studi karakteristik habitat kalong (pteropus …digilib.unila.ac.id/55334/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
STUDI KARAKTERISTIK HABITAT KALONG (Pteropus vampyrus)DI PULAU MUTIARA TELUK SEMAKA KABUPATEN TANGGAMUS
(Skripsi)
Oleh
IKA SUCI ELIYANI
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
ABSTRAK
STUDI KARAKTERISTIK HABITAT KALONG (Pteropus vampyrus)DI PULAU MUTIARA TELUK SEMAKA KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
Ika Suci Eliyani
Kalong (Pteropus vampyrus) merupakan mamalia yang dapat terbang, aktif
mencari makan pada malam hari (nocturnal). Koloni kalong pada siang hari
membutuhkan tempat untuk istirahat, sehingga habitatnya harus selalu terjaga.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi karakteristik habitat kalong dan
pohon pakan serta pohon tidur kalong dengan melakukan studi literatur,
pengamatan di lapangan, dan analisis vegetasi. Analisis vegetasi dilakukan
dengan menggunakan metode garis berpetak. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa karakteristik habitat kalong pada tingkat pohon didominasi oleh jenis
pohon pedada (Sonneratia alba) dengan Indeks Nilai Penting (INP) 300%,
sedangkan untuk tingkat tiang didominansi oleh jenis pedada (Sonneratia alba)
dengan INP 259,44%. Indeks keanekaragaman pada habitat kalong tingkat pohon
0 yang termasuk dalam kategori rendah. Indeks keanekaragaman tingkat tiang
jenis Rhizophora apiculata 0,215 dan pedada (Sonneratia alba) 0.172 yang
Ika Suci Eliyanitermasuk ke dalam kategori rendah. Indeks kesamaan komunitas pada tingkat
pohon sebesar 0 yang termasuk ke dalam komunitas tertekan. Untuk tingkat tiang
Rhizophora apiculata 0,20 termasuk ke dalam komunitas labil dan pedada
(Sonneratia alba) 0,06 termasuk ke dalam komunitas tertekan. Pohon pakan
alami yang ditemukan di lokasi penelitian yaitu didominasi oleh jenis pedada
(Sonneratia alba). Pohon tidur kalong yaitu jenis pohon pedada (Sonneratia alba)
dengan karakteristik pohon yang banyak memiliki cabang dan tidak memiliki
daun lebat.
Kata kunci : Habitat, kalong (Pteropus vampyrus), nocturnal.
ABSTRACT
STUDY OF CHARACTERISTICS OF BATS HABITAT(Pteropus vampyrus) IN MUTIARA BAY OF SEMAKA ISLAND
TANGGAMUS REGENCY
By
Ika Suci Eliyani
Bats (Pteropus vampyrus) are mammals that are able to fly, actively foraging at
night (nocturnal). The bats colony need a place to rest during the day. So that the
habitat must always be maintained. This study aims to identify the characteristics
of the habitat of bats and feed trees and bunk sleeping trees by conducting
literature studies, field observations, and vegetation analysis. Vegetation analysis
was carried out using the line pattern method. The results showed that the habitat
characteristics of bats at the tree level were dominated by pedada tree species
(Sonneratia alba) with an Important Value Index (IVI) of 300%, while for the
pole level at the dominance of pedada (Sonneratia alba) with IVI 259,44%.
Diversity index in bats habitat level 0 trees which are included in the low
category. Whereas the diversity index of pole level of Rhizophora apiculata
species was 0,215 and pedada (Sonneratia alba) 0,172 which was included in the
low category. Index of community similarity at the tree level of 0 were was
included in the stressed community. As for the Rhizophora apiculata pole level
Ika Suci Eliyani0,20 included in the labile and pedada community (Sonneratia alba) 0,06 was
included in the depressed community. Natural food trees found in the study
location were dominated by pedada species (Sonneratia alba). While the bats
sleeping tree was the Pedada tree species (Sonneratia alba) with many tree
characteristics that have branches and do not have dense leaves.
Keywords: Bats (Pteropus vampyrus), habitats, nocturnal.
STUDI KARAKTERISTIK HABITAT KALONG (Pteropus vampyrus)
DI PULAU MUTIARA TELUK SEMAKA KABUPATEN TANGGAMUS
Oleh
IKA SUCI ELIYANI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar
SARJANA KEHUTANAN
Pada
Jurusan Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Wonosobo, Kabupaten Tanggamus
pada tanggal 13 Desember 1995 sebagai putri pertama
dari pasangan Bapak Sutarmono dan Ibu Suryati. Jenjang
pendidikan penulis dimulai tahun 2002 di Sekolah Dasar
(SD) Negeri 1 Karang Anyar, kemudian melanjutkan
pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP)
Muhamadiyah 1 Wonosobo pada tahun 2008. Pada tahun 2011 penulis
melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 1 Kotaagung
dan pada tahun 2014 penulis di terima di Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian
melalui jalur Ujian Mandiri (UM).
Penulis aktif menjadi anggota Utama Himasylva (Himpunan Mahasiswa
Kehutanan) Universitas Lampung. Penulis mempunyai pengalaman Praktek
Umum (PU) pada tahun 2017 di KPH Balapulang BKPH Linggapada selama 40
hari. Pada tahun 2018 penulis melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Desa
Panaragan Kampung Kabupaten Tulang Bawang Barat, dan mengikuti magang
Bakti Rimbawan tahun 2018 di KPHL Kotaagung Utara selama dua bulan.
“Kupersembahkan Karya ini untuk Keluarga tercinta, Nenek Rohyati dan KakekSumadi, Ayahanda Sutarmono dan Ibunda Suryati, Kedua Adikku Dewi
Cahyanti dan Arafat Febry Setiawan, serta Pamanku Eko Susanto”
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan karunia-
Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul “Studi Karakteristik Habitat Kalong
(Pteropus vampyrus) di Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus”. Skripsi
ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Jurusan
Kehutanan, Fakultas Pertanian Universitas Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan selesai tanpa adanya bantuan dan
kemurahan hati dari berbagai pihak. Untuk itu penulis mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada.
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M. Si., selaku Dekan Fakultas Pertanian
Universitas Lampung.
2. Ibu Dr. Melya Riniarti, S. P., M. Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung terimakasi atas bimbingan dan saran yang telah
diberikan dalam penulisan skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ir. Gunardi Djoko Winarno, M. Si., selaku pembimbing utama atas
kesediaannya memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian
skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng Prayitno Harianto, M. S., selaku pembimbing kedua dan
pembimbing akademik atas kesediaan memberikan bimbingan, saran, kritik, dan
menjadi orang tua selama menuntut ilmu hingga menyelesaikan skripsi.
iii
5. Bapak Dr. Ir Agus Setiawan, M. Si., selaku penguji atas segala saran dan nasihat
kepada penulis dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Seluruh Dosen Pengajar dan Staf pegawai di Jurusan Kehutanan Universitas
Lampung yang telah memberikan ilmu selama penulis menempuh pendidikan di
Jurusan Kehutanan Universitas Lampung.
7. Kepada keluarga tercinta (Bapak, mamak, Nenek, Kakek, Paman Eko, Dewi, dan
Febry) terimakasih atas kasih sayang yang selalu tercurah kepada Penulis yang
tiada hentinya, serta yang selalu memberi doa, dukungan moral dan material serta
memberikan motivasi penuh pada Penulis.
8. Saudara-saudara seperjuangan Kehutanan 2014 “LUGOSYL” tanpa terkecuali,
terimakasih atas segala bantuan, dukungan, semangat, canda tawa dan
kebersamaannya selama ini.
Semoga Allah SWT membalas segala kebaikan mereka semua yang telah diberikan
kepada penulis. Penulis sangat menyadari skripsi ini jauh dari kata sempurna, oleh
sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dan dapat
memberikan manfaat bagi penulis pribadi dan bagi para pembaca.
Bandar Lampung, Januari 2019
Ika Suci Eliyani
DAFTAR ISI
HalamanDAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vii
I. PENDAHULUAN1.1 Latar Belakang .............................................................................. 11.2 Rumusan Masalah......................................................................... 31.3 Tujuan Penelitian........................................................................... 31.4 Manfaat Penelitian......................................................................... 41.5 Kerangka Pemikiran ...................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA2.1 Biologi Kelelawar....................................................................... 82.2 Klasifikasi Kelelawar 92.3 Morfologi Kelelawar .................................................................. 112.4 Habitat Kelelawar ....................................................................... 122.5 Peranan Kelelawar dalam Ekosistem ......................................... 142.6 Penyebaran Kelelawar ................................................................ 162.7 Perilaku Kelelawar ..................................................................... 172.8 Pakan Kelelawar ......................................................................... 182.9 Perilaku Bersarang...................................................................... 202.10 Reproduksi Kelelawar ................................................................ 23
III. BAHAN DAN METODE3.1 Tempat dan Waktu Penelitian....................................................... 253.2 Alat dan Bahan.............................................................................. 253.3 Batas Penelitian............................................................................. 253.4 Jenis Data yang Dikumpulkan ...................................................... 263.5 Metode Pengumpulan Data........................................................... 26
3.5.1 Data Primer ....................................................................... 263.5.2 Perilaku Kalong................................................................. 273.5.3 Data Sekunder ................................................................... 28
3.6 Analisis Data................................................................................. 283.6.1 Rumus Kerapatan .............................................................. 283.6.2 Rumus Distribusi/Frekuensi.............................................. 283.6.3 Rumus Dominasi............................................................... 29
v
Halaman3.6.4 Rumus Indeks Nilai Penting ............................................. 293.6.5 Rumus Indeks Keanekaragaman ....................................... 293.6.6 Rumus Indeks Kemerataan Komunitas............................. 30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN4.1 Kondisi Umum Lokasi Penelitian ................................................. 314.2 Inventarisasi Habitat Kalong......................................................... 314.3 Analisis Vegetasi Sebagai Pakan Alami Kalong .......................... 334.4 Pohon Tidur Kalong...................................................................... 384.5 Ekosistem Pulau Mutiara .............................................................. 40
4.5.1 Komponen Biotik Pulau Mutiara ...................................... 414.5.1.1 Kondisi Habitat ..................................................... 414.5.1.2 Indeks Keanekaragaman dan Indeks Kemerataan. 434.5.1.3 Perilaku Kalong..................................................... 45
V. SIMPULAN5.1 Simpulan ....................................................................................... 495.2 Saran ............................................................................................. 49
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 50
LAMPIRAN............................................................................................... 56Gambar 11-14.............................................................................................. 57Tabel 7-9 ..................................................................................................... 59
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Karakteristik Habitat Kalong di
Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamu ........................ 7
2. Kelelawar jenis Cynopterus brachyotis ............................................. 10
3. Kelelawar jenis Pteropus vampyrus................................................... 10
4. Desain Metode Garis Berpetak .......................................................... 27
5. Koloni kalong yang menepati Pulau Mutiara sebagai habitatnya...... 32
6. Buah pedada pakan alami kalong di Pulau Mutiara Teluk Semaka... 35
7. Feses Kalong...................................................................................... 37
8. Pohon tidur yang digunakan koloni kalong. ...................................... 40
9. Tumbuhan yang terdapat di Pulau Mutiara........................................ 42
10. Kurva Keanekaragaman dan Kemerataan komunitas di Pulau MutiaraTeluk Semaka..................................................................................... 45
11. Vegetasi mangrove jenis pedada........................................................ 56
12. Koloni kalong yang berterbangan di Pulau Mutiara .......................... 56
13. Buah pedada yang menjadi pakan alami kalong di Pulau Mutiara .... 57
14. Pengukuran suhu, kelembaban, dan ketinggian tempat ..................... 57
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman1. INP spesies pohon dan tiang di Pulau Mutiara Teluk Semaka,
Kabupaten Tanggamus ...................................................................... 33
2. Jenis tumbuhan pakan kelelawar pemakan buah berdasarkan famili 35
3. Data hasil analisis vegetasi tumbuhan di Pulau Mutiara ................... 42
4. Indeks keanekaragaman dan kemerataan vegetasi di Pulau Mutiara. 44
5. Waktu masuk kalong ke dalam habitat .............................................. 46
6. Waktu keluar kalong dari habitatnya ................................................. 47
7. Perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) ............................................ 58
8. Perhitungan indeks keanekaragaman dan indeks kemerataan komunitas 58
9. Nilai diameter rata-rata dan tinggi rata-rata....................................... 58
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan. Secara georafis posisi Indonesia sangat
strategis, yaitu diapit oleh dua benua dan dua samudra sehingga keanekaragaman
hayati sangat tinggi (Suyanto, 2001). Keanekaragaman merupakan nilai yang
terbentuk dari dua komponen yang berbeda, yaitu kekayaan spesies dan jumlah
spesies pada suatu area (Okthalamo, 2009). Keanekaragaman fauna yang sangat
tinggi, seperti keanekaragaman jenis kelelawar yang lebih dari 250 jenis kelelawar
yang terdiri dari 72 jenis kelelawar pemakan buah (Megachiroptera) dan 133 jenis
kelelawar pemakan serangga (Microchiroptera). Salah satu jenis megachiroptera
yaitu kalong (Pteropus vampyrus) (Suyanto, 2001).
Kalong (Pteropus vampyrus) merupakan mamalia yang dapat terbang, aktif
mencari makan pada malam hari (nocturnal) (Corbet dan Hill, 1992; Kunz dan
Fenton, 2003). Oleh sebab itu pada siang hari kalong membutuhkan tempat untuk
bertengger (roosting). Hal tersebut berguna untuk melakukan aktifitas seperti
makan, istirahat dan reproduksi (Ariyanti, 2012). Sebagai pemakan buah, hewan
ini bersarang di pohon dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang Megachiroptera
biasanya tinggi dan besar, tetapi tidak berdaun rimbun (Altringham, 1996). Selain
itu, kalong (Pteropus vampyrus) merupakan satwa yang secara ekologis
2mempunyai peranan penting dalam menyediakan jasa ekosistem melalui
penyerbukan tumbuhan dan penyebaran biji (Kunz dkk., 2011; Ghanem dan
Voigt, 2012). Satwa ini juga memiliki peranan memencarkan biji beragam
tanaman seperti sawo, srikaya, jamblang, dan cendana ke berbagai daerah, sebab
daya jelajah satwa ini hingga radius 60 km (Pramono, 2011).
Salah satu tempat yang banyak dihuni kalong (Pteropus vampyrus) adalah Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus, Lampung. Daerah tersebut
terletak di muara Way Semaka, kawasan ini termasuk daerah yang jarang
dikunjungi oleh manusia.
Kehidupan satwa liar di alam sangat tergantung dengan habitatnya. Komponen-
komponen penyusun habitat seperti ketersediaan air, naungan, ketersediaan pakan/
nutris, dan kebutuhan spesifik lainnya (cahaya, suhu, kelembaban, dan lain-lain),
merupakan faktor-faktor pembatas bagi kehidupan satwa baik segi kualitas
maupun kuantitas. Perubahan ekosistem yang timbul akibat aktifitas manusia
seperti perusakan habitat, perburuan liar, dan pemanfaatan satwa untuk konsumsi
secara tidak terkendali. Keadaan ini, tidak hanya menimbulkan perubahan
terhadap iklim mikro, akan tetapi menimbulkan perubahan terhadap lingkungan
biotik bagi satwa liar tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis untuk
mendukung dan merumuskan tindakan penggelolaan yang benar (Alikodra, 1990).
Dasar dari pembinaan satwa yaitu pembinaan ekosistem, sehingga perhatian
masyarakat tidak hanya ditujukan pada populasi satwa, tetapi masyarakat harus
memperhatikan pula habitatnya. Saat ini, pengetahuan tentang habitat kalong
3(Pteropus vampyrus) perlu diketahui secara lengkap mengingat sampai saat ini
informasi tentang habitatnya sangat terbatas.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik habitat kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau Mutiara
Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
2. Bagaimana ketersediaan pakan alami kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
3. Bagaimana karakteristik pohon tidur kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk.
1. Menganalisis karakteristik tipe habitat kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
2. Menganalisis ketersediaan jenis pakan kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
3. Menganalisis karakteristik pohon tidur kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
41.4 Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini adalah memberikan data dan informasi tentang.
1. Memberikan data dan informasi mengenai karakteristik fisik habitat kalong
(Pteropus vampyrus) yang ada di Pulau Mutiara Teluk Semaka. Karakteristik
fisik habitat kalong (Pteropus vampyrus) sebagai upaya konservasi di Pulau
Mutiara Teluk Semaka.
2. Sebagai informasi dasar mengenai habitat kalong (Pteropus vampyrus)
sehingga dapat memberikan masukan kepada masyarakat sekitar agar
melestarikan habitat kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau Mutiara Teluk
Semaka Kabupaten Tanggamus.
3. Jenis dan ketersediaan pakan alami dari habitat kalong (Pteropus vampyrus)
yang ada di Pulau Mutiara Teluk Semaka.
4. Karakteristik pohon tidur kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau Mutiara Teluk
Semaka Kabupaten Tanggamus.
1.5 Kerangka Pemikiran
Pulau Mutiara yang terletak di Teluk Semaka memiliki banyak keanekaragaman
jenis satwa, salah satunya yaitu kalong (Pteropus vampyrus). Keanekaragaman
jenis vegetasi yang tinggi banyak menyediakan sumber pakan dan tempat
berlindung bagi kalong. Oleh sebab itu pulau ini dijadikan habitat bagi kalong
untuk melangsungkan hidupnya.
Habitat kalong (Pteropus vampyrus) dipengaruhi oleh pakan, naungan, air dan
ruang. Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis habitat untuk mengetahui
5karakteristik habitat yang menjadi tempat tinggal kalong (Pteropus vampyrus).
Kalong (Pteropus vampyrus) hidup dan berkembang dengan karakteristiknya.
Menentukan karakteristik habitat sangat diperlukan untuk upaya konservasi
terhadap jenis kalong (Pteropus vampyrus).
Pohon pakan menjadi faktor utama yang sangat penting untuk diketahui, karena
pakan memegang peran yang sangat menentukan bagi kelangsungan hidup satwa
liar. Kalong (Pteropus vampyrus) bukanlah satwa pemakan daging ataupun
penghisap darah, melainkan kelelawar pemakan buah-buahan (Pendong dkk.,
2015). Kelimpahan pakan akan sangat mempengaruhi persebaran dan habitat
kalong itu sendiri. Oleh karena itu, analisis habitat perlu dilakukan untuk
mengetahui ketersediaan pakan yang ada di Pulau Mutiara Teluk Semaka.
Selain pohon pakan, pohon tidur juga menjadi faktor yang sangat perlu untuk
diketahui. Lokasi tidur atau tempat bergelantung menjadi salah satu aspek
ekologis yang sangat penting. Lokasi tidur merupakan lokasi yang digunakan
oleh kelelawar untuk istirahat dan tidur. Kalong (Pteropus vampyrus) tidur dalam
keadaan bergantung terbalik agar memudahkan untuk siap terbang bila terancam
oleh predator (Suyanto, 2001).
Untuk mengetahui jenis pohon pakan dan pohon tidur perlu dilakukannya studi
literature, pengamatan di lapangan, dan analisis vegetasi. Analisis vegetasi
dilakukan dengan metode garis berpetak, yaitu dengan menitik beratkan pada
keberadaan kalong (Pteropus vampyrus) yang ditemukan di areal penelitian
(Indriyanto, 2006). Analisis vegetasi diperoleh melalui tiga hal yang diteliti yaitu
keadaan fisik, keadaan biologi, karakteristik pakan dan karakteristik pohon tidur.
6Keadaan fisik yang diukur yaitu suhu, kelembaban, dan topografi. Sedangkan
untuk keadaan biologi yang diamati di lapangan yaitu predator dan kompetitor
dari kalong. Dari tiga data tersebut maka akan diperoleh karakteristik habitat
kalong di Pulau Mutiara Teluk Semaka. Data yang diperoleh dari karakteristik
habitat digunakan untuk mengetahui ketersediaan pakan alami untuk kalong
tercukupi atau tidak serta bagaimana karakteristik pohon tempat kalong tidur.
Data yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar untuk mengetahui habitat
kalong dalam upaya konservasi yang ada di Pulau Mutiara Teluk Semaka
Kabupaten Tanggamus. Berikut adalah bagan alir kerangka pemikiran dari
penelitian ini yaitu dapat dilihat pada Gambar 1.
7
Gambar 1. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Karakteristik Habitat Kalong di PulauMutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
Pulau Mutiara
Kalong(Pteropus vampyrus)
Habitat
Pohon pakan Pohon tidur
Studi literatur
Pengamatan di lapangan
Analisis vegetasi
Keadaan fisik Keadaan biologi Karakteristik pohonpakan dan pohon tidur
Suhu Kelembaban
Topografi
Predator
Kompetitor
Karakteristik habitat kalong di PulauMutiara Teluk Semaka
Ketersediaan pohon pakan dan pohontidur di Pulau Mutiara Teluk Semaka
8
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biologi Kelelawar
Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tinggi yang mencakup
keanekaragaman flora, fauna dan mikroba. Tingginya keanekaragaman hayati ini
dikarenakan wilayah Indonesia yang terletak di daerah tropik, memiliki beberapa
macam tipe habitat, serta berbagai isolasi sebaran berupa laut atau pegunungan
(Noerdjito dan Maryanto, 2005).
Indonesia memiliki keanekaragaman jenis kelelawar yang cukup tinggi, lebih dari
205 jenis kelelawar yang terdiri dari 72 jenis kelelawar pemakan buah
(Megachiroptera) dan 133 jenis kelelawar pemakan serangga (Mikrochiroptera),
atau sekitar 21% dari jumlah jenis di dunia yang telah diketahui (Suyanto, 2001).
Kelelawar berperan sebagai penyeimbang yang penting dalam proses ekologi
yang kompleks melalui interaksi-interaksinya. Seperti pada penyebaran benih,
penyerbukan, dan penyeimbang populasi serangga (Aguirre dkk., 2003).
Kelelawar merupakan anggota mamalia yang mampu terbang secara sempurna
dengan menggunakan sayap (Hill dan Smith, 1984 dalam Saridan, 2010).
Kelelawar memiliki kontribusi sampai setengah dari jenis mamalia hutan
(Meijaard dkk., 2006). Ordo chiroptera meliputi 18 famili, 192 marga dan 977
jenis, jumlah ini merupakan jumlah jenis mamalia terbanyak setelah mamalia
9pengerat (Rodentia) (Suyanto, 2001). Ordo chiroptera terbagi menjadi dua sub
ordo, yaitu sub ordo megachiroptera (17 famili) dan microchiroptera (famili
pterepodidae). Pembagian sub ordo ini umumnya karena perbedaan ukuran tubuh.
Secara umumnya ukuran tubuh megachiroptera lebih besar dibandingkan dengan
microchiroptera (Hoeve, 1996).
Suyanto (2001), menyatakan bahwa 205 spesies (21%) dari seluruh spesies
kelelawar yang ada di dunia ditemukan di Indonesia. Jumlah jenis ini meliputi 72
spesies kelelawar pemakan buah (megachiroptera) dan 133 spesies kelelawar
pemakan serangga. Kelelawar membutuhkan tempat bertengger untuk melakukan
berbagai aktifitas seperti tidur, istirahat, makan dan reproduksi.
Kelelawar pemakan buah berperan dalam memencarkan biji dari buah-buahan
yang dimakannya, sedangkan kelelawar pemakan serangga berperan dalam
mengatur keseimbangan serangga pengganggu tanaman (Suyanto, 2001).
Kerusakan dan fragmentasi habitat mengakibatkan penurunan keanekaragaman
dan populasi kelelawar karena sifatnya yang peka terhadap perubahan lingkungan
(Estrada, 2001).
2.3 Klasifikasi Kelelawar
Menurut Simmons (2005), kelelawar di dunia dibagi menjadi 18 famili yang
terdiri dari 1030 spesies. Di Indonesia diketahui terdapat sembilan famili yang
terdiri 225 spesies, dan di Sumatera terdapat 72 spesies dari sembilan famili, serta
terdapat 12 spesies di Sulawesi. Penelitian terbaru teridentifikasi terdapat 340
spesies kelelawar di Indonesia dan 87 spesies diantaranya terdapat di Sumatera
10(Huang dkk., 2016). Kelelawar pemakan buah dikelompokkan dalam satu famili
yaitu pteropodidae dengan 42 genus dan 175 spesies, salah satu contoh spesies
dengan penyebaran luas dan umum ditemukan adalah jenis Cynopterus brachyotis
seperti pada Gambar 2 dan Gambar 3 adalah salah satu jenis Pteropus.
Gambar 2. Kelelawar jenis Cynopterus brachyotis.
Gambar 3. Kelelawar jenis Pteropus vampyrus.
11Secara taksonomi kalong jenis Pteropus vampyrus (Linnaeus, 1758 dalam
Supandi, 2002) ini, diklasifikasikan sebagai berikut.
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Sub Filum : Vertebrata
Class : Mamalia
Ordo : Chiroptera
Sub Ordo : Megachiroptera
Famili : Pteropodidae
Genus : Pteropus
Species : Pteropus vampyrus
2.3 Morfologi Kelelawar
Kelompok kelelawar insektivor dapat dibedakan dari kelompok kelelawar frugivor
dan nektarivor berdasarkan ukuran tubuhnya. Pada umumnya kelompok Frugivor
dan nektarivor mempunyai ukuran tubuh lebih besar dibandingkan dengan
kelompok kelelawar insektivor. Selain itu kelelawar insektivor dapat dikenal
lewat susunan gigi tajam yang dimilikinya. Ciri-ciri umum dari kelelawar adalah
seluruh tubuhnya ditutupi rambut, dengan anggota badan yang mengalami
perkembangan luar biasa. Lengan atas sangat pendek dan kokoh sedangkan
persendian bahu kuat agar dapat menyanggah berat tubuh secara baik pada saat
terbang (Hoeve, 1996).
Pteropus vampyrus familinya mengalami perkembangan yang lebih tinggi, pada
setiap lengan terdapat sendi rangkap yang dihubungkan dengan tulang belikat,
12sehingga tersusun engsel yang kokoh untuk melakukan gerakan yang
menggelepar. Lengan bawah berukuran panjang, dengan hanya satu tulang
pengumpil (tulang hasta tidak ada) dilengkapi pergelangan pendek dan buntak,
dengan banyak tulang tubuh menyatu, yang menjadikannya bertambah kokoh.
Ibu jari menonjol keluar dan menyandang sebuah cakar yang bermanfaat untuk
berjalan dan memanjat. Jari-jemari pada kaki memiliki alat pengunci yang dapat
mencegah cakar yang dipergunakan pada saat mencengkram suatu benda lepas
sebelum saatnya (Hoeve, 1996).
Binatang ini mampu bergantung tanpa mengerahkan tenaga banyak bahkan jika
mati sekalipun sering masih bergantung. Ekor dan selaput ekor disela tungkai
belakang dapat sangat berbeda dalam hal ukuran dan bentuk, dan hal ini
merupakan ciri yang baik bagi pelacakan banyak famili. Kelelawar besar
kebanyakan memiliki kelim kulit yang sederhana pada bagian sepanjang sebelah
dalam tungkai, dan merapatkan kedua kaki selama terbang. Pada kelelawar kecil
kebanyakan, namun tidak selalu, terdapat selaput ekor yang besar disela tungkai,
yang mampu membungkus keseluruhan atau sebagian besar ekor (Hoeve, 1996).
2.4 Habitat Kelelawar
Habitat adalah suatu lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu spesies
atau komunitas hidup. Habitat yang baik akan mendukung perkembangbiakan
organisme yang hidup di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kapasitas
tertentu untuk mendukung pertumbuhan populasi suatu organisme. Kapasitas
untuk mendukung organisme disebut daya dukung habitat (Irwanto, 2006).
13Suatu habitat terbentuk dari hasil interaksi komponen fisik maupun biotik.
Komponen-komponen tersebut membentuk sistem yang mengendalikan
kehidupan satwa liar. Secara terperinci komponen fisik terdiri dari air, udara,
iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan faktor biotik terdiri dari vegetasi,
mikro dan makro fauna, serta manusia (Alikodra, 1990).
Pada lingkungan dengan kondisi fisik yang ekstrim, aktivitas biologi relatif
kurang berkembang. Pada lingkungan yang kondisi fisiknya sesuai,
interaksi dalam ekosistem dan habitat secara efektif akan membatasi pertumbuhan
populasi satwa liar. Suatu habitat yang digemari oleh suatu jenis satwa belum
tentu sesuai untuk kehidupan jenis satwa yang lain karena pada dasarnya setiap
jenis satwa memiliki preferensi habitat yang berbeda-beda. Berkurangnya habitat
disebabkan karena beberapa faktor. Ada tiga faktor utama yang dinilai sangat
mempengaruhi terhadap perubahan habitat, yaitu aktivitas manusia, satwa liar
dan bencana alam seperti gunung meletus (Irwanto, 2006).
Menurut Alikodra (2002), habitat adalah suatu daerah yang terdiri dari berbagai
faktor (physiografi dan vegetasi dengan kualitasnya) dan merupakan tempat untuk
memenuhi semua kebutuhan hidup organisme. Mengartikan habitat suatu
individu sebagai tempat dimana individu tersebut hidup. Definisi lain dinyatakan
oleh Goin dkk. (1978) bahwa habitat tidak hanya menyediakan kebutuhan hidup
suatu organisme melainkan tentang dimana dan bagaimana satwa tersebut dapat
hidup.
Habitat kelelawar berada di dalam gua, batu karang, pepohonan, dan alam
terbuka. Kelelawar yang tinggal di dalam gua, 20% pemakan buah, dan lebih dari
1450% pemakan serangga (Suyanto, 2001). Habitat bagi kelelawar merupakan suatu
hal yang memiliki kekhasan tersendiri. Habitat kelelawar berhubungan erat
dengan tempat mencari makan (foraging area) dan sarang/tempat tinggal
(roosting area). Tempat mencari makan dan tempat tinggal dipengaruhi oleh
beberapa faktor yaitu tipe tempat bertengger, makanan, air, morfologi terbang,
ukuran koloni, dan serta siklus reproduksi. Jarak antara area roosting dan mencari
makan sering kali terpisah beberapa kilometer sehingga sulit mengamati habitat
alami kelelawar secara tepat (Kunz dan Lumsden, 2003).
Menurut Kunz (1996) kelelawar adalah satwa nocturnal yang aktif mencari
mangsa di malam hari, dan bersembunyi atau beristirahat di siang hari. Tempat
persembunyian kelelawar bermacam-macam tergantung jenisnya. Kemampuan
terbang kelelawar memberi kemungkinan berpindah tempat yang besar
dibandingkan pada binatang darat lainnya. Oleh karena itu kelelawar dapat
ditemukan di pulau-pulau yang jauh letaknya dari tanah daratan, jika saja
kemungkinan hidup di daerah itu menguntungkan. Kelelawar biasanya hanya
melakukan tidur di udara terbuka, bergelantung pada pohon, melekat pada dinding
bukit batu, atau pada bagian luar dinding tembok suatu gerbang.
2.5 Peranan Kelelawar dalam Ekosistem
Kelelawar memiliki peranan yang sangat penting dalam ekosistem, baik berupa
manfaat langsung maupun manfaat tidak langsung. Maanfaat langsung yaitu
sebagai penghasil guano yang berfungsi sebagai bahan makanan organisme lain
dan dapat dijadikan pupuk. Manfaat tidak langsung kelelawar pemakan serangga
15adalah sebagai pengendali serangga yang menyerang tanaman dan persediaan
pangan, dan serangga yang dapat merugikan manusia (Alikodra, 1990).
Kelelawar pemakan buah dan nektar memainkan peranan penting dari segi
ekologi sebagai penyebar biji dan penyerbuk (Dumont, 2004). Dari segi ekologis,
kelelawar merupakan penyebar biji buah-buahan seperti sawo (Manilkara kauki),
jambu air (Eugenia aquea), jambu biji (Psidium guajava), duwet (Eugenia
cuminii) dan cendana (Santalum album). Jenis kelelawar yang memiliki peranan
ini mayoritas adalah jenis dari family Pteropodidae. Kelelawar juga berperan
sebagai penyerbuk bunga dari tanaman bernilai ekonomis seperti durian (Durio
zibethinus), bakau (Rhizophora conjugate), kapuk (Ceiba pentandra) dan mangga
(Mangifera indica). Menurut Saridan (2010) peran kelelawar sebagai penyebar
biji dan kelelawar sangat bergantung pada faktor jenis pakan yang mempengaruhi
masing-masing spesies kelelawar, mulai dari faktor bentuk mahkota bunga, tipe
polen, dan ukuran polen.
Kelelawar pemakan buah dan nektar berperan penting sebagai polinator dan
penyebar biji khususnya di daerah tropis dan kelelawar pemakan serangga
berperan sebagai pengontrol populasi serangga. Di daerah tropis kira-kira
terdapat 300 tanaman yang pembuahannya tergantung kelelawar dan diperkirakan
95% regenerasi hutan dilakukan oleh kelelawar jenis pemakan buah dan madu
(Satyadharma, 2007).
Kelelawar menjadi spesies kunci dalam komunitas khususnya di daerah tropis
yang memiliki kelimpahan dan keanekaragaman jenis tinggi. Sekitar 25%
(hampir 240 jenis) dari seluruh jenis yang termasuk dalam ordo Chiroptera
16dianggap terancam kelangsungan hidupnya oleh IUCN (2008). Megachiroptera
cenderung memiliki resiko kepunahan lebih tinggi daripada Microchiroptera
namun keduanya menghadapi ancaman yang sama yaitu kehilangan dan
fragmentasi habitat. Rusaknya tempat bertengger adalah masalah utama yang
dihadapi kelelawar. Penggunaan pestisida secara tidak langsung menimbulkan
ancaman bagi kelelawar pemakan serangga, karena serangga yang menjadi pakan
kelelawar akan mengandung bahan kimia. Jenis-jenis kelelawar yang berada pada
wilayah geografi yang kecil atau memiliki ekologi yang khas memiliki ancaman
kepunahan yang tinggi (Wund dan Myers, 2005).
2.6 Penyebaran Kelelawar
Menurut Nowak (1994), kelelawar ditemukan di seluruh permukaan bumi, kecuali
di daerah kutub dan pulau-pulau terpencil. Kemampuan terbang kelelawar
merupakan faktor penting dalam persebaran hewan ini. Selain itu, jenis pakannya
sangat bervariasi sehingga memungkinkan hidup di berbagai tipe habitat. Sekitar
200 spesies kelelawar ditemukan di Madagaskar dan Afrika, 300 spesies
ditemukan di Amerika Selatan dan Amerika Tengah, 240 jenis ditemukan di Asia
dan Australia; dan sekitar 40 spesies ditemukan di Amerika Utara dan Eropa, di
Indonesia terdapat 151 jenis kelelawar. Jenis-jenis tersebut menyebar di seluruh
kepulauan Indonesia. Lebih lanjut Kunz dan Pierson (1994), menjelaskan bahwa
kelelawar merupakan mamalia paling berhasil, karena dapat ditemukan di
berbagai tipe habitat dengan ketinggian mulai 10 m dpl sampai 3000 m dpl.
Winkelmann dkk. (2000) meneliti penggunaan habitat oleh kelelawar
Synconycteris australis di Papua New Guinea. Faktor-faktor yang dapat
17mempengaruhi keberadaan dan kelimpahan kelelawar pada suatu habitat ialah 1)
struktur fisik habitat, 2) iklim mikro habitat, 3) ketersediaan pakan dan sumber air,
4) keamanan dari predator, 5) kompetisi, dan 6) ketersediaan sarang.
Persebaran kelelawar sangat tersebar luas, seperti jenis Chaerephon plicatus
tersebar di Srilangka, India sampai China, Asia Tenggara, Sumatra, Jawa,
ditemukan juga dalam gua-gua di Cilacap dan Kebumen. Hpposideros galaritus
banyak ditemukan di Srilangka, India, Asia Tenggara, Filipina, Indonesia,
Australia. Hipposideros larvatus ditemukan di Banglades, China Selatan,
Sumatera, Jawa-Sumba, Semenanjung Malaysia, Serawak, Thailand, Madura,
Jawa, Pulau Laut, Krakatau, Sumatera, Nias, Nusa Tenggara (Sumba, Sumbawa,
Flores, Savu, Roti, Semau, timor) (Kitcheneer dkk., 1993). Eonyctris spelaea
penyebarannya meliputi Sumatera, Kalimantan, Jawa, India utara sampai China,
Asia Tenggara dan Lombok. Spesies Pteropus vampyrus penyebarannya di
Myanmar Selatan, Thailand, Indocina, Semenanjung Malaysia, Filipina, Jawa,
Sumatera, Kalimantan, Kepulauan Nusa Tenggara dan pulau-pulau yang
berdekatan (Kitcheneer dkk., 1990).
2.7 Perilaku Kelelawar
Bangsa kelelawar termasuk hewan nocturnal, karena mencari makan pada malam
hari dan di siang hari melakukan aktivitas tidur dengan cara bergantung dengan
kakinya, menyelimuti tubuhnya dengan sayap ketika dingin dan mengipaskan
sayapnya jika keadaan panas. Terdapat dua alasan mengapa kelelawar lebih
memilih aktif pada malam hari. Pertama, pada siang hari dapat terjadi pengaruh
radiasi yang merugikan pada sayap. Sayap yang terkena sinar matahari akan lebih
18banyak menyerap panas daripada yang dikeluarkan. Hal ini karena sayap
kelelawar hanya berupa selaput kulit tipis dan sangat rentan terkena sinar
matahari. Kedua, kelelawar telah mengalami proses adaptasi khusus yaitu
memiliki indera yang sangat mendukung bagi aktivitas pada malam hari, sehingga
dapat menghilangkan persaingan dengan hewan diurnal, misalnya burung.
Kelelawar sering terlihat makan di atas pohon dan menjatuhkan sisa makanannya
ke tanah. Bagi induk yang memiliki anak, maka induk memberikan makan
kepada anaknya sebelum induk tersebut makan (Apriandi, 2004).
Kelelawar yang memakan buah, serangga, maupun nektar mempunyai aktifitas
makan pada malam hari. Hal ini dimungkinkan karena satwa ini mempunyai
sistem ekolokasi (penentuan arah dan lokasi melalui gelombang ultrasonik yang
dihasilkan dari mekanisme laryngeal yang dipadukan dengan sistem pernapasan),
daya penciuman (nasal) dan penglihatan (visual). Kelelawar ordo microchiroptera
termasuk Chaerepton plicatus sangat tergantung pada sistem ekolokasi. Emisi
ultrasonik yang dihasilkan larynx akan disalurkan melalui mulut atau melalui
hidung (Kitcheneer dkk., 1990).
2.8 Pakan Kelelawar
Berdasarkan jenis pakannya kelelawar dapat dibedakan menjadi kelelawar
pemakan buah, serangga, dan madu. Kelompok pemakan buah umumnya adalah
herbivora dengan memakan buah, nektar dan serbuk sari. Hampir 260 jenis
kelelawar merupakan kelompok pemakan buah, serbuk sari, daun dan nektar
(Nowak, 1994). Mamalia yang termasuk pemakan buah cenderung membawa,
memakan, dan menelan buah kemudian mensekresikan feses yang mengandung
19biji yang termakan, biasanya cenderung mempunyai rata-rata waktu semai lebih
tinggi daripada biji yang tidak termakan (Vaughan dkk., 2000).
Menurut penelitian Pendong dkk. (2015) jenis pakan yang banyak dimakan oleh
kelelawar pemakan buah jenis Pteropus alecto, yaitu buah papaya (Carica
papaya), pisang (Musa paradisica), mangga (Mangifera indica), sirsak (Annona
muricata), jambu (Psidium guajava) dan bunga kelapa (Cocos nucifera).
Kelelawar Pteropus alecto memliki susunan organ-organ cerna yang umumnya
sama seperti hewan monogastrik lainnya, tetapi tidak memiliki sekum dan tidak
memiliki ruang cerna fermentatif, dimana pakan utamanya adalah buah-buahan,
sehingga dapat dikategorikan sebagai hewan monogastrik herbivora frugivora
(non pseudo-ruminanisa).
Menurut penelitian Mariyanti dkk. (2008) Suku tumbuhan yang menjadi sumber
pakan kelelawar sebanyak 14 suku tumbuhan yakni Acanthaceae, Anacardiaceae,
Bombacaceae, Cucurbitaceae, Cyperaceae, Euphorbiaceae, Fabaceae, Graminae,
Loranthaceae, Myrtaceae, Paku-pakuan, Rubiaceae, Sapindaceae, Tiliaceae. Jenis
tumbuhan sumber pakan sebanyak 21 jenis yaitu Justicia sp, Anacardium sp,
Coccinia sp, Euphorbia sp, Dendrocalamus sp, Dendrophthoe sp, Helixanthera
sp, Pileantus sp, paku genus a, paku genus b, Tarenna sp, Morinda sp,
Cardiospermum sp, Bombax sp, Cyperus sp, Acacia sp, Grewia sp, Tilia sp,
Cassia sp, Coccinia sp, Adenanthera sp. Selain itu penelitian Fajri dan Arminiani
(2015), menemukan 9 spesies tanaman yang termakan oleh kelelawar diantaranya
An-nacardium sp, Adenathera sp, Ceiba sp, Convulvulaceae, Poaceae, Syzygium
sp, Musa sp, Muntingia sp, dan Annona sp.
202.9 Perilaku bersarang
Sarang merupakan salah satu komponen penting dalam hidup kelelawar.
Kebanyakan jenis kelelawar hidup berkoloni dalam bersarang dan pencarian
makan. Menurut Zukal dkk. (2005) beberapa keuntungan hidup dalam koloni
adalah adanya transfer informasi, keamanan pada predator, keberhasilan
reproduksi, dan thermoregulasi.
Ada tiga perilaku produk transfer informasi yang dilakukan dalam koloni
kelelawar, yaitu 1) mengikuti (following behaviour), yaitu perilaku yang
menyebabkan anggota dalam koloni bersama-sama menuju suatu lokasi tempat
pencarian makan atau tempat bersarang; 2) penanda hubungan sosial (sosial
signal), yaitu pemahaman signal-signal intensional, termasuk signal tanda bahaya;
3) belajar (learning behaviour), yaitu proses pembelajaran dari induk ke anak
yang menyebabkan kelelawar muda mampu mengembangkan teknik pencarian
makan, menghindar dari predator, serta hal-hal yang menguntungkan bagi
kehidupannya (Zukal dkk., 2005).
Willis dan Brigham (2004), meneliti pembagian sarang (roost sharing) dan
kebersamaan sosial (sosial cohesion) kelelawar Eptesicus fuscus
(microchiroptera) di Cypres Hill Canada. Hasil penelitian membuktikan bahwa
interaksi sosial dan kerja sama intraspesifik dalam koloni dapat menghasilkan
ketahanan terhadap gangguan predator dan cuaca buruk. Penelitian Baudinette
dkk. (1994), di Gua Kelelawar dan Gua Robertson Australia membuktikan gua
yang dihuni kelelawar dengan jumlah besar dapat menaikkan suhu dalam gua
21hingga 3oC. Pada musim dingin, keadaan ini menguntungkan kelelawar karena
mengurangi energi yang diperlukan untuk menghangatkan tubuh.
Kebanyakan kelelawar pemakan buah (megachiroptera) bersarang di pohon
dengan jumlah koloni besar. Pohon sarang megachiroptera biasanya tinggi dan
besar, tetapi tidak berdaun rimbun. Menurut Campbell dkk. (1996), pohon tempat
bersarang kelelawar biasanya menyediakan akses yang mudah menuju tempat
pencarian makan (central place foraging) dan mempunyai pencahayaan yang
cukup bagi perkembangan anakan. Pada sarang kelelawar Cyanopterus sphinx
(megachiroptera) tanaman palem (Caryota urens : Palmaea) ditempati oleh 1
individu jantan dewasa, 37 individu betina dewasa, dan 33 individu anakan (Storzt
dkk., 2000).
Penelitian Soegiharto dan Kartono (2009), mendapatkan kelelawar
Megachiroptera: Pteropus vampyrus menempati tanaman kelapa (Cocos nucifera:
Palmaea), kepuh (Sterculia foetida: Malvaceae), dan kapuk (Ceiba pentandra:
Malvaceae) di Kebun Raya Bogor. Tanaman yang dipilih memiliki ketinggian
yang cukup untuk menghindar dari gangguan predator serta bertajuk relatif lebar
dan mendatar. Jenis Megachiroptera yang bersarang di gua biasanya dalam
koloni kecil atau bahkan hanya satu individu saja. Jenis-jenis tersebut adalah
Rousettus amplexicaudatus, Megaderma lyra dan Eonysteris spelaea (Suyanto,
2001).
Sebaliknya, ordo Microchiroptera bersarang di pohon dalam jumlah sedikit.
Microchiroptera lebih menyukai bersarang di bangunan buatan manusia, di celah
batuan atau di gua dibandingkan pada dahan pohon. Penelitian Campbell dkk.
22(1996) di hutan Pasific Nortwest Amerika Serikat mendapatkan kelelawar
Lasionycteri noctivagans (Vespertilionidae: Microchiroptera) bersarang pada
pohon pinus (Pinus ponderosa: Pinaceae) dan pinus putih (Pinus monticola:
Pinaceae).
Law dan Chidel (2002), meneliti sarang dan ekologi pencarian makan
kelelawar Kerivoula papuensis (Vespertilionidae : Microchiroptera) di hutan
hujan New South Wales Australia. Sebanyak 11 individu kelelawar ditangkap di
sekitar hutan dan dipasangi radiotracking. Lima puluh empat persen (54%) di
antaranya bersarang di pohon yang jaraknya 5.2 km dari sungai, dan dua puluh
tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2.7 km dari sungai, dua puluh
tiga persen (23%) bersarang di pohon yang jaraknya 2 km. Jumlah individu
dalam koloni sarang ternyata tidak lebih dari 10 individu. Tanaman yang
digunakan sebagai sarang adalah pohon jeruk (Flindersia australis: Rutaceae).
Russo dkk. (2003) meneliti seleksi sarang oleh kelelawar jenis Barbastella
barbastellus (Microchiroptera) di hutan Italia. Tanaman pada hutan yang tidak
ditebang lebih banyak dihuni kelelawar Barbastella barbastellus daripada di
hutan yang telah mengalami penebangan. Hal ini karena di hutan yang belum
ditebang lebih banyak terdapat tanaman tua (hampir mati) dengan kulit kayu
mengelupas, tinggi, dan sedikit daun.
Kebanyakan jenis Microchiroptera bersarang di gua dalam jumlah besar.
Beberapa jenis kelelawar memilih gua sebagai tempat bersarang karena kondisi
gua yang lembab, suhu stabil, dan jauh dari kebisingan. Dengan kondisi
demikian, kelelawar kelompok Microchiroptera dapat meminimalkan kekurangan
23air akibat evaporasi, dapat memilih suhu yang tepat untuk tubuhnya, dan dapat
menghindari kebisingan yang dapat mengganggu bahkan dapat menyebabkan
kematian.
Menurut Ruczynsi dkk. (2007) kelelawar Microchiroptera memiliki alat
pendengaran yang sangat sensitif pada gelombang suara, terutama gelombang
pantul (echolokasi) berfrekuensi ultrasonik ( > 20 KHerzt). Kelelawar juga dapat
bertahan hidup pada gua dengan kandungan amonia tinggi. Penelitian Sridhar
dkk. (2006) mendapatkan urin dan feses (guano) kelelawar Hipposideros speoris
(Hipposideridae : Microchiroptera) tersusun atas 5.7 ± 1.5% nitrogen (N)
berbentuk amonia (NH3). Amonia tersebut merupakan hasil katabolisme protein.
Amonia dalam guano dapat menguap menjadi gas bercampur dengan komponen
udara lainnya. Hal ini menyebabkan kandungan amonia udara meningkat tajam
(Sridhar dkk., 2006).
2.10 Reproduksi Kelelawar
Kelelawar melahirkan anaknya dalam keadaan head-down (posisi terbalik) pada
posisi roosting. Selaput kulit (patagium) digunakan sebagai tempat melahirkan
anaknya (Altringham, 1996). Pada umumnya kelelawar berkembang biak hanya
satu kali dalam setahun dalam masa kehamilan 3 sampai 6 bulan, dan hanya bisa
melahirkan satu atau dua ekor bayi setiap priode melahirkan. Bayi yang baru
dilahirkan ini mempunyai bobot yang dapat mencapai 25-30% dari bobot tubuh
induknya, lebih besar dari bayi manusia yang mencapai 5% dari bobot induknya
(Nowak, 1995).
24Kelelawar baru lahir memiliki gigi susu, tetapi akan segera digantikan dengan gigi
permanen. Gigi susu pada beberapa jenis cukup tajam dengan bentuk
membengkok. Hal ini dapat membantu bayi kelelawar berpegangan dengan
induknya saat induknya terbang berkeliling dengan menggendong bayinya.
Kelelawar pemakan serangga memiliki geraham yang sangat tajam dan digunakan
untuk menghancurkan serangga, sedangkan taringnya didesain untuk menggigit
dan membawa mangsa yang masih hidup. Gigi tengah umumnya sangat kecil
pada kelelawar pemakan serangga dan ketika membuka mulut, terlihat seperti
tidak memiliki gigi depan sama sekali. Kelelawar pemakan buah memiliki
geraham yang besar dan kuat untuk mengunyah buah dan biji-bijian. Juga
memiliki otot rahang yang sangat kuat untuk membantu mengunyah makanan
yang keras (Ceave, 1999).
25
III. METODE PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian karakteristik habitat kalong (Pteropus vampyrus) dilakukan di Pulau
Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus, pada bulan Juni 2018.
3.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, Global
Positioning System (GPS), kompas, rol meter, pita meter, Criten hypsometer dan
pisau. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kalong dan vegetasi
yang ada di Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
3.3 Batasan Penelitian
Batasan dalam penelitian ini adalah.
1. Pohon tidur kalong adalah tumbuhan yang digunakan oleh kalong untuk
bergelantung selama penelitian di Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten
Tanggamus.
2. Penelitian dilakukan di areal aktivitas kalong yang ada di Pulau Mutiara
Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
263.4 Jenis Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan yaitu data primer dan data sekunder. Data primer yaitu
data yang diambil dengan metode observasi dengan menggunakan metode
observasi (pengamatan langsung), yaitu kondisi habitat yang meliputi vegetasi,
jumlah vegetasi, struktur vegetasi, tinggi, diameter, dan suhu di Pulau Mutiara
Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus. Data sekunder yaitu data yang meliputi
keadaan umum lokasi penelitian dan data yang menunjang tentang data primer.
3.5 Metode Pengumpulan Data
3.5.1 Data Primer
Pengumpulan data habitat diperoleh dengan membuat petak contoh yaitu dengan
menentukan titik awal terlebih dahulu selanjutnya membuat petak contoh secara
Purposive sampling, berdasarkan keberadaan kalong yang ditemukan. Parameter
yang diamati dan diukur yaitu jenis pohon, tinggi pohon, dan diameter pohon.
Data fisik yang akan diukur yaitu suhu, kelembaban, dan ketinggian tempat.
Pohon pakan kalong diketahui dengan melihat secara langsung sepahan bekas
makan atau meliahat secara langsung kalong itu makan dan melihat literature
tentang pakan kalong. Untuk pohon tidur diketahui dengan melihat langsung
kelompok kalong melakukan aktifitas di pohon tersebut dan mengamati
karakteristik bentuk tajuk yang dijadikan tempat untuk tidur kalong.
Data habitat diperoleh dengan membuat petak contoh 20 m x 20 m secara
purposive sampling berdasarkan keberadaan kalong yang ditemukan. Parameter
27yang diukur dalam petak 20 m x 20 m (tingkat pohon) yaitu jenis pohon, tinggi,
diameter, dan suhu. Petak 10 m x 10 m (tingkat tiang) yang diukur yaitu jenis
pohon, jumlah, dan tinggi. Petak 5 m x 5 m (tingkat pancang) yang diukur jumlah
vegetasi, tinggi, diameter, dan jenis. Petak 2 m x 2 m (tingkat semai atau
tumbuhan bawah) diukur jenis dan tingginya (Soerianegara dan Indrawan, 2005).
Secara lengkap desain metode garis berpetak dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Desain Metode Garis Berpetak.
3.5.2 Perilaku Kalong
Prilaku kalong yang diamati yaitu prilaku saat datang dan pergi kalong ke dan dari
habitatnya, yaitu pada pagi hari (04.00 – 07.00 WIB) dan pada sore hari (17.30 –
19.00 WIB) dengan parameter yang diukur adalah masuk dan keluar kalong dari
habitatnya. Penelitian ini dilakukan selama 10 hari untuk mengetahui prilaku
berpindahnya kalong dari habitatnya.
2 m
2 m5 m
10 m5 m
20 m10 m
20 m
283.5.3 Data Sekunder
Data sekunder merupakan data penunjang atau sumber informasi mengenai
gambaran umum Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten Tanggamus.
3.6 Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan menghitung Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi
Relatif (FR), Dominansi Relative (DR), Indeks Nilai Penting (INP), indeks
keanekaragaman, dan indeks kemerataan. Analisis vegetasi tumbuhan pakan
digunakan persamaan-persamaan yang sama dengan analisis struktur vegetasi
kalong (Soerianegara dan Indrawan, 2005). Menurut Indriyanto (2006), untuk
menganalisis vegetasi dapat dihitung menggunakan rumus-rumus sebagai berikut.
3.6.1 Rumus Kerapatan
Kerapatan (K) menunjukkan jumlah individu dalam suatu petak. Kerapatan setiap
spesies dibedakan berdasarkan tingkat pertumbuhan (semai, pancang, tiang,
pohon dan tanaman lain selain pohon). Perhitungan kerapatan dapat diketahui
berdasarkan rumus berikut.
K = jumlah individu untuk spesies ke-iLuas seluruh petak contoh
KR = kerapatan spesies ke-1 x 100%Kerapatan seluruh spesies
3.6.2 Rumus Distribusi/Frekuensi
Distribusi/frekuensi (F) menunjukkan jumlah penyebaran tempat ditemukannya
suatu spesies dari semua plot ukur dapat dihitung dengan rumus berikut.
29F = jumlah petak contoh ditemukan suatu spesies ke-i
Jumlah seluruh petak contoh
FR = frekuensi spesieske-i x 100%Frekuensi seluruh spesies
3.6.3 Rumus Dominasi
Dominasi (D) digunakan untuk mengetahui spesies yang tumbuh lebih
banyak/mendominasi. Perhitungan dominasi dapat diketahui berdasarkan rumus
berikut .
D = jumlah luas bidangdasar ke-iLuas petak contoh
DR = dominansi suatu spesies ke-i x 100%Dominansi seluruh spesies
3.6.4 Rumus Indeks Nilai Penting
Indeks Nilai Penting (Importance Value Index) adalah parameter kuantitatif yang
dapat dipakai untuk menyatakan tingkat dominasi spesies-spesies dalam suatu
komunitas tumbuhan. Perhitungan INP dapat diperoleh berdasarkan rumus
berikut.
INP = KR + FR + DR
3.6.5 Rumus Indeks Keanekaragaman
Keanekaragaman jenis (H’) diukur dengan Indeks Keanekaragaman Jenis
Shannon-Wienner yaitu dengan rumus (Odum, 1971).
H’ = -Σ Pi ln (Pi), dimana Pi = (ni/N)
30Kriteria :
H’ <1 :Rendah
H’ = 1-3 :Sedang
H’ >3 :Tinggi
3.6.6 Rumus Indeks Kemerataan Komunitas
Perbandingan antar jenis dapat diketahui besarnya indeks kemerataan menurut
Odum (1993) yaitu sebagai berikut.
E = H’ / Ln S
Keterangan:
H’ = Indeks Shannon
S = Jumlah Spesies
E = Indeks Kemerataan
Kriteria komunitas lingkungan berdasarkan indeks kemerataan:
0,00 < E < 0,50 komunitas tertekan
0,05 < E < 0,75 komunitas labil
0,75 < E < 1,00 komunitas stabil
V. SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Pulau Mutiara Teluk Semaka Kabupaten
Tanggamus, maka dapat disimpulkan.
1. Habitat kalong (Pteropus vampyrus) di Pulau Mutiara didominasi oleh hutan
mangrove. Jenis mangrove yang dapat dijumpai di lokasi yaitu pedada (Sonneratia
alba) dan Rhizophora apiculata. Vegetasi tersebut digunakan kalong untuk makan,
tidur, dan melakukan aktifitas lainnya.
2. Pakan alami kalong yang ada di Pulau Mutiara hanya ada satu jenis yaitu jenis
tanaman pedada (Sonneratia alba).
3. Pohon tidur yang dimanfaatkan kalong di Pulau Mutiara memiliki karakteristik
pohon yang tinggi besar, tidak memiliki daun yang rimbun, dan memiliki jenis
percabangan simpodial.
5.2 Saran
Saran yang dapat disampaikan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.
1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang karakteristik habitat kalong sebagai
upaya untuk kelayakan dan kesesuaian habitat kalong.
2. Perlu adanya perhatian khusus terhadap kelestarian habitat kalong, agar tidak
terjadinya kepunahan pada spesies tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Aguirre, L., Lens, L. dan Matthyse, E. 2003. Pattern of roost use by bats in aneotropical savanna: implications for conservation. Journal BiologicalConservation. 111: 435-443.
Alikodra, H. S. 1990. Pengelolaan Satwa Liar. Buku. Fakultas KehutananInstitut Pertanian Bogor. Bogor. 296 hlm.
Alikodra, H. S. 2002. Pengelolaan Satwa Liar. Buku. Yayasan PenerbitFakultas Kehutanan. Bogor. 125 hlm.
Altringham, J. D. 1996. Bats: Biology and Behaviour. Buku. Oxford UniversityPress. New York. 272 hlm.
Anderson, J. R. 1999. Sleep, sleeping site, and sleep-related activities:awakening to their significance. Journal American of Primatology. 46: 63-75.
Apriandi, J. 2004. Keanekaragaman dan Kekerabatan Jenis KelelawarBerdasarkan Kondisi Fisik Mikroklimat Tempat Bertengger pada BeberapaGua di Kawasan Gua Gudawang. Skripsi. Institut Pertanian Bogor.Bogor. 74 hlm.
Ariyanti, E. S. 2012. Studi Karakteristik Roost Kelelawar Pemakan Buah(Megachiroptera) di Perkebunan Kopi Sumberejo Way Heni LampungBarat, Sumatera. Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung.83 hlm.
Baudinette, R. V., Wlls, R. T., Sanderson, K. J. dan Clark, B. 1994.Microclimate conditions in maternity caves of the bent-wing batMiniopterusschreibersii: an attempt restoration of a former maternity site.Wildlife Research. 21(6): 607-619.
Berliana, Y., Rizaldi. dan Wilson, N. 2013. Struktur kelompok, daerah jelajahdan jenis makanan ungko (hylobates agilis) di hutan pendidikan danpenelitian biologi universitas andalas. Jurnal Biologi Universitas Andalas.2(1): 57-63.
51Bumbut, P. I. 2016. Keanekaragaman Jenis dan Jenis Pakan Kelelawar Sub
Ordo Megachiroptera di Taman Wisata Alam Gunung Meja ManokwariPapua Barat. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 51 hlm.
Campbell, L. A., Hallet, J. G. dan O’Connel, M. A. 1996. Conservation of batsin managed forest: use of roost by brown bats. eptesicus fuscus, conform tothe fission- fusion model. Journal Animal Behaviour. 68(3): 495-505.
Ceave, A. 1999. Bats a Partrait of The Animal World. Buku. TODTRI BookPublishers. New York. 157 hlm.
Choirunnisa, A. 2015. Karakteristik Morfologi dan Pemilihan Jenis Pakan olehKelelawar Megachiroptera di Hutan Pendidikan Gunung Walat, KabupatenSukabumi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hlm.
Corbet. G. B. dan Hill, J. E. 1992. The Mammal of the Indomalayan Region: ASystematic Review. Buku. Natural History Museum Publications, OxfordUniversity Press, UK. London. 496 hlm.
Dempsey, J. L. 2004. Fruit Bats: Nutrition and Dietary Husbandry. Adapted(and Updated) From Dempsey, J.L. 1998. Recent Advances in Fruit BatNutrition. Artikel. https://www.researchgate.net/FRUIT_B ATS/0f31753.Diakses pada tanggal 05 Agustus 2018.
Dumont, E. R. 2004. Food hardness and feeding behavior in old world fruit bats(pteropodidae). Journal of Mammalogy. 85(1): 8-14.
Estrada, A. 2001. Food hardness and feeding behavior in old world fruit bats(pteropodidae). Journal of Mammalogy. 85(1): 8-14.
Fitri, R., Rizaldi. dan Novarino, W. 2013. Kepadatan populasi dan strukturkelompok simpai (presbytis melalophos) serta jenis tumbuhan makanannyadi hutan pendidikan dan penelitian biologi (hppb) universitas andalas.Jurnal Biologi Universitas Andalas. 2(1): 25–30.
Ghanem, S. J. dan Voigt, C. C. 2012. Increasing awareness of ecosystemservices provided by bats. Elsevier. 44: 279-302.
Goin, C. J., Goin, O. B. dan Zug. G. R. 1978. Introduction to Herpetology.Buku. W. H Freeman and Company. San Fransisco. 378 hlm.
Hoeve, V. 1996. Ensiklopedia Indonesia Seri Fauna.Mamalia 1. Buku.Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Proyek Peningkatan Mutu danPelaksanaan Wajib Belajar SLTP. Jakarta. 246 hlm.
Huang, J. C. C., Ariyanti, E. S., Rustiati, E. L., Darras, K., Maryanto, I. danMaharadatunkamsi. 2016. Kunci Identifikasi Kelelawar di Sumatera:dengan Catatan Hasil Perjumpaan Langsung di Kawasan Taman Nasional
52Bukit Barisan Selatan. Artikel.https://www.researchgate.net/publication/308954580. Diakses pada bulan05 Agustus 2018.
Indriyanto. 2005. Dendrologi Edisi ke-1. Buku. Penerbit Universitas Lampung.Bandar Lampung. 232 hlm.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Buku. Bumi Aksara. Jakarta. 210 hlm.
Insafitri. 2010. Keanekaragaman, keseragaman, dan dominansi bivalvia di areabuangan limpur lapindo muara sungai porong. Jurnal Kelautan. 3(1): 54-59.
Iqbal, M. 2011. Pemilihan Lokasi Tidur (Sleeping Sites) Kukang Jawa(Nycticebus Javanicuse. Geoffroy, 1812) yang Dilepasliarkan di KawasanHutan Gunung Salak Bogor, Jawa Barat. Skripsi. Universitas Indonesia.Depok. 36 hlm.
IUCN. 2008. The IUCN Red List Catagories and Criteria. Version3.1.<www.iucnredlist>. Diakses pada bulan 13 Oktober 2018.
Irwanto. 2006. Keanekaragaman Fauna pada Habitat Mangrove. Artikel.www.Irwantoshut.com. Diakses pada 13 Oktober 2018.
Kitcheneer, T., Liem, B. L., Charlton, L. dan Mahadaratunkamsi. 1990. WildMammals of Lombok Island Nusa Tenggara, Indonesia: Systematic andNatural History. Buku. Western Australian Museum.Australia. 129 hlm.
Kitchener, D. J., Packer, W. C. dan Maryanto, I. 1993. Taxonomic status ofnyctimene (chiroptera : pteropodidae) from the banda, kei and aru is.,maluku, indonesia. Implication for biogeography. Records WesternAustralian Museum. 16: 399- 417.
Kunz, T. H. dan Pierson, E. D. 1994. Walker’s Bats of the World. Buku. TheJohn Hopkins University press. Baltimore and London. 288 hlm.
Kunz, T. H. 1996. Ecological and Behavioral Study of Bats. Buku. SmithsonianInstitution Press. Washington. 920 hlm.
Kunz, T. H. dan Fenton, M. B. 2003. Bat Ecology. Buku. University of ChicagoPress. Chicago. 779 hlm.
Kunz T. H. dan Lumsden, L. F. 2003. Ecology of Cavity and Foliage RoostingBats. Buku. The University of Chicago Press. Chicago and London.745 hlm.
53Kunz, T. H., Torrez, E. B. D., Bauer. D., Lobova,T.dan Fleming, T. H. 2011.
Ecosystem services provided by bats. Journal Annals of the New YorkAcademy of Sciences. 1223: 1–38.
Lang, C. K. A. 2006. Primate Factsheets: Long-Tailed Macaque (Macacafascicularis) Taxonomy, Morphology and Ecology. Artikel.http://pin.primate.wisc. Diakses pada tanggal 05 Agustus 2018.
Law, B. dan Chidel, M. 2002. Tracks and riparian zones facilitate the use ofaustralian regrowth forest by insectivorous bats. Journal of AppliedEcology. 39(4): 605-617.
Mariyanti., Kartono, A. P. dan Maryanto, I. 2008. Kelelawar pemakan buahsebagai pollinator yang diidentifikasi melalui polen yang digunakan sebagaisumber pakannya di kawasan sektor linggarjati, taman nasional ciremai jawabarat. Jurnal Biologi Indonesia. 4(5): 335-347.
Meijaard, E., Sheil, D., Nasi, R., Augeri, D., Rosenbaum, B., Iskandar, D.,Setiawati, T., Lammartink, M., Racmatika, I., Wong, A., Soehartono, T.,Stanley, S. dan O’Brien, T. 2006. Hutan pasca pemanenan; MelindungiSatwaliar dalam Kegiatan Hutan Produksi di Kalimantan. Buku. CenterFor International Forestry Research. Bogor. 384 hlm.
Noerdjito.dan Maryanto. 2005. Kriteria Jenis Hayati yang Harus Dilindungioleh dan untuk Masyarakat Indonesia. Buku. LIPI dan ICRAF. Bogor.97 hlm.
Nowak, L. 1994. Walker’s Mammals of the World. Buku. John HopkinsUniversity Press. Baltimore and London. 793 hlm.
Nowak, R. M. 1995. Bats of The World. Buku. The Johns Hopkins UniversityPress.Baltimore and London. 287 hlm.
Nowak, R. M. 1999. Hipposideros Diadema. Animal Diversity Web.http://animaldiversity.ummz.umich.edu/site/accounts/information/html.Diakses pada tanggal 20 Maret 2018.
Odum, E.P. 1971. Fundamentals of Ecology. (Terjemahan Tjahjono Samingan.1993. Ed. B. Srigandono. Dasar-dasar Ekologi). Buku. Gadjah MadaUniversity Press. Yogyakarta. 697 hlm.
Odum, E.P. 1993. Dasar-Dasar Ekologi. Buku. Terjemahan TjahjonoSamingan. Edisi Ketiga. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 677hlm.
Okthalamo, V. 2009. Monitoring Keanekaragaman Kelelawar PemakanSerangga (Microchiroptera) di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan.Skripsi. Universitas Lampung. Bandar Lampung. 65 hlm.
54Pattiselanno, F. dan Bumbut, P. I. 2011. Jenis kelelawar pemakan buah
(pteropodidae) di taman wisata alam gunung meja manokwari. JurnalBiosfer. 29(1): 78-84.
Pendong, L. K., Umboh, J. F., Imbar, M. dan Rahasia, C. A. 2015. Identifikasikarakteristik alat pencernaan kelelawar pteropus alecto di sulawesi bagianutara. Jurnal Zootek. 35(1): 55-61.
Pramono. 2011. Pengaruh Kompensasi, Motivasi, Lingkungan Kerja danKepemimpinan Terhadap Kinerja Karyawan PT. Adi Mitra PratamaSemarang. Artikel Fakultas Ekonomi Universitas Semarang.http://journal.usm.ac.id/jurnal/dinamika-manajemen/330/detail/. Diaksespada tanggal 20 Maret 2018.
Qiai, Z. H., Chengming, L.. Ming , W. dan Fuen. 2009. Sleeping sites use bytrachypitecus francoisi at nonggang nature reserve china. InternationalJournal of Primatology. 30: 353-365.
Ruczynski, I., Kalko, E. K. V. dan Siemers, B. M. 2007. The sensory basis ofroost finding in a forest bat. Jurnal Mamalia Biologi. 26: 162-163.
Russo, D., Cistrone, L., Jones, G. dan Mazzoleni, S. 2003. Roost selection bybarbastelle bats in beech woodland of central italy. Journal BiologycalConservation. 117: 73-81.
Saridan, A. 2010. Jenis dan preferensi polen sebagai pakan kelelawar pemakanbuah dan nektar. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7(3): 241-256.
Satyadharma, A. 2007. Conservation Bats. Artikel.http://www.conservation.or.id./tropica/. Diakses pada tanggal 25 Maret2018.
Selan, Y. N., Amalo, F. A., Kusindarta, D. L., Widayanti, R. dan Gololodo, M. A.2016. Anatomy study on small intestine of pteropus vampyrus from timorisland. Seminar Nasional Ke-4, Fakultas Kedokteran Hewan. UniversitasNusa Cendana, Kupang 25 Maret 2018.
Setia, T. M. 2008. Penyebaran biji oleh satwa liar di kawasan pusat pendidikankonservasi alam bodogol dan pusat riset bodogol, taman nasional gununggede pangrango, jawa barat. Jurnal Vis Vitalis. 1(1): 1-8.
Simmons, N. B. 2005. Chiroptera and Mammals Species of The World;ATaxonomic and Geographic Referenece. Buku. Johns Hopkins UniversityPress, Baltimore, Maryland In Press. Amerika Serikat. 2142 hlm.
55Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Buku. Penerbit Usaha Nasional. Jakarta. 275 hlm.
Soegiharto, S. dan Kartono, A. P. 2009. Karakteristik tipe pakan kelelawarpemakan buah dan nektar di daerah perkotaan: studi kasus di kebun rayabogor. Jurnal Biologi Indonesia. 6(1): 199-130.
Soerianegara, I. dan Indrawan, A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Buku.Institut Pertanian Bogor. Bogor. 83 hlm.
Sridhar, K. R., Ashwini, K. W., Seena, S. dan Sreepada, K. S. 2006. Manurequalilities of guano of incectivorous cave bat hippsideros speoris. JournalTropical and subtropical agoecosystems. 6: 103-110.
Storzt, J. F., Bhat, H. B. dan Kunz, T. H. 2000. Social structure of polygynoustentmaking bat, cyanopterus sphinx (megachiroptera). Journal Zool. 251:151-165.
Supandi, E. 2002. .Studi Karakteristik Habitat Bergelantung Kalong (Pteropusvampyrus, Linnaeus 1758) di Way Sleman Tampang Belimbing TamanNasional Bukit Barisan Selatan, Lampung. Skripsi. Unila. BandarLampung. 50 hlm.
Suyanto, A. 2001. Kelelawar di Indonesia. Buku. Pusat Penelitian danPengembangan Biologi–LIPI. Bogor. 110 hlm.
Vaughan, T. A., James, M. R. dan Nicholas, J. 2000. Mammalogy FourthEdition. Buku. Harcourt College Publisher. United States of America.750 hlm.
Willis, C. K. R. dan Brigham, M. 2004. Roost switching, roost sharing and socialcohesion : forest-dwelling big brown bats, eptesicus fuscus, conform to thefission-fusion model. Journal Animal Behavior. 68: 495-505.
Winkelmann, J. R., Bonaccorso, F. J. dan Strickler, T. L. 2000. Home range ofthe southern blossom bat, syconycteris australis, in papua new guinea.Journal Mammal. 81: 408 414.
Wund, M. dan Myers, P. 2005. Chiroptera. Animal Diversity Web.http://animaldiversity.ummz.umich.eu/site/accounts/information/Chiroptera.html. Di akses pada tanggal 25 Maret 2018.
Zukal, J., Berkova, H. dan Rehak, Z. 2005. Activity shelter selection by myotismyotis and rhinolophus hipposideros hibernating in the katerinska cave.Jurnal Mamalia Biologi. 70: 271-281.