strategi dan rencana aksi provinsi papua barat...
TRANSCRIPT
SSSTTTRRRAAATTTEEEGGGIII DDDAAANNN RRREEENNNCCCAAANNNAAA AAAKKKSSSIII
PPPRRROOOVVVIIINNNSSSIII PPPAAAPPPUUUAAA BBBAAARRRAAATTT
DDDAAALLLAAAMMM IIIMMMPPPLLLEEEMMMEEENNNTTTAAASSSIII RRREEEDDDDDD+++
PPEEMMEERRIINNTTAAHH DDAAEERRAAHH
PPRROOVVIINNSSII PPAAPPUUAA BBAARRAATT
22001122
Ringkasan Eksekutif i
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
RINGKASAN EKSEKUTIF
Upaya-upaya nasional dalam rangka penurunan emisi diwujudkan
dengan dikeluarkannya instrument kebijakan yang salah satunya adalah melalui
BAPPENAS yaitu munculnya Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas Rumah
Kaca (RAN-GRK). Terkait isu REDD+ Indonesia melalui UKP4 telah
menghasilkan sebuah dokumen Strategi Nasional untuk REDD+ (Stranas
REDD+). Skema REDD/REDD+ merupakan bagian dari inisiatif global untuk
mitigasi perubahan iklim melalui LULUCF. REDD+ menyediakan mekanisme
insentif kepada negara-negara berkembang berhutan untuk mengurangi aktifitas
deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Menilai peluang inisiatif global
melalui peningkatan serapan stok karbon hutan dan lahan, maka perlu
dipersiapkan rencana strategis untuk tingkat lokal.
Provinsi Papua Barat sebagai bagian dari Provinsi-Provinsi berhutan di
Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam
mengawal isu pengurangan emisi ini. Selama beberapa tahun terakhir melalui
satuan tugas pembangunan ekonomi rendah karbon, Papua Barat Barat aktif
juga pada forum nasional dan internasional. Ide pembangunan ekonomi rendah
karbon ini pada perjalanan kedepan diharapkan mampu dirancang secara baik
dalam rangka memberikan pertimbangan-pertimbangan cerdas dan bijaksana
bagi para pengambil kebijakan di Papua Barat dalam mengawal dan
menjalankan roda pembangunan. Instrumen-instrumen kebijakan dan
kelembagaan di tingkat daerah memang perlu dipersiapkan sejak dini untuk
meramu dan mewujudkan pemikirin-pemikiran ekonomi rendah karbon yang
berkelanjutan.
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+
(SRAP-REDD+) ini diharapkan menjadi sebuah langkah maju dalam rangka
mempersiapkan pembangunan Papua Barat yang bermanfaat dan berkelanjutan
baik Ekonomi, Sosial maupun Ekologi.
Strategi dan rencana aksi daerah ini dalam proses penyusunannya
mengandung prinsip dinamis dan fleksibel, mencerminkan bahwa (a) berbagai
hal mengenai bentuk dan mekanisme tata kelola REDD+ global di tingkat
internasional masih memunculkan ketidakpastian; (b) di tingkat nasional, strategi
Ringkasan Eksekutif ii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun, bentuk
struktur dan tupoksi belum terumuskan dengan jelas; (c) Data dan informasi yang
dibutuhkan untuk penyusunan perencanaan yang mantap belum memadai dan
tersebar diberbagai sektor di Papua Barat.
Dokumen Strategi Nasional REDD+ mengamanatkan bahwa setiap
rencana dan strategi di tingkat daerah yang disusun diharapkan menjadi
landasan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi
penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di daerah
serta mencapai target-target penurunan emisi nasional. Secara khusus Rencana
dan Strategi Aksi Provinsi REDD + Provinsi Papua Barat dapat memberikan
jaminan bahwa kegiatan mitigasi mampu mengatasi deforestasi dan degradasi
hutan dan lahan serta memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi
GRK nasional.
Isu-isu strategis yang menjadi perhatian dan landasan berfikir dalam
penyusunan SRAP-REDD+ Papua Barat adalah (1) Reformasi perencanaan
pembangunan; (2) Kebijakan pembentukan daerah otonomi baru; (3) Kebijakan
provinsi konservasi; (4) Rendahnya konstribusi SDM kehutanan terhadap
pelestarian hutan; (5) Lemahnya pelibatan pemangku kepentingan; (6) Akselerasi
pembentukan dan operasionalisasi KPH; (7) Ketidakpastian hak masyarakat
hukum adat; (8) Implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis
masyarakat; (9) Tumpang tindih penggunaan kawasan hutan; (10) Lambatnya
proses penetapan tata ruang; (11) Kebijakan pembatasan penjualan kayu log ke
luar Papua Barat; (12) Kawasan konservasi sebagai cost centre; (13) Lemahnya
penguatan ekonomi masyarakat adat; (14) Evaluasi IUPHHK non value added;
dan (15) Kebijakan perizinan investasi satu pintu.
Rumusan Visi SRAP-REDD+ Papua Barat adalah “SRAP-REDD+ Papua
Barat sebagai pendukung utama mitigasi pengurangan emisi karbon
Nasional Sampai Tahun 2020” yang dijabarkan dengan misi sebagai
berikut : (1) Membangun komitmen stakeholder melalui legalisasi kelembagaan
REDD+ Provinsi Papua Barat; (2) Mengkaji dan mendorong rasionalisasi
berbagai kebijakan dan peraturan pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan
lahan kearah pengurangan konversi hutan dan meningkatkan usaha rehabilitasi
lahan kritis/lahan tidak produktif; (3) Mewujudkan program pembangunan
berbasis Tata Ruang yang efektif dan sinergi antar sektor; (4) Menciptakan
Ringkasan Eksekutif iii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
paradigma dan etos kerja baru menuju perwujudan provinsi konservasi dan
pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan; (5) Mewujudkan partisipasi
masyarakat secara spontan dengan prinsip Persetujuan atas dasar informasi
awal tanpa paksaan melalui sosialisasi dan konsultasi publik secara intensif;
(6)Mendorong kepastian status hukum masyarakat adat atas kepemilikan lahan
dan pemanfaatan sumberdaya alam; dan (7) Mendorong legalitas mekanisme
pembagian hasil atas pemanfaatan sumberdaya alam secara merata dan
berkeadilan bagi masyarakat hukum adat.
Tujuan implementasi Strategi dan Rencana Aksi di Provinsi Papua Barat
untuk (1) Mengurangi degradasi dan deforestasi akibat konversi lahan hutan dan
alih fungsi kawasan hutan; (2) Meningkatkan upaya-upaya rehabilitasi lahan
kritis dan pengembangan hutan tanaman rakyat; (3) Mengembangkan ekonomi
kerakyatan sektor kehutanan melalui usaha pemanfaatan hasil hutan non kayu
dan jasa hutan; (4) Meningkatkan tata kelola dan kepengurusan hutan dan lahan
melalui implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH); (5)
Mengintegrasikan RTRWP, RTRWK, wilayah masyarakat Hukum Adat dan tata
guna hutan; dan (6) Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam rangka adaptasi
gejala perubahan iklim, resiko bencana dan kerawanan pangan.
SRAP-REDD+ Provinsi Papua Barat dirancang bagaikan mewujudkan
sebuah rumah layak huni dan serasi dengan lingkungan. Karena itu harus
dirancang dengan fondasi yang kuat, kerangka yang sesuai dan atap yang baik.
Desain dan bahan bangunan seluruhnya diupayakan bersumber dari budaya dan
sumberdaya alam Papua Barat dengan pilar-pilar stategi sebagai berikut : (1)
Partisipasi, hak menyetujui/menolak dan keterbukaan informasi;(2) Hak atas
lahan, kebutuhan hidup dan manfaat atas REDD+; (3) Sistem kelembagaan
REDD+ Papua Barat; (4) Mekanisme pendanaan untuk REDD+ Papua Barat; (5)
Pengukuran, Pelaporan dan Verifikasi (MRP) REDD+; (6) Tata ruang dan Lokasi
REDD+ Papua Barat ; (7) Pengelolaan hutan dengan prinsip rendah karbon; dan
(8) Penegakan hukum dan arbitrase pengelolaan hutan rendah karbon.
Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur
(measurabel),dapat dilaporkan (Reportable), dan dapat diverifikasi (Verifiable).
Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional
yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian
MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai
Ringkasan Eksekutif iv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan
biaya (cost effective) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk
REDD+, yaitu: (1) Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU
(Agriculture, Forestry, Other Land Use); (2) Kombinasi mentode inventarisasi
penginderaan jauh (remote-sensing inventory) & didasarkan pengamatan
lapangan (ground-based inventory); (3) Memperhitungkan ke lima penumpukan
karbon (carbon pools); dan (4) Hasil penghitungan : transparan dan terbuka
untuk review dan diakses oleh publik.
Hasil Skenario aksi mitigasi penurunan emisi dan peningkatan serapan
karbon hutan dan lahan untuk REDD+ Papua Barat diringkaskan sebagai berikut
:
1. Pengurangan Konversi Hutan dalam RTRWK dan RTRWP
Perbedaan garis acuan emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data masa lampau, RTRWK dan RTRWP
Kontribusi Penurunan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi pembatasan konversi hutan dalam RTRWP dan RTRWK
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
350,000,000
400,000,000
450,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Periode (Tahun)
Data Historis
RTRW Provinsi
RTRW Kab/Kota
Ringkasan Eksekutif v
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
2. Penurunan Luas Areal RKT Pemegang IUPHHK
Perbandingan antara garis acuan total emisi dan skenario mitigasi
penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK tahun 2006 –
2021
Kontribusi penurunan emisi pada mitigasi penurunan luas RKT
dengan berbagai skenario mitigasi penurunan luas Areal RKT Pemegang
IUPHHK.
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
RKT 60% 3.990.287 16,02 3.737.955 15,24 70% 2.992.715 12,01 2.787.923 11,37 80% 1.995.143 8,01 1.848.253 7,53
. Perbandingan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Penurunan
Luas Areal RKT Tahunan Pemegang IUPHHK Berdasarkan Periode
ton CO2-eq % ton CO2-eq %
10% 15,891,278 7.60 15,891,278 7.60
20% 31,782,556 15.20 31,782,556 15.20
30% 47,673,834 22.79 47,673,834 22.79
10% 5,052,134 5.01 5,052,134 5.01
20% 10,104,268 10.03 10,104,268 10.03
30% 15,156,402 15.04 15,156,402 15.04
2 RTRWP
Mitigasi
1 RTRWK
Periode I Periode 2
Kontribusi Penurunan Net Emisi
No. Skenario
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Periode (Tahun)
BAU
RKT 60%
RKT 70%
RKT 80%
Ringkasan Eksekutif vi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
3. Kombinasi antara Penurunan Luas Areal RKT Tahunan Pemegang
IUPHHK dan Penerapan Metode Reduced Impact Logging (RIL) oleh pemegang IUPHHK. Kontribusi aksi mitigasi Penurunan Luas Areal RKT dan Penerapan
Metode Reduced Impact Logging oleh pemegang IUPHHK
4. Penerapan Metode Reduced Impact Logging oleh pemegang IUPHHK
Perbandingan antara net emisi kumulatif pada base line dengan
berbagai skenario mitigasi penerapan sistem RIL
Periode I Periode 2
RKT RIL ton CO2-eq % ton CO2-eq %
60% 25% 4,439,195 8.84 4,168,850 5.58
50% 4,888,102 9.73 4,601,843 6.16
75% 5,337,009 10.63 5,036,935 6.74
100% 5,785,917 11.52 5,474,125 7.32
70% 25% 3,516,441 7.00 3,285,398 4.39
50% 4,040,166 8.04 3,785,729 5.06
75% 4,563,891 9.09 4,288,916 5.74
100% 5,087,616 10.13 4,794,959 6.41
80% 25% 2,593,687 5.16 2,410,812 3.22
50% 3,192,230 6.36 2,977,101 3.98
75% 3,790,773 7.55 3,547,120 4.74
100% 4,389,316 8.74 4,120,869 5.51
Kontribusi Penurunan Net EmisionMitigasi
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q/y
ea
r)
Periode (Tahun)
BAU
RIL 25%
RIL 50%
RIL 75%
RIL 100%
Strategi dan Rencana Aksi
Kontribusi Penurunan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan Sistem RIL Oleh Pemegang IUPHHK
Mitigasi Skenario
RIL
25%50%75%
100% Perbandingan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan Sistem RIL Oleh Pemegang IUPHHK
5. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis
Perbandingan antara
dengan berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q/y
ea
r
Ringkasan Eksekutif
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Kontribusi Penurunan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan Sistem RIL Oleh Pemegang IUPHHK
Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2ton CO2-eq % ton CO2- eq
25% 748.179 3,00 688.238 50% 1.496.358 6,01 1.382.304 75% 2.244.537 9,01 2.082.199 100% 2.992.716 12,01 2.787.923
Perbandingan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan Sistem RIL Oleh Pemegang IUPHHK
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis
Perbandingan antara garis acuan emisi Provinsi Papua Barat
dengan berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
BAU 25% 50% 75% 100%
RIL
2016
2011
2006
Ringkasan Eksekutif vii
REDD+
Kontribusi Penurunan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi
Kontribusi Penurunan Net Emision Periode 2
eq % 238 2,81 304 5,64 199 8,49 923 11.37
Perbandingan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan
emisi Provinsi Papua Barat
2016-2021
2011-2016
2006-2011
Ringkasan Eksekutif viii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Kontribusi Mitigasi RHL terhadap penurunan emisi GRK di Provinsi Papua
Barat
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO 2-eq % ton CO 2-eq %
RHL
20% 308.347 0,61 1.129.128 1,51 40% 616.694 1,23 2.258.256 3,02 60% 925.042 1,84 3.387.384 4,53 80% 1.233.389 2,46 4.516.512 6,04
6. Pengukuhan Kawasan Hutan
Kontribusi Aksi Mitigasi Pengukuhan Kawasan Hutan Terhadap Penurunan Net Emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO 2-eq % ton CO 2-eq %
Pengukuhan Kawasan Hutan
20% 997.796 1,99 1.995.591 2,67 30% 1.496.693 2,98 2.993.387 4,00 40% 1.995.591 3,97 3.991.183 5,34 50% 2.494.489 4,97 4.988.978 6,67 60% 2.993.387 5,96 5.986.774 8,01 70% 3.492.285 6,95 6.984.569 9,34 80% 3.991.183 7,95 7.982.365 10,68 90% 4.490.080 8,94 8.980.161 12,01
100% 4.988.978 9,93 9.977.956 13,35
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021N
et
Em
issi
on
(to
n C
O2
-eq
/ye
ar)
Periode (Tahun)
BAU
RHL 20%
RHL 40%
RHL 60%
RHL 80%
Ringkasan Eksekutif ix
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
7. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Kontribusi Aksi Mitigasi Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Terhadap Penurunan Net Emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario
Kontribusi Penurunan Net Emision Periode I Periode 2
ton CO 2-eq % ton CO 2-eq %
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
20% 352.339 0,70 1.290.432 1,73 40% 704.678 1,40 2.580.864 3,45 60% 1.057.018 2,10 3.871.296 5,18 80% 1.409.357 2,81 5.161.728 6,90
8. Pembangunan Hutan Kota
Kontribusi Aksi Mitigasi Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) Terhadap Penurunan Net Emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO 2-eq % ton CO 2-eq %
Hutan Kota
20% 16.047 0,03 57.360 0,08 40% 32.094 0,06 114.719 0,15 60% 48.140 0,10 172.079 0,23 80% 64.187 0,13 229.439 0,31
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+
Provinsi Papua Barat yang diuraikan di atas, maka target penurunan
emisi sampai pada tahun 2020 sebesar 42,65% dengan kontribusi
penurunan emisi terhadap target nasional sebesar 7,97 dengan asumsi
bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen
penuh seluruh stakeholders dan terimplementasi secara konsisten sesuai
rencana serta seluruh faktor pemungkin dapat dikendalikan dan
diintegrasikan dengan baik.
Sambutan Gubernur x
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
GUBERNUR PAPUA BARAT
SAMBUTAN
Pertama-tama, saya mengajak kita semua untuk memanjatkan puji dan
syukur ke Hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena hanya atas berkat dan
bimbingan-Nya Dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi (SRAP-REDD+)
Papua Barat dapat diwujudkan..
Dinamika pembangunan di sektor kehutanan dan lahan di Propinsi Papua
Barat telah mendorong berbagai perubahan di daerah baik dari segi fisik maupun
finansial. Harus diakui bahwa kedua sektor ini telah memberikan kontribusi yang
besar bagi daerah baik dari segi penerimaan asli daerah (PAD) maupun
peningkatan sarana dan prasarana pembangunan di daerah baik di tingkat
Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. Namun tentu kita sadari pula bahwa setiap
pembangunan memiliki implikasi resiko (konsekwensi) yang harus ditanggung
dan dicari jalan keluarnya untuk menjaga keseimbangan antara ekonomi dan
ekologi. Salah satu bagian penting dari manusia yang cenderung menjadi objek
resiko dari pembangunan di sektor kehutanan dan lahan adalah terganggungnya
keseimbangan lingkungan. Sebagai contoh dampak perubahan iklim yang salah
satu penyebabnya adalah pembukaan lahan dan hutan untuk areal perkebunan,
pertambangan, kehutanan skala besar,dan industrinya
Meresponi dinamika pembangungan yang cenderung menunjukan
ketidakseimbangan tersebut, ide pembangunan berkelanjutan telah muncul
menjadi prioritas perhatian Pemerintah Provinsi Papua Barat dewasa ini.
Pembangunan berkelanjutan yang dimaksud dalam konteks ini adalah
pembangunan yang memperhatikan keseimbangan dan keberlanjutan nilai sosial
dan budaya masyarakat, ekonomi dan ekologi. Setiap pembangunan di daerah
terutama di sektor kehutanan dan lahan terus diarahkan untuk secara aktif
Sambutan Gubernur xi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
terkoordinasi dan terkonsolidasi mendukung inisiatif pembangunan yang
berkelanjutan sebagaimana yang di harapkan.
Salah satu langkah proaktif provinsi dalam mewujudkan inisiatif
pembangungan berkelanjutan ini adalah dengan mulai membangun strategi-
strategi dan rencana aksi daerah dalam mengawal pembangunan di sektor lahan
dan kehutanan. Salah satunya adalah dengan menempatkan Provinsi Papua
Barat sebagai bagian penting adalah penyelamatan iklim global melalui usaha-
usaha penata kelolaan pembangunan sektor kehutanan dan lahan yang rendah
karbon atau rendah emisi. Usaha-usaha ini juga menginisiasi adanya jaminan
kepastian hak atas ruang masyarakat sebagai bagian inti dalam strategi
pembangunan berkelanjutan ini. Sekaligus sebagai bagian dari komitmen Papua
Barat dalam mendukung komitmen Presiden Indonesia menurunkan Emisi Gas
Rumah Kaca di Indonesia sebesar 26% di tahun 2020.
Di tingkat nasional dan internasional, banyak pihak yang sedang ramai
mendiskusikan dan bernegosiasi usaha-usaha dunia menjaga keseimbangan
lingkungan dan memastikan manfaat yang adil bagi semua pihak. Sektor
kehutanan dan lahan menjadi perhatian khusus dalam SRAP-REDD+ ini. Dalam
diskusi dan negosiasi international tersebut muncul gagasan untuk memberikan
insentif bagi negara-negara berkembang yang telah berhasil mengurangi dampak
buruk dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Skema dengan istilah
REDD (Reducing Emission from Deforestation and Degradation) atau dalam
bahasa Indonesia istilah ini diterjemahkan dengan inisiatif pengurangan emisi
dari kegiatan deforestasi dan degradasi hutan dan lahan. Dalam skema REDD,
dapat diinterpretasi sebagai inisiatif pembangunan rendah karbon dengan
mengurangi ekstraksi sumberdaya hutan dan lahan yang berlebihan melalui
penatakelolaan kebijakan pemanfaatan dan pengelolaan sektor hutan dan lahan.
Sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki tutupan hutan
relatif masih baik, tetapi juga terancam oleh permintaan investasi sektor
kehutanan dan lahan yang tinggi, Papua Barat merasa perlu untuk menata
strategi dan rencana aksi untuk mengurangi dampak kerusakan hutan dan lahan
secara besar-besaran. Pemerintah Provinsi bersama para pihak terkait berusaha
untuk tidak mempersempit ruang berfikir tentang REDD pada konteks “insentif
atau uang kompensasi” yang akan diterima karena berhasil menjaga hutan,
tetapi perhatian Provinsi Papua Barat pada skema REDD ini dititikberatkan pada
Sambutan Gubernur xii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
keinginan untuk menatakelola pembangunan sektor kehutanan dan lahan yang
terintegrasi dalam rangka mewujudkan manfaat sosial budaya, ekonomi dan
lingkungan secara berkelanjutan dari pemanfaatan hutan dan lahan.
Dokumen “SRAP- REDD+” Papua Barat yang telah disusun ini telah
mengkerangkakan ide bersama terkait aksi mitigasi dan adaptasi yang dapat
kerjakan sebagai respon terhadap pengurangan emisi nasional dari sektor
kehutanan dan lahan. Dokumen ini merupakan salah satu bagian dari
perwujudan komitmen pemerintah provinsi Papua Barat dalam merumuskan
strategi-strategi dan aksi nyata daerah dalam mewujudkan pembangunan
rendah karbon yang berkelanjutan. Dokumen ini mulai dikerjakan oleh tim
penulis sejak awal bulan September 2012. Proses penyusunannya dilakukan
secara partisipatif melalui serangkaian diskusi, lokakarya, dan konsultasi publik di
tingkat Provinsi. Bahkan dalam prosesnya telah pula dikonsultasikan dan
diasistensi pada level Nasional untuk menjaga konsistensi isu antara kebutuhan
di tingkat daerah dengan kebutuhan di tingkat nasional.
Dokumen ini berisi strategi-strategi propinsi dan rencana-rencana aksi
dengan beberapa skenario yang harapkan dapat diimplementasikan untuk
mewujudkwan manfaat pembangunan sektor kehutanan dan lahan secara
berkelanjutan. Beberapa pilar kunci yang menjadi perhatian dalam ide
pembangunan sektor kehutanan dan lahan berkelanjutan di Propinsi Papua
Barat dimuat secara singkat, padat dan jelas dalam dokumen ini. Pilar-pilar kunci
ini menjadi karangka penyangga pengembangan rancangan kegiatan-kegiatan
dalam ruang pembangunan rendah karbon atau pembangunan berkelanjutan di
Papua Barat. Dokumen ini akan terus dipertajam termasuk diperkuat dengan
komunikasi dan koordinasi aktif antar SKPD dan lembaga non-pemerintah dan
masyarakat dalam mendukung komitmen Provinsi Papua Barat mewujudkan
pembangunan sektor kehutanan dan lahan yang memberikan manfaat secara
adil, merata dan berkelanjutan bagi manusia, pembangunan dan lingkungan
Papua Barat.
Salah satu bagian penting dalam strtategi aksi provinsi adalah terkait
peran para pihak dan kerangka implementasi strategi di tingkat tapak. Beberapa
sektor masih membutuhkan intervensi guna memperoleh rancangan pengelolaan
hutan dan lahan rendah emisi. Lokus atau tapak aksi mitigasi potensial di setiap
wilayah masih perlu diintervesi dengan dukungan dan komitmen politik yang kuat
Sambutan Gubernur xiii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dari kepala daerah sehingga pilot proyek aksi mitigasi dapat terlaksana sesuai
strategi dan rencana aksi ini.
Akhir kata, saya berharap dan mengajak kita semua untuk berkolaborasi,
membangun diskusi, dan komunikasi aktif serta memberikan pemikiran-pemikiran
kritis untuk terus menyempurnakan dokumen dan mengkerangkakan kegiatan
yang akan kita lakukan kedepan. Saya juga berharap semua pihak dengan
kapasitas yang dimiliki membangun komunikasi dan koordinasi aktif mendukung
komitmen pemerintah provinsi mewujudkan pembangunan sektor dan lahan di
Papua Barat yang rendah emisi, sediaan karbon hutan dan lahan tinggi,
memberikan insentif ekonomi bagi masyarakat yang adil dan merata serta
berkelanjutan.
Saya mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Tim
BAPPEDA Provinsi Papua Barat bersama Satuan Tugas Pembangunan Ekonomi
Rendah Karbon Provinsi Papua Barat yang telah berusaha menfasilitasi dan
mendukung penyusunan dokumen ini. Saya juga mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang tinggi kepada para penulis dari Universitas Negeri Papua
yang telah memberikan waktu dan ide-ide cemerlangnya menyusun dokumen
dokumen ini. Ucapan terima kasih juga diberikan kepada Satgas REDD+
Nasional yang telah memberikan dukungan pendanaan dan asistensi substansi,
sehingga proses penyusunan dokumen ini bisa terlaksana sesuai dengan target
yang telah ditetapkan.
Demikianlah sambutan saya, mari kita berdoa, berpikir dan bekerja dalam
mengawal dan menjalankan cita-cita pembangunan menuju Papua Barat baru
yang kita harapkan melalui SRAP-REDD+ ini.
Semoga Tuhan yang Maha Kasih melindungi dan memberkati kita semua.
Manokwari, Desember 2012
GUBERNUR PAPUA BARAT,
ABRAHAM OCTOVIANUS ATARURI
Kata Pengantar xiv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Maha Kuasa atas karya dan karsa yang
dianugerahkan kepada kita semua sehingga dokumen SRAP-REDD+ Papua
Barat dapat diselesaikan sesuai dengan target waktu yang telah ditetapkan.
Dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat disusun secara partisipatif
melibatkan berbagai stakeholders di tingkat provinsi dan diasistensi oleh
Nasional. Proses penyusunannya melalui beberapa tahapan dan hasil dari
setiap tahapan menjadi dasar dalam penyusunan dokumen tahap selanjutnya.
Dengan proses demikian diharapkan sifat dari substansi dokumen dinamis dan
fleksibel. Sifat dinamis dan fleksibilitas dokumen demikian dimungkinkan karena
: (1) Bentuk dan tatakelola mekanisme REDD+ ditingkat internasional belum
dapat dipastikan; (2) strategi dan kelembagaan REDD+ ditingkat nasional baru
mulai dibangun dan struktur kelembagaan serta tugas pokok dan fungsinya
belum jelas; dan (3) data dan informasi yang digunakan dalam menyusun
dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat masih terbatas, sehingga memerlukan
klarifikasi.
Berbagai kendala dalam penyusunan dokumen ini tidaklah berarti bahwa
substansi dokumen belum dapat digunakan sebagai arah dan pedoman dalam
mengimplementasikan berbagai strategi aksi mitigasi penurunan emisi dan
peningkatan serapan karbon hutan dan lahan. Strategi aksi mitigasi dan
skenario mitigasi yang direncanakan telah dapat diimplementasikan dalam
bentuk pilot project di setiap tapak prioritas terpilih. Untuk itu, dokumen SRAP-
REDD+ Papua Barat ini digunakan sebagai rambu-rambu untuk memantapkan
implementasi berbagai strategi aksi mitigasi sektor kehutanan dan lahan,
sehingga pada saatnya dapat diperoleh strategi aksi mitigasi yang mantap
dengan kelembagaan tatakelola, MRV dan pendanaan yang lebih sesuai dengan
kebutuhan lokal, regional, nasional dan internasional.
Substansi Dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat terdiri atas (1)
Pendahuluan, (2) Gambaran Umum Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua
Barat, (3) Isu-isu Strategis REDD+ di Papua Barat, (4) Visi-Misi, Tujuan, Ruang
Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ di Papua Barat, (5) Pilar-pilar Spesifik SRAP-
REDD+ Provinsi Papua Barat, (6) Pendekatan Keberhasilan Rencana Aksi dan
Kata Pengantar xv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Sistem Monitoring (MRV), (7) Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk
Mewujudkan REDD+ di Papua Barat, (8) Penutup.
Tersusunnya dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat ini tidak terlepas dari
kontribusi berbagai pihak, baik dari lembaga pemerintah, lembaga non
pemerintah, akademisi dan masyarakat adat. Atas segala kontribusi waktu,
tenaga, pikiran dan pendanaan yang telah diberikan oleh berbagai pihak, kami
sampaikan terima kasih yang mendalam dan penghargaan yang setinggi-
tingginya.
Akhirnya kami sangat menyadari masih banyak kekurangan substansi
dan sesuai dengan sifat kedinamisan dan fleksibilitas dari dokumen ini, maka
saran, kritik serta ide kreatif dari semua pihak masih sangat dibutuhkan untuk
penyempurnaan terus menerus .
Manokwari, Desember 2012
Penyusun.
Daftar Isi xv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
DAFTAR ISI
Hal
RINGKASAN EKSEKUTIF ...................................................... i SAMBUTAN GUBERNUR....................................................... x KATA PENGANTAR ............................................................ xiv DAFTAR ISI ..................................................................... xv DAFTAR TABEL ................................................................ xvi DAFTAR GAMBAR ............................................................. xviii SINGKATAN .................................................................... xx TERMINOLOGI ................................................................. xxi
I. PENDAHULUAN ............................................................. 1-1 1.1. Latar Belakang ...................................................... 1-1 1.2. Maksud dan Proses Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Papua Barat ....................................... 1-3 1.3. Hubungan SRAP REDD+ Papua Barat dengan Stranas REDD+ .. 1-5
II. GAMBARAN UMUM KEADAAN HUTAN DAN MASYARAKAT DI PAPUA BARAT .............................................................. 2-1 2.1. Tipe Hutan dan Penyebarannya .................................. 2-1 2.2. Tutupan Lahan, Luas dan Status Hutan di Papua Barat ........ 2-8 2.3. Sebaran Lahan Kritis di Papua Barat ............................. 2-12 2.4. Pemanfaatan Hutan dan lahan di Papua Barat .................. 2-15 2.4. Sebaran Penduduk dan Peran SDA Dalam Kehidupan
Masyarakat di Papua Barat ......................................... 2-20 2.5. Peran Sumberdaya Hutan Terhadap Masyarakat Adat dan
Pemerintahan ........................................................ 2-21
III. ISU-ISU STRATEGIS REDD+ DI PAPUA BARAT ......................... 3-1
IV. VISI-MISI, TUJUAN, RUANG LINGKUP DAN NILAI MANFAAT REDD+ PROVINSI PAPUA BARAT ................................................. 4-1
4.1. Visi dan Misi .......................................................... 4-1 4.2. Tujuan Pelaksanaan REDD+ di Papua Barat ...................... 4-2 4.3. Ruang Lingkup SRAP-REDD+ Papua Barat ........................ 4-2 4.4. Strategi Kebijakan SRAP-REDD+ Papua Barat ................... 4-5 4.5. Nilai Manfaat SRAP-REDD+ Papua Barat .......................... 4-7
V. PILAR-PILAR SPESIFIK SRAP-REDD+ PROVINSI PAPUA BARAT ..... 5-1
VI.PENDEKATAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING (MRV) ....................................................... 6-1
VII. MATRIKS STRATEGI DAN RENCANA AKSI PROVINSI UNTUK MEWUJUDKAN REDD+ DI PAPUA BARAT ............................... 7-1 7.1. Skenario Pengurangan Emisi GRK dari Sektor Hutan dan
Lahan di Provinsi Papua Barat ...................................... 7-1 7.2. Matriks Rencana Aksi Provinsi Dalam Rangka Implementasi
REDD+ .................................................................. 7-8 VIII. PENUTUP ................................................................. 8-1
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
Daftar Tabel xvi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
DAFTAR TABEL
No. Teks Hal
1.1. Hubungan antara struktur Strategi Nasional REDD+ dan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di Provinsi Papua Barat .... 1-6
2.1. Perubahan tutupan lahan di Papua Barat tahun 2003-2009 ........ 2-8
2.2. Tutupan Lahan di Provinsi Papua Barat Berdasarkan Kabupaten 2-9 2.3. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per kabupaten/kota
di Papua Barat ......................................................... 2-11
2.4. Rekapitulasi tingkat kekritisan lahan di Provinsi Papua Barat ...... 2-14
2.5. Daftar pemegang IUPHHK-HA di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010 ..................................................... 2-16
2.6. Perusahaan pengguna kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan........................................................... 2-17
2.7. Perusahaan pemegang ijin pelepasan kawasan hutan di Provinsi Papua Barat ................................................. 2-18
2.8. Tumpang tindih perizinan penggunaan lahan di Papua Barat ...... 2-20
2.9. Sebaran penduduk berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat ............................................................................. 2-20
2.10 Jumlah kampung di dalam kawasan, di tepi dan di luar kawasan hutan ........................................................................................... 2-20
2.11. Fungsi lahan menurut masyarakat adat (Erari, 1999) .................. 2-24 4.1. Program dan kegiatan serta tujuan kegiatan REDD+ menurut
sumber emisi berbasis lahan .......................................... 4-4 4.2. Potensi, biaya mitigasi, dan keuntukan aksi Mitigasi REDD+
di sektor kehutanan ................................................... 4-8 5.1. Usulan tentang perubahan fungsi hutan di Papua Barat ........ 5-14
5.2. Peran dan fungsi stakeholders dalam proses dan implementasi SRAP-REDD+ Papua Barat ........................................................ 5-26
6.1. Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC Guideline 2006 ............................................................................................ 6-6
6.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor kehutanan menurut IPCC Guideline 2006 ......................... 6-7
6.3. Tujuan, Output, Outcome dan Indikator REDD+ pada Unit Pengelolaan Hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012) ................................................... 6-10
7.1. Gasis Dasar emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data histori, RTRWK dan RTRW ..................................................................... 7-3
7.2. Skenario penurunan emisi dengan garis acuan didasarkan pada data masa lampau dan data RTRWP/RTRWK ............................. 7-4
7.3. Rata-rata perubahan tutupan lahan terbesar tiap tahun di Provinsi Papua Barat. ................................................................................ 7-9
Daftar Tabel xvii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
7.4. Konstribusi emisi potensial sektor kehutanan Provinsi Papua Barat ................................................................................. 7-9
7.5. Kontribusi penurunan net emisi pada berbagai skenario mitigasi pembatasan konversi hutan dalam RTRWP dan RTRWK ........... 7-11
7.6. Kontribusi penurunan net emisi pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK .............. 7-13
7.7. Kontribusi aksi mitigasi Penurunan Luas Areal RKT dan Penerapan Metode Reduced Impact Logging oleh pemegang IUPHHK ......... 7-15
7.8. Kontribusi penurunan Net Emisi Pada Berbagai Skenario Mitigasi Pelaksanaan Sistem RIL Oleh Pemegang IUPHHK ............... 7-17
7.9. Kontribusi Aksi Mitigasi RHL Terhadap Penurunan Net Emisi di Provinsi Papua Barat .................................................... 7-21
7.10.Kontribusi aksi mitigasi pengukuhan kawasan hutan terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat ............................... 7-22
7.11. Kontribusi aksi mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat ..... 7-23
7.12. Kontribusi aksi mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat ..... 7-25
7.13. Matrik rencana aksi provinsi dalam rangka implementasi REDD+ ......................................................................................... 7-27
Daftar Gambar xviii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Hal
1.7. Alur penyusunan SRAP-REDD+ Papua Barat .............................. 1-7 2.1. Peta penyebaran hutan di Provinsi Papua Barat .................... 2-2 2.2. Tipe hutan/vegetasi pantai (litoral) yang dijumpai sepanjang
garis pantai maupun pulau-pulau di Papua Barat. (Foto: Charlie D. Heatubun) ............................................ 2-3
2.3. Transisi Hutan Rawa dengan Hutan Bukit Kapur di latar belakang di sekitar Yakati, Teluk Bintuni, Papua Barat. (Foto: Charlie D. Heatubun) ......................................................... 2-4
2.4. Rhizophora mucronata (Rhizophoraceae) penciri utama ekosistem hutan bakau (mangrove). (Foto: Jonni Marwa). ............................ 2-5
2.5. Hutan Ultrabasal di Pulau Gag, Kepulauan Raja Ampat. (Foto: Charlie D. Heatubun). ........................................................ 2-7
2.6. Persen Perubahan Status Hutan Berdasarkan RTRW Provinsi Papua Barat 2008-2028 ............................................................. 2-11
2.7. Peta penyebaran lahan kritis di Provinsi Papua Barat ................... 2-13 2.8. Kontribusi sumberdaya hutan terhadap penerimaan keluarga ...... 2-21 2.9. Kotribusi relatif subsektor kehutanan terhadap PDRB total ........... 2-22 2.10. Kotribusi absolut subsektor kehutanan terhadap PDRB total ...... 2-22 5.1. Pilar-Pilar Spesifik SRAP-REDD+ di Papua Barat ....................... 5-1 5.2. Analisis hubungan parapihak dalam Implementasi REDD+
di Papua Barat ............................................................................. 5-23 6.1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik
dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011). ............................... 6-2
6.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistem MRV untuk penerapan REDD+ ............................................................. 6-4
6.3. Pendekatan perbedaan stok karbon (IPCC, 2006; Angelsen dkk, 2008) ............................................................................................ 6-8
6.4. Pendekatan tambah-hilang karbon (IPCC, 2006; Angelsen dkk, 2008) ............................................................................................ 6-9
7.1. Garis acuan emisi di Provinsi Papua Barat ................................... 7-2 7.2. Perbedaan garis acuan emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan
data masa lampau, RTRWK dan RTRWP .................................... 7-10 7.3. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi
penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK .............. 7-13 7.4. Perbandingan net emisi pada berbagai skenario mitigasi
penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK berdasarkan periode .................................................................... 7-14
7.5. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penerapan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK ............. 7-17
Daftar Gambar xix
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
7.6. Perbandingan net emisi pada berbagai skenario mitigasi pelaksanaan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK........................ 7-18
7.7. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan dengan garis acuan (data masa lampau) ..................................................................... 7-20
Singkatan xx
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
SINGKATAN
APL = Areal Penggunaan Lain BAPENNAS = Badan Perencana Pembangunan Nasional BAU = Business As Usual BKPRD = Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah BPN = Badan Pertanahan Nasional CDM = Clean Development Mecanism CIFOR = Centre For Internastional Forestry Research FPIC = Free, Prior, and inform Consernt GRK = Gas Rumah Kaca HCVF = Hight Conservation Value of Forest HPK = Hutan Produksi Konversi HGU = Hak Guna Usaha IUPHHK = Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu KPH = Kesatuan Pengelolaan Hutan LSM = Lembaga Swadaya Masyarakat LULUCF = Land use, land use change and forestry MRV = Measuring, Reporting and Verification NGO = Non Goverment Organisation PADIATAPA = Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan PHPL = Pengelolaan Hutan Produksi Lestari PUP = Petak Ukur Permanen REDD = Reduced Emission From Deforestation and Degradation REL = Reference Emission Level RHL = Rehabilitasi Hutan dan Lahan RIL = Reduced Impact Logging RTRWK = Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota RTRWP = Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi SFM = Sustainable Forest Management SILIN = Silvikultur Intensif SKPD = Satuan Kerja Perangkat Daerah SRAP = Strategi dan Rencana Aksi Provinsi STRANAS = Strategi Nasional SVLK = Sertifikasi, Verifikasi Legalitas Kayu TPTI = Tebang Pilih Tanam Indonesia UKP4 = Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan
Terminologi xxi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
TERMINOLOGI Aforestasi (afforestation) — Konversi lahan bukan hutan menjadi lahan hutan melalui kegiatan penanaman (biasa disebut penghijauan), penyebaran biji, dengan menggunakan jenis tanaman (species) asli (native) atau dari luar (introduced).Menurut Marrakech Accord (2001) kegiatan penghijauan tersebut dilakukan pada kawasan yang 50 tahun sebelumnya bukan merupakan hutan. Agroforestry — Sistem pertanian dimana tanaman pangan dan tanaman kehutanan ditanam dalam lahan yang sama. Akumulasi — Terkumpulnya suatu zat tertentu menjadi satu kesatuan dalam kurun waktu tertentu. Allometric Equation — Persamaan allometrik yang disusun untuk menduga nilai karbon hutan berdasarkan parameter tertentu. Umumnya parameter yang dipakai adalah diameter pohon.
Annex I countries / Parties — Negara-negara industri yang terdaftar pada lampiran 1 konvensi perubahan iklim (UNFCCC) yang mempunyai komitmen untuk mengembalikan emisi GRK ke tingkat tahun 1990 pada tahun 2000 sebagaimana tercantum pada Artikel 4.2 (a) dan (b). Termasuk negara ini adalah 24 anggota asli negara OECD, Uni Eropa, dan 14 negara transisi ekonomi (Croatia, Lichtenstein, Monaco, Slovenia, Chech Republic). Negara-negara yang tidak termasuk dalam Annex I ini secara otomatis disebut Non-Annex I countries. Annex II Countries / Parties — Negara-negara yang terdaftar pada lampiran 2 Konvensi perubahan iklim UNFCCC yang mempunyai kewajiban khusus untuk menyediakan sumberdaya finansial dan memfasilitasi transfer teknologi untuk negara berkembang. Negara-negara ini termasuk 24 negara OECD ditambah dengan negara-negara Uni Eropa. Annex B Countries — Negara yang termasuk dalam lampiran B Protocol Kyoto yang telah setuju untuk mentargetkan emisi GRK-nya, termasuk negara-negara Annex I kecuali Turkey dan Belarus. Anthropogenic emission — Emisi yang diakibatkan karena kegiatan manusia.
APL — Area untuk Penggunaan Lain, suatu kawasan hutan yang direncanakan dapat dikonversi untuk kebutuhan sektor lain. APL disebut juga KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan). APL ini bisa masih berhutan dan bisa sudah tidak berhutan. BAU (Business as Usual) — Emisi yang akan terjadi apabila tidak dilakukan tindakan mitigasi dan tindakan pengurangan emisi lainnya. Baseline — Referensi yang menjadi tolok ukur untuk mengetahui pencapaian suatu aksi yang terukur kuantitasnya. Biasanya yang menjadi tolok ukur ini adalah informasi dasar dari suatu aksi tanpa adanya intervensi kebijakan atau kegiatan proyek; perubahan cadangan karbon tanpa proyek.. Ada tiga macam konsep baseline, yaitu (1) historical baseline yakni tingkat deforestasi dan
Terminologi xxii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
degradasi hutan (DD) serta emisi CO2 dihasilkan selama sekian tahun yang telah lewat; (2) proyeksi DD dalam skenario situasi penanganan seperti biasanya (BAU-business as usual). Baseline BAU merupakan tanda batas untuk memutuskan dampak dari kegiatan REDD serta untuk meyakink ada tidaknya additionality; dan (3) crediting baseline yaitu suatu tanda batas untuk memberikan penghargaan kepada suatu negara atau proyek bila Negara atau proyek tersebut dapat mencapai emisi dibawah tanda batas tersebut. Base Year — Tanggal (spesifik atau rata-rata dari beberapa tahun implementasi) yang dipakai sebagai titik awal / tahun dasar untuk merunut balik emisi suatu perusahaan setiap waktu. Belowground biomass — Semua biomassa yang ada di/dalam tanah termasuk serasah daun dan kayu, akar. Biodiversity — Keanekaragaman hayati. Total keanekaragaman semua organisme dan ekosistem pada berbagai skala keruangan (mulai dari genus sampai ke seluruh bioma). Biomass — Total massa (berat kering) material organik yang berasal dari tanaman ataupun hewan pada suatu kawasan atau volume yang telah ditetapkan; Total berat kering (dry weigth) satu spesies atau semua spesies mahluk hidup dalam suatu daerah yang diukur pada waktu tertentu. Ada dua jenis biomassa, yaitu biomassa tanaman dan biomassa binatang. Business as usual (BAU) — Besarnya emisi karbon / carbon stock dalam mekanisme REDD+ dimana emisi/stock karbon tersebut dihasilkan berdasarkan kegiatan-kegiatan yang sudah rutin dilaksanakan, tanpa adanya usaha-usaha tambahan untuk menanggulangi isu emisi karbon ini. Cadangan Karbon ( Carbon Stock) — Simpanan Karbon. Banyaknya kandungan karbon yang ada di pohon pada suatu areal hutan pada jangka waktu tertentu. Asumsinya pohon menyerap dan menyimpan CO2. Carbon market (Pasar Karbon) — Suatu mekanisme perdagangan dimana Negara-negara konvensi dapat membeli atau menjual unit emisi GRK dalam upaya untuk memenuhi batas emisi nasionalnya, baik di bawah Protokol Kyoto atau di bawah kesepakatan lain. Dipakai istilah karbon karena CO2 adalah gas yang dominan dalam perubahan iklim. Untuk gas lainnya diukur dengan unit satuan yang disebut ‘carbon-dioxide equivalent – setara karbon-dioksida”. Carbon pool — Suatu sistem yang mempunyai kapasitas untuk mengakumulasi atau melepaskan karbon. Contoh: biomassa hutan, produk kayu, tanah, dan atmosfer. Carbon removal — Serapan karbon, penyerapan karbon dari atmosfir oleh tanah, tumbuhan, dan air(laut). Carbon sink — Simpanan karbon.
Carbon credits — Menyerap karbon; carbon removal; suatu komponen usaha nasional dan internasional untuk melakukan mitigasi pertumbuhan konsentrasi GRK. Satu kredit karbon sama dengan satu ton karbon.
Terminologi xxiii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Carbon cycle (siklus karbon) — Suatu istilah untuk menggambarkan aliran karbon dari atmosfer, lautan, daratan, biosphere dan lithosphere. Carbon dioxide (CO2) — Rumus kimia untuk zat asam arang adalah sejenis senyawa kimia yang terdiri dari dua atom oksigen yang terikat secara kovalen dengan sebuah atom karbon. CO2 berbentuk gas pada keadaan temperature dan tekanan standar dan dapat ditemui di atmosfir bumi. Rata-rata konsentrasi karbon dioksida di atmosfer bumi kira-kira 387 ppm berdasarkan volume walaupun jumlah ini bisa bervariasi tergantung pada lokasi dan waktu. Karbon dioksida adalah Gas Rumah Kaca yang penting karena gas CO2 ini menyerap gelombang inframerah dengan kuat. Carbon emission — Pengeluarkan karbon, debits, emisi karbon yang dikeluarkan ke atmosfir, terutama yang berasal dari berbagai kegiatan manusia. Carbon Markets — Suatu lembaga pendanaan dan mekanismenya yang dapat membeli kredit karbon dari suatu aktivitas yang telah diverifikasi. Ini dapat dalam bentuk voluntary market (yang dibentuk berdasrkan perjanjian bilateral antara dua negara yang bersangkutan) atau compliance market (pasar yang secara legal diatur untuk memenuhi target penurunan emisi dibawa perjanjian multilateral). Carbon Sequestration — Suatu proses menghilangkan CO2 dari atmosfer dan mengubahnya menjadi karbon melalui fotosintesis, yang kemudian disimpan dalam kayu dan vegetasi; penambatan karbon — proses penyingkiran (mengurangi/ removing) karbon dari atmosfer. Carbon Pool — Sumber karbon; bagian atau tempat karbon tersimpan.
Carbon Trading — Perdagangan Karbon. adalah mekanisme berbasis pasar untuk membantu membatasi peningkatan CO2 di atmosfir. Ada dua jenis perdagangan karbon. Pertama adalah perdagangan emisi (emission trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based credit). Seringkali dua kategori tersebut disatukan menjadi sistem perdagangan hibrida; Suatu transaksi yang telah diverifikasi atau yang telah disertifikasi dengan sertifikat karbon kredit REDD. CDM (Clean Development Mechanism) — Adalah salah satu mekanisme dibawah Kyoto Protocol/UNFCCC, yang dimaksudkan untuk : (a) membantu negara maju/industri memenuhi sebagian kewajibannya menurunkan emisi GHGs; (b) membantu negara berkembang dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan dan kontribusi terhadap pencapaian tujuan Konvensi Perubahan Iklim (UNFCCC); merupakan salah satu mekanisme di bawah protokol Kyoto yang memperbolehkan negara-negara berkembang “menjual” penurunan emisi melalui berbagai proyek kepada negara-negara maju. Dalam mekanisme ini, negara Annex I berinvestasi di negara non-Annex I untuk proyek- proyek yang menghasilkan Pengurangan Emisi yang Tersertifikasi (Certified Emission Reduction/CER) CER (Certified Emission Reduction) — Sertifikasi penurunan emisi GRK yang dilakukan melalui proyek CDM. Unit satuan dalam CER adalah 1 metrik ton. CER dikeluarkan untuk mengurangi emisi dari aktivitas CDM. CER ini bisa dialihkan kepada negara-negara maju yang membutuhkannya, biasanya dengan harga
Terminologi xxiv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
tertentu. CDM Executive Board, berkedudukan di Sekretariat UNFCCC di Bonn, Jerman, mengatur tatakelola CDM ini dan menerbitkan CER bagi aktivitas yang telah diverifikasi. CFC (Chlorofluorocarbon) — CFC merupakan GRK sumber pemanasan global setelah CO2. CFC merupakan zat kimia yang banyak digunakan sebagai zat pendingin (kulkas, dan AC). CFC juga merupakan bahan utama sebagai gas pendorong pada aerosol, yaitu bahan yang dikemas dalam kaleng pada tekanan tinggi. Bahan tersebut dapat disemprotkan dengan memijat tombol. Beberapa contoh adalah parfum, hairpray, deodorant, pembersih kaca, obat serangga, dan cat semprot. CFC juga digunakan untuk membersihkan permukaan mikrocip dari kotoran (industri elektronika), dry cleaning, untuk membuat plastik busa (bantal kursi, jok mobil, plastik pelindung dalam kemasan), piring plastik dan gelas plastik. CO2 (Karbondioksida) — Salah satu dari GRK yang utama dan dijadikan referensi GRK yang lain dalam menentukan Indek GWP-nya =1. GRK ini banyak dihasilkan dari pembakaran BBF, biomassa dan alih guna lahan. CO2e (Carbon Dioxide Equivalent / Ekuivalen karbon dioksida) — yaitu standar internasional yang menunjukkan sumbangan pemanasan global dari masing-masing enam gas rumah kaca. Co-benefits - Manfaat dari implementasi skema REDD selain manfaat penurunan emisi GRK seperti penurunan tingkat kemiskinan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan peningkatan pengelolaan hutan; multiple benefit. Conservation of carbon stock — Konservasi simpanan karbon yang ada dalam tumbuhan, tanah dan air.
Conference of Parties (COP) — Konferensi para pihak. Badan otoritas tertinggi dalam suatu konvensi, bertindak sebagai pemegang otoritas pengambil keputusan tertinggi. Badan ini merupakan suatu assosiasi dari semua negara anggota konvensi. DA (Demonstration Activity) — Kegiatan lapangan yang bertujuan mengurangi emisi karbon dan atau peningkatan cadangan karbon dan/atau konservasi cadangan karbon melalui kegiatan REDD+ berbasis penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan (Land Use, Land Use Change and Forestry) sebagai sarana pembelajaran termasuk pengujian dan pengembangan metodologi, teknologi, institusi, peningkatan kapasitas dan pelaksanaan safeguards dan/atau result based action yang menghasilkan pembayaran dan/atau insentif atas pengurangan/pencegahan emisi/peningkatan cadangan karbon hutan yang dicapai. Deforestasi — Konversi lahan hutan menjadi menjadi lahan untuk pemanfaatan lain atau pengurangan luas hutan untuk jangka panjang di bawah batas minimum 10% (FAO); perubahan secara permanen dari areal berhutan menjadi tidak berhutan yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Deforestasi hutan — Konversi lahan hutan yang disebabkan oleh manusia menjadi areal pembukaan lahan (definisi menurut Marrakech Accords); konversi
Terminologi xxv
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
hutan menjadi lahan pemanfaatan lainnya atau pengurangan luas hutan untuk jangka waktu panjang di bawah batas minimum 10% (definisi FAO). Degradasi Hutan — Penurunan kuantitas dan kualitas tutupan hutan dan stok karbon selama periode tertentu yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (Permenhut 30/2009). Sampai saat tulisan ini dibuat, definisi degradasi hutan dalam mekanisme REDD belum disepakati, atau IPCC belum mengeluarkan definisi degradasi hutan. Definisi umum tentang degradasi hutan adalah pembukaan hutan hingga tutupan atas pohon pada tingkat diatas 10%. 3E (effectiveness, efficiency and equity) — Ketiga istilah ini pertama kali muncul dalam laporan Stern yang mengevaluasi skema penurunan emisi karbon dimana kesimpulannya dipakai dalam negosiasi perubahan iklim sehingga menghasilkan skema REDD+. 3E ini kemudian sering muncul dalam negosiasi ataupun perdiskusian terkait REDD+ atau perubahan iklim. Ecosystem services — Manfaat yang diberikan oleh suatu ekosistem ke manusia. Contoh: hutan untuk penyedia makanan, air, kayu, dan serat. Hutan mengatur iklim, banjir, penyakit dan kualitas air. Hutan juga menjadi tempat rekreasi, tempat yang estetik, dan bermanfaat bagi tenaga spiritual. Efek rumah kaca — Suatu proses pemantulan energi panas ke atmosfer dalam bentuk sinar-sinar infra merah. Sinar-sinar infra merah ini diserap oleh karbondioksida dan di atmosfer yang menyebabkan kenaikan suhu; Suatu proses pemanasan permukaan suatu benda langit (terutama planet atau satelit) yang disebabkan oleh komposisi dan keadaan atmosfernya. Pertama kali diusulkan oleh Joseph Fourier pada 1824. Efek rumah kaca dapat digunakan untuk menunjuk dua hal berbeda: efek rumah kaca alami yang terjadi secara alami di bumi, dan efek rumah kaca ditingkatkan yang terjadi akibat aktivitas manusia (lihat juga pemanasan global). Yang belakang diterima oleh semua; yang pertama diterima kebanyakan oleh ilmuwan, meskipun ada beberapa perbedaan pendapat. Ekosistem — Seluruh organisme hidup dan lingkungan hidupnya; sekelompok organisme hidup yang saling bergantung satu sama lain dan sama-sama bergantung pada lingkungan tempat mereka hidup bersama. Emisi karbon — Lepasnya gas karbon hutan ke atmosfer dari sumber karbon (carbon pool) yang disebabkan oleh kegiatan manusia. Emisi historis — Lepasnya gas rumah kaca ke atmosfer akibat deforestasi dan degradasi hutan pada suatu area dalam jangka waktu tertentu dimulai dari masa lampau. Emission Factor — Suatu nilai konstanta untuk mengestimasikan emisi GRK dengan menggunakan suatu unit data kegiatan yang tersedia (misal ton bahan bakar yang dikonsumsi, ton produksi yang dihasilkan) dan emisi absolut GRK. Emission Trading (Perdagangan Emisi) — merupakan pendekatan administrasi yang digunakan untuk mengendalikan pencemaran dengan memberikan insentif ekonomi untuk menurunkan emisi pencemar atau polutan. Pengaturan perdagangan emisi ini bersumber pada konvensi internasional, salah satunya disebut sebagai Protocol Kyoto dimana Indonesia telah ratifikasi konvensi
Terminologi xxvi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
tersebut dalam siding pleno DPR pada 28 Juni 2004 melalui pembahasan panjang sejak 1997. Biasa disebut juga carbon-trade. FIP (Forest Investment Program) — Skema investasi pendanaan karbon yang dikembangkan oleh Bank Dunia. Program FIP ini bersama-sama program global UNFCCC dalam paket FCPF, UN-REDD dan FIP untuk membantu readiness Negara berkembang dalam menyongsong mekanisme REDD+. FPIC (Free, Prior, Informed, Consent) — Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan atau di Indonesia dikenal dengan nama PADIATAPA, yaitu suatu prinsip yang memungkinkan masyarakat adat dan lokal mempunyai peran untuk menyatakan apakah mereka setuju atau tidak setuju terhadap sebuah kebijakan atau kegiatan yang berpotensi mempengaruhi kehidupan masyarakat di kawasannya.FPIC masuk dalam safeguard information system tetapi belum mencakup semua 7 safeguard hasil Cancun. Gas Rumah Kaca (GRK) — Yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC dan PFC. Gas-gas ini merupakan akibat aktivitas manusia dan menyebabkan meningkatnya radiasi yang terperangkap di atmosfer. Hal ini menyebabkan fenomena pamanasan global yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi secara global. Pemanasan global mengakibatkan Perubahan Iklim, berupa perubahan pada unsur-unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan dan tekanan udara yang pada akhirnya akan mengubah pola iklim dunia. Gigaton (109ton) — Unit yang sering digunakan untuk menyatakan jumlah karbon atau karbondioksida di atmosfer. GHG (Green House Gases) — Gas Rumah Kaca (GRK).
Global Warming — Pemanasan global yaitu peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang. Greenhouse Effect (Efek rumah kaca) — Terperangkapnya panas oleh gas-gas yang ada di udara yang terjadi secara alami ( uap air, CO2, N2O, NH4, O3) dan secara buatan ( (CFCs, SF6, HFCs, PFCs) dimana gas-gas ini menyerap radiasi sinar merah. Efek rumah kaca secara ala mini membuat bumi selalu terasa hangat sekitar 30°C (55°F) atau lebih hangat lagi b ila gas-gas ini tidak ada. HTI — Hutan Tanaman Industri adalah program penanaman lahan hutan tidak produktif dengan tanaman-tanamanan industri seperti kayu jati dan mahoni guna memasok kebutuhan serat kayu (dan kayu pertukangan) untuk pihak industri.
Hutan — Suatu kawasan dengan luas paling sedikit 0,001 – 1 hektar dengan tutupan atas berupa pohon lebih dari 10-30%, dan tumbuh di kawasan tersebut sehingga mencapai ketinggian minimal 2-5 meter (FAO); Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU.41/1999). Definisi hutan yang aktual dapat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya karena Protokol Kyoto memperbolehkan masing-masing negara untuk membuat definisi yang tepat sesuai dengan parameter yang digunakan untuk penghitungan emisi nasional.
Terminologi xxvii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Hutan Hak — Adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah.
Hutan Negara — Adalah hutan yang berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah.
Hutan Adat — Adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum adat. Hutan Desa — Adalah hutan negara yang dikelola oleh desa dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa serta belum dibebani ijin/hak Hutan Produksi — Adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Lindung — Adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Hutan Konservasi — Adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. Iklim — Keadaan rata-rata cuaca pada suatu daerah dalam kurun waktu yang relatif lama (minimal 30 tahun) dan meliputi wilayah yang luas – menggambarkan kondisi sistem iklim selama satu kurun waktu dan biasanya digambarkan dalam rata-rata atau variasi berbagai variabel seperti suhu, curah hujan, dan angin, sebagian besar umumnya berkaitan dengan cuaca. Implementation (implementasi) — Suatu aksi (legislasi atau regulasi, keputusan hukum, atau aksi lainnya) yang diambil pemerintah untuk menerjemahkan perjanjian internasional ke dalam undang-undang / peraturan dan kebijakan domestik. Indigenous peoples — Masyarakat asli, masyarakat setempat, masyarakat adat; belum ada definisi yang secara internasional diterima. Insentif — Manfaat yang diperoleh dari kegiatan REDD berupa dukungan finansial dan atau transfer teknologi dan atau peningkatan kapasitas. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change ) – Suatu Panel ilmiah yang didirikan pada tahun 1988 oleh pemerintah anggota Konvensi Perubahan Iklim yang terdiri dari para ilmuwan dari seluruh dunia untuk melakukan pengkajian (assessment) terhadap perubahan iklim, menerbitkan laporan khusus tentang berbagai topik yang relevan dengan implementasi Kerangka Konvensi PBB untuk Perubahan Iklim. Panel ini memiliki tiga kelompok kerja (working group) : I. Dasar Ilmiah, II. Dampak, Adaptasi, dan Kerentanan, III. Mitigasi. JI (Joint Implementation) — Sebuah mekanisme penurunan emisi GRK yang dapat dilakukan oleh antar negara maju untuk menghasilkan ERU (Emission Reduction Unit), suatu penurunan emisi GRK.
Terminologi xxviii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Kawasan hutan — Wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Kawasan ini dapat ditumbuhi hutan atau tidak ditumbuhi vegetasi hutan (kosong). Keanekaragaman Hayati (Biological Diversity atau Biodiversity) - Keanekaragaman mahluk hidup dan hal-hal yang berhubungan dengan ekologinya, dimana mahluk hidup tersebut terdapat. Keanekaragaman Hayati mencakup keaneragaman genetik, spesies dan ekosistem. Kyoto Protocol — Protokol Kyoto, merupakan perjanjian internasional untuk membatasi dan menurunkan emisi gas-gas rumah kaca — karbon dioksida, metan, nitrogen oksida, dan tiga gas buatan lainnya. Negara-negara yang setuju untuk melaksanakan protokol ini di negara masing-masing berkomitmen untuk mengurangkan pembebasan gas CO2 dan lima GRK lain, atau bekerjasama dalam perdagangan kontrak pembebasn gas perdagangan kontrak pembebasan gas jika mereka menjaga jumlah atau menambah pembebasan gas-gas tersebut, yang menjadi puncak gejala pemanasan global. Protokol ini di adopsi di Kyoto pada tahun 1997 pada saat COP 3, mulai berlaku tahun 2005, dan akan berakhir tahun 2012. Negara-negara yang termasuk dalam Annex B dari protokol ini berkewajiban menurunkan emisi sebesar 5% dibawah emisi tahun 1990 pada tahun 2008 –2012. Indonesia sebagai negara berkembang tidak dikenakan kewajiban untuk menurunkan emisinya. Indonesia yang telah meratifikasi Protokol Kyoto pada 3 Desember 2004, melalui UU no. 17/ 2004. Land use and Land-use change (LULUCF) — Land-use, Land-use Change and Forestry adalah kegiatan yang berkaitan dengan penggunaan dan perubahan tata guna lahan serta kehutanan yang berpengaruh langsung terhadap emisi GRK karena adanya pelepasan dan penyerapan karbon dalam bentuk dekomposisi dan pembentukan biomassa, seperti dalam hal penebangan dan kebakaran hutan. Leakage — Permasalahan di mana pengurangan deforestasi di sebuah wilayah karena proyek avoided deforestation akan berujung meningkatnya deforestasi di wilayah lain. Padahal deforestasi total tidak banyak berkurang. Mitigasi — Upaya untuk mengurangi emisi GRK sehingga laju perubahan iklim dapat ditekan; Semua intervensi manusia yang menurunkan sumber-sumber gas rumah kaca atau yang meningkatkan penyerapannya. Contoh: penggunaan bahan bakar fosil lebih efisien dalam suatu industri atau pembangkit listrik dengan cara misalnya mengalihkan energinya bersumber dari tenaga air, tenaga matahari, tenaga angin, dll. MRV (Measurable, Reportable and Verifiable) — Suatu sistem/proses untuk mengukur/memantau, mendokumentasikan/melaporkan, dan memverifikasi perubahan tutupan hutan dan cadangan karbon dari pelaksanaan DA REDD+/REDD+ yang akurat (reliable) dan dapat dipertanggungjawabkan dari pelaksanaan DA REDD+. National Forest Monitoring System (NFMS) — Salah satu keputusan kerangka kerja REDD+ di Cancun yaitu negara / Paties depan memulai melakukan pengembangan sistem monitoring hutan nasional dan sub-nasional yang transparan dan menyeluruh (Framework ke 3 REDD+).
Terminologi xxix
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
NFI ( National Forest Inventory) — Inventarasi Hutan di tingkat nasional. Untuk Indonesia, NFI dilaksanakan oleh Kementerian Kehutanan. NFI Indonesia yang saat ini ada masih menitik beratkan pada informasi tentang kayu. Terkait dengan perubahan iklim / REDD+, saat ini Kementerian Kehutanan bersama-sama dengan UN-REDD/FAO sedang menyempurnakannya agar bisa mengakomodasi isu karbon. Non-Annex 1 Parties — negara-negara yang telah meratifikasi atau menyetujui konvensi PBB tentang perubahan iklim yang tidak termasuk ke dalam Annex 1 Konvensi. Non-governmental organization (NGO) — Lembaga Swadaya Masyarakat, yaitu organisasi yang bukan merupakan bagian dari struktur pemerintah. Termasuk kelompok ini adalah kelompok lingkungan, lembaga penelitian, kelompok bisnis, dan asosiasi pemerintah desa dan lokal. NGO yang bisa ikut menghadiri konvensi PBB harus NGO yang nir-laba. O3 (Ozon) — Komposisi kimia yang terbentuk di lapisan atmosfer atas (stratosfer) guna melindungi bumi dari pancaran radiasi ultra-violet yang berlebihan. Peat (gambut) — Jenis tanah yang terbentuk dari akumulasi sisa-sisa tetumbuhan yang setengah membusuk; oleh sebab itu, kandungan bahan organiknya tinggi. Peatland — Lahan gambut, salah satu jenis lahan wetland. Lahan gambut merupakan lahan yang penting dalam perubahan iklim karena kemampuannya dalam memproses gas yang menyebabkan efek rumah kaca, seperti CO2 dan metan. Pada kondisi alami, lahan gambut tidak mudah terbakar karena sifatnya yang menyerupai spons, yakni menyerap dan menahan air secara maksimal sehingga pada musim hujan dan musim kemarau tidak ada perbedaan kondisi yang ekstrim. Namun, apabila kondisi lahan gambut tersebut sudah mulai tergangggu akibatnya adanya konversi lahan atau pembuatan kanal, maka keseimbangan ekologisnya akan terganggu. Pada musim kemarau, lahan gambut akan sangat kering sampai kedalaman tertentu dan mudah terbakar. Gambut mengandung bahan bakar (sisa tumbuhan) sampai di bawah permukaan, sehingga api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah secara lambat dan dan sulit dideteksi, dan menimbulkan asap tebal. Api di lahan gambut sulit dipadamkan sehingga bisa berlangsung lama (berbulan-bulan). Dan, baru bisa mati total setelah adanya hujan yang intensif. Planted forest (forest plantation) — Hutan tanaman (masuk kategori ini bisa hutan tanaman industri, hutan tanaman rakyat). Pembangunan berkelanjutan — Pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan kapasitas generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pengelolaan Hutan — Aplikasi prinsip-prinsip biologi, fisika, kuantitatif, manajerial, sosial dan politik pada regenerasi, pemeliharaan, pemanfaatan dan konversi hutan untuk memenuhi maksud dan tujuannya dengan tetap mempertahankan produktifitas hutan.
Terminologi xxx
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perdagangan Karbon REDD — Kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Permanence — Cadangan tetap; kelangsungan pool karbon dan stabilitas cadangan karbon, walaupun dengan adanya pengelolaan dan gangguan lingkungan yang dapat terjadi. Perubahan iklim — Semua perubahan dalam iklim dalam suatu kurun waktu, apakah karena perubahan alamiah atau sebagai akibat aktivitas manusia. UNFCCC mendefinisikan sebagai suatu perubahan iklim akibat langsung maupun tidak langsung dari aktivitas manusia yang merobah komposisi gas di atmosfer sehingga menyebabkan terjadinya variasi iklim alam pada selang masa tertentu (Article 1). Pool Karbon — Sebuah sistem yang memiliki kapasitas untuk mengakumulasi atau melepas karbon. Sebagai contoh biomass hutan, produk-produk kayu, tanah, dan atmosfer. Unit yang digunakan adalah massa (misalnya t C). Protokol Kyoto — Protokol ini merupakan amandemen the United Nations Framework Convention on Climate Change yang menugaskan pewajiban batasan emisi untuk mengurangi emisi gas rumah kaca kepada negara-negara yang menandatangani kesepakatan itu. REDD (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation) - Suatu skema atau mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif atau kompensasi bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD mencakup semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan (Permenhut 30/ 2009). REDD merupakan suatu inisiatif untuk mengurangi emisi GRK yang terkait dengan penggundulan hutan dengan cara memasukkan ‘avoided deforestation’ ke dalam mekanisme pasar karbon. Secara sederhana adalah suatu mekanisme pembayaran dari komunitas global sebagai pengganti kegiatan mempertahankan keberadaan hutan yang dilakukan oleh negara berkembang. REDD merupakan mekanisme internasional yang dibicarakan dalam Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-13 akhir tahun 2007 lalu di Bali dimana negara berkembang dengan tutupan hutan tinggi selayaknya mendapatkan kompensasi apabila berhasil menurunkan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. REDD+ (Reduction of Emission from Deforestation and Forest Degradation Plus) - Suatu mekanisme penurunan emisi yang dikembangkan dari REDD (expanded REDD) dimana penggunaan lahan yang tercakup didalamnya meliputi hutan konservasi, pengelolaan hutan lestari (SFM), degradasi hutan, aforestasi dan reforestasi; semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pengurangan dan/atau pencegahan, dan/atau perlindungan, dan/atau peningkatan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon yang dilakukan melalui berbagai kegiatan untuk mendukung pembangunan nasional yang berkelanjutan.
Terminologi xxxi
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Reduced Impact Logging (RIL) — Suatu kegiatan dari perencanaan pemanenan hasil hutan kayu yang telah memperhatikan aspek keselamatan lingkungan dan dikerjakan dengan benar oleh para operator yang terlatih. Reference emission — Emisi acuan, tingkat emisi yang berasal dari deforestasi dan degradasi hutan dalam kondisi tidak ada skema REDD dan dapat ditetapkan berdasarkan trend historis maupun skenario pembangunan di masa datang. Reference emissions level (REL) — Basis untuk mengukur pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dalam suatu batas geografis dan periode waktu tertentu, ditetapkan berdasarkan data historis, dengan memperhitungkan potensi emisi yang akan dihasilkan dari kegiatan pembangunan di masa mendatang.
Reference level (RL) — Tingkat cadangan karbon yang akan dijadikan basis (benchmark) untuk mengukur tingkat keberhasilan dalam mengkonservasi dan/atau meningkatkan cadangan karbon dari upaya konservasi, pengelolaan hutan lestari,penanaman atau kegiatan lainnya. Reforestasi —Umumnya berarti penanaman kembali pada lahan hutan yang rusak. Menurut Marrakech Accord (2001), kegiatan penanaman kembali ini dilakukan pada hutan yang telah rusak sebelum 31 Desember 1989. Rencana Aksi Nasional Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) — Suatu rencana aksi yang diputuskan oleh Presiden yang tertuang dalam Perpress 61/2011. Rencana ini memuat aksi-aksi nasional untuk menurunkan emisi karbon dari sektor kehutanan dan lahan gambut, pertanian, limbah, industri dan transportasi, serta energi. Restoration (restorasi) — Suatu usaha untuk membuat ekosistem hutan asli dengan cara menata kembali (reassembling) komplemen asli tanaman dan binatang yang pernah menempati ekosistem tersebut. Satgas REDD+ —Suatu tim ad hoc yang dibentuk oleh presiden Republik Indonesia untuk mempersiapakan agensi REDD+ beserta infrastruktur yang diperlukan. Satgas REDD+ ini sangat terkait dengan LoI Indonesia dan Norwegia untuk program penurunan emisi karbon dari degradasi hutan dan lahan gambut. Sequestration — Proses peningkatan kandungan karbon dari karbon pool selain dari atmosfer; lihat carbon sequestration.
Sertifikat REDD — Suatu bentuk dokumen pengakuan tentang pengurangan emisi dan manfaat lain yang diperoleh dari kegiatan REDD yang diberikan kepada pelaku REDD. Sertifikat ini baru merupakan suatu wacana, belum benar-benar ada pada tahun 2012 ini. Sinks (definisi menurut UNFCCC) — Semua proses atau aktivitas atau mekanisme yang memisahkan GRK atau gas-gas penyusunnya dari atmosfer; Proses, aktivitas atau mekanisme yang menghilangkan GRK, aerosol, atau cikal bakal gas rumah kaca dari atmosfir. Istilah ini umum dipakai di perubahan iklim dan mencakup pengertian menyerap serta menyimpan. Hutan dan vegetasi
Terminologi xxxii
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
lainnya dianggap sebagai sink karena menyerap CO2 dari udara dan menyimpan carbonnya di batangnya. Source — Process, aktifitas atau mekanisme yang melepas gas GRK, aerosol, atau biang gas GRK ke atmosphere (IPCC 2007c). Stranas REDD+ — Dokumen strategi nasional Republik Indonesia untuk menjalankan REDD+. Dokumen ini disusun berdasarkan draft stranas yang disusun oleh Bappenas bersama-sama dengan UN-REDD kemudian diserahkan ke Satgas REDD+ untuk penyempurnaan lebih lanjut. SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) — Suatu sistem legalitas yang menjamin kayu dari Indonesia yang diekspor sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) - Konvensi Perubahan Iklim PBB, sebuah kesepakatan yang bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK, atau Green House Gas-GHG) di atmosfir, pada taraf yang tidak membahayakan kehidupan organisme dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh Indonesia melalui UU No.6/1994. Vegetasi — Tumbuh-tumbuhan pada suatu area yang terkait sebagai suatu komunitas tetapi tidak secara taksonomi. Atau jumlah tumbuhan yang meliputi wilayah tertentu atau di atas bumi secara menyeluruh. SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas Kayu) - Suatu sistem legalitas yang menjamin kayu dari Indonesia yang diekspor sudah memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan.
Pendahuluan 1-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Penggunaan Lahan, perubahan pengunaan lahan dan hutan (Land use,
land use change and forestry, LULUCF) menyumbang sebesar 33% emisi Gas
Rumah Kaca (GRK) di seluruh dunia, dan merupakan penyumbang terbesar di
Indonesia. Pada tahun 2000, total emisi berkisar antara emisi 1.378 juta ton
CO2-eq, dan sekitar 821 juta ton CO2- eq (60%) dari emisi tersebut berasal dari
sektor LULUCF (MoE 2010). Laporan lain menyebutkan bahwa Emisi dari
kegiatan pembukaan hutan atau konversi lahan (land use, land use change and
forestry, LULUCF) secara global dalam periode 20 tahun terakhir mencapai 1,65
GtC/tahun dan lebih dari 80% berasal dari negara berkembang, khususnya
negara berhutan tropis (Houghton et al., 1999, 2000). Dalam rangka
menstabilkan konsentrasi C02 di atmosfer pada tingkat yang aman bagi sistem
global, negara-negara maju bersepakat untuk menekan emisi mereka ke tingkat
sekitar 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990 dalam periode komitmen pertama,
yaitu tahun 2008 – 2012.
Sebagai salah satu negara dengan tutupan kawasan hutan terluas di
Dunia, Indonesia merasa penting untuk menjadi bagian dalam forum-forum
international pendukung upaya-upaya pengurangan emisi yang bisa berkontribusi
pada pengurangan laju perubahan iklim yang cepat. Berbagai kebijakan
pemerintah telah dikeluarkan untuk mendukung upaya-upaya global ini. Pada
tahun 1994 misalnya, sektor LULUCF Indonesia telah mengemisikan sekitar
0,155 GtC (sekitar 9% dari emisi global sektor LULUCF), sementara kemampuan
menyerap emisi hanya 0.110 GtC. Oleh karena itu upaya untuk menekan emisi
Bab 1
Pendahuluan 1-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
karbon dari sektor LULUCF sekaligus meningkatkan kemampuan hutan untuk
menyerap emisi sangat diperlukan.
Pertemuan G20 di Pittsburg pada bulan September 2009, Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono telah mencanangkan bahwa pada tahun 2020 Indonesia
akan menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 26% berdasarkan
skenario Business As Usual (BAU). Ditambahkan pula, jika Negara-negara
industri bersedia membantu upaya Indonesia, maka emisi tersebut dapat
diturunkan lebih besar lagi menjadi 41%. Selanjutnya sebagai wujud
komitmentnya, presiden RI telah membentuk unit kerja pembantu presiden untuk
mempersiapkan kelembagaan guna menjawab isu perubahan iklim di Indonesia
dengan nama UKP4. Sejak saat itu, dalam tataran global Indonesia dipandang
sebagai pelaku penting dalam isu perubahan iklim.
Upaya-upaya nasional dalam rangka penurunan emisi diwujudkan
dengan dikeluarkannya instrument kebijakan yang salah satunya adalah
melalui BAPPENAS yaitu munculnya Rencana Aksi Nasional Pengurangan Gas
Rumah Kaca (RAN-GRK). Terkait isu REDD+ Indonesia melalui UKP4 telah
menghasilkan sebuah dokumen Strategi Nasional untuk REDD+ (Stranas
REDD+). REDD/REDD+ sendiri merupakan bagian dari inisiatif global sebagai
bagian dari langkah mitigasi perubahan iklim melalui LULUCF. REDD+
menyediakan mekanisme insentif kepada negara-negara berkembang berhutan
untuk mengurangi kerusakan hutannya dari aktifitas deforestasi dan degradasi
lahan. Menilai peluang inisiatif global melalui peningkatan serapan stock karbon
ini, maka perlu dipersiapkan rencana strategis untuk tingkat lokal. Strategi dan
rencana aksi daerah yang disusun untuk mengawal proses REDD+ di tingkat
daerah tentu beranjak pada beberapa pertanyaan mendasar yaitu: (i) bagaimana
daerah akan mengurangi emisi dan meningkatan serapan karbon di wilayahnya
untuk mendapatkan kompenasasi melalui mekanisme global (REDD+)? (ii)
kelembagaan baru, proses-proses, kebijakan dan proyek awal apa yang
dibutuhkan untuk mendukung implementasi REDD+? (iii) pilihan-pilihan strtategi
apa yang perlu dipersiapan dan ditawarkan pada tingkat wilayah serta
bagaimana membandingkannya? serta (iv) bagaimana daerah bersama para
pihak luar terkait mampu mengembangkan sistem monitoring dan verifikasi untuk
memastikan bahwa usaha-usaha mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim
bisa berjalan dengan baik dan layak menerima insentif/ bonus kompensasi?
Pendahuluan 1-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Provinsi Papua Barat sebagai bagian dari Provinsi-Provinsi berhutan di
Indonesia secara tegas telah diikutsertakan pada rencana nasional dalam
mengawal isu pengurangan emisi ini. Selama beberapa tahun terakhir melalui
satuan tugas pembangunan ekonomi rendah karbon, Papua Barat Barat aktif
juga pada forum nasional dan internasional. Di Aceh pada tahun 2008 bersama
Gubernur Califfornia (Arnold S) dan beberapa Gubernur lain di Indonesia,
Gubernur Provinsi Papua Barat ikut menginisiasi berdirinya forum GCF
(Governoor Climate And Forest) Task Force Indonesia. Kebutuhan untuk
mengatur pembangunan di Papua Barat selain untuk mendapatkan manfaat
ekonomi finansial yang memadai, juga perlu memperhatikan keseimbangan
lingkungan dan keberlanjutan sosial penghidupan masyarakat yang hidup di
dalamnya, dan hal ini dirasakan penting untuk ditindaklanjuti. Keberlanjutan
ekonomi, ekologi dan sosial yang berkontribusi pada penyelamatan bumi dari
dampak buruk perubahan iklim, menjadi ide dasar pembangunan Ekonomi
rendah karbon Provinsi Papua Barat. Ide pembangunan ekonomi rendah karbon
ini pada perjalanan kedepan diharapkan mampu dirancang secara baik dalam
rangka memberikan pertimbangan-pertimbangan cerdas dan bijaksana bagi
para pengambil kebijakan di Papua Barat dalam mengawal dan menjalankan
roda pembangunan. Instrumen-instrumen kebijakan dan kelembagaan di tingkat
daerah memang perlu dipersiapkan sejak dini untuk meramu dan mewujudkan
pemikirin-pemikiran ekonomi rendah karbon yang berkelanjutan.
Penyusunan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+
(SRAP-REDD+) ini diharapkan menjadi sebuah langkah maju dalam rangka
mempersiapkan pembangunan Papua Barat yang bermanfaat dan berkelanjutan
baik Ekonomi, Sosial maupun Ekologi.
1.2. Maksud dan Proses Penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Provinsi REDD+ Papua Barat
Dokumen Strategi dan Rencana Aksi REDD+ (SRAP-REDD+) Papua Barat ini
disusun dengan maksud:
1. Menyiapkan dokumen prinsip dan pedoman pelaksanaan REDD+ di Papua
Barat agar hak dan aspirasi masyarakat Papua Barat diperkuat melalui
pelaksanaan aksi REDD+ yang dapat memberi manfaat secara adil dan
Pendahuluan 1-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
merata kepada semua kelompok masyarakat.
2. Mewujudkan komitmen Gubernur Papua Barat untuk mendukung komitmen
Presiden RI bahwa Indonesia dalam upaya menurunkan emisi GRK sebesar
26% di bawah proyeksi emisi GRK tahun 2020 berdasarkan skenario BAU
(business as usual);
3. Mendukung tujuan pembangunan 'hijau' atau pembangunan rendah carbon
yang berkelanjutan dan berpihak kepada masyarakat Papua Barat
4. Menyiapkan semua prasyarat yang dibutuhkan untuk menjalankan strategi
aksi REDD+ di Papua Barat, termasuk:
a. Bentuk dan sistem kelembagaan REDD+, mengacu ke rancangan
kelembagaan REDD+ di tingkat nasional dengan memperhatikan
kebutuhan Papua Barat. Sistem kelembagaan ini harus bisa memastikan
bahwa pelaksanaan REDD+ sesuai tujuan dan pedoman ini, memantau
dan melaporkan dan verifikasi pengurangan emisi, dan memastikan
adanya sumber pendanaan yang memadai untuk pengembangan REDD+
di Papua Barat
b. Sistem penyimpanan dan akses data yang mendukung identifikasi dan
penyelesaian tumpang-tindih kepentingan dalam penguasaan lahan serta
melayani semua pihak sesuai prinsip keterbukaan informasi
c. Dokumentasi dan penguatan hak dan peran masyarakat adat dalam
kepengurusan hutan di Papua Barat, termasuk dalam skema REDD+
d. Membangun proses yang partisipatif dan transparan baik dalam rangka
penyusunan dokumen maupun pelaksanaan REDD+ di lapangan
sehingga mendapat legitimasi semua stakeholder
e. Legalitas status dari setiap proses perencanaan dan pelaksanaan
REDD+, baik di Propinsi Papua Barat maupun antara Provinsi dan
Nasional terkait kewenangan dan tanggung jawab atas hutan, lahan dan
karbon serta perijinan pemanfaatan hutan, pinjam pakai kawasan hutan
termasuk hak dan kewajiban pemegang ijin dan pemilik wilayah adat
Strategi dan rencana aksi daerah ini dalam proses penyusunannya
mengandung prinsip dinamis dan fleksibel, mencerminkan bahwa (a) berbagai
hal mengenai bentuk dan mekanisme tata kelola REDD+ global di tingkat
internasional masih memunculkan ketidakpastian; (b) di tingkat nasional, strategi
dan kelembagaan REDD+ di tingkat Nasional baru mulai dibangun, bentuk
Pendahuluan 1-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
struktur dan tupoksi belum terumuskan dengan jelas; (c) Data dan informasi yang
dibutuhkan untuk penyusunan perencanaan yang mantap belum memadai dan
tersebar diberbagai sektor di Papua Barat. Strategi dan Rencana Aksi Provinsi
Papua Barat versi pertama memerlukan direvisi secara periodik sesuai
perkembangan di tingkat internasional dan nasional, serta melalui masukkan dari
proses konsultasi dengan para pihak yang akan dilakukan selama proses
penyusunan maupun implementasinya.
Dokumen Strategi Nasional REDD+ mengamanatkan bahwa setiap
rencana dan strategi di tingkat daerah yang disusun diharapkan menjadi
landasan untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ dapat mengatasi
penyebab mendasar dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan di daerah
serta mencapai target-target penurunan emisi nasional. Secara khusus Rencana
dan strategi Aksi Provinsi REDD + Provinsi Papua Barat dapat memberikan
jaminan bahwa kegiatan mitigasi mampu mengatasi deforestasi dan degradasi
hutan dan lahan serta memberikan kontribusi nyata terhadap penurunan emisi
GRK nasional.
1.3. Hubungan SRAP REDD+ Papua Barat Dengan Stranas REDD+
Strategi dan Rencana Aksi REDD+ Provinsi Papua Barat disusun
berdasarkan amanat dalam Strategi Nasional REDD+ (Versi Juni 2012).
Terdapat struktur 5 (lima) pilar yang menjadi landasan utaman dalam menyusun
isu-isu penting terkait dengan masalah REDD+. Kelima pilar tersebut juga
menjadi landasan dalam menyusun dan merumuskan isu-isu penting REDD+ di
Provinsi Papua Barat. Namun demikian dalam dokumen SRAP-REDD+ Papua
Barat, penekanan dan urutan prioritas menurut skala dirumuskan dengan
mempertibangkan kekhasan karakteristik lokal Papua Barat. Tabel di bawah
mengambarkan hubungan antara struktur strategi nasional dan struktur strategi
Provinsi Papua Barat.
Pendahuluan 1-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 1.1. Hubungan antara struktur Strategi Nasional REDD+ dan Strategi dan Rencana Aksi REDD+ di Provinsi Papua Barat.
Isi STRANAS REDD+ (versi Juni 2012) Isi SRAP- REDD+ Papua Barat
Pilar 1: Pembangunan sistem kelembagaan REDD+
• Rancangan Kelembagaan REDD+ • Identikasi Sumber Pendanaan REDD+ • Rancangan MRV (pemantauan, pelaporan, verifikasi)
berbasis tingkat emisi
Pilar 2: Pengkajian ulang serta penguatan kebijakan dan peraturan
• Kebijakan pembangunan rendah karbon,dan Provinsi Konservasi Papua Barat
• Bentuk dan mekanisme pendistribusian insentif REDD+ • Penegakan dan arbitrase hukum
Pilar 3: Peluncuran program-program strategis
• Tata Ruang dan Lokasi REDD+ • Pengelolaan Hutan berkelanjutan (Pembangunan KPH,
Implementasi RIL, PHPL, SILIN, SVLK dan RHL)
Pilar 4: perubahan paradigma dan budaya kerja
• Integrasi Program REDD+ dan Program Pembangunan Daerah berbasis Tata Ruang
• Pembinaan dan pendampingan intensif terhadap program pemberdayaan ekonomi kerakyatan
• Membudayakan pelaksanaan program pembangunan berbasis kinerja
• Peningkatan kualitas infrastruktur pendukung dan • Peningkatan kualitas sumberdaya manusia kompeten
dan professional
Pilar 5: pelibatan parapihak
• Pra kondisi perencanaan pembangunan dengan prinsip PADIATAPA
• Partisipasi, hak menolak/menerima dan keterbukaan informasi bagi masyarakat atas program pembangunan
• Pengakuan hak masyarakat hukum adat melalui pemetaan partisipatif penguasaan dan pemanfaatan lahan masyarakat hukum adat
• Mekanisme pembagian manfaat yang jujur dan adil serta merata
• Sistem pengamanan dan perlindungan lingkungan
1.4. Proses Penyusunan Dokumen
Dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua Barat dilakukan melalui
pendekatan partisipatif melalui rangkaian proses secara bertahap. Tujuan dari
pendekatan ini adalah agar semua stakeholder dapat berkontribusi dalam
menyumbangkan pemikiran sehingga susbtansi dokumen mampu menjaring
seluruh aspirasi stakeholders dan menjadi kesepahaman bersama. Dengan
demikian maka dokumen SRAP-REDD+ Papua Barat yang dihasilkan memiliki
nilai kepemilikan bersama. Tahapan proses penyusunan seperti disajikan pada
Bagan Gambar 1.1.
Pendahuluan 1-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 1.1. Alur penyusunan SRAP-REDD+ Papua Barat
Konsultasi/FGD di Provinsi tentang
kebutuhan pengembangan strategi
daerah dan rencana aksi untuk
pembangunan rendah karbon
Mengumpulkan dan Menganalisa
Konteks Kehutanan Papua Barat
berdasarkan Data Sekunder
Analisis dan sintesis Masalah
terkait degradasi dan deforestasi
di Papua Barat
Draft ‘0’ Dokumen SRAP REDD+
Papua Barat:
1. Pendahuluan
2. Maksud dan tujuan
3. Ruang lingkup
4. Pilar-pilar strategis
5. Analisis emisi dari sektor
kehutanan dan lahan
6. Rencana aksi mitigas
Talaah dokumen dan
sinkronisasi dengan STRANAS
REDD+
Lokakarya Diskusi dan
konsultasi Provinsi Draft ‘0’
SRAP REDD+ Papua Barat
Draft ‘1’ Dokumen SRAP REDD+
Papua Barat:
1. Pendahuluan
2. Maksud dan tujuan
3. Ruang lingkup
4. Pilar-pilar strategis
5. Analisis emisi dari sektor
kehutanan dan lahan
6. Rencana aksi mitigas
bersama dengan skenario
penurunan emisi
Lokakarya Diskusi dan
konsultasi Provinsi Draft ‘1’
SRAP REDD+ Papua Barat
FINAL DOKUMEN
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
GAMBARAN UMUM KEADAAN HUTAN DAN MASYARAKAT DI PAPUA BARAT
Sejarah pemanfaatan sumberdaya hutan di Papua Barat telah berusia
sama dengan peradaban manusia Papua. Fase perkembangan kehidupan yang
dimulai dari pola hidup primitif–pemburu /peramu (hunter/gatherer), peladang
berpindah (shifting cultivator), bertani menetap (peasant community) hingga
mencapai taraf kehidupan modern. Fase perkembangan peradaban tersebut
tidak terlepas dari peran sumberdaya hutan. Bagi orang Papua hutan merupakan
”ibu kandung” yang ”melahirkan, membesarkan, dan memberikan kehidupan”,
sehingga besar ketergantungan mereka terhadap hutan. Artinya eksistensi
sumberdaya hutan telah menjadi penopang sistem ekonomi, ekologi dan sosial
budaya bahkan religiusitas bagi kelangsungan hidup orang Papua secara lintas
generasi.
2.1. Tipe Hutan dan Penyebarannya
Secara umum kawasan hutan di Papua Barat membentuk tipe ekosistem
unik karena adanya bentangan samudera dan laut di sekitarnya serta pengaruh
jenis tanah (edafic) dan iklim akibat sejarah pembentukan pulau Papua dan
geologi masa lalu serta topografi yang ekstrem, sehingga mempengaruhi
keanekaragaman jenis (biodiversity) dan habitatnya. Hal ini tidak hanya
berpengaruh pada keragaman dan penyebaran vegetasi, namun juga berlaku
pada kekayaan fauna hutan yang ada, baik pada kelompok organisme
sederhana, seperti hewan lunak (Mollusca) dan serangga (insect) hingga pada
kelompok organisme yang kompleks seperti hewan menyusui (mammals),
terutama mamalia berkantung (marsupilia) dan beragam jenis aves (burung)
endemik yang menjadi ciri khas Tanah Papua.
Bab2
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Berdasarkan bukti dan hasil observasi lapang bahwa tipe hutan di Papua
Barat sangat dipengaruhi oleh kondisi tanah (edaphic) dan kondisi iklim setempat
(local climate). Pengelompokkan tipe hutan yang terdapat di kawasan ini terdiri
atas hutan/vegetasi pantai (coastal forest), hutan rawa (swamp forest), hutan
bakau (mangrove forest)), hutan batuan karang dan kapur (limestone & karst
forest), hutan ultramafic (ultramafic forest), hutan dataran rendah (low land rain
forest) dan hutan dataran tinggi/pegunungan (montane forest) serta vegetasi
alpin .Disamping pengelompokan tersebut di atas sebagai kesatuan ekosistem
utama, masih ada pengelompokan yang lebih spesifik berdasarkan komunitas
tumbuhan (assosiasi/formasi) dengan jenis yang dominan sebagai penciri utama.
Gambar 2.1. Peta penyebaran hutan di Provinsi Papua Barat.
Hutan pantai atau vegetasi litoral merupakan tipe hutan yang
penyebarannya berada di sepanjang garis pantai. Pada ekosistem hutan pantai
ini,terdiri atas beberapa komunitas tumbuhan yang membentuk formasi tumbuh
di atas pasir dan berbatasan langsung dengan garis pantai serta sedikit
mengalami gempuran ombak, seperti formasi Ipomoea pres-capreae dan
Casuarina equisetifolia serta vegetasi yang langsung tumbuh pada bebatuan
karang. Hutan pantai di Papua Barat berada pada daerah yang menghadap ke
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
arah Samudra Pasifik dan memutar hingga ke bagian selatan dan merupakan
kawasan yang mengalami gempuran ombak dan arus Samudra Pasifik serta
angin timur yang kencang dengan substrat yang didominasi oleh bebatuan cadas
pada bagian depan dan pada beberapa bagian membentuk pantai tebing berbatu
terjal (fyord). Bebatuan cadas ini menjadi penghalang dan pembatas (barier)
bagi vegetasi yang tumbuh di atas atau dibelakangnya. Beberapa jenis pohon
yang dominan pada hutan ini adalah Barringtonia asiatica (Lecytidaceae),
Calophyllum inophyllum (Calophyllaceae), Hibiscus tiliaceus (Malvaceae)
danTerminalia cattapa (Combretaceae) yang menjadi penciri tipe hutan pantai ini,
disamping beberapa jenis tumbuhan bawah, perdu dan semak.
Gambar 2.2. Tipe hutan/vegetasi pantai (litoral) yang dijumpai sepanjang garis pantai maupun pulau-pulau di Papua Barat. (Foto: Charlie D. Heatubun).
Tipe hutan rawa termasuk rawa gambut dan payau umumnya terletak di
delta-delta sungai-sungai besar dan sepanjang tepi sungai berukuran sedang
dan kecil serta wilayah pesisir yang landai dan terdapat hampir di seluruh wilayah
Papua Barat. Komposisi jenis tumbuhan di hutan rawa bervariasi menurut luas
areal hutan dan lokasi. Hutan rawa bertajuk rata dan agak terbuka, kadang rapat
di beberapa tempat dan sebatang pohon dapat mencapai tinggi 30 m.
Campnosperma brevipetiolata (Anacardiaceae) merupakan jenis pohon yang
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dominan dan tajuknya dapat mencapai tinggi 30–35m menjulang di atas kanopi
hutan rawa. Jenis-jenis lain yang juga turut membentuk tipe hutan ini adalah
Terminalia caniculata (Combretaceae), Nauclea orientalis (Rubiaceae),
Syzygiumspp. (Myrtaceae), Alstonia scholaris (Sapotaceae)dan Palaquium spp.
(Sapotaceae). Pada beberapa lokasi hutan rawa diikuti dengan formasi Nipa
(Nypa fruticans – Arecaceae) yang tumbuh sepanjang sungai-sungai
menjembatani tipe hutan bakau (mangrove) dan hutan rawa.
Gambar 2.3. Transisi Hutan Rawa dengan Hutan Bukit Kapur di latar belakang di sekitar Yakati, Teluk Bintuni, Papua Barat. (Foto: Charlie D. Heatubun).
Hutan mangrove/payau membentuk pola-pola persebaran jenis yang
kompleks dan terselubung di seluruh bentang laut pasang surut dan di hulu hilir
sungai, yang terkait dengan toleransi individu suatu jenis dengan faktor abiotik.
Hutan mangrove di wilayah ini merupakan hutan mangrove terluas di Indonesia
dan paling berkembang dan sebagian besar (618.500 ha) terdapat di Kabupaten
Teluk Bintuni (Kartikasari et all., 2012). Tegakan yang menghadap ke laut
didominasi oleh Avicennia marina (Acanthaceae) dan Soneratia alba
(Lythraceae). Lebih ke daerah hulu vegetasi didominasi oleh jenis-jenis dari suku
(family) Rhizophoraceae, antara lain: Rhizophora apiculata, Bruguiera parviflora,
dan Bruguiera gymnorrhizha.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 2.4. Rhizophora mucronata (Rhizophoraceae) penciri utama ekosistem hutan bakau (mangrove). (Foto: Jonni Marwa).
Tipe hutan dataran rendah secara umum dijumpai pada seluruh wilayah
Papua Barat.Hutan dataran rendah merupakan tipe vegetasi darat yang paling
kompleks dan tertinggi jenisnya di dunia (Whitemore, 1984).Menurut Paijmans
(1976) hutan dataran rendah dicirikan oleh vegetasi yang tinggi dan komposisi
floranya yang sangat kaya.Dimasing-masing lapisan, komposisi floranya tidak
beraturan, ketinggian, tutupan dan ukuran tajuknya bervariasi dan sangat
mencolok bila dilihat dari udara.Hutannya lebih terbuka dan memiliki banyak
celah yang dihuni pepohonan yang lebih rendah.Jenis pohon yang selalu ada di
lapisan atas adalah Paraserianthes falacataria (Fabaceae), Pometia pinnata
(Sapindaceae), Intsia spp. (Fabaceae) dan Ficus spp. (Moraceae).Tipe hutan
dataran rendah ini berdasarkan sejarah pengelolaannya terbagi menjadi dua tipe
hutan, yaitu tipe hutan dataran rendah primer dan tipe hutan dataran rendah
sekunder. Tipe hutan dataran rendah primer masih memiliki tegakan hutan alami
yang dijumpai pada beberapa ratus meter dari garis pantai, sedangkan pada
hutan dataran rendah sekunder telah mengalami gangguan aktifitas manusia,
terutama akibat pembalakan pada masa yang lalu. Areal hutan dataran rendah
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
primer cenderung masih cukup baik karena sebagian besar areal ini sulit
dijangkau akibat topografinya yang cukup berat (terjal) dengan kemiringan di atas
40%.Hutandataran rendah sekunder,areal ini cenderung relatif datar sehingga
mudah diakses masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya hutan maupun
lahannya bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat. Kondisi hutan initerbentuk
akibat aktifitas pertanian tradisional (perladangan berpindah) dan penebangan
liar (baik untuk kayu perkakas maupun kayu/bahan bakar) banyak dijumpai dan
menyebar hampir di seluruh wilayah Papua Barat.Akibat aktifitas ini, maka
terbentuklah beberapa kawasan dengan tipe hutan sekunder yang didominasi
oleh jenis-jenis vegetasi pionir dan jenis-jenis vegetasi cepat tumbuh (fast
growing species), seperti Macaranga spp. dan Mallotus spp. (Euphorbiaceae),
Piper aduncum (Piperaceae) dan Premna corymbosa (Lamiaceae).
Hutan bukit kapur dan vegetasi gamping (limestone hills forest and karst
vegetation) dijumpai di sekitar Ayamaru, Fakfak, Kaimana dan pulau-pulau di
Kepulauan Raja Ampat.Tipe ekosistem hutan ini dicirikan dengan perawakan
tumbuhan yang lebih kecil dan kerapatan yang tinggi.Keanekaragaman jenis
tidak begitu tinggi jika dibandingkan dengan tipe hutan lainnya, namun memiliki
nilai endemisme yang tinggi dan penting karena tumbuhan pada ekosistem ini
memiliki kemampuan adaptasi dengan substrat tempat tumbuh yang cukup
ekstrim. Jenis-jenis pohon dominan pada tipe hutan ini adalah Ficus spp.
(Moraceae), Caralia brachiata (Rhizophoraceae), Vatica rassack
(Dipterocarpaceae), Manilkara sp. dan Mimusops elengi(Sapotaceae)
sertaCalophyllum sp. (Calophyllaceae).
Hutan dataran tinggi di Papua Barat, sebagian besar terdapat pada
punggung-punggung pegunungan Arfak, Tamrau dan Kumawa.Ekosistem hutan
ini dimulai pada elevasi 750 – 1.500 m dpl dimana tumbuhan berdaun jarum
(conifer) merupakan tumbuhan yang mendominasi tipe hutan ini.Jenis-jenis
pohon diantaranya Araucaria hunsteinii (Araucariaceae), Papuacedrus sp.,
Phyllocladus sp. dan Dacrydium spp. serta Dacrycarpus sp. (Podocarpacaee).
Sementara tipe hutan ultrabasal atau ultramafic dan vegetasi alpin luasan
dan lokasinya sangat terbatas.Hutan ultrabasal (ultramafic) hanya terdapat di
Pulau Waigeo dan Pulau Gag di Kepulauan Raja Ampat, dimana tipe hutan ini
sangat berasosiasi dengan kandungan bahan tambang mineral Nikel. Jenis-jenis
tumbuhan yang dominan pada tipe hutan ini antara lain; Leptospermum sp. dan
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Baeckea sp. (Myrtaceae), Ploiarium sessile (Bonnetiaceae), Exocarpus sp.
(Santalaceae) dan Nephentes spp. (Nephentaceae). Pada vegetasi alpin, sesuai
dengan namanya bahwa ekosistem ini dijumpai di puncak-puncak gunung, di
mana elevasinya lebih dari 2000 m di atas permukaan laut.Tidak ada tumbuhan
yang berperawakan pohon dijumpai di sini, sebagian besar berupa semak dan
tumbuhan bawah lainnya yang didominasi oleh suku (family) Ericaceae terutama
jenis-jenis Rhododendron, Vaccinium, Diplycosia dan Gaultheria.
Gambar 2.5. Hutan Ultrabasal di Pulau Gag, Kepulauan Raja Ampat. (Foto: Charlie D. Heatubun).
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
2.2. Tutupan Lahan, Luas, dan Status Hutan di Papua Barat
2.2.1. Tutupan Lahan Hutan Berdasarkan kondisi iklim dan topografi yang diketahui, kondisi
Papua Barat masih digolongkan sebagai hutan yang memiliki tutupan
hutan yang utuh. Kondisi hutan demikian hanya dapat dipertahankan bila
masyarakat tidak lagi membuka hutan untuk kebutuhan pertanian,
infrastruktur dan pemukiman. Berdasarkan estimasi kondisi tutupan
vegetasi hutan di Papua Barat pada masa lampau (yaitu luas kawasan
yang kemungkinan tertutup berbagai tipe hutan dan dengan
mempertimbangkan kondisi iklim dan lingkungan serta intervensi
manusia) dapat disimpulkan bahwa hampir seluruh wilayah Papua Barat
dulu tertutup hutan (MacKinnon, 1997). Tempat-tempat yang tidak dapat
mendukung pertumbuhan pohon hanyalah lereng-lereng gunung yang
sangat curam dan jalur-jalur pesisir yang sempit.
Berdasarkan data tutupan lahan hutan di Provinsi Papua Barat
sejak tahun 2003 sampai dengan 2009 telah terjadi peningkatan
persentase tutupan lahan hutan sebesar 6% (Tabel 2.1). pada sisi lain
areal non hutan mengalami penurunan rata-rata sebesar 3.457 hektar
per tahun atau 0,3% per tahun. Artinya peningkatan tutupan lahan hutan
berbanding terbalik dengan luas areal non hutan, dimana luas tutupan
hutan makin besar maka areal non hutan akan semakin kecil. Hal ini juga
memberikan gambaran bahwa upaya rehabilitasi hutan dan lahan di
Papua Barat telah memberikan kontribusi tetapi masih relatif sangat
kecil. Penambahan luas tutupan hutan tersebut bukan merupakan hasil
rehabilitasi dan reboisasi, melainkan nhasil suksesi alami.
Tabel 2.1. Perubahan tutupan lahan di Papua Barat tahun 2003-2009
Sumber : BPKH Manokwari, 2012
Berdasarkan kondisi eksisting (terkini) perubahan tutupan lahan
hutan per kabupaten di Papua Barat sebagaimana disajikan pada Tabel
Penutupan Lahan (Ha)
Tahun 2003 2006 2009
Hutan 8.219.141 8.561.375 8.749.447 Non Hutan 1.010.745 1.010.042 989.533 Tidak ada data 516.527 174.996 7.4
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-9
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.2. Tutupan Lahan di Provinsi Papua Barat Berdasarkan Kabupaten
Keterangan : Klasifikasi tutupan lahan : HLKP = Hutan Lahan Kering Primer, HLKS=Hutan lahan Kering Sekunder, HMP=Hutan Mangrove Primer, HRP=Hutan Rawa Primer, SB=Semak Belukar, KBN=Perkebunan, PMKN=Pemukiman, TT=Tanah Terbuka, HMS=Hutan Mangrove Sekunder, HRW=Hutan Rawa Sekunder, BR=Belukar Rawa, PLK=Pertanian Lahan Kering, PLKC=Pertanian Lahan Kering Campur.
HLKP HLKS HMP HRP SB KBN PMKN TT Awan Savana Air HMS HRW BR PLK PLKC Sawah Bandara Trans Tambang Rawa
1 Fakfak 420,253 380,558 4,373 18,886 14,788 878 502 686 61,226 1,122 1,483 10,578 8,400 3,844 106 927,682 2 Kaimana 1,020,468 453,004 42,546 68,686 16,793 4,499 526 505 4,744 1,767 65,896 12,542 4,271 5,947 244 5,679 4,486 1,712,601 3 Manokwari 879,747 190,730 939 1,463 120,788 13,117 4,658 2,235 856 35,131 6,653 923 3,389 2,272 5,958 17,553 1,905 53 6,867 122 1,295,360 4 Maybrat 421,133 65,831 5,891 36,193 114 431 12,254 3,836 3,141 2,835 6,387 558,046 5 Raja Ampat 558,485 117,330 25,262 2,403 21,368 1,042 2,214 121 22,842 1,079 2,552 1,865 1,012 133 697 44 92 20 758,563 6 Sorong 222,544 350,348 49,453 38,623 71,172 8,963 1,659 821 478 2,768 14,828 3,912 2,188 634 33 33,864 8,210 810,499 7 Sorong Selatan 181,523 39,959 73,101 209,116 32,295 1,971 725 670 14,550 36,395 3,166 4,924 13,226 74 21,037 1,391 634,122 8 Tambrauw 460,946 90,716 69 16,716 133 652 797 668 6,442 510 577,648 9 Teluk Bintuni 866,407 525,069 177,743 318,300 28,117 9,765 4,186 444 894 13,765 59,665 79,404 37,642 31,300 129 4,569 109 2,632 432 2,160,570
10 Teluk Wondama 283,199 120,820 4,155 4,137 6,907 28 1 743 2,258 161 602 459 231 2,756 426,458 11 Kota Sorong 22,844 177 652 1,744 6 22 169 96 1,574 121 7,743 38 35,186
5,314,707 2,357,209 377,817 667,505 365,790 36,343 16,939 8,535 9,214 167,526 190,399 106,159 68,457 65,976 6,570 110,573 1,905 244 9,499 9,244 6,126 9,896,736
No. KabupatenTutupan Lahan
Total
Grand Total
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-10
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Berdasarkan data tutupan lahan (land cover), dari luas wilayah 9.896.736
Ha, seluas 8.717.238 ha (88 %) masih tergolong primer, dan hanya 1.179.498 ha
(18%) tergolong lahan sekunder, tanah terbuka dan Areal Penggunaan Laian
(APL). Kondisi tutupan lahan Provinsi Papua Barat demikian tentunya
merupakan kebanggaan yang harus tetap dipertahankan. Namun di sisi lain
desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan dan peningkatan jumlah
penduduk menuntut kebutuhan penggunaan lahan yang akan terus meningkat.
Faktor inilah yang harus menjadi perhatian pemerintah untuk mengalokasikan
lahan secara selektif dan bijaksana agar perubahan tutupan lahan dapat
dikendalikan, sehingga proporsinya masih dapat menjamin kondisi ideal yang
diharapkan.
2.2.2. Luas dan Status Hutan di Provinsi Papua Barat Papua Barat dengan luas hutan sekitar 9.730.550 hektar, memberikan
kontribusi sebesar 8,12 % terhadap luas hutan hujan tropis di Indonesia (Tabel
2.4). Eksosistem hutan di wilayah Papua Barat menyimpan keanekaragaman
flora dan fauna yang merupakan perpaduan unsur dari dua wilayah bioregion,
yaitu Asia tenggara dan Australia. Beragam manfaat telah diperoleh dari
ekstraksi terhadap sumberdaya hutan di Papua Barat baik untuk kepentingan
negara maupun masyarakat.
Kawasan hutan produksi di Papua Barat menempati posisi teratas dengan
persentase luas mencapai 61,44% diikuti kawasan hutan konservasi dan lindung
masing-masing 17%. Potensi kawasan hutan produksi yang besar menjadi
pendorong hadirnya perusahaan-perusahaan swasta pemegang ijin konsesi
terutama hutan alam. Saat ini jumlah IUPHHK yang aktif beroperasi di Papua
Barat berjumlah 24 unit. Berdasarkan data tahun 2008 luas areal yang telah
diberi ijin IUPHHK seluas 2.764.500 hektar (DDA Papua Barat, 2009). Dari
luasan tersebut rata-rata luas areal RKT yang disahkan sebagai jatah tebang
tahunan (JPT) sebesar 1.879 hektar.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-11
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.3. Luas kawasan hutan berdasarkan fungsi per kabupaten/kota di Papua Barat
Sumber : BPKH Wilayah XVII Manokwari, 2012.
Konsekuensi logis dari upaya pembangunan di Papua Barat
menyebabkan sebagian kawasan hutan telah mengalami perubahan status.
Telah terjadi perubahan luas hutan baik pada hutan produksi, konservasi, dan
lindung. Dan perubahan yang besar terjadi pada kawasan hutan berstatus hutan
produksi konversi (55%), disusul hutan hutan produksi tetap (24%), lindung
(13%) dan konservasi (8%).
Gambar 2.6. Persen perubahan status hutan berdasarkan RTRW Provinsi Papua Barat 2008-2028.
8%13%
24%55%
Persen Perubahan Status Hutan di Papua Barat
Konservasi - Areal Penggunaan LainLindung - Areal Penggunaan LainProduksi - Areal Penggunaan LainKonversi - Areal Penggunaan Lain
No Kabupaten/ Kota
Fungsi Kawasan (Ha) Total (Ha) HK HL HP HPK APL
1 Fak-fak 40.836 41.525 580.527 211.147 52.556 926.591
2 Kaimana 112.280 336.121 851.456 264.328 87.490 1.651.675
3 Manokwari 571.222 329.220 193.354 121.810 73.119 1.288.726
4 Maybrat 27.934 118.574 272.121 134.230 1.358 554.217
5 Raja Ampat 411.836 151.625 27.858 159.951 6.686 757.957
6 Sorong 8.848 58.090 237.569 428.394 62.776 795.676
7 Sorong Selatan 11.001 156.858 148.056 259.931 36.767 612.614
8 Tambrauw 214.113 235.463 113.943 13.269 197 576.986
9 Teluk Bintuni 220.194 153.727 1.155.747 532.466 42.623 2.104.757
10 Teluk Wondama 102.181 75.103 113.903 129.270 5.805 426.262
11 Kota Sorong 1.322 4.283 11.717 17.670 99 35.090
Total (Ha) 1.721.768 1.660.590 3.706.251 2.272.466 369.474 9.730.550
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-12
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perubahan lahan hutan menjadi areal penggunaan lain merupakan
aktivitas yang memberikan kontribusi paling besar terhadap perubahan lahan
hutan di Papua Barat sebagaimana terecana dalam RTRWP (639,739 Ha).
Walaupun perubahan ini relatif dibanding dengan luas kawasan hutan secara
keseluruhan, namun dampak yang akan ditimbulkan dikemudian hari tidak dapat
diabaikan.
2.3. Sebaran Lahan Kritis di Papua Barat
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai (BPDAS)
Remu Ransiki tahun 2011, luas lahan kritis dalam kawasan hutan di Provinsi
Papua Barat 439.911 Ha atau sekitar ± 4,54% dari total luas kawasan hutan di
Papua Barat. Luas lahan kritis dalam kawasan hutan dapat dirincikan sebagai
berikut: Hutan Konservasi seluas 67.138 Ha (0,69%), Hutan Lindung (HL)
99.176 Ha (1,02%), Hutan Produksi Tetap (HP) 88.243 Ha (0,91%), Hutan
Produksi Terbatas (HPT) 127.761 Ha (1,32%), dan Hutan Produksi Konversi
(HPK) 57.593 Ha (0,59%). Luas lahan kritis dalam kawasan hutan ini bisa
berkurang apabila rehabilitasi hutan dan lahan sebagai salah satu rencana aksi
mitigasi nasional dapat dilakukan dengan baik, berkesinambungan, serta
dilaksanakan pada daerah-daerah yang dikategorikan kritis pada DAS prioritas..
Selain itu, juga terdapat Areal Penggunaan Lain dengan luas 53.161 Ha (0,55%)
yang dapat dilakukan penghijauan. Data rekapitulasi tingkat kekritisan lahan di
Provinsi Papua Barat disajikan pada Tabel 2.4.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-13
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 2.7. Peta penyebaran lahan kritis di Provinsi Papua Barat
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-14
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.4. Rekapitulasi tingkat kekritisan lahan di Provinsi Papua Barat
No. Tingkat Kekritisan Fungsi Kawasan (Ha)
Total Hutan Konservasi
Hutan Lindung
Hutan Produksi APL
HP HPT HPK Jumlah 1 Sangat Kritis 562 10.007 13.058 30.213 15.628 58.899 7.842 77.310
2 Kritis 66.576 89.169 75.185 97.548 41.965 214.698 45.319 415.762
Jumlah Lahan Kritis 67.138 99.176 88.243 127.761 57.593 273.597 53.161 493.072
3 Agak Kritis 163.800 175.184 212.555 300.649 578.326 1.091.530 109.580 1.540.094
4 Potensial Kritis 1.247.479 1.018.160 436.316 710.619 839.158 1.986.093 89.700 4.341.432
5 Tidak Kritis 259.712 347.258 1.117.008 1.203.796 372.350 2.693.154 19.832 3.319.956
Jumlah 3 s/d 5 1.670.991 1.540.602 1.765.879 2.215.064 1.789.834 5.770.777 219.112 9.201.482
Jumlah Total 1.738.129 1.639.778 1.854.122 2.342.825 1.847.427 6.044.374 272.273 9.694.554 Sumber: BPDAS – Remu Ransiki, 2011
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-15
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Program RHL melalui berbagai skema (GERHAN, HTR dan KBR) yang
dilakukan oleh BPDAS Remu Ransiki hingga tahun 2012 ini belum menunjukkan
hasil yang optimal. Berdasarkan Laporan BP DAS Remu Ransiki (2012), bahwa
realisasi luas penanaman lahan kritis tahun 2010/2011 seluas 10.000 ha.
Namun luasan ini belum dapat dijadikan jaminan bahwa areal lahan kritis itu telah
tereabilitasi karena belum dilakukan evaluasi apakah pertumbuhan tanaman
dilapangan memiliki tingkat keberhasilan yang memadai. Program RHL oleh BP
DAS ini menjadi program unggulan untuk mitigasi REDD+ dalam kerangka
peningkatan stok karbon hutan pada lahan-lahan terdegradasi.
2.4. Pemanfaatan Hutan dan Lahan di Papua Barat Pemanfaatan hutan dan lahan di Papua Barat mencakup mengacu pada
fungsi kawasan hutan yaitu pemanfaatan hutan produksi, hutan konservasi, dan
hutan lindung.
1. Pemanfaatan Hutan Produksi
Berdasarkan perkembangan data sampai dengan desember 2009 luas hutan
produksi yang telah dimanfaatkan untuk IUPHHK seluas 3.969.920 hektar
dengan jumlah unit IUPHHK sebanyak 23 (Direktorat BRPHP dan BPHA,
2010) atau sekitar 71,32% dari total luas hutan produksi di Papua Barat.
Perusahaan atau konglomerasi pemegang ijin yang beroperasi di Papua Barat
di antaranya grup kayu lapis Indonesia, alas kusuma grup, hanurata grup dan
jati grup.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-16
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.5. Daftar pemegang IUPHHK-HA di Provinsi Papua Barat sampai dengan tahun 2010
No Nama IUPHHK-HA No. SK.IUPHHK-HA Tgl SK Luas SK (ha) Aktifitas 1 PT.Arfak Indra 333/Menhut-II/2009 15-Jun-09 177.900,00 Aktif 2 PT.Asco Prima Nusantara 82/Menhut-II/2009 05-Mar-09 171.270,00 Aktif 3 PT.Bangun Kayu Irian 01/Kpts-II/1993 04-Jan-93 299.000,00 Aktif 4 PT.Bintuni Utama Murni 213/Menhut-II/2007 28-Mei-07 82.120,00 Aktif 5 PT.Hanurata Coy Ltd (Sorong) 81/Kpts-II/1994 25-Feb-94 417.570,00 Aktif 6 PT.Hasrat Wira Mandiri 735/Kpts-II/1993 08-Nop-93 119.700,00 Aktif 7 PT.Intimpura Timber 69/Kpts-II/1989 06-Feb-89 333.000,00 Aktif 8 PT.Irmasulindo 08/Kpts-II/2001 11-Jan-01 174.540,00 Aktif 9 PT.Kaltim Hutama 652/Menhut-II/2009 15-Okt-09 161.670,00 Aktif
10 PT.Kurniatama Sejahtera 648/Menhut-II/2009 15-Okt-09 115.800,00 Aktif 11 PT.Mancaraya Agro Mandiri 55/Menhut-II/2006 14-Mar-06 97.820,00 Aktif 12 PT.Manokwari Mandiri Lestari 48 Tahun 2002 21-Mei-02 83.240,00 Aktif 13 PT.Megapura Mambramo Bangun 397/Menhut-II/2006 17-Jul-06 55.100,00 Aktif 14 PT.Mitra Pembangunan Global 714/Menhut-II/2009 19-Okt-09 83.950,00 Aktif 15 PT.Multi Wahana Wijaya 534/Kpts-II/1991 14-Agust-91 139.000,00 Aktif 16 PT.Papua Satya Kencana 647/Menhut-II/2009 15-Okt-09 195.420,00 Aktif 17 PT.Teluk Bintuni Mina Agro K. 393/Kpts-II/1992 22-Apr-92 239.000,00 Aktif 18 PT.Wana Galang Utama 464/Kpts-II/1992 22-Okt-92 212.000,00 Aktif 19 PT.Wana Irian Perkasa 936/Kpts-II/1992 25-Nop-92 53.800,00 Aktif 20 PT.Wana Kayu Hasilindo 547/Kpts-II/1997 27-Agust-97 84.000,00 Aktif 21 PT.Wapoga Mutiara Timber (Unit
I, Papua (178.800 Ha)& Unit II, Irjabar (196.900 Ha))
744/Kpts-II/1990 13-Des-90 375.700,00 Aktif
22 PT.Wukirasari 477/Menhut-II/2008 31-Des-08 116.320,00 Aktif 23 PT.Yotefa Sarana Timber 811/Kpts-II/1991 30-Okt-91 182.000,00 Aktif
Jumlah 3.969.920,00 Sumber : Direktorat BRPHP dan BPHA, 2010
2. Penggunaan Kawasan Hutan Untuk Kegiatan Non Kehutanan
Penggunaan kawasan hutan produksi terlihat dari progress
rencana penggunaan kawasan hutan dan ijin pinjam pakai kawasan
hutan yang telah dan sedang dikerjakan. Terdapat 9 (Sembilan)
perusahaan pemegang ijin pinjam pakai kawasan yang sedang
melakukan eksplorasi pertambangan.Satu perusahaan sudah mendapat
persetujuan prinsip pinjam pakai dan ijin pinjam pakai kawasan di tiga
lokasi yang berbeda yaitu PT. Petrochina Internasional (Tabel 2.6).
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-17
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.6. Perusahaan pengguna kawasan hutan untuk kegiatan non kehutanan di Provinsi Papua Barat
Nama Perusahaan Pemegang Ijin Pinjam Pakai Kawasan Hutan
Untuk Eksplorasi
Nama Perusahaan Mendapat Persetujuan Prinsip Pinjam Pakai
Kawasan
Nama Perusahaan Mendapat Ijin Pinjam
Pakai Kawasan
Horna Inti Mandiri, PT Petrochina International (Bermuda) Ltd
Petrochina Internasional Bermuda, PT
Adidaya Tangguh (Blok 6), PT Petrochina International (Bermuda) Ltd.
Petrochina International (Bermuda) Ltd
Anugerah Surya Indotama, PT Petrochina International (Bermuda) Ltd. (Blok Kepala Burung)
Petrochina International (Bermuda) Ltd
GAG Nikel, PT Genting Oil Kasuari Pte. Ltd.
Chevron West Papua I & III Ltd, PT
Job Pertamina - Petrochina Salawati
Petrochina International (Bermuda) Ltd.
Progres Pelepasan Kawasan Hutan di Papua Barat terus
berlangsung seiring dengan dinamika pembangunan. Sampai dengan
tahun 2012 ijin pelepasan kawasan hutan telah diberikan kepada 10
perusahaan swasta yang sebagian besar untuk pengembangan areal
kelapa sawit dan 2 (dua) lokasi untuk pengembangan wilayah
kabupaten dan program transmigrasi . dengan luas areal 146.817,56 ha
Selain itu terdapat 10 perusahaan yang sudah mendapat ijin prinsip
namun belum melengkapi beberapa persyaratan administrasi sehingga
ijin pelepasannya belum keluar (Tabel 2.7).
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-18
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.7. Perusahaan pemegang ijin pelepasan kawasan hutan di Provinsi Papua Barat
Penggunaan lahan di Provinsi Papua Barat sejak tahun 2009 telah
menjadi ancaman terhadap degradasi dan deforestasi yang pada
gilirannya akan meningkatkan emisi dari sector hutan dan lahan. Pada
Tabel 2.8, diilustrasikan tumpang tindih berbagai penggunaan lahan yang
terjadi di provinsi Papua Barat hingga tahun 2009. Penggunaan lahan
untuk pemanfaatan kawasan hutan oleh 29 IUPHHK seluas 4.654.212 ha
dan pada tahun 2010 menjadi 3.969.920 ha. Perbedaan luas tersebut
disebabkan adanya IUPHHK yang telah berakhir izin operasinya atau
yang tidak aktif usahanya dan sebagian lagi belum memperoleh izin
operasional. Terlepas dari perbedaan luassan IUPHHK tersebut pada
Tabel 2.5, tampak bahwa adanya tumpang tindih penggunaan lahan baik
untuk kepentingan kehutanan, dan non kehutana, termasuk untuk
peepentingan pertambangan seluas 5.070,157 ha. Fakta ini
menunjukkan adanya konflik pemanfaatan ruang di wilayah Papua Barat.
Nama Perusahaan Lokasi Luas Areal Pelepasan
Transmigrasi Prafi IV/A Manokwari 2.175,00
PT. Perkebunan Nusantara II Prafi Manokwari 17.817,56
PT. Adi Jaya Mulia Kaimana 10.000,00
PT. Nusa Irian Jaya Indah Manokwari 467,00
Transmigrasi Aimas Sorong 5.221,00
PT. Varita Majutama (Blok A, Blok B, Blok C) Fakfak 35.031,30
PT. LNG Tangguh Teluk Bintuni 3.380,10
PT. Henrison Inti Persada Sorong 32.546,30
PT. Aneka Bumi Papua Manokwari 3.207,30
Pemda Fakfak Kokas (Pengembangan Wilayah) Fak-fak 2.825,00
PT. Permata Putra Mandiri Sorong Selatan 34.147
Jumlah 146.817,56
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-19
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 2.8. Tumpang tindih perizinan penggunaan lahan di Papua Barat
No. Perizinan Jumlah (Unit) Luas (Ha)
1 IUPHHK 29 4.654.212
2 Perkebunan 12 280.795
3 Pertambangan mineral dan batubara 16 2.701.238
4 Pertambangan MIGAS 13 7.164.417 Total 60 14.800.707
Kawasan Hutan 9.730.550
Overlap 5.070.157 Sumber : Di Kompilasi dari berbagai sumber oleh Tokede, 2012
Khusus untuk izin pertambangan, luas areal tersebut sebagian
masih dalam taraf eksplorasi. Namun karena kegiatan eksplorasi
sendeiri harus memperoleh izin dan telah merupakan investasi, maka
ketika hasil eksplorasi tersebut perlu dilanjutkan dengan izin survey
pencadangan sampai pada izi akan eksploitasi, maka perusahaan yang
sama yang akan menjadi pelaksana usaha pertambangan tersebut. Atas
dasar asumsi demikian, maka luasan areal pertambangan yang
terbebani izin eksplorasi, maka pada saatnya akan mendapat izin
eksploitasi. Karena itu tumpang tindih izin tersebut akan menjadi yang
harus sumber konflik pemanfaatan ruang yang harus diintegrasikan dan
dipaduserasikan kembali oleh SKPD terkaid di bawah payung RTRWP
maupun RTRWK.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-20
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
2.5. Sebaran Penduduk dan Peran SDA dalam Kehidupan Masyarakat di Papua Barat
Jumlah Penduduk Papua Barat secara keseluruhan pada tahun
2010 berjumlah 760.422 jiwa yang tersebar pada 10 kabupaten dan 1
(satu) kota. Sebaran penduduk Provinsi Papua Barat menurut
kabupaten/kota masih dominan di dua daerah yaitu di Kota Sorong
(25,07%) dan Kabupaten Manokwari (24,69%). Hampir setengah dari
total penduduk Papua Barat tinggal di kedua daerah tersebut.
Tabel 2.9. Sebaran penduduk berdasarkan kabupaten/kota di Provinsi Papua Barat
Kabupaten/kota Jumlah Penduduk Persentase (%) Fak-fak 66.828 8.79 Kaimana 46.249 6.08 Teluk Wondama 26.321 3.46 Teluk Bintuni 52.442 6.90 Manokwari 187.726 24.69 Sorong Selatan 37.900 4.98 Sorong 70.619 9.29 Raja Ampat 42.507 5.59 Tambrauw 6.144 0.81 Maybrat 33.081 4.35 Kota Sorong 190.625 25.07
Jumlah 760.442 100.00 Sumber : Papua Barat Dalam Angka, 2011
Dalam kaitan dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat di dalam
sekitar hutan berdasarkan data tahun 2009 tercatat bahwa di Papua Barat
terdapat 226 kampung yang berada dalam kawasan hutan, 492 kampung
terletak di tepi kawasan dan di luar kawasan hutan 487 (Tabel 2.10).
Jumlah kampung ini mengalami peningkatan hingga pada tahun 2011
mencapai 1.361 kampung atau mengalami kenaikan sebesar 12,95%.
Tabel 2.10. Jumlah kampung di dalam kawasan, di tepi dan di luar kawasan hutan
Jumlah Kampung Kampung di
dalam Kawasan Hutan
Kampung di Tepi Kawasan
Kampung di luar Kawasan
1.205 226 492 487
Persentase (%) 18,76 40,83 40,41
Sumber : BPS dan Dephut, 2009
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-21
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Disisi lain berdasarkan data survey sosial ekonomi nasional tahun
2008-2012 jumlah penduduk miskin di wilayah pedesaan Papua Barat
pada tahun 2011 sebanyak 239.060 jiwa. Jumlah tersebut mengalami
penurunan sebesar 1,12% pada tahun 2012 sehingga menjadi 216.000
jiwa (Susenas, 2008-2012). Kecilnya angka penurunan tingkat kemiskinan
di wilayah perdesaan memberikan indikasi akan makin besar tekanan
terhadap sumberdaya hutan terutama untuk membuka areal-areal
perladangan baru dan pemukiman penduduk.
2.6. Peran Sumberdaya Hutan Terhadap Masyarakat Adat dan Pemerintah
Komunitas masyarakat adat di wilayah Papua Barat yang berdiam di
dalam kawasan dan sekitar hutan sebagian besar merupakan masyarakat
peramu. Ketergantungan terhadap sumberdaya hutan sangtlah tinggi baik
dalam kegiatan berburu satwa liar, mengumpulkan buah-buahan dan
sayuran, sumber obat-obatan tradisional, bahan bangunan dan peralatan
rumah tangga. Berdasarkan beberapa studi kasus di wilayah Papua Barat
seperti di Kaimana dan Raja Ampat diketahui bahwa kontribusi
sumberdaya hutan terhadap penerimaan keluarga rata-rata 11-20% dari
total penerimaan keluarga (Tim Fahutan Unipa, 2011).
Gambar 2.8. Kontribusi sumberdaya hutan terhadap penerimaan keluarga.
Dalam hubungan dengan penerimaan sektor kehutanan sumberdaya
hutan memberikan kontribusi relatif terhadap PDRB selama tahun 2008-
2010 berkisar dari 2-8% (Gambar 2.9). Hal ini berarti dengan adanya
peningkatan peran sektor kehutanan sebesar 0.02 satuan akan
meningkatkan PDRB sebesar satu satuan. Sehingga dapat dikatakan
bahwa pada periode tersebut sektor kehutanan telah mampu berperan
terhadap perubahan struktur perekonomian wilayah di Papua Barat.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-22
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 2.9. Kotribusi relatif subsektor kehutanan terhadap PDRB total
Gambar 2.10. Kotribusi absolut subsektor kehutanan terhadap PDRB total
2.6.1. Nilai Lahan dan Hak Masyarakat Adat terhadap Hutan
Lahan dalam pandangan hidup orang Papua dipahami dan
diklasifikasikan oleh kebanyakan masyarakat adat sebagai tanah itu
sendiri beserta dusun sagu, kebun, sungai maupun hutan kayu yang
berada diatasnya. Lahan dalam kaitannya dengan kepentingan hidup
8.391%
2.689%
7.528%7.322%
2007 2008 2009 2010
Kontribusi Relatif Sub Sektor Kehutanan Terhadap PDRB Total
2007 2008 2009 2010
802,546 181,043,237 351,250,404 431,362,116 9,564,732
6,732,931,889
4,665,963,733
5,891,165,249
Kontribusi Absolut Sub Sektor Kehutanan
Sub Sektor Kehutanan PDRB Total
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-23
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
tidak selalu dipersepsikan dengan pandangan ekonomi saja, tetapi
juga senantiasa dikaitkan dengan beberapa segi seperti religi,
budaya, sosial dan politik. Berdasarkan pandangan hidup orang
Papua dan penjelasan defenisi lahan diatas terdapat makna yang
sejajar antara lahan dalam arti luas dan tanah menurut pandangan
orang Papua.
Secara Ekonomis : Tanah dan tumbuhan yang ada diatasnya
adalah media yang menyediakan segenap kebutuhan dan
keperluan hidup masyarakat Papua, mulai dari makanan, minuman,
obat-obatan, kayu bakar maupun bahan untuk membuat rumah.
Secara Budaya : tanah dipersepsikan sebagai “Ibu”, yakni
pihak yang melahirkan dan membesarkan; oleh karenannya adalah
“Syah” bila sang Ibu menjamin kehidupan seluruh anak-anaknya
dengan kesuburan dan kelimpahan kekayaan alam. Disisi lain sang
anak dituntut untuk senantiasa memperhatikan kondisi sang ”Ibu”
tetap sempurna melakukan kewajibannya dan memberi hasil, yakni
dengan cara menjaga norma-norma dan melakukan serangkaian
seremonial, guna mengharapkan agar sang ibu senantiasa
memberikan kelimpahan kesuburan terhadap seluruh anak-anak
cucunya.
Secara Religius : Tanah senantiasa diasosiasikan dan atau
dikaitkan dengan para leluhur, roh-roh dari nenek moyangnnya.
Bahkan keyakinan itu diwujudkan bahwa kehidupan berasal dari
tanah atau tanah adalah warisan yang diberikan leluhur dalam
menjalankan kehidupannnya. Dalam pandangan demikian, maka
tanah mendapat penghargaan yang tinggi, karena menghargai
tanah mempunyai makna sebagai bagian dari penghargaan
terhadap para leluhur dan nenek moyangnnya.
Secara Politis : Tanah merupakan bagian dari kedaulatan
masyarakat. Eksistensi politis masyarakat diukur dari apakah ia
mempunyai kawasan bagi kelompok-kelompok masyarakatnya dan
seberapa besar tanah itu mampu mengakomodir segenap
kepentingan kehidupan masyarakat tersebut. Tanah tersebut
memberikan kemungkinan padanya untuk melaksanakan hubungan
dan relasi sosial dengan masyarakat lainnya. Beberapa contoh
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-24
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
komunitas suku di Papua Barat dan Papua yang mempraktekan
fungsi lahan dalam konteks budaya masyarakat adat sebagaimana
disajikan pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11. Fungsi lahan menurut masyarakat adat (Erari, 1999)
No Komunitas Adat Pandangan atas Lahan
1. Kuri Pasai Rahim bagi sungai dan laut yang memberi kehidupan bagi manusia
2. Ngalun, Marind Ibu kandung manusia
3. Auwyu dan Mee Tempat Tinggal Nenek Moyang; memberi kekuatan hidup bagi manusia
4. Amugme Ibu : melahirkan, memberi makan, merawat dan mebesarkan; sebagai tempat tinggal arwah leluhur dan sumber kekuatan hidup keluarga
5. Komoro Sumber kehidupan manusia, memberi makan dan menyembuhkan penyakit
Sisitem kepemilikan hak seperti yang dimiliki masyarakat
adat merupakan alat legitimasi dan kekuatan hukum yang sangt
kuat bagi masyarakat sebagai berikut (Nugroho, 2003):
1. Hak komunal sulit untuk dipecah-pecah, baik karena dijual atau
pewarisan individual, sehingga keutuhannya dapat terjaga.
Apabila diberikan dalam bentuk hak individual (private
property), kemungkinan penjualan asset sangat besar, hal ini
akan sangat potensial menyebabkan masyarakat menjadi
landless society.
2. Masuknya pihak di luar komunitas baik yang bertujuan ingin
mengambil manfaat maupun hak akan segera terdeteksi oleh
anggota kelompok, sehingga gangguan terhadap sumberdaya
dapat diketahui secara dini.
3. Tingkat partisipasi masyarakat dalam mengamankan hutan
dapat dibangun, baik pengamanan dari perambahan maupun
dari kebakaran hutan serta gangguan-gangguan lainnya.
Gambaran Umun Keadaan Hutan dan Masyarakat di Papua 2-25
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
4. Dengan hak komunal para anggota kelompok dapat
memanfaatkan sumberdaya hutan, sehingga kesejahteraan
sosial dapat lebih ditingkatkan.
5. Ekses open access resources seperti mahalnya biaya eksklusi
dan ketidakmampuan pemerintah dalam menegakkan hukum
dan ketertiban, dapat dihindari.
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
ISU-ISU STRATEGIS REDD+ DI PAPUA BARAT
Masalah tata ruang provinsi Papua Barat hingga saat ini belum
terselesaikan ,sedangkan proses pembangunan terus berlansung terutama di
tingkat kabupaten dan kota. Pola dan struktur ruang antara RTRWP dan
RTRWK belum dapat dipaduserasikan sehingga terjadi ketidak serasian dalam
rencana pemanfaatan ruang pembangunan antara provinsi dan kabupaten/kota.
Permasalahan ini tentunya akan menjadi perdebatan panjang ketika akan
dilakukan pemaduseraian RTRWP dengan RTRWK. Apalagi RTRWP belum
dilegitimasi dengan peraturan daerah. Tentunya hal ini akan menjadi tantangan
berat dalam proses perencanaan dan pelaksanaan REDD+. Permasalahan lain
di Provinsi Papua Barat adalah tata kelola kehutanan belum sepenuhnya
menerapkan prinsip manajemen hutan lestari yang sebenarnya. Pada tingkat
unit manajemen tapak sepertti IUPHHK, kepastian hukum kawasan lemah,
praktek pengelolaan hutan lestari.belum optimal dan pengakuan hak-hak
masyarakat belum terwujudkan. Berakar dari permasalahan tersebut maka isu-
isu strategis SRAP REDD+ Papua Barat yang teridentifikasi dideskripsikan
sebagai berikut:
1. Reformasi Perencanaan Pembangunan
Proses perencanaan pembangunan di Papua Barat mengacu pada
Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) yang sebenarnya merupakan
turunan dari Rencana Pembangunan Jangka Pajang Nasional (RPJPN) dan
Rencana Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Implementasi RPJP dan
RPJM ditingkat SKPD dalam bentuk Rencana Kerja (Renja) mengalami
Bab 3
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
banyak kendala karena perencanaan program tidak berasal dari bawah
(buttom up planning) Artinya perencanaan tidak dimulai dari institusi yang
paling terendah. Dengan demikian ketika program implementasi ditingkat
tapak, angka partisipasi menjadi sangat rendah. Disisi lain proses
perencanaan yang berasal dari atas (Top Down Planning) tidak didukung
oleh suatu data yang akurat dan ini menunjukan suatu kesenjangan data dan
informasi yang tidak lengkap dikalangan pemerintah merencanakan dan
mengeksekusi setiap program pembangunan. Akibatnya berbagai program
pembangunan sering mengalami kegagalan atau sulit diimplementasikan
oleh pelaksana program.
2. Kebijakan Pembentukan Daerah Otonom Baru (Pemekaran Wilayah)
Pembentukan daerah otonom baru (pemekaran wilayah) baik pada
level kabupaten maupun provinsi adalah hal yang tidak mungkin dihindari jika
kebijakan dan perangkat hukum ke arah tersebut masih memungkinkan.
Adanya fakta disparitas pembangunan antara wilayah Indonesia Timur dan
Barat serta kenginan politik pemerintah daerah dalam semangat otonomi
khusus Papua Barat maka akan lahir daerah-daerah otonom baru untuk
menjawab tuntutan pemerataan hasil pembangunan dan kesejahteraan
masyarakat. Tentunya hal ini perlu mendapat pertimbangan dalam rencana
struktur dan pola ruang di Papua Barat. Pada sisi lain, akan terjadi tuntutan
kebutuhan ruang pembangunan baru yang tentunya meningkatkan
permintaan alih fungsi kawasan hutan di setiap kabupaten/kota.
3. Kebijakan Provinsi Konservasi
Kebijakan pemerintah daerah untuk menjadikan Papua Barat sebagai
provinsi konservasi kedua di Indonesia merupakan wujud implementasi
paradigma pembangunan yang patuh pada prinsip-prinsip pembangunan
berkelanjutan. Tiga Kabupaten di Papua Barat secara voluntary telah
merencanakan untuk menjadi kabupaten konservasi yakni Kabupaten
Tambrauw dan Kabupaten Raja Ampat yang 80% wilayahnya merupakan
kawasan lindung dan konservasi, serta kabupaten Teluk Wondama sebagian
besar wilayah lautnya merupakan bagian dari Taman Nasional Teluk
Cenderawasih. Namun kebijakan ini masih sebatas pernyataan politik yang
masih perlu dilegitimasi melalui Peraturan Daerah atau Peraturan Gubernur
untuk menjadikan kebijakan tersebut sebagai komitmen yang memiliki
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
kekuatan hukum untuk diimplementasikan.
4. Rendahnya kontribusi SDM bidang kehutanan terhadap pelestarian hutan
Pemegang HPH sebagian besar bukan merupakan orang-orang yang
secara teknis memahami kehutanan. Mereka adalah trader dan bukan
producer sehingga berfokus pada penghasilan maksimum tanpa
mempertimbangkan kelestarian hutan dan persoalan sosial kemasyarakatan.
Kondisi ini diperparah dengan kurangnya tenaga-tenaga teknis kehutanan
yang bekerja secara permanen pada IUPHHK. Sebagian besar tenaga teknis
kehutanan yang bekerja di IUPHHK sebagai karyawan yang hanya sekedar
sebagai alat produksi sehingga tidak memberikan konstribusi nyata terhadap
kelestarian hutan. Sedangkan tenaga teknis kehutanan di pemerintahan
lebih mencurahkan perhatian pada pemberi izin, sedangkan upaya
pengawasan terhadap kepatuhan penerapan prinsip pengelolaan hutan
lestari tidak optimal.
5. Lemahnya Pelibatan Pemangku Kepentingan
Stakeholder bidang kehutanan memiliki penilaian yang berbeda
terhadap manfaat sumberdaya hutan yang dapat dikelola dengan stakeholder
bidang lainnya. Hal ini menyebabkan sering timbulnya egosentrisme dalam
upaya-upaya pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan. Siapa
melakukan apa dan seberapa jauh kewenangannya merupakan kunci untuk
melihat peran masing-masing stakeholders. Konflik kepentingan atas
pemanfaatan hutan dan lahan menjadi sesuatu hal yang lazim dan sulit untuk
dikoordinasikan dan diintegrasikan, akibatnya masyarakat adat yang
seharusnya juga menjadi subyek, menjadi obyek termajinalisasi akibat
egosektoral pelaku pembangunan sektor berbasis lahan.
6. Akselerasi pembentukan organisasi dan operasional KPH
Target pembentukan 21 unit KPH di Papua Barat belum terealisasi.
KPH model yang ditetapkan juga masih belum berjalan sesuai fungsi yang
diharapkan karena masih terdapat konflik. Apabila unit pengelolaan hutan
berupa KHP ini dapat dibangun dengan proses tata batas yang jelas dan
pembagian ruang pengelolaan yang jelas akan menahan laju emisi karbon.
Dan apabila dalam proses pengorganisasian kawasan ini diintegrasikan
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dengan pemetaan secara partisipatif untuk batas wilayah masyarakat hukum
adat, merupakan instrument untuk meningkatkan kepastian status hukum
kawasan dan sekaligus mengurangi konflik pemanfaatan ruang/lahan.
7. Ketidakpastian Hak Masyarakat Hukum Adat
Secara umum dipercaya bahwa Property rights (hak kepemilikan)
yang lebih baik–ekslusif, enforceable, transferable, akan mendorong investasi
(Besley, 1995; Deininger andjin, 2006) dan peningkatan efisiensi produksi
(pejovic, 1990). Dengan demikian hak kepemilikan akan mempengaruhi
perilaku dan kesempatan pihak yang memilikinya (Grafton et al, 2000). Timbul
pertanyaan dalam konteks pengelolaan sumberdaya hutan baik untuk sektor
kehutanan, perkebunan maupun pertambangan yaitu hak mengelola
sumberdaya menjadi milik siapa? Jawabanya adalah pemegang ijin konsesi
(HPH), perusahaan tambang, dan perusahaan perkebunan. Bagaimana
dengan masyarakat adat ? Masyarakat adat kehilangan hak dan hanya
melaksanakan kewajiban terhadap pemegang ijin konsesi. Bahkan kehilangan
kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya sehingga tercakup
(enclave) dalam kawasan hutan yang secara de facto diakui sebagai “ibu
kandung” yang telah menopang sistem ekonomi, ekologi dan sosial budaya
bahkan religiusitas bagi kelangsungan hidupnya secara lintas generasi. Hal ini
menunjukan bahwa ada upaya sistematis untuk meniadakan hak masyarakat
hukum adat dalam praktek pemanfaatan sumberdaya alam. Akhirnya kondisi
ini menyebabkan terciptanya situasi konflik dan praktek pelanggaran menjadi
sesuatu yang wajar dan normal. Perburuan kayu dan perambahan hutan
menjadi sesuatu yang lazim dalam kehidupan masyarakat. Sehingga
membuka peluang masuknya pelaku opurtunis dan rent seeking untuk
melakukan praktek perburuan kayu dengan memanfaatkan kelemahan
masyarakat. Ironisnya praktek perburuan kayu justru kebanyakan dilakukan
pada areal bekas tebangan HPH yang telah ditinggalkan sebagai persediaan
tegakan (standing stock), bahkan masih ada yang dilakukan di wilayah
konsesi aktif.
Bukti lain ketidakpastian hak masyarakat adat adalah belum adanya
peraturan daerah (perdasus/perdasi, perda, pergub) di provinsi Papua Barat
yang terkait dengan wilayah masyarakat hukum adat dan hak-hak masyarakat
hukum adat atas sumberdaya alam yang dikeluarkan oleh pemerintah. Fakta
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
ini mengindikasikan bahwa belum adanya pengakuan pemerintah atas hak-
hak masyarakat hukum adat .
8. Implementasi paradigma pengelolaan hutan berbasis Masyarakat masyarakat
Legalitas pengelolaan hutan berbasis masyarakat sudah
diberlakukan, tetapi pemerintah di Papua Barat terkesan lamban dan atau
ragu-ragu untuk mengujicobakan konsep tersebut. Sampai saat ini belum
satupun pengelolaan berbasis masyarakat ini di implementasikan. Dukungan
dari lembaga swadaya masyarakat dan NGO internasional sudah banyak
diberikan termasuk dalam membangun kapasitas masyarakat tetapi dukungan
pemerintah terhadap kebijakan ini masih rendah. Skema pengbelolaan hutan
berbasis masyarakat yang menjadi program nasional seperti Hutan
Kemasyarakat (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Rakyat (HR) dan RHL belum
optimal dilaksanakan. Bahkan inisiatif yang dilakukan oleh NGO untuk
merealisasikan program tersebut tidak mendapat dukungan dari pemerintah
daerah, bahkan masyarakat adat sulit sekali untuk memperoleh izin untuk
menyelenggarakan program tersebut.
9. Tumpang Tindih Kawasan Hutan
Luas kawasan hutan di Papua Barat di luar areal penggunaan lain
(APL) adalah 9.361.076 hektar (BPKH Papua Barat, 2012). Di dalam
kawasan tersebut sekarang sedang beroperasi 23 IUPHHK, 26 perusahaan
tambang, mineral dan gas bumi, serta 12 perkebunan yang meliputi wilayah
seluas 13.116.415 hektar. Hal ini menunjukan bahwa minat investasi di luar
sektor kehutanan cukup tinggi dan memberikan dampak langsung terjadinya
tumpang tindih pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan seluas
3.755.339 hektar. Keadaan ini disatu sisi sebagai akibat pemberian ijin yang
ego sektoral dan sentralistik tetapi juga asimetrik informasi di antara
pemegang hak dan pemberi hak pengelolaan.
10. Lambatnya proses penetapan tata ruang
Akibat proses pemaduserasian yang belum dilakukan oleh tim
terpadu (timdu) Provinsi Papua Barat antgara RTRWP dengan RTRWK,
maka terjadi kesenjangan kebutuhan ruang untuk berbagai kepentingan
sektoral. Berdasarkan data sementara RTRWP perubahan fungsi kawasan
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
hutan menjadi areal penggunan lain (APL) di Papua Barat sampai tahun 2028
seluas 639.739 hektar. Hal ini menunjukan bahwa pemerintah Provinsi Papua
Barat berkomitmen untuk tetap mempertahankan 70% wilayahnya sebagai
kawasan hutan. Namun disisi lain berdasarkan data RTRW Kabupaten/kota
ternyata angka yang ditetapkan 2.012.273 hektar. Artinya ada selisih sebesar
1.372.534 hektar dari luas yang direncanakan. Sinkronisasi rencana
pemanfaatan ruang antara timdu dengan pemerintah kabupaten/kota perlu
secepatnya dilakukan secara baik dengan tetap memperhatikan asas-asas
desentralisasi. Memaksimalkan keterlibatan pemda kabupaten/kota dalam
proses penyusunan dan penetapan RTRWP merupakan hal penting yang
harus dilakukan. Sasarannya adalah untuk mendapatkan data dan informasi
terkini tentang rencana pembangunan daerah di kabupaten/kota, karena
kabupaten/kota telah menyelesaikan RTRW dan telah siap untuk diperdakan.
11. Kebijakan Pembatasan Penjualan Kayu Log Ke luar Papua Barat
Pemberlakuan kebijakan pelarangan eksport log keluar Papua Barat
(Pergub No 28 Tahun 2008) belum terlaksana secara baik. Dengan demikian
masih banyak IUPHHK yang tidak mendirikan industri di Papua Barat kecuali
IUHPPH yang integrasi vertikal. Hal ini juga harus menjadi bahan evaluasi
IUPHHK non value added. Izin Industri Kayu Rakyat (IKR) yang saat ini
menjadi satu-satunya izin yang diberikan kepada masyarakat adat untuk
mengakses pemanfaatan hasil hutan kayu belumlah menjawab permasalahan
keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan yang bernilai tambah,
bahkan cenderung berkontribusi terdadap dengradasi dan deforestasi.
12. Kawasan Konservasi Sebagai Cost Centre
Wilayah kabupaten/kota yang memiliki 50-80% kawasan konservasi
mengalami kendala biofisik dalam pemanfaatan ruang. Dengan demikian
segala upaya pembangunan harus memperhatikan tata ruang dan aturan
undang-undang yang membatasi, termasuk dalam pengelolaannya. Wilayah-
wilayah dengan kondisi biofisik demikian akan membebani pembiayaan
daerah maupun Negara karena dianggap belum mampu menghasikan
penerimaan bagi daerah. Sehingga diperlukan upaya untuk membalikan
keadaan dari cost centre menjadi benefit centre. Peningkatan nilai ekonomi
kawasan konservasi melalui usaha jasa lingkungan merupakan peluang untuk
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
membalikan kawasan konservasi dan cost centre menjadi benefit centre dan
sekaligus upaya untuk memberdayakan ekonomi masyarakat adat melalui
pola-pola pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam program-program
pembinaan dan pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar
kawasan.
13. Kebijakan perizinan investasi satu pintu
Untuk mengurangi konflik kewenangan dalam hal perizinan invenstasi
diperlukan suatu terobosan baru, yaitu kebijakan pelayanan perizinan
investasi satu pintu. Kebijakan ini akan dapat mengurangi tumpang tindih
kewenangan, perizinan dan sekaligus mengurangi birokrasi perizinan biaya
tinggi. Dengan mekanisme perizinan satu pintu ini, maka konflik kewenangan
dan ego sektoral dalam hal pengelolaan sumberdaya alam dalam suatu
wilayah diminimumkan dan sekaligus dapat meniadakan peluang-peluang
kolusi dan nepotisme dalam proses perizinan investasi.
14. Lemahnya Penguatan Ekonomi Masyarakat Adat
Sejak awal pembentukan HPH target utama yang ingin dicapai
adalah penerimaan negara dalam mengejar laju pertumbuhan ekonomi
bangsa, dan bukan penerimaan masyarakat (disposible income). Penerimaan
negara di sektor kehutanan seperti DR, PSDH, IHPH dan pungutan lainnya
sebenarnya tidak bersentuhan langsung dengan penguatan ekonomi
masyarakat lokal. Tingginya perhatian pemerintah terhadap penerimaan
negara menyebabkan pengabaian terhadap kesejahteraan rakyat. Sebagai
contoh masyarakat pemilik hak ulayat di Papua Barat menerima kompensasi
yang relatif masih sangat rendah rata-rata berkisar antara Rp. 50.000-100.000
per meter kubik kayu (SK Gubernur Papua No 184 Tahun 2004). Bahkan
beberapa program seperti HPH Bina Desa, Pembangunan Masyarakat Desa
Hutan (PMDH), hutan kemasyarakatan (HKm), Hutan desa, (HTR) ,
perhutanan sosial dinilai tidak berhasil.
Upaya perbaikan kualitas hidup masyarakat yang bermukim di sekitar
wilayah hutan dengan pemanfaatan produk kehutanan non kayu yang
menjadi kebijakan pemerintah provinsi juga tidak dapat dilaksanakan secara
baik, sehingga tidak dapat menciptakan alternatif insentif ekonomi masyarakat
dari pengelolaan hutan.
Isu-Isu Strategis REDD+ di Papua Barat 3-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
15. Evaluasi IUPHHK Non Value added
Evaluasi terhadap IUPHHK yang tidak memberikan nilai tambah
dapat menjadi instrumen kebijakan untuk tidak memberikan ijin perpanjangan
bagi IUPHHK yang akan habis masa konsesinya. Nilai tambah yang
dimaksudkan berkaitan dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat
hukum adat serta penerimaan pemerintah daerah dan mampu
mempertahakan kelestarian fungsi dan manfaat dari sumberdaya hutan.
Salah satu instrument yang dapat digunakan adalah Sertifikasi PHPL dan
sertivikasi verifikasi legalitas kayu (SVLK).
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
VISI-MISI, TUJUAN RUANG LINGKUP DAN NILAI MANFAAT REDD+ PROVINSI PAPUA BARAT
4.1. Visi dan Misi
Mengacu pada Visi - Misi Pembangunan Provinsi Papua dan Visi-Misi
Pembangunan Kehutanan Provinsi Papua Barat, maka rumusan Visi Strategi
REDD+ Provinsi Papua Barat sebagai berikut :
“SRAP-REDD+ Papua Barat sebagai pendukung utama mitigasi
pengurangan emisi karbon Nasional Sampai Tahun 2020”
Berdasarkan visi tersebut, maka misi yang harus dijalankan hingga tahun
2010 dirumuskan sebagai berikut :
1. Membangun komitmen stakeholder melalui legalisasi kelembagaan REDD+
Provinsi Papua Barat
2. Mengkaji dan mendorong rasionalisasi berbagai kebijakan dan peraturan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan kearah pengurangan
konversi hutan dan meningkatkan usaha rehabilitasi lahan kritis/lahan tidak
produktif.
3. Mewujudkan program pembangunan berbasis Tata Ruang yang efektif dan
sinergi antar sektor
4. Menciptakan paradigma dan etos kerja baru menuju perwujudan provinsi
konservasi dan pembangunan rendah karbon yang berkelanjutan
5. Mewujudkan partisipasi masyarakat secara spontan dengan prinsip
Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan melalui sosialisasi
dan konsultasi publik secara intensif
6. Mendorong kepastian status hukum masyarakat adat atas kepemilikan
lahan dan pemanfaatan sumberdaya alam
Bab 4
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
7. Mendorong legalitas mekanisme pembagian hasil atas pemanfaatan
sumberdaya alam secara merata dan berkeadilan bagi masyarakat hukum
adat.
.
4.2. Tujuan pelaksanaan REDD+ di Papua Barat 1
Tujuan implementasi Strategi dan Rencana Aksi di Provinsi Papua Barat
untuk :
1. Mengurangi degradasi dan deforestasi akibat konversi lahan hutan dan alih
fungsi kawasan hutan
2. Meningkatkan upaya-upaya rehabilitasi lahan kritis dan pengembangan hutan
tanaman rakyat
3. Mengembangkan ekonomi kerakyatan sektor kehutanan melalui usaha
pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa hutan
4. Meningkatkan tata kelola dan kepengurusan hutan dan lahan melalui
implementasi pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
5. Mengintegrasikan RTRWP, RTRWK, wilayah masyarakat Hukum Adat dan
tata guna hutan
6. Meningkatkan kapasitas masyarakat dalam rangka adaptasi gejala
perubahan iklim, resiko bencana dan kerawanan pangan.
4.3. Ruang Lingkup SRAP- REDD+ Papua Barat
SRAP-REDD+ Papua Barat dirancang berdasarkan analisis yang utuh
terhadap pilihan kebijakan yang mengutamakan upaya-upaya meminimalisir
kegiatan-kegiatan yang menyebabkan peningkatan degradasi, deforestasi dan
penggunaan lahan lain serta mengoptimalkan upaya-upaya aksi yang dapat
mengefektifkan penurunan emisi dan peningkatan cadangan karbon hutan.
Pada sisi lain upaya-upaya aksi yang dilakukan harus memberikan manfaat yang
optimal. Dengan demikian strategi aksi yang dilakukan akan memberikan nilai
finansial yang efisien dan mampu mensejahterakan masyarakat lokal dan bernilai
tambah bagi kesestarian secara ekologis/lingkungan.
1 Tujuan ini sesuai dengan keputusan konferensi UNFCCC bahwa REDD+ harus mendorong konservasi hutan dan keanekaragaman hayati, meningkatkan nilai-nilai hutan dari jasa lingkungan, dan nilai-nilai sosial dan lingkungan lainnya (UNFCCC 2011, App I/2 (e)) serta mendukung adapatasi terhadap perubahan iklim (UNFCCC 2011 App I/1 (h))
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
SRAP-REDD+ Papua barat sekalipun masih memerlukan revisi secara
periodik dan lebih diperinci secara operasional, namun bila dicermati secara
detail pada intinya adalah upaya redesain Tata Ruang Wilayah Pembangunan
dan Tata Kelola kehutanan. Dalam proses praperencanaan, perencanaan dan
pelaksanaan REDD+ Papua Barat perlu memperhatikan tiga unsur penting
sebagaimana direkomendasikan oleh CIFOR (2008), yaitu insentif atas
pembayaran imbalan sesuai kinerja dan berbagai perubahan kebijakan,
informasi yang dapat dipercaya yang dikeluarkan oleh pemerintah atas
perubahan nyata sumber cadangan karbon hutan yang telah dicapai untuk
memperhitungkan dana dari sumber-sumber internasional. Institusi atau
kelembagaan yang efektif dibutuhkan untuk mengelola informasi dan isentif
tersebut. Oleh karena itu cakupan lingkup strategi dan rencana aksi REDD+
Provinsi Papua Barat dirancang dengan cakupan lingkup sebagai berikut :
1. Penekanan secara relatif pada pembatasan kegiatan yang menyebabkan
degradasi hutan dan lahan, deforestasi dan meningkatkan aksi-aksi
peningkatan cadangan karbon hutan dan pengurangan emisi GRK dari
sektor kehutanan dan lahan.
2. Pembentukan kelembagaan dan regulasi yang efektif untuk mengawali
pelaksanaan program dan aksi-aksi mitigasi untuk pengendalian deforestasi,
degradasi dan rehabilitasi lahan serta penurunan emisi gas CO2.
3. Penyusunan program dan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan kritis, izin
konversi lahan, izin pemanfaatan hasil hutan kayu, izin pinjam pakai
kawasan yang lebih selektif sesuai dengan RTRWP dan tata guna hutan
Papua Barat
4. Merumuskan mekanisme pendanaan dan pembayaran insentif secara
merata dan berkeadilan baik di level internasional, nasional, regional dan
lokal.
5. Pencatatan, pelaporan dan evaluasi secara berkala guna membangun data
base dan informasi yang akurat tentang pemanfaatan hutan, perubahan
penggunaan lahan dan emisi CO2
6. Menumbuhkan keberdayaan dan membangun partisipasi aktif masyarakat
dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan aksi-aksi REDD+
atau mitigasi penurunan emisi GRK dan atau adaptasi terhadap perubahan
iklim.
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Secara spesifik lawas SRAP- REDD+ Papua Barat mencakup
keseluruhan program dan kegiatan yang berbasiskan lahan yang dilakukan oleh
SKPD terkait baik secara langsung maupun secara tidak langsung mampu
mengurangi emisi dan meningkatkan jumlah persediaan karbon. Program dan
Kegiatan serta tujuan kegiatan REDD+ menurut sumber emisi berbasis lahan
sebagai mana dideskripsikan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Program dan kegiatan serta tujuan kegiatan REDD+ menurut sumber emisi berbasis lahan.
Sumber Emisi Program REDD+ Kegiatan REDD+ Tujuan REDD_+ Degradasi Luas Hutan/deforestasi
Pembatasan Konversi Hutan
� penataan batas fungsi hutan � Inventarisasi dan perhitungan
luas Hutan Produksi Konversi yang dapat/dapat dipertahankan sebagai hutan
� Penetapan Luas Hutan Produksi Konversi menjadi APL
� mencegah deforestasi berlebihan
� mengurangi laju degradasi luas hutan
� mempertahankan luas areal berhutan potensial
Optimalisasi Izin Pinjam Pakai Kawasan
� Efektifitas studi kelayakan teknis dan ekonomis
� Efektifitas studi kelayakan sosial dan lingkungan (AMDAL)
� menentukan luas areal efektif konsesi pertambangan
� Mengurangi luas wilayah konflik
� mengurangi kerusakan lingkungan
Degradasi hutan Penerapan Pengelolaan Hutan Lestari
� Mempercepat Pembangunan KPH
� Efektifkan penerapan RIL oleh IUPHHK
� Melaksanakan Sertifikasi PHPL dan SVLK
� Optimalisasi Reboisasi pada areal IUPHHK
� Mewujudkan pengelolaan hutan swerbaguna dan lestari
� Mengurangi pembukaan wilayah hutan berlebihan
� Memperkecil perubahan persediaan tegakan pada LOA
� Mengefektifkan pengawasan, pelaporan dan verifikasi hasil hutan kayu
Lahan kritis Rehabilitasi hutan dan Lahan
� Reboisasi Lahan Tidak produktif areal Putaran Sarad dan Areal TPN pada Blok RKT IUPHHK
� Rehabilitasi lahan kritis pada hulu DAS Prioritas
� Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat pada DAS Prioritas
� Rehabilitasi Lahan kritis pada Hutan Lindung dengan pola Agroforestri
� Meningkatkan tutupan tajuk dan kepadatan pohon untuk serapan karbon
� Meningkatkan partisipasi masyarakat dan pengembangan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
� Meningkatkan fungsi lindung dan nilai ekonomi hutan lindung
Areal Bekas Tambang Reklamasi Lahan Bekas Tambang
� Inventarisasi dan pemetaan lahan bekas tambang yang tidak produktif dan terbuka
� Penanaman tumbuhan berkayu atau tumbuhan penutup tanah pada lahan-lahan terbuka bekas tambang atau pada sumur-sumur Migas yang tidak produktif
� Menentukan luas areal bekas tambang yang tidak produktif
� Meningkatkan kepadatan tutupan lahan bekas tambang
� Meningkatkan serapan karbon pada areal pertambangan
Ruang Terbuka Perkotaan
Hutan Kota dan Ruang Terbuka Hijau Publik
� pembangunan Hutan Kota � pembangunan Taman Kota � Penanaman Turus Jalan � Penghijauan Halaman Publik
� Meningkatkan proporsi luas areal terbuka hijau publik
� Meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan yang hijau sejuk
� Mengurangi emisi gas antropogenik di perkotaan
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Berdasarkan uraian program dan kegiatan pada Tabel di atas tampak
bahwa ruang lingkup lokus dari rencana aksi REDD+ Provinsi Papua Barat
mencakup areal dalam kawasan hutan dan di luar kawasan hutan2. Oleh karena
itu dalam pelaksanaan aksinya harus dilakukan berbasis RTRW Provinsi dan
RTRW Kabupaten/ Kota yang telah disikronisasi dengan tata guna hutan dan
wilayah masyarakat hukum adat.
Untuk mengimplementasikan program dan kegiatan tersebut, maka
semua SKPD baik ditingkat lokal, maupun kabupaten/kota wajib mengalokasikan
program dan kegiatan serta penganggarannya dalam perencanaan tahunan
sesuai dengan Tugas pokok dan fungsinya terutama SKPD yang bidang
kegiatannya berbasiskan hutan dan lahan serta potensial menimbulkan
deforestasi, degradasi hutan dan lahan.
4.4. Strategi Kebijakan SRAP-REDD+ Papua Barat
Strategi kebijakan SRAP-REDD+ Papua Barat sebagai pengarusutamaan
landasan operasional yang akan ditempuh untuk pencapaian tujuan yang
ditetapkan di rumuskan sebagai berikut :
a. Mendorong perubahan paradigma dan budaya kerja aparat pemerintah
1. Pembatasan deforestasi melalui rasionalisasi perubahan fungsi hutan
konversi ke hutan produksi terbatas,dan pembatasan izin konversi hutan
menjadi non hutan.
2. Mengefektifkan kegiatan perlindungan untuk pencegahan perambahan
hutan pada hutan lindung dan hutan konservasi untuk mempertahankan
dan meningkatkan potensi karbon tersimpan di hutan lindung dan
kawasan Konservasi
3. Penerapan Hight Conservation Value of Forest (HCVF) pada kegiatan
pembukaan lahan (land clearing) konversi, dan melarang pembakaran
dalam kegiatan pembersihan lahan.
4. Memperkuat peran serta masyarakat adat melalui program perhutanan
sosial, pengembagan usaha kehutanan produktif dan Program
Pengamanan Hutan
2 Bahwa REDD+ mencakup hutan di dalam maupun di luar kawasan hutan negara sesuai dengan strategi nasional REDD+ (draft Mei 8 2011) (GoI, 2011, hal 29)
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
5. Membangun sistem kelembagaan kolaboratif dan MRV untuk mengawal
kebijakan dan implementasi pengelolaan serta pemanfaatan hutan dan
lahan di Papua Barat.
b. Mendorong klarifikasi status hak wilayah masyarakat hukum adat dalam kawasan hutan
1. Meningkatkan peran aktif masyarakat melalui perencanaan, pengelolaan
sampai pemantauan pemanfaatan hutan Papua Barat
2. Mengupayakan pemetaan partisipatif wilayah masyarakat hukum adat
dan mengintegrasikan dalam RTRWP/RTRWK Papua Barat
3. Penguatan posisi tawar masyarakat melalui legitimasi pengakuan
terhadap hak-hak masyarakast adat atas sumberdaya tanah dan hutan
(sumberdaya alam) melalui penerbitan Perdasus, Perdasi, dan atau
Perda dan Perkam.
c. Mendorong implementasi pengelolaan hutan lestari oleh masyarakat adat
1. Meningkatkan pola-pola kemitraan dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan melalui skema Hutan Kamasyarakat (HKm), Hutan Desa (HD), Hutan Tanaman Rakyat (HTR), dan Usaha Jasa Hutan (Kepariwisataan Alam)
2. Mengupayakan adanya perjajian hukum yang mengikat antara masyarakat, investor dan pemerintah dalam pemanfaatan hutan dan lahan
3. Membangun sistem penyelesaian sengketa yang disepakati dan diakui oleh masyarakat adat, pemerintah dan pihak swasta melalui penerbitan surat perjanjian kerjasama yang dilegalisasi oleh Notaris.
d. Mengimplementasikan prinsip pengelolaan hutan Lestari dalam tata kelola hutan
1. Optimalisasi pengelolaan Hutan berkelanjutan melalui pembangunan
kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
2. Efektifitas Penerapan Reduced Impact Logging (RIL), Penerapan SILIN,
Sertifikasi PHPL, dan SVLK bagi pemegang IUPHHK.
3. Meningkatkan kinerja tenaga teknis kehutanan (Wasganis dan Ganis)
dalam pengawasan teknis pengelolaan hutan oleh pemegang izin
(investor).
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Strategi kebijakan tersebut diimplementasikan secara bertahap dan
terintegrasi dalam bingkai RTRWP/RTRWK yang telah disinkronisasikan dengan
Tata Guna Hutan dan Wilayah Masyarakat Hukum adat. Komitmen kebijakan
Pemerintah daerah melalui penerbitan regulasi daerah dan dukungan perubahan
pola piker dan pola tindak SKPD menjadi pra syarat dan kondisi pemungkin
yang harus terbangun terlebih dahulu melalui serangkaian kegiatan pra kondisi
dalam strtategi ini.
4.5. Nilai Manfaat SRAP-REDD+ Papua Barat
Secara umum dampak (outcome) dari SRAP-REDD+ Papua Barat adalah
perwujudan pembangunan rendah karbon melalui pelaksanaan program dan
kegiatan yang mampu mengurangi tingkat emisi karbon yang dihasilkan dan
peningkatan serapan karbon pada hutan dan lahan terdegradasi. Dengan
demikian maka nilai manfaat dari implementasi SRAP-REDD+ atau mitigasi
sektor kehutanan dinilai berdasarkan total peningkatan serapan karbon atau
persentase penurunan nilai emisi karbon yang dihasilkan oleh setiap program
dan kegiatan mitigasi yang dilakukan.
Nilai peningkatan serapan karbon atau stok karbon yang dihasilkan
persatuan luas dalam periode kegiatan mitigasi di kalikan dengan harga karbon
pada saat pengukuran dapat diperoleh nilai uang yang dihasilkan sebagai akibat
pelaksanaan program dan kegiatan mitigasi yang dilakukan. Dampak akhir yang
lebih penting dari nilai SRAP-REDD+ adalah bahwa pembangunan yang
dilakukan dapat mengurangi emisi GRK yang berimplikasi pada minimalisasi
dampak perubahan iklim. Pada sisi lain, dapat diperoleh manfaat ekonomi dan
ekologis secara berkelanjutan, serta dapat melegitimasi hak-hak masyarakat
hukum adat atas ruang hidupnya.
Sebagai ilustrasi nilai manfaat dari beberapa kegiatan aksi mitigasi untuk
REDD+ yang diadaptasi dari beberapa hasil penelitian yang dirangkum oleh Boer
(….) seperti disajikan pada Tabel 4.2.
Visi-Misi, Tujuan, Ruang Lingkup dan Nilai Manfaat REDD+ Provinsi Papua Barat 4-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 4.2. Potensi, biaya mitigasi, dan keuntukan aksi Mitigasi REDD+ di sektor kehutanan
Jenis mitigasi Potensi mitigasi (tC/ha)
Biaya mitigasi per siklus hidup
($/tC)
Keuntungan (NPV of benefit,
$/tC) Konservasi dan Pengelolaan Hutan Perlindungan hutan 55 - 220 1.18 -0,52 Reduced Impact Logging 49 0,07 -0,01 Pengayaan 70 0,25 -0,19
Peningkatan Nilai Reforestasi tanpa panenan
- Spesies tumbuh cepat
- Spesis Tumbuh lambat
49-101 94-336
0,85-13,13 0,48-2,34
(-6,89)-(-0,81) (-0,16)-(-0,04)
Reforestasi dengan panenan - Rotasi pendek - Rotasi panjang
56-122
134-334
3,87-33,20 1,04-5,70
2,0-6.57
(-0,14)-(2,99) Agroforestri 94 4.44 2,02 Subtitusi bahan baker fosil Bioelectricity (Biofoel) 50-185 20,81 5,26-6,75
Sumber : Berdasarkan hasil studi Adi, et al., 1999; Boer, et al., 1999; Fuat, 2000; Boer, 2001.
Hasil analisis yang disajikan di atas hanya mempertimbangkan kayu
sebagai satu-satunya hasil hutan, sementara hasil hutan non kayu, seperti rotan,
obat-obatan, madu dan lain-lain tidak diperhitungkan. Di samping itu, biaya
mitigasi di atas juga tidak memperhitungkan biaya untuk monitoring dan verifikasi
karbon. Biaya verifikasi dan monitoring merupakan komponen biaya yang cukup
besar yang harus dikeluarkan untuk proyek-proyek karbon kehutanan, dan biaya
ini disebut juga sebagai biaya transaksi. Biaya transaksi lain yang perlu
dipertimbangkan dalam proyek karbon CDM ialah biaya negosiasi, biaya untuk
pengurusan persetujuan proyek, biaya asuransi, biaya keamanan proyek dan
biaya kompensasi untuk mencari dana bilateral bagi pelaksanaan proyek (Dudek,
et al., 1996). Dalam proyek karbon kehutanan, dengan dimasukkannya biaya
transaksi, maka kemungkinan biaya mitigasi menjadi sangat tinggi (La Rovere,
1998). Oleh karena itu, kajian tentang dampak dimasukkannya biaya transaksi
terhadap biaya-biaya mitigasi sangat diperlukan.
Atas dasar analisis aksi mitigasi sektor kehutanan di atas, maka
implementasi SRAP-REDD+ Papua Barat benar–benar haruslah dilakukan
secara selektif dengan membatasi kegiatan-kegiatan yang menyebabkan
peningkatan degradasi dan deforestasi. Karena Biaya yang dibutuhkan untuk
mempertahankan stok karbon dalam hutan dan meningkatkan serapan karbon
dari hutan terdegradasi dan lahan terbuka (deforestasi) sangat tinggi.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
PILAR-PILAR SPESIFIK SRAP-REDD+ PROVINSI PAPUA BARAT
A. Pilar-Pilar Spesifik REDD+ di Papua Barat
Pilar-pilar spesifik untuk pembangunan rendah karbon melalui SRAP-
REDD+ di Papua Barat, dapat diilustrasikan pada Gambar berikut :
Gambar 5.1. Pilar-pilar spesifik SRAP-REDD+ di Papua Barat
Pembangunan Rendah Karbon Provinsi Papua Barat melalui SRAP-
REDD+ Provinsi Papua Barat dirancang bagaikan mewujudkan sebuah rumah
layak huni dan serasi dengan lingkungan. Karena itu harus dirancang dengan
Bab 5
Komitmen politik dan perubahan paradigma
berpikir untuk kepentingan pengelolaan
Membangun kapasitas seluruh stakeholder Kerangka legal kebijakan dan peraturan
Ren
cana
dan
loku
s im
ple
mnta
si
RED
D b
erbas
is r
uan
g
Pen
yiap
an in
stitusi
Sis
tem
pem
anta
uan
, pel
apora
n
dan
eva
luas
i ber
bas
is tin
gka
t
Hak
ata
s la
han
, keb
utu
han
hid
up,
dan
man
faat
ata
s R
ED
D+
Pem
ban
gun s
yste
m p
endan
aan
tingka
t lo
cal d
an d
istr
ibusi
Pen
gel
ola
an h
uta
n ren
dah
kar
bon (PH
PL,
RIL
, VLK
, Silv
ikultur in
tensi
f)
Pem
ber
day
aan d
an a
rbitra
si
huku
m
Par
tisi
pas
i, hak
men
erim
a at
au
men
ola
k, d
an k
eter
buka
an
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
fondasi yang kuat, kerangka yang sesuai dan atap yang baik. Desain dan bahan
bangunan seluruhnya diupayakan bersumber dari budaya dan sumberdaya alam
Papua Barat.
1. Partisipasi, Hak menyetujui/menolak dan Keterbukaan Informasi.
Program dan Kegiatan REDD+ Papua Barat dilaksanakan dengan
menganut prinsip partisipasi aktif masyarakat mulai tahap perencanaan sampai
pada tahap pelaksanaan. Aspirasi masyarakat lokal yang potensial terkena
dampak penyelenggaraan program dan kegiatan harus menjadi pertimbangan
utama dalam memutuskan setiap program dan kegiatan REDD+ yang akan
dilaksanakan di tingkat tapak. Masyarakat lokal juga harus dipersiapkan melalui
sosialisasi intensif pada setiap awal melalui pemberian informasi yang lengkap,
jujur dan tepat. Masyarakat diberikan hak sepenuhnya menilai dan tanpa
paksaan untuk memutuskan apakah akan menyetujui atau menolak setiap usulan
program dan kegiatan yang akan dilakukan. Seluruh elemen masyarakat tanpa
membeda-bedakan status, strata sosial, gender, etnik dan ras. Semua dapat
berpartisipasi untuk mengetahui dan memutuskan tentang rencana aksi REDD+
yang akan dilaksanakan di wilayahnya. Sehingga apapun rencana program dan
kegiatan dan budaya serta strategi yang akan dijalankan tidak bertentangan
dengan aspirasi dan budaya masyarakat setempat. Bantuan pembinaan harus
dilakukan secara merata agar semua elemen masyarakat terutama masyarakat
lokal yang terkena dampak langsung dari program dan kegiatan dapat
diberdayakan dan berpartisipasi aktif.
Prinsip Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan
(PADIATAPA, atau Free Prior Informed Consent, FPIC) menetapkan bahwa
persetujuan, jika diberikan, adalah tanpa penipuan atau pemaksaan, dan harus
diberikan seawal mungkin sebelum program dan kegiatan REDD+ Papua Barat
di jalankan dan informasi yang diberikan harus bersifat terbuka dan disampaikan
secara merata. Dengan prinsip demikian masyarakat akan secara aktif berperan
dalam memutuskan setiap program dan kegiatan yang diusulkan.
Saat ini, pratek-pratek keterbukaan informasi dan PADIATAPA belum
banyak dilakukan, sekalipun berbagai peraturan perundang-undangan telah
mengamanatkan bahwa keterbukaan informasi dan keterlibatan masyarakat
merupakan hak setiap warga Negara Indonesia . Hal ini dimungkinkan karena
sosialisasi setiap kebijakan, peraturan yang dikeluarkan pemerintah belum
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
disosialisasi secara intensif, sumber informasi tersebar diberbagai institusi,
sehingga publik sulit mengaksesnya. Pada sisi lain, PADIATAPA sendiri belum
banyak diketahui oleh masyarakat dan perusahaan, bahkan pemerintah sendiri.
Di Provinsi Papua Barat proses PADIATAPA telah dikembangkan dan
diperkenalkan oleh beberapa LSM (NGO) dalam mendampingi masyarakat
dalam rangka memperkuat posisi tawar masyarakat adat yang terkena dampak
program investasi skala besar.
Demikian halnya dengan proses partisipasi, selama ini partisipasi
diartikan secara sempit dengan keterlibatan masyarakat dalam ketenagakerjaan
pada kegiatan pembangunan atau kegiatan perusahaan. Partisipasi dalam arti
luas adalah proses pemberdayaan melalui pelibatan secara aktif dalam
keseluruhan proses mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai pada evaluasi
dan monitoring setiap program. Partisipasi demikian juga telah diterapkan oleh
LSM/NGO dalam mediasi beberapa wilayah di Papua Barat.
Dalam SRAP-REDD+ Provinsi Papua Barat pendekatan PADIATAPA
menjadi pilar spesifik yang harus dibangun sejak awal melalui perencanaan
partisipatif dan sosialisasi intensif Program dan kegiatan yang akan
dilakisanakan. Langka implementasi terkait dengan program dan kegiatan
REDD+ Papua barat adalah :
a. Melakukan kajian dan mengidentifikasi semua kebijakan dan peraturan
terkait pengelolaan sumberdaya hutan dan lahan di Papua Barat
b. Mengumpulkan semua data (atribut dan spasial) terkait dengan pemanfaatan
hutan dan penggunaan lahan di Papua Barat
c. Mengidentifikasi kelompok masyarakat hukum adat dan mengumpulkan data
(atribut dan spasial) termasuk sistem penguasaan hutan dan lahan adat
masyarakat di Papua barat.
d. Membangun pusat data dan informasi pengelolaan sumberdaya hutan dan
lahan di Papua Barat (Kehutanan, pertambangan dan energi , pertanian,
Peternakan, perkebunan, pekerjaan umum, perindustrian dan pemumikan)
yang mudah diakses oleh publik
e. Menerbitkan regulasi yang mewajibkan PADIATAPA sebagai bagian dari
proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berbasis lahan dan
sumberdaya alam di Papua Barat.
f. Melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada tokoh masyarakat, LSM,
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Pemerintah dan Pihak Swasta Tentang keterbukaan informasi dan
penerapan PADIATAPA
g. Membangun sistem pengaduan dan arbitrase dalam menangani
permasalahan pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan (proyek
dan investasi sumberdaya alam dan lahan).
Keterbukaan informasi dan PADIATAPA telah dijadikan salah satu pilar
spesifik yang menjadi kewajiban bagi setiap pemrakarsa program dan kegiatan
aksi REDD+ di Papua Barat, maka diperlukan pedoman teknis pelaksanaannya
melalui Peraturan Gubernur. Dalam Peraturan tersebut perlu pula ditetapkan
lembaga atau institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan pemantauan
dan verifikasi atas pelaksanaan PADIATAPA yang dilakukan oleh pemrakarsa
Program dan kegiataan REDD+ di Papua Barat serta lembaga atau institusi yang
diberikan kewenangan menangani keluhan dan penyelesaian konflik hukum.
2. Hak Atas Lahan, Kebutuhan Hidup dan Manfaat REDD+
a. Hak Atas Lahan dan Penghidupan Masyarakat
Hak penguasaan atas lahan mencakup obyek dan subyek hak atas tanah
dan sumberdaya alam, termasuk di dalamnya hak kepemilikan, hak pakai baik
secara resmi atas ijin maupun tidak resmi atas penyerahan adat menjadi
spesifikasi yang harus dipertimbangkan dalam SRAP-REDD+ Papua Barat.
Penguasaan tanah dan lahan hutan secara komunal menurut hukum adat pada
prinsipnya diakui oleh pemerintah provinsi Papua Barat sebagai hak primer,
namun regulasi formal di tingkat daerah (Perdasus/perdasi) belum diterbitkan.
Bila pemerintah daerah mengakui hak primer atas penguasaan tanah dan lahan
hutan adat, maka masyarakat adatpun yang menguasai wilayah hukum adatnya
berhak atas karbon tersimpan dalam tanah dan hutan wilayah adatnya. Pada sisi
lain tanah dan lahan yang dikuasai secara adat belum dipetakan,
didokumentasikan dan diregristrasikan sehingga sulit untuk mewujudkan
pengakuan dan perlindungan pihak luar.
Kejelasan status penguasaan tanah dan hutan secara adat oleh
masyarakat hukum adat adalah salah satu prasyarat mutlak dalam implementasi
SRAP-REDD+ yang efektif dan efisien. Pemetaan partisipatif dan perencanaan
ruang pembangunan daerah yang telah memasukkan wilayah pemukiman
masyarakat di tingkat kampung merupakan salah satu bentuk langkah strategis
untuk memastikan status hak atas tanah dan lahan hutan sebagai sebuah
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
jaminan kepastian hukum hak masyarakat dalam kerangka peraturan daerah.
Pengakuan pemerintah atas penguasaan lahan dan hutan secara adat telah
termuat dalam Undang-Undang Kehutanan dan Undang-Undang Otonomi
khusus, namun pengakuan ini belum dapat diimplementasikan secara nyata
karena perdasus/perdasi dan atau perda yang mengatur secara khusus terkait
hak-hak masyarakat adat atas sumberdaya alam termasuk tanah dan hutan
beserta isinya belum diterbitkan. Sehingga tidak ada ruang bagi masyarakat
adat untuk berpartisipasi aktif secara penuh dalam proses pembangunan di
daerah termasuk pembangunan kehutanan secara lokal, sehingga masyarakat
adat sulit memperoleh akses ekonomi akibat pemanfaatan sumberdaya hutan di
wilayah adat yang dikuasainya.
Masyarakat adat pemilik tanah dan hutan sebenarnya memiliki hak untuk
menolak program REDD+ di wilayah hukum adatnya sebelum ada persetujuan
dan perjanjian legal serta sebelum mengetahui seluruh dampak potesial yang
ditimbulkan oleh program REDD+. Perjanjian dan persetujuan atas lahan dan
hutan yang akan menjadi site REDD+ harus bersesuaian dengan peta
kepemilikan lahan adat masyarakat hukum adat yang telah disahkan oleh
pemerintah daerah. Surat perjanjian dibuat oleh dan ditandatangani dihadapan
notaris.
Masyarakat adat di Papua Barat sangat menghormati hak atas
sumberdaya alam, karena secara budaya tanah dan hutan merupakan rumah,
dapur, ibu bahkan identitas budaya masyarakat Papua Barat sehingga
pelaksanaan REDD+ di Papua Barat harus memperhatikan nilai-nilai budaya dan
kearifan yang berlaku di masyarakat.
Pelaksanaan REDD+ di Papua Barat harus dapat meningkatkan
kesejahteraan masyarakat adat dengan (a) mengurangi deforestasi dan
menjamin akses terhadap sumberdaya hutan; (b) menawarkan peluang ikut serta
dalam usaha atau sebagai penyedia jasa atau tenaga kerja; (c) menghargai
kepermilikan secara formal atau adat, dan membayar nilai yang layak atas
penggunaan tanah tersebut untuk proyek REDD+; (d) memberikan tambahan
manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat.
Masyarakat Papua Barat merupakan kelompok masyarakat yang
sebagian besar penghidupannya bergantung pada pemanfaatan sumberdaya
hutan dan lahan. Untuk kepermilikan lahan, diakui bahwa seluruh tanah Papua
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Barat telah terbagi berdasarkan kepemilikan suku-suku tertentu yang didalamnya
ada marga-marga pemilik wilayah adat. Setiap suku atau marga di Papua Barat
mengenal dan mengakui sistem pengakuan kepemilikannya masing-masing.
Sedikit sekali tanah yang bersertifikat, dan yang bersertifikat sebagian besar
adalah tanah yang dipindah tangankan kepada pihak bukan asli Papua Barat
yang membeli dari pemilik adat. Lahan masyarakat adat yang secara langsung
dijual oleh pemilik adat luasannya sangat kecil dan tanah-tanah sertifikasi BPN
seluruhnya adalah APL dan merupakan tanah-tanah milik yang dipindah
tangankan. Tanah-tanah tersebut umumnya untuk pembangunan rumah.
Sedangkan lahan berhutan yang dipindah tangan tidak langsung melalui
pelepasan hak yang dilakukan oleh pemerintah dengan pemberian HGU atau Izin
Pinjam Pakai sangat luas umumnya merupakan areal konsesi izin pemanfaatan
dan penggunaan lahan yang dilakukan oleh pemerintah. Masyarakat adat tidak
memiliki posisi tawar yang kuat bila lahan adatnya atau hutan adatnya akan
dipindah tangankan melalui pelepasan hak adat, karena pemerintah
menganggap bahwa seluruh lahan masyarakat adat adalah lahan Negara atau
seluruh hutan adat adalah kawasan hutan Negara. Hal ini akan menjadi faktor
penghambat dalam implementasi program REDD+ di Papua Barat. Faktor ini
hanya dapat diminimalisir melalui pemetaan partisipatif dan pengakuan yang
sungguh terhadap hak–hak masyarakat adat oleh pemerintah dan investor.
Bagi masyarakat adat Papua Barat, peran hutan cukup besar terhadap
penghidupan masyarakat baik sebagai sumber bahan pangan, juga nilai sosial
dan religius. Hasil hutan berupa bahan makanan, merupakan sumber
pencukupan hidup sehari-hari (subsisten), disamping hasil hutan kayu dan bukan
kayu menjadi sumber pendapatan tunai keluarga yang sangat penting untuk
pencukupan hidup yang tidak dapat dihasilkan dari lahan dan hutan. Tingkat
ketergantungan dan interaksi masyarakat Papua Barat terhadap sumberdaya
hutan cukup beragam bergantung pada kekayaan sumberdaya alamnya dan
aksesibilitas wilayah terhadap pusat perkotaan dan pasar interaksinya dengan
masyarakat luar dan kehadiran investasi. Karena itu keberadaan masyarakat
adat di Papua Barat dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu masyarakat
adat yang telah terkontaminasi dengan budaya luar dan masyarakat adat yang
masih teguh memegang nilai-nilai adat atas tanah dan lahan hutan. Pendekatan
dua golongan ini harus dibedakan dalam rangka sosialisasi dan negosiasi
implementasi program dan kegiatan REDD+.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
b. Pembagian Manfaat Atas REDD+
Insentif implementasi program REDD+ Papua Barat dapat berupa
kompensasi atas kerugian sebagai akibat dari pelaksanaan REDD+, termasuk
hilang peluang masa depan untuk memanfaatkan hutan dan lahan. Insentif lain
berupa penghargaan (reward) atas jasa/tenaga yang diberikan dalam rangka
pelaksanaan REDD+. Pihak pemilik tanah dan hutan secara adat berhak
menolak keberadaan REDD+ wilayah adatnya atau dapat menyetujui secara
sukarela bahwa REDD+ dilaksanakan di wilayah adatnya. Oleh karena hak
tersebut, pemberian lahan dan hutan untuk digunakan untuk proyek REDD+
adalah jasa yang harus dihargai. Penentuan nilai insentif dilakukan secara
transparan atas kesepakatan tertulis antara pemilik lahan dan hutan adat dengan
pemrakarsa atau pelaksana program. Dalam perjanjian tertulis tersebut harus
tercantum jumlah, jadwal dan mekanisme pembayaran, nama penerima, hak dan
kewajiban serta resiko akibat perubahan atas kesepakatan antara kedua belah
pihak. Negosiasi dan mekanisme pembayaran harus melibatkan lembaga adat
dan seluruh anggota pemilik hak dan tidak menimbulkan konflik. Pembayaran
dilakukan dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh semua stakeholder dan
disaksikan oleh perwakilan pemerintah, masyarakat adat pemilik hak dan
perwakilan lembaga adat masyarakat hukum adat bersangkutan.
Belum ada regulasi dan standar serta mekanisme baku pembayaran
insentif terkait implementasi aksi REDD+ di tingkat nasional dan daerah yang
dapat menjadi acuan. Terkait dengan sistem pembayaran insentif (kompensasi)
kepada masyarakat pemegang hak atas lahan dan hutan di provinsi Papua
Barat sebagai akibat pengalihan hak pemanfataan dan atau HGU lahan
masyarakat adat baik oleh pemerintah ataupun pihak ke tiga dapat mengacu
pada dua pengalaman berikut sebagai pembelanjaran:
a. Penetapan besar pembayaran berdasarkan potensi volume kayu yang dapat
diproduksi. Pembayaran minimal telah ditetapkan (Rp ** /m3, SK Gubernur
No. 50 Tahun 2001 tentang standar pemberian kompensasi bagi masyarakat
atas kayu yang dipungut pada areal ulayat di Provinsi Papua) tergantung
pada jenis kayu yang diproduksi. Namun informasi dari masyarakat
menunjukkan bahwa ada dugaan terjadi penipuan (volume kayu yang diambil
lebih besar daripada volume kayu yang dibayarkan kompensasinya). Nilai
kompensasi pun tidak seluruhnya dalam bentuk uang tunai sebagian dalam
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
bentuk bahan dan peralatan. Sistem pembayarannya pun dilakukan secara
perorangan dan tertutup, pembayaran kepada anggota dilakukan oleh kepala
marga. Karena itu sering terjadi konflik baik antar individu dalam marga,
antar marga karena pembagiannya yang tidak merata. Sering pula terjadi
kesalahan terhadap yang berhak menerima kompensasi. Kesalahan ini
terjadi akibat batas wilayah adat yang tidak jelas. Perjanjian pembayaran
pun tidak dibuatkan secara tertulis dan bukti-bukti pembayarannyapun tidak
terdokumentasi dengan baik sehingga konflik terus terjadi.
b. Pembayaran kompensasi atas 'pelepasan adat' atau klaim terhadap tanah
tertentu. Pembayaran seperti ini biasanya hanya dilakukan sekali untuk
pelepasan tanah untuk periode tertentu. Kadangkala jumlah yang dibayarkan
cukup besar. Dalam beberapa kasus, proses negosiasi, cara pembagian dan
proses pembayaran tidak transparan dan menimbulkan konflik. Pembayaran
untuk pelepasan biasanya dilakukan berdasarkan penandatangganan
perjanjian oleh semua pihak yang berhak atas tanah secara adat.
Pembayaran kompensasi ini pun terus menimbulkan konflik di masyarakat.
Pada awal negosiasi masyarakat adat pemilik hak atas tanah sering merasa
terintimidasi oleh oknum aktor baik dari pemerintah maupun pihak swasta
serta oknum berasal dari masyarakat adat itu sendiri. Tanggung jawab sosial
yang dijanjikan oleh investor pada negosiasi awal sering tidak dimasukan
dalam surat perjajian atau persetujuan pelepasan hak atas tanah dan sering
janji tersebut tidak dipenuhi oleh pihak investor sehingga setelah perusahan
membayar eroperasi atau berproduksi. Fakta menunjukkan bahwa sering
muncul aksi kolektif (pemalangan) yang dilakukan oleh masyarakat guna
menuntut penambahan pembayaran uang kompensasi karena merasa
dibohongi dan diintimidasi pada saat negosiasi awal.
Kedua contoh di atas belum dapat dijadikan acuan untuk mengatur sistem
pembagian dari manfaat dan sistem pembayaran yang adil dan merata dari hasil
pelaksanaan REDD+ di Papua Barat. Metode perhitungan, standar dan kriteria
ukuran yang digunakan, termasuk kriteria obyek dan subyek hak yang perlu
dikompensasi belum jelas.
Untuk itu perlu diterbitkan Perda/Pergub. Yang mengatur standar dan
kriteria penetapan nilai insentif dan sistem pembayaran kepada para pihak yang
berhak mendapakan pembagian hasil dari kegiatan REDD+ di Papua Barat.
Kegiatan yang harus dilakukan dalam rangka perumusan sistem registrasi
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-9
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
perjanjian pembayaran insentif atau pembagian keuntungan dari aksi REDD+
serta mekanime penyelesaian konflik atas pelanggaran terhadap perjajian
sebagai berikut :
a. Identifikasi para pihak yang berhak menerima pembayaran, berupa (a)
pihak yang mengalami kerugian langsung sebagai akibat dari adanya
upaya REDD+; (b) pihak yang kehilangan peluang sebagai akibat dari
adanya aksi REDD+; (c) pihak yang berhak menerima pembayaran sebagai
pemegang hak adat atas tanah atau hutan yang terkena dampak dari
kegiatan REDD+.
b. Membuat draft perjanjian dengan pihak yang berhak menerima
pembayaran. Perjanjian akan menjelaskan (a) jumlah/nilai yang akan
dibayarkan, serta dasar perhitungan; (b) cara pembayaran, termasuk
tahapan/jadwal; (c) persyaratan atau kewajiban kedua belah pihak dalam;
(d) faktor yang bisa mempengaruhi jumlah yang dibayarkan, serta
bagaimana perjanjian bisa diubah; (e) penyelesaian perselisihan; (f)
terminasi perjanjian; (g) waktu mulai dan masa berlakunya perjanjian
c. Legitimasi draft perjajian kepada parapihak dan mengajukannya untuk
dilegalisasi pemerintah
d. Surat perjanjian didokumentasikan dan disimpan oleh para pihak yang
berkepentingan dan dijadikan dasar untuk pembayaran.
e. Dokumen-dokumen bukti pembayaran didokumentasikan dan diarsipkan
oleh masing-masing para pihak
f. Perlu dilakukan audit oleh lembaga independen dan dipublikasikan ke
publik.
Atas dasar penguasaan lahan, penghidupan masyarakat adat dan
distribusi manfaat atas REDD+ yang diuraikan di atas maka pilar spesifik yang
harus dibangun dalam implementasi REDD+ Papua Barat adalah:
a. Pemetaan partisipatif wilayah penguasaan masyarakat hukum adat sebagai
dasar pengakuan dan legitimasi hak atas tanah dan sumberdaya hutan
b. Mengidentifikasi sumber-sumber penghidupan masyarakat adat dan kearifan
lokal atas perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya tanah dan hutan
sebagai dasar perumusan kebijakan dan program REDD+
c. Mengakui dan melegalisasi wilayah masyarakat hukum adat yang sudah
dipetakan
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-10
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
d. Memfasilitasi pembagian manfaat yang adil dan merata kepada masyarakat
berdasarkan hak adat atas lahan dan hutan
e. Pemerintah membangun kesepakatan penyelesaian konflik penggunaan
lahan berbasis peta wilayah adat yang telah dilegitimasi.
3. Sistem Kelembagaan REDD+ Papua Barat
Kelembagaan REDD+ Papua Barat dibangun untuk memastikan bahwa
SRAP-REDD+ dan implementasinya berjalan sesuai strategi, rencana aksi,
prinsip-prinsip dan tujuan yang telah disepakati dan ditetapkan bersama. Sistem
kelembagaan yang dibagun memiliki tugas dan fungsi pokok :
a. Menyediakan informasi terkait wilayah dan peluang pengelolaan REDD+
di Papua Barat
b. Menyusun juknis MRV/REL Papua Barat
c. Menetapkan kriteria dan indikator kelayakan proyek REDD+ dan
memberi rekomendasi perizinan pemanfaatan dan penggunaan lahan dan
hutan dengan skema REDD+
d. Memantau pelaksanaan proyek REDD+, termasuk kewajiban
keterbukaan informasi dan PADIATAPA, keterlibatan masyarakat dan
pembagian manfaat.
Kelembagaan REDD+ di Papua Barat harus dipadukan dengan
perkembangan kelembagaan REDD+ ditingkat nasional, sehingga terjadi
keselarasan dan sinergitas kewenangan atara kelembagaan pusat dan daerah.
Dalam struktur pemerintahan Papua Barat saat ini telah ada beberapa
Kelembagaan atau institusi daerah yang secara strategis dan teknis telah
mengambil peran dalam mempersiapkan implementasi kebijakan pembangunan
ekonomi rendah karbon – termasuk REDD+ Papua Barat dan Provinsi
Konservasi. Institusi daerah tingkat provinsi yang tupoksinya terkait dengan
bidang pengembangan ekonomi berbasis lahan adalah Bappeda Provinsi Papua
Barat, Bappedalda Provinsi Papua Barat, Dinas Pekerjaan Umum Provinsi Papua
Barat, Dinas perhubungan Provinsi Papua Barat, Dinas Pertambangan dan
Energi Provinsi Papua Barat, Dinas Pertanian, Peternakan dan Ketahanan
Pangan Provinsi Papua Barat , Dinas Perindustrian, Koperasi dan Perdagangan
Provinsi Papua Barat dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua
Barat.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-11
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Pemerintah daerah juga telah membentuk Satuan Tugas Pembangunan
Ekonomi Rendah Karbon Provinsi Papua Barat sebagaimana tertuang dalam
Strategi Daerah. Satuan Tugas ini mengambil fungsi koordinasi di fase
preparednes. Sekretariat dari Satuan Tugas ini di kantor Bappeda Provinsi
Papua Barat dikoordinir langsung oleh Kepala Bappeda Provinsi Papua Barat.
Satuan tugas ini terbagi menjadi 4 kelompok kerja (working group) berdasarkan
fungsi dan tugas yang dibutuhkan di daerah. Salah satu working group yang
secara langsung bertanggung jawab untuk urusan REDD+ adalah Kelompok
kerja (Pokja) mitigasi sektor kehutanan dan lahan yang diketuai oleh kepala
Dinas Kehutanan dan Perkebunan Provinsi Papua Barat. Selain itu di Provinsi
Papua Barat telah dibentuk sebuat Tim independen semacam Satuan Tugas
(Task Force) yang berfungsi untuk mengawal dan mendorong percepatan
pelaksanaan program Pembangunan Ekonomi Rendah Karbon Provinsi Papua
Barat. Satuan tugas ini secara formal belum dilegitimasi oleh pemerintah karena
dalam pembentukannya merupakan inisiatif perwakilan LSM, Akademisi dan
SKPD terkait.
Sistem Kelembagaan REDD+ Papua Barat yang diusulkan untuk
dibangun adalah sistem kelembagaan yang akan mampu menjamin terwujudnya
visi, misi yang diemban dan tujuan yang ditetapkan serta memberikan dampak
nyata terhadap pengurangan emisi Karbon dan optimalisasi nilai manfaat secara
berkelanjutan. Untuk itu unsur-unsur kelembagaan haruslah bersesuaian dengan
cakupan ruang lingkup bidang kegiatan dari REDD+. Atas pertimbangan ini
maka kelembagaan yang diusulkan berbentuk Badan yang berfungsi
mengkoordinir semua bidang Tugas dan Fungsi Pokok seluruh SKPD dan
Lembaga Non Pemerintah yang terkait dengan bidang pembangunan ekonomi
berbasis lahan yang potensial penyebab degradasi dan deforestasi serta
penurunan emisi dan peningkatan serapan/stok karbon. Lembaga ini sebaiknya
non struktural berbentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah yang diberikan tugas
khusus.
4. Pendanaan Untuk REDD+ Papua Barat
Pendanan REDD+ Barat berasal dari berbagai sumber, beragam
penggunaan dan tata kelola keuagan multipihak. Oleh karena itu diperlukan
intrumen pendanaan yang dapat mengakomodir keberagaman tersebut.
Instrumen yang dimaksud haruslah menganut prinsip :
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-12
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
a. Mendukung pengembangan berbagai program dan kegiatan REDD+
sesuai dengan potensi reduksi emisi bidang pembangunan ekonomi
berbasis lahan terutama kegiatan kehutanan dan lahan
b. Menyediakan mekanisme penyaluran dana yang memungkinkan calon
donor dan investor tertarik mendanai program REDD+ Papua Barat.
c. Mendorong pemanfaatan dana yang efisien dan distribusi manfaat yang
adil dari pengembangan program dan REDD+ Papua
d. Memastikan ketiga unsur tersebut menjadi kerangka dasar dalam
pengamanan dana REDD+ yang diperoleh dari berbagai sumber untuk
kepentingan sosial dan lingkungan hidup
Berdasarkan pembentukan instrumen pendanaan tersebut maka strategi
spesifik pendanaan REDD+ Papua Barat adalah :
a. Mengelola dana REDD+ Papua Barat secara independen, professional,
dan kredibel dengan standar kerangka pengamanan dan angkutabilitas
yang diterima secara global.
b. Memobilisasi dana dari berbagai sumber publik dan swasta di dalam dan
luar negeri melalui skema fund raising secara sistematis, terprogram, dan
profesional.
c. Menyiapkan mekanisme penyaluran dana untuk menukung seluruh
kegiatan, termasuk dana operasional lembaga, biaya investasi,
pengembangan input tapak dan pendanaan penyiapan pra kondisi (kondisi
pemungkin), biaya kinerja pemerintah/LSM/Lembaga yang terlibat, biaya
kinerja pelaksana program dan kegiatan REDD+ yang telah diverifikasi,
biaya insentif kepatuhan dalam implementasi RTRWP/K, biaya
peningkatan kapasitas SDM dan lain-lain
d. Membangun mekanisme pertanggunggugatan (accountability) yang
memungkinkan intrumen berjalan tranparan melalui audit keuangan dari
lembaga audit independent internasional secara berkala
5. Pengukuran, Pelaporan, dan Verifikasi (MRV) REDD+.
MRV adalah rangkaian kegiatan pengukuran (measurement), pelaporan
(reporting) dan verifikasi (verification) capaian penurunan emisi, pemeliharaan
dan peningkatan cadangan GRK dari kegiatan/proyek/program REDD+ secara
berkala di tingkat daerah. Hasil dari proses MRV adalah dasar pembayaran atas
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-13
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
output/kinerja dari Instrumen Pendanaan REDD+ Papua Barat kepada pelaksana
kegiatan/proyek/program. Pembentukan Institusi MRV difasilitasi oleh Lembaga
REDD+. Institusi MRV dibangun untuk mengembangkan kebijakan, standar,
serta mekanisme kerja MRV yang sesuai dengan keputusan-keputusan
UNFCCC untuk disahkan oleh Lembaga REDD+ Nasional maupun daerah serta
mengkordinasikan kegiatan MRV. Institusi MRV beroperasi secara independen di
bawah koordinasi Lembaga REDD+ Provinsi Papua Barat.. Prinsip dari MRV
REDD+ Papua Barat haruslah menjamin :
a. Metodologi pengukuran yang konsisten dari waktu ke waktu pada seluruh
lokasi kegiatan REDD+ dan penetapan tingkat emisi rujukan sesuai REL.
b. Kelengkapan informasi mencakup cadangan persediaan karbon di semua
komponen baik di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah (akar)
serta nekromasa, serasah dan humus/gambut)
c. Ketelitian data untuk efektifitas penurunan emisi CO2
d. Hasil dan metodologi pengukuran penurunan emisi yang dilaporkan secara
terbuka dan dijamin sebagai informasi publik oleh Lembaga MRV.
e. Hasil pengukuran dapat diperbandingkan antar waktu untuk program yang
sama atau antar tampak kegiatan yang sama tipologinya di Papua Barat
f. Lembaga disertivikasi dan diakreditasi sesuai dengan persyaratan tingkat
emisi tertentu.
Atas prinsip tersebut maka lembaga MRV REDD+ Papua Barat merupakan
bagian dari manajemen kelembagaan REDD+, Namun bersifat independent
dalam melaksanakan tugasnya. Sekalipun demikian Lembagta REDD+ Papua
Barat memiliki kewenangan yang kuat untuk mengendalikan pelaksanaan
institusi MRV untuk menjamin efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dari hasil
pelaksanaan program dan kegiatan REDD+ Papua Barat.
6. Tata Ruang dan Lokasi REDD+ Papua Barat.
Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota menjadi basis dalam
implementasi program REDD+ Papua Barat. Kepastian ruang dan lokasi
implementasi aksi REDD+ Papua Barat harus bersesuaian dengan tujuan yang
diharapkan. Oleh karena itu dalam RTRWP/RTRWK telah mencadangkan
wilayah-wilayah potensial sebagai calon lokasi REDD+. Ruang-ruang yang
dicadangkan untuk pembangunan aktifitas terkait dengan REDD+ harus
dipastikan terbebas dari konflik ruang dengan aktifitas teknis lain. Pemerintah
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-14
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
sebagai pengendali ruang pembangunan perlu secara jelas menetapkan rencana
peruntukan ruang untuk mendukung setiap aktifitas pembangunan rendah
karbon termasuk aktifitas REED+. Ruang untuk lokasi REDD+ harus benar-
benar berada pada dan bersesuaian dengan status dan fungsi serta
peruntukannya. Karena RTRWP/RTRWK menjadi instrumen legalitas status dan
fungsi ruang, alokasi peruntukan serta jaminan pengelolaan jangka panjang.
RTRW Provinsi Papua Barat telah mendapatkan rekomendasi dari Tim
Terpadu (TIMDU) kementerian Kehutanan untuk melihat implikasi dari
Permintaan alih fungsi kawasan hutan. Usulan tentang perubahan fungsi hutan
secara singkat disajikan pada Table 5.1.
Tabel 5.1. Usulan tentang perubahan fungsi hutan di Papua Barat
No. Perubahan Fungsi Peruntukan Hutan Luas (ha)
1 HK-APL 54.336
2 HL-APL 83.006
3 HP- APL 352.269
4 HPK-APL 350.128
Total 639.739
Sumber : BPKH Wilayah XVII Manokwari, 2012.
Pemerintah provinsi Papua Barat berkomitmen yang tertcermin dalam
RTRWP 2008-2008 untuk mempertahankan 70% dari total kawasan untuk
dipertahankan sebagai kawasan hutan. Dan hanya sekitar 30% yang akan
dialokasikan untuk dikonversi menjadi peruntukan lain.
Berdasarkan RTRWP tersebut maka pemerintah daerah dan seluruh
SKPD Provinsi dan Kabupaten/kota berkomitmen dan patuh terhadap peruntukan
ruang yang telah ditetapkan dan dalam merencanakan lokasi kegiatan
pembangunan harus benar-benar sesuai alokasi peruntukan ruang tersebut.
Pemerintah daerah juga perlu mengalokasikan peruntukan ruang untuk REDD+
melalui koordinasi perencanaan antar SKPD terkait sehingga tidak terjadi
tumpang tindih dalam penerapan lokasi. Jika memungkinkan batas-batas wilayah
penguasaan masyarakat hukum adat terintegrasi dalam pertimbangan alokasi
ruang REDD+ tersebut. Dengan demikian tumpang tindih peruntukan kawasan
dan wilayah konflik peruntukan ruang dapat diminimalisasi.
Delineasi dan digitasi batas-batas alokasi ruang lokasi REDD+ disetiap
peruntukan ruang kemudian dioverlay dengan fungsi hutan dan batas wilayah
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-15
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
masyarakat adat untuk memastikan bahwa lokasi REDD+ bebas dari izin hak
lainnya. Peta hasil deliniasi dan digitasi ini akan menjadi dokumen peta dasar
bagi pelaksanaan kegiatan REDD+ di lapangan dan peta panduan bagi kegiatan
MRV terutama untuk mengidentifikasi kriteria dan indikator kelayakan lokasi
REDD+.
Pilar spesifik yang harus dilaksanakan dalam SRAP-REDD+ Papua Barat
adalah:
a. Melaksanaan penataan batas dan pemetaan partisipatif kembali pada
wilayah yang diusulkan menjadi wilayah implementasi proyek REDD+
b. Melakukan registrasi ke Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah
(BKPRD) atau instansi terkait yang mengurusi tata batas untuk
pemanfaatan ruang.
c. Pemerintah daerah melakukan monitoring dan evaluasi per periode waktu
tertentu yang disepakati bersama untuk memastikan bahwa aktifitas
dilapangan dilaksanakan sesuai dengan pengusulannya. Monitoring
dilakukan dengan menggunakan citra satelit dan ground check.
7. Pengelolaan Hutan Dengan Prinsip Rendah Karbon
Manajemen hutan lestari merupakan konsep pengelolaan hutan lestari
yang menjalankan fungsi ekologis dan fungsi ekonomis hutan dengan pelibatan
masyarakat didalamnya. Saat ini SFM sukses dalam pelaksanaanya di bidang
bisnis, yakni sebagai usaha untuk menunjukkan pelaksanaan bisnis yang sesuai
kaidah lestari seperti penerapan teknologi Reduced Impact Logging (RIL) di
perusahaan IUPHHK. Akibatnya, konsep SFM bagi masyarakat hutan belum
terkenal dan masih harus terus berjuang untuk membuktikan keberhasilan
konsep ini. Menurut Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) konsep REDD+ saat ini
harusnya mendahulukan SFM dalam pelaksanaan kegiatan. SFM harusnya
adalah payung dari REDD+.1. Pendekatan lain dari kegiatan SFM adalah
penerapan sertifikasi PHPL dan SVLK untuk menjamin pelaksanaan pengelolaan
hutan lestari. Keseluruhan kegiatan tersebut adalah untuk menjamin bahwa
kegiatan pemanfaatan hutan tidak menyebabkan terjadinya proses perubahan
1 http://blog.cifor.org/3406/manajemen-hutan-lestari-sfm-social-forestry-dan-redd/
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-16
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
kepadatan hutan yang berlebihan, pengundulan hutan dan peningkatan lahan
kritis dalam kawasan hutan.
Konsep pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) juga menjadi
salah satu model penataan kembali tata kelola kehutanan yang lebih dapat
menjamin prinsip-prinsip pengelolaan hutan. Kehutanan Papua Barat memiliki
21 unit Register KPH yang tersebar disembilan Kabupaten. Berdasarkan SK
Menhut 701/MENHUT-II/2010, tanggal 20 DESEMBER 2010, salah satu unit
KPH yang dikembangkan menjadi KPH Model untuk Provinsi Papua Barat adalah
KPH Register II Sorong. Pengembangan model KPH menjadi satu kerangka
ruang yang dapat menjadi lokasi untuk program REDD+ apabila proses
pembangunannya dapat dilaksanakan terutama proses tata batas dan penataan
unit manajemen dalam areal KPH. Terkait dengan keterlibatan masyarakat
penyelenggaraan tata kelola kehutanan di Provinsi Papua Barat telah
dikembangkan beberapa skema perhutanan sosial, yaitu melalui program Hutan
Tanaman Rakyat, Hutan Desa dan hutan Kemasyarakatan. Program-program
tersebut dapat diintegrasikan dalam program REDD+. Namun beberapa
program kehutanan sosial yang diinisiasi oleh LSM dalam kerangka
pengembangan ekonomi kerakyatan sektor kehutanan belum mendapat
dukungan sepenuhnya oleh pemerintah. Program-program kehutanan seperti
RHL, dan pengembangan usaha kehutanan produktif masih belum berjalan
optimal.
Pilar spesifik yang dapat dikembangkan dalam program REDD+ Papua
Barat adalah mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan pemantauan Program
dan kegiatan harus melibatkan masyarakat adat secara aktif sebagai bagian
pemberdayaan dan pengembangan kapasitas masyarakat di dalam dan sekitar
hutan. Masyarakat adat sebagai pemilik hak atas lahan hutan di Provinsi Papua
merupakan salah satu para pihak utama yang harus berperan aktif dalam
mengambil mkebijakan dan keputusan implementasi program REDD+ Papua
Barat. Strategi yang harus dikembangkan adalah bahwa pengembangan REDD+
Papua Barat wajib melibatkan dan membangun kapasitas masyarakat terutama
masyarakat pemilik hak atas lahan hutan.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-17
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perambahan hutan 26%
Pencurian kayu 23%
Tata batas/ pembatasan
akses 36% Alih fungsi 3%
Kerusakan lingkungan/ hutan 12%
8. Penegakan Hukum Dan Arbitrase Dalam Pengelolaan Hutan Rendah Karbon.
a. Konflik Kehutanan di Indonesia dan Papua.
Salah satu masalah dalam pengelolaan hutan di Papua adalah tingginya konflik
pengelolaan hutan di lapangan. Konflik baik yang bersifat perdata sampai yang
berujung pada tindakan pidana masih menjadi bayang-bayang buruk yang
memberikan teguran kritis pada usaha-usaha pengelolaan hutan lestari. Analisis
nasional tentang konflik di sektor kehutanan tahun 1997 – 2003 ditemukan
bahwa ada 359 kasus konflik yang berhasil dicatat, 39% diantaranya terjadi di
areal HTI, 34% di kawasan konservasi (termasuk hutan lindung dan taman
nasional) dan 27% di areal
HPH. Catatan ini juga
memberikan informasi bahwa
bagian-bagian dengan
tingginya konflik kehutanan
ini antara lain tata batas
hutan yang tidak jelas, alih
fungsi kawasan hutan yang
tidak rasional, konflik hak-
hak tanah ulayat yang oleh
pemerintah dikategorikan sebagai perambahan hutan oleh masyarakat,
pencurian kayu dan lemah kontrol serta kerusakan lingkungan akibat eksplotasi
hutan yang berlebihan dan tidak diimbangi dengan usaha rehabilitasi atau
reklamasi2. Salah satu penyebab dari munculnya konflik-konflik ini adalah karena
lemahnya penegakan hukum dan ketidakkosistenan aturan lintas sektoral. UU
kehutanan 41/99 dan turunannya belum mampu menjawab dinamika
pengelolaan hutan di Daerah3.
Untuk konteks Papua, kurangnya usaha-usaha klarifikasi dan pengakuan
legalitas kepemilikan wilayah adat masyarakat yang berimplikasi pada lemahnya
posisi tawar masyarakat secara hukum. Ketidakpastiaan hukum positif tersebut
secara sadar tidak harmonis dengan hukum adat yang pegang oleh sebagian
2 `Yuliana Cahya Wulan, dkk. 2004. Analisis konflik Kehutanan 1997 – 2003. Dipublikasi oleh
CIFOR. 3 http://www.kaltimpost.web.id
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-18
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
besar masyarakat di Papua4. International Crisis Group5 dalam penitiaannya
menyebutkan bahwa perebutan tanah dan hak atas sumberdaya alam
merupakan aspek kunci dalam konflik di Papua. Ketidakadilan dalam
pengelolaan sumberdaya alam berdasarkan peraturan pemerintah Nasional telah
berperan sangat besar dalam konflik tersebut. Negara kerap memberi konsesi
kepada perusahaan pengelola sumberdaya dengan mengabaikan hak-hak adat
masyarakat Papua pribumi.
b. Analisis Penyebab Konflik kehutanan
Akar masalah dalam pengelolaan lahan dan hutan di Papua adalah:6
� Tidak adanya kepastian hukum penguasaan (tenurial security) tanah-
tanah adat /SDA/wilayah kelola masyarakat
� UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan yang mendudukan masyarakat
sebagai objek hutan dan tidak secara tegas memberikan ruang
pengakuan keberdaan masyarakat dan haknya atas sumber daya alam.
Serta cenderung memposisikan masyarakat sebagai perambah hutan
yang mengganggu batas dan investasi pengelolaan hutan.
� Pemberian izin/hak oleh pejabat publik(menteri kehutanan, menteri
ESDM, Kepala BPN, Gubernur dan Bupati) yang memasukkan
tanah/wilayah kelola/SDA kepunyaan masyarakat adat/lokal ke dalam
konsesi badan-badan usaha raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi,
maupun konservasi.
� Penggunaan kekerasan, manipulasi, dan penipuan dalam pengadaan
tanah skala besar untuk proyek-proyek pembangunan, usaha-usaha
raksasa dalam bidang produksi, ekstraksi, konservasi.
� Lemahnya penegakan hukum terhadap perusahan-perusahaan dan
okum-oknum pemerintah yang tidak disiplin di Papua dalam membangun
sistem yang tidak transparan dan melegalkan yang ilegal. Sebagai contoh
beberapa perusahaan perkebunan yang kecenderungannya mengambil
kayu komersil lalu pergi begitu saja dan tidak membangun perkebunan.
Lemahnya penegakan hukum dalam penyelesaian berbagai
permasalahan yang terjadi antara masyarakat sekitar hutan dan
perusahaan akan mengakibatkan konflik-konflik baru terjadi. Hal ini sering
4 Lindon Pangkaly, 2006. Potret Hutan Papua. 5 ICG, 2002. Sumber daya alam dan konflik di Papua. ICG Asia Reports No 39. Jakarta. 6 Noer Fauzi Rachman. 2012. Dari konflik Agraria menuju reforma Agraria. Bahan presentasi.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-19
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dijadikan pihak ketiga seperti cukong-cukong kayu untuk memanfaatkan
konflik tersebut demi kepentingannya. Maraknya penebangan liar
merupakan wujud ketidakharmonisan pemerintah/aparat keamanan,
perusahaan dan masyarakat sekitar hutan.
� Instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal
dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan
negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam
bidang sosial dan ekonomi.
c. Membangun mekanisme penyelesaian sengketa (arbitrase)
Harus diakui bahwa kecenderungan konflik lahan dan sumber daya alam
akan semakin besar dengan peningkatan Investasi dari sektor lahan dan hutan di
daerah apabila semua pihak masih tidak peduli untuk menjawab akar
permasalahan konflik di Tanah Papua. Membangun sebuah sistem penyelesaian
konflik dan penegakan hukum yang berkeadilan menjadi sebuah kebutuhan di
Papua karena selama ini dinilai sangat lemah. Lahan dan sumber daya alam
didalamnya menjadi objek bagi penguasa-penguasa yang kebal hukum untuk
memperkaya diri sendiri. Korupsi masih menjadi masalah yang tidak kalah
bersaing dengan masalah lain dengan predikat ‘Disclaimer” dari BPK7 dan
beberapa kasus korupsi pejabat yang sampai sekarang kecenderungannya tidak
secara tegas di tindak memberikan bukti nyata bahwa kebutuhan untuk
membangun instrument hukum yang tegas dan bertanggung jawab menjadi
mimpi besar yang harus di wujudkan.
Khusus untuk penyelesaian sengketa, sudah banyak contoh kasus
pemanfaatan sumber daya alam di Papua yang sengketanya diselesaikan
dengan cara kriminalitas. Hal ini muncul karena tidak ada mekanisme
penyelesaian sengkata (arbitrase) yang disepakati oleh pihak-pihak yang
berkepentingnan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Kecenderungan
yang ada para aktor memakai jalan kriminalitas, bahkan beberapa kasus
pengusaha besar kecenderungan menggungakan pendekatan keamanan untuk
mengamankan konflik, dimana sebagian diantaranya berujung pada pelanggaran
hak asasi manusia. Lembaga-lembaga kunci di daerah yang diharapkan bisa
mengambil peran arbiter belum menjalankan tugas dan fungsinya sebagaimana
yang diamanatkan dalam undang-undang. Lagi-lagi korupsi dan suap-menyuap 7 BPK : Badan Pemeriksa Keuangan
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-20
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dengan berbagai kepentingan masih menjadi masalah yang menyebabkan
semakin lemahnya peran lembaga-lembaga arbiter ini. Ditatanan masyarakat pun
terjadi hal yang sama. Muncul berbagai lembaga yang mengatasnamakan adat
dan masyarakat untuk tujuan politis dan jembatani kesepakatan-kesepakatan
pengelolaan dan pemanfaatan hutan dan lahan di wilayahnya. Tetapi pada
pelaksanaannya hanyak kepentingan-kepentingan tertentu saja yang diakomodir
dan menghiraukan kepentingan masyarakat yang mereka wakili sehinga
memunculkan konflik panjang di masyasrakat.
Desain mekanisme dan instrument hukum arbitrase diharapkan ditopang
dengan 3 pilar dari negara yang berdasar hukum : 1) lembaga atau penegak
hukum yang berwibawa dan dapat diandalkan, 2) peraturan hukum yang jelas
dan sistematis tidak saling overlapping, dan 3) kesadaran hukum masyarakat
yang tinggi. Dengan dasar pemikiran tersebut, makan mewujudkan penegakan
hukum dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan secara efektif bisa
digambarkan sebagai berikut8:
Merevitalisasi dan meningkatkan koordinasi lembaga peradilan baik
peradilan dan penegak hukum negara maupun peradilan adat menjadi langkah
awal dalam mewujudkan penegakan hukum dalam pengelolaan hutan di Papua
Barat. menyiapkan kerangka legal bagi pengakuan atas hak dan membangun
system “reward dan punishment” dalam pengelolaan hutan diharapkan mampu
merubah cara pandang masyarakat secara meluas dalam rangka penegakan
hukum dan penyelesaian sengketa yang berkeadilan untuk mendorong
pengelolaan hutan dan lahan secara berkelanjutan di Papua Barat. Penegakan
hukum dalam pengelolaan hukum sedianya diberlakukan dengan 8Nurul hakim, 2002. Efektivitas pelaksanaan sistem arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa dalam hubungannya dengan lembaga peradilan.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-21
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
mengitegrasikan prinsip yuridis, sosiologis dan fisolofis hukum itu sendikit
sehingga aspek ‘menyelesaikan’ masalah bisa berjalan degan adil dan
memberikan ‘reward dan punishment’ secara tegas kepada pelanggar dan
pelaksana hukum itu.
Arbitrasi memberikan ruang bagi semua pihak untuk duduk bersama
tanpa paksaan dan tanpa tekanan membangun kesepakatan-kesepakatan
hukum yang bersifat mengikat ‘punish dan reward’nya. Sehingga semua pihak
mengerti dan menghormati kewajiban dan konsekuensi dari pelaksanaan aturan
hukum dan pelanggaran dari aturan tersebut.
d. Penegakan hukum dan Penyelesaian Sengketa dalam REDD+
REDD sebagai sebuah skema baru pengelolaan hutan dan lahan yang
dikembangkan dari tata hutan dan lahan sebelumnya mensyarakat pra kondisi
yang harus bisa diwujudkan oleh negara-negara berhutan untuk diberikan
kompensasi. Pra kondisi tersebut diantaranya sistem pengelolaan hutan yang
transparent, partifipatif dan accountable dan dilengkapi dengan mekanisme
monitoring dan verifikasi yang bisa diaudit public. REDD juga memperhatikan isu
sengketa lahan dan hutan. Dimana dalam negosiasi international muncul istilah
‘safeguard’ yang mengarah pada pengertian ‘jaminan’. Yang ditekankan adalah
jaminan ‘sosial atau social safeguard dan jaminan keberlanjutan lingkungan atau
environmental safeguard’. Artinya bahwa aspek penegakan hukum dalam dalam
mengontrol jaminan tersebut harus tersedia.
Sebagaimana investasi pada pembangunan seperti yang ada sekarang
dimana kontrak kerja atau kesepakatan ijin dan kesepakatan lain dibangun
dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, REDD pun akan
mengikuti pola yang sama berdasarkan aturan yang berlaku di negara. Hanya
saja, ada penekanan pada proses partisipasi dan perjanjian ‘hak dan kewajiban’
dari pihak yang berinvestasi disini. REDD juga mensyarakat di sediakannya surat
kesepakatan penyelesaian sengketa (arbitrasi) yang akan dipegang bersama dua
pihak yang bersepakat sebagai kekuatan hukum yang mengikat untuk
memastikan bahwa setiap pihak memiliki kewajiban untuk menghormati hak dan
kewajiban masing-masing dan menyepakati bentuk ‘punish dan reward’ dari
kegiatan yang dilakukan.
Lembaga arbiter pemerintah dan lembaga arbiter adat yang ada perlu di
revitalisasi untuk secara kolaboratif bekerjasama menjembatani kesepakatan
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-22
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
yang terbangun. Menjadi pengawas dan menjadi penengah ketika kedua belah
pihak melanggar kesepakatan yang terbangun. Apabila sengketa yang terjadi
berupa tindak pidana maka, arbiter akan memberikannya langsung kepada
lembaga penegak hukum yang berwajib dalam hal ini Kepolisian. Arbiter
diarahkan untuk menjadi satu unit koordinasi dibawah lembaga REDD yang akan
memberikan ruang bagi semua kelompok peradilan seperti Jaksa, Hakim,
Kepolisian, Notaris dan lembaga arbiter lain bersama dengan lembaga adat dan
lembaga hukum international mengawal implementasi REDD di Papua Barat.
Dalam pengertian REDD yang efektif dimana mekanisme pembagian
manfaat dan pengakuan hak atas karbon menjadi kunci dan dikemas dengan
sistem monitoring dan verifikasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Oleh sebab
itu korupsi dan pelanggaran hukum dalam pengelolaan hutan menjadi perhatian.
Mengemas sistem di daerah yang ‘trustable’ dengan transparansi pelaporan dan
pembagian manfaat finansial yang didapat serta mekanisme tegas terhadap
pelanggaran hukum menjadi kunci. “trus fund” diharapkan muncul sebagai unit
dalam lembaga REDD daerah yang ‘public audits’ untuk menyediakan jaminan
hukum dalam berinvestasi dalam memastikan manfaat yang terdistribusi secara
adil.
B. Analisis Parapihak Dalam Implementasi REDD+ di Papua Barat.
1. Pihak-Pihak yang Berkepentingan REDD+
Identifikasi dan analisis parapihak yang berkepentingan REDD+ di Papua
Barat dilakukan untuk mengetahui siapa saja yang terlibat, sejauh mana peran
dan kekuasaan yang dimiliki oleh masing-masing pihak terkait dengan
implementasi program REDD+ Papua Barat. Pendekatan yang digunakan untuk
identifikasi dan analisis adalah Analisis Kwadran9. Berdasarkan pendekatan ini
maka pihak-pihak yang terlibat dalam implementasi REDD+ di provinsi Papua
Barat diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan kepentingan dan kewenangan
sebagai berikut :
9 Analisis stakeholder dengan menggunakan analisis kwadran dilakukan untuk mengenali peran kunci yang dimainkan oleh pemangku kepentingan dalam rangka mengimplementasikan sebuah program. Tujuan dari analisis ini adalah mengetahui kepentingan dan pengaruh pemangku kepentingan. Dari sini akan terlihat siapa yang paling perlu diakomodasikan dalam rangka perencanaan dan implementasi program. Bahan bacaan terkait analisis ini adalah Reed, et.all (2009)
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-23
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
1. Kwadran 1 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan kewenangan rendah
2. Kwadran 2 pihak yang memiliki kepentingan tinggi dan kewenangan tinggi
3. Kwadran 3 pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi kewenangan tinggi
4. Kwadran 4 pihak yang memiliki kepentingan rendah dan kewenangan rendah
Gambar 5.2. Analisis hubungan parapihak dalam Implementasi REDD+ di Papua Barat
Hasil identifikasi aktor-aktor yang tergolong pada masing-masing kelompok
parapihak dalam implementasi REDD+ Papua Barat seperti disajikan pada
gambar 5.210.
1.1. Parapihak REDD+ Papua
Berdasarkan identifikasi dengan pendekatan analisis kwadran tersebut
tampak bahwa pada kwadran I dan II adalah kelompok Parapihak yang
tergolong sebagai subyek dan aktor utama dalam mengimplementasikan SRAP-
REDD+ Papua Barat, disebut dengan stakeholders primer. Kelompok
stakeholders ini adalah pihak-pihak yang berkepentingan tinggi dengan tingkat
kewenangan rendah sampai tinggi. Sedangkan pihak-pihak yang berada pada
10 Gambar ini dihasilkan berdasarkan identifikasi yang dilakukan bersama berbagai pemangku kepentingan dalam Focus Group Discussion yang diselenggarakan sebagai rangkaian dari penyusunan dokumen SRAP-REDD+ Provinsi Papua Barat, 23 Oktober 2012.
Ke
pe
nti
ng
an
Subjec
Investor/Swasta
/Mitra Kerja
Intansi Teknis (SKPD) Lain
Tokoh Adat
MH Adat
Bupati/Walikota
KaDisHut Provinsi
Gubernur
Key Actor
Kewenangan
Lembaga Hukum
Akademi/PT LSM
Masyarakat
Kementerian Kehutanan Bappeda
Provinsi/Kab, Kota
Bapedalda
DPR Papua
MRP
UPT Kemenhut
( BPKH, BPDAS)
Polisi DPR Kabupaten
Crowd Context Setter
KaDisHut Kab/Kota
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-24
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
kwadran III dan kwadran IV adalah kelompok stakeholders pendukung
implementasi SRAP-REDD+ Papua Barat dari aspek politik, pendanaan dan
pendampingan, atau disebut dengan stakeholder sekunder. Kelompok
Stakeholders ini sekalipun memiliki kepentingan rendah, namun memiliki
kewenangan yang rendah sampai tinggi untuk mendukung implementasi SRAP-
REDD+ di Provinsi Papua Barat.
Semua kelompok stakeholders ini diharapkan memiliki pemahaman
bersama mengenai SRAP-REDD+ di Provinsi Papua Barat sebagai kebijakan
pusat di daerah yang ditujukan untuk mengimplementasikan program aksi
pengurangan deforestasi, bagian dari kebijakan pembangunan ekonomi rendah
karbon yang serius dilaksanakan dalam bingkai RTRWP dengan memiliki
keberpihakan kepada masyarakat hukum adat. Penjelasan lebih lanjut peran
dari dua kelompok besar di atas adalah sebagai berikut :
a. Stakeholders Primer
Pihak-pihak yang tergolong sebagai subyek dan sekaligus aktor utama
dalam pengelolaan hutan di Provinsi Papua berkenaan dengan
implementasi SRAP-REDD+ Papua Barat adalah Inverstor mitra kerja
pemerintah (para pengemban), masyarakat hukum adat (MHA), tokoh adat,
menteri Kehutanan, Gubernur, Bupati/Wali Kota, kepala Dinas Kehutanan
dan Perkebunan Provinsi, Kabupaten dan Kota. Stakeholders primer yang
berperan sebagai subyek , yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan
tinggi tetapi kewenangan yang terbatas untuk pengambilan keputusan
Pihak-pihak ini adalah pelaksana teknis yang diberikan kewenangan dalam
pemanfaatan hutan, pemanfaatan hasil hutan, pengunaan kawasan hutan
dan lahan oleh pemerintah daerah. Stakeholder primer yang berperan
sebagai pelaku kunci , yaitu pihak-pihak yang memiliki kepentingan besar
dan memiliki kewenangan kuat untuk mengambil keputusan dalam proses
penyelenggaraan SRAP REDD+ di Papua Barat.
b. Stakeholders Sekunder
Pihak-pihak yang tegolong dalam stakeholders sekunder ini terbagi dua,
yaitu pertama, pihak-pihak yang memiliki kepentingan rendah tetapi
memiliki kekuasaan yang besar dalam proses pengambilan keputusan
politik dan penganggaran serta regulasi/kebijakan terkait dengan
implementasi REDD+ di Provinsi Papua Barat. Kedua, pihak-pihak yang
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-25
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
memiliki kepentingan rendah dan kekuasaan rendah dalam
pengimplementasi SRAP-REDD+. Pihak-pihak ini umumnya berperan
sebagai pendamping teknik, pengamanan dan membantu dalam proses
penegakan hukum serta berperan sebagai pengawal dalam proses
pengawasan implementasi program aksi mitigasi dalam rangka mengurangi
pebukaan hutan, perubahan fungsi hutan dan kerusakan lahan serta
peningkatan serapan karbon dalam hutan dan lahan.
1.2 Peran dan Fungsi Stakeholders.
Untuk merealisasikan SRAP-REDD+ Papua Barat tentunya masih
memerlukan prakondisi dan sosialisasi dengan mengacu pada dasar pemikiran
berikut: 1) pelaku utama/subyek adalah pelaksana teknis kehutanan, investor
dan masyarakat hukum adat yang masih memerlukan pengembangan kapasitas
dalam menyelenggarakan program REDD+ termasuk dalam kaitannya
pengembangan kelembagaan (ekonomi dan sosial), 2) tujuan akhir yang
diharapkan adalah pengurangan emisi karbon yang dihasilkan dari kegiatan
sektor kehutanan dan lahan, peningkatan serapan karbon hutan serta
peningkatan ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, 3) semua pelaku
utama harus berparsisipasi aktif dan berkomitmen untuk pengurangan emisi dan
peningkatan persediaan karbon hutan. Pemahaman dan komitmen bersama
antar stakeholders baik utama maupun pendukung tentang SRAP-REDD+
Papua Barat serta berbagai kebijakan dan regulasi yang diperlukan dalam
rangka implementasi REDD+ di Papua Barat.
Mengacu kepada kebutuhan komitmen dan pemahaman bersama bahwa
REDD+ diselenggarakan dalam bingkai RTRW, Tata Hutan dan Pemanfaatan
Hutan serta pengakuan atas hak wilayah masyarakat hukum adat di dalam
kawasan hutan, maka peran dan fungsi yang harus dijalankan oleh parapihak
seperti diringkaskan pada Tabel 5.2.
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-26
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 5.2. Peran dan fungsi stakeholders dalam proses dan implementasi SRAP-REDD+ Papua Barat
No. Stakeholders Fungsi Peran 1. Masyarakat Hukum
Adat • Menetapkan subyek dan obyek
hak adat atas lahan dan sumberdaya alam
• Organisasi Unit Usaha ekonomi masyarakat
• Representasi masyarakat adat
• Wadah masyarakat adat untuk berpastisipasi dalam Program REDD+ dalam wilayah adat
• Membangun dan meningkatkan posisi tawar masyarakat adat atas wilayah hukum adatnya
• Menentukan hak, kewajiban dan nilai kontribusi masyarakan adat yang berpartisipasi
• Membantu mengorganisasikan dan mendistribusikan manfaat yang diperoleh kepada anggota masyarakat adat adil dan merata
2. Kepala Suku/Ketua Adat/Ketua Klan
• Mewakili masyarakat adat dalam negosiasi dan pengambilan kepautusan
• Penegak konflik horizontal dalam marga
• Pemilik wilayah adat dan sumberdaya alam
• Pengambil keputusan tertinggi dalam suku, kelompok marga dan marga
• Memberi pertimbangan dalam kemitraan masyarakat adat dgn pihak ke tiga
• Menyuarakan Aspirasi/pendapat masyarakat adat
• Melegitimasi wilayah dan kepemilikan SDA Secara Hukum Adat
3. Masyarakat Adat/Kelompok Marga
• Pemilik hutan adat/marga
• Anggota pemilik hutan adat/marga
• Menentukan subyek dan obyek hak adat atas lahan dan SDA
• Merumuskan dan memutuskan pemanfaatan sumberdaya hutan dan mendistribusikan manfaat kepada masyarakat adat/anggota marga
5. Lembaga Musyawarah Adat/Dewan Adat
• Lembaga Representasi Masyarakat adat
• Memberi pertimbangan dan persetujuan pola pemanfaatan dan pendistribusian manfaat kepada anggota masyarakat adat
• Wadah penyaluran aspirasi masyarakat adat
6. Pemerintah, Pemerintah Daerah/Intansi Teknis Terkait dan Legislator
• Regularor, Fasilitator, pengontrol dan evaluator pelaksanaan Aksi REDD+ di Papua Barat oleh SKPD, Investor Mitra dan Masyarakat Adat
• Penyedia/pengalokasi Anggaran/Pendanaan
• Merumuskan, menetapkan dan mensosialisasikan perturan dan kebijakan SRAP-REDD+ di Papua Barat
• Memberikan pertimbangan penyediaan dan pengalokasian pengganggaran
• Menetapkan areal lokasi dan Pemberian Izin dan persetujuanh Program Aksi MItigasi
• Menfasilitasi dan memonitoring kemitraan dengan investor /masyarakat adat
• Monitoring dan evaluasi pelaksanaan program Aksi REDD+
7. Investor/Mitra Kerja/Swasta/Pemegang Izin Konsesi
• Membawa modal, teknologi, dan tenaga professional untuk aksi mitigasi REDD+ Papua Barat
• Pelaksana Program Aksi Mitigasi REDD+
• Sumber pajak /retribusi atas pelaksanaan program REDD+
8. LSM, Akademisi dan lembaga penelitian
• Pendamping pelaksana Program Aksi REDD+ Papua Barat
• Monitoring dan evaluasi pelaksanaan Program aksi mitigasi REDD+ Papua Barat
• Merumuskan model kegiatan aksi mitigasi REDD+ sesuai kondisi obyektif wilayah
• Pendampingan untuk pemberdayaan masyarakat adat
• Fasilitator bagi masyarakat adat dan pemerintah (advokasi)
• Pelaksana Pelatihan teknis Aksi Mitigasi REDD+ dan MRV pelaksanaan Aksi Mitigasi REDD+
9. Penegak Hukum (Kepolisian, Kejaksaan )
• Menyelenggarakan penegakan hukum
• Pengamanan dan perlindungan masyarakat
• Arbitrase sengketa dalam REDD+
• Menyelenggarakan penuntutan hukum
• Melaksanakan penyidikan pelanggaran pidana
• Melaksanakan arbitrase sengketa REDD+ dan jaminan keamanan dan keadilan hukum
Pilar-Pilar Spesifik SRAP- REDD+ Provinsi Papua Barat 5-27
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Fungsi dan peran yang deskripsikan tersebut akan dapat dijalankan secara
optimal apabila dilakukan koordinasi dan komunikasi secara terus menerus
sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi sampai tahap
verifikasi. Stakeholder primer yang berada pada Kwadran I dan II yang telah
disebutkan di atas menjadi motor untuk melakukan koordinasi dan komunikasi
sejak awal sehingga proses pengambilan keputusan berjalan demokratis,
transparan dan berkeadilan.
Membangun kapasitas para pelaksana teknis termasuk pihak swasta dan
masyarakat adat untuk melaksanakan program pembangunan ekonomi rendah
karbon melalui skema REDD+ di Papua Barat dinilai tidaklah mudah. Strategi
yang telah di rancang dan rencana aksi mitigasi yang direncanakan tentunya
tidak akan dapat dilaksanakan bila tidak adanya perubahan pola pikir dan pola
tindak yang mendukung dari seluruh stakeholders. Untuk itu setiap stakeholders
harus memerankan perannya secara optimal yang bersimpul pada tanggung
jawab dan tujuan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya mengurangi nilai
emisi sektor kehutanan dan meningtkatkan serapan karbon hutan dan lahan
serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengakuan hak
masyarakat adat atas sumberdaya alam dan lahan melalui pendistribuasian
manfaat yang adil dan merata atas Aksi REDD+ di Papua Barat.
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
PENDEKATAN PENGUKURAN KEBERHASILAN RENCANA AKSI DAN SISTEM MONITORING (MRV)
Sebagai suatu bahan negosiasi, aksi REDD+ mempunyai banyak isu
yang terkait dengan lawas, skala spasial, pendekatan dan metode penghitungan
pengurangan emisi karbon, hasil yang tidak diinginkan, tingkat rujukan, MRV
(monitoring, reporting and verification) dan mekanisme pembayaran. Dalam
tingkat unit pengelolaan hutan, maka lawas REDD+ mencakup deforestasi,
degradasi hutan, konversi dan pemanfaatan lahan gambut, sedangkan skala
spasialnya adalah lokal atau unit pengelolaan hutan. Pendekatan penghitungan
karbon REDD+ berbasis pada kinerja (performance). Kebocoran (leakage)
bukanlah isu pada tingkat unit pengelolaan hutan, sedangkan unsur waktu
(permanence/liability) merupakan isu dalam pengelolaan hutan lestari. Tingkat
rujukan (reference level) akan memakai prediktif atau model pendugaan
berbasis data inventarisasi. Sedangkan isu MRV pada tingkat unit pengelolaan
hutan lebih banyak mengarah pada bagaimana kegiatan pemantauan
persediaan karbon dilakukan, melaporkannya, siapa yang akan memverifikasi
dan berapa biayanya. Sedangkan nilai kompensasi harusnya terdiri atas dua tipe,
pertama dana insentif untuk inisiasi aksi REDD+ dan kedua pembayaran
berbasis kinerja (tingkat pengurangan emisi karbon).
Kegiatan MRV akan mengukur dan melaporkan efektivitas pengurangan
emisi dan/atau peningkatan serapan GRK secara kuantitatif menggunakan
metode dan prosedur yang handal (akurat, presisi, tepat waktu, lengkap, standar,
kompatibel), transparan dan akuntabel. MRV merupakan bagian dari sistem
monitoring yang mana metode pengukuran dan hasil yang disampaikan
menggunakan kaidah-kaidah ilmiah baku dan konsisten. Hasil dari MRV akan
dijadikan dasar bagi pembayaran atas output/kinerja yang dilakukan oleh
lembaga dana kemitraan REDD+. Setiap kegiatan MRV harus sejalan dengan
prinsip-prinsip pelaporan IPCC (Intergovermental Panel on Climat Change), yaitu
Bab 6
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
harus transparan, dapat diperbandingkan, konsisten, akurat dan lengkap,
ketidakpastian yang minimal, sepanjang sesuai dengan kemampuan dan
kapasitas nasional. Formulasi pendekatan IPCC seperti diilustrasikan pada
Gambar 6.1.
Gambar 6.1. Pendekatan IPCC untuk menghitung emisi GRK antropogenik dengan emisi dan serapan pada simpanan karbon pada berbagai tutupan lahan (UN-REDD Programme 2011).
MRV dalam implementasinya harus menganut pinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Konsisten (taat azas). Sistem MRV harus menggunakan metoda dan
prosedur yang konsisten sehingga hasil pengukuran, pelaporan dan
verifikasi pengurangan emisi GRK dapat diperbandingkan dari waktu ke
waktu. Sebuah sistem MRV akan menentukan nilai acuan level emisi
(reference level/RL) yang akan digunakan sebagai “benchmark”
implementasi REDD +.
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
2. Terbuka (Transparan). Hasil MRV harus mempunyai kredibilitas yang
memadai oleh karena itu sistem MRV harus dapat diverifikasi oleh lembaga
independen dan dapat diakses oleh publik secara terbuka.
3. Lengkap (menyeluruh) Sistem MRV menggunakan input data dan
menghasilkan informasi yang lengkap. Informasi menyajikan semua
cadangan carbon dari semua komponen ekosistemnya yaitu biomassa di
atas permukaan tanah (above-ground biomass)seperti seperti batang,
cabang, ranting dan daun dan biomasa dibawah permukaan tanah (below-
ground biomass) seperti akar dan biomasa yang sudah mengalami
dekomposisi sebagian atau seluruhnya (kayu mati/nekromasa,
serasah/humus, dan karbon tanah mineral).
4. Akurat (sahi). Diartikan sebagai tingkat kemampuan memberikan hasil
pengukuran yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Sedangkan ketelitian menyatakan tingkat ketepatan yang dapat
digambarkan dengan keragaman rendah. Tingkat keakuratan sangat
bergantung pada input data dan metode pengukuran yang digunakan.
Sistem MRV harus menghasilkan informasi dengan penuh kehati-hatian
yang diturunkan dari data yang diukur secara cermat dan diolah dengan
metode yang handal.
5. Dapat diperbandingkan (Komparabel). Hasil MRV harus dapat
diperbandingkan dengan hasil MRV dari negara-negara lain, khususnya
dikaitkan dengan perdagangan karbon internasional. Karena itu metode
pengukuran dan rumus perhitungan emisi harus baku.
Secara umum, kerangka pikir dari MRV seperti diilustrasikan pada
Gambar 7. Tantangan sistem MRV diperjelas dengan rincian yang memfokuskan
pada bagaimana pengukuran, pelaporan, monitoring dan verifikasi dapat
dilaksanakan dengan metode yang komparabel dengan kegiatan mitigasi
nasional, serta memenuhi persyaratan internasional.
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 6.2. Kerangka pikir pedoman pengukuran karbon dalam Sistem MRV untuk penerapan REDD+
A. Prinsip MRV dan Perhitungan Emisi
Aksi pengurangan emisi suatu negara harus dapat diukur
(Measurabel),dapat dilaporkan ( Reportable), dan dapat diverifikasi (Verifiable).
Presiden memberikan arahan agar Indonesia harus siap dengan MRV nasional
yang sesuai standar internasional. Meskipun demikian hendaknya penyesuaian
MRV nasional dengan standar internasional tersebut dipandang sebagai
mekanisme penurunan emisi yang berpotensi besar. Ditinjau dari keefektifan
biaya (cost effective.) REDD+, maka prinsip MRV yang akan diterapkan untuk
REDD+, yaitu:
1. Menggunakan IPCC Guidelines terbaru (2006) : AFOLU (Agriculture,
Forestry, Other Land Use)
2. Kombinasi mentode inventarisasi penginderaan jauh (remote-sensing
inventory) & didasarkan pengamatan lapangan (ground-based inventory)
3. Memperhitungkan ke lima penumpukan karbon (carbon pools)
4. Hasil penghitungan : transparan dan terbuka untuk review dan diakses
oleh publik
Untuk mendukung prinsip MRV tersebut, maka perhitungan emisi
termasuk REDD+ harus didasarkan kepada data perubahan tutupan hutan dari
hasil remote sensing, penggunaan faktor emisi dan faktor serapan karbon lokal
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
serta tersedianya data kegiatan seperti perubahan luas berbagai penutupan
lahan sub kategori hutan, luas hutan tanaman (hasil kegiatan misalnya program
RHL/GERHAN, HTI, HTR, HR) serta angka kerusakan hutan seperti dampak
pembalakkan, kebakaran, perambahan dan data pendukung lainnya.
Data cadangan karbon dan perubahannya didasarkan kepada IPCC-GL
2006, yang memperhitungkan lima sumber penumpukan karbon (carbon pools).
Metode pengukuran karbon di lapangan dengan menempatkan plot-plot contoh
telah dikembangkan (McDicken 1997, IPCC GL, 2006, Kurniatun dan Rahayu,
2007, GOFC-Gold, 2009). Lima penumpukan karbon yaitu :
1. Biomassa di atas tanah (above ground biomass),
2. Biomassa di bawah tanah (below ground biomass),
3. Pohon yang mati (dead wood),
4. Serasah (litter),
5. Tanah mineral (mineral soil)
Metode perhitungan penurunan emisi dari kegiatan REDD+, yang diakui
internasional seperti metode IPCC GL. IPCC (Inter Governmental panel on
Climate Change) telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun
1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance
(IPCC GPG) 2003 dan IPCC Guideline (GL) 2006.
IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan diperbaharui
dengan IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi
yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainity), konsisten
pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh
kategori lahan, karbon pool yang relevan serta non CO2 gas (berdasarkan
analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data
untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, karbon pool
dan non-CO2 gas yang terkait.
LULUCF IPCC GPG 2003 dan GL 2006, membagi kategori lahan
kedalam 6 kategori yaitu: (1) lahan hutan (Forest land), (2) padang rumput (
Grassland), (3) Lahan pertanian (Crospland), (4) Lahan gambut (Wetland), (5)
Permukiman (Settlement), and (6) lahan lainnya (Other land). Setiap kategori
penggunaan lahan memiliki potensi GRK yang berbeda tergantung pada tingkat
aktivitas yang terjadi pada masing-masing penggunaan lahan tersebut
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Kategori penggunaan lahan versi IPCC 2006, apabila dihubungkan
dengan pembagian kelas tutupan hutan versi Departemen Kehutanan (Dirjen
Planologi) Indonesia seperti tampak pada Tabel 6.1.
Tabel 6.1. Pembagian kategori hutan Indonesia ke dalam IPCC Guideline 2006.
Untuk kepentingan REDD+, metode penghitungan penurunan emisi
menggunakan IPCC GL, 2006 telah disediakan instrumen perhitungan (
spreadsheet Excel). Pada prinsipnya besarnya emisi adalah hasil perkalian
antara data aktivitas (activity data) dengan faktor emisi ( emission factor). Untuk
data aktivitas REDD+ harus menggunakan data spasial dengan resolusi yang
baik, yang dapat memantau terjadinya perubahan penutupan lahan sesuai
dengan kategori penutupan lahan IPCC. Sedangkan untuk faktor emisi dan
serapan karbon harus menggunakan data lokal dari hasil pengukuran lapangan
(hasil pengukuran karbon pada plot standar). Pengukuran persediaan karbon di
lapangan pada dasarnya untuk mendapatkan kerincian yang tinggi (Tier 3).
Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi metode IPCC GL adalah
terletak pada terminologi perubahan tutupan lahan yang digunakan, termasuk
pendefinisiannya serta standar kriteria dan indikator penetapannya.
Operasionalisasi terminologi perubahan tutupan lahan ini akan berkaitan dengan
penetapan nilai faktor emisi akibat perubahan tutupan lahan dimaksud. Ketidak
jelasan definisi dan kriteria yang digunakan, akan menyebabkan bias dalam
penentuan nilai indeks faktor emisi perubahan tutupan lahan dalam formulasi
perhitungan dengan metode IPCC-GL
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.2. Daftar tabel-tabel excel yang digunakan dalam inventarisasi GRK sektor kehutanan menurut IPCC Guideline 2006.
Untuk MRV dan penghitungan karbon (carbon accounting) dikenal ada
tiga tingkat (tier): tier 1, 2 dan 3. Makin tinggi tier makin rinci. Tier 1
menggunakan parameter dan formula default global, Tier 2 menggunakan
parameter spesifik nasional, sedangkan Tier 3 menggunakan metode, model dan
inventarisasi yang dilakukan secara berulang pada skala lokal. Penghitungan
emisi karbon pada tingkat unit pengelolaan hutan ada dalam MRV Tier 3. Metode
perhitungan karbonnya dapat dilakukan dengan dua pendekatan (IPCC, 2006)
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
yaitu “perbedaan stok” (stock-difference approach) dan “tambah-hilang” (gain-
loss approach).
Pendekatan perbedaan stok adalah menghitung beda stok karbon pada
dua waktu yang berbeda. Ini dapat digunakan jika kedua stok karbon telah
diukur, misalnya melalui inventarisasi hutan berkala pada plot permanen.
Pendekatan ini dapat digunakan untuk menduga emisi karbon yang terjadi
sebagai akibat baik oleh deforestasi maupun degradasi hutan ataupun aksi
mitigasi. Untuk pembalakan tebang pilih (selective logging) seperti Tebang Pilih
Tanam Indonesia (TPTI), data hutan utuh (firgin forest) dapat digunakan untuk
hutan yang belum ditebang. Deforestasi umumnya disebabkan oleh konversi
lahan baik secara terencana maupun tidak direncanakan. Sedangkan degradasi
hutan disebabkan oleh pembalakan sistem tebang pilih, kebakaran hutan skala
luas, perambahan hutan skala luas dan penggunaan hutan untuk
pertanian/perkebunan. Formulasi umum perhitungan perbedaan stock carbon
pada dua waktu pengukuran adalah
Gambar 6.3. Pendekatan perbedaan stok karbon (IPCC, 2006; Angelsen dkk, 2008)
Pendekatan “tambah-hilang” merupakan pendekatan berdasarkan konsep
ekologi hutan, yaitu bagaimana hutan tumbuh dan bagaimana hutan terganggu
atau ditebang. Pendekatan ini memperkirakan neraca bersih dari penambahan
dan penghilangan karbon. Penambahan karbon diperoleh dari pertumbuhan dan
perpindahan antara penumpukan karbon. Misalnya dari karbon pada biomassa
tumbuhan ke karbon tanah. Kehilangan karbon bisa terjadi oleh pemanenan
kayu, kebakaran dan lain-lain. Petak ukur permanen (PUP) diperlukan untuk
memperkirakan pertambahan karbon tiap tahun. Formula umum perhitungan
perbedaan karbon dengan pengekatan “Tambah-Hilang” sebagai berikut:
Stok Karbon
Tahun ke-1
Stok Karbon
Tahun ke-2 ∆C = (Ct2 - Ct1)/(t2-t1) dimana, ∆C = Perubahan stok karbon tahunan (tC/tahun) Ct1 = Karbon stok pada t1 (tC) Ct2 = Karbon stok pada t2 (tC)
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-9
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 6.4. Pendekatan tambah-hilang karbon (IPCC, 2006; Angelsen dkk,
2008)
Untuk kepentingan penilaian keberhasilan aksi REDD+ pada unit
pengelolaan hutan, maka hubungan antara Kegiatan (Activity), tujuan (Objektive),
luaran (Output), dampak (Outcome) dan indikator (Indicator) yang dapat
digunakan seperti dideskripsikan pada Tabel 6.3.
Tipe
Penggunaan
Lahan Pemanenan Gangguan
Pe
ng
am
bil
an
Ca
rbo
n l
ew
at
pe
rtu
mb
uh
an
∆C = ∆Cgain – ∆Closs dimana, ∆C = Perubahan stok karbon tahunan (tC/tahun) ∆Cgain = Penambahan karbon tiap tahun tC/tahun) ∆Closs = Kehilangan karbon tiap tahun (tC/tahun)
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-10
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.3. Tujuan, output, outcome dan indikator REDD+ pada unit pengelolaan hutan (Modifikasi dari UNEP, 2009 dalam Purbawiyatna, 2012)
Kegiatan Output Outcome Indikator
Penurunan Deforestasi
(“D” Pertama)
Pendekatan dan metode untuk: • PHL (pengelolaan Hutan Lestari) • Konservasi keanekaragaman hayati • Konservasi stok karbon • Kebijakan dan insentif untuk
menurunkan konversi hutan
1. Pelaksanaan (commiting) hutan sebagai rosot karbon dan stabilisasi kawasan hutan dengan tutupan pohon.
2. Sinergi mitigasi dan adaptasi untuk mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
• Kawasan hutan yang dikonservasi (Ha)
• Reduksi emisi CO2 (ton)
Penurunan degradasi hutan (“D” Kedua)
• Pendekatan dan metode untuk PHL • Kebijakan dan insentif untuk adopsi
PHL sebagai praktek untuk penurunan GRK
• RIL dan SVLK
1. Pengembalian hutan sebagai rosot karbon
2. Sistem PHL dilaksanakan. 3. Sinergi mitigasi dan adaptasi untuk
mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim.
• Reduksi emisi CO2
(ton) • % tutupan tajuk pohon • Peningkatan % dalam karbon tanah
Peningkatan stok
karbon di hutan dan bukan hutan (“+” pada REDD+)
Pendekatan dan metode untuk • Pengelolaan lanskap: • Aforestasi, reforestasi, agroforestry,
pengayaan karbon tanah • Peningkatan stok karbon dan
pengurangan emisi CO2 di lahan pertanian
• Konservasi keanekaragaman hayati • Peningkatan produktivitas dan
penghidupan masyarakat.
1. Pengembalian rosot karbon yang hilang dalam lanskap
2. Pembuatan karbon pool yang baru dalam lanskap.
3. Pengelolaan lahan untuk beragam jasa lingkungan
4. Pengembangan kebijakan untuk pengelolaan lahan terpadu melalui pendekatan ekosistem
• Lahan yang teraforestasi dan terreforestasi (Ha)
• Lahan yang kembali di-restorasi (Ha) • Peningkatan karbon stok (ton) di
lahan hutan dan bukan hutan • Peningkatan karbon tanah (%) • Lapangan kerjaan yang tersedia
Pendekatan Pengukuran Keberhasilan Rencana Aksi dan Sistem Monitoring 6-11
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 6.3 di atas menunjukkan bagaimana pengelolaan hutan lestari
berperan dalam kegiatan REDD+ pada tingkat unit pengelolaan hutan. Lawas
REDD+ terfokus pada penurunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan dan
peningkatan stok karbon. Informasi dari kegiatan pengurangan deforestasi
merupakan pendekatan dan metode untuk pengelolaan hutan lestari yang
meliputi konservasi karbon dan keanekaragaman hayati serta kebijakan dan
insentif untuk mengurangi konversi hutan. Sedangkan hasil nyata dari kegiatan
deforestasi berupa pelaksanaan pengelolaan hutan dinilai sebagai rosot (sink)
karbon serta sinergi dengan kegiatan adaptasinya. Indikator dari penurunan
deforestasi adalah kawasan hutan yang tetap sebagai hutan (Ha) dan penurunan
emisi karbon (ton) yang diserap oleh hutan untuk pertumbuhan (carbon stock).
Untuk penurunan degradasi hutan, luarannya adalah pendekatan dan
metoda pengelolaan hutan lestari serta kebijakan dan insentif untuk adopsi
model pengelolaan hutan lestari sebagai praktek untuk menurunkan GRK (RIL,
PHPL/SVLK). Hasil dari kegiatan ini adalah pengembalian hutan sebagai rosot
karbon, sebagai akibat terlaksananya sistem pengelolaan hutan lestari dan
sinergi antara mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.. Indikator keberhasilannya
adalah penurunan emisi karbon (ton), peningkatan tutupan tajuk (%) dan
peningkatan karbon tanah (%). Sedangkan kegiatan peningkatan sediaan karbon
hutan menghasilkan pendekatan dan metode pengelolaan lanskap, aforestasi,
reforestasi, agroforestry, pengayaan karbon tanah, peningkatan stok karbon di
lahan pertanian, konservasi keanekaragaman hayati dan peningkatan
penghidupan masyarakat. Kegiatan ini di antaranya akan mengembalikan rosot
karbon yang hilang dan membuat sediaan karbon yang baru. Indikator
keberhasilannya adalah lahan berhutan baru atau hasil reforestasi, peningkatan
sediaan karbon dan tersedianya lapangan kerja baru.
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
MATRIKS STRATEGI DAN
RENCANA AKSI PROVINSI
UNTUK MEWUJUDKAN
REDD+ DI PAPUA BARAT
7.1. Skenario pengurangan Emisi GRK sektor hutan dan lahan di Provinsi Papua Barat.
Penyusunan garis acuan (baseline) dengan pendekatan sebagaimana
direncanakan (Bussiness as Usual/BAU) untuk penyusunan skenario REDD+
Papua Barat dilakukan dengan menggunakan pendekatan kejadian masa
lampau (Historical Based), yaitu penyusunan BAU dengan menggunakan data-
data konversi hutan dan pengunaan lahan dan perubahan penggunaan lahan
(Land Used and Land Used Change and Forestry/LULUCF) di masa lalu serta
faktor-faktor mempengaruhinya. Dengan Pendekatan ini akan dihasilkan
jumlah emisi dari Konversi hutan, penggunaan lahan dan perubahan
penggunaan lahan (LULUCF) yang telah terjadi. Rangkuman dari metode ini
akan menghasilkan matriks perubahan penggunaan lahan dalam periode
tertentu, tergantung pada periode data yang digunakan. Untuk Provinsi Papua
Barat, periode data yang digunakan adalah periode data tahun 2006 sampai
tahun 2011. Selain itu dilakukan pula perhitungan baseline emisi Provinsi
Papua Barat berdasarkan rencana-rencana pembangunan yang tertuang dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) dan Rencana Tata Ruang di
tingkat kabupaten/kota (RTRWK) sebagai kejadian akan datang (Forward
Looking). Acuan emisi berdasarkan data masa lampu, RTRW Provinsi dan
RTRW Kabupaten/Kota di Provinsi Papua Barat dapat dilihat pada Gambar 7.1.
Bab 7
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 7.1. Garis acuan emisi di Provinsi Papua Barat
Gambar 7.1 menunjukkan bahwa emisi kumulatif di Provinsi Papua Barat
berdasarkan data histori akan semakin meningkat secara linear dengan semakin
panjangnya periode simulasi sesuai dengan tingkat perubahan penggunaan
lahan. Sebagai contoh, pada periode 0 (2006-2011) emisi kumulatif sebesar
25.314.851 ton CO2-eq, pada periode 1 (2011-2016) emisi kumulatif sebesar
50.228.982 CO2-eq dan akan meningkat pada periode 2 (2016-2021) sebesar
74.759.647 CO2-eq. Jumlah emisi kumulatif ini akan sangat berbeda jika
dibandingkan dengan jumlah emisi kumulatif yang akan terjadi, apabila rencana
perubahan kawasan hutan dalam Tata Ruang Provinsi (RTRWP) direalisasikan
seluruhnya. Berdasarkan RTRWP, luas kawasan hutan yang akan dikonversi
menjadi penggunaan lain seluas 639.739 Ha, dengan rincian Hutan Konservasi
seluas 54.336 Ha, Hutan Lindung (HL) seluas 83.006 ha, Hutan Produksi (HP)
seluas 152.269 Ha dan Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 350.128 Ha. Jika
rencana ini diimplementasikan, maka secara langsung emisi kumulatif Provinsi
Papua Barat akan semakin meningkat sejalan dengan kemajuan realisasi
pemanfaatan lahan hutan tahunan yang direncanakan dalam RTRWP. Jumlah
emisi kumulatif tersebut akan semakin meningkat lagi, jika yang menjadi acuan
perhitungan emisi adalah realisasi rencana konversi lahan hutan yang diusulkan
sesuai Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK). Total luas
-
20,000,000
40,000,000
60,000,000
80,000,000
100,000,000
120,000,000
140,000,000
160,000,000
180,000,000
200,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Periode (Tahun)
Data Historis
RTRW Provinsi
RTRW Kab/Kota
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-3
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
hutan yang diusulkan untuk dikonversi di 11 (sebelas) kabupaten/kota, adalah
2.012.273 Ha, atau sekitar ± 3 kali lipat dari luas yang direncanakan dalam
RTRWP. Dengan demikian maka seluruh Hutan Produksi Konversi (HPK) yang
tersedia akan dialihfungsikan menjadi Areal Penggunaan Lain (APL) selama
periode implementasi RTRWK.
Garis dasar (base line) emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data
histori, RTRWK dan RTRWP disajikan pada Tabel 7.1..
Tabel 7.1. Garis Dasar emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data histori, RTRWK dan RTRWP
Berdasarkan data emisi kumulatif pada dua periode perencanaan lima
tahunan di Provinsi Papua Barat, maka sesuai dengan komitmen presiden RI
untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2020 sebesar 26%
dari total emisi nasional tanpa adanya bantuan pihak asing dan sebesar 41%
dengan bantuan pihak asing, maka Provinsi Papua Barat wajib melakukan
mitigasi untuk mendukung pencapaian target nasional tersebut.
Atas dasar garis acuan emisi BAU tersebut, maka dirancang berbagai
skenario aksi mitigasi pengurangan deforestasi, degradasi hutan dan lahan serta
upaya peningkatan serapan karbon hutan melalui serangkaian strategi kebijakan
dan program pembangunan sektor kehutanan Provinsi Papua Barat
sebagaimana diringkaskan dalam matriks Tabel 7.2.
Periode I Periode II
1 Data History 50,228,983 74,759,648
2 RTRWP 100,750,322 175,802,327
3 RTRWK 209,141,763 392,585,209
Net Emisi (ton CO2-eq)No. Baselined Emisi
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-4
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.2. Skenario penurunan emisi dengan garis acuan didasarkan pada data masa lampau dan data RTRWP/RTRWK
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-5
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.2. (lanjutan)…
Histori RTRWP RTRWK NasHut (26%) NasHut (41%) NasTot (26%) NasTot (41%)
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
20% 308,347 0.61 0.31 0.15 0.046 0.030 0.040 0.026
40% 616,694 1.23 0.61 0.29 0.092 0.059 0.080 0.052
60% 925,042 1.84 0.92 0.44 0.138 0.089 0.121 0.078
80% 1,233,389 2.46 1.22 0.59 0.184 0.119 0.161 0.104
20% 997,796 1.99 0.99 0.48 0.148 0.096 0.130 0.084
30% 1,496,693 2.98 1.49 0.72 0.223 0.144 0.195 0.126
40% 1,995,591 3.97 1.98 0.95 0.297 0.192 0.260 0.168
50% 2,494,489 4.97 2.48 1.19 0.371 0.240 0.325 0.210
60% 2,993,387 5.96 2.97 1.43 0.445 0.288 0.390 0.252
70% 3,492,285 6.95 3.47 1.67 0.520 0.336 0.455 0.294
80% 3,991,183 7.95 3.96 1.91 0.594 0.384 0.520 0.336
90% 4,490,080 8.94 4.46 2.15 0.668 0.432 0.585 0.378
100% 4,988,978 9.93 4.95 2.39 0.742 0.480 0.650 0.420
20% 352,339 0.70 0.35 0.17 0.052 0.034 0.046 0.030
40% 704,678 1.40 0.70 0.34 0.105 0.068 0.092 0.059
60% 1,057,018 2.10 1.05 0.51 0.157 0.102 0.138 0.089
80% 1,409,357 2.81 1.40 0.67 0.210 0.136 0.184 0.119
20% 16,047 0.03 0.02 0.01 0.002 0.002 0.002 0.001
40% 32,094 0.06 0.03 0.02 0.005 0.003 0.004 0.003
60% 48,140 0.10 0.05 0.02 0.007 0.005 0.006 0.004
80% 64,187 0.13 0.06 0.03 0.010 0.006 0.008 0.005
40.74 35.36 32.58 12.40 8.02 10.86 7.01 Jumlah
8Hutan Tanaman
Rakyat
9 Hutan Kota
6 RHL
7Pengukuhan
Kawasan Hutan
Periode I
ton CO2-eqKontribusi (%)
No. Mitigasi Skenario
Kontribusi Penurunan Net Emision
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-6
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.2. (lanjutan)…
Histori RTRWP RTRWK NasHut (26%) NasHut (41%) NasTot (26%) NasTot (41%)
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
10% 15,891,278 7.60 2.365 2.072 1.529 1.337
20% 31,782,556 15.20 4.730 4.144 3.059 2.673
30% 47,673,834 22.79 7.094 6.216 4.588 4.010
10% 5,052,134 5.01 0.752 0.659 0.486 0.425
20% 10,104,268 10.03 1.504 1.317 0.972 0.850
30% 15,156,402 15.04 2.255 1.976 1.459 1.275
60% 3,737,955 5.00 2.13 0.95 0.556 0.487 0.360 0.314
70% 2,787,923 3.73 1.59 0.71 0.415 0.363 0.268 0.234
80% 1,848,253 2.47 1.05 0.47 0.275 0.241 0.178 0.155
25% 688,238 0.92 0.39 0.18 0.102 0.090 0.066 0.058
50% 1,382,304 1.85 0.79 0.35 0.206 0.180 0.133 0.116
75% 2,082,199 2.79 1.18 0.53 0.310 0.271 0.200 0.175
100% 2,787,923 3.73 1.59 0.71 0.415 0.363 0.268 0.234
RKT RIL
25% 4,168,850 5.58 2.37 1.06 0.620 0.544 0.401 0.351
50% 4,601,843 6.16 2.62 1.17 0.685 0.600 0.443 0.387
75% 5,036,935 6.74 2.87 1.28 0.750 0.657 0.485 0.424
100% 5,474,125 7.32 3.11 1.39 0.815 0.714 0.527 0.460
25% 3,285,398 4.39 1.87 0.84 0.489 0.428 0.316 0.276
50% 3,785,729 5.06 2.15 0.96 0.563 0.494 0.364 0.318
75% 4,288,916 5.74 2.44 1.09 0.638 0.559 0.413 0.361
100% 4,794,959 6.41 2.73 1.22 0.714 0.625 0.461 0.403
25% 2,410,812 3.22 1.37 0.61 0.359 0.314 0.232 0.203
50% 2,977,101 3.98 1.69 0.76 0.443 0.388 0.287 0.250
75% 3,547,120 4.74 2.02 0.90 0.528 0.462 0.341 0.298
100% 4,120,869 5.51 2.34 1.05 0.613 0.537 0.397 0.347
5
60%
70%
80%
3 RKT
4 RIL
1 RTRWK
2 RTRWP
Skenario
Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode 2
ton CO2-eqKontribusi (%)
No. Mitigasi
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-7
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.2. (lanjutan)…
Histori RTRWP RTRWK NasHut (26%) NasHut (41%) NasTot (26%) NasTot (41%)
12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
20% 1,129,128 1.51 0.64 0.29 0.168 0.147 0.109 0.095
40% 2,258,256 3.02 1.28 0.58 0.336 0.294 0.217 0.190
60% 3,387,384 4.53 1.93 0.86 0.504 0.442 0.326 0.285
80% 4,516,512 6.04 2.57 1.15 0.672 0.589 0.435 0.380
20% 1,995,591 2.67 1.14 0.51 0.297 0.260 0.192 0.168
30% 2,993,387 4.00 1.70 0.76 0.445 0.390 0.288 0.252
40% 3,991,183 5.34 2.27 1.02 0.594 0.520 0.384 0.336
50% 4,988,978 6.67 2.84 1.27 0.742 0.650 0.480 0.420
60% 5,986,774 8.01 3.41 1.52 0.891 0.781 0.576 0.504
70% 6,984,569 9.34 3.97 1.78 1.039 0.911 0.672 0.587
80% 7,982,365 10.68 4.54 2.03 1.188 1.041 0.768 0.671
90% 8,980,161 12.01 5.11 2.29 1.336 1.171 0.864 0.755
100% 9,977,956 13.35 5.68 2.54 1.485 1.301 0.960 0.839
20% 1,290,432 1.73 0.73 0.33 0.192 0.168 0.124 0.109
40% 2,580,864 3.45 1.47 0.66 0.384 0.336 0.248 0.217
60% 3,871,296 5.18 2.20 0.99 0.576 0.505 0.373 0.326
80% 5,161,728 6.90 2.94 1.31 0.768 0.673 0.497 0.434
20% 57,360 0.08 0.03 0.01 0.009 0.007 0.006 0.005
40% 114,719 0.15 0.07 0.03 0.017 0.015 0.011 0.010
60% 172,079 0.23 0.10 0.04 0.026 0.022 0.017 0.014
80% 229,439 0.31 0.13 0.06 0.034 0.030 0.022 0.019
42.65 33.18 30.92 14.09 12.35 9.12 7.97Jumlah
8Hutan Tanaman
Rakyat
9 Hutan Kota
6 RHL
7Pengukuhan
Kawasan Hutan
Skenario
Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode 2
ton CO2-eqKontribusi (%)
No. Mitigasi
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-8
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
7.2. Matrik Rencana Aksi Provinsi Dalam Rangka Implementasi REDD+
Kegiatan di sektor kehutanan yang potensial berpeluang menekan
terjadinya perubahan emisi GRK dapat dibagi menjadi tiga katagori, yaitu
konservasi, peningkatan pengambilan karbon dan substitusi penggunaan bahan
bakar fosil dengan bahan bakar nabati (Biofuel). Kegiatan konservasi meliputi
perlindungan hutan dari deforestasi dan degradasi akibat kegiatan manusia.
Peningkatan pengambilan karbon (rosot) dilakukan melalui peningkatan luas
hutan dengan penanaman pohon di lahan kritis, gundul atau semak belukar di
dalam kawasan hutan (reforestasi) dan bukan hutan (afforestasi) serta
pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem pengelolaan yang
berkelanjutan. Penggantian bahan bakar fosil dengan energi biomassa akan
mengurangi emisi GRK secara langsung sebagai akibat pengurangan tingkat
konsumsi bahan bakar fosil dan penanaman lahan kosong untuk memproduksi
biomassa.
Potensi penurunan emisi tentunya dapat dilakukan dengan meningkatkan
kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan karbon. Sektor kehutanan
mempunyai potensi besar untuk menyerap karbon (removal) melalui pembuatan
tanaman dan pertumbuhan hutan. Selain itu, upaya-upaya untuk mengurangi laju
deforestasi, kebakaran hutan serta peningkatan serapan karbon melalui
pertumbuhan dan pembangunan hutan tanaman akan sangat menentukan
seberapa besar kapasitas hutan dalam menyerap emisi atau meningkatkan
serapan (sink) GRK terutama CO2.
Pada sisi lain, terdapat pula kegiatan di sektor kehutanan yang
berdampak negatif terhadap kemampuan hutan dalam menyerap dan
menyimpan karbon. Faktor-faktor pemicu deforestasi dan degradasi yang telah
diidentifikasi yaitu penebangan liar; kebakaran hutan; dan konversi lahan hutan
untuk kegiatan-kegiatan lain seperti areal perkebunan dan pertanian, pemekaran
wilayah (kabupaten), pertambangan dan pemukiman. Keseluruhan faktor-faktor
yang mempengaruhi kemampuan hutan untuk menurunkan emisi tersebut
menjadi prediktor pembentuk model untuk memprediksi kontribusi kehutanan
dalam penurunan emisi 26 persen seperti yang telah ditargetkan oleh Presiden
RI. Dalam usaha penurunan emisi dari sektor kehutanan, diperlukan sinergitas
dengan sektor-sektor lain terutama kebijakan sektor berbasis lahan yang
seringkali memiliki kepentingan yang berlawanan. Kesinambungan kebijakan
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-9
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
pengelolaan hutan dengan sektor lainnya akan sangat mendukung keberhasilan
pencapaian target penurunan emisi nasional tersebut.
Data perubahan lahan berdasarkan kejadian masa lampau (histori) di
Provinsi Papua Barat pada periode 2006-2011 menunjukkan bahwa perubahan
lahan terbesar di Provinsi Papua Barat terjadi pada Hutan Produksi, seperti pada
Tabel 7.3.
Tabel 7.3. Rata-rata perubahan tutupan lahan terbesar tiap tahun di Provinsi Papua Barat.
Ket: HP: HLKP: Hutan Lahan Kering Primer, HLKS: Hutan Lahan Kering Sekunder, BR: Belukar Rawa, HRS: Hutan Rawa Sekunder, SB: Semak Belukar, HRP: Hutan Rawa Primer, HRS: Hutan Rawa Sekunder, KBN: Perkebunan, HMP; Hutan Mangrove Primer, HMS: Hutan Mangrove Sekunder.
Tabel 7.4. Konstribusi emisi potensial sektor kehutanan Provinsi Papua Barat
Perubahan tutupan lahan pada hutan produksi sebagai akibat berbagai
aktivitas pemanfaatan terutama aktivitas logging menyebabkan perubahan dari
Hutan Lahan kering Primer (HLKP) menjadi Lahan Kering Sekunder (HLKS),
Hutan Rawa Primer (HRP) menjadi Hutan Rawa Sekunder (HRS), Hutan
Mangrove Primer (HMP) menjadi Hutan Mangrove Sekunder (HMS). Perubahan
tutupan lahan tersebut (degradasi hutan) diasumsikan menjadi sumber emisi
utama sektor kehutanan di Papua Barat (46,52%). Alih fungsi hutan (deforestasi)
memberikan sumbangan emisi sebesar 9,20%, sedangkan emisi yang terjadi
secara alami pada kawasan gambut memberikan sumbangan yang cukup besar
yaitu sebesar 30,89%. Berdasarkan seluruh faktor potensial penyebab emisi
Awal Perubahan
1 Hutan Produksi Konversi HLKP HLKS 55,061 1,037,718 20.40
2 Gambut Kawasan Hutan BR BR 34,582 657,053 12.91
3 Hutan Produksi HLKP HLKS 28,862 543,946 10.69
4 Gambut Kawasan Hutan HRS HRS 3,486 529,059 10.40
5 Hutan Produksi Terbatas HLKP HLKS 27,776 523,479 10.29
6 Gambut Kawasan Hutan SB SB 20,281 385,330 7.57
7 Hutan Produksi Konversi HLKS KBN 4,787 374,599 7.36
8 Hutan Produksi Konversi HRP HRS 5,953 178,980 3.52
9 Hutan Produksi HLKS KBN 1,192 93,245 1.83
10 Hutan Produksi Konversi HMP HMS 2,253 82,614 1.62
Proporsi (%)NoTutupan
Tipe Hutan Luas (Ha)Nett Emision (ton
CO2-eq/year)
No.Sumber
EmisiLuas (Ha)
Net Emisi (CO2-
eq)/year
Proporsi
(%)
1 Degradasi 119,904 2,366,738 46.52
2 Deforestasi 5,979 467,845 9.20
3 Alami 58,349 1,571,443 30.89
184,232 4,406,025 86.60Jumlah
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-10
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
tersebut, beberapa opsi mitigasi yang direncanakan untuk mengurangi emisi
sektor kehutanan adalah :
1. Pengurangan Konversi Hutan dalam RTRWK dan RTRWP
Berdasarkan RTRWP, luas kawasan hutan yang akan dikonversi
menjadi penggunaan lain seluas 639.739 Ha, sedangkan berdasarkan
RTRWK se-Provinsi Papua Barat, luas hutan yang akan dialih fungsikan
seluas 2.012.273 Ha. Konversi hutan ini tentunya akan memberikan
kontribusi yang sangat nyata tehadap total emisi Papua Barat.
Perbedaan garis acuan emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data
masa lampau, RTRWK dan RTRWP disajikan pada Gambar 7.2.
Gambar 7.2. Perbedaan garis acuan emisi Provinsi Papua Barat berdasarkan data masa lampau, RTRWK dan RTRWP
Berdasarkan gambar di atas, maka aksi mitigasi pengurangan
konversi hutan dalam RTRWP dan RTRWK di skenariokan sebagai
mana pada Tabel 7.5 dengan kontribusi yang diproporsikan terhadap net
emisi yang dihasilan pada akhir periode pengukuran (tahun 2020).
-
50,000,000
100,000,000
150,000,000
200,000,000
250,000,000
300,000,000
350,000,000
400,000,000
450,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Periode (Tahun)
Data Historis
RTRW Provinsi
RTRW Kab/Kota
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-11
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.5. Kontribusi penurunan net emisi pada berbagai skenario mitigasi pembatasan konversi hutan dalam RTRWP dan RTRWK
Data pada Tabel 7.5 menunjukkan bahwa jika luas hutan yang
dikonversi dalam RTRWP atau RTRWK dapat dikurangi sekitar 10% dari
luas yang disulkan, maka dapat memberikan kontribusi penurunan emisi
sebesar 5,01% untuk RTRWP dan 7,60% untuk RTRWK. Kontribusi ini
akan semakin meningkat dengan semakin berkurangnya luas hutan yang
dikonversi. Pembatasan konversi ini sangat dimungkinkan karena dari
seluruh areal yang diusulkan untuk dikonversi, 8% merupakan Hutan
Konservasi dan 13% merupakan Hutan Lindung. Akan lebih bijaksana jika
konversi hutan dan kedua fungsi peruntukan tersebut dapat dihindari,
karena proses konversi tersebut akan mengikuti prosedur pelepasan
kawasan yang sangat panjang. Demikian juga bila areal hutan produksi
yang diizinkan dikonversi adalah hutan produksi konversi benar-benar
tidak dapat dipertahankan sebagai hutan produksi (potensi kayu sangat
miskin) dan topografi relatif datar (lereng < 15%).
2. Penurunan Luas Areal RKT Pemegang IUPHHK
Para pemegang IUPHHK memainkan peran yang cukup nyata
dalam upaya mitigasi perubahan iklim melalui pencegahan degradasi
hutan di Indonesia. Data Rencana Kehutanan Tingkat Nasional Tahun
2011-2030 menunjukkan bahwa kurang lebih 34 juta hektar hutan
Indonesia berada dibawah pengelolaan pemegang ijin IUPHHK Hutan
Alam dan Hutan Tanaman. Untuk Provinsi Papua Barat, kawasan hutan
produksi yang menjadi areal konsesi IUPHHK seluas 4.620.800 Ha, atau
hampir setengah dari luas kawasan hutan provinsi Papua Barat..
Pengurangan emisi dari deforestasi baik melalui Pengelolaan Hutan
ton CO2-eq % ton CO2-eq %
10% 15,891,278 7.60 15,891,278 7.60
20% 31,782,556 15.20 31,782,556 15.20
30% 47,673,834 22.79 47,673,834 22.79
10% 5,052,134 5.01 5,052,134 5.01
20% 10,104,268 10.03 10,104,268 10.03
30% 15,156,402 15.04 15,156,402 15.04
2 RTRWP
Mitigasi
1 RTRWK
Periode I Periode 2
Kontribusi Penurunan Net Emisi
No. Skenario
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-12
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Produksi Lestari (PHPL)/Sustainable Forest Management atau Improved
Forest Management (IFM), rehabilitasi, peningkatan serapan karbon dan
upaya-upaya lain dalam pengelolan hutan menjadi sangat penting.
Penurunan luas areal Rencana Kerja Tahunan (RKT) bagi
pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK)
merupakan salah satu pilihan mitigasi yang diusulkan. Mitigasi ini
tercantum dalam 7 (tujuh) rencana mitigasi Kementerian Kehutanan
sebagai strategi untuk menurunkan emisi GRK di sektor kehutanan
sebesar 56% dari target 26%. Berdasarkan data Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Provinsi Papua Barat, selama ini realisasi luas tebangan
RKT oleh pemegang IUPHHK hanya ± 60% dari luas RKT yang disetujui.
Selain itu pemegang IUPHHK lebih memprioritaskan penebangan kayu
jenis Merbau saja. Dampak yang ditimbulkan model pembalakkan ini
adalah tingkat keterbukaan areal bekas tebangan tinggi dan tingkat
kerusakan tegakan tinggal meningkat, terutama pada areal-areal yang
potensi kayu merbau tinggi. Perusahaan juga cenderung membuka areal
hutan lebih luas untuk mencari habitat pertumbuhan merbau. Pada sisi
lain, akibat pemberian RKT yang melebihi kemampuan perusahaan,
banyak areal hutan yang sebenarnya masih merupakan Hutan Lahan
Kering Primer (HLKP) tetapi sudah dianggap (dikategorikan) sebagai
Hutan Lahan Kering Sekunder (HLKS) karena di dalam peta pemegang
IUPHHK dan peta perubahan lahan sudah dianggap sebagai areal bekas
tebangan (logged over area/LOA). Ketika areal konsesi itu telah menjadi
LOA, asumsinya bahwa areal hutan tersebut telah terbuka dan tutupan
lahan telah berkurang, pada hal masih tersisah 40 % berupa hutan utuh.
Rencana aksi mitigasi penurunan luas areal Rencana Kerja
Tahunan (RKT) pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) diasumsikan dilakukan pada hutan produksi yang berada
dalam wilayah konsesi IUPHHK. Selain itu skenario luas areal RKT yang
disetuji adalah 60%, 70% dan 80% dari luas areal yang diusulan.
Perbandingan antara garis acuan total emisi dan skenario mitigasi
penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK tahun 2006 –
2021 dalam dilihat pada Gambar 7.3.
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-13
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 7.3. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK
Berdasarkan Gambar 7.3 di atas, mengindikasikan bahwa
skenario mitigasi penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK
dapat memberikan kontribusi yang cukup nyata dalam penurunan total
emisi di Provinsi Papua Barat. Semakin besar luas RKT tahunan yang
disetujui maka akan semakin besar emisi yang dihasilkan dan sebaliknya.
Jadi, peningkatan luas RKT akan berbanding terbalik dengan
pengurangan emisi. Besarnya kontribusi penurunan emisi pada mitigasi
penurunan luas RKT dengan berbagai skenario dapat dilihat pada Tabel
7.6 dan Gambar 7.4.
Tabel 7.6. Kontribusi penurunan net emisi pada berbagai skenario mitigasi penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHK
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
RKT 60% 3.990.287 16,02 3.737.955 15,24 70% 2.992.715 12,01 2.787.923 11,37 80% 1.995.143 8,01 1.848.253 7,53
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Periode (Tahun)
BAU
RKT 60%
RKT 70%
RKT 80%
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat
Strategi dan Rencana Aksi
Gambar 7.4. pb
Data di atas menunjukkan bahwa dengan luas RKT perusahaan
yang disetujui setiap tahun sebesar 60% dari yang diusulkan, maka
Provinsi Papua Barat dapat mengurangi net emisi CO
3.990.287 CO2-eq
CO2-eq (15,24%) pada periode 2 (dua). Jumlah emisi yang dapat
dikurangi ini akan semakin kecil dengan semakin besarnya luas areal
RKT tahunan pemegang IUPHHK yang disetujui.
3. Kombinasi antara Penurunan Luas AreaIUPHHK dan Penerapan Metode pemegang IUPHHK.
Aksi mitigasi selanjutnya yang direncanakan di Provinsi Papua
Barat adalah dengan menerapkan metode
pada areal RKT yang tela
pemegang IUPHHK. Aksi mitigasi ini diskenariokan dalam beberapa opsi.
Pertama, luas RKT IUPHHK yang
yang diusulkan. Kedua, keberhasilan implementasi
dengan keberhasilan
Berdasarkan skenario di atas, besarnya kontribusi aksi mitigasi
Penurunan Luas Areal
RIL oleh pemegang IUPHHK
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q)
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perbandingan net emisi pada berbagai skenario penurunan luas areal RKT tahunan pemegang IUPHHKberdasarkan periode
Data di atas menunjukkan bahwa dengan luas RKT perusahaan
yang disetujui setiap tahun sebesar 60% dari yang diusulkan, maka
Provinsi Papua Barat dapat mengurangi net emisi CO2 maksimal sebesar
eq (16,02%) pada periode 1 (satu) dan sebesar
(15,24%) pada periode 2 (dua). Jumlah emisi yang dapat
dikurangi ini akan semakin kecil dengan semakin besarnya luas areal
RKT tahunan pemegang IUPHHK yang disetujui.
Kombinasi antara Penurunan Luas Areal RKT Tahunan Pemegang IUPHHK dan Penerapan Metode Reduced Impact Logging pemegang IUPHHK.
Aksi mitigasi selanjutnya yang direncanakan di Provinsi Papua
Barat adalah dengan menerapkan metode Reduced Impact Logging
pada areal RKT yang telah disetujui sesuai dengan kapasitas produksi
pemegang IUPHHK. Aksi mitigasi ini diskenariokan dalam beberapa opsi.
Pertama, luas RKT IUPHHK yang disetujui berkisar antara 60%
yang diusulkan. Kedua, keberhasilan implementasi RIL diskenariokan
an keberhasilan 25%, 50%, 75%, dan 100%.
Berdasarkan skenario di atas, besarnya kontribusi aksi mitigasi
Penurunan Luas Areal RKT Pemegang IUPHHK dan Penerapan Metode
oleh pemegang IUPHHK, seperti disajikan pada Tabel 7.7.
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
BAU 60% 70% 80%
RKT
2016-2021
2011-2016
2006-2011
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-14
REDD+
kenario mitigasi emegang IUPHHK
Data di atas menunjukkan bahwa dengan luas RKT perusahaan
yang disetujui setiap tahun sebesar 60% dari yang diusulkan, maka
maksimal sebesar
pada periode 1 (satu) dan sebesar 3.737.955
(15,24%) pada periode 2 (dua). Jumlah emisi yang dapat
dikurangi ini akan semakin kecil dengan semakin besarnya luas areal
l RKT Tahunan Pemegang (RIL) oleh
Aksi mitigasi selanjutnya yang direncanakan di Provinsi Papua
Reduced Impact Logging (RIL)
h disetujui sesuai dengan kapasitas produksi
pemegang IUPHHK. Aksi mitigasi ini diskenariokan dalam beberapa opsi.
disetujui berkisar antara 60%-80% dari
RIL diskenariokan
Berdasarkan skenario di atas, besarnya kontribusi aksi mitigasi
RKT Pemegang IUPHHK dan Penerapan Metode
2021
2016
2011
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-15
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.7. Kontribusi aksi mitigasi Penurunan Luas Areal RKT dan Penerapan Metode Reduced Impact Logging oleh pemegang IUPHHK
Data di atas menunjukkan bahwa luas RKT IUPHHK yang
disetujui berbanding terbalik dengan kontribusi penurunan emisi, serta
realisasi RIL berbanding lurus dengan kontribusi penurunan emisi.
Artinya bila realisasi luas RKT sesuai dengan kapasitas produksi
perusahaan dan perusahaan menerapkan prinsip RIL secara konsisten,
maka kontribusi penurunan emisi semakin besar.
4. Penerapan Metode Reduced Impact Logging oleh pemegang IUPHHK
Perubahan praktek logging konvensional ke Pemanenan
berdampak rendah (Reduced impact logging atau RIL) pada umumnya
akan mengurangi emisi karbon melalui: pengurangan kerusakan tegakan
sisa melalui penentuan lokasi arah rebah yang tepat, perbaikan seleksi
pohon yang akan ditebang berdasarkan inventarisasi dengan
mempertimbangkan ukuran dan lokasi pohon, perbaikan teknik
penyaradan (skidding) maupun penataan jalan angkutan kayu.
Pelaksanaan RIL bisa meningkatkan persediaan karbon hutan.
Dari beberapa penelitian RIL hanya mengambil 30% dari biomassa
(Bertault and Sist, 1997) , atau dengan kata lain sisa biomassa di hutan
Periode I Periode 2
RKT RIL ton CO2-eq % ton CO2-eq %
60% 25% 4,439,195 8.84 4,168,850 5.58
50% 4,888,102 9.73 4,601,843 6.16
75% 5,337,009 10.63 5,036,935 6.74
100% 5,785,917 11.52 5,474,125 7.32
70% 25% 3,516,441 7.00 3,285,398 4.39
50% 4,040,166 8.04 3,785,729 5.06
75% 4,563,891 9.09 4,288,916 5.74
100% 5,087,616 10.13 4,794,959 6.41
80% 25% 2,593,687 5.16 2,410,812 3.22
50% 3,192,230 6.36 2,977,101 3.98
75% 3,790,773 7.55 3,547,120 4.74
100% 4,389,316 8.74 4,120,869 5.51
Kontribusi Penurunan Net EmisionMitigasi
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-16
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
sekitar 70%. Bandingkan dengan sisa 50% di hutan akibat pembalakan
konvensional. Peningkatan manajemen hutan diperkirakan akan
meningkatkan karbon stok 30 ton/ha. dihutan setelah 30 tahun
pembalakan (Putz et.al., 2008). TNC (2009) mengemukakan ada lima
cara yang bisa dilakukan untuk mengurangi degradasi hutan yaitu: RIL,
sertifikasi (sustained yield principle), perlindungan kawasan konservasi,
manajemen konflik sosial, pemberantasan pembalakan liar),
pengendalian kebakaran, peningkatan tata kelola dan pengelolaan
pengambilan kayu bakar.
Reduced Impact Logging merupakan salah satu aksi mitigasi yang
direncanakan di Provinsi Papua Barat. Penerapan sistem RIL oleh
pemegang IUPHHK diharapkan dapat meminimalisir kerusakan hutan,
terutama pada tegakan tinggal. Jika RIL dapat diimplementasikan dengan
baik maka jumlah emisi yang diakibatkan oleh eksploitasi hutan dapat
dikurangi hingga 30% (Putz et.al., 2008).
Berdasarkan fakta tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa
pengelolaan hutan lestari akan berperan dalam menyisakan stok karbon
di hutan setelah penebangan (just after harvesting), dan meningkatkan
karbon stok di hutan setelah penebangan dengan pertumbuhan yang
lebih baik. Bila asumsi perbandingan antara RIL (menyisakan 70% stok
karbon di hutan) dan pembalakan konvensional (menyisakan 50% stok
karbon di hutan) benar, maka RIL telah mengkonservasi karbon sebesar
20% dari stok karbon hutan alam. Jadi kalau stok karbon di hutan alam
rata-rata adalah 268 ton/ha, maka RIL telah mengkonservasi karbon
sebesar 54 ton/ha. Pembalakan konvensional bisa dianggap sebagai RL
(reference level) sedangkan RIL dianggap sebagai aktivitas baik sebagai
pengelolaan hutan lestari dan REDD+. Kita barangkali bisa beranggapan
bahwa pengendalian kebakaran, peningkatan tata kelola hutan dan
pengelolaan pengambilan kayu bakar sebagai bagian dari upaya yang
harus dilakukan dalam BAU yang tidak perlu menjadi RL. Penurunan
emisi di bawah RL akan mendapatkan kompensasi dalam skema REDD+.
Sedangkan penurunan emisi dari BAU menuju RL tidak akan
mendapatkan kompensasi karena dianggap penurunan itu sudah
seharusnya dilakukan (direncanakan).
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-17
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perbandingan antara net emisi kumulatif pada base line dengan
berbagai skenario mitigasi penerapan sistem RIL dapat dilihat pada
Gambar 7.5.
Gambar 7.5. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi penerapan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK
Gambar di atas menunjukkan bahwa semakin besar realisasi
implementasi sistem RIL oleh pemegang IUPHHK maka akan semakin
besar jumlah emisi yang dapat dikurangi. Penurunan Net Emisi CO2 pada
berbagai skenario implementasi dapat dilihat pada Tabel 7.8 dan Gambar
7.6
Tabel 7.8. Kontribusi penurunan net emisi pada berbagai skenario mitigasi pelaksanaan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
RIL
25% 748.179 3,00 688.238 2,81 50% 1.496.358 6,01 1.382.304 5,64 75% 2.244.537 9,01 2.082.199 8,49 100% 2.992.716 12,01 2.787.923 11.37
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q/y
ea
r)
Periode (Tahun)
BAU
RIL 25%
RIL 50%
RIL 75%
RIL 100%
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat
Strategi dan Rencana Aksi
Gambar 7.6. Perbandingan pelaksanaan
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa dengan realisasi
implementasi sistem RIL oleh pemegang IUPHHK pada seluruh areal
RKT tahunan sebesar 100%, maka pada periode 1 (satu) Net Emisi yang
dapat diturunkan maksimal sebesar
pada periode 2 (dua) sebesar 2.787.
jumlah tersebut akan semakin berkurang dengan berkurangnya realisasi
impelentasi RIL. Jumlah emisi yang dapat dikurangi berkorelasi positif
dengan realisasi implementasi sistem RIL. Oleh se
yang ketat perlu dilakukan agar mitigasi penerapan sistem RIL dapat
memberikan kon
Aksi mitigasi ini hendaknya menjadi komitmen kebijakan
Provinsi Papua Barat untuk mener
pemegang IUPHHK ataupun mewajibkan setiap pemegang IUPHHK
yang aktif untuk mendapatkan sertifikat PHPL/SVLK.
5. Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis
Rehabilitasi hutan d
aksi mitigasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca dengan target penurunan emisi sebesar 18,35 juta ton
CO2-eq pada DAS prioritas dan 1,47 ton CO
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
Ne
t E
mis
sio
n (
ton
CO
2-e
q/y
ea
r
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Perbandingan net emisi pada berbagai skenario elaksanaan sistem RIL oleh pemegang IUPHHK
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa dengan realisasi
implementasi sistem RIL oleh pemegang IUPHHK pada seluruh areal
RKT tahunan sebesar 100%, maka pada periode 1 (satu) Net Emisi yang
dapat diturunkan maksimal sebesar 2.992.716 ton CO2-eq (12,01%) d
pada periode 2 (dua) sebesar 2.787.923 ton CO2-eq (11,37%), dan
jumlah tersebut akan semakin berkurang dengan berkurangnya realisasi
impelentasi RIL. Jumlah emisi yang dapat dikurangi berkorelasi positif
dengan realisasi implementasi sistem RIL. Oleh sebab itu pengawasan
yang ketat perlu dilakukan agar mitigasi penerapan sistem RIL dapat
memberikan kontribusi yang optimal terhadap penurunan emisi GRK.
Aksi mitigasi ini hendaknya menjadi komitmen kebijakan dinas Kehutanan
Provinsi Papua Barat untuk menerapkan RIL secara konsekwen oleh
pemegang IUPHHK ataupun mewajibkan setiap pemegang IUPHHK
yang aktif untuk mendapatkan sertifikat PHPL/SVLK.
Rehabilitasi Hutan dan Lahan Kritis
Rehabilitasi hutan dan lahan kritis merupakan salah satu rencana
si yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca dengan target penurunan emisi sebesar 18,35 juta ton
eq pada DAS prioritas dan 1,47 ton CO2-eq pada hutan mang
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
BAU 25% 50% 75% 100%
RIL
2016
2011
2006
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-18
REDD+
kenario mitigasi emegang IUPHHK
Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa dengan realisasi
implementasi sistem RIL oleh pemegang IUPHHK pada seluruh areal
RKT tahunan sebesar 100%, maka pada periode 1 (satu) Net Emisi yang
eq (12,01%) dan
eq (11,37%), dan
jumlah tersebut akan semakin berkurang dengan berkurangnya realisasi
impelentasi RIL. Jumlah emisi yang dapat dikurangi berkorelasi positif
bab itu pengawasan
yang ketat perlu dilakukan agar mitigasi penerapan sistem RIL dapat
terhadap penurunan emisi GRK.
dinas Kehutanan
apkan RIL secara konsekwen oleh
pemegang IUPHHK ataupun mewajibkan setiap pemegang IUPHHK
an lahan kritis merupakan salah satu rencana
si yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca dengan target penurunan emisi sebesar 18,35 juta ton
eq pada hutan mangrove
2016-2021
2011-2016
2006-2011
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-19
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
dan hutan pantai. Penanggung jawab aksi mitigasi ini adalah Kementerian
Kehutanan dan pelaksanaannya dilakukan pada seluruh provinsi di
Indonesia kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta yang tidak ada alokasi
rehabilitasi hutan mangrove.
Berdasarkan data dari Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai
(BPDAS) Remu Ransiki tahun 2011, luas lahan kritis dalam kawasan
hutan di Provinsi Papua Barat 439.911 Ha atau sekitar ± 4,54% dari total
luas kawasan hutan di Papua Barat. Luas lahan kritis dalam kawasan
hutan dapat dirincikan sebagai berikut: Hutan Konservasi seluas 67.138
Ha (0,69%), Hutan Lindung (HL) 99.176 Ha (1,02%), Hutan Produksi
Tetap (HP) 88.243 Ha (0,91%), Hutan Produksi Terbatas (HPT). 127.761
Ha (1,32%), dan Hutan Produksi Konversi (HPK) 57.593 Ha (0,59%).
Luas lahan kritis dalam kawasan hutan ini bisa berkurang apabila
rehabilitasi hutan dan lahan sebagai salah satu rencana aksi mitigasi
nasional dapat dilakukan dengan baik, berkesinambungan, serta
dilaksanakan pada daerah-daerah yang dikategorikan kritis. Selain itu,
juga terdapat Areal Penggunaan Lain dengan luas 53.161 Ha (0,55%)
yang dapat dilakukan penghijauan.
Rencana aksi mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan di Provinsi
Papua Barat diasumsikan dilakukan pada lahan kritis, dengan target luas
areal kritis yang ditanami seluas 5.000 Ha/tahun serta diasumsikan
bahwa jenis pohon yang ditanaman adalah jenis cepat tumbuh (fast
growing species) tanpa daur. Selain itu skenario tingkat keberhasilan RHL
dibagi dalam 4 (empat) skenario yaitu skenario dengan tingkat
keberhasilan terendah 20%, skenario tingkat keberhasilan 40%, skenario
tingkat keberhasilan 60%, serta skenario dengan tingkat keberhasilan
tertinggi yaitu 80% dari luas areal yang direncanakan dengan persentase
tumbuh tanaman minimal 80 %..
Perbandingan antara garis acuan emisi Provinsi Papua Barat
dengan berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan disajikan
pada Gambar 7.7.
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-20
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Gambar 7.7. Perbandingan net emisi kumulatif pada berbagai skenario mitigasi rehabilitasi hutan dan lahan dengan garis acuan (data masa lampau)
Gambar di atas mendeskripsikan bahwa tingkat keberhasilan
rehabilitasi hutan dan lahan berkorelasi positif dengan laju penurunan
emisi GRK dengan catatan keberhasilan tanaman dilapangan minimal 80
%. Semakin tinggi tingkat keberhasilan RHL, maka akan semakin besar
serapan karbon hutan dan semakin tinggi persentase penurunan emisi
GRK.. Keberhasilan mitigasi RHL sangat bergantung pada beberapa
faktor, diantaranya adalah pendanaan dan pengawasan serta
pemeliharaan tanaman. Fakta di lapangan menunjukan bahwa
pemeliharaan tanaman RHL pada tahun ke-2 sampai tahun ke-5 hampir
tidak dilakukan sehingga mempengaruhi persen tumbuh tanaman RHL
dan luas lahan kritis yang terpulihkan. Pemeliharaan tanaman tersebut
mutlak dilakukan untuk menjamin peningkatan kapasitas serapan karbon
hutan, jika kegiatan RHL merupakan salah satu rencana aksi mitigasi
yang diharapkan dapat mengurangi emisi GRK.
Kontribusi Mitigasi RHL terhadap penurunan emisi GRK dapat
dilihat pada Tabel 7.9.
-
10,000,000
20,000,000
30,000,000
40,000,000
50,000,000
60,000,000
70,000,000
80,000,000
2006-2011 2011-2016 2016-2021N
et
Em
issi
on
(to
n C
O2
-eq
/ye
ar)
Periode (Tahun)
BAU
RHL 20%
RHL 40%
RHL 60%
RHL 80%
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-21
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.9. Kontribusi aksi mitigasi RHL terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat.
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
RHL
20% 308.347 0,61 1.129.128 1,51 40% 616.694 1,23 2.258.256 3,02 60% 925.042 1,84 3.387.384 4,53 80% 1.233.389 2,46 4.516.512 6,04
Data pada tabel di atas menunjukan bahwa kontribusi maksimum
aksi mitigasi RHL terhadap penurunan emisi CO2 pada periode 1 (satu)
dengan tingkat keberhasilan 80% adalah sebanyak 1.233.389 ton CO2-eq
(2,46%) dan pada periode 2 (dua) sebanyak 4.516.512 ton CO2-eq
(6,04%). Kontribusi tersebut akan semakin menurun seiring dengan
menurunnya tingkat keberhasilan RHL dan akan semakin meningkat bila
persen tumbuh tanaman 80% dapat dipertahankan selama periode
mitigasi. Karena itu perlu adanya perubahan kebijakan dalam
pelaksanaan RHL, dimana program RHL dilaksanakan dalam satu siklus
proyek 5 tahunan dan keberhasilan tanaman hidup di lapangan 80%
sebagai kriteria berakhirnya satu siklus proyek RHL.
6. Pengukuhan Kawasan Hutan
Pengukuhan kawasan hutan merupakan salah satu rencana aksi
mitigasi yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi
Gas Rumah Kaca dengan target penurunan emisi sebesar 123,41 juta ton
CO2-eq pada seluruh provinsi di Indonesia. Pengukuhan kawasan hutan
adalah kegiatan yang berhubungan dengan penataan batas suatu wilayah
yang telah ditunjuk sebagai suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu
guna memperoleh kepastian hukum kawasan hutan. Pengukuhan
kawasan hutan dilakukan melalui tahapan: (1) penunjukan kawasan
hutan, (2) penataan batas kawasan hutan, (3) pemancangan batas
kawasan hutan dan (4) penetapan kawasan hutan. Dari keempat tahapan
tersebut, pada kenyataannya sebagian besar fungsi kawasan hutan di
Provinsi Papua Barat baru mencapai tahap pertama, yaitu penunjukan
fungsi kawasan hutan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan.
Penataan batas Hutan temu gelang di provinsi Papua Barat baru
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-22
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
mencapai ± 20% (BPKHWilayah XVII, 2012) dan tata batas temu gelang
ini hanya terfokus pada hutan lindung dan kawasan konservasi.
Kawasan hutan produksi penataan batas diserahkan kepada IUPHHK
sebagai bagian dari perencanaan perusahaan yang pada kenyataannya
tidak pernah dilakukan dengan baik dilapangan. Akibat dari belum
terlaksananya pengukuhan kawasan hutan ini (pemancangan pal batas
luar), sering menimbulkan konflik ruang baik antar IUPHHK maupun antar
fungsi kawasan, bahkan antar RTRWP/RTRWK dengan Tata Guna
Hutan maupun wilayah Hutan Adat. Sering pula terjadi pemberian
perizinan ganda pada satu fungsi kawasan atau pemberian izin pada
fungsi kawasan yang tidak bersesuaian peruntukannya.
Provinsi Papua Barat merupakan salah satu provinsi dengan
hutan terluas yang masih relatif utuh di Indonesia, sehingga aksi mitigasi
ini mutlak dilakukan. Pengukuhan kawasan hutan di Provinsi Papua
Barat dilakukan masih terbatas pada kawasan konservasi dan hutan
lindung. Untuk kawasan hutan produksi belum dilakukan penataan batas
luar kawasan. Penataan batas masih terbatas pada areal konsesi
HPH/IUPHHK bersamaan dengan rencana pengusahaan hutan.
Pengukuhan kawasan hutan yang mencakup batas luar kawasan dan
batas antara fungsi kawasan diharapkan akan meningkatkan keamanan
kawasan dan mengurangi tumpang tindih pemanfaatan di setiap fungsi
hutan. Aksi mitigasi ini sekaligus sebagai upaya untuk percepatan
pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
Tabel 7.10. Kontribusi aksi mitigasi pengukuhan kawasan hutan terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
Pengukuhan Kawasan Hutan
20% 997.796 1,99 1.995.591 2,67 30% 1.496.693 2,98 2.993.387 4,00 40% 1.995.591 3,97 3.991.183 5,34 50% 2.494.489 4,97 4.988.978 6,67 60% 2.993.387 5,96 5.986.774 8,01 70% 3.492.285 6,95 6.984.569 9,34 80% 3.991.183 7,95 7.982.365 10,68 90% 4.490.080 8,94 8.980.161 12,01
100% 4.988.978 9,93 9.977.956 13,35
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-23
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Data pada Tabel di atas menunjukkan bahwa pengukuhan
kawasan hutan memiliki peranan yang sangat penting dalam
pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Jika penataan
batas luar kawasan hutan dan batas antar fungsi dalam kawasan hutan
bisa dilakukan maka dapat memberikan kepastian hukum status kawasan
hutan, sekaligus memberikan jaminan keamanan dalam pengelolaan dan
kemananan kawasan. Dengan demikian konflik ruang dan konflik
kepentingan dapat diminimumkan dan sekaligus dapat memberikan
jaminan keamanan kawasan dari perambahan.
7. Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) diharapkan dapat
dijadikan salah satu rencana aksi mitigasi di Provinsi Papua Barat.
Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun 2011, aksi mitigasi
pembangunan HTR diharapkan dapat memberikan kontribusi penurunan
emisi sebanyak 110,10 Juta ton CO2-eq. Rencana aksi mitigasi HTR di
Provinsi Papua Barat diasumsikan dilakukan tiap tahun pada areal seluas
5000 Ha melalui skema kebun Bibit Rakyat (KBD). Khusus program HTR
pada lahan milik atau lahan bekas ladang penduduk dapat dilakukan
dengan teknik Agroforestri. Jika rencana mitigasi tersebut dapat
diimplementasikan, maka pada tahun 2021 (akhir periode kedua)
pembangunan HTR diharapkan dapat memberikan kontribusi penurunan
emisi sebesar 5.161.728 ton CO2-eq (6,90%) dari total emisi Papua Barat.
Tabel 7.11. Kontribusi aksi mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario
Kontribusi Penurunan Net Emision Periode I Periode 2
ton CO2-eq % ton CO2-eq %
Hutan Tanaman Rakyat (HTR)
20% 352.339 0,70 1.290.432 1,73 40% 704.678 1,40 2.580.864 3,45 60% 1.057.018 2,10 3.871.296 5,18 80% 1.409.357 2,81 5.161.728 6,90
Pembangunan HTR ini diasumsikan dilakukan pada lahan kritis
yang berada dalam daerah penyangga atau pada lahan milik
masyarakat.. Aksi mitigasi melalui peningkatan kuantitas dan kualitas
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-24
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
pembangunan HTR diharapkan dapat meningkatkan cadangan karbon
pada periode tertentu. Bila hutan tanaman rakyat merupakan hutan
campuran antara tanaman kehutanan dan tanaman buah-buahan, maka
diharapkan juga emisi dapat dikurangi. Melalui pembangunan HTR ini
diharapkan juga dapat merubah pola pikir dan partisipasi masyarakat
dalam pengelolaan hutan lestari. Melalui program HTR ini, pola
pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat disekitar hutan di Papua Barat
yang selama ini dengan cara perladangan berpindah (shifting cultivation)
dapat bergeser kearah pembangunan hutan tanaman. Hal ini akan lebih
maksimal lagi jika pengelolaan HTR dilakukan dengan teknik-teknik
agroforestri. Hal ini akan semakin meningkatkan produktifitas dari lahan
hutan yang dikelola oleh masyarakat, yang secara langsung akan
berimplikasi terhadap perbaikan ekonomi masyarakat di dalam dan di
sekitar hutan disamping dapat meningkatkan serapan karbon hutan dan
lahan milik.
8. Pembangunan Hutan Kota
Melalui Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang
Hutan Kota, setiap wilayah perkotaan diwajibkan untuk membangun
hutan kota dalam rangka mempertahankan Ruang Terbuka Hijau (RTH)
di wilayah perkotaan. Pembangunan Hutan Kota menjadi salah satu opsi
mitigasi yang ditawarkan di Papua Barat. Kawasan pemukiman di
Provinsi Papua Barat seluas 16.939 Ha dan luas ini akan semakin
meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan lahan akan
pemukiman, perkantoran dan juga untuk infrastruktur pembangunan
lainnya. Pemekaran wilayah Kabupaten di Provinsi Papua Barat yang
terus terjadi tentunya akan mendorong perubahan struktur dan pola ruang
pembangunan dan sekaligus akan mendorong perubahan Tata Guna
Hutan di setiap Kabupaten Induk . Pemekaran wilayah juga akan
berimplikasi pada tingginya penggunaan ruang untuk pembangunan
fasilitas pemerintah dalam menunjang pengembangan wilayahnya.
Karena itu terutama pada wilayah calon ibu kota kabupaten pemekaran,
penataan kota menjadi satu hal yang penting agar keindahan dan
kenyamanan pemukiman dapat dijamin. Salah satu kegiatan penataan
kota yang baik adalah tersediannya ruang terbuka hijau (RTH) yang
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-25
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
memadai. Tersedianya RTH yang dengan proporsi yang memadai, yaitu
minimum 30 % dari luas wilayah perkotaan merupakan salah satu
indikator perbaikan iklim mikro dan peredam polusi perkotaan. Salah satu
upaya untuk menyediakan RTH di perkotaan adalah pembangunan
Hutan Kota/taman Kota. Pentingnya Hutan Kota/Taman Kota menjadi
alasan pemilihan aksi mitigasi pembangunan Hutan Kota di setiap ibu
kota kabupaten/kotamadya di Papua Barat. Aksi mitigasi ini diasumsikan
dilakukan pada seluruh wilayah perkotaan di Provinsi Papua dengan luas
254 Ha setiap tahun. Skenario yang digunakan adalah bila realisasi luas
hutan kota setiap tahun 20%, 40%,60% dan 80 % dari luas 254 ha setiap
tahun.
Tabel 7.12. Kontribusi aksi mitigasi pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) terhadap penurunan net emisi di Provinsi Papua Barat
Mitigasi Skenario Kontribusi Penurunan Net Emision
Periode I Periode 2 ton CO2-eq % ton CO2-eq %
Hutan Kota
20% 16.047 0,03 57.360 0,08 40% 32.094 0,06 114.719 0,15 60% 48.140 0,10 172.079 0,23 80% 64.187 0,13 229.439 0,31
Berdasarkan data pada Tabel di atas terlihat bahwa kontribusi aksi
mitigasi pembangunan hutan kota terhadap penurunan emisi di Papua
Barat relatif kecil, hanya sekitar 229.439 ton CO2-eq (0,31%). Namun aksi
mitigasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat lain (co-benefit) yang
dapat secara langsung dirasakan oleh masyarakat perkotaan. Manfaat
lain yang diharapkan adalah adanya perubahan iklim mikro di dalam
wilayah perkotaan dan juga meningkatkan keindahan kota..
Pembangunan hutan kota juga diharapkan dapat memberikan
kenyamanan dan kesehatan lingkungan bagi penduduk perkotaan,
terutama di siang hari saat melakukan aktivitas di luar rumah ataupun
saat berolah raga. Pembangunan hutan kota/taman kota sudah
merupakan tuntutan dalam tata ruang pembangunan kota yang berlaku
secara nasional. Oleh karena itu pencapaian ruang terbuka hijau 30%
hendaknya menjadi bagian dari perencanaan Tata Kota dan penataan
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-26
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
perumahan di setiap ibu kota Provinsi, Kabupaten di Provinsi Papua
Barat.
Berdasarkan rencana aksi mitigasi dan skenario REDD+
Provinsi Papua Barat yang diuraikan di atas, maka target penurunan
emisi sampai pada tahun 2020 sebesar 42,65% dengan kontribusi
penurunan emisi terhadap target nasional sebesar 7,97 dengan asumsi
bahwa semua skenario aksi mitigasi terpilih didukung dengan komitmen
penuh seluruh stakeholders dan terimplementasi secara konsisten sesuai
rencana serta seluruh faktor pemungkin dapat dikendalikan dan
diintegrasikan dengan baik.
Ringkasan rencana aksi Provinsi dalam rangka implementasi
REDD+ seperti disajikan pada Tabel 7.13.
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-27
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. Matrik rencana aksi provinsi dalam rangka implementasi REDD+
URAIANSYARAT POKOK
KEGIATAN
PROBLEM SYARAT
POKOKALTERNATIF SOLUSI LOKUS SOLUSI
SIFAT
KEGIATAN
INDIKATOR
KINERJAUNIT PELAKSANA
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
(1) Perlu pengkajian
lebih lanjut mengenai
RTRWP atau RTRWK
sebelum disahkan
(ditetapkan)
(1) Hampir semua
kab/kota telah
menyiapkan dratf
RTRW, bahkan telah
menyiapkan konsep
Perdanya
Melakukan revisi secara
total terhadap draft RTRW
yang telah disusun dengan
mangakomodir
kepentingan masyarakat
adat dan pembangunan
berwawasan lingkungan
Provinsi,
Kabupaten/KotaSTRATEGIS
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
(2) Rencana Tata
Ruang harus
mendukung wacana
Papua Barat sebagai
provinsi konservai
(2) RTRWP
mengalokasikan
konversi hutan
konservasi dan hutan
lindung
Menghindari konversi
hutan pada areal
konservasi dan hutan
lindungProvinsi,
Kabupaten/KotaSTRATEGIS
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
(3) Penyusunan Tata
ruang harus dapat
mengakomodir
pemetaan wilayah adat
(3) Pemetaan wilayah
adat belum dilakukan
di Papua BaratMelibatkan masyarakat
secara aktif dalam
melakukan penyusuna
RTRW, termasuk di dalam
pemetaan wilayah adat
Provinsi,
Kabupaten/KotaSTRATEGIS
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
Tersusunnya
RTRW yang
berwawasan
lingkungan dan
mengakomodir
kepentingan
masyarakat adat
1 Pengurangan
Luas konversi
hutan dalam
RTRWP atau
RTRWK
Hal ini dilakukan
untuk mencegah
konversi hutan
untuk
kepentingan
peruntukan lain
No.AKAR MASALAH DAN STRANAS
(6)
KEGIATAN
PROGRAM
Draft RTRWP maupun RTRWK yang telah disusun lebih menunjukkan keberpihakan
terhadap pem
bangunan yang kurang berwaw
asan lingkungan dan tidak mem
perhatikan
kepentingan masyarakat a
dat
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-28
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. (lanjutan…)
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
2 Penurunan luas
RKT Pemegang
IUPHHK
Hal ini dilakukan
karena rata-rata
realisasi RKT
tahunan
IUPHKK selama
ini hanya sekitar
± 60% dari total
RKT IUPHHK
yang disetujui
(1) Dinas Kehutanan
Provinsi sebagai
Pengesah RKT harus
mengacu pada realisasi
RKT tahun sebelumnya
(1) Luas RKT yang
disetujui selama ini
adalah seluas RKT
yang diusulkan
Dinas Kehutanan harus
secara tegas menurunkan
luas areal RKT pemegang
IUPHHK sesuai dengan
realisasi penabangan
pada tahun sebelumnya
Provinsi STRATEGIS Pemerintah
Provinsi
(2) Pemegang IUPHHK
harus realistis dalam
mengusulkan RKT
(2) Pemegang IUPHHK
harus
mempertimbangkan
aspek-aspek lain
dalam pengelolaan
hutan selain aspek
ekonomi
Pengawasan secara ketat
oleh tenaga teknis
kehutanan yang bermoral
terhadap pelaksanaan
RKT IUPHHK
Provinsi STRATEGIS Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
(6)
Pem
egang IUPHHK selam
a ini m
emiliki kapasitas produksi kayu yang cenderung lebih rendah dari yang diusulkan.
Hal ini disebabkan karena IUPHHK cenderung m
elakukan perencanaan penebangan secara umum
sebagaimana
yang lazim dikerjakannya selam
a ini. Pada hal perencaaan pengelolaan hutan harusnya bersifat s
ite s
peci
fic
Pemberian luas
areal RKT yang
optimal
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-29
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. (lanjutan…)
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
3 Penerapan
Sistem
Penebangan
Berdampak
Rendah (RIL)
RIL diharapkan
menjadi salah
satu sistem
penebangan
hutan yang
diadopsi oleh
pemegang
IUPHHK
(1) Kementerian
Kehutanan bersama
dengan Dinas
Kehutanan Provinsi dan
Kabupaten/Kota telah
melakukan sosialisasi
RIL
(1) RIL selama ini
masih dipandang oleh
pemegang IUPHHK
sebagai sistem
pengelolaan hutan
dengan biaya tinggi
(high cost ) dan sangat
sulit untuk
diimplementasikan
Komitmen menerapkan
sistem RIL harus menjadi
syarat utama persetujuan
RKT IUPHHK
Areal IUPHHK STRATEGIS Laporan
realisasi
pelaksanaan
RIL yang sesuai
dengan fakta
lapangan
Pemegang IUPHHK
(2) Pemegang IUPHHK
secara sadar dan
bertanggung jawab
melakukan RIL secara
bertahap
(2) Pemegang IUPHHK
belum memahami
secara jelas sistem RIL
dan bagaimana
melaksanakannya di
lapangan
Pemegang IUPHHK
melaporkan secara
triwulan realisasi
pelaksanaan RIL,
termasuk kendala-kendala
dalam implementasi di
lapangan
Provinsi STRATEGIS Laporan triwulan
pelaksanaan
RIL
Pemegang IUPHHK
Pem
egang IUPHHK selam
a ini berada pada posisi yang dilematis, karena selain ada kewajiban-kew
ajiban formal yang
harus dipenuhi, ada juga kew
ajiban-kew
ajiban inform
al yang diwajibkan oleh oknum
Dinas Kehutanan setem
pat yang
akan sem
akin m
enaikkan biaya eksploitasi hutan. Sehingga sistem
apapun yang ditawarkan akan sangat susah untuk
diimplem
entasikan
(6)
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-30
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. (lanjutan…)
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
4 Rehabilitasi
Hutan dan Lahan
(RHL)
Program ini
dilakukan pada
lahan-lahan
kritis yang telah
ditentukan oleh
BPDAS Remu
Ransiki pada
tingkatan DAS
dan Sub DAS
(1) Tersedianya
rencana 5 (lima)
tahunan rehabilitasi
hutan dan lahan di
tingkat Provinsi dan
Kabupaten sebagai
eksekutor kegiatan
(1) Perencanaan yang
selama ini berjalan
hanya bersifat tahunan
(temporer), sehingga
sulit untuk menilai
kesuksesan RHL
dalam periode waktu
tertentu
Penyusunan rencana 5
(lima) tahuan RHL yang
bersifat aplicable dan
merupakan perencanaan
yang berbasis tapak (site
specific)
Provinsi,
Kabupaten/Kota
STRATEGIS Tersedianya
rencana 5 (lima)
tahunan RHL
yang aplicable
(2) Tersedianya
anggaran yang
mencukupi, baik
ditingkat perencanaan,
pengorganisasian,
pelaksanaan dan
pengawasan
(monitoring)
(2) Anggaran yang
tersedia pada tingkat
provinsi dan
kabupaten/kota sangat
tergantung pada
setoran DR daerah,
sehingga akan sangat
fluktuatif
Pengkhususan anggaran
RHL yang tidak terkait
dengan penganggaran
rutin, sehingga dana RHL
ini dapat digunakan tanpa
mengikuti skema
penganggaran pemerintah
yang cenderung tersedia
hanya pada akhir tahun
anggaran
Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota
STRATEGIS Tersedianya
dana khusus
yang dapat
digunakan dari
awal tahun
berjalan
kegiatan
(3) Pembagian tugas
yang jelas antara
semua stakeholder
yang terlibat dlm
kegiatan RHL, baik di
tingkatan pusat,
provinsi maupun
kabupaten
(3) Belum ada
pembagian tugas yang
jelas antara semua
stakeholder, sehingga
pembagiaan tugas
yang terjadi selama ini
lebih mengutamakan
pembagian kekuasaan
dan distribusi manfaat
ekonomi semata
Pembagian tugas dan
wewenang pemerintah
baik di tingkat pusat,
provinsi, maupun
kabupaten/kota harus
jelas, untuk menghindari
bentukan yang hanya
mementingkan ekonomi
sesaat proyek
Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota
STRATEGIS Tersedianya
kelembagaan
RHL dengan
pembagian
tugas dan
tanggung jawab
yang jelas
(4) Masyarakat sebagai
eksekutor lapangan
kegiatan RHL harus
dibekali pengetahuan
dasar RHL dan
indikator-indikator
keberhasilannya
(4) Masyarakat selama
ini hanya dipandang
sebagai pekerja (buru)
kasar yang
dipekerjakan pada
proyek RHL, sehingga
pengetahuan mereka
tentang teknik dasar
RHL cenderung
diabaikan
Perlu adanya pelatihan
secara terencana dan
terukur, untuk menyiapkan
masyarakat sebagai
eksekutor lapangan
kegiatan RHL tentang
teknis dasar RHL dan
indikator-indikator
keberhasilannya
Kabupaten/Kota STRATEGIS Masyarakat
memiliki
kemampuan
dasar teknis
RHL dengan
sertifikasi
khusus
Kegiatan RHL selama ini hanya dipandang sebagai salah satu proyek yang dapat memberikan manfaat ekonomi sesaat kepada stakeholder yang terlibat, tanpa memikirkan
tujuan utama dari RHL untuk membangun hutan. Selain itu indikator keberhasilan RHL hanya dinilai pada tahun-tahun awal pelaksanaan. Pada hal seharunya tingkat
keberhasilan RHL harus dinilai secara menyeluruh pada tahun kelima pelaksanaan, bukan hanya pada persen dan realisasi pertumbuhan di lapangan, tetapi juga pada level
perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan monitoring.
Pemerintah Pusat,
Provinsi,
Kabupaten/Kota
(6)
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-31
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. (lanjutan…)
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
5
Penataan batas
kawasan hutan
Hal ini dilakukan
untuk
memberikan
kejelasan batas
kawasan hutan
serta batas
antara fungsi
hutan
(1) Kementerian
Kehutanan melalui
Badan Planologi
Kehutanan harus
menindak lanjuti semua
SK penunjukan
kawasan hutan dengan
SK penetapan kawasan
hutan
(1) Penataan batas
seluruh kawasan hutan
memerlukan biaya
yang sangat tinggi
Perlu adanya
perencanaan penataan
batas kawasan hutan,
sehingga dapat ditentukan
banyaknya biaya dan
waktu yang dibutuhkan
untuk melakukan
penataan batas seluruh
kawasan hutan
berdasarkan fungsi hutan
Provinsi,
Kabupaten/Kota
STRATEGIS Tuntasnya
penataan batas
kawasan hutan
berdasarkan
fungsi hutan
Badan Planologi
Kehutanan melalui
BPKH Wilayah XVII
dan Pengelola KPH
(2) Perlu adanya
penganggaran yang
bersifat kontinue untuk
penataan batas
kawasan hutan
(2) Pemerintah
cenderung
memprioritaskan
anggaran pada sektor-
sektor ekonomi kreatif
Penataan batas kawasan
hutan sebagai bagian
rencana aksi nasional
dalam pengurangan emisi
GRK harus diprioritaskan
sebagai bukti komitmen
pemerintah untuk
menurunkan emisi GRK
Pusat, Provinsi,
Kabupaten/Kota
STRATEGIS Turunnya emisi
GRK karena
adanya
keamanan
kawasan hutan
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
Kaw
asan hutan selam
a ini hanya didasarkan pada SK penunjukan kawasan hutan oleh menteri
kehutanan, sehingga batas-batas kawasan hutan hanyalah batas maya di atas PETA, tanpa
mem
iliki batas nyata di lapangan
(6)
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-32
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Tabel 7.13. (lanjutan…)
(1) (2) (3) (4) (5) (7) (8) (9) (10) (11)
6
Pembangunan
Hutan Tanaman
Rakyat (HTR)
HTR diharapkan
menjadi salah
satu aksi
mitigasi yang
dapat
melibatkan
masyarakat di
dalam
pengelolaan
hutan produksi
lestari
Pemerintah Provinsi
Papua Barat wajib
menyediakan lahan
yang dicadangkan
untuk HTR
HTR merupakan
program yang relatif
baru di Provinsi Papua
Barat
Peran m
asyarakat d
i dalam
dan sekitar kawasan hutan
selama ini hanya berfokus pada kegiatan ekstraktif yang
dilakukan oleh IU
PHHK, sehingga perlunya sosialisasi yang
sangat intensif untuk pembangunan HTR
HTR dengan pola
agroforestry dapat mulai
dibangun pada areal-areal
bekas perladangan
berpindah masyarakat,
untuk mengurangi
perambahan hutan oleh
masyarakat, serta untuk
meningkatkan peran
masyarakat di dalam
pengeloaan hutan
Kabupaten/Kota STRATEGIS Terbangunnya
HTR seluas
5000 Ha tiap
tahun di Papua
Barat
Pemerintah
Provinsi,
Kabupaten/Kota
7 Hutan Kota
Hutan Kota
sebagai bagian
dari Ruang
Terbuka Hijau
(RTH) harus
dioptimalkan
pada wilayah
perkotaan
Pemerintah Kab/Kota
melakukan kuantifikasi
mngenai kebutuhan
RTH di wilayahnya
Papua Barat masih
memiliki tutupan hutan
yang cukup pada
wilayah-wilayah
penyangga perkotaan
sehingga RTH
cenderung masih
belum dianggap perlu
Perencanan pembangunan kota yang tertuang di dalam
RTRWK cenderung m
engabaikan luas kebutuhan RTH,
sehingga perencaaan penggunaan lahan lebih difokuskan
kepada pem
bangunan yang mengabaikan aspek lingkungan Selain membangun RTH
di dalam perkotaan,
pemerintah kota dapat
mewajibkan setiap pemilik
aset di dalam perkotaan
untuk menghijaukan kota
Kabupaten/Kota STRATEGIS Terbangunan
Hutan Kota
Seluas 254 Ha
tiap tahun di
Papua Barat
Pemerintah
Kab/Kota
(6)
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-33
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Secara holistik keberhasilan aksi mitigasi pada sektor kehutanan
(REDD+) diukur dengan menggunakan tiga kriteria yang disebut 3E+ (Stern,
2007; Angelsen dkk., 2008) yaitu effectiveness (berapa besar emisi GRK yang
diturunkan), efficiency (pada tingkat biaya minimum), equity (sebaran manfaat
bagi banyak pihak) dan co-benefits (manfaat lain yang didapat). Kriteria 3E+
mengukur apakah sebuah aksi mitigasi dapat dijalankan dengan baik.
Keefektifan. Evaluasi awal tentang keefektifan sebuah rencana akan
mempertimbangkan beberapa kriteria tambahan seperti kedalaman dan nilai
tambahan, rentang dan cakupan, keluwesan dan kekuatan, kendali atau
pencegahan kebocoran, kekekalan dan liabilitas, dan sejauh mana suatu
tindakan mengatasi penyebab pokok deforestasi dan degradasi hutan dan lahan.
Tata kelola dan korupsi juga menjadi pertimbangan yang penting. Misalnya,
sampai sejauh mana tindakan yang diusulkan rawan akan praktek-praktek
korupsi?. Suatu evaluasi akhir akan mengukur perubahan cadangan karbon
secara langsung dan membandingkannya dengan standar kondisi seperti yang
direncanakan. (business as usual/BAU).
Efisiensi, mempertimbangkan biaya pengadaan termasuk penguatan
kemampuan, biaya berjalan untuk keuangan dan sistem informasi (MRV),
kompensasi untuk kehilangan pendapatan (biaya imbangan) dan nilai sewa (nilai
sewa adalah transfer dikurangi biaya) serta biaya implementasi dari pemilik,
pengelola dan pengguna lahan hutan. Seluruh bentuk biaya ini termasuk dalam
biaya transaksi, kecuali kompensasi dan nilai sewa.
Kesetaraan, mempertimbangkan berbagai skala yang berbeda (global,
nasional, subnasional), dan berbagai kelompok pemangku kepentingan
(stakeholders) berdasarkan pendapatan, sejumlah aset seperti lahan, etnis, jenis
kelamin, dan lain sebagainya. Dalam menilai kesetaraan, juga terdapat
perbedaan antara nilai sewa REDD+, transfer rata-rata dan biaya tindakan.
Perdebatan sekarang umumnya lebih menyoroti pembagian manfaat (transfer)
daripada masalah pendistribusian biaya. Kebanyakan program REDD+ tidak
membayar langsung kepada pemilik dan pengguna lahan hutan, tetapi akan
menimbulkan biaya atau kehilangan suatu peluang. Misalnya, sejumlah kebijakan
untuk menurunkan permintaan bahan bakar kayu akan menyebabkan hilangnya
pendapatan bagi produsen arang. Biaya semacam itu seharusnya juga ikut
dipertimbangkan.
Matriks Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Untuk Mewujudkan REDD+ di Papua Barat 7-34
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
Manfaat Tambahan. REDD+ bukan hanya berkaitan dengan perubahan
iklim. Tujuan lainnya yang dikenal sebagai manfaat tambahan (misalnya, manfaat
tambahan selain menurunnya perubahan iklim) juga merupakan hal yang
penting. Setidaknya ada empat macam manfaat tambahan yang dapat
dipertimbangkan. Pertama, konservasi hutan selain menyimpan karbon juga
menyediakan jasa lingkungan lainnya, seperti melindungi keanekaragaman
hayati. Kedua, sejumlah tindakan REDD+ (misalnya pembagian manfaat) dan
konservasi hutan akan mendatangkan keuntungan sosial ekonomi, seperti
menurunkan kemiskinan, meningkatkan mata pencarian dan mendorong
pembangunan ekonomi produktif masyarakat. Ketiga, berbagai tindakan REDD+
dapat menyebabkan terjadinya perubahan politik menuju tata kelola yang lebih
baik, mengurangi korupsi dan sikap lebih menghargai hak-hak dari kelompok
yang lemah. Keempat, berbagai tindakan REDD+ dan konservasi hutan dapat
meningkatkan kemampuan hutan dan masyarakatnya untuk beradaptasi dengan
perubahan iklim.
Penutup 8-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
PENUTUP
SRAP-REDD+ Papua Barat merupakan turunan dari Stranas REDD+
yang mefokuskan pada kegiatan bidang pembangunan berbasis lahan terutama
kegiatan pembangunan yang potensial menyebabkan degradasi dan deforestasi
serta potensial dalam meningkatan serapan cadangan karbon hutan dan lahan.
Sebagai suatu strategi aksi, maka diperlukan serangkaian kegiatan-kegiatan
strategi pra kondisi untuk menghasilkan berbagai kondisi pemungkin sehingga
aksi-aksi mitigasi dalam rangka mengurangi emisi GRK melalui penurunan
tingkat degradasi hutan dan lahan, pengurangan deforestasi serta peningkatan
nilai tutupan lahan dan hutan untuk meningkatkan cadangan karbon hutan dan
lahan. Untuk itu berbagai aksi mitigasi dan skenario yang ditawarkan dalam
dokumen ini masih memerlukan serangkaian kegiatan pra kondisi guna
menumbuhkan berbagai kondisi pemungkin agar aksi-aksi mitigasi tersebut
memberikan nilai efektifitas, efisiensi, kemerataan manfaat dan manfaat
tambahan yang diharapkan. Beberapa pra kondisi yang diperlukan untuk dapat
menciptakan kondisi pemungkin implementasi serangkaian aksi mitigasi REDD+
di Provinsi Papua Barat sebagai berikut :
1. Dukungan komitmen pemerintah daerah melalui penerbitan regulasi
terkait dengan kepastian kawasan dan pengakuan hak-hak masyarakat
adat atas sumberdaya alam serta perizinan investasi .
2. Perubahan pola pikir dan pola tindak dari pelaku pembangunan
diperlukan serta pemahaman bersama akan paradigma pembangunan
rendah karbon melalui strategi REDD+ untuk semua stakeholders baik
pada tingkat pimpinan, pelaksana, masyarakat dan pihak ketiga .
3. Koordinasi, sinkronisasi dan integrasi program kegiatan SKPD baik di
tingkat provinsi, Kabupaten/kota yang terbingkai dalam RTRWP dan
RTRWK merupakan kondisi pemungkin utama yang harus dibangun
Bab 8
Penutup 8-2
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
terlebih dahulu sebelum eksi-aksi mitigasi diimplementasikan disetiap
lokus dan lawas aksi mitigasi.
4. Kelembagaan pengelola, sumber pendanaan dan intrumen-intrumennya
terutama dalam MRV telah mantap dan telah terbangun baik ditingkat
Nasional maupun daerah.
5. Berdasarkan skenario aksi mitigasi REDD+ Papua Barat bila prakondisi
dan kondisi pemungkin tersebut di atas terbangun dengan baik, maka
target penurunan emisi tingkat provinsi hingga tahun 2020 sebesar
42,65%
6. Dengan demimikian maka provinsi Papua Barat melalui skenario terbaik
aksi mitigasi terimplementasikan secara optimal selama periode aksi
mampu menyumbang penurunan emisi 7,97% Persen dari target
nasional.
Daftar Pustaka DP-1
Strategi dan Rencana Aksi Provinsi Papua Barat Dalam Implementasi REDD+
DAFTAR PUSTAKA
Angelsen A (ed.). 2008. Moving ahead with REDD: Issues, options and Implications. Bogor: CIFOR.
Badan Pusat Statistik Provinsi Papua Barat. Papua Barat Dalam Angka 2011. Manokwari: BPS Papua Barat.
Bernadinus Steni, ed. (2010), Beyond Carbon: Rights-based Safeguard Principles in Law, HuMa, Jakarta, Indonesia.
CIFOR.2008. Reducing Emission From Deforestation and Degradation in Indonesia (IFCA Consoludation Report). Bogor: CIFOR.
IPCC 2006. Guidelines for national greenhouse gas inventories – volume 4: Agriculture, land use and forestry (GL-AFOLU). http://www.ipcc-nggip.iges.or.jp/public/2006gl/vol4.html (10 Januari 2011).
MoE (Ministry of Environment). 2010. Indonesia Second National Communication
Under The United Nations Framework Convention On Climate Change. Jakarta.
Peraturan Presiden RI Nomor 61 Tahun 2011. Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca. Jakarta: Sekretariat Kabinet
Purbawiyatna.A, AgungPrasetyo.F, Purnomo.H. 2012. Studi Penyusunan
Panduan Penyiapan Unit Pengelolaan Hutan Alam Untuk Pembangunan Program REDD+. Jakarta: GIZ and Forclaim.
Putz FE, Zuidema PA, Pinard MA, Boot RGA, Sayer JA,Sheil D, Sist P, Elias,
Vanclay JK. Improved Tropical Forest Management for Carbon Retention. Perspective, PLoS Biology, preprint, doi:10.1371/journal.pbio.0060166
Satgas REDD+ Indonesia. 2012. Strategi Nasional REDD+. Jakarta.
UNFCCC (2011) Report on the conference of the parties on its sixteenth session, held in Cancun from 29 November to 10 December 2010. Addendum: Part two: Action taken by the conference of the parties at its sixteenth session. Available at: http://unfccc.int/resource/docs/2010/cop16/eng/07a01.pdf#page=2