status ujian
DESCRIPTION
..TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
Penyakit jantung merupakan salah satu masalah utama bagi kesehatan
dunia. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mencatat sekitar 20 juta orang pertahun
meninggal karena penyakit jantung. Penyakit ini tidak hanya terjadi di negara
maju tetapi juga terjadi di negara berkembang (1).
Data epidemiologi untuk gagal jantung di Indonesia belum ada, namun ada
Survei Kesehatan Nasional 2003 dikatakan bahwa penyakit sistem sirkulasi
merupakan penyebab kematian utama di Indonesia (26,4%) dan pada Profil
Kesehatan Indonesia 2003 disebutkan bahwa penyakit jantung berada di urutan
ke-delapan (2,8%) pada 10 penyakit penyebab kematian terbanyak di rumah sakit
di Indonesia.2 Di antara 10 penyakit terbanyak pada sistem sirkulasi darah, stroke
tidak berdarahah atau infark menduduki urutan penyebab kematian utama, yaitu
sebesar 27 % (2002), 30%( 2003) , dan 23,2%( 2004). Gagal jantung menempati
urutan ke-5 sebagai penyebab kematian yang terbanyak pada sistim sirkulasi pada
tahun 2005 (2).
Gagal jantung kongestif merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit
jantung dan merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas
pasien jantung. Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di
rumah sakit, 4,7% wanita dan 5,1% laki-laki mengalami gagal jantung.
Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 – 3,7 perseribu
penderita pertahun (3).
Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh
atanu kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung
yang tinggi atau kedua-duanya.
Saat ini gagal jantung kongestif merupakan satu – satunya penyakit
kardiovaskuler yang meningkat insidensi dan prevalensinya. Data dan Riset
Kesehatan Dasar Tahun 2007 menyebutkan bahwa gagal jantung merupakan
penyebab kematian terbanyak pasien yang dirawat di rumah sakit. (4).
1
Penyakit gagal jantung kongestif meningkat sesuai dengan usia, 1% pada
usia kurang dari 50 tahun, 5% pada usia 50 sampai 70 tahun dan 10% pada usia
70 tahun ke atas. Penyakit gagal jantung mempunyai prognosis yang buruk jika
tidak ditangani penyebab yang mendasarinya dengan segera, hampir 50 %
penderita meninggal dalam 4 tahun (4).
Oleh karena itu, manajemen gagal jantung kongestif telah berkembang
menjadi sebuah disiplin yang terus bertambah. Perkembangan terkini
memungkinkan untuk mengenali gagal jantung secara dini serta
perkembangan pengobatan yang memeperbaiki gejala klinis, kualitas hidup,
penurunan angka perawatan, memperlambat progresifitas penyakit dan
meningkatkan kelangsungan hidup.
2
BAB IITINJAUAN PUSTAKA
Gagal jantung adalah keadaan dimana jantung tidak lagi dapat
memompakan cukup darah ke jaringan tubuh. Keadaan ini dapat timbul dengan
atau tanpa penyakit jantung.Gangguan fungsi jantung dapat berupa gangguan
fungsi diastolik atau sistolik, gangguan irama jantung, atau ketidaksesuaian
preload dan afterload, keadaan ini dapat menyebabkan kematian pada pasien.
Gagal jantung susah dikenali secara klinis, karena beragamnya keadaan
klinis serta tidak spesifik serta hanya sedikit tanda – tanda klinis pada tahap
awal penyakit (2,5).
2.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal JantungGagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh atau
kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan pengisian jantung yang
tinggi atau kedua-duanya (5). Secara singkat menurut Sonnenblik, gagal jantung
terjadi apabila jantung tidak mampu memompakan darah yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh pada tekanan pengisian yang normal,
meskipun aliran balik vena (venous return) ke jantung dalam keadaan normal (5).
Gagal jantung kongestif adalah suatu sindroma dengan penyebab ganda
(multiple) yang diduga melibatkan ventrikel kanan, ventrikel kiri, atau
keduanya.Sindrom ini terjadi karena curah jantung tidak memadai untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.Faktor predisposisi gagal jantung adalah
penyakit yang menimbulkan penurunan fungsi ventrikel (seperti penyakit arteri
koroner, hipertensi, kardiomiopati, penyakit pembuluh darah, atau penyakit
jantung congenital) dan keadaan yang membatasi pengisian ventrikel (stenosis
mitral, kardiomiopati, atau penyakit perikardial. Faktor pencetus termasuk
meningkatnya asupan garam, ketidakpatuhan menjalani pengobatan anti gagal
jantung, infark miokard akut (mungkin yang tersembunyi), serangan hipertensi,
aritmia akut, infeksi atau demam, emboli paru, anemia,tirotoksikosis, kehamilan,
dan endo-karditis infektif (6).
3
Beberapa sistem klasifikasi telah dibuat untuk mempermudah dalam
pengenalan dan penanganan gagal jantung. Sistem klasifikasi tersebut antara
lain pembagian berdasarkan Killip yang digunakan pada Infark Miokard
Akut, klasifikasi berdasarkan tampilan klinis yaitu klasifikasi Forrester,
Stevenson dan NYHA (7).
Klasifikasi berdasarkan Killip digunakan pada penderita infark miokard
akut, dengan pembagian:
Derajat I : Tanpa gagal jantung
Derajat II : Gagal jantung dengan ronki basah halus di basal paru, S3
galop dan peningkatan tekanan vena pulmonalis
Derajat III: Gagal jantung berat dengan edema paru seluruh lapangan
paru.
Derajat IV : Syok kardiogenik dengan hipotensi (tekanan darah sistolik
90 mmHg) dan vasokonstriksi perifer (oliguria, sianosis dan diaforesis).
Klasifikasi Gagal Jantung menurut New York Heart Association (NYHA) (4)
a) NYHA kelas I
Para penderita penyakit jantung tanpa pembatasan dalam kegiatan fisik
serta tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit jantung seperti cepat lelah,
sesak nafas atau berdebar-debar bila mereka melakukan kegiatan biasa.
b) NYHA kelas II
Penderita dengan sedikit pembatasan dalam kegiatan fisik. Mereka tidak
mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan fisik yang biasa
menimbulkan gejala-gejala insufisiensi jantung seperti kelelahan, jantung
berdebar, sesak nafas atau nyeri dada.
c) NYHA kelas III
Penderita penyakit jantung dengan banyak pembatasan dalam kegiatan
fisik. Mereka tidak mengeluh apa-apa waktu istirahat, akan tetapi kegiatan
fisik yang kurang dari kegiatan biasa sudah menimbulkan gejala-gejala
insufisiensi jantung seperti yang tersebut di atas.
4
d) NYHA kelas IV
Penderita tidak mampu melakukan kegiatan fisik apapun tanpa
menimbulkan keluhan. Waktu istirahat juga dapat menimbulkan gejala-
gejala insufisiensi jantung, yang bertambah apabila mereka melakukan
kegiatan fisik meskipun sangat ringan.
Klasifikasi menurut Stevenson menggunakan tampilan klinis dengan
melihat tanda kongesti dan kecukupan perfusi. Kongesti didasarkan adanya
ortopnea, distensi vena juguler, ronki basah, refluks hepato jugular, edema
perifer, suara jantung pulmonal yang berdeviasi ke kiri, atau square wave blood
pressure pada manuver valsava. Status perfusi ditetapkan berdasarkan adanya
tekanan nadi yang sempit, pulsus alternans, hipotensi simtomatik, ekstremitas
dingin dan penurunan kesadaran. Pasien yang mengalami kongesti disebut
basah (wet) yang tidak disebut kering (dry). Pasien dengan gangguan perfusi
disebut dingin (cold) dan yang tidak disebut panas (warm). Berdasarkan hal
tersebut penderita dibagi menjadi empat kelas, yaitu:
Kelas I (A) : kering dan hangat (dry – warm)
Kelas II (B) : basah dan hangat (wet – warm)
Kelas III (L) : kering dan dingin (dry – cold)
Kelas IV (C) : basah dan dingin (wet – cold)
Klasifikasi Boston
Criterion Point
value
Category I: history
Rest dyspnea 4
Orthopnea 4
Paroxysmal nocturnal dyspnea 3
Dyspnea while walking on level area 2
Dyspnea while climbing 1
Category II: physical examination
5
Heart rate abnormality (1 point if 91 to 110 beats per
minute; 2 points if more than 110 beats per minute)
1 or 2
Jugular venous elevation (2 points if greater than 6 cm
H2O; 3 points if greater than 6 cm H2O plus
hepatomegaly or edema)
2 or 3
Lung crackles (1 point if basilar; 2 points if more than
basilar)
1 or 2
Wheezing 3
Third heart sound 3
Category III: chest radiography
Alveolar pulmonary edema 4
Interstitial pulmonary edema 3
Bilateral pleural effusion 3
Cardiothoracic ratio greater than 0.50 3
Upper zone flow redistribution 2
Tidak lebih dari 4 poin diperbolehkan dari masing-masing tiga kategori, sehingga
skor komposit (jumlah dari subtotal dari setiap kategori) memiliki kemungkinan
maksimum 12 poin. Diagnosis gagal jantung diklasifikasikan sebagai "pasti" pada
skor 8 sampai 12 poin, "mungkin" pada skor 5 sampai 7 poin, dan "tidak" pada
skor 4 poin atau kurang (8)
Klasifikasi stadium gagal jantung berdasarkan American College of Cardiology
and the American Heart Association (9).
a) Tahap A
Mempunyai risiko tinggi terhadap perkembangan gagal jantung tetapi
tidak menunjukkan struktur abnormal dari jantung .
b) Tahap B
Adanya stuktur yang abnormal pada jantung pasien tetapi tidak bergejala.
c) Tahap C
Adanya struktural abnormal dari pasien dengan gejala awal gagal jantung.
d) Tahap D
6
Pasien dengan gejala tahap akhir gagal jantung sulit diterapi dengan
pengobatan standar.
2.2 Etiologi Gagal Jantung
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Gagal jantung kongestif
atau congestive heart failure (CHF) adalah kondisi dimana fungsi jantung sebagai
pompa untuk mengantarkan darah yang kaya oksigen ke tubuh tidak cukup untuk
memenuhi keperluan-keperluan tubuh. Gagal jantung kongestif dapat disebabkan
oleh (10):
penyakit-penyakit yang melemahkan otot-otot jantung,
penyakit-penyakit yang menyebabkan kekakuan otot-otot jantung, atau
penyakit-penyakit yang meningkatkan permintaan oksigen oleh jaringan
tubuh diluar kemampuan jantung untuk memberikannya.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal. Secara epidemiologi
penting untuk mengetahui penyebab gagal jantung, di Negara maju penyakit arteri
koroner dan hipertensi merupakan penyebab terbanyak, sedangkan di Negara
berkembang yang menjadi penyebab terbanyak adalah penyakit katup jantung dan
penyakit jantung akibat malnutrisi.7 Secara garis besar penyebab terbanyak gagal
jantung adalah penyakit jantung koroner 60-75%, dengan penyebab penyakit
jantung hipertensi 75%, penyakit katup (10%) serta kardiomiopati dan sebab lain
(10%) (11).
Gagal jantung kongestif dapat mempengaruhi banyak organ-organ
tubuh.Contohnya, otot-otot jantung yang melemah mungkin tidak mampu untuk
mensuplai darah yang cukup ke ginjal-ginjal, yang kemudian mulai kehilangan
kemampuan normalnya untuk mengekskresi garam (sodium) dan air.Fungsi ginjal
yang berkurang ini dapat menyebabkan tubuh menahan lebih banyak cairan.Paru-
paru mungkin menjadi padat dengan cairan (pulmonary edema) dan kemampuan
seseorang untuk berolahraga berkurang.Cairan mungkin juga berakumulasi dalam
hati, dengan demikian mengganggu kemampuannya untuk menghilangkan racun-
racun dari tubuh dan menghasilkan protein-protein penting.Usus-usus mungkin
menjadi kurang efisien dalam menyerap nutrisi-nutrisi dan obat-obat. Melalui
7
waktu, tidak dirawat, gagal jantung kongestif yang memburuk akan hampir
mempengaruhi setiap organ dalam tubuh.
Pada beberapa keadaan sangat sulit untuk menentukan penyebab dari
gagal jantung. Terutama pada keadaan yang terjadi bersamaan pada penderita.
Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab
gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita (11).
Faktor Presipitasi / Pemicu (5)
Dalam mengevaluasi pasien dengan gagal jantung, penting untuk
mengidentifikasi faktor presipitasi, tidak hanya yang penyebab yang
mendasarinya. Sering, manifestasi klinis dari gagal jantung terlihat untuk pertama
kalinya dalam perjalanan dari gangguan akut yang memberikan beban tambahan
pada miokardium yang terbebani berlebihan secara kronis. Seperti jantung yang
dapat berkompensasi secara adekuat di bawah keadaan normal tapi memiliki
cadangan oleh faktor presipitasi yang menyebabkan kemerosotan lebih lanjut dari
fungsi jantung. Faktor presipitasi yang paling umum akan dijelaskan di bawah ini:
1. Infeksi : Pasien dengan kongesti pembuluh darah paru akibat kegagalan
ventrikel kiri lebih rentan terhadap infeksi paru daripada orang normal;
namun, infeksi dapat memicu gagal jantung. Demam yang dihasilkan,
takikardia, hipoksemia, dan peningkatan kebutuhan metabolisme mungkin
menjadi beban yang berlebih, tetapi masih dapat terkompensasi dengan
miokardium pasien dengan penyakit jantung kronis.
2. Aritmia : Hal ini adalah faktor presipitasi gagal jantung yang paling sering.
Mereka memberikan efek yang merugikan pada fungsi jantung melalui
berbagai mekanisme: a.) Takiaritmia mengurangi waktu yang tersedia untuk
pengisian ventrikular, terutama berkontribusi pada gagal jantung diastolik;
mereka juga dapat menyebabkan disfungsi iskemik infark pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik. (b) disosiasi antara atrium dan kontraksi ventrikular
yang ditandai dari banyak bradi maupun takiaritmia mengakibatkan hilangnya
mekanisme booster pompa atrium, yaitu, “tendangan atrial” sehingga
meningkatkan tekanan atrium. (c) kinerja jantung dapat menjadi lebih
terganggu karena hilangnya kontraksi ventricular yang tersinkronisasi pada
aritmia yang terkait dengan konduksi intreventrikuler yang abnormal. (d)
8
memperlambat denyut jantung yang terkait dengan blok atrioventricular penuh
atau bradiaritmia yang lanjut dapat mengurangi output jantung kecuali stroke
volume naik resiprokal, kompensasi ini terbatas pada gangguan miokard.
3. Fisik, Diet, Cairan, Lingkungan, dan Emosional : augmentasi secara tiba-tiba
seperti asupan natrium berlebihan, penghentian obat-obatan atau terapi lain
untuk gagal jantung, transfusi darah, kelelahan fisik, panas lingkungan yang
berlebihan atau kelembaban dan krisis emosional semua dapat memicu gagal
jantung pada pasien yang sebelumnya berhasil terkompensasi.
4. Infark miokard : Pada pasien dengan penyakit jantung iskemik kronis tetapi
terkompensasi, infark yang baru, kadang-kadang tidak terlihat dari klinisnya,
namun merusak fungsi ventrikular dan memicu gagal jantung.
5. Emboli paru : Pasien dengan inaktivitas fisik dengan output jantung yang
rendah adalah pada resiko yang meningkat untuk berkembang menjadi
trombus dalam vena ekstremitas bawah atau pelvis. Emboli paru dapat
mengakibatkan lebih lanjut peningkatan tekanan arteri paru-paru, yang pada
akhirnya menyebabkan kegagalan ventrikular. Dengan adanya kongesti
vaskular paru, seperti emboli juga dapat menyebabkan infark.
6. Anemia : adanya keadaan anemia menyebabkan kebutuhan oksigen untuk
metabolism hanya dapat dipenuhi oleh peningkatan cardiac output, namun
peningkatan ini dapat dipenuhi oleh jantung yang sehat. Keadan penyakit,
kelebihan beban, tetapi jika tidak dapat terkompensasi oleh jantung maka tidak
dapat menambah cukup volume darah yang diberikan ke perifer. Dengan
mekanisme ini, kombinasi dari keadaan anemia dan kompensasi penyakit
jantung sebelumnya dapat memicu gagal jantung dan mengakibatkan tidak
cukupnya aliran darah ke perifer.
7. Thyrotoxicosis and Pregnancy. Seperti halnya anemia dan demam,
tirotoksikosis dan kehamilan adalah keadaan dengan cardiac output yang
tinggi. Perkembangan atau intensifikasi dari gagal jantung pada pasien dengan
penyakit jantung terkompensasi dapat menjadi manifestasi klinis pertama dari
kasus hipertiroidisme. Sama halnya, gagal jantung dapat terjadi pertama sekali
selama kehamilan pada perempuan dengan penyakit jantung rheumatic, di
mana kompensasi jantung dapat mengembalikan aliran balik.
9
8. Hipertensi yang berkembang: Peningkatan tekanan arteri dengan cepat seperti
yang dapat terjadi pada keadaan hipertensi ginjal atau riwayat minum obat anti
hipertensi yang tidak teratur pada kasus hipertensi esensial, dapat
menyebabkan dekompensasi jantung.
9. Rheumatik, Virus, dan bentuk lain Miokarditis : Demam rheumatic akut dan
berbagai proses inflamasi atau infeksi yang menyerang miokardium dapat
memicu gagal jantung pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung
sebelumnya.
10. Endokarditis infektif. Kerusakan katup, anemia, demam, dan miokarditis
sering terjadi sebagai konsekuensi dari endocarditis infektif, baik tunggal
maupun kombinasi antaranya yang dapat memicu gagal jantung.
2.3 Patofisiologi Gagal Jantung (5,8)
Gagal jantung kongestif terjadi sewaktu kontraktilitas jantung berkurang
dan ventrikel tidak mampu memompa keluar darah sebanyak yang masuk selama
diastol. Hal ini menyebabkan volume diastolik akhir ventrikel secara progresif
bertambah. Peningkatan progresif volume diastolik akhir, sel-sel otot ventrikel
mengalami peregangan melebihi panjang optimumnya sehingga serat-serat otot
tertinggal dalam kurva panjang-tegangan. Tegangan yang dihasilkan menjadi
berkurang karena ventrikel teregang oleh darah. Semakin terisi berlebihan
ventrikel, semakin sedikit darah yang dapat dipompa keluar sehingga akumulasi
darah dan peregangan serat otot bertambah. Akibatnya volume sekuncup curah
jantung dan tekanan darah turun.
Penurunan tekanan darah dirasakan oleh baroreseptor. Hal ini terjadi
karena respon-respon reflek tersebut menyebabkan peningkatan pengisian
ventrikel (preload) atau semakin menurunkan volume sekuncup dengan
meningkatkan afterload yang harus dilawan oleh kerja pompa ventrikel.
Peningkatan preload dan afterload menyebabkan peningkatan beban kerja dan
kebutuhan oksigen jantung. Kebutuhan oksigen yang meningkat tidak dapat
terpenuhi hingga serat-serat otot menjadi hipoksik sehingga kontraktilitas
berkurang. Siklus perburukan gagal jantung terus berulang. Refleks terus
menyebabkan peningkatan pengisian dan peregangan jantung dan/atau afterload.
10
Maka tekanan darah terus berada di bawah normal, sehingga refleks-refleks
tersebut tetap dipertahankan dan ditingkatkan. Gagal jantung akan berlanjut,
kecuali siklus pengisian berlebihan darah dapat ditangani.
Bila curah jantung oleh suatu keadaan menjadi tidak cukup untuk
memenuhi kebutuhan metabolism tubuh, maka jantung akan memakai mekanisme
kompensasi. Mekanisme kompensasi ini dipakai untuk mengatasi beban kerja,
diupayakan memelihara tekanan darah yang masih memadai untuk perfusi alat-
alat vital. Mekanisme ini mencakup :
Mekanisme Frank-Starling
Pertumbuhan hipertrofi ventrikel
Aktivitas neurohormonal.
Sistem saraf adrenergik
Sistem Renin Angiotensin
Hormon antidiuretic
Mekanisme Frank Starling
Mekanisme Frank-Starling berarti makin besar otot jantung diregangkan
selama pengisian, makin besar kekuatan kontraksi dan makin besar pula jumlah
darah yang dipompa ke dalam aorta atau arteri pulmonalis. Penurunan isi
sekuncup mengakibatkan pengosongan ruang yang tidak sempurna sewaktu
jantung berkontraksi sehingga volume darah yang menumpuk dalam ventrikel
semasa diastole lebih tinggi dibandingkan normal. Hal ini bekerja sebagai
mekanisme kompensasi karena kenaikan beban awal (atau volume akhir diastolik)
merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi berikutnya, yang
membantu mengosongkan ventrikel kiri yang membesar.
Hipertrofi Ventrikel
Stres pada dinding ventrikel meningkat akibat dilatasi (peningkatan radius
ruang)atau beban akhir yang tinggi (misalnya pada stenosis aortik atau hipertensi
yang tidak terkendali. Peningktan volume akhir diastol juga akan meningkatkan
tekanan di dinding ventrikel yang jika terjadi terus-menerus, maka akan
merangsang pertumbuhan hipertrofi ventrikel. Terjadinya hipertrofi ventrikel
11
berfungsi untuk mengurangi tekanan dinding dan meningkatkan massa serabut
otot sehingga memelihara kekuatan kontraksi ventrikel. Dinding ventrikel yang
mengalami hipertrofi akan meningkat kekakuannya (elastisitas berkurang)
sehingga mekanisme kompensasi ini selalu diikuti dengan penigkatan tekanan
diastolik ventrikel yang selanjutnya juga menyebabkan peningkatan tekanan
atrium kiri.
Aktivasi Neurohormonal
Perangsangan neurohormonal merupakan mekanisme kompensasi yang
mencakup sistem saraf adrenergic, sistem rennin angiotensin, peningkatan
produksi hormone antidiuretik, semua sebagai jawaban terhadap penurunan curah
jantung. Semua mekanisme meningkatkan tahanan pembuluh sistemik, sehingga
mengurangi setiap penurunan tekanan darah. Selanjutnya menyebabkan retensi
garam dan air yang pada awalnya bermanfaat meningkatkan volume intravaskuler
dan beban awal ventrikel kiri, memaksimalkan isi sekuncup melalui mekanisme
Frank starling.
Sistem Syaraf Adrenergik
Penurunan curah jantung oleh reseptor-reseptor di sinus karotis dan arkus
aorta sebaga penurunan perfusi. Reseptor ini mengurangi laju pelepasan rangsang
sebanding dengan penurunan tekanan darah. Arus simpatis ke jantung dan
sirkulasi perifer meningkat dan tonus parasimpatis berkurang. Ada tiga hal yang
segera terjadi, yaitu :
1. Peningkatan laju debar jantung
2. Peningkatan kontraktilitas ventrikel
3. Vasokonstriksi akibat stimulasi reseptor-reseptor alfa pada vena-vena dan
arteri sistemik. Konstriksi arteriolar pada gagal jantung meningkatkan
tahanan pembuluh perifer sehingga membantu memelihara tekanan darah.
12
Sistem Renin Angiotensin
Penurunan perfusi ginjal menyebabkan stimulasi sistem rennin angiotensin
aldosteron (RAA) yang menyebabkan peningkatan kadar renin, angiotensin II
plasma, dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor kuat pada
arteriol eferen (dan sistemik) ginjal, yang menstimulasi pelepasan norepinefrin
(noradrenalin) dari ujung saraf simpatik, menghambat tonus vagal, dan membantu
pelepasan aldosteron dari adrenal, menyebabkan retensi natrium dan air serta
ekskresi kalium di ginjal. Gangguan fungsi hati pada gagal jantung dapat
menurunkan metabolisme aldosteron, sehingga meningkatkan kadar aldosteron
lebih lanjut.
Hormon Antidiuretik
Pada gagal jantung, sekresi hormone antidiuretik oleh kelenjar hipofisis
posterior meningkat, karena rangsang terhadap baroreseptordi arteri dan atrium
kiri serta oleh kadar Angitensin II meningkat dalam sirkulasi. Hormon antidiuretik
berperan meningkatkan volume intravaskuler karena ia meningkatkan retensi
cairan melalui nefron distal. Kenaikan cairan intravaskuler inilah yang
meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah jantung.
Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan
peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada
pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi
endoteli-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajatgagal jantung.
Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge
pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1
antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya
remodeling vascular dan miokardial akibat endotelin.
13
2.4 Diagnosis (7,9)
Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan
tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan
JVP,hepatomegali, edema tungkai. Selain itu kriteria Firmingham dapat
digunakan untuk diagnosis gagal jantung kongestif. Menurut Framingham
kriterianya gagal jantung kongestif ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria
minor. Adapun kriterianya adalah sebagai berikut:
a. Kriteria mayor terdiri dari:
1) Dispnea nokturnal paroksismal atau ortopnea
2) Peningkatan tekanan vena jugularis
3) Ronkhi basah tidak nyaring
4) Kardiomegali
5) Edema paru akut
6) Irama derap S3
7) Refluks hepatojugular
b. Kriteria minor terdiri dari:
1) Edema pergelangan kaki
2) Batuk malam hari
3) Dyspnea d’ effort
4) Hepatomegali
5) Efusi pleura
6) Kapasitas vital berkurang 1/3 dari normal
7) Takikardi
Diagnosis ditegakkan dari dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dan
dua kriteria minor harus ada di saat bersamaan.
14
2.5 Pemeriksaan penunjang (9) Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis
adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi,
pemeriksaan darah, angiografi dan tes fungsi paru.
Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran
siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena
pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena
pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura
horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih
dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang
menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran
efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah
bagian kanan.
Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada
hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal
dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara
lain gelombang Q, abnormalitas ST – T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle
branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada
keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung
sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya.
Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna
pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif
mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan
ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah
bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan
fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark
miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat
mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya
gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli.
Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia
sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit
dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya
kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional,
15
karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang
berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui
adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis
apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin
converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung
berat dapat terjadi proteinuria.
Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi
kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung
berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat
potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin,
AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan
profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan.
Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung.
Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global
maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi
jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan,
ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge
pressure.
Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH)
gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin
serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan. Pemeriksaan penanda BNP
sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma >400pg/ml dan
plasma NT-proBNP adalah >2000 pg/ml.
Pemeriksaan radionuclide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui
ejection fraction, laju pengisisan sistolik, laju pengosongan diastolic dan
abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada
berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui
gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan
diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan
arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure.
2.6 Tatalaksana Gagal Jantung (12,9,13)
16
Manajemen gagal jantung kongestif (CHF) adalah sulit dan kadang-kadang
berbahaya tanpa pengetahuan tentang penyebab yang mendasari.Akibatnya,
prioritas pertama adalah memperoleh pemahaman yang baik tentang etiologi.
Tujuan terapi medis untuk gagal jantung kongestif termasuk mengurangi preload,
meningkatkan kontraktilitas jantung, mengurangi afterload, meningkatkan
pengiriman oksigen, dan meningkatkan gizi.
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal
jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan
untuk memperbaiki gejala dan prognosis, meskipun penatalaksanaan secara
individual tergantung dari etiologi serta beratnya kondisi. Sehingga semakin
cepat kita mengetahui penyebab gagal jantung akan semakin baik
prognosisnya.
Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat dikerjakan antara lain
adalah dengan menjelaskan kepada pasien mengenai penyakitnya, pengobatan
serta pertolongan yang dapat dilakukan sendiri. Perubahan gaya hidup seperti
pengaturan nutrisi dan penurunan berat badan pada penderita dengan
kegemukan. Pembatasan asupan garam, konsumsi alkohol, serta pembatasan
asupan cairan perlu dianjurkan pada penderita terutama pada kasus gagal
jantung kongestif berat. Penderita juga dianjurkan untuk berolahraga karena
mempunyai efek yang positif terhadap otot skeletal, fungsi otonom, endotel
serta neurohormonal dan juga terhadap sensitifitas terhadap insulin meskipun
efek terhadap kelengsungan hidup belum dapat dibuktikan. Gagal jantung
kronis mempermudah dan dapat dicetuskan oleh infeksi paru, sehingga
vaksinasi terhadap influenza dan pneumococal perlu dipertimbangkan. Profilaksis
antibiotik pada operasi dan prosedur gigi diperlukan terutama pada penderita
dengan penyakit katup primer maupun pengguna katup prostesis.
Pada penderita yang memerlukan perawatan, restriksi cairan (1,5 – 2
l/hari) dan pembatasan asupan garam dianjurkan pada pasien. Tirah baring
jangka pendek dapat membantu perbaikan gejala karena mengurangi
metabolisme serta meningkatkan perfusi ginjal. Pemberian heparin subkutan
17
perlu diberikan pada penderita dengan imobilitas. Pemberian antikoagulan
diberikan pada pemderita dengan fibrilasi atrium, gangguan fungsi sistolik berat
dengan dilatasi ventrikel.
Menempatkan penderita dengan posisi duduk dengan pemberian
oksigen konsentrasi tinggi dengan masker sebagai tindakan pertama yang
dapat dilakukan. Monitoring gejala serta produksi kencing yang akurat
dengan kateterisasi urin serta oksigenasi jaringan dilakukan di ruangan
khusus. Base excess menunjukkan perfusi jaringan, semakin rendah menunjukkan
adanya asidosis laktat akibat metabolisme anerob dan merupakan prognosa yang
buruk. Koreksi hipoperfusi memperbaiki asidosis, pemberian bikarbonat
hanya diberikan pada kasus yang refrakter.
Pemberian loop diuretik intravena seperti furosemid akan menyebabkan
venodilatasi yang akan memperbaiki gejala walaupun belum ada diuresis.
Loop diuretik juga meningkatkan produksi prostaglandin vasdilator renal. Efek
ini dihambat oleh prostaglandin inhibitor seperti obat antiflamasi nonsteroid,
sehingga harus dihindari bila memungkinkan.
Opioid parenteral seperti morfin atau diamorfin penting dalam
penatalaksanaan gagal jantung akut berat karena dapat menurunkan
kecemasan, nyeri dan stress, serta menurunkan kebutuhan oksigen. Opiat juga
menurunkan preload dan tekanan pengisian ventrikel serta udem paru. Dosis
pemberian 2 – 3 mg intravena dan dapat diulang sesuai kebutuhan.
Pemberian nitrat (sublingual, buccal dan intravenus) mengurangi
preload serta tekanan pengisian ventrikel dan berguna untuk pasien dengan
angina serta gagal jantung. Pada dosis rendah bertindak sebagai vasodilator
vena dan pada dosis yang lebih tinggi menyebabkan vasodilatasi arteri
termasuk arteri koroner. Sehingga dosis pemberian harus adekuat sehingga
terjadi keseimbangan antara dilatasi vena dan arteri tanpa mengganggu
perfusi jaringan. Kekurangannya adalah teleransi terutama pada pemberian
intravena dosis tinggi, sehingga pemberiannya hanya 16 – 24 jam.
Sodium nitropusside dapat digunakan sebagai vasodilator yang diberikan
pada gagal jantung refrakter, diberikan pada pasien gagal jantung yang disertai
18
krisis hipertensi. Pemberian nitropusside dihindari pada gagal ginjal berat
dan gangguan fungsi hati. Dosis 0,3 – 0,5 µg/kg/menit.
Nesiritide adalah peptide natriuretik yang merupakan vasodilator.
Nesiritide adalah BNP rekombinan yang identik dengan yang dihasilkan
ventrikel. Pemberiannya akan memperbaiki hemodinamik dan neurohormonal,
dapat menurunkan aktivitas susunan saraf simpatis dan menurunkan kadar
epinefrin, aldosteron dan endotelin di plasma. Pemberian intravena
menurunkan tekanan pengisian ventrikel tanpa meningkatkan laju jantung,
meningkatkan stroke volume karena berkurangnya afterload. Dosis
pemberiannya adalah bolus 2 µg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan infus 0,01
µg/kg/menit.
Pemberian inotropik dan inodilator ditujukan pada gagal jantung akut
yang disertai hipotensi dan hipoperfusi perifer. Obat inotropik dan / atau
vasodilator digunakan pada penderita gagal jantung akut dengan tekanan darah
85 – 100 mmHg. Jika tekanan sistolik < 85 mmHg maka inotropik dan/atau
vasopressor merupakan pilihan. Peningkatan tekanan darah yang berlebihan
akan dapat meningkatkan afterload. Tekanan darah dianggap cukup memenuhi
perfusi jaringan bila tekanan arteri rata - rata > 65 mmHg.
Pemberian dopamin <2 µg/kg/mnt menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan ginjal. Pada dosis 2 – 5 µg/kg/mnt akan merangsang
reseptor adrenergik beta sehingga terjadi peningkatan laju dan curah jantung.
Pada pemberian 5 – 15 µg/kg/mnt akan merangsang reseptor adrenergik alfa
dan beta yang akan meningkatkan laju jantung serta vasokonstriksi.
Pemberian dopamin akan merangsang reseptor adrenergik ᵦ1 dan ᵦ2,
menyebabkan berkurangnya tahanan vaskular sistemik (vasodilatasi) dan
meningkatnya kontrkatilitas. Dosis umumnya 2 – 3 µg/kg/mnt, untuk
meningkatkan curah jantung diperlukan dosis 2,5 – 15 µg/kg/mnt. Pada
pasienyang telah mendapat terapi penyekat beta, dosis yang dibutuhkan lebih
tinggi yaitu 15 – 20 µg/kg/mnt.
Penanganan invasif yang dapat dikerjakan adalah Pompa balon intra
aorta, pemasangan pacu jantung, implantable cardioverter defibrilator,
ventricular assist device. Pompa balon intra aorta ditujukan pada penderita
19
gagal jantung berat atau syok kardiogenik yang tidak memberikan respon
terhadap pengobatan, disertai regurgitasi mitral atau ruptur septum interventrikel.
Pemasangan pacu jantung bertujuan untuk mempertahankan laju jantung dan
mempertahankan sinkronisasi atrium dan ventrikel, diindikasikan pada
penderita dengan bradikardia yang simtomatik dan blok atrioventrikular
derajat tinggi. Implantable cardioverter device bertujuan untuk mengatasi
fibrilasi ventrikel dan takikardia ventrikel. Vascular Assist Device merupakan
pompa mekanis yang mengantikan sebgaian fungsi ventrikel, indikasi pada
penderita dengan syok kardiogenik yang tidak respon terhadap terapi terutama
inotropik.
Sampai akhir-akhir ini, pilihan dari obat-obat yang tersedia untuk perawatan
gagal jantung kongestif terbatas dan terfokus terutama pada mengontrol gejala-
gejala.Obat-obat sekarang telah dikembangkan yang melakukan kedua-duanya
yaitu memperbaiki gejala-gejala, dan yang penting, memperpanjang kelangsungan
hidup.
20
BAB IIIPENUTUP
3.1 KesimpulanGagal jantung adalah tidak mampunya jantung untuk memompakan darah
dalam jumlah yang memadai untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh
(forward failure) atau kemampuan tersebut hanya dapat terjadi dengan tekanan
pengisian jantung yang tinggi (backward failure) atau kedua-duanya. Gagal
jantung juga dikatakan dengan sindrom klinik dengan abnormalitas dari struktur
atau fungsi jantung sehingga mengakibatkan ketidak mampuan jantung untuk
memompa darah ke jaringan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh.
Untuk mempertahankan fungsi sirkulasi yang adekuat, maka di dalam tubuh
terjadi refleks hemostasis atau mekanisme kompensasi melalui perubahan
perubahan neurohormonal, dilatasi ventrikel dan mekanisme Frank Starling.
Gagal jantung dapat disebabkan oleh karena beberapa hal seperti hipertensi,
kardiomiopati, penyakit katup jantung, kongenital (ASD/VSD), aritmia, alkohol,
obat-obatan, kondisi curah jantung tinggi, perikard, gagal jantung kanan. Secara
klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti
sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali,
edema tungkai. Selain itu kriteria Firmingham dapat digunakan untuk diagnosis
gagal jantung kongestif. Menurut Framingham kriterianya gagal jantung kongestif
ada 2 kriteria yaitu kriteria mayor dan kriteria minor.
Penatalaksanaan penderita dengan gagal jantung meliputi penalaksanaan
secara non farmakologis dan secara farmakologis, keduanya dibutuhkan
karena akan saling melengkapi untuk penatalaksaan paripurna penderita gagal
jantung. Penatalaksanaan gagal jantung baik itu akut dan kronik ditujukan
untuk memperbaiki gejala dan prognosisnya.
21
PRESENTASI KASUS STATUS PASIEN RUANGAN RAWAT INAP
BAGIAN / SMF KARDIOLOGI BPK RSUZA BANDA ACEH
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIENNama : Tn. SUmur : 55 TahunJenis kelamin : Laki-lakiAgama : IslamSuku : AcehPekerjaan : WiraswastaAlamat : LamdinginCM : 0-92-81-56Tanggal Masuk : 7 Januari 2014Tanggal Pemeriksaan : 20 Januari 2013
II. ANAMNESISa. Keluhan Utama : Sesak napas
b. Keluhan Tambahan : Cepat lelah, batuk, mual, muntah
c. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak napas yang dirasakan sering timbul
sejak ± 1,5 tahun yang lalu dan semakin memberat selama 3 hari SMRS. Pasien
merasa dadanya seperti ditusuk-tusuk sehingga merasa sulit untuk bernapas.
Keluhan ini juga sering dirasakan memberat di malam hari saat pasien tidur dan
terkadang saat melakukan aktifitas. Pasien tidur menggunakan 3 buah bantal, dan
jika merasakan sesak napas, pasien merasa lebih nyaman dengan posisi duduk.
Pasien mengaku juga merasakan berdebar-debar.
Pasien juga mengeluhkan rasa cepat lelah dan yang dirasakan sejak ± 1
tahun yang lalu dan semakin memberat beberapa bulan terakhir disertai dengan
batuk yang sering dialami saat malam hari. Jika berjalan ke kamar mandi (± 6 m),
pasien merasa kelelahan dan sesak napas. seminggu sebelum masuk RSUDZA,
pasien mengeluhkan tungkai bawah bengkak yang telah dialami sejak ± 6 bulan
terakhir.
22
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat Hipertensi sejak 4 tahun yang lalu
- Riwayat DM 15 tahun
- Riwayat kolesterol tinggi disangkal
e. Riwayat Penyakit Keluarga
- Ayah kandung menderita Hipertensi dan Diabetes Melitus
f. Riwayat Kebiasaan Sosial
- Pasien sering mengkonsumsi makanan berlemak
- Riwayat merokok 20 tahun yang lalu
g. Riwayat Penggunaan Obat
- Furosemide
- Spironolakton
- Digoksin
- Aspilet
h. Faktor Resiko Yang Tidak Dapat Dimodifikasi
- Riwayat keluarga (+)
i. Faktor Resiko Yang Dapat Dimodifikasi
- Makan makanan berlemak
- Olahraga tidak teratur
- Hipertensi (+)
- Merokok (+)
III. PEMERIKSAAN FISIKa. Status Present
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah : 150/90 mmHg
Frekuensi Jantung : 85 x/menit, reguler
Frekuensi Nafas : 25 x/menit
23
Temperatur : 36.90C (aksila)
b. Status General
Kulit
Warna : Cokelat kehitaman
Turgor : Cepat kembali
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Kepala
Bentuk : Kesan Normochepali
Rambut : Tersebar rata, Sukar dicabut, Berwarna hitam.
Mata : Cekung (-), Reflek cahaya (+/+), Sklera ikterik (-/-),
konj.palpebra inf pucat (-/-)
Telinga : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), Perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), Sianosis (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Lidah : Beslag (-), Tremor (-)
Mukosa : Basah (+)
Tenggorokan : Tonsil dalam batas normal
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
Kel. Getah Bening : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Peningkatan TVJ : R - 2 cmH20
Axilla
Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax depan
1. Inspeksi
24
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-/-)
2. Palpasi
Stem Fremitus Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. Auskultasi
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler ↓ Vesikuler ↓
Lap. Paru bawah Vesikuler ↓ Vesikuler↓
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Thoraks Belakang
1. Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Thorako-abdominal
Retraksi : (-/-)
25
2. Palpasi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Normal Normal
Lap. Paru tengah Normal Normal
Lap. Paru bawah Normal Normal
3. Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor
4. Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler ↓ Vesikuler ↓
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (+), Wh (-) Rh (+), Wh (-)
Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis terlihat di ICS VI 3 jari lateral LMCS
Palpasi : Ictus Cordis teraba di ICS VI 3 jari lateral LMCS
Perkusi : Batas jantung atas: di ICS III
Batas jantung kanan: di 3 jari lateral LPSD
Batas jantung kiri: di ICS VI 3 jari Lateral LMCS
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan simetris, Distensi (-)
Palpasi : Soepel (+), Nyeri tekan (-) distensi (+)
Hepar/ Lien tidak teraba, Renal (Ballotement (-/-))
26
Perkusi : Tympani (+), Asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus (N)
Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan
Anus : Tidak dilakukan pemeriksaan
Ekstremitas
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - + +
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif pasif Aktif
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -
AkralDingin - - - -
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Laboratorium( 8 dan 16 Januari 2014 )
Jenis Pemeriksaan 8/1/2014 16/1/2014 Nilai rujukan
Hemoglobin 6,6 9,0 12-14 gr/dl
Leukosit 10,3 6,2 4.1-10.5 x 103/ul
Trombosit 202 318 150-400 x 103/ul
Hematokrit 20 21 37.0-48.0 %
Hitung Jenis
Leukosit
Eosinofil 2 2 1-3 %
Basofil 0 0 0-1 %
Neutrofil
Batang
1 2 2-6 %
Neutrofil
Segmen
81 60 50-70 %
27
Limfosit 14 19 20 -40 %
Monosit 2 10 2-8 %
Bilirubin Total 0,71 0-1 mg/dl
Bilirubin
Direct
0,32 0-0.26 mg/dl
SGOT 19 0-31 U/l
SGPT 20 0-37 U/l
Alkali
Posfatase
42-96 U/l
Creatinin darah 1,4 1,7 0.6-1.1 mg/dl
Ureum darah 132 106 20-45 mg/dl
Gula darah puasa 138 75-115 mg/dl
Kolesterol Total 206 <200 mg/dl
Kolesterol HDL 43 >45 mg/dl
Kolesterol LDL 148 <150 mg/dl
Trigliserida 75 0-150 mg/dl
Na/K/Cl 140/4,4/112 135-145/3.5-4.5/90-110
meq/l
28
B. FotoThoraks PA ( 20 Januari 2014)
Bacaan:
Cor : Jantung tampak besar
Pulmo : Dalam batas normal
Kesimpulan : Kardiomegali dengan CTR 61,5 %
29
CTR= (10+16) / 26 x 100 %= 61,5 %
C. Elektrokardiografi (14 September 2012)
Bacaan EKG tanggal 14-09-2012
1. Irama : sinus
2. Qrs rate : 68 x/i dengan atrial fibrilasi
3. Regularitas : Irregular
4. Interval PR : 0,2 s
5. Axis : Normoaxis
6. Morfologi
- Gel P : 0,8 s
- Kompleks QRS : QRS durasi 0,08 s
- Segmen ST :
ST elevasi : -
ST depresi : -
30
- Gelombang T : V5, AVL
- Q patologis : -
7. Kesan : Abnormal EKG, sinus ritme, regular, HR: 68x/i
iskemik di daerah lateral.
RESUMEPasien datang dengan keluhan sesak napas sejak 1,5 tahun hari yang lalu,
dan memberat 4 hari SMRS. Sesak napas memberat saat malam hari (+), rasa
cepat lelah (+), batuk pada malam hari (+), edema kedua tungkai (+), riwayat
Hipertensi terkontrol 4 tahun yang lalu.
Dari hasil pemeriksaan tanda vital, dijumpai tekanan darah 150/90 mmHg,
nadi 85 x/menit, regular, frekuensi pernapasan 25 x/menit, suhu 36.9°C. Dari
pemeriksaan fisik, dijumpai adanya peningkatan TVJ yakni R+2 cmH2O, dijumpai
suara ronkhi basah basal di kedua lapangan paru. Pada pemeriksaan fisik jantung,
ictus cordis teraba di ICS VI 3 jari lateral, dan batas jantung kanan di 3 jari lateral
LPSD serta dijumpai edema pada ekstremitas inferior bilateral.
VI. DIAGNOSA BANDING1. CHF FC NYHA III-IV ec dd 1. Ischemic Heart Disease
2. Hypertensi Heart Disease2. Anemia
3. Diabetes Melitus controlled
4. Hiperkalemia
VII. DIAGNOSA SEMENTARA
1. CHF FC NYHA III-IV ec dd 1. Ischemic Heart Disease 2. Hypertensi Heart Disease
31
VIII. PENATALAKSANAAN UMUM Bed rest semi fowler
Oksigen 2 – 4 L/menit
Diet jantung M II, 1.800 kkal/hari
Kurangi asupan garam
Meningkatkan konsumsi buah dan sayur, dan kurangi konsumsi lemak
KHUSUS
Three way
Inj. Furosemide I amp/8 jam
Spironolakton 1 x 25 mg
Amlodipin 1x 5 mg
Bisoprolol 1 x 2,5 mg
Omeprazole 1 x 30 mg
ISDN 3x 5 mg
Insulin Novorapid 8-8-8 ui
Insulin Levemir 0-0-10 ui
Ambroxol 3x C1
Sucralfat 3x C1
PLANNING DIAGNOSTIK DR, ur/cr, elektrolit, GDS PP & GDS 2 jam PP, lipid profile, As.urat,
Albumin, Globulin
Foto Thoraks AP
EKG serial setiap/hari
IX. PROGNOSIS Quo ad Vitam : Dubia ad bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad malam
Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
32
X. PENGAMATAN LANJUTFOLLOW UP
Tanggal S O A P
7-1-2014
H- 0
Sesak
napas
(+),
Cepat
lelah (+),
Batuk (+)
Kaki
bengkak
(+),
Nyeri
dada (+)
KU : Lemah
Kes : CM
TD : 150/ 90 mmHg
HR : 105x/menit
RR : 24x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (+/+)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
CHFIII- IV ec IHD, HHD + Anemia+ DM+ hiperkalemia
Th/
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
Tranfusi PRC
s/d hb>10
Planning
Diagnostik/
Periksa darah
lengkap
Foto Thorax
PA
Echocardiogra
fi
33
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (+/+)
inferior
8 -1-
1014
H-1
Sesak (+)
Mudah
lelah (+)
Nyeri
dada (+)
Batuk (+)
Kaki
bengkak
(+)
KU : Lemah
Kes : CM
TD : 140/90 mmHg
HR : 86x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
CHF III ec IHD, HHD+anemia +hiperkalemia
Th/
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Tranfusi PRC
s/d hb>10
Planning
diagnostik/
Periksa darah
34
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (+/+)
inferior
lengkap
Echocardiogra
fi
9-1-2014
H-2
Sulit
tidur (+),
Sesak
napas
sudah
berkuran
g,
Batuk (+)
Mudah
lelah
sudah
berkuran
g
Nyeri
dada (-)
Kaki
bengkak
(+)
KU : Lemah
Kes : CM
TD : 130/ 70 mmHg
HR : 88x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
CHF III ec HHD, IHD
Th/
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Tranfusi PRC
s/d hb>10
Planning
diagnostik/
35
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
Periksa darah
lengkap
Echocardiogra
fi
10-1-
2014
H-3
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 140/ 90 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 18x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
CHF III ec IHD, HHD
Th/
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
36
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
10 ui
Tranfusi PRC
s/d hb>10
11/1/201
4
H4
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
KU : Lemah
Kes : CM
TD : 130/ 70 mmHg
HR : 88x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
37
bengkak
(+)
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
x 20 mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Tranfusi PRC
s/d hb>10
12/1/201
4
H5
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
KU : sedang
Kes : CM
TD : 140/ 90 mmHg
HR : 80x/menit
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
38
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
RR : 18x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
39
inferior
13/1/201
4
H6
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 140/ 90 mmHg
HR : 66x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled +hiperkalemia
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
40
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
14/1/201
4
H7
Sesak (+)
Kaki
bengkak
(+)
Nyeri
dada (-)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 140/ 90 mmHg
HR : 86x/menit
RR : 29x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
41
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
15/1/201
4
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 160/ 80 mmHg
HR : 60x/menit
RR : 19x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
42
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
16/1/201
4
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 150/ 80 mmHg
HR : 88x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
43
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
17/1/201
4
Nyeri
dada (+)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 150/ 80 mmHg
HR : 76x/menit
RR : 22x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
44
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
18/1/201
4
Nyeri
dada (-)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
KU : sedang
Kes : CM
TD : 120/ 90 mmHg
HR : 78x/menit
RR : 18x/ menit
Suhu : afebris
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
45
berkuran
g
Kaki
bengkak
(+) sudah
mulai
berkuran
g
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema
(-/-) inferior
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
19/1/201 Nyeri KU : sedang CHF III ec IHD, HHD +
Bed Rest
46
4 dada (-)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(-)
Kes : CM
TD : 130/ 90 mmHg
HR : 78x/menit
RR : 20x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
anemia+ DM controlled1
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
47
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
20/1/201
4
Nyeri
dada (-)
Batuk (-)
Sesak
sudah
mulai
berkuran
g
Kaki
bengkak
(-)
KU : sedang
Kes : CM
TD : 150/ 90 mmHg
HR : 80x/menit
RR : 18x/ menit
Suhu : afebris
Kepala : normochepali
Mata : Cekung (-/-)
Konj.palp.inf.ane
mis (-/-)
Sklera ikterik (-/-)
Telinga : Serumen (-)
Hidung : Sekret (-)
NCH (-)
Mulut : Bibir : pucat(-)
sianosis (-)
Lidah : beslag(-)
Geligi : karies(-)
Faring: hiperemis
(-)
Leher : TVJ R + 2 cm
H2O
Thorax : Simetris (+),
Retraksi (-)
Paru-paru : Ves (+/+),
Rh basah basal
(+/+),
Wh (-/-).
CHF III ec IHD, HHD + anemia+ DM controlled1
Bed Rest
Semi fowler,
Diet DM 1700
kkal
IVFD 10 gtt/i
Furosemid 2
amp / 8 jam
Amlodipin
1x5 mg
Omeprazole 1
x 20 mg
ISDN 3x10
mg
Levorapid 8-
8-8 ui
Levemir 0-0-
10 ui
Sucralfat 3x
CI
Sohobion 1x1
Ambroxol
sirup 3x C1
48
Jantung : BJ 1 > BJ II,
bising (-)
Abdomen : Distensi (-),
Peristaltik (N),
nyeri tekan (-),
Hepar/Lien/Re
nal teraba (-)
Ekstremitas: Edema (-/-)
inferior
ANJURAN KETIKA PULANG
- Perbanyak istirahat di rumah
- Olahraga teratur
- Hindari makanan berlemak dan mengandung garam yang berlebih
- Minum obat yang teratur
- Kontrol kembali ke poli jantung
49
ANALISA KASUSGagal jantung merupakan tahap akhir dari seluruh penyakit jantung dan
merupakan penyebab peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien jantung.
Diperkirakan hampir lima persen dari pasien yang dirawat di rumah sakit, 4,7%
wanita dan 5,1% laki-laki. Insiden gagal jantung dalam setahun diperkirakan 2,3 –
3,7 perseribu penderita pertahun. Kejadian gagal jantung akan semakin meningkat
di masa depan karena semakin bertambahnya usia harapan hidup dan
berkembangnya terapi penanganan infark miokard mengakibatkan perbaikan
harapan hidup penderita dengan penurunan fungsi jantung.
Gagal jantung adalah sindrom klinis (sekumpulan tanda dan gejala)
ditandai oleh sesak nafas dan fatik (saat istirahat atau saat aktivitas) yang
disebabkan oleh kelainan struktur atau fungsi jantung. Seorang pasien yang
menderita gagal jantung harus memiliki tampilan berupa : gejala gagal jantung,
nafas pendek yang tipikal saat istirahat atau saat melakukan aktifitas disertai atau
kelelahan; tanda-tanda retensi cairan seperti kongestif paru atau edema tungkai
kaki; adanya bukti objektif dari gangguan struktur atau fungsi jantung saat
istirahat. Adanya gejala gagal jantung, yang reversible dengan terapi, dan bukti
objektif adanya disfungsi jantung. 6
Faktor resiko dan Etiologi (perbandingan kasus dan teori)
Dari hasil anamnesis, didapatkan pasien berumur 55 tahun dan berjenis
kelamin laki-laki. Berdasarkan berbagai penelitian sebelumnya, Diperkirakan
sebanyak 1 – 2% dari seluruh populasi di negara maju mengidap gagal jantung,
dengan prevalensi yang meningkat menjadi sekita 10% dari seluruh populasi
dengan usia 70 tahun ke atas. Angka ini akan meningkat karna peningkatan usia
populasi dan perbaikan ketahanan hidup setelah infark miokard. Di Eropa
kejadian gagal jantung berkisar 0,4% - 2% dan meningkat pada usia yang lebih
lanjut, dengan rata-rata umur 74 tahun. Penelitian Framingham di US menyatakan
bahwa angka kejadian gagal jantung ini akan meningkat pada usia di atas 65
tahun.14
Terdapat perbedaan klinis dan fungsi yang diamati, antara lain wanita
dengan gagal jantung lebih lama bertahan daripada pria, wanita memiliki fungsi
50
sistolik yang lebih baik, namun wanita cenderung mengalami depresi
dibandingkan pria, dan wanita mengalami gagal jantung pada usia yang lebih tua
daripada pria. Prevalensi gagal jantung kongestif meningkat seiring bertambahnya
usia.
Penyebab umum penurunan fungsi dari jantung adalah kerusakan atau
hilangnya massa otot jantung secara akut atau iskemik kronis, peningkatan
resistensi vaskuler dengan hipertensi atau berkembangnya takiaritmia seperti atrial
fibrilasi.
Sesuai hasil anamnesis pada pasien ini, pasien telah menderita hipertensi
sejak 4 tahun yang lalu namun tidak terkontrol dengan baik dan diabetes mellitus
sejak 15 tahun yang lalu. Hal ini menjadi salah satu faktor predisposisi gagal
jantung pada pasien ini. Angka penderita hipertensi terdata sekitar 20% dari
jumlah seluruh populasi dewasa. Begitu besarnya angka morbiditas hipertensi
menyedot perhatian dunia kesehatan karena hipertensi kronis di US adalah
penyebab utama meningkatnya angka kesakitan dan kematian dari penyakit-
penyakit seperti stroke, gagal jantung, penyakit pembuluh darah perifer, kematian
mendadak, dan infark miokard. Hipertensi terkait dengan peningkatan resiko
berkembang menjadi gagal jantung. Pada hipertensi, jantung terbiasa bekerja
dibawah tekanan yang meningkat, sehingga dibutuhkan usaha maksimal untuk
memenuhi kebutuhan darah ke seluruh tubuh yang akibat kompensasi ini adalah
pembesaran jantung dan kelemahan pada kontraktilitasnya sendiri.
Sesuai hasil penelitian Richards AM pada tahun 2002 yang menyatakan
bahwa dari 1093 pasien dengan gagal jantung, sebanyak 436 orang (40%) telah
memiliki riwayat hipertensi telebih dahulu. Umumnya keadaan ini didukung juga
dengan faktor usia yang lebih tua, perempuan, memiliki BMI yang tinggi
(cenderung obesitas), memiliki riwayat DM atau gangguan ginjal, dan memiliki
riwayat dyslipidemia.15
Resiko ini meningkat pada pasien ini diakibatkan adanya hubungan
herediter terhadap hipertensi dan penyakit jantung yang diturunkan oleh ayah
pasien. Kecurigaan penurunan secara genetic terhadap ekspresi LVH (Left
Ventricle Hypertrophy) diduga dari proses variasi gen yang menyebabkan LVH
51
secara sekunder, gen pleiotropic yang mengatur hipertensi dan massa ventrikel
kiri, dan gen unik hipertrofi ventrikel kiri.16
Hasil anamnesa menyatakan bahwa pasien mengaku memiliki riwayat
diabetes mellitus sejak 15 tahun, pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan kadar
glukosa darah sewaktu pasien adalah 138 mg/dl yang mengindikasikan adanya
keadaan hiperglikemia. Diabetes mellitus merupakan salah satu faktor pencetus
gagal jantung, walaupun tidak terkait langsung terhadap gejala gagal jantungnya.
gangguan metabolik seperti diabetes mellitus dan obesitas tidak memiliki kaitan
langsung pada gejala gagal jantung ini, namun patofisiologinya dalam
mencetuskan kasus gagal jantung ini cukup menjadi perhatian. Sebuh penelitian
cohort Framingham yang dilakukan selama 20 tahun, mulai pada tahun 1970
menemukan bahwa hipertensi memiliki resiko terbesar untuk berkembang
menjadi gagal jantung, sekitar 39% pada laki-laki dan 59% pada wanita. Riwayat
infark miokard menduduki peringkat kedua sebagai pencetus kasus gagal jantung
dimana 34% kasus pada laki-laki dan 13% kasus pada wanita. Faktor resiko yang
lainnya seperti diabetes mellitus, hipertrofi ventrikel kiri, dan gangguan katup
jantung.
Penelitian kohort prospektif besar lainnya, NHANES I (First National
Health and Nutrition Examination Survey Epidemiologic Follow-up Study) yang
dimulai juga pada tahun 1970, menemukan bahwa penyakit jantung coroner
adalah factor resiko independen yang paling mempengaruhi angka kejadian gagal
jantung, kemudian disusul oleh hipertensi, kebiasaan merokok, inaktivitas fisik,
status obesitas, diabetes, penyakit katup jantung, dan tingkat pendidikan yang
rendah. Diabetes mellitus merupakan faktor resiko yang dominan pada populasi
wanita dan orang yang muda. Jantung yang membutuhkan energy untuk fungsi
hariannya sebanyak ± 5 kg ATP/hari, dan dapat menurunkan efisiensi energy
terkait dengan resistensi insulin, dengan turunnya utilisasi glukosa dan
meningkatkan proses metabolisme asam lemak.
Dari hasil pemeriksaan, pasien ini dapat digolongkan ke dalam kelompok
obesitas atau memiliki berat badan yang berlebih, yang tidak sesuai denga tinggi
badannya. Hal ini diduga memiliki hubungan terhadap resiko terjadinya kasus
gagal jantung. Hasil penelitian Horwich pada tahun 2010 menyebutkan bahwa
52
obesitas terkait kuat dengan resistensi insulin, sehingga obesitas dapat dikatakan
sebagai faktor resiko yang membahayakan bagi kasus gagal jantung. Dalam
sebuah penelitian dengan 5.881 sampel pada Pussat Penelitian Jantung
Framingham, peningkatan per unit BMI mampu meningkatkan resiko sebesar 5%
pada laki-laki dan 7% pada perempuan. Sebagai tambahan alat ukur, selain BMI,
indikator antropometri lainnya seperti lingkar pinggang, rasio waist to hip, juga
dapat dikaitkan dengan insidensi gagal jantung. Walaupun hubungan antara
overweight/obesitas dan insidensi gagal jantung dapat terkait dengan keadaan
hemodinamik dan perubahan anatomis jantung yang terkait dengan massa tubuh,
penelitian terbaru juga menyebutkan hubungan antaranya juga diakibatkan oleh
obesitas yang terkait keadan metabolic, proses inflamasi, dan perubahan
hormonal.2
DAFTAR PUSTAKA
x1. I R. Tinjauan Interaksi Obat Pada Pasien Gagal Jantung Kongestif di Instalasi
Rawat inap Rumah Sakit Pku Muhammadiyah Surakarta. Surakarta:, akultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta; 2009.
2.A H. Pedoman Pengendalian Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah. Jakarta:, Departemen Kesehatan RI; 2007.
3.AP M. Review of the new ESC guidelines for the pharmacological management of chronic heart failure. European Heart Journal Supplements. 2005;(15-20).
4.Davies MK GCLG. ABC of heart failure: investigation. BMJ. 2000.5.MA SRF. Heart Failure. In LS L. Pathophysiology of Heart Disease A
Collaborative Project of Medical Students and Faculty. Philadelphia; 2007.6.R R. Cardiomyopathies in the adult (dilated, hypertrophic, and restrictive). In
GW D. Heart failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York; 2005. p. 37-56.
7.Davis RC HFLG. ABC of heart failure: History and epidemiology. BMJ.
53
2000.8. Jackson G GCDMLG. ABC of heart failure: pathophysiology. BMJ. 2000.9.ND G. The diagnosis and management of chronic heart failure in the older
patient. British Medical Bulletin. 2005.10.PF C. Gangguan Fungsi Mekanis Jantung dan Bantuan Sirkulasi. In Price SA
WL. Patofisiologi Konsep-Konsep Klinis dan Proses Penyakit. Jakarta: EGC; 2005.
11.Lip GYH GCBD. ABC of heart failure: aetiology. BMJ. 2000.12.TH L. Practice guidelines for heart failure management. In GW D. Heart
failure a comprehensive guide to diagnosis and treatment. New York; 2005. p. 49-65.
13.Abraham WT SL. Higher expectations for management of heart failure: current recommendations. J Am Board Fam Pract. 2002.
x
ContBAB I...................................................................................................................1
BAB II..................................................................................................................3
2.1 Definisi dan Klasifikasi Gagal Jantung..........................................................3
2.2 Etiologi Gagal Jantung................................................................................7
2.3 Patofisiologi Gagal Jantung (5,8).................................................................10
2.4 Diagnosis (7,9)................................................................................................14
2.5 Pemeriksaan penunjang (9)............................................................................15
2.6 Tatalaksana Gagal Jantung (12,9,13).............................................................16
BAB III..............................................................................................................21
3.1 Kesimpulan..................................................................................................21
PRESENTASI KASUS......................................................................................22
I. IDENTITAS PASIEN..................................................................................22
54
II. ANAMNESIS.............................................................................................22
III. PEMERIKSAAN FISIK..............................................................................23
RESUME...........................................................................................................31
VI. DIAGNOSA BANDING.............................................................................31
VIII. PENATALAKSANAAN UMUM............................................................32
PLANNING DIAGNOSTIK..............................................................................32
IX. PROGNOSIS...............................................................................................32
X. PENGAMATAN LANJUT...........................................................................33
ANALISA KASUS............................................................................................50
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................54
55