suap dalam tidak pidana korupsi yang ditangani oleh …

23
SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI Dian Adriawan Dg Tawang Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti [email protected] ABSTRAK Pengaturan tindak pidana suap di Indonesia ada dua undang-undang yang mengaturnya, yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 untuk tindak pidana di sektor publik dan Undang-Undang No.11 tahun 1980 untuk tindak pidana disektor swasta. Dalam penanganan tindak pidana suap di sektor publik dilakukan oleh KPK, namun didalam undang-undang tersebut terjadi ketidakpastian hukum. Oleh karena itu peneliti mengangkat masalah penanganan tentang tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK dan apakah ketentuan suap sebagai salah satu tindak pidana korupsi sudah sejalan dengan UNCAC. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif, sifat penelitian deskriptif, data yang digunakan data sekunder dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Didalam pembahasan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menjamin kepastian hukum, karena tindak pidana suap didasarkan pada 2 pasal yang sama bagian inti deliknya namun pengaturan kesalahan yang berbeda. Selain dari itu ketentuan suap sebagai salah tindak pidana korupsi belum sejalan dengan UNCAC, karena belum dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ketentuan penyuapan bagi pejabat-pejabat publik asing dan pejabat–pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik dan penyuapan disektor swasta. Adapun yang menjadi saran adalah Dewan Perwakilan Rakyat perlu menambah ketentuan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi, karena konsekuensi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi PBB itu dengan UU Nomor 7 tahun 2006 sehingga Indonesia wajib mengintegrasikan delik-delik korupsi dalam UNCAC ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi Kata Kunci : Tindak Pidana Suap, dan UNCAC

Upload: others

Post on 02-Oct-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI

Dian Adriawan Dg Tawang Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisakti

[email protected]

ABSTRAK

Pengaturan tindak pidana suap di Indonesia ada dua undang-undang yang mengaturnya, yakni Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang 20 Tahun 2001 untuk tindak pidana di sektor publik dan Undang-Undang No.11 tahun 1980 untuk tindak pidana disektor swasta. Dalam penanganan tindak pidana suap di sektor publik dilakukan oleh KPK, namun didalam undang-undang tersebut terjadi ketidakpastian hukum. Oleh karena itu peneliti mengangkat masalah penanganan tentang tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh KPK dan apakah ketentuan suap sebagai salah satu tindak pidana korupsi sudah sejalan dengan UNCAC. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian normatif, sifat penelitian deskriptif, data yang digunakan data sekunder dan analisis data dilakukan secara kualitatif. Didalam pembahasan penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa Tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menjamin kepastian hukum, karena tindak pidana suap didasarkan pada 2 pasal yang sama bagian inti deliknya namun pengaturan kesalahan yang berbeda. Selain dari itu ketentuan suap sebagai salah tindak pidana korupsi belum sejalan dengan UNCAC, karena belum dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ketentuan penyuapan bagi pejabat-pejabat publik asing dan pejabat–pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik dan penyuapan disektor swasta. Adapun yang menjadi saran adalah Dewan Perwakilan Rakyat perlu menambah ketentuan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi, karena konsekuensi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi PBB itu dengan UU Nomor 7 tahun 2006 sehingga Indonesia wajib mengintegrasikan delik-delik korupsi dalam UNCAC ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi Kata Kunci : Tindak Pidana Suap, dan UNCAC

Page 2: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

A. PENDAHULUAN

Salah satu bentuk kejahatan yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini adalah kejahatan korupsi, yang merupakan kejahatan yang sudah ada sejak lama didalam masyarakat, tetapi baru menarik perhatian dunia setelah perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia, fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada sejak lama didalam masyarakat Indonesia terjadi di zaman penjajahan, yaitu adanya tradisi memberikan upeti yang dilakukan oleh beberapa golongan yang ada di masyarakat kepada penguasa setempat.

Kejahatan korupsi sudah sedemikian parah dan akut , hal ini terjadi dengan ditandai semakin banyaknya praktek korupsi yang terekspos ke permukaan baik yang sudah diputus oleh pengadilan, maupun masih berlangsung dalam proses pemeriksaan ditingkat penyidikan atau persidangan. Mengingat banyaknya kasus kejahatan korupsi di Indonesia seakan-akan sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, bahkan menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN.

Menurut Transparency International yang baru saja merilis daftar penilaian beserta peringkat setiap Negara, mengenai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) tahun 2020 , skor IPK Indonesia berada di angka 37 dari skala 0--100. Skor 0 berarti negara tersebut sangat korup, sedangkan skor 100 berarti negara tersebut sangat bersih dari korupsi.

Berdasarkan angka tersebut, Indonesia masih dalam kategori kelompok terburuk dalam penanganan tindak pidana korupsi, walaupun sudah memiliki lembaga yang sejak awal pendirian diharapkan dapat menangani kasus korupsi yang semakin parah terjadi dari tahun ketahun , dimana tidak pernah mencapai hasil yang menunjukkan perbaikan .

Berdasarkan hukum positif yang mengatur tentang kejahatan korupsi di Indonesia, dapat diidentifikasi beberapa bentuk korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, antara lain: kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi. Salah satu bentuk korupsi yang marak dilakukan oleh pejabat atau penyelenggara negara adalah tindak pidana suap. Dalam tindak pidana ini akan melibatkan pelaku penyuap dari sektor swasta dan pelaku penerima suap yang berasal dari pegawai negeri atau penyelenggara negara. Menurut Direktur Anti Korupsi Badan Usaha (AKBU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Aminudin, memaparkan sebagian besar

Page 3: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

kasus korupsi menggunakan modus penyuapan. Hal ini didasarkan pada data perkara yang ditangani lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai berikut: "Berdasarkan data tindak pidana korupsi yang ditangani KPK sejak 2004 sampai Desember 2020, tercatat total 1.071 perkara, terdiri atas perilaku penyuapan sebanyak 704 perkara".

Jadi tindak pidana suap yang merupakan tindak pidana korupsi , jumlahnya lebih dari setengah jumlah terjadinya kasus korupsi yang ada selama 16 tahun terakhir yang ditangani oleh KPK, hal ini menandakan bahwa perilaku suap menjadi suatu gambaran yang terjadi disekitar kehidupan kita dalam bermasyarakat ketika mengurus kepentingannya. Sementara perkara lainnya yang ditangani KPK sejak 2004 hingga 2020 yakni pengadaan barang dan jasa atau PBJ sebanyak 224 perkara, penyalahgunaan anggaran sebanyak 48 perkara, tindak pidana pencucian uang (TPPU) 36 perkara, perizinan 23 perkara, pemerasan 26 perkara, dan merintangi proses penindakan KPK 10 perkara.

Dalam berbagai kasus tindak pidana suap, baik yang melibatkan pejabat tinggi di negara ini maupun pejabat tingkat menengah dan tingkat bawah, dalam melakukan perbuatannya dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan dari cara yang sederhana maupun cara yang canggih, bahkan sulit terdeteksi. Sedangkan bentuk pemberiannya pun beragam, mulai dari pemberian dalam bentuk uang maupun dalam barang dan bahkan sampai dengan memberikan dalam bentuk pemberian premi asuransi.

Dalam upaya pemberantasan kasus korupsi termasuk tindak pidana suap sebagai bagian dari tindak pidana korupsi di Indonesia, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang No.3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 dan disempurnakan dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2000 tentang Tindak Pidana Korupsi. Namun dalam penerapan ketentuan tersebut masih banyak mengalami masalah yang terkait dengan kepastian hukum . Selain itu ketentuan yang berlaku apakah sudah sesuai dengan ketentuan konvensi internasional (UNCAC) yang konon kabarnya Indonesia sudah mengadopsinya dan menjadi acuan dalam pembuatan undang-undang korupsi di Indonesia.

Berangkat dari fenomena hukum tersebut, maka perlu menjadi perhatian objek penelitian ini, agar para pencari keadilan dapat menemukan tujuan hukum yang diharapkan yakni kepastian hukum dan keadilan, bukan seseorang dipersalahkan karena ada sesuatu pertimbangan non hukum yang melatar belakanginya. Oleh karena itu maka dirumuskan masalah sebagai berikut:

Page 4: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

B. PERTANYAAN PENELITIAN

B.1. Bagaimanakah penanganan tentang tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

B.2.Apakah ketentuan suap sebagai salah tindak pidana korupsi sudah sejalan dengan UNCAC?

C. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah tipe penelitian normatif atau normative yuridis. Adapun penelitian normatif ini ruang lingkupnya meliputi penelitian tentang asas-asas hukum positif, sinkronisasi hukum baik vertical maupun horizontal, sejarah hukum, sistematika hukum, dan perbandingan hukum.

Adapun ruang lingkup dalam penelitian ini terkait dengan suap sebagai salah satu tindak pidana korupsi, dimana yang akan digunakan asas – asas hukum positif yang ditemukan dalam Undang-Undang Pemberantasan Korupsi dan suap menurut ketentuan yang diatur dalam UNCAC.

Penelitian ini menggunakan sifat penelitian yang diskriptif, yakni penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang suap sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan suap dalam ketentuan UNCAC yang merupakan ketentuan internasional.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan adalah data sekunder, yakni data yang sudah tersedia atau yang sudah dikumpulkan oleh peneliti terdahulu atau peneliti lain. Data sekunder ini merupakan data siap saji yang merupakan data uama dalam melakukan penelitian hukum. Sumber dari data sekunder tersebut, dapat dibagi dalam bentuk bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder a. Bahan hukum primer, yakni bahan hukum yang mempunyai kekuatan hukum

yang mengikat, meliputi; Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta ketentuan United Nations Convention Against Corruption 2003.

b. Bahan hukum sekunder, yakni bahan hukum yang menjelaskan keberadaan

bahan hukum primer, yang meliputi; buku-buku dan tulisan ilmiah para pakar hukum pidana khususnya terkait dengan tindak pidana suap sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi.

Page 5: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan studi dokumen untuk mengumpulkan data sekunder dan pengumpulan data primer sebagai pendukung data sekunder melalui kegiatan wawancara dengan nara sumber.

Setelah semua data yang diperlukan terkumpul, data akan diseleksi, dikompilasi, untuk selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan menggunakan konten analisis guna menyusun kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan permasalahan penelitian ini.

D. PENGOLAHAN DAN ANALISIS DATA D.1. Teori Kepastian Hukum.

Kepastian hukum sebagai salah satu tujuan hukum dapat dikatakan sebagai bagian dari upaya mewujudkan keadilan. Bentuk nyata dari kepastian hukum adalah pelaksanaan atau penegakan hukum terhadap suatu tindakan tanpa memandang siapa yang melakukan. Adanya kepastian hukum berarti setiap orang dapat memperkirakakan apa yang akan dialami jika melakukan tindakan hukum tertentu. Kepastian hukum sangat diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan dihadapan hukum tanpa diskriminasi. Kata ”kepastian” berkaitan erat dengan asas kebenaran, yaitu sesuatu yang secara ketat dapat disilogismekan secara legal-formal. Melalui logika deduktif, aturan-aturan hukum positif ditempatkan sebagai premis mayor, sedangkan peristiwa konkret menjadi premis minor. Melalui sistem logika tertutup akan serta merta dapat diperoleh konklusinya. Konklusi itu harus menjadi sesuatu yang dapat diprediksi, sehingga semua orang wajib berpegang kepadanya. Dengan pegangan inilah masyarakat menjadi tertib. Oleh sebab itu, kepastian akan mengarahkan masyarakat kepada ketertiban.1 Kepastian hukum akan menjamin seseorang melakukan perilaku sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, sebaliknya tanpa ada kepastian hukum maka seseorang tidak memiliki ketentuan baku dalam menjalankan perilaku. Hal tersebut sesuai dengan yang dikatakan, Gustav Radbruch , sebagai berikut : kepastian sebagai salah satu tujuan dari hukum. Dalam tata kehidupan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum. Kepastian hukum merupakan sesuai yang bersifat normatif baik ketentuan maupun keputusan hakim. Kepastian hukum merujuk pada pelaksanaan tata kehidupan yang dalam pelaksanaannya jelas, teratur, konsisten, dan Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologis.

1 Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum dan

Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, halaman 8.

Page 6: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Kepastian hukum secara normatif adalah ketika suatu peraturan dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas dalam artian tidak menimbulkan keragu-raguan (multi-tafsir) dan logis dalam artian ia menjadi suatu sistem norma dengan norma lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma. Konflik norma yang ditimbulkan dari ketidakpastian aturan dapat berbentuk kontestasi norma, reduksi norma atau distorsi norma. Gustav Radbruch mengemukakan 4 (empat) hal mendasar yang berhubungan dengan makna kepastian hukum, yaitu : - Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa hukum positif itu adalah perundang-undangan. - Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta, artinya didasarkan pada kenyataan. - Ketiga, bahwa fakta harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping mudah dilaksanakan. - Keempat, hukum positif tidak boleh mudah diubah. Pendapat Gustav Radbruch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus dari perundang-undangan. Berdasarkan pendapatnya tersebut, maka menurut Gustav Radbruch, hukum positif yang mengatur kepentingan-kepentingan manusia dalam masyarakat harus selalu ditaati meskipun hukum positif itu kurang adil. Selanjutnya Kepastian hukum adalah perihal (keadaan) yang pasti, ketentuan atau ketetapan. Hukum secara hakiki harus pasti dan adil. Pasti sebagai pedoman kelakukan dan adil karena pedoman kelakuan itu harus menunjang suatu tatanan yang dinilai wajar. Hanya karena bersifat adil dan dilaksanakan dengan pasti hukum dapat menjalankan fungsinya. Kepastian hukum merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab secara normatif, bukan sosiologi.2

D.2.Tindak Pidana Korupsi

Asal kata “korupsi” berasal dari perkataan yang berarti kerusakan. Menurut Kamus Istilah Hukum Latin-Indonesia, Corruptio berarti penyogokan3. Secara etimologis, Fockema Andreae mengatakan bahwa kata korupsi berasal dari bahasa Latin berasal dari bahasa latin Corruptio atau Corruptus yang berasal dari kata Corrumpere, suatu bahasa latin yang lebih tua. Bahasa latin itulah yang turun ke banyak bahasa Eropa seperti Inggris , corruption , corrupt, Perancis corruption dan Belanda Corruptie . Dengan demikian , dapat disimpulkan bahwa kata korupsi dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Belanda.

2 Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum, Laksbang

Pressindo, Yogyakarta, 2010, halaman 59. 3 S. Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Latin-Indonesia, (alih Bahasa), PT Intermasa, Jakarta,

Cetakan 1, 1977, Halaman 30.

Page 7: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Menurut Gurnar Myrdal, mengatakan : “To include not only all forms of improrper or selfish exercise of power and influences attached to a public office or the special position one occupies in the public life but also the activity of the bribers”4 (Korupsi tersebut meliputi kegiatan-kegiatan yang tidak patut yang berkaitan dengan kekuasaan, aktifitas-aktifitas pemerintahan, atau usaha-usaha tertentu untuk memperoleh kedudukan secara tidak patut, serta kegiatan lainnya seperti penyogokkan). Begitu pula yang dikatakan oleh Huntington5 berikut ini: “akan tetapi, tidak berarti bahwa adanya pola korupsi di tingkat atas ini menggangu stabilitas politik , asal saja jalan-jalan untuk mobilitas ke atas melalui partai politik atau birokrasi tetap terbuka. Namun jika pemain-pemain politik dari generasi muda melihat bahwa mereka akan dikesampingkan, tidak diberi kesempatan untuk menikmati hasil-hasil yang telah dicapai oleh generasi tua atau juga kolonel-kolonel dalam Angkatan perang melihat tidak ada harapan untuk naik pengkat dan kesempatan yang ada hanya bagi para jenderal, system tersebut akan mudah diguncangkan oleh kekerasan. Dalam masyarakan seperti ini korupsi politik dan stabilitas politik, kedua-duanya tergantung pada mobilitas ke atas”. Titik tolak analisis ekonomi (pasar) mengenai korupsi. Mubyarto 6 , mengutip definisi Clive Gray (“Civil Service Compensation in Indonesia”), BIES, Vol. XV. No. 1 Maret 1979), dan memberi komentar : “dengan definisi korupsi demikian, sogokan, uang siluman atau pungli lain merupakan “harga pasar” yang harus dibayar oleh konsumen yang ingin sekali ‘membeli’ barang tertentu. Itu merupakan keputisan, izin atau secara lebih tegas, tanda tangan. Secara teoritis, harga pasar tanda tangan akan naik turun sesuai dengan naik turunn ya permintaan dan penawaran, dan setiap kali akan terjadi ‘harga keseimbangan’. Dalam model ekonomi pasar juga ada pengertian ‘harga diskriminasi’, dalam pasaran tandatangan pejabat juga ada kemungkinan perbedaan harga bagi golongan ‘ekonomi kuat’ dan golongan ‘ekonomi lemah’.” Korupsi dalam ajaran Islam adalah perbuatan melanggar tujuan syariat Islam yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi umat manusia. Dan di antara kemaslahatan yang hendak dituju tersebut adalah terpeliharanya harta (hifzhul maal) dari berbagai bentuk pelanggaran dan penyelewengan. Islam mengatur dan menilai harta sejak perolehannya hingga pembelanjaannya dan memberikan tuntutan agar dalam memperoleh harta dilkaukan dengan cara-cara yang bermoral dan sesuai dengan hukum Islam yaitu dengan tidak menipu, tidak memakan riba, tidak berkhianat,

4 Gurnar Myrdal, Asia Drama, Volume II, New York, Pantheon, 1968, Halaman 973. 5 Samuel P. Huntington, “Modernisasi Korupsi”, dalam Mochtar Lubis dan James C. Scott,

Bunga Rampai Karangan-karangan Mengenai Etika Pegawai Negeri, (Jakarta: Bharata Karya Aksara, 1977, Halaman 133

6 Mubyarto, Ilmu Ekonomu, Op.Cit., Halaman 65

Page 8: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

tidak menggelapkan barang milik orang lain, tidak mencuri, tidak curang dalam takaran dan timbangan, tidak korupsi dan lain sebagainya. 7 Perbuatan korupsi kadang bersifat pasif dan terkadang aktif. Korupsi yang besifat pasif, misalnya seperti yang tercantum dalam Pasal 419 KUHP yang berbunyi : “diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun seorang pejabat: (1) yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahuinya bahwa hadiah atau janji itu diberikan untuk menggerakkannya supaya melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang ebrtentangan dengan kewajibannya; (2) yang menerima hadiah, mengetahui bahwa hadiah itu diberikan sebagai akibat, atau oleh karena si penerima telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban.”8 Menurut Artidjo Alkostar, kalimat “yang menerima hadiah atau janji” menurut sifat yang pasif, dan hal ini dapat dipidana. Adapun korupsi yang bersifat aktif adalah seperti yang tercantum dalam Pasal 418 KUHP yang berbunyi: “Seorang pejabat yang menerima hadiah atau janji padahal diketahu atau sepatutunya harus diduga, bahwa itu diberikan karena kekuasaannya atau kewenangannya yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberi hadiah atau janji-janji itu ada hubungannya dengan jabatannya, diancam dengan pidana penjara paling lama enam bulan atau denda paling banyak empat ribu liam ratus rupiah” Jadi adanya kalimat ‘orang yang memberi hadiah atau janji-janji” menunjukan sifat yang aktif, yaitu melakukan suatu perbuatan terhadap orang lain.9 Perbuatan korupsi yang pada dasarnya merupakan perbuatan yang antisosial, bertentangan dengan moral dan aturan hukum, maka apabila perbuatan tersebut tidak dicegah atau ditanggulangi akibatnya sistem hubungan masyarakat akan tidak harmonis, dan akan berproses ke arah sistem individualism, main suap dan yang semacamnya. Pada giliran mentalitas individu, kelompok atau sebagian masyarakat bangsa kita, yang dibiasanya dicapai dengan mneghalalkan secara macam cara. Perbuatan peluang atau kemungkinan orang atau kelompok tertentu untuk berbuat korup. Pemaparan contoh-contoh kasus serta berbagai fenomena yang terjadi perbuatan korupsi lebih banyak dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial atau pangkat yang bukan golongan bawahan. Apabila korupsi dibiarkan merajalela dan tidak ditanggulangi, maka golongan bawah yang tidak mempunyai peluang atau kesempatan berbuat korup (kecuali orang orang yang jujur), akan tetap atau tambah merosot status sosial ekonominya. Konsekuensinya, mereka yang miskin akan tetap atau bahkan makin miskin, sedang dipihak orang lain orang-orang tingkat atas yang korupsi akan tambah kaya

7 Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, (Jakarta: Kholam, 2008), halaman

77. 8 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, Op.Cit ., halaman 75 9 Ibid., Halaman 75 - 76

Page 9: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

raya. Dengan demikian , setiap saat jurang perbedaan sosial akan selalu tambah melebar.10 Perbuatan korupsi sebagai perbuatan pidana yang mempunyai indikasi terjadi penggerogotan kekayaan negara akan mengancam dan menghambat pembangunan negara; mengacaukan rencana pembangunan; mengakibatkan kekayaan negara hanya dinikmati oleh sekelompok orang (yang korup); membuka peluang dan kesempatan bagi perbuatan manipulatif lainnya; dan menimbulkan efek di luar aturan hukum. Anggaran dari sebuah direktorat atau jawatan yang diselewengkan, misalnya, jelas akan mengacaukan perencanaan pemasukan dan pengeluaran direktorat tersebut. 11 Oleh karena itu, membiarkan atau melindungi perbuatan korupsi berarti melindungi perbuatan jahat. Lebih jauh lagi, motif individualism dan keinginan memperkaya diri sendiri dengan jalan menggerogoti kekayaan negara dalam sebuah tindak pidana korupsi, akan menimbulkan kesenjangan sosial. Kohesi keterikatan sosial (masyarakat) akan berkurang, sehingga perasaan solidaritas nasional akan renggang yang pada gilirannya akan mengancam ketahanan sosial.12 S.H Alatas , memaparkan bahwa : “Intensitas korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlain-lainan. Seperti gejala kemasyarakatan lainnya, korupsi ditentukan oleh berbagai factor. Catatan kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap para hakim dan tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babylonia, Ibrani, China, Yunani dan Romawi Kuno, Korupsi sering kali muncul ke permukaan sebagai masalah. Hammurabi dari Babylonia yang naik tahta sekitar tahun 1200 sebelum Masehi memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk menyelidiki satu perkara penyuapan. Shamashm seorang raja Assiria (sekitar 200 tahun sebelum Masehi) menjatuhkan pidana kepada seorang hakim yang menerima uang suap. Hakim Hammurabi mengancam beberapa bentuk korupsi tertentu yang dilakukan oleh pejabat pemerintah dengan hukum mati…”13

10 Artidjo Alkostar, Korupsi Politik di Negara Modern, Ibid., Halaman. 76 -77. Artidjo Alkostar

selanjutnya mengemukakkan penyediaan sarana hukum yang mantap dan memadai, yang berarti usaha menanggulangi maslaha korupsi diperlukan adanya aturan-aturan hukum yang efektif dan berwibawa. Apabila aturan hukumnya ketinggalan zaman, dan/atau ancaman pidananya terlalu ringan, berarti memberi peluang kapada orang-orang yang bermental korup dan ada kesempatan, untuk melakukan perbuatan korupsi. Dapat dimaklumi apabila dalam perbuatan perumusan aturan undang-undang mengenai korupsi ini ancaman pidananya menjadi diperberat, karena efek serta akibat dari perbuatan korupsi ini sangat luas.

11 Ibid. 12 Ibid. Artidjo mengemukakan lebih lanjut respons terhadap korupsi ada yang dialkukan

dengan cara yang bersifat mengadili dan menjatuhkan pidana terhadap koruptor-koruptor dengan pidana yang setimpal agar supaya dapat menjadi peringatan bagi koruptor untuk tidak berbuat lagi dan juga ada Tindakan tegas, maka hal ini akan merupakan contoh pula masyarakat untuk tidak berbuat demikian yang serupa.

13 Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi , (Jakarta: LP3ES, 1987), Halaman 1

Page 10: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Dalam negara modern, kasus-kasus bribery ini juga dapat terjadi, termasuk di Amerika Serikat. Seperti dipaparkan oleh Rober G. Thobaben yang menulis: “One the more notorious bribery cases in American history was the Teapot Dome scandal during the administration of President Warren G. Hardling (1921-1923). This scandal involved use of bribes by oil companies to secure leases for drilling rights on public lands (The Teapot Dome and Elk Hills reserves). Secretary of the Interior Albert Fall was convicted and sent to prison for accepting a bribe. Oilman Harry Sinclair was acquitted of offering the bribe, leading to the popular journalistic outcry, ‘you can’t convict ten million dollars!’ During the Truman administration (1945-1953) Internal Revenue Service Official were jailed for soliciting and accepting bribes”.14 Sudarto , mengatakan bahwa : “Perkataan korupsi semula hanyalah bersifat umum dan baru menjadi istilah hukum untuk pertama kalinya adalah di dalam Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi. Dalam Konsiderans peraturan tersebut dikatakan antara lain bahwa berhubung tidak adanya kelancaran dalam usaha-usaha memberantas dalam perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan negara dan perekonomian negara yang oleh khalayak dinamakan korupsi perlu segera menetapkan suatu tata kerja untuk dapat menerobos kemacetan usaha memberantas korupsi …. dan seterusnya ….”15 Selanjutnya, Andi Hamzah menyebutkan bahwa pengertian korupsi secara harfiah dapat ditarik suatu kesimpulan, sesungguhnya korupsi itu sebagai suatu istilah yang sangat luas pengertiannya. Dengan demikian pendekatan yang dapat dilakukan terhadap masalah korupsi bermacan ragam pula. Pendekatan sosiologi seperti halnya yang dilakukan oleh Syed Hussein Alatas dalam bukunya The Sociology of Corruption akan lain artinya kalau terhadap hal yang sama dilakukan pendekatan normative, politik, ataupun ekonomi.16 Korupsi dalam pengertian hukum dapat ditemukan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971, yakni diatur dalam Pasal 1 yang berbunyi sebagai berikut : Dihukum karena tindak pidana korupsi ialah : (1)a.Barangsiapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri

sendiri atau orang lain, atau suatu Badan, yang secara langsung atau tidak langsung merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara, atau diketahui atau patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

b. Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada

14 Gilisen, John & Gorle, Frits, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, (Bandung: PT Refika

Aditama, 2005), halaman 86. 15 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, Halaman 115. 16 Ibid, Halaman 10.

Page 11: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

padanya karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara;

c. Barangsiapa melakukan kejahatan tercantum dalam Pasal-Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 423, dan 435 K.U.H.P.;

d. Barangsiapa memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri seperti dimaksud dalam Pasal 2 dengan mengingat sesuatu kekuasaan atau sesuatu wewenang yang melekat pada jabatannya atau kedudukannya atau oleh sipemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu;

e. Barangsiapa tanpa alasan yang wajar, dalam waktu yang sesingkat-singkatnya setelah menerima pemberian atau janji yang diberikan kepadanya, seperti yang tersebut dalam Pasal- pasal 418, 419 dan 420 K.U.H.P. tidak melaporkan pemberian atau janji tersebut kepada yang berwajib.

(2) Barangsiapa melakukan percobaan atau permufakatan untuk melakukan tindak pidana-tindak pidana tersebut dalam ayat (1) a, b, c, d, e pasal ini.17 Dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 dapat diketahui bahwa : a. Tindak Pidana korupsi pada umumnya membuat aktivitas yang merupakan

manifestasi dari perbuatan korupsi dalam arti luas mempergunakan kekuasaan atau pengaruh yang melekat pada seorang pegawai negeri atau kedududkan istimewa yang dipunyai seorang didalam jawabatan umum orang yang menyuap sehingga di kualifikasi sebagai tindak pidana korupsi dengan segala akibat hukumnya yang berhubungan dengan hukum pidana dan acaranya.

b. Oleh karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana korupsi tersebut dijadikan delik tersendiri dan daincam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi pidana itu sendiri telah selesai dilakukan.

Sedangkan pengertian korupsi menurut Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999, mengatur: a. Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya

diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara (Pasal 2).

b. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (Pasal 3)

c. Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana yang dimaksud didalam Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423 atau Pasal 435 KUHP, serta Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.

17 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Page 12: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

d. Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut. (Pasal 13)

e. Setiap orang yang melanggar ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang yang secara tegas menyatakna bahwa pelanggaran terhadap ketentuan undang-undang tersebut sebagai tindak pidana korupsi. (Pasal 14)

f. Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi. (Pasal 15)

g. Setiap orang di luar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsi. (Pasal 16).

Selanjutnya, dari penjelasan umum undang-undang Tipikor ini dapat diketahui, bahwa dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atau perekonomian negara yang semakin canggih dan rumit maka tindak pidana korupsi ini dirumuskan sedemikian rupa hingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara melawan hukum dalam pengertian formil dan materil. Berdasarkan rumusan tersebut pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Perumusan tindak pidana korupsi itu sendiri dalam Undang-undang Tipikor ini dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian sebab dengan rumusan secara formil meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada Negara, maka pelaku tindak pidana korupsi tersebut tetap dapat diajukan ke pengadilan dan tetap dapat dipidana. Menurut Romli Atmasasmita kriteria korupsi yang utama menurut Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang lama, yaitu Undang-Undang Nomor 3 tahun 1971 adalah adanya unsur kerugian negara, tetapi pada kenyataannya unsur kerugian bagi negara itu sulit untuk pembuktiannya karena deliknya delik materil. Namun, di dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur kerugian tetap ada kemudian rumusannya dirubah menjadi delik formil sehingga tidak perlu dibuktikan adanya kerugian atau tidak bagi negara. Pendapat Romli Atmasasmita tentunya tidak bisa dipertahankan lagi, karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 mencabut frasa "dapat" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Putusan MK ini menafsirkan bahwa frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3

Page 13: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

UU Tipikor harus dibuktikan dengan kerugian keuangan negara yang nyata (actual loss) bukan potensi atau perkiraan kerugian keuangan negara (potential loss). Dalam pertimbangannya, setidaknya terdapat empat tolok ukur yang menjadi ratio legis MK menggeser makna subtansi terhadap delik korupsi. Keempat tolok ukur tersebut adalah (1) nebis in idem dengan Putusan MK yang terdahulu yakni Putusan MK Nomor 003/PUU-IV/2006; (2) munculnya ketidakpastian hukum (legal uncertainty) dalam delik korupsi formiil sehingga diubah menjadi delik materiil; (3) relasi/harmonisasi antara frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam pendekatan pidana pada UU Tipikor dengan pendekatan administratif pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Administrasi Pemerintahan (UU AP); dan (4) adanya dugaan kriminalisasi dari Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan menggunakan frasa "dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara" dalam Undang-Undang Tipikor. Kriteria berikutnya adalah adanya wewenang atau kesempatan. Kriteria ini sudah diperluas karena adanya istilah karena jabatan, kedudukan dan seterusnya termasuk juga suap menyuap, baik antara bukan pegawai negeri maupun pegawai negeri. Begitu juga dengan pemberian hadiah dan janji pada undang-undang yang baru, kriterianya sudah diperluas.18 Adapun aturan tentang tindak pidana korupsi, sudah ada paling tidak sejak tahun 1957, yaitu pada masa pemerintahan orde lama hingga tahun 2003 yang dikenal sebagai era reformasi, negara ini telah melahirkan sejumlah peraturan yang berkaitan dengan pemberantasan korupsi, antara lain : a. Peraturan Penguasa Militer Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan

Korupsi; b. Peraturan Penguasa Perang Pusat AD Nomor Prt/Perpu/013/1958. c. Undang-undang Nomor 24/Prp/1960 dan Keputusan Presiden Nomor 228

Tahun 1967 tentang Tindak Pidana Korupsi. d. Undang-undnag Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. e. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas KKN. f. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi yang mengubah Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971. g. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. h. Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak

Pidana Korupsi; Sejumlah peraturan hukum di atas belum lagi didukung oleh peraturan-peraturan lain yang tersebar di berbagai keteraturan hukum lainnya yang berkaitan erat dan

18 Romli Atmasasmita dikutip Edy Suandi dan M. Sayuti (editor): Menyingkap Korupsi, Kolusi

dan Nepotisme, Aditya Media, cetakan pertama, Jogjakarta, 1999, Halaman 122.

Page 14: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

dapat diterapkan juga untuk mendukung tindak pidana korupsi, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) beserta Hukum Acaranya .

D.3. Pengertian Tindak Pidana Suap Suap atau Risywah berasal dari bahasa Arab , yakni rasya, yarsyu, rasywan, yang berarti “sogokan” atau “bujukan”. Istilah lain yang searti dikalangan masyarakat ialah “suap” dan “uang tempel”, “uang semir”, “pelicin”. Di sisi lain “suap” (bribery) asal mulanya dari asal kata briberie (Perancis) yang maknanya adalah “begging” (mengemis) atau “vagrancy” (penggelandangan). Dalam bahasa Latin disebut briba, yang artinya: “a piece of bread given to begga”’ (sepotong roti yang diberikan kepada pengemis). Perkembangan pemahaman bribe berarti ’sedekah’ (alms), “blackmail” atau “extortion” (pemerasan) dalam kaitannya dengan “gifts received or given in order to influence corruptly” (pemberian atau hadiah yang diterima atau diberikan dengan maksud untuk memengaruhi secara jahat atau korup).19 Secara terminologi “suap” adalah “memberi uang dan sebagainya kepada petugas (pegawai), dengan harapan mendapatkan kemudahan dalam suatu urusan”. Menurut Qordhawi, bahwa “suap adalah sesuatu yang diberikan kepada seseorang yang memiliki kekuasaan atau jabatan apapun untuk menyukseskan perkaranya dengan mengalahkan lawannya sesuai dengan yang diinginkan atau memberikan peluang kepadanya (seperti tender) atau menyingkirkan musuhnya”.20 Menurut R. Wiyono , bahwa : "suap adalah suatu tindakan dengan memberikan sejumlah uang atau barang atau perjanjian khusus kepada seseorang yang mempunyai otoritas atau yang dipercaya, contoh; para pejabat, dan membujuknya untuk merubah otoritasnya demi keuntungan orang yang memberikan uang atau barang atau perjanjian lainnya sebagai kompensasi sesuatu yang dia inginkan untuk menutupi tuntutan lainnya yang masih kurang" 21 . Sedangkan Muladi, mengatakan bahwa konotasinya terkait dengan adanya janji, iming-iming atau pemberian, yakni: "Keuntungan yang tidak pantas oleh seseorang kepada pejabat atau pegawai negeri, langsung atau tidak langsung dengan maksud agar pegawai negeri atau pejabat tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuai dengan tugasnya yang sah".22

19 R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Sinar

Grafika, Jakarta, 2008, halaman 132. 20 Qordhawi, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana, Armico,

Bandung, 1997, halaman 81. 21 R. Wiyono, Loc cit 22 Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan Penanggulangannya,

makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang, diunduh pada tanggal tgl. 16 Juni 2019, halaman. 2

Page 15: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Hal tersebut sejalan dengan sejarah pemberian upeti yang menjadi bagian kehidupan masyarakat Indonesia pada masa lalu, dimana suap adalah suatu bentuk persembahan dari adipati atau raja-raja kecil kepada raja penakluk, dalam budaya birokrasi di Indonesia ketika kebanyakan pemerintah masih menggunakan sistem kerajaan yang kemudian dimanfaatkan oleh penjajah Belanda. Kemudian ternyata Upeti merupakan salah satu bentuk tanda kesetiaan yang dapat dipahami sebagai simbiosis mutualisme. Sistem kekuasaan yang mengambil pola hierarkhis ini ternyata mengalami adaptasi didalam sistem birokrasi modern di Indonesia. Berdasarkan pengertian diatas dapat dipahami bahwa suap adalah memberi sesuatu, baik uang maupun barang kepada seseorang agar melakukan sesuatu bagi si pemberi suap yang bertentangan dengan kewajiban, baik pemerintahan itu dilaksanakan ataupun tidak dilaksanakan. Dari sini dapat dipahami bahwa suap adalah sebuah tindakan yang mengakibatkan sakit atau kerugian dipihak lain, atau dengan kata lain adalah upaya untuk mendapatkan sesuatu dengan merekayasa dan membayar sejumlah uang, sehingga dalam hal ini ada penyimpangan-penyimpangan yang terjadi, baik dalam prosedur dan tatanan struktur sosial kemasyarakatan, yang mengakibatkan adanya pihak yang dirugikan. Sudah banyak kasus suap dihadapi Indonesia yang membutuhkan perhatian yang serius membutuhkan pemberantasan korupsi dengan strategi komprehensif serta kerja sama internasional dalam penegakan hukum maupun pencegahan korupsi. Oleh karena itu dunia internasional telah menyepakati bahwa korupsi adalah kejahatan serius yang dapat bersifat lintas negara, baik dari segi pelaku, aliran dana maupun dampaknya. Kasus-kasus yang dihadapi Indonesia, Kesepakatan tersebut kemudian diwujudkan dalam sebuah inisiatif Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Officer on Drugs and Crime (UNODC) untuk melaksanakan sebuah perjanjian internasional UNCAC yang ditandatangi Indonesia pada tanggal 18 Desember 2003 di Merida, Mexico. UNCAC mengatur penyuapan pejabat-pejabat pejabat publik nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 15 , sebagai berikut:

“Each state party shall adopt such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:

(setiap negara peserta wajib mengadopsi tindakan-tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain yang mungkin diperlukan untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja tindakan-tindakan berikut ini)

1. The promise, offering or giving, to a public official, directly or indirectly, of an un due advantage, for the official himself or herself or an other person or entity , in order person or entity, ini order that the official act or refrain from acting in the exercise of his or her official duties,

Page 16: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

(Janji, menawarkan atau memberikan kepada seorang pejabat publik, secara langsung atau secara tidak langsung, sesuatu keuntungan yang tidak layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau menahan diri dari melakukan sesuatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya),

2. The solicitation or acceptance by a public official, directly or indirectly, of an undue advantage, for the official himself or herself or another person or entity, in order that the from acting in the exercise of his or her official duties.

(permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat public, secara langsung atau secara tidak langsung suatu keuntungan yang tidak layak untuk pejabat itu sendiri atau untuk orang lain atau badan hukum, agar pejabat itu bertindak atau tidak melakukan suatu tindakan dalam melaksanakan tugas resminya.

Disamping ketentuan tersebut diatas UNCAC juga mengatur penyuapan kepada pejabat-pejabat publik asing dan pejabat-pejabat dari organisasi-organisasi internasional public sebagaimana diatur dalam Pasal 16 dan penyuapan disektor swasta sebagaimana diatur dalam Pasal 21.

Dalam ketentuan nasional yang pernah berlaku secara positif, mengatur ketentuan suap dalam dua bentuk menjadi suap yang bersifat aktif dan suap yang bersifat pasif. Pasal-pasal yang menyangkut penyuapan yang bersifat aktif ialah Pasal 209, 2010 KUHP, Pasal 418, 419 dan 420 KUHP (Pasif). Pembuat undang-undang menambah satu Pasal lagi , yaitu Pasal 1 Ayat (1) sub d UU PTPK 1971 yang menjadi Pasal 13 UU PTPK 1999.

Pada ketentuan Pasal 209 KUHP (aktif) berpasangan dengan Pasal 419 KUHP (pasif), sedangkan Pasal 418 KUHP (Pasif) tidak ada pasangan aktifnya didalam KUHP karena dipandang boleh saja orang memberi hadiah kepada pegawai negeri asal tidak bertujuan supaya dia melalaikan kewajibannya, namun kemudian adanya Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tahun 1971-lah yang membuat pasangan aktifnya, yaitu Pasal 1 Ayat (1) sub d yang kemudian menjadi Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1999, yang dikenal dengan ketentuan pemberi gratifikasi.

D.4. Komisi Pemberantasan Korupsi Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, perlu dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang independen dengan tugas dan wewenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi.

Page 17: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Komisi Pemberantasan Korupsi disingkat KPK diberi tugas oleh undang-undang dalam Pasal 6 , antara lain: a. Koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi; b. Supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak

pidana korupsi; c. Melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana

korupsi; d. Melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi; dan e. Melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam hal menjalankan tugas yang diberikan oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang diberikan kewenangan yang kuat bukan berada di luar sistem ketatanegaraan, tetapi justru ditempatkan secara yuridis di dalam sistem ketatanegaraan yang rangka dasarnya sudah ada di dalam UUD 1945. Selain dari pada itu, KPK juga tidak mengambil alih kewenangan lembaga lain, melainkan diberi atau mendapat kewenangan dari pembuat undang-undang sebagai bagian dari upaya melaksanakan perintah UUD 1945 di bidang penegakan hukum, peradilan, dan kekuasaan kehakiman. KPK dibentuk sebagai lembaga negara bantu karena adanya isu insidentil menyangkut korupsi di Indonesia pasca era Orde Baru. Selain itu juga KPK merupakan aplikasi bentuk politik hukum yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 kepada badan legislatif sebagai pembuat undang-undang. Peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai KPK dalam penyidikan adalah mengambil alih wewenang dari instansi lain, adapun pengambilalihan tersebut didasarkan pada alasan-alasan tertentu , sebagaimana diatur pada Pasal 9 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, antara lain : a. Laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindak lanjuti; b. Proses penanganan tindak pidana korupsi secara berlarut-larut atau

tertundatunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak

pidana korupsi yang sesungguhnya; d. Penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi; e. Hambatan penangan tindak pidana korupsi karena campur tangan dari eksekutif,

yudikatif, dan legislatif; f. Keadaan lain yang menurut petimbangan Kepolisian atau Kejaksaan,

penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung jawabkan

D.5. Penanganan Tindak Pidana Suap Sebagai Tindak Pidana Korupsi Yang

Ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Adanya ketentuan pidana yang berjenjang sesuai dengan bobot dan kualifikasi delik dalam Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan

Page 18: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Atas Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Persoalan yang menyangkut Pasal 418 dan 419 KUHP yang keduanya merupakan delik berkualifikasi yang ancaman pidananya berbeda jauh didalam KUHP, tetapi UU PTPK 1971 memukul rata semua ancaman pidana korupsi menjadi penjara seumur hidup dan/atau denda maksimum 30 Juta rupiah sehingga untuk masa depan masalah tersebut telah ditiadakan. Lebih-lebih dengan diadopsinya seluruh rumusan dari KUHP ke dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 2001. Hal itu untuk masa depan (korupsi yang terjadi sesudah 16 Agustus Tahun 1999). Setelah tahun 1999 dengan diberlakukannya Undang-Undang No.31 Tahun 1999 dan Undang-Undang No.20 Tahun 2001, terdapat 2 pengaturan dalam suap sebagai salah satu tidak pidana korupsi khususnya suap yang bersifat pasif yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara, yakni diatur pada Pasal 5 dan diatur pada Pasal 12 a,b . Disamping itu terdapat 2 pengaturan dalam suap yang pelakunya adalah hakim dan advokat, yakni diatur pada Pasal 6 ayat (2) dan diatur pada Pasal 12 c dan Pasal 12d. Pada ketentuan suap yang bersifat pasif ini dapat dilihat kejanggalan dari pengaturan pasalnya, yaitu perbuatan menerima hadiah atau janji diatur dalam 2 pasal yang berbeda. Dalam pasal yang mengatur suap yang bersifat pasif bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara diatur pada Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 a, b. Adapun Pasal 5 ayat (2), antara lain: “Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)”. Sedangkan dalam Pasal 12 a, b ,sebagai berikut: a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya; Apabila diperhatikan secara mendetail isi pasal tersebut, terlihat ada tiga bagian inti delik (delict bestanddelen) yang termuat didalamnya, yakni: 1. Ada penerimaan 2. Berhubungan dengan jabatannya 3. Perbuatannya bertentangan dengan kewajibannya Menurut pendapat saya, bahwa pasal yang mengatur perbuatan suap yang bersifat pasif ini tidak memberikan kepastian hukum, karena satu perbuatan diatur oleh dua pasal yang berbeda. Lebih nampak lagi kejanggalan ketika dilihat sanksi pidana

Page 19: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

yang dilekatkan pada kaidah dalam pasal tersebut, dimana Pasal 5 ayat (2) adalah delik sengaja, sedangkan Pasal 12 a,b adalah delik sengaja dan delik culpa, namun Pasal 5 ayat (2) ancaman pidananya paling singkat 1 tahun dan atau paling lama 5 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling banyak Rp 250.000.000,- sedangkan ancaman pidana Pasal 12 a, b adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak Rp 1.000.000.000,-. Jadi perbuatan suap yang bersifat pasif dengan jelas tidak memberikan kepastian hukum dalam penerapannya, apalagi KPK sama sekali tidak pernah menggunakan menggunakan Pasal 5 ayat (2) dalam penegakan hukum kasus korupsi yang tingkat kualitas kejahatannya rendah. Dalam kasus suap yang bersifat pasif yang dilakukan oleh hakim, sama hal dengan yang dilakukan oleh pegawai negeri atau penyelenggara Negara, dimana penerapannya satu perbuatan suap diatur oleh dua pasal yang berbeda yakni Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 12 c. KPK pernah menuntut seorang hakim Mahkamah Konstitusi yang bernama Akil Muhtar dengan ancaman maximal dan hakim pengadilan tindak pidana korupsi memberikan putusan pidana penjara seumur hidup, namun dalam waktu yang berbeda seorang hakim Mahkamah Konstitusi yang bernama Patrialis Akbar dituntut oleh KPK 12,5 tahun dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan. Hakim pengadilan tindak pidana korupsi memberikan puusan pidana penjara 8 tahun membayar denda Rp 300 juta subsider 3 bulan kurungan. Dalam pasal yang mengatur suap yang bersifat aktif diatur dalam pada Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No.20 tahun 2001. Adapun Pasal 5 ayat (1), antara lain: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara

negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara Negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

Pasal 5 ayat (1) tersebut mengatur tentang pihak pemberi suap kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara adalah pihak swasta atau pihak lain. Hal ini sama dengan pihak pemberi suap kepada hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1), sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)

Page 20: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk

mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan

peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.

Berdasarkan rumusan delik diatas, saya menyoroti Pasal 5 ayat (1) dimana ancaman pidana penjara bagi pelaku tindak pidana suap yang bersifat aktif, paling lama 5 tahun. Bahwa sebenarnya dalam tindak pidana suap , pihak pemberi dan penerima tingkat kualitas kejahatannya sama, jadi menurut saya ancaman pidana penjara 5 tahun tidak memenuhi rasa keadilan yang ada. Paling tidak ancaman pidana pelaku tindak pidana suap yang bersifat aktif sama dengan ancaman pidana pelaku tindak pidana suap yang bersifat pasif, yakni pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun pidana penjara. Terlepas dari penerapan pasal tersebut yang sudah dilakukan oleh KPK, berdasarkan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 menyimpan ketidakpastian hukum yang harus diakhiri apabila ingin diperoleh penegakan hukum yang ideal.

D.6. Ketentuan Suap Sebagai Salah Satu Tindak Pidana Korupsi Sudah Sejalan Dengan UNCAC Ketentuan suap yang diatur dalam hukum pidana di Indonesia, ada dalam beberapa bentuk, yakni ; yang tidak masuk dalam kelompok tindak pidana korupsi dan yang masuk dalam kelompok tindak pidana korupsi. Tindak pidana suap yang tidak masuk dalam kelompok tindak pidana korupsi diatur dalam Undang-Undang No.11 Tahun 1980 Tentang Tindak Pidana Suap. Undang-undang ini memuat 6 pasal dimana rumusan deliknya terdapat dalam Pasal 2 dan Pasal 3, yang mengatur: Pasal 2 : “Barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena memberi suap dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000,- (lima belas juta rupiah)”. Pasal 3: “Barangsiapa menerima sesuatu atau janji, sedangkan ia mengetahui atau patut dapat menduga bahwa pemberian sesuatu atau janji itu dimaksudkan supaya ia berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum, dipidana karena menerima suap dengan pidana penjara selama-lamanya 3 (tiga) tahun atau denda sebanyak-banyaknya Rp.15.000.000.- (lima belas juta rupiah)”.

Page 21: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Undang-undang ini ada sebelum lahirnya UNCAC dan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, dan hanya diperuntukkan bagi penerimanya adalah kalangan swasta. Bahwa penyuapan di sektor swasta tidak kalah maraknya dengan yang terjadi di sektor publik (pejabat publik), namun penegakan hukumnya tidak semarak dengan yang terjadi pada penyuapan di sektor publik. Ketentuan suap yang masuk dalam kelompok tindak pidana korupsi , dapat dikategorikan menjadi suap dan gratifikasi. Perbedaan suap dan gratifikasi dapat dilihat dari rumusan deliknya. Dalam tindak pidana suap diatur dalam Pasal 5 ayat (2) dan Pasal 12 a, b Undang-Undang No.20 Tahun 2001. Sedangkan tindak pidana gratifikasi diatur dalam Pasal 11 Undang-Undang No.20 Tahun 2001 , sebagai berikut: “Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya”. Lebih jelasnya perbedaan suap dan gratifikasi dapat dilihat dari adanya bagian inti delik (delict bestanddelen), dimana tindak pidana suap memiliki 3 bagian inti deliknya, yakni: 1. Ada penerimaan, 2. Berhubungan dengan jabatan, 3. Perbuatannya bertentangan dengan kewajiban (in strijd met zijn plicht). Sedangkan tindak pidana gratifikasi bagian inti deliknya adalah 1. Ada penerimaan, 2. Berhubungan dengan jabatan. Melihat materi United Nations Convention against Corruption (UNCAC) yang mengatur mengenai tindak pidana suap, hal itu terdapat dalam Pasal 15 UNCAC , yaitu suap terhadap pejabat-pejabat publik. Hal ini sama dengan pengaturan mengenai suap yang terdapat pada Pasal 12 a,b,c Undang-Undang No.20 tahun 2001. Namun dalam UNCAC terdapat Pasal 16 yang mengatur penyuapan pejabat-pejabat publik asing dan pejabat –pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik, tidak ditemukan dalam ketentuan undang-undang tindak pidana korupsi .

Justru yang menjadi keanehan dalam penegakan hukum dalam tindak pidana korupsi adalah penyuapan di sektor swasta tidak dimasukkan dalam ketentuan suap yang menjadi bagian dari tindak pidana korupsi. Idealnya ketentuan suap di sektor swasta dapat menjadi bagian dari tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam UNCAC, dimana Suap di sektor swasta masuk tindak pidana korupsi. Indonesia telah meratifikasi Konvensi PBB itu dengan UU Nomor 7 tahun 2006 sehingga Indonesia wajib mengintegrasikan delik-delik korupsi dalam UNCAC ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi, sehingga tiap negara anggota wajib mengadopsi legislasi yang menetapkan penyuapan di sektor swasta sebagai kejahatan, dan

Page 22: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

dalam hukum internasional, tidak hanya pejabat publik yang dapat dituduh melakukan korupsi, melainkan juga pejabat dari sektor usaha.

E. KESIMPULAN DAN SARAN

E.1.Kesimpulan 1. Tindak pidana suap sebagai tindak pidana korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak menjamin kepastian hukum , karena tindak pidana suap didasarkan pada 2 pasal yang sama bagian inti deliknya, namun pengaturan mengenai kesalahan yang berbeda. 2. Ketentuan suap sebagai salah tindak pidana korupsi belum sejalan dengan UNCAC, karena belum dirumuskan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi ketentuan penyuapan bagi pejabat-pejabat publik asing dan pejabat–pejabat dari organisasi-organisasi internasional publik dan penyuapan disektor swasta.

E.2.Saran Dewan Perwakilan Rakyat perlu menambah ketentuan penyuapan sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi , karena konsekuensi Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi PBB itu dengan UU Nomor 7 tahun 2006 sehingga Indonesia wajib mengintegrasikan delik-delik korupsi dalam UNCAC ke dalam UU Tindak Pidana Korupsi

Daftar Pustaka Alatas, Korupsi : Sifat, Sebab, dan Fungsi , LP3ES , Jakarta , 1987. Abu Fida’ Abdur Rafi’, “Terapi Penyakit Korupsi dengan Tkziaytun Nafs” Republika,

Jakarta, 2006. Dominikus Rato, Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami Hukum,

Laksbang Pressindo, Yogyakarta, 2010. Edy Suandi dan M. Sayuti (editor): Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme,

Aditya Media, cetakan pertama, Jogjakarta, 1999 Gilisen, John & Gorle, Frits, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,

Bandung. 2005. Gurnar Myrdal, Asia Drama, Volume II, Pantheon, New York, 1968. Indriyanto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, Diadit Media, Jakarta, 2009.

Page 23: SUAP DALAM TIDAK PIDANA KORUPSI YANG DITANGANI OLEH …

Muladi, Tindak Pidana Suap sebagai Core Crime Mafia Peradilan dan

Penanggulangannya, makalah dalam Seminar Nasional “Suap, Mafia Peradilan, Penegakan Hukum dan Pembaharuan Hukum Pidana” Kerjasama FH UNDIP dengan KY di Semarang, diunduh pada tanggal tgl. 16 Juni 2019.

Mubyarto, ilmu Ekonomi , Ilmu Sosial dan Keadilan ,Yayasan AgroEkonomika,

Jakarta. Mochtar Lubis dan James C. Scott, Bunga Rampai Karangan-karangan Mengenai

Etika Pegawai Negeri, Bharata Karya Aksara, Jakarta,1977. Qordhawi, Responsi Hukum Pidana: Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana,

Armico, Bandung, 1997. R. Wiyono, Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,

Sinar Grafika, Jakarta, 2008 Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum

dan Filsafat Hukum, PT Refika Aditama, Bandung, 2007. Sabri Samin, Pidana Islam dalam Politik Hukum Indonesia, Kholam, Jakarta 2008. Singgih, Duniapun Memerangi Korupsi, Pusat Studi Hukum Bisnis Universitas Pelita

Harapan, Tangerang, 2002. Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986. S. Adiwinata, Kamus Istilah Hukum Latin-Indonesia, (alih Bahasa), PT Intermasa,

Cetakan 1, Jakarta, 1977.