stereotip dan diskriminasi gender
TRANSCRIPT
STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER
yang DIBENTUK MEDIA MASSA
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Gender & Media
Oleh :
- Arrum Fat-han Adi A. 0811223008
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2011
STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER
yang DIBENTUK MEDIA MASSA
Gender dan seks merupakan dua aspek penting ketika menyinggung soal
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Gender tidak sama dengan seks, tentunya
kata-kata ini perlu mendapatkan penekanan untuk memahami perbedaan diantara
keduanya. Pengertian seks adalah pembedaan yang didasarkan pada fisik manusia.
Perbedaan secara fisik itu melekat sejak lahir dan bersifat permanen. Ia ditentukan oleh
Tuhan dan diterima oleh manusia secara taken for granted (apa adanya) sehingga
disebut sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat1. Secara fisik dan biologis, jelas terdapat
perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan yang secara kodrati tidak dapat
diubah karena setiap organ yang dianugrahkan oleh Tuhan kepada manusia memiliki
fungsi masing-masing, apabila terjadi kerusakan pada salah satu organ manusia tersebut
maka akan mengganggu jalannya fungsi organ yang lain, karena pada dasarnya tubuh
manusia ini merupakan suatu sistem. Contohnya, laki-laki mempunyai penis dan
sperma. Kemudian perempuan memiliki vagina dan sel telur. Kedua organ yang dimiliki
oleh masing-masing laki-laki dan perempuan ini memiliki fungsinya masing-masing
yang tidak bisa dipertukarkan.
Aspek kedua adalah gender, yang menjadi pembicaraan hangat disetiap belahan
dunia ini. Gender dibangun berdasar konstruksi sosial maupun kultural manusia
(Mansour Fakih, 2001). Perbedaan fisik itu akhirnya membangun perbedaan-perbedaan
psikologis. Perbedaan itu disosialisasikan dan dikuatkan melalui pembelajaran
lingkungan (Arif Budiman, 1982). Pembelajaran tersebut dibentuk, diperkuat,
disosialisasikan bahkan dikonstruksikan secara sosial atau kultural melalui ajaran
keagamaan maupun negara (Mansour Fakih, 2001)2. Pada intinya gender berkaitan
dengan peran antara laki-laki dan perempuan yang sudah berbeda lagi dengan
pembedaan berdasarkan seks (jenis kelamin). Bersumber pada kosntruksi sosial yang
1 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 3
2 Dalam Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 3
kemudian dilanggengkan oleh media massa yang menempatkan laki-laki dan
perempuan dicitrakan berbeda.
Gender dapat dibedakan dalam beberapa pengertian, yaitu3:
1. Gender sebagai suatu istilah sains dengan makna tertentu
2. Gender sebagai fenomena sosial budaya
3. Gender sebagai kesadaran sosial
4. Gender sebagai persoalan sosial budaya
5. Gender sebagai sebuah konsep untuk dianalisis
6. Gender sebagai sebuah perspektif untuk memandang suatu kenyataan
Persoalan gender kemudian menjadi isu dan memunculkan gerakan-gerakan
karena adanya ketidakadilan (penyimpangan peran) yang dihasilkan oleh kosntruksi
sosial dan ideologi. Menurut Judith Waters dan George Ellis (1996), gender merupakan
kategori dasar dalam budaya, yaitu sebagai proses dengan identifikasi tidak hanya
orang, tapi juga perbendaharaan kata, pola bicara, sikap, dan perilaku, tujuan, dan
aktifitas seperti “maskulinitas” atau “feminitas”. Berbagai pembedaan itu akhirnya
memunculkan stereotip tertentu yang disebut dengan stereotip gender4.
Pembicaraan mengenai seks dan gender akan selalu berkaitan dengan teori
nature dan nurture. Nature berkaitan dengan seks (jenis kelamin) yang bersifat mutlak
karena berasal dari Tuhan. Sedangkan nurture, berkaitan dengan sosial budaya yang
bersifat relatif dan tentatif (sementara), dimana anak berada dalam pengasuhan yang
terbentuk oleh lingkungan, sehingga ketika dewasa mereka dapat memilih peranannya
masing-masing.
Pada waktu lahir terjadi perbedaan biologis secara nature, alamiah, kodrat Ilahi
yang tidak dapat diberontaki. Namun bayi yang lahir, kemudian “dibentuk” oleh
lingkungan hidupnya yang dinamakan sosialisasi. Pada sisi inilah, berbagai nilai bisa
berbeda, juga bisa sama5. Konstruksi sosial dalam masyarakat kemudian melekatkan
perbedaan gender dimana laki-laki yang secara fisik memiliki tubuh yang kuat, maka
dia mampu melakukan pekerjaan berat diluar rumah, mencari nafkah sebagai kepala
3 Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Hlm. 26
4 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 4
5 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Hlm. XVII
keluarga dan bertindak sebagai pemimpin. Sedangkan perempuan dikonstruksikan
sebagai makhluk yang lemah lembut, lebih menggunakan perasaan daripada logika,
pintar memasak, maka hanya pantas sebagai seorang ibu rumah tangga saja, yang
mengurus anak, rumah dan mengabdi kepada suami. Pandangan dilakukan secara terus
menerus hingga pada akhirnya terkonstruksi secara kuat sehingga dianggap sebagai
kodrat yang tidak bisa diubah.
Lambat laun persoalan mengenai pembedaan gender yang dikonstruksikan oleh
manusia ini mengakibatkan munculnya suatu hubungan ketidakadilan yang telah
memunculkan diskriminasi, dan kebanyakan dalam hal ini pihak perempuan berada
pada posisi yang selalu dirugikan oleh laki-laki. Dimana label yang sudah melekat pada
diri perempuan yang harus selalu tunduk pada perintah laki-laki. Tidak hanya dari segi
sosial budaya, dari aspek agama pun semakin memperkuat bias gender ini hingga laki-
laki bisa semena-mena memperlakukan perempuan sebagai sebuah benda yang bisa
dipermainkan olehnya, bukan sebagai makhluk hidup yang harus dihargai meskipun
terdapat perbedaan diantara keduanya.
Salah satu ekses ideologi gender adalah terbentuknya struktur budaya
patriarkhat. Dalam budaya ini, kedudukan perempuan ditentukan lebih rendah daripada
laki-laki. Di dalam masyarakat, terjadi dominasi laki-laki atas perempuan diberbagai
bidang kehidupan6. Dalam posisi ini, perempuan merasa sangat dirugikan karen akibat
dominasi tersebut memunculkan kekerasan terhadap perempuan yang seolah-olah itu
dibenarkan oleh lingkungan bahkan agama, dimana laki-laki harus mampu memberikan
pelajaran bagi perempuan (istrinya) agar menurut pada suami.
Tidak sedikit bias gender dibangun berdasar pada pemahaman kitab. Ada tiga
dasar pemahaman agama yang mendasari, yaitu (Syarif Hidayatulloh & M. Mukhtasa,
2002) 7:
1. Tujuan diciptakannya perempuan adalah untuk melengkapi laki-laki
2. Perempuan diciptakan dari tulang rusuk laki-laki yang berarti membawa
konsekuensi posisi sub-ordinatif dibawah laki-laki.
6 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 5
7 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 9
3. Perempuan merupakan sebab jatuhnya manusia dari dalam surga, yang
membawa konsekuensi bahwa perempuan merupakan makhluk pembawa dosa
Stereotip yang semakin melekat kuat ini terus menerus berlangsung sehingga
semakin menjadikan label bahwa perempuan ini hanya memiliki kedudukan dibawah
laki-laki yang kemudian hidup dari perempuan akan ditentukan dan dkuasai oleh laki-
laki, sehingga perempuan tidak memiliki pilihan untuk mengambil peranan mana yang
akan mereka lakukan dan disukainya. Situasi ini memunculkan berbagai macam bentuk
ketidakadilan gender, antara lain marginalisasi terhadap perempuan dimana mereka
dipandang sebagai orang nomor dua. Perempuan dicitrakan lemah, kurang rasional,
lebih sensitif, menggunakan perasaan yang kemudian akibatnya perempuan dianggap
tidak pantas sebagai pemimpin. Selanjutnya stereotip masyarakat terhadap perempuan
yang pada akhirnya menimbulkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan yang
sudah dibakukan oleh lingkungan sosial budaya.
Pada kultur Jawa yang patrilineal, perempuan dipandang sebagai pelengkap
“konco wingking”, “orang belakang”, “sub-ordinat” bagi kaum laki-laki. Perempuan
hanya ditempatkan dalam posisi suwargo nunut neraka katut (segala hak dan
kepentingan perempuan sangat bergantung pada kaum laki-laki). Perempuan hanya
sebagai obyek pelengkap pria. Budaya tersebut sangat luas dianut dalam masyarakat
Jawa sehingga mempengaruhi banyak sendi kehidupan8.
Dominasi yang dilakukan oleh kaum laki-laki secara universal ini membawa
keprihatinan yang besar atas nasib perempuan yang berda ditangan laki-laki. Perempuan
hanya dipandang sebelah mata, hanya digunakan sebagai pelengkap saja, Apalagi untuk
laki-laki yang sudah menikah, beranggapan bahwa perempuan yang sudah menjadi
istrinya itu adalah miliknya sepenuhnya, sehingga apaapun bisa dilakukan kepada
istrinya termasuk bersikap kasar apabila tidak mau menuruti perintah suami termasuk
dalam melakukan hubungan seks yang sering dipaksakan oleh laki-laki (suami).
Situasi seperti ini menyebabkan perempuan tidak bisa bebas dalam artian karena
selalu terikat oleh laki-laki. Perempuan tidak mendapatkan kemerdekaan untuk
menentukan hak dan kewajibannya sendiri. Hak azazi perempuan masih banyak belum
mendapatkan perhatian khusus untuk menghilangkan ketidakadilan gender ini, bahkan
8 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 9
perempuan tidak menyadari bahwa hak dan kewajibannya telah dirampas oleh laki-laki,
hanya karena mereka berpengang pada konstruksi budaya yang telah terbentuk sejak
lama.
Situasi tersebul muncul dengan adanya struktur budaya yang dibuat oleh
manusia. Data ini dapat ditelusuri melalui9:
1. Struktur budaya patriarkhi yang muncul karena perubahan sosial ke arah
masyarakat industry (adanya hak miliki, akumulasi kapital)
2. Struktur ekonomi yang menghasilkan suatu sistem yang merugikan perempuan
(urusan pangan dibebankan perempuan, perempuan masuk kategori tenaga kerja
kurang produktif, kesempatan memimpin bagi perempuan banyak hambatannya)
3. Struktur sosial yang memunculkan hubungan hierarkis dalam keluarga sehingga
perempuan menjadi manusia nomor dua. Hubungan hierarkis ini berkembang
menjadi hubungan dalam kasta atau lapisan dalam masyarakat feodal lainnya.
4. Struktur politik yang memunculkan sistem “kelembutan perempuan” (sifat
feminin) tidak pernah mendapat kesempatan untuk turut mengambil keputusan
dalam bidang politik (contoh: Corry Aquino dikategorikan pemimpin yang tidak
tegas, Megawati dinilai kapasitasnya meragukan)
5. Struktur sosial religius, memunculkan pandangan “perempuan yang kehidupan
religiusnya bermutu” adalah mereka yang menafsirkan kitab suci sebagai sabda
Tuhan, tanpa mempersoalkan budaya patriarkhat yang melatarbelakangi
penulisan tersebut.
Struktur budaya tersebut semakin memperkuat stereotip dan diskriminasi gender
yang membuat perempuan semakin terpinggirkan. Dalam hal ini media massa juga
membantu semakin langgengnya pandangan tersebut. Tayangan-tayangan dalam media
massa baik cetak maupun elektronik, secara visual, audio maupun audio visual juga
mengangkat bahwa perempuan ini selalu tertindas oleh laki-laki. Media massa sebagai
alat yang paling ampuh dalam mempersespsi khalayaknya secara massal dalam waktu
yang bersamaan membantu pencitraan simbol yang baku bahwa perempuan dijadikan
sebuah komoditas media.
9 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 18-19
Rosinta Situmorang, dalam wacana iklan media massa, perempuan sering
diposisikan bukan sebagai subyek tetapi sebalinya sebagai obyek tanda. Media
menjadiakn tubuh dan fragmen tubuh perempuan sebagai penanda (signifier) yang
dikaitkan dengan makna atau pertanda (signified) tertentu, yang termanifestasikan
secara kitsch, sesuai dengan tujuan “politik ekonomi libidinal” (Kasiyan, 2001)10
.
Media massa terutama televisi memiliki kekuatan yang sangat besar untuk
mempengaruhi dan membentuk pola pikir bahkan hingga pada aksi (muncul tindakan)
atas apa yang dikonsumsi oleh audiens secara aktif. Tayangan ditelevisi banyak
memberitakan tentang kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami
kepada istri, selain itu perdangan perempuan sebagai pekerja seks komersial juga
semakin marak. Konstruksi terhadap perempuan sebagai manusia nomor dua ini,
kemudian memunculkan gerakanm untuk membela hak kaum perempuan agar tidak
selalu tertindas oleh laki. Secara seks (jenis kelamin) laki-laki dan perempuan memiliki
aspek fisik dan biologis yang memang mutlak berbeda. Akan tetapi secara peranan
seharusnya perempuan juga berhak menentukan peran apa yang akan diambil dalam
kehidupnnya, bukan ditentukan oleh laki-laki.
Isu-isu ketidakadilan gender ini memunculkan gerakan dan menjadi perhatian
dunia, karena hampir setiap perempuan didunia ini mendapat perlakuan tertindas oleh
laki-laki sehingga tidak adanya kesetaraan gender. Dalam perspektif gender, maskulin
maupun feminin sebenarnya merupakan sebuah pilihan bukan paksaan. Media massa
mengkonstruksikan bahwa laki-laki adalah sebagai seorang kepala keluarga, bekerja
dikantoran, memiliki jabatan yang lebih tinggi dibandingkan perempuan. Sedangkan
perempuan, dikonstruksikan untuk mengurus rumah, anak, dan mengikuti perintah
suami.
Pada dasarnya persoalan bias gender ini telah diperkuat oleh agama, sosial
budaya dan media massa yang kemudian memunculkan gerakan terutama untuk
membela hak perempuan agar tidak laki terjadi kekerasan dan menciptakan kesetaraan
gender yang sesungguhnya tidak atas dasar kepentingan tertentu yang justru akan
semakin memecahkan impian keluarga bahagia.
10 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 6
FENOMENA STEREOTIP dan DISKRIMINASI GENDER YANG DIBENTUK
MEDIA MASSA
Kasus ketidakadilan terhadap perempuan menjadi sorotan tajam dan selalu
diekspos oleh media massa. Stereotip perempuan sebagai obyek dalam iklan maupun
film selalu menampilkan perempuan yang bertubuh sexy atau kalau tidak begitu seorang
perempuan yang bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi rumah dan anak.
Media massa membedakan peran pekerjaan laki-laki dan perempuan didasarkan pada
perbedaan fisik yang dilakukan oleh masyarakat. Pada dasarnya apa yang
direpresentasikan mengenai laki-laki dan perempuan yang ditayangkan oleh media
massa, merupakan sebuah representasi dari fenomena sosial budaya dalam masyarakat
kita.
Dalam iklan deterjen Rinso yang dibintangi oleh Titi Dj, ditampilkan dalam
iklan tersebut laki-laki sebagi suami berangkat kerja, diantarkan oleh sopir dengan
menggunakan mobil mewah, tidak diketahui apa pekerjaan dari suami tersebut akan
tetapi dari kostum yang digunakan laki-laki tersebut menggunakan kemeja lengan
panjang dan berdasi serta membawa tas kantor, maka dapat direpresentasikan bahwa
suami tersebut adalah pekerjan kantoran yang memiliki jabatan tinggi.
Setelah suami berangkat kerja, maka giliran sang istri melakukan pekerjaan
rumah. Dalam iklan ini juga ditampilkan bahwa kegiatan yang dilakukan oleh istri
hanyalah melakukan pekerjaan rumah bersama anaknya. Istri hanya mengenakan
pakaian sehari-hari, tidak terlihat melakukan kegiatan diluar rumah atau pun
menggunakan baju kantoran sebagai seorang pekerja.
Gambar 1: Suami akan berangkat kerja
dalam iklan Rinso
Dalam bahasa Marry Cross, iklan adalah bagian dari kapitalisme (Marry Croos,
2006), karena menciptakan need, want, dan buy melalui materi iklan yang impactfull
maupun melalui reach, frequency, serta continuity di media yang efektif dan efisien
(Martadi, 2001)11
. Intinya iklan adalah alat untuk mempersuasif konsumen untuk
membeli produk, akan tetapi terlepas dari hal itu iklan sebagai produk media massa juga
membentuk diskriminasi gender dalam pembedaan peran laki-laki dan perempuan.
Dalam iklan Rinso ini, semakin menguatkan stereotip didalam masyarakat
bahwa yang boleh bekerja dikantoran (diluar rumah) adalah laki-laki (suami),
sedangkan istri hanya bertugas untuk mengatur kebutuhan rumah tangga seperti
mengurusi rumah dan merawat anak ketika dirumah. Media massa yang
mengkonstruksikan peranan laki-laki dan perempuan yang berbeda ini dapat
menimbulkan bias gender karena terjadinya penyimpangan yang sering dilakukan oleh
suami kepada istri. Suami mengikat istri hanya untuk sekadar mengurus rumah tangga
11 Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Hlm. 13
Gambar 2: Kegiatan istri
bersama anak, mencuci mobil Gambar 3: Kegiatan istri
bersama anak, memasak dirumah
Gambar 4: Kegiatan istri
dirumah, mencuci pakaian
saja, tidak perlu tahu urusan dunia luar dan mungkin tidak mau lagi mendengarkan apa
yang sebenarnya diinginkan oleh istri.
Stereotip yang timbul oleh lingkungan sosial budaya serta didukung oleh agama
terhadap perempuan yang selalu berada dibawah suami ini kemudian menimbulkan
diskriminasi yang selanjutnya juga dilakukan oleh media massa dalam menyampaikan
pesannya. Munculnya, tayangan-tayangan kekerasan dalam rumah tangga juga diambil
sebagai topik yang diangkat dalam cerita sinetron, film, dan produk media massa
lainnya. Tidak hanya berhenti pada satu iklan Rinso saja yang telah ditampilkan tersebut
diatas, akan tetapi juga didominasi oleh iklan-iklan lain yang serupa.
Wajah perempuan dalam pemberitaan cenderung meng-gambarkan perempuan
sebagai korban, pihak yang lemah, tak berdaya, atau menjadi korban kriminalitas karena
sikapnya yang “mengundang” atau memancing terjadinya kriminalitas, atau sebagai
obyek seksual. Sementara perempuan dalam iklan tampil lebih sering sebagai potongan-
potongan tubuh yang dikomersialisasi karena keindahan tubuhnya atau kecantikan
wajahnya. Wajah perempuan dalam program acara hiburan seperti sinetron juga
menyudutkan perempuan. Penggambaran dalam cerita-ceritanya seringkali sangat
stereotipe12
. Tidak bisa dipungkiri karena adanya stereotip tersebut maka memunculkan
diskriminasi yang sangat kental terhdap perempuan dalam berbagai aspek kehidupan.
Ideologi gender hasil konstruksi masyarakat menimbulkan berbagai masalah
dalam keluarga, karean tidak ada kesetaraan dalam relasi antar manusia. Pemahaman
bahwa setelah menikah istri adalah miliki suami mengundang perilaku suami untuk
menguasai istri13
. Kekuasaan laki-laki terhadap perempuan ini terlihat dalam bentuk
kekerasan fisik dan psikis baik verbal maupun non verbal. Stereotip ini yang
mendukung semakin maraknya kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh
suami kepada istri, karena seolah-olah konstruksi masyarakat ini telah melegalkan
bahwa apapun yang dilakukan suami pada istri itu adalah haknya dan istri hanya bisa
patuh serta melaksanakan apa yang diperintahkan oleh suami.
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami kepada
istri yang dilanggengkan melalui sebuah konstruksi budaya ini, juga diangkat dalam
12 http://jurnalistik.blog.esaunggul.ac.id/2010/10/11/jurnalisme-berperspektif-gender/, diakses pada
12/03/10, pukul 22.14
13 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 199
sebuah film India dengan setting lokasi di London. Film ini juga diangkat berdasarkan
kisah nyata yang kemudian diberi judul “PROVOKED, a true story”. Cerita yang
diangkat dari “Biografi Kiranjit Ahluwalla oleh Rahita Gupta & Kiranjit Ahluwalla” ini
mengisahkan tentang seorang istri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan
pelecehan seksual yang dilakukan oleh suami selama sepuluh tahun.
Kejadian ini berawal di London, 9 Mei 1989, tiba-tiba terdengar teriakan
Deepak (suami Kiranjit) yang keluar rumah dengan tergesa-gesa dan hampir seluruh
tubuhnya sudah terbakar oleh api. Sementara itu Kiranjit (istri Deepak) bersama kedua
anaknya terlihat duduk dibelakang rumah dan dia terlihat shock dalam keadaan yang
tidak sadar setelah kejadian itu. Deepak mengatakan pada polisi bahwa Kiranjit yang
telah membakarnya malam itu ketika dia sedang tertidur pulas dikamarnya. Setelah
dilakukan introgasi dan olah TKP akhirnya polisi mengungkapkan bahwa Kiranjit
sebagai tersangka pembunuhan berencana terhadap Deepak suaminya.
Kiran didakwa telah membakar suaminya, kepada pengacaranya dia mengakui
hal tersebut akan tetapi terdapat pernyataan lain yang dia ungkapkan bahwa dia telah
dianiaya, dipukuli, dipaksa melakukan hubungan seks ketika suaminya pulang dalam
keadaan mabuk, hal ini dilakukan secara terus menerus stiap malam hingga sepuluh
tahun usia pernikahan mereka. Padahal pada awalnya Deepak bersikap baik dan sangat
menyayangi Kiran, mereka berdua dijodohkan dan belum pernah bertemua sama sekali
sebelum menikah. Beberapa waktu kemudian Deepak meninggal, dan hal ini semakin
memberatkan tuntutan terhadap Kiran meskipun dia sendiri telah mengalami siksaan
fisik dan psikis oleh suaminya selama sepuluh tahun. Kekerasan dalam rumah tangga
yang dialami Kiran tidak menjadi perhatian penting bagi hakim, yang dilihat hanya
Kiran telah membakar suaminya, bahkan hakim mengabaikan siksaan yang dialami oleh
Kiran.
Pengacara juga mengalami kesulitan untuk melakukan pembelaan terhadap
Kiran atas keputusan hakim dengan hukuman seumur hidup, karena Kiran tidak mau
menjadi saksi sebab dipengaruhi oleh konstruksi budaya yang dibawanya dari India,
bahwa masalah rumah tangganya adalah aib yang memalukan sehingga tak sepantasnya
diketahui orang lain termasuk jika dibicaran didepan pengadilan. Kiran tetap memegang
teguh ajaran budaya yang dibawanya, meskipun dia mengakui telah membunuh suami
yang telah menzaliminya, namun dia tetap merasa menyesal dan berdosa sehingga
pantas menerima hukuman itu.
Mitos yang diturunkan dari generasi ke generasi, bahwa laki-laki itu agresif dan
perempuan pasif, telah mendorong pemerkosaan dalam keluarga. Demikian pula,
konstruksi yang mengharuskan suami sebagai kepala keluarga. Banyak contoh bisa
disebutkan, sebuah keluarga berantakan justru karena tuntutan agar laki-laki harus
menjadi kepala keluarga. Hal itu terjadi, karena pada kenyataannya tidak semua laki-
laki mampu menjadi pemimpin, mampu mengorganisasi sebuah lembaga bernama
keluarga14
. Kasus yang diamali oleh Kiranjit ini tidak bisa terlepas dari konstruksi
pembentukan laki-laki dan perempuan yang telah dibentuk oleh budaya. Film ini
menunjukkan sangat kental budaya berpengaruh pada pembagian peran antara suami
dan istri yang terlihat berbeda jauh.
Deepak sebagai seorang suami yang pada awal pernikahan sangat menyayangi
Kiran, akan tetapi lama kelamaan dia berubah menjadi suami yang jahat,
temperamental, suka menyiksa istrinya dan mengatur setiap yang dilakukan Kiran
termasuk dalam hal berpakaian dan bergaul dengan teman. Pada diketahui bahwa
Deepak sendiri memiliki perempuan lain (selingkungan) berkulit putih. Ketika Kiran
marah pada suaminya karena perbuatannya yang tidak bermoral itu justru Kiran
mendapatkan tamparan keras dan siksaan dari suaminya, bahkan dia tidak mampu untuk
membalasnya dan hanya bisa menurut pada suaminya.
14 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 200
Gambar 5: Pernyataan Kiran
kepada Polisi
Gambar 6: Luka memar dipinggang
karena dipukul oleh Deepak
Ideologi gender patriarkhis telah menciptakan relasi yang timpang berdasarkan
kategori kuat-lemah, yang kuat menguasai yang lemah, dan di situlah letak
ketidakadilan beserta implikasinya seperti berlakunya kekerasan15
. Budaya patriarkhis
yang meninggikan derajat laki-laki ini menguatkan stereotip bahwa perempuan adalah
makhluk nomor dua yang hanya mendampingi laki-laki, sedangkan kekuasaan penuh
berada ditangan laki-laki. Dalam film ini meskipun selama sepuluh tahun Kiran dizalimi
oleh suaminya sendiri namun dia hanya bisa menurut dan patuh pada perintah suaminya
saja. Bahkan dalam hal pendidikan pun, ketika Kiran mengungkapkan dia ingin menjadi
pengacara, suaminya melarang keinginan istrinya tersebut. Kiran hanya boleh mengurus
pekerjaan rumah dan anak saja, bahkan keuangan pun sepenuhnya dipengang oleh
suami.
Perkawinan bagi perempuan merupakan penjara bagi kebebasannya secara
pribadi. Lebih-lebih apabila suami memonopolinya. Perempuan menjadi tidak berdaya
dalam situasi keluarga yang maskulin ditandai oleh dominasi laki-laki (dapat pula
dominasi oleh perempuan), otoriter, dan terjadi tindak kekerasan. Dalam keluarga ini,
tidak ada pembagian kekuasaan oleh pimpinan keluarga16
. Kekerasan yang dialami
Kiran ini terbentu karena label yang telah diberikan budaya kepada perempuan India,
dimana mereka layak disebut sebagai perempuan jika sudah menikah dan mempunyai
anak, tidak perlu memperhatikan pendidikan perempuan itu sendiri.
15 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Hlm. 229
16 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 230
Gambar 7: Suaminya melarang
Kiran menggunakan baju orang
kulit putih
Gambar 8: Deepak menampar
Kiran setelah dia berdansa
dengan temannya
Dikriminasi yang dialami oleh perempuan tidak hanya dialami oleh Kiran saja
yang terkonstruski oleh budaya India, akan tetapi ditengah-tengah modernitas London,
Roonie yang berprofesi sebagai artis juga mengalami penganiayaan oleh suaminya
hingga habis pada batas kesabarannya dan dia membunuh suaminya. Namun berbeda
dengan Kiran yang selalu menyesali telah membunuh suaminya itu. Roonie justru
menysal tidak melakukan hal itu sejak dulu, karena menurutnya dengan itu dia bisa
bebas dari tekanan laki-laki.
Berita mengenai Kiran yang membakar suaminya ini menjadi isu yang menyebar
luas melalui media massa, salah satunya adalah Koran. Didalam headline Koran itu
dituliskan “Ibu Orang Asia Membakar Pasangannya”. Pemberitaan ini menarik perhatin
Radha dan teman-temannya yang memiliki LSM untuk kepedulian mereka terhadap
perempuan yang mendapatkan perlakuan kekerasan dalam rumah tangga. Radha
berusaha membujuk Kiran untuk menuliskan kisahnya tersebut demi menarik simpati
dari masyarakat luas dan menyadarkan mereka bahwa terjadi ketidakadilan terhadap
Gambar 9: Pertengkaran Deepak
dan Kiran didepan ibu mertunya
Gambar 10: Deepak mencekik Kiran ketika
dia mengatakan suaminya selingkuh
Gambar 10: Roonie teman satu sel Kiran
yang juga mengalami kekerasan dalam
keluarga
Gambar 11: Kiran jatuh dari tangga
didorong oleh Deepak saat mengandung
anak keduanya
kaum perempuan. Radha bersama LSM tersebut juga membantu Kiran untuk
mengajukan keputusan banding kepada hakim karena dianggap tidak memperhatikan
nasib perempuan yang telah terzalimi oleh suaminya dan merusak rumah tangganya
sendiri.
Keadaan yang semakin memprihatinkan atas ketidakadilan terhadap perempuan
ini, kemudian memunculkan gerakan-gerakan untuk membela kaum perempuan karena
mereka selalu tertindas oleh laki-laki dan hal ini disebabkan oleh pembentukan
konstruksi sosial budaya dan ideologi gender yang selalu menganggap wanita sebagai
makhluk nomor dua dan terabaikan bahkan oleh negara hak-hak perempuan belum
mendapatkan pengakuan yang layak. Peran gender sangat dipengaruhi oleh lingkungan
sosial yaitu orang tua, teman, dan media.
Film ini semakin mempertegas diskriminasi terhadap perempuan diman ketika
Kiran sebagai seorang istri menginginkan pendidikan yang lebih untuk menjadi
pengacara namun sang suami melarangnya. Dalam mengambil peranan seharusnya itu
adalah hak setiap individu untuk memilih bukan terikat oleh lingkungan sosial budaya.
Gambar 12: Raddha, anggota LSM
pembela perempuan korban KDRT
Gambar 13: Gerakan Free Kiranjit,
perlawanan atas ketidakadilan perempuan
Gambar 14: Raddha membacakan kisah
Kiran dalam konferensi pers
Gambar 15: Polisi melarang penempelan
pamflet Free Kiranjit
Persoalan gender yang kemudian menjadi isu ini telah memunculkan gerakan dan
perlawan dari kaum perempuan sendiri yang menuntut keadilan.
Kiran tidak akan membakar suaminya jika dia tidak mengalami penderitaan dan
penyiksaan yang terjadi selama sepuluh tahun ini. Kiran yang menderita sindrom wanita
terzolimi melakukan hal tersebut sebagai bentuk perlawanan atas ketidakadilan yang
diterimanya meskipun kemudian bertentangan dengan norma-norma nilai dan budaya
yang dianutnya. Hal ini menunjukkan bahwa konstruksi yang dibentuk oleh budaya dan
lingkungan sosial bahkan agama belum tentu dapat dipraktekkan dalam berbagai zaman
dan keadaan, karena bisa saja budaya tersebut dibentuk karena adanya kepentingan dari
pihak-pihak tertentu yang tidak lagi memperhatikan kesetaraan gender. Jika peranan
antara laki-laki dan perempuan secara seks dan secara gender dapat dibagi dengan baik
dan adil sesuai pada porsinya masing-masing makan kekerasan dalam rumah tangga
bisa diminimalisir.
Akibat stereotip yang memberi label pada laki-laki dan perempuan, maka
terjadilah pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin dalam keluarga. Anak laki-laki
dan perempuan dididik secara tradisi dan adat menurut konstruksi sosial, dan bukan atas
kemampuan pribadi. Perkembangan anak-anak akan masuk kedalam kotak stereotip,
sehingga sulit menemukan identitas dirinya17
.
Pendidikan atas kesetaraan gender yang tidak diberikan sejak dini kepada anak-
anak dan kurangnya kedasaran orang tua akan hal ini, juga mendorong pembentukan
peran anak berdasarkan konstruksi sosial budaya yang juga dilakukan oleh media,
apalagi dizaman serba modern dan canggih ini, laki-laki masih mendapatkan priorotas
utama dalam hal penempatan kerja. Pada zaman ini terkadang laki-laki tidak siap jika
harus menganggur karena berdasarkan konstruksi sosial laki-laki adalah pencari nafkah,
sehingga tidak bisa menerima keadaan jika istri yang harus bekerja dan bahkan
memiliki pendapatam serta lebih survive daripada suami. Anak-anak pun juga akan
menjadi korban karena adanya situasi yang tidak nyaman dalam keluarga, serta adanya
pandangan dari lingkungan sosial yang tidak mendukung.
17 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 200
“Kebudayaanku bagaikan darahku, mengalir ditiap nadi tubuhku. Budaya
ditempat aku dilahirkan, menganggap wanita merupakan kehormatan dari rumah.
Untuk menjungjung kehormatan, dia mengajariku memendam semua tekanan dan
penderitaan dalam keheningan. Seorang wanita adalah mainan, tak punya kemauan,
selalu setuju. Selama 10 tahun hidup dipukuli dan dihina dan tak seorang pun
memperhatikan. Aku keluar dari penjara suamiku, dan memasuki penjara hukum.
Disinilah akhirnya aku bisa menemukan semacam kebebasan”
Gambar 16: Deepak memarahi Kiran
karena telah mengambil uangnya
Gambar 17: Ekspresi Kiran, marah
dengan sikap Deepak selama ini
Gambar 18: Deepak mengancam
Kiran dengan setrika panas
Gambar 19: Deepak yang berperan
sebagai penguasa karena dia laki-laki
Gambar 20: Stereotip laki-laki kepada
perempuan (istrinya)
Tulisan tersebut diatas adalah kutipan surat Kiranjit yang mewakili gambaran
kisah hidupnya akibat ketikadilan yang terbentuk oleh budaya yang telah tertanam kuat
secara turun temurun. Disebutkan bahwa budaya inilah yang menyebabkan wanita
memendam dan hanya sebagai mainan. Maka tidak dapat dipungkiri lagi bawa stereotip
yang dibentuk oleh sosial budaya dalam masyarakat ini mampu menciptakan
diskriminasi terhadap perempuan terutamanya sehingga mengakibatkan adanya
ketidakadilan dan kekerasan oleh laki-laki terutama dalam kehidupan rumah tangga
karena tidak adanya pembagian peran yang jelas dan adil.
Akhirnya, perjuangan Kiran bersama Raddha dan LSM peduli perempuan itu
tidak sia-sia. Pengadilan mengabulkan permohonan pengadilan ulang untuk Kiran.
Setelah 3 tahun 4 bulan ditahan, pada 25 September 1992, Kiran dinyatakan bebas oleh
pengadilan, dan bisa berkumpul kembali dengan kedua anaknya. Hal ini sekaligus
mengubah dasar hukum Inggris selamanya, dengan menambahkan Pembelaan
Provokasi dan sindrom perempuan teraniaya sebagai pernyataan resmi sehubungan
dengan terdakwa yang menderita penyiksaan fisik yang berlebihan oleh pasangan istri
atau suaminya. Dia dikenal sebagai tokoh pembela hak kaum perempuan dan pada
tahun 2001 mendapatkan penghargaan dari istri PM Inggris, Tony Blair sebagai Tokoh
Wanita Asia Panutan atas keberaniaannya.
Media yang membantu semakin langgengnya konstruksi bias gender ini
menyebabkan munculnya gerakan-gerakan karena isu ketidakadilan gender sundah
muncul kepermukaan. Melalui media, individu menjadi sadar terhadap kewajiban moral
mereka terhadap yang lain. Lebih jauh bisa ditegaskan bahwa berkat dan melalui media
keprihatinan moral dan persoalan-persoalan moral diciptakan dan diekspresikan dalam
situasi sosial dan budaya modern18
.
Media massa mampu membentuk adanya stereotip dan diskriminasi gender,
akan tetapi ketika kita sebagai audiens aktif, kita harus mampu mengkritisi pesan dari
media tersebut tidak hanya menerima apa adanya. Dari sisi lain, media massa juga
mampu membantu gerakan-gerakan pembelaan atas kesetaraan gender karean
mengingat fungsinya sebagai persuasive khalayak secara massal. Budaya dan agama
18 Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Hlm 152
yang membentuk konstruksi pembedaan seks dan gender juga harus dipahami secara
mendalam dan bebas dari kepentingan pihak mana pun.
Pemberdayaan perempuan dimulai dengan tidak membiarkan mereka bodoh dan
dibodohi. Perempuan tidak dibiarkan untuk tidak mendapatkan informasi. Perempuan
tidak dibiarkan untuk tidak sadar bahwa konstruksi budaya patriarchal telah meletakkan
posisi lemah baginya. Oleh karena itu, untuk tidak membiarkan perempuan ketinggalan
informasi, penyadaran gender perlu dipromosikan. Oleh karena ideologi gender yang
mempunyai akibat ketidakadilan gender bukan hanya merugikan perempuan, maka
promosi kesadaran gender perlu pula dilakukan pada kalangan laki-laki19
.
19 Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Hlm 215
DAFTAR PUSTAKA
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Kedua. Magelang: IndonesiaTera
Murniati, A. Nunuk P. 2004. Getar Gender: Buku Pertama. Magelang: IndonesiaTera
Naqiyah, Najlah. 2005. Otonomi Perempuan. Malang: Bayumedia Publishing
Tester, Keith. 2003. Media, Budaya dan Moralitas. Yogyakarta: Juxtapose
Widyatama, Rendra. 2006. Bias Gender dalam Iklan Televisi. Yogyakarta: Media
Pressindo
Sumber internet:
http://jurnalistik.blog.esaunggul.ac.id/2010/10/11/jurnalisme-berperspektif-gender/,
diakses pada 12/03/10, pukul 22.14