struktur kelas dan otonomi perempuan tengger …
TRANSCRIPT
http://dx.doi.org/10.21776/ub.sbn.2020.004.01.06
© 2020 Jurnal Studi Budaya Nusantara - SBN All rights reserved
STRUKTUR KELAS DAN OTONOMI PEREMPUAN TENGGER DESA ARGOSARI KECAMATAN SENDURO KABUPATEN LUMAJANG
Aliffiati a, I Ketut Kaler
b
Prodi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, Denpasar
Email: a [email protected],
Info Artikel Abstrak
Sejarah Artikel: Diterima Juni 2020 Disetujui Juni 2020 Dipublikasikan Juni 2020
Perempuan dalam sebuah rumahtangga turut berperan dalam menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, demikian yang dialami oleh sebagian besar perempuan di pedesaan. Ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat khususnya di pedesaan merupakan salah satu masalah yang menarik untuk dikaji dengan berbagai pendekatan, salah satunya ilmu antropologi. Kajian berikut menganalisa perempuan petani etnis Tengger di wilayah Desa Argosari Kecamatan Senduro Kabupaten Lumajang Jawa Timur. Tujuan penelitian untuk mengetahui dan mengidentifikasi tentang strafikasi sosial perempuan di masyarakat terkait dengan status dan peran perempuan di ranah domestik dan publik. Penelitian dilakukan mengggunakan metode pendekatan etnografi sebagai salah satu varian pendekatan kualitatif. Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih teguh memegang tradisi khususnya mempertahankan sebagian budaya jaman Majapahit, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Mereka meyakini keturunan Roro Anteng dan Joko Seger. Dibalik legenda Roro Anteng dan Joko Seger yang merupakan folklore tentang asal usul etnis Tengger, memiliki makna sebagai visi tentang kesetaraan gender. Tradisi Tengger menempatkan para perempuan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan ritual. Tradisi Tengger menganggap laki-laki dan perempuan mempunyai posisi yang sederajat, sama-sama berperan dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Kata Kunci: struktur kelas, otonomi perempuan, kekuasaan sosial
Abstract
Family and household studies are one of the initial anthropological studies related to studies beginning at the household is a study of women, specifically the role and status of women in the family / household as individuals, wives and mothers. Women in a household play a role in maintaining the stability and economic survival of the family, as experienced by most women in rural areas. Gender inequality that occurs in the community, especially in rural areas is one interesting problem to be studied with various approaches, one of which is the science of anthropology. The following study analyzes the Tengger ethnic women farmers in Argosari Village, Senduro District, Lumajang Regency, East Java. The research objective is to find out and identify about women's autonomy and women's social power in the family and community. Especially the social strafication of women in society is related to the status and role
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
70
of women in the domestic and public spheres. The study was conducted using the ethnographic approach as a variant of the qualitative approach. Research activities include field assessments to understand the condition of the research location, followed by field data collection carried out using interviews, observation, literature, and document checks. Data collected from various sources are then processed, analyzed, then presented in the form of descriptive descriptions. Keywords: class structure, women’s autonomy, social power
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
71
PENDAHULUAN
Membahas tentang struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari adalah
membahas tentang bagaimana posisi perempuan di ranah domestic dan public, juga
membahas tentang status dan peran perempuan. Membahas tentang status dan peran
perempuan adalah membahas tentang bagaimana pembagian kerja di dalam keluarga dan
masyarakat antara laki-laki dengan perempuan terkait dengan hak dan kewajiban masing-
masing Kajian mengenai keluarga dan/atau rumahtangga merupakan kajian ilmu Antropologi
yang tergolong klasik/awal namun tetap diperlukan dan sesuai seiring perkembangan jaman.
Hampir semua orang hidup dalam keluarga dan rumah tangga, keanggotaan yang biasanya
dilandasi oleh hubungan kekerabatan perkawinan dan keturunan, yang secara simultan
merupakan kombinasi satuan tempat tinggal, suatu satuan kerja ekonomi (sekurang-
kurangya distribusi dan konsumsi) dengan satuan yang di dalamnya terdapat (sebagian
besar) reproduksi dan standar analisis bagi tujuan ekonomi dan ekologi. Nutrisi diukur disini;
pembagian kerja berdasar usia, jenis kelamin, dan status dapat diamati secara langsung,
dan anggaran pun dapat dihitung (Saifuddin, 1999). Berawal dari kajian keluarga dan rumah
tangga dapat dilaksanakan inferensi dan abstraksi pada tingkat masyarakat yang lebih luas,
tradisi dalam Antropologi menjelaskan masalah-masalah sosial secara integral.
Terkait dengan kajian berawal dari rumahtangga adalah kajian tentang perempuan,
khususnya peran dan status perempuan di dalam keluarga/rumahtangga sebagai individu,
istri dan ibu. Menarik kajian perempuan yang berada di wilayah perdesaan atau perempuan
tani. Sekitar setengah dari kaum wanita di seluruh dunia hidup dan bertani di negara-negara
sedang berkembang dan menghasilkan 40 sampai 80 persen dari seluruh produksi
pertanian (Charlton, 1984:61 dalam Moore, 1998). Kaum wanita di seluruh dunia terlibat
dalam kerja produktif di dalam maupun di luar rumah. Ciri yang sesungguhnya dari kerja ini
berbeda-beda dari suatu budaya ke budaya lainnya, tetapi pada umumnya bisa digolongkan
ke dalam empat kelompok: kerja pertanian, perdagangan, kerja rumah tangga, dan kerja
upahan. Kerja bukan hanya sekedar persoalan apa yang dilakukan orang karena setiap
definisi juga harus mengikutsertakan kondisi-kondisi tempat kerja itu dilakukan, dan nilai
atau harga sosialnya dalam konteks budaya tertentu (Moore, 1998).
Keberadaan perempuan sebagai ibu rumahtangga sangat diperlukan untuk
menjaga kestabilan dan kebertahanan ekonomi keluarga, sehingga perempuan turut
bertanggungjawab terhadap ekonomi keluarga. Pembagian kerja antara laki-laki dan
perempuan dalam masyarakat pedesaan Jawa cukup jelas, tetapi hubungan antara laki-
laki dan perempuan dalam proses produksi tidak ditentukan oleh perbedaan jenis
kelamin saja, melainkan lebih penting oleh kesempatan memperoleh sumber-sumber
strategis yang melintasi perbedaan jenis kelamin. Perempuan memperoleh otonomi dan
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
72
kebebasan ekonomis, tidak berdasarkan dengan siapa mereka bekerja, melainkan
karena sifat dan keluwesan dari sumber-sumber penghasilan yang ada pada mereka.
Peran seorang ibu rumah tangga dapat dilihat dari curahan waktu yang diberikan
dalam kegiatan produktif atau kegiatan mencari nafkah serta kegiatan reproduktif atau
kegiatan rumah tangga. Perempuan dituntut untuk bisa menyelesaikan urusan domestik
dan publik sehingga curahan waktu kerja mereka lebih tinggi dari laki-laki, hal ini mereka
jalani bukan sebagai ketimpangan gender tetapi sebagai tanggung jawab mereka
sebagai ibu rumah tangga seperti yang dialami perempuan Tengger. Kerja partisipatif
perempuan di sektor publik adalah salah satu wujud dari karakteristik wong Tengger
yaitu kerjasama antara laki-laki dan perempuan dalam bekerja di tegal atau berladang.
Rogers (1978) mengemukakan bahwa kedudukan perempuan hanya bisa dipahami
dalam suatu konteks sosio-budaya dari suatu masyarakat dan lewat pola pembagian kuasa
berdasarkan jenis kelamin yakni pola penguasaan sumber daya seperti; ekonomi
pendidikan, pengalaman, ketrampilan, kepemilikan tanah dll., pola yang berlaku dalam
masyarakat dalam kategori perilaku dan segi ideologi, artinya kedudukan perempuan tidak
ditentukan hanya pada otonomi pribadi saja, melainkan juga oleh faktor-faktor yang ada di
luar dirinya atau budaya.
Menarik untuk dikaji adalah struktur kelas dan otonomi perempuan Tengger Argosari
di masyarakat, khususnya tentang bagaimana status dan peran serta kekuasaan sosial
perempuan Tengger Argosari. Partisipasi perempuan Tengger Argosari di ladang tidak
hanya disebabkan oleh faktor ekonomi namun ada hal yang sangat mendasar terkait
dengan apa, mengapa dan bagaimana peran aktif perempuan dalam kehidupan di
keluarga dan di masyarakat. Masyarakat Tengger yang masih teguh memegang dan
menjalankan tradisi berkaitan erat dengan kesejajaran posisi dan peran antara laki-laki
dengan perempuan. Perempuan dan laki-laki mempunyai hak dan kewajiban yang dapat
dikatakan sama. Perempuan bahkan menempati beberapa tingkatan sosio-ekonomi dan
budaya di masyarakat lebih tinggi dari laki-laki.
Kajian etnogafis dengan menekankan pada aspek pemahaman dengan metode penelitian
kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian di dusun Krajan desa
Argosari kecamatan Senduro kabupaten Lumajang. Lokasi dipilih karena wilayah ini
merupakan daerah etnis Tengger Lumajang yang jumlah mereka yang relatif banyak dan
masih bertahan dengan tradisi Tengger, serta secara umum jarang dikenal.
Penentuan informan dengan satuan keluarga/rumahtangga untuk menggali data secara
menyeluruh (kualitatif) dengan mengkaji dari berbagai sudut pandang (perspektif) laki-laki
(suami/kepala keluarga) dan perempuan (istri/ibu) serta anggota keluarga. Secara khusus,
satuan keluarga sebagai informan berjumlah 10 KK ditentukan dengan purposive dengan
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
73
menekankan pada usia perkawinan, peran aktif perempuan di keluarga dan masyarakat
atau dalam ranah domestik dan publik.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kesetaraan Gender dalam Tradisi Tengger Argosari
Masyarakat Tengger secara administratif berada di empat wilayah kabupaten yaitu
Probolinggo, Pasuruan, Malang dan Lumajang. Mereka memiliki sebutan khusus
berdasarkan wilayah sebagai bentuk pengidentifikasian diri sebagai orang Tengger, yaitu
Brang Lor (utara) untuk masyarakat yang tinggal di Probolinggo, Brang Kulon (barat) untuk
wilayah Pasuruan, Brang Wetan (timur) untuk wilayah Lumajang, dan Brang Kidul (selatan)
untuk wilayah Malang.
Tengger Brang Wetan atau Tengger Lumajang sebagian besar bermukim di desa
atau dusun yang secara administratif berada di wilayah kecamatan Senduro. Keberadaan
Tengger Brang Wetan yang relatif masih bertahan dengan tradisi ke-Tengger-an serta
dengan jumlah penduduk yang relatif banyak berada di desa Argosari. Desa Argosari secara
administrasi terbagi menjadi 4 dusun, yaitu dusun Krajan Argosari, dusun Bakalan, dusun
Gedok dan dusun Pusung Duwur. Luas desa Argosari 274.456 Ha dengan ketinggian dari
permukaan laut 2200 m dengan jumlah penduduk secara keseluruhan 3.425 jiwa.. Topografi
desa Argosari merupakan dataran tinggi dengan suhu rata-rata 10 derajat celcius dan jenis
tanah Andosol. Orbitasi jarak ke ibu kota kecamatan kurang lebih 20 km, jarak ke ibu kota
kabupaten kurang lebih 37 km, jarak ke ibu kota propinsi kurang lebih 167 km dan jarak ke
ibu kota negara kurang lebih 1100 km.
Masyarakat Tengger merupakan sub etnis Jawa, yang masih mempertahankan
sebagian budaya jaman Majapahit. Mereka tergolong sebagai masyarakat yang masih
memegang teguh tradisi, terlebih masyarakat Tengger Argosari. Masyarakat Tengger
Argosari selain teguh dalam memegang tradisi, mereka juga masih mencirikan masyarakat
petani berorientasi subsisten yang egaliter. Setiap warga masyarakat berhak atas nafkah
hidup dari sumber-sumber kekayaan yang berada di dalam desa dengan melepaskan status
dan otonomi. Struktur kelas di masyarakat yang dibentuk oleh status sosial, yang terjadi di
masyarakat Tengger Argosari terdiri dari tokoh masyarakat dan warga masyarakat, bidang
ekonomi tidak begitu berpengaruh dalam pembentukan kelas di masyarakat.
Tradisi Tengger menempatkan posisi laki-laki dengan perempuan sejajar, karena sejatinya
laki-laki dan perempuan adalah manusia atau wong yang sederajat sama-sama berperan
baik dalam kehidupan keluarga ataupun di masyarakat. Hal ini tercermin dalam filosofi atau
pandangan hidup orang Tengger yang mengatur hubungan mereka khususnya hubungan
(interaksi) antar manusia.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
74
Laki-laki dan perempuan harus menjalani setya laksana, yaitu mereka diharuskan untuk
bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh adat
(Sutarto, 2003a:40). Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia yaitu: a. setya budaya artinya: taat, tekun, mandiri; b. setya wacana
artinya: setia pada ucapan; c. setya semaya artinya: setia pada janji; d. setya laksana
artinya: patuh, taat; e. setya mitra artinya: setia kawan (Widyaprakosa, 1994:71).
Ajaran setya laksana menjadi acuan mereka dalam menyikapi hidup serta untuk
mencapai harapan hidup yaitu waras atau sehat, wareg atau kenyang, wastra atau tercukupi
masalah sandang, wisma atau memiliki rumah atau tempat tinggal, widya atau memiliki ilmu
pengetahuan dan ketrampilan. Selain ajaran setya laksana, mereka mengembangkan
pandangan hidup yang disebut kawruh buda atau pengetahuan tentang watak, yaitu: a.
prasaja berarti jujur, apa adanya; b. prayoga artinya senantiasa bersikap bijaksana; c.
pranata artinya senantiasa patuh kepada pimpinan; d. prasetya berarti setia; e. prayitna
berarti waspada.
Ketika seorang laki-laki telah menjadi suami dan seorang perempuan telah menjadi
istri, mereka dituntut secara total untuk mengabdi kepada kepentingan keluarga agar
tercapai ketentraman dan kesejahteraan hidup. Hubungan antara laki-laki dan perempuan
tercermin pada sikap bahwa laki-laki adalah ngayomi, ngayani, dan ngayemi artinya
memberikan perlindungan, memberi nafkah serta menciptakan suasana tentram dan damai.
Perempuan Tengger adalah perempuan yang setia, taat dan rajin serta membantu suami di
ladang.
Kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan menurut pandangan masyarakat
Tengger dilandasi oleh filosofi yang masih dipegang teguh oleh masyarakat Tengger hingga
saat ini. Suami istri dituntut untuk dapat mewujudkan harapan hidup atau walima yaitu
waras, wareg, wastra, wisma dan widya. Apabila salah satu dari mereka tidak konsisten atau
melanggar komitmen maka akan terkena walat yakni hukuman dari Hong Pikulun (Yang
Maha Kuasa). Misalnya diantara suami istri ada yang selingkuh maka akan mendapat walat
yang disebut dengan persikan. Persikan tidak hanya dialami oleh yang bersangkutan yang
melakukan kesalahan tapi juga seluruh warga kampung (dianggap kotor) sehingga harus
dibersihakan dengan ritual pengusir bala sebagai sarana penetralisir dampak negatif agar
warga selamat. Hal ini menunjukkan adanya control sosial serta kesetaraan di masyarakat
Tengger.
Konsep kesetaraan juga berlaku dalam pembagian warisan. Pembagian warisan
secara adat/tradisi Jawa dengan prinsip sepikul segendhongan yaitu bagian laki-laki sepikul
sedang bagian perempuan segendhongan artinya laki-laki mendapat bagian dua kali dari
bagian perempuan. Tradisi Tengger dalam pembagian warisan dilandasi oleh prinsip
“podho-podho anake”, artinya baik laki-laki ataupun perempuan mendapat bagian yang
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
75
sama. Misalnya, orang tua memiliki lahan 1 hektar dan memiliki anak 3 orang yang terdiri
seorang perempuan dan 2 orang laki-laki, maka lahan yang ada di bagi rata untuk 3 orang
anaknya dengan luas yang sama, sedangkan rumah akan diberikan kepada anak yang
merawat orang tua. Bagi orang Tengger anak adalah anugrah Tuhan yang harus disayang
tanpa dibeda-bedakan haknya antara anak perempuan dengan laki-laki karena mereka
adalah “podho-podho anake”. Kesempatan untuk dapat mengenyam pendidikan formal
untuk anak laki-laki dan perempuan sama. Mereka diberi kesempatan yang sama untuk
mengejar cita-cita (sekolah), bahkan ada kecenderungan pendidikan formal anak
perempuan lebih tinggi dibanding anak laki-laki. Perempuan lebih tekun sedang anak laki-
laki lebih berorientasi untuk segera mencari uang.
Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Tengger mewarnai bagaimana
mereka bersikap dan bertindak dalam rangka mewujudkan peran dan statusnya di keluarga
dan masyarakat. Kesederajatan itulah yang kemudian melahirkan peran strategis
perempuan Tengger dalam pandangan tradisi masyarakat. Sebuah pandangan yang
selangkah lebih maju dalam pemikiran tradisi-lokal ketika para pemikir di kota masih
memperbincangkan dan memperdebatkan tentang cara-cara bagaimana memberdayakan
perempuan.
Laki-laki dan perempuan harus menjalani setya laksana, yaitu mereka diharuskan
untuk bertanggungjawab dalam melaksanakan kewajiban yang telah dibebankan oleh adat
(Sutarto, 2003a:40). Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia yaitu: a. setya budaya artinya: taat, tekun, mandiri; b. setya wacana
artinya: setia pada ucapan; c. setya semaya artinya: setia pada janji; d. setya laksana
artinya: patuh, taat; e. setya mitra artinya: setia kawan (Widyaprakosa, 1994:71). Ketika
seorang laki-laki telah menjadi suami dan seorang perempuan telah menjadi istri, mereka
dituntut secara total untuk mengabdi kepada kepentingan keluarga agar tercapai
ketentraman dan kesejahteraan hidup. Hubungan antara laki-laki dan perempuan tercermin
pada sikap bahwa laki-laki adalah ngayomi, ngayani, dan ngayemi artinya memberikan
perlindungan, memberi nafkah serta menciptakan suasana tentram dan damai. Perempuan
Tengger adalah perempuan yang setia, taat dan rajin serta membantu suami di ladang.
Status dan Peran Perempuan Tengger dalam Keluarga, Masyarakat dan Adat
Kehidupan keluarga Tengger menggambarkan kehidupan keluarga yang harmonis,
ikatan keluarga di antara mereka sangat erat. Pembagian kerja antara suami dengan istri
pada masyarakat Tengger secara umum sama dengan keluarga petani pada umumnya,
meski dalam pelaksanaannya atau dalam kenyataan kehidupan sehari-hari memperlihatkan
kerjasama antara suami istri . Pembagian kerja adalah “yang bertanggung jawab” dalam
menyelesaikan sebuah urusan urusan keluarga.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
76
Tabel : Pembagian Tanggung jawab antara Suami Istri
No Jenis Pekerjaan Yang bertanggungjawab
1
2
3
4
Memasak
Mengasuh/mengurus anak
Membersihkan rumah
Mengolah lahan
Istri
Suami dan Istri
Istri
Suami dan istri
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2019
Tabel memperlihatkan bahwa tanggungjawab istri dan suami seimbang, berdua
menyelesaikan pekerjaan rumah (domestic work) atau bertanggung jawab ke dalam
(domestic) dan juga bertanggung jawab keluar (public). Tiga jenis pekerjaan yang
tercantum di tabel dilakukan di dalam rumah (domestic) yaitu memasak, mengasuh/merawat
anak, membersihkan rumah. Jenis pekerjaan dalam tabel adalah secara garis besar atau
yang umum, dari jenis pekerjaan tersebut dapat dirinci lagi ke berbagai jenis pekerjaan
lainnya. Misalnya di dalam jenis pekerjaan memasak terdapat jenis pekerjaan lainnya yang
terkait langsung dengan kelangsungan jenis pekerjaan ini seperti menyiapkan bahan
pangan yang akan diolah, membersihkan peralatan dapur. Meski menjadi tanggung jawab
istri namun tidak jarang suami ikut membantu khususnya dalam penyediaan bahan pangan
seperti sayuran atau bahan lainnya yang mereka peroleh dari mencari di hutan, ladang atau
membeli di ibukota kecamatan (Senduro). Selain bahan pangan misalnya kayu bakar, meski
sekarang mereka lebih banyak menggunakan bahan bakar gas (elpiji) namun kayu bakar
masih tetap mereka perlukan. Kayu bakar mereka perlukan sebagai penghangat ruang dan
untuk menghangatkan badan atau biasa mereka sebut dengan istilah gegeni. Kondisi ini
sangat beralasan seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa suhu udara di
hampir seluruh wilayah Tengger pada siang hari sejuk dan malam hari dingin.
Mengasuh dan merawat anak merupakan tanggungjawab bersama antara suami
istri. Kehidupan keluarga Tengger menggambarkan kehidupan keluarga yang harmonis,
ikatan keluarga di antara mereka sangat erat. Pengasuhan anak menjadi tanggungjawab
bersama, namun demikian peran ibu sangat penting dalam pembentukan kepribadian anak,
khususnya anak perempuan. Anak-anak sejak dini diajarkan untuk mandiri,
bertanggungjawab serta mengerti akan kondisi orang tua sehingga mereka tulus ikhlas
membantu tugas atau pekerjaan orang tua, baik pekerjaan di ranah domestik maupun publik
seperti memasak, membersihkan rumah dan pengolah ladang. Sejak dini anak perempuan
didik untuk mengerti, paham dan berperan aktif dalam membantu orang tua baik pekerjaan
di rumah seperti memasak dan membersihkan rumah maupun di ladang, sedang anak laki-
laki bertugas mencari air, rumput, kayu bakar dan membantu di ladang. Tugas mengasuh
adik atau momong merupakan tugas bersama sang kakak baik laki-laki maupun perempuan.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
77
Nasehat dan pendidikan budi pekerti lebih banyak diajarkan oleh ibu di sela-sela kegiatan
mereka di dapur khususnya ketika memasak khususnya kepada anak perempuan agar
menjadi “perempuan yang ideal” paham dan mampu menyelesaikan urusan rumah tangga.
Proses pengasuhan anak merupakan tanggung jawab bersama antara suami istri.
Anak bagi keluarga Tengger merupakan harta yang tidak ternilai harganya yang harus
mereka jaga sebaik-baiknya, terlebih jika mereka masih kecil. Peran ayah ibu sangat
penting dalam mengasuh anak. Keterlibatan suami dalam mengasuh anak dibuktikan
dengan partisipasi laki-laki dalam proses pengasuhan anak. Suami ikut terlibat dalam
“momong” atau mengasuh anak, laki-laki Tengger tidak segan untuk menggendong anak-
anak mereka yang masih balita. Bahkan kecintaan dan kasih sayang mereka kepada anak-
anak mereka tunjukkan dengan membawa anak-anak mereka yang masih balita ketika
bekerja di ladang. Secara tidak langsung anak diajarkan tentang kemandirian, kerja keras
dan yang terpenting adalah proses internalisasi terkait pentingnya mata pencaharian hidup
sebagai petani dalam kehidupan mereka. Anak-anak Tengger Argosari jika ditanya tentang
cita-cita mereka maka sebagian besar dari mereka bercita-cita sebagai petani seperti yang
dilakukan oleh orang tua mereka.
Seorang ibu di dalam keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari, mulai dari memasak, membersihkan rumah, mengurus anak dan suami, serta
berkebun. Hari – hari mereka diawali dengan bangun di pagi hari pada pukul 04.00 atau
05.00 WIB. Para ibu rumah tangga memulai aktivitasnya dengan memasak makanan untuk
sarapan anggota keluarga sebelum berangkat ke kebun, sekaligus bekal makan siang
nantinya di kebun. Pada umumnya mereka berangkat ke kebun pada pukul 07.00 WIB dan
kembali ke rumah pada pukul 2 siang atau pukul 3 sore hari. Meski dalam beraktivitas
mereka tidak terikat oleh waktu atau jam tertentu namun secara garis besar gambaran
rutinitas mereka pada umumnya pada table di bawah ini.
Jenis kegiatan pada tabel hanya sebagian dari kegiatan mereka yang merupakan
kegiatan pokok dalam satu hari dengan dasar pertimbangan kegiatan tersebut penting,
setiap hari dilakukan atau merupakan rutinitas sehingga mudah untuk menentukan
waktunya. Sedangkan kegiatan yang lain seperti mandi, makan dan lain-lain umumnya
dilakukan di sela-sela kegiatan pokok ini sehingga sulit untuk menentukan waktunya secara
tepat. Makan biasanya mereka lakukan secara bersama-sama, khususnya makan malam
dilakukan di rumah. Makan pagi atau sarapan dan makan siang lebih sering mereka lakukan
di ladang.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
78
Tabel Waktu yang digunakan oleh Ibu Rumah Tangga dalam beraktivitas
No Jenis Kegiatan Waktu (dalam WIB)
1 Bangun tidur 04.00-04.30
2 Memasak 05.00-06.00
3 Berangkat ke lading 07.00
4 Istirahat 11.30-12.30
5 Pulang 14.00-15.00
6 Membersihkan rumah 15.00-16.00
7 Mencuci baju 16.00-17.00
8 Memasak 17.00-18.00
9 Makan malam 18.30
10 Istirahat 19.00-20.30
11 Tidur 21.00
Sumber : Hasil Penelitian Lapangan, 2019
Tugas mengolah lahan adalah tanggung jawab bersama antara suami istri, sehingga
meski tergolong sebagai pekerjaan publik namun istri ikut terlibat langsung. Tugas seorang
istri adalah mendampingi suami adalah sebuah kesadaran dan keyakinan yang tertanam
dalam diri setiap perempuan Tengger. Mendampingi suami tidak sekedar menemani, tetapi
juga dimaknai mengurus diri, mengatur keperluan dan meringankan pekerjaan suami.
Rutinitas keseharian perempuan merupakan bagian dari kebiasaan yang telah dilakukan
secara turun temurun bahkan telah menjadi bagian dari tradisi Tengger dan takdir yang
harus dijalani. Masyarakat Tengger merupakan petani sayur mayur dengan jenis tanaman
utama kentang dan bawang prei serta tanaman selingan kubis dan kembang kol seperti
sudah dijelaskan pada bab sebelumnya.
Teknik bertani yang diterapkan oleh masyarakat Tengger Argosari tergolong
sederhana dan padat karya yaitu banyak menggunakan tenaga manusia. Teknik bertani
mereka dapatkan secara turun temurun namun tetap mengikuti perkembangan jaman
khususnya mengenai bibit tanaman yang mereka tanam. Kondisi geografis lahan yang
berada di atas bukit dengan kemiringan tanah 60-80 derajat, perlu keterampilan khusus dan
kerja keras khususnya curahan tenaga dan waktu. Namun kondisi ini bukan hambatan bagi
masyarakat khususnya para perempuan, mereka bekerja di ladang dengan penuh semangat
dan keikhlasan. Bekerja bersama suami di ladang merupakan bagian dari aktivitas rutin para
ibu rumah tangga dan keberadaan mereka ini sangat penting dalam menunjang
keberhasilan suami. Seperti penuturan dari Bu Suliono sebagai berikut;
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
79
“wong wedhok ndek kene biasa kerjo ndek tegal ngrewangi bojone. Kene
yo melok macul, tandur, ngerit, ngubat utowo nyemprot, panen yo melok
ngewangi, cek gelis mari. Pokoke sak ono e penggawean ndek tegal
dilakoni bareng-bareng ben kasil lek wis kasil gawe keperluan wong sak
omah” (Perempuan di sini biasa kerja di ladang membantu suami. Kami
ikut membantu mencangkul, menanam, mencabuti rumput, menyemprot
tanaman dengan pestisida, panen juga, agar pekerjaan cepat selesai.
Semua pekerjaan yang ada di ladang dikerjakan bersama-sama agar
berhasil dengan baik hasilnya juga untuk keperluan seluruh keluarga).
Dari pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa mereka bekerja selayaknya laki-laki
tidak ada pembagian kerja secara khusus, mereka bekerja produktif selayaknya laki-laki.
Tujuan utama mereka bekerja di ladang selain membantu suami juga untuk menambah
pendapatan keluarga sehingga kebutuhan keluarga dapat terpenuhi. Mereka melakukan
semua pekerjaan yang memang sedang diperlukan di ladang dari mulai mempersiapkan
lahan untuk ditanami bibit, menanam, merawat hingga panen. Pekerjaan mencangkul
(macul), menanam (tandur), mencabut rumput/tanaman pengganggu (ngerit), menyemprot
tanaman dengan pestisida (ngubat) merupakan pekerjaan rutin dilakukan oleh perempuan di
ladang bersama dengan laki-laki.
Peran perempuan tidak hanya di ranah keluarga atau ranah domestik, mereka juga
aktif di ranah sosial bahkan memegang peran penting di ranah ritual di sela-sela
kesibukannya menyelesaikan tugas di keluarga. Aktivitas mereka di dua ranah ini sangat
menunjang eksistensi mereka. Peran perempuan pada ranah sosial (social domain) adalah
keterlibatan perempuan pada berbagai jenis kegiatan yang bernuansa kemasyarakatan.
Keterlibatan mereka sebagai anggota masyarakat Kegiatan kemasyarakatan awalnya
memang berasal dari program pemerintah seperti PKK, Penyuluhan Kesehatan (Posyandu),
Kelompok Tani. Organisasi PKK dan Kelompok Tani kurang begitu berkembang, pertemuan
rutin berjalan tetapi hanya sebatas melaksanakan program-program dari kecamatan.
Aktivitas perempuan di ranah sosial dan ritual sangat menunjang eksistensi mereka.
Perempuan memegang peran penting di setiap acara hajatan demikian juga dalam
pelaksanaan ritual. Para perempuan akan berkumpul dan saling bekerja sama untuk
menyelesaikan pekerjaan. Perkumpulan perempuan tersebut adalah biodo atau bethek,
sedang untuk laki-laki disebut buwuh dan untuk pemuda disebut sinoman. Biodo atau
bethek dilakukan secara gotong royong serta berlandaskan prinsip bergantian (principle of
reciprocity). Kegiatan biodo biasa dilakukan berhari-hari, di sela-sela aktivitas perempuan
menyelesaikan tugas di rumah dan di ladang. Biodo dilakukan sejak persiapan hingga
acara hajatan selesai. Kegiatan biodo atau bethek ini meski terbentuk secara spontan tetapi
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
80
merupakan tradisi di masyarakat yang telah memiliki struktur dan mekanisme kerja sebagai
berikut;
- Wong munjung atau lurahe bethek adalah ketua atau pimpinan dari biodo atau
koordinator sie konsumsi, yang dipilih untuk menduduki jabatan ini adalah
perempuan yang sudah berumur (tua) karena tugasnya adalah menentukan
seberapa banyak persediakan makanan yang diperlukan agar mencukupi (tidak lebih
dan tidak kurang). Wong munjung ini tugasnya noto sego. Selain dari segi usia juga
dari pengalaman karena tidak mudah dalam menentukan ketersediaan konsumsi
selama proses hajatan dari awal hingga akhir. Posisi sebagai wong munjung adalah
posisi yang membanggakan atau prestise.
- Wong batur terdiri dari laki-laki dan perempuan. Tugas laki-laki adalah memotong
hewan yang akan digunakan sebagai lauk pauk. Sedangkan tugas perempuan
mengolahnya hingga siap dihidangkan.
- Sinoman adalah para remaja atau mereka yang tergolong usia muda, bertugas
mengantar makanan sebagai hantaran ke rumah warga dan menerima tamu.
Posisi sebagai wong munjung adalah posisi yang membanggakan bagi perempuan,
ketika ditunjuk sebagai wong munjung oleh warga atau si pemilik acara hajatan maka
sebuah pengakuan atas eksistensi diri dari yang bersangkutan, terlebih jika acara dapat
berjalan dengan lancar khususnya ketika acara tidak sampai kekurangan konsumsi. Status
sosial wong munjung dalam kegiatan biodo atau bethek menempati strata tertinggi sehingga
dalam kegiatan ini perempuan dibagi dalam bidang-bidang tertentu berdasarkan usia,
pengalaman dan keahlian sehingga secara tidak langsung tanpa mereka sadari terbentuk
struktur kelas diantara perempuan.
Perilaku ekonomis masyarakat Tengger Argosari secara umum masih bercorak
sebagai keluarga petani yang berorientasi subsistensi. Keluarga petani merupakan satu unit
konsumsi dan juga unit produksi. Kondisi ini terwujud dalam mekanisme mereka dalam
mengolah lahan yang mereka miliki. Mekanisme mengolah lahan pertanian yang dilakukan
oleh warga pada umumnya selain dilakukan sendiri-sendiri juga bersama-sama dengan
warga lainnya. Ketika bersama-sama maka sistem yang berkembang di masyarakat selain
sistem gotong royong secara bergantian atau sayan juga dengan sistem upah. Proses
pengolahan lahan yang dilakukan secara bersama-sama atau memerlukan tenaga kerja
yang banyak adalah ketika menanam atau tandur dan panen. Ngerit dan ngobat tergolong
perawatan tanaman pada umumnya dapat mereka lakukan sendiri (suami istri). Ketika
mereka membutuhkan tambahan tenaga kerja maka mereka mencari bantuan tenaga kerja
dari warga masyarakat lainnya baik secara sayan ataupun secara upahan atau buruh dan
warga lainnya akan siap membantu, sehingga perputaran tenaga kerja hanya terjadi
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
81
diantara warga setempat. Suatu saat mereka menjadi majikan suata saat menjadi buruh,
tidak ada batas kelas sosial di antara mereka karena status sosial diantara mereka relatif
sederajat atau sama. Sistem upah didasarkan pada sistem harian, upah yang diberikan
kepada para pekerja tersebut tentu saja berbeda antara laki – laki dan perempuan.
Kaum perempuan biasanya diberi upah Rp 50.000,- atau Rp 40.000,- per harinya.
Sedangkan, untuk kaum laki – laki biasanya diberi upah lebih dari kaum perempuan, dengan
capaian upah hingga Rp 200.000,- per harinya. Upah yang diberikan berdasarkan beratnya
pekerjaan yang dikerjakan. Karena pekerjaan kaum laki – laki yang mengangkut hasil panen
dan juga pupuk lebih berat, maka upahnya juga lebih besar. Penentuan upah yang akan
diberikan kepada para pekerja berdasarkan kesepakatan antara suami isteri. Para pekerja
menerima upahnya setelah bekerja selama seminggu, atau, jika mereka sangat
membutuhkan uang dari upah tersebut maka mereka bisa menerimanya lebih awal.
Sumber ekonomi keluarga yang utama dari hasil mengolah lahan pertanian yang
mereka miliki. Sumber ekonomi keluarga lainnya merupakan hasil dari kerja sampingan atau
sambilan seperti buruh tani. Selain sebagai buruh tani seiring perkembangan jaman dan
berkembangnya desa mereka sebagai salah satu desa tujuan wisata alam maka tumbuh
pekerjaan di luar sektor pertanian yaitu sebagai ojek yaitu mengantar pengunjung ke tempat
wisata B29. Tarif sebagai ojek motor Rp. 75.000 untuk pulang pergi dari batas desa ke B29
sekitar 5 km dengan kondisi jalan berkelok-kelok karena menyusuri perbukitan. Hasil
pertanian diperoleh dari hasil panen dalam satu tahun rata-rata mereka panen 4 kali, sekali
panen hasil yang mereka peroleh rata-rata berkisar 25 juta hingga 30 juta untuk tanaman
utama kentang dengan lahan minimal 1 hektar. Hasil tersebut merupakan hasil kotor, jika
dihitung secara rinci maka penghasilan mereka sebagai petani kentang sangat minim.
Mereka tidak menghitung biaya produksi misalnya dana yang mereka keluarkan untuk
membeli bibit, obat-obatan, pupuk, curahan waktu kerja mereka serta upah buruh. Namun
demikian hasil yang mereka dapat bagi mereka suatu berkah dan harus disyukuri berapa
pun jumlahnya.
Hasil pendapatan keluarga berupa uang, umumnya disimpan oleh kaum ibu atas
sepengetahuan bersama. Jika salah satu hendak memerlukan uang simpanan tersebut,
maka harus dibicarakan terlebih dahulu agar diketahui bersama. Penghasilan dari panen
sepenuhnya diberikan kepada istri, meski dalam proses panen hingga menjual hasil
sepenuhnya dilakukan oleh suami. Istri yang akan mengatur atau mengelola uang hasil
panen untuk memenuhi kebutuhan keluarga serta untuk proses tanam berikutnya.
Sedangkan upah suami dari pekerjaan sambilan baik sebagai buruh tani atau pun sebagai
ojek, sepenuhnya dikelola oleh suami untuk kebutuhan mereka secara pribadi seperti beli
rokok atau belanja di warung, beli bensin. Selain untuk kebutuhan pribadi uang kerja
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
82
sambilan suami juga untuk keperluan pemenuhan kebutuhan keluarga misalnya keperluan
pendidikan anak, atau bahkan jika istri minta tambahan uang belanja.
Biasanya keputusan yang ada di dalam sebuah rumah tangga di dalam kehidupan
masyarakat Argosari dilakukan dengan kesepakatan bersama antara suami istri serta anak.
Mereka tidak menyerahkan suatu keputusan hanya kepada seorang saja, namun disepakati
secara bersama-sama. Misalnya dalam pengambilan keputusan dalam hal menyekolahkan
seorang anak, jika seorang anak dari suatu keluarga hendak melanjutkan pendidikan maka
ini juga tergantung dari keluarga apakah dia mampu menyekolahkan anaknya atau tidak.
SIMPULAN
Kesetaraan laki-laki dan perempuan dalam tradisi Tengger mewarnai bagaimana
mereka bersikap dan bertindak dalam rangka mewujudkan peran dan statusnya di keluarga
dan masyarakat. Ajaran setya laksana merupakan ajaran tentang sikap hidup dengan
sesanti panca setia, menjadi pedoman hidup Wong Tengger.
Tanggung jawab istri dan suami seimbang, berdua menyelesaikan pekerjaan rumah
(domestic work) atau bertanggung jawab ke dalam (domestic) dan juga bertanggung jawab
keluar (public). Perempuan memegang peran penting di setiap acara hajatan demikian juga
dalam pelaksanaan ritual. Melalui kegiatan biodo atau bethek serta kegiatan ritual di
masyarakat, selain untuk menunjukkan eksistensi mereka juga secara tidak langsung
perempuan bersosialisasi serta terbentuk struktur kelas diantara perempuan.
Perilaku ekonomis masyarakat Tengger Argosari secara umum masih bercorak
sebagai keluarga petani yang berorientasi subsistensi. Keluarga petani merupakan satu unit
konsumsi dan juga unit produksi. Manajemen ekonomi keluarga dan pengambilan
keputusan di dalam dalam urusan rumah tangga maupun urusan sosial selalu dilakukan
dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat di antara suami istri. Hasil pendapatan
keluarga berupa uang, umumnya disimpan oleh kaum ibu atas sepengetahuan bersama.
Belajar dari falsafah hidup Wong Tengger khususnya tentang kesetaraan dan
kesederajatan antara laki-laki dengan perempuan, maka sudah selayaknya maka dalam
mengkaji masalah-masalah gender di masyarakat atau etnis selayaknya menggunakan
pendekatan secara emik. Curahan tenaga dan waktu perempuan Tengger mereka pahami
sebagai bentuk pengabdian mereka terhadap keluarga serta bukti dari perwujudan
implementasi dari falsafah hidup yang mereka yakini. Selayaknyanya peran lembaga adat di
masyarakat lebih dimaksimalkan perannya sehingga kearifan lokal di masyarakat tetap
terjaga lestari hingga dapat menjawab tantangan jaman.
Aliffiati, I Ketut Kaler/ Struktur Kelas dan Otonomi Perempuan .... – Vol.4 No.1 (2020) 68-83
83
DAFTAR PUSTAKA
Moore, Henrietta L. 1988. Feminisme & Antropologi. Jakarta: Penerbit Obor.
Roger, Susan Carol. 1978. Womans Place: A Critical Review of Antrophological Theory,
Camparative Studies In Society in History Vol. 20 No. 1 Cambrige, University Press.
Saifuddin, Achmad Fedyani. 1999. “Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam
Perubahan Masyarakat.” Dalam Jurnal Antropologi Indonesia Vol. 60 1999.
Sutarto, Ayu. 2001. Di Balik Mitos Gunung Bromo. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur
________ 2003a. “Perempuan Tengger: Sosok yang Setia kepada Tradisi”’ dalam
Majalah Bende, Taman Budaya Provinsi Jawa Timur, 1, 2003.
Widyaprakoso, Simanhadi. 1994. Masyarakat Tengger. Yogyakarta: Kanisius.