sosial, ekonomi dan kependudukan

72
5 Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan KEPENDUDUKAN Pendahuluan Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun 1990. Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5 - 1). 1 Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun 1990-an) pada TABEL 5 - 1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah penduduknya tetap statis. 1 Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar 459.557 jiwa (kota) dan 1.857.659 jiwa (desa). Tambahan sebesar 566.403 jiwa penduduk kota dan 1.717.478 jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.

Upload: greenakses

Post on 14-Aug-2015

75 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

sosekbudkesmas

TRANSCRIPT

Page 1: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

5

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

KEPENDUDUKAN

Pendahuluan

Urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota telah menjadi bagian yang penting dalam

pembangunan di Indonesia pada beberapa dekade terakhir. Berdasarkan definisi dari

Badan Pusat Statistik Indonesia, jumlah penduduk kota meningkat dari 32,8 juta jiwa

pada tahun 1980 menjadi 55,4 juta jiwa pada tahun 1990 dan meningkat kembali

menjadi 86,4 juta jiwa pada tahun 2000. Pada saat yang sama, jumlah penduduk desa

meningkat dari 114,5 juta jiwa pada tahun 1980 menjadi 122,8 juta jiwa pada tahun

1990. Namun, jumlah tersebut kemudian menurun menjadi 119,4 juta jiwa pada tahun

2000. Pada akhirnya, proporsi penduduk kota meningkat tajam dari 22 persen pada

tahun 1980 menjadi 42 persen pada tahun 2000 (TABEL 5 - 1).1

Jumlah tersebut menunjukkan terjadinya transformasi yang besar dalam masyarakat

Indonesia dalam beberapa dekade terakhir, dari yang masyarakat berciri desa, yang

terlihat dari sistem pemerintahan dan perdagangannya (terutama adalah komoditas

pertanian) yang mendukung pengembangan kota secara terbatas, menjadi masyarakat

kota, gaya hidup kota dan yang paling penting adalah keterkaitan penduduk dengan

ekonomi kota yang akan membentuk pola pembangunan dan pertumbuhan kota. Dalam

hal ini, tingkat pertumbuhan penduduk desa yang rendah (berangka negatif pada tahun

1990-an) pada TABEL 5 - 1 tidak menunjukkan penurunan angka pada pertumbuhan

penduduk desa yang sebenarnya, akan tetapi karena terjadinya perubahan dari tempat

dengan karekateristik desa menjadi tempat dengan karakteristik kota walaupun jumlah

penduduknya tetap statis.

1 Karena beberapa masalah pada sensus tahun 2000, jumlah penduduk yang diperkirakan sebesar

459.557 jiwa (kota) dan 1.857.659 jiwa (desa). Tambahan sebesar 566.403 jiwa penduduk kota dan

1.717.478 jiwa penduduk desa dihitung secara formal tetapi tidak menjawab karakteristik individual.

Page 2: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

126

TABEL 5 - 1 Jumlah dan Tingkat Pertumbuhan Penduduk

Berdasarkan Kota/Desa di Indonesia Tahun 1980, 1990 dan 2000 Tahun Kota Desa Jumlah % Kota

Jumlah Penduduk

1980 32.845.829 114.485.994 147.331.823 22,3

1990 55.389.171 123.805.052 179.194.223 30,9

2000 86.406.587 119.436.609 205.843.196 42,0

Tingkat Pertumbuhan Penduduk (%)

1980-1990 5,23 0,78 1,96

1990-2000 4,58 -0,37 1,43

Catatan: (1) Jumlah penduduk kota tidak memasukkan penduduk yang

tidak memiliki tempat tinggal yang tetap (tuna wisma,

penduduk yang tinggal di atas perahu, dll.) yang memiliki

jumlah sekitar 158 ribu pada tahun 1980 dan 127 ribu pada

tahun 1990. Jumlah penduduk tersebut pada tahun 2000 tidak

diketahui.

(2) Tingkat pertumbuhan dihitung berdasarkan rumus P(t)=P(0)ert

Sumber: Biro Pusat Statistik (1991), Badan Pusat Statistik (2001)

Bagian ini akan menjelaskan secara singkat karakteristik urbanisasi di Indonesia

berdasarkan kependudukannya yang dipusatkan pada lima kota besar yang secara umum

didefinisikan sebagai kawasan metropolitan antara lain: (1) Mebidang yaitu Kawasan

Metropolitan Medan yang meliputi Kota Medan dan sekitar Kota Binjai dan Kabupaten

Deli Serdang; (2) Kawasan Metropolitan Jabodetabekjur, meliputi Ibukota Jakarta dan

kawasan sekitar Kota dan Kabupaten Bogor, Kota Depok, Kota dan Kabupaten

Tangerang, dan Kota dan Kabupaten Bekasi dan Kabupaten Cianjur; (3) Kawasan

Bandung Metropolitan meliputi Kota dan Kabupaten Bandung dan sebagian dari

Kabupaten Sumedang; (4) Kawasan Metropolitan Gerbangkertosusila yang terdiri dari

Kota Surabaya sebagai pusat, kawasan sekitar meliputi Kabupaten Gresik, Bangkalan,

Mojokerto, Sidoarjo, Lamongan, dan juga Kota Mojokerto; (5) Kawasan Metropolitan

Mamminasata meliputi Kota Makassar dengan Kabupaten di sekitarnya, yaitu Maros,

Takalar dan Gowa (dulunya bernama Sungguminasa). Tulisan ini akan melihat pola

urbanisasi, yang menekankan pada pengelompokan kembali2 beberapa karakteristik

sosial ekonomi penduduk dalam ruang lingkup metropolitan dan beberapa diskusi

mengenai bagaimana terjadinya perubahan pola tersebut.

Definisi Kota

Bagaimanapun juga perlu kehati-hatian dalam menganalisis pola pertumbuhan penduduk

kota. Ada dua alternatif definisi kota di Indonesia. Pertama adalah definisi secara

administratif, yaitu berdasarkan unit pemerintah lokal yang otonomi yang disebut

Kotamadya yang setara dengan status hukum pemerintahan kota. Kedua adalah secara

2 Pendekatan ini digunakan karena kurangnya data rinci mengenai penduduk untuk menghitung

perubahan penduduk berdasarkan demografi-pertumbuhan alami (perbedaan antara kelahiran dan

kematian) dan net-migrasi (perbedaan antara migrasi masuk dan keluar).

Page 3: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

127

fungsional, yaitu setiap unit pemerintahan terkecil yang memiliki kesetaraan dengan

status desa atau kota yang fungsional berdasarkan karakteristiknya.

Ciri utama dalam definisi fungsional yang digunakan oleh BPS yaitu status

desa/kelurahan dapat berubah sewaktu-waktu seiring dengan bertambah padatnya

penduduk, berkurangnya kegiatan pertanian atau meningkatnya fasilitas dan pelayanan

kota. Pengelompokan kembali (secara jelas antara desa dan kota) menjadi faktor utama

dalam menjelaskan pertumbuhan jumlah penduduk perkotaan yang cepat, yaitu

membandingkan 30-35 persen dari pertumbuhan kota pada tahun 1990an dengan jumlah

migrasi desa-kota sebesar 20-25 persen (World Bank 2003).

TABEL 5 - 2 Perubahan Definisi Kota Sebelum dan Sesudah Podes 2000

Kepadatan Penduduk

(per Km2)

Persentase Rumah

Tangga Pertanian

Nilai terhadap

Jumlah Fasilitas Umum

1980-

1990

2000-

Sekarang Nilai

1980–

1990

2000–

sekarang Nilai

Keter-

sediaan

Keter-

jangkauan

Nilai

<500 <500 1 >95 70,0 1 0 0 2

500-999 500-1249 2 91-95 50-69 2 1 1 3

1000-1499 1250-2499 3 86-90 30-49 3 2 2 4

1500-1999 3500-3999 4 76-85 20-29 4 3 3 5

2000-2499 4000-5999 5 66-75 15-19 5 4 4 6

2500-2999 6000-7499 6 56-65 10-14 6 5 5 7

3000-3499 7500-8499 7 46-55 5-9 7 6 6 8

3500-3999 8500+ 8 36-45 5 - 8 7 7 9

4000-4999 9 26-35 9 8 8 10

5000+ 10 25- 10 9 9

Catatan: Definisi Kota tahun 2000 berdasarkan data PODES 2000

(a) dapat digunakan dari tahun 1980 sampai 1990-an;

(b) dapat digunakan sejak tahun 2000

Tipe-tipe fasilitas publik:

(a) Skor hanya untuk ketersediaan: SD, SMP, SMA, rumah sakit, klinik ibu dan anak, pusat kesehatan, jalan yang dapat digunakan kendaraan roda 3 atau 4,

kantor pos, pasar permanen, pusat perbelanjaan, bank, pabrik, restoran, pelayanan

umum listrik dan jasa penyewaan.

(b) Skor untuk keterjangkauan (1 atau 0): TK (1 jika ≤ 2,5 Km), SMP dan SMA ((1

tiap ≤ 2,5 Km), pasar (1 jika ≤ 2Km), bioskop (1 jika ≤ 5 Km), pertokoan (1 jika

≤ 2 Km), rumah sakit (1 jika ≤ 5 Km), hotel/bilyard/diskotek/salon (1 jika

tersedia), % rumah tangga yang memiliki telepon (1 jika ≥ 8%), dan % rumah

tangga yang menggunakan listrik (1 jika ≥ 90%)

Sumber: Definisi awal berasal dari Sigit dan Sutanti 1983 dalam Peter Gardiner 1993 dan

juga pada BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 1990an. Definisi berdasarkan PODES

2000 didapatkan dari BPS Statistik Kesejahteraan Rakyat tahun 2000an.

Perubahan definisi fungsional BPS – menganggap status kota berdasarkan sistem

penilaian yang melibatkan kriteria kepadatan penduduk, proporsi rumah tangga pertanian

dan jumlah fasilitas kota – dapat dilihat pada TABEL 5 - 2. Definisi kota fungsional yang

dikembangkan pada dekade 1970-an diterapkan pertama kali secara nasional pada

Sensus Penduduk tahun 1980 dan dipertahankan sampai tahun 1990an. Perubahan yang

Page 4: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

128

signifikan diperkenalkan berdasarkan PODES (Potensi Desa) 2000.3 Definisi terkini

sangat berbeda dengan definisi sebelumnya dalam hal isi (walaupun metodologi yang

digunakan, indeks komposit dan skor masih tetap sama). Berdasarkan definisi baru

tersebut terlihat bahwa jumlah penduduk desa meningkat secara signifikan dan proporsi

rumah tangga pertanian menurun. Definisi baru juga memperkenalkan perubahan pada

jenis fasilitas publik dan pada apa yang diukur. Definisi awal hanya mempertimbangkan

ketersediaan sebagai ukuran, sementara definisi terkini mempertimbangkan akses yang

kebanyakan diukur berdasarkan jarak capai.

Sebagai contoh, perhitungan berdasarkan data pada tingkat desa/ kelurahan

menunjukkan bahwa perubahan pada Jabotabek dan Metropolitan Bandung selama tahun

1980-an telah berkontribusi secara signifikan pada pertumbuhan jumlah penduduk di

kawasan metropolitan. Setiap tahun penduduk kota di Jabotabek dan Metro Bandung

masing-masing tumbuh sebesar 5,8 persen dan 4,8 persen dan jumlah penduduk desa

menurun dengan rata-rata per tahun sebesar 1,4 persen dan 0,4 persen. Di dalam

kawasan kota inti, pertumbuhan penduduk per tahun pada dua kawasan metropolitan

tersebut masing-masing adalah sebesar 2,3 persen dan 1,6 persen, sementara

pertumbuhan penduduk pada wilayah yang lebih luas meningkat lebih tinggi yaitu

sebesar 7,9 persen di Jabotabek dan 5,2 persen di Metro Bandung sehingga masing-

masing berkontribusi sebesar 41 persen dan 31 persen dari seluruh pertumbuhan

penduduk di kawasan metropolitan tersebut (Gardiner 1993).

TABEL 5 - 3 Dekomposisi Pertumbuhan Penduduk di Jabotabek dan Metropolitan

Bandung tahun 1980 – 1990 Jabotabek Metro Bandung

Jumlah Penduduk

(ribu jiwa)

Jumlah Penduduk

(ribu jiwa) Kawasan

1980 1990

Tingkat

Pertumbuhan

(%/th) 1980 1990

Tingkat

Pertumbuhan

(%/th)

Yang terdata

Kota 7.337 13.050 5,8 2.063 3.322 4,8

desa 4.558 3.946 (1,4) 2.068 1.987 (0,4)

Total 11.895 16.996 3,6 4.131 5.309 2,5

Kawasan stabil

1980 Kota 7.337 9.220 2,3 2.063 2.411 1,6

Perluasan 1.730 3.830 7,9 544 911 5,2

1990 Kota 9.067 13.050 3,6 2.607 3.322 2,4

Desa 2.828 3.946 3,3 1.524 1.987 2,7

Sumber: Peter Gardiner (1993), berdasarkan analisis dari data-data tahun 1980 dan 1990 pada

tingkat desa yang menjelaskan perubahan-perubahan nama, kode dan batas wilayah.

Pentingnya pengelompokan dalam menghitung pertumbuhan penduduk kota tidak

dapat diabaikan, khususnya di Pulau Jawa yang pemerintah dan kegiatan ekonominya

sangat berperan dalam konversi guna lahan dan untuk kepentingan pengelompokan yang

3 PODES (Potensi Desa) dilakukan untuk mempersiapkan tiga sensus utama yaitu. Sensus Penduduk

pada tahun yang berakhiran 0. Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 3. dan

Sensus rumah tangga pertanian pada tahun yang berakhiran 6.

Page 5: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

129

lain. Pengelompokan tersebut memberi kesan bahwa urbanisasi mempercepat peran

parameter demografi, pertumbuhan alami dan migrasi dalam pertumbuhan penduduk

metropolitan yang akan dikelompokkan dan dikembangkan kembali.

Pola Permukiman Penduduk dan Pertumbuhan Kota

Pola ekologi urbanisasi di Indonesia ditunjukkan oleh perkembangan Kawasan

Metropolitan Jabodetabek yang semakin besar. Walaupun pada awalnya terlihat seperti

pola konsentrik4, tetapi belakangan ini perkembangan pergerakan penduduk

menunjukkan fenomena seperti pada teori kombinasi antar sektor5 dan pola konsentrik

6,

sebagai akibat pertumbuhan penduduk dan kegiatan ekonomi yang sesuai dengan

pengembangan wilayah dan jalur transportasi. Secara demografis, ciri utama kota-kota

besar di Indonesia adalah tingkat pertumbuhan penduduk yang didefinisikan untuk

kawasan inti kota yang sebagian besar proporsi guna lahan pada kawasan tersebut

dimanfaatkan terutama untuk, atau mengalami perubahan, dari permukiman menjadi

non-permukiman khususnya untuk kegiatan komersial; dan kawasan pinggiran kota

digunakan sebagai perluasan permukiman penduduk. Kawasan inti dicirikan dengan

berbagai faktor antara lain penurunan penduduk absolut, tingkat migrasi keluar yang

tinggi, sedangkan kawasan pinggiran kota dicirikan dengan tingkat migrasi ke dalam

yang tinggi dan sebagai akibatnya adalah meningkatnya jumlah penduduk absolut.

Walaupun akhir-akhir ini (khususnya setelah krisis moneter) muncul perubahan ke

arah jentrifikasi7 pada kawasan inti di beberapa kawasan metropolitan melalui

peningkatan pembangunan apartemen dan town house yang sering kali dengan standar

kenyamanan internasional, tetapi hal tersebut tidak akan menyebabkan perubahan besar

pada pertumbuhan penduduk di pusat kota karena pembangunan di pusat kota tersebut

seringkali tidak menggantikan permukiman kumuh (untuk masyarakat miskin)

sebelumnya yang lebih padat; dan karena pembangunan di kawasan pusat kota tersebut

juga memerlukan fasilitas, bukan permukiman yang cukup luas, seperti pusat

perbelanjaan dan supermarket mewah.

4 Berdasarkan Ernest Burgess tahun 1925 dengan judul the pattern of growth of American cities

(Chinoy 1967, hal. 279). 5 Dikemukakan oleh Homer Hoyt tahun 1939 yang memodifikasi rencana Burgess dengan

memfokuskan pada pergerakan-pergerakan antar sektor yang didesak dari arah luar dengan mengikuti

jaringan jalan utama (Chinoy 1967: 279) 6 Dikembangkan oleh Edward Ullman dan Chauncey Harris yang mengidentifikasi pertumbuhan

khusus di daerah inti yang mengalami perubahan karena fungsinya seperti komersial, industri ringan,

industri berat, dan perluasan kawasan permukiman. 7 jentrifikasi (gentrification) adalah perubahan sosial ekonomi kawasan pusat kota karena berpindahnya

penduduk miskin digantikan oleh penduduk dengan tingkat sosial ekonomi yang lebih tinggi.

Page 6: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

130

TABEL 5 - 4 Jumlah dan Kepadatan Penduduk di Kawasan

Metropolitan Jabotabek Tahun 1990-2000

Jumlah Penduduk

(Juta jiwa)

Kepadatan Penduduk

(Jiwa/Km2) Kawasan Luas

(Km2) 1990 1995 2000 1990 1995 2000

JABOTABEK 6.174,7 17,10 20,16 21,19 2,769 3,265 3,432

Core 662,0 8,22 9,11 8,35 12,421 13,765 12,609

Jakarta Selatan 145,7 2,03 2,04 1,78 13,922 14,008 12,245

Jakarta Timur 187,7 2,01 2,38 2,35 10,701 12,698 12,509

Jakarta Pusat 48,3 1,16 0,98 0,87 24,021 20,267 18,108

Jakarta Barat 126,2 1,67 2,15 1,90 13,246 17,011 15,089

Jakarta Utara 154,1 1,35 1,56 1,44 8,785 10,140 9,321

Inner Zone 2.373,8 5,43 7,28 9,44 2,289 3,065 3,975

Bogor 1.020,3 2,28 2,48 3,58 2,235 2,435 3,507

Bekasi 606,1 1,42 2,14 2,71 2,345 3,526 4,471

Tangerang 747,4 1,73 2,65 3,15 2,317 3,551 4,212

Outer Zone 3.138,9 3,44 3,77 3,41 1,097 1,201 1,085

Bogor 2.164,2 1,73 2,22 1,83 798 1,024 843

Bekasi 437,9 0,68 0,62 0,62 1,560 1,416 1,422

Tangerang 536,8 1,03 0,93 0,96 1,925 1,742 1,787

Catatan: Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan

data survey penduduk desa tahun 1995

Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Mamas dan Komalasari (akan datang)8 membagi Kawasan Metropolitan

Jabodetabek menjadi core, inner dan outer fringe, serta menunjukkan bahwa kawasan

fringe yang sebagian besar masih merupakan kawasan perdesaan masih berada di dalam

kawasan metropolitan yang besar dan menunjukkan bahwa perubahan ke arah kota

sedang berjalan atau baru akan dimulai9. Dinamika perubahan kawasan di core

Jabotabek yang akan datang dapat menjadi indikasi pola pertumbuhan dan penurunan

jumlah penduduk di kawasan metropolitan di Indonesia. Pertumbuhan dan penurunan

penduduk di kawasan core Jakarta menunjukkan pola konsentrik/memusat dengan

Jakarta Pusat sebagai the inner core dan kawasan lain di dalam Jakarta sebagai lapisan

8 Sangat disayangkan pekerjaan Mamas dan Komalasari ini tidak dapat diulangi untuk tulisan ini karena

memerlukan pemakaian data pada tingkat desa yang tidak bisa didapatkan. 9 Sebagai ibukota negara. yang memiliki keistimewaan dibandingkan kota-kota lain. peran Jakarta di

dalam negara maupun di dunia internasional menjadi menarik untuk diteliti seperti yang telah dilakukan

oleh T. Firman (1998. 1999 dan 2004).

Page 7: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

131

pertama yaitu outer zone, bergerak ke luar dari Jakarta Pusat sebagai inner core ke

daerah sekitarnya yang disebut outer zone disebabkan kepadatan permukiman yang

rendah. Di Jakarta Pusat, kepadatan penduduk mencapai 18 ribu jiwa/km2 sedangkan di

kawasan outer fringes, khususnya daerah Bogor, kepadatan penduduknya masih kurang

dari 1000 jiwa/km persegi (TABEL 5 - 4).

TABEL 5 - 5 Rata-rata dari Pertumbuhan Penduduk, Pertumbuhan Alami dan Migrasi

di Jabotabek Tahun 1990-1995 dan 1995-2000 Rata-Rata

Pertumbuhan Penduduk

(%)

Rata-rata

Pertumbuhan Alami

(per 000)

Rata-rata

Net-migrasi

(per 000) Kawasan

1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000 1990-1995 1995-2000

JABOTABEK 3,35 1,00 1,82 16,9 6,1 -7,4

Core 2,08 -1,74 16,1 16,0 3,5 -34,1

Jakarta Selatan 0,12 -0,30 15,5 15,6 -14,3 -44,4

Jakarta Timur 3,48 -2,23 17,0 16,9 14,4 -19,9

Jakarta Pusat -3,34 -2,37 13,7 14,0 -50,7 -37,8

Jakarta Barat 5,13 -1,67 15,6 15,8 28,6 -41,2

Jakarta Utara 2,91 -1,74 17,3 15,5 9,4 -33,0

Inner Zone 6,01 5,33 19,7 17,6 30,8 28,2

Bogor 1,73 7,56 15,9 17,1 0,5 44,0

Bekasi 8,50 4,86 24,9 17,8 42,0 24,4

Tangerang 8,91 3,47 19,5 17,8 50,0 13,5

Outer Zone 1,84 -2,01 22,8 18,8 - 5,4 -40,2

Bogor 5,12 -3,80 23,9 19,2 20,3 -62,0

Bekasi -1,91 0,07 18,8 16,9 -39,0 -16,1

Tangerang -1,98 0,52 23,3 19,6 -44,3 -14,5

Catatan : Berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1990 dan 2000 dan data Survey Penduduk

Tahun 1995. Tanda positif menyatakan migrasi masuk dan tanda negatif menyatakan migrasi

keluar.

Sumber: Mamas dan Komalasari (akan datang)

Untuk mengetahui penyebab pertumbuhan penduduk, tulisan ini melihat komponen-

komponen pertumbuhan penduduk tersebut dari pertumbuhan alami dan net-migrasi

(TABEL 5 - 5). Perubahan pola pertumbuhan penduduk penting untuk dicatat. Secara

umum, tingkat pertumbuhan penduduk di Jabodetabek pelahan-lahan menurun secara

signifikan sepanjang dekade 1990-an dari 3,35 persen per tahun selama paruh pertama

menjadi hanya 1 persen selama paruh kedua sampai akhir abad ini. Penurunan tingkat

pertumbuhan penduduk terjadi meskipun pertumbuhan alami meningkat secara positif

(selisih antara kelahiran dan kematian) ketika tingkat migrasi masuk menurun secara

signifikan dari 6,1persen (positif) selama paruh pertama menjadi -7,4 persen (negatif)

selama paruh kedua dekade 1990-an. Dengan kata lain, secara umum Jabotabek ditandai

Page 8: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

132

dengan jumlah migrasi masuk selama paruh pertama dari dekade terakhir yang kemudian

ditandai dengan migrasi keluar pada paruh akhir dekade tersebut.

Pada tingkat lokal, perubahan pertumbuhan penduduk terjadi karena beberapa

alasan. Pada kawasan core Jakarta, peningkatan harga lahan untuk kegiatan komersial

dan permukiman mewah seperti mall, bangunan-bangunan perkantoran bertingkat, dan

apartemen, menggantikan villa dan rumah tinggal yang hanya satu lantai, yang

menyebabkan pertumbuhan negatif yang ditunjukkan dengan tingginya angka migrasi

keluar. Dengan kata lain, pada kawasan luar kota (outer fringe) Jabotabek, khususnya

Bekasi dan Tangerang, orang-orang membangun kawasan industri pada pertengahan

pertama 1990-an yang menyebabkan angka migrasi keluar tinggi.

Di antara dua kawasan ekstrim Jabotabek yaitu kawasan core dan outer, penduduk

di inner zone akan meningkat karena banyaknya migrasi yang masuk ke kawasan

tersebut. Walaupun demikian, tingkat pertumbuhan penduduk di inner zone perlahan-

lahan menurun, dari 6,01 persen menjadi 5,33 persen per tahun selama pertengahan awal

dan akhir tahun 1990-an. Penurunan ini diakibatkan oleh seluruh penurunan pada

pertumbuhan alami dan net-migrasi.

Gambaran pertumbuhan penduduk di Jabotabek tersebut menunjukkan bahwa

sebagai sebuah kawasan metropolitan, pertumbuhan penduduk di Jabodetabek cenderung

didorong oleh kekuatan pasar dan pemanfaatan lahan. Harga dan guna lahan

mempengaruhi tingkat migrasi yang masuk dan keluar.

Metropolitanisasi – Lima Kawasan Metropolitan

Tahun 1980-an dan paruh pertama dekade 1990-an (sampai krisis ekonomi) merupakan

periode pengembangan metropolitan secara besar-besaran, khususnya di Pulau Jawa.

Secara demografis, hal ini dapat dilihat dari laju pertumbuhan penduduk yang relatif

cepat di beberapa kota utama, lebih cepat lagi di kota-kota besar – Jabotabek (sekarang

Jabodetabekjur), Surabaya dan Bandung – jika dibandingkan dengan daerah lain (baik

desa maupun kota) yang berada di dalam kawasan tersebut. Cepatnya perluasan kawasan

perkotaan (urbanized area) ke kawasan-kawasan yang berdekatan merupakan salah satu

ciri proses tersebut, yang berarti bahwa reklasifikasi merupakan faktor yang signifikan

dalam menentukan pertumbuhan kota secara keseluruhan. Net-migrasi juga merupakan

penyebab meluasnya kawasan metropolitan ini. Bagaimanapun juga, sebagian besar

migrasi sebenarnya terjadi di dalam metropolitan itu sendiri yaitu penduduk yang

bergerak keluar dari kota induk (core) sekarang ke daerah-daerah lain di pinggiran atau

perbatasan kota.

Hal tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek penting yang terjadi di Kawasan

Metropolitan Jabotabek menjadi ciri perubahan yang juga terjadi pada kawasan-kawasan

metropolitan lain. Perubahan Jabotabek menunjukkan sebuah kombinasi tiga pola

pertumbuhan kota – konsentrik, sektoral dan banyak pusat – dimulai dengan sebuah

pusat atau core yang terdiri dari kota utama dan dikelilingi daerah-daerah yang sedang

mengalami proses urbanisasi.

Lima Kawasan Metropolitan yang menarik untuk diteliti antara lain: (1) Mebidang.

yang terdiri dari Kota Medan dan Binjai serta Kabupaten Deli Serdang; (2)

Jabodetabekjur terdiri dari DKI Jakarta dan Kota Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi,

serta Kabupaten Bogor, Tangerang, Bekasi, dan Cianjur; (3) Bandung Raya terdiri dari

Kota Bandung dan Cimahi, serta Kabupaten Bandung dan Sumedang; (4)

Page 9: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

133

Gerbangkertosusila terdiri dari Kota Surabaya dan Mojokerto serta Kabupaten Sidoarjo,

Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan; (5) Mamminasata terdiri dari Kota

Makassar dan Kabupaten Takalar, Goa dan Maros.

TABEL 5 - 6 Pertumbuhan Penduduk Desa di beberapa Kawasan Metropolitan

Jumlah Jumlah Penduduk Kota (%) Kawasan

Metropolitan 1995 1999 2005 1995 1999 2005

Jumlah Penduduk Desa (ribu)

Mebidang 825 825 827 30,4 32,5 41,8

Jabodetabekjur 1,762 1,829 1,847 39,9 39,9 56,0

Bandung Raya 855 859 863 30,6 31,0 47,7

Gerbangkertosusila 1,951 1,949 1,949 22,7 22,5 40,0

Mamminasata 447 448 473 36,9 35,0 37,6

Total Penduduk (juta)

Mebidang 3,3 3,6 4,2 65,2 66,5 76,3

Jabodetabekjur 18,8 20,6 23,9 69,8 67,4 79,0

Bandung Raya 5,9 6,4 7,3 53,6 52,0 67,7

Gerbangkertosusila 7,2 7,5 8,1 48,5 48,3 63,3

Mamminasata 2,1 2,1 2,2 60,8 57,7 61,5

Catatan: Mebidang terdiri dari: Kota Medan dan Binjai; Kabupaten: Deli Serdang

Jabodetabekjur terdiri dari: Semua Kota di wilayah DKI Jakarta, Bogor, Depok Tangerang,

dan Bekasi; Kabupaten: Bogor, Tangerang, Bekasi dan Cianjur.

Bandung Raya terdiri dari: Kota Bandung dan Cimahi; Kabupaten: Bandung dan Sumedang

Gerbangkertosusila terdiri dari: Kota Surabaya dan Mojokerto; Kabupaten: Sidoarjo,

Mojokerto, Lamongan, Gresik, dan Bangkalan

Mamminasata terdiri dari: Kota Makassar; dan Kabupaten: Takalar, Goa dan Maros.

Jumlah Penduduk dari data Podes yang didapat dari kepala desa, unit data lebih kecil dari

penelahan khusus oleh IHS berdasarkan data dari BPS Podes (Potensi Desa) dalam beberapa

tahun.

Data Podes (Potensi desa) BPS saat ini memungkinkan untuk dianalisis dengan

memperhatikan sejarah perkembangan secara terbatas dalam memahami proses

urbanisasi dengan memfokuskan pada tiga periode terakhir, yaitu tahun 1995, 1999 dan

200510. Dengan menggunakan delineasi desa, desa-desa yang dapat dikelompokkan

sebagai kota dan penduduk yang bertempat tinggal di desa tersebut diidentifikasi sebagai

dasar untuk menghitung persentase desa-desa yang menjadi kota dan persentase jumlah

penduduk kota yang tinggal di desa tersebut (TABEL 5 - 6).

10 Seperti penjelasan sebelumnya. Podes dilibatkan dalam persiapan sensus utama: Podes tahun 1995

sebagai persiapan Sensus Pertanian tahun 1996. Podes tahun 1999 sebagai persiapan Sensus Penduduk

tahun 2000 dan Podes tahun 2005 untuk Sensus Ekonomi tahun 2006. Pemakaian tahun dalam Podes

oleh BPS berdasarkan tujuan tertentu. Tahun yang menjadi referensi disini menggambarkan tahun

pengumpulan data

Page 10: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

134

Pembahasan selanjutnya perlu diperhatikan dengan seksama. Pertama, tanpa

kecuali, proses urbanisasi secara ekologis di lima kawasan metropolitan jauh lebih

lambat dibandingkan dengan perkembangan demografisnya. Perluasan kawasan

metropolitan menunjukkan bahwa kecuali Jabodetabekjur, kawasan metropolitan lainnya

secara ekologis masih lebih berciri desa daripada kota. Contohnya, hanya kurang dari

setengah desa-desa tersebut sudah dikelompokkan menjadi kota. Dengan kata lain, dari

perspektif kependudukan, kecenderungan untuk mengkategorikan penduduk desa-desa

tersebut menjadi penduduk kota secara umum meningkatkan tingkat urbanisasi secara

tajam. Dari lima kawasan metropolitan tersebut, Mebidang dan Jabodetabekjur memiliki

lebih dari 3 dari 4 rumah tangga penduduk di desa yang berciri kota (urban village),

sedangkan tiga kawasan metropolitan lainnya antara 6 dan 7 dari 10 penduduk yang

tinggal di desa berciri kota.

Kedua, proses urbanisasi menjadi semakin cepat dan terlihat jelas bahkan dalam

periode pendek selama sepuluh tahun, yaitu dari tahun 1995 sampai tahun 2005.

Kecenderungan ini terjadi meskipun definisi desa yang menjadi kota tersebut lebih ketat

(lihat TABEL 5 - 2). Kecenderungan ini tidak hanya dapat dilihat dari sisi ekologi tetapi

juga dari sisi demografi. Pada lima kawasan metropolitan tersebut, wilayah desa berciri

kota serta jumlah penduduknya meningkat secara signifikan selama lima tahun terakhir

dalam abad ini dibandingkan abad sebelumnya sedangkan secara anekdot dirasakan

bahwa ketika bergerak keluar dari pusat kota dan melihat iklan-iklan untuk komplek

perumahan, dimana proses urbanisasi terjadi. Lebih lanjut, perlu diingat bahwa

kecenderungan percepatan urbanisasi pada saat terjadi krisis ekonomi pada tahun 1997

terus berlangsung dan tetap bertahan. Pada saat itu, krisis pertama kali mempengaruhi

dinamika sektor konstruksi yang menyebabkan pembuat kebijakan menjadi khawatir

akan dampak sosialnya berupa demonstrasi para pekerja yang di-PHK di jalan-jalan

Jakarta. Data ini menunjukkan adanya kemungkinan sektor konstruksi kembali menjadi

penggerak urbanisasi yang terjadi di semua kota-kota besar di negeri ini.

Kondisi pada tahun 2005 digambarkan oleh peta pada gambar-gambar di bawah.

Peta tersebut menunjukkan penyebaran desa berciri kota (urban village) dan desa

berpenduduk paling sedikit 2000 jiwa atau lebih di lima kawasan metropolitan.

Berdasarkan data kepadatan penduduk di Pulau Jawa dan pulau lainnya. Kawasan

metropolitan terbesar berada di Pulau Jawa. Dari lima kawasan metropolitan yang

diteliti, terdapat tiga kawasan metropolitan besar yang terletak di Pulau Jawa–

Jabodetabekjur yang memiliki keistimewaan dibandingkan kawasan metropolitan lain,

diikuti oleh Gerbangkertosusilo, dan Metropolitan Bandung – yang keempat adalah

Mebidang di Sumatera Utara, dan yang kelima adalah Mamminasata, dengan Kota

Makassar sebagai core-nya. Kawasan Metropolitan di Pulau Jawa lebih besar secara

ekologis (jumlah desa) dan secara demografis (jumlah penduduk). Jabodetabekjur

memiliki keistimewaan tidak hanya dalam cakupan wilayahnya tetapi juga dalam hal

jumlah penduduknya. Berdasarkan data Podes tahun 2005, Jabodetabekjur memiliki

jumlah penduduk sebanyak 23,9 juta jiwa11 sedangkan kawasan metropolitan terbesar

11 Angka penduduk dalam Podes didapatkan dari wawancara kepada kepala desa. Walaupun ada

kecenderungan dalam pengambilan data podes kurang sistematis. Namun hasilnya masuk akal untuk

membandingkan dengan proyeksi penduduk yang digunakan untuk SUSENAS (Survei Sosial-Ekonomi

Nasional).

Page 11: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

135

kedua, Gerbangkertosusila hanya memiliki 8,1 juta jiwa, yaitu kurang dari sepertiga

jumlah penduduk di Jabodetabekjur, dan Metropolitan Bandung dengan 7,3 juta jiwa.

Kawasan metropolitan di luar Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih sedikit,

dengan Penduduk Mebidang hanya sebesar 4,2 juta jiwa dan Mamminasata hanya

sebesar 2,2 juta jiwa (TABEL 5 - 6).12

Disamping itu, peta-peta tersebut juga menunjukkan koridor perkotaan, bermula

pada daerah inti yang berkembang menjadi lebih terbangun dan proses urbanisasi terus

meluas, biasanya perluasan itu mengikuti jaringan transportasi utama khususnya pada

jalan utama. Urbanisasi merupakan suatu bentuk pencarian atas pelayanan sosial dan

ekonomi serta penghidupan yang lebih baik, yang selanjutnya ditunjang dengan

pembangunan jalan-jalan arteri utama. Hal ini dapat dilihat dalam kasus Jabotabek yang

perkembangan kotanya terjadi di sepanjang koridor arteri timur – barat. Oleh karena itu,

jika pembangunan jalan arteri utama dibangun berdasarkan keputusan pemerintah maka

perkembangan perkotaan juga ditentukan secara langsung oleh pemerintah. Pihak swasta

dan pengembang merespon terhadap inisiatif-inisiatif tersebut dengan membangun

lingkungan perkotaan dan kawasan tertutup (enclave) berupa real estate baik yang

berskala besar maupun kecil. Pihak swasta membangun perumahan untuk golongan

ekonomi menengah ke atas dengan mengesampingkan masyarakat miskin. Masyarakat

miskin dengan sendirinya mengisi ruang-ruang antara yang tersisa baik yang legal

maupun ilegal.

GAMBAR 5 - 1 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan Metropolitan

Mebidang

12 Data SUSENAS 2004, proyeksi penduduk di lima wilayah metropolitan sebagai berikut: Mebidang

4.3 juta jiwa. Jabodetabekjur 25,3 juta jiwa. Metropolitan Bandung 7,8 juta jiwa.

Page 12: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

136

GAMBAR 5 - 2 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan

Metropolitan Jabodetabekjur

GAMBAR 5 - 3 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan

Metropolitan Bandung Raya

Page 13: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

137

GAMBAR 5 - 4 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan

Metropolitan Gerbangkertosusila

GAMBAR 5 - 5 Peta Urbanisasi dan Kependudukan Kawasan

Metropolitan Mamminasata

Page 14: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

138

Perbandingan pola kepadatan dan penyebaran desa-kota dan kota pada lima kota-

kota metropolitan ditunjukkan oleh TABEL 5 - 7 yang mengkombinasikan perbedaan

mencolok antara Pulau Jawa dan luar Pulau Jawa. Kota-kota metropolitan di Pulau Jawa

biasanya lebih besar, seperti Jabodetabekjur, yang memiliki primacy rate13 yang besar

mengungguli kota-kota metropolitan lainnya. Hal ini merupakan kenyataan yang tidak

hanya dalam arti wilayah ataupun karakteristik desa-kotanya, tetapi terutama dalam hal

penduduk. Kenyataan ini dapat dimaklumi karena Pulau Jawa sejak dahulu memiliki

penduduk yang lebih besar jika dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya, sehingga

kota-kota metropolitan di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang lebih besar.

Pembangunan di masa lalu pun cenderung terpusatkan pada wilayah barat Indonesia,

sehingga tidak mengherankan jika kota metropolitan pertama di luar Pulau Jawa adalah

Kota Medan, Pulau Sumatera. Kota metropolitan terkecil yang dibahas dalam bab ini

adalah Mamminasata yang relatif kurang terbangun.

Mengapa Tinggal di Kota-Kota Metropolitan?

Pembahasan mengenai proses urbanisasi dan metropolitanisasi serta pertumbuhan dan

penurunan penduduk di atas terlepas dari penilaian baik atau buruk. Hal ini dilakukan

dengan asumsi bahwa penilaian dapat dilakukan berdasarkan sudut pandang tertentu.

Jika dilihat dari sudut pandang perencana atau pengelola kota, kedatangan penduduk,

terutama mereka yang miskin, merupakan suatu masalah. Para pendatang dituding

sebagai penyebab meningkatnya kemacetan dan mereka menggunakan fasilitas dan

pelayanan kota yang tidak direncanakan untuk mereka. Bagaimanapun mereka terlalu

menggantungkan pada kondisi fisik dan sosial infrastruktur kota yang juga menyebabkan

keterpurukan mereka. Namun, pendatang juga membayar pajak yang dapat dimanfaatkan

untuk memperbaiki infrastruktur fisik dan sosial perkotaan.

13 Angka yang menunjukkan daya tarik kota besar yang didapatkan dari perbandingan jumlah penduduk

kota besar tersebut dengan jumlah penduduk di dua kota berikutnya

Page 15: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

139

TABEL 5 - 7 Sudut Pandang Ekologi dan Kependudukan Metropolitanisasi Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata

Penyebaran

Kawasan

Perkotaan

Berawal dari Kota

Medan sebagai kota

inti, secara dominan

berkembang sepanjang

koridor barat – timur .

Perkembangan ke arah

barat menghubungkan

Kota Medan dengan

Kota Binjai.

Ke arah timur

Kabupaten Deli

Serdang yang

merupakan daerah

pantai.

Lima wilayah kota di

DKI Jakarta merupakan

kawasan inti perkotaan

dengan kepadatan

tinggi yang terus

berkembang ke arah

utara – selatan dan

timur – barat hingga ke

wilayah Tangerang di

bagian barat. Bekasi di

bagian timur dan Bogor

di bagian selatan.

Perkembangan

kawasan perkotaan di

Metropolitan Bandung

berawal dari pusat

Kota Bandung ke

wilayah sekitarnya

hingga ke wilayah

Kabupaten Bandung.

Perkembangan kawasan

perkotaan di

Gerbangkertosusila

berawal dari pusat Kota

Surabaya, meliputi

sebagian besar wilayah

Sidoarjo dan desa-desa

sekitarnya hingga

terhubung dengan Kota

Mojokerto.

Mamminasata

merupakan kawasan

metropolitan yang

kurang terbangun

dibandingkan dengan

lima kota metropolitan

yang dibahas disini,

kawasan terbangun

masih terpusat pada

daerah inti dengan

beberapa kantung-

kantung pertumbuhan

disekitarnya.

Tingkat

Ekologi

Perkotaan

Mebidang bukan

merupakan kawasan

terbangun yang padat

melainkan bentuk

penyebaran desa-kota

hingga ke wilayah

kabupaten Deli Serdang

Seluruh wilayah

Jakarta merupakan

kawasan terbangun.

Tangerang dan Bekasi

pada proses terbangun

dengan tingkat yang

tinggi sedangkan Bogor

masih memiliki

wilayah pedesaan yang

lebih luas.

Diluar Kota Bandung,

daerah sekitar

Kabupaten Bandung

dan Kabupaten

Sumedang memiliki

kawasan terbangun

yang terbatas.

Tingkat desa-kota yang

tinggi tentu saja

ditemukan di Kota

Surabaya dan Kota

Mojokerto bahkan juga

di Kabupaten Sidoarjo.

Di Kabupaten Mojokerto

dan Kabupaten

Lamongan desa-kota

nya lebih tersebar.

Dibandingkan dengan

lima kota metropolitan

lain yang dibahas di

sini. Mamminasata

merupakan kawasan

metropolitan yang

kurang terbangun.

Tingkat

Urbanisasi

Penduduk

Kepadatan desa-kota

dengan populasi lebih

dari 2000 jiwa tidak

terlalu banyak dan di

wilayah luar Kota

Medan desa-desa ini

lebih tersebar.

Pola urbanisasi

ditunjukkan sebagai

desa-kota dan desa

dengan populasi 2000

jiwa atau lebih

merupakan patokan

yang dapat

Desa dengan jumlah

penduduk 2000 jiwa

atau lebih tersebar

hampir diseluruh

kawasan metropolitan

Bandung, tetapi lebih

terpusat di sekitar Kota

Gerbangkertosusila

memiliki karakteristik

tingkat urbanisasi

penduduk yang tinggi

yang dapat dilihat dari

persebaran desa-desa

dengan jumlah penduduk

Hal yang sama, angka-

angka menunjukkan

tingkat urbanisasi

penduduk di kawasan

metropolitan ini masih

rendah.

Page 16: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

140

Mebidang Jabodetabekjur Bandung Gerbangkertosusila Mamminasata

dibandingkan. Bandung. 2000 jiwa atau lebih

Perluasan

Ekologi

Perkotaan

Perluasan kawasan

metropolitan ke wilayah

Kabupaten Deli

Serdang menunjukkan

tingkat kawasan

terbangun yang relatif

rendah.

Penambahan wilayah

Cianjur yang memiliki

kawasan terbangun

rendah ke dalam

kawasan metropolitan

mempengaruhi tingkat

kawasan terbangun

secara keseluruhan.

Kawasan terbangun

masih terjadi di sekitar

Kota Bandung,

sedangkan Kabupaten

Bandung dan

Kabupaten Sumedang

masih terdapat banyak

kawasan pedesaan.

Desa-kota di kawasan

metropolitan ini

cenderung untuk

mengelompok keluar

dari wilayah inti Kota

Surabaya menuju

kabupaten-kabupaten

sekitarnya.

Masih serupa dengan

Makassar dan

menyebar secara

lambat ke desa-desa

sekitarnya.

Penyebaran

Urbanisasi

Penduduk

Penyebaran desa-desa

dengan jumlah

penduduk 2000 jiwa

atau lebih menyerupai

perluasan desa-kota,

melalui Kota Medan

menuju Kota Binjai dan

ke arah selatan

sepanjang pantai.

Desa-desa di Pulau

Jawa, termasuk Bogor

dan Cianjur, memiliki

jumlah penduduk yang

lebih banyak, sebagian

besar memiliki

penduduk lebih dari

2000 jiwa.

Desa-desa dengan

jumlah penduduk 2000

jiwa atau lebih,

terpusat di sekitar Kota

Bandung, dapat juga

ditemukan pada

sebagian besar wilayah

metropolitan.

Seperti kawasan

metropolitan lainnya di

Pulau Jawa yang

penduduknya sangat

besar, dalam hal

kependudukan wilayah

ini sangat terbangun

karena desa-desa dengan

jumlah penduduk 2000

jiwa atau lebih secara

luas tersebar di seluruh

wilayah ini.

Dalam hal urbanisasi

penduduk, desa-desa

dengan jumlah

penduduk 2000 jiwa

atau lebih tidak

tersebar secara luas di

wilayah metropolitan

ini.

Page 17: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

141

Seringkali orang ditanya mengapa ingin tinggal di Jakarta, atau di kota-kota

metropolitan lainnya di Indonesia, padahal kota-kota metropolitan itu identik dengan

masalah kemacetan, polusi dan banyak terdapat penyakit-penyakit perkotaan lainnya.

Jawabannya sangatlah sederhana. Di kota-kota itulah terdapat banyak aktivitas,

meskipun orang tahu bahwa jalan-jalan tidak berlapis emas, tetapi disitulah tempat orang

dapat menemukan susu dan madu walaupun tidak berlimpah. Hal yang sama juga dilihat

oleh golongan kaya dan miskin, golongan kuat dan lemah, pria dan wanita, muda dan

tua. Para politisi akan berada di ibu kota yang merupakan pusat kekuasaan dan

keuangan. Bisnis, terutama bisnis skala besar, akan tinggal di metropolitan yang

merupakan pusat bisnis yang merupakan tempat kehidupan bagi mereka. Bahkan,

pemulung yang sangat miskin pun masih menganggap kehidupan di kota besar ‘lebih

baik’ daripada di tempat asal mereka yang memiliki peluang ekonomi terbatas atau

bahkan sama sekali tidak ada karena mereka tidak memiliki lahan. Keberuntungan masih

dapat ditemukan di kota-kota besar di kawasan metropolitan. Generasi muda dapat

memasuki lembaga-lembaga pendidikan yang lebih baik dan memperoleh ‘kebebasan’

berekspresi termasuk dalam hal berbusana, jauh dari pengawasan sosial keluarga serta

fasilitas-fasilitas hiburan yang banyak dan beragam. Kemacetan, polusi, kriminalitas dan

hal-hal negatif lainnya menjadi konsekuensi yang dapat diterima untuk mendapatkan

semua keuntungan tersebut.

TABEL 5 - 8 Daya Tarik Permukiman di Kawasan Metropolitan

Mebidang Jabodeta- bekjur

Bandung Raya

Gerbang- kertosusila

Mammina- sata Indikator

Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa

Rasio Ketergantungan

49 60 42 63 47 54 42 49 47 59

Rasio Registrasi

Sekolah usia

16-18 tahun

72 59 65 27 59 40 72 52 66 39

% populasi

penduduk usia

di atas 15 tahun lulusan SMA

47 29 48 16 38 18 48 30 55 38

% Tenaga Kerja

di Bidang Pertanian 7 59 3 45 8 39 6 58 4 58

% Tenaga Kerja di Bidang Industri

29 17 33 17 36 27 33 17 18 13

% Tenaga Kerja

di Bidang Jasa 64 34 65 39 56 34 61 26 77 29

Tingkat Pengangguran

19 16 17 17 21 15 13 12 20 17

Catatan: Rasio Ketergantungan merupakan pembagian antara jumlah penduduk usia 0 -14 tahun

ditambah dengan usia diatas 65 tahun dengan jumlah penduduk usia 15 – 64 tahun (usia produktif).

Rasio Registrasi Sekolah adalah perbandingan antara penduduk yang bersekolah dengan jumlah

penduduk pada rentang umur tertentu.

Bidang Pertanian mencakup pertanian, kehutanan, perburuan dan perikanan.

Bidang Industri meliputi industri manufaktur, pertambangan dan penggalian, dan konstruksi.

Bidang Jasa mencakup perdagangan, transportasi, keuangan, pelayanan sosial dan lain-lain.

Sumber : Tabulasi khusus oleh IHS berdasarkan data Susenas BPS 2004

Page 18: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

142

Kenyataan di atas didukung oleh beberapa fakta dalam hal pendidikan dan

pekerjaan, sebagaimana ditunjukkan dengan perbandingan indikator kependudukan

antara kota dan desa di beberapa metropolitan yang dibahas (TABEL 5 - 8). Secara

khusus, wilayah terbangun metropolitan dihuni oleh penduduk usia produktif yang dapat

menikmati pendidikan yang lebih baik dan menemukan pilihan pekerjaan yang beragam

meskipun di tengah-tengah ancaman pengangguran. Rasio ketergantungan

(perbandingan antara jumlah penduduk berumur 0-14 dan >65 tahun dengan jumlah

penduduk berumur 15-64 tahun) lebih rendah di daerah perkotaan dibandingkan dengan

daerah perdesaan di wilayah metropolitan yang menggambarkan dinamika pola ruang.

Ini menunjukkan bahwa penduduk kota memiliki beban tanggungan lebih ringan yang

biasanya memiliki jumlah anak yang membutuhkan investasi sosial berupa kesehatan

dan pendidikan yang lebih sedikit.

Sebagaimana kita ketahui, fasilitas dan pelayanan pendidikan, dan terutama dari segi

jumlahnya, lebih banyak tersedia di daerah perkotaan daripada daerah perdesaan. Kami

telah memilih dua indikator pendidikan, yaitu tingkat registrasi penduduk usia sekolah

menengah atas dan persentase penduduk dewasa (di atas 15 tahun) yang telah

menyelesaikan tingkat pendidikan menengah atas. Hasilnya di beberapa metropolitan

terpilih menunjukkan bahwa kedua indikator tersebut lebih tinggi di daerah perkotaan

dibandingkan dengan daerah pedesaan. Dengan kata lain, penduduk kota jauh lebih

terdidik daripada penduduk desa.

Lebih beragamnya jenis pekerjaan dan peluang penghidupan di kota dibandingkan di

desa adalah penyebab dan akibat dari kesemerawutan kota. Sebaliknya, hanya sebagian

kecil penduduk perkotaan yang bekerja atau terpaksa bekerja di sektor pertanian

mengingat mereka memiliki pilihan kerja yang lebih luas. Penyerapan tenaga kerja di

bidang industri, termasuk industri skala kecil dan menengah, masih merupakan

fenomena perkotaan daripada perdesaan. Ketimpangan yang lebih signifikan terjadi pada

sektor jasa, meskipun termasuk perdagangan skala kecil yang dikenal sebagai sektor

informal. Namun, mall hanya dibangun di daerah padat dimana penjual dapat

menemukan sumber penghidupannya. Sektor transportasi, termasuk angkutan kendaraan

bermotor roda dua yang dikenal dengan nama “ojek” masih lebih banyak tersedia di

daerah permukiman padat. Inovasi terbaru tentu saja berupa bus way Jakarta, yang

merupakan satu-satunya sistem transportasi yang diterapkan di negara yang membayar

sopir dengan gaji tetap dan terbuka baik bagi pria maupun wanita. Sektor keuangan atau

perbankan biasanya ditemukan di perkotaan yang memiliki peluang bisnis. Hal yang

sama juga terjadi pada sektor pemerintahan yang terletak di kota pusat pemerintahan.

Terdapat beberapa peluang penghidupan di perkotaan, namun, tidak semuanya

membawa sukses. Dengan harapan dapat memenuhi keinginan, menjadi pengangguran

pun tidak masalah sekalipun kemungkinannya tinggi, karena ini hanyalah sementara. Di

samping itu, seiring dengan semakin orang miskin lebih memilih tinggal di perdesaan

dan status pengangguran seringkali menjadi sesuatu yang sulit diterima, satu-satunya

perbedaan tipis antara tingkat pengangguran yang tinggi di kota dan di desa menjadi

tanda perlunya perhatian, yang biasanya menyulut gejolak sosial.

Page 19: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

143

TABEL 5 - 9 Ketersediaan Fasilitas dan Pelayanan Mebidang Jabodeta

bekjur Bandung Raya

Gerbang- kertosusila

Mamminasata

Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa Kota Desa

% Rumah

Tangga dengan Listrik

89 85 93 69 86 74 88 69 91 67

Fasiltas/1000 penduduk

Rumah Sakit 34 143 85 263 121 2370 73 51

Puskesmas 44 31 38 56 33 44 35 55 33 23

Praktek Dokter 3 21 4 32 3 24 3 21 4 33

% Desa-desa dengan fasilitas

Sumber air

minum/masak dari PAM.

pompa atau

sumur

99 75 98 82 88 52 90 74 99 71

Jalan beraspal 82 41 92 59 93 81 91 53 95 62

Kantor Pos 13 2 32 3 23 4 13 1 15 2

Telepon

Umum/Wartel

89 30 99 70 99 65 97 67 98 59

Pusat Perbelan- jaan

42 1 60 7 51 6 39 6 52 5

Pasar Permanen/

Semi-permanen

26 5 34 7 26 9 26 12 24 21

Hotel/guest house

20 3 24 4 23 4 13 1 29 2

Bank 30 42 1 35 2 24 2 32 4

Supermarket 30 0 64 4 48 3 32 1 19 1

Sumber : Tabulasi Khusus oleh IHS berdasarkan data PODES 2005 BPS

Penegasan mengenai keberutungan di kota secara jelas ditunjukkan pada TABEL 5 -

9. Tabel itu memperlihatkan bahwa secara umum proporsi rumah tangga yang memiliki

akses listrik di perkotaan jauh lebih tinggi dibandingkan di pedesaan di beberapa

kawasan metropolitan yang dibahas. Hal yang sama juga terjadi dalam hal ketersediaan

fasilitas dan pelayanan kesehatan serta fasilitas dan infrastruktur yang mempengaruhi

kualitas kehidupan. Akses terhadap air bersih, jalan dan infrastruktur ekonomi (kantor

pos, wartel, pusat perbelanjaan, pasar, hotel, bank dan supermarket) lebih besar di

perkotaan dibanding di pedesaaan.

Tantangan

Urbanisasi bukan hanya fakta kehidupan tetapi juga terus meningkat. Proyeksi BPS

menunjukkan bahwa jumlah total penduduk Indonesia terus bertambah dari 206 juta

pada tahun 2000 menjadi 275 juta pada tahun 2025 (TABEL 5 - 10). Sementara 4 dari 10

orang tinggal di kota pada tahun 2000, dalam dua dekade ke depan diperkirakan bahwa

hampir 7 dari 10 orang akan tinggal di kota. Yang terpenting untuk dicatat adalah, walau

bagaimanapun, tingkat urbanisasi nasional terutama dipengaruhi oleh kondisi Pulau

Jawa. Menurut sensus penduduk tahun 2000, hampir separuh (49 persen) jumlah

penduduk Pulau Jawa tinggal di perkotaan dan diperkirakan pada tahun 2025 hampir 8

dari 10 penduduk Pulau Jawa akan tinggal di perkotaan. Dengan perkiraan jumlah

penduduk Jawa akan mencapai 151 juta pada tahun 2025, berarti 120 juta akan tinggal di

aglomerasi perkotaan. Hal ini mengingatkan pengelola kota dan perencana tata ruang

Page 20: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

144

akan tantangan yang akan mereka hadapi. Peran apa yang ingin mereka mainkan?

Apakah mereka akan berperan sebagai fasilitator atau justru berupaya menghalau

kecenderungan ini?

TABEL 5 - 10 Proyeksi Jumlah Penduduk dan Proporsi Penduduk

Perkotaan Indonesia Menurut Pulau-pulau Utama Tahun 2000 - 2025

2000 2005 2010 2015 2020 2025

Jumlah Penduduk (juta)

Sumatra 43 47 51 55 59 63

Jawa 121 128 134 141 147 151

Bali & Nusa Tenggara 11 12 13 14 14 15

Kalimantan 11 13 14 15 17 18

Sulawesi 15 16 17 18 19 20

Maluku & Papua 4 4 5 5 5 6

INDONESIA 206 220 234 248 262 274

Penduduk Perkotaan (juta)

Sumatra 33,7 38,8 44,1 49,3 54,4 59,3

Jawa 48,8 56,5 63,6 69,7 74,8 79,0

Bali & Nusa Tenggara 32,3 38,1 43,5 48,6 53,1 57,0

Kalimantan 35,4 40,0 44,8 49,4 54,0 58,5

Sulawesi 27,6 30,8 34,1 37,5 41,1 44,8

Maluku & Papua 24,3 24,9 25,6 26,3 27,1 28,0

INDONESIA 42,0 48,3 54,2 59,5 64,2 68,3

Sumber: BPS, BAPPENAS, UNFPA, Proyeksi Penduduk Indonesia 2000–2025

Penutup

Secara jelas telah dinyatakan bahwa metropolitanisasi menguntungkan, atau bukan suatu

masalah, paling tidak bagi mereka yang gaya hidupnya terpenuhi oleh fasilitas-fasilitas

dan pelayanan yang tersedia. Dengan kata lain, jika ada permasalahan yang diidentifikasi

oleh perencana dan pengelola kota, solusinya harus ditujukan untuk mereka yang

menikmati berbagai macam aktivitas kehidupan metropolitan karena mereka tidak

meninggalkan metropolitan tetapi justru terus mengajak orang lain untuk tinggal di kota.

Atau mungkin sudut pandang lain harus juga diperhatikan, perencana kota harus

merencanakan masa depan dan masa depan berarti meningkatnya kawasan terbangun

dan meluasnya kawasan metropolitan yang ada saat ini. Pembangunan infrastruktur fisik

perkotaan harus direncanakan sesuai dengan peningkatan jumlah penduduk yang akan

berlangsung terus menerus dalam rangka mencari kehidupan yang lebih baik di kawasan

metropolitan.

Indikator-indikator yang ditunjukkan TABEL 5 - 8 dan TABEL 5 - 9 memunculkan

lebih banyak pertanyaan daripada menyediakan jawaban. Seseorang bisa hanya

mengasumsikan mengapa desa tumbuh menjadi kota yang terus meluas kemudian

Page 21: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

145

bersama-sama dengan desa disekitarnya berubah menjadi permukiman perkotaan.

Pertanyaan-pertanyaan berikut juga mengandung rekomendasi untuk diteliti lebih lanjut.

• Mengapa pola pertumbuhan kota metropolitan menjadi seperti yang selama ini

terjadi, apakah ada ‘invisible hand’ yang mengarahkan proses itu?

• Apa peran dan tanggung jawab pemerintah? Pemerintah pada tingkat mana?

• Bagaimana dengan peraturan zoning? Apakah ada dan dijalankan?

• Apakah pemerintah mengarahkan di mana seharusnya pihak swasta harus

membangun atau sebaliknya?

• Apakah proses urbanisasi dan metropolitanisasi merupakan proses ‘alami’ dengan

pasar merupakan kekuatan satu-satunya?

EKONOMI PERKOTAAN14

Pendahuluan

Pertumbuhan kota-kota selalu berbasis pada faktor ekonomi. Titik tolaknya selalu terkait

dengan keuntungan lokasi kota bersangkutan. Kota-kota yang cepat berkembang pada

dua dekade terakhir ini dapat ditengarai adanya potensi lokasi yang sangat menonjol.

Semua ini berwujud kegiatan ekonomi riil baik ekonomi formal maupun informal.

Kota-kota besar yang ada sekarang ini, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan,

dan Makassar yang sering disebut dengan metropolitan menunjukkan kekuatan lokasi

yang strategis sehingga terus tumbuh dan berkembang. Pertumbuhan ini dapat diwakili

oleh pertumbuhan penduduk yang pesat dan sekaligus pertumbuhan ekonominya.

Dibandingkan dengan kota-kota atau daerah-daerah lain, ada beberapa kota di

Indonesia mempunyai ukuran besar dengan penduduk lebih dari 700 ribu jiwa15. Jumlah

kota-kota besar ini ada sekitar 14 kota, yang paling kecil adalah Kota Padang dengan

penduduk 702 ribu jiwa (tahun 2000).

Sebagai kota besar dengan jumlah penduduk yang besar, kota-kota tersebut

mengalami berbagai persoalan, utamanya dalam pelayanan. Persoalan ini semakin kronis

ketika jumlah penduduk terus meningkat yang umumnya berasal dari migrasi masuk ke

kota yang disebut dengan urbanisasi.

14 Catatan editor: Analisis ekonomi di bab ini menggunakan batasan jumlah penduduk perkotaan yang

berbeda dengan analisis kependudukan di bab sebelumnya. Namun demikian, perbedaan tersebut tidak

mempengaruhi pesan yang disampaikan oleh buku ini. 15 Hasil penelitian empiris oleh Bambang dan Ringgi (2003) dalam pengelompokan besaran kota-kota

di Indonesia ditemukan 3 kelompok, yaitu: kota besar/metropolitan mempunyai penduduk lebih dari

700 ribu jiwa. Kota sedang berpenduduk antara 200 ribu jiwa dan 700 ribu jiwa, sedangkan kota kecil

berpenduduk kurang dari 200 ribu jiwa.

Page 22: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

146

TABEL 5 - 11 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota 1980-1990 dan

1990-2000

1980-1990 (%) 1990-2000 (%)

Kota Besar (>700 ribu) 2,7 1,1*

Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 2,2 1,5

Kota Kecil (<200 ribu) 2,4 0,07

Rata-rata Kota 2,4 1,3

Sumber: Hasil Analisis *) Secara fungsional, pertumbuhan kota besar jauh lebih besar dari angka 1,1persen.

Baca penjelasan TABEL 5 - 13.

Pertumbuhan penduduk kota yang paling dramatis terjadi pada periode 1980-1990

dengan laju pertumbuhan 2,4 persen16, sedangkan kota-kota besar sekitar 2,7 persen,

Lihat TABEL 5 - 11. Namun kemudian pada periode berikutnya, yaitu 1990-2000, terjadi

penurunan drastis dari 2,4 persen menjadi 1,3 persen (hampir sama dengan laju

pertumbuhan penduduk nasional). Dengan demikian, pada periode 1990-2000 terjadi

penurunan urbanisasi. Diduga, menurunnya tingkat urbanisasi ini selain dampak

menurunnya tingkat ekonomi kota akibat krisis ekonomi 1998 yang lalu, juga karena

adanya alternatif bagi migran untuk menjadi TKI di luar negeri (menurut informasi dari

Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, jumlah TKI di Luar Negeri sekitar 5 juta

jiwa). TABEL 5 - 12 di bawah ini menunjukkan kemungkinan tersebut.

TABEL 5 - 12 Perbandingan Laju Pertumbuhan Ekonomi Kota-kota dan Nasional

Sebelum dan Pasca Krisis

Laju Pertumbuhan Ekonomi (%)

Skala Wilayah 1996 1998 1999 2002

Kota Kecil (<200 ribu) 7,4 -5,1 -0,2 1,8

Kota Sedang (>200 ribu; <700 ribu) 9,3 -6,9 -0,0 6,4

Kota Besar + Metropolitan(>700 ribu) 11,0 -13,9 -1,5 3,1

Rata-rata Kota 8,9 -6,0 -0,4 5,1

Nasional 5,6 -13,0 3,5 4,0

Sumber: Hasil analisis. Data PDRB Kabupaten/Kota. BPS

Pada TABEL 5 - 12 di atas juga dapat dikenali karakteristik kota-kota besar yang

berbeda dengan kota-kota ukuran lebih rendah yaitu :

1. Kota-kota besar/metropolitan mempunyai tingkat pertumbuhan yang sangat tinggi,

tetapi bila terjadi krisis ekonomi, maka kota-kota besar/metropolitan mengalami

kontraksi pertumbuhan ekonomi yang sangat tajam. Seperti yang bisa disimak pada

16 Perhitungan laju pertumbuhan pada periode 1980-1990 sebesar 2,4 persen adalah hasil

penelitian oleh penulis. Selama ini laju pertumbuhan yang diakui pada periode tersebut sebesar 3,4

persen. Menurut penulis angka pertumbuhan 3,4 persen tersebut terdapat kesalahan yaitu memasukkan

desa-desa yang menjadi kota dan memasukkan daerah-daerah perluasan kota dalam perhitungan

pertumbuhan.

Page 23: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

147

TABEL 5 - 12, pada periode 1996 pertumbuhan ekonomi sebesar 11 persen, tetapi

pasca krisis tahun 1997 yang lalu, laju pertumbuhan ekonomi mendadak kontraksi

(minus) 13 persen. Namun demikian, ketika kondisi normal, maka laju pertumbuhan

ekonomi kota-kota besar/metropolitan kembali ”leading”. Ini menunjukkan bahwa

ekonomi kota-kota besar/metropolitan cukup ”vulnerable”.

2. Bandingkan dengan kota-kota kecil yaitu ketika situasi normal mempunyai laju

pertumbuhan moderat sebesar 7,4 persen dan ketika terjadi krisis hanya mengalami

kontraksi sebesar 5,1 persen. Kemudian ketika situasi normal hanya terangkat

menjadi 1,8 persen. Perbandingan ini menunjukkan bahwa kota-kota kecil

kelihatannya sudah steady atau mungkin terhambat.

TABEL 5 - 13 Laju Pertumbuhan Penduduk Kota-kota Metropolitan

No. Nama Kota

Laju Pert.

Penddk

1980-1900

(%)

Laju Pert.

Penddk

1990-2000

(%) Keterangan

1. Jakarta 2,41 0,16 Terjadi penurunan laju

pertumbuhan karena kejenuhan

Kab. Bogor 4,13 2,25 Terjadi pengurangan wilayah

akibat pemekaran kota Bogor

dan kota Depok.

Kota Bogor 0,94 10,97 Terjadi pemekaran wilayah kota

Kota Depok - - Belum terbentuk.

Kab. Tangerang 6,10 4,12 Laju pertumbuhan tetap tinggi

Kota Tangerang - - Belum terbentuk kota, belum

ada data

Kab. Bekasi 6,29 4,70 Laju pertumbuhan tetap tinggi

Kota Bekasi - - Belum terbentuk kota,

belum ada data

2. Surabaya 2,05 0,43 Terjadi penurunan laju

pertumbuhan

karena kejenuhan.

Kab. Sidoarjo 3,17 2,97 Laju pertumbuhan tetap tinggi

3. Medan 2,30 0,97 Terjadi penurunan laju

Pertumbuhan karena kejenuhan

Kab.

Deliserdang

2,59 2,09 Laju pertumbuhan tetap tinggi

4. Bandung 3,47 0,41 Terjadi penurunan laju

Pertumbuhan karena kejenuhan.

Kab. Bandung 1,83 2,71 Kenaikan laju pertumbuhan

Sumber: Penduduk Indonesia, Hasil Sensus Penduduk 2000, BPS

Berdasarkan kajian di atas memperteguh kesimpulan bahwa :

1. Kota-kota besar/metropolitan sangatlah lentur dalam menanggapi pertumbuhan,

sementara kota-kota kecil terlalu kenyal. Dengan sifat yang lentur, maka kota-kota

besar/metropolitan akan selalu menghadapi dinamika pertumbuhan dan sekaligus

menghadapi dampak pertumbuhan itu sendiri.

Page 24: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

148

2. Dampak dari pertumbuhan yang mulai meningkat lagi pada pasca krisis adalah

meningkatnya lagi urbanisasi pada pasca tahun 2000 walaupun tidak sedramatis

tahun sebelum 1990 yang lalu.

Angka-angka urbanisasi memang sulit diidentifikasi, tetapi bisa ditandai dari laju

pertumbuhan penduduk yang tinggi pada kota bersangkutan. Namun demikian,

perkembangan kota-kota besar/metropolitan umumnya sudah melampaui batas

administrasinya atau mengalami kejenuhan sehingga laju pertumbuhan penduduk

(dengan data penduduk sesuai dengan batas administrasi) akan terdata rendah (karena

sedikitnya pemukiman baru). Dengan demikian, pertumbuhan penduduk di kota-kota

besar/metropolitan akan terdata rendah dan kecenderungan urbanisasi itu akan terdata

pada daerah-daerah/kota-kota yang berada di sekitar kota metropolitan bersangkutan

dengan laju pertumbuhan yang tinggi. Hal ini dapat dikaji pada beberapa kota besar/

metropolitan seperti Jakarta dengan Bodetabek, Surabaya dengan Kabupaten Sidoarjo,

Medan dengan Deli Serdang dan Binjai, atau Bandung dengan Kabupaten Bandung

sebagaimana yang bisa diteliti pada TABEL 5 - 13.

Pertumbuhan penduduk kota-kota metropolitan tersebut akan berimplikasi pada

corak ekonomi kota-kota bersangkutan. Secara agregat, pertumbuhan ekonomi daerah

diukur dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) daerah bersangkutan. Seberapa

jauh pertumbuhan penduduk kota-kota besar dibarengi oleh pertumbuhan ekonominya.

maka bisa dikaji bagaimana corak PDRB perkapita dengan data-data PDRB tahun 1998

dan 2002 atas dasar harga tetap (1993) dan estimasi data penduduk tahun 1998 dan

200217 sehingga dapat dihitung PDRB per kapita dan laju pertumbuhan PDRB per

kapita sebagaimana yang dapat disimak pada TABEL 5 - 14 di atas. Dengan demikian,

ada empat kategori pertumbuhan ekonomi yang dapat diberikan sebutan sebagai berikut:

a. Kota besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB per kapita juga lebih tinggi dari rata-rata. Kota seperti ini disebut sebagai kota ”star”. Hanya Jakarta

Pusat dan Jakarta Utara yang pertumbuhan “leading” dan termasuk kota “star”;

b. Kota besar dengan PDRB per kapita lebih rendah dari rata-rata tetapi pertumbuhan PDRB perkapitanya lebih tinggi dari rata-rata, disebut sebagai kota “growing”. Kota

Bandung, Padang, dan Palembang termasuk kota yang sedang tumbuh atau

“growing”.

c. Kota Besar dengan PDRB per kapita dan pertumbuhan PDRB perkapitanya juga lebih rendah dari rata-rata, disebut Kota “steady”. Ada sembilan kota dari 19 kota-

kota besar/metropolitan yang termasuk dalam kota “teady” atau kota yang

pertumbuhan ekonominya terhambat.

d. Kota Besar dengan PDRB per kapita lebih tinggi dari rata-rata, tetapi pertumbuhan PDRB per kapitanya lebih rendah dari rata-rata disebut sebagai Kota ”mature”.

Yang termasuk dalam kategori ini adalah Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta

Barat, dan Surabaya.

17 Data PDRB tahun 1998 digunakan atas pertimbangan linearitas. Seperti diketahui bahwa pada tahun

1997 terjadi krisis dan terjadi penurunan tingkat pertumbuhan ekonomi yang drastis sehingga data-data

tahun 1997 dan sebelumnya tidak bisa dibandingkan atau tidak linear. Data PDRB tahun 2002

digunakan karena data ini sudah merupakan data final.

Page 25: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

149

TABEL 5 - 14 PDRB Per kapita dan Laju Pertumbuhannya

NAMA KOTA (0)

PDRB 1998

(juta)

(1)

JML PDDK 1998

(2)

PDRB/ KAPITA

1998 Po

(3) = (1)/(2)

PDRB 2002

(juta)

(4)

JML PDDK 2002 / 2003

(5)

PDRB/ KAPITA

Pt

(6) = (4)/(5)

LAJU PERTBH PDRB / KAPITA

1998 - 2002

α=(Pt/Po)¼ -1 (7)

Medan 4.833.911,19 1.881.080 2,570 5.799.222,07 1.993.602 2.909 0.0315

Padang 2.321.172,65 702.638 3,304 2.682.462,36 765.450 3.504 0.0149

Palembang 2.652.629,00 1.406.774 1,886 3.179.588,00 1.339.315 2.374 0.0593

Bandar Lampung 1.584.900.00 731.406 2,167 1.815.272,00 790.895 2.295 0.0145

Jakarta Selatan 12.264.754,68 1.783.298 6,878 11.644.849,21 1.707.093 6.821 -0.0020

Jakarta Timur 16.074.778,28 2.337.276 6,878 12.305.853,81 2.103.525 5.850 -0.0396

Jakarta Pusat 6.109.404,20 888.309 6,878 15.929.738,60 893.195 17.835 0.2690

Jakarta Barat 13.074.022,33 1.900.966 6,878 10.353.071,91 1.565.708 6.612 -0.0098

Jakarta Utara 9.857.557,04 1.433.291 6,878 14.050.749,60 1.182.749 11.880 0.1464

Tangerang 5.680.177,00 1.259.840 4,509 6.616.456,50 1.416.840 4.670 0.0088

Bandung 5.294.952,14 2.133.091 2,482 6.694.331,05 1.867.010 3.586 0.0963

Bekasi 3.060.637,00 1.565.698 1,955 3.732.084,00 1.809.306 2.063 0.0135

Depok 1.327.648,33 1.120.836 1,185 1.459.981,62 1.247.233 1.171 -0.0030

Bogor 915.583,00 727.118 1,259 1.279.881,96 789.423 1.621 0.0652

Semarang 4.737.732,57 1.335.042 3,549 5.626.854,73 1.350.002 4.168 0.0410

Malang 2.323.694,19 743.965 3,123 2.692.919,81 772.642 3.485 0.0278

Surabaya 15.429.196,46 2.577.732 5,986 14.565.521,28 2.659.566 5.477 -0.0220

Makassar 2.589.506,89 1.075.404 2,408 3.205.558,44 1.148.312 2.792 0.0376

Rata-rata 4.950 0.0416

Page 26: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

150

Berdasarkan kategori di atas maka implikasi pertumbuhan ekonomi dapat

digambarkan sebagai berikut:

1. Kota-kota “star” seperti Jakarta Pusat dan Jakarta Utara merupakan kota yang

ekonominya terus berkembang dan sangat dinamis. Karena terjadi pertumbuhan

ekonomi yang tinggi maka terjadi desakan-desakan pemanfaatan ruang ke arah

penggunaan yang lebih komersial. Dalam banyak kasus yang mengalami tekanan

seperti ini adalah peruntukan perumahan. Dengan demikian secara berangsur dan

cepat, Jakarta Pusat dan Jakarta Utara akan menjadi kawasan komersial.

2. Kota-kota “rowing” seperti Bandung, Padang, dan Palembang sedang mengalami

perkembangan yang sangat cepat, termasuk implikasinya terhadap pergeseran tata

ruang (perumahan menjadi komersial), hanya saja modal ekonominya masih rapuh.

3. Kota-kota ”steady” yang merupakan sebagian besar kota-kota besar/metropolitan ini

walaupun sedang tumbuh, tetapi masih banyak hal yang menghambat, sehingga

pertumbuhannya relatif melambat. Diperkirakan masih banyak faktor-faktor

percepatan ekonomi yang belum kondusif.

4. Kota-kota ”mature” seperti Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, dan

Surabaya mempunyai fenomena yang sama dengan ”star” di atas, tetapi masih

mengalami hambatan karena layanan prasarana dan fungsi perumahan yang masih

kuat. Akibat dari hambatan ini, pertumbuhannya tersendat dan berjalan tidak secepat

kota-kota ”star”.

Posisi pertumbuhan ekonomi kota-kota besar/metropolitan tersebut ditunjukan

dalam GAMBAR 5 - 6.

Dari kategorisasi kota-kota besar/metropolitan tersebut di atas, walaupun sebagian

besar dikategorikan sebagai ”steady”, tetapi tetap kota-kota besar/metropolitan

mempunyai posisi pertumbuhan PDRB per kapita yang rata-ratanya 4,16 persen (lihat TABEL 5 - 14) adalah jauh lebih kuat jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan PDRB

per kapita total kota-kota yang sebesar 2,3 persen18. Oleh karena itu, pertumbuhan

ekonomi kota-kota besar/metropolitan di Indonesia mempunyai implikasi sosial dan fisik

sebagai berikut:

1. Tetap mempunyai daya tarik ekonomi dan akan menarik kembali tingkat urbanisasi.

2. Terjadinya pergeseran peruntukan lahan kota dari perumahan menjadi kawasan komersial dengan tingkat perubahan yang berbeda-beda.

3. Kembalinya urbanisasi yang meningkat (butir 1). Karena tidak didukung oleh ketersediaan lahan yang mencukupi maka perkembangan kota akibat tekanan

pertumbuhan ekonomi ini akan berimbas pada kawasan sekitar kota besar/

metropolitan yang bersangkutan (spread development).

4. Pertumbuhan ”spread” adalah pertumbuhan kota yang tidak efisien dan menimbulkan banyak dampak antara lain: kemacetan lalu lintas, berkurangnya

18 PDRB Per Kapita dan pertumbuhannya secara nasional dari sumber: ”Kajian Pertumbuhan Kota-kota

Dalam Rangka Pembangunan Prasarana Ke-PU-an”. PUSTRA. Kegiatan TA 2005.

Page 27: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

151

fungsi kawasan lindung akibat dimanfaatkan untuk perumahan, dan sulitnya

mengembangkan jaringan prasarana secara terpadu.

GAMBAR 5 - 6 Kategorisasi Kota-kota Besar/Metropolitan Cat: Analisis berdasarkan TABEL 5 - 14

Bagaimanapun juga kota-kota besar/metropolitan tetap tumbuh ”leading” dibandingkan

kota-kota lain yang kesemuanya didorong oleh fungsi ekonomi dan peranan ini tentunya

juga ”leading” bagi perekonomian nasional.

Tantangan

Kota sebagai pusat aglomerasi ekonomi dengan pola pertumbuhan sebagaimana

diuraikan sebelumnya diakui mempunyai peranan yang sangat penting bagi ekonomi

kota masing-masing dan ekonomi secara nasional karena:

1. Sekitar 40-50 persen Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional disumbang oleh 90

kota19 atau sekitar 20 persen dari sekitar 430 kabupaten/ kota di Indonesia;

19 Yang dimaksud kota adalah kota otonom, tidak termasuk kota-kota kabupaten yang tidak otonom.

PDRB/Kap.

Lj. Pert.

PDRB/K

ap.

“star”

“mature”

“growing”

“steady”

Medan, Padang,

Bd.Lampung,Tangerang,

Bekasi, Depok, Semarang.

Malang, dan Makassar

Palembang,

Bandung, Bogor,

dan Makassar

Jakarta Pusat dan Jakarta

Utara

Jakarta Selatan,

Jakarta Barat,

Jakarta Timur, dan

Surabaya

Page 28: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

152

2. Peranan ekonomi kota ini semakin menonjol pada kota-kota besar/metropolitan.

Sekitar 14 kota-kota metropolitan atau 3 persen dari total daerah menyumbang 30

persen PDB Nasional20;

3. Selain penting dalam perekonomian nasional, kota-kota metropolitan juga

mempunyai peranan bagi sumber fiskal nasional. Seperti diketahui 80 persen APBN

berasal dari pajak dan dari 80 persen pajak ini, sekitar 70 persen berasal dari pajak

badan, pajak pribadi, PPN, pajak final yang kesemuanya bersumber dari perkotaan;

dan

4. Diperkirakan 50 persen dari APBN berasal dari pajak kota-kota besar/

metropolitan21.

Walaupun kota-kota metropolitan secara agregat merupakan sumber ekonomi dan

keuangan nasional, tetapi secara kapita kinerjanya lebih rendah dibandingkan kapita

nasional yang dapat ditunjukkan bahwa :

1. PDRB per kapita kota-kota besar/metropolitan rata-rata Rp 4,5 juta.

2. Sedangkan PDRB Nasional per kapita sebesar Rp 6,7 juta.

3. Angka-angka per kapita kota-kota besar/metropolitan ini (yaitu Rp 4,5 juta) yang

rendah ini dibandingkan dengan nasional (Rp 6,7 juta) menunjukkan 3

kemungkinan 22, yaitu:

a. Kemungkinan pertama: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan yang masih miskin dan tinggal di kawasan-kawasan kumuh dan juga berarti

terdapat kesenjangan kesejahteraan yang besar di kota-kota metropolitan.

b. Kemungkinan kedua: sangat banyak masyarakat kota-kota besar/metropolitan bekerja di ekonomi informal sementara angka PDRB tidak memasukkan

kegiatan ekonomi informal.

c. Kemungkinan ketiga: kemungkinan butir 1 dan 2 ada semua. Ini berarti tumbuhnya kota-kota besar/metropolitan selalu diikuti dengan jumlah

kemiskinan yang besar dan berkembangnya ekonomi informal seiring dengan

besaran PDRB itu sendiri. Semakin besar PDRB sebagai indikator ekonomi

formal, semakin berkembang pula kegiatan ekonomi informalnya.

Kota-kota besar/metropolitan dengan kompleksitas dan intensitas yang demikian

tinggi serta merupakan ”focal point” ekonomi yang potensial itu, selain menjadi pusat

pertumbuhan utama, juga membawa resiko beban-beban berat yang selalu mengiringi

potensi-potensi pertumbuhannya. Potensi pertumbuhan yang sedang berlangsung itu

tampaknya sulit dihentikan dan serta-merta beban-beban yang mengiringi juga terus

menggelanjut.

20 Berdasarkan data-data PDRB 1999 – 2003. 21 Berdasarkan perkiraan perhitungan APBN 2005. 22 Data-data APBD dan PDB dari BPS.

Page 29: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

153

Dengan kemungkinan masalah perekonomian seperti kemiskinan dan kesenjangan

kesejahteraan serta corak ekonomi informal yang mewarnai kehidupan kota-kota besar/

metropolitan sebagaimana yang diperkirakan di atas, maka keluaran persoalan yang

muncul utamanya pada persoalan fisik klasik menyangkut soal kemacetan lalu lintas,

kawasan kumuh, persampahan, kekurangan prasarana pada umumnya, dan menurunnya

tingkat kualitas lingkungan. Semua ini menengarai bahwa perekonomian kota yang

tumbuh selama ini ditopang oleh ”tulang-tulang penyangga” yang rapuh. Dalam situasi

ini kota-kota besar/metropolitan seolah mengalami obesitas yang beresiko tinggi, atau

sensitif terhadap persoalan-persoalan yang mengiringi pertumbuhannya.

Sebagaimana telah diungkap di atas tentang adanya kemungkinan konsentrasi

kemiskinan yang tinggi dengan corak praktik ekonomi informal yang berserak maka ada

kesulitan bagi pemerintah kota-kota metropolitan untuk menanganinya. Namun

demikian, adanya kemiskinan adalah kenyataan dan menjadi tugas pemerintah daerah

bersama masyarakat untuk mengentaskannya; dan adanya ekonomi informal adalah

kenyataan lain yang harus diatur agar menjadi kekuatan ekonomi alternatif.

Cara pengentasan kemiskinan dan pengaturan ekonomi informal oleh pemerintah

daerah dapat dilakukan melalui kebijakan fiskal daerah dengan kapasitas yang

dimilikinya. Pada umumnya kapasitas fiskal kota-kota besar/metropolitan cukup

potensial yang diperoleh melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD), Bagi Hasil Pajak-pajak

(BHP) yang ada (yang dikelola oleh Pemerintah), Bagi Hasil Bukan Pajak (BHBP), dan

bantuan Pemerintah melalui Dana Alokasi Umum (DAU). Penjumlahan penerimaan

tersebut terangkum dalam APBD. Adapun belanja APBD yang dikeluarkan setiap tahun

akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kota. Namun bagi kota-kota besar/

metropolitan, jumlah kapasitas fiskal berupa APBD ini dibandingkan dengan kapasitas

ekonomi daerah ternyata tidaklah seberapa. Rasio APBD terhadap PDRB bagi kota-kota

besar/metropolitan rata-rata hanya 4 persen. Artinya bahwa peranan fiskal daerah

terhadap pertumbuhan ekonomi daerah hanya 4 persen dan 96 persen berasal dari sektor

riil atau ekonomi masyarakat (Lihat TABEL 5 - 15). Porsi APBD terhadap PDRB

sebesar 4 persen ini sangat kecil dibandingkan dengan rata-rata nasional sebesar 23

persen23.

Mengingat bahwa porsi fiskal terhadap ekonomi kota ternyata sangat tidak

signifikan dengan rasio yang hanya 4 persen, maka sebenarnya upaya fiskal melalui

belanja langsung APBD berupa belanja barang, kenaikan gaji, bantuan tunai, dan

semacam itu kemungkinan besar tidak memberikan tambahan nilai yang berarti; yang

mungkin bermanfaat adalah belanja modal berupa prasarana yang bisa lebih memacu

ekonomi riil masyarakat serta memicu investasi langsung. Dengan demikian, tantangan

utama dalam pengelolaan kota-kota besar/metropolitan adalah strategi pembangunan

prasarana yang memberi kemungkinan tumbuhnya investasi langsung baik dalam negeri

maupun luar negeri (Foreign Direct Investment).

Dalam rangka menyongsong investasi itu, masing-masing kota haruslah

meningkatkan daya saing. Laporan penelitian Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi

Daerah (KPPOD), menyatakan bahwa daya saing kota-kota besar/metropolitan secara

23 Rasio APBD/ PDRB secara nasional 23 persen, kota-kota ukuran sedang 9,8 persen, dan kota-kota

kecil sebesar 20 persen (Samiaji 2003).

Page 30: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

154

umum semakin meningkat. Daya saing kota-kota besar/metropolitan berdasarkan

penelitian KPPOD secara berurutan adalah disajikan pada TABEL 5 - 16.

TABEL 5 - 15 Rasio APBD terhadap PDRB (Harga Berlaku)

No. Nama Kota APBD (2003)

Dlm. Milyar

(1)

PDRB (2004)

Dlm. Milyar

(2)

Rasio

(1)/(2)

1. Medan 1.168 33.078 0,04

2. Palembang 547 14.360 0,04

3. Padang 397 11.507 0,03

4. Bd. Lampung 369 6.022 0,06

5. DKI Jakarta 9.982 375.825 0,03

6. Bandung 962 27.977 0,03

7. Bogor 342 4.051 0,08

8. Depok 390 6.314 0,06

9. Tangerang 523 20.812 0,02

10. Bekasi 542 14.399 0,04

11. Semarang 638 20.250 0,03

12. Surabaya 1.320 59.290 0,02

13. Malang 336 9.745 0,03

14. Makassar 531 13.127 0,04

Rata-rata 0,04 Sumber : Hasil Analisis dari Data Keuangan SIKD Dep. Keuangan dan Data PDRB (atas Harga

Berlaku) - BPS

TABEL 5 - 16 Peringkat Daya Tarik Investasi Kota-kota Besar/Metropolitan

Tahun 2004

No. Nama Kota

Peringkat

2003

Peringkat

2004 Keterangan

1. Malang C AAA Kenaikan

2. Jakarta C AA Kenaikan

3. Palembang C AA Kenaikan

4. Makassar - AA 2003 belum diteliti

5. Surabaya B BBB Kenaikan

6. Semarang BB BB Tetap

7. Padang B BB Kenaikan

8. Bandar Lampung C BB Kenaikan

9. Medan C BB Kenaikan

10. Tangerang C BB Kenaikan

11. Bandung BB C Penurunan

12. Bogor C C tetap

13. Bekasi D C Kenaikan

14. Depok - - Belum diteliti. Sumber: KPPOD

Page 31: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

155

Peringkat di atas berbeda dengan TABEL 5 - 15 yang mengkategorikan Kota Malang

sebagai kota ”steady”. Pada tabel di atas, Kota Malang malahan mempunyai daya saing

yang paling tinggi di antara kota-kota besar/metropolitan lainnya. Perbedaan ini terjadi

karena pemantauan dan penilaian daya saing yang dilakukan oleh KPPOD adalah potret

sesaat dengan kemungkinan setiap tahun peringkatannya bisa berbeda, sementara hasil

analisis di TABEL 5 - 16 menunjukkan kualitas yang konstan. Sebagai contoh:

Semarang, di peringkat KPPOD, pada dua tahun lalu ada di peringkat pertama, namun

belum sempat menikmati datangnya investasi, pada tahun 2003 peringkatnya turun

menjadi peringkat sepuluh dan pada tahun 2006 terperosok ke peringkat sembilan belas.

Bagaimanapun juga, daya tarik investasi akan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor

prasarana dan faktor kelembagaan. Hubungan antara prasarana dan kelembagaan adalah:

1. Walaupun unsur kelembagaan juga menentukan, tanpa kelengkapan prasarana tetap

saja tidak akan mengundang investasi.

2. Walaupun prasarana suatu kota telah lengkap, tanpa pengembangan kelembagaan,

maka pemanfaatan prasarana tidaklah optimal.

3. Oleh karena itu bagi kota-kota besar/metropolitan yang memiliki prasarana yang

lebih lengkap dan kinerja ekonomi yang dinamis, apabila ada upaya peningkatan

kualitas kelembagaan, maka daya tarik terhadap investasi akan lebih nyata.

Dengan demikian, untuk meningkatkan daya tarik investasi kota-kota besar/

metropolitan diperlukan pengembangan kelembagaan yang lebih dinamis.

Sebagai kota besar/metropolitan dengan karakteristik perkembangan ”spread” dan

bergabung dengan daerah-daerah di sekitarnya maka daya saing akan lebih mantap

apabila ada sinerji antara kota besar/metropolitan dengan daerah-daerah di sekitarnya.

Untuk itu, pengembangan kelembagaan melalui kerja sama antar daerah khususnya

dalam bidang pembangunan prasarana akan meningkatkan daya saing dan mampu

mengundang investor untuk menanamkan modalnya di kota-kota metropolitan dan

daerah-daerah yang berbatasan dengannya.

Implikasi Tata Ruang

Sebagian besar pertumbuhan dan perkembangan kota-kota besar secara fisik telah

melampaui batas administrasi sehingga ada tanda bahwa telah terjadi dua pola

pertumbuhan fisik kota-kota besar sebagai berikut:

1. Perkembangan ke luar yang terus melebar sehingga mulai menyatu secara fisik

dengan daerah yang berbatasan.

2. Perkembangan ke dalam, yaitu pergeseran di dalam kawasan terbangun kota.

Umumnya yang terjadi adalah pergeseran atau transformasi dari kegiatan perumahan

menjadi kegiatan komersial.

Perkembangan kota yang bersifat ke luar dan ke dalam di kota-kota besar/

metropolitan ini sampai sekarang belum bisa dikendalikan baik melalui instrumen

rencana tata ruang maupun melalui pengendalian tata ruang, termasuk zoning regulation.

Kegagalan pengendalian tersebut diduga terjadi karena:

Page 32: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

156

1. ”Property Right” pemilik lahan lebih kuat daripada ”Development Right”

pemerintah daerah.

2. Kurangnya kapasitas pengawasan terhadap perubahan guna lahan dan kurangnya

sistem data dan informasi geografi kota yang terbaharui untuk mendukung

pengawasan.

3. Tidak adanya kerja sama antar daerah yang solid di antara kota besar/metropolitan

dan daerah yang berbatasan.

4. Persepsi terhadap nilai-nilai ekonomi jangka pendek lebih kuat daripada nilai-nilai

kelestarian yang efisien.

Sebagai akibat dari pola perubahan tata ruang dari dua sumber, yaitu ke dalam dan ke

luar tersebut, maka kota menjadi terus meluas. Berbagai kebijakan pengembangan tata

ruang malahan semakin memicu dan memacu perkembangan kota yang meluas, seperti:

1. Pengembangan struktur kota seperti:

a. Pembentukan sub-pusat sub-pusat kota mendorong munculnya permukiman-

permukiman baru;

b. Zonasi-zonasi guna lahan, terutama pemisahan zona bisnis dan zona industri

dengan permukiman semakin memperbesar jarak antara kedua fungsi sehingga

tidak efisien baik dalam pelayanan maupun pembangunan prasarana.

2. Pembangunan perumahan murah, yang harga jualnya ditentukan oleh pemerintah,

menyebabkan pengembang mencari lokasi yang harga tanahnya murah dan tentunya

lokasinya jauh dari tempat kerja;

3. Penyebaran fasilitas-fasilitas sosial-ekonomi seperti rumah sakit, sekolah, dan pasar

semakin memberi kemudahan bagi lokasi perumahan yang berada di luar lota;

4. Pembangunan outer ring road akan merangsang tumbuhnya permukiman-

permukiman baru.

Penutup

Kebijakan tata ruang menyebabkan kota besar semakin membesar dan meluas semacam

Kota Obesitas. Kota yang mengalami obesitas ini merupakan akibat langsung dari

perkembangan ekonomi kota yang maju, tetapi tergambarkan dalam perkembangan tata

ruang yang justru tidak efisien. Dengan demikian, nilai-nilai tambah ekonomi yang

diciptakan oleh kota besar itu dikurangi sendiri oleh kebijakan tata ruang yang tidak

efisien itu. Jika kebijakan pengembangan tata ruang masih berkutat pada pola pikir

yang lama, tanpa berupaya reorientasi terhadap masalah melalui terobosan-terobosan

baru dan jitu, maka pada masa datang kota besar/metropolitan yang mengalami obesitas

akan selalu beresiko (seperti manusia kegemukan yang beresiko tinggi terhadap penyakit

degeneratif).

Page 33: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

157

GLOBALISASI DAN METROPOLITAN DI INDONESIA

Pendahuluan

Walau sudah sering menjadi topik pembicaraan dalam, kurang lebih, seperempat abad

terakhir ini—bahkan cenderung menjadi jargon yang klise—istilah “globalisasi” yang

mulai dikenal pada awal 1980-an masih belum memiliki definisi yang disepakati

bersama (Centre for Developing Cities 2006). Padahal, pemahaman tentang apa yang

dimaksud dengan globalisasi akan mempengaruhi sikap terhadap globalisasi tersebut.

Lebih-lebih, globalisasi dalam pengertian yang luas sebagai suatu fenomena interaksi

dan proses pengaruh-mempengaruhi secara sosial-ekonomi-budaya-demografi dari

bagian bumi yang satu ke bagian yang lain pun dapat dikatakan telah berlangsung

selama berabad-abad sebagaimana yang tergambarkan dalam kisah Marco Polo atau

Admiral Cheng Ho. Hanya saja, kemajuan teknologi informasi dan telekomunikasi yang

pesat dalam dua puluh lima tahun terakhir telah membuat fenomena tersebut saat ini

berlangsung jauh lebih cepat dan dalam skala yang jauh lebih besar, dengan lingkup

yang lebih luas menjangkau berbagai bidang, serta memiliki tingkat kerumitan yang

lebih tinggi (UN-Habitat 2004).

Terlepas dari perdebatan akademik tentang arti globalisasi, fenomena intensifikasi

keterkaitan yang semakin mendunia sebenarnya dapat dirasakan oleh sebagian besar

orang, khususnya mereka yang tinggal atau bekerja di kota-kota besar atau metropolitan.

Sungguh, globalisasi dan kota adalah dua konsep yang tak terpisahkan. Di satu sisi kota

hampir selalu menjadi sumber, simpul dan penggerak dari berbagai perubahan, di sisi

lain kota pun merupakan bagian bumi yang paling cepat dipengaruhi oleh berbagai

perubahan global. Proses urbanisasi (baik karena migrasi desa-kota ataupun akibat

pengalihan fungsi lahan) pun menjadi atribut yang tidak terpisahkan dari globalisasi.

Implikasinya, kemampuan suatu bangsa dalam mengelola kota-kotanya sesuai dengan

tuntutan global (yang bisa bersifat eksternal maupun internal) akan mempengaruhi

kemajuan relatif bangsa tersebut di tengah-tengah masyarakat global yang semakin

kompetitif. Demikian pula, kemampuan pengelola kota dalam memahami berbagai

perubahan global—yang bersifat terus menerus—serta pengaruhnya terhadap kehidupan

kota yang dikelolanya akan sangat mempengaruhi kemampuan kota tersebut untuk

berkembang dan bersaing dengan kota-kota lain di dunia yang semakin saling tergantung

satu sama lain. Dalam konteks inilah pembahasan globalisasi dan kota-kota metropolitan

di Indonesia masih (dan selalu akan) dianggap perlu.

Mengunjungi Kembali Globalisasi

Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita kunjungi kembali “globalisasi” sebagai

suatu fenomena sosial-ekonomi-budaya dan demografi, yang menyebabkan semakin hari

semakin banyak bagian dari bumi yang semakin terkait dan saling mempengaruhi. Jan

Art Scholte (2000, sebagaimana disarikan oleh Smith 2002) melihat setidaknya ada lima

jenis pemahaman tentang globalisasi:

1. Globalisasi dilihat sebagai internasionalisasi: yaitu proses meningkatnya hubungan antar-negara, pertukaran antar-negara (international exchange) serta

kesalingtergantungan. Dalam konteks inilah globalisasi dianggap telah terjadi

selama berabad-abad walaupun kecepatan, besaran, lingkup dan kompleksitas

Page 34: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

158

perubahannya berbeda. Namun pada kurun waktu setengah abad terakhir ini terjadi

pula proses multilateralisasi yang lebih mendasar, akibat peran penting lembaga-

lembaga seperti PBB, Bank Dunia, IMF, Mahkamah Internasional dan belakangan

WTO dan terkadang bahkan dapat mendikte kebijakan suatu negara24, khususnya

yang berkaitan dengan penyesuaian struktural (structural adjustment) negara-negara

berkembang terhadap sistem ekonomi neo-klasik yang dipercaya oleh lembaga-

lembaga multilateral tersebut sebagai pilihan terbaik dalam menghadapi globalisasi.

Termasuk dalam kategori pemahaman ini adalah konsep kesaling-tergantungan

(inter-dependency) yang juga merupakan ciri globalisasi.

2. Globalisasi dilihat sebagai liberalisasi; yaitu sebagai proses terhapusnya secara gradual hambatan-hambatan yang ditetapkan oleh masing-masing negara bagi

pergerakan barang, jasa, informasi dan manusia sehingga akan terbentuk suatu

ekonomi dunia yang tanpa batas. Termasuk dalam hal ini adalah penerimaan atau

imposisi model ekonomi neo-klasik sebagai paradigma dominan (kalau tidak mau

mengatakannya sebagai paradigma tunggal) untuk pembangunan ekonomi, dan oleh

karenanya sistem ekonomi nasional pun harus menyesuaikan dengan prinsip-prinsip

ekonomi neo-klasik.

3. Globalisasi dilihat sebagai universalisasi; yaitu sebagai proses terbentuknya kesamaan nilai-nilai, norma-norma, cara-pandang serta perilaku ke segala penjuru

dunia akibat persebaran informasi, pengalaman, barang, orang dan lain-lain. Peran

globalisasi pendidikan— semakin banyaknya orang yang bersekolah di negara-

negara lain, khususnya di negara-negara Barat yang dianggap “maju”—serta

perkembangan teknologi komputer dan internet, serta televisi dan film dilihat

sebagai sangat kuat mempengaruhi universalisasi tata-nilai ini.

4. Globalisasi dilihat sebagai modernisasi dan, secara lebih sempit, pembaratan

(westernization): yaitu sebagai dinamika, ditunjukkan oleh struktur dan atribut sosial

modern (kapitalisme, rasionalisme, industrialisme dan lain-lain) yang tersebar ke

berbagai penjuru dunia. Seringkali dalam proses memoderenisasi ini menghancurkan

budaya serta atribut dan bahkan keswadayaan lokal yang ada. Karena Amerika

Serikat—beserta budaya kontemporernya—sering dilihat sangat mendominasi

proses-proses yang ada, salah satu pandangan yang masuk dalam kategori ini

melihat globalisasi secara lebih sempit lagi sebagai Amerikanisasi (sebagaimana

merebaknya model celana jeans, gerai makan cepat saji ala McDonald atau KFC,

minuman ala Coca Cola, media berita ala CNN, bisnis multi-level marketing ala

Amway dan lain-lain).

5. Globalisasi dilihat sebagai de-teritorialisasi (atau malah terbentuknya suatu supra-teritorial); yaitu proses rekonfigurasi geografis yang menyebabkan ruang-ruang

sosial tidak lagi selalu diartikan secara fisik-teritorial. Pernyataan-pernyataan yang

agak berlebih seperti terjadinya “death of distance” atau bahkan “death of

geography”25 pun muncul sebagai salah satu penekanan cerminan sudut pandang ini.

24 Sebagai salah satu contoh baca Kwik 2006. 25 Pernyataan “death of geography” sebagaimana dikutip dalam Smith 2000 tentunya terlalu

berlebihan,apalagi mengingat bahwa justru banyak ahli geografi yang menekuni persoalan globalisasi.

Page 35: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

159

Dengan pemahaman semacam ini, Anthony Giddens (1990, sebagaimana dikutip

oleh Smith 2002) mendefinisikan globalisasi sebagai intensifikasi hubungan-

hubungan sosial yang menyeluruh dunia dan menghubungkan tempat-tempat yang

berjauhan sedemikian sehingga apa yang terjadi di suatu tempat dapat

mempengaruhi atau dipengaruhi oleh kejadian di tempat lain yang berjauhan. Lebih

lanjut lagi, perusahaan-perusahaan atau produk-produk tertentu tidak lagi dapat

diasosiasikan dengan suatu negara karena baik kepemilikan atau proses

pembuatannya tidak lagi terbatas pada pihak-pihak dari satu negara. Demikian pula

dengan timbulnya komunitas-komunitas maya (virtual) yang terbentuk melalui

media internet dan tidak mengenal batas-batas geografis. Salah satu fenomena

menarik yang terjadi akhir-akhir ini adalah apa yang disebut e-tutoring; banyak

murid-murid di Amerika Serikat mengambil semacam les dari guru-guru sekolah di

India yang bisa menawarkan jasanya jauh lebih murah daripada guru-guru di

Amerika Serikat (Hal ini bisa dianggap sebagai bentuk lain dari fenomena e-sub-

contracting; perusahaan-perusahaan software di negara maju mensubkontrakkan

sebagian pekerjaannya kepada perusahaan atau individu di negara berkembang—

mungkin tanpa harus bertemu muka—demi menghemat biaya, atau bisa juga

merupakan bentuk lain dari kursus-kursus melalui internet yang ditawarkan sekolah-

sekolah di negara-negara maju kepada murid-murid di negara berkembang).

Berbagai ilustrasi di atas menggambarkan karakteristik kesaling-terkaitan (inter-

connectedness) dari globalisasi.

Walaupun Scholte lebih cenderung menggunakan pemahaman yang terakhir (de-

teritorialisasi) sebagai penjelasan globalisasi, namun sebenarnya masing-masing

pemahaman di atas memiliki kandungan kebenaran jika dikaitkan dengan apa yang

sesungguhnya terjadi, hanya berbeda aspek atau sudut pandang. Oleh karenanya tulisan

ini—dalam melihat pengaruh globalisasi kepada kota-kota—justru akan menggunakan

secara komprehensif kelima pemahaman di atas secara lebih bebas sebagai atribut dari

globalisasi, yaitu: (i) meningkatnya interaksi global. (ii) berkurangnya batas-batas bagi

mobilitas barang, jasa, informasi dan manusia. (iii) merebaknya tata-nilai ‘universal’.

(iv) industrialisasi barang dan jasa, dan (v) de-teritorialisasi.

Apapun definisinya, globalisasi sangat dipengaruhi oleh kemajuan teknologi

informasi dan telekomunikasi yang telah mempermudah dan mempercepat arus

informasi, barang, jasa dan manusia dari satu tempat ke tempat lain. Akses ke informasi

pun semakin terbuka bagi semakin banyak orang. Orang-orang di desa, misalnya,

mungkin saja memperoleh informasi tentang pasar global komoditasnya bahkan secara

real-time melalui internet, telepon genggam atau media lainnya. Suatu unit usaha di

suatu negara bisa saja melakukan suatu sub-kontrak dengan suatu pihak dari belahan

bumi yang lain tanpa harus bertemu muka. Dan hal-hal seperti ini mempengaruhi hampir

semua aspek kehidupan manusia, baik dalam bekerja, belajar, bertinggal, berbelanja,

berlibur, bersosialisasi dan bahkan dalam berpikir.

Sebaliknya, perluasan pasar yang semakin mengglobal mengakibatkan timbulnya

perusahaan-perusahaan berskala besar yang mampu mengalokasikan anggaran yang

sangat besar untuk penelitian dan pengembangan produknya. Hal ini, dikombinasikan

dengan perkembangan pasar yang juga semakin kompetitif menyebabkan percepatan

perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (misalnya pada perangkat lunak

Page 36: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

160

maupun keras bagi komputer, telepon genggam, televisi dan lain-lain). Jadi keterkaitan

antara globalisasi dan perkembangan teknologi adalah hubungan yang bersifat timbal

balik dan saling mendorong.

Globalisasi juga dipahami tidak hanya terbatas pada aspek ekonomi saja; proses

yang sangat kompleks ini juga menyangkut dimensi sosial (misalnya dengan berubahnya

struktur dan tingkat kerekatan komunitas di dalam masyarakat); budaya (misalnya

dengan kemunculan generasi MTV di kalangan generasi muda di belahan bumi mana

pun dan merasa lebih memiliki kesamaan di antara mereka dibanding dengan generasi

orang tua di negara yang sama); politik-kelembagaan (misalnya dengan semakin

diadopsinya sistem demokrasi ala Barat, yang seringkali diterapkan hanya secara

prosedural, jauh dari kultur setempat, di berbagai belahan dunia); lingkungan hidup

(misalnya polusi antar-bangsa dalam bentuk asap dari kebakaran hutan di Indonesia yang

diderita warga di Singapura, Malaysia dan lainnya); dan juga spatial atau tata-ruang

(termasuk di dalamnya proses migrasi yang semakin meningkat sehingga menyebabkan

tumbuh dan semakin beragamnya “urban ethnic space” atau bagian-bagian kota yang

dihuni oleh berbagai suku-bangsa secara mengelompok26) (Habitat, 2004; Soegijoko,

2005). Di sini aspek multi-kulturalisme menjadi atribut yang sangat kental bahkan

menjadi ciri dari kota-kota global yang kosmopolitan.

Globalisasi pun dipengaruhi oleh perubahan atau pergeseran cara pandang atau cara

berpikir, yang kemudian mempengaruhi perilaku di berbagai bidang. Richard Norgaard

(1994) melihat, di dunia ini, setidaknya terjadi lima pergeseran cara pandang. Pertama

adalah pergeseran dari cara pandang yang bersifat atomistic (dengan mana keseluruhan

sistem dianggap sama dengan jumlah total dari bagian-bagiannya) ke cara pandang

holistic (dengan mana keseluruhan sistem tidak selalu dianggap sama dengan jumlah

total dari bagian-bagiannya, bisa lebih besar/kuat atau lebih kecil/lemah tergantung

bagaimana berhubungan antar-bagian yang ada). Dengan pengertian ini, konsep modal

sosial menjadi lebih mudah dipahami. Masyarakat yang memiliki modal sosial besar

walau secara individu mungkin memiliki kapasitas terbatas bisa saja lebih maju dan

berkembang daripada masyarakat yang secara individu memiliki kapasitas tinggi tetapi

secara kesuluruhan memiliki modal sosial yang lemah.

Kedua adalah pergeseran dari cara pandang yang mekanistik (Newtownian) yang

menganggap suatu sistem selalu mempunyai ekuilibrium, ke cara pandang yang lebih

mengakui kemungkinan terjadinya ketidakpastian, diskontinuitas dan bahkan chaos yang

tak terjelaskan. Termasuk dalam hal ini adalah pengakuan terhadap eksistensi ekonomi

informal perkotaan yang seringkali sulit dijelaskan dan didekati secara formal.

Ketiga adalah dari cara pandang universal, yang melihat prinsip-prinsip universal

sebagai sesuatu yang tak terbantahkan, ke cara pandang “kontekstualistik” yang

mengakui konteks lokal, waktu dan budaya sebagai faktor yang tidak hanya harus

dipertimbangkan tetapi justru harus dominan. Pergeseran dalam hal ini tidak bisa

26 “Urban ethnic space” sebagaimana yang dikemukakan dalam Habitat 2004 sebenarnya juga sudah

terjadi sejak adanya proses migrasi besar-besaran selama berabad-abad. Kota-kota besar di Nusantara

seperti Jakarta misalnya,pernah memiliki sudut-sudut kota yang dihuni oleh migran dari berbagai

tempat di Nuantara secara berkelompok-kelompok (Kampung Ambon,Kampung Bali,Kampung

Jawa,Kampung Bugis,dan lain-lain). Demikian halnya dengan kota-kota dunia (global cities) seperti

London. New York atau Paris.

Page 37: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

161

dikatakan tuntas karena masih banyak pelaku pembangunan dunia yang sangat percaya

dengan nilai-nilai yang sifatnya universal dan berusaha mempromosikan hal tersebut

namun di sisi lain juga cukup banyak pelaku pembangunan yang selalu menekankan

pentingnya konteks lokal.

Keempat adalah pergeseran dari cara pandang (umumnya di dunia penelitian atau

keilmuan) yang mengagung-agungkan “objektivitas positivisme” ke cara pandang yang

mengakui kemungkinan adanya subyektivitas atau keberpihakan di dalam ilmu (yang

bisa dianggap sebagai konstruksi sosial). Oleh karenanya, tuntutan akan partisipasi

masyarakat menjadi lebih tinggi, terutama untuk mengurangi bias dari si pengambil

keputusan. Pendekatan dalam penelitian maupun perencanaan yang diakui pun tidak lagi

harus yang bersifat positivistik dan bebas-nilai tetapi mencakup pendekatan penelitian

“participant-observation” dan pendekatan perencanaan melalui proses-proses

komunikasi (“planning through communication”).

Kelima, Norgaard melihat adanya pergeseran dari cara pandang yang “monistik”

yang hanya mengakui satu kebenaran atau penjelasan akan suatu fenomena ke cara

pandang yang “pluralistik” yang mengakui kemungkinan adanya beberapa kebenaran

atau penjelasan. Kini lebih banyak orang yang bisa (atau terpaksa) menerima perbedaan

pendapat dibanding di masa lalu. Terkandung di dalam pergeseran paradigma yang

kelima ini adalah multi-kulturalisme sebagai pengakuan bahwa dunia—khususnya kota-

kota besar—tidak hanya dihuni oleh manusia-manusia yang berbudaya sama. Namun

pada saat yang hampir bersamaan bisa saja terjadi pula penguasaan cara pandang

(misalnya pandangan neo-klasik sebagai paradigma dominan ekonomi dunia) atau

pemaksaan cara pandang tertentu oleh kekuasaan adidaya (misalnya dalam hal terorisme

global).

Pada tataran yang lebih praktis, di dalam pelaksanaan pembangunan dan

pengelolaan publik sehari-hari pun telah terjadi pula pergeseran yang cukup berarti. Di

masa lalu, pada umumnya pembangunan maupun pengelolaan publik sangat didominasi

oleh pemerintah (dan seringkali pemerintah pusat). Kemudian disadari bahwa

pemerintah tidak akan mampu mengerjakan semua hal. Ada hal-hal yang dikenal sebagai

“government failures” seperti ketidakefisienan, kekakuan birokrasi, kelembaman untuk

berubah dan lain-lain. Memang ada hal-hal yang lebih baik diserahkan kepada pihak-

pihak yang dapat bekerja lebih efisien, cepat dan sangat berorientasi pada hasil. Maka

timbul era yang menganggap sektor swasta lebih mampu menyediakan berbagai

pelayanan maupun melaksanakan pembangunan, sehingga tidak hanya penyediaan air

minum yang diswastakan tetapi bahkan terdapat kota-kota yang hampir sepenuhnya

dibangun oleh swasta. Terjadilah gelombang privatisasi di berbagai sektor sebagai

bagian dari perubahan pola berpikir global. Di era ini pemerintah diharapkan untuk

berperan sebagai regulator saja.

Namum pendekatan yang berorientasi swasta seperti ini pun tidak lepas dari

berbagai persoalan, khususnya yang berkaitan dengan kegagalan pasar, swasta tidak

akan pernah mampu menyediakan barang atau pelayanan yang sepenuhnya bersifat

publik (public goods) yang bisa dinikmati oleh semua orang tanpa harus membayar.

Swasta pun cenderung tidak mau menyediakan barang atau pelayanan bagi kaum yang

Page 38: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

162

sangat miskin di mana marjin keuntungan dianggap sangat tipis atau bahkan tidak ada27.

Swasta juga cenderung tidak mau melakukan investasi dengan modal yang sangat besar

dengan pengembalian modal yang berjangka sangat panjang serta beresiko tinggi. Maka

pada tahap berikutnya, pergeseran peran-peran dalam pembangunan ini,peran (atau

tuntutan akan peran) masyarakat madani semakin meningkat untuk mengimbangi baik

kegagalan pemerintah (government failures) maupun kegagalan pasar GAMBAR 5 - 7.

GAMBAR 5 - 7 Diagram Pergeseran Peran Pelaku dalam Pembangunan/

Pengelolaan Publik

Perubahan-perubahan semacam di atas terjadi di mana-mana, baik di negara maju

maupun di negara berkembang—termasuk Indonesia—baik pada tingkatan negara,

regional, lokal, komunitas maupun individu—tentunya dengan tahap dan skala maupun

intensitas yang berbeda-beda. Salah satu implikasi dari situasi seperti ini adalah

timbulnya berbagai ketegangan (tensions), baik yang bersifat global, regional maupun

lokal dan bahkan pada tataran komunitas dan keluarga. Ketegangan sendiri sudah

menjadi bagian yang tak terpisahkan (embedded) dalam globalisasi. Di satu sisi

globalisasi membuat batas-batas negara semakin menipis, namun di sisi lain juga terjadi

pula gelombang desentralisasi atau lokalisasi di mana timbul tuntutan agar sebanyak

mungkin keputusan publik dan pelaksanaannya di lakukan ditingkat lokal/komunitas

27 Padahal Prahalad (2004) justru melihat potensi investasi di tengah-tengah masyarakat yang paling

miskin sekalipun.

tahap 1 tahap2 tahap 3

Sistem pasar dianggap paling efisien dalam memenuhi kebutuhan masyarakat

pemerintah

swasta

Masya-

rakat

Terjadi “kegagalan pasar”; penurunan kualitas ruang publik

Kemitraan yang setara dianggap sebagai cara terbaik

pemerintah

swasta

Masya-

rakat

?

Pemerintah dianggap paling mengetahui apa yang dikehendaki rakyat

pemerintah

swasta

Masya-

rakat

Terjadi “kegagalan pemerintah”; masyarakat kehilangan kepercayaan

Page 39: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

163

(atau bahkan primordialisme; “putra daerah” dianggap punya hak lebih dalam banyak

hal daripada “pendatang”).

Timbul fenomena “globalization” yang penuh ketegangan atau tarik ulur antara

kekuatan-kekuatan global dan kekuatan-kekuatan lokal. Ketegangan (tension) juga

timbul manakala produk-produk import yang bisa masuk secara lebih mudah ternyata

mematikan atau melemahkan usaha lokal/domestik yang menghasilkan produk-produk

sejenis. Simbol-simbol globalisasi seperti McDonald, Kentucky Fried Chicken, Walmart

atau Carrefour sering mendapat tentangan dari komunitas lokal yang tidak menghendaki

bisnis-bisnis kecil dan khas tergusur oleh perusahaan global tersebut. Bahkan tentangan

terhadap lembaga multilateral seperti Bank Dunia dan IMF sudah merupakan berita

sehari-hari. Lembaga-lembaga global ini sering dilihat sebagai simbol neo-kolonialisme,

baik melalui pemaksaan perubahan cara berpikir, kebijakan sosial-ekonomi dan lain-lain

melalui persyaratan-persyaratan hutang yang seringkali dibutuhkan oleh negara yang

sedang berkembang.

Ketegangan juga timbul akibat dari semakin menguatnya proses privatisasi yang

bahkan masuk ke ruang-ruang yang selama ini merupakan domain publik: taman-taman,

ruang kota untuk bersosialisasi, penyediaan rumah-rumah, prasarana air minum, jalan

utama bahkan pembangunan seluruh kota. Salah satu implikasi dari privatisasi adalah

sulitnya dipenuhi kebutuhan kaum miskin karena pihak swasta tentunya lebih memberi

perhatian kepada mereka yang mampu membeli layanan atau barang komoditasnya.

Selanjutnya, banyak pengusaha-pengusaha kecil yang tidak terlindungi oleh

pemerintah lokal terpaksa tergusur oleh toko-toko wholesale global seperti Walmart atau

Carrefour. Demikian pula dengan bertumbangannya tingkat keswadayaan lokal dan

meningkatnya ketergantungan pada faktor-faktor eksternal yang lebih jauh dapat

dianggap mengancam keberlanjutan pembangunan di tingkat lokal. Pada intinya, selama

akses kepada sumberdaya (termasuk teknologi dan informasi) masih belum merata—dan

prospek untuk terjadi pemerataan belum terlihat jelas—maka distribusi manfaat dan

biaya dari globalisasi masih akan selalu timpang28. Terdapat pihak-pihak yang harus

turut menanggung biaya tetapi tidak menikmati manfaat dari proses yang sedang

berlangsung. Atas dasar pertimbangan inilah kemudian timbul gerakan anti-globalisasi

yang kemudian berubah menjadi “globalisasi dari bawah” dan menuntut adanya keadilan

global.

Karena hal tersebut di ataslah globalisasi tidak selalu dianggap sebagai suatu yang

positif. Bagi mereka yang memiliki akses kepada teknologi dan informasi serta

sumberdaya finansial atau lainnya untuk berkompetisi maka globalisasi dapat dianggap

sebagai menguntungkan (beneficial) secara ekonomi. Demikian pula bagi mereka yang

ingin memajukan nilai-nilai seperti demokratisasi, maka proses globalisasi dianggap

dapat menyebarkan tata-nilai yang dianggap baik tersebut. Namun proses-proses ini

terjadi tidak tanpa ongkos, yang seringkali harus dipikul oleh pihak-pihak yang tidak

menikmati, sehingga timbul penentangan-penentangan sebagaimana diilustrasikan di

atas. Memang, ketegangan atau bahkan konflik sudah merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari globalisasi—dengan skala, intensitas dan kompleksitas konflik yang

28 Kenyataan ironis di era yang sangat berorientasi kepada teknologi informasi adalah angka yang

menunjukkan bahwa lebih dari 50 persen penduduk dunia belum pernah menggunakan sarana telepon

(lihat misalnya Jakarta Post. September 21. 2006. hal. 17).

Page 40: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

164

lebih tinggi dibanding dengan apa yang terjadi di era pra-kontemporer. Upaya

mengantisipasi dan merespon pun perlu memasukkan pertimbangan adanya ketegangan-

ketegangan atau konflik ini.

Implikasi bagi Kota-kota Metropolitan

Sebagaimana yang sudah disebutkan di atas, globalisasi dan urbanisasi merupakan dua

konsep yang tidak terpisahkan. Kota-kota, khususnya kawasan metropolitan, merupakan

sumber, simpul dan penggerak berbagai perubahan yang kemudian menggelinding

menjadi apa yang disebut globalisasi. Sebaliknya pengaruh globalisasi paling cepat dan

paling besar dirasakan di kota-kota (oleh masyarakat kota). Dan karena seringkali kota-

kota besar atau metropolitan memiliki keunggulan infrastruktur dibanding kota-kota

yang lebih kecil, maka terjadi proses pelebaran kesenjangan penerimaan manfaat

globalisasi antara kota-kota besar dan kota-kota yang lebih kecil atau kawasan

perdesaan.

Pengusaha-pengusaha global cenderung memilih kota-kota besar sebagai pusat dan

simpul operasinya, terutama karena keunggulan dalam ketersediaan sarana dan prasarana

yang bersifat global (misalnya jaringan telekomunikasi global), tempat berkumpulnya

berbagai bisnis sejenis atau terkait yang dapat menciptakan apa yang agglomeration of

economies (pengumpulan berbagai ekonomi terkait). Kota-kota besar umumnya juga

menawarkan pasar—atau akses ke pasar—yang relatif lebih besar daripada yang ada

pada kota-kota yang lebih kecil. Demikian pula, kota-kota besar juga cenderung

memiliki pool yang lebih besar akan tenaga ahli dengan pendidikan atau keterampilan

yang sesuai dengan kebutuhannya.

Lebih jauh lagi, Manuel Castells menekankan pentingnya suatu milleu of innovation

atau suatu kumpulan komunitas manusia yang berorientasi ke inovasi bagi perusahaan-

perusahaan yang berorientasi teknologi informasi untuk dapat selalu memiliki

keunggulan komparatif di era globalisasi ini (Castells 1986). Milleu of innovation

semacam ini cenderung terbentuk di sekitar perguruan tinggi dengan lembaga-lembaga

risetnya; dan umumnya perguruan tinggi tersebut berada di dekat kota besar. Contoh

yang sering dirujuk adalah kota San Francisco dengan Bay Area-nya (tempat Silicon

Valley berada) yang merupakan tempat bagi Stanford University, University of

California at Berkeley dan berbagai universitas lain, atau Boston Metropolitan Area

(tempat Route 128 berada) dengan Harvard University dan Massachussett Institute of

Technology dan berbagai universitas terpandang lainnya. Berbagai inovasi yang

kemudian mendunia sering muncul dari kedua kawasan perkotaan tersebut maupun dari

tempat-tempat lain yang sejenis.

Namun dalam perkembangan paling akhir, sebagaimana dilaporkan dalam

Newsweek July 3-10, 2006, telah terjadi pergeseran pilihan lokasi investasi (khususnya

di sektor jasa dan industri informasi-telekomunikasi) dengan adanya kecenderungan

untuk memilih kota-kota kedua (secondary cities) yang dianggap lebih nyaman

ditinggali daripada kota-kota metropolitan yang ditandai dengan harga properti yang

semakin mahal, kemacetan lalu-lintas yang semakin parah, polusi yang semakin

menyesakkan serta kriminalitas yang semakin mengkhawatirkan. Namun pergeseran

seperti ini hanya terjadi pada secondary cities yang memiliki akses teknologi komunikasi

informasi serta amenities (atribut untuk kenyamanan, baik secara fisik maupun sosio-

kultural) yang baik dan tidak kalah dengan kota-kota besar. Dengan perkembangan

Page 41: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

165

terakhir seperti ini, kota-kota metropolitan pun bersaing dengan kota-kota yang lebih

kecil dalam upaya mendatangkan investasi yang lebih memiliki nilai tambah relatif lebih

besar yang ada pada sektor-sektor yang terkait dengan teknologi-telekomunikasi-

informasi (dibanding pada sektor-sektor manufaktur konvesional yang sering lebih

mengandalkan tenaga buruh murah sebagai basis pilihan lokasi).

Globalisasi pun dapat mempengaruhi struktur tata ruang internal kawasan

metropolitan. Walaupun pola aktifitas ekonomi yang berpusat pada kawasan pusat kota

masih tetap mendominasi kegiatan sehari-hari di berbagai kota metropolitan di dunia

(sehingga menimbulkan arus penglaju yang sangat besar dari pinggiran kota ke pusat

kota di pagi hari dan sebaliknya di sore hari), namun perkembangan teknologi-informasi

telah sedikit-banyak mengurangi ketergantungan untuk aktifitas tatap-muka sehingga

timbul pusat-pusat baru di pinggiran kota, baik yang berskala kota-baru atau kota satelit

maupun yang hanya berupa warung-warung telekomunikasi di kawasan-kawasan

permukiman pinggiran.

Di banyak kota-kota besar dunia, misalnya, perusahaan-perusahaan tertentu

membolehkan karyawannya untuk datang ke kantor pusat hanya dua atau tiga hari

seminggu, sisanya mereka dapat berkantor di kantor-kantor cabang di pinggiran kota

atau di fasilitas semacam warung telekomunikasi di dekat mereka tinggal, atau bahkan

dari rumah mereka masing-masing. Toh mereka tetap bisa mengerjakan banyak hal,

termasuk berkomunikasi dengan mitra usaha di mancanegara dari rumah atau kantor di

pinggiran atau warung telekomunikasi terdekat. Hal seperti ini tentunya dapat

mengurangi biaya transportasi dan jumlah penglaju harian di kawasan kota metropolitan

sekaligus mempengaruhi tata-ruang yang ada. Kecenderungan yang terjadi di banyak

kawasan metropolitan di dunia—khususnya di negara-negara maju—adalah

terbentuknya apa yang sering disebut sebagai decentralized concentration atau

konsentrasi yang terdesentralisasi. Sementara di kota-kota besar di negara berkembang

yang berpenduduk besar tetapi memiliki keterbatasan infrastruktur seperti Indonesia

yang umumnya terjadi justru suatu mega urban sprawl; kawasan perkotaan

menyambung menjadi satu (walaupun mungkin saja masih terdapat kawasan berkarakter

perdesaan di dalamnya), yang seringkali tumbuh tidak teratur.

Secara terstruktur, pengaruh globalisasi terhadap kota-kota, khususnya kota

metropolitan dapat dilihat sebagai memiliki tiga tataran atau aras:

[1] Pengaruh globalisasi pada sistem perkotaan global; menurut Sassen (1994),

terdapat kota-kota global tingkatan pertama seperti New York, London dan Tokyo, serta

tingkatan-tingkatan di bawahnya yang menunjukkan besarnya/luasnya cakupan pengaruh

kota-kota tersebut—khususnya di bidang ekonomi-finansial—baik di tingkat global

maupun regional. Walau di tingkat teratas sistem perkotaan global mungkin tidak banyak

terjadi perubahan (ketiga kota yang disebut di atas masih belum tergoyahkan oleh kota-

kota lainnya), namun pada tingkatan-tingkatan di bawahnya susunan kota-kota lebih

mudah berubah. Tersirat di sini adalah adanya kompetisi antar-kota untuk menjadi

semacam “pusat” atau “hub” (simpul) kegiatan ekonomi dari suatu region—kalau bukan

dunia—sebagaimana yang terlihat pada persaingan yang cukup ketat antara Singapura

dan Bangkok dalam upaya mereka menjadi hub bagi lalu-lintas udara di Asia Tenggara.

[2] Pengaruh globalisasi pada hubungan yang juga dinamis (selalu berubah) antara

kota-kota utama atau metropolitan dan kota-kota sekunder di sekitarnya. Kalau di masa

lalu kota-kota sekunder sering dilihat hanya sebagai pendukung bagi kota-kota

Page 42: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

166

metropolitan, khususnya dalam penyediaan hunian yang murah dan nyaman, atau

setidaknya sebagai kota-kota pinggiran (edge cities), maka dengan kemajuan teknologi

telekomunikasi dan informasi banyak kota-kota sekunder yang kemudian berkembang

menjadi kota-kota yang lebih mandiri (self-sustained) dan mempunyai aktifitas-aktifitas

yang berhubungan langsung ke bagian dunia yang lain tanpa harus tergantung pada atau

melalui kota metropolitan terdekat. Sebagaimana yang diuraikan di atas, terdapat pula

kecenderungan pelaku dunia usaha global justru untuk memilih kota-kota sekunder yang

memiliki amenities yang baik namun terbebas dari kemacetan dan polusi kota-kota

metropolitan. Namun pergeseran semacam ini tidak bisa dibilang permanen.

Perkembangan ke depan akan sangat tergantung pada perkembangan teknologi

telekomunikasi-informasi dan pola aktifitas sosial-ekonomi.

[3] Pengaruh globalisasi pada tata-ruang internal suatu kawasan metropolitan.

Dalam hal ini, yang terjadi di suatu kota metropolitan tidak sama dengan yang terjadi di

kawasan metroplitan lain, sangat tergantung kepada seberapa jauh kota metropolitan

tersebut terbuka (exposed) terhadap globalisasi serta faktor-faktor sosial, ekonomi,

politik, budaya dan geografis yang ada serta seberapa jauh pemerintah dan warga kota

metropolitan tersebut mampu mempertahankan ciri-ciri khasnya. Namun secara umum

terdapat pola perubahan tata-ruang yang sangat dipengaruhi oleh berubahnya sistem

ekonomi-bisnis dunia. Sebagai contoh, dengan banyaknya industri manufaktur yang

pindah dari negara-negara dengan biaya buruh tinggi (umumnya di negara maju) ke

negara-negara dengan biaya buruh rendah (umumnya di negara berkembang)—

seringkali masih menyisakan kantor pusatnya di kota asal, tetapi banyak pula yang

memindahkan kantor pusatnya ke kota lain yang lebih strategis. Akibatnya, banyak kota-

kota di negara maju yang harus berjuang untuk “mengisi kekosongan sosial-ekonomi”

yang diakibatkan oleh perginya tempat-tempat usaha (dan sumber-sumber pekerjaan)

tersebut; ada yang berhasil mendapatkan basis ekonomi baru namun banyak juga yang

masih struggling hingga kini. Sementara kota-kota di negara berkembang pun tidak luput

dari ancaman yang sama dari apa yang disebut footloose industries tersebut, karena

seiring dengan kemajuan ekonomi negara berkembang tersebut, maka ongkos buruh

akan semakin meningkat dan selalu ada saja negara atau kota lain yang dapat

menawarkan lingkungan usaha dengan ongkos yang lebih murah.

Dari sudut berbagai dimensi yang ada, pengaruh globalisasi pada kota-kota

metropolitan dapat disusun ke dalam suatu matriks atau kerangka analisis sebagai

ditunjukan dalam tabel TABEL 5 - 17 berikut:

TABEL 5 - 17 Pengaruh Globalisasi Pada Umumnya dan Terhadap Tata Ruang Kota

Dimensi Pengaruh Umum

Pengaruh pada Tata Ruang Kota

(Dimensi Spasial)

Dimensi

Ekonomi-

Finansial

Paradigma neo-klasik sebagai

paradigma tunggal/dominan. Pasar

bebas diagung-agungkan, hambatan

dan tarif perdagangan dikurangi.

Tumbuh dan tersebarnya perusahaan

global seperti McDonald, Walmart,

Carrefour, dll. yang mendesak atau

mematikan usaha-usaha lokal yang

Privatisasi ruang-ruang publik

serta berbagai pelayanan umum—

seperti penyediaan air,

pengelolaan sampah, pendidikan

dan kesehatan—yang di masa lalu

lebih banyak diasosiasikan

sebagai pelayanan publik.

Konflik keruangan antara tekanan

Page 43: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

167

Dimensi Pengaruh Umum

Pengaruh pada Tata Ruang Kota

(Dimensi Spasial)

kecil.

Pembagian kerja yang bersifat

global (komponen-komponen bisa

dibuat terpisah, tergantung

pengaturan mana yang paling

menguntungkan).

Banyak pula perusahaan-perusahaan

global yang bersifat footloose atau

mudah berpindah tempat usaha

(biasanya meninggalkan mitra lokal

begitu saja).

Arus aliran modal, barang dan jasa

(serta manusia) yang semakin deras

meningkat

Kesenjangan ekonomi cenderung

melebar (lebih terasa di kota-kota

negara berkembang, tetapi juga

terjadi di kota-kota negara maju).

ekonomi global dan keinginan

untuk mempertahankan usaha-

usaha yang bersifat lokal.

Berkembangnya kegiatan-

kegiatan usaha di tempat-tempat

tinggal (banyak yang bekerja dari

rumah) atau di “warung

telekomunikasi” terdekat. Salah

satu akibatnya adalah pola

commuting menjadi tidak sejelas

pada tatanan yang konvensional

(pagi berangkat sore pulang, sama

setiap hari kerja).

Kontras yang semakin lebar

antara kawasan bagi orang-orang

yang berpenghasilan

menengah/tinggi (punya akses ke

jaringan global) dan kawasan bagi

mereka yang tidak punya akses ke

jaringan global atau yang terdesak

oleh globalisasi ekonomi.

Di sisi lain terdapat pula

pengakuan (secara parsial)

terhadap aktifitas ekonomi

perkotaan informal, termasuk

akomodasi spasialnya.

Dimensi Sosial-

Budaya

Demografis

Tumbuhnya budaya-budaya dan

nilai-nilai sosial yang bersifat

mendunia (diakui dan diadopsi di

berbagai tempat di dunia),baik yang

bersifat positif (saling memahami

perbedaan, demokratis, dll.) maupun

yang bersifat negatif (hilangnya atau

berkurangnya ke-khasan lokal)

Arus migrasi yang semakin pesat

dan semakin menglobal (semakin

banyak orang yang tidak hanya

berpindah dari desa ke kota tapi juga

dari suatu negara ke negara lain).

Tumbuhnya multikulturalisme, tapi

juga disertai dengan konflik antar

budaya.

Wajah kota “moderen” yang

hampir sama di mana-mana

(termasuk dalam wujud shopping

mall atau pusat belanja yang tidak

berbeda secara signifikan antara

mall di Jakarta atau mal di

Bangkok atau di Buenos Aires).

Tumbuhnya ruang-ruang kota

yang terkait dengan etnik atau

bangsa-bangsa tertentu dalam satu

kota metropolitan (sesuai dengan

negara atau tempat asal-usul dari

para migran kota tersebut).

Dimensi Politik-

Kelembagaan

Peran atau pengaruh negara semakin

berkurang seiring dengan

menguatnya peran dan pengaruh

lembaga-lembaga multi-lateral dan

MNCs.

Peran negara dalam pengelolaan

kota semakin berkurang, diambil

alih oleh peran pemerintah kota,

masyarakat kota dan swasta

(termasuk swasta yang bersifat

Page 44: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

168

Dimensi Pengaruh Umum

Pengaruh pada Tata Ruang Kota

(Dimensi Spasial)

Namun pada saat yang sama juga

terjadi desentralisasi; peran

pemerintah dan masyarakat

daerah/kota semakin besar.

Peran partisipasi masyarakat yang

semakin penting (atau tuntutan akan

partisipasi yang semakin besar),

namun pada saat yang bersamaan,

pendidikan yang umumnya belum

merata di masyarakat juga

menyebabkan proses demokratisasi

yang lebih “prosedural” daripada

substantif.

global).

Tumbuhnya kerekatan komunitas

yang tidak sepenuhnya

berdasarkan kesamaan tempat,

tetapi lebih berdasarkan kesamaan

profesi, hobby atau lainnya.

Tuntutan akan pengelolaan kota

yang demokratik dan

terbentuknya wujud kota yang

berkeadilan (pada saat yang

bersamaan dengan semakin

melebarnya kesenjangan sosial-

ekonomi).

Dimensi Ling-

kungan (Ekologis)

Dampak lingkungan suatu kegiatan

yang bisa bersifat antar-negara

seperti dalam pembuangan sampah

baik yang bersifat berbahaya

maupun yang tidak (umumnya dari

negara lebih maju ke negara

berkembang—seringkali tidak

terbatas pada yang bertetangga).

Secara umum “ecological

footprints” (tapak ekologis) yang

semakin meluas dan bahkan

mengglobal.

Berkembangnya kesadaran akan

pentingnya lingkungan alam

(termasuk taman-taman dan

kehijauan) dalam mendukung

keberlanjutan lingkungan binaan.

Tuntutan akan kerjasama antar-

kota (tidak terbatas pada kota-

kota yang berada dalam suatu

region) semakin meningkat.

Tuntutan akan perhatian

pemerintah kota kepada aspek-

aspek lingkungan dalam tata

ruang kota seperti jumlah ruang

hijau, kebun kota dan lain-lain.

Pemerintah kota tidak lagi dapat

dengan mudah mengurangi ruang

hijau tanpa mendapat resistensi

dari masyarakat.

Investor global pun turut

memperhatikan kualitas

lingkungan kota yang ada

(terutama dalam kaitannya dengan

kompetisi antar-kota yang

sejenis).

Implikasi dan Tantangan bagi Kota-kota Metropolitan di Indonesia

Di Indonesia, karena tingkat ketersediaan infrastruktur yang terkait dengan berbagai

aspek globalisasi di atas sangat timpang antara kawasan metropolitan Jabodetabek

dengan kawasan-kawasan metropolitan lainnya (Surabaya, Bandung, Semarang, Medan,

masing-masing dengan kota dan kabupaten di sekitarnya) dan apalagi dengan sekian

banyak kota-kota kecil yang ada, maka tingkat keterbukaan (exposure) dan saling

pengaruh-mempengaruhi antara kota dan globalisasi pun sangat berbeda. Bahkan di

dalam kawasan Jabodetabek pun, tingkat keterbukaan terhadap globalisasi tidak

merata—ada bagian-bagian kawasan yang sangat mencerminkan kota global (misalnya

di Jakarta; kawasan Kemang, Thamrin-Sudirman-Kuningan, atau bahkan Jalan Jaksa),

Page 45: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

169

namun masih banyak pula bagian-bagian kawasan yang seolah-olah tidak atau sangat

sedikit tersentuh oleh globalisasi (misalnya di beberapa perkampungan-perkampungan

kumuh)29. Ketimpangan tersebut membuat generalisasi menjadi sesuatu hal yang sulit.

Ketika membicarakan pengaruh globalisasi pada kota-kota metropolitan di Indonesia,

apa yang dialami oleh Jakarta dan sekitarnya tidak sama dengan apa yang dialami oleh

kota-kota metropolitan lainnya.

Jakarta—beserta wilayah di sekitarnya—dapat dikatakan merupakan kawasan

metropolitan yang paling mendalam dan langsung bersinggungan (exposed) oleh

globalisasi30. Hampir seluruh pusat perwakilan badan usaha internasional (perusahaan

multinasional, bank internasional, perwakilan kamar dagang asing dll.) di Indonesia

berlokasi di Jakarta; demikian pula untuk aspek-aspek non-ekonomi seperti pusat

kebudayaan asing, perpustakaan asing dan lain-lain. Kawasan industri yang menampung

berbagai industri yang bersifat internasional—kalau belum bisa dikatakan global—pun

lebih banyak berada di sekitar Jakarta daripada di sekitar kota-kota metropolitan lain di

Indonesia. Bagi Indonesia, bandar udara Soekarno-Hatta pun merupakan bandara yang

paling banyak melayani penerbangan internasional.

Namun demikian, di tingkat global atau bahkan regional peran Jakarta masih sangat

terbatas. Di Asia Tenggara saja, Jakarta bisa dikatakan masih kalah dari Singapura dan

Bangkok sebagai pusat aktifitas internasional—baik yang bersifat ekonomi-finansial,

politik-kelembagaan (tempat lembaga-lembaga internasional dengan salah satu

perkecualian Sekretariat ASEAN yang berada di Jakarta), budaya, pendidikan maupun

sebagai hub lalu-lintas udara dan laut. Apalagi kalau diangkat ke tingkat Asia di mana

terdapat Tokyo, Hong Kong dan Shanghai maupun Mumbai (khususnya untuk Asia

Selatan). Kota-kota metropolitan Indonesia lain tentunya punya peran dan

ketersinggungan dengan globalisasi yang jauh lebih kecil daripada Jakarta.

Sementara itu, sebagaimana yang sudah ditulis di atas, pada tataran nasional Jakarta

masih merupakan kawasan perkotaan yang paling berpengaruh, jauh melampaui kota-

kota dengan pengaruh besar berikutnya, yaitu Surabaya, Bandung dan Medan. Fenomena

global di mana kota-kota sekunder (bukan metropolitan) mulai bersinggungan dengan

globalisasi belum cukup terasa di Indonesia, terutama karena ketersediaan infrastruktur

yang masih sangat terbatas. Kawasan perkotaan Denpasar-Kuta-Nusa Dua di Bali dan

kota Yogyakarta mungkin secara nyata juga memiliki exposure internasional yang sangat

besar, namun terkonsentrasi pada satu sektor utama yaitu pariwisata, dan dalam taraf

tertentu pendidikan (khusus untuk Yogyakarta). Sehingga boleh dikatakan bahwa

globalisasi belum mempengaruhi, apalagi mengubah, sistem kota-kota yang ada di

Indonesia.

Dengan tingkat exposure yang masih sangat terbatas tersebut, dapat dikatakan

bahwa globalisasi juga belum secara signifikan mempengaruhi tata ruang perkotaan

metropolitan di Indonesia, masih terbatas pada tumbuhnya—secara sporadis—kawasan-

29 Dapat pula kita cermati bahwa di beberapa perkampungan kumuh pun terdapat berbagai aktivitas

yang memiliki “nuansa globalisasi” seperti produksi kerajinan dari fiberglass di kawasan Prumpung

yang sudah menjual produksi hingga ke Malaysia dan Timur Tengah. 30 Sebenarnya Balipun merupakan bagian Indonesia yang sangat terimbas dan bersinggungan langsung

dengan globalisasi (dalam arti “internasionalisasi” maupun lainnya), namun sangat spesifik berkaitan

dengan satu sektor ekonomi-budaya yaitu pariwisata.

Page 46: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

170

kawasan industri yang melayani unit-unit usaha internasional atau melakukan sub-

kontrak dari jaringan usaha internasional. Seringkali jenis usaha dan sistem

kerjasamanya memudahkan pemilik jaringan usaha internasional untuk memindahkan

usahanya kemanapun mereka ingin lakukan (umumnya bargaining position pihak

Indonesia—atau tuan rumah di mana pun di negara berkembang lainnya—dalam hal ini

relatif rendah).

Hal di atas dapat disimpulkan kalau kita hanya melihat globalisasi dari sudut

pandang “internasionalisasi” saja. Dari sudut pandang lain, mungkin kita bisa

mendapatkan gambaran yang agak berbeda. Dalam konteks “liberalisasi” misalnya,

secara keseluruhan Indonesia sebenarnya sudah sangat terbuka. Kita dapat menemui

gerai-gerai internasional seperti McDonalds atau KFC tidak hanya di Jakarta tetapi

bahkan hingga di kota-kota sekunder (sebagai perbandingan, Hanoi hingga tulisan ini

dibuat masih belum mengijinkan adanya gerai-gerai internasional semacam itu).

Wholesale retailers seperti Carrefour pun memiliki cukup banyak outlets di Jakarta.

Berbagai merek internasional mewarnai pusat-pusat perdagangan baik di Jakarta maupun

di kota-kota besar lain. Privatisasi pun telah berjalan cukup lama. Bahkan sejumlah kota

baru seperti Bumi Serpong Damai, Lippo Karawaci, Bintaro Jaya, Bukit Sentul, Kota

Wisata dan lain-lain hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta. Di kota-kota

metropolitan lain pun terdapat kawasan hunian cukup luas—kalau belum bisa disebut

kota—yang hampir sepenuhnya dibangun oleh pihak swasta.

Sudut pandang bernuansa “universalisasi” dan “modernisasi” pun sudah banyak

merasuk ke dalam pola berpikir masyarakat kota, baik di pejabat pemerintah maupun

pelaku swasta. Proses pergeseran peran dari situasi pemerintah mendominasi ke situasi

swasta mengambil peran cukup signifikan dalam pembangunan hingga situasi di mana

tuntutan akan peran masyarakat yang semakin besar pun terjadi di kota-kota di

Indonesia. Implikasi peran besar swasta dalam tata ruang kota dapat dilihat dari

banyaknya bagian-bagian kota yang mengalami proses “urban renewal” seperti misalnya

kawasan Segitiga Emas (Sudirman-Kuningan-Gatot Subroto) yang kemudian diikuti oleh

proses jentrifikasi masyarakat berpenghasilan rendah ke daerah-daerah pinggiran

(GAMBAR 5 - 8).

GAMBAR 5 - 8 Kawasan “Segitiga Emas” di Jakarta

Page 47: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

171

Atribut “de-teritorialisasi” dari globalisasi pun dalam skala yang relatif kecil dan

terpisah-pisah telah terjadi di kota-kota besar Indonesia, khususnya di Jakarta, lebih

khusus lagi pada segmen-segmen masyarakat yang memiliki akses ke jaringan global

secara mudah. Ada saja—walaupun mungkin belum tersebar luas—kegiatan-kegiatan

yang mencerminkan ketiadaan batas-batas negara atau kota seperti terlihat pada

kegiatan-kegiatan sub-kontrak pembuatan software, animasi, gambar rancang-bangun

dan lain-lain yang didapat dari perusahaan-perusahaan besar di negara maju untuk

proyek-proyek yang mungkin di negara lainnya.

Sebagaimana yang terjadi di banyak negara berkembang lain, kota-kota besar di

Indonesia juga mencerminkan kontras yang sangat tajam. Ada bagian-bagian kota atau

anggota masyarakat kota yang sudah sangat ter-exposed oleh globalisasi, dan sebagian

dari kelompok ini mampu memanfaatkan exposure ini secara baik, namun ada pula

bagian-bagian kota atau anggota masyarakat kota yang sama sekali belum “tersentuh”

oleh globalisasi. Demikian pula dengan cara berfikir, cara pandang, terhadap berbagai

persoalan. Ada yang sudah membuka wawasannya dengan cara-pandang yang “baru”

seperti yang bersifat holistik, kontekstual dan pluralistik, sementara tidak sedikit yang

masih berfikir dengan cara-pandang yang atomistik, Newtonian, positivistik dan

monistik. Hal ini tentunya mengakibatkan berbagai ketegangan yang semakin terasa

dengan semakin besar dan terbukanya suatu kota.

Penutup

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kota-kota metropolitan di Indonesia sebenarnya

sudah mulai bersinggungan dengan globalisasi dengan derajat yang berbeda-beda.

Namun kecuali kawasan metropolitan Jakarta, persinggungan dengan globalisasi masih

sangat terbatas. Di dalam suatu kawasan metropolitanpun—termasuk Jakarta—

ketimpangan globalisasi sangat besar. Seringkali, mereka yang tidak turut mendapat

manfaat dari globalisasi harus turut menanggung biaya atau beban yang ditimbulkan

oleh globalisasi.

Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bagaimana mengambil manfaat sebesar

mungkin dan secara merata dari proses-proses globalisasi dan mengurangi sejauh

mungkin dampak negatifnya, termasuk implikasinya dalam tata-ruang. Jika Indonesia

tidak mau ketinggalan di era globalisasi yang semakin kompetitif, konsentrasi

pembangunan yang terlalu terpusat di Jakarta harus dikurangi. Kawasan-kawasan

metropolitan lainnya harus mendapat dukungan infrastruktur secara lebih memadai

sehingga tidak terlalu ketinggalan dan dapat turut berkompetisi di tingkat internasional.

Peran kota-kota sekunder pun tidak dapat diabaikan, apalagi jika dikaitkan dengan

keinginan untuk memajukan sektor pertanian—kota-kota sekunder tersebut dapat

menjadi pusat koleksi dan distribusi komoditas pertanian (konsep agropolitan)—namun

tidak harus terbatas pada konsep itu. Persebaran pusat-pusat kegiatan pun menjadi sangat

penting, tanpa mengurangi kecenderungan pasar untuk membentuk apa yang disebut

agglomeration of economies. Secara internal, tata ruang kawasan metropolitan pun harus

mampu mengikuti dinamika globalisasi tanpa harus mengabaikan kepentingan konteks

dan kekhasan lokal.

Page 48: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

172

SOSIO-KULTURAL

Sudah semenjak beberapa abad yang silam sastrawan Inggris Shakespeare menyatakan

“What is a city but its people”, apalah artinya kota tanpa penduduknya? Kota dan warga

dapat diibaratkan seperti cangkang dengan kerangnya yang tumbuh kembang bersama-

sama. Ditilik dari segi etimologi pun, city dekat sekali kaitannya dengan citizen. Dalam

buku terbarunya berjudul “Recombinant Urbanism” (2005 : 19). David Graham Shane

mengutip pendapat Louis Wirth bahwa “A city is a relatively large. dense. and

permanent settlement of socially heterogenous individuals”.

Kota merupakan produk sosio-kultural, perilaku dan gaya hidup manusia yang selalu

berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi dan kondisi

penduduknya, Meminjam kata – kata Malcolm Miles et al dalam bukunya “The City

Cultures Reader” (2000 : 2): “Cities are sites of constant flux. their built form mediated

by successive acts of destruction and creation … affected by social factors such as

gender, class and ethnicity.”

Semakin besar kotanya semakin kompleks penduduknya semakin rumit masalahnya

dan semakin banyak konflik yang dihadapinya. Saat ini kita sudah memasuki era

perkotaan abad ke-21 atau milenium ketiga. Ditilik dari sisi positifnya, kota metropolitan

merupakan mesin pertumbuhan dan inkubator peradaban, sebagai pusat persilangan ide

dan wadah inovasi. Namun, seperti pernyataan Kofi Annan selaku Sekjen PBB yang

dikutip oleh Girarde (2004: 86) “Cities can also be places of exploitation. disease

violent crime, unemployment, and extreme poverty”. Hampir seluruh metropolis atau

mega-cities di dunia menghadapi masalah infrastruktur, kemiskinan, disilusi politik,

ketidakadilan dan keterasingan sosio-budaya atau socio-cultural alienation (baca tulisan

Badshah & Parlman berjudul “Mega-cities and The Urban Future” dalam buku

suntingan Bridge & Watson “The Blackwell City Reader” 2004: 549).

Kenyataan yang ada menunjukkan bahwa kota – kota yang sudah termasuk kategori

metropolitan di tanah air kita (Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan, Makassar)

cenderung semakin tidak manusiawi, tidak nyaman, tidak menyenangkan untuk

kehidupan manusia yang berbudaya. Fenomena dehumanisasi metropolitan di Indonesia

merebak antara lain karena perhatian para pengelola dan aktor – aktor pembangunannya

terlalu tercurah pada aspek fisik, tata ruang, dan pergulatan kepentingan ekonomi.

Dimensi sosio-kultural di hampir seluruh kota metropolitan di segenap pelosok tanah air

nyaris terabaikan. Banyak yang tidak memahami betul bahwa berbeda dengan

metropolitan di negara maju yang sudah affluent, kota – kota metropolitan di tanah air

kita yang sedang berkembang ini merupakan kota – kota yang bersifat dualistik.

Di satu sisi, sebagian warganya sudah mulai berubah menjadi modern, di sisi lain

sebagian besar warganya masih berperilaku tradisional. Pembangunan shopping centres,

department stores, malls, super-malls marak di segenap penjuru kota, namun pasar

tradisional, toko – toko kecil, warung, pedagang kaki lima juga tidak berkurang.

Apartemen, flats atau rumah susun sudah mulai digalakkan pembangunannya, namun

perumahan kampung juga masih terus bertahan.

Sektor formal dan sektor informal berkembang terus, kendati tokoh – tokoh di

puncak kekuasaan cenderung lebih mengakomodasi kepentingan sektor formal yang

modern. Tidak heran bila sampai saat ini selalu saja terjadi kisah-kisah penggusuran atau

pembongkaran permukiman kumuh dan kios-kios pedagang kaki lima.

Page 49: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

173

Sebagai kota yang dualistik, mestinya sikap yang diambil oleh penentu kebijakan

pembangunan kota metropolitan adalah sikap Yin-Yang atau Both-And. Keduanya mesti

dirangkul dan dikembangkan bersama – sama, jadi tidak Either-Or atau mementingkan

salah satu pihak saja. Dari sebutannya, sektor informal mengandung konotasi tidak sah,

tidak layak berada di kota metropolitan yang serba formal. Selain itu, gagasan, ide, dan

upaya-upaya untuk memadukan kota-kota metropolitan dengan daerah di sekitarnya

dalam wujud conurbation (lihat pembahasan mengenai kependudukan dan bagian 1 buku

ini), seperti Jabodetabek, Gerbang Kertasusilo, Kedungsepur, dan lain-lain masih sulit

diimplementasikan karena masih kentalnya sikap primordial dan sektoral dari para

pimpinan daerah atau penentu kebijakan. Itu pula sebabnya metropolis di Indonesia

lantas diledek dan dipelesetkan menjadi metropolost alias kota ibu yang hilang.

Kebijakan pembangunan kota metropolitan yang keliru, elitis, dan tidak pro-poor itu

akan menjadikan metropolitan kita menjadi kota yang menyengsarakan warga kotanya.

Itu pula sebabnya muncul tudingan bahwa kota metropolitan negara berkembang, seperti

Indonesia, di masa depan akan menjadi miseropolitan atau kota yang menyengsarakan.

City of tomorrow pun jangan – jangan akan menjadi City of sorrow alias kota yang sarat

dengan kesedihan.

Kota – kota metropolitan di era globalisasi yang tidak memperhatikan dimensi

sosio-kultural dari warganya, diduga akan terlanda arus McWorld, McDonaldization,

atau Manhattanization. Memang, aneka pengaruh globalisasi akan sulit ditangkal

sehingga seperti dikatakan Manuel Castells: “Globalization must be understood in

relation to an historical, processual analysis of labour in relation to the state and the

regulation of the variable incursions, inclusions, or exclusions of the global networks”.

(Susser 2002: 11). Pernik-pernik tata nilai, norma, perilaku, dan artefak bersejarah yang

amat kaya dan beragam di kota – kota metropolitan di tanah air kita bila tidak dijaga

akan tergerus, luntur, dan hilang.

Padahal bila diingat kembali bahwa kota merupakan karya seni sosial (a social work

of art), model – model penyeragaman, apalagi yang bercitra Barat, pasti akan

meluluhlantakkan identitas, jati diri, kekhasan, atau karakter dari kota – kota

metropolitan. Memang perkembangan teknologi abad 20 dan 21 seperti yang terwujud

dalam bentuk mobil, pendingin ruangan, televisi, komputer, dan lain – lain tak akan bisa

dihambat. Pasti akan besar pengaruhnya terhadap pola habitat manusia, tak terkecuali di

kota metropolitan.

Namun, jangan sampai kekhawatiran Daniel Solomon (Global City Blues. 2003: xi)

mengejawantah menjadi kenyataan: “We obliterate the distinctiveness of places and

create new forms of metropolitan confusion”. Jangan sampai obsesi terhadap modernitas

dan teknologi lantas melunturkan atau bahkan menghancurkan kearifan tradisional dan

budaya lokal yang ikut mewarnai wajah metropolitan kita. Martin Heidegger sebagai

seorang filsuf kelas dunia menyebutnya dengan istilah “cultural malaise” dan “loss of

nearness”, yang mengakibatkan xenophobia, psikosis, kebencian, panik, dan bahkan

teror.

Sedangkan Rem Koolhas sebagai arsitek dan perencana kota mengungkapkannya

dengan frasa “globalizing modernism” dan ”cultural homogenization” yang secara

sistematik menghancurkan pusaka budaya atau warisan budaya yang unik. Rasa tempat

atau sense of place yang tercipta dari keunikan budaya setempat mesti dipertahankan,

jangan sampai punah atau lenyap.

Page 50: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

174

Kota – kota metropolitan yang berkembang tak terkendali, memarjinalkan manusia

dengan mengabaikan dimensi sosial-budayanya, akan menjadikannya sebagai monster

yang mengerikan. Dalam kiprah pembangunan kota – kota metropolitan di Indonesia

seyogianya segenap pihak mengambil pelajaran dari kisah-sukses maupun kegagalan

dari pembangunan kota – kota di negara maju. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan

yang sama, yang telah disesali di negara maju.

Misalnya di kota Houston yang angka kriminalitasnya meningkat sehingga orang –

orang kaya di Houston sampai ketakutan dan membuat jalur khusus di bawah tanah yang

diberi nama Connexion yang menghubungkan kawasan pemukiman mewah dengan

down-town. Houston pun lantas memperoleh nick name ‘Ghost-town’. Kita juga jangan

mengulangi kesalahan serupa seperti yang terjadi di kota Chicago ketika bangunan kuno

bersejarah dihancurkan untuk memberi tempat pada bangunan pencakar langit yang

modern, sampai muncul ledekan dengan nama paraban Sickago alias kota yang sakit.

Dalam buku terbarunya berjudul “Sociopolis: Project for a City for the Future”

(2004:9), Vicente Guallart dkk mengungkapkan tentang kota metropolitan masa depan di

Eropa dan Amerika yang selalu saja menghadapi persaingan antara The Old dengan The

New, pertempuran kepentingan antara The Rich melawan The Poor, tarik-menarik antara

city centre dengan urban agglomerations. Muncullah gagasan tentang Sociopolis yang

disebutkannya sebagai “A truly integrative and hybrid version of the metropolis for the

future … setting new standards by realizing a dream of social balance. where all citizens

potentially have the same opportunities”.

Aneka bencana perkotaan yang telah terjadi di masa silam akibat kurangnya

perhatian terhadap isu-isu sosio-kultural, keadilan, demokratisasi, keberlanjutan, dan

lain-lain tak seyogianya terulang di masa depan sebagaimana disebutkan oleh Raffacle

Poloscia dalam bukunya “The Contested Metropolis” (2004: 14), bahwa bagaimana pun

juga “Metropolises are containers of dreams, desires, and hopes”.

Ke depan, ada baiknya kita merenungkan kaidah – kaidah pembangunan kota

termasuk kota metropolitan yang antara lain dikemukakan oleh tokoh – tokoh garda

depan gerakan New Urbanism yang berupaya menangkal kecenderungan social-cultural

disintegration, urban sprawl, dan placelessness. Sebetulnya keseluruhannya ada 27

butir, tapi saya peras menjadi 10 saja sehingga bisa disebut sebagai ‘The Ten

Commandments’ atau ‘Sepuluh Perintah Tuhan’ dalam pembangunan kota metropolitan

abad ke-21 atau di era milenium ketiga yang berwajah manusia dan berkelanjutan.

Pertama, dengan prinsip change without loss mengakomodasi evolusi dan

kesinambungan kehidupan warga metropolitan yang multikultur. Konservasi dan

pembangunan, struktur dan kultur, pusat dan periferi merupakan dua muka dari keping

uang yang sama. Kedua, tanpa henti mencoba menciptakan progressive identity dari

kota metropolitan, melepaskan diri dari telikungan regressive identity melalui

pengembangan budaya demokrasi, transportasi, akuntabilitas, dan partisipasi segenap

pemangku kepentingan sesuai tuntutan zaman. Ketiga, mengupayakan pusat – pusat

pertumbuhan jamak (multiple centres atau polynuclei) untuk mencegah kecenderungan

centremania agar terjadi penyebaran aktivitas pada berbagai pelosok kota metropolitan

secara lebih merata dengan keunikan sendiri-sendiri sehingga tercipta mosaik perkotaan

yang indah. Keempat, menjaga eksistensi pusaka budaya sebagai historical precedents,

dilandasi prinsip kota sebagai panggung kenangan. Mesti selalu ditanamkan di benak

kepala bahwa kota tanpa bangunan kuno bersejarah serupa saja dengan manusia tanpa

Page 51: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

175

ingatan alias gila. Membongkar warisan budaya bukanlah dosa kecil. Kelima,

memelihara taman dan ruang terbuka dalam berbagai level sebagai shared public spaces

yang menumbuhkan rasa kebersamaan dan rasa aman. Perlu dicamkan bahwa taman

adalah sorganya perkotaan. Keenam, penyediaan affordable housing pada lokasi yang

tepat untuk mencegah konsentrasi kemiskinan. Perumahan jangan sekadar dilihat sebagai

komoditas ekonomi, melainkan lebih merupakan fenomena sosio-kultural sebagai

instrumen pembangunan manusia. Ketujuh, mengupayakan interconnected networks of

streets yang menghargai pedestrian dan memberikan rasa nyaman serta arah yang jelas.

Perhatian pada public transport, terutama mass rapid transit, mesti lebih ditingkatkan.

Kedelapan, menyediakan fasilitas sosial dan infrastruktur atau prasarana umum yang

memadai untuk segenap lapisan warga metropolitan tanpa terkecuali. Segenap agen

pembangunan kota metropolitan dituntut untuk menyediakan fasilitas dan prasarana

umum sesuai standar pelayanan minimum. Kesembilan, menata kawasan pinggiran

secara dini untuk mencegah urban sprawl yang tidak terkendali. Kawasan pinggiran

mesti disiapkan dengan prinsip kemandirian agar bisa self sufficient, tidak tergantung

pada pusat kota dan tidak sekadar sebagai bedroom community. Kesepuluh, pelibatan

masyarakat dan segenap pemangku kepentingan dalam pembangunan untuk menciptakan

kota metropolitan yang otentik dan rasa paguyuban (sense of community) yang kental.

Tanpa rasa memiliki kota metropolitan, tidak dapat diharapkan tumbuh kembangnya

secara berkelanjutan. Melalui penerapan dan pengejawantahan sepuluh butir panduan

pembangunan seperti tersebut di atas, diharapkan bahwa penduduk atau warga kota

metropolitan di masa depan akan termotivasi untuk ikut aktif berkiprah secara kreatif,

inovatif, dan bertanggung jawab atas keberlanjutan pembangunan kota metropolitan

tempat mereka tinggal, bekerja, belanja, bersantai, dan beraktivitas budaya sebagai

cerminan masyarakat yang beradab.

KETERKAITAN DESA – KOTA

Pendahuluan

Kinerja kota-kota di abad 21 akan menjadi perhatian global karena pesatnya peningkatan

penduduk perkotaan. Pada tahun 2030, minimal 61persen penduduk dunia akan tinggal

di kota-kota. Pada tahun 2060, lebih dari 80 persen penduduk dunia akan tinggal di kota-

kota (Cities Alliance 2006). Kawasan perkotaan akan menjadi lebih penting karena lebih

dari 80 persen pertumbuhan ekonomi global terjadi di kota-kota. Selain itu, kota-kota

mempunyai produktivitas yang tinggi karena kepadatan penduduknya menciptakan

lingkungan transaksi yang tinggi. Hal ini meningkatkan pendapatan rumah tangga, lebih

dari di kawasan-kawasan non-urban. Kota-kota juga menggunakan energi lebih rendah

per unit output ekonomi, dan biaya per kapita pembangunan infrastruktur lingkungan

juga lebih rendah.

Kawasan perkotaan merupakan tempat berkembangnya kegiatan industri manufaktur

dan jasa, yang akan meningkatkan nilai tambah perekonomian secara keseluruhan.

Perkembangan kawasan perkotaan selalu diiringi arus transformasi, yaitu meningkatnya

jumlah penduduk perkotaan dan meningkatnya kontribusi sektor-sektor industri

manufaktur dan jasa. Perkembangan kawasan perkotaan terutama akan terjadi di kota-

kota besar dan metropolitan, yang selanjutnya akan memicu pemanfaatan kawasan-

Page 52: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

176

kawasan di sekitarnya. Meluasnya pemanfaatan ruang di sekitar kota-kota besar dan

metropolitan akan mewujudkan keterhubungan dari kota inti dengan kawasan-kawasan

baru dan kota-kota satelit di sekitarnya. Terjadilah penyatuan kawasan-kawasan

terbangun tersebut.

Perkembangan kawasan perkotaan juga terjadi di Indonesia. Dalam beberapa dekade

terakhir, jumlah penduduk perkotaan mengalami pertumbuhan yang sangat pesat31.

Sebagaimana halnya di dunia, di Indonesia, pertambahan penduduk perkotaan yang

terjadi tidak tersebar secara merata, terjadi pemusatan di beberapa lokasi, cenderung di

kota-kota besar dan metropolitan, mengakibatkan meningkatnya perkembangan kota-

kota ini, meluap ke kawasan pinggirannya. Secara lebih khusus di Indonesia akan

berkonsentrasi di Jawa, terutama di Jabodetabek.

Kawasan pinggiran ini perlu mendapat perhatian karena di sana telah terjadi

perkembangan yang campur aduk dan tidak terkendali. Guna lahan juga berubah – dari

yang tadinya bersifat desa menjadi bersifat kota. Hilanglah lahan-lahan pertanian,

perkebunan, empang-empang, permukiman berkepadatan rendah menjadi perumahan

berkepadatan tinggi memenuhi kebutuhan kota inti dan untuk pembangunan-

pembangunan industri yang membutuhkan lokasi mendekati kota inti. Ini semua terjadi

secara acak, sendiri, dan terpisah-pisah. Tidak mengacu pada suatu rencana tata ruang

yang disepakati. Akibatnya, kawasan-kawasan perdesaan mengalami transformasi yang

tidak terarah dan terkendali.

Tata guna lahan, pola hidup penduduknya, perekonomian, dan lapangan kerja dapat

memicu pengangguran yang pada gilirannya memicu penduduk masuk ke kota inti.

Kawasan yang baru terbentuk, yaitu dari yang bersifat desa menjadi bersifat kota, juga

akan mengalami kondisi yang jauh dari ideal. Antara lain karena tak tersedianya

perumahan dan infrastruktur yang memadai.

Kepadatan tinggi, keterbatasan infrastruktur lingkungan dasar, keterbatasan akses ke

kota inti membebani jaringan transportasi yang telah ada serta membebani fasilitas-

fasilitas, seperti pendidikan dan kesehatan. Pada gilirannya hal ini akan menambah

beban kota inti, membebani jaringan transportasi dan membebani biaya hidup penghuni

kawasan pinggiran. Belum lagi dampak pada lingkungan alamnya – polusi udara (karena

transportasi), polusi sungai (karena pembuangan limbah dan sampah), polusi air –

tercemarnya air bersih oleh limbah cair permukiman, perusakan ruang-ruang terbuka

hijau, dan sebagainya. Diperlukan program dan intervensi untuk menangani kawasan

pinggiran kota, baik yang berkarakteristik desa maupun kota.

Kawasan pinggiran dikelompokkan dalam tiga tipologi untuk dapat

mengembangkan program intervensi penanganan kawasan pinggiran. Tipologi ini

dirumuskan berdasarkan karakteristik ke’kota’annya karena akan dapat menggambarkan

isu atau masalah yang dihadapi. Berdasarkan itu dapat diperkirakan program dan

intervensi yang sesuai. Ketiga tipologi tersebut adalah: (a) kawasan pre dominantly

urban; (b) kawasan semi urban; (c) kawasan potential urban. Program intervensi dan

keterkaitan dengan kota inti dapat diturunkan berdasarkan ketiga tipologi tersebut. Di

kawasan pinggiran ini dapat diobservasi desa dan kota serta peranannya di kawasan

metropolitan.

31 Lihat uraian di Bab 5

Page 53: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

177

Kawasan Metropolitan

Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri dari kota inti dengan kawasan di

sekitarnya yang mempunyai keterkaitan erat dengan kota inti dan berfungsi menerima

luapan kegiatan atau kebutuhan permukiman dan kegiatan dari kota inti. Kawasan

sekitarnya ini dapat meliputi kawasan permukiman skala besar atau skala menengah,

permukiman baru yang tersebar, kota-kota baru, atau kota-kota kecil lainnya. Kawasan

ini sering disebut sebagai ”urban fringe”.

Untuk menggambarkan karakteristik kawasan metropolitan ini akan digunakan

kawasan metropolitan Jabodetabek sebagai contoh. Sebagai tambahan dari analisis

kependudukan yang telah dijelaskan di bagian depan bab ini, akan dibahas di sini

mengenai guna lahan: dominasi, persebaran, serta pola perubahannya. Selanjutnya,

dibahas pola pengembangan kawasan-kawasan permukiman: pembangunan baru

berskala besar, kota-kota baru, dan kota-kota kecil sekitarnya yang tumbuh dengan pesat.

Ini semua akan membangkitkan pola pergerakan ulang alik ke kota inti (dalam hal ini

DKI Jakarta) dan menggunakan jaringan transportasi yang ada. Kesenjangan antara

kebutuhan dan ketersediaan infrastruktur biasanya merupakan permasalahan utama

kawasan pinggiran.

Struktur Ruang dan Pergerakan Penduduk

Struktur ruang kawasan Jabodetabek dibentuk oleh jaringan jalan dan kereta api serta

pusat-pusat permukiman, seperti kota baru atau permukiman skala besar.

a. Sampai paruh kedua dekade 1990-an (+ 1996) ratusan kawasan permukiman baru dibangun di wilayah Jabodetabek, yaitu 103 kawasan di DKI Jakarta, 130 di

Kabupaten dan Kodya Bogor, 107 di Kabupaten dan Kodya Bekasi, dan 152 di

Kabupaten dan Kodya Tangerang (Uguy 2006).

Kawasan permukiman baru ini kebanyakan bukan merupakan kawasan permukiman

skala besar. Baru mulai akhir tahun 1900-an mulai dibangun permukiman skala

besar (> 500 ha) dan kota-kota baru oleh pengembang swasta. Pembangunan kota

baru dimulai sekitar tahun 1989 dengan Kota Baru Mandiri BSD (Bumi Serpong

Damai), diikuti dengan Bintaro Jaya, Lippo Cikarang, Lippo Karawaci, Tiga Raksa,

Kota Legenda (Bekasi 2000), dan sebagainya. Selanjutnya, di Kabupaten Bogor ada

lima wilayah baru, yaitu Rancamaya (550 ha). Royal Sentul (2000 ha), Kota

Cileungsi (2000 ha). ditambah dengan Lido Lake Resort dan Jonggol. Di Tangerang,

selain Bumi Serpong Damai (6000 ha) dan Tiga Raksa (3000 ha), banyak

perumahan lain, seperti Citra Karya, Bintaro Jaya, Gading Serpong, Pantai Indah

Kapuk, Lippo Karawaci, Alam Sutra, dan Perumahan Modern. Di Bekasi ada Lippo

Cikarang (5000 ha), Kota Legenda, Cikarang Baru, dan lain-lain. Tabel 4

memberikan luas kawasan-kawasan permukiman skala besar ini (> 500 ha).

b. Kawasan Jabodetabek dilayani jaringan jalan dan jaringan kereta api. Panjang jaringan jalan yang ada di wilayah Jabodetabek adalah 11.344 km, lebih dari 50

persen jaringan jalan berada di wilayah Provinsi DKI Jakarta. Sisanya tersebar

merata di seluruh kota/kabupaten di sekitarnya (1.450 km di Kabupaten/Kota

Bekasi, 1.358 km di Kota/Kabupaten Tangerang, 1.763 km di Kota/Kabupaten

Page 54: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

178

Bogor, dan 245 km di Depok). Panjang jalan tol di DKI Jakarta juga mencapai lebih

dari 50 km dari total panjang jalan tol (lihat TABEL 5 - 19).

TABEL 5 - 18 Kawasan Permukiman Skala Besar (>500 ha) di Jabotabek

No. Nama Luas (ha) Lokasi

1 Milik PT Pembangunan Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi

2 Milik PT Lippo City Development 780 Kab. Bekasi

3 Milik PT Pura Delta Bekasi 1.500 Kab. Bekasi

4 Cikarang Baru 1.400 Kab. Bekasi

5 Bekasi Matra Real Estate 500 Kab. Bekasi

6 Milik PT Dwigunatama Rintisprima 850 Kab. Bekasi

7 Kota Legenda (Bekasi 2000) 2.000 Kab & Kot. Bekasi

8 Milik PT Sinar Bahana Mulia 800 Kab. Bekasi

9 Pantai Modern 500 Kab. Bekasi

10 Lippo Cikarang 3.000 Kab. Bekasi

11 Harapan Indah 800 Kab. Bekasi

12 Bukit Jonggol Asri 30.000 Kab. Bogor

13 Citra Indah 1.000 Kab. Bogor

14 Kota Taman Metropolitan 600 Kab. Bogor

15 Kota Wisata 1.000 Kab. Bogor

16 Bukit Sentul 2.000 Kab. Bogor

17 Rancamaya 500 Kab. Bogor

18 Resort Danau Lido 1.700 Kab. Bogor

19 Taruma Resort 1.100 Kab. Bogor

20 Talaga Kahuripan 750 Kab. Bogor

21 Kota Tenjo 3.000 Kab. Bogor

22 Milik PT Bangun Jaya Triperkasa 500 Kab. Bogor

23 Maharani Citra Pertiwi 1.679 Kab. Bogor

24 Milik PT Banyu Buana Adhi Lestari 500 Kab. Bogor

25 Kotabaru Tigaraksa 3.000 Kab. Tangerang

26 Puri Jaya 7.145 Kab. Tangerang

27 Citra Raya 3.000 Kab. Tangerang

28 Lippo Karawaci 2.000 Kab. Tangerang

29 Gading Serpong 1.500 Kab. Tangerang

30 Alam Sutera 700 Kab. Tangerang

31 Bumi Serpong Damai 6.000 Kab. Tangerang

32 Bintaro Jaya 2.321 Kab. Tangerang

33 Kota Modern 770 Kab. Tangerang

34 Kota Wisata Teluk Naga 8.000 Kab. Tangerang

35 Kota Jaya 1.745 Kab. Tangerang

36 Pantai Indah Kapuk 800 DKI Jakarta

Sumber : Bappeda DKI Jakarta, 1997

Page 55: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

179

TABEL 5 - 19 Panjang Jalan di Kawasan Jabodetabek

Panjang Jalan Jalan Tol

No. Kota/Kabupaten Km % Km %

1 DKI Jakarta 6.548.4 58% 113.0 52%

2 Kota/Kabupaten

Bogor 1.762.7 16% 23.9 11%

3 Kota/Kabupaten

Bekasi 1.450.1 13% 34.2 16%

4 Kota/Kabupaten

Tangerang 1.357.7 12% 36.4 17%

5 Kota Depok 245.0 2% 7.8 4%

6 TOTAL 11.363.9 100% 215.3 100%

Sumber : SITRAMP II. 2006

TABEL 5 - 20 Perkapita Jalan dan Jalan Tol

Panjang Jalan Jalan Tol

Kota/Kabupaten

Jumlah

Penduduk Km %

Perkapita

(km/1000

penduduk) Km %

Perkapita

(km/1000

penduduk)

DKI Jakarta 7.610.349 6.548.4 58% 0.9 113.0 52% 0.02

Kota/Kab. Bogor 4.212.605 1.762.7 16% 0.4 23.9 11% 0.01

Kota/Kab. Bekasi 3.280.810 1.450.1 13% 0.4 34.2 16% 0.01

Kota/Kab. Tangerang 4.093.174 1.357.7 12% 0.3 36.4 17% 0.01

Kota Depok n.a 245.0 2% n.a 7.8 4% n.a

TOTAL 19.196.938 11.363.9 100% 2.0 215.3 100% 0.05

GAMBAR 5 - 9 memberikan gambaran persebaran jaringan jalan dan jalan tol.

Panjang jalan tol di DKI juga mencapai hampir 50 persen dari total panjang jalan tol

di Jabodetabek. Dari panjang jalan dan jalan tol, DKI Jakarta paling terlayani

dengan baik dibandingkan kota/kabupaten lainnya. Perkapita (panjang jalan per

jumlah penduduk) jalan dan jalan tol DKI Jakarta masih mendominasi (Lihat

TABEL 5 - 20).

Jaringan jalan kereta api dapat dilihat pada GAMBAR 5 - 10. Dari DKI Jakarta ada 3

jalur utama yaitu menghubungkan dengan Kabupaten/Kota Tangerang dengan

Kabupaten/Kota Bogor dan Kabupaten/Kota Bekasi, menggunakan KRL atau KRD.

GAMBAR 5 - 11 menunjukkan stasiun yang dilalui kereta api dengan jumlah

penumpangnya per hari. Terpadat adalah jalur dari Jakarta Kota (di Utara) ke Bogor

(Selatan) terutama jalur tengah. Jaringan jalan dan jaringan kereta api saling

melengkapi menghubungkan DKI Jakarta dengan pusat-pusat permukiman di

sekitarnya.

Page 56: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

180

GAMBAR 5 - 9 Jaringan Jalan Jabodetabek Sumber : SITRAMP (Study on Integrated Transportation Master

Plan for Jabodetabek II) Railway Passenger Survey 2000 Legenda : - jaringan jalan

----- jaringan jalan tol

GAMBAR 5 - 10 Jaringan Jalan Kereta Api Jabodetabek

Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey 2000

Page 57: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

181

GAMBAR 5 - 11 Peta Volume Penumpang Jalur Kereta

Api Sumber : SITRAMP Railway Passenger Survey. 2000

c. Jaringan jalan dan jalan kereta api tersebut di atas melayani pergerakan ulang alik dari kawasan Botabek ke DKI Jakarta (URDI 2006). Meskipun jumlah penduduk

DKI Jakarta sebagai kota inti mengalami penurunan, namun daya tariknya masih

kuat sebagai penyedia lapangan kerja serta pelayanan sosial-ekonomi-budaya.

Fasilitas-fasilitas dan peluang kerja yang ditawarkan masih besar sehingga menarik

pendatang-pendatang baru ataupun pekerja/karyawan yang tinggal di kawasan

pinggirannya, di Bodetabek. Ini mengakibatkan meningkatnya jumlah penglaju baik

dengan angkutan umum, angkutan dari kantor, maupun kendaraan pribadi (Lihat

TABEL 5 - 21).

Pejalan ulang alik terbanyak adalah dari Kabupaten Tangerang (241.570) diikuti

Kota Bekasi (129.020) dan Kota Depok (99.413). Ini terutama dari kawasan-

kawasan permukiman yang langsung berbatasan atau dekat dengan DKI Jakarta.

Data tersebut juga menunjukkan bahwa sebagian besar komuter ke Jakarta adalah

dari golongan pendapatan Rp 1,2 juta – Rp 2 juta (+ 45 persen) dan dari golongan

pendapatan Rp 2,0 juta – Rp 3,8 juta (+ 30 persen). Golongan pendapatan > Rp 3,8

Page 58: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

182

paling sedikit (+ 4 persen). Ini dapat disebabkan mereka bertempat tinggal di DKI

Jakarta.

TABEL 5 - 21 Pekerja Komuter Usia 15 Tahun Ke Atas

Golongan Pendapatan (Rp 000)

Kab/Kot 100-1999 1200-1999 2000-3799 > 3799

Jumlah

(100%)

Kab Bogor

27.385

(38.56%)

26.640

(37.51%)

15.311

(21.56%)

1.690

(2.38%) 71.026

Kab Bekasi

9.871

(22.48%)

15.839

(36.07%)

16.602

(37.81%)

1.595

(3.63%) 43.907

Kota Bogor

1.927

(17.68%)

4.575

(41.98%)

3.762

(34.52%)

635

(5.83%) 10.899

Kota Bekasi

18.528

(14.36%)

67.537

(52.35%)

37.790

(29.29%)

5.165

(4.00%) 129.020

Kota Depok

19.691

(19.81%)

42.934

(43.19%)

32.504

(32.70%)

4.284

(4.31%) 99.413

Kab Tangerang

52.000

(21.53%)

106.906

44.25%)

72.088

(29.84%)

10.576

(4.38%) 241.570

Kota

Tangerang

12.334

(16.04%)

37.921

(49.31%)

24.111

(31.35%)

2.534

(3.30%) 76.900

Jumlah 141.736

(21.07%)

302.352

(44.94%)

202.168

(30.05%)

26.479

(3.94%) 672.735

Sumber: diolah dari LP3E Unpad. 2006

Guna Lahan

Dari studi SITRAMP II sebagaimana disebutkan dalam URDI (2006) pada tahun 2000,

klasifikasi penggunaan lahan di Kabupaten dan Kota meliputi 14 penggunaan. Untuk

menyederhanakan, maka penggunaan lahan tersebut dapat dikelompokkan menjadi 4

kelompok yaitu permukiman, kegiatan ekonomi, fasilitas publik, dan ruang terbuka

(Lihat TABEL 5 - 22).

GAMBAR 5 - 12 menunjukkan bahwa proporsi penggunaan lahan tahun 2000, yang

terbesar adalah untuk pertanian dan ruang terbuka (51 persen) diikuti dengan kampung

berkepadatan rendah (20 persen) serta semak dan hutan (10 persen). Luas penggunaan

lahan lain (perumahan terencana, kampung kepadatan tinggi, industri dan gudang,

komersial dan bisnis) relatif rendah, kurang dari 10 persen.

Penggunaan terbesar di Jabodetabek adalah untuk pertanian dan ruang terbuka di

Kabupaten Bogor (+ 111.000 ha), di Kabupaten Bekasi (+ 84.000 ha), dan di Kabupaten

Tangerang (+ 67.000 ha). Sedangkan semak dan hutan banyak terdapat di Kabupaten

Bogor (+ 60.000 ha) dan Kota Depok (+ 304 ha). Hal tersebut berarti bahwa masih

cukup banyak kawasan/kampung yang bersifat perdesaan. Namun, dengan berjalannya

waktu, telah terjadi perubahan guna lahan yang sangat pesat dalam kurun waktu + 1,5

tahun (1985-2002) (Lihat TABEL 5 - 23).

Page 59: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

183

TABEL 5 - 22 Penggunaan Lahan per Kab/Kota Jabodetabek. tahun 2000 Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002

Penggunaan Lahan

No Kab/Kota Luas (ha)

Perumahan

Terencana

Kampung

Kep.Tinggi

Kampung

Kep.Rendah

Industri &

Gudang

Komersial &

Bisnis

Pendidikan &

Fas.Publik Pemerintahan

1 Jakarta Selatan 14.573 3.341.6 6.152.7 836.5 37.9 1.190.6 505.7 196.7

2 Jakarta Timur 18.773 3.221.4 6.262.7 1.873.5 1.184.6 580.1 475.0 118.3

3 Jakarta Pusat 4.790 743.9 1.727.8 94.8 24.4 1.081.6 213.6 198.3

4 Jakarta Barat 12.615 3.370.7 3.832.4 880.5 691.3 830.1 282.6 53.0

5 Jakarta Utara 15.401 3.228.0 2.006.8 857.8 2.957.0 679.2 195.6 38.5

6 Kota Tangerang 16.455 1.872.6 1.359.2 5.107.6 1.688.3 133.3 29.6 1.6

7 Kab. Tangerang 111.038 5.629.6 1.376.9 26.049.5 2.720.4 344.2 33.3 11.1

8 Kota Depok 20.029 2.866.1 699.0 8.993.0 326.5 88.1 394.6 6.0

9 Kota Bogor 11.850 1.800.0 0.0 5.359.8 406.5 124.4 0.0 0.0

10 Kab. Bogor 206.327 1.671.2 0.0 30.185.6 1.052.3 61.9 165.1 0.0

11 Kota Bekasi 21.049 4.258.2 585.2 10.772.9 791.4 122.1 29.5 8.4

12 Kab. Bekasi 127.954 2.047.3 0.0 23.812.2 3.633.9 89.6 0.0 0.0

13 Jakarta Selatan 14.573 182.2 1.509.8 266.7 37.9 2.9 0.0 311.9

14 Jakarta Timur 18.773 107.0 3.955.5 268.5 319.1 1.9 0.0 403.6

15 Jakarta Pusat 4.790 148.5 298.4 88.6 13.9 0.0 0.0 156.6

16 Jakarta Barat 12.615 49.2 2.340.1 251.0 16.4 1.3 0.0 16.4

17 Jakarta Utara 15.401 98.6 3.454.4 1.640.2 12.3 1.5 3.1 229.5

18 Kota Tangerang 16.455 16.5 5.505.8 314.3 383.4 41.1 0.0 0.0

19 Kab. Tangerang 111.038 55.5 66.967.0 6.962.1 299.8 88.8 11.1 499.7

20 Kota Depok 20.029 38.1 5.479.9 368.5 6.0 304.4 0.0 460.7

21 Kota Bogor 11.850 0.0 3.902.2 181.3 0.0 75.8 0.0 0.0

22 Kab. Bogor 206.327 0.0 111.561.0 1.774.4 227.0 59.546.0 0.0 41.3

23 Kota Bekasi 21.049 2.1 4.336.1 130.5 2.1 6.3 0.0 0.0

24 Kab. Bekasi 127.954 0.0 83.963.4 14.049.3 0.0 38.4 230.3 0.0

Page 60: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

184

GAMBAR 5 - 12 Rasio Penggunaan Lahan Jabodetabek tahun 2000

Sumber : Survey Penggunaan Lahan SITRAMP Tahun 2002

TABEL 5 - 23 Konversi Lahan Pertanian

Prosentase Hasil Konversi (%)

Wilayah

Luas Total

Wilayah

(ribu ha)

Total Luas

Konversi

(ribu ha)

Peru-

mahan Industri

Perkan-

toran

Lain-

Lain

Kota Bekasi 148.44 5.62 30.7 67.4 1.4 0.4

Kab. Tangerang 123.53 4.18 36.9 37.1 2.5 23.5

Kota Tangerang 18.38 3.28 62.1 35.8 1.9 0.2

Total 290.35 13.08 40.6 49.8 1.9 7.7

Sumber: BPS Jawa Barat. 1998 dalam Yulinawati 2005

TABEL 5 - 24 Perubahan Guna Lahan

Guna Lahan Tahun 1985 (ha) Tahun 2002 (ha)

Perumahan Formal 10.816 11.11% 20.900 22.02%

Perumahan Informal 37.865 38.89% 43.167 44.33%

Industri 4.621 4.75% 7.346 7.54%

Pertanian 44.074 45.26% 23.501 24.13%

Sumber : SITRAMP 2. 2004

Perumahan, baik formal maupun informal, menunjukkan perubahan yang besar,

hampir 15.000 ha. Industri mengalami peningkatan hampir 3.000 ha. Pertanian

mengalami pengurangan yang cukup besar yakni sekitar 11.000 ha. Konversi lahan

pertanian dalam kurun waktu tersebut dapat dilihat pada TABEL 5 - 24.

Dari Kabupaten/Kota Bekasi dan Tangerang, dari total wilayah 13.08 ribu ha, 40,6

persen terkonversi menjadi perumahan, 49,8 persen menjadi industri, dan 9,6 persen

menjadi perkantoran dan lain-lain. Dapat disimpulkan bahwa banyak lahan dan kegiatan

yang mencirikan perdesaan terkonversikan menjadi kegiatan yang berciri urban –

perumahan dan industri. Dari kelompok perumahan, paling tinggi menjadi kampung

berkepadatan rendah (20 persen), sedangkan penggunaan untuk perumahan terencana

Page 61: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

185

dan kampung berkepadatan tinggi mencapai 10 persen. Jelas ini sudah merupakan

kawasan berkarakteristik perkotaan.

Dinamika Kawasan Pinggiran Metropolitan

Kawasan Pinggiran di sini diartikan urban fringe, yaitu kawasan yang terdapat di sekitar

kota besar atau metropolitan. Bersama sebuah atau lebih kota inti membentuk kawasan

metropolitan. Pada umumnya kawasan pinggiran ini terdiri dari penggunaan lahan yang

campur aduk: permukiman, industri, pertanian, lahan terbuka, dan sebagainya. Secara

teoritis, urban fringe merupakan titik perpotongan antara kurva permintaan lahan

perkotaan dengan kurva permintaan lahan perdesaan (Lihat GAMBAR 5 - 13).

Sumber mendatar merupakan jarak dari pusat kota, sedangkan sumbu vertikal

menyatakan nilai lahan. Titik (0.0) adalah suatu titik yang ditetapkan sebagai pusat kota.

Dengan perkembangan kota, titik yang menyatakan batas antara wilayah desa dan kota

akan bergeser menjauhi pusat kota (Lihat GAMBAR 5 - 14).

Titik perpotongan kedua kurva permintaan tersebut secara teoritis berupa suatu garis

mengelilingi pusat kota. Namun, pada kenyataannya merupakan suatu kawasan dengan

lebar yang bervariasi. Ini yang diartikan sebagai kawasan pinggiran metropolitan.

GAMBAR 5 - 13 Lokasi Urban Fringe Secara Teoretis

Page 62: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

186

GAMBAR 5 - 14 Pergeseran Urban Fringe

Tipologi Kawasan Pinggiran

Pada kenyataannya kawasan pinggiran tidak homogen. Berdasarkan penggunaan lahan

serta fungsi kegiatan ekonominya, kawasan pinggiran ini dapat dikelompokkan dalam

tiga kategori atau tipologi:

a. Predominantly Urban = kawasan yang didominasi kondisi dan kegiatan berciri perkotaan. Karakteristik kota ini antara lain adalah perumahan berkepadatan tinggi,

penggunaan lahan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, serta industri

ringan/manufaktur. Kegiatan-kegiatannya lebih berciri urban, biasanya akses ke

kota inti relatif baik. Kawasan predominantly urban ini kemungkinan besar tercipta

karena telah ada kota-kota atau permukiman sebelumnya di kawasan ini, seperti kota

Tangerang, Bogor, Bekasi, Depok. Kemudian ditambah adanya pengembangan

permukiman skala besar yang baru seperti kota-kota baru BSD, Deltamas, dan

sebagainya. Kawasan ini juga meningkat perkembangannya karena sudah ada atau

sedang direncanakan pengembangan infrastruktur regional seperti jaringan jalan

arteri, jalan tol, dan sebagainya. Proses ini adalah yang kita kenal sebagai

”suburbanisasi” dan biasanya berbatasan langsung dengan kota inti.

b. Semi Urban = kawasan ini adalah wilayah transisi dari perdesaan ke perkotaan. Ciri utamanya adalah keberadaan perumahan hunian yang masih berkepadatan rendah,

baik terencana (kawasan permukiman berskala kecil) maupun tidak terencana,

kepadatannya campuran antara kepadatan tinggi dan kepadatan rendah. Kegiatannya

juga sebagian masih rural (pertanian, perkebunan, empang-empang dan ruang

terbuka atau belum terbangun). Penggunaan lahan sebagian besar masih berupa

pertanian dan ladang, serta industri yang berorientasi tenaga kerja (labor oriented

industries). Guna lahannya campur aduk, antara untuk kegiatan rural dan kegiatan

perkotaan (perumahan berkepadatan tinggi, industri, perdagangan, jasa pelayanan,

Page 63: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

187

dan sebagainya). Akses ke kota inti terbatas; ini merupakan kawasan periurbanisasi

atau awal proses suburbanisasi.

c. Potential Urban = adalah kawasan yang pada saat ini ciri utamanya masih rural – berkarakteristik desa tapi mempunyai peluang besar untuk lambat laun menjadi

urban. Kawasan ini tidak berbatasan langsung ke kota inti, namun dekat dengan

kawasan semi urban. Salah satu faktor yang mendorong pengembangan kegiatan

perkotaan ke kawasan ini adalah tersedianya aksesibilitas berupa jaringan jalan atau

kereta api yang melalui kawasan ini serta harga lahan yang relatif masih murah. Juga

adanya imbas dari daerah sekitarnya yang sudah atau menuju perkembangan

perkotaan (URDI. 2006). Kepadatan relatif rendah, kegiatan masih cenderung ke

pertanian dan perkebunan serta masih banyak lahan-lahan yang belum terbangun.

Akses ke kota inti sangat terbatas. hampir tidak ada.

Untuk kawasan metropolitan Jabodetabek ketiganya dapat dilihat dari GAMBAR 5 - 15.

Terkait dengan kepadatan penduduk dan guna lahan serta aktivitas penduduknya,

maka desa-desa di kawasan pinggiran ini ada yang masih bersifat rural, ada yang sudah

menunjukkan gejala-gejala menuju urban, dan ada yang sudah bersifat urban.

Dari GAMBAR 5 - 15 maka terlihat bahwa kebanyakan kecamatan-kecamatan yang

langsung berbatasan dengan DKI Jakarta berkarakteristik predominantly urban atau semi

urban. Dikaitkan dengan jaringan transportasi, kedua tipe kawasan ini dilalui jaringan

jalan atau jalan kereta api. Lihat juga pada peta 1 dan peta 2 (jaringan jalan dan kereta

api); peta 4 (penggunaan lahan 2000) serta peta 5 dan peta 6 (jumlah penduduk

Jabodetabek 2000 dan 2004 per kecamatan).

Pola Perubahan

Ketiga tipologi kawasan pinggiran akan turut mengalami perubahan dengan adanya

perkembangan di kawasan metropolitan Jabodetabek dan di kota inti DKI Jakarta.

Perkembangan global akan mempengaruhi kawasan metropolitan Jabodetabek terutama

dalam bidang perekonomian, yang pada gilirannya akan mempengaruhi kependudukan

(jumlah dan struktur) dan perubahan tata guna lahan.

a. Ekonomi dan konversi lahan

Sebagaimana telah disampaikan di muka, peranan kawasan metropolitan

Jabodetabek dalam perekonomian nasional untuk beberapa tahun ke depan masih

akan tetap tinggi. Sektor industri pengolahan/manufaktur dan sektor jasa, yang

secara nasional meningkat pangsanya – dari 23.8 persen menjadi 26.8 persen - akan

meningkatkan pula pertumbuhan sektor-sektor tersebut di Jabodetabek.

Lokasi peningkatan kegiatan ekonomi tersebut akan menyebar sebagai berikut:

- industri jasa dan perdagangan akan tetap berkembang di pusat kawasan

metropolitan yakni di kota inti DKI Jakarta (GAMBAR 5 - 19), tetapi mulai

menyebar mengikuti jaringan transport dan konsentrasi permukiman terutama

ke arah Selatan. Kegiatan ini terjadi di tipe kawasan predominantly urban.

Page 64: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

188

GAMBAR 5 - 15 Peta Urban Fringe Jabodetabek Berdasarkan Tipologinya

GAMBAR 5 - 16 Pengunaan Lahan Jabodetabek 2000

Page 65: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

189

GAMBAR 5 - 17 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2000 per Kecamatan

GAMBAR 5 - 18 Jumlah Penduduk Jabodetabek 2004 per Kecamatan

Page 66: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

190

GAMBAR 5 - 19 Sebaran Lokasi Fasilitas Komersial dan Bisnis di

Jabodetabek Sumber: SITRAMP2. 2004

GAMBAR 5 - 20 Sebaran Kawasan Industri dan Pergudangan Jabodetabek

Page 67: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

191

- industri manufaktur dan pergudangan (GAMBAR 5 - 20) terkonsentrasi di

kawasan pelabuhan kota inti DKI Jakarta, mengikuti jaringan transport ke Barat

ke arah Tangerang; Kabupaten Tangerang dan Kabupaten Bekasi di tipe

kawasan semi urban dan potential urban. Persebaran ini terjadi di kawasan

predominantly urban dekat Kota Depok.

- pertanian (lihat TABEL 5 - 23) mengalami penyusutan luas dari sekitar 44 ha di

tahun 1985 menjadi sekitar 23,5 H di tahun 2002. Konversi ini (lihatTABEL 5 -

22) terjadi di Kabupaten/Kota Tangerang dan Bekasi terutama untuk

penggunaan perumahan dan industri (sekitar 13 ribu ha dari total 290,4 ha lahan

pertanian). Konversi lahan pertanian ini paling agresif terjadi di Kabupaten

Bekasi terutama untuk mewadahi kegiatan industri yang merupakan sektor

utama di daerah tersebut. Perubahan tersebut terjadi di kawasan-kawasan

sebagai berikut:

TABEL 5 - 25 Perubahan Kegiatan

- peningkatan industri jasa dan perdagangan Predominantly Urban

- peningkatan industri manufaktur

- peningkatan industri manufaktur Semi Urban

- peningkatan permukiman

- peningkatan industri manufaktur Potential Urban

- konversi lahan pertanian ke perumahan dan industri

b. Kependudukan

Sebagaimana dibahas di bab sebelumnya, jumlah penduduk selama 5 tahun terakhir

meningkat di Jabodetabek, kecuali di DKI Jakarta yang relatif stabil bahkan di

Jakarta Pusat yang mengalami penyusutan. Secara spasial peningkatan jumlah

penduduk terdapat di kecamatan-kecamatan yang berdekatan atau berbatasan dengan

DKI terutama di Kota Tangerang dan Kota Depok (kawasan predominantly urban).

Walaupun ada juga di beberapa kecamatan di pinggiran Kabupaten-kabupaten

Bekasi, Tangerang, dan Bogor yang relatif jauh dari DKI Jakarta. Kecamatan-

kecamatan di atas berdasarkan jumlah penduduknya berubah dari tipologi semi

urban dan potential urban menjadi predominantly urban dan semi urban.

Terkait dengan kepadatan penduduk dalam kurun waktu 5 tahun (2000-2004) telah

terjadi juga kenaikan kepadatan penduduk. Paling tinggi kepadatan masih tetap di

DKI Jakarta sebagai pusat kegiatan Jabodetabek. Di luar DKI Jakarta peningkatan

kepadatan tinggi terjadi di kota-kota sekitar, seperti Kota Bekasi, Kota Tangerang,

Kota Bogor, dan Kota Depok. Kota-kota ini meningkat perannya sebagai sub pusat

kegiatan dengan fungsi permukiman atau pendidikan. Kota-kota ini termasuk tipe

kawasan predominantly urban dan di sekelilingnya adalah kebanyakan tipe kawasan

semi urban. Kemungkinan besar kawasan-kawasan ini akan menjadi predominantly

urban dan kawasan yang potential urban akan menjadi semi urban.

Page 68: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

192

Strategi dan Kebijakan

Perubahan atau perkembangan tipologi kawasan dari predominantly urban menjadi fully

urban – dalam arti kecamatan-kecamatannya mengalami transformasi menyatu dengan

kota inti; dari semi urban menjadi predominantly urban dan dari potential urban menjadi

semi urban atau bahkan predominantly urban akan dipengaruhi oleh beberapa kebijakan

atau intervensi dari pemerintah maupun dari masyarakat/dunia usaha. Pada saat ini

strategi yang ingin digunakan di Kawasan Metropolitan Jabodetabek adalah mendorong

pengembangan poros Timur – Barat dan membatasi pengembangan ke arah Selatan yang

merupakan resapan air.

Bila dilihat GAMBAR 5 - 15 (tipologi urban fringe) maka poros Timur – Barat

masih memungkinkan untuk dikembangkan terutama di kawasan-kawasan semi urban,

potential urban, dan predominantly rural. Hal ini terkait pada kebijakan makro untuk

Kawasan Metropolitan Jabodetabek – seberapa luas lahan yang akan dipertahankan dan

di mana lokasinya untuk tetap menjadi kawasan perdesaan/pertanian (predominantly

rural) yang saat ini masih cukup banyak yakni 51 persen. Pembatasan ke arah selatan

memerlukan regulasi yang cukup ketat dan diawasi pelaksanaannya secara konsisten.

Pengembangan saat ini banyak yang mengarah ke selatan. Masyarakat perlu dilibatkan

dalam pengawasan ini.

Kebijakan umum dan khusus berupa program dan instrumen bagi ketiga tipologi

dapat dilihat dari TABEL 5 - 26 dan TABEL 5 - 27. Kebijakan-kebijakan ini pada

ujungnya akan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan makro nasional

dan sektoral seperti antara lain:

- Keputusan pembangunan jaringan transportasi baru – jalan tol, jalan kereta api, dan

jalan raya (arteri nasional).

- Keputusan pengembangan permukiman baru – antara lain dengan meningkatkan

kepadatan (KLB tinggi, KLB rendah).

Keputusan-keputusan ini penting untuk menetapkan di mana akan dilaksanakan.

Kedua kegiatan tersebut akan menarik kegiatan-kegiatan terkait seperti pusat-pusat

kegiatan dan pelayanan serta membutuhkan penyediaan sarana dan prasarana

pendukung. Seyogianya itu semua mengacu pada satu tata ruang Kawasan Metropolitan

yang disepakati semua pihak – Pemerintah Pusat, Pemerintah-pemerintah Daerah, serta

masyarakat dan dunia usaha terkait di sektor-sektor terkait (seperti jaringan jalan raya,

jalan kereta api, jaringan air bersih dan pembuangan, industri dan perdagangan, dan

sebagainya).

Penutup

Bagaimana implikasi perkembangan metropolitan pada desa dan kota yang berada dalam

Kawasan Metropolitan serta kebijakan dan kelembagaan seperti apa yang dapat

mengelola/menanganinya merupakan isu yang akan dibahas dalam bagian ini.

Page 69: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

193

TABEL 5 - 26 Kebijakan Umum dan Usulan Program per Tipologi Urban Fringe

No Jenis Kebijakan

Predominantly Urban Semi Urban Potential Urban

1 Pemanfaatan

lahan untuk kegiatan budi

daya

Pengembangan mixed

use; Pembangunan secara vertikal (KLB

tinggi. KDB rendah)

Pengembangan lahan

terbangun yang menunjang kegiatan

perkotaan

Dipertahankan

sebagai lahan tidak terbangun;

Mempertahankan

fungsi ekologis / lindung kawasan.

2 Pengembangan

pusat-pusat

kegiatan baru

Pengembangan pusat-

pusat kegiatan

regional

Pengembangan urban

agriculture dan industri

padat karya

Pengembangan urban

agriculture

Kegiatan eknomi yang tidak

merugikan fungsi ekologis (eco-

tourism. dll)

3 Mengefisienkan dan

mengefektifkan

lokasi pusat-pusat kegiatan ekonomi

Pengembangan kegiatan perkotaan

Pengembangan urban agriculture dan industri

yang berorientasi

tenaga kerja

Pengembangan urban agriculture

4 Peningkatan

penyediaan prasarana

Penyediaan prasarana

yang mendukung kegiatan perkotaan

untuk skala regional

Penyediaan prasarana

yang mendukung urban agriculture dan industri

Penyediaan

prasarana yang mendukung urban

agriculture

Sumber : URDI 2006

TABEL 5 - 27 Contoh Instrumen untuk Kebijakan-kebijakan Khusus

No Jenis Kebijakan Predominantly

Urban Semi Urban Potential Urban

Kebijakan

Khusus

1 Pengembangan Yang Ada

Dibatasi

Menaikkan Beban Pajak Untuk Kegiatan

Perkotaan: Bisnis Dan

Komersial; Mengurangi Ijin-Ijin

Pembangunan;

Mengembalikan Fungsi Ruang

Terbuka Hijau

Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non Tol;

Membatasi Ijin-Ijin

Untuk Kegiatan Yang Menyebabkan

Degradasi Lingkungan

Membatasi Akses Jalan Tol Dan Non

Tol;

Meningkatkan Fungsi Lindung

Kawasan Untuk

Bagian Selatan Jabodetabek

2 Pengembangan Yang Ada

Didorong

Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan

Prasarana Perkotaan

Meningkatkan Pelayanan Sarana Dan

Prasarana Perkotaan; Meningkatkan

Pemanfaatan Lahan

Terbangun

Meningkatkan Penyediaan Sarana

Dan Prasarana Kota; Meningkatkan

Pembangunan Jalan

Baru Untuk Pergerakan Internal

Dan Eksternal

Jabodetabek

Sumber : URDI 2006

Page 70: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

194

Hubungan Desa dan Kota

Dari gambaran di atas terlihat bahwa desa dan kota sangat erat kaitannya dan dengan

mudah terjadi perubahan dari desa menjadi kota. Dari yang predominantly rural atau

potential urban dapat menjadi semi urban dan predominantly urban.

Suatu studi kasus (Uguy 2006) di suatu kecamatan (Cimanggis) memberikan hasil

sebagai berikut: Kecamatan Cimanggis merupakan kawasan peri urban yaitu

mempunyai tata guna lahan campuran rural dan urban yang tak tertata. Perubahan

peruntukan lahan yang sangat cepat untuk pembangunan permukiman. Kecamatan ini

juga membangkitkan lalu lintas yang menyebabkan kemacetan di jalan lingkungan, jalan

arteri, dan jalan tol. Kepadatan penduduknya 75 jiwa/ha lebih tinggi dari kepadatan

kabupaten tapi belum setinggi kepadatan kota. Tetapi peningkatan kepadatan ini sangat

tinggi (6,3 persen per tahun). Kompleks perumahan bertambah dari 32 kompleks (1992)

menjadi 57 kompleks (2002) hampir dua kalinya (Uguy 2006: hal. 127). Pertambahan

penduduk terjadi terutama karena perpindahan dari DKI Jakarta. Sebanyak 84 persen

dari penghuni di kompleks perumahan dan 54 persen dari penghuni non perumahan

(kampung) sebelumnya tinggal di DKI Jakarta.

Kegiatan utama Cimanggis sebagian masih berupa pertanian (sawah, ladang, kebun

campuran dengan rumah) sebesar 73 persen. Namun, sekitar 27 persen telah berubah

menjadi perumahan, industri, jalan, dan lain-lain. Hal ini semua menunjukkan bahwa

kecamatan Cimanggis yang sekitar 5 tahun yang lalu masih berciri desa, kini telah

mengalami transformasi dalam transisi menjadi kecamatan berciri kota. Ini merupakan

fenomena yang umum terjadi di kecamatan-kecamatan sekitar DKI Jakarta,. yaitu di

kawasan pinggiran yang semula hanya tipe potential urban menjadi predominantly

urban. Desa-desa yang dilalui atau dekat dengan jaringan transportasi ke Jakarta akan

mengalami transformasi menjadi kota yang lebih cepat. Jika tidak ada intervensi dari

pemerintah, hal ini akan menerus terjadi dan akan menimbulkan urban sprawl.

Intervensi Strategi dan Kebijakan

Intervensi yang dapat dilakukan perlu secara menyeluruh dari tingkat nasional, provinsi,

dan kabupaten/kota, meliputi intervensi dalam aspek kelembagaan dan keuangan, aspek

pembangunan fisik dan lingkungan, serta dalam aspek pelayanan publik. (URDI. 2006).

Dalam hal ini intervensi kelembagaan dan keuangan antara lain dapat dilakukan melalui:

- membentuk wadah kerja sama (baru atau revitalisasi/perluasan wadah yang sudah

ada);

- merumuskan mekanisme kerja sama dan pembuatan keputusan;

- koordinasi perencanaan dan pendanaan pembangunan secara terpadu (lintas sektor

dan lintas wilayah).

Dalam hal intervensi aspek pembangunan fisik dan lingkungan dapat dilakukan antara

lain :

- penyusunan rencana tata ruang wilayah yang terintegrasi dan terpadu secara

bersama-sama;

Page 71: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Sosial, Ekonomi, dan Kependudukan

195

- perencanaan pengembangan jaringan transportasi dan pusat-pusat kegiatan secara

bersama (spasial maupun temporal);

- perencanaan pemanfaatan sumber daya alam, seperti sumber air baku, sungai dan

danau, dan sebagainya.

Dalam hal intervensi aspek pelayanan publik antara lain dapat dilakukan melalui

pengembangan program-program :

- pelayanan transportasi terpadu multimoda.

- pelayanan penyediaan air bersih, pembuangan, dan persampahan (disarikan dari

URDI 2006).

Beberapa intervensi itu harus dilakukan dari tingkat pusat, seperti mekanisme

perencanaan yang melibatkan propinsi-propinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten),

pembangunan skala besar dan banyak daerah seperti jaringan transportasi multimoda

yang melayani ketiga propinsi, dan sebagainya.

Page 72: Sosial, Ekonomi Dan Kependudukan

Metropolitan di Indonesia

196