status tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur
TRANSCRIPT
Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur Utama Yang Terikat
Dalam Perkawinan Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Perseroan
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2705
K/PDT/2016)
Exori Claudia Isura Purba, S.H., Winanto Wiryomartani, S.H., M.Hum., Dr. Drs.
Widodo Suryandono, S.H., M.H.
Penelitian ini membahas mengenai perbuatan hukum pembelian beberapa bidang tanah
Hak Milik atas nama direktur utama perusahaan pengembang yang digunakan untuk
kepentingan kegiatan usaha perusahaan tanpa perjanjian. Pemisahan harta kekayaan
dalam suatu perseroan dengan pemiliknya seharusnya menjadi salah satu prinsip yang
penting untuk diperhatikan dalam mendirikan dan menjalankan suatu perseroan. Hal ini
disebabkan perseroan merupakan subyek hukum tersendiri yaitu suatu badan hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban tersendiri. Permasalahan yang dibahas dalam penelitian
ini ialah mengenai status kepemilikan tanah yang dibeli oleh direktur utama yang terikat
dalam perkawinan namun digunakan dan dikuasai untuk kepentingan perseroan dan
mengenai akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli direktur utama tersebut
dalam ikatan perkawinan. Penelitian ini menggunakan penelitian yuridis normatif,
dengan menggunakan tipologi penelitian deskriptif analitis. Data yang digunakan adalah
data sekunder serta alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Hasil
penelitian ini menyimpulkan bahwa tanah yang menjadi objek sengketa tersebut
merupakan harta bersama dari direktur utama dan istrinya walaupun objek sengketa
tersebut dikuasai dan digunakan untuk kepentingan perseroan. Akibat putusnya
perkawinan direktur utama dan istrinya menyebabkan tanah tersebut menjadi objek
pembagian harta bersama. Saran yang dapat penulis berikan dalam penelitian ini adalah
bahwa aset yang dibeli perseroan baik berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak agar dibeli langsung atas nama perseroan sehingga kepemilikannya menjadi
sempurna serta menghindari upaya berupa perjanjian pinjam nama.
Kata kunci: perseroan terbatas, harta bersama, kepemilikan tanah.
2
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pemisahan harta kekayaan antara suatu perseroan dengan pemiliknya seharusnya
menjadi salah satu prinsip yang penting untuk diperhatikan dalam mendirikan dan
menjalankan suatu perseroan. Hal ini disebabkan perseroan merupakan suatu subyek
hukum tersendiri yaitu badan hukum yang mempunyai hak dan kewajiban yang terpisah
dengan pemiliknya. Kemudian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT), setelah perseroan disahkan menjadi
badan hukum, pemegang saham perseroan tidak lagi bertanggung jawab secara pribadi
terhadap perikatan yang dibuat atas nama perseroan.1
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (1) UUPT, Perseroan Terbatas berdiri
semata-mata karena perjanjian oleh dua orang atau lebih dengan akta notaris. UUPT
menetapkan bahwa pendirian Perseroan Terbatas adalah berdasarkan perjanjian.
Perjanjian merupakan suatu perbuatan yang dilaksanakan paling sedikitnya oleh dua
orang2 sehingga karenanya Perseroan Terbatas juga didirikan paling sedikit dua pihak
atau dua subyek hukum. Dalam hal ini penulis mengatakan dua subyek hukum karena
pendirian Perseroan Terbatas tidak selalu didirikan secara eksplisit oleh dua orang
sebagaimana tertulis dalam Pasal 7 ayat 1 UUPT, melainkan dapat juga didirikan oleh
subyek hukum selain orang seperti Perseroan Terbatas maupun badan hukum lainnya
yang diperbolehkan mendirikan Perseroan Terbatas menurut peraturan perundang-
undangan. Dalam UUPT memang menggunakan frasa dua orang karena pada dasarnya
pemilik dari badan hukum sendiri secara langsung atau secara tidak langsung merupakan
subyek hukum orang.
Setiap pendiri Perseroan Terbatas wajib mengambil bagian saham pada saat
perseroan didirikan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) UUPT. Hal ini berarti
pada saat para pendiri menghadap notaris untuk dibuat akta pendirian Perseroan Terbatas,
setiap pendiri telah mengambil bagian saham Perseroan. Sebagai bentuk tindakan konkret
untuk mewujudkan ketentuan tersebut, pada saat pendirian perseroan di hadapan notaris,
pengambilan bagian saham harus sudah dilaksanakan oleh masing-masing pendiri
Perseroan agar pendirian sah secara hukum.3 Perihal syarat mengenai modal perseroan
juga diatur dalam UUPT dan perseroan tidak dapat didirikan tanpa memenuhi ketentuan
syarat modal minimum perseroan. Pemenuhan syarat modal minimun bertujuan agar pada
waktu Perseroan Terbatas didirikan setidak-tidaknya sudah mempunyai modal, yaitu
sebesar modal dasar (authorized capital), modal ditempatkan (issued capital) dan modal
disetor (paid-up capital) yang akan menjadi jaminan bagi pihak ketiga terhadap Perseroan
Terbatas.4
1 Indonesia, Undang-undang tentang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun
2007, TLN No. 4756, Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) huruf a jo. Pasal 7 ayat (5) dan ayat (6).
2 Zaeni Asyhadie, Hukum Bisnis: Prinsip & Pelaksanaanya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), hlm. 44-45.
3 Orinton Purba, Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas agar
Terhindar dari Jerat Hukum, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), hlm. 24.
4 Rudhi Prasetya, Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996),
hlm. 185.
3
Hal penting lainnya selain modal adalah organ perseroan. Sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 1 angka 2 UUPT, organ perseroan terdiri dari Rapat Umum Pemegang Saham
(RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Garis besar kedudukan atau fungsi dari organ di
atas dapat dipahami sesuai Pasal 1 angka 4, 5, 6 UUPT dan dengan pemahaman tersebut
akan diketahui fungsi masing-masing organ seluruhnya. Secara garis besar RUPS
merupakan wadah dari pemegang saham untuk melakukan atau memutuskan hal-hal yang
berkaitan dengan perseroan. Sedangkan direksi adalah suatu organ yang akan melakukan
pengurusan dan perwakilan perusahaan. Sementara itu, dewan komisaris adalah organ
yang berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap direksi. Berkembang atau
tidaknya perseroan sesungguhnya bergantung pada ketiga organ tersebut.
Tindakan direksi yang menggunakan modal perseroan tentunya harus
dipertanggungjawabkan dalam bentuk laporan keuangan yang dalam setiap tahunnya
disampaikan dan disetujui oleh RUPS. Namun dalam praktiknya, tidak jarang perseroan
belum mempunyai cukup modal sehingga dalam kondisi tertentu harus melakukan
pinjaman kepada pihak ketiga atau tidak jarang juga terdapat direksi yang menyalahi
kewenangannya dan menggunakan modal perseroan untuk membeli aset pribadi direksi.
Dalam kondisi inilah pentingnya dijalankan prinsip pemisahan harta kekayaan perseroan
dengan pemiliknya terlebih dengan organ-organ perseroan.
Di samping itu, direksi perseroan harus senantiasa berhati-hati dan menjalankan
prinsip fiduciary duty dalam setiap perbuatannya yang berkaitan dengan perseroan.
Direksi dikatakan telah menjalankan fiduciary duty, apabila mempunyai kemampuan,
itikad baik serta loyalitas dengan derajat yang tinggi. Walaupun direksi telah hati-hati
dalam menjalankan tugasnya, hal tersebut belum cukup kuat untuk mengatakan bahwa
direksi tersebut terbebas dari tanggung jawab hukum apabila terdapat pihak yang
dirugikan sebagai akibat dari tindakan-tindakan direksi.5 Mengamankan aset milik
perseroan merupakan salah satu wujud dari perbuatan pengurusan perseroan yang harus
secara hati-hati dilakukan oleh direksi, terlebih lagi apabila aset tersebut merupakan salah
satu fondasi dari kegiatan usaha perseroan. Pada praktiknya, tidak semua aset-aset yang
digunakan untuk kepentingan perseroan merupakan milik perseroan secara hukum,
sebagaimana yang terjadi antara PT Jasari dan Direktur Utama PT Jasari dalam Putusan
Nomor 2705 K/PDT/2016.
PT Jasari adalah perseroan yang bergerak di bidang properti atau pengembangan
lahan perumahan. Pemegang saham PT Jasari terdiri dari tiga orang yaitu Riana Siregar,
Mira Yanti dan Jafar Ritonga dimana ketiganya juga berperan sebagai organ perseroan
yaitu direksi yang dijabat oleh Mira Yanti dan Jafar Ritonga dan komisaris yang dijabat
oleh Jafar Ritonga.
Mengingat PT Jasari yang bergerak di bidang properti, tentu tanah merupakan salah
satu unsur penting dalam menjalankan kegiatan usahanya. PT Jasari banyak melakukan
pembelian lahan untuk dikembangkan dan dijual kembali ke masyarakat. Dalam kasus
ini, PT Jasari membeli puluhan bidang tanah di empat daerah Sumatera Utara dimana
pembelian tersebut menggunakan dana Perseroan namun pembelian dilakukan atas nama
Direktur Utama Jafar dan sertipikat yang dikeluarkan adalah atas nama Direktur Utama
Jafar Ritonga. Direktur Utama Jafar Ritonga sendiri pada saat pembelian tersebut terikat
5 Munir Fuady, Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum
Indonesia, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 52.
4
perkawinan dengan Direktur Mira Yanti. Hal ini menyebabkan perolehan bidang tanah
yang dibeli tersebut menjadi harta bersama antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti.
Kasus dimulai ketika terjadi perceraian antar Jafar Ritonga dan Mira Yanti dimana
menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan (Undang-Undang
Perkawinan) dan Kompilasi Hukum Islam ketika terjadi perceraian harta bersama dibagi
di antara suami dan istri. Peristiwa ini merugikan PT Jasari karena bidang-bidang tanah
tersebut dibeli oleh Jafar Ritonga sebagai direktur utama sekaligus pemegang saham PT
Jasari ketika dalam ikatan perkawinan yang sah. Kondisi ini membawa ketidakpastian
hukum terhadap kepemilikan bidang-bidang tanah yang dibeli oleh Jafar Ritonga.
Mengingat hal ini membawa potensi kerugian PT Jasari, Komisaris sekaligus pemegang
saham Perseroan mengajukan gugatan kepada Jafar Ritonga dan Mira Yanti untuk
mengembalikan aset tersebut kepada PT Jasari.
Bercermin dari kasus ini, tindakan direktur utama yang merupakan sekaligus
pemegang saham dapat membawa kerugian bagi perseroan. Tanah yang dibeli atas nama
direktur utama apabila dilihat dari segi pembuktiannya menurut Undang-Undang Nomor
5 Tahun 1960 tentang Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria (UUPA) serta peraturan
pelaksanaanya tentu tanah tersebut berdasarkan alat buktinya merupakan milik dari
direktur utama tersebut. Perseroan dirugikan dalam hal ini karena adanya ketidakpastian
aset dan kekayaan perseroan serta para pihak yang melakukan perbuatan hukum dengan
perseroan. Melihat lagi adanya status perkawinan tanpa perpisahan harta antara direktur
utama yang sekaligus menjadi pemegang saham perseroan. Tentu hal ini membawa
kerugian bilamana Mira Yanti sebagai direktur dan pemegang saham perseroan
berkeinginan mengundurkan diri dari perseroan dan perseroan tidak diuntungkan lagi dari
tanah-tanah yang menjadi hak dari Mira Yanti.
Merujuk pada kasus di atas, dapat dilihat bahwa terdapat gesekan antara
kepentingan direktur utama sebagai subyek hukum indvidu yang terikat dalam
perkawinan sah dengan kepentingan perseroan. Jafar sebagai direktur utama dan
pemegang saham PT Jasari sekaligus sebagai seorang suami yang terikat dalam
perkawinan sudah seharusnya secara tegas memberikan kepastian apakah barang yang
dibelinya tersebut merupakan harta perseroan atau harta pribadi. Ketidakpastian hukum
ini tentunya juga harus ditinjau berdasarkan hukum keluarga, khususnya hukum harta
perkawinan.
Menurut J. Satrio, Hukum harta perkawinan adalah peraturan hukum yang
mengatur akibat- akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami-istri yang telah
melangsungkan perkawinan, hukum harta perkawinan merupakan terjemahan dari kata
“huwelijksvermogensrecht”, sedangkan hukum harta benda perkawinan adalah
terjemahan dari kata “huwelijksgoderenrecht.6 Salah satu permasalahan dalam
perkawinan yang dapat berujung pada perceraian adalah permasalahan harta bersama.
Pengaturan harta bersama telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) dan Undang-Undang Perkawinan. Selain dalam kedua peraturan tersebut,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga mengatur pengertian tentang harta bersama yang
sama seperti dianut dalam Undang-Undang Perkawinan dan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. Dalam Kompilasi Hukum Islam harta bersama diistilahkan dengan
istilah “syirkah” yang berarti harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama
6 J. Satrio, Hukum Harta Perkawinan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 70.
5
suami istri selama dalam ikatan perkawinan berlangsung, tanpa mempersoalkan terdaftar
atas nama siapapun.7
Dasar hukum tentang harta bersama dapat ditelusuri melalui undang-undang dan
peraturan berikut:8
a. Dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (1),
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta bersama adalah “Harta benda
yang diperoleh selama masa perkawinan”. Artinya, harta kekayaan yang
diperoleh sebelum terjadinya perkawinan tidak disebut sebagai harta bersama.
b. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 119, disebutkan bahwa
“Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta
bersama antara suami istri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-
ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama
perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu
persetujuan antara suami istri”
c. Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 85, disebutkan bahwa “Adanya harta
bersama di dalam perkawinan itu tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri”. Di dalam pasal ini disebutkan adanya harta bersama
dalam perkawinan, akan tetapi tidak menutup kemungkinan adanya harta milik
masing-masing suami istri.
Proses perceraian antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti dilakukan di Pengadilan
Agama Kelas I A Medan dan sumber hukum yang dijadikan rujukan adalah hukum Islam,
sehingga untuk menentukan apakah tanah yang dibeli Jafar Ritonga tersebut merupakan
harta bersama atau tidak haruslah merujuk pada hukum Islam. Secara umum, hukum
Islam tidak melihat adanya harta bersama. Hukum Islam pada umumnya lebih
memandang adanya keterpisahan antara harta suami harta istri. Harta yang dihasilkan istri
adalah milik istri, demikian juga sebaliknya harta yang dihasilkan suami adalah harta
milik suami. Konsep harta bersama memang lebih dikenal dalam tradisi masyarakat
Indonesia. Konsep ini merupakan bagian dari warisan berbagai macam tradisi yang ada
di Indonesia.9
Pandangan hukum Islam yang memisahkan harta kekayaan suami istri sebenarnya
memudahkan penggolongan mana yang termasuk harta suami dan mana harta istri, mana
yang merupakan harta bawaan suami dan mana harta bawaan istri sebelum perkawinan,
mana harta suami istri yang diperoleh secara sendiri-sendiri selama perkawinan, serta
mana harta gono-gini yang diperoleh secara bersama selama terjadinya perkawinan.
Apabila terjadi perceraian penggolongan harta tersebut akan sangat berguna dalam
menentukan bagian mereka masing-masing.10 Di sisi lain apabila kita merujuk KHI,
konsep harta bersama diakui sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 huruf f yaitu harta
kekayaan dalam perkawinan atau Syirkah adalah harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri
7 Mochamad Djais, Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan, (Semarang: Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, 2003), hlm. 34. 8 Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian, (Bandung: Alumni,
2005), hlm. 59. 9 Zulfiqar Mokodompit, “Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini Dihubungkan
Dengan Hukum Islam,” Lex Administratum (Agustus 2015 Volume III Nomor 6), hlm. 169. 10 Zahri Hamid, Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:
Bina Cipta, 1999), hlm. 111.
6
atau bersama suami-isteri selam dalam ikatan perkawinan berlangsung selanjutnya
sisebut harta bersama, tanpa mempersoalkan terdaftar atas nama siapapun. Kemudian
ditegaskan dalam Pasal 85 KHI bahwa adanya harta bersama dalam perkawinan itu tidak
menutup kemungkinan adanya harta milik masing-masing suami atau isteri. Secara
konsep, harta kekayaan dalam perkawinan dalam KHI hampir serupa dengan konsep
dalam Undang-Undang Perkawinan. Dalam KUHPerdata maupun KHI harta yang
diperoleh sebelum perkawinan dikuasai oleh masing-masing pihak yang membawanya.
Merujuk kembali pada kasus di atas, permasalahan apakah tanah tersebut memang
merupakan harta bersama Jafar Ritonga dengan Mira Yanti akan dibahas dalam penelitian
ini. Dalam perkembangan permasalahan perceraian antara Jafar Ritonga dan Mira Yanti
telah diputus oleh Pengadilan Agama Kelas I A Medan, namun permasalahan mengenai
harta perkawinan belum diselesaikan di hadapan pengadilan agama.
Mengingat objek yang disengketakan merupakan beberapa bidang tanah, maka
dibutuhkan juga pemahaman mengenai peraturan pertanahan, khususnya bidang
pendaftaran tanah. Sistem pendaftaran tanah di negara kita menggunakan sistem
pendaftaran hak dan bukan sistem pendaftaran akta. Hal tersebut nampak dengan adanya
buku tanah sebagai dokumen yang memuat data yuridis dan data fisik yang dihimpun
serta diterbitkannya sertifikat sebagai surat tanda bukti hak yang didaftar. Pembuktian
dalam buku tanah serta pencatatannya pada surat ukur tersebut merupakan bukti, bahwa
hak yang bersangkutan beserta pemegang haknya dan bidang tanahnya yang diuraikan
dalam surat ukur secara hukum telah didaftar menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.11
Sedangkan sistem publikasi yang digunakan adalah sistem negatif tendensi positif
karena menghasilkan surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian
kuat sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 19 ayaat (2) huruf c, Pasal 23 ayat (2) dan Pasal
38 ayat (2) UUPA. Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya,
sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat
ukur dan buku tanah yang bersangkutan. Ini berarti, bahwa selama tidak dapat dibuktikan
sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus diterima
sebagai data yang benar, baik dalam melakukan perbuatan hukum sehari-hari maupun
dalam berperkara di pengadilan.12
Sertipikat atas bidang tanah yang menjadi objek sengketa dalam perkara di atas
beratasnamakan direktur utama PT Jasari yaitu Jafar. Apabila merujuk pada UUPA dan
peraturan pelaksanaannya, maka secara yuridis objek sengketa merupakan milik Jafar
Ritonga walaupun Jafar Ritonga mengakui bahwa pembelian tanah tersebut
menggunakan uang perseroan. Praktik seperti ini sesungguhnya tidak jarang terjadi di
masyarakat dan hampir serupa dengan kasus dimana seseorang telah melewati batas luas
kepemilikan tanah dan bekerja sama dengan orang lain agar tanah tersebut diatasnamakan
orang lain namun tanah tersebut aslinya dimiliki adalah pihak yang membeli tanah.
Praktik ini tidak sesuai dengan semangat peraturan pertanahan nasional dan
sesungguhnya dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum. Sepanjang perkembangan
sengketa pertanahan di Indonesia, peradilan di Indonesia memandang praktik ini tidak
11 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok
Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2016), hlm. 477. 12 Ibid.
7
sesuai dengan ketentuan pertanahan dan tetap memberi perlindungan hukum terhadap
pemilik tanah yang tertulis di sertifikat.
Pada kasus di atas dalam tingkat pengadilan negeri dan banding, majelis hakim
mengabulkan gugatan dari Riana Siregar dan demi hukum tanah tersebut menjadi milik
PT Jasari namun dalam tingkat kasasi majelis hakim membatalkan putusan pengadilan
negeri dan pengadilan tinggi tersebut. Majelis Hakim di tingkat kasasi menyetujui bahwa
secara hukum tanah tersebut sebagiannya adalah milik Mira Yanti.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, penelitian tesis ini akan membahas dan
menganalisis mengenai pembelian tanah atas nama Dierksi untuk kegiatan usaha
perseroan yang tidak dilakukan proses peralihan kepemilikan tanah atas nama Perseroan,
dengan judul yaitu: Status Tanah Yang Dibeli Secara Pribadi Oleh Direktur Utama
Yang Terikat Dalam Perkawinan Untuk Kepentingan Kegiatan Usaha Perseroan
(Studi Kasus Putusan Nomor 2705 K/PDT/2016).
1.2. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur
utama yang terikat dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk
kegiatan usaha perseroan?
2. Bagaimana akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli oleh direktur
utama secara pribadi yang digunakan untuk kegiatan usaha perseroan?
1.3. Sistematika Penulisan
Artikel ini dibagi dalam tiga bagian. hal ini untuk mempermudah pembaca dalam
memahami isi artikel. bagian pertama berisi tentang Pendahuluan, yang terdiri dari latar
belakang, pokok permasalahan dan sistematika penulisan. Kemudian bagian kedua
tentang pembahasan dari rumusan masalah, yang merupakan inti dari jurnal ini yaitu
status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur utama yang terikat
dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan usaha perseroan serta
akibat putusnya perkawinan terhadap tanah tersebut. Serta yang terakhir, yaitu bagian
penutup yang terdiri dari simpulan dan saran atas masalah yang dijabarkan
2. PEMBAHASAN
2.1. Kasus Posisi Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2705
K/Pdt/2016
Para Pihak dalam kasus pada Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016 adalah Mira Yuni
Yanti dengan kedudukan sebagai Pemohon Kasasi, dahulu Tergugat II dan Pembanding,
kemudian Hj. Riana Siregar yang bertindak untuk dan atas nama PT Jasari sebagai
Termohon Kasasi dahulu Penggugat/Terbanding dan Jafar Ritonga sebagai Turut
Termohon Kasasi dahulu Tergugat I/Turut Terbanding. Seluruh pihak dalam perkara
tersebut mempunyai kedudukan dalam organ perseroan PT Jasari, yaitu:
Tabel 2.1
No. Pihak Status dalam Perkara Status Dalam Perseroan
1. Hj. Riana
Siregar − Tingkat Pertama: Penggugat
− Tingkat Banding:
Terbanding
− Komisaris
− Pemegang Saham
PT Jasari sebanyak
75 lembar saham
8
− Tingkat Kasasi: Termohon
Kasasi
atau sebesar 60%
(enam puluh persen)
2. Jafar
Syahbuddin − Tingkat Pertama: Tergugat I
− Tingkat Banding: Turut
Terbanding
− Tingkat Kasasi: Turut
Termohon Kasasi
− Direktur Utama
− Pemegang Saham PT
Jasari sebanyak 38
lembar saham atau
sebesar 30% (tiga
puluh persen)
3. Mira Yuni
Yanti − Tingkat Pertama: Tergugat II
− Tingkat Banding:
Pembanding
− Tingkat Kasasi: Pemohon
Kasasi
− Direktur
− Pemegang Saham PT
Jasari sebanyak 12
lembar saham atau
sebesar 10% (sepuluh
persen)
Selain status yang terkait dengan organ perseroan, para pihak juga mempunyai
keterkaitan hubungan kekeluargaan sebelum terjadinya perkara, dimana Jafar Ritonga
merupakan anak dari Hj. Riana Siregar dan merupakan suami dari Mira Yanti. PT Jasari
adalah perseroan yang bergerak di bidang properti atau pengembangan lahan perumahan.
Mengingat PT Jasari yang bergerak di bidang properti, tentu tanah merupakan salah satu
unsur penting dalam menjalankan kegiatan usahanya. PT Jasari banyak melakukan
pembelian lahan untuk dikembangkan dan dijual kembali ke masyarakat. Tanah-tanah
yang lahannya dibeli oleh PT Jasari tersebut merupakan objek sengketa dalam perkara
ini. Kronologis perkara secara singkat adalah sebagai berikut:
1) Bahwa sejak tahun 1998 PT Jasari telah menjalankan usaha dalam bidang
pembangunan dan sebagai pengembang perumahan dan real estate dengan cara
melakukan pembelian terhadap bidang-bidang tanah dan kemudian membangun
perumahan di atasnya. Letak dan bidang-bidang tanah yang dibeli tersebut antara
lain:
a. Desa Bakaran Batu, Lubuk Pakam, komplek perumahan Jasica Asri Lubuk
Pakam, 41 Kavling, SHM atas nama Jafar Ritonga;
b. Desa Bandar Setia, Percut Sei Tuan, Perumahan Graha Muslim-Jasari Setia, 6
kavling, SHM atas nama Jafar Ritonga;
c. Kelurahan Binjai, Komplek Perumahan Jasari Pasti, 34 kavling, SHM atas nama
Jafar Ritonga;
d. Sebidang tanah beserta 1 ruko 80 m2, Jalan sersan Sani, Kemuning Kota
Palembang, SHM atas nama Jafar Ritonga.
Untuk selanjutnya disebut dengan “Objek Sengketa”,
2) Bahwa pembelian tanah tersebut dilakukan oleh Jafar Ritonga (Tergugat I) sebagai
kapasitasnya Direktur Utama yang bertindak untuk dan atas nama PT Jasari.
3) Bahwa pembelian Objek Sengketa tersebut memang dilakukan oleh Jafar Ritonga
(Tergugat I) dengan kapasitas sebagai Direktur perseroan, namun sertifikat atas
Objek Sengketa tersebut diatasnamakan Jafar Ritonga. Berdasarkan gugatan
Penggugat Nyonya Hj. Riana Siregar hal ini disebabkan untuk mempermudah
administrasi jual beli.
9
4) Bahwa pembelian Objek Sengkta tersebut dilakukan pada saat Jafar Ritonga terikat
perkawinan dengan Mira Yanti.
5) Bahwa Objek Sengketa tersebut ditawarkan dan akan diperjualbelikan ke Pihak
Ketiga.
6) Bahwa permasalahan dimulai ketika pada tahun 2010 terjadi perceraian antara Jafar
Ritonga dan Mira Yanti dimana mereka putus perceraian dengan talak satu raj’i
berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA.Mdn
tanggal 16 Agustrus 2010 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap jo.
Penetapan Ikrar Talak Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA.Mdn
tanggal 6 September 2010.
7) Bahwa perceraian tersebut menimbulkan akibat hukum bagi PT Jasari, yakni
kesulitan dalam proses jual beli kepada pihak ketiga yang bermaksud membeli rumah
yang siap dibangun, dikarenakan harus turut disetujui dan ditandatangani Mira Yanti.
8) Bahwa Hj Riana Siregar sebagai Penggugat meminta seluruh aset dibaliknama
menjadi PT Jasari sehinggga perseroan dapat beroperasi secara normal tanpa
memperoleh hambatan akibat persoalan hukum yang belum terselesaikan antara Mira
Yanti dan Jafar Ritonga.
9) Bahwa Jafar Ritonga setuju untuk untuk melakukan balik nama Objek Sengketa
tersebut yang semula atas nama Jafar Ritonga menjadi PT Jasari.
10) Bahwa dikarenakan tidak terjalinnya komunikasi yang baik antara Jafar Ritonga dan
Mira Yanti maka proses balik nama selalu tertunda.
11) Bahwa Hj Riana menganggap perbuatan Jafar Ritonga dan Mira Yanti tersebut
merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga Hj Riana dalam kapasitasnya
sebagai pemegang saham mayoritas perseroan mengajukan gugatan kepada Jafar
Ritonga dan Mira Yanti agar mengembalikan aset tersebut kepada PT Jasari.
12) Bahwa petitum gugatan Hj. Riana antara lain:
1. Mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharganya sita jaminan;
3. Menyatakan demi hukum Objek Sengketa milik PT Jasari;
4. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II yang tidak bersedia
mengembalikan aset milik Penggugat adalah Perbuatan Melaan Hukum;
5. Menghukum Tergugat I dan II untuk menyerahkan Objek Sengketa;
6. Menghukum Tergugat I dan II untuk membayar uang paksa (dwangsom);
7. Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan;
13) Bahwa dalam perkembangannya, Jafar Ritonga sebagai Tergugat memberikan
jawaban yang pada intinya adalah Jafar Ritonga memang beritikad baik untuk
membaliknama Objek Sengketa menjadi atas nama PT Jasari dan bahwa pembelian
Objek Sengketa tersebut diakui Jafar Ritonga memakai dana perseroan.
14) Bahwa Mira Yanti memberikan jawaban yang menyatakan perceraiannya dengan
Jafar Ritonga mempunyai akibat terhadap harta kekayaan dimana Objek Sengketa
merupakan harta bersama Mira Yanti dan Jafar Ritonga sehingga Mira Yanti berhak
½ (setengah) dari seluruh harta bersama. Selanjutnya Mira Yanti menyatakan bahwa
hal ini menjadi wewenang Pengadilan Agama untuk membuktikan dan memutusnya.
15) Bahwa Mira Yanti juga menambahkan bahwa sejak dirinya bercerai dengan Jafar
Ritonga, tidak pernah sekalipun dirinya mendapat gaji walaupun statusnya masih
sebagai Direktur perseroan.
16) Bahwa kasus di atas dalam tingkat pertama, majelis hakim memberikan amar:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
10
2. Menyatakan demi hukum Objek Sengketa merupakan aset-aset/harta kekayaan
milik PT Jasari;
3. Menyatakan perbuatan Tergugat I dan Tergugat II uang tidak bersedia
mengembalikan aset milik Penggugat adalah perbuatan melawan hukum.
4. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk mengembalikan dan/atau
menyerahkan seluruh Objek Sengketa kepada PT Jasari.
5. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar uang paksa
(dwangsom) sebesar Rp 100.000 (seratus ribu rupiah);
6. Menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar ongkos yang timbul
dalam perkara sejumlah Rp 401.000 (empat ratus satu ribu rupiah);
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya;
17) Bahwa dalam tingkat banding, majelis hakim menguatkan putusan hakim pada
tingkat pertama tersebut dan dalam tingkat kasasi, majelis hakim membatalkan
putusan tingkat pertama dan tingkat banding tersebut.
18) Bahwa dalam perkembangan permasalahan perceraian antara Jafar dan Mira Yanti
telah diputus oleh Pengadilan Agama Kelas I A Medan dan mengenai perkara harta
bersama di antara mereka telah diputus dalam tingkat pertama Putusan Pengadilan
Agama Medan Nomor 183/Pdt.G/2013/PA.Mdn dan pada tingkat banding oleh
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 6/Pdt.G/2014/PTA-Mdn.
2.2. Alat Bukti Para Pihak
Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh para
pihak yang beperkara kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna memberikan
kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.13 Pembuktian merupakan hal
penting yang mana sejalan dengan Pasal 283 Rbg/163 HIR yang menyatakan bahwa:
Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,
haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.
Apabila dihubungkan dengan kasus di atas, maka Riana Siregar yang menuntut
bahwa Objek Sengketa merupakan milik PT Jasari maka harus menyajikan alat-alat bukti
yang mendasari dan dapat mendukung tuntutannya. Namun dalam pembuktian tidak
selalu pihak penggugat saja yang akan menentukan siapa diantara pihak-pihak yang
berperkara yang diwajibkan memberikan bukti. Hakim membebankan kepada para pihak
untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang seadil-adilnya. Adapun menurut
Pasal 1866 KUHPerdata maupun Pasal 164 HIR/284 RBg alat-alat bukti dalam hukum
acara perdata terdiri atas:
a. Bukti tulisan atau surat;
b. Bukti dengan saksi-saksi;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah;
Dari urutan alat-alat bukti dalam hukum acara perdata, maka alat bukti tulisan atau
surat merupakan alat bukti yang paling utama dalam perkara perdata. Berbeda dengan
perkara pidana dimana alat bukti yang paling utama adalah keterangan saksi. Hal ini
13 H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,
2004), hlm. 83.
11
dikarenakan seseorang yang melakukan tindakan pidana selalu menyingkirkan atau
melenyapkan bukti-bukti tulisan dan apa saja yang memungkinkan terbongkarnya tindak
pidana yang dilakukan oleh para pelakunya, sehingga bukti harus dicari dari keterangan
orang-orang yang melihat, mendengar atau mengalami sendiri kejadian tindak pidana
tersebut. Berikut adalah bukti-bukti yang diajukan oleh para pihak dalam kasus ini:
Tabel 2.2
Pokok Dalil
Penggugat
Termohon
Kasasi
Bukti Pokok
Jawaban
Tergugat
II/Pemohon
Kasasi
Bukti
Objek Sengketa
merupakan milik
dari PT Jasari
• Bukti Tulisan
− Akta Pendirian dan
Anggaran Dasar
PT Jasari yang
menyatakan bahwa
bidang usaha dari
PT Jasari adalah
sebagai
pengembang/real
estate
− Brosur penjualan
perumahan Jasica
Asri Lubuk Pakam
dimana tercantum
nama Pengembang
PT Jasari
• Saksi
Terdapat dua orang
saksi yaitu Mutiadi dan
Abdul Rahim dimana
mereka adalah pembeli
tanah pada Komplek
Jasica Asri yang
dibangun oleh PT
Jasari. Pada pokoknya
menerangkan bahwa
mereka melihat brosur
PT Jasari dan memesan
rumah bukan dari
Direktur Utama
(Tergugat I/Turut
Termohon Kasasi).
Objek
Sengketa
merupakan
milik dari
Direktur
Utama
(Tergugat
I/Turut
Termohon
Kasasi dan
merupakan
harta gono-gini
Pemohon
Kasasi dan
Turut
Termohon
Kasasi.
• Bukti Tulisan
− Seluruh
Sertifikat
Kepemilikan
Objek Sengketa
beratasnamakan
Jafar Ritonga
2.3. Analisa Analisa Terhadap Status Kepemilikan Objek Sengketa Yang Dibeli
Secara Pribadi Oleh Direktur Utama Yang Terikat Dalam Perkawinan untuk
Kegiatan Usaha Perseroan
12
Pemahaman mengenai fakta hukum dibutuhkan dalam menganalisa suatu kasus
merupakan suatu keharusan, termasuk dalam menganalisa kepemilikan terhadap suatu
bidang tanah yang sedang dalam sengketa. Fakta hukum penting yang dapat diperoleh
dari kasus posisi di atas adalah bahwa Sertifikat Hak Milik atas Objek Sengketa
seluruhnya beratasnamakan Jafar yaitu direktur utama PT Jasari. Gugatan terhadap
kepemilikan Objek Sengketa muncul pada saat pemegang saham mayoritas PT Jasari
menuntut agar Objek Sengketa dikembalikan kepada PT Jasari. Dari titik mula
permasalahan ini, seiring berjalannya kasus sampai sebelum diajukannya permohonan
kasasi ditemukan fakta-fakta hukum lainnya yang dapat mempengaruhi analisa
kepemilikan terhadap Objek Sengketa maupun yang memicu permasalahan baru lainnya,
antara lain:
1. Jafar terikat dalam perkawinan yang sah dengan Mira Yanti yang dilakukan menurut
agama Islam sejak tanggal 28 November 1997 dan putus karena perceraian
berdasarkan Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor 458/Pdt.G/2010/PA. Mdn
tanggal 16 Agustus 2010 yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
2. Jafar, Mira Yanti dan Riana Siregar masing-masing merupakan direktur utama,
direktur dan komisaris sekaligus sebagai pemegang saham PT Jasari berdasarkan
Akta Berita Acara Rapat No. 97 tanggal 31 Mei 2001 yang dibuat dihadapan Alina
Hanum Nasution, SH, Notaris di Medan.
3. Pembelian Objek Sengketa dilakukan oleh Jafar dilakukan saat berada dalam ikatan
perkawinan mulai dari tahun 2005 sampai tahun 2010.
4. Majelis Hakim pada tingkat pertama memutus bahwa Objek Sengketa merupakan
harta kekayaan milik Penggugat i.c PT Jasari dan majelis hakim pada tingkat banding
memberikan amar menguatkan putusan pengadilan pada tingkat pertama tersebut.
Mengingat Objek Sengketa dalam kasus Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016
merupakan beberapa bidang tanah sehingga dalam menentukan status kepemilikan Objek
Sengketa haruslah merujuk dan menganalisa berdasarkan ketentuan hukum agraria.
Berdasarkan fakta hukum di atas yang dapat dianalisa adalah bahwa apakah Sertifikat
Hak Milik dapat menjadi dasar kepemilikan terhadap Objek Sengketa. Sebagaimana telah
dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya sertipikat merupakan surat tanda bukti hak untuk
hak atas tanah yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang
bersangkutan. Sertipikat sebagai surat tanda bukti hak berlaku sebagai pembuktian yang
kuat. Sedangkan yang dimaksud dengan “hak atas tanah” dalam definisi tersebut adalah
“macam-macam hak atas permukaan bumi, yang disebut tanah, yang dapat diberikan
kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-
orang lain serta badan hukum, yaitu hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak
pakai, hak sewa, hak membuka tanah, hak memungut hasil hutan dan hak-hak lain yang
tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan ditetapkan dengan undang-
undang serta hak-hak yang sifatnya sementara seperti : hak gadai, hak usaha bagi hasil,
hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian.” Kegunaan setipikat antara lain:
1. Memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah yang dimiliki secara
perorangan maupun oleh suatu badan hukum.
2. Memberikan bukti autentik bahwa orang yang tercantum namanya dalam sertipikat
tersebut adalah pemegang hak sesungguhnya.
3. Memberikan kepastian mengenai subjek dan objek hak atas tanah serta status hak
atas tanah tersebut.
13
Pada intinya adanya sertipikat akan memberikan kekuatan pembuktian yang kuat
bagi orang yang namanya tercantum dalam sertipikat tersebut apabila terjadi sengketa.
Walaupun demikian pemegang/pemilik sertipikat tidak selamanya akan menang dalam
persidangan, hal ini mengingat bahwa pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem
pendaftaran hak dimana terhadap pemegang sertipikat dapat diajukan gugatan apabila
data awal penerbitan sertipikatnya mengandung cacat yuridis misalnya akta PPAT seperti
jual beli, hibah, tukar menukar cacat hukum hingga kehilangan kekuatan hukumnya,
maka dalam hal ini bisa saja terjadi pemegang/pemilik sertipikat dinyatakan kalah oleh
pengadilan. Pihak yang menang dapat mengajukan surat permohonan kepada Menteri
Negara Agraria/Kepala BPN untuk membatalkan/mencabut penerbitan sertipikat tersebut
dan selanjutnya diterbitkan sertipikat yang baru bagi pemohon tersebut.
Dalam persengkataan mengenai kepemilikan tanah, terdapat penilaian hakim
terhadap siapa yang berhak atas tanah bersengketa baik itu sengketa yang terjadi karena
diterbitkannya sertipikat ganda maupun karena adanya bukti lain diluar sertipikat yakni
bukti-bukti yang diakui menurut ketentuan PP 24/1997. Mengingat hal tersebut, maka
dirasa perlu ditelaah sampai sejauh mana kekuatan hukum sertipikat tanah sebagai tanda
bukti hak atas tanah.
Pasal 137 HIR/Pasal 163 Rbg telah memberikan kemungkinan kepada kedua belah
pihak yang berperkara untuk saling dapat meminta supaya diserahkan kepada Hakim
surat-surat yang digunakan sebagai bukti agar pihak lawan dapat mengetahui tentang
isinya. Tentunya surat-surat yang diminta pihak-pihak itu hanyalah surat- surat yang ada
hubungannya dengan persengketaan yang sedang diperiksa itu yaitu untuk membuktikan
sesuatu soal, misalnya saja dalam sengketa pemilikan tanah, para pihak akan
menyerahkan tanda bukti hak masing-masing baik yang berupa surat bukti sertipikat
tanah atau jika tanahnya belum didaftar akan menyerahkan surat bukti segel tanah dalam
rangka guna meneguhkan dalil gugatan/dalil bantahan masing-masing pihak. Kepada
hakimlah yang akan memberikan penilaian berdasarkan pemeriksaaan yang teliti
ditambah dengan bukti-bukti lain antara lain keterangan saksi-saksi dan bukti-bukti
lainnya menurut hukum pembuktian.
Untuk mengetahui bagaimana kekuatan hukum suatu sertipikat tanah, maka kita
tilik kembali sifat dari pendaftaran tanah yang disselenggarakan di Indonesia untuk
menjamin kepastian hukum. Jaminan kepastian hukum disini adalah untuk menghindari
terjadinya penerbitan sertipikat tanah bukan kepada orang yang tidak berhak (bukan
pemilik). Dengan merujuk pada ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUPA, maka
pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia menganut sistem negatif dengan tendensi
positif yang artinya segala apa yang tercantum dalam setipikat tanah adalah benar sampai
dapat dibuktikan keadaan yang sebaliknya di pengadilan.
Sistem negatif dengan tendensi positif ini tercermin dalam Pasal 19 ayat (2) huruf
c UUPA yang menegaskan bahwa surat-surat tanda bukti hak yang diberikan itu berlaku
sebagai alat pembuktian yang kuat. Kata “kuat” dalam hubungannya dengan sistem
negatif adalah berarti “tidak mutlak” yang berarti bahwa sertipikat tanah tersebut masih
mungkin dibatalkan sepanjang ada pembuktian yang sebaliknya yang menyatakan
ketidakabsahan sertipikat tanah tersebut. Dengan demikian sertipikat tanah bukanlah
satu-satunya surat bukti pemegang hak atas tanah dan harus dilihat kembali dalam
pembuktiannya.
Berdasarkan hal di atas, maka tidak tepat ada anggapan bahwa dengan memegang
14
sertipikat tanah berarti pemegang tersebit adalah mutlak pemilik tanah dan dijamin
kepastiannya oleh hukum serta di muka pengadilan. Sertipikat tanah adalah alat bukti kuat
namun bukan berarti tidak tergoyahkan. Mahkamah Agung Republik Indonesia
berpendapat yakni dalam putusannya tanggal 18 September 1975 Nomor 459 K/Sip/1975
menegaskan bahwa:
Mengingat stelsel negatif tentang register/pendaftaran tanah yang berlaku di
Indonesia, maka terdaftarnya nama seseorang di dalam register bukanlah berarti absolut
menjadi pemilik tanah tersebut apabila ketidakabsahannya dapat dibuktikan oleh pihak
lain.
Dengan demikian maka sampai dibuktikan sebaliknya, sertipikat dianggap sah dan
memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah. Dalam PP 24/1997
diberikan penegasan mengenai sejauh mana kekuatan pembuktian sertipikat, yang
dinyatakan sebagai alat pembuktian yang kuat oleh UUPA. Untuk itu diberikan ketentuan
bahwa selama belum dibuktikan yang sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang
dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam
perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di Pengadilan, sepanjang data
tersebut sesuai dengan apa yang tercantum dalam surat ukur dan buku tanah yang
bersangkutan, dan bahwa orang tidak dapat menuntut tanah yang sudah bersertipikat
atas nama orang atau badan hukum lain, jika selama lima tahun sejak dikeluarkan
sertipikat itu dia tidak boleh mengajukan gugatan pada Pengadilan, sedangkan tanah
tersebut diperoleh orang atau badan hukum lain tersebut dengan itikad baik dan secara
fisik nyata dikuasai olehnya atau oleh orang lain atau badan hukum yang mendapat
persetujuannya.
Berdasarkan uraian di atas, maka harus dibuktikan terlebih dahulu apakah
berdasarkan bukti-bukti yang diperiksa di muka pengadilan terdapat bukti yang
menyanggah kepemilikan dari Jafar. Sebagaimana yang telah diuraikan dalam sub bab
alat bukti para pihak, alat bukti yang terkuat merupakan alat bukti tulisan. Berdasarkan
bukti yang diajukan pihak lawan dari Jafar, tidak terdapat satupun bukti auntentik yang
menunjukkan bahwa PT Jasari merupakan pemilik dari Objek Sengketa. Maka dengan
demikian, secara bukti yang diberikan oleh para pihak Objek Sengketa merupakan milik
dari Jafar. Namun, hal yang harus diperhatikan lebih lanjut adalah bahwa Jafar membeli
Objek Sengketa tersebut pada saat dalam ikatan perkawinan dengan Mira Yanti dan
diketahui bahwa tidak ada perjanjian perkawinan yang diadakan di antara mereka.
Berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan, harta benda yang dibeli
dalam perkawinan merupakan harta bersama suami dan istri. Sehingga dalam hal ini nyata
bahwa kepemilikan sertifikat Objek Sengketa belum tentu menunjukkan kepemilikan
seluruhnya terhadap suatu tanah melainkan harus dilihat kembali status perkawinan dari
pemilik sertifikat. Dengan demikian, status kepemilikan Objek Sengketa tersebut
merupakan harta bersama antara Jafar dan Mira Yanti.
Kemudian mengingat keterkaitan kasus ini dengan kedudukan Jafar sebagai
Direktur Utama PT Jasari, haruslah ditinjau juga berdasarkan hukum perseroan
khususnya mengenai kapasitas Jafar dalam melakukan transaksi pembelian Objek
Sengketa. Analisa terhadap ketentuan-ketentuan hukum tersebut akan dihubungkan
dengan pernyataan, fakta dan/atau bukti yang ditemukan dalam putusan sebagai berikut:
1) Kapasitas Jafar dalam Pembelian Objek Sengketa
15
Sesuai dengan pembahasan di bagian sebelumnya mengenai syarat dan pelaksanaan
jual beli tanah, dalam jual beli harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal
1320 KUHPerdata antara lain sepakat, cakap, mengenai hal tertentu dan sebab yang
halal. Untuk mengetahui apakah syarat tersebut telah terpenuhi, tentunya harus
diketahui dahulu identitas para pihak yang bertransaksi dan kapasitas atau
kedudukannya dalam melakukan transaksi. Dalam Posita poin 9 gugatan, Penggugat
menyatakan bahwa dalam pembelian tersebut Jafar sebagai Direktur Utama PT Jasari
bertindak dan untuk dan atas nama PT Jasari. Bila seorang Direktur Utama bertindak
untuk dan atas nama perseroan dalam suatu transaksi, maka sesungguhnya yang
melakukan transaksi tersebut adalah perseroan dan bukan pihak yang mewakili.
Penggugat tidak dapat menunjukkan akta jual beli yang mendukung pernyataan
tersebut. Apabila dilihat dari logika hukum yang mengacu pada peraturan perundang-
undangan agraria, maka pernyataan tersebut bertentangan dengan hukum. Hal ini
mengingat tanah hak milik hanya bisa dimiliki oleh WNI dan bukan perseroan
sehingga tidaklah mungkin terdapat pihak yang dalam kapasitasnya mewakili
perseroan dalam akta jual beli tanah hak milik tersebut. Para pihak dalam akta jual beli
tersebut seharusnya dilakukan antar WNI atau para pihak yang diberi kuasa oleh WNI
lain. Dalam Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016, tidak secara jelas dijabarkan mengenai
proses transaksi jual beli antara Jafar dan para pemilik Objek Sengketa. Tanah yang
menjadi objek dari jual beli apabila sudah terjadi transaksi jual beli maka secara
otomatis menjadi hak dari pembeli, permasalahan akan muncul apakah pembeli
tersebut berhak atau tidak terhadap hak atas tanah yang dibelinya. Hal yang diketahui
adalah bahwa sertifikat-sertifikat atas Objek Sengketa tersebut beratasnamakan Jafar.
Sertifikat hak milik tersebut menunjukkan bahwa pihak yang mengadakan transaksi
merupakan Jafar sendiri dan bukan dilakukan atas nama perseroan karena tidak
mungkin BPN menerbitkan sertifikat hak milik untuk perseroan. Kemudian apabila
kita merujuk kepada syarat sahnya jual beli tanah secara materiil sebagaimana telah
dijelaskan di atas bahwa pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan, maka
tidak mungkinlah transaksi jual beli Objek Sengketa tersebut diadakan antara PT Jasari
dan penjual Objek Sengketa. Hal ini dikarenakan seluruh sertifikat merupakan
sertifikat Hak Milik yang menandakan status hak atas Objek Sengketa merupakan
tanah Hak Milik dimana berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa
hanya WNI yang dapat memperoleh Hak Milik. Maka pernyataan penggugat yang
menyatakan bahwa tanah tersebut dibeli untuk dan atas nama PT Jasari secara yuridis
dan de jure dapat dibantahkan, karena PT Jasari tidak berhak menjadi pembeli hak atas
tanah Hak Milik.
2) Sumber Pendanaan Pembelian Objek Sengketa
Dalam perkara ini, penggugat menyatakan dalil bahwa pembelian Objek Sengketa
menggunakan dana perseroan namun penggugat tidak dapat menunjukkan bukti
laporan keuangan yang menyatakan hal tersebut maupun bukti yang menunjukkan
bahwa PT Jasari telah melakukan pemindahbukuan rekening kepada Jafar untuk
membeli Objek Sengketa. Bahkan RUPS untuk membeli tanah Objek Sengketa tidak
pernah diadakan oleh PT Jasari. Dalam hal ini terdapat kontradiksi antara pernyataan
Jafar dan kondisi perseroan PT Jasari. Apabila Jafar membeli Objek Sengketa
menggunakan dana perseroan, sudah jelas Jafar sebagai Direktur Utama perseroan
bertanggung jawab untuk menyatakannya dalam laporan keuangan. Apabila
pembelian tersebut memang benar menggunakan dana perseroan, maka dapat
16
dikatakan bahwa Jafar sebagai Direktur Utama PT Jasari telah lalai dalam melakukan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai anggota Direksi perseroan dan telah terjadi
perbuatan melawan hukum bahkan dapat ditarik ke jalur pidana terkait perbuatan
penggelapan. Dikatakan dalam jalur pidana ialah karena Jafar dapat dituntut
melakukan penggelapan dalam jabatannya sesuai dengan Pasal 374 Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) apabila dapat dibuktikan bahwa sumber biaya
pembelian Objek Sengketa berasal dari PT Jasari dan secara nyata ia sengaja atau
menunda-nunda tidak melakukan upaya balik nama agar Objek Sengketa menjadi
milik PT Jasari. Adapun isi dari Pasal 374 KUHP tersebut ialah bahwa penggelapan
yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena
ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun. Dihubungkan dengan unsur-
unsur dalam pasal tersebut, Jafar memang melakukan penguasaan terhadap barang dan
adanya hubungan kerja antara Jafar dengan PT Jasari. Namun dalam hal ini tidak
terdapat bukti yang menunjukan sumber pendanaan pembelian Objek Sengketa berasal
dari PT Jasari. Apabila memang benar Objek Sengketa tersebut akan diperuntukkan
sebagai aset PT Jasari, seharusnya Jafar membuat upaya tertentu agar rencana tersebut
direalisasikan. Salah satu upaya tertentu disini adalah:
1. Mengadakan RUPS untuk menyetujui pembelian Objek Sengketa. RUPS ini
kemudian dapat menyetujui bahwa pembelian Objek Sengketa dilakukan atas nama
Direktur Utama untuk sementara dan bahwa akan dibaliknama kemudian menjadi
atas nama PT Jasari setelah dilakukannya penurunan hak atas tanah Objek Sengketa
dari Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau hak yang dapat dimiliki oleh
badan hukum perseroan.
2. Membuat surat pernyataan dari Jafar sebagai Direktur Utama perseroan ke PT Jasari
yang dapat menyatakan:
(i) Bahwa pembelian tanah tersebut menggunakan memang benar menggunakan
dana perseroan.
(ii) Bahwa pembelian tanah dilakukan atas nama Direktur Utama Jafar dalam
waktu sementara untuk mempermudah administrasi jual beli Objek Sengketa
yang mana merupakan tanah Hak Milik yang tidak dapat dimiliki perseroan.
(iii) Bahwa Direktur Utama Jafar akan berupaya semaksimal mungkin untuk segera
mengurus penurunan hak atas Objek Sengketa tersebut dari Hak Milik menjadi
Hak Guna Bangunan dan melaksanakan balik nama Objek Sengketa yang
semula atas nama Jafar menjadi atas nama perseroan.
Apabila Direktur Utama Jafar memang bertujuan untuk menjadikan aset tersebut
menjadi aset perseroan, dengan dilakukannya upaya-upaya tersebut di atas, maka
Direktur Utama Jafar dapat dinyatakan mempunyai itikad baik untuk mengamankan
aset perseroan. Hal yang menjadi masalah adalah pernyataan tersebut tidak sesuai
dengan fakta yang terjadi dalam perseroan. Dengan tidak adanya upaya tertentu oleh
PT Jasari untuk menjadikan Objek Sengketa menjadi aset perseroan serta tidak adanya
bukti otentik yang dimiliki perseroan, maka fakta tersebut tidak menunjukkan adanya
itikad PT Jasari untuk membeli dan menguasai Objek Sengketa.
3) Alat Bukti Otentik Sehubungan Dengan Pembelian Objek Sengketa
Berdasarkan Pasal 1867 KUHPerdata, pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan
tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-tulisan dibawah tangan. Kemudian
perihal bukti tulisan, dalam hukum pembuktian dikenal tiga jenis surat, yaitu akta
17
otentik, akta dibawah tangan dan surat bukan akta. Baik akta otentik maupun akta
dibawah tangan dibuat dengan tujuan sebagai alat bukti. Perbedaan yang penting
antara kedua jenis bukti tulisan tersebut, yaitu dalam nilai pembuktian, akta otentik
mempunyai pembuktian yang sempurna.
Sebagaimana telah diuraikan dalam pembagian sebelumnya bahwa berdasarkan Pasal
1 angka 20 UUPA, sertipikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana di dalam Pasal
19 ayat (2) huruf c UUPA untuk hak atas tanah, pengelolaan, tanah wakaf, hak milik
atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan
dalam buku tanah yang bcrsangkutan. Kemudian dalam Pasal 4 UUPA dinyatakan
bahwa Untuk memberikan kepastian dan perlindungan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf a kepada pemegang hak yang bersangkutan diberikan Sertifikat
Hak atas Tanah. Sertifikat diterbitkan Badan Pertanahan Nasional yang didalamnya
memuat data fisik dan data yuridis suatu bidang tanah tertentu. Data fisik berkenaan
dengan letak, batas dan luas bidang tanah. Sedangkan data yuridis berkenaan dengan
subyek hak, alas hak dan pembebanan hak atas tanah. Data tersebut diperoleh dari
pemohon sertifikat dan pemeriksaan oleh BPN melalui proses pendaftaran tanah.
Karena itu dalam kaitannya dengan alat-alat bukti dalam proses peradilan perdata
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 HIR/284 RBg dan Pasal 1866 KUH Perdata
serta berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam UUPA maka sertifikat berstatus sebagai
bukti surat yang berkualifikasi sebagai akta otentik.
Dalam perkara ini, alat bukti otentik yang ditemukan hanyalah berupa sertikat hak
milik atas nama Jafar. Tidak ada bukti otentik yang dapat diberikan oleh Penggugat
untuk membuktikan Objek Sengketa merupakan milik PT Jasari. Tidak ada alat bukti
seperti Berita Acara Rapat RUPS atau Akta Pernyatan Keputusan Rapat PT Jasari yang
menyatakan akan membeli Objek Sengketa maupun bukti diadakannya RUPS
Tahunan yang seharusnya menyajikan laporan keuangan dikeluarkannya dana
perseroan untuk membeli Objek Sengketa. Tidak ada juga alat bukti otentik seperti
Akta Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menunjukkan terjadinya pemasukan Objek
Sengketa ke dalam PT Jasari sebagaimana yang menjadi salah satu pertimbangan
Majelis Hakim pada tingkat pertama. Bukti yang diajukan Penggugat hanya berupa 2
(dua) orang saksi sebagai calon pembeli dan penggugat mengaitkannya dengan brosur
yang diedarkan oleh tim pemasaran PT Jasari bahwa PT Jasari berniat untuk menjual
tanah tersebut ke pembeli. Bukti tersebut tidaklah cukup membuktikan kepemilikan
oleh PT Jasari. Berdasarkan uraian di atas, maka jelas bahwa Objek Sengketa
merupakan milik dari Jafar dan merupakan harta bersama Jafar dengan istrinya Mira
Yanti.
Dalam kasus Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016, secara yuridis tanah tersebut
merupakan milik dari Direktur Utama PT Jasari yaitu Jafar. Namun terlihat jelas juga
bahwa tanah yang dibeli atas nama Direktur Utama tersebut digunakan dan dikuasai oleh
PT Jasari dalam mewujudkan kegiatan usahanya sebagai perusahaan pembangunan
perumahan. Berikut beberapa akibat pembelian Objek Sengketa atas nama direktur utama
untuk kepentingan perusahaan pengembang:
1) Objek Sengketa Jatuh ke Ahli Waris Dan Tidak Dapat Dikuasai dan Digunakan oleh
PT Jasari Apabila Direktur Utama Meninggal Dunia
Di dalam praktik, memang banyak dijumpai kondisi dimana pihak perseroan ingin
membeli sebidang tanah, dimana sertifikatnya berstatus Hak Milik. Karena perseroan
menginginkan agar tanah tersebut tetap berstatus Hak Milik, perseroan tanah tersebut
18
di atas namakan kepada salah seorang pemegang saham atau direksi. Walaupun ini
sering dilakukan dalam praktik dan yang dalam kasus ini dilakukan oleh PT Jasari,
namun akan berakibat jika ternyata direksi di kemudian hari meninggal dunia, tanah
secara hukum akan menjadi milik dan terdaftar atas nama ahli waris. Jika di
kemudian hari ahli waris menolak untuk menandatangani akta pengalihan ataupun
pengakuan terhadap Objek Sengketa, maka hal ini akan menimbulkan kesulitan baru
bagi PT Jasari. Apabila PT Jasari ingin menjadikan Objek Sengketa menjadi
kekayaan perseroan, seharusnya tanah milik direksi tersebut haknya diturunkan
terlebih dahulu menjadi Hak Guna Bangunan, barulah dilakukan jual beli langsung
ke atas nama PT Jasari. Kondisi demikian juga memberikan hak kepada PT Jasari
tersebut untuk memasukkan pembelian aset dimaksud sebagai aset dalam laporan
keuangan PT Jasari. Hal ini lebih aman dan bebas dari potensi risiko di kemudian
hari.
2) Objek Sengketa Tidak Menjadi Boedel Pailit Apabila Perseroan Dinyatakan Pailit
yang Menyebabkan Potensi Kerugian Bagi Kreditur Perseroan
Apabila di kemudian hari PT Jasari dinyatakan pailit, maka harta perusahaan akan
masuk ke dalam budel pailit (sita umum harta debitor), hanya harta yang
dikategorikan sebagai boedel pailitlah yang bisa dieksekusi untuk membayar hutang-
hutang krediturnya dan harta di luar itu tidak. Harta yang masuk dalam boedel pailit
hanyalah harta yang sudah terdaftar atas nama PT Jasari. Ketentuan pasal 21 ayat (2)
UUPA yang menyatakan bahwa hanya WNI yang dapat memperoleh hak milik jo.
PP 38/1963 yang menentukan badan hukum yang boleh memiliki hak mili telah
menutup kemungkinan kepemilikan tanah Hak Milik atas nama PT Jasari. Ketentuan
di atas tidak terlalu bermasalah bagi badan hukum pada umumnya, tapi bermasalah
untuk PT Jasari sebagai perusahaan pengembang. Mengingat perusahaan
pengembang fokus utamanya adalah pada jual beli bangunan, dan tanah menjadi
sesuatu yang tidak bisa dipisahkan meskipun asas hukum agraria menganut
pemisahan horisontal. PP 38/1963 telah menyebutkan badan hukum tertentu yang
bisa mempunyai hak milik atas tanah yakni bank-bank negara, perkumpulan-
perkumpulan koperasi pertanian, badan-badan keagamaan dan badan-badan sosial,
tidak ada perseroan terbatas yang termasuk kedalamnya. Dengan demikian tanah-
tanah milik perusahaan pengembang yang masih diatasnamakan direksinya, tidak
akan masuk ke dalam boudel pailit, sehingga tidak turut menjadi pertimbangan di
dalam pemberesan harta pailit perusahaan. Kreditur-kreditur akan sangat dirugikan
jika PT Jasari dipailitkan.
2.4. Analisa Akibat Perceraian Terhadap Objek Sengketa
Perceraian menimbulkan akibat hukum terhadap anak dan harta kekayaan. Dampak
pada harta kekayaan tersebut, selain membawa akibat di antara suami istri, juga dapat
menimbulkan dampak kepada pihak ketiga yang akan melakukan perikatan atau
mempunyai hubungan kausa dengan harta kekayaan suami istri dalam perkawinan.
Dalam bagian ini akan dibahas kedua akibat tersebut. Objek Sengketa dibeli oleh Jafar
ketika masih terikat dalam perkawinan yang sah sehingga apabila menurut Pasal 1 huruf
f KHI yang menyatakan bahwa harta kekayaan dalam perkawinan atau syirkah adalah
harta yang diperoleh baik sendiri-sendiri atau bersama-sama suami istri selama dalam
ikatan perkawinan berlangsung, dan selanjutnya disebut harta bersama tanpa
mempersoalkan terdaftara atas nama siapapun, maka Objek Sengketa dapat dikategorikan
19
sebagai harta bersama. Jafar dan Mira Yanti melangsungkan perkawinan yang didasarkan
pada Hukum Islam sehingga acuan pembagian harta bersama haruslah merujuk pada
ketentuan Hukum Islam.
Al-Quran maupun Hadist Nabi tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang
diperoleh selama dalam hubungan perkawinan menjadi milik suami sepenuhnya, dan juga
tidak menjelaskan dengan tegas bahwa harta yang diperoleh selama dalam hubungan
perkawinan itu menjadi milik bersama. Sehingga masalah ini merupakan masalah yang
perlu ditentukan dengan cara ijtihad yaitu penggunaan akal pikiran manusia dengan
sendirinya hasil pemikiran itu sesuai dan bersumber dengan jiwa ajaran Islam. Akan tetapi
apabila keperluan rumah tangga diperoleh karena usaha bersama antara suami dan istri,
maka dengan sendirinya harta yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.
Besar atau kecilnya harta yang menjadi bagian suami atau istri bergantung kepada banyak
atau sedikitnya usaha yang mereka lakukan dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga
itu. Kalau usahanya sama kuat, maka harta yang dimiliki oleh masing-masing pihak
adalah seimbang, tetapi kalau suami lebih banyak usahanya daripada istri, maka hak
suami juga lebih besar dari hak istri, demikian pula sebaliknya. Apabila dihubungkan
dengan kasus ini, Jafarn dan Mira Yanti bersama-sama merupakan Direksi dan pemegang
saham PT Jasari. Dengan fakta tersebut, dapat dikatakan bahwa mereka mempunyai andil
dan usaha terhadap harta benda dalam perkawinan. Sehingga harta benda dalam
perkawinan, yang dalam hal ini adalah Objek Sengketa, bukanlah milik Jafar sepenuhnya.
Akibat perceraian terhadap harta bersama menurut Hukum Islam secara tertulis
dalam hukum positif ditentukan dalam Pasal 97 Kompilasi Hukum Islam yang
menyatakan janda atau duda cerai masing-masing berhak seperdua dari harta bersama
sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan. Terhadap harta bersama,
Pasal 88 KHI menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan antara suami istri tentang
harta bersama, maka penyelesaian perselisihan itu diajukan kepada Pengadilan Agama.
Berdasarkan ketentuan tersebut, untuk dapat menentukan mana yang hartab bersama atau
tidak maka suami istri dapat memperkarakannya di pengadilan agama. Apabila sudah
mendapat putusan pengadilan mana yang menjadi harta bersama, hal itu dapat menjadi
petunjuk untuk pembagian harta bersama sebanyak seperdua masing-masing suami istri
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 97 KHI.
Berdasarkan Pasal 78 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo. Pasal 49 dan 50
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menegaskan
bahwa apabila terjadi sengketa mengenai kepemilikan atas suatu benda oleh orang-orang
yang beragama Islam maka wewenang Pengadilan Agama untuk memutuskan sengketa
milik atau keperdataan lain yang terikat dengan objek sengketa yang apabila subjeknya
antara orang-orang yang beragama Islam. Oleh karena masalah harta benda yang
disengketakan oleh Jafar dan Mira Yanti sebagai adanya hubungan sebab dan akibat dan
dengan adanya perceraian sebelumnya yang diputuskan sebelumnya di Pengadilan
Agama Medan maka dengan sendirinya secara absolut merupakan kewenangan
Pengadilan Agama untuk pembuktiannya atau mengadili mengenai harta bersama ini.
Pembuktian dan penyelesaian yang diserahkan kepada Pengadilan Agama tentunya
akan merujuk pada hukum Islam. Berdasarkan kasus Putusan Nomor 2705/K/Pdt/2016,
Objek Sengketa tersebut diperoleh dalam ikatan perkawinan Jafar dan Mira yanti. Dalam
perkawinan mereka tidak dinyatakan bahwa mereka mengadakan perjanjian perkawinan.
Sehingga apabila tidak ada perjanjian perkawinan maka penyelesaian mengenai harta
20
bersama merujuk pada ketentuan Hukum Islam. Apabila kita merujuk pada pasal Pasal 1
huruf f KHI jo. Pasal 97 KHI, Objek Sengketa masuk ke dalam kategori harta bersama
dan terjadinya perceraian mengakibatkan Objek Sengketa harus dibagi dua antara Jafar
dan Mira Yanti. Berdasarkan perkembangannya, perkara harta bersama di antara mereka
telah diputus dalam tingkat pertama Putusan Pengadilan Agama Medan Nomor
183/Pdt.G/2013/PA.Mdn dan pada tingkat banding oleh Pengadilan Tinggi Medan
Nomor 6/Pdt.G/2014/PTA-Mdn.
Selain dari akibat perceraian suami istri terhadap harta kekayaan, maka terdapat
lagi akibat terhadap pihak ketiga, khususnya dalam hal ini mengingat Objek Sengketa
digunakan oleh PT Jasari untuk kepentingan kegiatan usahanya. Apabila melihat bidang
usaha PT Jasari yang bergerak di bidang pembangunan perumahan dan penjualan unit-
unit bidang tanah serta rumah dimana objek usaha dari PT Jasari adalah Objek Sengketa,
maka akan terdapat akibat perceraian dalam penjualan bidang tanah atau rumah tersebut
kepada pihak ketiga. Dalam hal belum dilakukan penyelesaian terhadap harta bersama,
maka apabila PT Jasari melalui Jafar ingin menjual salah satu atau seluruh Objek
Sengketa, maka haruslah diperoleh persetujuan Mira Yanti. Hal ini dikarenakan Mira
Yanti mempunyai hak terhadap Objek Sengketa tersebut sebagai bagian dari harta
bersama dirinya dengan Jafar. Kemudian apabila telah diselesaikan permasalahan
mengenai harta bersama dan sebagian Objek Sengketa jatuh ke tangan Mira Yanti, maka
Jafar sebagai anggota Direksi perseroan tidak berwenang untuk menjual tanah yang telah
menjadi hak Mira Yanti tersebut kepada pihak ketiga.
2.5. Analisa Pertimbangan Hakim dalam Putusan Nomor 2705 K/Pdt/2016 serta
Putusan Judex Facti
Berikut adalah analisa terhadap alasan-alasan dalam memori kasasi pertimbangan
hakim dalam Judex Facti:
1) Judex Facti telah salah dan keliru dalam menafsirkan dan menginterpretasikan
peraturan tentang pertanahan dan peralihan hak atas tanah sehingga bertentangan
dengan Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah. Ketentuan yang diipretasikan secara keliru oleh Judex Facti
adalah Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA, Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997 serta PP 37/1998
tentang PPAT. Dalam hal ini, Majelis Hakim dalam tingkat pertama
mengesampingkan fakta hukum bahwa tanda bukti sertipikat merupakan alat
pembuktian yang kuat sebagaimana dimaksud Pasal 19 ayat (2) huruf c Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Majelis
hakim menyatakan bahwa tanah beserta bangunan adalah milik PT Jasari namun tidak
merujuk pada bukti otentik yang kuat dimana tidak adanya sertifikat atau akta PPAT
seperti Akta Jual Beli, Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan, bahwa Objek Sengketa
merupakan milik PT Jasari. Bukti Sertifikat Hak Milik atas nama Jafar adalah bukti
yang kuat bahwa Objek Sengketa bukan milik Jafar melainkan PT Jasari.
2) Judex Facti mengenyampingkan ketentuan mengenal pengalihan hak atas tanah wajib
dibuktikan dengan Akta Notaris menurut Pasal 37 ayat (1) Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997
menyatakan bahwa atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli,
21
tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum
pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat
didaftarkan jika dapat dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang
menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam perkara tidak
ada alat bukti yang membuktikan peralihan hak atas tanah dari Jafar ke PT Jasari baik
itu peralihan secara jual beli maupun peralihan dalam bentuk inbreng (pemasukan
tanah ke dalam perusahaan).
3) Judex Facti telah salah dan keliru dalam menafsirkan dan menginterpretasikan Undang
Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas khususnya tentang
pemasukan aset ke dalam perusahaan (inbreng) dimana Judex Facti
mengesampingkan fakta hukum bahwa proses pembelian dan pemasukan aset
(inbreng) Kepada PT Jasari tidak pernah dilakukan. Bahwa Majelis Hakim pada
tingkat pertama mempertimbangkan bahwa tanah tersebut menjadi inbreng dari Jafar
ke PT Jasari namun tidak ada bukti berupa bahwa pernah dilangsungkannya RUPS
untuk menyetujui inbreng Objek Sengketa tersebut tidak pernah dilakukan dilakukan
sama sekali dan tidak ada ditandatanganinya Akta Pemasukan dalam Perusahaan yang
dibuat oleh PPAT. Apabila dilihat dari kewenangan pemegang hak atas tanahnya, PT
Jasari seharusnya tidak secara langsung dapat memiliki tanah tersebut karena statusnya
yang adalah Hak Milik. Hak Milik atas tanah yang dialihkan melalui penyertaan
kedalam perusahaan harus terlebih dahulu diturunkan haknya menjadi hak guna
bangunan agar Perseroan Terbatas sebagai menjadi subyek hukum yang menerima
peralihan hak tersebut memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang
sebagai pemegang hak atas tanah. Tidak dipenuhinya persyaratan tersebut
menyebabkan terjadinya cacat administrasi yang dapat mengakibatkan dibatalkannya
hak atas tanah yang bersangkutan dan status tanah menjadi tanah negara.
4) Judex Facti telah salah dalam membuktikan karena pembelian 2 (dua) bidang tanah
beserta rumah yang dibeli oleh 2 (dua) orang saksi yaitu Mutiadi, S.Ps i. dan H. Abdul
Rahim, S.Ag. sebagai Pembeli dan dikaitkan dengan brosur yang diedarkan bagian
pemasaran PT Jasari. Dalam sidang pembuktian, Penggugat menghadirkan Mutiadi
dan Abdul Rahim dimana mereka memberikan keterangan bahwa masing-masing
mereka adalah selaku pembeli bidang tanah di komplek Jasica Asri Lubuk Pakam yang
merupakan salah satu Objek Sengketa, menerangkan bahwa mereka membeli
perumahan di Komplek Jasica Asri setelah mendapat brosur yang diedarkan bahagian
marketing PT. Jasica Asri ke kantor saksi lalu saksi tertarik dan setelah melihat lokasi
lalu berbicara dengan bahagian marketing bernama Anto dan memesan salah satu
rumah yang ada di Komplek Jasica Asri melalui Anto dan bukan melalui Jafar dan saat
ini telah melunasi pembelian rumah tersebut. Saksi yang membeli 2 (dua) tanah beserta
bangunan di atasnya tersebut bukan berarti kepemilikan atas rumah beserta bangunan
yang berdiri di atasnya tersebut adalah milik PT. Jasari. Bukan berarti mereka yang
menawarkan rumah merupakan pemilik sah rumah tersebut karena bukti kepemilikan
atas suatu alas hak adalah dapat dilihat dari nama pemegang hak Sertifikat Hak Milik
tersebut berdasarkan Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
5) Mahkamah Agung memutuskan mengabulkan permohonan kasasi dari Mira Yanti dan
membatalkan putusan pengadilan tingkat pertama yaitu Putusan Pengadilan Negeri
22
Medan Nomor 163/Pdt.G/2012/PN Mdn dan putusan tingkat banding Putusan
Pengadilan Tinggi Medan Nomor 183/Pdt/2014/PT Mdn. Mahkamah Agung
mempertimbangkan bahwa alasan-alasan yang dikemukakan Pemohon Kasasi Mira
Yanti dapat dibenarkan dan Judex Facti telah salah menerapkan hukum. Dalam hal ini
penulis sependapat dengan putusan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung memang
tidak menyatakan Objek Sengketa merupakan milik Jafar karena harus dibuktikan
lebih lanjut dalam Pengadilan Agama yang berwenang memutuskan pembagian
mengenai Objek Sengketa.
3. PENUTUP
3.1. Simpulan
Simpulan yang dapat penulis berikan terhadap penelitian ini antara lain:
1. Status kepemilikan tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur utama yang terikat
dalam perkawinan yang dikuasai dan digunakan untuk kegiatan usaha perseroan secara
yuridis merupakan milik direktur utama dan istrinya. Hal ini dikarenakan sertifikat
tanah beratasnamakan direktur utama dan tidak terdapat satu bukti tulisan termasuk
bukti autentik yang dapat membuktikkan tanah tersebut merupakan milik perseroan
walaupun tanah tersebut dikuasai dan digunakan oleh perseroan. Hal ini sesuai dengan
Pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA jo. Pasal 32 ayat (1) PP 24/1997 tentang Pendaftaran
Tanah yang menyatakan bahwa sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya. Walaupun sertifikat
beratasnamakan direktur utama, tanah tersebut menjadi harta bersama direktur utama
dan istrinya karena tanah dibeli pada saat dalam ikatan perkawinan dimana hal ini
sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.
2. Akibat putusnya perkawinan terhadap tanah yang dibeli secara pribadi oleh direktur
utama yang terikat dalam perkawinan adalah tanah tersebut menjadi objek pembagian
harta bersama direktur utama dengan istrinya. Direktur utama dan istrinya tidak
membuat perjanjian perkawinan sehingga pembagian harta bersama dilakukan sesuai
dengan Pasal 37 Undang-Undang Perkawinan jo. Pasal 97 KHI dimana apabila terjadi
perceraian maka harta bersama tersebut dibagi seperdua di antara suami istri.
3.2. Saran
Saran yang dapat penulis berikan atas hasil penelitian ini antara lain:
1. Dalam sengketa mengenai kepemilikan tanah, hakim baik dalam tingkat pertama
sampai pada tingkat kasasi seharusnya memutus perkara dengan melihat kewenangan
pemegang hak atas tanah serta mempertimbangkan alat-alat bukti yang sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Bukti kepemilikan hak atas tanah tidak hanya dilihat
dari sertipikat kepemilikan tanah melainkan dilihat kewenangannya berdasarkan akta
jual beli atau akta lain yang menjadi dasar perolehannya.
2. Bahwa aset yang dibeli perseroan baik berupa barang bergerak maupun barang tidak
bergerak berupa sertifikat hak milik agar dibeli langsung atas nama perseroan terbatas
sehingga kepemilikannya menjadi sempurna serta menghindari upaya berupa
perjanjian pinjam nama.
23
DAFTAR REFERENSI
A. Peraturan Perundang-Undangan
Indonesia. Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No. 5
Tahun 1960, LN No. 104 Tahun 1960, TLN No. 2043.
_____. Undang-Undang Perseroan Terbatas, UU No. 40 Tahun 2007, LN No. 106 Tahun
2007, TLN No. 4756.
_____. Undang-Undang Tentang Peradilan Agama, No. 7 Tahun 1989, LN No. 49, TLN
No. 3400.
_____. Peraturan Pemerintah Tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 24 Tahun 1997, LN
No. 59 Tahun 1997, TLN No. 3696
_____. Peraturan Pemerintah tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP No. 37 Tahun
1998, LN No. 52 Tahun 1998, TLN No. 3746.
_____. Instruksi Presiden Republik Indonesia Tentang Penyebarluasan Kompilasi
Hukum Islam, No. 1 Tahun 1991.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti dan R. Tjitrosudibio. Cet. 37. Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2013.
B. Buku
Asyhadie, Zaeni. Hukum Bisnis: Prinsip & Pelaksanaanya di Indonesia. Jakarta:
Rajawali Pers, 2009.
Djais, Mochamad. Hukum Harta Kekayaan Dalam Perkawinan. Semarang: Fakultas
Hukum Universitas Diponegoro, 2003.
Hamid, Zahri. Pokok-Pokok Hukum Perkawinan Islam dan UU Perkawinan di Indonesia.
Jakarta: Bina Cipta, 1999.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Universitas Trisakti, 2016.
Munir, Fuady. Doktrin-Doktrin Modern dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam
Hukum Indonesia, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
Prasetya, Rudhi. Kedudukan Mandiri Perseroan Terbatas. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1996.
Purba, Orinton. Petunjuk Praktis Bagi RUPS, Komisaris dan Direksi Perseroan Terbatas
agar Terhindar dari Jerat Hukum. Jakarta: Raih Asa Sukses, 2012.
Samudra, Teguh. Hukum Pembuktian Dalam Acara Perdata. Bandung: Penerbit Alumni,
2004.
Satrio, J. Hukum Harta Perkawinan. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1993.
Susanto, Happy. Pembagian Harta Gono-Gini Setelah Terjadinya Perceraian. Bandung:
Alumni, 2005.
Syahrani, H. Riduan. Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata. Bandung: PT Citra
Aditya Bakti, 2004.
24
Yani, dan Widjaya Gunawan. Seri Hukum Bisnis Perseroan Terbatas. Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2008.
C. ARTIKEL
Mokodompit, Zulfiqar. “Penerapan Hukum Positif Terhadap Harta Gono-Gini
Dihubungkan Dengan Hukum Islam”. Lex Administratum (Agustus 2015 Volume
III Nomor 6). Hlm. 165-172.