sunnah dan bid'ah

48
BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafi’i melalui proses kanonisasi dan kodifikasi sunnah ke dalam hadits. Pertentangan penafsiran terhadap materi sunnah pada tepian lain memunculkan istilah bid’ah sebagai kebalikan konsep sunnah. Konsep sunnah dan bid’ah ini dipakai secara berbeda oleh para ahli hadits, ahli usul, ahli fiqh dan ahli kalam. Jika ahli fiqh lebih berorientasi kepada penilaian hukum, ahli hadits dan ahli usul memaknainya sebagai proses keberagaman yang berorientasi pada Nabi Saw dan salaf al-Salih. Sementara ahli kalam memaknainya salam artian I’tikad yang didasarkan kepada Allah dan RasulNya dan tidak kepada rasio semata. Makna ini 1

Upload: rochmatul-ummah

Post on 29-Jan-2016

255 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sunnah adalahbid'ah adalah

TRANSCRIPT

Page 1: Sunnah dan Bid'ah

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi

basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah

bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual

masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek

modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan

situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan

keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang

bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafi’i melalui proses kanonisasi dan

kodifikasi sunnah ke dalam hadits.

Pertentangan penafsiran terhadap materi sunnah pada tepian lain memunculkan istilah

bid’ah sebagai kebalikan konsep sunnah. Konsep sunnah dan bid’ah ini dipakai secara

berbeda oleh para ahli hadits, ahli usul, ahli fiqh dan ahli kalam. Jika ahli fiqh lebih

berorientasi kepada penilaian hukum, ahli hadits dan ahli usul memaknainya sebagai proses

keberagaman yang berorientasi pada Nabi Saw dan salaf al-Salih. Sementara ahli kalam

memaknainya salam artian I’tikad yang didasarkan kepada Allah dan RasulNya dan tidak

kepada rasio semata. Makna ini dimunculkan pada abad 4 H oleh golongan Asy’ariyah dan

Maturidiyah yang dikenal dengan sebutan ahl al-Sunnah, sementara golongan yang berbeda

pandangan seperti Murji’ah, Khawarij, Mu’tazilah dan Syi’ah mendapatkan sebutan Iahl al-

bid’ah, ahl al-alwa dan ahl al zaig wa al-tadlil.

1

Page 2: Sunnah dan Bid'ah

B. Rumusan Masalah

1. Konsep sunnah dan bid’ah ?

2. Pembagian sunnah dan bid’ah ?

3. Bid’ah pada masa Rasul dan sahabat ?

4. Kelompok anti bid’ah dan dalilnya ?

C. Tujuan

1. Mengetahui konsep sunnah dan bid’ah.

2. Mengetahui pembagian sunnah dan bid’ah.

3. Mengetahui bid’ah pada masa Rasul dan sahabat.

4. Mengetahui kelompok anti bid’ah dan dalilnya.

2

Page 3: Sunnah dan Bid'ah

BAB 2

TINJAUAN TEORI

A Konsep Sunnah dan Bid’ah

Diskursus tentang sunnah dan bid’ah oleh Kyai Hasyim dipersandingkan dengan

sunnah secara berlawanan. Term bid’ah dipakai oleh Kyai Hasyim untuk

mengidentifikasi kelompok-kelompok yang tidak memiliki kesesuaian dengan

parameter Ahl al-sunnah dalam konsepsinya. Mereka ini, oleh Kyai Hasyim disebut

Ahl al-Bid’ah. Selain itu, uraian tentang bid’ah dikaitkan dengan perbedaan

pandangan antara kalangan pesantren dan pembaru mengenai sejauhmana sebuah

ekspresi keagamaan atau pranata-pranata baru dalam agama bisa disebut bid’ah.

Dalam Risalah Ahl al-sunnah wa al-jama’ah dan karya-karyanya yang lain, Kyai

Hasyim banyak memberikan penjelasan secara detail tentang bid’ah dan berbagai

manifestasinya di tengah-tengah masyarakat. Terutama setelah diskursus bid’ah yang

mengemuka banyak dipersinggungkan dengan praktek-prakter keberagamaan muslim

tradisional di Jawa, seperti peringatan hari kelahiran Nabi (maulid nabi), slametan

(sedekah untuk mayit), ziarah ke makam leluhur dan para wali, dan sebagainya.

Menurut Kyai Hasyim, bid’ah dapat diartikan mendatangkan atau menciptakan

suatu perkara baru di dalam agama, dan meyakininya sebagai bagian dari ajaran

agama, padahal perkara tersebut sebenernya tidak menjadi bagian dari ajaran agama.

berbeda dengan sementara kalangan yang menganggap bahwa, seluruh perkara baru

(muhdathah) adalah bid’ah dan sekaligus sesat tanpa terkecuali, bagi Kyai Hasyim

tidak semua muhdathah berstatus bid’ah. Dalam bahasa berbeda dapat dinyatakan,

tidak semua muhdathah adalah bid’ah, karena meskipun tidak terdapat dalil yang

jelas (sarih), namun bisa jadi, tetap bersandar pada shari’at. Sandaran dimaksud

dapat digali dengan menggunakan berbagai pendekatan metodelogis yang ada,

misalnya, melalui mekanisme penganalogian (qiyas). Hal ini berarti, penerjemahan

terhadap teks-teks otoritatif (Hadith) tetang bid’ah harus menggunakan pendekatan

yang lebih menyeluruh (holistik) atau hanya tekstual semata.

Setiap perkara yang baru datang harus ditelusuri secara meneyeluruh, sebelum

diputuskan status hokum kebid’ahannya. Jika sebuah perkara yang baru datang

3

Page 4: Sunnah dan Bid'ah

(muhdathah) memiliki sandaran shari’at, baik secara langsung maupun setelah

ditelisik melalui berbagai pendekatan kontekstual, maka hal itu tidak berstatus

bid’ah. Sebaiknya, muhdathah baru disebut sebagai bid’ah, ketika ia tidak memiliki

persinggungan dengan shari’at sedikitpun. Selain itu, pengambilan tentang bid’ah

juga harus menyertakan kajian terhadap berbagai pendapat yang ada secara

komprehensif. Ketika, misalnya, terdapat dua pendapat atau lebih dalam satu perkara

yang baru datang (muhdathah), tidak dengan serta merta mengambil pendapat yang

membid’ahkan muhdathah tersebut. Sebaliknya, berbagai pendapat harus diuji atau

ditarjih lebih dulu, dan pendapat yang paling unggul (al-qur’an al mu’tamad)

akhirnya dipakai sebagai rujukan memutuskan status muhdathah tersebut.

Untuk menentukan status bid’ah pada suatu muhdathah, dibutuhkan terlebih

dahulu analisa teks al-Sunnah berdasarkan kaidah-kaidah mustalah Hadith yang telah

dibakukan oleh generasi pendahulu (salafuna al-salih), termasuk para mujtahid.

Pendapat tentang status bid’ah baru akan di terima, setelah melalui analisis

mendalam terhadap teks Hadith yang dijadikan sebagai rujukan. Selian itu, apakah

muhdathah tersebut pernah dipraktekkan oleh generasi salaf atau tidak harusnya

ditetapkan secara proporsional. Muhdathah yang belum pernah dilakukan oleh

generasi salat, selama tidak ada pelarangan dan memiliki argument shari’at, tidak

termasuk bid’ah. Ini berarti muhdathah yang tidak pernah dilakukan oleh generasi

terdahulu tidak seluruhnya adalah bid’ah. Karena bisa jadi, ada kodisi-kondisi

historis tertentu yang memungkinkan muhdathah belum pernah dilakukan.

Penentuan status bid’ah pada muhdathah tertentu harus dirinci berdasarkan

klasifikasi status hokum yang berlaku dalam shari’at Islam. Status muhdathah sangat

terkait dengan enam status hokum yang selama ini berlaku, yakni wajib, sunnah,

haram, makruh, khilaf awla, dan mubah. Selama terdapat argumentasi dan dalil yang

dapat dijadikan sebagai ilhaq terhadap penentuan status muhdathah, maka tidak

berstatus bid’ah. Sebaliknya, jika dengan menggunakan metode ilhaq dan tidak

ditemukan argument maupun dalilnya, maka status muhdathah adalah bid’ah secara

otomatis.

Dengan penggunaan metode ilhaqi ini, maka bisa jadi muhdathah emiliki status

bid’ah yang bermacam. Terdapat muhdathah yang memiliki status bid’ah wajibah,

4

Page 5: Sunnah dan Bid'ah

mandumah, namun juga terdapat status diharamkan (mahrumah) dan tersesat.

Dengan mengutip al-Shabshiri dalam Sharkh Arba in Nahwawi, Kyai Hasyim

menegaskan, terhadap Hadist Nabi yang mengatakan:

(Barang siapa menciptakan suatu perkara yang baru datang dalam agama atau

melindungi orang yang menciptakan perkara yang baru tersebut, maka baginya

laknat Allah).

Maka termasuk dalam kandungan Hadith tersebut adalah transaksi-transaksi

yang rusak,hukum-hukum yang penuh kebohongan dan penyelewengan, dan contoh-

contoh lainnya yang tidak bersesuaian dengan hokum shari’at. Dikecualikan dari

masalah-masalah di atas, adalah muhdathah yang tidak memiliki dalil shara’ seperti

masalah-masalah ijtihadiyah yang diantara masalah-masalah dan dalil-dalil

penguatnya tidak memiliki persinggungan langsung, kecuali berdasarkan atas

persangkaan (judgement) mujtahid. Seperti menulis teks al-Qur’an, membersihkan

madhhab-madhhab (dari penyelewengan), menulis kitab-kitab gramatika Bahasa

Arab dan Matematika. Atas dasar paparan di atas, ibn ‘Abd al-Salam membagi

hukum perkara-perkara yang baru datang (al-hawadith) ke dalam lima status

hokum. Lalu dia mengatakan: Bid’ah adalah perbuatan yang tidak diketahui pada

zaman Nabi SAW, adalah wajib hukumnya seperti belajar gramatika Bahasa Arab,

kosa kata-kosa kata yang asing (gharib) dalam al-Qur’an dan al-Sunnah

berdasarkan ketentuan shari’at yang ada. (Bid’ah) yang disunnahkan, seperti

membangun pesantren-pesantren dan lembaga-lembaga madrasah, dan berbagai

kebajikan lainnya yang belum pernah dilakukan pada zaman Muhammad. (Bid’ah)

yang dimakruhkan seperti diperbolehkan seperti bersalaman setelah shalat Asar dan

Subuh, membuat aneka ragam minuman, makanan, pakaian dan sebagainya.

Jika engkau mengetahui apa yang telah dipaparkan di atas, jika dikatakan:

Bid’ah seperti membuat tasbih, mengucapkan niat dengan suara kerasa, tahlil

5

Page 6: Sunnah dan Bid'ah

beserta sedekah kepada mayit ketika memiliki kesempatan melakukannya, ziarah

kubuh, dan sebagainya. Seluruhnya (pada dasarnya) bukanlah bid’ah….

Lebih lanjut, Kyai Hasyim membagi membagi bentuk-bentuk bid’ah menjadi tiga:

pertama, bid’ah sarihah, yaitu suatu perkara yang dianggap merupakan bagian dari

agama, padahal tidak memiliki landasan dalil shar’i dan juga tidak memiliki

kesesuaian atau tidak bisa disepadankan dengan suatu maslah yang telah memiliki

ketetapan hokum shara’ apakah wajib, sunnah, mandub atau yang lainnya. Bid’ah

jenis ini berpontensi membunuh eksistensi sunnah dan membatalkan perkara yang

haq. Bid’ah ini merupakan seburuk-buruknya bid’ah, meskipun daripadanya

dikemukakan sejumlah alas an pada kerangka usul maupun furu tetaplah tidak dapat

mempengaruhi ke-sarih-an bid’ah-nya; kedua, bid’ah izafiyah, yaitu suatu perkara

yang disandarkan pada suatu masalah --yang telah memiliki ketetapan hokum

tertentu--, sehingga apabila masalah itu diterima sebagai sandaran perkara bid’ah

tersebut, maka akan menepis kontroversi mengenai status hukumnya, apakah sebagia

sunnah atupun bid’ah, dan ; ketiga, bid’ah khilafiyah, yaitu bid’ah yang dilandasi

oleh dua dalil yang saling bertentangan, di satu sisi bisa dinyatakan sebagai sunnah

berdasarkan pada dalil tertentu, dan dinyatakan sebagi bid’ah jika menggunakan dalil

yang berbeda. Contoh bid’ah jenis ini adalah membuat kepengurusan jam’iyah atau

majlis dzikir dan do’a bersama.

Narasi Kyai Hasyim tentang bid’ah di atas, secara umum berhasil mementahkan

judgement kalangan modernis bahwa semua bid’ah adalah sesat (kullu bid’ah

dalalah), sekaligus mengukuhkan fungsi shari’at menjawab tuntutan Islam sebagai

hidayah dan rahmat bagi umat manusia. Berbagai pranata sosial yang diungkapkan

oleh Kyai Hasyim sebagai contoh Muhdathat dalam kutipan di atas, merupakan

bentuk bid’ah yang tak terhindarkan dalam wilayah kebudayaan yang bersifat sangat

dinamis. Oleh karena itu, tidak mungkin menyatakan bahwa semua kebaikan yang

menyertai perkembangan kebudayaan manusia itu disebut bid’ah yang sesat.

B Pembagian Sunnah dan Bid’ah

Pembagian Sunnah

Sunnah dalam pandangan ulama terbagi dalam empat bagian, yaitu :

6

Page 7: Sunnah dan Bid'ah

1. Sunnah qauliyah

Sunnah qauliyah merupakan perkataan atau sabda Rasulullah SAW yang

didalamnya menerengkan hukum-hukum agama dan maksud Al-Quran yang

berisi peradaban, hikmah, ilmu pengetahuan, dan akhlak. Sunnah qauliyah ini juga

dinamakan khabar, hadits, atau sunnah. Sunnah qauliyah pun terbagi menjadi tiga

tingkatan ;

a) Sunah qauliyah yang jelas dan pasti kebenarannya dari Allah melalui Rasul dan

diriwayatkan secara mutawatir.

b) Sunah qauliyah yang diragukan kebenarannya atau kesalahannya, karena tidak

bisa membedakan mana yang kuat, benar atau salah, orang yang meriwayatkan

diragukan kejujuran dan keadilannya, dst.

c) Sunah qauliyah yang dianggap tidak benar sama sekali, seperti tidak masuk

akal, khabar yang menyalahi atau bertentangan dengan khabar mutawatir, dst.

2. Sunnah fi’liyah

Sunnah fi’liyah adalah perbuatan nabi yang berdasarkan tuntunan rabbani untuk

ditiru dan diteladani yang kemudian dinukilkan oleh para sahabat. Seperti :

كمارايتمونى صلوا

اصلى

Artinya : Shalatlah kamu sekalian sebagaimana kamu melihat saya melaksanakan

shalat ( HR Bukhari dan Muslim ).

خذواعنى

مناسككم

Artinya : Ambillah daripadaku cara – cara mengerjakan haji ( HR Muslim ).

3. Sunnah taqririyah

Sunnah taqririyah merupakan pengakuan nabi dengan tidak mengingkari sesuatu

yang diperbuat oleh seorang sahabat ( orang tunduk dan mengikuti syara ) ketika

dihadapan nabi atau diberitakan kepada beliau, lalu nabi sendiri tidak

menyanggah, tidak menyalahkan atau juga tidak menunjukkan bahwa beliau

meridhainya. Perkataan atau perbuatan yang didiamkan itu hukumnya sama

dengan perkataan dan perbuatan Nabi SAW sendiri yaitu dapat dijadikan hujjah

7

Page 8: Sunnah dan Bid'ah

(ketetapan hukum), seperti ketika sahabat melakukan shalat dibani Quraidhah,

Nabi bersabda :

بنى االفى احدكم اليصلين

قريظه

Artinya : Janganlah melaksanakan shalat seseorang diantara kalian kecuali di Bani

Quraidhah. Pemaknaan hadits ini oleh kalangan sahabat dimaknai beragam, ada

sahabat yang tidak shalat ashar kecuali setelah mereka sampai di Bani Quraidhah,

sebagian lagi memahami hadits tersebut mengharuskan segera shalat ashar, agar

setelah shalat segera sampai di bani Quraidhah.

4. Sunnah hammiyah

Sunnah hammiyah adala sesuatu yang dikehendaki Nabi lalu disampaikan kepada

para sahabat sehingga sahabat itu mengetahui, tetapi beliau belum sempat

melaksanakan. Menurut Imam As-Syaukany, sunnah hammiyah tidak masuk

kategori karena hanya merupakan goresan hati dan lintasan hati yang tidak pernah

diperintahkan dan dilaksanakan Rasulullah SAW. Berbeda halnya dengan imam

Syafi’i mengatakan bahwa sunah hammiyah termasuk, walaupun masih dalam

lintasan hati, namun seandainya ada pada waktu pasti nabi akan melaksanakannya

sehingga menjadi sunah bagi kita. Seperti “ nabi menghendaki puasa pada tanggal

9 Muharram dengan sabdanya : “ Insya Allah tahun depan saya akan memuasai

hari yang kesembilannya”. (HR Muslim dan Abu Dawud). Cita-cita Nabi tersebut

tidak sempat dikerjakan sebab sebelumnya sampai tanggal tersebut Nabi wafat.

Pembagian Bid’ah

Secara garis besar, para ulama membagi bid’ah menjadi dua ; yaitu bid’ah

hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah madzmumah (bid’ah yang tercela). Dalam hal

ini, al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris al-Syafi’I –mujtahid besar dan

pendiri madzhab Syafi’I yang diikuti oleh mayoritas Ahlussunnah Wal-Jama’ah di

dunia Islam-, berkata:

8

Page 9: Sunnah dan Bid'ah

“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi

al-Qur’an atau sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,

sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan

Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela.” (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’I,

1/469).

Al-Imam al-Nawawi juga membagi bid’ah pada dua bagian. Ketika

membicarakan masalah bid’ah, dalam kitabnya Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat

(3/22), beliau mengatakan :

“Bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan bid’ah qabihah (buruk).”

(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’ wa al-Lughat 3/22).

Bahkan dalam Syarh Shahih Muslim dan Raudhat al-Thalibin, al-Imam al-

Nawawi membagi bid’ah tidak hanya menjadi dua bagian. Bahkan membagi bid’ah

secara lebih rinci, yaitu menjadi lima hokum sesuai dengan alur yang diikuti oleh

mayoritas ulama. Pembagian bid’ah menjadi dua, dan bahkan menjadi lima, juga

dilakukan oleh al-Hafizh Bin Hajar al-Asqalani. Dalam kitab Fath al-Bari Syarh

Shahih al-Bukhari, beliau berkata:

9

Page 10: Sunnah dan Bid'ah

“Secara bahasa, bid’ah adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh

sebelumnya. Dalam syara’, bid’ah diucapkan sebagai lawan sunnah, sehingga

bid’ah itu pasti tercela. Sebenarnya, apabilah bid’ah itu masuk dalam naungan

sesuatu yang dianggap baik menurut syara’, maka disebut bid’ah hasanah. Bila

masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap buruk menurut syara’, maka disebut

bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk dalam naungan keduanya, maka

menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi menjadi lima hokum.”

(Fath al-Bari, 4/253).

Pembagian bid’ah menjadi lima juga dilakukan oleh al-Imam Muhammad bin

Isma’il al-Amir al-Shan’ani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi oleh kaum

Wahabi. Dalam kitabnya Subul al-Salam Syarh Bulugh al-Maram, beliau

mengatakan :

10

Page 11: Sunnah dan Bid'ah

“Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa mengikuti contoh

sebelumnya. Yang dimaksud bid’ah di sini adalah sesuatu yang dikerjakan tanpa

didahului pengakuan syara’ melalui al-Qur’an dan Sunnah. Ulama telah membagi

bid’ah menjadi lima bagian: 1) bid’ah wajib seperti memelihara ilmu-ilmu agama

dengan membukukannya dan menolak terhadap kelompok-kelompok sesat dengan

menegakkan dalil-dalil, 2) bid’ah mandubah seperti membangun madrasah-

madrasah, 3) bid’ah mubabah seperti menjamah makanan yang bermacam-macam

dan baju yang indah, 4) bid’ah muharramah dan 5) bid’ah makruhah, dan keduanya

sudah jelas contoh-contohnya. Jadi hadist “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-

kata umum yang dibatasi jangkauannya.” (Al-Imam al-Amir al-Shan’ani, Subul al-

Salam, 2/48).

Al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, ulama Syiah Zaidiyah yang dikagumi

kaum Wahabi, juga membagi bid’ah menjadi dua, bahkan menjadi lima bagian.

Dalam kitabnya Nail al-Authar (3/25)-yang telah diterbitkan dalam bahasa edisi

Indonesia oleh kaum Wahabi-, al-Syaukani mengutip pernyataan al-Hafizh Ibn Hajar

dalam Fath al-Bari tentang pembagian bid’ah tanpa memberinya komentar.

11

Page 12: Sunnah dan Bid'ah

“Al-Hafizh Ibn Hajar berkata dalam Fath al-Bari, “Asal mula bid’ah adalah suatu

yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Dalam istilah syara’, bid’ah

diucapkian sebagai kebalikan sunnah, sehingga bid’ah itu tercela. Sebenarnya,

apbila bid’ah itu masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap baik menurut syara’,

maka disebut bid’ah hasanah. Bila masuk dalam naungan sesuatu yang dianggap

buruk menurut syara’, maka disebut bid’ah mustaqbahah (tercela). Bila tidak masuk

dalam keduanya, maka menjadi bagian mubah (boleh). Dan bid’ah itu dapat dibagi

menjadi lima hokum.” (al-Imam Muhammad bin Ali al-Syaukani, Nail al-Authar, juz

3 hal. 25).

Lebih dari itu, pembagian bid’ah menjadi dua, juga dilegitimasi dan dibenarkan oleh

Syaikh Ibn Taimiyah, rujukan paling otoritatif kalangan Salafi (Wahabi). Dalam hal

ini, Syaikh Ibn Taimiyah berkata:

12

Page 13: Sunnah dan Bid'ah

“Dari sini dapat diketahui kesesatan orang yang membuat-buat cara atau keyakinan

baru, dan ia berasumsi bahwa keimanan tidak akan sempurna tanpa jalan atau

keyakinan tersebut, padahal ia mengetahui bahwa Rasulullah tidak akan pernah

menyebutnya. Pandangan yang menyalahi nash adalah bid’ah yang berdasarkan

kesepakatan kaum Muslimin. Sedangkan pandangan yang tidak diketahui

menyalahinya, terkadang tidak dinamakan bid’ah. Al-Imam al-Syafi’I berkata,

“Bid’ah itu ada dua. Pertama bid’ah menyalahi al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan astar

sebaian sahabat Rasulullah. Ini disebut bid’ah dhalalah. Kedua, bid’ah yang tidak

menyalahi hal tersebut. Ini terkadang disebut bid’ah hasanah, berdasarkan

perkataan Umar, “Inilah sebaik-baik bid’ah.” Pernyataan al-Syafi’i ini

diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal dengan sanad yang shahih.”

(Syaikh Ibn Taimiyah, Majmu’ al-Fatawa, juz 20, hal. 163).

Dari uarian diatas dapat disimpulkan bahwa para ulama terkemuka dalam setiap

kurun waktu mulai dari al-Imam al-Syafi’I, al-Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar

dan Syaikh Ibn Taimiyah telah membagi bid’ah menjadi dua, yaitu bid’ah hasanah

dan bid’ah madzmunah. Bahkan lebih rinci, bid’ah dibagi menjadi lima bagian sesuai

dengan komposisi hokum syara’ yang ada. Pembagian tersebut juga diikuti oleh dua

ulama Syiah Zaidiyah yang menjadi rujukan kaum Wahabi, yaitu al-Imam al-

Shan’ani dan al-Imam al-Syaukuni dalam kedua kitab beliau, yaitu kitab Subul al-

Salam Syah Bulugh al-Maram dan kitab Nail al-Authar min Asrar Muntaqa al-

Akhbar.

C Bid’ah Pada Masa Rasul dan Sahabat

Bid’ah hasanah Pada Masa Rasulullah Saw

1. Hadist Sayidina Mu’adz bin Jabal

13

Page 14: Sunnah dan Bid'ah

“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “pada masa Rasulullah, bila seseorang

dating terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang

yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang

tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk kedalam shalat berjamaah

bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-

orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah

dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan

tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah selesai shalat,

maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah

Rasulullah selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang

berbedah dengan kebiasaan mereka. Lalu beliau menjawab: “Mu’adz bin jabal,

beliau bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat shalat kalian.

“Dalam riwayat Mu’adz bin jabal, beliau bersabda; “Mu’adz telah memulai cara

yang baik buat shalat kalian. Begitulah shalat yang harus kalian kerjakan.” (HR.

al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syabibah dan lain-lain. Hadist ini

dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-Id dan al-hafizh Ibn Hazm al-

Andalausi).

Hadist ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti

shalat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntutan syara’. Dalam hadist ini, Nabi

tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru

dalam shalat sebelum bertanya kepadaku?” Bahkan beliau membenarkannya, karena

perbuatannya Mu’adz sesuai dengan kaidah berjamaah, yaitu makmum harus

mengikuti imam.

2. Hadist Sayidina Bilal

14

Page 15: Sunnah dan Bid'ah

”Abu hurairah meriwayatkan bahwa Nabi bertanya kepada bilal ketika shalat

fajar. “Hai bilal, kebaikan apa yang paling engkau harapkan pahalanya dalam

islam, karena aku telah mendengar suara kedua sandalmu disurga?” Ia

menjawab: “Kebaikan yang paling aku harapkan pahalanya adalah aku belum

pernah berwudhu’, baik siang maupun malam, kecuali aku melanjutkan dengan

shalat sunat dua rakaat yang aku tentukan waktunya.” Dalam riwayat lain, beliau

berkata kepada bilal:”Dengan apa kamu mendahuluiku ke surge?” Ia menjawa:

“Aku belum pernah adzan kecuali aku shalat sunat dua rakaat setelahnya. Dan

aku belum pernah hadast, kecuali aku berwudhu’ setelahnya dan harus aku

teruskan dengan shalat sunat dua rakaat karena Allah.” Nabi berkata: “Dengan

dua kebaikan itu, kamu meraih derajat itu.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari (3/34), hadist ini memberikan

faidah bolehnya berijtihad dalam menentukan waktu ibadah, karena bilal

memperoleh derajat tersebut berdasarkan ijtihadnya, lalu Nabi membenarkannya.

Nabi belum pernah menyuruh atau mengerjakan shalat dua rakaat setiap selesai

berwudhu atau setiap selesai adzan, akan tetapi bilal melakukannya atas ijtihadnya

sendiri, tanpa dianjurkan dan tanpa bertanya kepada Nabi. Ternyata Nabi

membenarkannya, bahkan memberikannya kabar gembira tentang derajatnya disurga,

sehingga shalat dua rakaat setiap selesai wudhu menjadi sunat bagi seluruh umat.

3. Hadist Ibn Abbas

15

Page 16: Sunnah dan Bid'ah

“Sayyidina Ibn Abbas r.a berkata: “Aku mendatangi Rasulullah pada akhir malam, lalu aku shalat di belakangnya. Teryata beliau mengambil tanganku dan menarikku lurus ke sebelahnya. Setelah Rasulullah Saw memulai shalatnya, aku mundur ke belakang. Lalu Rasulullah Saw menyelesaikan shalatnya. Setelah aku mau pulang, beliau berkata; “Ada apa. Aku tempatkan kamu lurus di sebelahku, tetapi kamu malah mundur?” Aku menjawab: “Ya Rasulullah, tidak selayaknya bagi seorang shalat lurus di sebelahmu sedang engau Rasulullah yang telah menerima karunia dari Allah. “Ibn Abbas berkata: Teryata beliau senang dengan jawabanku, lalu mendoakanku agar Allah senantiasa menambah ilmu dan pengertianku terhadap agama.”Hadits shahih. (HR. al-Imam Ahmad).Hadits ini membolehkan berjihat membuat perkara baru dalam agama apabila

sesuai dengan syara’. Ibn Abbas mundur ke belakang berdasarkan ijtihadnya, padahal

sebelumnya Rasulullah Saw telah menariknya berdiri lurus di sebelah beliau Saw,

teryata beliau Saw tidak menegurnya, bahkan merasa senang dan memberinya hadiah

doa. Dan seperti inilah yang dimaksud dengan bid’ah hasanah.

4. Hadits Ali bin Abi Thalib r.a

16

Page 17: Sunnah dan Bid'ah

“Sayidina Ali r.a berkata: “Abu Bakar bila membaca al-Qur’an dengan suara

lirih. Sedangkan Umar dengan suara keras. Dan Ammar apabila membaca al-

Qur’an, mencampur surah ini dengan surah ini dengan surah itu. Kemudianhal

itu dilaporkan pada Nabi Saw. Sehingga beliau Saw bertanya kepada Abu Bakar:

“Mengapa kamu membaca dengan suara lirih?” Ia menjawab: “Allah dapat

mendengar suaraku walaupun lirih. “Lalubertanya kepada Umar. “Mengapa

kamu membaca dengan suara keras?”Umar menjawab: “Aku mengusir setan dan

menghilangkan kantuk.” Lalu beliau bertanya kepada Ammar: “Mengapa kamu

mencampur surah ini dengan surah itu?”Ammar menjawab: “Apakah engkau

pernah mendengarku mencampurnya dengan sesutau yang bukan al-

Qur’an?”Beliau menjawab: “Tidak.”Lalu beliau bersabda: “Semuanya baik.”

(HR. Ahmad).

Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat bid’ah hasanah dalam agama. Ketiga

sahabat itu melakukan ibadah dengan caranya sendiri berdasarkan ijtihatnya masing-

masing, sehingga sebagian sahabatnya melaporkan cara ibadah mereka bertiga yang

berbeda-beda itu, dan teryata Rasulullah Saw membenarkan dan menilai semuanya

baik serta tidak ada yang buruk. Dari sini dapat disimpulkan, bahwa tidak selamanya

sesuatu yang belum diajarkan oleh Rasulullah Saw pasti buruk atau keliru.

5. Hadits ‘Amr bin al-Ash r.a

17

Page 18: Sunnah dan Bid'ah

“Amr bin al-Ash r.a ketika dikirim dalam peperangan Dzat al-Salasil berkata:

“Aku bermimpi basah pada malam yang dingin sekali. Aku mau manid, tapi takut

sakit. Akhirnya aku betayamum dan menjadi imam shalat shubuh bersama

sahabat-sahabatku. Setelah kami datang kepada Rasulullah Saw, mereka

melaporkan kejadian itu kepada Rasulullah Saw. Beliau bertanya: “Hai ‘Amr,

mengapa kamu menjadi imam shalat bersama sahabat-sahabatmu sedang kamu

junub?”Aku menjawab: “Aku teringat firman Allah: “Dan janganlah kamu

membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Peyanyang kepadamu.”

(Qs. Al-NISA’: 29). Maka aku bertayamum dan shalat.” Lalu Rasulullah Saw

tersenyum dan tidak berkata apa-apa” (HR. Abu Dawud, Ahmad dan al-

Daraquthni. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hakim, al-Dzahabi dan lain-lain).

Hadits ini menjadi dalil bid’ah hasanah.’Amr bin al-‘Ash melakukan tayamum

karena kedinginan berdasarkan ijtihadnya. Kemudian setelah Nabi Saw

mengetahuinya, beliau tidak menegurnya bahkan membenarkannya. Dengan

demikian, tidak semua perkara yang tidak dianjurkan oleh Nabi Saw itu pasti

tertolak, bahkan dapat menjadi bid’ah hasanah apabila sesuai dengan tuntunan syara’

seperti dalam hadits ini.

6. Hadits Umar bin al-Khaththab r.a

18

Page 19: Sunnah dan Bid'ah

“Umar r.a berkata: Seorang laki-laki datang pada saat shalat berjamaah

didirikan. Setelah sampai di shaf, laki-laki itu berkata: “Allahu akbar kabiran

walhamdulillahi katsiran wa subhanallahi bukratan wa ashila.”Setelah Nabi Saw

selesai shalat, beliau bertanya: “Siapa yang mengucapkan kalimat tadi?”Laki-

laki itu menjawab: “Saya, ya Rasulullah. Demi Allah saya hanya bermaksud baik

dengan kalimat itu, “Beliau bersabda: “Sungguh aku telah melihat pintu-pintu

langit terbuka menyambut kalimat itu. “Ibn Umar berkata: “Aku belum pernah

meninggalkannya sejak mendengarnya.” (HR. Muslim).

7.

Hadits Rifa’ah bin Rafi’ r.a

19

Page 20: Sunnah dan Bid'ah

“Rifa’ah bin Rafi’ r.a berkata: “Suatu ketika kami shalat bersama Nabi r.a.

ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah.”

Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan

katsiran thayyiban mubarakan fih. ”Setelah selesai shalat, beliau bertanya:

“Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya,”Beliau

bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya.”

(HR. al-Bukhari).

Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya

dari Nabi Saw, yaitu menambah bacaan dzikir dalam iftitah dan dzikir dalam I’tidal.

Teryata Nabi Saw membenarkan perbuatan mereka, bahkan member kabar gembira

tentang pahala yang mereka lakukan, karena perbuatan mereka sesuai dengan syara’,

dimana dalam i’tidal dan iftitah itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-

Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267),

bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat dzikir baru dalam shalat, selama

dzikir tersebut tidak menyalahi dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi Saw), dan

bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang

lain.

Bid’ah hasanah setelah Rasulullah Saw Wafat

1. Penghimpunan al-Qur’an dalam Mushhaf

20

Page 21: Sunnah dan Bid'ah

“Sayidina Umar r.a mendatangi Khalifah Abu Bakar r.a dan berkata: “Wahai

Khalifah Rasulullah Saw, saya melihat pembunuhan dalam peperangan Yamamah

telah mengorbanan para penghafal al-Qur’an, dan bagaimana kalau anda

mengihimpun al-Qur’an dalam satu Mushhaf?” Khalifah menjawab: “Bagaimana

kita akan melakukan sesuatau yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah

Saw?” Umar berkata: “Demi Allah, ini baik.” Umar terus meyakinkan Abu

Bakar, sehingga akhirnya Abu bakar menerima usulan Umar. Kemudian

keduanya menemui Zaid bin Tsabit r.a, dan menyampaikan tentang rencana

mereka kepada Zaid. Ia menjawab: “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu

yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw?” Keduanya menjawab:

“Demi Allah, ini baik.” Keduanya terus meyakinkan Zaid, hingga akhirnya Allah

melapangkan dada Zaid sebagimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan

Umar dalam rencana ini,” (HR. al-Bukhari).

Umar mengusulkan penghimpunan al-Qur’an dalam satu Mushhaf. Abu Bakar

mengatakan, bahwa hal itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Tetapi

Umar meyakinkan Abu Bakar, bahwa hal itu tetap baik walupun belum pernah

dilakukan oleh Rasulullah Saw. Dengan demikian, tindakan beliau ini tegolong

bid’ah. Dan para ulama sepakat bahwa menghimpun al-Qur’an dalam satu mushhaf

hukumnya wajib, meskipun termasuk bid’ah, agar al-Qur’an tetap terpelihara. Oleh

karena itu, penghimpunan al-Qur’an ini tergolong bid’ah hasanah yang wajibah.

2. Shalat Tarawih

21

Page 22: Sunnah dan Bid'ah

“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku

pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khaththab. Teryata orang-orang di masjid

berpencar-pencar dalam sekian kelompok. Ada yang shalat sendirian. Ada juga

yang shalat menjadi imam beberapa orang. Lalu umar r.a berkata: “Aku

berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih

baik.” Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam

berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khaththab, dan mereka

melaksanakan shalat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu,

Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan shalat di akhir

malam, lebih baik daripada di awal malam.”Pada waktu itu, orang-orang

menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari).

Rasulullah Saw tidak pernah menganjurkan shalat tarawih secara berjamaah.

Beliau hanya melakukanya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau

tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula

mengumpulkan mereka untuk melakukanya.demikian pula pada masa Khalifah Abu

Bakar r.a kemudian Umar r.a mengumpulkan mereka untuk melakukan shalat

tarawih pada seorang imam, dan menganjurkan mereka untuk melakukanya. Apa

yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, karena itu beliau

mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Pada hakekatnya, apa yang beliau

lakukan ini termasuk sunnah, karena Rasulullah Saw telah bersabda:

22

Page 23: Sunnah dan Bid'ah

“Rasulullah Sawbersabda: “Berpeganglah dengan sunnahku dan sunnah

Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk”.

3. Adzan Jum’at

“Al-Sa’ib bin Yazid r.a berkata: “Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan

Umar adzan Jum’at pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar.

Kemudian pada masa Utsman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau

menambah adzan ketiga di atas Zaura’, yaitu nama tempat di pasar Madinah.”

(HR. al-Bukhari).

23

Page 24: Sunnah dan Bid'ah

Pada masa Rasulullah Saw, Abu Bakar dan Umar adzan Jum’at dikumandangkan

apabila imam telah duduk diatas mimbar. Pada masa Utsman, kota Madinah semakin

luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui

dekatnya waktu Jum’at sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Utsman menambahkan

adzan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka

segera berkumpul untuk menunaikan shalat jum’at, sebelum imam hadir diatas

mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau

lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang

oleh kaum Muslimain. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Ustman

termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadist

sebelumnya.

4. Shalat Sunnah Sebelum Shalat ‘Id dan Sesudahnya

24

Page 25: Sunnah dan Bid'ah

“Al-Walid bin Sari berkata: “Pada suatu hari raya, kami keluar bersama, Amirul

Mu’minin Ali bin Abi Tholib ra. Lalu beberapa orang dari sahabat beliau

menanyakan tentang melakukan shalat sunat sebelum shalat ‘id an sesudahnya.

Tertapi beliau tidak menjawabnya. Lalu datang lagi beberapa orang yang

menayakan hal yang sama pada beliau. Dan beliaupun tidak menjawabnya.

Setelah kami tiba di tempat shalat, beliau menjadi imam shalat dan bertakbir 7

kali, dan lima kali, kemudian diteruskan dengan khotbah. Setelah turun dari

mimbar, beliau menaiki kendaraannya. Kemudian mereka bertanya: ”Hai Amirul

Mu’minin, mereka melakukan shalat sunnah sesudah shalat ‘id!” Beliau

menjawab: “Apa yang akan aku lakukan? Kalian bertanya padaku tentang

sunnah, sesungguhnya Nabi Saw belum pernah melakukan shalat sunnah sebelum

shalat ‘id dan sesudahnya. Tetapi siapa yang mau melakukan,lakukanlah, dan

siapa yang mau meninggalkan, tinggalkanlah. Aku tidak akan menghalangi orang

yang mau shalat, agar tidak termasuk “orang yang melarang seorang hamba

ketika dia mengerjakan shalat.” (HR. al-Imam al-Bazzar dalam al-Musnad.

(Lihat: al-Hafizh al-Haitsami, Majma’ al-Zawaid (2/438).

25

Page 26: Sunnah dan Bid'ah

Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat sunnah sebelum shalat ‘id dan

sesudahnya. Kemudian beberapa orang melakukannya pada masa Amirul Mu’minin

Ali bin Abi Thalib r.a, dan teryata beliau membiarkan dan tidak menegur mereka.

Karena apa yang mereka lakukan termasuk bid’ah hasanah, siapa saja boleh

melakukannya. Di sini, Sayidina Ali bin Abi Thalib, salah satu Khulafaur Rasyidin,

memahami bahwa sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw belum

tetntu salah dan tercela.

5. Hadits Talbiyah

Abdullah bin Umar r.a meriwayatkan bahwa do’a talbiyah yang dibaca oleh

Rasulullah Saw ketika menunaikan ibadah haji adalah:

Tetapi Abdullah bin Umar r.a sendiri menambah doa talbiyah tersebut dengan

kalimat:

Hadits tentang doa talbiyah Nabi Saw dan tambahan Ibn Umar ini diriwayatkan

oleh Bukhari (2/170), Muslim (1184), Abu Dawud (1812) dan lain-lain. Menurut Ibn

Umar, Sayidina Umar r.a juga melakukan tambahan dengan kalimat yang sama

sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim (1184). Bahkan dalam riwayat Ibn Abi

Syaibah dalam al-Mushannaf, Sayidina Umar menambah bacaan talbiyah dari Nabi

Saw dengan kalimat:

26

Page 27: Sunnah dan Bid'ah

Dalam riwayat Abu Dawud (1813) dengan sanad yang shahih, Ahmad (3/320) dan

Ibn Khuzaimah (2626), sebagai sahabatmenambah bacaan talbiyah-nya dengan

kalimat:

Al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam al-Mathalib al-Aliyah

meriwayatkan bahwa, Sayidina Anas bin Malik r.a dalam talbiyah-nya menambah

kalimat:

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, hadits-hadits talbiyah yang

beragam dari para sahabat, menunjukkan bolehnya menambah bacaan dzikir dalam

tasyahhud, talbiyah dan lain-lainya terhadap dzikir yang ma’tsur (datang dari Nabi

Saw). Karena Nabi Saw sendiri telah mendengar tamabahan para sahabat dalam

talbiyah, dan membiarkannya. Sebagaimana tokoh-tokoh sahabat melakukan

tambahan pula, seperti Umar Ibn Umar, Abdullah bin Mas’ud, Hasan bin Ali, Anas

dan lain-lain r.a. Kebolehan menambahkan dzikir baru terhadap dzikir yang ma’tsur

ini adalah pendapat mayoritas ulama, bahkan bisa dikatakan ijma’ (konsensus)

ulama.

6. Redaksi Shalawat Nabi Saw

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah, murid terdekat Syaikh Ibn Taimiyah dan salah

satu ualama otoritatif di kalangan kaum Wahabi, meriwayatkan beberapa redaksi

shalawat Nabi Saw yang disusun oleh para sahabat dan ulama salaf, dalam kitabnya

Jala’ al-Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam Saw. Antara lain

shalawat yang disusun oleh Abdullah bin Mas’ud r.a berikut ini:

27

Page 28: Sunnah dan Bid'ah

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan redaksi shalawat Sayidina

Abdullah bin Abbas r.a, berikut ini:

Syaikh Ibn al-Qayyim juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-Imam

‘Alqamah al-Nakha’I r.a, seorang tabi’in, sebagai berikut:

Syaikh Ibn Qayyim al-Jauziyah juga meriwayatkan shalawat yang disusun oleh al-

Imam al-Syafi’i r.a sebagai berikut:

Demikian beberapa redaksi shalawat Nabi Saw yang disusunoleh para sahabat dan

ulama salaf yang diriwayatkan olek Syaikh Ibn al-Qayyim dalam kitabnya jala’ al-

Afham fi al-Shalat wa al-Salam ‘ala Khair al-Anam Saw. Hal tersebut yang menjadi

inspirasi bagi para ulama untuk menyusun beragam redaksi shalawat, sehingga

lahirlah shalawat Nariyah, Thibbul Qulub, al-Fatih, al-Munjiyat dan lain-lain.

D. Kelompok Anti Bid’ah dan Dalilnya

28

Page 29: Sunnah dan Bid'ah

Sebelum pemaparan dalil-dalil bid’ah hasanah, perlu disebutkan disini hadist

yang dijadikan sebagian kalangan untuk menolak adanya bid’ah hasanah. Hadist

tersebut berbunyi :

“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasuluallah bersabda : “Sebaik-baik ucapan

adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-

jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR.

Muslim).

Menurut kelompok ini, hadist di atas sangat tegas mengatakan bahwa semua

bid’ah itu adalah kesesatan. Ddalam hal ini, seorang ulama Wahabi kontemporer

bernama Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, berkata dalam kitabnya al-

Ibda’ fi kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’ (kreasi tentang kesempurnaan syara’

dan bahanya bid’ah) :

“Hadist ‘semua bid’ah adalah sesat’, bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa

terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti menyeluruh dan

umum yang paling kuat yaitu kata-kata “kull (seluruh).” Apakah setelah

ketepatan menyeluruh ini, kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian,

atau menjadi lima bagian? Selamanya, (pembagian) ini tidak akan pernah.”

(Muhammad bin Shalih al’Utsaimin, al-Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-

Ibtida’, hal. 13)

29

Page 30: Sunnah dan Bid'ah

Pernyataan di atas memberikan pengertian bahwa hadist “semua bid’ah adalah

sesat”, bersifat general, umum dan menyeluruh terhadap seluruh jenis bid’ah, tanpa

terkecuali, sehingga tidak ada satu pun bid’ah yang boleh disebut bid’ah hasanah,

apalagi disebut bid’ah mandubah yang mendatangkan pahala bagi pelakunya.

Penolakan pembagian bid’ah menjadi dua atau lima bagian berdasarkan hadist

diatas, masih perlu dipertimbangkan. Kerena tidak semua kosa kata ”kullu” dalam

al-Qur’an dan hadist, bermakna menyeluruh tanpa memiliki pengecualian dan

pembatasan. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin sendiri misalnya berkata :

“Redaksi seperti “kullu syay’in (segala sesuatu)” adalah kalimat general yang

terkadang dimaksudkan kepada makna yang terbatas, seperti firman Allah

tentang Ratu Saba’ :“Ia dikarunia segela sesuatu.” (QS. Al-Naml: 23). Padahal

banyak sekali sesuatu yang tidak masuk dalam kekuasaannya, seperti kerajaan

Nabi Sulaiman.”

Dalam pernyataan diatas, Syaikh al-‘Utsaimin mengakui bahwa tidak semua kata

“kullu” dalam teks al-Qur’an dan hadist bermakna general (‘am), tetapi ada yang

bermakna terbatas (khash). Di sisi lain, ketika dihadapkan dengan sekian banyak

persoalan baru yang harus diakui, Syaikh al-‘Utsaimin juga terjebak dalam

pembagian bid’ah menjadi beberapa bagian. Dalam hal ini, Syaikh al-‘Utsaimin

berkata:

30

Page 31: Sunnah dan Bid'ah

“Hukum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan dunia adalah halal. Jadi,

bid’ah dalam urusan-urusan dunia itu halal, kecuali ada dalil menunjukkan

keharamannya. Tetapi hokum asal perbuatan baru dalam urusan-urusan agama

adalah dilarang. Jadi, berbuat bid’ah dalam urusan-urusan agama adalah haram

dan bid’ah, kecuali ada dalil dari al-Kitab dan Sunnah yang menunjukkan

keberlakuannya.” (Al-‘Utsaimin, Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hal. 639-640).

Pernyataan al-‘Utsaimin ini membatalkan tesis sebelumnya, bahwa semua bid’ah

secara keseluruhan itu sesat, dan sesat itu tempatnya di neraka. Dengan klasifikasi

bid’ah menjadi dua (versi al-‘Utsaimin), yaitu bid’ah dalam hal agama, dan memberi

bukti bahwa al-‘Utsaimin tidak konsisten dengan pernyataan awalnya (tidak ada

pembagian dalam bid’ah). Dalam bagian lain, al-Utsaimin juga menyatakan :

“Di antara kaidah yang ditetapkan adalah bahwa perantara itu mengikuti hokum

tujuannya. Jadi perantara tujuan yang disyariatkan, juga disyariatkan.

Perantara tujuan yang tidak disyariatkan, juga tidak disyariatkan. Bahkan

perantara tujuan yang diharamkan juga diharamkan. Karena itu, pembangunan

madrasah-madrasah, penyusunan ilmu pengetahuan dan kitab-kitab, meskipun

bid’ah yang belum pernah ada pada masa Rasulullah dalam bentuk seperti ini,

31

Page 32: Sunnah dan Bid'ah

namun ia bukan tujuan, melainkan hanya perantara, sedangkan hokum perantara

mengikuti hokum tujuannya. Oleh karena itu, bila seorang membangun madrasah

untuk mengajarkan ilmu yang diharamkan, maka membangunnya di hukumi

haram. Bila ia membangun madrasah untuk mengajarkan syariat, maka

membangunnya disyariatkan.” (Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, al-

Ibda’ fi Kamal al-Syar’I wa Khathar al-Ibtida’, hal. 18-19).

Dalam pernyataan ini, al-‘Utsaimin juga membatalkan tesis yang diambil

sebelumnya. Pada awalnya dia mengatakan bahwa semua bid’ah secara keseluruan,

tanpa terkecuali adalah sesat, dan sesat tempatnya dineraka, dan tidak akan pernah

benar membagi bid’ah menjadi tiga apalagi lima.

Dengan demikian, para ulama ahli hadist dan ahli fikih berpandangan bawha

hadist “semua bid’ah itu sesat”, adalah kata-kata general (‘am) yang maknanya

terbatas (khash). Dalam hal ini al-Imam al-Hafizh al-nawawi menyatakan:

“Sabda Nabi Saw “semua bid’ah adalah sesat”, ini adalah kata-kata umum yang

dibatasi jangkauannya. Maksud “semua bid’ah itu sesat”, adalah sebagian besar

bid’ah itu sesat (bukan seluruhnya).” (al-Imam al-Nawawi, Syarh Shahih

Muslim, 6/154).

Oleh karena hadist “semua itu sesat”, adalah redaksi general yang maknanya

terbatas, makna para ulama membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah hasanah (baik) dan

bid’ah sayyi’ah (buruk). Lebih rinci lagi, bid’ah itu terbagi menjadi lima bagian

sesuai komposisi hukum islam yang lima; wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah.

Tidak semua bid’ah itu sesat dan tercela.

Dalil-dalil berikut ini akan dibagi menjadi dua; dalil-dalil bid’ah hasanah pada

masa Rasulullah, dan dalil-dalil bid’ah hasanah sesuai Nabi wafat.

32

Page 33: Sunnah dan Bid'ah

BAB 3

PENUTUP

A. Kesimpulan

Sunnah adalah sebuah konsep perilaku dari Nabi Saw dimana praktek actual menjadi

basis yang terpenting. Sebagai sebuah konsep yang merujuk kepada perilaku Nabi, sunnah

bisa dipastikan mengalami perubahan yang sebagian besar berasal dari praktek actual

masyarakat Muslim dari generasi ke generasi. Praktek aktual tersebut terus menjadi subyek

modifikasi melalui tambahan-tambahan yang berbanding lurus dengan perkembangan

situasional masyarakat dalam berbagai permasalahan yang menyangkut hokum, moral dan

keagamaan. Pada tataran inilah muncul berbagai kontroversi dan penafsiran yang

bertentangan yang kemudian diselesaikan oleh al-Syafi’i melalui proses kanonisasi da

kodifikasi sunnah ke dalam hadits.

Bid’ah adalah mengerjakan suatu yang tidak pernah dikenal (terjadi) pada masa

Rasulullah” (Qawa’id al-Ahkam fi Mashalil al-Anam,2/172).

Definisi serupa juga dikemukakan oleh al-Imam MUhyiddin Abu Zakariya Yahya bin

Syaraf al-Nawawi, hafizh dan faqih dalam madzhab Syafi’i. Beliau berkata :

“Bid’ah adalah mengerjakan suatu yang baru yang belum ada pada masa Rasulullah “

(Al-Imam al-Nawawi, Tahdzib al-Asma’wa al-Lughar,3/22).

B. Saran

Dengan adanya makalah ini, para perawat mampu mengetahui konsep keluarga sejahtera

dengan baik dan mampu mengaplikasikannya dengan lancar.

33

Page 34: Sunnah dan Bid'ah

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Navis dkk. 2012.Risalah Ahlussunnah Wal-Jamaah.Surabaya:Khalista

Achmad Muhibbin Zuhri, 2010.Pemikiran KHM. Hasyim Asy’ari tentang

Aswaja.Surabaya:Khalita

34