stroke pada lansia

36
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya aliran darah dan oksigen ke otak. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak dan bukan oleh yang lain dari itu. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004, stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia. Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut, sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur. Stroke merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi jutaan orang Amerika bahkan dunia dan dapat mengakibatkan keterbatasan fungsional kronis secara signifikan dan terjadi penurunan kualitas hidup. Perawat harus terus memantau tren dalam penelitian berkaitan dengan perawatan stroke dan dampak lain dari penyakit tersebut serta mendidik pasien dan keluarga tentang proses pemulihan. 1

Upload: nurul-maliki-rayun-ittaqa

Post on 04-Jul-2015

2.254 views

Category:

Documents


19 download

TRANSCRIPT

Page 1: Stroke Pada Lansia

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Stroke termasuk penyakit serebrovaskuler (pembuluh darah otak) yang ditandai

dengan kematian jaringan otak (infark serebral) yang terjadi karena berkurangnya

aliran darah dan oksigen ke otak. WHO mendefinisikan bahwa stroke adalah gejala-

gejala defisit fungsi susunan saraf yang diakibatkan oleh penyakit pembuluh darah otak

dan bukan oleh yang lain dari itu. Di Indonesia, stroke merupakan penyakit nomor tiga

yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun 2004,

stroke merupakan pembunuh no.1 di RS Pemerintah di seluruh penjuru Indonesia.

Diperkirakan ada 500.000 penduduk yang terkena stroke. Dari jumlah tersebut,

sepertiganya bisa pulih kembali, sepertiga lainnya mengalami gangguan fungsional

ringan sampai sedang dan sepertiga sisanya mengalami gangguan fungsional berat yang

mengharuskan penderita terus menerus di tempat tidur.

Stroke merupakan suatu kondisi yang mempengaruhi jutaan orang Amerika

bahkan dunia dan dapat mengakibatkan keterbatasan fungsional kronis secara

signifikan dan terjadi penurunan kualitas hidup. Perawat harus terus memantau tren

dalam penelitian berkaitan dengan perawatan stroke dan dampak lain dari penyakit

tersebut serta mendidik pasien dan keluarga tentang proses pemulihan.

B. Tujuan

1. Mengetahui Evidence Based Nursing pada penyakit stroke khususnya dalam

manajemen BAK sehingga dapat diterapkan dalam menerapkan asuhan

keperawatan serta meningkatkan kualitas hidup pasien.

2. Mengetahui penyebab terjadinya penyakit stroke serta cara penanganannya.

C. Manfaat

1. Bagi Perawat

a. Menambah pengetahuan tentang stroke khususnya penanganan BAK pasien

stroke yang juga terdapat inkontinensia urin berdasarkan Evidence Based

Nursing.

1

Page 2: Stroke Pada Lansia

b. Dapat memberikan intervensi pada klien dengan penyakit stroke pada lansia.

c. Dapat mengetahui prosedur dalam melakukan intervensi pada klien dengan

stroke.

2. Bagi Masyarakat

Dapat menambah pengetahuan tentang stroke pada lansia.

3. Bagi Klien dan Keluarga

Dapat tanggap terhadap gejala-gejala atau faktor resiko dari penyakit stroke.

2

Page 3: Stroke Pada Lansia

BAB II

LITERATUR REVIEW

A. Lansia

a. Definisi

Lanjut usia merupakan istilah tahap akhir dari proses penuaan. Secara biologis

penduduk lanjut usia adalah penduduk yang mengalami proses penuaan secara terus

menerus, yang ditandai dengan menurunnya daya tahan fisik yaitu semakin rentannya

terhadap serangan penyakit yang dapat menyebabkan kematian. Hal ini disebabkan

terjadinya perubahan dalam struktur dan fungsi sel, jaringan, serta sistem organ.

Secara ekonomi, penduduk lanjut usia lebih dipandang sebagai beban dari pada

sebagai sumber daya. Banyak orang beranggapan bahwa kehidupan masa tua tidak

lagi memberikan banyak manfaat, bahkan ada yang sampai beranggapan bahwa

kehidupan masa tua, seringkali dipersepsikan secara negatif sebagai beban keluarga

dan masyarakat.

Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah

suatu masa dimana orang dapat merasa puas dengan keberhasilannya. Organisasi

Kesehatan Dunia (WHO) menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu : usia

pertengahan (middle age) 45 -59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 -74 tahun, lanjut usia

tua (old) 75 – 90 tahun dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.

b. Perubahan pada Lansia

Banyak kondisi dan penyakit yang berkaitan dengan sistem kardiovaskular yang

umum di kalangan lansia. Stroke merupakan salah satu penyakit kardiovaskular pada

lansia selain infark miokard, hipertensi, angina pektoris, gagal jantung kongestif,

penyakit jantung koroner, dan penyakit pada pembuluh darah perifer.

Adapun perubahan yang terjadi pada lansia adalah sebagai berikut:

1. Integumen

Warna Kulit Pigmentasi berbintik/bernoda di area yang terpajan sinar matahari,

pucat walaupun tidak ada anemia

Kelembaban Kering, kondisi bersisik

3

Page 4: Stroke Pada Lansia

Suhu Ekstremitas lebih dingin, penurunan perspirasi

Tekstur Penurunan elastisitas, kerutan, kondisi berlipat dan kendur

Distribusi lemak Penurunan jumlah lemak pada ekstremitas, peningkatan jumlahnya

pada abdomen

2. Rambut

Penipisan dan beruban pada kulit kepala, penurunan jumlah rambut aksila dan pubis

serta rambut pada ekstremitas, penurunan rambut wajah pada pria, kenungkinan rambut

dagu dan di atas bibir pada wanita

3. Kuku

Penurunan laju pertumbuhan

4. Kepala

Tulang nasal dan wajah menajam dan angular, hilangnya rambut alis mata pada wanita,

alis mata tebal pada pria

5. Mata

Penurunan ketajaman penglihatan, penurunan akomodasi, penurunan adaptasi dalam

gelap, sensitivitas terhadap cahaya yang menyilaukan

6. Telinga

Penurunan membedakan nada, berkurangnya refleks ringan, berkurangnya ketajamna

pendengaran

7. Hidung dan sinus

Peningkatan rambut nasal, penurunan indra pengecapan, atropi papila ujung lateral lidah

8. Mulut dan faring

Penggunaan jembatan atau gigi palsu, penurunan indra pengecap, atrofi papila tepi

lateral lidah

9. Leher

Kelenjar tiroid nodular, deviasi trakea ringan akibat atofi otot

10. Toraks dan paru-paru

Peningkatan diameter antero-posterior, peningkatan rigiditas dada, peningkata frekuensi

pernafasan dengan penurunan ekspansi paru, peningkatan resistansi jalan nafas

11. Sistem jantung dan vaskular

Peningkatan signifikan pada tekanan sistolik dengan peningkatan ringan pada tekanan

diastolik, biasanya terjadi perubahan yang tidak signifikan pada denyut jantung saat

istirahat, murmur diastolik umum, nadi perifer mudah dipalpasi, nadi kaki lebih lemah

dan ekstremitas bawah lebih dingin, terutama pada malam hari

4

Page 5: Stroke Pada Lansia

12. Payudara

Berkurangnya jaringan payudara, kondisi menggantung dan kendur

13. Sistem gastrointestinal

Penurunan sekresi saliva yang dapat menyebabkan kesulitan menelan, penurunan

peristaltik, penurunan produksi enzim digestif, termasuk asam hipoklorit, pepsin dan

enzim pankreatik, konstipasi, penurunan motilitas

14. Sistem reproduksi

Wanita : penurunan estrogen, penurunan ukuran uterus, penurunan sekresi, atrofi linea,

epitel vagina

Pria : penurunan kadar testosteron, penurunan jumlah sperma, penurunan ukuran testis

15. Sistem perkemihan

Penurunan filtrasi renal dan efisiensi renal, hilangnya protein terus-menerus dari ginjal,

nokturia, penurunan kapasitas kandung kemih, peningkatan inkontinensia

Wanita : inkontinensia urgensi dan stres akibat penurunan tonus otot perineal

Pria : sering berkemih dan retensi urin akibat pembesaran prostat

16. Sistem muskuloskeletal

Penurunan massa dan kekuatan otot, demineralisai tulang (lebih jelas pada wanita),

pemendekan fosa akibat penyempitan rongga interavertebral, penurunan mobilitas sendi,

penurunan rentang gerak sendi, tonjolan tulang lebih meninggi (terlihat)

17. Sistem neurologis

Penurunan laju refleks atau otomatik volunter, penurunan kemampuan berespons

terhadap stimulasi ganda, insomnia, periode tidur lebih singkat

5

Page 6: Stroke Pada Lansia

B. Bladder Training

Bladder training adalah salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi kandung kemih

yang mengalami gangguan ke keadaan normal atau ke fungsi optimal neurogenik (UMN

atau LMN), dapat dilakukan dengan pemeriksaan refleks-refleks:

1. Refleks otomatik

Refleks melalui saraf parasimpatis S2-3 dan simpatis T12-L1,2, yang bergabung

menjadi n.pelvikus. Tes untuk mengetahui refleks ini adalah tes air es (ice water test).

Test positif menunjukkan tipe UMN sedangkan bila negatif (arefleksia) berarti tipe

LMN.

2. Refleks somatic

Refleks melalui n.pudendalis S2-4. Tesnya berupa tes sfingter ani eksternus dan

tes refleks bulbokarvernosus. Jika tes-tes tersebut positif berarti tipe UMN, sedangkan

bila negatif berarti LMN atau tipe UMN fase syok spinal.

Langkah-langkah Bladder Training:

1. Tentukan dahulu tipe kandung kemih neurogeniknya apakah UMN atau LMN

6

Page 7: Stroke Pada Lansia

2. Rangsangan setiap waktu miksi

3. Kateterisasi:

a. Pemasangan indwelling cathether (IDC)=dauer cathether

IDC dapat dipasang dengan sistem kontinu ataupun penutupan berkala

(clamping). Dengan pemakaian kateter menetap ini, banyak terjadi infeksi atau sepsis.

Karena itu kateterisasi untuk bladder training adalah kateterisasi berkala. Bila dipilh

IDC, maka yang dipilih adalah penutupan berkala oleh karena IDC yang kontinu tidal

fisiologis dimana kandung kencing yang selalu kosong akan mengakibatkan kehilangan

potensi sensasi miksi serta terjadinya atrofi serta penurunan tonus otot.

b. Kateterisasi berkala

Keuntungan kateterisasi berkala antara lain:

Mencegah terjadinya tekanan intravesikal yang tinggi/overdistensi yang

mengakibatkan aliran darah ke mukosa kandung kencing dipertahankan

seoptimal mungkin.

Kandung kencing dapat terisi dan dikosongkan secara berkala seakan-akan

berfungsi normal.

Bila dilakukan secara dini pada penderita cedera medula spinalis, maka

penderita dapat melewati masa syok spinal secara fisiologis sehingga fedback

ke medula spinalis tetap terpelihara.

Teknik yang mudah dan penderita tidak terganggu kegiatan sehari-harinya

4. Penatalaksanaan gangguan fungsi miksi pada lesi medula

a. Lesi kauda Ekuina

Penatalaksanaan pada pasien dengan lesi kauda ekuina memerlukan perhatian

khusus. Pada umumnya ditemukan kandung kencing yang arefleksi (nonkontraktil)

dan miksi dilakukan dengan bantuan manipulasi Crede atau Valsava. Lesi umumnya

inkomplit atau tipe campuran dan berpotensi untuk mengalami penyembuhan.

Pemeriksaan urodinamik mungkin menunjukkan sfingter uretral eksternal yang utuh

dan demikian dengan lesi suprakonus mungkin mengalami kesulitan dalam miksi

kecuali bila terdapat tekanan intravesikal yang penuh yang dapat mengakibatkan

refluksi vesikoureteral. Pada pasien ini didapatkan kerusakan pada persarafan

parasimpatis dengan persarafan simpatis yang utuh atau mengalami reinervasi

7

Page 8: Stroke Pada Lansia

dimana leher kandung kencing mungkin tidak dapat membuka dengan baik pada

waktu miksi.

b. Sindroma Medula Spinalis Sentral

Neurogenic bladder akibat lesi inkomplit seperti lesi medula spinalis sentral

dapat diperbaiki pada lebih dari 50% pasien. Disamping disfungsi neurologis yang

berat dalam minggu-minggu pertama, pemulihan fungsi kandung kencing dapat

terjadi terutama karena serabut kandung kencing terletak perifer pada medula

spinalis.

C. Stroke

a. Definisi

Stroke didefinisikan sebagai suatu manifestasi klinik gangguan peredaran darah

otak yang menyebabkan defisit neurologik (WHO, 1971). Stroke atau juga dikenal

dengan cedera serebrovaskular (CVS) merupakan kehilangan fungsi otak yang

diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak. Individu yang terutama

beresiko mengalami CVS adalah lansia dengan hipertensi, diabetes,

hiperkolesterolemia, atau penyakit jantung. Pada CVS, hipoksia serebral yang

menyebabkan cedera dan kematian sel neuron.

b. Epidemiologi

Di seluruh bagian dunia, stroke merupakan penyakit yang terutama mengenai

populasi usia lanjut. Insidensi pada usia 75-84 tahun sekitar 10 kali dari populasi 55-

64 tahun. Di Inggris stroke merupakan penyakit kedua setelah infark miokard akut

(AMI) sebagai penyebab kematian utama usia lanjut, sedangkat di Amerika stroke

masih merupakan penyebab kematian usia lanjut ketiga. Dengan makin

meningkatnya upaya pencegahan terhadap penyakit hipertensi, diabetes mellitus, dan

gangguan lemak, insiden stroke di Negara-negara maju makin menurun. Di Perancis

stroke disebut sebagai serangan otak yang menunjukkan analogi kedekatan stroke

dengan serangan jantung.

c. Penyebab

Stroke biasanya disebabkan karena salah satu dari 4 kejadian berikut :

1. Thrombosis.

8

Page 9: Stroke Pada Lansia

Aterosklerosis serebral dan perlambatan sirkulasi serebral adalah penyeban

utama thrombosis serebral dan merupakan penyebab yang paling umum terjadi.

Tanda-tanda thrombosis serebral ini bervariasi. Sakit kepala merupakan awitan

yang tidak umum terjadi. Beberapa pasien mengalami pusing, perubahan kognitif,

atau kejang, dan beberapa mengalami awitan yang tidak dapat dibedakan dari

hemoragi intraserebral atai embolisme serebral. Secara umum thrombosis serebral

tidak terjadi secara tiba-tiba, dan kehilangan bicara sementara, hemiplegia, atau

parastesia pada setengah tubuh dapat menjadi awitan paralisis berat pada

beberapa jam atau hari.

Thrombosis ini tidak hanya terjadi pada pembuluh darah otak tetapi dapat juga

terjadi di pembuluh darah leher.

2. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak dari

bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung kiri, seperti

endocarditis infektif, penyakit jantung reumatik, dan infark miokard, serta infeksi

pulmonal, adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya menyumbat arteri

serebral tengah, atau cabang-cabangnya yang merusak sirkulasi serebral.

3. Iskemia serebral

Iskemia serebral (insufisiensi suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi

atheroma pada arteri yang menyuplai darah ke otak.

4. Hemoragi serebral

Hemoragi dapat terjadi diluar durameter (ekstradural atau epidural), dibawah

durameter (subdural), diruang subarachnoid (hemoragi subarakhnoid), atau dalam

substansia otak (hemoragi intraserebral). Hemoragi intraserebral merupakan yang

paling umu terjadi pada pasien dengan hioertensi dan aterosklerosis serebral,

karena perubahan degenerative menyebabkan terjadinya rupture pembuluh darah.

Stroke sering terjasi pada kelompok usia 40-70 tahun.

d. Jenis Stroke

Berdasarkan proses patologi dan gejala klinisnya stroke dapat diklasifikasikan

menjadi :

1. Stroke hemoragik

Terjadi perdarahan cerebral dan mungkin juga perdarahan subarachnoid yeng

disebabkan pecahnya pembuluh darah otak. Umumnya terjadi pada saat

melakukan aktifitas, namun juga dapat terjadi pada saat istirahat. Kesadaran

9

Page 10: Stroke Pada Lansia

umumnya menurun dan penyebab yang paling banyak adalah akibat hipertensi

yang tidak terkontrol.

2. Stroke non hemoragik

Dapat berupa iskemia, emboli, spasme ataupun thrombus pembuluh darah otak.

Umumnya terjadi setelah beristirahat cukup lama atau angun tidur. Tidak terjadi

perdarahan, kesadaran umumnya baik dan terjadi proses edema otak oleh karena

hipoksia jaringan otak.

Stroke non hemoragik dapat juga diklasifikasikan berdasarkan perjalanan

penyakitnya, yaitu :

1. TIA’S (Trans Ischemic Attack) yaitu gangguan neurologist sesaat, beberapa

menit atau beberapa jam saja dan gejala akan hilang sempurna dalam waktu

kurang dari 24 jam.

2. Rind (Reversible Ischemic Neurologis Defict)

Gangguan neurologist setempat yang akan hilang secara sempurna dalam waktu

1 minggu dan maksimal 3 minggu..

3. Stroke in Volution

Stroke yang terjadi masih terus berkembang dimana gangguan yang muncul

semakin berat dan bertambah buruk. Proses ini biasanya berjalan dalam

beberapa jam atau beberapa hari.

4. Stroke Komplit

Gangguan neurologist yang timbul bersifat menetap atau permanent.

e. Faktor Resiko

Faktor yang dapat dikendalikan:

a. Hipertensi, faktor resiko utama. Pengendalian stroke merupakan kunci untuk

mencegah stroke

b. Kolesterol tinggi

c. Penyakit Jantung, serebral berasal dari jantung. Penyakit arteri koronaria, gagal

jantung kongestif, hipertofi ventrikel kiri, abnormalitas irama, penyakit jantung

kongestif

d. Merokok

10

Page 11: Stroke Pada Lansia

e. Obesitas

f. Stress

g. Diabetes

h. Peningkatan hematocrit mengingkatkan resiko infark serebral

i. Diabetes, dikaitkan dengan aterogenesis terakselerasi

j. Kontrasepsi oral (khususnya dengan disertai hipertensi, merokok, dan kadar

esterogen tinggi)

k. Merokok

l. Penyalahgunaan obat

m. Konsumsi alcohol

Faktor yang tidak dapat dikendalikan:

a. Pertambahan usia

b. Keturunan

f. Manifestasi Klinis

Deficit neurologis Manifestasi

1. Deficit

lapang

penglihatan

Homonimus

hemianopsia

- Tidak menyadari orang atau objek tempat

kehilangan penglihatan

- Mengabaikan salah satu sisi tubuh

- Kesulitan menilai jarak

Kehilangan

penglihatan

perifer

- Kesulitan melihat pada malam hari

- Tidak menyadari objek atau batas objek

- Penglihatan ganda

diplopia Penglihatan ganda

2. Deficit

motorik

hemiparises Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang

sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)

hemiplegia Kelemahan wajah, lengan, dan kaki pada sisi yang

sama (karena lesi pada hemisfer yang berlawanan)

Ataksia - Berjalan tidak tegak

- Tidak mampu menyatukan kaki, perlu pijakan

11

Page 12: Stroke Pada Lansia

yang luas untuk berdiri

disartria Kesulitan dalam membentuk kata

disfagia Kesulitan dalam menelan

3. Deficit

sensori

Parestesia - Kebas dan kesemutan pada bagian tubuh

- Kesulitan dalam propriosepsi

4. Deficit

verbal

Afasia ekspresif Tidak mampu membentuk kata yang dapat

dipahami ; mungkin mampu berbicara dalam respon

kata tunggal

Afasia represtif Tidak mampu memahami kata yang dibicarakan

Afasia global Kombinasi dari afasia reseptif dan afasia ekspresif

5. Deficit

kognitif

- Kehilangan memori jangka pendek dan panjang

- Penurunan lapang panjang perhatian

- Kerusakan kemampuan untuk berkonsentrasi

- Perubahan penilaian

6. Deficit

emosional

- Kehilangan kontrol diri

- Labilitas emosional

- Penurunan toleransi pada situasi yang

menimbulkan stress

- Depresi

- Menarik diri

- Rasa takut, bermusuhan dan marah

- Perasaan isolasi

Selain defisit neurologis yang sudah dijelaskan diatas, pasien stroke juga

mengalami disfungsi kandung kemih. Setelah stroke pasien mungkin mengalami

inkontinensia urinarius sementara karena konfusi, ketidakmampuan mengkomunikasikan

kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk menggunakan urinal/bedpan, karena kerusakan

control motoric dan postural.

Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih menjadi atonik, dengan kerusakan

sensasi dalam pengisian kandung kemih. Kadang-kadang control spinkter urinarius

eksternal hilang atau berkurang.

Perbandingan stroke hemisfer kiri dan kanan

Hemisfer kiri Hemisfer kanan

12

Page 13: Stroke Pada Lansia

Paralisis pada tubuh kanan

Defek lapang pandang kanan

Afasia

Perubahan kemampuan intelektual

Perilaku lambat dan kewaspadaan

Paralisis pada sebelah kiri tubuh

Defek lapang penglihatan kiri

Deficit persepsi

Peningkatan distrakbilitas

Perilaku impulsive dan penilaian buruk

Kurang kesadaran

Tanda bahaya stroke:

Tiba-tiba mati rasa atau kelemahan pada wajah, lengan, atau kaki, terutama pada

satu sisi tubuh

Kebingungan tiba-tiba, kesulitan berbicara atau pemahaman

Mendadak kesulitan untuk melihat pada satu atau kedua mata

Tiba-tiba kesulitan berjalan, pusing, kehilangan keseimbangan atau koordinasi

Mendadak sakit kepala parah dan tidak diketahui penyebabnya

g. Patofisiologi

Cedera vascular serebral (CVS), yang sering disebut dengan stroke, adalah

cedera otak yang berkaitan dengan obstruksi aliran darah otak.

1. Stroke Hemoragik

Stroke Hemoragik terjadi apabila pembuluh darah di otak pecah sehingga

menyebabkan iskemia dan hipoksia si sebelah hilir. Penyebab stroke hemoragi

antara lain: hipertensi, pecahnya aneurisma, malformasi arteri venosa. Pembuluh

darah otak yang pecah menyebabkan darah mengalir ke substansi atau ruangan

subarachnoid yang menimbulkan perubahan komponen intracranial yang

seharusnya konstan. Adanya perubahan komponen intracranial yang tidak dapat

dikompensasi tubuh akan menimbulkan peningkatan TIK yang bila berlanjut akan

menyebabkan herniasi otak sehingga timbul kematian. Di samping itu, darah yang

mengalir ke substansi otak atau ruang subarachnoid dapat menyebabkan edema,

spasme pembuluh darah otak dan penekanan pada daerah tersebut menimbulkan

aliran darah berkurang atau tidak ada sehingga terjadi nekrosis jaringan otak.

2. Stroke Iskemik

13

Page 14: Stroke Pada Lansia

Penyumbatan arteri yang menyebabkan stroke iskemik dapat terjadi akibat

thrombus (bekuan darah di arteri serebri) atau embolus (bekuan darah yang

berjalan ke otak dari tempat lain di tubuh).

a. Stroke Trombotik

Stroke trombotik terjadi akibat onklusi aliran darah, biasanya karena

aterosklerosis berat. Sering kali individu mengalami satu atau lebih serangan

iskemik sementara (transient ischemic attack, TIA) sebelum stroke

trombotik yang sebenarnya terjadi. TIA adalah gangguan fungsi otak singkat

yang reversible akibat hipoksia serebral. TIA mungkin terjadi ketika

pembuluh darah aterosklerosis mengalami spasme, atau saat kebutuhan

oksigen otak meningkat dan kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena

aterosklerosis yang berat. Trombus umumnya terjadi karena berkembangnya

aterosklerosis pada dinding pembuluh darah, sehingga arteri menjadi

tersumbat, aliran darah ke area thrombus menjadi berkurang, menyebabkan

iskemia kemudian menjadi kompleks iskemia akhirnya terjadi infark pada

jaringan otak.

Berdasarkan definisi TIA berlangsung kurang dari 24 jam. TIA yang

sering terjadi menunjukkan kemungkinan terjadinya stroke trombotik yang

sebenarnya. Stroke trombotik biasanya berkembang dalam periode 24 jam.

Selama periode perkambangan stroke, individu dikatakan mengalami stroke

in evolution. Pada akhir periode tersebut, individu dikatakan mengalami

stroke lengkap (completed stroke).

b. Stroke Embolik

Stroke Embolik berkembang setelah oklusi arteri oleh embolus yang

terbentuk di luar otak. Sumber umum embolus yang menyebabkan stroke

adalah jantung setelah infark miokardium atau fibrilasi atrium, dan embolus

yang merusak arteri karotis komunis atau aorta. Emboli disebabkan oleh

embolus yang berjalan menuju arteri serebral melalui arteri karotis.

Terjadinya blok pada arteri tersebut menyebabkan iskemia yang tiba-tiba

berkembang cepat dan terjadi gangguan neurologist fokal. Perdarahan otak

dapat disebabkan oleh pecahnya dinding pembuluh darah oleh emboli.

14

Page 15: Stroke Pada Lansia

h. Penatalaksanaan

1. Pada pasien yang CVSnya dapat diidentifikasi bersifak iskemik, agen trombolitik,

seperti aktivatorplasminogen jaringan (tissueplasminogen activator, TPA) dapat

diberikan. TPA harus diberikan sedini mungkin (minimal 3 jam pertama serangan)

agar lebih efektif dalam mencegah kerusakan jangka panjang. Akantetapi

berbahayajika mengatasi stroke hemoragik dengan trombolitik karena agen ini

dapat meningkatkan perdarahan dan memperburuk hasil

2. Stroke hemoragik dapat diatasi dengan penekanan pada perhentian perdarahan dan

pencegahan kekambuhan. Mungkin diperlukan pembedahan

3. Terapi obat yang menghambat saluran ion yang mendeteksi asam dikembangkan

untuk membatasi kerusakan akibat stroke

4. Semua pasien stroke diterap dengan tirah baring dan penurnan stimulus eksernal

untuk mengurangi kebutuhan oksigen serebral. Tindakan untuk menurunkan

tekanan dan edema intracranial dapat dilakukan

5. Terapi fisik, bicara, dan okupasional sering perlu dilakukan.

i. Pemeriksaan Diagnosis

Diagnosis CVS yang cepat sangat penting untuk meminimalkan kerusakan. CT

scan adalah metode pilihan untuk penkajian tanda akut CVS. CT sangat sensitive

terhadap hemoragik, suatu pertimbangan penting karena ada perbedaan vital pada

terapi stroke iskemik versus stroke hemoragik. CT scan berfungsi untuk melihat

jenis patologi, lokasi lesi, ukuran lesi, menyingkirkan lesi non vaskuler.

MRI lebih sensitif dalam mengidentifikasi kerusakan otak dari pada CT scan,

tetapi MRI lebih lambat dari pada CT scan. Jadi dalam keadaan darurat lebih di

pilih memakai CT scan. Akan tetapi, setelah penggunaan awal memakai CT scan,

MRI direkomendasikan untuk menentukan lokasi kerusakaan yang tepat dan

memantau lesi.

Hitung darah tepi lengkap: diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau

trombositosis atau infeksi sebagai faktor risiko stroke.

Waktu protrombin, waktu protrombin parsial: ditujukan kepada penderita dengan

antibodi antifosfolipid (waktu protrombin parsial memanjang).

Analisa urin: hematuria terjadi pada endokarditis bakterialis subakut (SBE)

dengan stroke iskemik oleh karena emboli.

15

Page 16: Stroke Pada Lansia

Kecepatan sedimentasi (LED): peningkatan LED menunjukkan kemungkinan

adanya vaskulitis, hiperviskositas atau (SBE) sebagai penyebab stroke.

Kimia darah: peningkatan kadar glukosa, kolesterol atau trigliserida dalam darah.

Foto rontgen dada: pelebaran ukuran jantung sebagai suatu sumber emboli pada

suatu stroke atau akibat hipertensi lama; dapat menemukan suatu keganasan yang

tidak diduga sebelumnya.

Elektrokardiogram: dapat menunjukkan adanya aritmia jantung, infark miokard

baru, atau pelebaran atrium kiri.

j. Komplikasi

1. Individu yang mengalami CVS mayor pada bagian yang mengontrol respon

pernapasan atau kardiovaskuler dapat menyebabkan kematian. Destruksi area

ekspresif atau represif pada otak akibat hipoksia dapat menyebabkan kesulitan

komunikasi. Hipoksia pada area motoric otak dapat paresis. Perubahan emosional

dapat terjadi pada kerusakan korteks yang mencakup system limbic.

2. Hematoma intraserebral dapat disebabkan oleh pecahnya aneurisma atau strok

hemoragik yang menyebabkan cedera otak sekunder ketika tekanan intracranial

meningkat.

BAB III

ISI JURNAL

A. Jurnal

Judul : Bladder management and the functional outcome of elderly ischemic

stroke patients

Pengarang : E.H. Mizrahi , A.Waitzman , M.Arad , T.Blumstein , A.Adunksy

16

Page 17: Stroke Pada Lansia

Tahun terbit : 2010

B. Kasus

Tn. M (62 tahun) didiagnosis stroke non hemoragik sejak 3 bulan yang lalu. Tn.

M mengalami hemiparese dextra, sehingga harus bedrest di rumah, dan juga afasia.

Sepuluh hari yang lalu Tn. M mengalami serangan stroke kembali dan dibawa ke rumah

sakit, namun saat ini Tn. M sudah kembali ke rumahnya. Tn. M hanya tinggal berdua

dengan istrinya Ny. P (58 th), anaknya hanya sesekali datang menengoknya. Sudah 3

hari terakhir ini Tn. M sering ngompol, sehingga Ny. P kelelahan untuk membersihkan

dan mengganti sprei. Ny. P bingung harus bagaimana lagi dan menanyakan masalah ini

ke Ns. A yang bekerja sebagai perawat home care yang bertugas di rumah Tn. M,

kemudian Ns. A mencari solusi yang tepat untuk masalah Tn. M.

PICO :

P : Pasien lansia stroke dengan inkontinensia urin

I : Bladder Manajemen

C : -

O : Peningkatan pasien dalam menahan BAK

Pertanyaan klinis :

Adakah terapi untuk mengatasi masalah inkontinensia urin pada pasien stroke ?

C. Isi Jurnal

Latar Belakang Jurnal

Dahulu para ilmuan telah membuat teori tentang penuaan seperti Aristoteles dan

Hipocrates yang berisi tentang suatu penurunan suhu tubuh dan cairan secara umum.

Sekarang dengan seiring jaman banyak orang yang melakukan penelitian dan penemuan

dengan tujuan supaya ilmu itu dapat semakin jelas, komplek dan variatif. Ahli teori

telah mendeskripsikan proses biopsikososial penuaan yang kompleks. Tidak ada teori

yang menjelaskan teori penuaan secara utuh. Semua teori masih dalam berbagai tahap

17

Page 18: Stroke Pada Lansia

perkembangan dan mepunyai keterbatasan. Namum perawat dapat menggunakannnya

untuk memahami fenomena yang mempengaruhi kesehatan dan kesejahteraan klien

lansia. Proses menjadi tua itu pasti akan dialami oleh setiap orang dan menjadi dewasa

itu pilihan.penuaan bukan progresi yang sederhana, jadi tidak ada teori universal yang

diterima yang dapat memprediksi dan menjelaskan kompleksitas lansia.

Stroke merupakan penyebab utama ketidakmampuan secara meyeluruh pada

tubuh seseorang (Murray dan Lopez, 1997) dan penyebab kedua pemicu kematian.

Masalah inkontinensia urin dan bladder management merupakan masalah yang terjadi

setelah stoke dan 60 % dari pasien membutuhkan rehabilitasi lingkungan. (Borrie et al).

Secara umum, prediksi pada pasien yang mengalami pemburukan fungsi tubuh setelah

terjadinya stroke akut antara lain dapat diidentifikasi pada usianya, inkontinensia urin,

kelemahan kognitif, delirium dan tingkat dukungan sosial (Wilkinson et al 1997).

Contoh pada komunitas pasien lansia yang terkena stroke dan dengan kondisi

kelemahan kognitif dan inkontinensia urin mereka lebih menderita kemunduran fungsi

tubuh.

Pasca-Stroke yang mengalami masalah pada kandung kemih merupakan resiko

tinggi ketidakmampuan, kematian, dan memerlukan perawatan institusional secara

menyeluruh. Dalam studi pencarian sumber dengan menggunakan kriteria kolaborasi

Cohrane, manajemen masalah kandung kemih hasil dari inkontinensia urin yang terjadi

selama kurun waktu 6-12 bulan setelah onset stroke. Beberapa penyebab dari

kelemahan kandung kemih tidak hanya terjadi setelah stroke, pada otot dekstruktor

yang bergerak hiperaktif, namun kondisi tersebut mengalami kesalahan sehingga

menyebabkan ketidakmampuan neuron motorik atas, tetapi juga gabungan dari kondisi

hypoactive detrusor atau kondisi ketidaknormalan urodinamik. Dalam kondisi ini, otot

yang lain seperti kemampuan bahasa dan beberapa dampak dari stroke secara spesifik

seperti kelemahan kognitif memyebabkan kemampuan pemenuhan basal melemah,

hasil berbeda pada tingkatan kelemahan bladder. Dari sini kondisi klinis inkontinensia

urin dapat teridentifikasi, hal kecil yang dapat kita tahu tentang hubungan yang

mungkin terjadi antara level bladder manajement dan hasil dari fungsi tubuh dalam

FIM score. Inkontinensia urin mungkin tidak relevan terhadap ketidakmampuan pasien

mengatur kondisi tersebut. Tujuan dari penelitian dalam jurnal ini adalah mengevaluasi

kondisi, dan mengetahui apakah tingkatan perawatan manajemen kandung kemih

berhubungan terhadap fungsi tubuh secara umum pada pasien lansia yang terkena

18

Page 19: Stroke Pada Lansia

stroke. Pada penelitian ini juga mengkaji pada evaluasi rehabilitasi yang potensial dan

mungkin dilakukan secara tidak realistik oleh staf medik dan caregiver.

Setting

Pusat rehabilitasi geriatri terdiri dari 36 unit tempat tidur. Departemen ini terdiri

dari berbagai macam tim interdisiplin yaitu ahli geriatri, fisioterapi, perawat, terapis

rehabilitasi (fisik, okupasi dan bicara), pelayanan sosial, dan psikolog yang bertemu 2

kali seminggu untuk megevaluasi status masing-masing pasien. Selama pertemuan ini

ditetapkan rencana pengobatan dan integrasi staf serta promosi rehabilitasi yang

efektif. Tipe pasien yaitu yang menjalani terapi fisik dan okupasi lebih dari 6 jam per

minggu.

Management Bladder

FIM bladder score terdiri dari 5 point atau kurang mengidentifikasi management

level bladder yang tergantung (butuh bantuan : 1- bantuan total, 2- bantuan maksimal,

3- bantuan moderate, 4- kontak minimal, 5- perlu pengawasan) sedangkan score yang

lebih tinggi (6- modified independence, 7- complete independence) yang

mengindikasikan level manajemen bladder pasien secara mandiri/tidak memerlukan

bantuan.

Analisis Data

Membandingkan antara 2 group pasien (Low Bladder Management Score dan

High-BMS) yang didefinisikan berdasarkan data demografi dan karakteristik klinis,

yang dianalisis menggunakan t-tests, chi-square test, dan regresi untuk

mengidentifikasi adanya bias. Analisis yang terpisah menunjukkan adanya

penghitungan total dan motor FIM score, yang sama kecocokannya. Yang pada

akhirnya didapatkan score management bladder dan kedua variabel yang berhubungan

signifikan dengan score FIM. Statistik ini menggunakan p < 0.05. SPSS dan Windows

versi 11.0 digunakan untuk menganalisis.

Hasil

19

Page 20: Stroke Pada Lansia

Total pasien sejumlah 1187 dengan stroke akut. 268 pasien masuk dalam criteria

eksklusi karena usia <60 tahun, stroke jenis hemorhagic, data yang hilang, rehabilitasi

yang lebih pendek dari 7 hari dan meniggal di RS. Jumlah total pasien untuk analisis

data sebanyak 919 orang dengan stroke iskemik selama 7 tahun. Tingkat manajemen

kandung kemih ditentukan oleh Fungtional Independent Measurement (FIM) sub-skala

core relevan dengan control kandung kemih. Skor (FIM) kurang dari 5 poin ditentukan

sebagai rendahnya manajemen kandung kemih (Low-BMS) sementara skor FIM lebih

besar dari 5 ditentukan sebagai nilai manajemen kandung kemih tinggi (High-BMS).

Terdapat 594 pasien kandung kemih dengan skor manajemen bladder rendah

(Low-BMS) dan 325 pasien dengan skor manajemen bladder tinggi (High-BMS), saat

masuk. Dibandingkan dengan High-BMS, pasien Low-BMS sedikit lebih tua (p =

0,002), rata-rata usia pasien dengan Low BMS adalah 76,32 tahun sedangkan pada

pasien dengan High BMS adalah 74,59 tahun. Selain itu pasien dengan Low BMS

menunjukkan rehabilitasi yang lebih lama (p <0,001) dan skor Mini Mental State

Examination (MMSE) yang rendah (p <0,001). Total skor FIM saat masuk dan keluar

pada Low-BMS lebih rendah, namun jumlah total skor FIM pada saat keluar lebih

tinggi, dibandingkan dengan High-BMS (19,5 ±16,46 vs 12,55 ±17.59, p= 0,07).

Analisis regresi multiple linear menunjukkan bahwa total FIM pada saat keluar

berbanding terbalik dikaitkan dengan Low-BMS saat masuk (beta =- 0,407; p <0,001)

dan umur (beta = -0,127; p <0,001). Skor tinggi MMSE (beta = 0,334; p <0,001)

muncul sebagai prediksi total skor FIM yang lebih tinggi pada saat keluar. Low BMS

secarain dependen prediktif untuk total skor FIM pada saat keluar (beta = 0,166; p

<0,001). Temuan menunjukkan bahwa pasien dengan Low-BMS dapat mempengaruhi

hasil rehabilitasi pada pasien stroke usia tua. Namun, pasien Low-BMS memperoleh

keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.

Pembahasan

Penelitian ini lebih menekankan pada tingkat manajemen bladder daripada

inkontonensia post stroke. Disini ditunjukkan cara yang berbeda untuk mengamati

fungsi blader yang menunjukkan kompleksivitas dalam mengevaluasinya yang banyak

kesulitan dalam praktik sehari-hari yang dialami oleh pasien dan caregiver, selain itu

juga kondisi lain yang menyertai terkait distress, frustasi dan rasa malu. Kondisi ini

20

Page 21: Stroke Pada Lansia

menunjukkan perbedaan perilaku pasien yang didiagnosis inkontinensia post stroke

yang terkaji melalui klinik atau melalui tes urodinamik.

Hal ini menjadi penting semenjak manajemen sindrom klinik tidak menujukan

isu praktik yang baik, dihubungkan dengan kesulitan bladder manajemen. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk menunjukan pencapaian fungsional dari pasien stroke lebih

baik ketika dilakukan penilaian dengan scoring bladder manajemen kepada mereka.

Ada hubungan positif dari perbedaan level manajemen bladder dengan skor FIM,

dengan skor bladder yang rendah memprediksikan penurunan pengeluaran total FIM

dan total peningkatan FIM. Hubungan tersebut tidak tergantung pada faktor prognosis,

tetapi tergantung pada pusat kognitif serta usia. Yang dikenal memerankan prognosis

mayor pada rehabilitasi stroke.

Secara umum penelitian ini menunjukkan secara signifikan outcome fungsional

pasien yang merugikan ketika menunjukan skor bladder yang rendah. Efek merugikan

ini juga dipengaruhi oleh indicator kunci lainnya dari kesuksesan rehabilitasi yang

berhubungan dengan meningkatnya fasilitas reabilitasi pasca rumah sakit.

Akhirnya penelitian ini kemungkingan dikritisi terkait tidak digunakannya

analisis Rasch ; analisis linear ataupun interval FIM masih populer digunakan serta

penggunaan penelitian outcome FIM untuk memonitor perubahan selama rehabilitasi

pasien, mudahnya karena kebanyakan data FIM terlihat tertutup pada model

konvensional. Disamping keterbatasan ini, penelitian selanjutnya akan lebih

menguntungkan jika menggunakan sampel pasien lebih banyak. Program rehabilitasi

semacam ini dirancang untuk menangani pasien lansia yang mengalami strok, hal

tersebut dapat menurunkan derajat seleksi bias serta meningkatkan validitas dari

penelitian.

Kesimpulan dari outcome fungsional pada pasien lansia yang mengalami stroke

iskemi lebih menguntungkan dibandingkan dengan scoring tinggi manajemen bladder.

Namun demikian, skor bladder yang rendah tidak seharusnya memegang efek samping

dari kurangnya keberhasilan peningkatan fungsional selama rehabilitasi. Percobaan

klinis dibutuhkan untuk menilai kemungkinan efek dari perbedaan intervensi dari

manajemen bladder atau outcome fungsional.

Penerapan di Indonesia

21

Page 22: Stroke Pada Lansia

Intervensi Bladder Management untuk pasien pasca stroke dapat diterapkan di

Indonesia.

BAB IV

IMPLIKASI KEPERAWATAN

22

Page 23: Stroke Pada Lansia

1. Perawat sebagai pendidik

Perawat dapat berperan memberikan pendidikan dan pengetahuan mengenai

stroke pada lansia, bagaimana asuhan keperawatannya, dan mampu

menghubungkannya dengan EBN terkait, khususnya intervensi atau

penanganannya.

2. Perawat sebagai klinisi

- Sebagai klinisi, perawat mampu menerapkan asuhan keperawatan yang tepat dan

mampu memilih intervensi yang lebih efektif dan terbukti secara ilmiah kepada

klien dengan gangguan inkontinensia urin pasca stroke.

- Menerapkan management bladder training kepada pasien stroke sesuai dengan

EBN.

3. Perawat sebagai advocator

Perawat berperan sebagai melindungi hak-hak pasien untuk mendapatkan

pengobatan yang tepat pada pasien.

4. Perawat sebagai peneliti

Perawat mampu mengembangkan penelitian terkait masalah stroke maupun

gejala sisa pasca stroke

BAB V

PENUTUP

23

Page 24: Stroke Pada Lansia

A. Kesimpulan

Dalam jurnal manajemen bladder diatas terdapat 594 pasien dengan Low-BMS

dan 325 pasien dengan High-BMS. Rata-rata usia pasien Low-BMS sedikit lebih tua

dibandingkan dengan pasien High-BMS, serta pasien dengan Low BMS menunjukkan

rehabilitasi yang lebih lama dibandingkan dengan pasien High-BMS. Namun, jumlah

total skor FIM pada pasien Low BMS saat keluar lebih tinggi, dibandingkan dengan

pasien High-BMS. Pasien dengan Low-BMS dapat mempengaruhi hasil rehabilitasi

pada pasien stroke usia tua yang mempunyai score MMSE rendah. Namun, pasien Low-

BMS memperoleh keuntungan yang signifikan yaitu peningkatan skor FIM.

B. Saran

1. Bagi mahasiswa

Meningkatkan pengetahuan tentang hal-hal yang berkaitan dengan stroke

khususnya penanganan BAK pasien stroke yang juga terdapat inkontinensia urin.

2. Bagi perawat

Meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan asuhan

keperawatan bagi pasien stroke khususnya penanganan BAK pasien stroke yang

juga terdapat inkontinensia urin.

3. Bagi masyarakat

- Ikut serta dalam upaya pencegahan stroke.

- Mendukung keluarga yang menderita stroke dengan tanggap terhadap gejala dan

faktor resikonya.

DAFTAR PUSTAKA

Corwin E.J, 2007, Buku Saku Patofisologi Edisi 3, Jakarta : EGC

24

Page 25: Stroke Pada Lansia

http://rajawana.com/artikel/kesehatan/345-stroke.html akses 16 Mei 2011

http://www.damandiri.or.id/file/ratnasuhartiniunairbab2.pdf akses 15 Mei 2011

http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6T4H-50S2D4G-

2&_user=10&_coverDate=08%2F12%2F2010&_alid=1755420179&_rdoc=1&_fmt=high&_o

rig=search&_origin=search&_zone=rslt_list_item&_cdi=4975&_docanchor=&view=c&_ct=8

37&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&md5=620f332ac6f72cb89

0c31e0714b00f9f&searchtype=a

Mauk, Kristen L. 2006. Gerontological Nursing: Competencies For Care. USA: Jones and

Bartlett Publishers, Inc.

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Volume 1. Jakarta : EGC

25