solidaritas, organisasi dan pembangunan...
TRANSCRIPT
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 75
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
76
BAB VI.
SOLIDARITAS, ORGANISASI DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN Studi Kasus Pada Dua Komunitas Pertanian Dataran Tinggi
di Kabupaten Gunung Kidul
Pembangunan seringkali disejajarkan degan evolusi sosial yang dipercepat (accelerated social evolution), yang tidak saja menyangkut masalah perubahan teknologi fisik namun juga teknologi non fisik (misalnya:
perubahan pola organisasi dan budaya masyarakat). Perubahan teknologi
umumnya dikaitkan dengan modernisasi, dan tidak harus diartikan sebagai
westernisasi sebagaimana diartikan oleh banyak ahli dari Barat, (misalnya oleh Lerner, 1958). Modernisasi itu sendiri adalah semacam keharusan bagi
pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan demikian dapat dikemukakan
bahwa makna pembangunan masyarakat pedesaan mempunyai arti lebih luas dibanding modernisasi.
Tulisan ini mengulas solidaritas, organisasi masyarakat tingkat desa, dan pembangunan pedesaan. Pembangunan pedesaan tidak dapat mele-
paskan diri dari campur tangan pemerintah atas desa. Namun demikian,
pembangunan pedesaan itu sendiri harus tetap menjadi bagian dari budaya masyarakat pedesaan. Ketepatan pencapaian pembangunan yang dimaksud,
tidak dapat mengabaikan unsur solidaritas yang mendasari kolektivitas dan
keorganisasian masyarakat di tingkat bawah. Perkembangan solidaritas dan keorganisasian masyarakat tingkat desa sedikit banyak akan dipengaruhi
oleh ketersediaan sumberdaya (fisik, hayati, dan manusia) dan lingkungan-
nya yang menopang kehidupan masyarakat pedesaan dimaksud. Dalam tulisan ini dianggap bahwa antara solidaritas, organisasi masyarakat tingkat
desa dan pembangunan pedesaan saling mempunyai keterkaitan, dan hal
ini menarik untuk dibahas secara khusus.
Mengingat sekitar 80 persen penduduk tinggal di pedesaan, pembangunan pedesaan menjadi fokus penting pembangunan nasional. Menurut Korten (1981), pembangunan pedesaan hendak-nya diarahkan
untuk pengembangan masyarakatnya agar mereka dapat menolong dirinya
sendiri (helping the poor to help themselves). Dengan demikian, campur
tangan pemerintah hendaknya tidak hanya menekankan pemberian bantuan teknologi material, modal dan sarana fisik berdasar wewenang dan
kekuasaan yang dimiliki, namun juga perlu mengembangkan solidaritas dan
keorganisasian yang tumbuh dari bawah. Hal ini dilakukan bukan saja dalam rangka untuk menghemat biaya, namun juga untuk ketepatan
pencapaian pembangunan itu sendiri.
Dengan adanya campur tangan dari atas (pemerintah pusat), untuk mempercepat pembangunan pedesaan, pembentukan organisasi dari atas
desa memang sulit dihindarkan. Namun hal ini tidak perlu disertai anggapan bahwa masyarakat desa tidak mengenal cara berorganisasi. Jika
dikatakan bahwa sebelumnya masyarakat desa, yang berkembang dari
diferensiasi sosial sederhana ke komplek, tidak mengenal birokrasi, aturan tertulis ("formal"), pembagian wewenang dan kekuasaan yang terstruktur
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 77
dalam hirarki formal, dan unsur-unsur modern lainnya, hal tersebut
mungkin bisa diterima. Memang sulit dibayangkan jika masyarakat
pedesaan seperti yang ada di Jawa akan terdorong dengan sendirinya untuk
menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi di Eropa pada abad 17-18. Selanjutnya juga akan sulit dibayangkan bahwa unsur-
unsur modern dalam berorganisasi pada masyarakat pedesaan akan lahir
dari bawah secara revolusioner.
Kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah dua komunitas
pertanian di dataran tinggi di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Komunitas pertama (Desa Kedungpoh) adalah yang selama sekitar tiga tahun (1979-1982) memperoleh campur tangan cukup intensif
dari pemerintah atas desa, melalui Proyek Bangun Desa (Yogyakarta Rural Develompent Project) bantuan Bank Dunia. Sedang komunitas kedua (Desa
Katongan) adalah mewakili desa yang relatif kurang memperoleh campur tangan intensif dari pemerintah. Selanjutnya akan dilihat sampai seberapa
jauh dinamika yang terjadi pada organisasi masyarakat di tingkat desa dan
padukuhan di kedua komunitas tersebut. Selain itu juga akan dilihat ragam solidaritas yang berkembang di kedua komunitas, yang mendasari perkem-
bangan kehidupan keorganisasian masyarakatnya.
Perlu dikemukakan bahwa dalam tulisan ini tidak dikemuka-kan definisi yang terlalu ketat tentang organisasi. Organisasi masyarakat
dianggap sebagai gejala keteraturan yang didasarkan pada kebudayaan
masyarakat tersebut, dimana kerjasama dan kolektivitas untuk mencapai
tujuan bersama (umumnya lebih dari satu tujuan, dan tidak harus spesifik) ditegakkan. Dengan pendefinisian yang tidak terlalu ketat ini, diharapkan
akan dapat ditangkap gejala organisasi masyarakat di tingkat pedesaan yang
tampak samar-samar jika dilihat dari kecamatan masyarakat modern. Ukuran jumlah anggota, asal pembentukannya, tingkat keformalan-nya,
unsur kekarismaan dan kebirokrasian, dan kemutakhirannya dipakai untuk
melihat karakteristik organisasi yang ada di pedesaan.
Secara lebih rinci tulisan ini membahas, pertama, kerangka
pemikiran yang digunakan untuk melihat bahwa pengembangan organisasi
masyarakat tingkat desa, sebagai bagian kekuasaan atas desa, yang
merangkai sumberdaya manusia dan sumberdaya lingkungan (fisik dan hayati) diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan pedesaan. Dalam
upaya merangkai sumberdaya tersebut dibutuhkan difusi teknologi material,
dan bantuan modal dan sarana fisik dari luar desa. Kedua, membahas penduduk dan pertanian yang mencakup penduduk (jumlah, pertumbuhan,
komposisi, dan mata pencahariannya), tanah pertanian (status penggunaan
tanah, sertifikasi tanah, dan pemilikannya oleh petani), dan perkembangan teknologi pertanian (terutama pada tanaman pangan utama: padi, jagung,
ubikayu dan kedele). Ketiga, membahas solidaritas masyarakat yang
mendasari kehidupan kerjasama atau kolektif di tingkat desa, termasuk di
bidang keorganisasiannya. Ada empat dimensi solidaritas yang dibahas, yaitu: solidaritas ketetanggaan, sosial budaya, birokratik, dan rasional.
Keempat, membahas organisasi masyarakat yang mencakup: di tingkat
pemerintahan desa, masyarakat desa, dan masyarakat padukuhan. Pada
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
78
organisasi masyarakat di tingkat padukuhan tampak masih dapat dikenali ciri-ciri kehidupan masyarakat bawah. Sebaliknya pada tingkat desa lebih
banyak dikenali ciri-ciri kepentingan atas desa.
KERANGKA PEMIKIRAN
Pembangunan Pedesaan
Gambar 7 menerangkan secara sederhana tentang kerangka dampak
pengembangan organisasi masyarakat tingkat desa terhadap tujuan
pembangunan pedesaan. Kerangka (Gambar 7) tersebut dibaca dengan titik tolak bahwa struktur dan organisasi masyarakat tingkat desa dapat
dipandang sebagai alat atau "instrument" dan sekaligus sebagai tujuan.
Sebagai alat, organisasi masyarakat yang dimaksud mempunyai peranan dalam proses alih teknologi material ("penyuluhan"), dan untuk
melancarkan penyediaan fasilitas permodalan dan sarana fisik yang
dirangkai dalam jaringan birokrasi kekuasaan atas desa. Sebagai tujuan, keberadaan dari perkembangan struktur dan organisasi pada kelompok-
kelompok primer di pedesaan kemung-kinan besar tetap dijiwai oleh adanya
pergaulan ("solidaritas") yang bersifat kekeluargaan dan personal. Dengan demikian terbinanya keteraturan masyarakat desa merupakan konvergensi
dari sekian ragam tujuan yang sebagian dapat dicapai dengan cara mandiri
("self-determination") dari anggotanya. Atau dengan kata lain, gejala tersebut
adalah hal yang sudah mendarah daging di masyarakat sebagai perwujudan "naluri" (kolektif) mengadakan hubungan kerjasama ("tolong-menolong").
Wewenang atau kekuasaan formal atas desa yang didayagunakan
untuk merangkai aspek teknologi fisik (material), dan modal serta sarana fisik lainnya digolongkan sebagai variabel bebas. Posisi organisasi
masyarakat tingkat desa yang merangkai sumberdaya lingkungan (fisik dan
hayati), dan sumberdaya manusia dapat digolongkan sebagai variabel antara. Komponen tujuan pembangunan yang mencakup peningkatan
produktivitas, distribusi pendapatan dan kesejahteraan, penyerapan tenaga
kerja, partisipasi pengambilan keputusan, mobilitas status ("vertikal"), dan aspek spiritual (nilai, sikap dan kepercayaan) digolongkan sebagai variabel
tujuan pembangunan pedesaan (Inayatullah, 1979).
Dari kerangka tersebut terkandung makna bahwa gambaran tentang
masyarakat desa yang sepenuhnya mandiri sama sekali tidak sesuai kenyataan. Namun tetap penting ditekankan bahwa lingkungan pedesaan
mempunyai sumberdaya alam, hayati dan manusia (termasuk lembaga dan
organisasi) yang mampu mendukung masyarakatnya untuk berkembang. Hanya saja sumberdaya tersebut perlu memperoleh penanganan yang lebih
memadai melalui "petunjuk dan bimbingan" berupa pengaturan dan
pengendalian dari aparat pemerintah atas desa. Bahwa desa tidak dapat menolak campur tangan dari atas desa; karena unsur kekuasaan dan
wewenang, teknologi fisik ("material"), dan modal serta sarana fisik; hal itu
umumnya telah diterima sebagai kenyataan.
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 79
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
80
Solidaritas dan Organisasi Masyarakat
Jauh sebelum sosiologi diakui sebagai cabang ilmu, Ibn Khaldun
dalam bukunya berjudul Mukadimah (penerjemah Issawi, 1976) telah
menyatakan bahwa antara individu dan masyarakat merupakan kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Menurut A. Comte dalam Bierstedt (1957),
masyarakat (asal kata "socious") diartikan sebagai "pergaulan manusia".
Menurut Spencer dalam Znaniecki (1945), bahwa masyarakat adalah sistem
yang mencakup unit-unit dasar (terkecil) bio-psikologi individu yang mendiami suatu wilayah tertentu dan dalam perjalanan waktu yang relatif
lama, umumnya lebih dari satu generasi. Apapun dasarnya, dalam
masyarakat akan dijumpai kumpulan individu yang satu sama lain terikat jalinan kerjasama ("tolong-menolong"). Selanjutnya, menurut Toynbee dalam Homans (1950), kerjasama bisa diwujudkan dalam bentuk "solidaritas",
yang jika dibesarkan dan dikuatkan dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah-masalah internal dalam masyarakat bersangkutan.
Diketengahkan oleh Tjondronegoro (1977), istilah organisasi
(demikian juga lembaga) tidak berasal dari khasanah bahasa Indonesia.
Dalam penggunaannya seringkali perbedaan arti antara lembaga dan organisasi dianggap tidak penting. Oleh Etzioni (1961) dan Sumner (1906)
kedua pengertian tersebut seakan-akan dapat dipertukarkan. Bagi ahli lain,
seperti Rivers (1926), Koentjaraningrat dalam Soekanto (1978) dan Znaniecki (1945) masih menganggap perlu memisahkan antara lembaga dan organisa-
si. Pendapat Tjondronegoro (1977) agak moderat, bahwa gejala organisasi
merupakan kelanjutan dari perkembangan lembaga masyarakat ke arah
yang lebih modern. Dalam kerangka pemikiran ini tidak menganggap penting mengetengahkan perbedaan pandangan di atas. Pengertian lembaga,
dalam beberapa hal, dicakup dalam organisasi. Sedang dalam hal lain,
pengertian lembaga adalah diterjemahkan sebagai aspek normatif yang mendasari hidupnya organisasi masyarakat di pedesaan.
Betapapun sederhananya suatu masyarakat hampir dapat dipasti-
kan bahwa dari masyarakat tersebut akan melahirkan budaya, yang selanjutnya budaya tersebut dapat berkembang dan melahirkan tatanan
baru sesuai dengan perkembangan situasi atau orientasi (baru) yang ingin
dicapai. Menurut Bertrand (1974) setiap dijumpai ada kebudayaan yang mapan dalam suatu masyarakat maka akan dijumpai juga adanya organi-
sasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat akan
dijumpai organisasi yang khas. Koentjaraningrat (1984) dan Keesing (1975) menunjukkan banyak contoh tentang adanya organisasi pada masyarakat
pertanian yang masih primitif. Munculnya organisasi masyarakat diawali
oleh keluarga atau hubungan kekerabatan, meningkat ke kelompok suku,
dan selanjutnya menjadi organisasi-organisasi yang relatif komplek. Diteri-manya negara membawahi sejumlah masyarakat tradisional (pedesaan),
muncul dalam bentuk kekuasaan atau pemerintahan atas desa ("nasional"),
hal itu menimbulkan cara pandang baru yang lebih kompleks lagi terhadap kajian organisasi dan kolektivitas masyarakat berukuran besar.
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 81
Pada desa-desa di Jawa yang belum terkena langsung campur
tangan intensif dari pemerintah, pola organisasi masyarakatnya dapat
ditelusuri dari pola atau ciri solidaritas yang mendasarinya. Selanjutnya,
dengan mensintesakan pendapat Durkheim dalam Johnson (1987), tentang solidaritas, Weber dalam Johnson (1987), tentang perkembangan masyara-
kat ke arah tipe ideal ("nasional"), Etzioni (1961), tentang organisasi
komplek, dan Blau dan Meyer (1987) tentang birokrasi dalam masyarakat modern dapat dibuat kesejajaran pola organisasi dan solidaritas masyarakat
tingkat desa, yaitu sebagai berikut:
Organisasi masyarakat Solidaritas masyarakat
- Ketetanggaan - Kekeluargaan dan ketetanggaan - Pedukuhan - Sosial budaya
- Pemerintahan Desa - Birokratik
- Kesumberdayaan - Rasional
Lebih lanjut dapat diketengahkanbahwa secara teoritik organisasi masyarakat tingkat desa dapat ditinjau dengan pendekatan seperti berikut:
(1) Berdasar atas asal dibentuknya, dapat dibedakan pertama, yang
dibentuk dari kekuasaan atas desa (pemerintah pusat atau daerah); kedua, yang dibentuk melalui swadaya masyarakat dengan proses
sejarah yang menyertainya; ketiga, dibentuk atas dasar rumusan/
konsensus bersama antara pemerintah (atas desa) dan masyarakat desa.
(2) Berdasar atas keformalannya; pertama, organisasi masyarakat yang berbentuk formal, atau ada aturan tertulisnya; kedua, berbentuk non-
formal, atau tidak ada aturan tertulisnya; ketiga, berbentuk peralihan
dan non-formal ke formal, yang dalam hal ini disebut bentuk adaptif.
(3) Ditinjau dari hubungan pengendalian oleh atasan terhadap bawahan; pertama, pengendalian dengan hirarki wewenang ("kekuasaan") yang
melalui rantai birokrasi yang jelas; kedua, yang didukung oleh
hubungan kharismatik atau apresiatif; ketiga, yang pengendaliannya dengan kombinasi antara birokratik dan kharismatik.
(4) Berdasar ukuran jumlah anggotanya; pertama, organisasi berukuran
relatif besar (OB=organisasi besar), yang jumlah anggotanya sekitar 50
orang per organisasi; kedua, berukuran relatif kecil (OK=organisasi kecil), yang jumlah anggotanya sekitar 5-12 orang per organisasi; ketiga,
berukuran sedang (OS=organisasi sedang), yang jumlah anggotanya di
antara OK dan OB.
PENDUDUK DAN PERTANIAN
Penduduk
Tahun 1980 jumlah penduduk dan kepadatannya pada masing-
masing komunitas adalah 5677 jiwa (Kedungpoh) dan 5602 jiwa (Katongan), dan 526,13 jiwa per km2 dan 413,13 jiwa per km2. (Sebagai gambaran
kepadatan penduduk di Jawa rata-rata sekitar 650 jiwa per km2). Pada
tingkat kepadatan tersebut rata-rata setiap jiwa menempati bagian tanah seluas masing-masing 0,19 ha (Kedungpoh) dan 0,24 ha (Katongan). Dengan
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
82
rata-rata ukuran keluarga adalah 4,82 jiwa (Kedungpoh) dan 4,66 jiwa (Katongan) per KK, maka rata-rata setiap KK bisa mengerjakan tanah 0,79
ha dan 0,62 ha per KK.
Tingkat pertumbuhan penduduk di kedua komunitas relatif rendah, yaitu 1,15 persen (Kedungpoh) dan 0,52 persen (Katongan) per tahun,
(angka pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 2,3 % per tahun). Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di
kedua komunitas agaknya tidak menjadi kendala penting bagi
pengembangan masyarakatnya. Lebih-lebih, dengan keberhasilan program KB tingkat kelahiran dapat ditekan cukup kuat. Dengan angka tingkat
kematian relatif rendah (+ 15 per seribu penduduk) menunjukkan bahwa
secara demografis tingkat kemajuan peradaban masyarakat di kedua desa cukup tinggi. Diperkirakan di tahun-tahun mendatang jumlah penduduk
golongan umur muda dapat lebih sedikit dibanding sebelumnya. Distribusi
penduduk menurut umur relatif normal, yaitu dengan sex ratio 98,90 persen
(Kedungpoh) dan 94,60 persen (Katongan).
Golongan umur muda (16-35 tahun) umumnya menunjukkan gejala enggan tinggal di desa dan bekerja di pertanian. Jika dimungkinkan, sekitar
80 persen dari mereka lebih memilih bekerja di perkotaan. Prioritas kota
besar yang dituju berturut-turut adalah Jakarta, Yogyakarta, dan Semarang.
Lapangan kerja yang dipilih berturut-turut adalah pegawai negeri (80 persen), industri (35 persen), dan pedagang (25 persen). Pilihan sebagai
pegawai negeri ini bersesuaian dengan rata-rata keinginan orang tua (65
persen) terhadap anaknya. Menjadi pegawai kantoran atau "priyayi" dianggap mencerminkan status sosial tinggi. Pertanian dianggap bidang
pekerjaan yang kurang menggambarkan status sosial yang terhormat, atau
dengan kata lain dekat dengan status wong cilik.
Sebagian besar atau sekitar 80 persen penduduk bekerja di
pertanian, dan yang termasuk buruh tani sekitar 15 persen. Umumnya kegiatan pertanian gabungan dari tanaman pangan (padi gogo dan palawija),
peternakan dan tanaman karangkitri. Walaupun mata pencaharian lain
seperti pengrajin (+ 7,5 persen), pedagang (+ 5 persen) dan tukang (+ 6 persen) cukup dikenal namun kurang menonjol. Dengan memperhatikan
animo golongan muda dan keinginan orang tua terhadap anaknya untuk
tidak bekerja di pertanian atau pedesaan, di masa datang kemungkinan besar komposisi mata pencaharian tersebut akan bergeser ke non pertanian.
Tanah Pertanian
Sumberdaya tanah tidak saja penting untuk penyediaan pangan dan
sumber kehidupan, melainkan menurut Tjondronegoro (1980) juga penting
sebagai sumber kerukunan (atau "solidaritas") masyarakat di pedesaan. Dahulu semua tanah adalah milik kesultanan ("Raja"), dan petani (sebagai
kawula dalem atau abdi Sultan) dalam mengolah tanah berstatus sebagai
peminjam. Setelah pemerintahan nasional, status penggunaan tanah diatur dengan undang-undang. Status penggunaan tanah tersebut relatif sama
untuk setiap desa, yaitu berupa milik desa, perorangan (pekarangan, sawah,
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 83
tegalan dan tanah kering), dan milik pemerintah (hutan negara, kuburan,
jalan, sungai dan lainnya).
Pemilikan tanah perorangan diatur oleh keagrariaan dengan sertifi-
kat tanah. Di desa Kedungpoh sertifikasi tanah hampir semuanya beres hingga model C, dan beberapa telah sampai model D. Di Desa Katongan,
karena tidak tersentuh program khusus, sertifikasi tanah masih tersendat.
Di Desa Katongan beberapa petani mengaku telah lebih dari sekali mem-bayar administrasi pembuatan sertifikat tanah (model C), namun tetap
belum memperoleh pelayanan yang memadai. Dalam kaitan dengan urusan
ini, petani cenderung lebih tertib daripada atasan desa. Karena pentingnya urusan tanah ini, wibawa pamong desa sering kurang memperoleh tempat di
hati petani.
Pemilikan tanah merupakan faktor penting untuk melihat stratifikasi sosial. Tabel 6 menunjukkan distribusi luas pemilikan tanah di kedua
komunitas. Berpatokan pada kriteria Sajogyo (1977) atas hasil Susenas
(1976), maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani termasuk
golongan petani miskin, (pemilikan kurang dari 0,5 ha), dan lebih-lebih di Desa Katongan. Jumlah petani yang memiliki luas tanah di bawah 0,25 ha
masing-masing 23,80 persen (Kedungpoh) dan 46,70 persen (Katongan).
Keadaan ini menggambarkan bahwa kehidupan komunitas di kedua desa akan sukar jika hanya mengandalkan dari usaha mengolah tanah pertanian.
Faktor ini agaknya ikut menentukan persepsi masyarakat untuk tidak sela-
manya menggantungkan hidup di pertanian, terutama golongan mudanya. Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang Memiliki Tanah Menurut Jenis dan Luasnya
di Desa Kedungpoh dan Katongan, Tahun 1982
Luas tanah (ha)
Desa Kedungpoh (KK) Desa Katongan (KK)
Peka-rangan
Sawah Tanah kering
Jumlah Peka-rangan
Sawah Tanah Kering
Jumlah
0,25
0,25-0,50
0,50-0,75
0,75-1,00
1,00-1,25
1,25-1,50
1,50-1,75
1,75-2,00
2,00
160 (20,8) 325
(42,3) 100
(13,0) 150
(19,5) 12
(1,6) 10
(1,3) 6
(0,8) 5
(0,7) t.a.d
-
151 (32,3) 255
(54,5) 50
(10,7) 12
(2,5) t.a.d
- t.a.d
- t.a.d
- t.a.d
- t.a.d
-
273 (25,6) 300
(28,1) 200
(18,7) 175
(16,4) 60
(5,6) 28
(2,6) 20
(1,9) 12
(1,1) t.a.d
-
584 (23,8) 880
(38,2) 350
(15,2) 337
(14,6) 72
(3,1) 38
(1,7) 26
(1,1) 17 0,7) t.a.d
-
250 (62,2) 104
(25,9) 20
(5,0) 10
(2,5) 10
(2,5) 5
(1,2) 1
(0,2) t.a.d
- 2
(0,5)
t.a.d -
46 (34,9)
45 (34,1)
8 (6,1)
9 (6,8) 21
(15,9) 1
(0,8) t.a.d
- 2
(1,5)
221 (46,6) 164
(34,6) 55
(11,6) 10
(2,1) 6
(1,3) 15
(3,2) 1
(0,2) t.a.d
- 2
(0,4)
471 (46,7) 317
(31,2) 120
(11,9) 28
(2,8) 23
(2,5) 41
(4,1) 3
(0,3) t.a.d
- 6
(0,6)
Jumlah 768 (100)
468 (100)
1068 (100)
2304 (100)
402 (100)
132 (100)
474 (100)
1008 (100)
Sumber : Daftar Isian Penelitian Tata Desa 1982. Keterangan : t.a.d = tidak ada data
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
84
Dari gambaran tersebut dapat ditarik beberapa implikasi, pertama, adalah masuk akal jika kemiskinan akan dekat atau (bahkan) melekat pada
kegiatan pertanian rakyat. Kedua, dalam kondisi seperti itu kiranya akan
sukar bagi petani untuk diajak aktif dalam pembangunan. Ketiga, adalah
tidak logis jika petani terus dibebani untuk menyediakan bahan pangan murah, dan mensubsidi secara tidak wajar bagi perkembangan industri di
perkotaan. Keempat, seyogyanya pengembangan industri dan perekonomian
non pertanian mampu menyerap kelebihan tenaga kerja di pertanian. Kelima, penggunaan saluran kekuasaan vertikal ke bawah perlu diimbangi
adanya kesadaran bahwa dengan sumberdaya yang sangat terbatas petani
telah berada pada ambang yang sukar untuk berpartisipasi dalam
pembangunan. Partisipasi masyarakat bisa dimunculkan dengan menerap-kan unsur paksaan ("halus" maupun "kasar"), namun hal itu sudah barang
tentu bertentangan dengan esensi pembangunan.
Teknologi Pertanian
Karena pertanian masih menjadi tulang punggung kehidupan
perekonomian pedesaan, maka modernisasi pertanian sedikit banyak akan menggambarkan kemajuan masyarakat pedesaan (akibat adanya program
pembangunan). Dengan mengacu pada ahli evolusi tentang modernisasi,
antara lain Weber dan Parson, Harrison (1988) menyatakan bahwa teknologi
merupakan faktor penentu bagi modernisasi. Dalam kasus ini, adopsi teknologi pertanian dapat dijadikan indikator perkembangan masyarakat
pedesaan. Selain tingkat produktivitas tanaman pangan utama (padi gogo,
ubikayu; jagung dan kedele), perkembangan teknologi tersebut dapat ditelusuri dari penggunaan input produksi bukan tenaga kerja; seperti bibit,
pupuk, dan obat-obatan.
Penggunaan bibit unggul, terutama padi, umumnya telah dikenal petani. Sedangkan penggunaan pupuk dan obat-obatan (Tabel 7 dan 8),
walaupun terdapat perbedaan, tampaknya juga telah dikenal baik petani.
Adapun gambaran rata-rata petani di Desa Kedungpoh relatif lebih tinggi (dibanding Desa Katongan) tingkat adopsi teknologinya, hal ini dapat
dikatakan wajar.
Tabel 7. Tingkat Rata-rata Pemakaian Pupuk untuk Jenis Tanaman Pangan Utama per ha dalam Setahun, 1982
Jenis Pupuk Desa Kedungpoh Desa Katongan
Urea (Kg/ha)
TSP (Kg/ha)
Kandang (pikul/ha)
334,8
115,1
163,0
251,4
156,8
171,7
Pengaruh Proyek Bangun Desa memang terlihat cukup jelas pada adopsi teknologi pertanian. Dalam pelaksanaan di lapangan, pemberian
bantuan input produksi seperti pupuk dan obat-obatan termasuk instrumen
penting Proyek Bangun Desa. Bisa dimengerti jika pengaruh bantuan tadi
bisa ditunjukkan pada perkembangan teknologi pertanian tanaman pangan.
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 85
Dari Tabel 9 digambarkan lebih jelas bahwa rata-rata produktivitas tanaman
pangan petani di Desa Kedungpoh lebih tinggi dibanding yang terjadi di Desa
Katongan. Apakah peningkatan produktivitas tanaman pangan tadi terus
berlanjut, hal itu masih tergantung pada sejauh mana perekonomian petani di kemudian hari masih mengandalkan pertanian tanaman pangan.
Tabel 8. Tingkat Rata-rata Obat-obatan yang Dipakai Petani untuk Tanaman Pangan
per ha dalam Setahun, 1982
Jenis Pupuk Desa Kedungpoh Desa Katongan
Furadan (Kg/ha)
Diazinon (Lt/ha)
S e v i n (Kg/ha)
Obat gabah (Kg/ha)
19,9
8,5
9,0
2,5
8,8
4,2
4,9
0,9
Tabel 9. Produktivitas Rata-rata per Hektar (ha) Beberapa Jenis Tanaman Pangan
Utama
Jenis tanaman
pangan utama
Desa Kedungpoh
(Kw/ha)
Desa Katongan
(Kw/ha)
Padi gogo1)
Ubikayu2)
Jagung3)
Kedele4)
22,43
29,25
3,24
3,60
21,60
13,04
2,73
3,36
Keterangan: 1) gabah kering panen; 2) ubikayu basah berkulit; 3) jagung pilihan (wose) 4) biji kedele (wose)
Tingkat produktivitas tanaman pangan utama yang relatif lebih tinggi di Kedungpoh disertai peningkatan curahan jam kerja yang lebih tinggi,
3792,4 jam kerja (Kedungpoh) dan 2781,1 jam kerja (Katongan) per tahun.
Dalam perhitungan faktor tenaga kerja sekitar 71,78 persen (Kedungpoh) dan 67,53 persen (Katongan) dari keseluruhan biaya produksinya,
keuntungan usahataninya adalah sekitar Rp. 225.000 (Kedungpoh) dan Rp.
210.000 (Katongan) per ha per tahun. Dengan rata-rata pemilikan dibawah
0,5 ha per KK, perbedaan tingkat keuntungan usahatani dari peningkatan produktivitas ("teknologi") sebesar tersebut diperkirakan tidak nyata
terhadap kesejahteraan petani.
Dengan tingkat pengeluaran rata-rata rumah tangga seperti digambarkan Tabel 10, pendapatan usahatani dari tanaman pangan jauh
dari mencukupi keperluan rumah tangga petani. Gejala yang tampak
menarik bahwa tingkat pengeluaran rata-rata rumah tangga petani Desa Kedungpoh lebih tinggi dari Desa Katongan. Dapat ditafsirkan, bahwa
dampak modernisasi ternyata meningkatkan secara nyata tingkat
pengeluaran rumah tangga, baik untuk pangan maupun non pangan (terutama pendidikan). Dari gambaran ini juga dapat ditafsirkan, bahwa
dampak modernisasi pertanian sekaligus mendorong petani untuk mencari
tambahan pendapatan dari luar pertanian. Hal ini tampak akan
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
86
menimbulkan gejala tidak sehat, terutama jika sektor non pertanian tetap kurang bersahabat dengan petani kecil.
Tabel 10. Jumlah Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga dan Alokasinya Menurut
Jenis Pengeluarannya
Jenis pengeluaran Desa Kedungpoh Desa Katongan
(Rupiah) (%) (Rupiah) (%)
- Makan dan minum (termasuk
rokok)
- Pakaian
- Perkakas rumah
- Pendidikan
- Kesehatan
- Reakreasi
- Pajak
- Lain-lain (sumbangan, iuran dll)
594.492
54.130
11.310
130.580
10.340
10.600
1.923
43.900
69,35
6,31
1,32
15,23
1,21
1,24
0,22
5,12
444.345
56.896
9.800
95.800
11.060
8.700
1.196
46.000
65,95
8,44
1,45
14,22
1,64
1,29
0,18
6,83
Jumlah 857.900 100,00 673.797 100,00
SOLIDARITAS MASYARAKAT DESA
Solidaritas merupakan bagian esensial yang tidak dapat diabaikan
jika kita melihat masyarakat desa sebagai hasil dari proses sejarah dan kebudayaan manusia yang tinggal dalam batasan geografis yang jelas
(Durkheim, 1966; Hoogvelt, 1976 dan Hawley, 1950). Kekhasan solidaritas
atau kerjasama pada masing-masing komunitas desa dapat dilihat dari batasan lokasi, produksi dan ekonomi, keagamaan/kepercayaan, dan
derajat kebirokrasian dalam pembangunan pedesaan. Di setiap komunitas
desa akan menampakkan gejala solidaritas yang berbeda.
Solidaritas Ketetanggaan
Kehidupan ketetanggaan mencerminkan penggabungan antara
norma kekeluargaan dan aspek lokasional. Hubungan atau komunikasi
menggunakan media lisan (getok tular) dan tatap muka yang bersifat perso-
nal menjadi ciri umum yang mendasari solidaritas ketetanggaan. Disamping disebabkan sedikit dikuasainya bahasa tulis, menurut Vandemark dan Leth
(1977), bagaimana masyarakat berkomunikasi merupakan bahian sistem ni-
lai dan kelembagaan masyarakat tersebut. Lebih lanjut, solidaritas ketetang-gaan ini banyak diwarnai kegiatan tolong menolong bersifat kekeluargaan.
Perwujudan nyata solidaritas ini, antara lain pertama, adalah
selametan dan kesripahan dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian (nyatus, nyewu, dan ngekoli). Kedua, adalah yang berkaitan
dengan upacara atau tradisi pernikahan. Gotong royong merupakan
kekayaan kehidupan ketetanggan, yang dalam praktek semacam kewajiban
sosial atau norma (hukum) tidak tertulis. Ketiga, solidaritas ini sedikit
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 87
banyak juga mendasari kegiatan pertanian antar tonggo teparo, yang istilah
lokalnya lir gumanti (untuk luku, nggaru, macul, matun, dan panen).
Keempat, tolong menolong untuk membuat rumah (bahan dari pemilik),
terutama di bidang tenaga kerja, masih merupakan kasanah solidaritas ketetanggaan yang tetap hidup.
Dalam solidaritas ketetanggaan ini terkandung norma hukum,
walaupun tidak tertulis, yang jika dilanggar ada sangsinya. Sebagai contoh, seorang anggota atau warga ketetanggaan yang diketahui sering tidak
terlibat dalam kegiatan solidaritas untuk sementara waktu dikucilkan dari
pergaulan sehari-hari. Walaupun sangsi ini jarang digunakan, namun cu-
kup efektif untuk menjaga dan mempertahankan norma solidaritas kete-tanggaan. Dalam hal ini, unsur keamanan lingkungan tetangga termasuk
prioritas tujuan masyarakat yang penting. Secara mental, seorang warga
yang dikucilkan dan keamanan keluarganya kurang terjamin terasa sekali beratnya.
Solidaritas Sosial Budaya
Solidaritas dalam skala lebih besar, menurut Toynbee dalam
Homans (1950) bukan sekedar urusan unit keluarga namun juga tumbuh
untuk menggalang hubungan kolektivitas yang harmonis di tingkat
padukuhan. Dalam kaitan ini norma ketetanggaan diperluas hingga tingkat padukuhan atau kampung. Solidaritas di tingkat ini masih diwarnai
kebersamaan yang didasarkan atas norma kekeluargaan dan ketetanggaan.
Sebagaimana juga dikatakan Tjondronegoro (1977), yang menyebut istilah sodalitas, demokrasi sederhana ("primitif") yang menjunjung tinggi asas
musyawarah masih tampak hidup pada kehidupan solidaritas di tingkat
padukuhan. Pada tingkat inilah agaknya solidaritas sosial budaya asli masyarakat pedesaan dapat bertahan hidup.
Orang-orang yang dianggap mempunyai kelebihan di bidang pengeta-
huan umum, dan integritas kemasyarakatan didudukkan sebagai pemimpin dan penggerak solidaritas. Pada tingkat ini gerakan masyarakat tidak
menggambarkan kemauan elit masyarakat. Pengertian rukun, sebagaimana
juga ditangkap Geertz (1983) pada umumnya di masyarakat atau keluarga
Jawa, masih nyata mendasari kebersamaan sosial budaya. Norma hukum, ekonomi dan sosial masih tampak sebagai bagian budaya masyarakat.
Dalam bentuk kegiatan nyata, solidaritas ini ditunjukkan oleh masih
tebalnya semangat gugur gunung (istilah yang mirip dengan gotong royong). Semangat ini masih efektif untuk pembuatan sarana umum (misalnya:
jalan, balai padukuhan, langgar/masjid, dan pembuatan/perbaikan gorong-
gorong). Semangat ini juga tampak pada kegiatan pertukaran tenaga kerja di pertanian, dan lembaga sosial ekonomi padukuhan. Arisan rumah dan
lumbung padukuhan tidak dapat dilepaskan dan semangat solidaritas
berdasar sosial budaya ini. Dalam bentuk sangsi hukum, tampak lebih
keras dibanding pada solidaritas ketetanggaan. Sebagai contoh, bagi pemilik ternak yang lalai mengikat ternak (misalnya: sapi dan kambing) dan
kemudian ternak tersebut merusak tanaman (pagar) tetangga, pemilik
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
88
ternak dapat dikenakan hukuman mengumpulkan batu kali sebanyak 1 kubik (1 m3).
Solidaritas Birokratik
Penerapan prinsip solidaritas di tingkat desa tidak lepas dari hukum-
hukum pengaturan formal dari atas desa. Hirarki, wewenang dan kekuasaan
formal berdasar aturan-aturan tertulis (Etzioni, 1964) yang ditentukan atas
desa berdasar Undang-undang nasional (UU RI No.5, 1979) telah diterima sebagai kenyataan. Dengan demikian, solidaritas masyarakat tidak saja
merangkai kepentingan bersama secara internal di tingkat desa, namun juga
dalam kaitannya dengan desa lain dan kepentingan lain secara vertikal. Dalam kerangka ini, desa tidak lagi menggambarkan unit otonomi yang
demokratis namun telah menjadi bagian kekuasaan formal atas desa, atau
menjadi bagian masyarakat yang serba komplek dan modern.
Dalam kaitan dengan hal tersebut, penerapan birokrasi menjadi
semacam keharusan untuk menggerakkan solidaritas masyarakat. Beberapa
contoh penggunaan birokrasi adalah untuk pelaksanaan program OPSUS, penarikan kredit BIMAS, penarikan pajak (IPEDA, sekarang PBB),
penyelenggaraan pemerintahan desa, kegiatan PKK dan keluarga berencana.
Pemanfaatan aspek birokrasi, untuk menggerakkan solidaritas di tingkat desa, tidak dapat dilepaskan dari penempatan Lurah atau Kepala Desa
sebagai pucuk pimpinan pemerintahan desa. Walaupun Kepala Desa dipilih
oleh rakyat, untuk jabatan selama 8 tahun, namun dalam organisasi
pemerintahan ia langsung dibawahi Camat.
Inisiatif atau penggerak solidaritas lahir dari atasan, dan petani
sebagai bawahan (atau sub ordinasi, istilah Redfield, 1982) hanya berhak
sebagai pemberi usul. Diterima atau tidaknya usulan ditentukan oleh atasan desa, dengan anggapan ("tidak selalu benar") bahwa atasan desa mempunyai
organ-organ khusus yang mengkaji usulan petani tersebut. Pelanggaran atas
norma solidaritas ini mengandung sangsi fisik, konsekuensi atas jabatan (jika ada), denda, hingga kurungan penjara. Acuan untuk penetapan hukum
adalah peraturan formal tertulis.
Solidaritas Rasional
Solidaritas ini didasarkan atas imbalan, atau pertukaran yang
individualistik atau rasional. Pada konsep solidaritas rasional ini lebih dekat
dengan pendekatan Weber daripada Durkheim dalam Johnson (1987). Ciri-ciri ekonomi petani, yang didasarkan dalam kegiatan produksi mulai tampak
jelas. Sejalan dengan perkembangan teknologi pertanian, menurut Simon
(1975), kegiatan pertanian berkembang ke arah efisiensi penggunaan tenaga kerja. Solidaritas rasional yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi,
membuat kebudayaan pertanian lebih lengkap. Dalam pengertian Wolf
(1983), perkembangan penggunaan metode baru (ekotipe neoteknik) terkait dengan perluasan koalisi petani dan tatanan sosial yang lebih luas. Surplus
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 89
ekonomi dari kegiatan pertanian diperlukan petani bukan saja untuk biaya
penggantian peralatan, namun juga untuk kepentingan seremonial.
Semula pertukaran faktor produksi dalam kegiatan pertanian lebih
dominan pada penggunaan tenaga kerja, dimana tenaga kerja merupakan input produksi pertanian yang penting, (setelah tanah). Istilah sambat sinambat, merupakan sistem upah-mengupah tradisional berdasar pertu-
karan tenaga kerja antar keluarga. Kemudian, akibat adanya pola penggara-pan tanah yang tidak seimbang dan munculnya pemilikan lahan sempit dan
buruh tani (tidak bertanah), upah-mengupah dengan hasil panen dan uang
tampak mulai dikenal. Imbalan uang biasanya digunakan oleh pemilik tanah
luas untuk mengupah buruh tani, terutama untuk pengolaan tanah dan pemeliharaan. Sedang pada kegiatan panen, sistem imbalan umumnya
dengan hasil panen ("bawon"). Sedang upah-mengupah antar petani kecil
sejajar dengan sambat sinambat atau lir gumanti, (uang tunai relatif sukar diperoleh).
Sistem imbalan yang berlaku secara kelembagaan ditunjukkan oleh
upah gaduh dan jasa peminjaman dari lumbung paceklik (umumnya di padukuhan). Istilah gaduh untuk ternak mirip dengan maro di pertanian
pangan. Artinya penggaduh atau pemaro berhak atas sebagian hasil dari
ternak yang dipelihara atau tanah yang digarap, sebagai imbalan jasa tenaga
kerjanya. Sedang bunga pinjaman dari lumbung paceklik yang harus dibayar adalah jasa menggunakan kekayaan masyarakat. Apabila pinjaman ini
digunakan untuk menegakkan institusi masyarakat, misalnya untuk
penyelenggaraan perkawinan, peminjam tidak dipungut bunga.
ORGANISASI MASYARAKAT
Pemerintahan Desa
Gambar 8 dan 9 menunjukkan struktur organisasi pemerintahan
desa di desa Kedungpoh dan Katongan. Tampak bahwa pemerintahan desa adalah bagian terbawah dari hirarki pemerintahan. Sebelum terintegrasi
dalam struktur pemerintahan nasional, puncak hirarki pemerintah adalah
Sultan atau Kesultanan Yogyakarta, (sekarang adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I D.I. Yogyakarta). Kemudian berturut-turut adalah Bupati
(Kepala Daerah Tingkat II) dan Camat, (Kepala Daerah Tingkat III dan
seterusnya tidak ada). Di bawah Camat adalah Kepala Desa. Di bawah pemerintahan desa terdapat "anak pemerintahan" yang disebut padukuhan,
yang dikepalai oleh Kepala Dukuh atau Dukuh. Di bawah padukuhan,
walaupun tidak tampak dalam gambar, terdapat pedusunan (dikepalai oleh Dusun atau Kepala Dusun) dan keteranggaan (dikepalai oleh Ketua RT).
Pada hirarki kekuasaan atau pemerintahan tingkat Camat ke bawah
tidak dikenal pembagian kekuasaan yang tegas, seperti pada Daerah Tingkat
II, I, dan nasional. Pada hirarki Daerah Tingkat II ke atas, pembagian kekuasaan mencerminkan konsep "trias politika Montesque" (Budiardjo,
1977) cukup jelas. Hal ini ditunjukkan oleh pembagian kekuasaan di bidang
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
90
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 91
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
92
Legislatif (MPR/DPR), Yudikatif (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Negeri), dan Eksekutif (Presiden, Gubernur, dan Bupati). Di luar struktur
pemerintahan, organisasi-organisasi formal masyarakat diatur dengan UU
Keormasan (1985). Dari gambaran di atas tampak bahwa hirarki kekuasaan Camat ke bawah tidak memiliki wewenang otonom. Dalam UU Pemerintahan
Desa No.5, 1979, istilah otonomi desa tidak dikenal, dan desa adalah
bawahan langsung kecamatan.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa organisasi pemerintahan desa lebih ditekankan dalam hubungannya dengan gejala hirarki kekua-
saan, kewenangan dan kebirokrasian. Sedangkan dalam penyelenggaraan
pemerintahan desa gejala tersebut sedikit banyak juga telah dipakai, yaitu adanya beberapa pembagian peran yang jelas: siapa yang berhak meme-
rintah dan diperintah, yang mengawasi dan diawasi, yang mengkoordinir
dan dikoordinir, pembagian tanggungjawab, dan kordinasi horisontal. Secara ringkas juga dapat dikatakan bahwa Kepala Desa membawahi gugus
kepamongan hingga Kepala Dukuh, dan semua unit organisasi dan perkum-
pulan masyarakat di tingkat desa. Karena tidak ada pembagian kekuasaan yang jelas, seakan-akan Kepala Desa berkuasa penuh ("absolut") tanpa
watak demokrasi. Mekanisme pengawasan dari bawah ke atas tidak tampak
terstruktur secara formal.
Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat di Tingkat Desa dan
Padukuhan
Tabel 11 menggambarkan ragam, jumlah, dan karakteristik organi-sasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa. Sedang Tabel 12
menggambarkan hal yang sama di tingkat padukuhan. Melihat keragaman-
nya, antara organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa dan padukuhan tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Secara umum
tampak, bahwa pada desa yang berdekatanpun menunjukkan adanya
perbedaan khas pada organisasi dan perkumpulan masyarakatnya, walau-pun beberapa hanya pada penamaannya. Demikian juga halnya di tingkat
padukuhan, gejala yang menarik bahwa ternyata jumlah organisasi dan
perkumpulan masyarakat di tingkat padukuhan lebih banyak dibanding di tingkat desa. Jumlah yang menonjol di tingkat desa adalah pada
organisasi pertanian (Kelompok Tani, dan KTW = Kelompok Tani Wanita)
dan organisasi pendidikan (Sekolah, BP3, Usaha Kesehatan Sekolah, dan
Kepramukaan). Jumlah yang menonjol di tingkat padukuhan adalah KKLKMD (Kelompok Kerja LKMD), Dasa Wisma (istilah lain dari KKLKMD di
desa Katongan), Kelompok Perondaan, dan Kelompok Tani.
Tampak ada semacam konsistensi pada karakteristik organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa maupun padukuhan. Di tingkat
desa, ukuran organisasi dan perkumpulan masyarakat antara berukuran
sedang (os) dan besar (sb). Organisasi berukuran besar (ob dan sb) lebih mendominasi daripada berukuran sedang (os). Sedang di tingkat padukuh-
an, ukuran organisasi dan perkumpulan masyarakat lebih dominan pada
ukuran sedang ke bawah. Gejala yang menarik, pada tingkat pendahuluan
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 93
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
94
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 95
mulai tampak organisasi dan perkumpulan masyarakat berukuran kecil
(ok). Organisasi berukuran besar hanya dijumpai pada Desa Pancamarga,
yang merupakan bagian dari pemerintahan desa.
Ditinjau dari asal pembentukannya, sebagian besar organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa dibentuk oleh atasan desa (pm =
pemerintah). Beberapa yang tidak dibentuk pemerintah adalah OPA atau
Organisasi Pemakai Air (Desa Katongan), Regu Pemberantas Hama (Desa Katongan), Lumbung Paceklik (Desa Kedungpoh), arisan, kematian, dan
aliran kepercayaan (Desa Katongan). Sedang di tingkat padukuhan,
padukuhan, tampak bahwa organisasi dan perkumpulan masyarakat dari bawah lebih berkembang. Dari Tabel 12 juga ditunjukkan bahwa di tingkat
padukuhan inilah terjadi semacam "simbiosa" antara organisasi yang
dibentuk pemerintah (dari atas) dan masyarakat bawah. Gambaran ini sejalan degan penemuan Tjondronegoro (1977) tentang unit masyarakat
"sodalis", yang mencirikan demokrasi primitif.
Ditinjau dari sudut keformalannya, organisasi dan perkumpulan
masyarakat di tingkat desa sebagian besar berbentuk formal. Beberapa yang tidak menunjukkan tingkat keformalan yang tinggi adalah KTW, OPA, Regu
Pemberantas Hama, Arisan, Kematian, dan Aliran Kepercayaan. Sedang di
tingkat padukuhan, kecuali Desa Pancamarga, organisasi dan perkumpulan masyarakat yang bersifat formal hampir tidak dijumpai. Tampak jelas disini,
bahwa antara tingkat formalitas dan asal pembentukannya terdapat
hubungan erat. Organisasi dan perkumpulan yang dibentuk oleh masyara-kat bawah kurang menonjol dari segi formalitas.
Ditinjau dari hubungan pengendalian oleh atasan kepada bawahan,
organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa sebagian besar merupakan kombinasi antara birokratik dan karismatik. Agaknya, kecuali
pada jalur pemerintahan, pengendalian organisasi dan perkumpulan
masyarakat desa tidak mudah dengan menerapkan asas birokratik.
Pengendalian dengan unsur karisma seseorang hanya tampak pada organisasi aliran kepercayaan. Sedang di tingkat padukuhan, pengendalian
dengan unsur karisma seorang pemimpin relatif menonjol dibanding di
tingkat desa. Pengendalian yang sepenuhnya birokratik hanya tampa pada desa Pancamarga. Sifat pengendalian yang demikian sedikit banyak
berkaitan dengan tingkat pengetahuan masyarakat pedesaan (umumnya
buta tulis), asal pembentukannya dan tingkat keformalannya.
Dari penjelasan dengan beberapa kriteria tinjauan di muka
selanjutnya dapat ditarik gambaran bahwa organisasi dan perkumpulan
masyarakat di tingkat desa sebagian besar adalah berciri modern atau mutakhir. Sedang di tingkat padukuhan, ciri tradisional masih cukup besar
mewarnai kehidupan organisasi dan perkumpulan masyarakatnya. Ciri
modern tampak menonjol pada organisasi dan perkumpulan yang bergerak
di bidang produksi pertanian dan pemerintah. Memperhatikan tingkat keformalannya, asal pembentukannya, dan hubungan pengendalian antara
atasan dan bawahan dapat untuk menduga kemutakhiran suatu organisasi
dan perkumpulan masyarakat tingkat desa. Di tingkat padukuhan inilah
Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
96
tampak terjadi proses transisi dari tradisional ke mutakhir, dimana antara yang tradisional dan mutahir relatif seimbang. Agaknya, kebudayaan
pedesaan yang mencirikan pola kehidupan tradisional masih dapat bertahan
di tingkat padukuhan.
KESIMPULAN
(1) Solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa tidak saja merangkai antara kepentingan kekuasaan atas desa dan kepentingan masyarakat
bawah, namun juga sebagai pengintegrasian antara sumberdaya
manusia setempat (komunitas) dan sumberdaya lingkungan (fisik: tanah, iklim dan air; dan hayati: tanaman, hewan, dan mikro-
organisme). Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa sampai seberapa besar
solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa dapat dikembangkan, tergantung juga dari energi sosial yang mendukungnya. Selain modal
dan teknologi, asset tanah menjadi salah satu penentu dinamika
solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa.
(2) Untuk mempercepat laju perkembangan desa, pemerintah tampaknya
tidak punya pilihan lain kecuali ikut campur dalam perencanaan
maupun pelaksanaan pembangunan pedesaan. Campur tangan pemerintah, pada akhirnya diterima sebagai kenyataan, tidak saja dalam
kaitannya dengan perubahan teknologi fisik (material), namun juga
dengan struktur keorganisasian masyarakat pedesaan. Hal ini sejalan
dengan keinginan atasan desa, agar lingkungan dan komunitas pedesaan ikut mendukung terciptanya solidaritas yang lebih kuat di
tingkat nasional, (secara sosial budaya, birokratik, dan rasional).
Kuatnya solidaritas ini, tidak saja dalam rangka pencapaian kesejahteraan spiritual (status, nilai, sikap dan kepercayaan) namun
juga untuk kesejahteraan material (produktivitas, pendapatan,
ketenagakerjaan dan partisipasi masyarakat pedesaan).
(3) Solidaritas adalah bagian dari sumberdaya manusia ("kolektif") yang
cukup menjadi penentu bagi hidup dan berkembangnya organisasi
masyarakat di tingkat desa. Masyarakat pedesaan tampaknya tidak keberatan menerima pembentukan organisasi baru dari pemerintahan
atas desa. Hanya saja, organisasi baru yang lebih berfungsi sebagai alat
(instrumen), perlu diadaptasikan dengan kasanah budaya pedesaan
setempat. Terlihat, bahwa tanpa campur tangan dari luar pun, masyarakat pedesaan telah mengenal norma kerjasama dalam
berorganisasi. Adaptasi yang dimaksud adalah untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi ("harmonisasi") pendayagunaan organisasi tersebut.
(4) Organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah umumnya dicirikan
oleh tingkat formalitas yang rendah, unsur ketradisian yang menonjol, pengendalian dengan kepemimpinan karimatik, berukuran relatif kecil,
dan dengan kompleksitas yang rendah (sederhana). Sebaliknya organi-
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 97
sasi masyarakat yang dibentuk dari atas menunjukkan ciri keformalan
relatif tinggi, unsur-unsur modern relatif menonjol, pengendalian dengan
penggunaan asas birokrasi relatif nyata, berukuran relatif besar, dan
dengan kompleksitas relatif tinggi.
(5) Pada tingkat desa, organisasi dan perkumpulan masyarakatnya
mencirikan hasil bentukan dari atas atau setidak-tidaknya mencermin-
kan sebagai perpanjangan ciri dari atasan desa. Sedangkan di tingkat padukuhan, masih cukup jelas dicirikan oleh kasanah budaya setempat.
Ditampakkan juga, karena kuatnya cengkeraman kekuasaan dan
wewenang atasan desa melalui Kepala Desa, perwujudan demokrasi rakyat sulit berkembang. Walaupun perwujudan demokrasi di tingkat
desa tampak mulai memudar, namun hal ini masih terasa hidup di
tingkat padukuhan.
(6) Dikaitkan dengan pembangunan, agaknya pembentukan dan pengem-
bangan organisasi masyarakat di tingkat desa oleh pemerintah (pusat
dan daerah) lebih ditekankan untuk mengejar laju produksi dan
ekonomi pertanian. Penempatan Camat dan Kepala Desa sebagai saluran vertikal ke bawah, yang dikendalikan berdasar hirarki wewenang
dan kekuasaan dalam jalur pemerintahan (UU Pemerintahan Desa No.5,
1979), tampak efektif untuk melaksanakan kepentingan atas desa. Sedangkan unsur pemerataan kesejahteraan (pendapatan, kesempatan
kerja, partisipasi dan nilai dan kepercayaan) masyarakat seakan-akan
menjadi urusan keorganisasian yang tumbuh dari budaya setempat.
(7) Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan pedesaan masih
condong mengutamakan pembentukan organisasi formal disertai gugus
birokrasi sebagai saluran pengawasan searah yang bersifat instruktif, dan kurang memanfaatkan organisasi informal yang berakar pada
solidaritas ketetanggaan dan sosial budaya. Kesan terburu-buru,
tampak pada upaya mengambil jalan pintas yaitu dengan menciptakan
organisasi baru pada hampr setiap ada program pembangunan. Pada saat itulah, fungsi dan peranan organisasi yang berakar dari bawah
mulai tergusur. Sebagai konsekuensinya pencapaian pemerataan, yang
seharusnya merupakan esensi pembangunan pedesaan, tidak menjadi semakin dekat.
(8) Tingkat kemajuan masyarakat pertanian di pedesaan tampak terhambat,
bukan oleh tidak mampunya petani menyerap teknologi pertanian modern, namun oleh pemilikan tanah pertanian yang terbatas. Dengan
dukungan sumberdaya tanah yang sangat sempit, sukar bagi
masyarakat pedesaan untuk mengembangkan solidaritas dan keorga-nisasiannya melebihi batas-batas pergaulan secara personal. Dengan
energi yang sangat terbatas, disebabkan sempit dan tidak meratanya
pemilikan tanah, solidaritas dan keorganisasian masyarakat di tingkat
desa dalam bentuk partisipasi petani diperkirakan akan sulit untuk mendukung pembangunan nasional.
Lingkungan Pedesaan
Komunitas Pedesaan
Variabel bebas Variabel antara Variabel tujuan
Gambar 7. Kerangka Dampak Pengembangan Organisasi Masyarakat Tingkat Desa, Sebagai Bagian Kekuasaan Atas Desa,
Terhadap Pembangunan Pedesaan
1. Produktivitas
2. Distribusi pendapatan dan kesejahteraan
3. Penyerapan tenaga
kerja
4. Partisipasi
pengambilan
keputusan 5. Mobilitas status ke atas
(“vertikal”)
6. Nilai, sikap dan
kepercayaan
Struktur dan Organisasi
Masyarakat Tingkat
Desa
Sumberdaya
Manusia
Wewenang Formal
kekuasaan Masyarakat
Desa
Modal dan
Sarana Fisik
Sumberdaya
Lingkungan: Fisik dan
Hayati
Teknologi Fisik
(Material)
Keterangan:
Garis perintah dan pengawasan Camat serta pertanggungjawaban (Kepala Desa) kepala Camat Garis perintah kepada Kepala-Kepala Bagian, Kepala Dukuh serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Desa
Garis pengawasan instansi/lembaga yang ada di desa
Garis koordinasi instansi vertikal di desa
Garis koordinasi dan pelayanan administrasi
Gambar 8. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Kedungpoh, Kecamatan Nglipar
R a k y a t
Kep. Dukuh
Gentungan
Kep. Dukuh Kedungpoh
Lor
Kep. Dukuh
Nglerog
Kep. Dukuh Kedungpoh
Tengah
Kep. Dukuh Sinoa
Kep. Dukuh
Mojosari
Kep. Dukuh Kedungpoh
Kidul
Kep. Dukuh Gojo
Kep. Dukuh Kedungpoh
Kulon
Kep. Dukuh Klayer
Kep. Bagian Sosial
Kep. Bagian Agama
Kep. Bagian Kemakmuran
Kep. Bagian Keamanan
Kep. Bagian Umum
LKMD PKK Pertiwi Kel. Pemuda
Kepala Desa
C A M A T
Keterangan:
Garis perintah dan pengawasan Camat serta pertanggungjawaban (Kepala Desa) kepala Camat Garis perintah kepada Kepala-Kepala Bagian, Kepala Dukuh serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Desa
Garis pengawasan instansi/lembaga yang ada di desa
Garis koordinasi instansi vertikal di desa
Garis koordinasi dan pelayanan administrasi
Gambar 9. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Katongan, Kecamatan Nglipar
R a k y a t
Kepala Dukuh
Ngrandu
Kepala Dukuh Klegung
Kepala Dukuh Djeruk Legi
Kepala Dukuh Kepuh Sari
Kepala Dukuh
Perbutan
Kepala Dukuh Nglabak
Kep. Bagian Sosial
Kep. Bagian Agama
Kep. Bagian Kemakmuran
Kep. Bagian Keamanan
Kep. Bagian Umum
LKMD
PKK Pertiwi Kel. Pemuda
Kepala Desa
C A M A T
Tabel 11. Jumlah dan Karakteristik Organisasi/Perkumpulan Masyarakat Tingkat Desa di Desa Kedungpoh dan Desa Katongan
Nama Perkumpulan/Organisasi
Kisaran jumlah
anggota 1)
Jumlah perkumpulan/
organisasi (buah/desa) 2)
A s a l 3)
Bentuk 4)
Sifat 5)
Kategori 6)
Kd.7) Kt.8) Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt.
1. Pemerintahan Desa 2. LKMD
3. PERTIWI 4. Dharma Wanita 5. Organisasi Politik 6. Kelompok Tani 7. KTW 8. OPA
9. Regu Pemberantas Hama 10. Lumbung Paceklik 11. Arisan 12. Pagar Desa 13. Kematian 14. Panti Asuhan
15. Dewan Kesejahteraan Masjid 16. Aliran Kepercayaan 17. WANRA 18. Sekolah 19. BP3
20. Usaha Kesehatan Sekolah 21. PKK 22. Pramuka 23. Karang Taruna
sb os
ob os ob os os -
- sb ob sb ob os
os -
os sb sb
ob sb sb sb
sb os
ob os ob os -
os
os -
ob -
ob -
os sb os sb sb
ob sb sb sb
1 1
1 1 3 18 10 -
- 1 1 1 1 1
1 - 1 8 6
6 1 6 1
1 1
1 1 3 12 - 1
1 - 2 - 1 -
1 1 1 5 4
4 1 4 1
pm pm
pm pm pm pm pm -
- sw al
pm sw pm
pm -
pm pm pm
pm pm pm pm
pm pm
pm pm pm pm -
sw
al - al -
sw -
pm al
pm pm pm
pm pm pm pm
fm fm
fm fm fm fm sf -
- sf sf sf fm -
fm fm fm fm fm
fm fm fm fm
fm fm
fm fm fm fm - if
if - sf -
fm sf
fm fm fm fm fm
fm fm fm fm
bk bk
bk sb bk sb sb -
- sb sb sb sb sb
sb -
bk bk sb
sb sb bk bk
Bk bk
bk sb bk sb -
sb
sb -
sb -
sb -
sb kr bk bk sb
sb sb bk bk
mr mr
mr mr mr mr mr -
- tr tr tr tr mr
mr -
mr mr mr
mr mr mr mr
mr mr
mr mr mr mr - tr
tr - tr - tr -
mr tr mr mr mr
mr mr mr mr
Keterangan: 1) ok = 12 orang per organisasi/perkumpulan 4) fm = formal 7) Kd. = Desa Kedungpoh os = 12 - 50 orang if = informal
ob = 50 - 100 orang sf = semi-formal. 8) Kt. = Desa Katongan sb = > 100 orang 5) kp = karismatik (apresiatif) bk = impersonal (birokratis) 2) Angka perkiraan sb = semi birokratik 3) pm = dibentuk oleh pemerintah 6) mr = mutakhir (modern) sw = oleh swadaya masyarakat td = tradisional al = oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. tr = transisi dari tradisional ke mutakhir.
Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Organisasi/Perkumpulan Masyarakat Tingkat Padukuhan di Desa Kedungpoh dan Desa Katongan
Nama Perkumpulan/Organisasi
Kisaran jumlah
anggota 1)
Jumlah
perkumpulan/ organisasi
(buah/desa) 2)
A s a l 3)
Bentuk 4)
Sifat 5)
Kategori 6)
Kd.7) Kt.8) Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt.
1. Desa Pancamarga 2. KKLKMD
3. "Dasa Wisma" 4. Kelompok Tani 5. Kelompok Tani Tanaman 6. Kelompok Tani Tanaman
7. Kelompok Tani Rumput 8. "Koperasi Padukuhan" 9. Lumbung Paceklik 10. Arisan 11. Kelompok Bangunan 12. Pengajian
13. Dewan Kesejahteraan 14. Kelompok Perondaan 15. "SISKAMLING" 16. PKK Padukuhan 17. PKAK
18. Kelompok Pendengar 19. Karawitan 20. Lain-lain
sb ok
- os os os os -
os os -
os -
ok
- os -
os ok
ok
sb -
ok os - - -
os
os os os os os ok
os os os -
ok
ok
1 1
- 8 6 6 6 -
1 2 - 2 -
41
- 1 - 1 1
td++)
1 40
60 8 - - - 1
1 2 1 2 1 60
1 1
td++) - 1
td++)
pm sw
- pm pm pm pm -
sw al -
sw -
sw
- pm - al sw
sw
pm -
sw pm - - -
sw
sw sw sw sw al sw
al pm pm -
sw
sw
fm if
- sf sf sf sf -
sf sf - if - if
- sf - sf if
if
fm -
if sf - - - if
if sf if if sf if
sf sf sf - if
if
bk kr
- sb sb sb sb -
kr sb -
sb -
kr
- sb -
kr kr
kr
bk -
kr sb - - -
kr
kr sb kr sb ksb kr
sb sb kr -
kr
kr
mr tr
- mr mr mr mr -
td td - td - td
- mr -
nr td
td
mr -
td mr - - - td
td td td td mr td
mr mr mr - td
td
Keterangan: 1) ok = 12 orang per organisasi/perkumpulan 4) fm = formal 7) Kd. = Desa Kedungpoh os = 12 - 50 orang if = informal ob = 50 - 100 orang sf = semi-formal. 8) Kt. = Desa Katongan sb = > 100 orang 5) kp = karismatik (apresiatif)
bk = impersonal (birokratis) ++) Data tidak tersedia atau tidak dapat ditaksir. 2) Angka perkiraan sb = semi birokratik 3) pm = dibentuk oleh pemerintah 6) mr = mutakhir (modern) sw = oleh swadaya masyarakat td = tradisional al = oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. tr = transisi dari tradisional ke mutakhir.