sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi selama ini semakin terkuras

4
Sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi selama ini semakin terkuras, karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk (Anonim 2004). Energi fosil sebagai sumber energi tidak terbarukan merupakan sumber energi utama di dunia. Permasalahan serius yang dihadapi oleh banyak negara berkembangan saat ini adalah jumlah bahan bakar fosil yang sangat terbatas sementara kebutuhan terus meningkat (Budi et al., 2009), sehingga terjadi krisis energi. Ketersediaan energi fosil Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Persediaan Energi Fosil Indonesia Energi Sumber Daya yang dibutuhkan Cadangan Dunia Sumber Daya yang Tersedia Rasio Cadangan Produksi (tahun) Batubara 5000Mton 0,55% 170 Mton 29 Gas alam 2300MTOE 1,39% 72MTOE 32 Minyak 700Mton 0,43% 68 Mton 10 Sumber : Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, 2008 Salah satu yang mendasari terjadinya kelangkaan energi adalah pemakaian kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut data Statistik Kepolisian Indonesia (2009) pada tahun 2009 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah 61.956.009 kendaraan. Hal ini mengakibatkan pemakaian bahan bakar minyak bumi meningkat. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2009), cadangan energi bahan bakar yang ada saat ini tidak dapat diharapkan untuk jangka waktu yang lama. Lebih lanjut menurut Umi (2009), apabila tidak ditemukan cadangan baru, minyak bumi diperkirakan akan habis dalam waktu kurang dari 10 tahun, gas bumi 30 tahun, dan batubara akan habis sekitar 50 tahun. Diprediksikan pada tahun 2012, jumlah impor bahan bakar minyak (BBM) akan meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan

Upload: siti-nurul-darasa

Post on 09-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


17 download

DESCRIPTION

nvgh

TRANSCRIPT

Sumber daya alam yang dapat menghasilkan energi selama ini semakin terkuras, karena sebagian besar sumber energi saat ini berasal dari sumber daya alam yang tidak terbarukan. Sementara itu, konsumsi energi terus meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi dan pertambahan penduduk (Anonim 2004). Energi fosil sebagai sumber energi tidak terbarukan merupakan sumber energi utama di dunia. Permasalahan serius yang dihadapi oleh banyak negara berkembangan saat ini adalah jumlah bahan bakar fosil yang sangat terbatas sementara kebutuhan terus meningkat (Budi et al., 2009), sehingga terjadi krisis energi. Ketersediaan energi fosil Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1 berikut: Tabel 1.1 Persediaan Energi Fosil Indonesia Energi Sumber Daya yang dibutuhkan

Cadangan Dunia

Sumber Daya yang

Tersedia Rasio Cadangan Produksi (tahun)

Batubara5000Mton 0,55% 170 Mton 29

Gas alam 2300MTOE 1,39% 72MTOE32

Minyak700Mton 0,43% 68 Mton 10

Sumber : Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia, 2008 Salah satu yang mendasari terjadinya kelangkaan energi adalah pemakaian kendaraan bermotor berbahan bakar bensin yang dari tahun ke tahun semakin meningkat. Menurut data Statistik Kepolisian Indonesia (2009) pada tahun 2009 jumlah kendaraan bermotor di Indonesia berjumlah 61.956.009 kendaraan. Hal ini mengakibatkan pemakaian bahan bakar minyak bumi meningkat. Menurut Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (2009), cadangan energi bahan bakar yang ada saat ini tidak dapat diharapkan untuk jangka waktu yang lama. Lebih lanjut menurut Umi (2009), apabila tidak ditemukan cadangan baru, minyak bumi diperkirakan akan habis dalam waktu kurang dari 10 tahun, gas bumi 30 tahun, dan batubara akan habis sekitar 50 tahun. Diprediksikan pada tahun 2012, jumlah impor bahan bakar minyak (BBM) akan meningkat menjadi sekitar 60%-70% dari kebutuhan dalam negeri. Fakta itu akan menjadikan Indonesia pengimpor BBM terbesar di Asia (Suara Merdeka, 23 Oktober 2008).Pemanasan global yang diakibatkan oleh pemakaian bahan bakar fosil semakin terasa dan mengakibatkan ancaman lingkungan (Budi et al., 2009). Hal ini semakin mendorong dikembangkannya bahan bakar alternatif yang bersifat terbarukan dan konservasi energi. Ancaman lingkungan yang berpotensi untuk terjadi adalah polusi akibat emisi pembakaran bahan bakar fosil. Polusi yang ditimbulkan oleh pembakaran bahan bakar fosil memiliki dampak kesehatan bagi manusia, hewan bahkan lingkungan flora. Polusi berupa gas-gas berbahaya, seperti CO, NOx, dan UHC (unburn hydrocarbon), juga unsur metalik seperti timbal (Pb). Bahkan ledakan jumlah molekul CO2 yang berdampak pada pemanasan global (Global Warming Potential) (Dunan 2009). Kesadaran terhadap ancaman serius tersebut telah mengintensifkan berbagai riset yang bertujuan menghasilkan sumber-sumber energi (energy resources) ataupun pembawa energi (energy carrier) yang lebih terjamin keberlanjutannya (sustainable) dan lebih ramah lingkungan. Salah satu bentuk dari energi terbarukan adalah energi biomassa. Energi biomassa berasal dari bahan organik dan sangat beragam jenisnya (Gusmarwani 2009). Sumber energi biomassa dapat berasal dari tanaman perkebunan atau pertanian, hutan, atau bahkan limbah, baik limbah domestik maupun limbah pertanian. Biomassa dapat digunakan untuk sumber energi langsung maupun dikonversi menjadi bahan bakar (Gusmarwani 2009). Penggunaan biomassa sebagai sumber energi ini tidak akan menyebabkan terjadinya penumpukan gas CO2 karena menurut Surambo (2010) gas CO2 yang dihasilkan oleh reaksi pembakaran dipakai untuk pembentukan biomassa itu sendiri. Teknologi pemanfaatan energi biomassa yang telah dikembangkan terdiri dari pembakaran langsung dan konversi biomassa menjadi bahan bakar. Penggunaan biomassa langsung sebagai bahan bakar kurang efisien (Notodimedjo dalam Lestrai dan Soedjono 2003) sehingga konversi biomassa dianggap lebih baik dalam pemanfaatannya. Hasil konversi biomassa ini dapat berupa biogas, bioetanol, biodiesel, arang dan sebagainya. Bioetanol dan biodiesel dalam jangka panjang diharapkan dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar minyak (Megawati 2007). Bioetanol adalah etanol yang dihasilkan dari fermentasi biomassa dengan bantuan mikroorganisme (Hikmiyati dan Yanie, 2008). Hampir 93% produksi bioetanol di dunia diproduksi secara fermentasi. Bioetanol merupakan salah satu bahan bakar alternatif yang mempunyai kelebihan dibandingkan BBM. Bioetanol dianggap lebih ramah lingkungan karena CO2 yang dihasilkan oleh hasil buangan mesin akan diserap oleh tanaman, selanjutnya tanaman tersebut digunakan sebagai bahan baku pembuatan bahan bakar mesin, dan seterusnya sehingga tidak terjadi akumulasi karbon di atmosfer (Costello and Chun 1988), seperti yang ditimbulkan oleh penggunaan minyak bumi sebagai bahan bakar. Keunggulan lainnya adalah bioetanol mempunyai angka oktan tinggi 135. Angka oktan premium yang dijual sebagai bahan bakar hanya 98, makin tinggi bilangan oktan, bahan bakar makin tahan untuk tidak terbakar sendiri sehingga menghasilkan kesetabilan proses pembakaran untuk memperoleh daya yang lebih stabil. Proses pembakaran dengan daya yang lebih sempurna akan mengurangi emisi gas karbon monoksida. Campuran bioetanol 3% saja, mampu menurunkan emisi karbon monoksida menjadi hanya 1,35% (Aisyah dan Sembiring 2010). Bioetanol dapat juga meningkatkan efisiensi pembakaran karena mengandung 35 % oksigen dan ramah lingkungan karena emisi gas buangnya seperti kadar karbon monoksida, nitrogen oksida, dan gas-gas lain lebih rendah yaitu antara 19-25% (Indartono, 2005). Selama ini bioetanol diproduksi dari molase (limbah proses produksi gula) ataupun bahan berpati (singkong atau jagung). Penggunaan molase dan bahan berpati ini sebagai bahan baku pembuatan bioetanol akan menimbulkan pertentangan antara kebutuhan produksi bahan bakar dan penggunaan bahan pangan dan pakan (Sarjoko, 1991), untuk mengatasi perlu ditemukan sumber bahan baku lain yang keberadaannya tidak diinginkan atau sisa produksi seperti dari sampah organik yang banyak mengandung bahan yang dapat diolah menjadi bioetanol. Menurut data Badan Pertanian Indonesia (2008), produksi singkong di Indonesia mencapai 20,8 juta ton pertahun, jadi jumlah kulit singkong 364.000 ton pertahun, yang tersebar di Pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Potensi kulit ubi kayu/singkong di Indonesia cukup besar dengan jumlahnya begitu melimpah mendorong untuk digunakan sebagai bahan baku alternatif pembuatan bioetanol. Kulit singkong biasanya dibuang dan untuk campuran pakan ternak, masih jarang digunakan sebagai kompos dan bio-energi (Dewanto dan Wawan, 2008). Empat proses utama dalam produksi bioetanol adalah pretreatment, hidrolisis, fermentasi dan distilasi (Sukumaran, 2008). Proses pretreatment digunakan untuk memisahkan pati dan selulosa dari lignin dan hemiselulosa dengan asam. Proses hidrolisis dilakukan dengan asam, enzim dan pemanasan, dimana hidrolisat pati dan selulosa kulit singkong akan dirubah menjadi glukosa. Proses fermentasi bioetanol pada umumnya menggunakan jasa mikroba yaitu bakteri atau khamir. Distilasi dilakukan untuk mendapatkan volume bioetanol dengan kadar lebih tinggi. Penelitian ini berupaya memberi solusi dalam mengatasi masalah sampah dengan mengkonversi kulit singkong menjadi bioetanol. Pretreatment dilakukan dengan proses mekanik dengan penghalusan selanjutnya dilakukan perendaman dengan NaOH. Proses hidrolisis dengan asam sulfat (H2SO4) dan khamir Trichoderma viride. Proses fermentasi dengan Saccharomyces cerevisiae. Harapannya sumber energi alternatif ini merupakan sumber energi yang terbarukan dan lebih ramah lingkungan.