat dilakukannya penelitian ini ) dengan nama PKW “Wanita Utama”
Surakarta.
4. Pengertian Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Permasalahan ketunasusilaan adalah masalah yang sangat
kompleks, maka Pemerintah Popinsi Jawa Tengah melalui Dinas
Kesejahteraan Sosial mempunyai misi dalam pembangunan bidang
Kesejahteraan Sosial dalam penanganan masalah tuna susila mendasarkan
kebijakan penanganan melalui sistem pelayanan dari dalam Panti dan
sistem luar Panti. Pelayanan melalui Panti untuk Wanita Tuna Susila
adalah Panti Karya Wanita.
Panti adalah Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kesejahteraan
Sosial Propinsi Jawa Tengah sebagai lembaga/ kesatuan kerja yang
merupakan sarana dan prasarana dalam memberikan pelayanan sosial
berdasarkan Profesi Pekerjaan Sosial, berada dibawah dan bertanggung
jawab langsung kepada Kepala Dinas Kesejahteraan Sosial
Dalam Peraturan Daerah propinsi Jawa Tengah No. 1 Tahun 2002
pasal 15 ayat (1) disebutkan bahwa:
“Panti Karya Wanita adalah panti rehabilitasi sosial yang mempunyai tugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental, sosial, mengubah sikap dan tingkah laku, pelatihan keterampilan, dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi para wanita tuna susila agar mampu berperan aktif dalam kehidupan bermasyarakat”.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Panti Karya Wanita
“Wanita Utama” Surakarta adalah tempat, asrama yang bertugas
39
memberikan pelayanan dari rehabilitasi sosial dan resosialisasi serta
pembinaan lanjut bagi para eks WTS agar dapat menjalankan fungsi
sosialnya secara wajar dan menjadi anggota masyarakat secara normatif.
5. Efektivitas Program Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila
Berdasarkan pengertian tentang efektivitas serta pembinaan eks
wanita tuna susila yang telah disebutkan diatas maka dapat disimpulkan
disini mengenai pengertian efektivitas program pembinaan eks wanita
tuna susila, yaitu “tingkat keberhasilan upaya yang dilakukan dalam
rangka membina eks wanita tuna susila melalui rehabilitasi sosial dengan
tujuan memfungsikan kembali serta memulihkan kembali kemampuan
fisik, sosial, serta mental dari mereka dan memberikan mereka bekal
keterampilan sehingga mereka dapat benar-benar berkarya dan hidup
wajar di masyarakat, sebagaimana layaknya masyarakat yang lain.”
Program Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila melalui rehabilitasi
sosial di Panti Karya Wanita memilki tujuan umum, yaitu:
“Terbinanya para penyandang masalah tuna susila menjadi berkemampuan dan berkemauan untuk mengembalikan rasa percaya dirio, harga diri dan tanggung jawab sosial dalam melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar” (Kanwil Dinsos).
Sedangkan tujuan operasionalnya adalah sebagai berkut:
a. Memberikan pembinaan terhadap tata kehidupan para WTS dalam
kehidupan dan penghidupan secara normatif melalui pembinaan fisik,
mental, sosial/ kemasyarakatan, keterampilan praktis, resosialisasi dan
pembinaan lanjut.
40
b. Mengembangkan pemulihan kembali harga diri, kepercayaan diri,
tanggung jawab sosial, kemampuan dan kemauan para wanita tuna
susila, agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan dan penghidupan masyarakat.
Namun demikian sebelum pencapaian tujuan akhir dari program
pembinaan terlebih dahulu dicapai sasaran atau tujuan antara , sebab
sasaran atau tujuan antara merupakan prasyarat untuk tercapainya sasaran
atau tujuan akhir.
Menurut Kanwil Dinsos Propinsi Jawa Tengah dikatakan bahwa
rehabilitasi sosial dapat dikatakan berhasil apabila:
a. Para kelayan (WTS yang dibina) tidak ada niat dan tidak lagi
menjalankan profesi sebagai WTS
b. Para kelayan mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat,
bertingkah laku dan bersikap wajar sesuai dengan norma masyarakat
yang berlaku
c. Para kelayan memahami, memiliki dan menguasai suatu keterampilan
kerja tertentu yang dapat digunakan untuk mendapatkan mata
pencaharian yang layak dan manusiawi bagi dirinya dan atau
keluarganya
d. Para kelayan mampu bermasyarakat atau berumah tangga dengan
pasangan yang sah dan ikut bertanggung jawab terhadap kesejahteraan
keluarganya
41
Intinya bahwa pembinaan eks WTS melalui rehabilitasi sosial ini
dapat dicapai apabila wanita-wanita tersebut telah menunjukan
kesungguhan dan kemauan yang dihasilkan dari sikap dan perilaku yang
benar. Mereka akan mampu menolong dirinya sendiri dan keluar dari
permasalahannya sebagai WTS setelah mereka sadar bahwa mereka perlu
menampilkan sikap dan perilaku yang benar untuk mencapai kehidupan
yang normatif.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa suatu kenyataan bahwa
WTS merupakan suatu sub kultur yang memiliki sikap dan perilaku yang
berbeda dengan masyarakat umum. Sikap para WTS ini sangat
dipengaruhi oleh kebebasan yang mereka cari di dunia pelacuran.
Kebebasan dari norma-norma agama, norma-norma hukum, norma-norma
susila, norma-norma perkawinan, dan segala peraturan yang mengikat
mereka. Kebebasan ini serng diartikan kepada perilaku-perilaku yang oleh
masyarakat dianggap menyimpang.
Sikap dan perilaku WTS yang menyimpang dan cenderung negatif
itu telah membuat mereka menolak untuk menjalin hubungan dengan
kelompok lain yang hidup secara normatif. Akhirnya mereka membentuk
kelompok sendiri sebagai bagian dari strategi mereka untuk melindungi
diri. Stereotif negatif yang mencap mereka sebagai “sampah masyarakat”
bukan lagi hal yang aneh buat mereka.
Dengan rehabilitasi inilah sikap dan perilaku mereka harus berubah
sebab perubahan sikap dan perilaku tersebut nantinya akan mendorong
42
mereka untuk mampu beradaptasi, bersosialisasi, dan berinteraksi dengan
lingkungan sekitarnya dan berbekal dengan keterampilan yang mereka
peroleh mereka mampu melepaskan diri dari profesi yang oleh masyarakat
dianggap sebagai “sampah masyarakat”, serta lebih jauh lagi mereka
mampu hidup berumah tangga dengan pasangan yang sah dan ikut
bertanggungjawab terhadap kesejahteraan keluarganya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkembangan sikap
dan perilaku yang diwujudkan dengan kemampuan mereka beradaptasi
dan beriteraksi dengan lingkungan, kemampuan mereka memahami,
menguasai dan memanfaatkan keterampilan yang mereka peroleh di PKW,
kemampuan mereka melepaskan diri dari pekerjaan sebagai WTS, dan
kemampuan mereka untuk hidup berumah tangga dengan pasangan yang
sah adalah target antara untuk mencapai tujuan program. Oleh karena itu,
upaya pembinaan eks WTS melalui rehabilitasi sosial oleh PKW “Wanita
Utama”Surakarta dapat dikatakan berhasil/ efektif apabila kelayan mampu
beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungan,kemampuan kelayan
memahami, menguasai dan memanfaatkan keterampilan yang diberikan.
F. Kerangka Berpikir
Sebagaimana kita ketahui keberadaan WTS sebagai bagian integral
dari masyarakat dan sebagai warga negara, tidak selayaknya diabaikan
begitu saja. Para WTS ini perlu dibina agar keberadaan mereka yang
dipandang sebagai "sampah masyarakat" itu bisa berubah menjadi aset
43
pembangunan dan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi
pembangunan dengan syarat mereka hidup layaknya masyarakat lain
dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat.
Adapun salah satu upaya pembinaan yang dilakukan oleh
pemerintah adalah dengan memberikan pembinaan melalui pelayanan
rehabilitasi sosial yang diselenggarakan di panti-panti. Upaya rehabilitasi
tersebut mencakup beberapa kegiatan bimbingan. Adapun kegiatan
bimbingan yang dilaksanakan PKW "Wanita Utama" Surakarta antara lain
bimbingan fisik, bimbingan mental, bimbingan sosial/ kemasyarakatan,
bimbingan keterampilan, bimbingan resosialisasi serta bimbingan lanjut.
Dari kegiatan-kegiatan tersebut diharapkan para eks WTS nantinya
mampu berperan aktif dalam kehidupan masyarakat secara normatif.
Mereka mampu mengembalikan harga diri, kepercayaan diri, tanggung
jawab sosial, kemauan dan kemampuan mereka, sehingga dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam kehidupan dan
penghidupan masyarakat.
Pembinaan eks WTS yang diselenggarakan PKW "Wanita Utama"
Surakarta, tentunya ada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Faktor-
faktor tersebut bisa berasal dari intern (respon/ tanggapan kelayan,
pembimbing/ pegawai, sarana dan prasarana) maupun ekstern
(masyarakat).
Upaya pembinaan eks WTS melalui rehabilitasi sosial ini perlu
diketahui efektif tidaknya. Untuk mengetahui keefektifan maka perli
44
adanya suatu penilaian terhadap proses pelaksanaan kegiatan bimbingan
tersebut dengan melihat dari beberapa indikator antara lain yaitu waktu
pencapaian, tingkat pengaruh yang diinginkan, dan komunikasi yang
terbuka. Dengan demikian dapat diketahui apakah pembinaan melalui
rehabilitasi sosial itu efektif atau tidak. Hasil dari penilaian tersebut dapat
dijadikan rekomendasi untuk lebih meningkatkan program pembinaan di
PKW.
Berdasarkan teori dan asumsi di atas maka kerangka pemikiran
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
45
Gambar 1.2 Kerangka Berpikir
Eks WTS
PKW "Wanita Utama"
Upaya Pembinaan melalui Rehabilitasi Sosial: 1. Pendekatan Awal 2. Penerimaan 3. Rehablitasi Sosial di
dalam panti: -Bimbingan Fisik -Bimbingan Mental -Bimbingan Sosial/ Kemasyarakatan
-Bimbingan Keterampilan
4. Resosialisasi 5. Pembinaan Lanjut
Faktor yang mempengaruhi rehabilitasi
sosial 1. Faktor Intern
a. Respon/ tanggapan kelayan
b. Petugas/ pegawai PKW
c. Sarana dan prasarana
2. Faktor Ekstern a. masyarakat
Diketahui efektif/ tidaknya upaya pembinaan terhadap
eks WTS/ kelayan
Penilaian proses pembinaan rehabilitasi
sosial 1. Waktu pencapaian 2. tingkat pengaruh yang
diinginkan 3. komunikasi yang
terbuka
46
G. Metode Penelitian
1. Jenis dan Teknik Penelitian
Penelitian ini bersifat kualitatif. Adapun metode yang digunakan
adalah deskriptif analitis. Metode ini digunakan untuk menilai efektivitas
program pembinaan melalui rehabilitasi di PKW "Wanita Utama"
Surakarta. Namun demikian keterangan-keterangan yang bersifat
kuantitatif tetep dipergunakan.
Teknik penelitian yang digunakan yaitu lebih menitikberatkan
pada penelitian lapangan (field reserch) yang bermaksud untuk
mengetahui permasalahan yang ada di lokasi penelitian. Namun demikian
penelitian ini juga tidak mengesampingkan studi kepustakaan (library
reserch) terutama dalam menyusun kerangka teori.
2. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Panti Karya Wanita "Wanita Utama"
Surakarta, dengan pertimbangan sebagai berikut
a. PKW "Wanita Utama" Surakarta, merupakan UPT yang bertanggung
jawab kepada Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah yang
bertugas memberikan pelayanan rehabilitasi sosial kepada eks WTS.
b. PKW "Wanita Utama" Surakarta adalah panti yang tidak hanya
melakukan pembinaan untuk eks WTS yang berasal dari Surakarta
saja melainkan untuk eks WTS se-wilayah Jawa Tengah.
c. Dimungkinkan didapatkannya data yang diperlukan dalam penelitian
ini.
47
3. Sumber Data
Menurut Lofland and Lofland sumber data utama dalam
penelitian kualitatif adalah kata-kata dan tindakan selebihnya adalah data
tambahan seperti dokumen dan lain-lain(Lexy J. Maleong, 2005:157).
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibedakan menjadi:
a. Sumber data primer
Yaitu sumber data yang diperoleh secara langsung dari
lapangan yang berkaitan dengan objek penelitian. Sumber data ini
merupakan sumber dari pihak yang pertama kali memberikan data
kepada peneliti, yang diperoleh dengan melakukan observasi dan
wawancara. Dalam penelitian ini akan melakukan wawancara
dengan:
1) Kepala Panti Karya Wanita (PKW) ”Wanita Utama” Surakarta:
hal ini digunakan untuk mengetahui semua kegiatan yang ada di
panti.
2) Petugas PKW "Wanita Utama" Surakarta: hal ini dilakukan untuk
mendapatkan informasi tentang bentuk-bentuk kegiatan
rehabilitasi eks wanita tuna susila dan berbagai kendala yang
dihadapi.
3) Eks WTS atau Kelayan: dalam penelitian ini eks WTS yang
dijadikan sumber dat adalah eks WTS yang sedang dan pernah
mengikuti kegiatan pembinaan di PKW "Wanita Utama"
48
Surakarta, hal ini untuk mendapatkan informasi tentang manfaat
program yang berkaitan dengan pelaksanaan kegiatan program.
4) Masyarakat sekitar Panti Karya Wanita"Wanita Utama":hal ini
dilakukan untuk mengetahui tenteng pendapat mayarakat sekitar
terhadap keberadaan PKW dan eks WTS serta kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakan oleh panti tersebut.
b. Sumber data sekunder
Yaitu sumber data yang diperoleh secara tidak langsung,
misalnya dari catatan atau dokumen-dokumen dan buku-buku yang
berhubungan dengan masalah penelitian. Data ini bisa digunakan
sebagai pendukung atau melengkapi data primer. Adapun data
sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari buku-buku referensi,
penelitian-penelitian sejenis dan dokumen yang berasal dari lokasi
penelitian yang berupa laporan-laporan baik laporan triwulan
maupun laporan tahunan.
4. Teknik pengumpulan data
Ada beberapa teknik pengumpulan data yang akan digunakan
dalam penelitian ini dimana masing-masing teknik mempunyai kelebihan
dan kekurangan sendiri-sendiri, sehingga penggunaan beberapa teknik
pengumpulan data secara bersama-sama diharapkan akan dapat saling
melengkapi satu sama lain. Adapun teknik pengumpulan data yang
dimaksud sebagai berikut:
49
a. Wawancara (Interview)
Teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas dan
mendalam tentang berbagai aspek dalam penelitian ini. Alasan
pemilihan terhadap teknik ini karena penelitian ini lebih
mengandalkan kekuatan kedalaman informasi yang di dapat dan
menghindarkan dari bias informasi.Wawancara dapat dilakukan
secara formal maupun informal sehingga data yang diperoleh cukup
lengkap dan mendalam.
b. Observasi
Untuk memperoleh data dilapangan maka peneliti akan
melakukan pengamatan secara langsung di lapangan. Peneliti
mengumpulkan keterangan dengan melihat, mengamati, kalau perlu
merekam dan mencatat perilaku dan ucapan-ucapan dari informan
yang relevan.
c. Dokumentasi
Teknik ini dilakukan untuk mengumpulkan data melalui buku-
buku, arsip dan dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian
dan sebagai data pendukung analisis yang di peroleh di lokasi
penelitian yang berupa dokumen dan laporan dari bagian tata usaha
dan bagian pelayanan rehabilitasi.
50
5. Teknik Sampling
Dalam penelitian ini menggunakan teknik non random sampling
dengan jenis purposive sampling. Artinya, peneliti memilih informan yang
dapat dipercaya untuk menjadi sumber informasi dan diharapkan
mengetahui permasalahan secara mendetail.
6. Validitas Data
Validitas data akan membuktikan apa yang diamati peneliti
sesuai dengan apa yang sesungguhnya ada di dalam kenyataan di lokasi
penelitian dan apakah penjelasan yang diberikan tentang deskripsi
permasalahan yang sebenarnya atau tidak.
Untuk menjamin validitas data yang akan diperoleh dalam
penelitian ini maka peningkatan validitas akan dilakukan dengan cara:
Triangulasi data yaitu dalam pengumpulannya, peneliti menggunakan
beberapa sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang
sama. Dengan demikian data yang diperoleh dari suatu sumber akan
dikontrol dari sumber berbeda.
7. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis data secara kualitatif dengan menggunakan model analisis data
interaktif . Teknik tersebut meliputi 3 hal yaitu:
a. Reduksi data
Merupakan proses seleksi, pemfokusan, penyederhanaan,
dan abstraksi data kasar yang dilaksanakan selama berlangsungnya
51
proses penelitian dan mengatur data sedemikian sehingga dapat
ditarik kesimpulan akhir.
b. Sajian data
Merupakan rangkaian informasi yang memungkinkan
kesimpulan riset dapat dilakukan dengan melihat penyajian data,
maka peneliti akan dapat mengerti apa yang terjadi serta
memungkinkan untuk mengerjakan sesuatu pada analisa oleh
tindakan lain yang berdasarkan pengertian tersebut.
c. Penarikan kesimpulan
Dari sajian data yang telah tersusun, maka selanjutnya
peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa ketiga komponen tersebut
aktivitasnya berbentuk interaksi dengan proses pengumpulan data
menggunakan proses siklus. Aktivitas-aktivitas tersebut dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1.3 Model Analisis Interaktif
Sumber: HB. Sutopo. ( 2002: 97 )
Pengumpulan data
Reduksi Data
Penarikan Kesimpulan
Sajian Data
52
52
BAB II DESKRIPSI LOKASI
A. Letak Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Pada mulanya lokasi tempat didirikannya Panti Karya Wanita “Wanita
Utama” Surakarta, dikenal oleh masyarakat Surakarta dan sekitarnya dengan
sebutan “Wangkung” (dibuang dan dikungkung) sebagai tempat penampungan
bagi orang-orang yang mengalami permasalahan kesejahteraan sosial seperti:
gelandangan, pengemis, orang lanjut usia, anak-anak nakal, termasuk pula
Wanita Tuna Susila (WTS).
Lokasi PKW “Wanita Utama” Surakarta terletak di Kalurahan Pajang,
No. 642, Kotamadya Surakarta. PKW ”Wanita Utama” ini didirikan diatas
tanah seluas 3599 m² dengan status milik negara. Letak PKW yang strategis
yakni tepat dipinggir jalan Dr. Radjiman dan dekat dengan Pasar Jongke
sehingga mudah dijangkau dengan sarana transportasi.
Sejak tanggal 11 April 1957, penanganan permasalahan sosial tersebut
diatas dilakukan secara lebih serius dan profesional oleh Kantor Dinas Sosial
Kodya Dati II Surakarta, yang lokasinya dibagi tiga yaitu untuk menampung
orang lanjut usia, cacat netra dan WTS. tempat penampungan dan pendidikan
bagi Wanita penyandang tuna susila diberi nama “Pamardi Wanita” dimana
para WTS tersebut ditampung dan diberi pendidikan mental, pendidikan sosial
dan ketrampilan untuk kemudian dikembalikan kepada masyarakat atau
keluarga.
53
Pada tahun 1963 keadaan keuangan negara mengalami kemerosotan yang
serius sehingga biaya rehabilitasi tidak terjangkau lagi oleh Pemerintah
Daerah, sebagai akibatnya sasana “Pamardi Wanita” terpaksa ditutup.
Kemudian pada tahun 1966 sampai tahun 1967 digunakan Departemen
Pertahanan dan Keamanan untuk menampung tahanan politik wanita
(Gerwani). Tidak lama kemudian pada tahun 1969 oleh Dinas Sosial diajukan
kepada Pemerintah Pusat sebagai Proyek rehabilitasi Wanita Tuna Susila
kembali.
Sejak tanggal 11 September 1971, secara resmi Panti Pendidikan Wanita
Tuna Susila diberi nama Panti Pendidikan “Wanita Utama” Surakarta yang
dikelola langsung oleh Kanwil Depsos Propinsi Jawa Tengah, sekaligus
dilengkapi dengan sarana dan prasarana serta pegawainya. Berdasarkan Surat
Keputusan (SK) Menteri Sosial RI No. 41/HUK/Kep/XI/79. pada tanggal 1
November 1979 namanya diubah menjadi sasana Rehabilitasi Wanita “Wanita
Utama” Surakarta. Kemudian berdasarkan SK Menteri Sosial RI No.
22/HUK/95 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Panti maka pada
tanggal 24 April 1995 namanya diubah lagi menjadi Panti Sosial Karya
Wanita “Wanita Utama” Surakarta dengan status Panti tipe B.
Dengan adanya likuidasi Departemen Sosial RI dan Pelaksanaan
Otonomi Daerah, maka mulai 5 Juli 2000, pengelolaan Panti diserahkan
kepada Pemerintah Propinsi Jawa Tengah melalui Dinas Kesejahteraan Sosial.
Dan berdasarkan Peraturan Daerah No. 1 Tahun 2002 namanya diubah
menjadi “Panti Karya Wanita ‘Wanita Utama’ Surakarta”.
54
B. Visi, Misi, Tujuan, Tugas Pokok dan Fungsi Panti Karya Wanita
“Wanita Utama” Surakarta
1. Visi
Visi dari Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta adalah
“Profesionalisme Pelayanan Panti Menuju Kesejahteraan Sosial Kelayan”.
2. Misi
a. Meningkatkan harkat dan martabat serta kualitas kehidupan manusia
b. Mengembangkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam
penanganan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial
c. Menciptakan jaringan kerja dengan instansi atau lembaga dunia usaha
terkait
d. Membina dan mengentaskan Penyandang Masalah Kesejahteraan
Sosial berdasarkan Standart Pelayanan Rehabilitasi Sosial Sistem Panti
e. Mengembangkan manajemen pelayanan dan administrasi pekerjaan
sosial sistem panti
f. Menciptakan kondisi lingkungan sosial yang mampu mendorong
kelayan untuk memulihkan harga diri, percaya diri agar dapat
melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar
3. Tujuan
Tujuan pelaksanaan pelayanan sosial panti adalah mewujudkan:
a. Pulihnya harga dan kepercayaan diri serta timbulnya kemandirian
maupun tanggung jawab terhadap masa depan diri dan keluarga eks
Wanita Tuna Susila (WTS).
55
b. Terbinanya tata kehidupan dan penghidupan eks WTS yang
memungkinkan untuk melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar.
4. Tugas Pokok
Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta mempunyai tugas
memberikan pelayanan sosial yang meliputi pembinaan fisik, mental,
sosial, pelatihan ketrampilan dan resosialisasi serta pembinaan lanjut bagi
para penyandang masalah Tuna Susila agar mampu berperan aktif dalam
kehidupan bermasyarakat.
5. Fungsi Panti
a. Pelaksanaan penyusunan Rencana Operasional Pelayanan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) Tuna Susila.
b. Pelaksanaan pengkajian dan analisis teknis Operasional Pelayanan
PMKS Tuna Susila.
c. Pelaksanaan Kebijakan Teknis Pelayanan PMKS Tuna Susila.
d. Pelaksanaan Identifikasi dan Registrasi Calon Kelayan.
e. Pelaksanaan Pemberian Penyantunan, Bimbingan dan Rehabilitasi
Sosial terhadap PMKS Tuna Susila.
f. Pelaksanaan Penyaluran dan Pembinaan Lanjut.
g. Pelaksanaan Evaluasi Proses Pelayanan Panti dan Pelaporan.
h. Pelayanan Penunjang Penyelenggaraan Tugas Dinas.
i. Pengelolaan Ketatausahaan.
56
C. Struktur Organisasi Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Sesuai dengan struktur organisasi dan tata kerja panti sosial yang telah
ditetapkan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Tengah dalam Perda No.1 Tahun
2002, Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta sebagai Unit Pelaksana
Teknis (UPT) Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah dengan tipe
B mempunyai struktur organisasi sebagai berikut: Kepala Panti, Staf Tata
Usaha, Staf Penyantunan, Staf Rehabilitasi dan Penyaluran serta Jabatan
Fungsional. Adapun tugas dari masing-masing kepala dan staf adalah sebagai
berikut:
1. Kepala Panti
Berkewajiban untuk memimpin dan mengarahkan anak buah (melakukan
fungsi-fungsi manajemen) agar bekerja dengan rasa tanggung jawab dan
jiwa pengabdian. Disamping itu kepala juga bertanggungjawab terhadap
keadaan kelayan dan keadaan panti secara keseluruhan termasuk kegiatan-
kegiatan dalam proses pemberian pelayanan rehabilitasi.
2. Bagian Tata Usaha
Mempunyai tugas melakukan urusan surat-menyurat, keuangan,
kepegawaian, penyediaan data dan penyusunan laporan rumah tangga.
3. Seksi Penyantunan
Mempunyai tugas menyiapkan bahan-bahan/ segala kebutuhan kelayan
mulai dari kebutuhan sehari-hari (keperluan mandi), bahan untuk praktek
ketrampilan, dsb, dalam rangka pemberian pelayanan rehabilitasi di Panti
Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta.
57
4. Seksi Rehabilitasi dan Penyaluran
Mempunyai tugas dalam memberikan pelayanan rehabilitasi dan
mempersiapkan penyaluran kerja dari para kelayan.
5. Koordinator Jabatan Fungsional
Mempunyai tugas memberikan pembinaan/bimbingan kepada kelayan
sesuai dengan bidang tugas masing-masing (Agama, Olah Raga,
Ketrampilan, paramedis, dll).
Adapun bagan struktur organisasi Panti Karya Wanita “Wanita Utama”
Surakarta adalah sebagai berikut:
Gambar 2.1 Struktur Organisasi PKW “Wanita Utama” Surakarta
Sumber: PKW “WU” Surakarta tahun 2009
KEPALA PANTI
KASIE PENYANTUNAN
KOORD JABATAN
FUNGSIONAL
KASIE REHABILITASI DAN PENYALURAN
KASUBAG TATA USAHA
58
D. Keadaan Pegawai
Para pegawai Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta merupakan
pegawai Unit Pelaksana Teknis ( UPT ) Kantor Dinas Kesejahteraan Sosial
Propinsi Jawa Tengah, dengan pegawai seluruhnya berjumlah 43 pegawai
ditambah 2 orang tenaga honorer yaitu petugas keamanan dan tukang kebun.
Berikut data pegawai Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
menurut latar belakang Pendidikan.
Tabel 2.1 Jumlah Pegawai Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan
L P Jumlah No. Latar belakang pendidikan
Σ % Σ % Σ % (1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)
1. Sarjana 8 44,42 9 36 17 39,53 2. Sarjana Muda - 0 4 16 4 9,30 3. SLTA 8 44,44 11 44 19 44,18 4. SLTP 2 11,11 - 0 2 4,65 5. SD - 0 1 4 1 2.32
Jumlah 18 100 25 100 43 100 Sumber data: PKW “WU” tahun 2009
Dari Tabel 2.1 di atas, diketahui bahwa pendidikan tertinggi pegawai
PKW adalah Sarjana( S1), tetapi sebagian besar pegawai adalah berlatar
belakang pendidikan SLTA yaitu sebesar 44,18 % dari keseluruhan jumlah
pegawai, yang mana sebagian besar berjenis kelamin perempuan. Sedangkan
pendidikan terendahnya lulusan SD yaitu seorang perempuan.
Sedangkan data pegawai menurut Golongan Ruang dapat dilihat dalam
tabel berikut:
59
Tabel 2.2 Jumlah Pegawai Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Berdasarkan Golongan Ruang
L P Jumlah No. Gol./ Ruang Σ % Σ % Σ %
(1) (2) (2) (3) (4) (5) (6) (7)
1. Pembina (IV / a ) - 0 1 3,84 1 2,32 2. Penata TK. I ( III / d ) 5 29,41 3 11,53 8 18,60 3. Penata (III / c ) 2 11,76 6 23,07 8 18,60 4. Penata Muda TK. I(III / b) 2 11,76 9 34,61 11 25,58 5. Penata Muda ( III / a ) 4 23,53 3 11,53 7 16,27 6. Pengatur TK. I ( III / d) 1 5,88 3 11,53 4 9,30 7. Pengatur ( II / c ) 2 11,76 - 0 2 4,65 8. Pengatur Muda ( II / a ) 1 5,88 - 0 1 2,32 9. Juru TK. I ( I / d ) - 0 1 3,58 1 2,32
Jumlah 17 100 26 43 100 Sumber data: PKW “WU” tahun 2009
Dari tabel 2.2, pegawai PKW berdasarkan golongan ruang sebagian besar
adalah Penata Muda TK I (III/ b) yang berjumlah sekitar 11 orang (25.58 % )
dimana perempuannya lebih besar (9 orang) dari pada laki-lakinya yang hanya
2 orang.
E. Bangunan di Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta
Bangunan atau gedung yang ada di Panti Karya Wanita “Wanita Utama”
Surakarta terdiri atas tiga bangunan utama: gedung induk, gedung aula, dan
kios kerja. Di dalam gedung induk selain terdapat ruang kerja kepala panti,
ruang kerja bagi sub seksi penyantunan, ruang kerja seksi urusan tata usaha
dan ruang kerja bagi kelompok jabatan fungsional, juga terdapat asrama bagi
kelayan. Ada juga sebuah ruangan tempat tinggal bagi ibu asrama yang tidak
lain adalah salah satu kelayan.
60
Jumlah kamar bagi kelayan seluruhnya ada delapan kamar yang dibagi
untuk 7 kelompok, dimana masing-masing kamar dilengkapi dengan empat
tempat tidur susun satu, sebuah almari pakaian yang diberi penyekat untuk
masing-masing kelayan, satu meja tulis dengan kursinya dan satu cermin hias.
Di dalam gedung dilengkapi dengan ruang MCK (mandi, cuci, kakus), satu
tempat cuci pakaian masal. Ada juga satu ruang dapur dengan tempat mencuci
alat masak tersendiri, satu ruang makan bersama dengan tujuh meja dan kursi
panjang yang digunakan untuk tujuh kelompok tersebut, satu ruang kesehatan,
satu gudang, satu ruang komputer, serta satu ruang kamar petugas keamanan
dan tukang kebun.
Sebuah gedung utama lain yaitu gedung aula yang disamping berfungsi
sebagai aula juga merupakan ruang pendidikan dan ketrampilan menjahit, tata
boga dan salon. Selain itu juga terdapat kios kerja yaitu ruangan untuk
menyimpan hasil ketrampilan/ kerajinan tangan kelayan. Kios kerja ini dibagi
menjadi tiga yaitu untuk jurusan menjahit, memasak dan salon.
Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta juga memiliki sebuah
masjid sebagai sarana ibadah bagi kelayan dan pegawai dan juga memiliki
halaman yang cukup luas yang berfungsi sebagai tempat olah raga dan juga
sebagai tempat parkir. Selain itu juga terdapat satu rumah dinas.
F. Kerjasama Panti Karya Wanita “Wanita Utama”Surakarta dengan
Instansi Lain
Pelaksanaan program pembinaan melalui rehabilitasi sosial terhadap eks
WTS, PKW “Wanita Utama” Surakarta di samping bekerja sama dengan
61
Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi dan kota/ kabupaten lain juga menjalin
hubungan kerjasama dengan instansi lain ataupun organisasi sosial
kemasyarakatan yang relavan dengan pemberian materi pembinaan/ pelatihan.
Demikian juga dalam hal praktek belajar kerja (PBK) bagi kelayan yang sudah
selesai mengikuti pembinaan.
Selama ini pihak PKW “Wanita Utama” Surakarta telah menjalin
hubungan kerjasama dengan beberapa pihak. Berikut adalah pihak-pihak yang
ikut bekerjasama dalam program pembinaan dari tahun 2007-
2009,diantarannya yaitu: (Lihat Tabel!)
Tabel 2. 3 Kerjasama PKW “Wanita Utama” Surakarta
Tahun 2007-2009
No. Instansi/ lembaga sosial masyararakat
Bentuk kerjasama
(1) (2) (3)
1 Departemen Agama Kota Surakarta
Pemberian bimbingan mental (pendidikan agama dan baca tulis Al Qur’an) secara rutin
2 Gereja Kristen Indonesia Coyudan
Pemberian bimbingan mental (pendidikan agama) secara rutin
3 Pondok Sobron Pajang Bimbingan mental secara rutin(pendidikan agama dan baca tulis Al Quran) secara rutin
4 Polsek Laweyan Bimbingan sosial (kesadaran hukum) secara insidental
5 Dinas Kesehatan Kota Surakarta
Bimbingan fisik (pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan kesehatan ) dan bimbingan sosial (pencegahan AIDS) secara rutin dan insidental
6 Puskesmas Pajang Pemeriksaan dan pengobatan kelayan yang sakit secara rutin dan insidental
7 RSU dr. Moewardi Pemeriksaan kesehatan secara insidental 8 PKK Kota Surakarta Bimbingan sosial (PKK dan Tata laksana
Rumah Tangga) secara insidental 9 FPOK FKIP UNS Bimbingan fisik (olahraga) secara
insidental
62
10 Salon Modissa Bimbingan ketrampilan (salon) dan PBK secara insidental
11 PT. Batik Danar Hadi Surakarta
Bimbingan ketrampilan (membatik dan jahit) secara insidental
12 Konveksi Kerten Mulyo Kartasura
Bimbingan ketrampilan (menjahit) secara insidental
13 BP7 Colomadu Bimbingan mental (P4) dan Bimbingan sosial (kesadaran hukum) secara rutin
Sumber data: PKW “WU” Surakarta
G. Alat Peraga Pembinaan
Alat peraga pembinaan merupakan sarana pelengkap bagi materi
pembinaan selama program berlangsung. Adapun pembinaan yang diberikan
meliputi: pembinaan fisik, pembinaan mental, pembinaan sosial serta
pembinaan ketrampilan.
Untuk pembinaan fisik yang meliputi olah raga, pemeriksaan badan dan
pengetahuan kesehatan serta gizi, alat peraga terdiri dari seperangkat alat olah
raga bola voli, bulu tangkis, tenis meja, gambar-gambar tentang kesehatan dan
gizi, termometer, penimbang badan, dan alat ukur tekanan darah. Untuk
pembinaan mental meliputi: pendidikan agama, pendidikan budi pekerti, iqro’,
dan alat-alat peraga lain yang disesuaikan menurut kebutuhan agama masing-
masing yang dianut oleh kelayan. Untuk pembinaan sosial materi yang
diberikan meliputi: pendidikan kependudukan/ Keluarga Berencana (KB),
kemasyarakatan, pendidikan kesadaran hukum/ kedisiplinan/ Kamtibmas,
pengetahuan PKK, kewiraswastaan, berhitung, Kejar Paket A, pengetahuan
transmigrasi/ lingkungan hidup, hubungan antar manusia, dan bimbingan
pencegahan AIDS. Sedangkan untuk pembinaan ketrampilan yang terdiri dari
tiga jurusan tata boga, menjahit, dan salon. Alat peraganya antara lain sebagai
63
berikut: tata boga; kompor minyak, kompor gas, mixer, blender, panci, oven,
alat potong, parut kelapa, panci presto, dan gilingan es; menjahit: mesin jahit,
gunting, alat pengukur dan mesin obras; salon: gunting rambut, hair dryer,
jepit rambut, roll rambut, sisir, bak keramas, steamer, kursi untuk cuci muka,
dan rak dorong.
H. Kondisi Kelayan
PKW “Wanita Utama” Surakarta ditinggali para kelayan yang
sebelumnya berprofesi sebagai penjual cinta instan alias WTS. Menurut pihak
PKW sampai akhir tahun 2008 PKW “Wanita Utama” telah membina lebih
dari 2500 wanita tuna susila sejak panti ini berdiri. Berikut adalah jumlah eks
WTS/ kelayan yang dibina dari tahun 2007-2009 (Lihat tabel!)
Tabel 2. 4 Jumlah Kelayan PKW ”Wanita Utama” Surakarta
Tahun 2007-2009
No.
Tahun Jumlah Kelayan
(1) (2) (3)
1 2007 140 2 2008 140 3 2009 160
Jumlah 440 Sumber data: PKW “W U” Surakarta
Dari tabel 2.4 di atas dapat dijelaskan bahwa dalam setiap tahunnya PKW
menerima kelayan terbagi dalam dua tahap, yang masing-masing tahapnya
terdiri dari 70 orang (tahun 2007 dan 2008). Tetapi untuk tahun 2009, pihak
PKW mulai menerima 80 orang untuk tiap tahapnya. Dari 440 orang kelayan
tersebut tidak semua orang baru, ada sebagian kecil yang kembali menghuni
64
kembali PKW “ Wanita Utama” ada sekitar 3 % (13 orang) yaitu 8 orang di
tahun 2008 dan 5 orang di tahun 2009.
Kelayan sebanyak 440 orang tersebut berasal dari berbagai kota di Jawa
Tengah, yang sebagian besar masuk karena terkena operasi tertib (razia) yang
dilakukan oleh kepolisian bersama Dinas Kesejahteraan Sosial setempat.
Kelayan terbesar berasal dari daerah Surakarta yaitu 47,72 % (210 orang) dan
yang terkecil berasal dari daerah Yogyakarta,dan Sragen masing-masing
sebesar 0,22 % (1 orang). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 2. 5 Jumlah Kelayan Berdasarkan Asal Daerah Pengirim
Tahun 2007-2009
Tahun No Asal Daerah Pengirim 2007 2008 2009
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (7) 1 Cilacap 15 23 32 70 2 Banjarnegara 11 11 14 36 3 Boyolali 5 3 - 8 4 Grobogan 2 - - 2 5 Yogyakarta - 1 - 1 6 Magelang - 14 - 14 7 Purwodadi - 5 6 11 8 Klaten 18 4 4 26 9 Surakarta 47 61 102 210 10 Sukoharjo 15 10 - 25 11 Kudus 2 - - 2 12 Pemalang 6 1 - 7 13 Sragen 1 - - 1 14 Jepara 1 - 2 3 15 Wonogiri 7 - - 7 16 Karanganyar 5 6 - 11 17 Tegal 5 1 - 6
Jumlah 140 140 160 440 Sumber data: PKW “WU” Surakarta, tahun 2007-2009
65
Tabel 2.5 tersebut dapat dilihat bahwa dari tahun 2007-2009, Surakarta
adalah kota yang paling banyak mengirimkan WTS untuk dibina di PKW. Hal
tersebut dapat kita lihat dari jumlah pengiriman yaitu sebanyak 210 orang.
Meningkatnya jumlah WTS belakangan ini, pastinya ada banyak faktor
yang melatarbelakangi mereka terjun ke dunia pelacuran. Latar belakang
permasalahan mereka, secara sederhana dapat dikategorikan menjadi lima
kategori, yaitu lingkungan sosial, broken home, biologis, gangguan
psikologis,dan tekanan ekonomi tentunya.
Untuk tahun 2007-2009, latar belakang ekonomi yang menjadi penyebab
tertinggi di dalam pemilihan pekerjaan sebagai WTS, yaitu sebesar 80,90 %
atau 356 orang (Lihat Tabel!).
Tabel 2. 6 Jumlah Kelayan Berdasarkan Permasalahan
Tahun 2007-2009
Tahun No Permasalahan 2007 2008 2009
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Lingkungan Sosial 8 10 13 31 2 Broken Home 2 5 4 11 3 Biologis 11 13 17 41 4 Gangguan Psikologi - - 1 1 5 Tekanan Ekonomi 119 112 125 356
Jumlah 140 140 160 440 Sumber data: PKW “WU” Surakarta, tahun 2007-2009
Faktor penyebab tekanan ekonomi ini merupakan alasan yang sangat
klasik sekali. Alasan inilah yang mendasari mereka terjun ke pelacuran.
Mereka terdesak kebutuhan yang semakin lama semakin besar, tetapi tidak
ada penghasilan sama sekali. Dengan begitu mereka yang keimanannya tidak
kuat maka terjerumuslah mereka ke dalam dunia pelacuran.
66
Dilihat dari latar belakang pendidikannya, kelayan yang tidak tamat SD/
DO SD adalah yang menempati urutan pertama/ terbanyak. Untuk lebih
lengkapnya mengenai pendidikan para kelayan dapat dilihat pada tabel berikut
ini:
Tabel 2. 7 Jumlah Kelayan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tahun 2007-2009
Tahun No Tingkat Pendidikan 2007 2008 2009
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Buta Huruf 33 20 31 84 2 DO SD 51 41 34 126 3 SD 40 38 46 124 4 DO SMP 5 8 10 23 5 SMP 8 20 22 50 6 DO SMA/ SMK - 1 3 4 7 SMA/ SMK 3 12 14 29
Jumlah 140 140 160 440 Sumber data: PKW “WU” Surakarta, tahun 2007-2009
Tabel 2.7 di atas menunjukkan bahwa kelayan yang tidak tamat SD/ DO
SD menempati posisi pertama dari keseluruhan yaitu sebesar 28,63 % (126
orang). Hal tersebut dikarenakan tekanan ekonomi yang mengharuskan
mereka tidak melanjutkan pendidikannya, dan akhirnya mengambil jalan
pintas untuk mendapatkan uang/penghasilan, dengan kerja sedikit hasil
lumayan besar yaitu dengan menjadi WTS.
Pendidikan yang rendah dan kesadaran moral serta agama yang rendah
membawa mereka ke dunia pelacuran. Dari 440 orang kelayan tersebut, 408
orang beragama Islam (92,72 %) dan sisanya adalah Kristen/ Katolik yaitu
sebanyak 32 orang (7,27 %). (Lihat Tabel!)
67
Tabel 2.8 Jumlah Kelayan Berdasarkan Agama
Tahun 2007-2009
Tahun No Agama 2007 2008 2009
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Islam 133 129 146 408 2 Kristen/ Katolik 7 11 14 32
Jumlah 140 140 160 440 Sumber: PKW “WU” Surakarta, Tahun 2007-2009
Hidup yang tidak disertai keimanan membuat kelayan merasa bebas
melakukan hal apapun meskipun itu dilarang oleh agama. kesucian diri dan
sakralnya perkawinan bahkan mereka koyak-koyak karena terlanjur terjun ke
dunia pelacuran.
Hal tersebut terbukti dengan status dari kelayan yang sudah menikah/
kawin menempati urutan pertama yaitu sebesar 45.45 % atau sebanyak 200
orang dan 126 orang masih lajang/ belum kawin serta 114 orang adalah
janda.(Lihat Tabel!)
Tabel 2. 9 Jumlah Kelayan Berdasarkan Status Perkawinan
Tahun 2007-2009
Tahun No Status 2007 2008 2009
Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Belum Kawin 54 40 32 126 2 Kawin 55 65 80 200 3 Janda 31 35 48 114
Jumlah 140 140 160 440 Sumber data: PKW”WU” Surakarta, tahun 2007-2009
Dari tabel 2. 9 tersebut, sangat disayangkan ternyata status kawin tidak
menghalangi kelayan dulu untuk berprofesi sebagai WTS. Mereka tidak
68
memandang sakralnya perkawinan mereka. Mereka menghalalkan segala cara
untuk memenuhi tuntutan hidup mereka. Hal tersebut tambah ironis karena
profesi sebagai WTS yang dulu mereka jalani, selain keinginan sendiri
ternyata ada yang didukung oleh suami mereka.
Kemudian selanjutnya dari 440 kelayan tersebut, kelayan terbesar
berumur antara 31-35 tahun yaitu sebanyak 103 orang (23,41 %) dan terendah
berumur di atas 40 tahun yaitu sebanyak 48 orang (10,91 %). Untuk lebih
jelasnya bisa dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. 10 Jumlah Kelayan Berdasarkan Umur
Tahun 2007-2009 Tahun No Umur
2007 2008 2009 Jumlah
(1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 15 s.d. 20 tahun 22 17 12 51 2 21 s.d. 25 tahun 28 25 20 73 3 26 s.d. 30 tahun 21 26 30 77 4 31 s.d. 35 tahun 37 32 34 103 5 36 s.d. 40 tahun 19 23 46 88 6 Diatas 40 tahun 13 17 18 48
Jumlah 140 140 160 440 Sumber data: PKW “WU” Surakarta, tahun 2007-2009
69
69
BAB III HASIL PENELITIAN
A. Proses Pembinaan Eks Wanita Tuna Susila Melalui Rehabilitasi Sosial di
PKW “Wanita Utama” Surakarta
Program pembinaan sosial eks wanita tuna susila adalah salah satu
kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam mengatasi masalah
pelacuran yang marak saat ini. Untuk melaksanakan program ini, PKW
“Wanita Utama” Surakarta menjadi unit pelaksana teknis kantor wilayah
Dinas Sosial Jawa Tengah.
Sebagian besar kelayan yang dibina oleh PKW “Wanita Utama”
Surakarta hampir berasal dari hasil operasi tertib/ razia para WTS jalanan
yang dilakukan oleh Satpol PP, Dinas Sosial,dan Polri.
Sebelum diterima secara resmi menjadi kelayan di PKW, seorang
calon kelayan terlebih dahulu diidentifikasi untuk mengetahui latar belakang
keluarga, potensi setiap kelayan, umur, tingkat pendidikan, agama, status
perkawinan, dan status sosial ekonominya. Selain itu juga diselidiki penyebab
masuknya mereka ke dalam praktek pelacuran. Proses identifikasi ini
merupakan tahap pendekatan awal yang dilakukan oleh PKW “Wanita
Utama” terhadap kelayan. Setelah diidentifikasi, kelayan kemudian di
asramakan dan siap untuk mendapatkan pembinaan di PKW “Wanita Utama”
Surakarta. (Disimpulkan dari hasil wawancara dengan Ibu Endang tanggal 30
Maret 2009)
70
Dalam proses penerimaan kelayan yang dilakukan PKW ”Wanita
Utama” Surakarta, ada kriteria yang harus dipenuhi oleh calon kelayan, antara
lain sebagai berikut :
1. Wanita tuna susila berusia 17-35 tahun
2. Sehat jasmani dan tidak berpenyakit menular
3. Sehat rohani dalam arti tidak sakit ingatan/ tuna laras
4. Bersedia tinggal di asrama dan memenuhi ketentuan yang berlaku
dalam panti
5. Wajib mengikuti program bimbingan selama 6 (enam) bulan atau
maksimal 1 tahun
(Sumber: Leaflet PKW “Wanita Utama” tahun 2009)
Setelah mereka resmi menjadi kelayan, PKW “Wanita Utama”
Surakarta memberikan pembinaan meliputi: bimbingan fisik, bimbingan
mental, bimbingan sosial dan bimbingan keterampilan. Kegiatan tersebut
dilaksanakan selama enam bulan dan secara garis besar dibagi dalam 3 tahap
pembinaan, yaitu tahap I (Tahap Dasar), tahap II (Tahap Penjurusan), tahap III
(Tahap Peningkatan).
Dalam tahap dasar setiap kelayan memperoleh jadwal dan bimbingan
pelatihan yang sama, karena tahap ini merupakan tahap penyesuaian dan
adaptasi bagi kelayan. Baik adaptasi dengan kehidupan panti, dengan petugas
maupun dengan sesama kelayan yang lain. Tahap dasar ini juga mulai diamati
bakat, minat, dan potensi yang ada pada kelayan untuk kepentingan pemilihan
jurusan pada tahap selanjutnya. Dalam tahap ini, prosentase pembinaan
71
terbesar adalah masalah mental yaitu sebesar 60%, pembinaan keterampilan
sebesar 40%, dan sisanya 10% pembinaan yang lain. Pemberian jam
pembinaan mental yang besar pada awal program ini memberi petunjuk bahwa
memperbaiki mental dari eks WTS merupakan kegiatan pertama dan paling
utama. Seperti apa yang telah dikatakan oleh Ibu Anik T, selaku Kasie
Penyantunan:
“Pembinaan mental porsinya lebih besar dan itu memang yang paling utama dari semua pembinaan bimbingan . Masalahnya, yang rusak dari WTS itu khan mentalnya, kalau mentalnya baik semiskin apapun dia, dia pasti tidak akan terjerumus. Bimbingan lainnya hanyalah pendukung dari bimbingan mental.’’ (Hasil wawancara dengan Drs. Mustofa tanggal 30 Maret 2009) Pada tahap II, pembinaan mental prosentase pembinaan mental turun
menjadi 40%, karena pada tahap ini pembinaan mulai digeser ke arah
pemberian materi keterampilan dengan penggalian minat, bakat, dan potensi
kelayan.dengan prosentase naik menjadi 50%.
Sedangkan pada tahap III, pembinaan mental mendapat bagian 30%,
pelatihan keterampilan 60%,dan sisanya 10% bimbingan lainnya. Dalam tahap
ini kemampuan kelayan dipersiapkan untuk melakukan Praktek Belajar Kerja
(PBK) yang bekerja sama dengan instansi lain. (Disimpulkan dari wawancara
dengan Drs. Mustofa selaku Kasie Rehabilitasi dan Penyantunan tanggal 30
Maret 2009).
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai bentuk-bentuk kegiatan
pembinaan fisik, mental, sosial dan keterampilan akan dipaparkan pada bagian
tersendiri.
72
Waktu pembinaan di PKW “Wanita Utama” Surakarta dilaksanakan
pada pagi hari, sore hari dan malam hari. Pembinaan pagi dilaksanakan mulai
pukul 08.00 WIB sampai 13.00 WIB. Pembinaan sore hari dimulai pukul
16.00 WIB sampai pukul 17.30 WIB dan pembinaan malam hari dimulai
pukul 19.00 WIB dan berakhir pukul 20.30 WIB.
Selain memperoleh pembinaan berupa materi pelajaran dan
keterampilan, selama tinggal di PKW para kelayan juga dilatih kerjasama,
kedisiplinan serta tanggung jawab terhadap tugas rutin di panti. Untuk itu
sesuai dengan pembagian kelompok tiap kamar dan bagian tugas dari panti
diselesaikan, para kelayan dibagi dalam tujuh kelompok, yang masing-masing
kelompok dibimbing oleh dua orang karyawan panti.
Adapun tugas rutin yang harus diselesaikan oleh masing-masing
kelompok adalah: membersihkan ruang kantor, ruang pendidikan, WC/ kamar
mandi, ruang makan serta piket dapur. Maksud piket dapur adalah tugas untuk
memasak dan menyiapkan makanan kecil serta minuman bagi karyawan
selama jam kantor. Tugas rutin tersebut dilaksanakan secara bergilir selama
seminggu oleh masing-masing kelompok. (Hasil wawancara dengan Ibu
Endang tanggal 2 April 2009)
Selama mengikuti pembinaan, para kelayan tidak diperbolehkan
meninggalkan panti, kecuali memperoleh ijin dari pimpinan panti dengan
waktu yang telah ditentukan, mengingat mereka masih dalam proses
pembinaan.
73
Mengenai pembiayaan hidup sehari-hari seperti makan, minum,
keperluan mandi dan rias serta mencuci mereka memperoleh santunan dari
PKW. Adapun anggarannya diambil dari biaya rutin dan APBD.
Setelah pembinaan selesai dilakukan, pihak panti kemudian melakukan
penyaluran, mereka ada yang dikembalikan pada keluarga, dirujukkan pada
suami, diserahkan pada Dinas kesejahteraan sosial asal kelayan, dicarikan
kerja dan dinikahkan.
Dari laporan bagian penyaluran 3 tahun terakhir sebagian besar
dikembalikan kepada keluarga dan suami mereka masing-masing. Hanya
sedikit yang bisa dibantu PKW dalam mencari pekerjaan, yaitu untuk kelayan
yang benar-benar setelah pembinaan itu sangat terampil dan menguasai
keterampilan yang diberikan oleh panti dan tentunya berkemauan untuk
menjadi manusia yang lebih baik lagi. Dari tahun 2007 sampai tahun 2009,
PKW hanya dapat mencarikan 7 kelayan pekerjaan. Tapi sayangnya ada 2
orang yang yang dicarikan pekerjaan tapi kemudian tidak dimanfaatkan.
Alasannya karena tempatnya berada di Surakarta, sedangkan dia berada di luar
kota, sedangkan yang kelayan yang satunya setelah beberapa saat bekerja dia
tidak ada kecocokan dengan orang yang bekerja di sana. (Disimpulkan dari
hasil wawancara dengan Drs. Mustofa, tanggal 26 Desember 2009). Sebelum
mereka secara resmi keluar dari panti mereka mendapakan bantuan modal
kerja yang biasanya berupa peralatan yang sesuai dengan pilihan jurusan yang
dipilih mereka.
74
Jika digambarkan, proses pembinaan melalui rehabilitasi sosial
tersebut adalah seperti bagan ini:
Bagan 3.1 Proses Pembinaan Melalui Rehabilitasi di PKW “Wanita Utama”
Surakarta
WTS Jalanan
PKW Wanita Utama
Operasi Tertib/ Razia
Program Pembinaan Rehabilitasi Wanita Tuna Susila 1. Bimbingan Fisik 2. Bimbingan Mental 3. Bimbingan Sosial/ Kemasyarakatan 4. Bimbingan Keterampilan
Penyaluran: Dikembalikan pada keluarga, diserahkan Dinas Sosial,
dirujuk pada suami dinikahkan, dicarikan kerja.
75
B. Bentuk-Bentuk Kegiatan Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial di PKW “Wanita Utama” Surakarta
PKW “Wanita Utama” Surakarta dalam membina eks wanita tuna
susila melaksanakan berbagai kegiatan rehabilitasi sosial. Kegiatan-kegiatan
tersebut dari tahun ke tahun adalah sama sesuai dengan petunjuk teknis yang
diberikan Dinas Sosial Propinsi Jawa Tengah yang meliputi: bimbingan fisik,
bimbingan mental, bimbingan sosial/ kemasyarakatan, bimbingan
keterampilan.
Hal ini juga sejalan dengan pernyataan Bapak Drs.Mustofa selaku
KaSie Rehabilitasi dan Penyaluran saat diwawancarai:
“Dari tahun ke tahun pembinaan di sini belum mengalami perubahan-perubahan Mbak, pembinaannya masih selalu bimbingan fisik, mental, sosial dan keterampilan terus.” (Wawancara dilakukan tanggal 4 April 2009) Berikut adalah penjelasan dari berbagai bimbingan tersebut:
1. Bimbingan Fisik
Bimbingan fisik ini bertujuan untuk meningkatkan ketahanan fisik dan
kondisi kesehatan kelayan agar mereka mampu menyerap materi pembinaan
dengan baik. Ini dilakukan mengingat kondisi/ kesehatan kelayan yang pada
saat pertama datang, rata-rata dalam keadaan tidak begitu baik/ sehat. Seperti
pernyataan dua orang petugas PKW berikut ini:
“Saat pertama kali mereka datang, mereka terkesan jorok, tidak sopan, tidak punya etika, pakaian seronok, make up tebal, genit dan pemarah. Selama kurang lebih sebulan mereka memberontak, mungkin karena terbiasa hidup bebas dan tidak diatur-atur, sukanya marah-marah, maki-maki petugas dan seperti itulah. Kesehatan mereka cukup buruk, mungkin waktu di jalan tidak dirasa tapi setelah masuk panti baru ketahuan kalau mereka menderita penyakit.” (Wawancara dengan Ibu Endang tanggal 4 April 2009)
76
“Benar, pas mereka pertama kali kesini mereka nggak sopan,
enggak punya etika, enggak punya malu, nggak takut malah terkesan genit. Ada yang marah-marah, maki-maki, pokoknya parah Mbak. Kesehatannya juga kurang baik” (Wawancara dengan Ibu Anik T tanggal 4 April 2009)
Adapun kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam bimbingan Fisik yang
dilakukan PKW “Wanita Utama” adalah meliputi: olah raga, pemeriksaan
kesehatan, penyuluhan kesehatan serta pengetahuan tentang gizi.
Materi kegiatan bimbingan ini dilaksanakan selama 2 jam, yang setiap
jam latihannya 45 menit, berarti selama 90 menit setiap minggunya. Begitu
pula pemeriksaan kesehatan dan penyuluhan gizi serta penyuluhan kesehatan
diberikan selama 2 jam juga.
Kegiatan olah raga dilakukan pada hari Rabu dan Jumat setiap
minggunya. Pada hari Rabu, biasanya melakukan jenis olah raga yang berupa
permainan seperti: bola volley, kasti, basket dan lain-lainnya. Sedangkan
pada hari Jumat biasanya olah raga senam bersama-sama petugas PKW.
Mengenai pemeriksaan kesehatan, ada petugas dari Dinas Kesehatan
kota Surakarta yang datang ke PKW setiap minggunya. Berikut ini penuturan
Mawar(bukan nama sebenarnya) mengenai pemeriksaan kesehatan:
“Setiap minggu sekali, saya dan temen-temen diperiksa oleh Dinas Kesehatan Mbak. Kami diperiksa darah, ditensi, kalau ada yang sakit biasanya langsung dikasih obat. Atau kalau enggak kami di bawa Puskesmas.” (Wawancara dengan Mawar tanggal 9 April 2009) Begitu pula dengan kegiatan penyuluhan kesehatan dan gizi, ada
beberapa petugas dari Dinas Kesehatan yang memberikan penyuluhan kepada
kelayan. Materi yang diberikan adalah mengenai: pengertian gizi, fungsi gizi,
77
gizi untuk kesehatan, gizi untuk pertumbuhan, kecerdasan membutuhkan gizi,
gizi untuk daya tahan tubuh, gizi untuk produktivitas, dasar-dasar menyusun
menu dan sebagainya.
Disamping bimbingan fisik, untuk menjaga kondisi kelayan agar
dalam keadaan baik, setiap kelayan diberikan jatah makan 3 kali sehari
ditambah snack dengan menu yang dikonsultasikan dengan Dinas Kesehatan.
Selain itu kelayan juga setiap bulannya mendapat jatah sabun mandi, pasta
gigi, bedak, sabun cuci, sampo, pembalut dan lain-lain.
Beberapa kelayan menyatakan bahwa bimbingan fisik tersebut telah
memberikan hasil dan manfaat yang cukup berarti kepada mereka. Berikut ini
hasil wawancara yang dilakukan dengan beberapa kelayan tentang hasil dan
manfaat bimbingan fisik bagi mereka:
“Waktu di Panti dulu, saya dapat bimbingan fisik seperti olah raga, pemeriksaan kesehatan, penyuluhan dari petugas di sana. Manfaatnya bayak Mbak. Kondisi saya selama di sana baik, saya jarang sakit ,soalnya makannya teratur dan bergizi. Apalagi setiap minggunya diperiksa sama dokter. Jadi kalau ada yang sakit cepet ketahuan, kan WTS resiko keserang penyakit kelaminnya lumayan besar. Selain itu saya jadi bisa senam poco-poco. Saya juga mengerti sdikit-sdikit masalah gizi.” ( Wawancara dengan Nanik (bukan nama sebenarnya), tanggal 25 April 2009)
“Manfaatnya bimbingan fisik, ya...banyak Mbak, saya bisa sehat makannya teratur, bersih, jadi tau soal makanan bergizi. Dan yang kerasa banget badan saya jadi segeran karena rutin berolah raga. Terus badan saya juga selalu diperiksa dokter.” (Wawancara dengan Susi (bukan nama sebenarnya), tanggal 26 Maret 2009)
“Banyak banget manfaatnya, yaitu badan saya sehat terus, makannya terjamin meski kadang tidak sesuai selera. Saya jadi seneng olah raga, padahal dulu sama sekali ga suka,”
78
(Wawancara dengan Nisa (bukan nama sebenarnya),tanggal 26 Maret 2009) Dari berbagai penuturan mereka dapat disimpulkan manfaat yang
diperoleh dari bimbingan fisik adalah badan selalu sehat, karena makannya
teratur dan bergizi, kondisi badan selalu diperiksa dokter, rutin berolahraga
sehingga jarang sakit. Selain itu mereka tahu dan mengerti tentang gizi dan
kesehatan.
Berdasarkan laporan kegiatan PKW “Wanita Utama”, untuk tiga tahun
terakhir diketahui ada 7 orang yang menderita sakit kelamin, dan sisanya
hanya penyakit ringan seperti batuk, demam flu, dan penyakit ringan lainnya.
Secara sederhana bentuk-bentuk kegiatan fisik, hasil dan manfaat yang
dirasakan kelayan dari kegiatan tersebut dapat dilihat dari tabel berikut:
Tabel 3. 1 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Fisik, Hasil,
Kondisi Kelayan dan Manfaatnya
Hasil dan Kondisi kelayan Bentuk/ Jenis Kegiatan
Sebelum Program Sesudah Program
Manfaat
(1) (2) (3) (4) Olah raga · Jarang/ tidak olah
raga · Rutin olah raga · Rutin berolah raga
· Badan sehat Pemeriksaan kesehatan
· Kondisi fisik kurang baik
· Sering mengeluh sakit
· Jarang/ tidak pernah periksa
· Kondisi fisik baik · Tidak menderita
penyakit akut · Secara rutin
diperiksa
· Kelayan tidak saki-sakitan
· Penyakit cepat terdeteksi dan mendapat penanganan medis
Pemberian jatah makanan
· Makannya tidak teratur
· Makan teratur sehari 3 kali + snack
· Menu dikonsultasikan Dinas Kesehatan
· Kelayan sehat · Makan teratur · Jarang sakit
Penyuluhan tentang gizi dan kesehatan
· Kurang paham masalah gizi
· Tahu dan mengerti masalah gizi dan kesehatan
· Tahu dan mengerti tentang gizi dan kesehatan
79
2. Bimbingan Mental
Kegiatan bimbingan mental terdiri dari: dinamika kelompok,
bimbingan perorangan, P4, pendidikan budi pekerti, serta pendidikan agama
dan BTA(Baca Tulis Al-Qur’an. Tujuan dari bimbingan ini adalah utuk
membimbing dan memperbaiki mental/ psikologis para kelayan,
meningkatkan semangat untuk tidak mudah menyerah oleh keadaan serta
mampu mengangkat harkat dan martabat diri mereka sendiri kepada
kehidupan yang lebih baik/ layak. Adanya bimbingan mental ini
dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa permasalahan paling utama dan paling
sulit untuk diperbaiki dalam diri WTS adalah berkaitan dengan kondisi
mental. Dimana mental kebanyakan mereka telah terkondisi untuk
memperoleh uang dengan mudah tanpa harus bekerja keras atau secara
mudahnya mereka terbiasa untuk hidup malas. Mengingat akan hal itu maka
bimbingan mental teramat penting peranannya dalam mengembalikan mereka
ke arah yang benar. Secara nyata memang hasil dari bimbingan mental ini
tidak mudah dilihat. Karena disamping merupakan bagian dari pribadi orang,
juga setiap saat dapat berubah. Semua tergantung pada kesadaran diri pribadi
yang bersangkutan. Namun demikian perubahan ini setidaknya dapat dilihat
dari cara mereka berpakaian, beribadah, berbicara dan bertingkah laku. Seperti
yang dikemukakan oleh Bapak . Mustofa :
“Pembinaan mental bukan pekerjaan yang mudah, ini menyangkut kepribadian seseorang apalagi manusia kadang berubah-ubah sikap dan tingkah lakunya. Hasil dari pembinaan mental ini memang sulit untuk dilihat karena yang tahu mereka sendiri. Tapi setidaknya itu bisa dilihat dari tingkah laku dia sehari-hari, cara berpakaian, cara bicara, sama intensitas ibadah dia”
80
(Wawancara dengan Bapak Mustofa tanggal 26 Maret 2009)
Seperti kita ketahui ada banyak faktor yang menyebabkan seorang
wanita menjerumuskan dirinya sebagai wanita tuna susila. Untuk mengetahui
faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi mereka (kelayan) terjun ke dunia
pelacur dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan berikut ini :
“Saya sudah menikah Mbak, dah sembilan tahun malah. Semenjak krisis ekonomi keadaan rumah tangga saya kacau. Suami saya di PHK, sedangkan saya hanya pengangguran, sementara kebutuhan semakin meningkat, selain itu anak saya udah SD yang butuh biaya sekolah. Eh sudah miskin, malah suami saya kawin lagi dan jarang pulang lagi. Saya kesel, cemburu, marah ngeliat suami kayak gitu, akhirnya saya coba jadi pelacur, awalanya sih sedih tapi gimana lagi saya nggak bisa kerja apa-apa Mbak.”
(Wawancara dengan Ratna (bukan nama sebenarnya)n tanggal 24 November 2009)
Dari penuturan Ratna di atas dapat diketahui bahwa latar belakang ia
masuk ke dalam dunia pelacuran karena tekanan ekonomi, meskipun ternyata
faktor tersebut bukan menjadi penyebab satu-satunya ia terjun sebagai WTS.
Masih ada hal yang lain yaitu sakit hati terhadap sikap dan kelakuan suami
yang selingkuh.
Seorang kelayan lain yang bernama Arnita (bukan nama sebenarnya)
yang mengaku sudah tidak gadis lagi karena ketagihan bermain cinta,
menuturkan sebagai berikut:
“Saya jadi WTS karena coba-coba awalnya. Nggak tahu Mbak semenjak saya sudah menstruasi, saya pingin banget tidur sama laki-laki, pernah sih minta dikawinkan sama Bapak tapi dilarang karena waktu itu saya berumur 15 tahun. Ibu-ibu disini bilangnya saya ‘tegangan tinggi’ Mbak, susah sembuhnya, tapi ya namanya juga manusia ya Mbak, saya pengen normal juga, sampai akhirnya saya kena razia terus dimasukin ke Panti ini.” (Wawancara tanggal 24 November 2009)
81
Penuturan Arnita yang jelas itu memperlihatkan bahwa latar belakang
ia terjun ke dunia pelacuran karena dia mengalami hyperseks.
Berbeda dengan Arnita, Silla (bukan nama sebenarnya) menuturkan
latar belakang ia terjun ke menjadi WTS karena sakit hati pada pacar:
“Saya dulu kuper (kurang pergaulan) Mbak, sekali punya pacar saya malah saya disakitin, saya pernah tidur sama dia Mbak untungnya saya nggak hamil, tapi beberapa bulan setelah itu dia mutusin saya karena saya nggak becus ngeladenin dia, dia malah nikah sama orang lain. Ngeliat itu saya sakit hati Mbak, akhirnya saya turun ke jalan pengen ngebuktiin kalau saya becus, di jalan pelanggan saya banyak Mbak, tapi untungnya sekarang saya udah insyaf Mbak.” (Wawancara tanggal 24 November 2009) Dari penuturan Silla tersebut, jelas diketahui bahwa gangguan
psikologis karena sakit hati sama pacar membuat Silla menjerumuskan diri ke
dunia pelacuran.
Satu lagi pengalaman hidup yang melatarbelakangi kelayan terjun
menjadi WTS dituturkan oleh Mawar (bukan nama sebenarnya) asal Jepara:
“Saya sudah pernah nikah dua kali lho Mbak, tapi anak saya meninggal waktu umur 8 bulan. Saya sudah jadi WTS selama 6 tahunan, mulanya saya jadi WTS karena lihat bapak dan ibuk bertengkar, terus cerai dan bapak kawin lagi. Keadaan ekonomi pas-pasan karena ibuk cuma bakul (pedagang) kecil di jalan raya. Ibuk kawin lagi sama laki-laki genit yang suka godain saya, saya kabur dari rumah karena nggak tahan sama ibuk dan bapak. Pertama sih diajak temen, katanya kerja gituan gampang asal berani saja, saya nyoba, sampai jadi profesional gini, untung saya ketangkep Mbak, kalau nggak mungkin saya nggak eling-eling (ingat-ingat) Mbak sama Gusti Alloh.” (Wawancara tanggal 25 November 2009) Perceraian orang tua, disusul pelecehan seksual dan bujukan temen
yang membuat Mawar merelakan kehidupannya yang wajar menjadi pelacur.
82
Secara sederhana faktor/ motivasi yang melatarbelakangi kelayan
menjadi WTS dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 3. 2 Faktor-faktor Yang Menyebabkan Kelayan Menjadi WTS
No Latar belakang/ permasalahan Identifikasi (1) (2) (3) 1 Faktor Ekonomi · Krisis ekonomi (harga kebutuhan
meningkat) · Suami pengangguran · Terkena PHK
2 Gangguan Psikologi · Disakiti dan dendam dengan pacar · Disakiti, cemburu dan dendam pada
suami · Pelecehan seksual (diperkosa)
3 Lingkungan sosial · Diajak teman 4 Broken Home · Orang tua cerai 5 Hyperseks · Seks yang abnormal
Dari beberapa macam latar belakang tersebut, pihak PKW mempelajari
dan mengetahui pengaruhnya serta potensi yang dimiliki mereka. Dan
akhirnya menafsirkan seluruh kondisi dan menentukan rencana pemberian
pelayanan melalui treatment-treatment yaitu bimbingan mental, sosial, dan
latihan keterampilan, budi pekerti (kepribadian), integrasi masyarakat, dan
kamtibmas untuk mereka.
Mengingat betapa rapuhnya kondisi mental para kelayan dulunya maka
PKW kemudian menempatkan bimbingan mental sebagai bimbingan dengan
porsi yang cukup banyak pada awal bimbingan.
Materi yang diberikan untuk bimbingan budi pekerti yaitu mengenai:
pengertian tentang budi pekerti, ruang lingkup tata karma, berkomunikasi dan
prinsip-prinsip bertatakrama, hal-hal yang positif dan negatif dari pergaulan,
hal-hal yang simpatik dalam pergaulan, dan masih banyak materi lainnya lagi.
83
Materi-materi tersebut yang diberikan memang bukan hal yang baru bagi
kelayan, tapi hal itu tetap diberikan untuk mengingatkan kelayan.
Untuk materi pendidikan agama dalam hal ini agama Islam, materinya
adalah mengenai: iman kepada Allah, thoharoh dan shalat, Islam di masa
modern dan kebutuhan tentang agama, fiqih dan thoharoh, Islam sebagai
agama universal, datangnya hari kiamat, arti taqwa secara syariat,
menghormati orana lain, tajwid dan metode membaca Al Qur’an, dan lain-
lain. Sementara untuk yang beragama Kristen,materinya meliputi: pengakuan
iman rosul, arti dosa, doa pribadi, doa bapa kami, doa yang dijawab Tuhan,
rintangan-rintangan doa, pertobatan,dan lain-lainnya.
Untuk materi P4 materinya meliputi: Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa, Pancasila sebagai dasar negara, UUD 1945, proses lahirnya
UUD 1945, P4 dalam era globalisasi dan lain sebagainya.
Sementara untuk dinamika kelompok dan bimbingan perorangan ini
cenderung bersifat psikologis, materinya biasanya berupa permainan
membangkitkan solidaritas, latihan diskusi, motivasi dalam kelompok, dan
permainan membangkitkan suasana belajar. Beberapa kelayan sering datan
kepada petugas dan mengkonsultasikan beberapa masalahnya. Kedekatan
kelayan dan petugas membuat suasana kekeluargaan dapat tercipta.
Bimbingan mental yang diberikan kepada kelayan telah banyak
merubah diri kelayan. Para kelayan banyak yang sadar akan kekeliruannya di
masa lalu dan berniat tidak kembali lagi ke dunia pelacuran. Seperti penuturan
Mawar(bukan nama sebenarnya):
84
“Sekarang saya mau insyaf, saya nggak bakalan balik lagi jadi pelacur, sudah cukup segini aja pengalaman pahit ini. Saya pengen normal, pengen nikah sama laki-laki yang baik-baik dan bantu-bantu suami dengan keterampilan yang saya peroleh ini.” (Wawancara dengan Mawar, tanggal 9 April 2009) Mengenai hasil dan manfaat yang diperoleh kelayan dari bimbingan
mental ini, berikut hasil wawancara dengan beberapa kelayan:
“Selama disini, saya benar-benar merasa beragama Mbak, shalat, ngaji, tahu sopan santun, tahu kalau yang saya lakukan dulu itu dosa besar. Ya sebenarnya dulu saya tahu itu dosa, tapi dulu saya nggak begitu perhatikan, yang penting uang. Bener-bener ini membuat saya insyaf Mbak, mudah-mudahan.” (Wawancara dengan Vinta (bukan nama sebenarnya) tanggal 9 April 2009)
“Akhirnya saya sadar dari masa lalu saya yang gelap dulu Mbak sekarang saya rajin shalat, ngaji, nggak berpakaian seksi lagi. Niatnya setelah keluar dari sini saya akan berjilbab, Insya Allah nggak akan kerja menjual diri lagi, sekarana bener-bener takut dosa” (Wawancara dengan Sari (bukan nama sebenarnya) tanggal 9 April 2009)
“Dulunya saya bener-bener kurang ajar Mbak, pas datang kemari nggak tahu sopan santun, menor, genit, pokoknya yang jelek-jelek deh, tapi alhamdulillah saya sadar dan tobat, apalagi terus-terusan diberi pelajaran agama, jadi semakin menjadi manusia yang baik dan normal” (Wawancara dengan Siska (bukan nama sebenarnya) tanggal 9 April 2009) Dari berbagai penuturan para kelayan tersebut, bimbingan mental ini
membuat mereka insyaf, sadar dan tobat dan tidak ingin kembali ke dunia
pelacuran lagi.
Secara sederhana bentuk-bentuk kegiatan Bimbingan Mental, hasil dan
manfaatnya dab perubahan kondisi kelayan dapat dilihat pada tabel 3. 2
berikut ini:
85
Tabel 3. 3 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Mental, Hasil,
Kondisi Kelayan dan Manfaatnya
Hasil dan Kondisi kelayan Bentuk/ Jenis Kegiatan
Sebelum Program Sesudah Program
Manfaat
(1) (2) (3) (4) Dinamika kelompok
· Malas melakukan kerja rutin
· Egois
· Akrab · Solidaritas tinggi
· Meningkatkan rasa kekeluargaan
· Solidaritas tinggi Bimbingan perorangan
· Enggan konsultasi dengan petugas
· Mau berkonsultasi dengan petugas
· Masalah terungkap
· Mendapat saran Pendidikan agama
· Jarang/ tidak pernah beribadah
· Rutin beribadah · Antusias mengikuti
kegiatan agama
· Rutin beribadah (shalat, puasa, mengaji)
Baca Tulis Al Quran
· Jaranng/ tidak pernah membaca Al Quran
· Tidak bisa membaca Al Quran
· Rutin membaca Al Quran
· Bisa membaca Al Quran
· Kelayan dapat membaca Al Quran
Pendidikan budi pekerti
· Tingkah laku tidak sopan
· Bicara tidak sopan · Pakaian tidak sopan · Pemberontak · Melakukan profesi
sebagai WTS · Hidup malas, bebas,
dan tidak teratur
· Tingkah laku sopan · Bicara sopan · Pakaian sopan · Tidak pemberontak · Tidak lagi berprofesi
sebagai WTS · Hidup teratur
· Tahu etika dan sopan santun
· Berpakaian sopan · Bicara sopan · Berjilbab
P4 · Tidak paham P4 · Tidak paham P4 · Kurang mendapat manfaat
3. Bimbingan Sosial/ kemasyarakatan
Bimbingan sosial/ kemasyarakatan adalah bimbingan yang bertujuan
untuk mengarahkan para kelayan kepada tata kerukunan dan kebersamaan
hidup bermayarakat, sehingga dapat menimbulkan kesadaran tanggung jawab
sosial para kelayan, baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat.
Materi pembinaan sosial meliputi materi pelajaran: kependudukan/
KB, pendidikan kesadaran hukum, pengetahuan transmigrasi/ lingkungan
86
hidup, hubungan antar manusia, bimbingan sosial pencegahan AIDS,
pengetahuan PKK, kewiraswastaan dan kesenian.
Materi kesadaran hukum bertujuan menanamkan tanggung jawab dan
kewajiban kelayan sebagai warga negara Indonesia. Melalui materi ini juga,
kelayan diberi pengetahuan dan pengertian tentang peraturan-peraturan
perundangan yang telah mereka langgar sebagai akibat profesi sebagai WTS.
Tidak hanya itu, karena melalui pendidikan kesadaran hukum juga diajarkan
mengenai tugas, hak dan kewajiban sebagai bagian dari warga masyarakat dan
warga negara. Sehingga diharapkan semua itu dapat menggugah kesadaran
para kelayan untuk berpikir lebih luas dan jauh kedepan, tidak hanya untuk
kepentingan sendiri tetapi kepentingan orang lain. (Disimpulkan dari hasil
wawancara dengan Bapak Mustofa, tanggal 11 Mei 2009).
Materi lain dari bimbingan sosial yaitu, materi pelajaran
kewiraswastaan. Materi ini bertujuan agar para kelayan mampu mengelola
usaha maupun penghasilan dari pekerjaan yang akan mereka tekuni nantinya.
Untuk materi bimbingan sosial pencegahan AIDS bertujuan
mengetahui secara lebih jauh mengenai resiko terserangnya penyakit ini maka
para kelayan melakukan tes pemeriksaan darah. Pemeriksaan ini dilakukan
mengingat beberapa ahli kesehatan memperkirakan bahwa WTS mempunyai
resiko yang besar untuk terkena AIDS, sebab mereka melakukan hubungan
seks secara bebas.
Materi tata laksana rumah tangga dan PKK meliputi: pengertian tata
laksana rumah tangga, sumber-sumber pendapatan dalam rumah tangga,
87
praktek memasak, tugas-tugas wanita, tata cara menata ruang dan masih
banyak lagi materi yang dberikan. Kegiatan ini dilakukan oleh ibu-ibu PKK
dan Dharma Wanita dibantu petugas.
Kelayan juga mendapatkan bimbingan sosial/ kemasyarakatan
mengenai pengetahuan transmigrasi dan lingkungan hidup. Adapun materi
mereka terima mencakup: pengetahuan transmigrasi, jenis-jenis transmigrasi,
pelaksanaan transmigrasi, hak transmigrasi, pembinaan khusus bagi calon
transmigran, syarat-syarat-syarat untuk mengikuti transmigrasi transmigrasi
dan lain-lain.
Sementara materi mengenai KB dan kependudukan meliputi: arti KB,
tujuan KB, mengenal program KB, pengantar awal kependudukan,
perkembangan penduduk Indonaesia, cara-cara KB tradisional, jenis-jenis alat
kontrasepsi, dan lain-lainnya.
Kegiatan lainnya yang termasuk bimbingan sosial kemasyarakatan
adalah kesenian, pada materi ini kelayan diperkenalkan: tanda-tanda birama,
fungsi kesenian dalam kehidupan sehari-hari, kesenian sebagai hiburan untuk
menyalurkan bakat/ minat, kesenian utuk mempertahankan kebudayaan dan
kesenian untuk memupuk jiwa seni.
Hasil dan manfaat dari kegiatan tersebut telah dapat dirasakan oleh
kelayan, berikut penuturan dari seorang kelayan yang bernama Warni(bukan
nama sebenarnya):
“Bimbingan sosial ini memberi manfaat banyak buat saya, disamping keterampilan. Disini saya mulai mengerti bahwa ternyata hidup menjadi manusia itu ternyata banyak aturannya, tapi semua dapat membuat kita senang.”
88
(Wawancara dengan Warni(bukan nama sebenarnya) tanggal 9 April 2009).
Sedangkan kelayan yang lain yang bernama Nanik (bukan nama
sebenarnya) menuturkan sebagai berikut:
“Pelajaran kemasyarakatan yang saya terima dulu di Panti benar-benar dapat saya rasakan sekarang Mbak, meskipun kadang masih ada yang menyindir saya karena dulu WTS, tapi saya sekarang tabah, itu akibat yang harus saya terima tapi saya bersyukur tidak seperti dulu lagi. Saya sekarang bantu-bantu tetangga saya di warung makan, kebetulan jurusan saya masak. Gotong royong juga saya sekarang suka.” (Wawancara dengan Nanik (bukan nama sebenarnya) tanggal 23 Mei 2009) Dari pengakuan dua kelayan di atas menunjukkan bahwa pembinaan
sosial terutama tentang hidup bermasyarakat sangat membantu mereka untuk
hidup di masyarakat. Disamping itu pelajaran bermasyarakat juga memberikan
mereka kesadaran bahwa hidup bermasyarakat harus dapat menyesuaikan diri
dan tidak boleh tersinggung. Lebih-lebih apabila individu tersebut telah
mendapat kesan yang negatif dari masyarakat.seperti mereka.
Berdasarkan pengamatan yang dilakukan di Panti, penerapan
kedisiplinan terhadap kelayan telah terlaksana dengan baik. Meskipun tidak
tertutup kenyataan bahwa masih ada satu dua kelayan yang masih harus
dipaksa atau diingatkann mengenai tugas dan tanggung jawab atau
kewajibannya Terutama dalam mengikuti pelajaran dalam kelas.
Tidak jauh berbeda dengan materi P4 dan budi pekerti beberapa
kelayan juga mengeluh merasa bosan dengan pelajaran yang isinya cuma
ceramah saja. Mereka menganggap materi-materi tersebut lebih cocok untuk
anak sekolahan. Seperti penuturan Mawar:
89
“Saya berpikir apakah besok di luar PKW ini masyarakat mau menerima saya lagi dan saya bisa seperti yang saya harapkan, pelajaran-pelajaran seperti kamtibnas, kesadaran hukum, transmigrasi. Emang penting Mbak, tapi mendingan keterampilan yang nantinya bisa bener-bener dimanfaatkan. Pelajaran sekolahan bikin bosen Mbak ,bikin ngantuk.” (Wawancara dengan Mawar, tanggal 21 Agustus 2009) Secara sederhana bentuk-bentuk kegiatan, hasil, manfaat, dan
perubahan kondisi kelayan sebelum dan sesudah program bimbingan sosial
terngkum dalam tabel 3. 4 berikut ini:
Tabel 3. 4 Bentuk-bentuk Kegiatan Bimbingan Sosial, Hasil,
Kondisi Kelayan dan Manfaatnya
Hasil dan Kondisi kelayan Bentuk/ Jenis Kegiatan
Sebelum Program Sesudah Program
Manfaat
(1) (2) (3) (4) Keluarga Berencana
· Belum paham · Sedikit paham · Mengetahui cara KB yang benar
Kesadaran Hukum/ Kamtibmas/ kedisiplinan
· Tidak disiplin · Disiplin · Hidup disiplin (bangun jam 4.30, mengerjakan tugas rutin,dll)
Transmigrasi · Tidak paham · Tidak paham · Kurang bermanfaat Hubungan antar manusia
· Sulit berinteraksi · Berusaha berinteraksi
· Sadar interaksi dan adaptasi dengan masyarakat cukup sulit
Pencegahan AIDS · Belum paham · Sedikit paham · Tahu AIDS dan akibatnya
PKK · Belum paham · Sedikit paham · Menerapkan pengetahuan PKK khususnya yang berupa keterampilan
Kewirausahaan · Belum paham · Sedikit paham · Tahu cara berwirausaha yang benar dan menguntungkan
kesenian · Bisa menyanyi tapi asal
· Bisa menyanyi dengan benar
· Bisa menyanyi dan menggunakan tape karaoke
· Teori kesenian kurang bermanfaat, sulit dipahami
90
4. Bimbingan Keterampilan
Bimbingan yang diberikan meliputi menjahit/ tata busana, memasak/
tata boga, salon/tata rias, dan keterampilan lainnya seperti keterampilan
tangan, membatik, menyulam, membordir, mandi lulur, rias penganten dan
home industri. Adapun tujuan pemberian keterampilan ini agar kelayan
memperoleh pengetahuan dan keterampilan sehingga pada akhirnya mereka
dapat membuka usaha sendiri dari keterampilan yang dimilikinya atau sebagai
bekal untuk mencari pekerjaan dalam upaya mewujudkan kemandirian dalam
hidup bermasyarakat.
Untuk jenis keterampilan memasak yang diberikan adalah meliputi:
praktek membuat putu ayu,tahu broseri, misoa mahkota, klepon, agar-agar ubi,
stick cumi-cumi, tahu telur, donat, tahu lapis, semar mendem, bolu zebra,
carang gesing, bolu sakura, cake roti tawar, wedang ronde,dan lain-lainnya.
Untuk keterampilan menjahit materi yang diberikan: pengetahuan
dasar mesin dan cara-cara menjahit, evaluasi dasar menjahit, pengambilan
ukuran pakaian, macam-macam ukuran, menggambar pola dasar wanita,
menggambar macam-macam lengan dan kerah, menggambar pola rok,
menggambar pola blus, menjahit rompi, dan lain-lain.
Untuk kap salon, materi yang diberikan meliputi: pengertian dan
pengenalan alat, praktek memotong rambut, praktek pembagian rambut dan
cara membuat lulur tradisional, praktek sanggul jawa, praktek make up,
91
praktek semir rambut, teori dan praktek facial, praktek semir rambut, praktek
creambath, praktek pangkas dasar,dan lain-lain.
Sedangkan untuk materi keterampilan-keterampilan lainnya
dipaparkan sebagai berikut:
· Mandi lulur
Materinya: teori mandi lulur, bahan-bahan untuk membuat lulur, praktek
membuat lulur dan praktek mandi lulur.
· Rias pengantin
Materinya: teori tentang tata rias penganten, teori dan praktek
menggambar paes pengantin, teori dan praktek merias wajah dan
menyanggul dan teori dan praktek memakai pidih.
· Menyulam
Materinya: teori dan praktek dasar menyulam, teori macam-macam tusuk
hias, praktek dasar oplikasi, teori dan praktek menyulam taplak meja,dan
lain-lain
· Keterampilan tangan:
Materinya: membuat tas dari benang filamine, praktek membuat dompet
dari benang nilon, praktek memasang dasi, membuat keset, membuat alas
gelas/ tatakan dan lain-lain.
· Membatik
Materinya: teori singkat sejarah singkat batik, istilah-istilah batik,
pembatikan pola kembang, peralatan membatik, bahan-bahan untuk
membatik, pencelupan warna dasar, dan lain-lain.
92
· Bordir
Materinya: pengenalan alat border, membuat dasar-dasar border, dan
membordir.
Setelah kelayan dianggap memahami dan menguasai keterampilan
tersebut, nantinya kelayan akan melakukan praktek belajar kerja (PBK). PBK
ini dilakukan dengan kerja sama instansi lain yang terkait, dengan sistem
magang. Beberapa tempat yang dijadikan tempat PBK kelayan antara lain PT.
Batik Danar Hadi untuk jurusan menjahit, salon Pasifik Makamhaji dan kios
kerja PKW untuk jurusan salon dan untuk jurusan memasak PBK menerima
pesanan serta membuat aneka makanan kecil untuk dititipkan di kantin dan
warung-warung depan panti sendiri. (Disimpulkan dari wawancara dengan
Bapak Mustofa, Ibu Anik T, dan Ibu Endang pada tanggal 11 Mei 2009))
Menurut penuturan beberapa kelayan bimbingan keterampilan ini telah
memberikan manfaat yang besar bagi mereka. Berikut penuturan beberapa
kelayan tentang hasil dan manfaat dari bimbingan tersebut:
“Sebenarnya sebelum saya masuk sini, saya sudah bisa sedikit cara menjahit, tapi masalah potong memotong pola dan bikinnya yang susah. tapi setelah di sini saya mulai bisa Mbak, jahitan saya rapi banget.”
(Wawancara dengan Ira, tanggal 13 Agustus 2009)
“Sebelum ke sini saya belum bisa apa-apa, makanya dulu saya jadi WTS, tapi sekarang saya sedikit-sedikit bisa bikin keterampilan. Bisa bikin bunga dari plastik, bikin figura, bikin tali rambut, terutama potong rambut dan rias muka. Saya pingin buka salon kecil-kecilan setelah keluar dari sini Mbak.”
( Wawancara dengan Ratna,tanggal 19 Agustus 2009)
“ Saya merasakan setelah disini saya sekarang bisa membuat bermacam-macam kue, kalau sayur bening dari dulu juga bisa, tapi
93
kalau kue kan masih bener baru buat saya Mbak. Niatnya setelah keluar dai sini saya pengin jualan aja, mudah-mudahan ada modalnya.” ( Wawancara dengan Santi, tanggal 19 Agustus 2009) Dari penuturan-penuturan di atas kita dapat melihat bahwa pada
umumnya para kelayan menguasai keterampilan yang diberikan, walaupun
tidak maksimal, namun sedikitnya kelayan telah memahami dan menguasai
keterampilan tersebut untuk dimanfaatkan kelak di masyarakat.
Secara sederhana bentuk-bentuk kegiatan bimbingan keterampilan,
hasil, kondisi kelayan dan manfaatnya dapat dilihat pada tabel 3. 5:
Tabel 3. 5 Bentuk-Bentuk Kegiatan Bimbingan Keterampilan Hasil,
Kondisi dan Manfaatnya
Hasil dan Kondisi kelayan Bentuk/ Jenis Kegiatan
Sebelum Program Sesudah Program
Manfaat
(1) (2) (3) (4) Memasak · Bisa sedikit
memasak tapi tidak terampil
· Bisa memasak dan terampil
· Dapat membuat aneka macam masakan dan kue.
· Menjualnya di warung dan kios kerja
· Menambah penghasilan
Menjahit · Tidak terampil · Terampil · Dapat menjahit · Membantu kelayan
lain menjahitkan baju
Kap salon · Belum bisa · bisa · Bisa memotong rambut
· Bisa praktek sanggul · Bisa memake up,dll
Mandi lulur · Tidak bisa · Bisa · Tahu bahan membuat lulur dan membuatnya
· Bisa praktek mandi lulur
Rias penganten · Tidak bisa · Bisa · Bisa merias wajah penganten
· Dapat menambah
94
penghasilan Menyulam · Tidak bisa · Bisa · Bisa menyulam
· Dapat menambah penghasilan
Membatik · Tidak bisa · Bisa · Bisa membatik Bordir · Tidak bisa · Bisa · Bisa membordir
· Bisa menambah penghasilan
C. Keefektifan Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial di PKW “Wanita Utama” Untuk mengetahui efektif tidaknya program pembinaan eks WTS
melalui rehabilitasi sosial di PKW “Wanita Utama” Surakarta, penelitian ini
menggunakan indikator: waktu pencapaian, pengaruh yang diinginkan, dan
komunikasi yang terbuka.
Berikut Uraiannya:
1 Waktu Pencapaian
Waktu yang diperlukan untuk proses pembinaan di PKW “Wanita
Utama” Surakarta ini sekitar 6 (enam) bulan. Dalam kurun waktu tersebut
para kelayan harus mengikuti semua kegiatan bimbingan yang PKW sudah
tentukan. Waktu sekitar 6 (enam) bulan ini sudah dirasa cukup untuk
menguasai semua materi dari semua bimbingan. Mengingat materi sudah
terjadwal dan terperinci pembagian jam latihannya. Selain itu
pengasramaan kelayan turut mendukung pencapaian waktunya. Lain
halnya bila mereka tidak di asramakan, pasti akan memakan waktu yang
lama. (Disimpulkan dari wawancara Bapak Istanto, selaku Kepala PKW
“Wanita Utama”, tanggal 20 Agustus 2009)
95
Berikut adalah pembagian jumlah latihan masing-masing
kelompok materi pembinaan selama 6 bulan secara terperinci adalah :
1. Bimbingan Fisik
a. Olah raga : 40 jam latihan/ bimbingan
b. Pemeriksaan badan : 40 jam latihan/ bimbingan
c. Penyuluhan gizi dan kesehatan : 40 jam latihan/ bimbingan
Jumlah : 120 jam latihan/ bimbingan
2. Bimbingan Mental/ Psikologi
a. Dinamika kelompok : 40 jam latihan/ bimbingan
b. Bimbingan perorangan : 40 jam latihan/ bimbingan
c. P4 : 40 jam latihan/ bimbingan
d. Pendidikan agama : 160 jam latihan/ bimbingan
e. Baca Tulis Al Quran : 40 jam latihan/ bimbingan
Jumlah 320 jam latihan/ bimbingan
3. Bimbingan Sosial/ Kemasyarakatan
a. Kependudukan/ KB : 12 jam latihan/ bimbingan
b. Bimbingan sosial hidup bermasyarakat : 28 jam latihan/ bimbingan
c. Pendidikan kesadaran hukum : 40 jam latihan/ bimbingan
d. Pengetahuan PKK : 40 jam latihan/ bimbingan
e. Human Relation : 12 jam latihan/ bimbingan
f. Bimbingan sosial pencegahan AIDS : 40 jam latihan/ bimbingan
Jumlah 172 jam latihan/ bimbingan
96
4. Bimbingan Keterampilan
a. Menjahit : 160 jam latihan/ bimbingan
b. Salon : 160 jam latihan/ bimbingan
c. Memasak : 160 jam latihan/ bimbingan
d. Keterampilan lainnya : 444 jam latihan/ bimbingan
Jumlah 924 jam latihan/ bimbingan
Keterangan : 1jam latihan/ bimbingan = 45 menit
Dalam waktu enam bulan itu para kelayan sebagian besar sudah
bisa memahami dan menguasai bimbingan-bimbingan yang Panti berikan.
seperti penuturan-penuturan beberapa kelayan berikut ini:
“Saya selama enam bulan di sini, sudah banyak menerima bimbingan dan pelatihan Mbak, yaitu fisik, mental, sosial, macam-macam keterampilan dan bahkan magang.” (Wawancara dengan Ratih (bukan nama sebenarnya), tanggal 29 November 2009)
“Waktunya cukup banget Mbak, bahkan selama lima bulan aja saya dah dapat semua bimbingan, itu karena semua terjadwal dari dan kami harus mengikutinya bahkan sampai malam.” (Wawancara dengan Siti (bukan nama sebenarnya), tanggal 29 November 2009)
Dari penuturan-penuturan tersebut dapat disimpulkan bahwa waktu
yang diperlukan selama enam bulan itu kelayan sudah mendapatkan
semua bimbingan yang diberikan oleh Panti, sehingga dapat dikatakan
proses pembinaan tersebut berjalan efektif.
2 Tingkat pengaruh yang diinginkan
Indikator yang kedua ini mempunyai maksud apakah selama
kelayan mengikuti semua bimbingan yang diberikan dapat mempengaruhi
97
kelayan untuk berubah menjadi seperti yang diinginkan pihak Panti,
tentunya seperti yang menjadi tujuan program pembinaan rehabilitasi
sosial. Berikut adalah efektifitas pembinaan dilihat dari tujuan program:
a. Kelayan tidak ada niat dan tidak lagi menjalani profesi sebagai WTS
Program pembinaan rehabilitasi sosial ini dapat efektif manakala
kelayan yang telah dibina tidak kembali lagi ke dunia pelacuran dan dapat
hidup di masyarakat secara wajar dan memperoleh pekerjaan yang layak
atau paling tidak kelayan sudah tidak mempunyai niat untuk kembali
menjadi wanita tuna susila. Seperti pernyataan Drs. Mustofa berikut ini :
“Program juga dipandang efektif, kalau kelayan yang dibina di sini tidak lagi jadi WTS lagi, atau paling tidak mereka sudah tidak lagi punya niat kembali menjadi WTS lagi, kami memang cukup sulit untuk memantau itu, apalagi kelayan kan tidak seluruhnya datang dari Solo, dari banyak daerah Jateng ini. Kalaupun ada yang kembali paling hanya sekitar 3 % saja. Kami jarang bahkan hampir tak pernah menerima kembali kelayan yang sudah dibina kemudian dikembalikan lagi, program ini cukup efektif kok Mbak” (Wawancara tanggal 3 Desember 2009)
Untuk mengetahui keberhasilan program ini dilihat dari kembali atau
tidaknya kelayan ke dunia pelacuran. Kita dapat melihatnya dari beberapa
kasus yaitu : kehidupan Nanik, Santi, dan Ratih yang bekas kelayan
angkatan I tahun 2009. Mereka memutuskan untuk mengembalikan hidup
mereka yang kotor karena berprofesi sebagai pelacur ke kehidupan yang
wajar yang sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Berikut penuturan
ketiga kelayan tersebut:
“Dulu saya memang pelacur Mbak, tetapi itu dulu sekarang saya sudah jadi orang yang bener-bener, saya insyaf Mbak. Masak sudah capek-capek ngikutin rehabilitasi di Panti saya masih ngelacur, malu
98
dong Mbak, lagian saya sadar kok kalau perbuatan saya itu salah. Pendidikan Agama yang diajarkan disana sadah menyadarkan saya.” (Wawancara dengan Nanik, tanggal 23 November 2009)
“Siapa yang mau jadi WTS tho Mbak, wong itu juga kepaksa, tapi untungnya saya bias insyaf, kalau enggak ketangkep razia dulu, terus kalau enggak dimasukin ke PKW ini mungkin saya masih jadi WTS, ada hikmahnya Mbak.” (Wawancara dengan Santi, tanggal 24 November 2009)
“Sekarang saya sudah nikah, punya suami yang bener, punya anak jangan sampai saya balik jadi WTS, enggak enak Mbak. Saya sudah bisa bantu-bantu suami, nih nerima potong rambut, meskipun enggak banyak tapi kan halal.” (Wawancara dengan Ratih tanggal 30 November 2009)
Tidak jauh berbeda dengan pernyataan tiga mantan kelayan di atas,
beberapa kelayan angkatan II 2009 yang baru saja dilepas oleh PKW
“Wanita Utama” pada tanggal 26 Desember 2009 pun menuturkan hal
yang sama, mereka berniat untuk insyaf dan tidak kembali lagi menjadi
WTS. Berikut hasil wawancara dengan mereka:
“Saya seneng sekali Mbak, bisa shalat bareng-bareng. Apalagi bareng sama masyarakat di sini, mudah-mudahan saya bisa begini terus. Apalagi tadi imamnya bilang kalau bulan puasa semua dosa kita bisa diampuni, saya pengen Allah juga ngampuni saya, Mbak.”
( Wawancara dengan Melati tanggal 26 November 2009)
“Mulai sekarang saya mau insyaf, saya enggak bakalan balik lagi jadi pelacur, sudah cukup segini aja pengalaman pahit ini. Saya pengin normal, pingin nikah sam laki-laki yang baik-baik dan bantu-bantu suami dengan keterampilam yang saya peroleh.”
(Wawancara dengan Mawar tanggal 26 November 2009)
“Mbak tanggal 26 Desember 2009 besok, saya dan temen-temen disini boleh keluar dari PKW, mudah-mudahan keluar dari sini saya tidak kembali menjadi WTS lagi, doain ya Mbak.” (Wawancara dengan Citra tanggal 26 November 2009)
Dari data-data di atas dapat disimpulkan bahwa dalam beberapa
kasus kelayan tidak lagi menekuni profesi sebagai WTS (Nanik, Santi dan
99
Ratih) dan kelayan lainnya yang dibina pada tahun 2009 berniat untuk
tidak kembali lagi menjadi WTS. Keinginan untuk tidak menjadi WTS
tersebut dibuktikan dengan perubahan tingkah laku, cara bicara, cara
berpakaian, rutinitas dan intensifitas melakukan ibadah dan juga
keseriusan mereka dalam menjalankan program.
b. Kelayan mampu beradaptasi dengan lingkungan masyarakat, bertingkah
laku dan bersikap wajar sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku
Dalam indikator keberhasilan ini, penulis membaginya kedalam tiga
kategori, yaitu:
1) Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dengan sesama kelayan
Mengenai interaksi dan proses adaptasi diantara sesama kelayan, rata-
rata kelayan tidak mengalami kesulitan, sebab kelayan dalam satu lokasi
yang sama, yaitu di asrama PKW “ Wanita Utama” Surakarta. Meskipun
dalam pembagian kamar dan pelaksanakan keterampilan mereka
dikelompok-kelompokkan tetapi mereka tetap akrab. Sebab kemampuan
bergaul mereka cukup tinggi. Oleh karena itu mereka sudah mengenal satu
sama lain dan terbiasa berinteraksi. Apalagi hampir seluruh kegiatan-
kegiatan pembinaanpun dilakukan bersama-sama. Seperti dikemukakan
Ibu Anik T :
“Mereka cukup akrab, kami menanamkan rasa kekeluargaan diantara mereka dan pada dasarnya mereka mudah bergaul kok, makanya proses interaksi dan adaptasi antara sesama kelayan tidak begitu sulit.” (Wawancara tanggal 27 November 2009)
100
Beberapa kasus memang pernah terjadi salah seorang kelayan
bertengkar dengan kelayan lainnya. Namun demikian hal tersebut sangat
jarang terjadi, kalaupun terjadi pihak PKW dan kelayan lainnya tidak
bakal berdiam diri. Mereka selalu mengingatkan antara satu dengan yang
lainnya.
“Pernah saya bertengkar dengan yang lain, biasa salah paham, saya waktu itu tersinggung karena dikatakan macam-macam. Itu terjadi waktu makan, saking marahnya saya lempar piring sama gelas saya, tapi enggak kena. Untung waktu itu ada temen-temen yang melerai dan ibu-ibu di sini. Saya dan temen saya itu kemudian dinasehatin dan sekarang dah baikan kok Mbak, pokoknya kita saling mengingatkan, wong sama-sama kelayan kok.”
( Wawancara dengan Wati tanggal 23 November 2009) Keakraban lainnyapun dapat dilihat ketika kelayan dilepas oleh PKW
“Wanita Utama” Surakarta pada tanggal 26 Desember 2009. Mereka
saling berpelukan dan tidak sedikit yang mengucurkan air mata. Ada
kesedihan terpancar dimata mereka, dan itupun dituturkan Anita yang
berasal dari Semarang.
“Saya sedih Mbak, harus pisah sama temen-temen, kami disini seperti sudah saudara sendiri, sama-sama satu nasib memiliki masa lalu yang buruk.”
(Wawancara tanggal 26 Desember 2009)
2) Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dengan petugas
Berkaitan dengan interaksi antara kelayan dengan para petugas pada
saat program berjalan dapat dikatakan sangat memuaskan. Meskipun pada
saat pertama kali kelayan datang, para kelayan sering marah-marah dan
memaki-maki petugas. Mungkin mereka merasa diatur-atur dan di awasi.
Berikut penuturan petugas di bagian penyantunan :
101
`“Pertama mereka datang, mereka terkesan, mereka terkesan jorok, tidak sopan, tidak punya etika, pakaiannya seronok, make upnya tebal, genit dan pemarah. Awalnya 0-1 bulan mereka memberontak, mungkin karena terbiasa hidup bebas dan tidak diatur-atur, kerjanya marah-marah, maki-maki pada petugas dan seperti itulah.”
(Wawancara dengan Ibu Endang tanggal 4 April 2009)
Hal serupa pun dikemukakan oleh Ibu Ani T :
“Betul Mbak, pas pertama mereka kesini mereka nggak sopan, nggak punya etika, nggak punya malu, nggak takut, malah terkesan genit. Ada yang marah-marah, memberontak, dan maki-maki petugas.”
(Wawancara tanggal 4 April 2009) Dua peristiwa yang dituturkan kedua petugas tadi terjadi ketika
pertama kelayan datang, tetapi setelah lama mereka bergaul dengan
petugasm mereka bahkan menganggap para petugas seperti keluarga
sendiri. Hal ini terlihat penulis sendiri ketika seorang kelayan dengan
manjanya meminta pembalut wanita kepada Ibu Ani T. dan terakhir
penulis lihat sendiri ketika mereka dilepas dari PKW untuk dikembalikan
ke daerah masing-masing. Intinya proses interaksi dan adaptasi kelayan
dengan petugas tidak terlalu banyak kendala dan berjalan dengan sangat
memuaskan.
3) Kemampuan berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar
Sementara itu berkaitan dengan interaksi dan adaptasi dengan
masyarakat sekitar baik pada saat program berjalan maupun pasca
program nampaknya kurang memuaskan. Sebagian masyarakat terlanjur
melekatkan stereotif negatif kepada kelayan sebagai sampah masyarakat,
akibatnya beberapa kelayan enggan dan memilih untuk tidak berinteraksi
102
dan beradaptasi dengan mereka. Seperti penuturan salah seorang bekas
kelayan tahun 2007 yang penulis temui di salon “Maria”depan PKW “
Wanita Utama” tempat dia bekerja:
“Waktu saya tinggal di PKW sama sekarang tempat saya tinggal, sikap masyarakat pada saya tetap aja kadang negatif, kurang suka kayaknya. Dulu waktu saya masih di Panti, pernah saya jalan-jalan di sekitar Panti digodain orang-orang sekitar situ, mereka bilang gini ‘Mbak, ntar malem ya…biasa’. Kesel juga sih, tapi mau diapakan wajar merekas seperti itu. Sudah terlanjur jelek, makanya terus saya malas buat ngobrol sama masyarakat.”
(Wawancara dengan Nanik tanggal 26 Desember 2009) Hal serupa dikemukakan juga oleh Melati :
“Ya, memang ada masyarakat yang juga baik kok Mbak sama kita, seperti yang suka tarawih sama kuliah Subuh di sini, mereka mau ngajak ngobrol meskipun seperlunya, tapi kayaknya sebagian besar sungkan dan enggan. Mungkin mereka gimana gitu sama kita.”
(Wawancara tanggal 26 November 2009)
Kurang memuaskannya interaksi dan adaptasi para kelayan dengan
masyarakat memang tidak dipungkiri oleh Sartini (bukan nama
sebenarnya) salah seorang masyarakat sekitar yang tinggal depan PKW
“Wanita Utama” Surakarta.
“Disamping mereka (kelayan) jarang keluar dari Panti, ya kami emang ngerasa gimana ya, apalagi tempat ini kan sudah dikenal dengan sebutan wangkung, jadi kami ya kurang akrab. Tapi mereka sering kok maen volley sama masyarakat sini. Mungkin tergantung masyarakatnya aja. Ada yang ngerasa nggak apa-apa ada yang enggan juga”
( Wawancara tanggal 26 Desember 2009) Kekurangakraban antara kelayan dengan masyarakat sekitar, memang
cukup beralasan. Kelayan tidak tahu dan tidak kenal dengan masyarakat
sekitar Panti. Selain itu masyarakat sudah terlanjur melekatkan asumsi
103
negatif pada mereka meskipun sebenarnya mereka telah berusaha besar
untuk terbebas dari hal negatif tersebut. Disamping itu ada peraturan yang
tidak memperbolehkan setiap kelayan keluar masuk panti dengan
sesukanya. Ketidakbebasan para kelayan untuk keluar masuk panti ini
didasarkan pada pengalaman yang pernah bahkan sering terjadi bahwa
mereka yang meminta ijin untuk keluar (seringnya alasan untuk belanja
atau membeli makanan) sering menggunakan kesempatan ijin yang
diberikan untuk meninggalakan Panti dan tidak kembali lagi (kabur).
Kejadian tersebut terutama terjadi pada awal masa rehabilitasi, untuk itu
Panti memberikan pengawasan yang sangat ketat terhadap kelayan yang
ingin minta ijin keluar Panti (disimpulkan dari wawancara dengan Ibu
Endang dan Ibu Ani T tanggal 4 April 2009).
Untuk mengatasi kesulitan kelayan mengadakan hubungan interaksi
dengan masyarakat sekitar, dilakukan beberapa kegiatan sebagai usaha
melakukan resosialisasi oleh PKW, misalnya dengan mengadakan
pertandingan bola volley bersama, tarawih bersama, kuliah subuh
bersama, dan buka bersama.
c. Kelayan memahami, menguasai dan memanfaatkan keterampilan yang
diperoleh
Keberhasilan pemberian materi pelatihan keterampilan dapat dilihat
apabila kelayan mampu memahami, menguasai dan memanfaatkan
keterampilan tersebut, minimal untuk dirinya lebih jauh untuk
104
kehidupannya di masyarakat. Hal tersebut seoerti diungkapakan oleh Drs.
Mustofa sebagai berikut:
“Mengenai keberhasilan program keterampilan, ini sangat mudah dilihat dari kemampuan kelayan untuk memahami, menguasai, dan memanfaatkan keterampilan yang telah diperolehnya. Dan menurut pengamatan kami kelihatannya materi bimbingan keterampilan ini mudah diterima kelayan, pasalnya kelayan bisa langsung mempraktekkan ilmunya itu. Yang masak bisa masak, yang jahit bisa jahit, yang salon bisa motong rambut dan merias. Kelayan biasanya senang kalau sudah mempraktekkanya. Kelayan dinilai memahami dan menguasai keterampilan bisa dilihat dari produk jadinya. Kalau yang masak dari hasil masakannya, yang jahit dari jahitannya, yang salon dari hasil make-upannya misalnya. Semakin banyak kelayan menguasai keterampilan itu maka program ini boleh dinilai telah berhasil, meskipun dalam pemanfaatanya di lapangan ketika keluar dari sini tidak dapat dinilai 100 % dimanfaatkan, tergantung modal dan kesempatan apalagi penerimaan masyarakat kepada mereka.”
( Wawancara tanggal 29 November 2009)
Pernyataan serupa pun dijelaskan oleh Ibu Endang, salah seorang
petugas petugas dibagian penyantunan, sebagai berikut:
“Penguasaan keterampilan memang merupakan salah satu indikator keberhasilan materi ini. Apabila kelayan sudah menguasai keterampilan itu dengan sungguh-sungguh, maka kelayan akan dengan mudah memanfaatkan keterampilan tersebut untuk hidupnya, minimal mungkin untuk dirinya dan keluarganya, maksimal untuk mencari kerja dilapangan kerja nanti. Seperti kelayan di kelompok dua itu lho Mbak, yang namanya Santi (bukan nama sebenarnya) dia sudah mahir sekali membuat prol tape, hasilnya baik dan rasanya cukup enak. Ibu-ibu di sini sering menyuruhnya membuat prol tape, bahannya sudah disediakan dia yang mengerjakan dan nantinya suka dikasih uang jasa lah. Inilah indikator keberhasilan program lho, Mbak.” (Wawancara tanggal 4 Desember 2009)
Dari dua pernyataan tersebut jelas terlihat bahwa penguasaan
kelayan terhadap materi keterampilan adalah salah satu indikator untuk
menilai keberhasilan program. Dan untuk melihat sejauhmana kelayan
105
dapat memahami, menguasai dan memanfaatkan keterampilan tersebut
dapat dilihat dari produk jadinya.
Untuk mengetahui sejauh mana para kelayan memahami, menguasai,
dan memanfaatkan materi keterampilan yang diperolehnya. Berikut ini
penuturan salah seorang kelayan bernama Ira yang memberikan
pengakuan sebagai berikut:
“Sebenarnya sebelum saya masuk sini, saya udah bisa jahit sedikit-sedikit. Cuma urusan motong dan bikin pola yang sedikit susah. Tapi sekarang setelah saya mengikuti program ini, saya sudah lancer bikin pola, misalnya cara ngukur panjang tangan, krah, panjang badan, dan besar badan saya sudah bisa.” ( Wawancara tanggal 13 Agustus 2009)
Sebuah pengakuan yang hampir sama juga diungkapkan oleh
seorang kelayan bernama Wita yang mengambil jurusan memasak, sebagai
berikut:
“Saya merasa disini saya bisa mengerjakan pekerjaan yang berguna. Saya jadi bisa memasak Mbak. Selain bisa masak sayur, saya sekarang bisa membuat kue seperti: arem-arem, carang gesing, sus vanilla, bolu zebra dan lain-lain. Pokoknya banyak banget. Saya seneng kalau hasilnya bagus kayak bulan kemaren, kuenya enak saya enggak nyangka. Prakteknya sih rame-rame, tapi puas kalau hasilnya bagus, pengennya sih saya bisa jualan kue kalau keluar besuk dari sini.”
(Wawancara tanggal 14 Agustus 2009)
Penuturan serupa dikemukakan oleh oleh Ayu , seorang kelayan
yang mengambil jurusan menjahit, sebagai berikut:
“Selain saya belajar jadi manusia yang bener, insyaf dan jadi wanita baik-baik, disini saya juga belajar jahit. Kalau disuruh membuat baju atau rok, saya belum lancar banget, tapi kalau disuruh memperbaiki rok, mengecilkan baju saya sering disuruh temen-temen Mbak.Kata temen-temen jahitan saya lumayan rapi.” (Wawancara tanggal 15 Agustus 2009)
106
Menyinggung soal pemanfaatan keterampilan tersebut untuk menjadi
bekal dalam membuka usaha sendiri atau menjadi bekal dalam mencari
pekerjaan di lapangan kerja, memang belum sepenuhnya dapat terlihat.
Mereka hanya bisa berharap setelah keluar dari PKW bisa mendapatkan
pekerjaan yang layak dan menggunakan keterampilan itu sebagai
modalnya.Bagaimanapun modal, kesempatan dan penerimaan masyarakat
akan ikut menentukan keberhasilan program ini, seperti penuturan Ibu
Endang :
“Para kelayan ini bisa memanfaatkan keterampilan di lapangan kerja memang sangat tergantung pada beberapa hal, seperti: modal, kesempatan dan penerimaan masyarakat, karena kadang masyarakat masih sering mencemooh mereka dan tidak mau menghargai hasil karya mereka.” (Wawancara dengan Ibu Endang, tanggal 15 November 2009)
Untuk membuktikan penuturan Ibu Endang tersebut, ternyata
beberapa kelayan menyatakan hal yang sama. Modal, penerimaan
masyarakat dan kesempatan sangat menentukan tindak lanjut dari
bimbingan keterampilan. Seperti penuturan beberapa kelayan berikut ini:
“Pengennya setelah keluar dari sini, saya tidak jadi WTS lagi. Saya mau cari kerja yang bener Mbak. Kalau bisa sih pengin terima pesanan kue-kue gitu, tapi masalahnya saya nggak punya modal besar. Terus takut masyarakat nggak percaya dengan hasil karya saya.” (Wawancara dengan Warni tanggal 15 November 2009)
“Ya ampun Mbak, buka salon lumayan besar, modalnya dari mana, ini aja saya dah bersyukur. Pertama kali motong rambut, tetangga saya nggak percaya kalau saya bisa motong rambut. Yang penting saya sudah insyaf deh Mbak.” (Wawancara dengan Vera tanggal 1 November 2009)
Dari laporan bagian penyaluran tahun 2007-2009 kelayan sebagian
besar dikembalikan kepada keluarga dan suami mereka masing-masing.
107
Hanya sedikit yang bisa dibantu PKW dalam mencari pekerjaan. Pada
tahun 2007 ada tiga orang , tahun 2008 ada dua orang, tahun 2009 ada dua
orang. Mereka dicarikan kerja karena melihat prestasi dan hasil
keterampilan mereka juga dilihat dari kemampuan keluarga. Tapi
sayangnya ada dua kelayan yang dicarikan pekerjaan tapi kemudian tidak
dimanfaatkannya, alasannya karena tempatnya di Surakarta sedangkan dia
dari luar kota dan tidak adanya kecocokan rekan kerja. (Disimpulkan dari
hasil wawancara dengan Drs. Mustofa pada tanggal 26 Desember 2009).
Program bimbingan keterampilan ini boleh dinilai cikup berhasil dan
cukup efektif, beberapa kelayan yang diwawancarai menyatakan
memahami dan menguasai keterampilan. Bahkan ada yang sanggup
memanfaatkannya untuk menjadi bekal mereka mencari uang. Berikut ini
penuturan mereka saat diwawancara:
”Karena dulu jurusan yang saya ambil salon, ya saya sekarang terima potong rambut, lumayan sih. Kadang ada juga yang menyuruh saya make up, tapi kebanyakan yang potong rambut. Tempatnya ya di sini, sederhan saja, maklum kecil-kecilan.” (Wawancara dengan Vera tanggal 1 November 2009)
“Seperti yang Mbak lihat, sekarang saya jualan, punya warung kecil-kecilan, disamping menjual kebutuhan sehari-har, saya juga menjual kue buatan saya, kadang saya juga titipkan di warung yang lain, lumayan nambah-nambahuang dapur.” (Wawancara dengan Rahmi tanggal 29 Oktober 2009)
“Saya sebenarnya pengen banget kerja di konveksi, tapi belum ada kesempatan. Sekarang saya ya seringnya bantu-bantu jahitin baju tetangga di sini. Awalnya mereka nggak percaya kalau saya bisa jahit. Nggak besar sih dapatnya tapi cukuplah.” (Wawancara dengan Endy tanggal 3 November 2009)
108
Pemahaman dan penguasaan dan pemanfaatan keterampilan tersebut
ternyata berkaitan dengan tingkat pendidikan dan yang dimiliki oleh kelayan,
minat dan bakat dari kelayan itu sendiri dan tidak kalah pentingnya
kemampuan instruktur/pembina dalam memberikan materi juga ikut
menentukan program tersebut. Kelayan akan mudah memahami dan
menguasai keterampilan manakala kelayan benar-benar serius, benar-benar
memiliki minat dan bakat yang besar terhadap keterampilan tersebut. Seperti
penuturan Drs. Mustofa :
“Kadang kala ada kelayan yang sulit untuk memahami materi yang diberikan, setelah diselidiki ternyata kelayan tersebut memang tidak mempunyai dasar yang kuat terhadap kegiatan tersebut. Biasanya ini terjadi pada keterampilan menjahit, karena keterampilan ini memerlukan teori yang sedikit berhitung, sementara kelayan buta huruf, ini yang sering menjadi sulit.” (Wawancara dengan Drs. Mustofa tanggal 15 Novermber 2009)
d. Kelayan mampu bermasyarakat atau berumah tangga dengan pasangan
yang sah dan ikut bertanggungjawab terhadap kesejateraan keluarganya
Dalam indikator ini, norma perkawinan dijadikan sebagai dasar untuk
memberikan kesadaran kepada kelayan. Tidak dipungkiri dari tahun 2007-
2009 kelayan dengan status kawin mempunyai porsi paling besar. Ini
menandakan bahwa norma perkawinan ternyata bisa dikoyak-koyak demi
profesi sebagai pelacur. Kelayan tidak bisa disalahkan begitu saja disini, posisi
suami pun ikut menentukan. Bahkan tidak jarang suami pun ikut merelakan
istrinya menjadi pelacur demi sejumlah uang, namun bagaimanapun
perkawinan tetep dijadikan filter untuk meredusir peningkatan jumlah WTS
saat ini. (Disimpulkan dari hasil wawancara dengan Ibu Endang dan Ibu Ani
109
T, tanggal 5 Desember 2009). Untuk membuktikan apa yang dinyatakan oleh
kedua petugas penulis melakukan wawancara dengan beberapa kelayan
tentang kehidupan rumah tangga mereka ketika mereka berprofesi sebagai
WTS dan belum masuk ke PKW. Hasilnya dapat dilihat dari pernyataan
kelayan dibawah ini:
“Karena kebutuhan keluarga yang banyak, ditambah suami yang tidak bekerja, akhirnya terpaksa saya jadi WTS. Saya enggak cerai sama suami saya tapi suami saya enggak peduli, yang penting bisa makan dan mencukupi kebutuhan keluarga.” (Wawancara dengan Siska tanggal 25 November 2009)
“Saya sudah menikah Mbak, sembilan tahun yang lalu, tapi keadaan rumah tangga saya kacau semenjak suami saya di PHK, sedangkan saya pengangguran, sementara kebutuhan rumah tangga semakin mahal, apalagi anak saya sekarang sudah sekolah SD Mbak. Sudah miskin, suami saya malah kawin lagi sama perempuan lain, kalau pulang bawaannya marah-marah. Barang –barang banyak yang dijual buat menuhin kebutuhan rumah tangga. Saya kesel, cemburu, marah ngeliat suami saya kayak gitu, akhirnya saya coba jadi pelacur, awalnya sih sedih, tapi gimana lagi saya nggak bisa kerja apa-apa Mbak.” (Wawancara dengan Ratna tanggal 24 November 2009) Untuk mengetahui kemampuan kelayan untuk berumahtangga dengan
pasangan yang sah dan ikut bertanggung jawab akan kesejahteraan
keluarganya, penulis melihatnya dari banyaknya perkawinan yang dibantu dan
diproses oleh PKW bekerjasama dengan KUA dan Pengadilan Agama kota
Surakarta dan juga dilihat dari banyaknya kelayan yang dirujukan kepada
suaminya masing-masing setelah keluar dari PKW.
Pada tahun 2007 sampai dengan tahun 2009 PKW “Wanita Utama”
Surakarta membantu proses pernikahan 5 orang kelayan. PKW juga
mengembalikan 97 orang kelayan kepada suami mereka masing-masing.
110
(Disimpulkan dari hasil wawancara dengan Bapak Drs. Mustofa tanggal 26
Desember 2009)
Bukti nyata kelayan mampu hidup berumah tangga dengan pasangan
yang sah adalah kasus yang dialami dalam kehidupan rumah tangganya Nanik,
Santi, dan Ratih. Ketiganya dapat berumah tangga dengan pasangan yang sah.
Suami Nanik dan Santi seorang buruh pabrik dan suami Ratih seorang
pedagang. Mereka membantu suami mereka masing-masing dengan
keterampilan yang mereka peroleh dari PKW. (Disimpulkan dari wawancara
dengan Nanik, Santi dan Ratih )
Untuk mengetahui kemampuan kelayan yang berstatus belum kawin
dan janda untuk menikah dan berumahtangga dengan pasangan yang sah, kita
dapat melihatnya dari kesungguhan mereka untuk tidak lagi bekerja sebagai
WTS. Karena ini merupakan kunci untuk keberhasilan program. Jika mereka
telah insyaf yang mereka perlihatkan dengan tingkah laku yang benar dan
beretika maka kesempatan mereka untuk mendapat suami yang sah dan ikut
bertanggung jawab terhadap keluarga akan terbuka lebar, meskipun itu semua
berpulang pada kehendak Tuhan. Seperti pernyataan seorang kelayan berikut
ini:
“Mulai sekarang saya mau insyaf, saya enggak bakalan balik lagi jadi pelacur, sudah cukup segini aja pengalaman pahit ini. Saya pingin normal, pingin nikah sama laki-laki yang baik-baik dan bantu-bantu suami dengan keterampilan yang saya peroleh di sini.” (Wawancara dengan Mawar tanggal 9 April2009)
111
Jika dilihat dari data-data di atas jelas kiranya ada perubahan yang
cukup berarti sebelum dan sesudah kelayan mengikuti program, terutama
menyangkut masalah rumah tangga dan perkawinan.
3 Komunikasi yang terbuka
Komunikasi yang digunakan oleh PKW “Wanita Utama” dalam
membina para kelayan adalah bersifat kekeluargaan. Pihak Panti tidak
menganggap para eks WTS itu sebagai seseorang yang harus dihukum
karena dulunya melakukan kesalahan. Tetapi justru mereka “merangkul”
para eks WTS untuk berubah baik.
Bentuk-bentuk komunikasi antara lain dengan pendekataan-
pendekatan persuasif terhadap setiap kelayan, dengan menganggap para
kelayan seperti keluarga. Ini berguna untuk memotivasi mereka untuk
serius mengikuti berbagai bimbingan. selain itu agar terjalin keterbukaan
pada setiap kelayan. Keterbukaan itu di wujudkan antara lain adanya
diskusi-diskusi, pemberitahuan/ laporan tes pelatihan yang diberitahukan
kepada kelayan. Sehingga apabila ada yang merasa kurang paham dapat
bertanya.(Disimpulkan dari wawancara Bapak Mustofa,tanggal 20
Agustus 2009). Berikut penuturan beberapa kelayan:
“Petugas-petugas disini baik-baik Mbak, saya selalu curhat apa aja ke pembimbing saya. Misalnya saya kurang paham dalam mengikuti bimbingan, saya pasti tanya dan ibuknya antusias lagi menjelaskan.” (Wawancara dengan Ernita, tanggal 20 Agustus 2009)
112
“Dulu waktu awal-awal masuk ke panti ini, saya ga betah Mbak saya nangis terus. Tapi setelah Bu Endang selalu memotivasi saya, saya mulai bersemangat tuk menata hidup saya lebih baik” ( Wawancara dengan Ira, tanggal 13 Agustus 2009)
“Setiap tes pelatihan, kami mendapatkan laporan nilai kami Mbak. sehingga kami tau kesalahan pengerjaan dan dapat kami perbaiki lagi kemudian” (Wawancara dengan Tari, tanggal 14 November 2009) Dari berbagai penuturan-penuturan tersebut dapat disimpulkan
komunikasi yang PKW lakukan cukup efektif. Meskipun program ini
belum sepenuhnya mengubah total para kelayan, namun secara proses
program ini telah menumbuhkan kesadaran/ keinginan dari diri kelayan
untuk hidup ke arah yang lebih baik. Semua tidak bisa terwujud dalam
waktu yang singkat, perlu waktu dan proses yang panjang untuk benar-
benar mengubah mereka menjadi wanita mandiri, berharkat, dan
bermartabat. Dari data yang terkumpul memberikan petunjuk bahwa
tujuan dari program ini dapat tercapai.
D. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Efektifitas Pembinaan Melalui Rehabilitasi Sosial
Berhasil tidaknya pelaksanaan rehabilitasi sosial dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Faktor ini baik yang berasal dari dalam( intern) maupun
dari luar (ekstern). Berikut ini akan dijelaskan beberapa faktor tersebut,
antara lain:
1. Faktor Intern yang mempengaruhi efektifitas pembinaaan
a. Respon /tanggapan kelayan
113
Respon kelayan dalam mengikuti pembiaan rehabilitasi sosial
sangat menentukan keberhasilan dari efektifitas pembinaan
rehabilitasi itu sendiri. Tanpa adanya respon dari kelayan, kegiatan
pembinaan rehabilitasi yang diselenggarakan tidak ada artinya.
Selama ini respon kelayan dalam mengikuti kegiatan pembinaan
rehabilitasi di PKW “Wanita Utama” dikatakan cukup bagus. Pada
umumnya mereka merasa senang mengikuti pembinaan tersebut,
meskipun awalnya sebagian besar mereka perlu diberi motivasi
yang lebih, mengingat mereka waktu datang ke sini sebagian besar
dari paksaan yaitu dari razia.
Sebagaimana diungkapkan oleh Bapak Bambang S, berikut
ini:
“ Memang sebagian besar dari mereka perlu dimotivasi, tidak hanya sekali bahkan sampai berulang kali. Hal ini mereka menganggap Panti ini sebagai “penjara” bagi mereka mula-mulanya. Tapi setelah mengikuti pembinaan, kebanyakan mereka kemudian merasa senang karena diurusi dan diberi ketarampilan yang berguna bagi mereka kemudian” ( Wawancara tanggal 28 November 2009) Berikut penuturan beberapa kelayan mengenai tanggapan
mereka selama rehabilitasi sosial.
“Awalnya saya ogah-ogahan dsini,Mbak. Tapi kemudian saya tertarik mengikuti pembinaan. Di sini saya senang karena mendapatkan berbagai keterampilan yang berguna setelah keluar dari sini.” ( Wawancara dengan Silla tanggal 29 November 2009)
“Respon temen- temen disini umumnya cukup bagus Mbak. Yaa…lama-lama khan sadar akan masa depan bahwa mereka perlu bimbingan –bimbingan seperti ini, yang dapat berguna dalam kehidupan keluar kelak”
114
( Wawancara dengan Silla tanggal 28 November 2009) Dari penuturan-penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa
pada umumnya kelayan mengikuti bimbingan-bimbingan dalam
rehabilitasi karena termotivasi akan memperoleh bekal untuk masa
depan mereka. Sehingga mereka merasa senang dalam mengikuti
kegiatan-kegiatan selama bimbingan. Hal ini tentunya kerupakan
respon positif yang dapat mendukung keberhasilan pelaksaan
rehabilitasi sosial.
b. Petugas/ Pegawai/ Pembimbing
Pelaksanaan rehabilitasi sosial juga tidak lepas dari peran
pembimbing/ petugas. Pembimbing/ petugas dalam suatau lembaga
rehabilitasi harus senantiasa aktif dalam memberikan dorongan,
arahan dan bimbingan, disamping juga harus mampu
menstransformasi ilmunya kepada para kelayan. Dalam hal ini
pembimbing di PKW “Wanita Utama” mempunyai peran penting
dalam membangun rasa percaya diri dan semangat untuk
senantiasa optimis sehingga mereka merasa rehabilitasi yang
mereka jalani merupakan kegiatan yang berguna bagi mereka yang
akhirnya terdampak pada kesungguhan mereka dalam mengikuti
segala kegiatan bimbingan.
Selain itu, mengingat latar belakang kelayan yang berbeda-
beda maka dilakukan pendekatan tersendiri untuk membimbing
masing-masing kelayan dalam penyampaian materi sebisa mungkin
115
tidak kaku atau terlalu formal. Hal ini untuk menciptakan suasana
yang lebih akrab.Sebagai mana hal yang diungkapkan Ibu Anik T:
“Dalam memberikan materi biasanya kami para petugas, tidak membeda-bedakan mereka. Bahkan kadang kala saya guyon utuk menghidupkan suasana agar tidak pada bosan.” (Wawancara pada tanggal 28 November 2009)
Hal tersebut diiyakan juga oleh Bapak Mustofa:
“Iyaa Mbak, kadang emang harus begitu. Biasannya mereka kemudian semangat mengikuti bimbingan.” (Wawancara pada tanggal 28 November 2009)
c. Sarana dan prasarana
Sarana dan prasarana merupakan faktor yang juga ikut berperan
dalam pelaksanaan rehabilitasi sosial di PKW “Wanita Utama”
Surakarta. Adapun sarana dan prasarana yang tersedia terdiri dari
sarana dan prasarana asrama atau kebutuhan tempat tinggal untuk
aktifitas kelayan sehari-hari, serta sarana dan prasarana untuk
kegiatan bimbingan/pembelajaran. Sejauh ini untuk sarana dan
prasarana/ fasilitas yang disediakan dalam asrama seperti tempat
tidur, kamar mandi, mushola, ruang makan,dan sebagainya sudah
cukup memadai. Hal ini di akui oleh Wati seorang kelayan berikut
ini:
“Saya rasa untuk saran dan fasilitas yang disediakan dalam asrama ini sudah baik, yaa…lumayan lengkap.Semua sudah disediakan disini dan gratis lagi.”
(Wawancara pada tanggal 1 Desember 2009)
Hal senada juga diungkapkan oleh Tari, seorang kelayan,
berikut ini:
116
“Untuk fasilitas asrama disini cukup memadai, Mbak. Kebutuhan sehari-hari juga disediakan panti secara gratis.” (Wawancara, tanggal 21 Januari 2010)
Sedangkan untuk sarana dan prasarana kegiatan bimbingan
atau pembelajaran di PKW “Wanita Utama” meliputi ruang kelas,
ruang praktek alat-alat penunjang praktek bimbingan keterampilan,
PKK, kesenian serta buku-buku penunjang. Penyediaan sarana/
fasilitas-fasilitas tersebut sangat diperlukan untuk menunjang
kelancaran proses kegiatan bimbingan, misalnya saja untuk
peralatan praktek sangat mendukung agar kelayan lebih mudah
mengerti dan memahami materi bimbingan yang diajarkan.
Sebagaimana diungkapkan oleh seorang kelayan yaitu Silla
seorang kelayan, berikut ini:
“Sarana dan prasarana untuk praktek keterampilan terutama keterampilan memasak sangat penting seperti oven yang sangat menunjang untuk praktek membuat kue. Hal ini merupakan kebutuhan pokok untuk kelayan yang memilih jurusan memasak. Untuk sarana dan prasarana tersebut disini lumayan lengkap namun sebagian diantaranya ada yang sudah rusak.” (Wawancara tanggal 9 Pebruari 2010)
Dari wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa untuk sarana
untuk kegiatan praktek bimbingan cukup memadai, hanya saja
perlu adanya perbaikan untuk menjaga kualitas dari sarana
tersebut.
2. Faktor Ekstern yang mempengaruhi efektifitas pembinaan
Faktor ektern yang mempengaruhi dalam pelaksaan rehabilitasi
sosial adalah masyarakat, dalam hal ini masyarakat sekitar panti.
117
Faktor ini dirasa kurang memuaskan karena masyarakat sudah
terlanjur melekatkan stereotif negative terhadap dengan men”cap”
para WTS sebagai sampah masyarakat. Sebagai akibatnya para
kelayan sebagian besar merasa enggan dan memilih untuk tidak
berinteraksi dengan masyarakat. Hubungan kekurangakraban
tersebut memang beralasan. Hal tersebut juga didukung juga
dengan adanya peraturan dari PKW yang tidak membolehkan para
kelayan ini keluar masuk panti seenaknya. Seperti yang
diungkapkan Ibu Endang:
“Anak-anak di sini tidak boleh keluar masuk panti seenaknya, kalaupun boleh hanya untuk alasan tertentu misal menitipkan makanan di warung, beli bahan masakan di pasar yang deket dan lain-lain Itupun yang kami ijinkan adalah anak-anak yang bisa kami bener-bener percayai.” (Wawancara tanggal 25 November 2009) Berikut penuturan dari dari beberapa kelayan dalam
menanggapi masyarakat:
“Saat saya keluar panti untuk mengantar titipan kue di warung depan panti, yaa ampuuuun…Mbak. Orang-orang sekitar yang beli di sana itu seperti jijik banget lihat saya, pandangan mereka sinis. Kalau ibuknya yang jual sih baik. Yang beli itu lho!” (Wawancara dengan Ira,tanggal 12 Desember 2009)
“Kalau saya lain lain Mbak, saya justru digodain oleh cowok-cowok yang kebetulan nongkrong di bengkel deket panti. Yaa ampun…ternyata orang yang mau tobat bener, ada aja yang tidak percaya ” (Wawancara dengan Susi tanggal 12 Desember 2009) Namun demikian, masih ada juga masyarakat berpikiran baik/
positif dan mendukung sekali adanya pembinaan di PKW ini.
118
Berikut penuturan Rahma seorang pelanggan dari salon “
Maria”depan PKW:
“Saya setuju sekali bila mereka dibina Mbak, mereka bisa berubah menjadi baik kok kalo mereka punya niat yang sungguh-sungguh.” (Wawancara tanggal 20 Desember 2009) Dari berbagai penuturan tersebut dapat disimpulkan bahwa
faktor masyarakat kurang dapat memuaskan untuk mempengaruhi
pembinaan di PKW. Namun demikian masih ada sebagian yang
mendukung pembinaan ini.
119
119
BAB IV KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian mengenai efektifitas program pembinaan
eks WTS Melalui Rehabilitasi Sosial di PKW “Wanita Utama” Surakarta
dapat ditarik kesimpulan:
1. Bentuk-bentuk pembinaan rehabilitasi sosial eks WTS yang dilaksanakan
PKW ”Wanita Utama” Surakarta adalah bimbingan fisik, bimbingan
mental, bimbingan sosial/ kemasyarakatan, dan bimbingan keterampilan.
Pelaksanaan berbagai bimbingan tersebut berjalan sesuai dengan jadwal
yang tetapkan.
2. Pelaksaan kegiatan tersebut diperoleh hasil sebagai berikut:
a. Bimbingan Fisik
Kegiatan ini berjalan secara efektif dan dilihat secara nyata. Berdasarkan
pengamatan dan pernyataan yang disampaikan oleh petugas dan kelayan dapat
diketahui bahwa bimbingan fisik ini para kelayan keadaannya sehat,makan
teratur, dan mengetahui tentang ilmu gizi.
b. Bimbingan Mental
Untuk bimbingan ini kurang dapat dilihat secara nyata. Namun
berdasarkan pengamatan dan pernyataan yang disampaikan oleh
petugas/kelayan dapat diketahui bahwa pembinaan ini cukup efektif dan telah
mampu menumbuhkan kesadaran untuk kembali menempuh hidup yang
secara wajar/masyarakat lain. Melalui pembinaan mental/ psikologis sedikit
120
demi sedikit juga telah berhasil mengubah kebiasaan hidup bebas dan tidak
teratur yang selama menjalani profesi sebagai WTS.
c. Bimbingan Sosial
Untuk hasil dari bimbingan sosial, dapat dikatakan kurang efektif, karena
secara nyata penerapan bimbingan tersebut kurang memberikan hasil,
terutama menyangkut interaksi dan adaptasi dengan masyarakat, kelayan
masih sukar/ kesulitan berinteraksi dan beradaptasi dengan masyarakat sekitar
karena belum sepenuhnya menerima kelayan sebagai bagian dalam
masyarakat. Masyarakat masih menerapkan stereotip negatif pada negatif pada
kelayan, disamping itu ada peraturan yang melarang kelayan keluar dari panti
secara bebas, akibatnya mereka tidak mengenal masyarakat sekitar.
Bimbingan ini juga kurang efektif karena materi sebagian besar dari ceramah,
meskipun bimbingan ini tidak dipungkiri mampu menciptakan disiplin pada
kelayan.
d. Bimbingan Ketrampilan
Bimbingan ini dapat dinilai efektif karena kelayan mampu memahami/
menguasai keterampilan yang diberikan oleh panti. Hal tersebut dapat dilihat
dari hasil kerajinan dan yang pamerkan di kios kerja, sedangkan penitipan
makanan kecil di kantin.
3. Dari hasil kegiatan rehabilitasi sosial tersebut di atas, dapat dikatakan
bahwa program pembinaan eks WTS yang dillaksanakan PKW “Wanita
Utama” secara umum dapat dikatakan cukup efektif dan cukup berhasil.
Hal ini terlihat dari indikator sebagai berikut:
121
a. Waktu pencapaian
Waktu yang diperlukan PKW “Wanita Utama” Surakarta dalam
membina para kelayan adalah 6 (enam) bulan. Selama kurun waktu
tersebut para kelayan telah mengikuti dan menguasai kegiatan pembinaan
yang diselenggarakan panti.Tidak hanya itu sebagian besar kelayan
memahami dan menguasai apa yang panti berikan melalui berbagai
bimbingan. Dengan demikian dapat dikatakan efektif.
b. Pengaruh yang diinginkan
Pengaruh disini adalah pengaruh dari PKW “Wanita Utama” untuk
mengubah kelayan agar sesuai dengan apa yang diharapkan panti yaitu
agar mereka berubah ke arah yang baik yang sesuai dengan tujuan
program pembinaan melalui rehabilitasi sosial. Dari hasil penelitian ada
perubahan-perubahan ke arah yang baik meskipun ada satu indikator yang
sulit terwujud. Namun secara garis besar dapat dikatakan efektif.
c. Komunikasi yang terbuka
Komunikasi yang dilakukan pihak PKW merupakan komunikasi
bersifat kekeluargaan.dan terbuka. Pihak panti menganggap semua
kelayan keluarga sendiri. Bentuk-bentuknya antara lain adalah diskusi-
diskusi, pelaporan hasil tes para kelayan yang selalu di beritahukan
kelayan, dan hubungan kekeluargaan yang terjalin antara petugas dan
kelayan yang baik. Dengan adanya komunikasi ini maka pembinaan
berjalan efektif.
122
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembinaan rehabilitasi sosial
adalah faktor intern (respon kelayan, petugas/ pegawai/pembimbing) dan
ektern (masyarakat). Semuanya mempengaruhi baik mendukung maupun
menghambat
B. IMPLIKASI
1. Implikasi Teoritis
Teori yang digunakan untuk mengkaji efektifitas program lebih
menekankan pada pendekatan hasil dan kurang menekankan pada proses.
Oleh karenanya untuk penelitian selanjutnya hendaknya menggunakan
teori yang lebih menekankan pada pendekatan proses sehingga nantinya
akan diperoleh analisa yang lebih dalam dan komprehensif.
2. Implikasi Metodologis
Kelemahan dari metode yang digunakan dalam penelitian ini
adalah terletak pada sample (informan) dan teknik pengumpulan data
(wawancara dan observasi). Peneliti hanya melakukan wawancara dan
observasi dengan informan yang berada dalam satu lokasi (Surakarta)
sementara populasi tersebar hampir di seluruh Jawa Tengah. Karenanya
untuk penelitian lebih lanjut hendaknya teknik pengumpulan data tertama
wawancara dan observasi melibatkan informan yang dapat mewakili setiap
daerah kelayan. Sehingga nantinya diperoleh informasi yang lebih
mendalam dan komprehensif.
123
3. Implikasi Kebijakan
a. Bagi Pembuat Kebijakan
Perlu adanya perencanaan bersama dalam menentukan
format kegiatan pembinaan rehabilitasi sosial WTS yang
melibatkan WTS secara langsung dan mempertimbangkan situasi,
kondisi minat serta bakat kelayan. Selain itu pemerintah juga
seharusnya membuat kebijakan juga terhadap para pemakai jasa
dari pada WTS.
b. Bagi PKW “Wanita Utama”
1) Perlu adanya perhatian yang khusus bagi yang buta huruf
maupun memiliki keterlambatan berpikir, juga kelayan yang
lebih tua agar mempunyai motivasi yang lebih kuat untuk
mengikuti pembinaan.
2) Perlu adanya peningkatan penanganan untuk kegiatan
rehabilitasi khususnya bimbingan keterampilan
3) Perlu adanya koordinasi antara pelaksana PKW, Dinsos
Propinsi, Dinas Sosial setempat, Kepolisian serta dinas-dinas
terkait, dan masyarakat sekitar. Koordinasi yang dilakukan
bisa dalam bentuk perencanaan program, penyediaan
fasilitas, penyediaan trainer, pendanaan maupun penwasan
program.
4) Perlu adanya kerja sama antara PKW dengan RT/ RW/ Desa/
Kelurahan/ Dinas sosial asal kelayan setelah keluar PKW.
124
c. Bagi Masyarakat
Masyarakat hendaknya dapat memberikan kesempatan
kepada eks WTS untuk berubah dengan sungguh-sungguh dan
memberikan kepada WTS untuk berkarya secara wajar serta
membuktikan kesungguhan mereka untuk menjadi
warga/masyarakat yang baik.
125
DAFTAR PUSTAKA
B. Simandjutak. 1981. Beberapa Aspek Patologi Sosial. Bandung: Alumni.
D. Soedjono. 1984. Phathologi Sosial. Bandung: Alumni.
Gibson. 1994. Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Erlangga
Hadari Nawawi. 2001. Perencanaan Sumber Daya Manusia untuk Organisasi Profit yang Komperatif. Yogyakarta : Gajah Mada University.
H. B. Sutopo. 2002. Metode Penelitian Kualitatif. Surakarta: UNS Press.
H. Lubis dan Martani Husaeni. 1987. Teori Organisasi (suatu pendekatan makro). Surakarta: UNS Press.
Ibnu Syamsi. 1988. Pokok-pokok Organisasi dan Manajemen. Jakarta: Bina
Aksara. Kartini Kartono. 1992. Phatologi Sosial. Jakarta: CV. Rajawali.
Lexy J. Maleong. 2000. Penelitian Kualitatif .Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Masri Singarimbun dan Sofian Efendi.1995. Metode Penelitian
Survai.Yogyakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia. Poerwadarminto. 1987. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Robbins, Stephen P. 1994. Teori Organisasi, Struktur, Desain dan Aplikasi. Penerjemah Jusuf Udayana. Jakarta: Aufcan.
Samodra Wibowo,dkk. 1994. Evaluasi Kebijakan Publik. Jakarta: Grafindo
Persada. Sondang P. Siagian. 1996. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi
Aksara. Steers, Richard M. 1985. Efektifitas Organisasi, terjemahan Magdalena
Jamin. Jakarta: Erlangga. Suwarno Handayaningrat.1986. Pengantar Ilmu Administrasi dan
Manajemen. Jakarta: Ghalia Indonesia. Talizuduhu Ndraha. 1989. Konsep Administrasi dan Administrasi di
Indonesia. Jakarta: PT. Bina Aksara
126
The Liang Gie. 1981. Efisiensi Kerja Bagi Pembangunan Negara. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Sumber Lain:
Jurnal ”Successfull Program Implementation Lesson from Blueprint”oleh J. Robert Flores tahun 2004
Jurnal ”Analyzing the Effectiveness of Commuter Benefit Program”,
sponsored by Federal Transit Administration tahun 2004 Laporan Tahunan Panti Karya Wanita “Wanita Utama” Surakarta tahun 2007-
2009 Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Sosial UPT PKW “Wanita Utama” tahun
2002 Perda Propinsi Jawa Tengah No. 1 Tahun 2002 Pasal 2 Ayat 1
www.balikpapan.go.id
www.balitbangjateng.go.id
www.kompas.com