strati 2 fix
DESCRIPTION
stratigrafi 2TRANSCRIPT
KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
UNIVERSITAS HALU OLEO
FAKULTAS ILMU DAN TEKNOLOGI KEBUMIAN
JURUSAN TEKNIK GEOLOGI
LAPORAN MINGGUAN
PRAKTIKUM STRATIGRAFI
ACARA II
PENAMPANG TERUKUR
OLEH:
AHMAD RIFAI FF1G1 13 032
KENDARI
2015
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 LANDASAN TEORI
Pengukuran stratigrafi dimaksudkan untuk memperoleh gambaran terperinci
urut-urutan perlapisan satuan stratigrafi, ketebalan setiap satuan stratigrafi,
hubungan stratigrafi, sejarah sedimentasi dalam arah vertikal, dan lingkungan
pengendapan. Mengukur suatu penampang stratigrafi dari singkapan mempunyai
arti penting dalam penelitian geologi.
Secara umum tujuan pengukuran stratigrafi adalah:
a. Mendapatkan data litologi terperinci dari urut-urutan perlapisan suatu
satuan stratigrafi (formasi), kelompok, anggota dan sebagainya.
b. Mendapatkan ketebalan yang teliti dari tiap-tiap satuan stratigrafi.
c. Untuk mendapatkan dan mempelajari hubungan stratigrafi antar satuan
batuan dan uruturutan sedimentasi dalam arah vertikal secara detil, untuk
menafsirkan lingkungan pengendapan.
Pengukuran stratigrafi biasanya dilakukan terhadap singkapan singkapan yang
menerus, terutama yang meliputi satu atau lebih satuan satuan stratigrafi yang
resmi. Metoda pengukuran penampang stratigrafi banyak sekali ragamnya.
Namun demikian metoda yang paling umum dan sering dilakukan di lapangan
adalah dengan menggunakan pita ukur dan kompas. Metoda ini diterapkan
terhadap singkapan yang menerus atau sejumlah singkapan-singkapan yang dapat
disusun menjadi suatu penampang stratigrafi.
Metoda pengukuran stratigrafi dilakukan dalam tahapan sebagai berikut:
a. Menyiapkan peralatan untuk pengukuran stratigrafi, antara lain: pita ukur
(± 25 meter), kompas, tripot (optional), kaca pembesar (loupe), buku catatan
lapangan, tongkat kayu sebagai alat bantu.
b. Menentukan jalur lintasan yang akan dilalui dalam pengukuran stratigrafi,
jalur lintasan ditandai dengan huruf B (Bottom) adalah mewakili bagian
Bawah sedangkan huruf T (Top) mewakili bagian atas.
c. Tentukan satuan-satuan litologi yang akan diukur. Berilah patok-patok
atau tanda lainnya pada batas-batas satuan litologinya.
d. Pengukuran stratigrafi di lapangan dapat dimulai dari bagian bawah atau
atas. Unsur-unsur yang diukur dalam pengukuran stratigrafi adalah: arah
lintasan (mulai dari sta.1 ke sta.2; sta.2 ke sta.3. dst.nya), sudut lereng
(apabila pengukuran di lintasan yang berbukit), jarak antar station
pengukuran, kedudukan lapisan batuan, dan pengukuran unsur-unsur geologi
lainnya. Jika jurus dan kemiringan dari tiap satuan berubah rubah sepanjang
penampang, sebaiknya pengukuran jurus dan kemiringan dilakukan pada alas
dan atap dari satuan ini dan dalam perhitungan dipergunakan rata-ratanya.
e. Membuat catatan hasil pengamatan disepanjang lintasan pengkuran
stratigrafi yang meliputi semua jenis batuan yang dijumpai pada lintasan
tersebut, yaitu: jenis batuan, keadaan perlapisan, ketebalan setiap lapisan
batuan, struktur sedimen (bila ada), dan unsur-unsur geologi lainnya yang
dianggap perlu. Jika ada sisipan, tentukan jaraknya dari atas satuan.
f. Data hasil pengukuran stratigrafi kemudian disajikan diatas kertas setelah
melalui proses perhitungan dan koreksi-koreksi yang kemudian digambarkan
dengan skala tertentu dan data singkapan yang ada disepanjang lintasan di-
plot-kan dengan memakai simbol-simbol geologi standar.
g. Untuk penggambaran dalam bentuk kolom stratigrafi, perlu dilakukan
terlebih dahulu koreksi-koreksi antara lain koreksi sudut antara arah lintasan
dengan jurus kemiringan lapisan, koreksi kemiringan lereng (apabila
pengukuran di lintasan yang berbukit), perhitungan ketebalan setiap lapisan
batuan dsb.
Perencanaan lintasan pengukuran
Perencanaan lintasan pengukuran ditetapkan berdasarkan urut-urutan
singkapan yang secara keseluruhan telah diperiksa untuk hal hal sebagai berikut:
Kedudukan lapisan (Jurus dan Kemiringan), apakah curam, landai, vertikal
atau horizontal. Arah lintasan yang akan diukur sedapat mungkin tegak
lurus terhadap jurus.
Harus diperiksa apakah jurus dan kemiringan lapisan secara kontinu tetap
atau berubah rubah. Kemungkinan adanya struktur sepanjang penampang,
seperti sinklin, antiklin, sesar, perlipatan dan hal ini penting untuk
menentukan urut-urutan stratigrafi yang benar.
Meneliti akan kemungkinan adanya lapisan penunjuk (key beds) yang
dapat diikuti di seluruh daerah serta penentuan superposisi dari lapisan
yang sering terlupakan pada saat pengukuran.
Menghitung Ketebalan
Tebal lapisan adalah jarak terpendek antara bidang alas (bottom) dan bidang
atas (top). Dengan demikian perhitungan tebal lapisan yang tepat harus dilakukan
dalam bidang yang tegak lurus jurus lapisan. Bila pengukuran di lapangan tidak
dilakukan dalam bidang yang tegak lurus tersebut maka jarak terukur yang
diperoleh harus dikoreksi terlebih dahulu dengan rumus: d = dt x cosinus ß ( ß =
sudut antara arah kemiringan dan arah pengukuran). Didalam menghitung tebal
lapisan, sudut lereng yang dipergunakan adalah sudut yang terukur pada arah
pengukuran yang tegak lurus jurus perlapisan. Apabila arah sudut lereng yang
terukur tidak tegak lurus dengan jurus perlapisan, maka perlu dilakukan koreksi
untuk mengembalikan kebesaran sudut lereng yang tegak lurus jurus lapisan.
Biasanya koreksi dapat dilakuan dengan menggunakan tabel “koreksi dip” untuk
pembuatan penampang.
a. Pengukuran pada daerah datar (lereng 0o)
Pengukuran pada daerah datar, apabila jarak terukur adalah jarak tegak
lurus jurus, ketebalan
langsung di dapat dengan menggunakan rumus : T = d sin ∂ (dimana d
adalah jarak terukur di
lapangan dan ∂ adalah sudut kemiringan lapisan). Apabila pengukuran
tidak tegak lurus jurus, maka
jarak terukur harus dikoreksi seperti pada cara diatas.
b. Pengukuran pada Lereng
Terdapat beberapa kemungkinan posisi lapisan terhadap lereng seperti
diperlihatkan pada gambar
Catatan: sudut lereng (s) dan kemiringan lapisan (∂) adalah pada keadaan
yang tegak lurus dengan jurus atau disebut “true dip” dan “true slope” }.
Kemiringan lapisan searah dengan lereng.
Bila kemiringan lapisan (∂ ) lebih besar daripada sudut lereng (s)
dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan ketebalan adalah
T = d sin (∂ - s ). Bila kemiringan lapisan lebih kecil daripada
sudutlereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka perhitungan
ketebalan adalah: T = d sin (s - ∂ ).
Kemiringan lapisan berlawanan arah dengan lereng
Bila kemiringan lapisan membentuk sudut lancip terhadap lereng
dan arah lintasan tegak lurus jurus maka: T = d sin ( Ý + s ) Apabila
jumlah sudut lereng dan sudut kemiringan lapisan adalah 90° (lereng
berpotongan tegak lurus dengan lapisan) dan arah lintasan tegak lurus
jurus maka : T = d Bila kemiringan lapisan membentuk sudut tumpul
terhadap lereng dan arah lintasan tegak lurus jurus, maka :
T = d sin (180° - Ý - s). Bila lapisannya mendatar, maka T = d sin (s)
Penyajian hasil pengukuran stratigrafi seperti yang terlihat pada gambar
dibawah ini,
Adapun penggambaran urutan perlapisan batuan/satuan batuan/satuan
stratigrafi disesuaikan dengan umur batuan mulai dari yang tertua (paling bawah)
hingga yang termuda (paling atas) Seringkali hasil pengukuran stratigrafi
disajikan dengan disertai foto-foto singkapan .
Adapun maksud dari penyertaan foto-foto singkapan adalah untu lebih
memperjelas bagian bagian dari perlapisan batuan ataupun kontak antar perlapisan
yang mempunyai makna dalam proses sedimentasinya.
Kolom Stratigrafi
Kolom stratigrafi pada hakekatnya adalah kolom yang menggambarkan
susunan berbagai jenis batuan serta hubungan antar batuan atau satuan batuan
mulai dari yang tertua hingga termuda menurut umur geologi, ketebalan setiap
satuan batuan, serta genesa pembentukan batuannya. Pada umumnya banyak cara
untuk menyajikan suatu kolom stratigrafi, namun demikian ada suatu standar
umum yang menjadi acuan bagi kalangan ahli geologi didalam menyajikan kolom
stratigrafi. Penampang kolom stratigrafi biasanya tersusun dari kolom-kolom
dengan atribut-atribut sebagai berikut: Umur, Formasi, Satuan Batuan, Ketebalan,
Besar-Butir, Simbol Litologi, Deskripsi/Pemerian,
Fosil Dianostik, dan Linkungan Pengendapan.
Profil Lintasan Stratigrafi
Dalam penelitian geologi, pengamatan stratigrafi disepanjang lintasan yang
dilalui perlu dibuat, baik dengan cara menggambarnya dalam bentuk sketsa profil
lintasan ataupun melalui pengukuran stratigrafi. Adapun tujuan dari pembuatan
profil lintasan adalah untuk mengetahui dengan cepat hubungan antar batuan /
satuan batuan secara vertikal.
Litostratigrafi merupakan studi stratigrafi yang memfokuskan kepada jenis –
jenis litologi yang diamati di lapangan. Hal ini bertujuan untuk mengelompokkan
jenis litologi yang berbeda secara bersistem. Pada satuan litostratigrafi penentuan
satuannya berdasarkan ciri litologi yang teramati di lapangan. Ciri tersebut
meliputi janis batuan, kombinasi antar batuan (unconformity, superposisi,
crosscutting), struktur dll. Penentuan batas penyebarannya tidak terlangsung atas
batas waktu. Jika ciri di atas belum memuaskan, maka akan digunakan data
geokimia, geofisika dll. Prinsip superposisi dan letak fosil yang ditemukan
merupakan salah satu komponen batuan.
Urutan tingkatan satuan resmi litostratigrafi dari besar ke kecil adalah
kelompok – formasi – anggota. Namun memiliki satuan dasar yaitu formasi.
Di bawah ini akan dijelaskan mengenai unit satuan resmi litostratigrafi
tersebut.
1. Kelompok
Merupakan satuan lebih besar dari formasi yang terdiri dari dua atau lebih
formasi. Formasi ini memiliki kesamaan ciri litologinya.
2. Formasi
Formasi merupakan satuan dasar litostratigrafi. Formasi bisa saja tidak
termasuk dalam suatu unit kelompok, dan tidak hatus memiliki anggota.
Ketebalannya kurang dari satu meter hingga beribu-ribu meter. Formasi harus
bisa dipetakan dalam skala 1:25.000, memiliki keseragaman ciri fisik dan
mempunyai nilai stratigrafi.
3. Anggota
Anggota merupakan bagian dari suatu formasi. Namun memiliki ciri khas
yang relatif berbeda dengan formasi tersebut. Anggota tidak memiliki
penyebaran yang lebih besar dari formasi. Sehingga anggota selalu
merupakan bagian dari formasi.
Tahap studi stratigrafi yang pertama, yakni penyusunan kolom stratigrafi,
merupakan tugas yang tidak asing bagi para ahli geologi. Karena itu, kita tidak
akan membahas secara langsung hal itu sekarang. Aspek-aspek tertentu dari
penggabungan kolom stratigrafi akan dibahas pada Bab 3 dan Bab 10. Bab ini
terutama akan membahas tentang hal-hal yang lebih konvensional, yakni
pembagian kolom stratigrafi serta kaitannya dengan pembagian skala waktu
geologi. Banyak istilah dan konsep pembagian kolom stratigrafi yang
dikembangkan sekarang ini merupakan warisan dari saat-saat dimana informasi
geologi mendetil belum banyak diperoleh. Rasanya pembaca akan sepakat bila
kita mencoba menelusuri kembali sejarah perkembangan tatanama dan teori
pembagian kolom stratigrafi. Tinjauan sejarah seperti itu sangat bermanfaat untuk
menilai apakah konsep dan tatanama stratigrafi masih diperlukan sekarang serta
apakah perlu atau tidak untuk memperluas pengetahuan tersebut. Bila kita lihat
sejarah perkembangan ilmu geologi, maka “Abad Kegelapan” bagi ilmu ini terjadi
hingga pertengahan abad 18. Hal ini mungkint erjadi karena terhambatnya masa
kebangkitan ilmiah, dimana hambatan itu sendiri karena adanya dominasi gagasan
yang bersumber dari hasil penafsiran yang sempit terhadap Kitab Kejadian (the
Book of Genesis). Di bawah pengaruhi ni, rentang waktu geologi dipandang
hanya beberapa ribu tahun; sedimen dipandang sebagai endapan pada saat
terjadinya Banjir Nabi Nuh; fosil ditafsirkan bermacam-macam, mulai dari sisa-
sisa mahluk hidup yang mati pada saat terjadinya Banjir Nabi Nuh, ciptaan setan,
hingga “batu tulis”.
Sebenarnya sejak pertengahan abad 17, para peneliti ilmiah seperti Steno
(orang Itali) dan Hooke (orang Inggris) telah memberikan tafsiran yang hampir
tepat mengenai arti fosil serta menyadari adanya urut-urutan kronologis strata
batuan. Namun, iklim filsafat saat itu tidak menunjang orang untyuk meneliti
kerak bumi, kecuali penelitian yang berkaitan dengan pencarian mineral
ekonomis. Spekulasi radikal tidak muncul saat itu dan perkembangan stratigrafi
saat itu berlangsung sangat lambat. Pada paruh kedua dari abad 18, mulai terbit
Abad Pencerahan. Sejalan dengan itu, perhatian terhadap benda-benda yang ada
disekelilingnya, termasuk batuan berlapis, mulai berkembang. Tidak heran bila
orang-orang yang bekerja untuk menambang batubara, mineral logam, atau
sumberdaya mineral lainnya merupakan orang-orang pertama yang menyadari
pentingnya hipotesis-hipotesis ilmiah yang dapat dipakai sebagai petunjuk
kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang mereka lakukan. Tulisan-tulisan yang
berasal dari masa itu melukiskan bagaimana orang-orang telah mencoba
mengkoordinasikan data batuan sedimen yang mereka peroleh dari lubang-lubang
pertambangan, kemudian menampilkannya ndalam susunan yang logis. Bila kita
lihat literatur ilmiah tahun 1750-an dan 1760-an, kita akan melihat adanya usaha-
usaha pengelompokkan yang lebih mengarah pada penyusunan bahan kajian
stratigrafi secara rasional. Salah satu usaha pengelompokkan yang pertama
dilakukan oleh Johann Gottlob Lehmann, seorang ahli mineralogi dan ahli
pertambangan berkebangsaan Jerman Pada 1756, Lehmann menerbitkan suatu
skema penggolongan batuan penyusun kerak bumi ke dalam tiga kategori:
1. Batuan kristalin yang tidak mengandung fosil serta diyakininya terbentuk
secara kimiawi pada saat dimana kehidupan belum berkembang. Batuan
ini diberi suatu nama yang artinya lebih kurang “primitif”.
2. Batuan “sekunder”; batuan berlapis, mengandung fosil, serta mengandung
partikel-partikel batuan yang lebih tua.
3. Material lepas seperti pasir dan gravel atau yang dinamakan sebagai
“aluvium”.
1.2 TUJUAN
Tujuan diadakannya praktikum laboratorium ini yaitu ;
o Menentukan ketebalan masing masing lapisan batuan berdasarkan peta
topografi terskala.
o Mengetahui cara membuat dan menganalisa suatu kolom stratigrafi
terskala.
1.3 ALAT DAN BAHAN
Adapun alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini dapat dilihat
pada table 1.1:
Tabel 1.1 Alat dan Beserta Kegunaanya
NO ALAT DAN BAHAN KEGUNAAN
1 Kertas Grafik
Sebagai tempat penulisan dan penggambaran kolom stratigrafi
2 ATKSebagai alat untuk menulis dan menggambar
3 WarnaSebagai alat untuk mewarnai symbol litologi
4 Mistar 30 cmSebagai alat untuk menggaris kolom stratigrafi
5Problem Sheet
Sebagai lembar permasalahan yang akan di selesaikan
1.4 PROSEDUR KERJA
Langkah-langkah yang dilakukan dalam praktikum kali ini adalah sebagai
berikut:
1. Menyediakan alat dan bahan yang akan digunakan dalam praktikum kali ini,
yaitu dalam hal ini mistar, kertas kalkir, grafik dan alat tulis.
2. Menganalisa problem sheet yang diberikan .
3. Menghitung ketebalan masing masing lapisan batuan dengan peta topografi
terukur.
4. Membuat kolom litostratigrafi dan litologi berdasarkann data yang di
cantumkan.
BAB 2
HASIL DAN PEMBAHASAN
2.1 HASIL
Terlampir
2.2 PEMBAHASAN
2.2.1 LITOSTRATIGRAFI
dengan lingkungan pengendapan transisi.
2.2.1.6 Batugamping
Batuan ini dinamakan atas dasar penamaan megaskopis dengan ciri litologi
memiliki warna lapuk coklat, warna segar putih, tekstur non klastik, kandungan
mineral karbonat, struktur massive dengan nama batuan batugamping.
Hasil pengukuran ketebalan yang dilakukan melalui analisa profil peta
topografi terskala dengan penampang terukur batuan ini memiliki tebal 0,9 m.
Umur dari satuan batuan ini yaitu trias dengan lingkungan pengendapan laut
dangkal.
2.2.1.7 Konglomerat
Batuan ini dinamakan atas dasar penamaan megaskopis dengan ciri litologi
memiliki warna kuning kecoklatan, tekstur klastik, ukuran butir kerakal (4 - 64
mm), kemas terbuka, bentuk butir rounded – wellrounded, kandungan mineral
silika, struktur berlapis dengan nama batuan konglomerat.
Hasil pengukuran ketebalan yang dilakukan melalui analisa profil peta
topografi terskala dengan penampang terukur batuan ini memiliki tebal 8,3 m.
Umur dari satuan batuan ini yaitu jura dengan lingkungan pengendapan fluvial.
BAB 3
PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat ditarik dari praktikum kali ini adalah sebagai berikut:
1. Ketebalan masing – masing perlapisan batuan pada daerah penelitian yaitu
konglomerat (8,3 m), batugamping (0,9 m), kalkarenit (11,25m), batupasir
(15,07 m), batulanau (11,83 m), batulempung (3,56 m), dan rijang ( > 6,19
m).
2. Satuan litologi tertua tertua pada daerah X yaitu rijang dengan umur trias,
kemudian di tindih oleh lapisan batulempung diatasnya yang berumur
sama, kemudian di tindih kembali oleh batulanau yang terakhir terbentuk
pada umur trias, sedangkan litologi dengan umur termuda tersusun atas
batupasir dengan umur jura, yang ditindih oleh kalkarenit dan
batugamping diatasnya pada umur yang sama, dan di tindih kembali oleh
konglomerat yang terakhir terbentuk pada akhir zaman jura.
4.2 SARAN
Disarankan agar penyediaan penuntun praktikum stratigrafi untuk
memudahkan praktikan dalam menyelesaikan problem sheet yang diberikan.
DAFTAR PUSTAKA
Noor Djauhari.2010. PENGANTAR GEOLOGI. Universitas Pakuan. Jakarta
http://tagumi.mywapblog.com/laporan-litos-stratigrafi.xhtm l diakses pada tanggal
20 oktober 2015 pukul 16.00 WITA
https://www.academia.edu/7194764/
PRINSIP_INTERPRETASI_LINGKUNGAN_PENGENDAPAN_DAN_KLAS
IFIKASI diakses pada tanggal 19 oktober 2015 pukul 10.00 WITA.