subak pancoran sebagai sumber belajar …/subak... · telah memberikan kesempatan untuk mengikuti...

186
i SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha) TESIS Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan Gelar Magister Pendidikan PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH Oleh: Ketut Sedana Arta NIM S.860908011 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Upload: lamnhi

Post on 06-Feb-2018

282 views

Category:

Documents


38 download

TRANSCRIPT

i

SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha)

TESIS

Untuk Memenuhi Sebagai Persyaratan

Gelar Magister Pendidikan

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SEJARAH

Oleh: Ketut Sedana Arta NIM S.860908011

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

ii

SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha)

TESIS

Guna Memenuhi Sebagai Persyaratan

Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Sejarah

Disusun oleh :

Ketut Sedana Arta

S860908011

Telah disetujui oleh Tim Pembimbing

Dewan Pembimbing

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Pembimbing I

Dr. Suyatno Kartodirdjo

NIP. 130324012

--------------------

----------------------

Pembimbing II

Dra. Sutiyah, M.Pd, M.Hum

NIP. 195907081986012001

--------------------

----------------------

Mengetahui

Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,

Dr. Warto, M.Hum

NIP. 196109251986031001

iii

SUBAK PANCORAN SEBAGAI SUMBER BELAJAR

SEJARAH KEBUDAYAAN INDONESIA

(Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial

Universitas Pendidikan Ganesha)

Disusun oleh

Ketut Sedana Arta

S. 860908011

Telah disetujui oleh Tim Penguji

Jabatan Nama Tanda Tangan Tanggal

Ketua Prof. Dr. Sri Yutmini, M.Pd ........................ ....................

Sekretaris Dr. Warto, M.Hum ........................ ....................

Anggota Penguji

1 Dr. Suyatno Kartodirdjo ....................... ....................

2 Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum ....................... ....................

Mengetahui

Ketua Program Studi

Pendidikan Sejarah

Dr. Warto, M.Hum

NIP. 196109251986031001

..................... ...................

Direktur Program

Pascasarjana

Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D

NIP. 195708201985031004

..................... ...................

iv

PERNYATAAN

Nama : Ketut Sedana Arta NIM : S.860908011 Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis berjudul Subak Pancoran Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha), adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan hasil karya saya, dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademikberupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Surakarta, 4 Juni 2010 Yang membuat pernyataan, Ketut Sedana Arta

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas

karunia dan pertolongan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan

proposal tesis ini. Dalam menyelesaikan tesis ini, penulis banyak mendapatkan

bantuan, bimbingan, dan pengarahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada

kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. M. Syamsulhadi, Sp, KJ. (K), selaku rektor Universitas Sebelas

Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk

mengikuti pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Prof. Drs. Suranto, M.Sc., Ph.D, selaku Direktur Program Pascasarjana yang

telah memberikan kesempatan untuk mengikuti studi di Universitas Sebelas

Maret.

3. Dr. Warto, M.Hum. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah yang telah

memberikan arahan, serta bimbingan dalam penyusunan tesis.

4. Dra. Sutiyah, M.Pd., M.Hum. Sekretaris Program Studi Sejarah dan sekaligus

sebagai pembimbing II, yang tidak mengenal lelah menghimbau, memberikan

arahan dan memberikan semangat pada mahasiswa untuk menyelesaikan

tesis.

5. Dr. Suyatno Kartodirdjo, selaku pembimbing I, yang telah memberikan

bimbingan dan petunjuk dalam penyusunan tesis.

6. Prof. Dr. HB Sutopo, M.Sc., M.Sc. (almarhum), yang tidak kenal lelah

membimbing penulis dalam penyusunan tesis.

vi

7. Prof. Dr. I Nyoman Sudiana, M.Pd selaku rektor Universitas Pendidikan

Ganesha yang telah memberikan izin penelitian dalam pengumpulan data,

sehingga peneliti dapat menyelesaikan tesis ini.

8. Drs. Nengah Sudariya, M.Si selaku ketua jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas

Ilmu Sosial yang telah memberikan bantuan informasi dan data dalam proses

pengumpulan data, sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan lancer

9. Gde Mas Ari, selaku Kelian Subak Pancoran yang telah meluangkan waktu

untuk memberikan informasi dan data terkait dengan penelitian Subak

pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.

10. Ucapan terima kasih kepada kedua orang tua kandung Ibu dan Ayah, Wayan

Pasek dan Ketut Sari (almarhum) yang telah mengasuh dan mendidik dan

teristimewa buat istriku Luh Budarmini serta anakku Putu Gita Gayatri yang

selalu memberikan dukungan dalam menyelesaikan studi.

Akhirnya penulis hanya dapat berdoa semoga Tuhan Yang Maha Esa

melimpahkan berkat dan rahmatn-Nya kepada semua pihak tersebut di atas, dan

mudah-mudahan tesis ini bermanfaat bagi mereka yang membutuhkannya.

Surakarta, Juni 2010

Penulis

vii

DAFTAR ISI JUDUL. ............................................................................................................ i

PENGESAHAN PEMBIMBING. ................................................................... ii

PENGESAHAN TESIS. .................................................................................. iii

PERNYATAAN............................................................................................... iv

KATA PENGANTAR. .................................................................................... iii

DAFTAR ISI. ................................................................................................... vii

DAFTAR TABEL. ........................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR. ...................................................................................... xi

LAMPIRAN. .................................................................................................... xii

ABSTRAKSI. .................................................................................................. xiv

ABSTRACT. .................................................................................................... xv

BAB 1. PENDAHULUAN

A.Latar Belakang. ................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah. ........................................................................ 7

C. Tujuan Penelitian. ............................................................................ 8

D. Manfaat Penelitian. .......................................................................... 9

BAB II. KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori. .................................................................................... 10

1. Lembaga Sosial Budaya. ............................................................ 10

2. Peran Lembaga Sosial Budaya. ................................................... 15

3. Sumber Belajar. ........................................................................... 19

4. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia. ............................ 29

viii

5. Kendala-kendala Dalam Pemanfaatan Sumber Belajar

Sejarah Kebudayaan Indonesia. .................................................. 39

B. Penelitian yang Relevan. ................................................................. 42

C. Kerangka Pikir. ................................................................................ 45

BAB. III METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi dan Waktu Penelitian. .......................................................... 48

B. Bentuk dan Strategi Penelitian. ....................................................... 49

C. Data Sumber Data. ........................................................................... 50

D. Teknik Pengumpulan Data. ............................................................. 52

1. Wawancara Mendalam. .......................................................... 52

2. Observasi Langsung. ............................................................... 52

3. Kajian Dokumen. .................................................................... 53

E. Teknik Cuplikan. ............................................................................. 54

F. Validitas data.................................................................................... 55

G. Teknik Analisis Data. ...................................................................... 57

BAB. IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian................................................................................ 60

1. Deskripsi Latar. ........................................................................... 60

2. Sajian Data................................................................................... 81

B. Pokok Temuan. ................................................................................ 104

C. Pembahasan. .................................................................................... 106

BAB. V PENUTUP

A. Simpulan. ......................................................................................... 145

ix

B. Implikasi. ......................................................................................... 146

C. Saran. ............................................................................................... 147

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 149

LAMPIRAN. .................................................................................................... 156

x

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jadwal Kegiatan Penelitian. ..................................................... 48

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka Pikir. ......................................................................... 47

Gambar 2 Trianggulasi Sumber. ............................................................... 56

Gambar 3 Trianggulasi Metode. ................................................................ 57

Gambar 4 Model Analisis Interaktif. ......................................................... 59

Gambar 5 Masjid Jamik. ........................................................................... 69

Gambar 6 Lambang Subak Pancoran. ....................................................... 70

Gambar 7 Balai Subak Pancoran. .............................................................. 72

Gambar 8 Bale Kulkul Subak Pancoran. ................................................... 73

Gambar 9 Pura Subak, Mushola, Balai Subak. ......................................... 88

Gambar 10 Sawah Petani Hindu dan Islam. ................................................ 96

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Informan. ....................................................................... 156

Lampiran 2 Pedoman Wawancara. .............................................................. 158

Lampiran 3 Kegiatan Mahasiswa di Subak Pancoran. ................................. 160

Gambar 1Mahasiswa mewawancarai Muhamad Hakki. .................................. 160

Gambar 2 Mahasiswa mewancarai Gde Mas Ari. ............................................ 160

Gambar 3 Mahasiswa mewawancarai masyarakat subak Pancoran. ............... 161

Gambar 4 Bale Sangkepan. .............................................................................. 161

Gambar 5 Bale Kulkul. .................................................................................... 162

Gambar 6 Lumbung Padi. ................................................................................ 162

Gambar 7 Jeroan Pura Subak Pancoran. .......................................................... 163

Gambar 8 Distribusi air dengan sistem rotasi. ................................................. 163

Gambar 9 Bangunan temuku (Sistem Numbak). ............................................. 164

Gambar 10 Peneliti dengan Kelian Subak. ...................................................... 164

Gambar 11 Musaimi (mantan kelian subak). ................................................... 165

Contoh Fieldnote.............................................................................................. 166

Contoh Fieldnote.............................................................................................. 168

Contoh Fieldnote.............................................................................................. 169

Surat Ijin Penelitian

Pemberian Ijin Penelitian

Silabus Berbasis Kompetensi

Awig-awig Subak pancoran

xiii

Ekalikita Subak Pancoran

Makalah Mahasiswa

Lembar Observasi

xiv

ABSTRAK Ketut Sedana Arta (S.860908011). Subak Pancoran Sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia (Studi Kasus di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha). Tesis. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah, Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Juni 2010. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (1) Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat; (2) Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia; (3) Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Penelitian ini dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha. Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif dengan strategi kasus terpancang tunggal. Pengumpulan data dilakukan dengan observasi pada kegiatan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia di kelas dan subak Pancoran, wawancara informan dilakukan dengan dosen, mahasiswa dan prajuru serta anggota subak Pancoran, serta analisis dokumen berupa silabus, tugas makalah mahasiswa, dan dokumen awig-awig, serta ekalikita subak Pancoran. Sampling yang digunakan adalah purposive sampling dan time sampling. Untuk mencari validitas data digunakan trianggulasi data dan metode. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis interaktif, yaitu proses analisis yang bergerak di antara tiga komponen yang meliputi reduksi data, penyajian data, verifikasi/penarikan simpulan berinteraksi dengan pengumpulan data secara siklus. Simpulan penelitian ini: (1) Mahasiswa yang sedang dan yang sudah menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia pada awalnya mempunyai pemahaman yang rendah namun setelah mengikuti perkuliahan mempunyai pemahaman yang baik tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat; (2) Sesuai dengan standar kompetensi dan kompetensi dasar cara memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia adalah melalui metode inquiri dan pemberian tugas oleh dosen kepada mahasiswa; (3) Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia adalah waktu, lokasi dan minimnya pengetahuan narasumber, fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami kerusakan, minimnya bahan ajar subak multikultur. Untuk mengatasi kendala tersebut diperlukan persiapan yang matang dan dukungan dari lembaga Undiksha berupa pemberian bantuan peralatan untuk menunjang proses pembelajaran dengan menggunakan subak Pancoran sebagai sumber belajar.

xv

ABSTRACT Ketut Sedana Arta ( S.860908011). Subak Pancoran As Source Learn History Culture of Indonesia ( Case Study in Majors Education Of History Faculty Social Science University Education Of Ganesha). Thesis. Surakarta: Sebelas Maret University Graduate Program. Juni 2010. This research target is to know: (1) Understanding of student to responsibility and role of Subak Pancoran in creating reconciliation of people; ( 2) Way of student and lecturer exploit Subak Pancoran as source learn History Culture of Indonesia; ( 3) Constraints faced in exploiting Subak Pancoran as source learn history culture of Indonesia. This research is executed in Majors Education Of History Faculty Social Science University Education of Ganesha. Form this research is descriptive qualitative with single stake case study strategy. Data collecting conducted with observation at activity of study of History Culture of Indonesia and class of subak Pancoran, interview information source conducted with lecturer, and student, prajuru and also member of subak Pancoran, and also analyse document in the form of syllabus, student handing out duty, and document of awig-awig, and also ekalikita of subak Pancoran. Sampling the used is sampling purposive and of time sampling. To look for data validity used by data and method trianggulasi. Technique analyse data the used is analysis of interaktif, that is peripatetic analysis process among three component covering data discount, presentation of data, verification / withdrawal of have interaction to with data collecting by cyclus. This Research node: ( 1) Student which is and which have gone through Iesson of History Culture of Indonesia initially have the understanding of low but after following lecturing have the understanding of good about responsibility and role of subak Pancoran in creating reconciliation of people; ( 2) As according to interest standard and elementary interest is way of exploiting subak Pancoran as source learn History Culture of Indonesia is to pass/through method of inquiri and giving of duty by lecturer to student; ( 3) Constraints faced in exploiting of Pancoran subak as source learn History Culture of Indonesia is time, location and lack of knowledge of guest speaker, facility which supporting natural study of damage, lack of materials teach multikultur subak. To overcome the the constraint needed by matured preparation and support of institute of Undiksha in the form of giving of equipments aid to support study process by using subak Pancoran as source learn.

xvi

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak berakhirnya Perang Dingin, dunia menyaksikan berbagai konflik

internal pecah di Yugoslavia, Bosnia, Macedonia, Kroasia, Kosovo, Rwanda,

Burundi, Angola, Sudan, Turki, Azerbaijan, Georgia, Tajikistan, Khasmir,

Myanmar, Sri Langka, Liberia, dan Indonesia. Konflik-konflik internal ini

memunculkan kembali isu self-determination, konflik negara-masyarakat, atau

pun konflik antaretnis dalam masyarakat yang plural dan multietnis (Syamsul

Hadi, 2007:1)

Fenomena konflik etnis atau agama tidak bisa dilepaskan dari dinamika

kehidupan berbangsa dan bernegara, karena Indonesia merupakan negara

multikultural. Dalam sejarahnya, pembentukan Indonesia sebagai negara bangsa

(nation state) didasarkan pada persetujuan bersama berbagai kelompok etnis yang

ada di Indonesia yang sama-sama mengalami penderitaan akibat kolonialisme.

Pasca jatuhnya pemerintahan orde baru di tahun 1998, muncul fenomena yang

memprihatinkan berupa berkembang dan menguatnya ekskalasi konflik-konflik

lokal di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam hal ini terkuak pula kerapuhan

proses nation building. Benedict Anderson (2008:8) mengatakan Indonesia

terbentuk dari komunitas-komunitas terbayang (imagined communities), yang

mengandung makna bahwa bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa yang dicita-

citakan dan masih dalam sebuah proses menjadi Indonesia (a process to be

xvii

Indonesia). Bambang Purwanto (2006:159) menegaskan walaupun sebagian besar

komunitas etnik hidup di dalam wilayah negara yang sama tetapi mereka

sebenarnya tidak memiliki perasaan yang kuat sebagai bangsa yang sama. Bagi

komunitas-komunitas etnik tertentu, identitas kebangsaan yang melekat pada

negara dipahami tidak lebih sebagai identitas kebangsaan yang imajiner.

Apa yang terjadi di Indonesia sesuai dengan pendapat Samuel P.

Huntington (1996) yang “meramalkan” bahwa sebenarnya konflik antar-

peradaban di masa depan tidak lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik

dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah masalah suku, agama, ras dan

antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai

runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke dalam komunisme dan kapitalisme,

bersamaan dengan runtuhnya struktur politik negara-negara Eropa Timur.

Ramalan ini sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi pada

era 1980-an yaitu terjadinya perang etnik di kawasan Balkan, di Yugoslavia, pasca

pemerintahan Josep Broz Tito: Keragaman, yang di satu sisi merupakan kekayaan

dan kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang

mengikatnya lengser. Mengacu pada Suyatno kartodirdjo (2003 :11) bahwa

meningkatnya ekskalasi konflik-konflik lokal yang ditandai dengan anarkhi yang

menyertai reformasi Indonesia menunjukkan adanya fenomena historis tentang

terkoyaknya kesadaran nasional dan wawasan kebangsaan.

Menurut Ester Arianti (2003:1), beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya hal tersebut adalah: (1) Pembangunan bangsa ini lebih diprioritaskan

pada pemberdayaan politik dan ekonomi yang bermuara pada pengkulturan

xviii

hedonisme, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lain. Akibatnya mereka

mengadakan reaksi dengan cara mengakomodasi simbol-simbol kehidupan lokal

sebagai benteng pertahanan; (2) Kurang diperhatikannya pembangunan sosial

budaya, yang berakibat masyarakat Indonesia mengalami disintegrasi kebudayaan

sehingga satu sama lain kurang menghargai budaya masyarakat lainnya.

Bertolak dari keadaan tersebut, menandakan nasionalisme semakin kurang

mengakar pada akar kebudayaan bangsa. Padahal dimensi kebudayaan bangsa

menjadi menjadi salah satu perekat dalam kehidupan nasional. Konflik antarsuku

bangsa, kerusuhan dan kekerasan sosial terjadi secara terbuka, menunjukkan

bahwa bangsa Indonesia sedang mengalami keretakan kebudayaan nasional. Di

sini tampak peran sejarah untuk menyatukan seluruh komponen-komponen

bangsa. Menurut Sartono Kartodirdjo (1997:133) bahwa sejarah nasional sebagai

unsur nasionalisme kultural berfungsi untuk menjadi perantara (mediasi) dalam

memantapkan hubungan-hubungan antara unsur-unsur masyarakat pluralistis.

Pengajaran sejarah dapat memperkokoh integrasi nasional. Di samping itu,

masih ada beberapa faktor lain yang dapat memperkuat integrasi bangsa, antara

lain interaksi yang intensif di antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.

Dalam hal ini perlu perspektif cross cultural communication (komunikasi lintas

budaya) dan cultural relativism dalam penulisan sejarah. Komunikasi lintas

budaya memiliki hubungan yang erat dengan sebuah proses terbentuknya bangsa

Indonesia atau proses menjadi Indonesia.

Dalam hubungan itu, apa yang disebut sebagai cross culture

communication yang menghubungkan berbagai kelompok etnik, unsur-unsur

xix

sosial dan lokalitas di nusantara menjadi sangat penting kedudukannya.

Mengingat persoalan-persoalan disintegrasi yang sedang dihadapi bangsa

Indonesia, maka perlu dicari perspektif baru yang menyangkut hubungan antara

wilayah, kesatuan sosial dan politik. Dalam hubungan itulah akar-akar sosial,

politik, ekonomi dan budaya menjadi landasan hubungan antarwilayah baik dalam

bentuk frienship (persahabatan, diplomasi) maupun dalam bentuk conflict dan

penyelesaiannya (manajemen konflik) perlu diidentifikasi dengan baik (Singgih

Tri Sulistiyono, 2008: 457)

Dengan penelitian sejarah yang menekankan segi komunitas lintas budaya,

diharapkan pelajaran yang bisa diambil untuk memperkaya wacana dalam

pengembangan model komunikasi lintas budaya pada masa sekarang. Sedangkan

prinsip relativisme budaya mencakup pendirian bahwa kepercayaan dan tingkah

laku masyarakat hanya dapat dipahami dalam konteks sejarah dan kebudayaan

dari masyarakat yang bersangkutan.

Berangkat dari pemahaman di atas, bangsa Indonesia perlu

mengembangkan secara serius pengajaran sejarah kebudayaan secara benar, untuk

mengimbangi pengajaran sejarah politik yang cenderung digunakan untuk

kepentingan politik penguasa dan rezim (Asvi Warman Adam, 2009:3). Media

yang cukup relevan dipergunakan adalah melalui bidang pendidikan, dalam hal ini

pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia seperti yang dilakukan pada jurusan

sejarah Fakultas Ilmu Sosial Universitas Pendidikan Ganesha. Edi Sedyawati

(2006 : 325) mengatakan bahwa suatu kajian sejarah kebudayaan dapat menyoroti

keseluruhan perkembangan kebudayaan di suatu daerah atau negara, namun dapat

xx

juga secara khusus memberikan sorotan terhadap salah satu aspek sejarah

kebudayaan. Komponen suatu kebudayaan adalah apa yang disebut juga sebagai

unsur kebudayaan, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem

perekonomian, sistem kesenian, sistem komunikasi, sistem organisasi sosial, dan

seterusnya. Suatu gambaran sejarah kebudayaan yang menyeluruh akan

memberikan paparan mengenai perkembangan budaya dengan segala unsurnya

itu.

Melalui mata kuliah sejarah kebudayaan bisa meningkatkan kesadaran

budaya dan kesadaran sejarah pada masyarakat luas. Adanya kesadaran budaya

ditandai oleh, pertama, pengetahuan akan adanya berbagai kebudayaan suku

bangsa yang masing-masing mempunyai jati diri beserta keunggulan-

keunggulannya; kedua, sikap terbuka untuk menghargai dan berusaha memahami

kebudayaan suku-suku bangsa di luar suku bangsanya sendiri; ketiga,

pengetahuan akan adanya berbagai riwayat perkembangan budaya di berbagai

tahap masa silam; keempat, pengertian bahwa di samping merawat dan

mengembangkan unsur-unsur warisan budaya, sebagai bangsa Indonesia yang

bersatu, juga sedang memperkembangkan sebuah kebudayaan baru, yaitu

kebudayaan nasional (Edi Sedyawati, 2006:331). Hal senada diungkapkan oleh

Sartono Kartodirdjo (1994:241) bahwa gerakan kebudayaan atau pengajaran

sejarah kebudayaan akan memperkuat kesadaran nasional, bahkan pergerakan

nasional seharusnya berusaha membangun kebudayaan nasional sebagai basis

kehidupan bangsa.

xxi

Kenyataan di lapangan pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia masih

bersifat verbalistis sehingga belum menyentuh tingkat kesadaran nasional yang

diisyaratkan. Pendapat ini diperkuat oleh Djoko Suryo (2003:2), bahwa dari

perspektif sejarah kebudayaan dan peradaban pendidikan sejak awal menduduki

tempat pokok dalam proses transmisi unsur-unsur kebudayaan dan peradaban,

namun kenyataannya Negara Kesatuan Republik Indonesia goyah ketika

menghadapi berbagai gejolak sosial dan politik yang mengarah pada konflik

bermuatan SARA. Hal ini memberi tanda dan peringatan bahwa kesatuan dan

persatuan bangsa Indonesia benar-benar telah terancam. Pendapat tersebut

menunjukkan bahwa pengajaran sejarah kebudayaan Indonesia yang merupakan

salah satu cara penanaman kesadaran kebangsaan belum berhasil dengan baik. Hal

ini perlu peningkatan baik strategi, metode maupun sumber belajar yang tepat

dalam pengajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan oleh dosen dalam menghadapi

tantangan tersebut adalah pembelajaran yang memberikan pengalaman langsung

kepada kehidupan mahasiswa secara nyata di sekitar lingkungannya. Untuk dapat

memberikan pengalaman nyata, dapat diterapkan pembelajaran yang bersifat

kontekstual dengan metode CTL (Constekstual Learning and Teaching).

Penerapan pembelajaran sejarah yang bersifat kontekstual dapat menghilangkan

kesan bahwa pelajaran sejarah adalah pelajaran yang menghapal dan berpusat

pada guru (Teacher Centered) tetapi guru adalah sebagai fasilitator bukan satu-

satunya sumber belajar yang mampu memberikan informasi kepada mahasiswa.

xxii

Terkait dengan sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia di Jurusan

Pendidikan Sejarah Fakultas Ilmu Sosial Undiksha ditemukan permasalahan

sumber belajar masih terbatas pada dosen dan buku-buku sejarah kebudayaan.

Padahal sumber belajar bukan hanya orang atau narasumber dan bahan cetak

(printed material) tetapi juga tempat atau lingkungan sosial berkaitan dengan

interaksi manusia dalam kehidupan masyarakat seperti subak Pancoran. Dengan

demikian, pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar dapat menambah

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia. Nana Sujana (2001: 212)

mengatakan bahwa lingkungan sosial yang dimaksud adalah organisasi sosial,

adat dan kebiasaan, mata pencaharian, kebutuhan pendidikan, kependudukan,

struktur pemerintahan, agama dan sistem nilai.

Dengan latar belakang itulah maka perlunya dilakukan suatu penelitian

yang berhubungan dengan pemanfaatan subak Pancoran yang berada di

Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng yang berhubungan dengan

pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia khususnya di Jurusan Pendidikan

Sejarah, Fakultas Ilmu Sosia, Undiksha sebagai sumber belajar.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalah-permasalahan yang dikemukakan

di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Bagaimana pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak

Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat?

xxiii

2. Bagaimana dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?

3. Kendala-kendala apa saja yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak

Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan

menjelaskan tentang Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas

Pendidikan Ganesha.

2. Secara Khusus

Adapun yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk

mendeskripsikan dan menjelaskan:

a. Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab Subak Pancoran

dalam menciptakan kerukunan umat.

b. Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai sumber

belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

c. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

xxiv

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Secara teoretis manfaat penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan positif bagi pengembangan dan pengetahuan pada umumnya, dan

khususnya pengembangan teori yang berkaitan dengan sumber belajar sejarah

kebudayaan di Perguruan Tinggi.

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi Jurusan Pendidikan Sejarah

Dapat digunakan untuk menambah sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia.

b. Bagi Dosen

Pemanfaatan subak Pancoran dapat dijadikan alternatif pembelajaran

sejarah yang lebih menarik dan mendorong dosen lebih meningkatkan

keperdulian terhadap lingkungan di luar kampus sebagai sumber belajar

sejarah kebudayaan Indonesia.

c. Bagi Mahasiswa

Dengan pemanfaatan subak Pancoran dapat memberikan pengalaman

belajar secara nyata dengan cara menggali informasi tentang fungsi,

manfaat, dan nilai guna dari subak Pancoran sebagai sumber belajar

sejarah kebudayaan Indonesia.

xxv

BAB II

KAJIAN TEORI DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Teori

1. Lembaga Sosial Budaya

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat lingkungan

sosial. Lingkungan sosial adalah suatu bagian dari lingkungan hidup yang terdiri

atas antar hubungan individu dan kelompok, adanya pola-pola organisasi serta

segala aspek yang ada dalam masyarakat. Wujud lingkungan sosial tersebut

berupa kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial, salah satu

contohnya adalah lembaga subak yang ada di Bali.

Kesatuan-kesatuan sosial atau kelompok-kelompok sosial tersebut

mempunyai aturan-aturan yang berbeda satu dengan lainnya dan harus ditaati oleh

anggota kelompok-kelompok sosial tersebut (Parsudi Suparlan, 1986 : 89).

Dadang Supardan (2008 : 125) mengatakan bahwa suatu sistem sosial selalu di

bawah kontrol nilai dan norma budaya sehingga sistem sosial tersebut cenderung

bergerak kearah equilibrium yang bersifat dinamis. Nilai adalah sesuatu yang

dipandang berharga oleh orang atau kelompok, serta dijadikan acuan tindakan

maupun arah hidup. Nilai tersebut ditumbuhkan dan dibatinkan lewat kebudayaan

yang dihayati sebagai jagat simbol. Talcott parson dalam Veeger (1993 : 199)

menganalisis bahwa terciptanya keteraturan dalam suatu lembaga atau sistem

sosial disebabkan oleh adanya nilai-nilai yang dibagi bersama yang dilembagakan

menjadi norma-norma sosial, dibatinkan oleh individu-individu menjadi motivasi-

xxvi

motivasi. Hal ini sejalan dengan teori-teori fungsional melihat masyarakat dan

lembaga-lembaga sosial yang ada sebagai suatu sistem di mana bagian satu dan

bagian yang lain saling tergantung dan bekerjasama menciptakan keseimbangan

(Zamroni, 1992 : 32). Mudji Sutrisno (2008:67) mengatakan bahwa dalam

budaya agraris, kolektivitas menjadi perekat kebersamaan yang diwujudkan dalam

saling menolong dan saling menopang, sehingga tercipta hubungan yang harmonis

dengan alam dan dengan sesama agar kerukunan hidup bisa terus berlangsung.

Di samping nilai dan norma yang mendukung ajegnya lembaga sosial,

,masyarakat sebagai pilar pendukung tidak bisa diabaikan. Durhkeim dalam

Supriyono (2005:87) mempersepsi masyarakat sebagai satu kesatuan yang

dirangkai secara internal oleh the scred, klasifikasi, ritus, ikatan solidaritas. The

scred berarti nilai-nilai yang disakralkan atau yang disucikan berupa simbol

utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat. Sistem

klasifikasi bekerja dalam kesadaran moral dan emosional masyarakat dengan

menunjukkan apakah seseorang bermoral atau kurang bermoral, masuk kelompok

benar atau sesat karena tidak mengemban nilai-nilai kolektif dan normatif. Ritus

adalah suatu usaha untuk menjaga kesucian nilai suatu komunitas dengan

mengadakan perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam

masyarakat. Sedangkan solidaritas merupakan faktor yang mempersatukan

masyarakat yang mempunyai latar belakang yang berbeda (Supriyono, 2008:89).

Usman Pelly (1994 : 31) mendefinisikan masyarakat pada hakikatnya

adalah salah satu wujud dari kesatuan hidup manusia yang di dalamnya

mempunyai ciri-ciri : terjadi interaksi, ada ikatan pada tingkah laku khas di dalam

xxvii

sektor kehidupan yang mantap dan kontinu, adanya rasa identitas terhadap

kelompok di mana manusia itu menjadi bagiannya. Lembaga-lembaga sosial

budaya maupun masyarakat tidak selalu dalam keadaan yang konsensual,

integratif dan statis, padahal menurut Dahrendorf (1984:78) masyarakat selalu

bermuka dua, yaitu konsensus dan konflik. Secara lebih spesifik Dahrendorf

(1984:79) mengemukakan ciri-ciri konflik dalam organisasi sosial di antaranya

sebagai berikut: (a) sistem sosial senantiasa berada dalam keadaan konflik, (b)

konflik-konflik tersebut disebabkan adanya kepentingan-kepentingan yang

bertentangan yang tidak dapat dicegah dalam struktur sosial masyarakat, (c)

kepentingan-kepentingan itu cenderung berpolarisasi dalam dua kelompok yang

saling bertentangan, (d) perubahan sosial merupakan akibat-akibat konflik yang

tidak dapat dicegah pada berbagai tipe pola-pola yang telah melembaga.

Dengan demikian apabila ingin menjelaskan suatu konflik yang

sesungguhnya, harus didiskusikan kondisi-kondisi nyata yang menghasilkan

konflik tersebut. Usman Pelly (1994:65) menunjukkan bahwa konflik bisa dilihat

sebagai cara untuk mempertahankan stabilitas, bahkan terjadinya konflik sosial

bisa dilihat sebagai hal yang memiliki akibat pemersatu yang vital melalui

pelepasan ketegangan dan membentuk rantai penyesuaian diri.

Bawa Atmadja (2004:5) mengatakan bahwa sumber konflik bisa dipilah

dengan mengikuti komponen-komponen sistem sosiokultural, yakni infrastruktur

material, struktur sosial, dan superstruktur ideologi. Dalam subak sumber konflik

yang berwujud infrastruktur material misalnya perebutan sumber air, pencurian

air, perusakan tanaman, perusakan pematang sawah oleh anggota subak maupun

xxviii

yang dilakukan oleh hewan peliharaan (Pitana, 1992:25). Sedangkan sumber

konflik pada komponen struktur sosial pada subak pluralistik, tampak bahwa

setiap etnik selalu mengembangkan identitasnya dengan cara menjungjung tinggi

kebudayaan yang mereka miliki untuk membedakan antara kita dan mereka, atau

orang dalam dan orang luar. Jika pengembangan identitas etnik diwarnai

etnosentrisme, maka jarak sosial antara etnik yang satu dengan yang lainnya akan

melebar, komunikasi antarbudaya menjadi terbatas, sehingga peluang bagi

timbulnya kesalahpahaman yang menjurus pada timbulnya konflik besar. Dalam

suatu konflik, serangan terhadap individu bisa diartikan sebagai serangan terhadap

etnik secara keseluruhan.

Sumber konflik pada komponen superstruktur ideologi pada etnik Bali

maupun non Bali berisi gagasan, ide, pengetahuan yang mereka miliki.

Kesemuanya itu tidak semata-mata berfungsi sebagai peta kognisi dalam rangka

memaknai sesuatu, tetapi sebagai resep bertindak pada tataran struktur sosial

(Geertz, 1998:72). Berkenaan dengan itu, perbedaan agama, misalnya dapat

menimbulkan pemaknaan mengenai sesuatu sebagaimana tercermin pada perilaku

mereka dalam kehidupan bermasyarakat. Perbedaan konsep-konsep keagamaan

yang dianut oleh etnik-etnik yang hidup dalam suatu wilayah desa pakraman

termasuk di dalamnya subak jarang didialogkan secara kognitif maupun praksis,

akibatnya timbul kesenjangan informasi yang memberi peluang terjadinya konflik.

Misalnya di pura subak banyak dijumpai patung, karena pemahaman tentang

fungsi patung pada etnis non Bali kurang, maka tidak heran orang Bali dilabeli

dengan sebutan pemuja berhala. Pemaknaan yang demikian mudah menimbulkan

xxix

konflik apalagi disertai dengan sikap monopoli kebenaran (Bawa Atmaja, 2004:6).

Proses sosial dalam lembaga sosial budaya yang anggotanya multietnik memberi

peluang adanya dua kemungkinan, yaitu konflik dan atau integrasi. Konflik bisa

bersifat laten (covert) atau terbuka (over). Pemicu konflik bisa dari seorang

provokator atau karena terjadi kebuntuan dialog di antara komponen konflik.

Sedangkan integrasi multikultural dapat berbentuk akomodatif, kooperatif, toleran

dan koordinatif, peminjaman budaya selektif dengan penuh kesadaran agar terjadi

integrasi sosial secara damai.

Agama sebagai resep bertindak digunakan pula sebagai identitas etnik.

Orang Bali memakai Agama Hindu sebagai identitas etniknya. Sebaliknya, orang

non Bali kebanyakan beragama Islam memakai Agama Islam sebagai identitas

etniknya. Gejala ini menimbulkan implikasi bahwa setiap konflik dapat berubah

dari konflik tertutup menjadi konflik terbuka. Konflik yang berbau agama tidak

saja sulit dipecahkan, tetapi juga dengan mudah terjerumus pada konflik dengan

kekerasan yang mengatasnamakan agama. Supaya gambaran seperti di atas tidak

terjadi, maka diperlukan suatu pengendalian sosial. Menurut Koentjaraningrat

(1990:217) pengendalian sosial dilakukan untuk menghindari perpecahan,

keretakan, atau kehancuran suatu masyarakat. Miall (2000:81) menyebutkan

bahwa penyelesaian konflik umumnya mengambil bentuk: penciptaan katup

pengaman, mengisolasi kelompok kepentingan, transformasi konflik, dominasi

dan hegemoni, negosiasi, mediasi, dan berbentuk rekonsiliasi.

Secara teoretik ada beberapa penyebab terjadinya integrasi pada lembaga

sosial budaya yang perlu dikelola agar dapat menjadi kekuatan, di antaranya

xxx

adanya kesepakatan sistem budaya fundamental koordinatif, dalam hal ini

Pancasila merupakan kekuatan pengikat; adanya kebudayaan dominan; kuantitas

sosio-demografis. Selain itu dibutuhkan adanya kelompok sosial yang menyilang

dan memotong dan penciptaan budaya komplementer yang saling melengkapi.

Beberapa fakta sosial itu perlu diupayakan secara bersama-sama dan terus-

menerus agar kerukunan antarsegmen bangsa itu terjadi (Pageh, 2009 : 19)

Dalam perkembangannya organisasi/lembaga-lembaga sosial

dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai upaya rekayasa sosial. Hal ini dilakukan

untuk proses enkulturasi (pembudayaan) nilai-nilai budaya baru terkait dengan

teknologi ke dalam batang tubuh budaya. Keadaan ini dapat dijumpai di Bali

dengan memanfaatkan organisasi/lembaga sosial seperti subak/banjar dalam

bidang pertanian dan pengaturan irigasi. Nagari di Sumatera Barat dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah/desa (Usman Pelly, 1994:121).

Dalam masyarakat Bali terdapat lembaga-lembaga sosial tradisional

sebagai simpul-simpul budaya Bali, antara lain : subak, desa pakraman, banjar

adat. Di samping itu berkembang pula kelompok-kelompok kepentingan lain

dalam wujud yang lebih kecil, baik dalam lingkup kepentingan, cakupan wilayah,

maupun jumlah anggota, yang disebut seka. Kadang-kadang seka merupakan

bagian dari organisasi banjar atau desa yang ada, namun tidak jarang pula seka-

seka tersebut terlepas dari ikatan banjar atau desa (Sudhana Astika, 1994:111).

2. Peran dan Tanggung Jawab Organisasi Sosial Budaya

Sebagai suatu organisasi sosial budaya, subak merupakan suatu sistem

yang memiliki struktur dan fungsi, anggota-anggotanya saling berinteraksi dan

xxxi

satu sama lain. Adanya interaksi para anggota akan melaksanakan penyesuian

sehingga mereka senantiasa berada pada keseimbangan. Untuk menjaga

keseimbangan hidup suatu masyarakat, maka tatanan sosial yang ada harus tetap

berlaku dari generasi demi generasi. Oleh karenanya, sistem tatanan sosial yang

ada perlu ditanamkan pada setiap individu anggota masyarakat. Dengan kata lain,

setiap anggota masyarakat perlu melaksanakan sosialisasi sistem sosial yang

dimiliki. Proses sosialisasi ini bertujuan untuk mengintegrasikan sistem personal

dan sistem kultural ke dalam sistem sosial. Dengan demikian akan terdapat

komitmen dari para individu kepada tatanan, nilai-nilai dan norma-norma yang

berlaku dalam masyarakat (Zamroni, 1992:28). Menurut Parson dalam Veeger

(1993:199), mekanisme sosialisasi merupakan alat dan pola kultural, seperti nilai-

nilai, kepercayaan, bahasa, simbol yang ditanamkan pada sistem personal. Dengan

proses ini maka anggota masyarakat akan menerima dan memiliki komitmen

terhadap norma-norma yang ada.

Untuk mewujudkan hal tersebut, maka lembaga-lembaga sosial budaya

sebagai sebuah sistem sosial harus memiliki mekanisme kontrol (kontrol sosial),

sehingga perbedaan-perbedaan dan ketegangan-ketegangan yang ada di dalamnya

dapat ditekan. Mekanisme kontrol tersebut meliputi, antara lain: (a) pelembagaan,

(b) sanksi-sanksi, (c) aktivitas ritual, (d) penyelamatan pada keadaan yang kritis

dan tidak normal, (e) pengintegrasian kembali agar keseimbangan dapat dicapai

kembali, dan (f) pelembagaan kekuasaan untuk melaksanakan tatanan sosial

(Zamroni, 1992:29).

xxxii

Kata kontrol sosial berasal dari kata social control atau sistem

pengendalian sosial, adalah suatu tindakan seseorang/kelompok yang dilakukan

melalui proses terencana maupun tidak dengan tujuan mendidik, mengajak

(paksaan atau tidak) untuk mematuhi kaidah dan sistem nilai sosial tertentu yang

dianggap benar pada saat itu.Tujuan pengendalian sosial tersebut tidak lain adalah

menciptakan keharmonisan, maka suatu masyarakat tentu perlu mengembangkan

suatu sarana, yaitu pola kendali dalam bentuk norma dan nilai, idiom-idiom yang

mereka miliki, maka untuk mencegah seseorang agar tidak bersifat konfrontatif

atau tidak suka berpetualang dengan konflik.

Masyarakat Bali telah mengembangkan sima, awig-awig, dan juga

berbagai idiom untuk mewujudkan keharmonisan, tentu tidaklah berarti

keharmonisan dengan sendirinya terwujud, karena itu diperlukan pula kontrol

sosial, bahkan hal ini sangat penting, sebab menurut Berger (1987:242) “tidak ada

suatu masyarakat eksis tanpa adanya kontrol sosial”. Dalam hubungan ini subak

juga lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain memiliki pula mekanisme

kontrol sosial secara preventif maupun represif, lengkap dengan berbagai

sanksinya, baik yang bersifat formal maupun informal.

Selain dengan kontrol sosial, pemupukan modal sosial juga penting

terhadap peran dan tanggung jawab lembaga sosial budaya. Dengan ngacu kepada

Habullah (2006) dapat diketahui unsur-unsur modal sosial antara lain partisipasi

dalam jaringan sosial, resiprositas, rasa saling mempercayai, nilai-nilai dan norma,

dan tindakan proaktif. Sedangkan Badarrudin (2005:31) menyatakan, bahwa

modal sosial mencakup unsur-unsur sebagai berikut.

xxxiii

(1) saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness), sikap egaliter (egalitarianism), toleran (tolerance) dan kemurahan hati (generosity); (2) jaringan sosial (network), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (collaboration/cooperation), dan keadilan (equality)’ (3) pranata (institutions) yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan aturan-aturan.

Gagasan Badaruddin (2005:40) secara substansial, memang tidak jauh berbeda

daripada unsur-unsur modal sosial yang dikemukakan oleh Hasbullah (2006:62).

Walaupan tidak jauh berbeda, namun ada kemanfaatan yang didapat dari gagasan

yang dipaparkan Badaruddin, yakni memberikan rincian yang lebih memadai

tentang isi modal. Gagasan seperti ini sangat membantu dalam melihat bentuk-

bentuk modal pada komonitas yang dikaji, yakni desa-desa pada Kawasan

Pariwisata Ubud. Selain itu Hasbullah (2006:71) membedakan pula dua jenis

modal sosial berdasarkan dimensi dan tipologinya, yakni modal sosial terikat

(bonding social capital) dan modal sosial yang menjembatani (bridging social

capital).

Kedua bentuk modal sosial ini sangat penting, karena ikut menentukan

pengaktualisasian modal sosial dalam suatu masyarakat, terutama ketika mereka

berhadapan dengan pihak luar maupun merespon pengaruh dari luar yang masuk

ke dalam suatu komunitas. Modal sosial tidak berdiri sendiri atau ada dengan

sendirinya, melainkan memerlukan suatu wadah, yakni organisasi, lembaga,

sistem sosial maupun komonitas. Sistem sosial merupakan basis bagi

penumbuhkembangan modal sosial (Hasbullah, 2006:76). Dalam kehidupan suatu

sistem sosial, dia terikat pada adanya manusia sebagai anggotanya, ruang atau

xxxiv

lingkungan sebagai arena sosialnya, dan sumber daya ekonomi dan materi guna

memenuhi kebutuhan hidupnya

3. Sumber Belajar

a. Pengertian Sumber Belajar

Sumber belajar (learning resources) adalah semua sumber baik berupa

data, orang dan wujud tertentu yang dapat digunakan oleh peserta didik dalam

belajar, baik secara terpisah maupun secara terkombinasi sehingga mempermudah

peserta didik dalam mencapai tujuan belajar atau mencapai kompetensi tertentu

(http://id.wordpress.com/tag/blog-pendidikan/, diunduh tanggal: 15-4-2009),

untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan inovasi di dalam mengajar sejarah

(Nichol, 1984 : 62).

Sumber belajar adalah segala daya yang dapat dimanfaatkan guna

memberi kemudahan kepada seseorang dalam belajarnya (Sudjana, 2001:77).

Sumber belajar juga terdapat di berbagai tempat, yang berwujud manusia maupun

bukan manusia seperti lingkungan, sarana dan fasilitas serta pesan dan aktivitas

yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi kegiatan

belajar mengajar (Hartono Kasmadi, 1981 : 11). Jadi sumber belajar mengandung

pengertian yang sangat luas, karena segala sesuatu yang ada di lingkungan sekita

kita dapat difungsikan sebagai sumber belajar demi tercapainya proses belajar

mengajar yang baik dan berlangsung seumur hidup.

Dalam pembelajaran konvensional, sering guru menentukan buku teks

sebagai satu-satunya sumber materi pelajaran, padahal buku pelajaran bukan satu-

xxxv

satunya sumber bahan pelajaran. Menurut Wina Sanjaya (2008: 146) hal ini

disebabkan beberapa alasan berikut ini:

1. Dewasa ini ilmu pengetahuan berkembang sangat cepat, sehingga kalau guru

dan siswa hanya mengandalkan buku teks sebagai sumber pembelajaran, bisa

terjadi materi yang dipelajarinya itu akan cepat usang.

2. Kemajuan teknologi informasi, memungkinkan materi pelajaran tidak hanya

disimpan dalam teks saja, akan tetapi disimpan dalam berbagai bentuk

teknologi yang lebih efektif dan efisien, misalnya dalam bentuk CD, Kaset,

dan lain sebagainya.

3. Tuntutan kurikulum, seperti Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),

menuntut siswa agar tidak hanya sekadar menguasai informasi teoretis, akan

tetapi berbagai informasi tersebut dapat dikembangkan sesuai dengan

kebutuhan daerah dan lingkungan di mana siswa tinggal.

b. Jenis-jenis Sumber Belajar

Lebih lanjut Wina Sanjaya (2008: 147) membagi sumber belajar yang

dapat dimanfaatkan untuk proses pembelajaran, sebagai berikut:

1. Tempat atau lingkungan

Lingkungan merupakan sumber belajar yang sangat kaya sesuai dengan

tuntutan kurikulum. Ada dua bentuk lingkungan belajar, yakni (1) lingkungan

atau tempat yang sengaja didesain untuk belajar siswa seperti laboratorium,

perpustakaan, ruang internet dan lain sebagainya. (2) lingkungan yang tidak

didesain untuk proses pembelajaran akan tetapi keberadaannya dapat

xxxvi

dimanfaatkan, misalnya halaman sekolah, taman sekolah, kantin, kamar

mandi, dan lain sebagainya.

2. Orang atau narasumber

Pengetahuan itu tidak statis, tetapi bersifat dinamis, yang terus berkembang

sangat cepat. Oleh karena perkembangan yang cepat itu, kadang-kadang apa

yang disajikan dalam buku teks tidak lagi sesuai dengan perkembangan ilmu

pengetahuan mutahir, sehingga guru dituntut kreativitasnya mempelajari

konsep-konsep baru, dengan cara menggunakan orang-orang yang lebih

menguasai persoalan misalnya dengan mengundang dokter, polisi, dan lain

sebagainya sebagai sumber bahan belajar.

3. Objek

Objek yang sebenarnya merupakan sumber informasi yang akan membawa

siswa pada pemahaman yang lebih sempurna tentang sesuatu. Mempelajari

bahan pelajaran dari benda yang sebenarnya bukan hanya dapat menghindari

kesalahan persepsi tentang isi pelajaran, akan tetapi juga dapat membuat

pelajaran lebih akurat di samping motivasi belajar siswa akan lebih baik.

4. Bahan cetak dan noncetak

Bahan cetak (printed material) adalah berbagai informasi sebagai materi

pelajaran yang disimpan dalam berbagai bentuk tercetak seperti buku,

majalah, koran, dan lain sebagainya. Sedangkan bahan belajar noncetak adalah

informasi sebagai materi pelajaran, yang disimpan dalam berbagai bentuk alat

komunikasi elektronik yang biasanya berfungsi sebagai media pembelajaran

misalnya dalam bentuk kaset, video, komputer, CD, dan lain sebagainya.

xxxvii

Menurut Nana Sudjana (2001:79) dalam pengembangan sumber belajar

terdiri dari dua macam yaitu: (1) Sumber belajar yang dirancang/secara sengaja

dibuat atau dipergunakan untuk membantu belajar mengajar (learning resources

by design). Misalnya: buku, brosur, ensiklopedi, film, video, tape, slides, film,

strips, OHP; (2) Sumber belajar yang dimanfaatkan guna memberi kemudahan

kepada seseorang dalam belajar, yaitu berupa segala macam sumber belajar yang

ada di sekeliling kita (learning resources by utilization). Misalnya paspor, toko,

museum, tokoh masyarakat, gedung lembaga negara dan lain-lain. Sumber belajar

yang dimanfaatkan ini tidak direncanakan atau tanpa dipersiapkan terlebih dahulu,

tetapi langsung dipakai guna kepentingan pengajaran atau diambil langsung dari

dunia nyata.

Kedua sumber belajar itu sama efektifnya, bergantung pada bagaimana

pemanfaatannya dalam proses belajar mengajar. Pada dasarnya setiap bahan atau

materi pelajaran yang disampaikan dalam pengajaran menuntut penggunaan

sumber belajar tertentu yang cocok dan memadai. Sumber-sumber belajar ini

dikembangkan dan dimanfaatkan oleh pengajar (dosen) agar tercipta lingkungan

belajar yang mendukung pencapaian tujuan yang lebih efektif.

Menurut Nana Sujana (2001: 212) jenis sumber belajar dibedakan

menjadi 3 (tiga), yaitu: (1) Lingkungan sosial berkaitan dengan interaksi manusia

dengan kehidupan masyarakat, seperti organisasi sosial, adat dan kebiasaan, mata

pencaharian, kebutuhan pendidikan, kependudukan, struktur pemerintahan, agama

dan sistem nilai. Lingkungan sosial merupakan bagian yang tepat untuk

mempelajari ilmu sosial ( Humaniora); (2) Lingkungan alam yaitu lingkungan

xxxviii

yang berkenaan dengan segala sesuatu yang sifatnya alamiah seperti sawah,

danau, sungai, gunung dan lain-lainnya; (3) Lingkungan buatan yaitu lingkungan

yang secara sengaja diciptakan manusia/dibangun dengan tujuan tertentu yang

bermanfaat bagi kehidupan.

c. Fungsi Sumber Belajar

Mulyasa ( 2005: 49-50) menjabarkan fungsi sumber belajar adalah

sebagai berikut :

1. Merupakan pembuka jalan dan pengembangan wawasan terhadap proses

belajar mengajar yang akan ditempuh. Disini sumber belajar merupakan

peta dasar yang perlu dijajagi secara umum agar wawasan terhadap proses

pembelajaran yang akan dikembangkan dapat diperoleh lebih awal.

2. Merupakan pemandu secara teknik dan langkah-langkah operasional untuk

menelusuri secara lebih teliti menuju pada penguasaan keilmuan secara

tuntas.

3. Memberikan berbagai macam ilustrasi dan contoh-contoh yang berkaitan

dengan aspek-aspek bidang keilmuan yang dipelajari.

4. Memberikan petunjuk dan gambaran kaitan bidang keilmuan yang sedang

dipelajari dengan berbagai bidang keilmuan lainnya.

5. Menginformasikan sejumlah penemuan baru yang pernah diperoleh orang

lain yang berhubungan dengan bidang keilmuan tertentu.

6. Menunjukkan berbagai permasalahan yang timbul yang merupakan

konsekuensi logis dalam suatu bidang keilmuan yang menuntut adanya

xxxix

kamampuan pemecahan dari orang-orang yang mengabdikan diri dalam

bidang tersebut.

Sumber belajar merupakan suatu sistem yang terdiri dari sekumpulan

bahan atau situasi yang memungkinkan siswa belajar secara individual ( Pereival

& Ellington.1988:125 ). Agar sesuatu dapat berfungsi sebagi sumber belajar ada

tiga syarat, yaitu : (1) Dapat tersedianya secara cepat; (2) Memungkinkan siswa

untuk memacu diri; (3) Bersifat individual, dapat memenuhi berbagai kebutuhan

para siswa dalam belajar mandiri.

Menurut Hanafi (dikutif Karwono, 2006 :4) fungsi sumber belajar adalah:

1. Meningkatkan produktivitas pendidikan, yaitu dengan jalan: (a)

mempercepat laju belajar dan membantu guru untuk menggunakan waktu

secara lebih baik, (b) mengurangi beban guru dalam menyajikan informasi,

sehingga dapat lebih banyak membina dan mengembangkan gairah peserta

didik.

2. Memberikan kemungkinan pendidikan yang sifatnya lebih individual

dengan jalan: (a) mengurangi kontrol guru yang kaku dan tradisional, (b)

memberikan kesempatan kepada anak didik untuk belajar sesuai dengan

kemampuannya.

3. Memberikan dasar yang lebih ilmiah terhadap pembelajaran dengan jalan:

(a) perencanaan program pembelajaran yang lebih sistematis, (b)

pengembangan bahan pelajaran yang didasari dengan penelitian.

xl

4. Lebih memantapkan pembelajaran dengan jalan: (a) meningkatkan

kemampuan manusia dalam penggunaan berbagai media komunikasi, (b)

penyajian data dan informasi secara lebih konkrit.

5. Memungkinkan belajar secara seketika, karena: (a) mengurangi jurang

pemisah antara pelajaran yang bersifat verbal dan abstrak dengan realitas

yang sifatnya, (b) memberikan pengetahuan yang bersifat langsung.

6. Memungkinkan penyajian pendidikan yang lebih luas, terutama dengan

adanya media massa, dengan jalan: (a) pemanfaatan secara bersama lebih

luas tenaga atau kejadian yang langka, (b) penyajian informasi yang

mampu menembus geografis.

d. Pemanfaatan Sumber Belajar

Pemanfaatan lingkungan dapat ditempuh dengan cara melakukan kegiatan

dengan membawa peserta didik ke lingkungan, seperti survey, karyawisata,

berkemah, praktek lapangan dan sebagainya. Bahkan belakangan ini berkembang

kegiatan pembelajaran dengan apa yang disebut out-bond, yang pada dasarnya

merupakan proses pembelajaran dengan menggunakan alam terbuka. Di samping

itu pemanfaatan lingkungan dapat dilakukan dengan cara membawa lingkungan

ke dalam kelas, seperti : menghadirkan nara sumber untuk menyampaikan materi

di dalam kelas. Agar penggunaan lingkungan sebagai sumber belajar berjalan

efektif, maka perlu dilakukan perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi serta tindak

lanjutnya.

xli

Di dalam memanfaatkan sumber belajar, agar dapat berfungsi secara

efektif dan efisien, perlu untuk memilih secara cermat. Menurut Nana Sudjana

(2001: 84-86) memilih sumber belajar harus didasarkan pada kriteria tertentu yang

secara umum terdiri dari dua macam ukuran, yaitu kriteria umum dan kriteria

berdasarkan tujuan yang hendak dicapai. Kriteria umum misalnya: (a) ekonomis

dalam pengertian murah, (b) praktis dan sederhana artinya tidak memerlukan

pelayanan serta pengadaan yang sulit, (c) mudah diperoleh, (d) bersifat fleksibel

artinya bisa dimanfaatkan untuk berbagai tujuan, (e) komponen-komponennya

sesuai tujuan, ini merupakan kriteria yang sangat penting. Sedangkan kriteria yang

berdasarkan tujuan antara lain: (a) sumber belajar guna memotivasi terutama

untuk siswa yang lebih rendah tingkatannya, agar dapat memotivasi mereka, (b)

sumber belajar untuk tujuan pengajaran yaitu untuk mendukung kegiatan belajar

mengajar, (c) sumber belajar untuk penelitian, (d) sumber belajar untuk

memecahkan masalah (e) sumber belajar untuk presentasi. Menurut Masnur

Muslich (2008: 89) sumber-sumber belajar tersebut perlu pengelolaan dengan

mempertimbangkan tujuan/kompetensi, memudahkan pemahaman peserta didik,

dapat dideskripsikan secara spesifik dan sesuai dengan materi pembelajaran,

sesuai dengan tingkat perkembangan kognitif, afektif, dan motorik siswa.

Fungsi-fungsi di atas sekaligus menggambarkan tentang alasan dan arti

penting sumber belajar untuk kepentingan proses dan pencapaian hasil

pembelajaran siswa. Sumber belajar yang dimanfaatkan (learning resources by

utilization), yaitu sumber belajar yang tidak didesain khusus untuk keperluan

pembelajaran dan keberadaannya dapat ditemukan, diterapkan dan dimanfaatkan

xlii

untuk keperluan pembelajaran. Sumber belajar by utilization seperti lingkungan:

ruang kelas, studio, perpustakaan, aula, teman, kebun, pasar, toko, museum,

kantor dan sebagainya harus dapat dimanfaatkan oleh guru sehingga materi yang

disampaikan dapat cepat diserap siswa (http://purwanto.web.id/?p=89, diunduh

tanggal: 21-4-2009). Senada dengan pendapat di atas, Mulyasa (2008 : 157)

menyatakan pendayagunaan lingkungan sebagai sumber belajar menuntut

peningkatan pengetahuan guru dan didorong terus untuk menjadi guru yang

kreatif dan profesional, terutama dalam pengadaan serta pendayagunaan fasilitas

dan sumber belajar secara luas, untuk mengembangkan kemampuan peserta didik

secara optimal

Menurut Lapian (1980:3) sudah saatnya sejarah Indonesia ditulis dari

beberapa pusat pandangan, dan bila ditulis demikian maka sejarah nasional akan

tampil dalam suatu wajah yang berbeda dari yang dikenal. Apa yang dipetik dari

saran yang diberikan oleh Lapian ini kiranya sangat sejalan dengan sejarah sosial

hubungan antar-etnis yang dikemukakan di atas, yaitu mulai mendekonstruksi

studi sejarah Indonesia dalam rangka membangun kembali gambaran sejarah yang

lebih adil dan proporsional yang dimiliki kelompok-kelompok etnis yang ikut

membangun bangsa. Hal Ini sangat relevan dengan paradigma baru, dalam

memaknai semboyan Bhineka Tunggal Ika yang tidak selalu menekankan asas

ketunggalannya, tetapi menghargai semangat kemajemukannya sesuai dengan

pendekatan multikultural.

Sesuai dengan semangat di atas, sudah jelas perlu dibangun penggambaran

sejarah yang bernuansa pendekatan sosial budaya, yang intinya memuat gaya

xliii

pengisahan cerita sejarah yang lebih mencerminkan jaringan hubungan

pluralistikkultural. Dalam konteks ini apa yang dikemukakan oleh Taufik

Abdullah yang disebut dengan gaya romantik dalam pengisahan sejarah, yang

lebih menekankan adanya dan berkembangnya komunikasi budaya dari berbagai

kesatuan politik/etnis (Taufik Abdullah, 1996:13-14).

Bertolak dari pemikiran di atas, yang pertama perlu dikembangkan tidak

lain adanya upaya untuk menaruh fokus perhatian yang lebih besar pada

pensosialisasian gambaran sejarah yang lebih berorientasi pada potensi sejarah

kebudayaan/lokal kelompok etnis bersangkutan. Dengan demikian secara

metaforis bisa dikatakan gambar sejarah yang perlu dimunculkan di hadapan

mahasiswa bukan hanya sejarah dari puncak tugu Monas di Jakarta tetapi juga

dari pusat-pusat lingkaran mosaik warna-warni peristiwa sejarah

kebudayaan/lokal. Pemikiran yang demikian sesuai dengan hasil mukernas

pembelajaran sejarah tahun 2006 di Surabaya. Beberapa hasil mukernas yang

perlu digarisbawahi terkait dengan pembelajaran sejarah lokal, antara lain:

pertama, materi yang dikembangkan dalam pembelajaran sejarah harus memiliki

pendekatan multikultural. Muatan multikultural perlu diberikan kepada siswa

sesuai prinsip pengembangan kurikulum. Prinsip pengembangan berpusat pada

potensi, perkembangan, kebutuhan, serta kepentingan peserta didik dan

lingkungannya. Selain itu, secara realitas objektif, masyarakat Indonesia adalah

masyarakat plural, baik secara suku, agama, etnis, budaya.

(http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323103, diunduh: 15 April

2009). Menurut Bober, pendidikan multikultural pada tataran ideologis

xliv

mewujudkan pemerataan keadilan sosial dan menumbuhkan rasa hormat pada

perbedaan budaya serta memberikan informasi faktual tentang etnis dan

keanekaragaman budaya sekitarnya.

(http://edweb.sdsu.edu/courses/ed690SP05/Key1/BrooksExample.pdf, diunduh

tanggal: 2-5-2009)

4. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia

a. Materi Sejarah Kebudayaan Indonesia

Materi pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia mengacu pada tujuan

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia. Adapun tujuan pembelajaran

Sejarah Kebudayaan Indonesia adalah member pemahaman dan wawasan bagi

mahasiswa tentang perkembangan kehidupan masa lampau dari segi hasil karya

budayanya, yaitu sejarah kebudayaan Indonesia dimulai dari masa pra sejarah,

pengaruh budaya Hindu-Budha, pengaruh budaya Islam dan budaya barat. Dengan

demikian diharapkan mahasiswa mampu menghargai sejarah budaya bangsanya

dan menimbulkan rasa kesadaran budaya (Arianti, 2003:18). Pendapat tersebut

dipertegas oleh Asmito (1992:vii) bahwa sejarah kebudayaan Indonesia bertujuan

memperoleh gambaran pertumbuhan kebudayaan Indonesia. Soekmono (1992 : 7)

mengatakan bahwa masing-masing babakan waktu dalam sejarah kebudayaan

Indonesia mempunyai coraknya sendiri-sendiri dan mewakili alam pikiran serta

penghidupan budaya yang berbeda-beda.

Senada dengan pendapat di atas, Sartono Kartodirdjo (1992:96)

menyatakan bahwa seorang yang mempelajari sejarah kebudayaan akan mampu

xlv

memahami kehidupan manusia secara menyeluruh dan akan mampu memberikan

masukan bagi munculnya pemikiran inovatif. Pendapat Sartono Kartodirdjo

tersebut diperkuat dengan pendapat Sidi Gazalba (1981:92), Louis Gottschalk

(1986:45), Mohamad Ali (2005:358) yang menjelaskan bahwa seseorang yang

belajar sejarah kebudayaan akan mampu menghargai peradaban manusia secara

utuh tanpa terkotak-kotak oleh paham-paham yang sempit. Soewardji Sjafei (1986

: 99) menjelaskan bahwa dalam sejarah kebudayaan akan dilihat peran local

genius atau basic personality sebagai filter dalam menerima pengaruh kebudayaan

asing.

Ruang lingkup sejarah kebudayaan sangat luas. Semua bentuk manifestasi

keberadaan manusia berupa bukti atau saksi seperti artifact (fakta sejarah),

mentifact (faktor mental kejiwaan), dan sociofact (fakta atau hubungan sosial)

termasuk dalam kebudayaan. Semua perwujudan berupa struktur dan proses

kegiatan manusia menurut dimensi ideasional, etis, dan estetis adalah kebudayaan

(Sartono Kartodirdjo, 1992 : 17).

Sejarah kebudayaan Indonesia dulu pernah diartikan sempit, yaitu yang

berhubungan dengan arkeologi, termasuk di dalamnya peninggalan-peninggalan

zaman kuno seperti dari masa prasejarah, Hindu-Budha, dan Islam yang berkaitan

dengan kepercayaan atau agama, seni sastra, seni bangunan, seni pahat. Sejarah

kebudayaan gaya baru mempunyai ruang yang cukup luas, termasuk di antaranya

ialah berbagai aspek gaya hidup, etika, etiket pergaulan, upacara adat, siklus

kehidupan, kehidupan dalam keluarga sehari-hari, pendidikan, permainan, olah

raga, mode, sampai pada jenis masakan (Sartono Kartodirdjo, 1992:195).

xlvi

Edi Sedyawati (2006:325) mengatakan bahwa suatu kajian sejarah

kebudayaan dapat menyoroti keseluruhan perkembangan kebudayaan di suatu

daerah atau negara, namun dapat juga secara khusus memberikan sorotan terhadap

salah satu aspek sejarah kebudayaan atau beberapa komponen kebudayaan.

Komponen suatu kebudayaan adalah apa yang disebut juga sebagai unsur

kebudayaan, seperti sistem kepercayaan, sistem pengetahuan, sistem

perekonomian, sistem kesenian, sistem komunikasi, sistem organisasi sosial.

Suatu gambaran sejarah kebudayaan yang menyeluruh akan memberikan paparan

mengenai perkembangan budaya dengan segala unsurnya itu.

Berbagai aspek dari sejarah kebudayaan yang dapat ditonjolkan misalnya

aspek perkembangan internal di dalam suatu masyarakat dengan menggunakan

teori-teori mengenai inovasi dan evolusi terkait dengan perkembangan internal itu.

Di samping itu juga hubungan pengaruh yang terjadi dengan pihak-pihak di luar

masyarakat yang diteliti dengan mempergunakan teori-teori mengenai difusi dan

akulturasi terkait dengan permasalahan aspek yang diteliti (Edi Sedyawati, 2006 :

237).

Penyusunan sejarah kebudayaan sangat bergantung pada data budaya dari

masa-masa lalu. Atas data tersebutlah dilakukan interpretasi. Data masa lalu itu

ada yang berupa benda, ada pula yang berupa teks, ataupun bekas-bekas

kehidupan non-benda seperti bekas parit, bekas lubang tiang. Di samping

tinggalan-tinggalan masa lampau yang bersifat hasil budaya, terdapat juga

tinggalan alamiah seperti bekas garis pantai kuno, bekas timbunan lava, dan lain-

lain yang dapat juga bermanfaat untuk penulisan sejarah kebudayaan, karena hal-

xlvii

hal tersebut memberikan data mengenai lingkungan atau keadaan alam tertentu

yang dapat mempunyai pengaruh berarti terhadap kebudayaan yang berasosiasi

dengannya. Jadi nilai Sejarah Kebudayaan Indonesia mencakup nilai-nilai pada

zaman prasejarah, Hindu-Budha, dan Islam, serta kebudayaan lokal atau daerah.

Nilai-nilai Sejarah Kebudayaan Indonesia tersebut perlu ditunjang oleh

kemampuan dosen dalam menunjang proses pembelajaran. Salah satu kemampuan

dasar dosen untuk menunjang keberhasilan tersebut adalah mengelola program

pembelajaran, dengan cara merumuskan tujuan pembelajaran, mengenal dan

menggunakan strategi termasuk penggunaan metode mengajar. Dalam mengenal

dan menggunakan metode mengajar dapat dilakukan dengan mempelajari macam-

macam metode mengajar dan berlatih menggunakan metode mengajar itu

(Soedomo Hadi, 2005 : 2). Peranan strategi serta metode dalam mengajar sejarah

sangat penting, hal ini dapat dipahami karena mengajar sejarah memerlukan

keterampilan yang istimewa, oleh karena itu diperlukan seorang guru yang

profesional (Widja, 1989 : 4)

Menurut Widja (1989:41-59) beberapa metode yang bisa digunakan dalam

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia di antaranya adalah: (1) Metode

diskusi, yang menekankan proses dua arah dalam kegiatan belajar mengajar

sehingga mendorong partisipatif aktif dari semua pihak yang terlibat dalam proses

belajar mengajar; (2) Metode pengajaran di luar kelas (out of class history

teaching), dalam metode ini semua aktivitas pembelajaran dilakukan di luar kelas

yang penekanannya dalam rangka penghayatan kesadaran sejarah dimana di

dalamnya ada tekanan pada pengembangan aspek-aspek inspiratif/edukatif,

xlviii

bahkan aspek rekreatif dari pembelajaran sejarah; (3) Metode sosiodrama, metode

ini pada dasarnya bertolak dari konsep role playing. Dalam aplikasinya

mahasiswa diharapkan bisa memerankan karakter dari pelaku-pelaku sejarah yang

dipelajari; (4) Metode Inquiri yang menekankan pengalaman-pengalaman belajar

yang mendorong siswa dapat menemukan konsep-konsep dan prinsip-prinsip

melalui proses mentalnya sendiri. Massylas dalam Widja (1989 : 48) menyatakan

metode ini secara keseluruhan mendorong siswa untuk menumbuhkan

keterampilan untuk meninjau lingkungannya secara lebih kritis, dan bisa sebagai

persiapan bagi partisipasinya dalam proses pembuatan keputusan sebagai warga

masyarakat. Widja (1989 : 49) menambahkan metode inquiri sangat mendukung

strategi mengajar sejarah lokal maupun sejarah kebudayaan, aplikasinya di

lapangan siswa diajak dan didorong untuk akti bekerja dan berhubungan dengan

sumber-sumber sejarah secara langsung, sehingga mereka dikatakan berhadapan

langsung dengan proses kerja sejarah meliputi: (a) heuristik, (b), kritik, (c)

interpretasi, (d) historiografi. Dengan demikian penggunaan metode inquiri dalam

pengajaran sejarah pada hakekatnya adalah praktek sejarah di sekolah, di mana

apabila metode ini berhasil dilaksanakan dengan baik berarti siswa telah mampu

mengembangkan keterampilan elementer bagi penulisan sejarah.

Menurut Wina Sanjaya (2009:147-162) beberapa metode pembelajaran

dalam standar proses pendidikan, yaitu: (1) Metode ceramah yang dapat diartikan

sebagai cara menyajikan pelajaran melalui penuturan secara lisan atau penjelasan

langsung pada sekelompok mahasiswa. Salah satu kelebihan dari metode ini

adalah metode ceramah dapat menyajikan materi pelajaran yang luas dan dapat

xlix

memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan: (2) Metode demonstrasi,

adalah metode penyajian pelajaran dengan memperagakan dan mempertunjukan

kepada siswa tentang suatu proses, situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya

atau sekadar tiruan. Sebagai metode penyajian, demonstrasi tidak terlepas dari

penjelasan secara lisan oleh guru. Walaupun dalam proses demonstrasi peran

mahasiswa hanya sekadar memerhatikan, akan tetapi demonstrasi dapat

menyajikan bahan pelajaran lebih konkret. Kelebihan dari metode demonstrasi

salah satunya adalah verbalisme akan dapat dihindari, sebab mahasiswa disuruh

langsung memperhatikan bahan pelajaran yang dijelaskan; (3) Metode diskusi,

adalah metode pembelajaran yang menghadapkan mahasiswa pada suatu

permasalahan. Tujuan utama metode ini adalah untuk memecahkan suatu

permasalahan, menjawab pertanyaan, menambah dan memahami pengetahuan

siswa, serta untuk membuat suatu keputusan. Karena itu, diskusi bukanlah debat

yang bersifat mengadu argumentasi tetapi bertukar pengalaman untuk menentukan

keputusan tertentu secara bersama-sama. Kelebihan metode diskusi adalah dapat

merangsang mahasiswa untuk lebih kreatif khusunya dalam memberikan gagasan

dan ide-ide; (4) Metode Simulasi, dapat diartikan cara penyajian pengalaman

belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk memahami tentang konsep,

prinsip, atau keterampilan tertentu. Simulasi dapat digunakan sebagai metode

mengajar dengan asumsi tidak semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara

langsung pada objek sebenarnya. Jenis-jenis simulasi adalah: (a) sosiodrama,

adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan masalah-masalah

yang berkaitan dengan fenomena sosial dan hubungan antarmanusia; (b)

l

psikodrama, adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang bertitik

tolak dari permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya

digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik

tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-

tekanan yang dialaminya. Salah satu kelebihan metode simulasi adalah dapat

dijadikan bekal bagi mahasiswa dalam menghadapi situasi yang sebenarnya kelak,

baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat, maupun menghadapi dunia kerja.

Media juga mempunyai peran besar dalam pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Indonesia, di samping metode pembelajaran. Menurut Wina Sanjaya

(2009:163) media pengajaran meliputi perangkat keras (hardware) dan perangkat

lunak (software). Hardware adalah alat-alat yang dapat mengantarkan pesan

seperti overhead projector, radio, televisi. Sedangkan software adalah isi program

yang mengandung pesan seperti informasi yang terdapat pada transparansi atau

buku dan bahan-bahan cetak lainnya, cerita yang terkandung di dalam film atau

materi yang yang disuguhkan dalam bentuk bagan, grafik, diagram.

Menurut Widja (1989:51) media tradisional dalam pembelajaran sejarah

yang terpenting adalah peninggalan sejarah, diorama, bagan waktu (time-chart),

peta. Sedangkan media moderen dalam pembelajaran sejarah sejarah adalah

overhead projector (OHP), slide projector, movie camera/projector, tape/cassette

recorder, video recorder. Menurut Yudhi Munadi (2008:37) fungsi media

pembelajaran adalah: (1) Fungsi media pembelajaran sebagai sumber belajar,

dalam beberapa hal media pembelajaran dapat menggantikan fungsi guru terutama

sebagai sumber belajar; (2) Fungsi semantik, yakni kemampuan media dalam

li

menambah perbendaharaan kata (simbol verbal) yang makna atau maksudnya

benar-benar dipahami mahasiswa; (3) Fungsi manipulative, yakni kemampuan

media menghadirkan objek atau peristiwa yang sulit dihadirkan dalam bentuk

aslinya; (4) Fungsi Psikologis, di antaranya fungsi atensi, yakni media

pembelajaran dapat meningkatkan perhatian mahasiswa terhadap materi ajar.

Untuk menentukan efektivitas program dan keberhasilan mahasiswa

melaksanakan kegiatan pembelajaran, maka evaluasi pembelajaran merupakan hal

yang sangat penting untuk dilaksanakan. Abdul Majid (2008 : 185) menyatakan

evaluasi merupakan pengukuran ketercapaian program pendidikan, perencanaan

suatu program substansi pendidikan termasuk kurikulum dan pelaksanaannya,

pengadaan dan peningkatan kemampuan dosen, pengelolaan pendidikan, dan

reformasi secara keseluruhan. Wina sanjaya (2008 : 240) menyatakan melalui

evaluasi yang tepat, dapat menentukan efektivitas program dan keberhasilan

mahasiswa melaksanakan kegiatan pembelajaran, sehingga informasi dari

kegiatan evaluasi seorang desainer pembelajaran dapat mengambil keputusan

apakah program pembelajaran yang dirancangnya perlu diperbaiki atau tidak,

bagian-bagian mana yang dianggap memiliki kelemahan sehingga perlu

diperbaiki.

Kunandar (2007 : 378) menjelaskan evaluasi dapat dilakukan terhadap

program, proses, dan hasil belajar. Evaluasi program bertujuan untuk menilai

efektivitas program yang dilaksanakan. Evaluasi proses bertujuan untuk

mengetahui aktivitas dan partisipasi mahasiswa dalam pembelajaran. Evaluasi

hasil belajar bertujuan untuk mengetahui hasil belajar atau pembentukan

lii

kompetensi mahasiswa. Dalam penilaian proyek ini, mahasiswa diberi tugas untuk

mengadakan penelitian sederhana tentang subak

Menurut Mulyasa (2006:103) evaluasi hasil belajar dalam implementasi

Kurikulum Berbasis Kompetensi dilakukan dengan: (1) Penilaian kelas, Penilaian

kelas dilakukan dengan tes harian dan ujian akhir; (2) Tes Kemampuan Dasar,

dilakukan untuk mengetahui kemampuan membaca, menulis, berhitung yang

diperlukan dalam rangka memperbaiki program pembelajaran yang dilakukan

pada setiap tahun; (3) Penilaian akhir satuan pendidikan dan sertifikasi, yang

dilakukan pada setiap akhir semester guna mendapatkan gambaran secara utuh

dan menyeluruh mengenai ketuntasan belajar mahasiswa dalam satuan waktu

tertentu; (4) Benchmarking, merupakan suatu standar untuk mengukur kinerja

yang sedang berjalan, proses, dan hasil untuk mencapai suatu keunggulan yang

memuaskan dan penilaian dilaksanakan secara berkesinambungan sehingga

mahasiswa dapat mencapai satuan tahap keunggulan pembelajaran yang sesuai

dengan kemampuan usaha dan keuletannya; (5) Penilaian program, dilakukan

oleh Departemen Pendidikan Nasional secara berkesinambungan untuk

mengetahui kesesuaian kurikulum dengan dasar, fungsi dan tujuan pendidikan

nasional, serta kesesuaiannya dengan tuntutan perkembangan masyarakat dan

kemajuan jaman.

b. Cara Pemanfaatan Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Pembelajaran adalah membelajarkan mahasiswa menggunakan asas

pendidikan maupun teori belajar yang merupakan penentu utama keberhasilan

pendidikan, penuh makna sesuai kebutuhan dan minat mahasiswa , dan sedekat

liii

mungkin dihubungkan dengan kehidupan nyata (Syaiful Sagala, 2009 : 164).

Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan pemikiran-pemikiran positif yang

memberikan arahan bahwa sudah selayaknya dunia pendidikan diarahkan pada

upaya transformasi dan pengembangan prinsip-prinsip secara komprehensip

dalam penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran. Kepada mahasiswa perlu

diberi bekal pengetahuan serta nilai-nilai dasar sebagai suatu pandangan yang

sangat berguna untuk mengarungi kehidupan dalam masyarakat pluralis, baik dari

aspek etnisitas, kultural, maupun agama. Jika dunia pendidikan berhasil

melaksanakan tugas ini, maka pada gilirannya masyarakat Indonesia di masa

depan makin lama berkembang menjadi masyarakat yang berkualitas secara

intelektual dan moral (Aunurrahman, 2009 : 3).

Pemanfaatan oleh pihak dosen bisa dengan menggunakan penugasan pada

mahasiswa secara individu maupun berkelompok, sedangkan pemanfaatan sumber

belajar oleh mahasiswa bisa dengan observasi. Agar observasi partisipasi bisa

terarah, maka ditetapkan aspek-aspek yang diobservasi, yakni: (1) Latar (setting);

(2) Pelibat (participant); (3) Kegiatan dan interaksi (actitivity and interaction); (4)

Frekuensi dan durasi (frequency and duration); (5) Faktor subtil (subtle factor);

(6) Peralatan yang mereka gunakan; (7) Waktu berlangsungnya kegiatan; (8)

Ekspresi wajah pada saat melakukan suatu kegiatan; dan (9) Produk yang

dihasilkan dari kegiatan yang dilakukan (Faisal, 2001:35). Bentuk cara

pemanfaatan lainnya adalah dengan mengadakan wawancara. Informan yang telah

ditetapkan diwawancarai memakai teknik wawancara mendalam. Agar wawancara

mendalam dapat dilaksanakan secara terarah, maka disusun pedoman wawancara

liv

yang memuat pokok-pokok pikiran yang terkait dengan masalah yang dikaji.

Dengan wawancara ini diharapkan bisa berlangsung fleksibel. Begitu pula

informasi yang digali, tidak saja bertumpu pada mereka ucapkan, tetapi disertai

pula dengan penggalian yang mendalam tentang pemaknaan mereka terhadap

ucapan maupun perilaku mereka. Dengan demikian, melalui wawancara

mendalam tergali aspek explicit knowledge yang melekat pada informan. Untuk

menghindari terjadinya distorsi data, maka pencatatan hasil wawancara dilakukan

secara manual dan atau disertai dengan perekaman dengan menggunakan alat

perekam. Pemakaian alat perekam atas persetujuan informan sehingga wawancara

tetap berjalan secara alamiah (Bawa Atmadja 2007:10). Pemanfaatan sumber

belajar bisa dengan menggunakan teknik mencatat dokumen/content analysis.

Menurut Sutopo (2006:81) dalam teknik ini peneliti bukan sekadar mencatat isi

penting yang tersurat dalam dokumen atau arsif, tetapi maknanya yang tersirat

serta diperlukan sikap yang kritis dan teliti dalam menghadapi beragam arsif dan

dokumen tertulis.

5. Kendala-kendala Dalam Pemanfaatan Sumber Belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia.

Pemanfaatan sumber belajar dapat memberikan kemudahan belajar,

sehingga diperoleh sejumlah informasi, pengetahuan, pengalaman, dan

keterampilan yang diperlukan, namun dalam pemanfaatan sumber belajar sering

ditemukan kendala-kendala. Menurut Mulyasa (2009:177) salah satu kendalanya

adalah kemauan dan kemampuan guru dan peserta didik dan berkomunikasi dan

lv

berinteraksi dengan pesan-pesan yang terkandung dalam sumber belajar yang

didayagunakan.

Faktor persepsi di kalangan masyarakat yang menggap bahwa untuk

menyediakan sumber belajar menuntut adanya biaya yang tinggi dan sulit untuk

mendapatkannya, yang kadang-kadang ujung-ujungnya akan membebani orang

tua siswa untuk mengeluarkan dana pendidikan yang lebih besar lagi. Padahal

dengan berbekal kreativitas, dosen dapat membuat dan menyediakan sumber

belajar yang sederhana dan murah. Misalkan, bagaimana dosen dan mahasiswa

dapat memanfaatkan bahan bekas yang banyak berserakan di kampus dan rumah,

seperti kertas, mainan, kotak pembungkus, bekas kemasan sering luput dari

perhatian. Dengan sentuhan kreativitas, bahan-bahan bekas yang biasanya

dibuang secara percuma dapat dimodifikasi dan didaur-ulang menjadi sumber

belajar yang sangat berharga. Demikian pula, dalam memanfaatkan lingkungan

sebagai sumber belajar tidak perlu harus pergi jauh dengan biaya yang mahal,

lingkungan yang berdekatan dengan sekolah dan rumah pun dapat dioptimalkan

menjadi sumber belajar yang sangat bernilai bagi kepentingan belajar mahasiswa.

Tidak sedikit kampus yang memiliki halaman atau pekarangan yang cukup luas,

namun keberadaannya seringkali ditelantarkan dan tidak terurus. Jika saja lahan-

lahan tersebut dioptimalkan tidak mustahil akan menjadi sumber belajar yang

sangat berharga.(Depdiknas, 2004 : 49). Ada berbagai faktor yang mempengaruhi

kurang maksimalnya pemanfaatan sumber belajar, diantaranya dari segi guru,

faktor dana, lembaga. Pemanfaatan sumber belajar tergantung pada kreatifitas

guru, kemampuan guru, waktu yang tersedia, dana yang tersedia, serta kebijakan-

lvi

kebijakan lainnya (http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/pemanfaatan-

lingkungan-sebagai-sumber-belajar/, diunduh tanggal 21 Mei 2010).

Menurut Komarudin (2005:ix) faktor sumber daya manusia juga menjadi

faktor kendala dalam memanfaatkan sumber belajar seperti perpustakaan. Kendala

yang dihadapi dalam pemanfaatan perpustakaan yaitu: belum tersedianya tenaga

khusus perpustakaan, belum tersedianya ruangan yang memadai untuk

perpustakaan, kurangnya koleksi buku pelajaran, dan penataan koleksi kurang

sistematis sehingga menyulitkan dalam pencarian buku.

Karwono (2007:6) menegaskan kendala pemanfaatan sumber belajar juga terletak

pada dosen. Di samping itu dosen sering memaksakan penggunaan sumber belajar

yang kurang relevan dengan ciri-ciri mahasiswa dan tujuan belajar, hal ini terjadi

karena sumber belajar yang tersedia terbatas. Peranan Sumber Belajar secara

keseluruhan seperti terlihat dalam pola komunikasinya selain dosen rendah.

Keterbatasan penggunaan sumber belajar terjadi karena metode pembelajaran

yang utama hanyalah metode ceramah. Perhatian yang penuh dalam belajar

dengan metode ceramah (attention spannya) makin lama makin menurun drastis.

Penguasaan teknologi dan bahasa asing juga menjadi kendala terutama

dalam pemanfaatan internet sebagai sumber belajar. Menurut Andoyo (2005 : 1)

suka atau tidak suka, sebagian besar informasi di internet tersedia dalam bahasa

Inggris. Penguasaan bahasa Inggris menjadi salah satu keunggulan, karena

mahasiswa atau dosen yang menguasai bahasa ini akan lebih mudah memahami

dan menyerap informasi yang ada.

lvii

Mulyasa (2009:184) mengatakan bahwa usaha-usaha mengatasi berbagai

kendala dalam pemanfaatan sumber belajar secara efektif adalah: (1) Membuat

persipan yang matang dalam memilih dan menggunakan setiap sumber belajar,

agar menunjang efektifitas pembelajaran dan pembentukan kompetensi dasar yang

diinginkan; (2) Memilih sumber belajar yang disesuaikan dengan materi standard

yang sedang dipelajari dan menunjang terhadap pencapaian tujuan, dan

pembentukan kompetensi; (3) Memahami kelebihan dan kelemahan sumber

belajar yang akan digunakan, dan menganalisis sumbangannya terhadap proses

dan hasil belajar bila menggunakan sumber belajar tersebut; (4) Jangan

menggunakan sumber belajar hanya sekadar selingan dan hiburan, tetapi harus

memiliki tujuan yang terintegrasi dengan materi standard yang sedang dipelajari;

(5) Sesuaikan pemilihan sumber belajar yang akan digunakan dalam mempelajari

buku ajar dengan biaya yang tersedia secara efisien.

B. Penelitian yang Relevan

Dalam bagian ini dapat dikemukakan beberapa hasil penelitian yang

mempunyai relevansi dengan penelitian ini:

1. Luh Putu Sendratari (1995) dalam penelitian yang berjudul “Salib dan Petani

Sawah (Sebuah Kajian tentang Fungsi Agama pada Sistem Sosiokultural

Petani Kristen di Dusun Piling Penebel Tabanan)”. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa umat Kristen (Katolik dan Protestan) di Dusun Piling

memakai agama sebagai alat bersandar untuk memperoleh keselamatan dalam

pengelolaan agrosistem persawahan yang dikelola petani Kristen. Diyakini

lviii

bahwa Yesus adalah Juru Selamat yang dapat benar-benar meraja sehingga

menjadi mukjizat. Dan Allah yang meraja tidak menghendaki kemalangan

bagi umatnya dan ia mampu melenyapkan semua kemalangan. Pada

lingkungan keluarga Katolik, cara-cara yang dilakukan adalah dengan

membuat tanda salib dari kayu pada salah satu sudut sawah yang dikelola. Di

samping itu, mereka memakai doa-doa secara pribadi atau meminta bantuan

gereja di bawah pimpinan pastur agar sawah yang mereka kelola diberkati.

Dalam lingkungan subak umat Katolik beradaptasi dengan treadisi umat

Hindu dalam memberkati sawah dengan memakai toya berkat, kembang dan

salib pada waktu ngrestisi di subak yang dipimpin oleh pastur. Di pihak lain,

umat Protestan lebih banyak memakai doa spontan dalam memohon

keselamatan untuk pengelolaan agrosistem persawahannya. Interaksi sosial

yang terjadi antara umat Kristen di dusun Piling dengan umat Hindu dalam

pengelolaan agrosistem di lingkungan subak terorganisisr melalui keanggotaan

subak di mana keduanya sama-sama menjadi anggota dan bertanggungjawab

atas pengelolaan air serta pembangunan di sekitar persawahan. Interaksi di

luar subak diatur melalui lembaga suka duka.

2. “Relevansi Kajian Materi Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia dengan

Peninggalan Sejarah sebagai Sumber Belajar (Studi Kasus pada Jurusan

Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas

Kristen Satya Wacana Salatiga)”. Tesis oleh Esther Arianti (2003).

Kesimpulan yang diambil oleh peneliti adalah kualitas pengajaran sejarah

kebudayaan Indonesia sudah baik, hal ini ditunjukkan dalam segi: Pertama,

lix

bentuk dan strategi pengajaran selain ceramah dan diskusi di dalam kelas, juga

dengan studi lapangan di objek studi peninggalan sejarah dan purbakala di

Salatiga dan sekitarnya. Kedua, Ada relevansi antara materi kuliah sejarah

kebudayaan Indonesia dengan peninggalan sejarah dan purbakala di Salatiga

sebagai materi dan sumber belajar.

3. Sugiartha (2004) “Fungsi Museum Subak Sebagai Sumber Belajar Sejarah dan

Antropologi”, (Kajian tentang Museum Subak, Tabanan Dalam Rangka

Penelusuran Jejak Sejarah dan Budaya): Penelitian Pengembangan Jurusan

(SP4) IKIP Negeri Singaraja Tahun I (2004). Dalam penelitian tersebut

dijelaskan Museum Subak merupakan museum yang sangat spesifik karena

merupakan tempat mengoleksi berbagai benda-benda yang terkait dengan

pertanian. Ternyata dengan mengajak mahasiswa melakukan kunjungan ke

museum, juga dapat meningkatkan kesadaran di kalangan mahasiswa akan

pentingnya pengembangan pertanian bagi daerah Bali. terlebih-lebih semenjak

Bom Bali banyak kalangan disadarkan bahwa eksistensi Bali bukan hanya

bertumpu pada sektor pariwisata, tetapi pertanian yang lama ditinggalkan

ternyata merupakan salah satu kekuatan yang dapat menjadi sendi

perekonomian Bali. Di samping itu, dalam penelitian tersebut juga

menjelaskan pengetahuan serta kearifan tradisional yang tersimpan di

Museum Subak dapat dijadikan sumber belajar yang sangat berharga bagi

peserta didik, dan kehadiran museum tersebut secara tidak langsung dapat

mengembangkan ilmu sejarah dan antropologi di masa-masa mendatang.

lx

Relevansi penelitian di atas adalah, subak sebagai organisasi sosial

tradisional mempunyai peranan penting bagi masyarakat Bali sebagai salah satu

simpul budaya Bali, juga dapat dimanfaatkan sebagai sumber belajar selain buku

dan dosen bagi mahasiswa. Subak sebagai sumber belajar harus dilestarikan

dengan melaksanakan pembelajaran di subak. Peranan subak sebagai sumber

belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia tidak hanya untuk kalangan mahasiswa,

tetapi juga pada lingkungan SMA dan SMK yang dapat menumbuhkan wawasan

kebangsaan dengan bercermin pada kerukunan umat antarpetani yang berbeda

agama di subak Pancoran. Kunjungan ke subak dapat meningkatkan minat siswa

dan mahasiswa untuk belajar sejarah. Sedangkan tekanan penelitian ini adalah

Subak Pancoran sebagai Sumber Belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia

khususnya untuk mahasiswa Undiksha.

C. Kerangka Pikir

Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia melibatkan beberapa

komponen, di antaranya dosen, mahasiswa, tujuan, evaluasi, sarana dan prasarana,

metode serta sumber belajar. Sumber belajar dapat berupa buku, benda, orang,

tempat atau lingkungan. Subak Pancoran merupakan salah satu sumber belajar

Sejarah Kebudayaan Indonesia di luar kampus, dalam pelaksanaannya

memerlukan pemahaman mendalam dari mahasiswa. Titik fokus pembahasan dari

Sejarah Kebudayaan Indonesia berkaitan dengan sumber belajar tentang peran

subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat, karena di dalam subak

tersebut ada aspek fungsi, nilai guna, toleransi, yang dapat menunjang tercapainya

lxi

Kompetensi Dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat

Hindu Bali.

Dalam memanfaatkan subak pancoran sebagai sumber belajar sejarah

kebudayaan dipergunakan beberapa strategi pembelajaran yang dapat

menggenalkan mahasiswa untuk aktif bekerja dan berhubungan dengan sumber-

sumber sejarah secara langsung. Pemanfaatan oleh pihak dosen dengan

memberikan tugas mengadakan penelitian secara berkelompok kepada

mahasiswa, sementara mahasiswa memanfaatkan subak pancoran dengan

mengadakan observasi, wawancara, dan kajian dokumen.

Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia, mengalami kendala-kendala baik dari stake holder, jarak yang jauh,

lembaga subak sendiri, sarana dan prasarana.

lxii

Gambar 1. Kerangka Pikir

Pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Indonesia

Sumber Belajar

Sejarah

Peran dan tanggung jawab Subak Pancoran

menciptakan kerukunan umat

Mahasiswa

Cara Pemanfaatan oleh dosen dan

mahasiswa

Kendala-kendala

Kompetensi Dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu Bali

lxiii

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Lokasi Penelitian dan Waktu

1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Jurusan Pendidikan Sejarah FIS

Undiksha, dengan pertimbangan bahwa sumber belajar dalam perkuliahan sejarah

kebudayaan Indonesia terbatas pada buku dan dosen, padahal subak Pancoran

memungkinkan untuk dapat digunakan sebagai sumber belajar. Subak Pancoran di

Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng merupakan salah satu subak yang

pluralistik yang anggotanya beragama Hindu dan Islam.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan 7 bulan, yang dilaksanakan mulai bulan Oktober

2009 sampai dengan Mei 2010. Rincian jadwal penelitian dapat dilihat pada tabel

di bawah ini :

Tabel 1 : Jadwal Kegiatan Penelitian

No Kegiatan Penelitian Bulan

Okt Nov Des Jan Peb Maret Mei

1 Persiapan √ √

2 Pengumpulan Data √ √ √

3 Menganalisis Data √ √ √

4 Penulisan Laporan

Penelitian

√ √ √ √

lxiv

B. Bentuk dan strategi penelitian

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah bidang sejarah yang

erat hubungannya dengan aktivitas dan keterlibatan manusia, maka bentuk

penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Tujuannya melukiskan

kondisi yang ada pada situasi tertentu saat penelitian dilakukan dan tidak

melakukan uji hipotesis (Sugiyono, 2006:11). Menurut Sutopo (2006 : 40) “data

kualitatif yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang

memiliki arti yang lebih bermakna dan mampu memacu pemahaman yang lebih

nyata daripada sekadar sajian angka atau frekuensi”. Penelitian ini termasuk

penelitian dasar (basic research) yang kebanyakan dilakukan oleh peneliti

akademik di perguruan tinggi sehingga penelitian ini juga sering disebut sebagai

penelitian akademik atau penelitian murni yang hanya bertujuan untuk

pemahaman mengenai suatu masalah yang mengarah pada manfaat teoretik, tidak

pada manfaat praktis (Sutopo, 2006:135)

Adapun strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus

tunggal. Mengingat permasalahan dan fokus penelitian sudah ditentukan dalam

proposal sebelum peneliti terjun dan menggali permasalahan di lapangan, maka

jenis penelitian ini disebut studi kasus terpancang atau embedded case study

research (Sutopo 2006 : 39 ; Yin, 2008 : 46)

Untuk penelitian di Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial,

Undiksha, bentuk penelitian sama, yakni penelitian kualitatif deskriptif, karena

bertujuan untuk memberikan suatu deskripsi secara rinci, penuh makna dan

mendalam tentang: 1. Peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam

lxv

menciptakan kerukunan umat, 2. Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber

belajar sejarah kebudayaan Indonesia, 3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam

memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia.

C. Data dan Sumber Data

Menurut Sotopo (2006: 56) pemahaman mengenai berbagai macam

sumber data merupakan bagian yang sangat penting bagi peneliti karena ketepatan

memilih dan menentukan jenis sumber data akan menentukan ketepatan dan

kekayaan data atau kedalaman informasi yang diperoleh.

Berdasarkan hal di atas, maka data yang diperlukan dalam penelitian ini

akan digali dari sumber-sumber sebagai berikut :

1. Informan atau nara sumber terdiri dari: (1). Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

FIS Undiksha, yaitu . Drs. I Nengah Sudariya, M.Si, (2) Dosen pengampu

Mata Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia, yaitu Drs. I Nengah Sudariya,

M.Si, (3) Para mahasiswa peserta kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia, (4)

Prajuru dan anggota Subak Pancoran. Dari Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

sekaligus sebagai pengampu mata kuliah Sejarah kebudayaan Indonesia

diharapkan dapat diperoleh informasi tentang isi silabus/SAP dan gambaran

proses pembelajaran Sejarah kebudayaan Indonesia. Informasi dari mahasiswa

untuk memperoleh jawaban pemahaman mahasiswa tentang peran dan

tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat, proses

pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber harapkan Sejarah Kebudayaan

lxvi

Indonesia, dan kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan subak

Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia. Prajuru

subak dapat memberikan informasi tentang interaksi antarpetani Hindu dan

Islam dalam kegiatan persubakan dan manajemen subak Pancoran.

2. Tempat subak Pancoran yang ada di Desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada,

berupa Pura Subak, Bale Sangkepan, Balai Kulkul dan Mushola yang berada

dalam satu area serta areal persawahan. Dari sumber tersebut untuk

memperoleh bukti-bukti fisik bangunan yang menunjukan kerukunan umat di

subak Pancoran.

3. Aktivitas proses belajar mengajar di kelas, Jurusan Pendidikan Sejarah,

Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Pendidikan Ganesha dan interaksi anggota

subak Pancoran. Hal ini untuk memperoleh gambaran tentang pemanfaatan

subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia,

metode pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia. Observasi terhadap

interaksi anggota subak untuk memperoleh informasi tentang bentuk-bentuk

interaksi antarpetani Hindu dan Islam yang hidup penuh kerukunan di subak

Pancoran dan nilai-nilai yang melandasi kerukunan umat beragama di subak

Pancoran..

4. Arsip dan dokumen, berupa awig-awig subak yang bersisi aturan-aturan

tertulis yang dijadikan pedoman oleh kedua komunitas subak dalam

beraktivitas di persubakan, dokumen administrasi pengurus dan anggota

subak, materi sejarah kebudayaan Indonesia, tugas mahasiswa. Dari sumber

arsif dan dokumen tersebut untuk memperoleh jawaban tentang peran dan

lxvii

tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat yang

diatur dalam awig-awig, keanggotaan subak Pancoran, kearifan lokal yang

dimiliki oleh subak Pancoran. Dari tugas mahasiswa akan diperoleh informasi

pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan

Indonesia serta pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab

subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat.

D. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Wawancara Mendalam (in-depth interviewing)

Wawancara jenis ini bersifat lentur dan terbuka, tidak terstruktur tetapi tetap

dengan pertanyaan-pertanyaan yang semakin terfokus dan mengarah pada

kedalaman informasi (Sutopo, 2006: 228). Jenis data yang akan diperoleh

adalah data seputar masalah fungsi atau nilai guna (ekonomi, sosial budaya,

religi) dari subak. Wawancara dilakukan dengan prajuru subak (pengurus

subak). Selain itu, wawancara dilakukan pada dosen dan mahasiswa Jurusan

Pendidikan Sejarah untuk mengetahui pemahaman mahasiswa tentang peran

dan tanggung jawab subak dalam menciptakan kerukunan umat dan cara

pemanfaatan subak sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

2. Observasi Langsung

Observasi dilakukan dengan cara partisipasi pasif untuk mendapatkan data

tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan

lxviii

kerukunan umat, misalnya dengan mengadakan pengamatan terhadap

bangunan pura subak, bale sangkepan, dan mushola yang menunjukkan

toleransi umat. Observasi juga dilakukan pada saat sangkepan (rapat) yang

dihadiri oleh petani Hindu dan Islam untuk merundingkan segala sesuatu yang

terkait dengan masalah persubakan,. Dalam proses pembelajaran di subak

Pancoran, peneliti mengadakan observasi partisipatif pasif, cara ini dilakukan

untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan subak Pancoran, misalnya pada

saat mahasiswa diberi tugas menulis tentang kerukunan antar agama dalam

subak Pancoran yang berhubungan dengan kompetensi dasar menganalisis

hidup keagamaan, sosial masyarakat Hindu Bali. Selain itu dilakukan

observasi untuk mengetahui sejauh mana peran serta mahasiswa mengikuti

pembelajaran, misalnya keaktifan bertanya kepada dosen dan prajuru subak

tentang subak Pancoran yang merupakan subak multikultur. Selain

pembelajaran di subak, juga dilakukan observasi partisipatif pasif untuk

mengamati kegiatan perkuliahan di kelas. Hal ini dilakukan untuk

mendapatkan data tentang cara atau metode pembelajaran yang digunakan

dosen sejarah, misalnya diskusi kelompok terkait tugas yang diberikan dosen

kepada mahasiswa tentang subak Pancoran.

3. Kajian dokumen/ content analysis

Dokumen yang akan dianalisis adalah silabus dan SAP. Komponen silabus

terdiri dari standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator, materi, sub

materi, sumber. Pada mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia terdapat

kompetensi dasar yang berhubungan dengan hidup keagamaan, sosial budaya

lxix

masyarakat Hindu Bali. Kompetensi dasar itu dapat dicapai dengan

merumuskan indikator yang lebih terperinci. Dengan sumber belajar

memanfaatkan subak, maka indikator akan lebih mudah tercapai sekaligus

mendukung pencapaian kompetensi dasar. Selanjutnya dilakukan analisis

terhadap SAP, karena merupakan perangkat pembelajaran yang pokok bagi

seorang dosen. SAP dibuat berdasarkan komponen-komponen silabus.

Analisis dokumen berupa SAP sangat penting untuk mendapatkan data-data

tentang langkah pembelajaran, cara atau metode yang digunakan dosen dalam

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia. Dengan dokumen SAP ini akan

diperoleh cara dosen melaksanakan pembelajaran yang memanfaatkan subak

sebagai sumber belajar. Sebelum mengajak siswa ke subak, maka dosen

terlebih dahulu harus membuat persiapan dalam bentuk SAP. Dengan

kompetensi dasar tentang menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya

masyarakat Hindu Bali, maka dosen dapat membuat beberapa indikator untuk

kompetensi dasar tersebut. strategi pembelajaran dilaksanakan dengan metode

inquiri, sedangkan penggunaan sumber dapat berupa awig-awig, eka likita,

buku administrasi subak, tugas mahasiswa.

\

E. Teknik Cuplikan (Sampling)

Penelitian ini dilakukan dengan teknik cuplikan secara purposive, karena

hanya menggali informasi seputar bagaimana pemanfaatan sebak dalam

pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia. Sedangkan sumber data yang

digunakan dalam penelitian adalah para mahasiswa, dosen yang mengajar sejarah

lxx

`kebudayaan di Undiksha dan prajuru subak Pancoran. Dari sekian banyak

mahasiswa yang ada, hanya dicuplik beberapa orang saja yang dapat memberikan

informasi seputar pemanfaatan subak pancoran sebagai sumber belajar. Selain

kepada mahasiswa, teknik cuplikan ini juga dilakukan pada prajuru subak, hanya

dicuplik beberapa orang saja yang dapat memberikan informasinya tentang

pemanfaatan subak sebagai sumber belajar. dengan demikian teknik cuplikan ini

lebih mementingkan segi informasi yang digali, dan bukan melihat sekian

banyaknya sampel dari segi jumlah. Hal senada dikemukakan oleh Sutopo (2006 :

63) yang menyatakan purposive sampling merupakan langkah untuk informan

yang dianggap mengetahui informasi dan masalahnya secara mendalam dan dapat

dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap, sehingga dipilih sampel yang

lebih bersifat internal, maksudnya bahwa sampel tidak mewakili populasi yang

dikaitkan dengan generalisasi, tetapi mewakili informasi untuk memperoleh

kedalaman konteks tertentu. Di samping itu juga, dipergunakan time sampling

dengan memilih saat kunjungan ke kelas dan subak Pancoran.

F. Validitas Data

Untuk lebih menjamin dan meyakinkan suatu data yang akan dikumpulkan

dalam penelitian ini, perlu dikembangkan teknik validitas data yang biasa

digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu teknik trianggulasi. Menurut Patton

(dalam Sutopo, 2006: 229) menyatakan ada empat macam teknik trianggulasi,

yaitu : (1) Trianggulasi data, (2) Trianggulasi metode, (3) Trianggulasi peneliti,

( 4) Trianggulasi teoretis.

lxxi

Dari empat macam trianggulasi tersebut, maka dalam penelitian ini hanya

dua teknik trianggulasi yang digunakan, yakni sebagai berikut :

1. Trianggulasi data atau sumber

Data yang sudah diperoleh dicatat dan dikumpulkan sesuai dengan

jenisnya. Untuk memperoleh kemantapan atau validitas data dapat dilakukan

teknik triangulasi sumber, dengan cara membandingkan sumber data yang

diperoleh dari informan 1, informan 2, informan 3. Melalui cara ini akan diperoleh

validitas data, yaitu dengan membandingkan kesesuaian uraian sumber data antara

orang satu dengan orang lainnya.

Dengan demikian sumber yang dikumpulkan akan teruji kebenarannya,

bahwa data sejenis yang diperoleh dari berbagai sumber memperkuat data yang

diperoleh, misalnya mengenai pemahaman mahasiswa tentang peran dan tanggung

jawab subak Pancoran menciptakan kerukunan umat. Trianggulasi sumber ini

dapat diperjelas dengan gambar di bawah ini:

Informan 1

Data wawancara Informan 2

Informan 3

Gambar 2. Trianggulasi sumber Sumber: Sutopo, 2006 : 94

2. Trianggulasi Metode

Di samping trianggulasi sumber, validitas data juga dilakukan dengan

trianggulasi metode, yaitu mengumpulkan data sejenis tetapi dengan teknik atau

metode pengumpulan data yang berbeda. Misalnya menggali data tentang

lxxii

pemanfaatan subak Pancoran dapat menggunakan beberapa metode, yaitu

observasi, wawancara, dan analisis dokumen. Dengan beberapa cara itu akan

diperoleh validitas data tentang pemanfaatan subak Pancoran. Teknik trianggulasi

metode ini dapat dijelaskan dengan gambar di bawah ini:

kuesioner

Data wawancara sumber data

observasi

Gambar 3. Trianggulasi Metode Sumber: Sutopo, 2006 : 96

G. Teknik Analisis Data

Penelitian kualitatif menekankan pada analisis induktif, bukan analisis

deduktif. Data yang dikumpulkan bukan dimaksudkan untuk mendukung atau

menolak hipotesis yang telah disusun sebelum penelitian dimulai, tetapi abstraksi

disusun sebagai kekhususan yang telah terkumpul dan dikelompokkan bersama

lewat proses pengumpulan data yang telah dilaksanakan secara teliti. Teori yang

dikembangkan dimulai di lapangan studi dari data yang terpisah-pisah, dan atas

bukti-bukti yang terkumpul serta saling berkaitan. Karena penekanan pada proses

analisis induktif ini, penelitian kualitatif juga disebut empirico inductive research.

Analisis data menurut Panton yang dikutip oleh Moleong (1990:103)

adalah proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola,

kategori dan satuan uraian dasar. Menurut Sutopo (2006: 113) terdapat tiga

komponen utama analisis dalam penelitian kualitatif, yaitu reduksi data, sajian

lxxiii

data, dan penarikan simpulan dengan verifikasinya. Ketiga komponen ini

merupakan rangkaian yang tidak dapat dipisahkan dan saling berinteraksi dalam

hal pengumpulan data.

Dalam penelitian yang akan dilakukan ini, langkah-langkah dalam analisis

interaktif yang dilakukan oleh peneliti sebagai berikut:

1. Peneliti akan mengumpulkan data dari berbagai sumber, termasuk dalam

informan yang telah ditetapkan dengan berbagai pertimbangan, kemudian

begitu data diperoleh tanpa menunggu data berikutnya peneliti langsung

menganalisis data dimaksud. Ini artinya analisis data dimulai pada saat

pertama data-data masuk kemudian disusul analisis data setiap kali data

diperoleh. Dengan kata lain bahwa analisis dilaksanakan bersamaan dengan

pengumpulan data di lapangan.

2. Dari data yang diperoleh, peneliti mengolah dan menyusun pengertian

singkatan dengan pemahaman arti segala peristiwanya yang disebut reduksi

data.

3. Langkah selanjutnya, peneliti akan menyusun sajian data yang secara

sistematis dengan memperhatikan semua catatan-catatan yang diperoleh dari

lapangan.

4. Setelah berakhir peneliti mulai menarik simpulan dengan verifikasinya yang

berdasarkan semua hal yang terdapat dalam reduksi data dan sajian datanya.

5. Apabila simpulan dianggap kurang mantap, maka peneliti akan menggali lagi

dalam fieldnote, atau

lxxiv

6. Peneliti melakukan pengumpulan data ulang terhadap kasus data yang

dianggap kurang memadai atau data yang meragukan tersebut.

7. Pengumpulan data, reduksi data, penyajian data serta verifikasi atau penarikan

simpulan ini akan dilakukan secara bersambung dan berlanjut (berjalan) dan

terus dilakukan sehingga diperoleh simpulan yang matang.

8. Siklus pengumpulan data sampai verifikasi untuk data-data tersebut tetap

dilakukan oleh peneliti selama data diperoleh meragukan atau diragukan

kesahihannya.

Adapun proses analisis dalam bentuk interaktif ini dapat digambarkan

dengan skema sebagai berikut :

Gambar 4. Model Analisis Data Interaktif Sumber: Miles dan Huberman, 1992:20

Penyajian Data

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Menarik simpulan/verifikasi

Pengumpulan Data

lxxv

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Deskripsi Latar

Subak merupakan sarana yang tersedia di dalam masyarakat Bali yang

dapat dipergunakan sebagai tempat rekreasi atau wisata, untuk kegiatan

pendidikan, dan tempat dilakukannya penelitian. Sebagai tempat hiburan atau

rekreasi, subak sebagai bagian dari wisata agro yang dapat memberikan

pemasukan bagi pihak pengelola maupun pemerintah daerah bersangkutan.

sebagai sarana pendidikan subak dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pembelajaran

yang bermanfaat bagi siswa dalam mendapatkan tambahan pengalaman belajar.

Subak juga dapat dimanfaatkan sebagai sarana penelitian sesuai dengan

bidangnya.

Subak Pancoran merupakan salah satu subak yang ada di Kecamatan

Sukasada, Kabupaten Buleleng yang memiliki keunikan, yaitu bahwa anggota

subak terdiri dari petani Hindu dan petani Islam. Anggota subak Pancoran

berjumlah 180 KK, terdiri dari 40 KK beragama Islam dan 140 KK beragama

Hindu yang dapat hidup secara berdampingan dalam sistem pertanian yang

dilandasi oleh Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan umat manusia) yang

meliputi: (1) Unsur parhyangan (menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan);

(2) Unsur pawongan (menyangkut hubungan manusia dengan manusia); (3) Unsur

palemahan (menyangkut hubungan manusia dengan alam).

lxxvi

Berdasarkan Ekalekita, wilayah subak Pancoran, Desa Panji Anom,

Kecamatan Sukasada, kabupaten Buleleng yang jaraknya 15 Km dari kota

kecamatan, Kabupaten kurang lebih 12 Km, kota propinsi kurang lebih 90 Km.

Adapun batas-batas subak Pancoran adalah: (1) Selatan, subak Cempaka; (2)

Timur, Pangkung seka lalang; (3) Utara, subak Lebah Siung; (4) Barat, tukad

(sungai) Sari. Tanah di Subak Pancoran berupa tanah regusal kelabu, dengan

lahan persawahan teras sering, dengan ketinggian 250 m sampai 450 m. Luas

wilayah subak 61,00 Ha, terbagi dalam dua tempekan, yaitu : tempekaan Tukad

Sari dan tempekan Seka Lalang. Yang menjadi anggota subak dalam hal ini adalah

pemilik sawah, penyakap (analisis dokumen, tanggal 3 November2009).

a. Fungsi subak Pancoran

1. Fungsi Pencarian dan Distribusi Air Irigasi

Di dalam usaha mendapatkan air irigasi dari suatu sumber, subak

membangun berbagai fasilitas irigasi, seperti empelan, aungan, saluran. Air yang

didapat oleh subak, harus didistribusikan kepada segenap anggota. dalam

distribusi air irigasi dalam suatu subak, ada dua hal penting mendapatkan

perhatian, yaitu: (1) Dasar yang digunakan untuk menentukan hak atas air setiap

anggota; (2) Sistem distribusi air antarwaktu. Hak atas air bagi anggota subak

menentukan berapa besar air yang akan diterima oleh sawah individual. Ada dua

dasar yang secara umum digunakan oleh subak untuk menentukan hak atas air

bagi anggotanya, yaitu: (a) atas dasar luas sawah, (b) atas dasar tektek. Apabila

hak atas air di dasarkan atas luas sawah, maka volume air yang diterima oleh

petani adalah proporsional dengan luas sawah yang dimiliki, dibandingkan dengan

lxxvii

luas sawah petani lainnya. Sedangkan pada sistem tektek, debit air yang diterima

ditentukan oleh kontribusi petani pada kegiatan-kegiatan subak, tanpa

memperhatikan luas sawah. Satu tektek air berarti satu porsi, yang menuntut

adanya kontribusi tenaga kerja (ayahan) satu orang pada setiap kegiatan subak,

adanya kontribusi materi maupun uang (paturunan). Luas sawah yang diairi

berdasarkan sistem tektek bervariasi dalam subak sendiri, maupun antarsubak

antara 0,25 ha sampai dengan 0,60 ha (wawancara dengan Gde Mas Ari, 17

November 2009).

Secara umum ada dua metode yang dikenal oleh subak mendistribusikan

air, yaitu metode pengairan kontinyu dan metode bergilir. Dalam metode

pengairan kontinyu, semua petani mendapatkan air secara serempak, baik pada

musim hujan maupun musim kemarau. Dengan kata lain, semua pintu air ada

dalam keadaan terbuka sepanjang tahun. Sebaliknya pada metode bergilir, tidak

semua anggota subak mendapatkan air pada suatu waktu tertentu. Pada metode

ini, wilayah subak dibagi atas dua atau tiga kelompok dan setiap kelompok

persawahan menerima air irigasi pada waktu yang berbeda. Apabila wilayah

subak dibagi atas dua kelompok, maka pada musim tanam 1 (musim hujan), kedua

kelompok menerima air irigasi (menanam padi). Pada musim tanam kedua,

kelompok I menanam padi dan kelompok II menanam palawija. Pada musim

tanam ketiga, kelompok I menanam palawija dan kelompok II menanam padi.

Metode ini juga disebut nugel bumbung. Apabila kelompok I berhak atas air pada

musim hujan dan kelompok II hanya pada musim kemarau, metode distribusi

airnya disebut dengan sistem masa-gadon. Pembagian ini tidalah kaku, hal ini

lxxviii

dapat dilihat pada saat kelompok subak belum mendapatkan giliran air, tetap

mendapatkan air irigasi untuk memandikan ternak, menyiram palawija, atau

sebagai sumber air basah, air ini disebut air pungkatan. Pada beberapa subak,

masalah kehilangan air sepanjang saluran irigasi telah dimasukan dalam

perhitungan di dalam pembagian air, oleh karena itu sawah-sawah yang jauh di

hilir biasanya diberikan air tambahan yang disebut pelampias/pengisep bias

(wawancara dengan I Ketut Dana, 17 November 2009).

2. Operasi dan Pemeliharaan Sistem Irigasi

Subak harus mengoprasikan fasilitas irigasi yang dimiliki untuk menjamin

adanya air sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Kegiatan pengoprasionalan

yang paling menonjol adalah pengoprasian pintu-pintu air pada bangunan bagi

(membuka, menutup, dan mengatur). Di samping itu, subak juga melakukan

pemeliharaan secara berkala atas berbagai fasilitas irigasi yang dimiliki, sehingga

dapat berjalan dan berfungsi dengan baik. Untuk pemeliharaan dan perbaikan

jaringan irigasi, subak mengerahkan sumber daya anggotanya, baik berupa tenaga

kerja, bahan-bahan, maupun dalam bentuk uang, tergantung dari pekerjaan yang

akan diambil. Pekaseh dapat mengerahkan seluruh anggota subak ataupun suatu

tempek tertentu untuk mengadakan operasi dan pemeliharaan terhadap fasilitas

irigasi. Dengan demikian pemeliharaan jaringan utama menjadi tanggung jawab

semua anggota, sedangkan untuk saluran-saluran yang lebih kecil tanggung jawab

pemeliharaan ada pada para pemakai tempek atau kelompok kanca (wawancara

dengan Gde Mas Ari, 21 November 2009).

lxxix

3. Mobilisasi Sumberdaya

Dalam upaya melakukan perbaikan dan pemeliharaan terhadap fasilitas

irigasi yang dimiliki, subak memerlukan sejumlah dana. Berdasarkan awig-awig

subak Pancoran halaman 6, tertulis sumber dana tersebut dihimpun sendiri oleh

subak secara internal, yaitu :

1) Sarin tahun, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak setiap habis

panen padi. Besarnya iuran ini bervariasi antar subak yang biasanya diukur

dengan gabah. Besarnya sarin tahun untuk setiap anggota dapat

berdasarkan atas luas sawah ataupun atas adasr hak atas air (tektek).

2) Paturunan, yaitu iuran yang dibayar oleh anggota subak secara insidental,

berdasarkan kebutuhan. Paturunan ini dapat berupa uang maupun material.

3) Kontrak bebek. Sehabis panen padi, subak biasanya mengontrakan

sawahnya kepada para penggembala itik selama dua minggu. Pada

beberapa subak, nilai kontrak ini cukup besar.

4) Dedosan atau denda. Pelaku pelanggaran terhadap awig-awig (peraturan

subak) didenda sesuai dengan besar kecilnya pelanggaran. Besar kecilnya

denda tersebut sudah diatur pula dalam awig-awig subak.

5) Bantuan pemerintah. Dalam usaha meningkatkan produksi dan

produktivitas pertanian sawah, pemerintah banyak membantu subak dalam

merehabiltasi sarana prasarana subak. Insentif juga diberikan kepada subak

oleh Dispenda, apabila subak berhasil membayar pajak (PBB) tepat waktu)

Dari sekian sumber dana tersebut, sumber dana yang paling penting untuk

melaksanakan kegiatan-kegiatan subak adalah iuran anggota. Dana yang

lxxx

terkumpul dipergunakan untuk berbagai kegiatan subak, meliputi perbaikan dan

pemeliharaan pura subak dan pelaksanaan upacara-upacara keagamaan terkait

dengan subak. Pengeluaran terbesar subak (lebih dari 75% ) adalah untuk

keperluan upacara keagamaan. Untuk pemberdayaan ekonomi, subak Pancoran

mempunyai seka yang bergerak di bidang peternakan sapi (seka sapi) dan seka

tani ikan, serta semua anggota subak menjadi anggota KUD Sukasada di Desa

Panji, yang berfungsi sebagai tempat untuk meminjam modal juga sebagai tempat

menjual hasil-hasil pertanian dengan harga yang sesuai dengan pasaran

(wawancara dengan I Gde Nada, tanggal 21 November 2009 dan dokumen

Ekalikita subak Pancoran halaman 15).

4. Penanganan sengketa

Persengketaan (konflik) yang terjadi di subak umumnya bersumber pada

masalah air irigasi. Konflik lebih sering ditemui pada subak yang kekurangan air

dibandingkan dengan subak-subak yang airnya cukup. Selain itu, konflik juga

bersumber pada batas-batas tanah sawah, adanya pepohonan di daerah perbatasan

sawah yang menaungi sawah orang lain, hewan peliharaan yang merusak tanaman

orang lain. Konflik-konflik ini biasanya dapat diatasi oleh subak sendiri, dengan

pekaseh sebagai penengahnya. Apabila konflik tidak dapat diselesaikan secara

kekeluargaan, maka permasalahannya akan dibawa kepada rapat subak dan

penyelesaiannya dilakukan berdasarkan awig-awig yang ada. jarang sekali ada

konflik yang dimohonkan penyelesaiannya pada pihak luar (pemerintah) (awig-

awig halaman 4 dan wawancara dengan Gde Mas Ari, tanggal 24 November)

lxxxi

Deskripsi data dari analisis dokumen awig-awig tahun 1992 halaman 7-8,

secara tegas mengatur larangan bagi anggota subak, yakni merusak saluran

individu (amidik-midik kekalen), menutup air (nyampetin toya) dan bagunan bagi

air (temuku) anggota subak yang lain. Apabila melakukan pelanggaran tersebut

dapat dikenakan denda sesuai aturan atau membenahi kerusakan yang

dilakukannya. Dari dokumen awig-awig tahun 1992 halaman 8, tertulis bahwa

larangan bagi anggota subak Pancoran melakukan aktivitas pada waktu musim

tanam yang dapat menyebabkan terjadinya permasalahan antaranggota (konflik),

seperti : menggembalakan bebek dipersawahan (nganggon bebek sajeroning

carik), mencari keong (pici-pici), dan sayur-sayuran yang tumbuh di antara sela

tanaman (lan jejukutan sewos, sisin carik). Apabila pelanggaran tersebut

dilakukan maka maka anggota subak tersebut dikenakan sanksi (pamindanda).

5. Upara keagamaan (Religi)

Adanya upacara keagamaan dengan frekuensi yang cukup tinggi,

merupakan salah satu keunikan subak, dibandingkan dengan organisasi petani

pemakai air yang lain di luar daerah. Ada berbagai jenis upacara keagamaan yang

dilakukan oleh subak pada berbagai tingkat, yaitu tingkat petani individual,

tingkat tempek, tingkat subak, tingkat subak gede, sampai tingkat pasedahan

agung (kabupaten). Jenis upacara yang dilakukan sangat bervariasi antardaerah.

Pada tingkat petani individual, upacara keagamaan yang dilakukan

mengikuti siklus kehidupan petani, mulai dari memasukan air ke sawah

(ngendagin), pada saat menabur benih di pembibitan (ngurit), pada saat menanam

lxxxii

padi (newasen), pada saat padi berumur 35 hari (neduh), pada saat padi bunting

(biukukung), pada saat mulai panen (banten manyi), sampai setelah padi disimpan

di lumbung (mantenin). Di tingkat tempek, subak, dan subak gede, upacara yang

umumnya dilakukan adalah : (1) Mendak toya, atau magpag toya, yaitu upacara

saat mulai mencari air untuk pertama kalinya sebelum musim tanam padi; (2)

Mebalik sumpah, dilakukan pada saat padi berumur dua minggu; (3) Merebu,

dilaksanakan menjelang panen; (4) Ngusabha, dilaksanakan setelah panen selesai;

(5) Nangluk merana, dilakukan apabila padi diserang hama penyakit yang

dipandang membahayakan; (6) Pakelem, dilakukan sewaktu-waktu, bergabung

dengan beberapa subak lain; (7) Odalan, dilaksanakan di berbagai pura yang

disungsung oleh subak (wawancara dengan Sugiartha, tanggal 21 November

2009). Khusus untuk petani Islam di subak Pancoran upacara yang dilaksanakan

adalah pada saat pertama kali menjemput air dan pada saat setelah panen

(ngusabha), namun pelaksanaannya di mushola subak seminggu setelah petani

Hindu ngusaba di pura subak (wawancara dengan Musaimi, tanggal 21 November

2009). Senada dengan Musaimi, Moh. Hakki (65 tahun) kelian adat Islam

wawancara tanggal 21 November 2009, mengatakan bahwa seminggu setelah

umat Hindu mengadakan ngusaba, umat Islam mengadakan ngusaba tersendiri di

mushola subak dihadiri oleh prajuru subak dari umat Hindu, tujuannya sama,

yakni sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sarana yang

dipakai berupa bubur merah dan bubur putih, setelah upacara selesai dilakukan

dilanjutkan dengan syukuran makan bersama. Berbeda dengan sarana petani

Islam, sarana yang dipergunakan dalam ngusaba ageng, berdasarkan ekalikita

lxxxiii

subak Pancoran 1992 halaman 8, tertulis bebanten ngusaba ageng yang

dilaksanakan pada sasih kedasa bertepatan bulan purnama, antara lain: suci gede,

soroan, guling, sipatan, pangkonan, pangarahuan, canang daksina, nasi

akadengan, pangeluar.

b. Toleransi

Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat Bali adalah masyarakat terbuka

dalam menerima kehadiran etnik lain. Hubungan antara Bali dan masyarakat luar,

baik melalui hubungan politik maupun ekonomi atau perdagangan di masa lampau

telah menjadikan masyarakat Bali sebagai masyarakat multietnik. Ini

menyebabkan masyarakat Bali sampai sekarang bukan lagi masyarakat yang

homogen, melainkan masyarakat yang heterogen. Malahan, heterogenitas tersebut

merambah hampir semua lini kehidupan masyarakat meliputi ekonomi, agama,

sosial-budaya.

Meskipun etnik Bali (beragama Hindu) merupakan kelompok etnik

dominan, tetapi dalam kenyataannya memberikan ruang gerak dan kebebasan

pada etnik lain untuk mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa

persaudaraan yang terjadi antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal

budaya Bali. Walaupun diberikan kebebasan dalam mengembangkan

kebudayaannya, etnik lainnya tampak menyesuaikan diri dengan budaya dominan

(Bali), contohnya adalah dalam membuat bangunan suci seperti mesjid dengan

mengadopsi unsur budaya arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid

bertumpang satu dan kori dan pagar khas Bali. Di berbagai wilayah di Bali etnik

pendatang menjadi anggota subak, bahkan menjadi pengurus (wawancara dengan

lxxxiv

Bawa Atmadja, tanggal 27 November 2009). Gambaran masjid dengan pagar, kori

dan pintu khas Bali pada gambar: 5.

Gambar 5. Masjid Jamik

Sumber: Dokumen Bawa Atmadja, 2009

Menurut Bawa Atmadja (60 tahun) dosen sejarah yang bayak meneliti

tentang kebudayaan Bali, wawancara tanggal 27 November 2009, mengatakan

bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan petani Hindu dan Islam menyatu

dalam satu wadah organisasi subak, salah satunya adalah kepentingan air irigasi,

gangguan hama dan penyakit, sehingga memerlukan kerja sama secara

berorganisasi guna menyelenggarakan kegiatan yang bersifat sekala (usaha nyata)

maupun niskala (kegiatan ritual). Di subak Pancoran kerukunan/toleransi hidup

beragama tampak dari aktifitas persubakan, misalnya saling meminjam uang,

gotong royong, saling meminjam air, alat-alat pertanian. Perilaku para petani

secara langsung maupun tidak langsung berpedoman pada nilai-nilai agama sesuai

dengan ajaran agama yang diyakini petani sehingga dalam nilai-nilai sosial

terdapat nilai-nilai agama yang bersifat saling mendekatkan (asosiatif). Salah satu

lxxxv

wujud kerukunan umat di subak Pancoran adalah adanya gambar mushola dan

pura subak dalam satu lambang. Penggunaan lambang mushola dan pura menjadi

satu mencirikan toleransi kehidupan beragama dalam subak Pancoran berlangsung

secara harmonis dapat dilihat pada gambar: 6

Gambar 6. Lambang subak Pancoran

Sumber: Dokumen pribadi 2009

Berdasarkan observasi dan wawancara wujud toleransi dapat diamati dari

adanya bagunan mushola subak, balai subak, dan pura subak yang berdampingan

dalam satu areal. Gde Mas Ari (pekaseh) wawancara tangga 4 Desember 2009,

mengatakan bahwa sejarah dibangunnya mushola subak tidak bisa dilepaskan dari

adanya lomba subak yang dilakukan tahun 1982, karena menurut pemerintah

komponen Tri hita Karana terutama parhyangan harus lengkap termasuk

didalamnya mushola subak yang khusus dipergunakan dalam ritual pertanian.

lxxxvi

Kajian terhadap awig-awig subak Pancoran tahun 1992 halaman 4, tertulis

masalah kekayaan subak (indik padruwen subak), antara lain: pelinggih-pelinggih,

mushola, bale subak, dan jineng. Diakuinya subak dan mushola sebagai kekayaan

subak merupakan wujud toleransi di subak Pancoran. Menurut Moh. Hakki

(kelian adat Islam) wawancara 6 Desember 2009, mengatakan mushola dibangun

sebagai tempat terkait ritual pertanian atau menunjukan rasa syukur kepada Tuhan

Yang Maha Esa, tidak dipergunakan untuk tempat persembahyangan. Ada tembok

pagar yang memisahkan dengan halam pura semata-mata mushola tidak dimasuki

oleh binatang seperti anjing. Bangunan balai subak Pancoran juga merupakan

wujud kerukunan umat Hindu dan Islam, berfungsi sebagai tempat musyawarah

terkait dengan persubakan. Berdasarkan observasi dan wawancara dengan I Ketut

dana (prajuru subak) tanggal 28 Nopember 2009, mengatakan bahwa toleransi di

subak Pancoran berlangsung dengan baik, dibuktikan dengan sebelum suatu

kegiatan subak dilaksanakan terlebih dahulu diadakan musyawarah (paruman)

yang dilaksanakan di bale subak yang dihadiri oleh anggota subak Hindu maupun

Islam.

Balai subak ini merupakan bangunan khas Bali dengan atap tumpang dua,

ditopang oleh empat tiang kayu utama dan enambelas pembantu. Bangunan balai

subak Pancoran dapat dilihat pada gambar: 7.

lxxxvii

Gambar 7. Balai Subak Pancoran (tempat musyawarah petani

Hindu dan Islam)

Sumber: Dokumen sedana arta, 2009

Berdasarkan awig-awig subak Pancoran, musyawarah (paruman) baru bisa

dilaksanakan apabila semua anggota dan pengurus subak sudah datang, dan dalam

memutuskan sesuatu berusaha berdasarkan musyawarah mufakat bukan

berdasarkan suara terbanyak (awig-awig, 1992 : 4). Menurut Gde Mas Ari

(pekaseh) wawancara tanggal 1 Desember 2009, mengatakan sebelum rapat

dimulai, terlebih dahulu ada kasinoman (juru arah) tiga hari sebelumnya yang

mengimpormasikan adanya rapat, dan tanda panggilan rapat segera dimulai adalah

dengan adanya suara kulkul yang dipukul oleh anggota prajuru subak Pancoran.

Berdasarkan awig-awig subak tahun 1992 halaman 4, tertulis selain suatu tanda

dimulainya rapat, suara kulkul bisa juga sebagai tanda adanya bahaya atas perintah

prajuru (kulkul subak tan wenang katepak sajawaning wenten kapancabhaya

utawi pituduh prajuru). Balai kulkul merupakan bangunan khas Bali, bentuk

lxxxviii

bangunan tinggi, terdiri dari kaki, badan, atap. Kulkul adalah salah satu bagian

dari balai kulkul terbuat dari kayu sentul atau nangka (tergolong kayu dewa) yang

posisinya tergantung persis di bawah langit-langit atap balai kulkul. Contoh balai

kulkul tampak pada gambar: 8

Gambar 8. Bale Kulkul Subak Pancoran

Sumber : Makalah Indra Pranata, 2009

c. Manajemen Subak

Manajemen yang diterapkan pada subak sangat sederhana, termasuk di

subak Pancoran yang diatur dengan awig-awig. Keistemewaan dari awig-awig

subak Pancoran adalah tidak saja mengatur petani Hindu, namun juga mengatur

petani Islam, bahkan dalam awig-awig tahun 1992 halaman 4 secara jelas diakui,

bahwa salah satu kekayaan subak (druwen subak) adalah mushola, selain pura

subak dan pelingih-pelinggihnya.

lxxxix

Adapun tugas-tugas yang harus dilaksanakan oleh organisasi subak di

bawah pimpinan ketua/kelian subak (pekaseh) pada dasarnya adalah sebagai

berikut: (1) Merencaanakan tujuan dan sasaran kegiatan yang merupakan wujud

dari pelaksanaan yang taat asas menurut aturan yang diberlakukan; (2)

Menjelaskan tujuan dan sasaran kegiatan kepada anggota; (3) Menyusun

kesepakatan tundakan pemecahan permasalahan dan pembagian tanggung jawab

pada seluruh anggota; (4) Memberdayakan anggota untuk dapat berperan serta

sesuai dengan tujuan, hak dan kewajiban yang dimilikinya;

(5)Mengkoordinasikan pelaksanaan tugas yang telah ditetapkan agar tujuan dan

sasaran kegiatan yang telah disepakati dapat tercapai dengan baik (Dokumen

Ekalikita subak Pancoran tahun 1993 : 11)

Subak Pancoran sebagai sebuah organisasi sosial tradisional, memiliki

pengurus (prajuru) yang terdiri dari pekaseh (ketua subak), petajuh (wakil

pekaseh), penyarikan (sekretaris), petangen atau juru raksa (bendahara), juru

arah atau kasinoman. Peranan pekaseh subak sangat penting, sebab keberhasilan

subak banyak ditentukan oleh kepemimpinanannya. Sebab ia yang mengatur air

irigasi pada saat subak mengalami krisis air, menetapkan hari baik untuk

menanam tanaman tertentu, merencanakan upacara tertentu. Pada prinsipnya

pengurus subak memimpin dan mengendalikan subak sesuai dengan prinsip-

prinsip Tri Hita Karana. Ketua subak/Pekaseh dalam melaksanakan tugas-tugas

ke luar yang berhubungan aparat pemerintah dan ke dalam, dibantu oleh petajuh

(wakil pekaseh) sekretaris (penyarikan) dan bendahara (petangen/juru raksa).

Sedangkan kelian tempek (sub subak) bertugas untuk mengkoordinasikan tugas-

xc

tugas ke dalam (di wilayahnya masing-masing), dan tidak memiliki kewenangan

berhubungan ke luar (wawancara dengan Gde Mas Ari, tanggal 27 November

2009)

Prajuru subak umumnya dipilih oleh anggota subak dalam suatu rapat

yang diadakan khusus itu, untuk masa jabatan tertentu (biasanya 5 tahun), kecuali

untuk juru arah dan saya. Jurua rah biasanya dijabat secara bergilir di antara

anggota subak dengan pergantian setiap 35 hari ataupun 6 bulan (210 hari),

sedangkan saya dipilih berdasarkan upacara keagamaan subak. Di subak Pancoran

sangat menghargai toleransi yang dibuktikan dengan dipilihnya Husaimi AS

(petani Islam) sebagai Kelian subak VII. Pada masa kepemimpinannya subak

Pancoran berjalan dengan lancar, hal tersebut dapat dilihat dari minimya terjadi

konflik antarpetani, mobilisasi sumberdaya, pemeliharaan jaringan irigasi lancar

sehingga subak tidak kekurangan air (Dokumen Ekalikita subak Pancoran tahun

1993 : 3).

Untuk lebih memberdayakan anggota subak, disepakati dalam rapat

(sangkepan) ada pembagian keanggotaan subak. Adapun kepengurusan subak

Pancoran adalah Gede Mas Ari sebagai kelian (ketua) subak, dibantu oleh

Nyoman Widana sebagai kelian tempekan seka alang merangkap petajuh dan

petangen, sedangkan kelian adat petani Islam adalah Mohammad Hakki yang

dibantu oleh Hanafi sebagai wakil kelian adat. Dirangkulnya pemuka petani Islam

juga untuk memperlancar jalannya roda kegiatan subak Pancoran.

Secara tradisional, pembinaan subak dilakukan oleh sedahan yeh, yaitu

pegawai negeri yang bertugas membina subak di tingkat kecamatan, sekaligus

xci

sebagai pemungut pajak bumi dan bangunan untuk tanah sawah, dan bertanggung

jawab pada sedahan agung yang merupakan Pembina tertinggi subak pada suatu

kabupaten. Di samping sedahan yeh dan sedahan agung, subak Pancoran juga

mendapat pembinaan dari berbagai instansi yang terkait dengan keirigasian

(DPU), pertanian (Distan), kebudayaan (Disbudpar) dan adat (MPLA-BPPLA)

(wawancara dengan Sugiartha, tanggal 30 November 2009).

d. Sumber Belajar Sejarah di Program Studi Pendidikan Sejarah Undiksha.

1. Dosen Sejarah Kebudayaan

Dosen Sejarah Kebudayaan Indonesia di Jurusan Pendidikan Sejarah

berjumlah 2 orang yang semuanya sudah berijazah S2, namun salah satu dosen

tersebut sedang mengikuti S3 Kajian Budaya di Universitas Udayana. Sebagai

sumber belajar, salah seorang dosen tersebut banyak membimbing

mahasiswanya dengan metode ceramah dan memberikan tugas-tugas berupa

makalah terkait dengan indikator hidup keagamaan pada organisasi subak.

Mahasiswa dibebaskan mencari sumber yang terkait dengan subak di internet

sehingga mahasiswa mempunyai pemahaman awal yang baik tentang subak

yang multikultur. Dengan demikian mahasiswa menyadari bahwa bersatunya

antar nilai agama dalam subak dapat terjadi, mengingat rentangan waktu

sejarah Bali Utara memberikan gambaran masyarakat multikultur sudah

terjadi sejak zaman prasejarah, masuknya pengaruh Hindu Budha, penyebaran

agama Islam melalui perdagangan pelabuhan-pelabuhan seperti Julah, Sangsit,

Buleleng, dan Temukus, menyebabkan penduduk Buleleng sangat multikultur.

xcii

Dalam proses sejarahnya penduduk Islam tidak hanya bergelut di sektor

perdagangan namun juga di sektor pertanian, seperti yang terdapat di Dusun

Pancoran Desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada. Masyarakat muslim di

subak Pancoran mampu beradaftasi sehingga diterima menjadi anggota subak,

bahkan menjadi kelian subak.

Dosen masih menjadi sumber belajar utama dalam pembelajaran. Hal ini

terlihat pada kegiatan dosen menerangkan materi pada silabus dan RPP

dengan kompetensi dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya

masyarakat Hindu Bali dengan indikator menganalisis hidup keagamaan pada

organisasi subak. Pada saat dosen menerangkan kompetensi dasar tersebut

dengan menjelaskan subak multikultur, mahasiswa hanya mencatat penjelasan

dosen (observasi dalam ruang kuliah, tanggal 17 November 2009).

Dosen sebagai sumber belajar utama mempunyai peranan yang cukup

besar untuk meningkatkan penguasaan materi perkuliahan Sejarah

Kebudayaan Indonesia dengan berbagai metode mengajar yang dilaksanakan

sehingga memberikan dampak terhadap peningkatan pemahaman materi

perkuliahan tersebut.

2. Lingkungan Kampus.

Di lingkungan Kabupaten Buleleng terdapat beberapa sarana yang dapat

dimanfaatkan untuk pembelajaran sejarah, seperti Museum Buleleng, taman

mini sejarah, dan cagar budaya di beberapa tempat, misalnya: Candi Budha di

Kalibukbuk, dan arca megalitik yang ada di Desa Tejakula, dan peninggalan

megalitik yang ada di Desa Sembiran, bahkan di Desa Sembiran ditemukan

xciii

prasasti Sembiran A II (886 Caka) yang berisikan perintah Raja Sri Janasadhu

terhadap masyarakat Desa Julah, Indrapura, Hiliran, dan Buwudalem untuk

memelihara bangunan suci yang mengalami kerusakan. Temuan situs Budha

Kalibukbuk dapat diduga, bahwa di situs Kalibukbuk masa lalu telah

berkembang agama Budha. Hal ini dapat dibuktikan pada saat eskapasi tahun

1995, di situs tersebut ditemukan pondasi candi yang terbuat dari batu merah

besar, stupika yang berisi materai dari tanah liat, memuat mantra agama Budha

yang tulisannya sejaman dengan tulisan yang ada di Candi Kalasan,

diperkirakan oleh Balai Arkeologi candi tersebut dibangun pada abad VIII.

Bangunan Candi Budha di Kalibukbuk sekarang telah selesai direnovasi, yang

bagi mahasiswa sejarah bisa dijadikan sumber belajar sejarah dan sekaligus

sebagai objek wisata.

Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha juga mempunyai taman mini

sejarah, taman ini berfungsi sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan karena

di dalamnya terdapat duplikasi dari kehidupan prasejarah seperti manusia

purba (cave man) yang tinggal di gua-gua alam (abris sous roche), masa

megalitikum dengan adanya menhir, kubur batu, sarkopagus, masa Hindu-

Budha dengan adanya replika prasasti yupa, prasasti ciaruteun, patung Gajah

Mada, bis tua yang terkait dengan sejarah berdirinya kampus). Dengan adanya

taman mini ini, mahasiswa diajak belajar tentang sejarah kebudayaan dari masa

prasejarah, Hindu Budha. Kondisi taman mini sejarah yang sejuk,

menyebabkan mahasiswa senang dengan menjadikan taman mini sebagai

xciv

sumber belajar oleh mahasiswa sejarah maupun siswa SD, SMP, SMA yang

ada di sekitar kota Singaraja..

Sumber belajar lainnya adalah laboratorium sejarah yang dilengkapi

dengan perpustakaan, ruang pajangan dengan ukuran (4,2 m x 8,4 m) dan

ruang audiovisual dengan ukuran (4,3 m x 6,6 m). Di dalam ruang pajangan

terdapat benda-benda koleksi dari masa neolitikum (kapak lonjong), masa

megalitikum dengan replika menhir, masa Hindu-Budha dengan replika Candi

Borobudur dan Prambanan, stupika (asli), masa Islam dengan replika batu

nisan Sultan Malik Al Saleh, masa kontenporer dengan adanya mesin ketik

tahun 1960-an, komputer lama. Selain koleksi tersebut terdapat pula berbagai

jenis mata uang dari zaman Belanda, Jepang, uang kuno Bali (uang kepeng),

wayang Bali, wayang Golek, dan berbagai jenis pakaian daerah dari NTB dan

Bali. Di ruang laboratorium sejarah, mahasiswa sering diajak mengamati,

berdiskusi tentang sejarah kebudayaan dari masa prasejarah, masa Hindu-

Budha, masa Islam, dan masa kontenporer. Suasana pembelajaran semakin

menyenangkan karena di ruang audio visual, mahasiswa dapat menonton film-

film bertemakan sejarah, hal ini akan mengurangi kebosanan belajar yang

dominan di dalam kelas, di samping ruangan audio visual tersebut mampu

menampung 20-25 orang mahasiswa dan dilengkapi AC sehingga sering

difungsikan juga sebagai tempat perkuliahan terutama untuk membahas dan

mempresentasikan tugas atau hasil-hasil penelitian yang diberikan oleh dosen

pendidikan sejarah.

xcv

3. Buku-buku Sejarah

Koleksi buku-buku sejarah di laboratorium pendidikan sejarah, Fakultas

Ilmu Sosial, Undiksha masih kurang dan belum memenuhi kebutuhan

mahasiswa maupun dosen. Koleksi yang ada sejumlah 135 judul buku yang

didominasi buku-buku sosiologi-antropologi, buku-buku pendidikan, dan

hanya sedikit buku-buku sejarah. Buku-buku untuk perkuliahan Sejarah

Kebudayaan Indonesia juga sangat memprihatinkan (berdasarkan observasi di

kelas, tanggal 17 November 2009) buku yang dipakai oleh dosen pengampu

mata kuliah hanya bersumber dari Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 1,

2, dan 3 karangan Dr. Soekmono, edisi ketiga tahun 1981. Sebenarnya ada

beberapa buku yang khusus membahas perkembangan sejarah kebudayaan Bali

untuk memperkaya pengetahuan mahasiswa terutama pada saar membahas

Kompetensi Dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat

Hindu Bali. Contohnya Dinamika Kebudayaan Bali, yang merupakan

kumpulan karangan dengan I Wayan Ardika dan I Made Sutaba sebagai editor,

Dinamika Masyarakat dan Kebudayaan Bali, dengan I Gde Pitana sebagai

editor, Subak Sistem Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canang Sari, dengan I

Gde Pitana sebagai editor, Revitalisasi Subak dalam memasuki Era Globalisasi

dengan I Gde Pitana dan I Gede Setiawan AP sebagai editor, buku-buku

terbitan museum arkeologi yang banyak mengupas peninggalan-peninggalan

purbakala di Bali. Keterbatasan buku-buku sejarah tentu menjadi faktor

penghambat ketika mahasiswa membahas topik-topik yang ada dalam KD,

xcvi

sehingga mahasiswa dalam mengerjakan tugas-tugas kebanyakan mencari

bahan dari internet.

2. Sajian Data

a. Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab subak

Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat.

Pemahaman mahasiswa terhadap subak Pancoran adalah: (a) organisasi

sosial tradisional yang mengatur pencarian, distribusi air, operasi serta

pemeliharaan jaringan irigasi; (b) organisasi yang anggota-anggotanya mengambil

air pada satu bendungan; (c) organisasi petani yang anggotanya beragama Hindu

yang dicirikan dengan adanya upacara-upacara agama terkait dengan siklus

tanaman padi; (d) organisasi yang anggota-anggotanya tidak hanya petani Hindu

namun juga petani Islam, sehingga subak Pancoran merupakan subak yang unik

karena mengakomodasikan anggota yang berbeda agama. Pemahaman yang

demikian merupakan pendapat dari mahasiswa yang sedang maupun yang sudah

menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Mahasiswa dibidik dalam dua jenis, yaitu mahasiswa yang sedang

menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia dan yang sudah

menempuh mata kuliah tersebut. Bagi mahasiswa yang sedang menempuh Sejarah

Kebudayaan Indonesia, awalnya sulit memahami peran dan tanggung jawab subak

Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat. Hal ini dapat dicermati dari

pernyataan I Putu Indra Pranata (19 tahun) mahasiswa Jurusan Pendidikan Sejarah

pada saat wawancara pada tanggal 20 November 2009 menyatakan pemahaman

xcvii

awal mahasiswa tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam

menciptakan kerukunan umat masih rendah, hal ini disebabkan dalam

pengetahuan mereka subak selalu identik dengan agama Hindu.

Hal senada diungkapkan Ni Nyoman Murni Ari Pertiwi, mahasiswa

jurusan pendidikan sejarah (wawancara, tanggal 20 November 2009) menyatakan

bahwa subak dijiwai oleh nilai-nilai ajaran agama Hindu, dicirikan dengan adanya

kegiatan upacara keagamaan di pura subak. Ni Nyoman Desy Partami

(wawancara, tanggal 24 November 2009) menyatakan bahwa subak dijiwai oleh

Tri Hita Karana, yang mempunyai pengertian tiga penyebab keharmonisan umat

manusia, salah satunya adalah menyangkut hubungan manusia dengan Ida Hyang

Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang dipuja di pura subak.

I Putu Eka Noviantara, mahasiswa jurusan pendidikan sejarah

(wawancara, 25 November 2009) mengungkapkan bahwa subak mempunyai

awig-awig yang hanya mengatur petani Hindu, yang mengatur tentang hak dan

kewajiban terkait dengan parhyangan, pawongan dan palemahan. Pelanggaran

terhadap awig-awig tersebut dapat dikenakan sanksi, sehingga kerukunan dan

keharmonisan subak tetap terjaga.

Mahasiswa yang sudah menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan

Indonesia mempunyai pemahaman yang baik tentang peran dan tanggung jawab

subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat. Hal ini dapat disimak dari

pernyataan I Putu Eka Noviantara, seorang mahasiswa sejarah (wawancara,

tanggal 25 November 2009) bahwa subak Pancoran dalam menciptakan

kerukunan umat diwujudkan dalam dalam bentuk kegiatan sesuai dengan fungsi

xcviii

subak Pancoran, seperti pencarian, distribusi air irigasi, operasi serta pemeliharaan

fasilitas irigasi.

Berdasarkan observasi di subak Pancoran, beberapa mahasiswa berdiskusi

tentang bagaimana caranya pendistribusian air oleh subak Pancoran, sehingga

memenuhi rasa keadilan petani Hindu dan Islam. Mahasiswa dapat belajar

bagaimana sistem yang harus diikuti oleh anggota subak Pancoran, bahwa setiap

anggota harus mengikuti ayahan, membayar air sesuai dengan keperluan, dan

semuanya dilakukan serta diputuskan dalam suatu rapat (paruman subak) yang

dihadiri oleh anggota subak dan pengurus subak. Tentang rapat (paruman) diatur

dalam awig-awig 1992 halaman 4, tertulis rapat anggota dan pengurus subak

diadakan secara rutin atau menurut kegunaan (paruman krama wiadin prajuru

kawentenang nitia kala wiadin manut wiguna). Berdasarkan analisis dokumen

ekalikita subak Pancoran halaman 12, tertulis rapat anggota subak diadakan pada

hari saniscara kliwon (Sabtu Kliwon), atau hari tumpek. untuk membahas

permasalahan yang ada.

Sumber-sumber air irigasi subak Pancoran, berdasarkan kajian awig-awig

tahun 1992 halaman 7, tertulis bahwa sumber air berasal dari bendungan

(empelan) Sungai Sari, dan saluran primer (temuku aya) Tiying Tali. Air dari

sumber-sumber tersebut dibuatkan saluran sekunder (telabah gede), saluran

pribadi (kekalen-kekalen). Berdasarkan observasi dan wawancara pada

perkuliahan di kelas pada tanggal 24 November 2009, Sudariya dosen kebudayaan

menjelaskan bahwa subak Pancoran memiliki kearifan lokal sehingga terjaga

kerukunan antar petani Hindu dan Islam, bentuknya adalah metode bergilir,

xcix

dengan ketentuan yang paling hulu (ngulu) mendapatkan air irigasi, kemudian

kelompok tengah (maongin), terakhir yang berhak menggunakan air adalah yang

paling hilir (ngasep). Menurut Ni Made Ari Yuliantari (19 tahun) mahasiswa

sejarah wawancara tanggal 24 November 2009, mengatakan bahwa keharmonisan

antara petani Hindu dan Islam dalam hal pendistribusian air menandakan

hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), antara manusia dengan

alam lingkungan (palemahan) berjalan dengan baik, sekaligus hal ini memberikan

gambaran bagaimana subak dan anggotanya mengolah dan memanfaatkan sumber

daya alam yang terbatas yang terdiri atas tanah atau lahan pertanian, air irigasi,

tanaman dan hewan agar dapat memberikan kesejahteraan bagi seluruh anggota

subak beserta keluarga mereka masing-masing.

Untuk menjamin kelancaran distribusi air, maka setiap anggota subak baik

Hindu maupun Islam mempunyai kewajiban yang sama untuk melakukan

pemeliharaan jaringan irigasi dari kerusakan maupun pencurian air oleh anggota

dari subak lain. Nengah Aris Pratama (20) mahasiswa sejarah wawancara tanggal

24 November 2009, mengatakan bahwa pemeliharaan jaringan irigasi oleh subak

Pancoran meliputi empelan, saluran irigasi (telabah), bangunan bagi (tembuku).

Pada saat gotong royong dalam pemeliharaan ini secara tidak langsung

memelihara persatuan dan kerukunan antarpetani. Menurut Husaimi (petani Islam

mantan pekaseh) menjelaskan apabila anggota subak Hindu maupun Islam tidak

mengikuti gotong royong (ngayah) dapat dikenai sanksi berupa dedosan seperti

yang telah diatur dalam awig-awig subak. Berdasarkan kajian dokumen pasuara

subak Pancoran tahun 1993 halaman 2, memberikan rincian denda (dedosan) bagi

c

anggota subak yang tidak melaksanakan kewajiban. Hal senada juga dipaparkan

dalam awig-awig tahun 1992 halaman 9, tertulis subak berhak menjatuhkan denda

pada anggota subak yang bersalah melanggar awig-awig, besar kecilnya denda

ditentukan besar kecilnya kesalahan yang diperbuat. Jenis-jenis denda yang

dijatuhkan adalah danda arta (denda berupa uang), pengampura (permintaan

maaf), upacara penyangaskara (denda berupa upacara memakai banten),

kasempetin toya (penghentian air irigasi). Mahasiswa diijinkan mempotocopi

awig-awig sebagai bahan menyusun makalah yang akan dipresentasikan di kelas

sekaligus sebagai sumber belajar.

Peran subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat juga terlihat

dari aktivitas religi yang dilaksanakan di subak pancoran. Riadi Panji Sagitha (19

tahun) mahasiswa sejarah (wawancara tanggal 20 November 2009), mengatakan

bahwa pada saat kegiatan upacara yang terkait dengan siklus pertanian terutama

ngusaba, peran aktif anggota subak baik yang beragama Hindu maupun Islam

sangat baik, hal tersebut tampak ketika paruman di bale subak membicarakan

persiapan ngusaba, dihadiri pula oleh oleh petani Islam, bahkan sehari sebelum

upacara dimulai petani Islam kompak gotong royong membantu saudara-

saudaranya yang beragama Hindu pada sasih kedasa. Buda Parmadi (19 tahun)

mahasiswa sejarah (wawancara tanggal 20 November 2009), menambahkan

bahwa ngusaba adalah upacara yang dilaksanakan menjelang panen di pura subak

(bedugul) yang dilaksanakan masing-masing tempek, sebagai ungkapan rasa

syukur dan terima kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan

rahmat-Nya, karena tanaman padi telah berhasil.

ci

Penanganan konflik mempunyai peran penting untuk menciptakan

kerukunan umat di subak Pancoran yang penanganannya diatur dalam awig-awig.

Riadi Panji Sagitha (19 tahun) mahasiswa sejarah (wawancara tanggal 22

November 2009), mengatakan bahwa keberhasilan subak Pancoran menangani

konflik dimungkinkan karena adanya awig-awig dan kesadaran anggota subak

untuk mematuhi aturan-aturan yang ada dalam awig-awig tersebut.

Senada dengan pendapat tersebut, I Kadek Wira Mahayuna (wawancara

tanggal 27 November 2009) mengatakan bahwa konflik yang terjadi di tingkat

subak penanganannya secara kekekluargaan antara pihak-pihak yang bertikai di

bawah pengayoman kelian tempek jika terjadi di tingkat tempekan, apabila tidak

bisa diselesaikan ditangani oleh kelihan subak sebagai mediator. Apabila mediasi

tidak berhasil, maka permasalahan sengketa tersebut dibawa ke paruman subak

Pancoran dan diputuskan berdasarkan awig-awig yang berlaku.

Usaha lain dari subak Pancoran untuk menciptakan kerukunan umat adalah

memelihara toleransi di subak Pancoran melalui pertemuan secara teratur yang

dilaksanakan di balai subak. Menurut Buda Parmadi (19 tahun) mahasiswa sejarah

(wawancara tanggal 30 November 2009), balai subak Pancoran menjadi salah satu

faktor pemersatu petani Islam dan Hindu, sebab di tempat tersebut secara berkala

terjadi pertemuan untuk membicarakan segala sesuatu terkait dengan persubakan,

misalnya membicarakan persiapan masa tanam, ritual subak, dan tempat untuk

memutuskan sanksi bagi yang melanggar aturan awig-awig subak.

Menurut Gede Megayana (19 tahun) mahasiswa sejarah (wawancara

tanggal 3 Desember 2009), mengatakan bahwa adanya kulkul di subak Pancoran

cii

juga menjadi pemersatu petani Hindu dan petani Islam, semua anggota akan

segera berdatangan ketika suara kulkul sudah terdengar menuju ke balai subak

untuk mengikuti rapat.

Beradasarkan observasi di kelas dan wawancara dengan Aris Pratama (19

tahun) mahasiswa sejarah, tanggal 8 Desember 2009) mengemukakan bahwa

adanya mushola dan pura dalam lambang subak Pancoran mencirikan toleransi

yang kental antara petani Hindu dan Islam. Di bawah lambang tersebut terdapat

pita yang berisi tulisan Tri hita Karana, menandakan bahwa filsafat hidup tersebut

telah diterima tidak saja oleh petani Hindu namun juga oleh petani Islam. Menurut

Dharma Tanaya (19 tahun) mahasiswa sejarah (wawancara, tanggal 8 Desember

2009), mengatakan bahwa ajaran Tri Hita Karana memberikan pedoman bagi

anggota subak untuk hidup harmonis dan menjiwai kehidupan subak.

Berdasarkan observasi (tanggal, 4 Desember 2009), bangunan pura subak,

balai subak, dan mushola dalam satu areal menunjukan adanya toleransi yang

tinggi petani Hindu dan Islam. Mushola merupakan bangunan suci untuk

melaksanakan ritual pertanian bagi petani Islam, sedangkan pura subak adalah

bangunan suci untuk melaksanakan ritual pertanian bagi petani Hindu tempat

memuja Dewi Sri. Bangunan yang menunjukkan toleransi tampak pada gambar: 9

ciii

Mushola

Pura subak

Balai subak

Gambar 9. Pura Subak, Mushola Subak, Balai Subak

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

Terciptanya toleransi dalam subak tidak bisa dilepaskan dari pemahaman

dan pelaksanaan nilai-nilai agama yang terdapat dalam ajaran kedua agama.

Menurut I Putu Indra Pranata (19 tahun) (wawancara, 7 Desember) mahasiswa

sejarah, menjelaskan mengacu pada informasi yang diberikan oleh Muhammad

Hakki (kelian adat Islam) bahwa ajaran agama Islam yang melandasi kehidupan

subak Pancoran sangat menjungjung tinggi nilai-nilai toleransi yang bersumber

dari Al Qur’an. Sedangkan ajaran agama Hindu menurut Gde Mas Ari (pekaseh)

yang melandasi kehidupan toleransi di subak Pancoran adalah Tri Hita Karana

dan Tat Twam Asi. Masyarakat Bali memiliki ideologi Tri Hita Karana. Ideologi

ini menggariskan bahwa manusia harus hidup harmonis antarsesamanya

(pawongan), antara manusia dan alam (palemahan), dan antara manusia dan

Tuhan, dewa-dewa maupun roh leluhur (parhyangan). Dengan adanya ideology

Tri Hita Karana ini turut mempunyai andil yang besar menjaga kerukunan

antarumat beragama di subak Pancoran.

civ

Beradasarkan observasi di ruang 1 pendidikan tanggal 8 Desember 2009,

Nampak mahasiswa sangat antusias mendiskusikan peran pengurus dalam

menciptakan kerukunan antarpetani Islam dan Hindu. Hal ini tampak ketika

kelompok dari Indra Pranata (mahasiswa sejarah) memaparkan peran pengurus

subak (prajuru subak) juga sangat penting untuk menjaga kerukunan umat

sekaligus untuk memberdayakan anggota subak.. Indra Pranata memberikan

argument toleransi di subak Pancoran tinggi, yang dibuktikan Musaimi (tokoh

muslim) pernah menjadi pekaseh di subak Pancoran tahun 1965 sampai 1969.

Sementara menurut Ni Made Ari Yuliantari (19 tahun) salah seorang mahasiswa

sejarah menambahkan bahwa berdasarkan wawancara yang dilakukannya dengan

bapak Gde Mas Ari (kelian subak) kerukunan antarumat beragama tidak bisa

dilepaskan dari faktor historis, bahwa anggota subak Pancoran sebagian adalah

keturunan Ki Barak Panji Sakti (pendiri kerajaan Buleleng). Lebih lanjut Indra

Pranata mengatakan peran Subak pancoran dalam menciptakan kerukunan umat

dapat dilihat sikap saling menghormati kepercayaan masing-masing agama (nilai

toleransi) dan nilai kerja sama, hal ini dibuktikan pada saat petani Hindu meminta

bantuan (tolong-menolong) melakukan penanaman padi di sawah, harus disertai

meminta bantuan juru masak dari teman Islam terutama untuk memotong ayam,

sebab petani Hindu mengetahui bahwa memotong ayam tidak boleh sembarangan

dan ada syarat-syaratnya sesuai dengan ajaran Islam. Kegiatan tolong-menolong

ini terutama para petani yang mempunyai kekerabatan antaragama dan atau

bertempat tinggal pada lingkungan tetangga dengan agama yang berbeda. dalam

kehidupan sehari-hari petani Hindu menyebut petani Islam dengan sebutan nyama

cv

Selam (saudara Islam) sebaliknya petani Islam menyebut petani Hindu dengan

sebutan nyama Hindu (saudara Hindu). Nilai toleransi antara petani Hindu dan

Islam dalam subak Pancoran dapat dilihat dari perilaku dalam kegiatan subak

(pertanian) dalam bentuk saling meminjam uang, tenaga kerja, meminjam air

irigasi (nyilih yeh), meminjam alat-alat pertanian. Selain itu adanya pura subak,

bale sangkepan (balai rapat) dan mushola serta adanya perpaduan mushola dan

pura dalam satu bingkai lambang subak Pancoran.

Usaha lain yang dilakukan oleh Subak Pancoran untuk mewujudkan peran

dan tanggung jawab menciptakan kerukunan umat adalah mengadakan

musyawarah mufakat. Pendapat tersebut dikemukakan Ni Made Ari Yuliantari (19

tahun) mahasiswa sejarah (wawancara, 7 Desember), mengatakan bahwa rapat-

rapat subak dilaksanakan sebelum dilaksanakannya musim tanam yang

memperhatikan dewasa ayu, yakni hari dan wuku yang dianggap baik untuk

melakukan kegiatan-kegiatan di sawah, mulai dari pengolahan lahan dan

persemaian sampai dengan panen dan penyimpanan di lumbung. Hari dan wuku

yang dianggap baik meliputi hari Senin wuku Landep, hari Selasa wuku Kulantir,

hari Rabu wuku Gumbreg, hari Senin wuku Wariga, hari Kamis wuku Langkir,

hari Jumat wuku Krulut dan hari Minggu wuku Bala. Musyawarah juga

dilaksanakan jika terdapat konflik antarpetani terkait persubakan. Dengan adanya

musyawarah (paruman/sangkepan) dapat diminimalkan konflik sehingga

kerukunan umat tetap terjaga.

Menurut Sudariya yang menjabat sebagai Ketua Jurusan Pendidikan

Sejarah sekaligus sebagai dosen pengampu mata kuliah sejarah kebudayaan

cvi

(wawancara, 8 Desember 2009), mengatakan bahwa dimasukannya subak sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan dimaksudkan agar mahasiswa lebih mengenal,

memahami lingkungan sosialnya dan tidak tercabut dari akar budaya Bali, sebab

kebudayaan Bali merupakan dibentuk oleh unsur-unsur tradisi kecil, yaitu tradisi

yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain sistem

ekonomi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi, perunggu, celup, dan

tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat

kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura.

b. Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

Dalam memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia, harus disesuaikan harus disesuaikan dengan standar

kompetensi (SK) dan kompetensi Dasar (KD) yang sudah dikembangkan dalam

indikator serta penentuan materi pokoknya. Subak Pancoran sebagai sumber

belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia yang disesuaikan dengan SK dan KD agar

pencapaian tujuan pembelajaran yang telah dirancang dosen berhasil.

Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia mengacu pada perencanaan program pembelajaran. Menurut Sudariya

(63 tahun) wawancara 8 November 2009, perencanaan pada dasarnya adalah

proses menerjemahkan kurikulum yang berlaku menjadi program-program

pembelajaran. Ada beberapa program yang harus disiapkan dosen sebagai proses

penerjemahan kurikulum, yakni program menyusun alokasi waktu, program

cvii

tahunan, program semester, silabus dan program harian atau satuan acara

perkuliahan (SAP)

Dari kajian silabus (tanggal yang dimiliki oleh Sudariya (40 tahun) dosen

pengampu mata kuliah, terdapat standar kompetensi menganalisa perkembangan

kebudayaan Indonesia. Adapun kompetensi dasarnya menganalisis hidup

keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu Bali, kemudian oleh dosen dalam

lima indikator, yaitu: (1) Mengidentifikasi bukti tertua adanya pengaruh

Hindu/Buda di Bali; (2) Menganalisis hidup keagamaan masyarakat Hindu di

Bali; (3) Menganalisis klasifikasi masyarakat Hindu di Bali; (4) Mengidentifikasi

tempat-tempat pemujaan masyarakat Hindu di Bali; (5) Menganalisis hidup

keagamaan pada organisasi subak.

Berdasarkan observasi di kelas (8 November 2009) , dosen pengampu

mata kuliah sejarah kebudayaan, memang berpedoman pada silabus yang telah

dibuat. Hal ini dapat dilihat dengan diterapkannya model pembelajaran

kontekstual dengan metode inkuiri, pada saat membahas kompetensi dasar:

menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu di Bali dengan

indikator menganalisis hidup keagamaan pada organisasi subak. Pelaksanaan

model pembelajaran kontekstual menggunakan pendekatan inkuiri ini, diawali

mengadakan apersepsi dengan memberikan pertanyaan dengan memberikan

pertanyaan kepada mahasiswa tentang: (1) bukti-bukti sejarah adanya subak di

Bali; (2) Fungsi dari subak; (3) Integrasi masyarakat muslim di subak Pancoran.

Dalam pembelajaran di kelas, dosen menerangkan subak dengan memaparkan

bukti-bukti awal sejarah subak berdasarkan prasasti-prasasti, seperti : (1) Prasasti

cviii

Sukawana AI tahun 882 M terdapat kata huma yang berarti sawah dan parlak

yang berarti tegalan; (2) Prasasti Bebetin AI tahun 986 M, yang antara lain

menyebutkan kata-kata undagi lancing, undagi batu dan undagi pengarung yang

artinya tukang membuat perahu, tukang mencari batu, dan tukang membuat

towongan air atau aungan. Dijelaskan pula dalam perkembangannya subak

menerima pengaruh budaya Islam yang dibuktikan dengan adanya subak yang

anggotanya tidak saja beragama Hindu namun ada juga yang beragama Islam,

atau subak tidak eksklusif milik petani Hindu. Pada kegiatan pembelajaran

terdapat skenario dengan langkah-langkah: penjelasan yang mendetail dari dosen

sejarah kebudayaan tentang subak yang akan dikunjungi, kemudian dosen

menentukan aspek-aspek yang akan dicari atau dipecahkan saat di subak

Pancoran. Selanjutnya dosen memberikan tugas bagi mahasiswa untuk melakukan

penelitian kecil ke subak Pancoran di desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada.

Mahasiswa dibagi secara berkelompok yang setiap kelompok berjumlah 4 sampai

5 orang, masing-masing kelompok diwajibkan membuat laporan penelitian dalam

bentuk makalah dan CD pembelajaran yang harus dipresentasikan di akhir

Desember.

Menurut menurut Sudariya (63 tahun) wawancara tanggal 17 November

2009, mengatakan bahwa penerapan model kontekstual dengan metode inkuiri ini

diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mahasiswa. Karena pengalaman dan

informasi baru yang diperoleh mahasiswa dikaitkan dengan contoh dalam

kehidupan sehari-hari mereka, sehingga mahasiswa mengerti manfaat dari materi

perkuliahan dan merasa berkepentingan untuk belajar. Alasan subak Pancoran

cix

dijadikan sumber belajar karena subak ini merupakan salah satu subak yang unik

yang anggotanya terdiri dari petani Hindu dan petani Islam yang bisa hidup

bertoleransi dalam satu organisasi sosial tradisional khas Bali.. Menurut Sudariya

(63 tahun), bagi Jurusan Pendidikan Sejarah Undiksha, kegiatan penelitian ini

dimaksudkan sebagai wujud praktek mata kuliah sejarah kebudayaan, tujuannya

adalah membentuk tenaga pendidik, terutama dalam membina calon guru sejarah

yang profesional (sesuai dengan disiplin keilmuannya), muaranya nanti

mahasiswa mampu menghasilkan media pembelajaran. Hal ini penting menambah

pengalaman sebagai calon guru ketika mengajar di sekolah. Sehingga apa yang

didapatkan oleh mahasiswa dalam pembelajaran adalah suatu bentuk

pembelajaran yang inovatif dari seorang guru yang memang dilatih dan dibekali

dengan keterampilan lebih lewat penelitian kecil, terutama dalam pengembangan

pembelajaran di subak Pancoran.

Berdasarkan observasi di lapangan tanggal 20 November 2009, mahasiswa

yang mencari data ke lapangan menggunakan kendaraan sepeda motor secara

berkelompok. Untuk menggali data di subak Pancoran, mahasiswa mengadakan

wawancara dengan tokoh-tokoh subak baik yang beragama Hindu maupun Islam.

Mereka mencari informan-informan kunci (Gde Mas Ari, Musaimi, Nyoman

Widana, Gde Nada, Muhammad Hakki) yang dapat memberikan informasi secara

mendalam, dari informan tersebut bisa menunjukan informan lain yang bisa

memberikan informasi untuk melengkapi data yang sudah diperoleh sebelumnya.

Pekerjaan mahasiswa dipermudah karena membawa seperangkat teknologi

seperti: kamera digital, tape recorder. Sehingga data yang diperoleh dari informan

cx

lebih cepat diolah ke dalam bentuk makalah yang akan dipresentasikan di depan

kelas secara berkelompok.

Dalam pencarian data di rumah Gde Mas Ari, salah seorang mahasiswa

bernama Indra Pranata banyak bertanya tentang latar belakang toleransi yang

antara petani Hindu dan Islam, yang dijawab Gde Mas Ari (pekaseh) bahwa

kerukunan bisa terjadi karena petani Hindu dan Islam sama-sama memerlukan air

irigasi, dan menjungjung ajaran Tri Hita Karana, dan adanya awig-awig subak

yang bersi aturan dan sanksi bagi yang melanggar. Tidak lupa mereka meminta

awig-awig subak untuk bisa diperbanyak sebagai bahan untuk membuat laporan

penelitian.

Dari observasi kepada mahasiswa dan dosen pada tanggal 24 November

2009, para mahasiswa sangat antusias mengikuti pembelajaran di subak Pancoran.

Beberapa mahasiswa terlihat bersungguh-sungguh melakukan observasi dan

saling diskusi dengan temannya. Mahasiswa bernama Frimantara (19 tahun)

mengambil gambar pura subak, mushola subak, kulkul subak, jineng yang berada

dalam satu areal dan mengamati kondisi sawah milik petani Hindu dan Islam..

Mereka bertanya kepada seorang anggota subak bernama I Gde Dana, yang

sedang berada di areal subak tentang sejarah dan fungsi bangunan dalam

persubakan. Gambar yang mereka ambil di subak Pancoran dipergunakan untuk

melengkapi data-data yang dipergunakan pembuatan makalah dan CD

pembelajaran. Untuk memperjelas fungsi mushola subak, Amanda Destianty

Poetri (19 tahun) mengadakan wawancara dengan Moh. Hakki tentang ritual

terkait dengan ngusaba yang dilaksanakan oleh petani Islam. Hasil wawancara

cxi

menurutnya akan digunakan sebagai bahan diskusi dengan kelompoknya sehingga

menghasilkan karya tulis yang mampu member gambaran tentang subak yang

fluralistik (wawancara tanggal 27 November 2009).

Frimantara (19 tahun) mahasiswa sejarah (wawancara tanggal 27

November 2009), mengatakan bahwa pada waktu di lapangan mereka berusaha

mengidentifikasi sawah yang dimiliki oleh petani Hindu dan Islam. Ternyata yang

membedakannya adalah sawah petani Hindu ada pelinggih pengalapan,

sedangkan petani Islam tidak terdapat pelinggih pengalapan karena dalam ajaran

agama Islam haram memuja tanah pertanian. Gambar yang membedakan sawah

petani Hindu dan islam dapat dilihat pada gambar: 10

Gambar 10. Sawah petani Hindu dan Islam

Sumber: Dokumen Frimantara 2009

Berdasarkan observasi tanggal 8 Desember 2009 di kelas, kegiatan

presentasi masing-masing kelompok berusaha menampilkan sebaik-baiknya karya

tulis mereka yang poin-poinnya dituangkan dalam power point, dan ditayangkan

pula CD pembelajaran yang mereka buat sebelumnya. Mengingat keterbatasan

cxii

waktu hanya dua kelompok yang bisa menampilkan karya. Namun jalannya

diskusi yang dipandu oleh dosen pembimbing berlangsung konstruktif, hal

tersebut dapat dilihat dari banyaknya pertanyaan yang muncul dari mahasiswa.

Mahasiswa bernama Widiarya (19 tahun) menanyakan faktor-faktor apa saja yang

menyebabkan dua komunitas petani tersebut bisa menyatu dalam satu organisasi

bernama subak Pancoran, bagaimana subak Pancoran mempertahankan kerukunan

dalam wadah subak. Indra Pranata menjelaskan bahwa terdapat berbagai faktor

yang menyebabkan bersatunya petani Hindu dan Islam seperti adanya kepentingan

bersama akan air irigasi, nilai-nilai agama dari Hindu dan Islam yang sama-sama

mengajarkan akan pentingnya toleransi, adanya sikap saling tolong menolong

dalam kegiatan pertanian, seperti saat sebelum menanam padi, memelihara

jaringan irigasi, saat panen, maupun saat upacara seperti ngusaba nini maupun

ngusaba kacang.

Berdasarkan wawancara dengan Sudariya (63 tahun) (wawancara tanggal

8 Desember 2009), evaluasi atau penilaian dilakukan dengan melihat karya tulis

baik isi maupun tata tulis, kemampun menyampaikan isi laporan, serta

kemampuan dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan

mahasiswa lain. Sedangkan CD pembelajaran yang dibuat akan disimpan di lab

sejarah untuk melengkapi koleksi CD pembelajaran yang sudah ada, dan nantinya

digunakan sebagai media pembelajaran untuk tahun yang akan datang. Hasil dari

tugas-tugas terkait dengan Subak Pancoran dibuat dalam sebuah CD yang

disimpan di Lab Pendidikan Sejarah. Dokumen tersebut akan dipergunakan

sebagai media pembelajaran, hal ini penting untuk memberikan pemahaman awal

cxiii

pada mahasiswa tentang subak multikultur. Pemanfaatan Subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan juga dimaksudkan untuk mengembangkan

pola pembelajaran di luar kelas. dalam hal ini mahasiswa akan bisa memahami

secara kontekstual memahami dan mengkaji setiap fenomena-fenomena sosial

budaya masyarakat yang selama ini kecendrungan diajarkan dalam situasi dan

ranah pembelajaran di dalam kelas yang materinya masih dalam konteks di awan-

awan.

Metode perkuliahan dengan metode inquiri menyenangkan bagi

mahasiswa. Menurut I Putu Indra Pranata (19 tahun) (wawancara, 8 Desember

2009), metode inquiri memberikan pengalaman pada mahasiswa tentang

kehidupan lingkungan sosial budaya khususnya subak Pancoran, dan ternyata

keanggotaan subak bukanlah hanya petani Hindu tetapi petani Islam bisa

terakomodasi. Kenyataan ini menunjukkan petani Hindu di subak Pancoran

memiliki toleransi yang sangat tinggi. Menurut I Nengah Aris Pratama (19 tahun)

dalam presentasi makalah tentang subak Pancoran, kelompoknya berusaha

membuat karya tulis tersebut dengan baik, misalnya dengan membuat power

point, menampilkan gambar-gambar tentang kehidupan subak Pancoran sehingga

memberikan pemahaman yang mendalam dan holistik keberadaan subak yang

multikultur dengan demikian bisa dijadikan model tentang kehidupan bertoleransi

antaragama dalam suatu lembaga subak

c. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan subak Pancoran

sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.

cxiv

Penggunaan subak sebagai sumber belajar merupakan salah saatu sumber

yang baik dalam usaha mengembangkan kreativitas mahasiswa dan

mempermudah memahami sumber sejarah yang diperoleh dari buku-buku Sejarah

Kebudayaan Indonesia maupun dosen. Penggunaan subak Pancoran tidak begitu

saja dapat diterima maupun diterapkan dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Indonesia. Dalam menggunakan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia terdapat beberapa kendala yang masih harus dihadapi baik

oleh mahasiswa maupun dosen dengan didasarkan beberapa alasan.

1. Waktu

Yang menjadi kendala utama kami selaku dosen pengampu mata kuliah

sejarah kebudayaan adalah alokasi waktu demikian pernyataan Sudariya (63

tahun) wawancara tanggal 17 November 2009. Alokasi waktu 4 jam pelajaran

tidak cukup untuk menyelesaikan 15 KD (Kompetensi Dasar). Rangkaian proses

pembelajaran dan berbagai variasinya sangat membutuhkan jumlah jam yang

tidak sedikit untuk mengetahui kualitas proses perkuliahan maupun output-nya.

Termasuk dalam pembahasan subak Pancoran, khusus dengan penerapan

pembelajaran kontekstual menggunakan metode inkuiri memerlukan waktu yang

cukup banyak.

Berdasarkan kajian dokumen silabus mata kuliah sejarah kebudayaan

tahun 2009, tertulis dalam silabus berbasis kompetensi terdapat lima belas

Kompetensi Dasar yang harus dikuasai oleh mahasiswa dan harus diselesaikan

dalam enam belas kali pertemuan, sementara waktu yang disediakan harus

cxv

dipotong oleh libur nasional maupun libur daerah, sehingga waktu epektif yang

bisa dilaksanakan adalah dua belas kali pertemuan. Lebih lanjut Menurut Sudariya

(63 tahun) , metode inkuiri sangat mendukung strategi mengajar yang

menekankan sejarah Kebudayaan Indonesia maupun sejarah lokal, karena siswa

bisa diajak dan didorong untuk aktif bekerja dan berhubungan dengan sumber-

sumber sejarah secara langsung, sehingga mahasiswa bisa dikatakan berhadapan

langsung dengan proses kerja sejarah pada tangan pertama. Apa yang dilakukan

mahasiswa tidak ubahnya dengan kegiatan seorang sejarawan yang biasanya

mengikuti langkah-langkah mencari atau menemukan jejak-jejak sejarah

(heuristik), mengevaluasi jejak yang ditemukan dari segi kebenaran historisnya

(kritik sejarah), menginterpretasikan fakta-fakta sejarah dan menuliskan cerita

sejarahnya.

Menurut Indra Pranata (19) tahun mahasiswa sejarah (wawancara tanggal

1 Desember 2009), mengatakan bahwa untuk mengerjakan tugas dari dosen

tentang subak Pancoran memerlukan banyak waktu di luar jam kuliah, padahal

tugas-tugas lain menunggu untuk diselesaikan, namun demikian pemanfaatan

subak Pancoran sebagai sumber belajar disatu sisi melatih kemampuannya untuk

membuat karya tulis yang sederhana yang bermanfaat untuk memperkaya

wawasan tentang model toleransi pada subak yang pluralistik..

2. Lokasi dan minimya pengetahuan narasumber Subak Pancoran

cxvi

Berdasarkan observasi dan wawancara, menurut Ni Made Ari Yuliantari

(wawancara tanggal 26 November 2009), mengatakan bahwa kesulitan dalam

memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan adalah

lokasi subak Pancoran yang diteliti belum diketahui sehingga mereka pernah

kesasar ke lokasi subak desa Panji, padahal lokasi sebenarnya adalah subak

Pancoran di Desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng di

samping waktu yang diberikan oleh dosen pengampu adalah 2 minggu. Kesulitan

lainnya adalah terbatasnya pengetahuan narasumber tentang sejarah masuknya

Islam dan proses diterimanya petani Islam ke dalam organisasi subak Pancoran

yang pada mulanya identik dengan budaya Bali bersendikan nilai-nilai agama

Hindu.

Menurut Ayu Aspriyanti (19 tahun) (wawancara tanggal 27 November

2009), mengatakan bahwa kadang-kadang narasumber yang dicari tidak ada

karena mereka bekerja di sawah jauh dari tempat tinggalnya, sehingga mereka

harus beberapa kali kekediaman narasumber yang dimaksud. Lain halnya dengan

Amanda (19 tahun), mengatakan bahwa keinginan untuk mendokumentasikan

momen upacara terkait dengan ngusaba tidak bisa dilakukan karena upacara

tersebut berlangsung sasih kedasa.

Menurut Moh. Hakki (65 tahun) (wawancara tanggal 28 November 2009),

mengatakan bahwa kesulitan untuk menjelaskan bagaimana proses penyebaran

Islam dan terintegrasinya masyarakat Islam ke dalam subak Pancoran disebabkan

tidak adanya bukti catatan yang ditinggalkan oleh leluhur mereka.

cxvii

Berdasarkan ekalikita 1993 halaman 3, tertulis sejarah subak Pancoran

berdasarkan cerita lisan dikatakan sudah ada sejak tahun 1820, sudah ada anggota,

bendungan, dan pengurus subak yang dipimpin oleh leluhur dari keluarga Gede

Nada (pecak subak pancoran manut ceritra saking penglingsir inggih punika

warsa 1820, sakeng kumpulan pawongan punika sampun nyungkemin kahyangan

ring pura subak, ulun empelan, kewentenang prajuru pasubakan luwire kelian

subak 1 leluhur saking kel;uarga Gede Nada).

3. Fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami kerusakan

Sumber belajar akan menjadi bermakna bagi mahasiswa maupun dosen,

apabila sumber belajar diorganisir melalui satu rancangan yang memungkinkan

seseorang dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar. Rancangan tersebut

memerlukan fasilitas pendukung. Oleh karena itu menurut menurut Oka

Purnawati (42 tahun) dosen sejarah (wawancara tanggal 12 Desember 2009)

pemanfaatan audio visual yang terdapat di Lab Jurusan Pendidikan Sejarah

merupakan kebutuhan penting yang dapat menjadi alternatif dalam proses

pembelajaran sejarah.

Namun berdasarkan observasi dan wawancara tanggal 12 Desember 2009,

di ruang 1 dan Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah, peralatan penunjang

perkuliahan seperti LCD yang terpasang di ruang 1 dalam keadaan rusak sehingga

tidak bisa difungsikan, demikian pula OHP yang jumlahnya 3 buah dalam

`keadaan rusak karena jarang atau lama tidak digunakan. LCD yang ada tidak

sebanding dengan dengan jadwal perkuliahan sehingga antara dosen yang satu

dengan yang lain sering memprotes ketua lab, karena setiap pemakaian LCD

cxviii

sudah ada yang mendahului. Kamera digital sejumlah tiga buah dan dua buah

handy camp tidak bisa difungsikan untuk mendukung pembelajaran sejarah

kebudayaan termasuk saat mahasiswa ke lapangan untuk mengadakan penelitian

di subak Pancoran karena dalam keadaan rusak walaupun sudah beberapa kali

diperbaiki dan sudah menghabiskan banyak biaya. Menurut Oka Purnawati,

kerusakan peralatan Lab Jurusan Pendidikan Sejarah disebabkan oleh beberapa

faktor, diantaranya: kelalaian prosedur pemakaian yang dilakukan oleh mahasiswa

dan dosen waktu selesai perkuliahan dan kegiatan kemahasiswaan, minimnya

biaya pemeliharaan yang diperoleh dari lembaga sehingga peralatan yang rusak

tidak bisa segera diperbaiki. Keadaan ini menyebabkan terganggunya proses

perkuliahan termasuk ketika diskusi kelompok dilakukan dalam perkuliahan

Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Untuk mengatasi kendala-kendala tersebut, maka dosen pengampu mata

kuliah sejarah kebudayaan meminta waktu tambahan pada saat libur tenang.

Dengan demikian pertemuan bisa mencapai 14 kali pertemuan dan diskusi tentang

subak Pancoran bisa diselesaikan.

4. Minimnya bahan ajar subak multikultur

Bahan ajar adalah segala bentuk bahan yang digunakan untuk membantu

dosen dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar. Bahan yang dimaksud bisa

berupa bahan tertulis maupun bahan tidak tertulis. Dengan bahan ajar

memungkinkan mahasiswa dapat mempelajari standar kompetensi atau

kompetensi dasar secara runtut dan sistematis sehingga secara akumulatif mampu

menguasai semua kompetensi secara utuh dan terpadu. Bahan ajar merupakan

cxix

informasi, alat dan teks yang diperlukan dosen untuk perencanaan dan penelaahan

implementasi perkuliahan. Terbatasnya bahan ajar diakui oleh sudariya (63 tahun)

dosen sejarah wawancara tanggal 1 Desember 2009, yang menyatakan bahwa

buku-buku yang dimiliki untuk mengajar sejarah kebudayaan terbatas jumlahnya.

Adapun buku-buku yang dipakai adalah Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia

karangan Soekmono jilid pertama, jilid kedua, jilid ketiga. Sementara buku yang

membahas tentang subak dengan editor I Gde Pitana berjudul Subak Sistem

Irigasi Tradisional di Bali Sebuah Canang Sari. Dalam buku yang membahas

subak tersebut terdapat materi tentang kajian sejarah subak di Bali dan afinitas

antar nilai agama dalam subak tidak dimiliki.

Untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami terkait dengan bahan

ajar, maka dosen pengampu mata kuliah sejarah kebudayaan membuat handout

yang merupakan bahan tertulis yang disiapkan dosen untuk memperkaya

pengetahuan mahasiswa, menugaskan pada mahasiswa yang menyelesaikan

penelitian di subak Pancoran membuat laporannya yang dilengkapi foto yang

dilengkapi media visual dalam bentuk CD. Sedangkan untuk efektivitas waktu

pelaksanaan selain pertemuan di dalam kelas dalam mata kuliah sejarah

kebudayaan yang terbatas waktunya, maka bisa disiasati dengan mempergunakan

waktu lowong siswa sore hari.

B. Pokok Temuan

Penelitian mengenai pemanfaatann subak Pancoran sebagai sumber belajar

Sejarah Kebudayaan Indonesia menemukan pokok-pokok temuan sebagai berikut:

cxx

1. Pemahaman mahasiswa tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran

dapat diklasifikasikan menjadi dua, yakni: mahasiswa yang sedang dan

sudah menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia. Mahasiswa

yang sedang menempuh mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia

awalnya memiliki pemahaman kurang tentang adanya subak yang

anggotanya berbeda agama. Mahasiswa yang sudah menempuh mata

kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia umumnya memiliki pemahaman

yang baik tentang perang dan tanggung jawab subak Pancoran dalam

menciptakan kerukunan umat, yaitu: (1) Fungsi pencarian dan distribusi air

irigasi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi; (2) Penanganan sengketa;

(3) Upacara keagamaan (religi); (4) Toleransi.

2. Secara umum pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia dilakukan dengan cara mengadakan kunjungan ke

lapangan untuk mengadakan penelitian sesuai dengan tugas yang diberikan oleh

oleh dosen yang dalam metode pembelajarannya menggunakan metode inquiri.

3. Kendala-kendala yang dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber

belajar sejarah Kebudayaan adalah: (1) waktu; (2) Lokasi dan minimnya

pengetahuan narasumber subak Pancoran; (3) Fasilitas yang menunjang

pembelajaran mengalami kerusakan; (4) Minimnya bahan ajar subak

multikultur.

cxxi

C. Pembahasan

1. Pemahaman mahasiswa terhadap peran dan tanggung jawab subak

Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat.

Masalah kerukunan umat beragama merupakan tanggung jawab semua

komponen masyarakat termasuk lembaga-lembaga sosial budaya seperti subak

yang merupakan salah satu simpul budaya Bali di samping desa pakraman dan

seka yang menjiwai kehidupan masyarakat Bali dan dilandasi oleh ajaran Tri Hita

Karana. Peran pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia juga sangat penting

untuk memberikan nilai-nilai edukatif pada diri mahasiswa. Nilai edukatif yaitu

nilai yang berhubungan dengan pendidikan terutama pada diri mahasiswa agar

bisa belajar dari sejarah kehidupan manusia, terutama dalam hal ini

terintegrasinya masyarakat Islam dan Hindu dalam satu wadah subak Pancoran.

Pemahaman mahasiswa yang sedang menempuh mata kuliah Sejarah

Kebudayaan Indonesia terhadap peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam

menciptakan kerukunan umat masih terbatas, hal ini bisa disebabkan karena

berbagai hasil penelitian dan tulisan menguraikan bahwasannya subak merupakan

lembaga tradisional yang bersifat sosioagraris religius. Sifat religius tersebut

dicirikan oleh adanya fungsi subak dalam mengelola pura (Pura Bedugul. Pura

Masceti, Pura Ulunsuwi) dan melaksanakan berbagai upacara keagamaan sesuai

dengan ajaran agama Hindu. Dengan ciri tersebut telah menimbulkan persepsi

seolah-olah subak adalah organisasi eksklusif, yang hanya dapat

mengakomodasikan petani yang beragama Hindu. Padahal ada subak yang

anggotanya majemuk, salah satunya adalah subak Pancoran yang anggotanya

cxxii

petani Hindu dan petani Islam. Namun adanya materi dengan Kompetensi Dasar

menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu di Bali dengan

indikator menganalisis hidup keagamaan pada organisasi subak, maka wawasan

pemikiran mereka mulai terbuka adanya subak yang bersifat multikultural.

Pemahaman yang semakin baik tentang subak Pancoran dapat dilihat dari

pendapat Gede Megayana mahasiswa sejarah yang menyatakan sebagai organisasi

yang menaungi komunitas petani Hindu dan Islam, subak Pancoran berusaha

menciptakan kerukunan yang terlihat dari berbagai kegiatan subak seperti dalam

pencarian, distribusi air, operasi serta pemeliharaan fasilitas irigasi merupakan

pencerminan dari Tri hita Karana terutama pada unsur palemahan subak.

Termasuk dalam palemahan subak adalah wilayah pertanian yang didasarkan atas

suatu sumber pengambilan air bersama untuk mengairi sawah pertanian di dalam

suatu wilayah subak. Dalam hal ini memperoleh air dari empelan Tukad Sari dan

temuku Aya Tiying Tali. Kecukupan air juga bisa menjamin integrasi sosial, hal ini

terjadi karena air memiliki arti yang sangat penting sebagai salah satu faktor

pendorong integrasi di dalam subak yang fluralistik. Menurut Pitana (1992: 29),

dalam pendistribusian air irigasi kepada segenap anggota subak, ada dua hal

penting yang diperhatikan oleh subak, yakni: (1) Dasar yang digunakan untuk

menentukan hak atas irigasi bagi setiap anggota; (2) Sistem distribusi air irigasi

antarwaktu. Ada dua dasar yang digunakan oleh subak untuk menentukan hak atas

air irigasi bagi anggotanya, yaitu luas sawah dan tektek. Jika hak atas air irigasi

didasarkan atas luas sawah, maka debit air irigasi yang diterima oleh seorang

anggota, proporsional dengan luas sawah yang digarapnya. Jika didasarkan atas

cxxiii

tektek, debit air irigasi yang diterima ditentukan oleh kontribusi anggota dalam

kegiatan-kegiatan subak. Pendistribusian air irigasi tersebut menganut prinsip

keadilan, dengan demikian peran subak dalam menciptakan kerukunan umat akan

tercapai di subak Pancoran.

Nengah Rediasa salah seorang mahasiswa sejarah yang sudah menempuh

mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia menyatakan peran subak Pancoran

dalam menciptakan kerukunan umat, dengan adanya perlakuan yang sama dalam

hal pembiayaan dan sumber dana aktivitas operasi dan pemeliharaan institusi

subak. Sumber dana tersebut dikeluarkan oleh petani Hindu maupun Islam untuk

memelihara jaringan irigasi yang bersumber dari bendungan sungai Sari dan

saluran primer Tiying Tali. Sumber-sumber penerimaan subak yang dapat

dijadikan sumber pembiayaan berbagai aktivitas subak adalah: (1) Kontribusi

anggota subak dari hasil panen di musim hujan yang disebut sarin tahun. Jenis

kontribusi ini biasanya dalam bentuk padi/gabah atapun dibayar dalam rupiah.

Besarnya pembayaran sarin tahun tersebut bervariasi tergantung luas lahan

garapan petani; (2) Kontribusi seluruh anggota dalam bentuk kas yang yang

disebut peturunan; (3)Pembayaran wajib oleh anggota pasif sebagai subsitusi

terhadap tenaga ayahan disebut pengampel/pengoot; (4) Pembayaran dalam

bentuk denda terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan anggota subak;

(5) Bunga pinjaman dari anggota subak yang ikut meminjam dana kas subak; (6)

Bantuan pemerintah khususnya untuk operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi.

Dalam pelaksanaannya, pencarian, distribusi air irigasi, operasi dan

pemeliharaan fasilitas irigasi dilaksanakan secara bergotong royon dan tolong

cxxiv

menolong yang menampakan nilai kerjasama yang berlandaskan falsafah sagilik

saguluk, salunglung sabayantaka paras paros sarpanaya. Artinya berat sama

dipikul ringan sama dijinjing, senasib sepenanggungan dalam suka dan duka,

saling asah, asih dan asuh.

Untuk menciptakan kerukunan maka suatu organisasi wajib menegakan

aturan yang mengikat anggota-anggotanya agar tidak melanggar nilai-nilai atau

norma-norma yang berlaku dalam organisasi. Aturan-aturan tersebut mengikat

tampa melihat latar belakang agama. Awig-awig yang dibuat oleh organisasi subak

berisi aturan yang tegas tentang hak dan kewajiban serta sanksi-sanksi bagi

anggota yang melanggar. Hal senada diungkapkan oleh Puspa mahasiswa sejarah

yang mengikuti mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia, dalam diskusi

kelompok di kelas menjelaskan bahwa bagi anggota subak Pancoran yang tidak

melaksanakan ngayah dalam kegiatan-kegiatan subak dapat dikenakan sanksi oleh

pengurus (prajuru) subak, yang dalam pelaksanaannya berlandaskan awig-awig

subak. Menurut Pitana (Sudarta, 2005: 92), umumnya awig-awig subak baik

tertulis maupun tidak (pararem), ditaati oleh anggota subak karena dipandang

mempunyai nilai tinggi dalam kehidupan subak, dalam upaya mencapai tujuan

bersama secara efisien dan efektif. Umumnya anggota subak merasa malu, jika

berperilaku menyimpang dari awig-awig subak.. Dalam kaitan ini dinyatakan oleh

Sumarta (1992: 193) bahwa perangkat hukum tersebut merupakan aturan main

yang bersifat baku, disusun bersama oleh pengurus dan anggota subak dan

mendapatkan persetujuan rapat anggota. Oleh karena itu, mengikat semua anggota

dan pengurus subak. Dengan adanya aturan awig-awig tersebut, maka kedudukan

cxxv

petani Hindu dan petani Islam adalah sama, sehingga kerukunan petani tetap

terjaga.

Teknik pengendalian sosial pada organisasi yang majemuk adalah

memupuk modal sosial di antaranya menumbuhkan rasa keadilan dan saling

percaya antarkomunitas anggota seperti menciptakan desain pembagian air dan

bangunan pembagi air yang adil tidak saja pada musim hujan tetapi juga pada

musim kemarau. Amanda salah seorang mahasiswa sejarah yang sedang

mengikuti mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia menyatakan bahwa

organisasi subak Pancoran menciptakan pola pembagian air sebagai berikut: (1)

Ngulu, pembagian air irigasi paling awal, untuk hamparan sawah paling hulu

(paling dekat dengan bendungan); (2) Maongin, pembagian air irigasi yang kedua,

untuk hamparan sawah di tengah-tengah wilayah subak; (3) Ngasep, pembagian

air irigasi paling akhir, untuk hamparan sawah yang paling hilir. Dengan adanya

metode bergilir ini, manandakan peran subak Pancoran untuk menciptakan

kerukunan umat antara petani Hindu dan Islam cukup strategis karena mampu

mengatasi permasalahan yang terjadi pada saat subak memerlukan air irigasi.

Upaya untuk mendukung kelancaran distribusi air irigasi tersebut harus didukung

oleh bangunan bagi (tembuku) yang dibangun dengan konsep proporsional, sejak

pada bangunan bagi yang ada di hulu, hingga pada bangunan bagi irigasi yang

menuju pada petak sawah petani (tembuku pengalapan). Unit ukuran yang dipakai

adalah tektek.. Arif (1999:34) menyatakan bahwa untuk menerapkan sistem

proporsional, maka diperlukan persyaratan antara lain: velositas air pada

bangunan bagi harus minimal, bentuk bangunan bagi harus tegak lurus mengalir

cxxvi

ke hilir (sistem numbak), dan bangunan bagi itu tidak tenggelam pada saat air

irigasi maksimal. Semua persyaratan itu dipenuhi dalam sistem irigasi subak.

Bangunan bagi dengan sistem numbak diterapkan pada sistem subak di Bali

karena topografi Pulau Bali umumnya bergelombang.

Pemahaman mahasiswa yang sedang maupun yang sudah mengikuti mata

kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia mempunyai pandangan yang sama tentang

peran subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat terutama peran subak

Pancoran dalam memelihara toleransi petani Hindu dan Islam. Menurut Muhamad

Sofyan (1999:24) agama memuat esensi berupa tuntunan hidup damai secara

komprehensif, termasuk kehidupan yang penuh toleransi dalam masyarakat yang

plural. Agama berisi tatatan dan kaidah yang serba luhur, yang masing-masing

menjauhi perselisihan dan mengutamakan jalan damai.

Aktivitas subak yang memperlihatkan peran subak dalam menciptakan

kerukunan umat adalah pada saat ngusabha, yakni upacara untuk menyatakan rasa

sujud bakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa dalam segala manifestasi-Nya,

dilakukan berbagai jenis upacara keagamaan yang berkaitan dengan subak ada

yang dilakukan secara kolektif atau bersama dan ada pula yang dilaksanakan oleh

masing-masing anggota subak secara perseorangan. Berbagai jenis upacara

keagamaan tersebut dilaksanakan di tempat suci atau tempat pemujaan yang

disebut pura, baik pura milik subak maupun pura milik petani perorangan yang

menjadi anggota subak. Untuk petani Islam, mengadakan ritual pertanian di

mushola subak. Sebelum dilaksanakan ritual daur pertanian, prajuru subak

melakukan sangkepan/paum yang dilaksanakan di balai subak. Pelaksanaannya

cxxvii

berjalan lancar, karena sebelumnya kasinoman (juru arah) telah mengadakan

pemberitahuan tiga sebelumnya. Suara kulkul sebagai tanda panggilan paruman

akan segera dimulai sehingga anggota subak baik Hindu maupun Islam datang di

tempat pertemuan. Masalah paruman sudah diatur dalam awig-awig subak

Pancoran tahun 1992 halaman 4, yang tertulis bahwa paruman dilaksanakan

secara teratur atau manurut keperluan.

Sebuah organisasi sosial budaya, subak juga tidak luput dari adanya

konflik. Untuk mencegah terjadinya konflik diperlukan adanya manajemen

konflik yang bisa mencegah konflik antara individu dengan individu, individu

dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok. Menurut Muhamad

Sofyan (1999:3) bahwa secara horizontal, dinamika integrasi sosial di suatu

masyarakat majemuk sangat ditentukan oleh dua hal, yakni konfigurasi dasar

struktur sosial masyarakat yang bersangkutan (berdasarkan sejumlah parameter

nominal); serta karakter hubungan antara berbagai parameter struktur sosial

tersebut. Untuk itu perlu adanya kompromi-kompromi untuk mencegah terjadinya

konflik terbuka.

Subak dalam perjalanan organisasinya tidak bisa lepas dari konflik atau

suatu kasus, baik yang berasal dari dalam subak maupun dari luar lingkaran

persubakan. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali (2008:23) menjelaskan bahwa

terhadap permasalahan yang berasal dari dalam hendaknya dapat diselesaikan

secara damai berdasarkan ketentuan yang tersurat dalam awig-awig maupun

perarem. Sedangkan untuk permasalahan/kasus yang berasal dari luar hendaknya

dapat diselesaikan secara damai dan adil dengan melibatkan penegak hukum atau

cxxviii

pejabat terkait yang berwewenang untuk itu. Dalam penyelesaian masalah/kasus

dimaksud agar dihindarkan perbuatan atau tindakan main hakim sendiri.

Salah satu manajemen konflik di tingkat subak adalah pengelolaan air

irigasi. Manajemen konflik subak Pancoran adalah dengan cara saling meminjam

air, hal ini dilakukan pada saat musim kemarau. Peminjaman air ini terjadi antara

petani Hindu dengan petani Islam, maupun dengan petani Islam. Secara tidak

langsung kegiatan semacam ini menjadi salah satu faktor pendorong terciptanya

suatu kerukunan umat beragama. Namun peminjaman air juga harus mengikuti

aturan tidak tertulis di dalam subak, aturan itu harus diawali dengan laporan yang

ditujukan pada kelian tempekan, tanpa izin kelian maka seseorang tidak bisa

meminjam air. Di subak Pancoran yang menjadi kelian tempek Tukad Sari adalah

Nyoman Widana, sedangkan kelian tempek Seka lalang adalah Made Suta.

Peminjaman air juga menimbulkan persoalaan tersendiri tersendiri pada waktu

musim kemarau, karena menjadi pangkal perselisihan antar petani. Sebagai contoh

yang dapat dikemukakan di sini adalah ketika penanaman tembakau yang dimulai

bulan Juni, petani berlomba lomba meminjam air subak, karena tanaman

tembakau adalah jenis tanaman yang memerlukan banyak air terutama diawal

pemeliharaan. Desa Panji Anom termasuk di dalamnya subak Pancoran,

merupakan suatu daerah yang cocok ditanami tembakau. Tidak heran setelah

musim tanam di bulan Juni kontaktor tembakau mulai membuka dan mengontrak

sawah di subak ini. Berdasarkan wawancara dengan Ketut Dana ( perintis

penanaman tembakau), mengatakan bahwa penanaman tembakau pertama kali di

Subak pancoran tahun 1986, dengan kontraktor PT BAT (Britis American

cxxix

Tabacco) yang memberikan bantuan modal, pupuk, obat-obatan. Bantuan itu

diberikan dengan persyaratan petani menjual panen tembakau virginia kepada

perusahaan tersebut.

Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan air, anggota subak Pancoran

mengembangkan teknologi pengairan, misalnya bendungan dan saluran air. Air

subak Pancoran diambil dari empelan Tukad Sari dan temuku Aya Tiying Tali. Air

yang mengalir melalui empelan di bagi secara adil sesuai dengan fungsi subak,

untuk mencapai tujuan tersebut maka subak Pancoran menunjuk pejabat pengawas

air yang disebut patelik, namun seperti yang dituturkan oleh prajuru subak,

jabatan jenis ini jarang berfungsi sewaktu musim hujan atau air masih berlimpah,

dan baru berfungsi jika memasuki musim kemarau.

Pengaturan pembagian air dilakukan atas dasar musyawarah mufakat yang

tempatnya di bale subak Pancoran antara petani Hindu dan Islam. Dalam

komunikasi sangkepan tidak dijumpai adanya halangan. Hal ini disebabkan umat

muslim bersedia diatur dalam awig-awig dan bahasa yang dipergunakan adalah

bahasa Bali karena bahasa ini adalah bahasa pergaulan. Pembagain air secara adil

dilakukan secara proporsional berdasarkan luas maupun kesepakatan lainnya,

selain itu pembagian juga memperhatikan hak-hak istimewa karena jabatan atau

tugas-tugas dalam kemasyarakatan. Satuan pembagian air disebut bit atau wit.

Satu bit air memadai untuk mengairi sawah seluas 25 are atau memadai bagi

sawah yang memerlukan bibit seberat 25 kilogram mendapatkan air satu bit atau

satu tenah, dan memikul kewajiban ayahan satu tenaga kerja. Bagi mereka yang

melanggar, misalnya dengan mencuri air akan dikenakan sanksi. Dalam awig-

cxxx

awig subak Pancoran, bagi anggota subak dan yang bukan anggota subak, apabila

melakukan menutup temuku besar (temuku ageng) dikenakan denda Rp. 7500,-.

Mencuri air anggota lain dengan menggunakan saluran anggota lain dikenakan

denda Rp. 2500, mendahului giliran mendapatkan air, dikenakan denda Rp. 750,-.

Mencuri air untuk menyiangi tanaman palawija dikenakan denda Rp. 2500,-.

Apabila denda yang dikenakan tidak dibayar maka maka akan dikenakan denda

panikelan tanpa melihat perbedaan agama. Namun denda yang dikenakan tidak

semata-mata hanya berupa uang (danda arta) namun bisa juga berupa permintaan

maaf, upacara panyangaskara, dan yang paling berat adalah kesampetin toya

(pemberhentian pemberian air.

Selain karena masalah air, konflik yang terjadi di tingkat subak adalah

bersumber pada batas-batas tanah sawah, adanya pohon-pohon di perbatasan

sawah yang menaungi sawah milik petani lain, hewan peliharaan yang merusak

tanaman di sawah misalnya sapi, bebek, ayam dan babi. Hal-hal yang disebutkan

diatas sebenarnya telah diatur dalam awig-awig. Pemecahan masalah yang

ditempuh adalah dengan musyawarah mufakat antara pihak-pihak yang terkait,

dengan pekaseh sebagai penengah, dan apabila konflik tidak bisa diselesaikan

secara kekeluargaan maka, dapat dibicarakan di tingkat subak berdasarkan awig-

awig. Masalah-masalah di tingkat subak jarang sampai dimohonkan

penyelesaiannya pada penguasa.

Dengan berpegang pada gagasan von Grunebaum dalam Bawa Atmadja

(2009:242), pola kerja sama umat Hindu dan Islam bisa bekerja sama mengelola

organisasi pertanian yang berbasiskan agama Hindu, menandakan Islam sebagai

cxxxi

peradaban universal berekosistensi dengan peradaban kedaerahan. Walaupun

koekosistensi terjadi pada sekala mikro, namun kemanfaatannya tidak bisa

diabaikan guna mewujudkan kerukunan antara umat Hindu dan Islam di Bali.

Apalagi adanya kenyataan, bahwa kegiatan subak sangat intensif di antaranya

mengurus dan memelihara saluran air (telabah), melakukan daur pertanian,

menanggulangi hama secara kolektif, sehingga penyatuan warga subak atas dasar

kepentingan penafkahan yang sama, secara otomatis semakin intensif pula.

Bersamaan dengan itu secara otomatis berarti pula integrasi dan toleransi

antarumat umat Hindu dan Islam semakin kohesif.

Menurut Rony Nova Hermawan mahasiswa yang menempuh Sejarah

Kebudayaan Indonesia, mengatakan bahwa toleransi yang terjadi di subak

Pancoran tidak bisa dilepaskan dari ajaran-ajaran agama yang melandasi interaksi

petani Hindu dalam kehidupan subak. Dalam Agama Hindu dikenal adanya ajaran

Tri Hita Karana yang tidak saja dikenal oleh orang Hindu bahkan juga sudah

dikenal oleh manca negara. Hal ini tampak setelah diselenggarakannya KTT PBB

tentang perubahan iklim dunia yang diselenggarakan di Nusa Dua. Konsep Tri

Hita Karana bahkan diwacanakan untuk dijadikan model bagaimana mengelola

lingkungan, sehingga hubungan yang harmonis antara Tuhan, manusia, dan

lingkungan hidup tetap terjaga. Tri Hita Karana menurut Sudarta (2005:84)

berarti tiga komponen yang menyebabkan kesejahteraan atau kebahagiaan yang

meliputi hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (parhyangan),

hubungan antara manusia dengan manusia (pawongan), dan hubungan antara

manusia dengan alam (palemahan). Ideologi Tri Hita Karana merupakan salah

cxxxii

satu landasan (pamikukuh) selain Pancasila dan UUD 1945. Secara jelas unsur

ideologi Tri Hita Karana sebagai salah satu unsur pendorong toleransi/ integrasi

dalam subak Pancoran. Unsur Parhyangan, merupakan salah satu unsur

terpenting, karena menyangkut hubungan yang harmonis antara manusia dengan

Tuhan. Wujud nyata dari penjabaran unsur ini adalah dengan keberadaan Pura

Subak. Unsur Pawongan, menyangkut hubungan sesama anggota subak.

Hubungan yang harmonis antara petani Islam dan Hindu tidak bisa dilepaskan dari

faktor sejarah. Menurut Musaimi (tokoh masyarakat muslim) terintegrasinya

masyarakat muslim dalam subak, dikarenakan leluhur mereka dahulu adalah

orang Bali yang beralih agama (konversi agama). Menurut beliau, leluhurnya

masih kerabat puri Sukasada atau masih keturunan trah Kibarak Panji Sakti.

Keterikatan ini dilacak dari lelehur Musaimi bernama I Gusti Agung Raka yang

karena sesuatu sebab ia meninggalkan puri Sukasada lalu menetap di

Tegallinggah dan masuk menjadi muslim bahkan pernah naik haji dengan nama

Haji Sidiq. Beliau kemudian menurunkan Bapak Sahri, Masunah, Mad Ehsan,

Hadijah. Musaimi merupakan anak dari Mad Ehsan. Keluarga keturunan Puri

Sukasada ini sekarang berjumlah 14 Kepala Keluarga. Sedangkan anggota subak

muslim lainnya merupakan keturunan Subahan sejumlah 4 Kepala Keluarga, serta

keturunan Raja Tama (Samaudin) 12 KK.

Kemampuan petani muslim untuk berintegrasi dalam subak tidak bisa

dilepaskan dari adanya ajaran agama yang bersumber dari Al-Qur'an yang sangat

menjungjung tinggi toleransi beragama. Makna dan nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya menghendaki umat manusia mempunyai sifat suka memberi maaf,

cxxxiii

menghendaki kejahatan dihukum setimpal, menghendaki manusia berbuat baik

sekalipun terhadap orang yang berbuat jahat terhadapnya dan menghendaki pula

manusia mempunyai sifat rendah hati, tetapi tidak melupakan harga diri.

Kemudian juga menghendaki umat manusia dapat menggunakan hak-haknya,

tetapi tidak mengganggu hak-hak orang lain.

Pernyataan senada juga Dharma Tanaya mahasiswa yang sudah

menempun Sejarah Kebudayaan Indonesia bahwa toleransi petani Hindu dilandasi

oleh ajaran Tat Twam Asi. Ajaran ini mengandung arti yang sangat luas dan

dalam, yang di dalamnya mengandung suatu ajaran dan dasar kesusilaan untuk

selalu mengembangkan sifat-sifat kebijaksanaan, kebajikan, keluhuran dalam

pergaulan hidup sesama mahluk. Tidak itu saja, petani Hindu dalam aktifitasnya

selalu dampak dari perbuatan yang dilakukan atau takut akan karma phala.

Dengan adanya landasan hidup seperti di atas maka petani Hindu bisa menerima

keberadaan petani Islam.

Wujud toleransi yang tinggi di subak Pancoran adalah adanya gotong

royong, gotong royong di sawah yang dilaksanakan di tingkat subak Pancoran

memang mengalami pergeseran, seperti dalam hal membajak sawah dahulu

dilakukan dengan cara gotong royong dengan anggota petani yang terdekat

dengan menggunakan tenaga sapi dan tengala (bajak), namun sekarang sudah

digantikan dengan tenaga traktor. Tentu saja pergantian ini menimbulkan dampak

berkurangngnya nilai-nilai gotong royong, demikian juga pada saat panen, dulu

menggunakan tenaga seka manyi, sekarang sudah digantikan dengan sistem

pengupahan. Dalam jangka panjang perubahan ini berkontribusi terhadap

cxxxiv

musnahnya berbagai organisasi sosial tradisional di Bali terutama seka-seka yang

terkait dengan sistem pertanian. Namun demikian kegiatan gotong royong masih

dapat dijumpai, seperti dalam hal pemberantasan hama yang dilakukan secara

niskala maupun sekala.

Menurut Penty Sarjana mahasiswa yang sedang mengikuti Sejarah

Kebudayaan Indonesia menyatakan bahwa wujud toleransi beragama dapat pula

diamati dari penerimaan mushola dan pura subak sebagai bagian simbol subak dan

keteraturan dalam pergantian pemimpin subak. Sejarah pembuatan simbol subak

tidak bisa dilepaskan dari adanya lomba subak tahun 1983, dalam hal ini sudah

barang tentu tidak bisa dilepaskan dari campur tangan pemerintah. Hal ini

dilakukan untuk merangkul perbedaan agama antara agama Hindu dan Islam,

sudah barang tentu penerimaan simbol-simbol keagamaan mendorong terciptanya

integrasi sosial. Dalam tahun-tahun berikutnya lambang subak Pancoran tidak

mengalami perubahan bahkan diperkuat dalam awig-awig dimana mushola diakui

sebagai salah satu kekayaan dari subak.

Pembentukan toleransi tidak hanya melalui permainan kekuasaan dan

ideologi dari atas ke bawah, melainkan bisa pula tumbuh dan berkembang pada

akar rumput bersamaan dengan terjadinya interaksi antaragama pada struktur

sosial. Gejala ini terlihat dari adanya ungkapan kebahasaan, misalnya Nyama

Selam dan Nyama Bali. Nyama Selam berarti saudara (beragama) Islam,

sedangkan Nyama Bali berarti saudara etnik Bali. Ungkapan ini merupakan

abstraksi dari pengalaman orang Hindu dan Islam yang berhubungan sangat erat

dalam kehidupan bermasyarakat, tak ubahnya seperti orang yang memiliki ikatan

cxxxv

keluarga (menyama). Ungkapan ini tidak saja dimaksudkan untuk menunjukkan

realitas sosial – dua umat beragama berhubungan sangat baik tak ubahnya seperti

menyama, tetapi juga untuk membentuk realitas, yakni memperkuat solidaritas

sosial antara umat Hindu dan Islam atas dasar suatu pengakuan, bahwa kita dan

mereka adalah bersaudara atau menyama. Pengakuan bahwa kita dan mereka

menyama atau orang Bali menyebut orang Islam sebagai Nyama Selam,

sebaliknya orang Islam menyebut orang Bali sebagai Nyama Bali, memiliki

makna yang dalam, yakni secara konotatif terselip suatu harapan agar kedua belah

pihak yang berbeda agama bisa hidup rukun berlandaskan toleransi. Jadi, kata

Nyama Bali dan Nyama Selam tidak sekedar kata, melainkan kata yang bermuatan

modal sosial guna mewujudkan hubungan yang damai antara umat Islam dan

Hindu, dengan alasan, karena keduanya adalah bersaudara.

Aktualisasi dari Nyama Bali dan Nyama Selam melahirkan hubungan

menyama beraya – solidaritas sosial antaragama. Dengan mengacu kepada

temuan Atmadja (2003:292) pada desa-desa dwi agama di Buleleng, yakni Desa

Banyu Poh, Pengastulan, Tegallinggah, Buleleng dan Julah, terlihat bahwa umat

Hindu dan Islam berusaha membina kerukunan lewat hubungan ketetanggaan.

Wujud ikatan menyama beraya yang berbasis ketetanggaan, terlihat pada

kebiasaan orang Hindu dan Islam saling mengunjungi secara spontanitas pada saat

ada musibah, misalnya kematian. Begitu pula pada saat ritual daur hidup

perkawinan misalnya, mereka saling mengundang tetangga dekat. Jika mereka

bertemu di ruang publik, mereka melakukan ritual sosial, yakni bertegur sapa.

Pada saat Hari Raya Nyepi dan Hari Raya Idul Fitri, mereka saling ngejot

cxxxvi

berbentuk pemberian makanan dan atau kue. Mereka melakukan pula silahtu

rahmi atau masimakrama secara lintas agama. Walaupun bersifat spontanitas dan

tumbuh dari bawah bersamaan dengan intensitas interaksi yang mereka lakukan,

namun kegiatan ini amat penting guna menciptakan toleransi antarumat agama

pada lingkungan ketetanggaan dan desa.

Bersatunya suatu masyarakat majemuk dalam suatu lembaga sosial budaya

tidak bisa dilepaskan dari simbol-simbol yang mempersatukan. Menurut Yudha

Triguna (2000:32) simbol tidak hanya berdimensi horizontal dalam rangka

mengantarai hubungan antarindividu dalam interaksi sosial, tetapi juga berdimensi

vertical berhubungan dengan hal transenden. Artinya, simbol tidak hanya dapat

dipahami melalui interaksi objektif yang dapat diamati secara nyata, tetapi juga

melalui konstruksi sosial subjektif yang dilembagakan melalui kebiasaan ritus,

seni, dan bahasa. Mengacu pada pendapat tersebut di atas, maka subak Pancoran

memiliki juga lambang-lambang yang mempersatukan komunitas petani Hindu

dan Islam, yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

(1) Segi Lima artinya subak didasari oleh Pancasila

(2) Bintang artinya dalam melaksanakan pekerjaan anggota subak tetap

berpegang ajaran agama seperti mendak toya, upacara ngendagin toya

(3) Meru/Mushola artinya tempat menghaturkan bakti pada Ida Sanghyang

Widhi Wasa/ Tuhan supaya mendapatkan kesejahteraan

(4) Candi Bentar artinya dalam berkarya selalu berpedoman pada dua hal,

yaitu benar dan salah, baik dan benar, laki-laki dan wanita

cxxxvii

(5) Padi dan Kapas artinya anggota subak bekerja keras dalam mencari

pekerjaan untuk kehidupan keluarga

(6) Tri Hita Karana artinya Subak dalam aktivitasnya melaksanakan tiga

unsur (Parhyangan, Pawongan, dan Palemahan) berjalan dengan baik,

untuk kesejahteraan subak dan keluarga.

Pemberlakuan ideologi ini memberikan peluang bagi kehadiran umat

Islam di wilayah subak. Hal ini tercermin pada sila Pawongan yang

menggariskan, bahwa hubungan antarmanusia yang diidealkan tidak hanya

keseimbangan antara sesama umat manusia, tetapi mencakup pula prinsip dari

satu untuk semua, dan semua untuk satu – di mana satu bukanlah ego kecil kita,

suka atau tidak suka, syak wasangka dan kepentingan diri – tapi kebaikan bagi

sebanyak mungkin orang (Krisnha, 2009: 31). Hubungan ini tidak saja

dipertuntukkan bagi orang Bali Hindu, tetapi juga warga subak yang beragama

Islam. Ukuran kebaikan bagi manusia adalah sejauh mana mereka bisa

mengembangkan identitasnya. Berkenaan dengan itu orang Islam diberikan

kekebabasan mengembangkan identitas agama dan budaya etniknya. Misalnya,

mereka boleh mendirikan masjid, menata lingkungan rumah tinggal dan dusun,

mengembangkan kesenian yang bernafaskan keislaman, dan lain-lain. Dengan

demikian, terbentuk subkulturnya di dalam wadah subak.

Pengembangan identitas diri diberikan kebebasan asalkan tidak

mengcedrai ideologi Tri Hita Karana. Dalam konteks ini ada tata aturan yang

harus diperhatikan oleh umat Islam. Mereka pun menaatinya sehingga

keharmonisan hubungan antaragama berjalan secara baik. Misalnya, perayaan

cxxxviii

Hari Raya Nyepi, selalu disertai dengan empat larangan (Catur Brata Panyepian),

yakni tidak boleh menyalakan lampu (api), tidak boleh bepergian, tidak boleh

bekerja, dan tidak boleh menikmati hiburan. Umat Islam pun taat pada larangan

ini sehingga tidak mengherankan jika pada saat Hari Raya Nyepi, mereka hanya

tinggal di rumah atau pada kompleks pemukimannya, dan di malam hari ikut

memadamkan lampu. Pendek kata, sesuai dengan ideologi Tri Hita Karana yang

berlaku di subak, maka umat Islam bebas mengembangkan subkulturanya, asalkan

tidak menimbulkan gangguan terhadap keharmonisan sebagaimana yang

digariskan dalam ideologi Tri Hita Karana.

Subak Pancoran dalam menciptakan kerukunan umat juga

mengembangkan modal sosial untuk toleransi melalui perkawinan antaranggota

Hindu dan Islam. Pemupukan modal sosial antarkerabat, antartentangga maupun

antarteman, bisa dilakukan lewat kegiatan tolong-menolong atau hadir secara

timbal balik dalam penyelenggaraan ritual daur hidup. Kehadiran orang Islam bisa

menimbulkan masalah, bersumberkan pada tata makan. Umat Hindu boleh makan

daging babi, sedangkan umat Islam mengharamkannya. Untuk mengatasinya,

maka orang Hindu menciptakan masakan nondaging babi yang disebut

penyelaman atau masakan Selam - bisa berwujud lawar sehingga melahirkan label

lawar selam (Atmadja, 2003:159).

Tradisi lainnya dalam pemupukan modal sosial yang menyangkut

hubungan kekerabatan, ketetanggan, dan pertemanan antara umat Hindu dan Islam

bisa pula diperkuat lewat kegiatan ngejot. Kegiatan ini berwujud tindakan

mengantarkan makanan, yakni jajan dan atau nasi lengkap dengan lauk pauknya

cxxxix

dalam rangka perayaan hari raya keagamaan. Misalnya, Hari Raya Nyepi dan

Galungan/Kuningan pada umat Hindu dan Hari Raya Idul Fitri pada umat Islam.

Makanan di-ejotan-kan, walaupun nilai ekonominya bisa saja sangat kecil, namun

makna simboliknya sangat besar, yakni memupuk modal sosial antarkerabat

maupun antartetangga dan antarteman yang berbeda agama (Atmadja, 2003:205).

Kegiatan ngejot, begitu pula ritual sosial makan bersama yang melibatkan umat

Hindu dan Islam, memang jarang berlangsung, namun sangat penting dilihat dari

segi pemupukan modal sosial yang berujung pada toleransi. Melalui aneka

kegiatan ini umat Hindu dan Islam mengakui adanya perbedaan dan bersamaan

dengan itu, mereka pun menciptakan praktik sosial yang mendukung keberadaan

masing-masing berasaskan toleransi.

Toleransi semakin dipererat dengan diaturnya keanggotaan petani Islam

dalam awig-awig subak (1992:4), pasal 5 dinyatakan bahwa salah satu kekayaan

subak adalah pelinggih-pelinggih, mushola, kelengkapan subak (bale subak,

jineng). Demikian pula, dalam bab III, yang mengatur masalah keanggotaan subak

(sukerta tata pakraman) disebutkan bahwa yang disebut anggota subak adalah

seseorang yang mempunyai sawah dan mempergunakan air subak untuk mengolah

tanah sawah. Hak dan kewajiban anggota subak baik Hindu maupun Islam tidak

terdapat perbedaan, adapun kewajiban anggota subak Pancoran adalah mematuhi

dasar dari pendirian subak yakni Pancasila dan UUD 1945, melaksanakan

peraturan-peraturan subak hasil dari musyawarah (perarem), dan menjadi

pengurus berdasarkan musyawarah. Hak dari anggota subak antara lain

cxl

mendapatkan air subak, meminjam uang kas subak, hak mengemukakan pendapat

dalam rapat anggota subak.

2. Cara dosen dan mahasiswa memanfaatkan Subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan strategi atau metode perkuliahan yang

dilaksanakan oleh dosen pengampu mata kuliah. Sebab sumber belajar akan

menjadi bermakna bagi peserta didik maupun dosen apabila sumber belajar

diorganisir melalui suatu rancangan yang memungkinkan seseorang dapat

memanfaatkannya sebagai sumber belajar.

Strategi atau metode perkuliahan yang dilaksanakan harus mengacu pada

silabus, karena sebelum membahas rencana perkuliahan, terlebih dahulu harus

dipahami tentang silabus dan langkah pengembangannya, karena rencana

perkuliahan/pengajaran dikembangkan berdasarkan rumusan silabus yang telah

ditetapkan. Abdul Majid (2008:38) menegaskan silabus adalah rancangan

pembelajaran yang berisi rencana bahan ajar mata pelajaran/perkuliahan tertentu

pada jenjang dan kelas tertentu, sebagai hasil seleksi, pengelompokan,

pengukuran dan penyajian materi kurikulum, yang dipertimbangkan berdasarkan

ciri dan kebutuhan daerah setempat.

Dimasukkannya subak sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan,

mengacu pada silabus yang telah dibuat oleh dosen pengampu mata kuliah Sejarah

Kebudayaan Indonesia yang muncul di semester satu. Hal ini dapat dilihat dari

cxli

kompetensi dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat

Hindu di Bali dengan indikator menganalisis hidup keagamaan pada organisasi

subak. Sebelum melaksanakan metode inquiri, dosen dapat membuat SAP dengan

menggunakan metode inquiri dan sumber belajar pada subak Pancoran. Setelah

SAP tersusun selanjutnya melakukan koordinasi dengan pihan subak dan

mengurus perijinannya. Dengan SAP itu akan membuat dosen lebih mudah

melaksanakan pembelajaran sesuai langkah-langkahnya. Pada akhir kegiatan

inquiri dapat dilakukan penilaian dengan memberikan tugas-tugas penelitian kecil

berupa makalah yang akan dipresentasikan secara berkelompok dan juga CD

pembelajaran. Subak Pancoran juga dapat digunakan sebagai sumber belajar

dengan mengadakan observasi, wawancara, dan kajian dokumen, akan

memperjelas pemahaman mahasiswa peran dan tanggung jawab subak Pancoran

dalam menciptakan kerukunan umat.

Dijadikannya subak sebagai sumber belajar diharapkan mahasiswa

menyadari bahwa subak adalah salah satu simpul budaya Bali yang perlu

dipelajari, dipahami dan dilestarikan, karena simpul kebudayaan Bali dibentuk

oleh unsur-unsur tradisi kecil, tradisi besar, dan tradisi modern. Tradisi kecil, yaitu

tradisi yang berorientasi pada kebudayaan lokal mempunyai ciri-ciri, antara lain

sistem irigasi sawah dengan irigasi; kerajinan meliputi besi besi, perunggu, celup,

dan tenun; pada pura terdapat sistem ritual dan upacara keagamaan yang sangat

kompleks; tari dan tabuh dipakai dalam rangka upacara di pura. Tradisi besar,

yaitu tradisi yang berorientasi pada agama dan kebudayaan Hindu dalam

kehidupan masyarakat Bali menampakan ciri-ciri, antara lain kekuasaan yang

cxlii

pusat kedudukannya adalah raja sebagai keturunan Dewa; adanya tokoh pedanda;

adanya upacara pembakaran mayat (ngaben); adanya kalender Hindu-Jawa;

pertunjukan wayang kulit (Geria, 2000:8). Sementara tradisi moderen, yaitu

tradisi yang mencakup unsur-unsur yang berkembang sejak zaman penjajahan,

zaman kemerdekaan, sampai era globalisasi sekarang. Ciri-cirinya, antara lain

pendidikan masal; adanya orientasi ke depan yang diintrodusir oleh berbagai

departemen. Dari proses tersebut dapat dipahami bahwa interaksi antara tradisi

kecil dan tradisi besar membuahkan kebudayaan Bali tradisional yang bercirikan

budaya ekspresif dengan dominannya nilai-nilai religius, estetika, dan solidaritas.

Sebaliknya, pertemuan kebudayaan Bali tradisional dengan tradisi modern

ditandai dengan terintegrasinya nilai-nilai modern dalam kebudayaan Bali, seperti

rasionalisasi dan komersialisasi budaya (Gunada, 2008:3).

Untuk memberikan pemahaman yang mendalam dan holistik pada

mahasiswa, tentang simpul-simpul budaya Bali, khususnya subak diperlukan

berbagai strategi pembelajaran dalam perkuliahan, salah caranya dosen

menerapkan pendekatan/strategi pembelajaran inkuiri. Strategi pembelajaran

inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses

berpikir secara kritis dan analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban

yang sudah pasti dari suatu masalah yang dipertanyakan. Proses berpikir itu

sendiri biasanya dilakukan melalui tanya jawab antara dosen dan mahasiswa.

Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal

dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan. Aunurrahman

(2009 : 161) mengatakan bahwa pendekatan/strategi inkuiri diarahkan untuk

cxliii

mengajarkan siswa suatu proses dalam rangka mengkaji dan menjelaskan suatu

fenomena khusus. Tujuannya adalah membantu siswa mengembangkan disiplin

dan mengembangkan keterampilan intelektual yang diperlukan untuk mengajukan

pertanyaan dan menemukan jawabannya berdasarkan rasa ingin tahunya.

Kegiatan inkuiri sebenarnya merupakan sebuah siklus-siklus belajar yang

terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut (Nurhadi dan Senduk, 2003:43-44)

adalah: (a) merumuskan masalah dalam mata pelajaran apapun; (b)

mengumpulkan data melalui observasi: membaca buku atau sumber lain untuk

mendapatkan informasi pendukung, mengamati dan mengumpulkan data

sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diamati; (c) menganalisis dan

menyajikan hasil dalam bentuk tulisan, gambar, laporan table dan karya lainnya ;

(d) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman

sekelas atau audiens yang lain.

Cara dosen dan mahasiswa dalam memanfaatkan subak Pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia, diharapkan bahwa model

pembelajaran kontekstual metode inquiri dalam perkuliahan diharapkan: (a)

terjadinya perbaikan dalam proses pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia,

dengan penekanan pada pemahaman kontekstual; (b) terciptanya kondisi

pembelajaran yang menyenangkan aktif, kreatif, partisipatif dan multikulturalisme

sesuai pembelajaran kontekstual, (c) terciptanya hubungan kerjasama dan

hubungan ketergantungan positif antara mahasiswa, (d) meningkatkan

kemampuan akademis dan kemampuan sosial mahasiswa sebagai mahluk individu

maupun makhluk sosial.

cxliv

Aplikasinya di lapangan, mahasiswa bisa mengadakan penelitian sesuai

dengan siklus dalam pembelajaran inkuiri dengan mengumpulkan data sebanyak-

banyaknya dari sumber atau objek yang diamati yakni subak Pancoran, misalnya:

latar belakang terciptanya toleransi/kerukunan di subak Pancoran, wujud

toleransi/kerukunan umat beragama, strategi mempertahankan kerukunan umat

beragama, implikasi kerukunan/toleransi bagi subak Pancoran. Hasil penelitian

kecil tersebut dibuat dalam bentuk makalah dan foto-foto di lapangan disimpan

dalam CD. Hasil tersebut dipresentasikan berkelompok di ruang Laboratorium

Sejarah.

Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia mahasiswa akan melihat meskipun etnik Bali (beragama Hindu)

merupakan kelompok etnik dominan, tetapi di dalam kenyataannya memberikan

ruang gerak dan kebebasan kepada etnik lain sebagai etnik minoritas untuk

mengembangkan kebudayaannya. Hal ini tampak dari rasa persaudaraan yang

terjadi antaretnik yang didasari oleh nilai-nilai kearifan lokal budaya Bali.

Walaupun diberikan kebebasan dalam mengembangkan kebudayaannya kelompok

etnik minoritas tampaknya juga menyesuaikan diri dengan budaya dominan

(Bali). Hal ini tampak dalam pembuatan bangunan suci, seperti mesjid dengan

mengadopsi unsur budaya Hindu arsitektur Bali yang tampak dari atap mesjid

bertumpang satu. Di berbagai wilayah di Bali etnik pendatang menjadi anggota

subak, bahkan ada yang menjadi pengurus.

Sejalan dengan pemberian peran yang lebih bermakna dari pendidikan

sejarah terhadap pengembangan pendidikan multikultural tentunya perlu

cxlv

dikembangkan model pembelajaran sejarah dengan wajah serta semangat baru

yang di dalamnya unsur-unsur dari prinsip pendekatan multikulturalisme. Inti dari

model pembelajaran sejarah seperti itu tentunya perlu dikembangkan atas dasar

studi khusus yang cukup mendalam dan mendasar. Namun sebagai titik awal perlu

diadakan pengembangan model yang mungkin bisa diramu dari model

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Indonesia dan sejarah lokal dengan penekanan

lebih pada pendekatan budaya (pendekatan pada warna pluralitas budaya seperti

yang menjadi ciri khas ethnic history serta diperkokoh dengan prinsip-prinsip

konstruktivis sosial dalam pembelajarannya (Widja, 2003 : 8)

Pemanfaatan Subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia, juga memberikan kesempatan pada mahasiswa untuk mengembangkan

model pembelajaran di luar kelas. Hal ini penting bagi mahasiswa untuk bisa

memahami dan mengkaji fenomena-fenomena sosial budaya masyarakat yang

selama ini kecendrungan diajarkan dalam situasi dan ranah pembelajaran di dalam

kelas yang materinya masih dalam konteks di awan-awan atau dalam istilahnya

Kartono (2002:33) belum membumi sesuai dengan konteks lingkungan sekitar

pembelajar, yang pada dasarnya sarat akan muatan nilai yang bisa diserap sesuai

dengan tuntutan dan arahan materi ajar yang mesti siswa pahami dan internalisasi

dalam praksis kehidupannya di lingkungan keluarga maupun masyarakat. Apalagi

materi yang terkait dalam sejarah kebudayaan tidak bisa terlepas dari setting

kehidupan sosial budaya masyarakat itu sendiri.

Dalam pengembangan pelaksanaan pembelajaran di luar kelas, mahasiswa

bisa diajak melakukan penyusunan program kunjungan ke lapangan. dalam

cxlvi

program tersebut dipaparkan tentang tujuan pembelajaran yang ingin dicapai,

objek studi yang menjadi tujuan kunjungan, model pembelajaran yang akan

dipergunakan, alat-alat penunjang pembelajaran yang diperlukan, dan menentukan

sumber-sumber informasi dalam penggalian data. Model pembelajaran di luar

kelas ini bisa pula dilakukan secara berkelompok maupun individu (Jurusan

Pendidikan Sejarah, 2006 : 27).

Namun dalam pelaksanaan, tidak semua kompetensi dasar yang ada dalam

silabus bisa diterapkan metode inquiri ini, hal tersebut disebabkan adanya

keterbatasan waktu. Alasan lainnya adalah kompetensi lainnya cukup dibahas

dengan diskusi dan tanya jawab saja. Diskusi kelas akan membuat perkuliahan

sejarah tidak membosankan dan mahasiswa lebih aktif. Namun pentingnya

pengajaran sejarah dengan metode inquiri, sasarannya pokoknya adalah

keterampilan berpikir melalui proses inquiri, dan sentuhan pada makna

pengalaman masa lampau sebagai unsur lebih dalam studi sejarah. Dengan inquiri

menjadikan pendidikan sejarah mampu mengantisipasi tantangan masa depan,

karena kemampuan nalar peserta didik (Widja, 2002:32). Kemampuan nalar ini

adalah unsur kunci bagi proses pendidikan yang antisipatif terhadap tantangan

masa depan.

Penerapan metode inquiri merupakan salah satu upaya pembaharuan

pengajaran sejarah dalam konteks metodologinya dan sekaligus memberikan

keterampilan bagi mahasiswa tentang pengajaran sejarah yang kreatif inovatif,

karena pengajaran sejarah sebelum diberlakukannya kurikulum berbasis

kompetensi masih didominasi ceramah dan mencatat apa yang dikatakan oleh

cxlvii

dosen, lemah dalam motivasi inovatifnya yang dibuktikan walaupun telah dibekali

dengan berbagai kemampuan dan keterampilan baru dalam strategi metodologi

pengajaran sejarah, namun setelah kembali ke kelas mereka tetap menampilkan

pendekatan yang sudah menjadi kebiasaan yang disebut dengan “ talk and chalk

approach”. Senada dengan pendapat tersebut permasalahan pembelajaran sejarah

tidak lepas dari metode yang digunakan guru di kelas. Dosen sejarah jangan hanya

memberikan informasi atau ceramah saja, seperti kutipan berikut: learning how to

improving an ability is not like learning that or acquiring information. Artinya,

belajar itu merupakan cara bagaimana untuk memperbaiki sebuah kemampuan

adalah tidak seperti sekadar mendapatkan informasi ( Carl Rogers, 2003: 3.

Jurnal Internasional “ The School and Society”. Chicago University Press.

Diunduh tanggal 29 Desember 2009).

Dalam kapasitasnya sebagai tenaga kependidikan, penerapan berbagai

metode dalam pengajaran sejarah termasuk inquiri adalah salah satu bentuk

tanggung jawab sebagai dosen sejarah yang profesional, bentuk tanggung jawab

lainnya adalah upaya terus menerus untuk menyempurnakan apa yang sudah

didapat di lembaga pendidikan guru, sesuai dengan perkembangan ilmu/studi

sejarah dan teori-teori strategi dan metode pengajaran sejarah.

Selain dengan metode inquiri, dosen dalam pemanfaatan subak Pancoran

sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia bisa memakai metode

diskusi. Buchari Alma (2008:48) menyatakan bahwa metode diskusi adalah

metode mengajar yang erat hubungannya dengan memecahkan masalah. Metode

diskusi pada dasarnya adalah bertukar informasi, pendapat, dan unsur-unsur

cxlviii

pengalaman secara teratur dengan maksud untuk mendapatkan pengertian

bersama yang lebih jelas dan cermat tentang permasalahan atau topik yang sedang

dalam pembahasan, terutama mendiskusikan permasalahan yang ditemukan di

subak Pancoran terkait dengan peran dan tanggung jawab subak dalam

menciptakan kerukunan umat. Metode diskusi diaplikasikan dalam proses belajar

mengajar untuk: (a) mendorong siswa berpikir kritis; (b) mendorong mahasiswa

mengekpresikan pendapatnya secara bebas; (c) mendorong mahasiswa

menyumbangkan buah pikirannya untuk memecahkan masalah bersama; (d)

mengambil satu alternatif atau beberapa alternatif jawaban untuk memecahkan

masalah berdasarkan pertimbangan yang seksama.

Melihat kondisi alam subak Pancoran yang sejuk dengan lingkungan alam

yang masih asli, indah dan terletak di daerah pegunungan, maka sebenarnya

metode pembelajaran yang bisa dikembangkan adalah pembelajaran di luar kelas,

yaitu karyawisata. Menurut Abdul Majid (2008:155) metode karyawisata

mempunyai pengaruh besar dalam menggiatkan fisik dan jiwa, oleh karena itu

dosen perlu mengajak mahasiswa ke tempat-tempat rekreasi termasuk subak

Pancoran dan akan lebih bermanfaat bila dalam karyawisata tersebut dapat

dijelaskan ihwal sejarah, geografi, dan pembangunan. Widja (1989:51)

menegaskan pembelajaran sejarah (SKI) mestinya tidak selalu diberikan dalam

suasana serius formal serta kaku, tetapi kesadaran sejarah yang diharapkan

tumbuh di kalangan mahasiswa bisa dilaksanakan di luar kelas yang membuat

suasana pembelajaran bersifat informal dan bahkan tidak dirasakan secara

langsung sebagai kegiatan belajar oleh mahasiswa sejarah.

cxlix

Pemanfaatan subak Pancoran oleh mahasiswa bisa dengan dengan

kegiatan observasi. Kegiatan observasi di subak Pancoran bisa memunculkan

suatu gagasan atau ide baru yang dapat merancang mahasiswa untuk

menggunakan kemampuannya dalam berpikir kritis secara optimal. Dalam

pelaksanaan observasi tersebut, mahasiswa harus memupuk terlebih dahulu

hubungan baik dan mendalam dengan informan. Saling mempercayai antara

mahasiswa dan informan dikenal dengan istilah rapport, dan apabila rapport

sudah terbina maka informan tidak mencurigai peneliti/mahasiswa. Tokoh-tokoh

masyarakat di subak Pancoran adalah prajuru subak dan anggota subak yang akan

banyak membantu memberikan informasi pada mahasiswa, dalam pelaksanaannya

di lapangan observasi perlu dibantu dengan teknologi seperti camera dan alat

perekam suara. Mahasiswa bisa mengobservasi bangunan-bangunan subak seperti

pura subak, balai subak, mushola, jineng, balai kulkul, bangunan pembagi air

(dengan sistem numbak).

Selain observasi, mahasiswa dalam memanfaatkan subak Pancoran sebagai

sumber belajar, bisa dengan kegiatan wawancara, yang bertujuan mengumpulkan

keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat. Koentjaraningrat

dalam Setya Yuwana Sudikan (2001:62) membagi wawancara ke dalam dua

golongan besar, yaitu: (1) Wawancara berencana atau standardized interview; (2)

Wawancara tidak berencana atau unstandardized interview. Perbedaan terletak

pada perlu tidaknya peneliti menyusun daftar pertanyaan yang dipergunakan

sebagai pedoman untuk mewawancarai informan. Sebelum ke lapangan para

mahasiswa perlu menusun pedoman wawancara supaya wawancara terarah,

cl

namun daftar wawancara bukanlah sesuatu yang bersifat ketat, dapat mengalami

perubahan sesuai dengan situasi dan kondisi di subak Pancoran.

Usaha pemanfaatan subak Pancoran oleh dosen dan mahasiswa

memerlukan prosedur untuk bisa ke lapangan. Setiap kunjungan ke lapangan

harus sudah disertai dengan perijinan yang jelas. Masalah perijinan di Fakultas

Ilmu Sosial Undiksha tidak mengalami masalah, karena PD I (Pembantu Dekan I)

Drs. I Wayan kertih, M.Pd, sangat mendukung kegiatan yang terkait dengan

perkuliahan termasuk mengadakan kunjungan ke subak Pancoran. Prajuru subak

Pancoran sangat terbuka menerima kunjungan mahasiswa apalagi dengan

memperlihatkan surat ijin pengumpulan data dari lembaga Undiksha, mereka

dengan seksama melayani setiap pertanyaan yang diajukan oleh mahasiswa

tentang persubakan yang anggotanya petani Hindu dan Islam.

Tugas yang diberikan dosen secara berkelompok dalam bentuk penelitian

sederhana di subak Pancoran, kemudian didiskusikan dan dipresentasikan di ruang

kelas sejarah. Di dalam diskusi kelompok tersebut mahasiswa mendiskusikan

permasalahan yang ditentukan sebelum mahasiswa terjun ke lapangan.

Berdasarkan pengamatan mahasiswa sangat antusias dalam proses pemecahan

masalah seperti apa latar belakang terjadinya integrasi sosial antara petani Hindu

dan Islam. Sementara dosen berusaha menjaga suasana bebas (permissive) dan

mendorong mahasiswa untuk berani memecahkan masalah dengan pikirannya

sendiri dengan cara mendorong mahasiswa untuk bertukar pendapat dan

menganalisis pendapat serta tafsiran-tafsiran berbeda.

cli

Untuk mengetahui ketercapaian kompetensi oleh mahasiswa seperti yang

diharapkan dalam silabus, maka dosen Sejarah kebudayaan Indonesia

mengadakan penilaian. Penilaian kelas yang baik mensyaratkan adanya

keterkaitan langsung dengan aktivitas proses belajar mengajar (PBM). Demikian

pula, PBM akan berjalan efektif apabila didukung penilaian kelas yang efektif

oleh dosen. Penilaian merupakan bagian yang integral dari proses belajar

mengajar. Berdasarkan hasil wawancara dengan dosen pengampu SKI, penilaian

dilakukan dengan menggunakan penilaian proyek, yaitu tugas yang harus

diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi

sejak dari pengumpulan, pengorganisasian, pengevaluasian, hingga penyajian

data. Dosen dapat menggunakan produk suatu proyek untuk menilai kemampuan

siswa dalam mengkomunikasikan temuan-temuan dengan bentuk yang tepat dan

dalam hal mempresentasikan hasil melalui display visual dan laporan tertulis.

Materi yang diberikan oleh dosen adalah integrasi petani Hindu dan Islam, maka

rancangan kegiatannnya adalah observasi ke subak Pancoran, wawancara dengan

tokoh-tokoh yang memahami subak Pancoran baik dari prajuru Hindu maupun

Islam, pembuatan laporan atau makalah dari kegiatan observasi, mengadakan

diskusi panel yang dimoderatori oleh dosen tentang integrasi petani Hindu dan

Islam di subak Pancoran. Penilaian berbasis proyek oleh dosen dengan melihat

keaktifan pada saat diskusi panel, dan makalah yang dibuat dengan melihat

kesesuaian format makalah dan tata tulis.

clii

3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan subak Pancoran

sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Pelaksanaan proses perkuliahan pada mata kuliah sejarah kebudayaan

Indonesia berbasis kompetensi mengalami beberapa kendala,

1. Waktu

Mengerjakan tugas-tugas kuliah merupakan suatu kewajiban bagi

mahasiswa, termasuk dalam menyelesaikan penelitian sederhana di subak

Pancoran. Kendala yang sering mahasiswa temui adalah waktu untuk

mengadakan kunjungan ke lapangan, hal ini terjadi karena pengurus subak

Pancoran Hindu maupun Islam tempat tinggalnya menyebar atau saling

berjauhan. Akibatnya mahasiswa harus beberapa kali berkunjung ke

lapangan menyesuaikan dengan waktu luang yang dimiliki oleh pengurus

subak dan juga harus menyesuaikan dengan jadwal kuliah yang padat

supaya anggota kelompok bisa semuanya diajak ke lapangan untuk

mengadakan wawancara dan mengadakan observasi.

Keinginan mahasiswa untuk bisa mengamati berbagai kegiatan

seperti ngusaba di pura subak tidak bisa dilaksanakan, karena waktu

ngusabha oleh petani Hindu maupun petani Islam biasanya jatuh pada

purnama kalima (sekitar bulan April). Mahasiswa hanya memperoleh

penjelasan dari prajuru subak tentang makna upacara ngusaba, yaitu

upacara yang dilaksanakan menjelang panen sebagai wujud syukur kepada

Tuhan atas hasil panen yang melimpah.

cliii

Namun tujuan yang dimaksudkan di atas dalam pelaksanaannya

mengalami banyak kendala yang dihadapi oleh dosen dalam

mengembangkan metode inquiri. Kesulitan pertama yang timbul ialah soal

waktu yang umumnya sangat terbatas. Di samping itu, metode ini sangat

menuntut tersedianya fasilitas-fasilitas khusus seperti ruangan khusus

(ruangan sejarah) bagi kegiatan proyek, buku-buku acuan (references)

yang memadai, dan dengan sendirinya dosen pembimbing yang punya

keterampilan khusus di bidang penyusunan sejarah kebudayaan maupun

sejarah lokal. Bagi mahasiswa sendiri, hal ini sering memberikan beban

yang berlebihan pada mereka, karena mereka juga mendapatkan berbagai

macam tugas dalam hubungan dengan mata kuliah lainnya. Ada faktor-

faktor yang menyebabkan tetap dilaksanakannya strategi pembelajaran ini

di Jurusan Pendidikan Sejarah. Menurut I Gde Widja (1989:50) salah satu

sasaran utama setiap proses pendidikan adalah untuk membimbing

mahasiswa untuk bekerja atas tanggung jawabnya sendiri. Ini sangat

diperlukan bagi persiapan kehidupan yang lebih dewasa, di mana

seseorang kadang-kadang mesti melaksanakan tugas dengan segala

keterbatasan yang harus dihadapinya. Maka kelengkapan dan keterampilan

yang sebenarnya dia perlukan adalah kemampuan untuk mencari sumber-

sumber bantuan dan selanjutnya memanfaatkan bantuan itu,

mengorganisasikan waktu dan tugas-tugas yang perlu dikerjakan serta

disiplin diri untuk melaksanakannya dengan sebaik-baiknya.

cliv

Hikmah yang bisa dipetik melalui pendekatan/strategi inkuiri

sebagai suatu kegiatan proyek yang sangat menekankan partisipasi aktif

mahasiswa menuju pada pengembangan keterampilan mahasiswa untuk

mampu bekerja dengan tanggung jawab sendiri. Untuk itu salah satu jalan

keluar yang dtempuh adalah melaksanakan strategi ini sebagai bagian dari

tugas-tugas kelompok dari mahasiswa, yang dilakukan sekali dalam satu

semester, sehingga tidak menyita terlalu banyak waktu. Dalam

pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia, yang dipentingkan adalah pengalaman tambahan yang harus

didapatkan mahasiswa untuk menyelesaikan suatu tugas. Dengan demikian

dalam pelaksanaannya yang dipentingkan adalah bukan kualitas hasil

semata-mata, tapi pengalaman tambahan melaksanakan prosedur kerja

seorang sejarawan dalam kondisi fasilitas yang minim serta waktu yang

terbatas.

2. Lokasi dan minimnya pengetahuan narasumber subak Pancoran

Jarak juga menjadi kendala, karena jarak dari kampus tengah

Undiksha ke subak Pancoran sekitar 15 Km ditambah lagi letak subak di

daerah pedalaman yaitu desa Panji Anom, Kecamatan Sukasada.

Transportasi yang bisa digunakan adalah sepeda motor karena daerah

subak Pancoran tidak dilalui oleh angkutan pedesaan. Kelompok Indra

Pranata menggunakan hari Minggu untuk mengadakan kunjungan, sebab

sekitar pukul 10 WITA para pengurus subak Pancoran bisa dijumpai di

rumahnya masing-masing untuk mengadakan wawancara.

clv

Masalah lokasi yang agak jauh dari kampus seharusnya tidak

menjadi kendala yang berarti, apabila dosen ingin mengembangkan

pembelajaran yang aktif, kreatif dan menyenangkan dan bisa

menumbuhkan pemikiran yang kritis dan analitis. Pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Indonesia yang formal dan kaku di dalam kelas sudah barang

tentu akan menumbuhkan kebosanan. Dengan mengadakan pembelajaran

di subak Pancoran tidak saja bisa menambah wawasan mereka tentang

multikulturalisme dalam suatu lembaga sosial budaya sekaligus

menghilangkan rasa jenuh karena bisa rekreasi di lokasi yang mempunyai

pemandangan yang indah serta penduduk yang hidup rukun dalam

kebhinekaan. Dengan demikian sumber belajar Sejarah Kebudayaan

Indonesia dapat memotivasi belajar mahasiswa, mendukung pencapaian

kompetensi mahasiswa dan mendukung program pembelajaran yang

melibatkan aktivitas penelitian Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Masalah minimnya pengetahuan narasumber terutama prajuru

subak tentang sejarah masuknya Islam ke subak Pancoran, bisa dilakukan

trianggulasi data, yakni dengan mengadakan wawancara dengan Musaimi

tokoh Muslim yang masih keturunan raja Buleleng. Sebab dari beliau

didapat keterangan awal masuknya Islam awal abad ke 19. Proses

masuknya orang-orang Islam menjadi anggota subak karena mereka

membeli tanah di subak Pancoran serta memerlukan air irigasi dan

kesediaan petani Islam beradaftasi dengan kebudayaan Bali.

3. Fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami kerusakan.

clvi

Fasilitas yang ada di laboratorium sejarah Undiksha sebenarnya

cukup memadai, namun sangat disayangkan fasilitas yang ada seperti

camera digital sebanyak tiga buah mengalami kerusakan, handycamp

sejumlah tiga buah juga mengalami kerusakan karena kesalahan dalam

prosedur penggunaan. Padahal kedua alat tersebut mempunyai peran yang

sangat vital untuk mendukung kegiatan mahasiswa di lapangan dalam

rangka pembuatan CD pembelajaran. Padahal dari segi sumberdaya

manusia (mahasiswa) mereka memiliki kemampuan untuk

mengoperasionalkan peralatan yang dimaksud. Sedangkan LCD untuk

presentasi makalah dan penayangan hasil-hasil observasi di lapangan juga

mengalami kerusakan terutama yang ada di ruang I FIS maupun di gedung

Kuliah Umum dan sampai sekarang belum ada perbaikan maupun

pergantian.

Fasilitas-fasilitas yang ada di laboratorium sejarah, semestinya bisa

menunjang aktifitas pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia,

khususnya pemanfaatan subak Pancoran sebagai salah satu sumber belajar.

Hal tersebut memungkinkan karena Laboratorium Sejarah dilengkapi

perpustakaan dan ruang laboratorium serta ruang pajangan dengan ukuran

4,2 m x 8,4 m (kapasitas 20-25 orang). Ruang audiovisiual Jurusan

Pendidikan Sejarah dengan ukuran 4,3 m x 6,6 m

Ruangan ini dirancang untuk praktik mahasiswa dalam

menganalisis kejadian (masalah sosial) di lapangan. Data dari lapangan

ditayangkan melalui video, over head, slide, atau komputer sebagai bahan

clvii

diskusi. Hasil diskusi digunakan untuk menentukan langkah selanjutnya di

lapangan atau sebagai laporan akhir. Berbagai fasilitas yang ada untuk

menunjang subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia, juga menuntut dosen untuk menguasai berbagai keterampilan

dalam merancang suatu media. Hal ini sejalan dengan fungsi dosen

sebagai fasilitator, maka ada beberapa hal yang harus dipahami, khususnya

yang berhubungan dengan pemanfaatan berbagai media dan sumber

pembelajaran (Omar Hamalik, 2006 : 148-149)

a. Pengajar perlu memahami berbagai media dan sumber belajar serta

fungsi masing-masing media tersebut. Pemahaman akan fungsi media

sangat diperlukan, oleh sebab belum tentu suatu media cocok

digunakan untuk mengajarkan semua bahan pelajaran.

b. Pengajar perlu memiliki keterampilan dalam merancang suatu media.

Kemampuan merancang suatu media merupakan salah satu

kompetensi yang harus dimilki oleh seorang professional. Dengan

perancangan media yang dianggap cocok akan memudahkan proses

pembelajaran, sehingga pada gilirannya tujuan pembelajaran akan

dapat tercapai dengan optimal.

c. Pengajar dituntut untuk mampu mengoperasikan berbagai jenis media,

serta dapat memanfaatkan berbagai sumber belajar. Perkembangan

teknologi informasi menuntut setiap guru untuk dapat mengikuti

perkembangan teknologi. Berbagai perkembangan teknologi informasi

clviii

memungkinkan setiap dosen/guru dapat menggunakan berbagai media

yang dianggap cocok.

d. Sebagai fasilitator pengajar dituntut agar memiliki kemampuan dalam

berkomunikasi dan berinteraksi dengan mahasiswa. Hal ini sangat

penting, karena kemampuan berkomunikasi secara efektif dapat

memudahkan siswa menangkap pesan sehingga dapat meningkatkan

motivasi belajar mahasiswa.

4. Minimnya bahan ajar subak multikultur

Buku-buku yang tersedia di laboratorium sejarah terkait dengan

subak juga sangat minim, padahal adanya buku sebagai sumber belajar

akan meningkatkan pemahaman mahasiswa terkait materi yang akan di

bahas. Buku yang memuat materi tentang kebudayaan petani subak di

Bali sebenarnya ada seperti: (1) Pitana, I Gde. 1992. Subak, Sistem

Irigasi Tradisional di Bali. DalamSubak Sistem Irigasi Tradisional di

Bali (Pitana Ed.). Denpasar: Upada Sastra; (2) Sudarta, Wayan. 2005.

Beragam Nilai Tradisional Subak (konsepsi yang Relevan dengan

Inovasi). Denpasar : Andi ; (3) Sendratari, Luh Putu. 1995. Salib dan

Petani Sawah ( Sebuah kajian tentang Fungsi Agama pada Sistem Sosio

kultural, Petani Kristen di Dusun Piling, Penebel, Tabanan). Singaraja :

STKIP N; (4) Sirtha, Nyoman. 2008. Subak Konsep Pertanian Religius

Perspektif Hukum, Budaya dan Agama Hindu. Surabaya Paramita; (5)

John Ambler. 1991. Irigasi di Indonesia Dinamika Kelembagaan Petani.

Jakarta : LP3ES.

clix

Minimnya sumber belajar berupa buku-buku subak berpengaruh

terhadap rendahnya pengetahuan awal mahasiswa yang sedang menempuh

mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia tentang subak Pancoran, hal ini

disebakan pengetahuan mereka tentang subak selalu identik dengan agama

Hindu. Pemahaman yang demikian disebabkan berbagai buku dan artikel

yang memuat tentang subak kebanyakan mengupasnya dari perspektif Bali

sentris, padahal melihat Bali sekarang tidak lagi bersifat monokultural

tetapi sudah multikultural, dalam artian berbagai lembaga sosial budaya

Bali tidak semata-mata dijiwai agama Hindu, namun terdapat lembaga

seperti subak Pancoran yang mengakomodasikan agama Islam. Bahkan

berdasarkan penelitian Sendratari di Piling Penebel Kabupaten Tabanan,

multikulturalisme di dalam subak sudah terjadi pada jaman Belanda yakni

dengan masuknya petani yang beragama Kristen Protestan maupun

Khatolik menjadi anggota subak. Jadi di Bali beberapa subak

keanggotaannya dipastikan ada yang berbeda agama dan etnis. Khusus

untuk subak Pancoran walaupun subak pada dasarnya dijiwai oleh nilai-

nilai agama Hindu, namun terbuka bagi anggota subak yang berbeda

agama.

clx

BAB V

SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan

Subak Pancoran dapat dipergunakan sebagai sumber belajar mata kuliah

Sejarah Kebudayaan Indonesia, hal ini dilihat dari mahasiswa yang sedang dan

sudah menempuh Sejarah Kebudayaan Indonesia yang mempunyai pemahaman

yang baik tentang peran dan tanggung jawab subak Pancoran dalam menciptakan

kerukunan umat. Peran dan tanggung jawab tersebut terlihat dalam hal: (1) Fungsi

pencarian dan distribusi air irigasi, operasi dan pemeliharaan sistem irigasi; (2)

Penanganan sengketa; (3) Upacara keagamaan (religi); (4) Toleransi.

Dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber Belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia harus disesuaikan dengan standar kompetensi dan

kompetensi dasar. Dengan penyesuaian standar kompetensi dan kompetensi dasar

ini secara tidak langsung memberikan dosen sumber belajar lain yang akan

menambah antusias mahasiswa untuk belajar Sejarah Kebudayaan Indonesia.

Selain itu, tujuan pembelajaran yang telah dicanangkan akan tercapai secara

optimal.

Bagi dosen pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah

Kebudayaan Indonesia dengan memberikan tugas pada mahasiswa untuk

mengadakan penelitian sederhana sesuai dengan metode inquiri. Sedangkan bagi

mahasiswa pemanfaatannya dengan mengadakan penelitian sederhana tentang

subak Pancoran sesuai dengan tugas yang diberikan oleh dosen pembimbing

clxi

dengan mengadakan wawancara, observasi dengan kajian dokumen. Pemanfaatan

subak pancoran sebagai sumber belajar memberikan pemahaman peran dan

tanggung jawab subak dalam menciptakan kerukunan umat sekaligus membentuk

mahasiswa yang kritis dan analitis terhadap fenomena sosial yakni terciptanya

tatanan kehidupan yang multikultural di sekitar tempat belajarnya. Luaran dari

penelitian sederhana tersebut adalah dengan pembuatan makalah dan CD

pembelajaran.

Pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan

Indonesia tidak begitu saja terlaksana dengan baik, hal ini disebabkan adanya

kendala-kendala dalam pelaksanaannya yaitu waktu, lokasi dan minimnya

pengetahuan narasumber, fasilitas yang menunjang pembelajaran mengalami

kerusakan, minimnya bahan ajar subak multikultur. Untuk mengatasi kendala

tersebut diperlukan persiapan yang matang dan dukungan dari lembaga Undiksha

berupa pemberian bantuan berupa peralatan untuk menunjang proses

pembelajaran dengan menggunakan subak Pancoran sebagai sumber

pembelajaran.

B. Implikasi

Penggunaan subak Pancoran sebagai sumber belajar dalam perkuliahan

sejarah kebudayaan menambah variasi sumber belajar yang ada di Jurusan

pendidikan Sejarah Undiksha, selain sumber belajar dari dosen, buku-buku sejarah

kebudayaan, dan taman mini sejarah. Hal ini juga akan berimplikasi penguasaan

materi Sejarah Kebudayaan Indonesia terutama menyangkut tentang kompetensi

clxii

dasar menganalisis hidup keagamaan, sosial budaya masyarakat Hindu Bali

dengan indikator menganalisis hidup keagamaan pada organisasi subak bertambah

pula. Dampak lainnya adalah suasana pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Indonesia menjadi lebih menyenangkan karena tidak hanya terpaku pada

pembelajaran di kelas yang karena didominasi oleh metode ceramah menjadi

membosankan dan sekaligus membiasakan mahasiswa dalam proses pembelajaran

di luar kelas untuk belajar tentang lingkungan sosial budayanya.

Penerapan strategi inquiri dalam pemanfaatan subak Pancoran sebagai

sumber belajar harus melalui perencanaan yang matang karena strategi ini

memerlukan waktu yang tidak sedikit sehingga tujuan pembelajaran dapat

tercapai. Untuk menunjang pemanfaatan tersebut diperlukan berbagai sarana

prasarana Handycamp, camera digital, LCD yang memadai guna menunjang

pengambilan data maupun saat pembelajaran di kelas. Di samping itu juga

diperlukan biaya tambahan untuk membuat CD pembelajaran yang bisa diambil

dari dana pengembangan jurusan (SP4) Undiksha, sehingga dihasilkan CD

pembelajaran yang baik.

C. Saran

Dalam upaya lebih memanfaatkan subak Pancoran sebagai sumber belajar

Sejarah Kebudayaan Indonesia, berikut ini diajukan beberapa saran. Subak

Pancoran yang alam geografisnya berupa persawahan dengan teras sering,

berhawa sejuk, suasana pemandangan indah, suasana kehidupan pedesaan yang

penuh toleransi antara Hindu dan Islam sangat berpotensi untuk dikembangkan

clxiii

menjadi objek wisata sekaligus sebagai sumber belajar Sejarah Kebudayaan

Indonesia, perlu dikemas menjadi salah satu objek agrowisata yang bermanfaat

bagi pendidikan maupun pariwisata.

Diperlukan dukungan dari lembaga Undiksha untuk pengadaan sarana dan

prasarana pendukung seperti handycamp, LCD, camera digital, yang memadai

untuk mendukung kelancaran dosen dan mahasiswa dalam memanfaatkan subak

Pancoran sebagai sumber belajar Sejarah kebudayaan Indonesia. Perlu adanya

kerjasama antara Undiksha dan Pemda Buleleng dan pengurus subak Pancoran

untuk lebih mendayagunakan subak Pancoran sebagai sumber belajar sekaligus

sebagai objek pariwisata alternatif melengkapi objek wisata seperti Lovina, Danau

Buyan Tamblingan, dan Air Sanih.

clxiv

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid. 2008. Perencanaan Pembelajaran Mengembangkan Standar Kompetensi Guru. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.

Akhmad Sudrajat. 2008. “Artikel” Sumber Belajar untuk Mengefektifkan Pembelajaran Siswa (http://id.wordpress.com/tag/blog-pendidikan/) Diunduh 15 April 2009.

Anderson, Benedict. 2008. Imagined Communities (Komunitas-komunitas Terbayang). Yogyakarta : Insist Press dan Pustaka Pelajar.

Andoyo. 2005. Manfaat Situs Perpustakaan. Semarang : Suara Merdeka.

Asmito. 1992. Sejarah Kebudayaan Indonesia. Semarang : IKIP Semarang Press.

Arianti, Ester. 2003. “Relevansi Kajian Materi Kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia Dengan Peninggalan Sejarah sebagai Sumber Belajar (Studi Kasus pada Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga)”. Tesis tidak diterbitkan. Surakarta : UNS.

Arif, S.S. 1999. Jurnal Internasional”Applying Philosofy of Tri Hita Karana in

Design and Management of Subak Irrigation, dalam A Study of Subak as Indigenous Cultural, Social, and Technological System to Establish a Culturally based Integrated Water Resources Management”. Fac.of Agric. Tecnology, Gajah Mada Univ. Yogyakarta.

Asvi Warman Adam. 2009. Pelurusan Sejarah Indonesia. Yogyakarta:Ombak.

Aunurrahman. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Bandung : Alfabeta

Badaruddin. 2005. “Modal Sosial (Social Capital) dan Pemberdayaan Komunitas Nelayan”. Dalam M. Arif Nasutian, Badarrudin dan Subhihar ed. “Isu-isu Kelautan dari Keminskinan Hingga Bajak Laut. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Halaman 23-59.

Bawa Atmadja, Nengah. 2003. Manajemen Konflik pada Desa Adat Multietnik di

Buleleng, Bali. Singaraja: IKIP. --------------------. 2007. Metodologi Penelitian Kualitataif. Makalah disampaikan

dalam Penataran Dosen Muda. Singaraja : Undiksha. --------------------. 2009. Pura di Tengah Pertarungan Antara Bulan Sabit dan

Salib (makalah). Undiksha : Singaraja.

clxv

Berger, Peter. 1987. The meaning of Social Controle, dalam Joel M. Charon (ed).

The Meaning Sociology a Reader. New Fersey, Englewoog Cliffs. Bober. 2002. Jurnal Internasional “The Role of Multicultural Education “

(http://edweb.sdsu.edu/courses/ed690SP05/Key1/BrooksExample.pdf). Diunduh tanggal 2 Mei 2009.

Buchari Alma. 2008. Guru Profesional Menguasai Metode dan Terampil

Mengajar. Bandung : Afabeta. Carl Rogers. 2003. Jurnal Internasional “ The School and Society”. Chicago

University Press. Dadang Supardan. 2008. Pengantar Ilmu Sosial Sebuah Kajian Pendekatan

Struktural. Jakarta : Bumi Aksara. Dahrendorf. 1984. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri. Jakarta : CV.

Rajawali. Dinas Kebudayaan Propinsi Bali. 2008. Pedoman dan Kriteria Penilaian Subak

Propinsi Bali. Dediknas. 2004. Pedoman Merancang Sumber Belajar. Jakarta : Depdiknas. Djoko Suryo. 2003. Pendidikan Sebagai Upaya Membangun Sikap Kebangsaan

Melalui Nilai-nilai Pluralitas Budaya Bangsa. Dalam Historika Vol.1, No.1. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah Pascasarjana Universitas Sebelas Maret.

Edi Sedyawati. 2006.Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, seni dan sejarah.

Jakarta:Rajawali Pers. Faisal, S. 2001. “Varian-varian Kontemporer Penelitian Sosial”. Dalam Burhan

Bungin ed., Metodologi Peneltian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.

Geertz, C. 1998. After the Fact Dua Negeri, Empat Dasawarsa, Satu Antropolog

(Landung Simatupang Penterjemah). Jakarta : LKiS. Geria, I Wayan. 2000. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki Abad XXI.

Denpasar : Percetakan Bali. Gottschalk, Louis. 1986. Mengerti Sejarah. Nugroho Notosusanto (Penerjemah).

Jakarta: UI Press

clxvi

Gunada, Ida Bagus. 2008. Identitas Manusia Bali:Perspektif Adat, Agama, dan Budaya. Dalam Kumpulan Makalah Konggres Kebudayaan Bali 14-16 Juni 2008. Denpasar : Panitia Konggres Budaya Bali.

Hari Poerwanto. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan Dalam Perpekstif

Antropologi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Hartono Kasmadi. 1981. Learning Resource Center. Semarang : P3DK UNDP II. Hasbullah, J. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya Manusia

Indonesia). Jakarta: MR-United Press. Huntington, S.P. 1996. The Clash of Civilization and The Remaking of World

Order. New York : Simon and Schuster. Jurusan Pendidikan Sejarah. 2006. Laporan Kegiatan Praktek Kerja lapangan

PKL di Desa Kalibukbuk-Lovina Kecamatan Buleleng, Kabupaten Buleleng-Bali). Singaraja : IKIP N Singaraja.

Karwono. 2006. Pemanfaatan Sumber Belajar dalam Upaya Peningkatan

Kualitas dan Hasil Pembelajaran : Jurnal Ilmiah. Karwono. 2007. Pemanfaatan Sumber Belajar Dalam Upaya Peningkatan

Kualitas dan Hasil Pelajaran (Makalah). Disampaikan dalam Seminar tentang Pemanfaatan Sumber Belajar tanggal 13 Nopember 2007 di Metro. Metro:FKIP Universitas Muhammadiyah Metro.

Kartono. 2002. Menebus Pendidikan yang tergadai (Catatan Replektif Seorang

Guru) .Yogyakarta : Galang Press. Koentjaraningrat. 1990. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta : Dian

Rakyat. Krisnu, Tjokorda Raka. 1991. Upacara Nanggluk Merana. Denpasar : Depag. Lapian, A.B. 1980. Memperluas Cakrawala Melalui Sejarah Lokal. Artikel dalam

PRISMA, no. 8 Th. 11, (Agustus). Masnur Muslich. KTSP Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual.

Jakarta: Bumi Aksara. Miall, Hugh. 2000. Resolusi Konflik Kontenporer: Menyelesaikan, Mencegah,

Mengelola dan Mengubah Konflik Bersumber Politik, Sosial, Agama dan Ras. Tri Budhi Satrio (penerjemah). Jakarta : Raja Grafindo Persada.

clxvii

Miles, M.B dan A.M. Hubermen. 1992. Analisis Data Kualitatif Buku Sumber tentang Metode-metode Baru. (Tjetjep Rohendi Rohidi Penerjemah). Jakarta: UI Press.

Muhamad Sofyan. 1999. Agama dan Kekerasan dalam Bingkai Reformasi.

Yogyakarta: Media Pressindo. Mulyasa. 2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya. Mulyasa. 2006. Kurikulum Berbasis Kompetensi Konsep, Karakteristik,

Implementasi, dan Inovasi. Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Mulyasa. 2008. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Bandung : PT Remaja

Rosdakarya. Mulyasa. 2009. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif

dan Menyenangkan. Bandung Remaja Rosdakarya. Musa Asy'arie . 2005. Islam, Pluralitas Dan Indonesia Baru. Dalam Pluralisme,

Konflik & Pendidikan Agama di Indonesia( Sumartana Ed.). Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Mustakim. 2008. ”Artikel” Sejarah Lokal dan Ketahanan Daerah

(http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=323103) Diunduh 15 April 2009.

Moleong J. Lexy.2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja

Rosdakarya. Moh. Ali. 2005. Pengantar Ilmu sejarah Indonesia. Yogyakarta : LKiS Mudji Sutrisno. 2008. Transformasi. Dalam Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto

(ed). Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius Nana Sudjana. 2001. Teknologi Pengajaran. Bandung : Sinar Baru Algensindo. Nichol, Jon. 1984. Teaching History : A Teaching Skills Workbook. London dan

Basingstoke : Macmillan Education. Novrianti. 2008. “Artikel” Pemanfaatan Lingkungan Sebagai Sumber Belajar

(http://sweetyhome.wordpress.com/2008/06/20/pemanfaatan-lingkungan-sebagai-sumber-belajar/). Diunduh tanggal 21 Mei 2010.

Nurhadi dan Senduk Agus Gerrad. 2003. Pembelajaran Kontekstual (CTL) dan

Penerapannya dalam KBK. Malang. Universitas Negeri Malang.

clxviii

Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT.

Remaja Rosdakarya. Oemar Hamalik. 2008. Proses Belajar Mengajar. Bandung : Bumi Aksara Pageh, I Made. 2009. Awig-awig Desa Pakraman Buleleng: Kebajikan Hukum

Adat Desa Metropolitan Berlandaskan Tri Hita Karana Mengadakan Penyapihan Tanpa Gejolak di Era Otonomi Daerah. Singaraja : Undiksha.

Parsudi Suparlan. 1986. Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar. Dalam

A.W Widjaja (ed.), Manusia Indonesia, Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Presindo. Halaman 61-74.

Pitana, I Gde. 1992. Subak, Sistem Irigasi Tradisional di Bali. DalamSubak

Sistem Irigasi Tradisional di Bali (Pitana Ed.). Denpasar: Upada Sastra. Pitana, I Gde.1994. Desa Adat Dalam Arus Modernisasi. Dalam Dinamika

Masyarakat dan Kebudayaan. Denpasar : Bali Post Purwanto. 2009. “Artikel” Pemanfaatan Sumber Belajar di Sekolah.

(http://purwanto.web.id/?p=89). Diunduh 21 April 2009. Sartono Kartodirdjo. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia baru : 1500-1900: Dari

Emporium sampai Imperium I. Jakarta : Gramedia. Sendratari, Luh Putu. 1995. Salib dan Petani Sawah ( Sebuah kajian tentang

Fungsi Agama pada Sistem Sosio kultural, Petani Kristen di Dusun Piling, Penebel, Tabanan). Singaraja : STKIP N

Singgih Tri Sulistiyono. 2008. Sejarah Maritim Nusantara Perkembangan dan

Prospeknya (Dalam Sejarah yang Memihak Mengenang Sartono Kartodirdjo). M. Nursam, Baskara T. Wardaya, Asvi Warman Adam (ed). Yogyakarta : Ombak.

Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan Kelas. Surakarta : LPP UNS. Soekmono. 1992. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 3. Yogyakarta :

Kanisius. Soewardji Sjafei. 1986. Peran Lokal Genius dalam Kebudayaan. Dalam

Kepribadian Budaya Bangsa (Local Genius) (Ayatohaedi Ed). Jakarta : Pustaka Jaya.

clxix

Sudarta, Wayan. 2005. Beragam Nilai Tradisional Subak (konsepsi yang Relevan dengan Inovasi). Denpasar : Andi.

Sumarta, Ketut. 1992. Subak, Inspirasi Manajemen Pembangunan Pertanian.

Denpasar: Cita Budaya. Supriyono. 2008. Paradigma Kultural Masyarakat Durkhemian. Dalam Mudji

Sutrisno dan Hendra Putranto (ed.), Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta : Kanisius.

Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif dan R & D. Bandung:

ALFABETA. Sudarta, Wayan. 2005. Beragam Nilai Tradisional Subak ( Konsepsi yang

Relevan dengan Inovasi) Dalam Revitalisasi Subak Dalam Memasuki Era Globalisasi (Pitana. Ed). Yogyakarta: Andi.

Suparlan. 1986. Masalah-masalah Sosial dan Ilmu Sosial Dasar. Dalam A.W.

Widjaja (ed.), Manusia Indonesia Individu Keluarga dan Masyarakat. Jakarta : Akademika Presindo.

Supartono. 1999. Ilmu Budaya Dasar (Edisi Revisi). Jakarta:Ghalia Indonesia. Sutopo, H.B. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya

dalam Penelitian. Surakarta: UNS. Suyatno Kartodirdjo. 2003. Perubahan Kurikulum dan Revitalisasi Pembinaan

Wawasan Kebangsaan. Dalam Historika Vol.1 No. 1. Surakarta: Program Studi Pendidikan Sejarah Program Pascasarjana UNS, halaman 5

Swanson, G.E. 1988. “Pengalaman Supranatural” dalam Roland Robertson (ed),

Agama: Dalam Analisis dan Interprestasi Sosiologis (Ahmad Soefaddin Penterjemah). Jakarta : CV Rajawali.

Syaiful Sagala. 2009. Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Pendidikan.

Bandung : Alfabeta. Syamsul Hadi, Andi Widjajanto, Rori Permadi, Nurul Rochayati, Supriyanto,

Suzanne Maria, Wahytu Addinata. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru. Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia.

Umar Kayam. 1987. Keselarasan dan Kebersamaan : Suatu Pendekatan Awal.

Prisma XVI, No.3. Jakarta : LP3ES, halaman 28-38 Usman Pelly. 1994.Teori-Teori Sosial Budaya. Jakarta:Dirjen Dikti Depdikbud

clxx

Veeger, K.J. 1993. Realitas Sosial Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan

Individu-Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta : Gramedia.

I Gde Widja. 1989. Dasar-dasar Pengembangan Strategi serta Metode

Pengajaran Sejarah. Jakarta : Depdiknas. --------------------. 1991. Sejarah Lokal Suatu Perspektif Dalam Pengajaran

Sejarah. Bandung : Angkasa. --------------------. 2003. Pendidikan Multikultural Suatu Tantangan Baru Bagi

Pendidikan Sejarah. Dalam Candra Sangkala Edisi Khusus Perayaan Ulang Tahun Jurusan Pendidikan Sejarah ke-36 Januari 2003. Singaraja : IKIP Negeri Singaraja.

Wina Sanjaya. 2008. Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran. Jakarta :

Prenada Media. Wina Sanjaya. 2009. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses

Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Yin, Robert K. 2008. Studi Kasus : Desain dan Metode. Djauzi Mudzakir

(penerjemah). Jakarta : RajaGrafindo Persada. Yudi Munadi. 2008. Media Pembelajaran Sebuah Pendekatan Baru.

Jakarta:Gaung Persada Press. Zamroni. 1992. Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta : Tiara Wacana.

clxxi

Lampiran 1

Daftar Informan

A. Dosen

1. Drs. Nengah Sudariya, M.Si (Dosen Sejarah Kebudayaan dan Ketua

Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Undiksha)

2. Dra. Desak Made Oka Purnawati (Pengawas Laboratorium Pendidikan

Sejarah)

3. Prof. Dr. Nengah Bawa Atmadja, M.A (Dosen Pendidikan Sejarah dan

Peneliti masalah-masalah sosial budaya)

4. Drs. Wayan Sugiartha, M.Si (Dosen Pendidikan Sejarah dan anggota

tim juri lomba subak Kabupaten Buleleng)

B. Mahasiswa Pendidikan Sejarah

1. I Nengah Aris Pratama

2. I Gusti Kade Frimantara

3. Kadek Riadi Panji Sagitha

4. Buda Parmadi

5. Amanda Destianty Poetri

6. I Putu Indra Pranata

7. Ni Made Ari Yuliantari

8. Gede Megayana

9. Dharma Tanaya

10. Widiarya

clxxii

11. Putu Penti Sarjana

12. Rony Nova Hermawan

13. Puspa Erlita Suardi

14. Nengah Rediasa

15. Ni Nyoman Murni Ari Pertiwi

16. I Putu Eka Noviantara

C. Tokoh Masyarakat Subak Pancoran

1. Gde Mas Ari (Pekaseh Subak Pancoran)

2. Muhamad Hakki (Kelian adat Islam)

3. Husaimi (Mantan Pekaseh Subak Pancoran)

clxxiii

Lampiran 2

PEDOMAN WAWANCARA

A. Kepada Dosen Pengampu Matakuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia

1. Bagaimana kedudukan matakuliah sejarah kebudayaan Indonesia dalam

kurikulum Jurusan Pendidikan Sejarah FIS-Undiksha?

2. Bagaimana strategi pengajaran yang digunakan dalam perkuliahan sejarah

kebudayaan Indonesia terutama terkait pemanfaatan subak Pancoran

sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?

3. Kendala apa saja yang dihadapi dalam pelaksanaan proses belajar

mengajar terkait pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar

sejarah Kebudayaan Indonesia?

4. Bagaimana mengatasi kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan

subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia?

B. Kepada Pengawas Laboratorium Pendidikan Sejarah

1. Bagaimana kondisi Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang

kelancaran proses belajar mengajar/perkuliahan sejarah kebudayaan

Indonesia?

2. Bagaimana kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan

Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang perkuliahan sejarah

kebudayaan Indonesia?

3. Bagaimana cara mengatasi kendala-kendala tersebut?

C. Mahasiswa

1. Bagaimana pemahaman awal anda tentang subak Pancoran?

2. Bagaimana peran subak Pancoran dalam mewujudkan kerukunan umat?

3. Bagaiamana strategi pembelajaran yang diterapkan dosen dalam

pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia?

clxxiv

4. Kendala-kendala apa saja yang anda hadapi ketika penelitian ke

lapangan?

5. Bagaimana mengatasi kendala-kendala yang anda hadapi di lapangan?

D. Tokoh Masyarakat Subak Pancoran

1. Nilai-nilai apa saja yang melandasi kerukunan umat/toleransi di subak

pancoran?

2. Faktor-faktor apa yang menyatukan petani Islam dan petani Hindu di

subak pancoran?

3. Bagaimana wujud kerukunan umat/toleransi beragama di subak pancoran?

4. Bagaimana strategi atau cara mempertahankan kerukunan umat/toleransi

beragama di subak Pancoran?

5. Bagaimana peran awig-awig dalam menjaga kerukunan umat/toleransi di

subak pancoran?

6. Bagaimana sejarah masuknya Islam di subak Pancoran

clxxv

Lampiran 3

DOKUMENTASI KEGIATAN PEMBELAJARAN

A. Dokumentasi observasi pasif lapangan di subak Pancoran

Pengamatan kegiatan pembelajaran di subak Pancoran pada saat melakukan

pengamatan pada tanggal 17 November 2009 tampak pada gambar 1

Selain mengadakan wawancara dengan Muhamad Hakki, mahasiswa juga

mewancarai Gde Mas Ari (kelian subak Pancoran) tampak pada gambar 2.

Gambar 1. Mahasiswa mewawancarai Muhamad Hakki

(Kelian adat Muslim)

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

Gambar. 2. Mahasiswa mewawancarai Gde Mas

Ari (Pekaseh Subak Pancoran)

Sumber : Dokumentasi Sedana Arta, 2009

clxxvi

Kegiatan pengamatan juga dilakukan pada mahasiswa yang mewancarai

masyarakat subak Pancoran pada tanggal 24 November 2009 tampak pada

gambar 3.

B. Bangunan-bangunan kelengkapan subak Pancoran

Balai subak merupakan tempat petani Islam dan Hindu mengadakan

sangkepan (musyawarah) tampak pada gambar 4.

Gambar 3. Mahasiswa mewawancarai masyarakat subak Pancoran.

Sumber: Dokumentasi Sedana Arta 2009

Gambar. 4. Bale Sangkepan (tempat rapat petani Islam dan

Hindu)

Sumber: Dokumentasi Sedana Arta, 2009

clxxvii

Bale kulkul adalah bangunan tinggi yang bagian atas terdapat kulkul (alat

komunikasi tradisional) dan dibunyikan pada waktu ada rapat anggota subak,

tampak pada gambar 5.

Jineng (kerumpu) adalah bangunan tradisional Bali yang berfungsi untuk

menyimpan padi dan tempat memuja Dewi Sri, tampak pada gambar 6

Gambar 5. Bale Kulkul Subak Pancoran

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

Gambar 6. Bangunan Lumbung Padi (Kerumpu) di Subak Pancoran

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009.

clxxviii

Jeroan pura subak adalah bagian yang paling suci yang didalamnya terdapat

bangunan suci (pelinggih) tempat ritual pertanian petani Hindu, tampak pada

gambar 7.

Sistem rotasi dalam pembagian air adalah salah satu kearifan lokal dalam

pengelolaan air di subak Pancoran, tampak pada gambar 8.

Gambar 7. Jeroan Pura Subak Pancoran

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

Gambar 8. Distribusi air dengan sistem rotasi

Sumber: Dokumentasi Sedana Arta, 2009

clxxix

Tembuku dengan sistem numbak adalah salah satu metode pembagian air yang

adil di subak Pancoran, tampak pada gambar 9.

Gde Mas Ari adalah kelian subak Pancoran bertugas memimpin subak yang

anggotanya terdiri dari petani Hindu dan Islam, tampak pada gambar 10.

Gambar 9. Tembuku Subak Pancoran (Sistem Numbak)

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

Gambar 10. Peneliti dengan Gede Mas Ari (kelian subak Pancoran)

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

clxxx

Musaimi tokoh Muslim di subak Pancoran pernah menjadi kelian subak Pancoran

dari tahun 1965-1970, tampak pada gambar 11

Gambar 11. Husaimi AS, (mantan kelian subak Pancoran)

Sumber: Dokumen Sedana Arta, 2009

clxxxi

Contoh Fieldnote

Tanggal : wawancara, tanggal 29 November 2009

Pukul : 10.00 WITA

Tempat : Ruang Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah

Narasumber : Drs. Nengah Sudariya, M.Si

1. Kedudukan mata kuliah sejarah Kebudayaan Indonesia dalam kurikulum

Jurusan Pendidikan Sejarah FIS Undiksha.

Sejarah Kebudayaan merupakan salah satu bagian dari Kelompok Mata Kuliah

Keahlian Berkarya (MKB). Kelompok mata kuliah ini merupakan kelompok

bahan kajian dan pelajaran yang bertujuan menghasilkan tenaga ahli dengan

kekaryaan berdasarkan dasar ilmu dan keterampilan yang dikuasai. Hal ini

juga untuk mendukung visi jurusan Pendidikan Sejarah yang mampu

mengembangkan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni serta menghasilkan

tenaga kependidikan dan non-kependidikan di bidang sejarah yang berkualitas

dan berdaya saing tinggi.

2. Strategi pengajaran yang digunakan dalam perkuliahan sejarah kebudayaan

Indonesia terkait pemanfaatan subak Pancoran sebagai sumber belajar sejarah

kebudayaan Indonesia.

Pemanfaaatan Subak pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

Indonesia selalu mengacu pada perencanaan program pembelajaran. Adapun

beberapa program yang seharusnya kami siapkan adalah program menyusun

alokasi waktu, program tahunan, program semester, silabus dan program

harian atau Rencana Pelaksanaan Perkuliahan (RPP). Strategi yang digunakan

dalam pelaksanaan perkuliahan adalah menerapkan model pembelajaran

kontekstual menggunakan pendekatan inkuiri dengan metode diskusi kecil.

Subak Pancoran bisa dipakai sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan

karena subak Pancoran adalah subak yang multikultur anggotanya terdiri dari

petani Hindu dan petani Islam. Di samping hal dipilihnya subak sebagai

clxxxii

sumber belajar diharapkan mahasiswa tidak tercabut dari akar budayanya.

Output dari tugas bagi mahasiswa adalah CD pembelajaran yang nantinya

dipakai sebagai media pembelajaran.

3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam memanfaatkan Subak pancoran sebagai

sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

Kendala yang kami hadapi dalam pembelajaran sejarah kebudayaan adalah

minimnya alokasi waktu sementara Kompetensi Dasar yang harus dibahas

adalah 15 KD. Kendala lain yang dihadapi adalah fasilitas yang ada di ruang

kuliah maupun di ruang Laboratorium banyak mengalami kerusakan sehingga

menjadi kendala dalam proses belajar mengajar di kelas, peralatan tersebut

adalah LCD, handy camp, dan kamera digital.

clxxxiii

Contoh Fieldnote

Tanggal : wawancara, tanggal 19 November 2009

Pukul : 11.30 WITA

Tempat : Ruang I FIS

Narasumber : I Putu Indra Pranata

1. Pemahaman awal tentang Subak Pancoran

Menurut pemahaman awal kami Subak Pancoran adalah salah satu organisasi

sosial tradisional yang anggotanya terdiri dari petani dan penggarap sawah

yang mengambil air dalam sumber air yang bersifat sosio agraris religius yang

tercermin dengan adanya Pura Subak (Pura Bedugul, Pura Masceti, Pura

Ulunsuwi). Namun setelah menempuh mata kuliah sejarah kebudayaan baru

diketahui Subak Pancoran adalah subak multikultur yang anggotanya terdiri

dari petani Hindu dan petani Islam.

2. Peran Subak pancoran dalam menciptakan kerukunan umat

Peran Subak dalam menciptakan kerukunan umat adalah dengan menerapkan

berbagai nilai tradisional yang dimiliki oleh Subak Pancoran. Nilai-nilai

tradisional yang dimaksud adalah nilai kerja, nilai kerja sama, nilai

musyawarah mufakat, nilai awig-awig. Kesemua nilai tersebut mampu

diterapkan oleh Subak Pancoran sehingga kerukunan umat tetap terjaga.

3. Strategi pembelajaran yang diterapkan dosen dalam pemanfaatan Subak

Pancoran sebagai sumber belajar sejarah kebudayaan Indonesia.

Mengacu pada perkuliahan yang dilaksanakan, perkuliahan menggunakan

pendekatan inkuiri dengan metode diskusi kelompok kecil, menurut kami

metode ini menyenangkan karena memberikan pengalaman pada mahasiswa

tentang kehidupan sosial budaya terutama Subak pancoran yang anggota

beragama Hindu dan Islam.

clxxxiv

Contoh Fieldnote

Tanggal : wawancara, tanggal 12 Desember 2009

Pukul : 10.00 WITA

Tempat : Ruang Laboratorium Pendidikan Sejarah

Narasumber : Dra. Desak Oka Purnawati, M.Hum

1. Kondisi Laboratorium Pendidikan Sejarah untuk menunjang kelancaran proses

belajar mengajar sejarah kebudayaan Indonesia.

Kondisi Laboratorium Jurusan Pendidikan Sejarah sebenarnya cukup memadai

dalam mendukung pelaksanaan pembelajaran sejarah kebudayaan seperti

perpustakaan, ruang pajangan dengan ukuran 4,2 m x 8,4 m (kapasitas 20-25

orang). Laboratorium juga dilengkapi dengan ruang audiovisual dengan

ukuran 4,3 m x 6,6 m.

2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan Laboratorium Pendidikan

Sejarah untuk menunjang perkuliahan sejarah kebudayaan Indonesia.

Pemanfaatan audio visual yang terdapat di Laboratorium Jurusan Pendidikan

Sejarah merupakan kebutuhan penting yang dapat menjadi alternatif dalam

proses pembelajaran sejarah. Namun dalam pemanfaatannya terdapat beberapa

kendala yang dihadapi, diantaranya peralatan lab berupa LCD yang terdapat di

ruang 1 FIS mengalami kerusakan, demikian juga OHP, Handycamp, Camera

digital mengalami kerusakan atau tidak dapat difungsikan untuk mendukung

pembelajaran sejarah kebudayaan Indonesia termasuk pada saat mahasiswa ke

lapangan untuk penelitian ke Subak Pancoran. Kerusakan peralatan tersebut

disebabkan kelalaian prosedur pemakaian yang dilakukan oleh dosen atau

mahasiswa, minimnya biaya pemeliharaan.

3. Cara mengatasi kendala-kendala tersebut

Untuk mengatasi kendala-kendala di atas, pengawas lab selalu mengajukan

dana DBO pada universitas terutama untuk mengganti peralatan yang rusak,

dan menghimbau yang memakai peralatan agar mempergunakan dengan baik.

clxxxv

PEDOMAN OBSERVASI

Yang diobservasi : Dosen Sejarah Kebudayaan Indonesia dan mahasiswa

Nama :

NIP :

Jabatan :

Pangkat/Golongan :

Unit Kerja :

KOMPONEN YANG

DIOBSERVASI

ASPEK DARI SETIAP KOMPONEN

YANG DIAMATI

A. Pemahaman Mahasiswa

Terhadap Peran dan

Tanggung Jawab Subak

Pancoran Dalam

Menciptakan Kerukunan

Umat.

1. Mengikuti pembelajaran di kelas dan subak

Pancoran.

2. Sikap dan perhatian diskusi pada saat

mengikuti presentasi kelompok.

3. Kemampuan presentasi kelompok.

4. Kemampuan menanggapi pertanyaan dalam

diskusi.

5. Kemampuan menjelaskan peran dan

tanggung jawab organisasi subak.

B. Cara Dosen dan

Mahasiswa Memanfaatkan

Sumber Belajar.

1. Kemampuan dosen memberikan pemahaman

awal tentang subak Pancoran

2. Kemampuan dosen menerapkan metode

pembelajaran.

3. Kemampuan dosen menjelaskan materi

subak.

4. Kemampuan dosen menerapkan evaluasi

pembelajaran.

5. Kemampuan mengaplikasikaan tugas dosen

6. Kemampuan mahasiswa mengadakan

wawancara dengan narasumber.

7. Kemampuan mahasiswa mengobservasi di

clxxxvi

lapangan.

8. Kemampuan mahasiswa membuat makalah

9. Kemampuan mahasiswa membuat CD

Pembelajaran tentang subak pancoran.

10. Kemampuan mahasiswa menganalisis

dokumen subak.

11. Kemampuan menggunakan alat atau media

pembelajaran.

C. Kendala-kendala dalam

pemanfaatan subak

Pancoran sebagai sumber

belajar Sejarah kebudayaan

Indonesia.

1. Kemampuan dosen mengatur waktu dalam

menerapkan metode pembelajaran SKI.

2. Penyediaan fasilitas pembelajaran.

3. Buku-buku terkait subak multikultur

4. Kemampuan mahasiswa mengatur waktu

penelitian di lapangan.

5. Kerjasama mahasiswa dalam mengatasi

kendala-kendala di lapangan.

Singaraja, November 2009

Pengamat.