studi numerik karakteristik pembakaran di dalam boiler...
TRANSCRIPT
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
1
Abstrak—Turbulensi merupakan salah satu parameter yang
menentukan optimasi suatu proses pembakaran. Turbulensi
dapat dihasilkan melalui adanya swirl pada sistem suplai udara
pembakaran. Penelitian ini mengambil studi kasus mengenai
pembakaran natural gas di dalam boiler furnace PLTU unit 1,
PT. PJB UP Gresik, dimana sistem pembakaran di dalamnya
menggunakan Radially Stratified Flame Core (RSFC) burner.
RSFC burner beroperasi untuk membakar bahan bakar
dengan sistem non-premixed, dimana terdapat tiga swirl
combustion air yang menyelimuti bahan bakar. Untuk
mengoptimasi turbulensi pembakaran, dapat dilakukan
pengaturan sudut swirl vanes pada primary dan tertiary
combustion air. Penelitian dilakukan melalui simulasi
berdasarkan studi numerik computational fluid dynamics
(CFD) menggunakan software ANSYS Fluent 14. Penyelesaian
untuk persamaan continuity, momentum, energy, combustion
species, radiation, dan pollutant NO dilakukan untuk
memperoleh hasil temperatur, fraksi massa komponen
pembakaran, serta emisi nitrogen oxide (NOx). Kondisi
operasional boiler pada 85 MWe dan terdapat sembilan
susunan burner dengan arah swirl yang berbeda.
Simulasi ditinjau pada variasi sudut swirl vanes untuk
tertiary air combustion terhadap karakteristik pembakaran
yang dihasilkan, diantaranya temperatur rata-rata dan
temperatur tertinggi di dalam boiler furnace, serta temperatur
rata-rata, emisi NOx, fraksi massa methane (CH4) dan oxygen
(O2) pada sisi furnace outlet. Besar sudut swirl vanes pada
keseluruhan burner diatur pada nilai yang sama. Dari hasil
simulasi, diketahui bahwa pengaturan sudut swirl vanes 25%
untuk tertiary combustion air pada keseluruhan burner,
menghasilkan karakteristik pembakaran yang lebih optimum
dibandingkan pengaturan 37.5% dan 50%, dengan hasil
temperatur pembakaran rata-rata 1456.30 °C, sisa CH4 0.52%,
sisa O2 2.41%, pembentukan carbon dioxide (CO2) 12.75%, dan
pembentukan emisi total NOx 456.76 dry-ppm.
Kata Kunci—boiler furnace, burner, combustion air, natural gas,
non-premixed, swirl.
I. PENDAHULUAN
alam memenuhi kebutuhan energi listrik di Indonesia,
PT. Pembangkitan Jawa Bali (PT. PJB) sebagai badan
usaha milik negara yang berperan dalam usaha
pembangkitan, memiliki beberapa unit pembangkitan yang
tersebar di wilayah Pulau Jawa, salah satunya adalah Unit
Pembangkitan Gresik (UP Gresik). PT. PJB UP Gresik
memiliki tiga jenis pembangkitan diantaranya pembangkit
listrik tenaga gas (PLTG), pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU), dan pembangkit listrik tenaga gas-uap (PLTGU).
PLTU yang pertama kali dioperasikan adalah PLTU unit 1-
2, dimana pada awal operasionalnya, boiler PLTU unit 1-2
didesain untuk beroperasi dengan fuel oil. Namun, seiring
melimpahnya pasokan fuel gas, dilakukan retrofit pada
sistem pembakaran di dalam boiler dengan mengganti
burner dengan jenis RSFC burner sehingga dapat beroperasi
dengan fuel oil atau fuel gas. Namun, selama masa
operasional menggunakan fuel gas, PLTU unit 1 mengalami
derating akibat kurang optimumnya proses pembakaran
yang terjadi, sehingga hanya dapat menghasilkan daya 85
MWe dari kapasitas daya maksimum 100 MWe. Untuk
mengoptimalkan proses pembakaran, dapat dilakukan
dengan mengatur turbulensi pembakaran dengan mengatur
swirl vanes dari RSFC burner untuk memberikan pengaruh
turbulensi yang berbeda akibat swirl pada primary dan
tertiary combustion air.
Studi CFD telah banyak digunakan dalam memberikan
prediksi fenomena dan karakteristik pembakaran mendekati
kondisi aktual sistem, sehingga lebih efektif dan efisien
melalui hasil simulasi. Habib. dkk (2008) melakukan
simulasi pembakaran natural gas di dalam boiler
berkapasitas 160 MWe dengan variasi air to fuel ratio
(AFR), temperatur air inlet, serta sudut swirl untuk
mengetahui karakteristik temperatur dan emisi NOx yang
dihasilkan. Dai-fei, dkk (2009) melakukan simulasi
pembakaran natural gas di dalam gas suspension
calcinations (GSC) furnace dengan variasi kecepatan dan
temperatur udara pembakaran, serta kecepatan bahan bakar,
untuk mengetahui karakteristik distribusi temperatur dan
kuantitas emisi dari NOx, carbon monoxide (CO), dan CO2
di dalam GSC furnace tersebut.
II. MODEL BOILER FURNACE DAN BURNER
Simulasi dilakukan pada daerah furnace dari boiler jenis
water-tube, dengan sistem pembakaran non-premixed
berbahan bakar natural gas, secara three-dimensional (3D).
Boiler digunakan untuk menghasilkan superheated steam
dengan laju aliran massa feedwater 301.98 T/h. Tekanan dan
temperatur feedwater di dalam waterwall yang terletak pada
dinding boiler furnace yakni 105 kgf/cm2 dan 310 °C. Luas
efektif pemanasan waterwall yakni 875 m2. Terdapat
sembilan burner yang memiliki konfigurasi arah swirl
counter clockwise (CCW) untuk burner A1, A3, B2, C1, dan
C3, sedangkan arah swirl clockwise (CW) untuk burner A2,
B1, B3, dan C2. Natural gas diinjeksikan ke dalam furnace
melalui 16 nozzle dengan diameter 10.4 mm pada tiap fuel-
gun burner. Cap fuel gun burner memiliki diameter luar 165
mm. Diameter luar untuk laluan primary air 360 mm, untuk
secondary air 518 mm, dan tertiary air 862 mm. Swirl
vanes pada secondary air merupakan fixed vanes sehingga
tidak dapat dilakukan perubahan sudut. Untuk geometri
boiler furnace dapat dilihat pada gambar 1.
Studi Numerik Karakteristik Pembakaran Natural Gas di
dalam Boiler Furnace dengan Variasi Sudut Swirl Vanes
pada Radially Stratified Flame Core Burners Senna Septiawan dan Atok Setiyawan
Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS)
Jl. Arief Rahman Hakim, Surabaya 60111 Indonesia
e-mail: [email protected]
D
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
2
Gambar 1. Geometri boiler furnace (satuan : meter)
III. MODEL DAN METODE PENYELESAIAN
Penelitian ini dilakukan berdasarkan studi CFD dengan
adanya simulasi pembakaran menggunakan bantuan
software GAMBIT 2.4.6 dan ANSYS Fluent 14.
3.1 Model Penyelesaian
Beberapa model persamaan matematis yang digunakan
dalam simulasi diantaranya :
Turbulence model
Dalam penyelesaian persamaan konservasi massa,
momentum, dan energi, serta mendukung akurasi
akibat pengaruh swirl terhadap proses pembakaran,
digunakan model turbulensi k-ε renormalization
group (RNG) sesuai yang digunakan oleh Habib,
dkk (2008).
Combustion model
Pada penelitian ini, bahan bakar natural gas dan
udara pembakaran memasuki furnace pada aliran
yang berbeda sehingga tidak terjadi mixing sebelum
terjadinya proses pembakaran. Oleh karena itu,
digunakan model pembakaran non-premixed sesuai
yang digunakan oleh Dai-fei, dkk (2009).
Radiation model
Untuk memperoleh hasil simulasi dengan adanya
pengaruh radiasi dari pembakaran, digunakan
model radiasi P-1. Dai-fei, dkk (2009)
menggunakan model radiasi P-1 karena model
radiasi tersebut dapat memberikan hasil yang cukup
relevan dari proses pembakaran.
NOx pollutant model
Terdapat tiga mekanisme pembentukan NOx,
diantaranya thermal, prompt, dan fuel NOx. Karena
hasil analisis natural gas yang digunakan pada
penelitian ini memiliki kandungan nitrogen (N2)
cukup rendah, model polutan NOx yang dipilih
hanya mekanisme thermal dan prompt, untuk
mengetahui pembentukan NOx pada temperatur
tinggi dan pada kondisi pembakaran fuel-rich,
sesuai yang digunakan oleh Habib, dkk (2008) dan
Dai-fei, dkk (2009).
3.2 Boundary Conditions dan Solutions
Tahapan pembuatan domain dari boiler furnace dan
burner di dalamnya menggunakan software GAMBIT
2.4.6 meliputi pembuatan geometri, penentuan
boundary conditions, serta melakukan meshing pada
domain yang telah dibuat. Penetuan boundary
conditions dan hasil pembuatan domain dapat dilihat
pada gambar 2 dan 3. Dari hasil meshing, domain
memiliki jumlah nodes sebanyak 1853917 nodes,
dengan pemilihan mesh jenis hexahedron pada
sebagian besar domain, serta mesh jenis polyhedron
pada domain dari burner throat.
Gambar 2. Domain pemodelan boiler furnace dan burner
Gambar 3. Penetuan boundary conditions pada inlet burner
Persamaan untuk konservasi massa, momentum, energi,
serta besaran skalar lainnya seperti turbulensi dan reaksi
kimia, diselesaikan berdasarkan least square cell based.
Penyelesaian tekanan dan kecepatan menggunakan semi-
implicit method for pressure-linked equations consistent
(SIMPLEC). Pada penelitian ini, kriteria konvergensi di
bawah 10-5
untuk residual error parameter continuity, P-1,
dan pollutant NO. Pengaturan arah inlet akibat sudut swirl
menggunakan local cylindrical, dengan nilai yang dapat
dilihat pada tabel 1. Namun, swirl untuk primary air
ditentukan pada swirl 50% untuk keseluruhan variasi
tertiary air swirl. Dan nilai input pada boundary conditions
untuk tiap burner dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 1. Komponen Swirl pada Koordinat Local Cylindrical
Swirl Low
(25%)
Medium
(37.5%)
High
(50%)
Axial component 0.9239 0.8315 0.7071
Tangential component * 0.3827 0.5556 0.7071
* bertanda negatif (-) untuk arah swirl CW dan bertanda (+)
positif untuk arah swirl CCW
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
3
Tabel 2. Nilai Input pada tiap Boundary Conditions
Boundary
Conditions Variable Unit Value
Load MWe 85
Gas inlet
@ burner
Pressure Pa g 168674
Temperature K 292
Mass flow rate kg/s 0.4487
Air inlet
@ burner
Pressure Pa g 5499
Temperature K 483
Mass flow
rate
Primary kg/s 1.5675
Secondary kg/s 1.0276
Tertiary kg/s 4.8728
Furnace
outlet
Pressure Pa g 4397
Temperature K 1700
Furnace
Wall
Heat flux W/m2 -123313
Thickness m 0.004
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
Untuk mengetahui keakuratan hasil proses simulasi,
dilakukan validasi terhadap data aktual pengoperasian boiler
PLTU unit 1, PT. PJB UP Gresik. Proses validasi ditinjau
pada nilai furnace draft yang terukur oleh measuring tap di
dalam boiler furnace. Data aktual diambil dari hasil
performance test pada bulan April 2013. Validasi hasil
simulasi terhadap data aktual dapat dilihat pada tabel 3.
Karena dari hasil simulasi dari masing-masing variasi
tertiary swirl memiliki error sekitar 1% terhadap data
aktual, maka hasil simulasi dapat dikatakan relevan terhadap
kondisi aktual pembakaran natural gas yang terjadi.
Tabel 3. Perbandingan Data Aktual dan Hasil Simulasi
Variable Unit Act Tertiary
Swirl 25%
Tertiary
Swirl 37.5%
Tertiary
Swirl 50%
Furnace
draft Pa g 4397 4449.46 4448.58 4444.35
Error % 1.1931 1.1592 1.0643
4.1 Analisa Distribusi Temperatur
Fenomena temperatur pembakaran dapat diketahui
pada gambar 4, dimana pengaturan swirl 25% untuk
tertiary combustion air cenderung menghasilkan flame
yang lebih panjang karena udara pembakaran kurang
mampu untuk mengolak aliran natural gas sehingga
flame dapat mengenai rear wall. Pengaturan swirl
37.5% cukup memberikan pengaruh olakan aliran yang
lebih baik namun yang perlu diperhatikan adalah flame
dari burner B1 yang mengarah pada side wall serta
flame dari burner A2 dan C2 yang masih dapat
mengenai rear wall. Dan pada pengaturan swirl 50%
lebih memberikan pengaruh olakan paling besar
sehingga lebih mampu untuk membelokkan arah flame.
Namun perlu diperhatikan juga bahwa flame dari
burner B1, C2, dan C3 masih dapat mengenai rear
wall.
Gambar 4. Kontur distribusi temperatur
tiap elevasi burner
Data kuantitatif temperatur pembakaran pada tiap
elevasi dapat dilihat pada gambar 5. Dari gambar 5
tersebut diketahui bahwa variasi persentase sudut swirl
vanes untuk udara pembakaran tersier lebih
berpengaruh signifikan terhadap temperatur rata-rata
pada elevasi burner row A dan B, namun kurang
berpengaruh signifikan terhadap temperatur rata-rata
pada elevasi burner row C dan measuring tap. Pada
elevasi burner row A dan B, temperatur rata-rata
tertinggi sekitar 1415 °C terjadi pada pengaturan swirl
37.5%, sedangkan pada elevasi burner row C,
pengaturan swirl 25% dan 37.5% menghasilkan
temperatur rata-rata tertinggi yang hampir sama, yakni
sekitar 1360 °C. Dan pada elevasi measuring tap
menuju furnace outlet, temperatur rata-rata tertinggi
sekitar 1500 °C terjadi pada pengaturan swirl 37.5%.
Gambar 5. Grafik perbandingan temperatur
rata-rata tiap elevasi
4.2 Analisa Fraksi Massa O2
Fenomena pengaruh variasi sudut swirl vanes untuk
tertiary combustion air terhadap reduksi O2 selama
proses pembakaran dapat diamati pada gambar 6,
dimana pada elevasi burner row A, terlihat bahwa
dengan pengaturan tertiary air swirl 37.5% dan 50%
dominasi sisa fraksi massa O2 lebih sedikit daripada
pengaturan tertiary swirl air 25%. Sedangkan pada
elevasi burner row B, pengaturan tertiary air swirl
37.5% menghasilkan sisa fraksi massa O2 paling
rendah. Dan sisa fraksi massa O2 paling rendah pada
elevasi burner row C, terjadi dengan pengaturan
tertiary air swirl 25%.
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
4
Gambar 6. Kontur fraksi massa O2 tiap elevasi burner
Untuk mengetahui sisa fraksi massa O2 dari daerah
tengah furnace menuju furnace outlet secara kuantitatif
dapat diamati pada gambar 7, dimana dapat diketahui
bahwa dengan pengaturan tertiary air swirl 37.5% dan
50% pada elevasi burner row A menghasilkan sisa
fraksi massa O2 terendah sekitar 0.05. Pada elevasi
burner row B sisa fraksi massa O2 terendah 0.052
terjadi dengan pengaturan tertiary air swirl 37.5%.
Dan pada elevasi burner row C, sisa fraksi massa O2
terendah sekitar 0.061 terjadi dengan pengaturan
tertiary air swirl 25%. Namun, pada daerah measuring
tap, keseluruhan pengaturan sudut swirl vanes untuk
tertiary combustion air menghasilkan akumulasi sisa
fraksi massa yang hampir sama sekitar 0.05.
Gambar 7. Grafik perbandingan fraksi massa O2 rata-
rata tiap elevasi
4.3 Analisa Fraksi Massa CO2
Gambar 8. Kontur fraksi massa CO2 tiap elevasi burner
Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa CO2
merupakan komponen utama hasil proses pembakaran,
sehingga dengan terbentuknya CO2 pada nilai fraksi
massa yang lebih tinggi menunjukkan bahwa pada
daerah tersebut terjadi proses oksidasi antara natural
gas dan O2 pada komposisi yang stoichiometric. Selain
itu, dapat diketahui juga bahwa dengan variasi
pengaturan tertiary air swirl yang berbeda
menghasilkan kontur fraksi massa CO2 yang hampir
sama.
Gambar 9. Grafik perbandingan fraksi massa CO2
rata-rata tiap elevasi
Untuk mengetahui pembentukan CO2 dari daerah
tengah furnace menuju furnace outlet secara kuantitatif
dapat diamati pada gambar 9 dimana dapat diketahui
bahwa pembentukan CO2 yang lebih besar pada elevasi
burner row A dan B terjadi dengan pengaturan tertiary
air swirl 37.5%, sedangkan pada elevasi burner row C
pembentukan CO2 sedikit lebih besar dengan
pengaturan tertiary air swirl 25%. Dan pada daerah
measuring tap, akumulasi CO2 yang terbentuk hampir
memiliki fraksi massa yang sama besar untuk
keseluruhan variasi pengaturan tertiary air swirl, yakni
pada nilai fraksi massa sekitar 0.11.
4.4 Analisa Emisi NOx
Gambar 10. Kontur emisi NOx tiap elevasi burner
Pembentukkan emisi NOx mencapai nilai yang lebih
tinggi pada daerah sekitar rear wall dan pada daerah
mendekati furnace outlet, yang ditunjukkan pada
gambar 10 dengan adanya kontur warna hijau muda
sampai merah tua pada rentang 810 – 1800 dry-ppm.
Pembentukkan emisi NOx yang lebih tinggi
diakibatkan tercapainya temperatur pembakaran
JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-3539 (2301-9271 Print)
5
tertinggi dan kurangnya proses pendinginan oleh udara
pembakaran, sehingga pengurangan emisi NOx hanya
berlangsung pada daerah tengah furnace tepatnya pada
daerah mixing pembakaran.
Dari pembahasan mengenai distribusi temperatur,
telah diketahui bahwa pada pengaturan tertiary air
swirl 50% menghasilkan temperatur maksimum
pembakaran yang lebih tinggi, sehingga pembentukkan
emisi NOx juga berpotensi lebih tinggi. Hal tersebut
dapat diamati dari kontur warna kuning sampai merah
tua yang menunjukkan nilai sekitar 1170 – 1800 dry-
ppm, sedangkan pada pengaturan tertiary air swirl
37.5% menghasilkan emisi NOx yang lebih rendah
pada nilai sekitar 720 – 1080 dry-ppm dengan kontur
warna hijau pupus sampai kuning tua. Dan
pembentukkan emisi NOx terendah pada pengaturan
tertiary air swirl 25%, yang hanya ditunjukkan
dominasi warna biru muda dan hijau pupus pada nilai
360 – 630 dry-ppm.
Gambar 11. Grafik perbandingan emisi NOx rata-
rata tiap elevasi
Untuk mengetahui pembentukan emisi NOx secara
kuantitatif mulai dari daerah pembakaran pada tiap
elevasi burner menuju furnace outlet dapat diamati
pada gambar 4.15 mengenai grafik perbandingan emisi
total NOx pada tiap elevasi. Selanjutnya, dapat
diketahui bahwa pada elevasi burner row A dan B,
pembentukkan emisi total NOx terendah sekitar 210
dry-ppm pada pengaturan tertiary air swirl 25%,
dimana dengan adanya swirl yang lebih rendah dapat
memberikan pendinginan yang lebih merata pada
proses pembakaran. Sedangkan pada elevasi burner
row C, pengaturan tertiary air swirl 25% dan 37.5%
memberikan pengaruh pendinginan yang hampir sama,
sehingga pembentukkan emisi total NOx terendah pada
elevasi tersebut, yakni sekitar 255 dry-ppm. Dan pada
daerah menuju furnace outlet, pengaturan tertiary air
swirl 37.5% dan 50% mengakibatkan pembentukkan
NOx yang lebih tinggi sekitar 450 dry-ppm,
dibandingkan pada pengaturan tertiary air swirl 25%
yang menghasilkan emisi NOx sekitar 400 dry-ppm.
Pada elevasi burner row B dan C, serta measuring tap,
pengaturan tertiary air swirl 50% rata-rata
menghasilkan emisi total NOx tertinggi dibandingkan
pengaturan tertiary air swirl 25% dan 37.5%. Dengan
adanya swirl yang lebih besar, pendinginan oleh udara
pembakaran kurang merata hingga ujung flame
sehingga pembentukkan emisi total NOx lebih tinggi
pada daerah ujung flame.
4.5 Optimasi Pembakaran pada Furnace Outlet
Untuk mengetahui optimasi pembakaran yang
terjadi, dapat ditinjau pada komponen sisa unburnt fuel
dan oksidan yang terbakar, serta akumulasi
pembentukan CO2 dan emisi NOx pada sisi furnace
outlet. Dari tabel 4, dapat diketahui bahwa dengan
memperbesar persentase tertiary air swirl pada
keseluruhan burner, akan menurunkan optimasi
pembakaran yang terjadi. Hal tersebut dapat diamati
bahwa pada pengaturan tertiary air swirl 50%, sisa
CH4 dan O2, serta emisi total NOx pada furnace outlet
semakin besar, sedangkan pembentukan CO2 menurun,
dibandingkan pada pengaturan tertiary air swirl 25%
dan 37.5%. Pembakaran yang optimum terjadi dengan
pengaturan tertiary air swirl 25% pada keseluruhan
burner, menghasilkan sisa CH4 terendah 0.52%, sisa
O2 terendah 2.41%, pembentukan emisi total NOx
terendah 456.76 dry-ppm, serta pembentukan CO2
tertinggi 12.75%.
Tabel 4. Optimasi Pembakaran pada Furnace Outlet
Tertiary air
swirl [%] CH4 [%] O2 [%] CO2 [%]
Total NOx
[dry-ppm]
25 0.5197 2.4111 12.745 456.7644
37.5 0.5434 2.575 12.6201 475.6702
50 1.0045 3.5034 11.8196 511.031
V. KESIMPULAN/RINGKASAN
Dari hasil simulasi menunjukkan bahwa dengan
memperbesar persentase sudut swirl vanes untuk tertiary
combustion air pada keseluruhan burner, dapat menurunkan
optimasi pembakaran natural gas yang terjadi. Pembakaran
natural gas yang optimum terjadi pada pengaturan swirl
25% untuk tertiary combustion air pada keseluruhan burner,
dengan hasil pada sisi furnace outlet diantaranya sisa CH4
0.52%, sisa O2 2.41%, pembentukan CO2 12.75%, dan
pembentukan emisi NOx 456.75 dry-ppm.
PENGHARGAAN
Dalam penyelesaian penelitian ini, penulis mengucapkan
terima kasih atas adanya bantuan dan kerjasama dari PT.
PJB UP Gresik dan PT. Angkasa Pura II.
DAFTAR PUSTAKA
ABB C-E Instruction Manual Indonesia Naval Base Complex PLN Gresik
units 1 and 2, ABB C-E Services Inc., Ujung, Surabaya, Indonesia, Windsor, Connecticut, USA; 1997.
ANSYS FLUENT 14 Theory Guide, ANYS Inc., Southpointe, 275
Technology Drive, Canonsbrug, PA 15317, USA; 2011. ANSYS FLUENT 14 User’s Guide, ANYS Inc., Southpointe, 275
Technology Drive, Canonsbrug, PA 15317, USA; 2011.
Dai-fei L, Feng-qi D, Hong-liang Z, Wen-bo Z. Numerical Simulation of High Temperature Air Combustion in Aluminum Hydroxide Gas
Suspension Calcinations. J Trans. Nonferrous Met. Soc. China 2009; 19 :
259-266. Habib MA, Elshafei M, Dajani M. Influence of Combustion Parameters on
NOx Production in an Industrial Boiler. J Computers & Fluids 2008; 37 :
12-23. Project Completion Report on the Project for Rehabilitation of Gresik
Steam Power Plant units 1 and 2 The Republic of Indonesia, Tokyo Electric
Power Services Co. Ltd., Tokyo, Japan; 2001.