surat pernyataan bebas plagiat - universitas udayana · 2018. 1. 24. · surat pernyataan bebas...

49
iv SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertandatangan di bawah ini, saya penulis disertasi: Nama : I Ketut Darma NIM : 1490671004 Program Studi : Ilmu Ekonomi Program Doktor Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana Alamat : Jln. Katrangan Gg. XI/4 Denpasar Telepon : 08123688137 Email : [email protected] Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi dengan judul “ Peran Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani, Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan Konversi Lahan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyarini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti ada plagiasi dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang- undangan lainnya yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan jujur dan penuh rasa tanggung jawab, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagaimana mestinya. Denpasar, Desember 2017 Yang Membuat Pernyataan, I Ketut Darma NIM: 1490671004

Upload: others

Post on 13-Feb-2021

24 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • iv

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT

    Yang bertandatangan di bawah ini, saya penulis disertasi:

    Nama : I Ketut Darma

    NIM : 1490671004

    Program Studi : Ilmu Ekonomi Program Doktor

    Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis

    Universitas Udayana

    Alamat : Jln. Katrangan Gg. XI/4 Denpasar

    Telepon : 08123688137

    Email : [email protected]

    Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah disertasi dengan judul “Peran

    Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani, Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan dan Konversi Lahan Pertanian Untuk Mewujudkan

    Kedaulatan Pangan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten

    Gianyar” ini bebas dari plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti ada plagiasi dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai Peraturan

    Mendiknas Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2010 dan peraturan perundang-

    undangan lainnya yang berlaku.

    Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan jujur dan penuh rasa tanggung

    jawab, untuk selanjutnya dapat digunakan sebagaimana mestinya.

    Denpasar, Desember 2017

    Yang Membuat Pernyataan,

    I Ketut Darma

    NIM: 1490671004

    mailto:[email protected]

  • v

    UCAPAN TERIMA KASIH

    Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,

    Tuhan Yang Maha Esa karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya disertasi ini

    dapat diselesaikan dengan baik. Disertasi ini berjudul “Peran Tindakan Kolektif

    Kelembagaan Petani, Pembangunan Pertanian Berkelanjutan dan Konversi

    Lahan Pertanian Untuk Mewujudkan Kedaulatan Pangan di Daerah Aliran

    Sungai (DAS) Pakerisan Kabupaten Gianyar”. Tuntasnya disertasi ini tidak

    terlepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam bentuk material dan non-material

    yang diberikan secara langsung ataupun tidak langsung. Bantuan tersebut yang

    memungkinkan disertasi ini dapat diselesaikan dengan baik. Untuk itu penulis

    dengan penuh syukur dan ketulusan hati menyampaikan ucapan terima kasih dan

    penghargaan setinggi-tingginya.

    Kepada Rektor Universitas Udayana, Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi,

    Sp.S.(K). beserta para Pembantu Rektor, penulis ucapkan terima kasih atas

    kesempatan yang diberikan dan fasilitas yang disediakan untuk dapat

    menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada Dekan Fakultas Ekonomi dan

    Bisnis Universitas Udayana, Dr. I Nyoman Mahaendra Yasa, SE., M.Si., yang

    telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, bimbingan, semangat dan

    berbagai bantuan kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terima

    kasih kepada Ketua Program Studi Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana

    Fakultas Ekonomi dan Bisnis Univesitas Udayana sekaligus sebagai Promotor,

    Prof. Dr. Drs. Made Kembar Sri Budhi, M.P., Guru Besar Fakultas Ekonomi dan

    Bisnis Universitas Udayana, Denpasar yang dengan kesabarannya telah

  • vi

    memberikan bimbingan dan berbagai literatur yang sangat menunjang dalam

    penulisan disertasi ini, serta selalu memberikan dorongan dan motivasi kepada

    penulis untuk segera menyelesaikan Program S3 ini.

    Prof. Dr. Made Suyana Utama, S.E., M.S., Guru Besar Fakultas Ekonomi

    dan Bisnis Universitas Udayana sebagai Ko-Promotor I yang dengan kecerdasan,

    keluasan wawasan dan ketegasan beliau sebagai ilmuan senior, telah memberikan

    bimbingan, mengarahkan dan tantangan bagi penulis untuk menyelesaikan studi

    disertasi ini dengan penuh ketekunan tersendiri. Dr. Ni Nyoman Yuliarmi, S.E.,

    M.P. selaku Ko-Promotor II yang telah banyak memberikan arahan dan

    bimbingan dalam penulisan disertasi ini, sehingga penulisan lebih bermakna,

    penulis ucapkan terima kasih dengan tulus dan penghargaan. Para dosen pengajar

    Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan

    Bisnis Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu,

    ucapan terima kasih ini penulis sampaikan dengan tulus atas semua perannya

    dalam memberikan pengetahuan ataupun meletakkan dasar keilmuan secara kritis,

    sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

    Kepada staf Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program Pascasarjana

    Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana, Ni Komang Sri Mariatini,

    S.E., Ni Putu Sri Suarningsih, S.E., dan I Nyoman Suwendra, S.E., terima kasih

    atas bantuan dan fasilitasinya kepada penulis selama masa perkuliahan dan

    penyelesaian disertasi ini. Terima kasih penulis juga sampaikan kepada rekan-

    rekan di IDEYANA (Ikatan Doktor Ekonomi Udayana) terutama kepada

    Dr. Paulus Kurniawan dan Dr. Ni Putu Nina Eka Lestari beserta staf Ni Komang

    Arsini, atas dukungan dan bantuanya yang tulus.

  • vii

    Kepada Ketua Yayasan Kesejahteraan Korpri Provinsi Bali, Dr. Drs A.A.

    Gede Oka Wisnumurti, M.Si. beserta staf, penulis ucapkan terima kasih atas

    dukungan biaya yang diberikan dan fasilitas yang disediakan untuk dapat

    menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada Rektor Universitas Warmadewa,

    Prof. dr. Dewa Putu Widjana, DAP&E.Sp.ParK. beserta para Pembantu Rektor,

    penulis ucapkan terima kasih atas kesempatan yang diberikan dan fasilitas yang

    disediakan untuk dapat menyelesaikan studi dan disertasi ini. Kepada Dekan

    Fakultas Ekonomi Universitas Warmadewa, Dr. I Made Sara, SE., MP. beserta

    para Wakil Dekan, penulis ucapkan terima kasih atas dukungan yang diberikan

    dan fasilitas yang disediakan untuk dapat menyelesaikan studi dan disertasi ini.

    Kepada teman dosen dan mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Warmadewa,

    yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, ucapan terima kasih ini penulis

    sampaikan dengan tulus atas semua perannya dalam memberikan pengetahuan

    ataupun meletakkan dasar keilmuan secara kritis, sehingga penulis dapat

    menyelesaikan pendidikan ini dengan baik.

    Dengan rasa hormat dan bakti serta terim akasih disampaikan kepada

    keluarga besar Jero Mangku Tegeh Kahuripan dan istri tercinta Ni Made Lastini,

    S.E. dan Putra yang tercinta Gde Wied Jagathita (Depot) dan I Made Sarwa

    Dumana (Gabo) serta Almarhum Kakak Drs. I Ketut Wedana, MM. dan keluarga

    yang selalu mendorong dan memberikan dukungan moral dengan doanya yang

    tulus kepada kami, penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan rasa hormat

    dan bhakti penulis sampaikan ucapan terima kasih atas dukungan dan bantuan

  • viii

    untuk keberhasilan ini, serta kepada rekan-rekan Angkatan V, Dr. Reni Suasih,

    Dr. Arjawa, Dr. Rasmen Adi serta teman-teman seperjuangan (Angkatan VI) yang

    tidak bisa disebutkan satu persatu pada Program Doktor Ilmu Ekonomi, Program

    Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Udayana telah

    memberikan semangat dan masukan-masukan serta bantuannya baik material

    maupun non material dalam menyelesaikan disertasi ini.

    Penulis mengucapkan terimakasih yang tulus mulia kepada semua pihak

    yang telah memberi bantuan yang tidak sempat penulis sebutkan satu persatu.

    Semoga segala bantuan dan amal perbuatan Bapak, Ibu dan Saudara sekalian

    mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Pada akhirnya, penulis

    bersyukur dapat menyelesaikan disertasi ini dengan kesadaran penuh bahwasanya

    disertasi ini belum sempurna dan tidak luput dari kekurangan. Semoga karya

    ilmiah ini dapat memberi secercah manfaat kepada para sidang pembaca dan

    perkembangan ilmu.

    Denpasar, Desember 2017

    Penulis

    I Ketut Darma

  • ix

    ABSTRAK

    Ancaman krisis pangan dunia menjadi kekhawatiran ketika jumlah penduduk

    dari tahun ketahun terus meningkat tidak didukung oleh peningkatan produksi pangan hal ini disebabkan oleh terjadinya konversi lahan pertanian secara terus-menerus sebagai akibat perkembangan pembangunan dan rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian. Bali merupakan daerah tujuan pariwisata dunia yang perkembangannya semakin pesat, dimana pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata berbasis budaya, dimana cikal bakal budaya Bali bersumber dari sektor pertanian. Subak merupakan kelembagaan petani yang diwariskan turun temurun dan mengatur sistem pengairan dengan berlandaskan Tri Hita Karana. Bahkan lanskap subak telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, salah satunya adalah di DAS Pakerisan. Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkaji pentingnya tindakan kelembagaan petani melalui kelembagaan subak serta dampaknya terhadap konversi lahan pertanian, sehingga dapat mewujudkan pertanian yang berkelanjutan dan kedaulatan pangan.

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mensintesis: (1) pengaruh tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap konversi lahan pertanian; (2) pengaruh tindakan kolektif kelembagaan petani dan konversi lahan terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) pengaruh tindakan kolektif kelembagaan petani, konversi lahan dan pembangunan pertanian berkelanjutan terhadap kedaulatan pangan; (4) untuk menemukan pengaruh tidak langsung tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap kedaulatan pangan melalui konversi lahan pertanian; (5) untuk menemukan pengaruh tidak langsung tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap kedaulatan pangan melalui pembangunan pertanian berkelanjutan; (6) untuk menemukan pengaruh tidak langsung konversi lahan terhadap kedaulatan pangan melalui pembangunan pertanian berkelanjutan; (7) untuk menemukan pengaruh tidak langsung tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap kedaulatan pangan melalui konversi lahan di DAS Pakerisan, Kabupaten Gianyar

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan petani sebagai unit analisis. Analisis data dilakukan dengan metode SEM-PLS. Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa: (1) tindakan kolektif kelembagaan petani secara langsung berpengaruh negatif tapi tidak signifikan terhadap konversi lahan pertanian; (2) tindakan kolektif kelembagaan petani secara langsung berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan konversi lahan pertanian pengaruhnya negatif terhadap pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) tindakan kolektif kelembagaan petani dan pembangunan pertanian berkelanjutan secara langsung berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan konversi lahan pertanian pengaruhnya negatif, tapi tidak signifikan terhadap kedaulatan pangan; (4) Pembanguan pertanian berkelanjutan merupakan variabel mediasi, baik mediasi parsial maupun mediasi penuh terhadap kedaulatan pangan, sedangkan variabel konversi lahan pertanian bukan merupakan variabel mediasi di DAS Pakerisan, Kabupaten Gianyar

    Lembaga Subak di DAS Pakerisan sebaiknya memasukkan pengaturan mengenai konversi lahan pertanian dalam awig-awig subak atau dibuat perareman, serta membuat kesepakatan dengan Banjar/Dusun, desa pekraman, banjar dinas maupun banjar adat serta desa dinas dalam hal alih fungsi lahan pertanian. Pemerintah perlu melakukan upaya pembinaan dan pendampingan dalam penyempurnaa awig-awig, serta pemerintah juga perlu membuat Perda tentang tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sehingga keberadaan Subak yang satu-satunya ada di dunia lestari. Kata kunci: Tindakan kolektif kelembagaan petani, pembangunan pertanian

    berkelanjutan, konversi lahan pertanian, kedaulatan pangan

  • x

    ABSTRACT

    The threat of world food crisis became a concern when the population from year

    to year is on the rise without support by increasing the food production it because the

    conversion of agricultural land is continuously and development and low interest in the

    younger generation to join into the agricultural sector. Bali as world tourism destination

    where is the forerunner of the Balinese culture is sourced from the agricultural sector.

    Subak known as the institutional inherited hereditary farmers and irrigation system set

    up with based on the Tri Hita Karana Concept. Even the landscape of the Subak has

    been established by UNESCO as a world heritage, the one is Pakerisan Watershed.

    Therefore it is very important to examine the importance of institutional action farmers

    through Subak’s institutional and the impact for conversion of agricultural land, and then

    we can achieve the sustainable agriculture and food sovereignty.

    The purpose of this research is to analyze and sytensis : 1) the impact of

    collective action of farmers institutional towards the conversion of agricultural land; 2)

    the impact of collective action of farmers institutional and the conversion of agricultural

    land towards development of sustainable agriculture; 3) the impact of collective action of

    farmers institutional, the conversion of agricultural land and development of sustainable

    agriculture towards food sovereignty; 4) to finds the indirect effect of collective action of

    farmers institutional towards food sovereignty through the conversion of agricultural

    land; 5) to finds indirect effect of collective action of farmers institutional towards food

    sovereignty through development of sustainable agriculture; 6) to finds indirect effect of

    the conversion of agricultural land towards food sovereignty through development of

    sustainable agriculture; 7) to finds indirect effect of collective action of farmers

    institutional towards food sovereignty through conversion of agricultural land in

    Pakerisan Watershed Gianyar Regency

    This research used quantitative approach and the analysis unit was farmers.

    SEM-PLS used for data analysis. The results and data analysis showed: 1) collective

    action of farmers institutional has negative effect but insignificant effect towards the

    conversion of agricultural land; 2) collective action of farmers institutional has positive

    and significant effect, while the conversion of agricultural land has negative effect

    towards development of sustainable agriculture; 3) collective action of farmers

    institutional and development of sustainable agriculture have positive and significant

    effects, while the conversion of agricultural land has negative effect, but insignificant

    towards food sovereignty; 4) The development of sustainable agriculture is mediate

    variable, it can be partial and full mediation towards food sovereignty, while the

    conversion of agricultural land variable is not mediate variable is Pakerisan Watershed,

    Gianyar Regency

    Subak institution in Pakerisan Watershed should input the new rules about the

    conversion of agricultural land in Subak’s awig-awig or the institutional can develop the

    perarem, and make a deal with local stakeholder. The Government needs to make an

    effort of coaching and mentoring in the refinement of awig-awig, and the Government

    should make Law about the sustainability of agricultural land so Subak can be

    sustainable.

    Keywords: collective action of farmers institutional, the development of sustainable

    agriculture, the conversion of agricultural land, food sovereignty

  • xi

    RINGKASAN

    Krisis pangan dunia semenjak tahun 2005 terjadi ketika negara-negara di

    dunia mulai mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan. Secara umum terdapat

    tiga elemen utama yang berkaitan dengan krisis pangan, yaitu: (1) peningkatan

    populasi penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian;

    (2) kemiskinan dan kelaparan; serta (3) kebijakan ekonomi. Konversi lahan

    pertanian secara terus-menerus merupakan salah satu masalah yang sangat

    mengkhawatirkan sebagai akibat perkembangan pembangunan, pertumbuhan

    penduduk dan rendahnya minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.

    Di lain pihak, perkembangan pariwisata di Bali semakin pesat. Pariwisata yang

    dikembangkan di Bali adalah pariwisata berbasis budaya, dimana cikal bakal

    budaya Bali bersumber dari sektor pertanian.

    Subak merupakan kelembagaan petani yang diwariskan turun temurun dan

    mengatur sistem pengairan dengan berlandaskan Tri Hita Karana. Subak bersama

    lembaga sosial tradisional lainnya seperti banjar dan desa pekraman merupakan

    tulang punggung kebudayaan Bali. Dalam kaitan ini para petani anggota subak

    perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut masalah

    konversi lahan sawah yang berada dalam wilayah subak mereka. Bahkan lanskap

    subak telah ditetapkan UNESCO sebagai warisan budaya dunia, salah satunya

    adalah kawasan DAS Pakerisan.

    DAS Pakerisan terdiri dari tiga subak sebagai penyangga, yaitu Subak

    Pulagan, Subak Kulub Atas, dan Subak Kulub Bawah. Hasil penelitian Darmanta

    dkk (2013) menunjukkan bahwa dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2012 alih

    fungsi lahan pertanian yang terjadi di wilayah subak Gede Pulagan-Kumba telah

    mencapai angka 5,47 hektar dari luas keseluruhan wilayah subak Gede Pulagan-

    Kumba seluas 205 hektar. Di samping ada masalah konversi lahan dan turunnya

    produksi padi dalam tiga tahun terakhir ini, juga ada indikasi masalah sosial yang

    muncul dan perlu diantisipasi di kawasan subak lanskap DAS Pakerisan, antara

    lain: (1) penurunan tenaga kerja pertanian di pedesaan, khususnya buruh tani dan

    minat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian; (2) pencemaran sampah

    khususnya sampah plastik dan limbah pada saluran irigasi; (3) kerusakan

    infrastruktur mendukung pertanian seperti saluran irigasi dan jalan usaha tani; (4)

    berbagai kasus konflik sosial, seperti konflik antara daerah inti dan penyangga

    terkait, konflik antara petani dengan usaha lain seperti peternakan, serta konflik

    kepentingan antara petani dengan investor dan pengusaha yang ingin meraup

    untung dari ekonomi pariwisata. Oleh sebab itu sangat penting untuk mengkaji

    pentingnya tindakan kelembagaan petani melalui kelembagaan subak serta

    dampaknya terhadap konversi lahan pertanian, sehingga dapat mewujudkan

    pertanian yang berkelanjutan dan kedaulatan pangan.

  • xii

    Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan mensintesis: (1)

    pengaruh tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap konversi lahan pertanian;

    (2) pengaruh tindakan kolektif kelembagaan petani dan konversi lahan terhadap

    pembangunan pertanian berkelanjutan; (3) pengaruh tindakan kolektif

    kelembagaan petani, konversi lahan dan pembangunan pertanian berkelanjutan

    terhadap kedaulatan pangan; (4) untuk menemukan pengaruh tidak langsung

    tindakan kolektif kelembagaan petani terhadap kedaulatan pangan melalui

    konversi lahan pertanian; (5) untuk menemukan pengaruh tidak langsung tindakan

    kolektif kelembagaan petani terhadap kedaulatan pangan melalui pembangunan

    pertanian berkelanjutan; (6) untuk menemukan pengaruh tidak langsung konversi

    lahan terhadap kedaulatan pangan melalui pembangunan pertanian berkelanjutan;

    (7) untuk menemukan pengaruh tidak langsung tindakan kolektif kelembagaan

    petani terhadap kedaulatan pangan melalui konversi lahan di DAS Pakerisan,

    Kabupaten Gianyar.

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif yang dilaksanakan di

    DAS Pakerisan. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani di DAS

    Pakerisan yang berjumlah 230 orang, dan sampel sejumlah 124 orang. Teknik

    sampling yang digunakan adalah proportional cluster random sampling.

    Instrumen penelitian dengan menggunakan kuesioner yang telah diuji validitas

    dan reliabilitasnya. Analisis data dilakukan dengan metode SEM-PLS.

    Hasil penelitian dan analisis data menunjukkan bahwa: (1) tindakan

    kolektif kelembagaan petani secara langsung berpengaruh negatif tapi tidak

    signifikan terhadap konversi lahan pertanian; (2) tindakan kolektif kelembagaan

    petani secara langsung berpengaruh positif dan signifikan, sedangkan konversi

    lahan pertanian pengaruhnya negatif terhadap pembangunan pertanian

    berkelanjutan; (3) tindakan kolektif kelembagaan petani dan pembangunan

    pertanian berkelanjutan secara langsung berpengaruh positif dan signifikan,

    sedangkan konversi lahan pertanian pengaruhnya negatif, tapi tidak signifikan

    terhadap kedaulatan pangan; (4) tindakan kolektif kelembagaan petani secara

    tidak langsung tidak berpengaruh signifikan terhadap pembangunan pertanian

    berkelanjutan melalui konversi lahan; (5) tindakan kolektif kelembagaan petani

    secara tidak langsung berpengaruh signifikan terhadap kedaulatan pangan melalui

    pembangunan pertanian berkelanjutan; (6) konversi lahan pertanian secara tidak

    langsung berpengaruh signifikan terhadap kedaulatan pangan melalui

    pembangunan pertanian berkelanjutan; (7) tindakan kolektif kelembagaan petani

    secara tidak langsung berpengaruh tidak signifikan terhadap kedaulatan pangan

    melalui konversi lahan di DAS Pakerisan, Kabupaten Gianyar.

    Studi ini berhasil menemukan beberapa temuan penting, yaitu sebagai

    berikut. Pertama, tindakan kolektif kelembagaan ternyata berpengaruh tidak

    signifikan terhadap konversi lahan pertanian. Kelembagaan petani (subak) bersifat

    sosio agraris serta berbasis adat yang selama ini hanya mengatur tentang sistem

    pengairan serta hak dan kewajiban para petani, belum mengatur mengenai

  • xiii

    konversi lahan pertanian secara rinci. Kedua, konversi lahan pertanian ternyata

    berpengaruh tidak signifikan dan bukan merupakan variabel mediasi terhadap

    kedaulatan pangan. Hal ini karena menjadi petani bukan merupakan mata

    pencaharian yang utama, sehingga apabila terjadi konversi lahan pertanian ke

    nonpertanian petani masih bisa berkonsumsi karena sumber pendapatannya

    berasal dari luar sektor pertanian dan sebagian besar petani menilai bahwa

    indikator sarana jalan usaha tani, kerusakan saluran irigasi dan pencemaran

    saluran irigasi belum memuaskan, walaupun demikian petani masih mempunyai

    budaya malu untuk menjual lahan pertanian karena merupakan “catu”. Ketiga,

    pembangunan pertanian berkelanjutan ternyata memediasi penuh dan parsial

    terhadap kedaulatan pangan. Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, orientasi

    pembangunan pertanian perlu dilakukan secara berkelanjutan, dengan

    menggunakan tehnologi dan inovasi yang ramah lingkungan dilakukan secara

    kolektif, mengingat luas lahan yang dimiliki oleh petani sebagian besar dibawah

    0,3 Ha.

    Berdasarkan hasil penelitian ini, maka dapat disarankan hal-hal, sebagai

    berikut. Pertama, subak di Daerah Aliran Sungai Pakerisan perlu mencantukan

    aturan konversi lahan pertanian dalam awig-awig subak atau dibuatkan

    perareman, untuk mengantisipasi apabila timbul masalah di masa mendatang.

    Kedua, Pemerintah Kabupaten Gianyar, melalui Dinas Kebudayaan dan Dinas

    Pertanian perlu melakukan pendampingan dalam penyempurnaan awig-awig di

    daerah aliran sungai Pakerisan agar sesuai dengan perkembangan zaman dan

    disesuaikan dengan kebijakan maupun regulasi dari pemerintah. Ketiga, subak

    sebagai lembaga di bidang pertanian perlu membuat kesepakatan dengan

    Banjar/Dusun, desa pekraman, banjar dinas maupun banjar adat serta desa dinas

    dalam hal konversi lahan pertanian, karena masing lembaga tersebut mempunyai

    otonomi penuh, supaya di kemudian hari kalau ada permasalahan tidak saling

    menyalahkan. Keempat, Pemerintah Kabupaten Gianyar perlu membuat Perda

    tentang tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sehingga

    keberadaan Subak yang satu-satunya ada di dunia bisa lestari. Kelima, petani yang

    ada di DAS Pakerisan perlu menggunakan teknologi dan inovasi yang ramah

    lingkungan dan menggunakan pupuk organik secara berkelanjutan untuk menjaga

    kelestarian subak.

  • xiv

    SUMMARY

    World food crisis since year 2005 took place when the countries in the

    world begin worrying about the scarcity of foodstuffs. Generally, there are three

    main elements with regard to the food crisis, namely: 1) the increase in the

    population that are not offset by an increase in agricultural production; 2) poverty

    and hunger; 3) economic policy. The conversion of agriculutral land as always

    main problem that need to be worried as development, population growth and the

    low interest in the younger generation to join into the agricultural sector. In other

    side, the development of tourism in Bali was getting rapidly. Tourism developed

    in Bali is tourism-based culture, where the sources of Balinese culture comes from

    the agricultural sector.

    Subak known as the institutional inherited hereditary farmers and

    irrigation system set up with based on the Tri Hita Karana Concept. Subak along

    other traditional social institutions such as banjar and the custom village (desa

    pekraman) is the backbone of Bali's culture. In this regard the farmers involved in

    water control need to be members of the decision making process regarding the

    problem of conversion of paddy fields that are within their territory. Even the

    landscape of Subak has been established by UNESCO as world heritage, one of

    them is the area of Pakerisan Watershed.

    Pakerisan Watershed consists of three subak as a buffer i.e Subak Pulagan,

    Subak Kulub Atas, and Subak Kulub Bawah. Research results from Darmanta

    et.al (2013) shows that from year 2007 until the year 2012 over the function of

    farmland that occurs in the territory of subak Gede Pulagan-Kumba has reach 5.47

    acres of subak area from total area. As side of the conversion problem and

    decreasing of the paddy production in last three years. There is also an indication

    of the social problems that arise and need to be anticipated in the Subak area in

    Pakerisan Watershed i.e: 1) the decline in the agricultural labour force in the

    countryside, especially the peasants and interest the younger generation to join

    into the agricultural sector; 2) pollution of rubbish especially plastic waste; 3)

    damage to infrastructure; 4) various cases of social conflict as example conflict

    between villager, conflict between conflict between farmers with other businesses

    and conflict between farmers with investor who wants get profit from tourism

    economy. Therefore it is very important to examine the importance of institutional

    action farmers through institutional subak as well as their impact on the

    conversion of agricultural land, so that it can realize the sustainable agriculture

    and food sovereignty.

    The purpose of this research is to analyze and sytensis : 1) the impact of

    collective action of farmers institutional towards the conversion of agricultural

    land; 2) the impact of collective action of farmers institutional and the conversion

    of agricultural land towards development of sustainable agriculture; 3) the impact

  • xv

    of collective action of farmers institutional, the conversion of agricultural land and

    development of sustainable agriculture towards food sovereignty; 4) to finds the

    indirect effect of collective action of farmers institutional towards food

    sovereignty through the conversion of agricultural land; 5) to finds indirect effect

    of collective action of farmers institutional towards food sovereignty through

    development of sustainable agriculture; 6) to finds indirect effect of the

    conversion of agricultural land towards food sovereignty through development of

    sustainable agriculture; 7) to finds indirect effect of collective action of farmers

    institutional towards food sovereignty through conversion of agricultural land in

    Pakerisan Watershed Gianyar Regency

    This research used quantitative approach and implemented in Pakerisan

    Watershed. The population of this research is 230 farmers in Pakerisan Watershed

    and the samples was 124 farmers. Proportional cluster random sampling is used as

    Sampling technique. Research instrument by using a questionnaire that has been

    tested for validity and reliability. SEM-PLS used for the data analysis.

    The results and data analysis showed: 1) collective action of farmers

    institutional has negative effect but insignificant effect towards the conversion of

    agricultural land; 2) collective action of farmers institutional has positive and

    significant effect, while the conversion of agricultural land has negative effect

    towards development of sustainable agriculture; 3) collective action of farmers

    institutional and development of sustainable agriculture have positive and

    significant effects, while the conversion of agricultural land has negative effect,

    but insignificant towards food sovereignty; 4) collective action of farmers

    institutional has no indirect and has no significant effect towards development of

    sustainable agriculture through the conversion of land; 5) collective action of

    farmers institutional has indirect and significant effect towards food sovereignty

    through development of sustainable agriculture; 6) conversion of agricultural land

    has indirect and significant effect towards food sovereignty through development

    of sustainable agriculture; 7) collective action of farmers institutional has indirect

    and insignificant effect towards food sovereignty through the land conversion in

    Pakerisan Watershed Gianyar Regency.

    The study did find some important findings, i.e. as follows: First: the

    institutional collective action turns out to be not significant effect towards the

    conversion of agricultural land. Institutional farmers (Subak) is an agrarian and

    indigenous socio-based that had just set about watering system as well as the

    rights and obligations of the farmers, not to set about the conversion of

    agricultural land in detail; Second: the conversion of agricultural land turned out

    to be influential and not an insignificant variables mediating towards food

    sovereignty. This is because being a farmer is not a primary livelihood, so that in

    the event of the conversion of agricultural land to the non farm, farmers can still

    do a consumption because the sources of its revenue coming from outside the

    agricultural sector. Third: sustainable agricultural development is apparently

  • xvi

    mediated full and partial towards food sovereignty. To realize food sovereignty,

    the orientation of agricultural development needs to be done on an ongoing basis,

    using technological and eco-friendly innovation is carried out collectively,

    considering land area owned by the farmers partly under 0.3 Ha;

    Based on the results of this research, then be advised things as follows;

    First, subak at Pakerisan Watershed needs to be input the rules of conversion of

    agricultural lands in awig-awig Subak or made perarem, to anticipate problems in

    the future. Second, Government of Gianyar Regency, through the Department of

    culture and the Department of agriculture needs to do mentoring in perfecting

    awig-awig at Pakerisan Watershed to suit the times and adapted to the policy or

    regulation of the Government. Third, Subak must make a deal with others local

    stakeholder in the event of the conversion of agricultural land, because each of

    these institutions have full autonomy, so that at a later date if there is no problem

    of mutual blame. Fourth, Government should make Law about the sustainability

    of agricultural land so Subak can be sustainable in world. Fifth, farmers are in

    Pakerisan Watershed needs to use technology and innovation-friendly

    environment and use organic fertilizers on an ongoing basis to maintain the

    sustainability of Subak.

  • xvii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    SAMPUL DALAM ...................................................................................... i

    PRASYARAT GELAR ................................................................................ ii

    LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................... iii

    SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.............................................. iv

    UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................ v

    ABSTRAK .................................................................................................... x

    ABSTRACT .................................................................................................... xi

    RINGKASAN .............................................................................................. xii

    SUMMARY ................................................................................................... xv

    DAFTAR ISI ................................................................................................. xviii

    DAFTAR TABEL ......................................................................................... xxii

    DAFTAR GAMBAR .................................................................................... xxiv

    DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxv

    DAFTAR SINGKATAN ............................................................................. xxvi

    BAB I PENDAHULUAN ................................................................... 1

    1.1 Latar Belakang ............................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah .......................................................... 23

    1.3 Tujuan Penelitian ........................................................... 25

    1.4 Manfaat Penelitian ......................................................... 26

    BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 28

    2.1 Pembangunan Ekonomi .................................................. 28

    2.1.1 Teori Pembangunan Ekonomi............................. 28

    2.1.2 Teori Transformasi Struktural............................. 30

    2.1.3 Pembangunan Pertanian dalam Pembangunan

    Ekonomi .............................................................. 36

    2.1.4 Pembangunan Pertanian Berkelanjutan .............. 40

    2.1.5 Peranan Sektor Pertanian dalam MDGs dan

    SDGs ................................................................... 46

    2.2 Konsep Ketahanan dan Kedaulatan Pangan ................... 46

    2.2.1 Konsep Ketahanan Pangan ................................. 46

    2.2.2 Konsep Kedaulatan Pangan ................................ 48

    2.3 Alih Fungsi Lahan .......................................................... 57

    2.4 Konsep Kelembagaan ..................................................... 63

    2.4.1 Konsep Kelembagaan dan Pengertian

    Kelembagaan ...................................................... 63

    2.4.2 Peran Kelembagaan dalam Pembangunan

    Ekonomi .............................................................. 65

    2.4.3 Kelembagaan Petani............................................ 67

    2.4.4 Kelembagaan Subak di Bali ................................ 70

  • xviii

    2.5 Tindakan Kolektif ........................................................... 73

    2.5.1 Konsep Tindakan Kolektif/Aksi Kolektif

    (Collective Action) .............................................. 73

    2.5.2 Tindakan Kolektif dan Kerjasama dalam

    Komunitas ........................................................... 76

    2.5.3 Posisi Individu dalam Menggerakkan

    Kelompok............................................................ 78

    2.6 Modal Sosial .................................................................. 80

    2.6.1 Konsep dan Definisi Modal Sosial ..................... 80

    2.6.2 Unsur-unsur Modal Sosial .................................. 84

    2.6.3 Peranan Modal Sosial dalam Pembangunan

    Ekonomi .............................................................. 87

    2.6.4 Hubungan Modal Sosial dengan Sumberdaya

    Alam.................................................................... 88

    2.6.5 Modal Sosial Dalam Komonitas Petani .............. 90

    2.6.6 Modal Sosial dalam Tindakan Kolektif .............. 91

    BAB III KERANGKA PEMIKIRAN, KONSEP DAN HIPOTESIS

    PENELITIAN .......................................................................... 95

    3.1 Kerangka Pemikiran ...................................................... 95

    3.2 Kerangka Konsep Penelitian .......................................... 104

    3.3 Hipotesis Penelitian ....................................................... 111

    BAB IV METODE PENELITIAN ........................................................ 113

    4.1 Rancangan Penelitian ...................................................... 113

    4.2 Lokasi Penelitian ............................................................ 114

    4.3 Subjek dan Objek Penelitian ........................................... 114

    4.4 Identifikasi dan Definisi Operasional Variabel

    Penelitian ........................................................................ 114

    4.4.1 Identifikasi Variabel Penelitian........................... 114

    4.4.2 Definisi Operasional Variabel Penelitian............ 116

    4.5 Jenis dan Sumber Data .................................................... 120

    4.5.1 Jenis Data ........................................................... 120

    4.5.2 Sumber Data ....................................................... 121

    4.6 Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel ...... 121

    4.7 Instrumen Penelitian ....................................................... 123

    4.7.1 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ............. 123

    4.7.2 Teknik Pengumpulan Data .................................. 124

    4.8 Teknik Analisis Data ...................................................... 126

  • xix

    BAB V HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA ..................... 131

    5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian .............................. 131

    5.1.1 Gambaran Umum DAS Pakerisan ...................... 131

    5.1.2 Gambaran Umum Subak ..................................... 135

    5.2 Karakteristik Responden ................................................. 142

    5.2.1 Umur Petani Responden ..................................... 142

    5.2.2 Tingkat Pendidikan Petani Responden ............... 143

    5.2.3 Pekerjaan Usaha Tani Petani Responden ............ 144

    5.2.4 Jumlah Anggota Keluarga Petani Responden ..... 145

    5.2.5 Tanggungan Keluarga Petani Responden .......... 146

    5.2.6 Jumlah Jam Kerja Petani Responden .................. 147

    5.2.7 Luas Lahan yang Dimiliki oleh Petani

    Responden ........................................................... 148

    5.3 Deskripsi Persepsi Responden Atas Variabel Penelitian 149

    5.3.1 Tindakan Kolektif Kelmbagaan Petani ............... 150

    5.3.2 Konversi Lahan Pertanian ................................... 153

    5.3.3 Pertanian Berkelanjutan ...................................... 154

    5.3.4 Kedaulatan Pangan.............................................. 156

    5.4 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ......................... 156

    5.5 Evaluasi Outer Model (Measurement Model) .............. 158

    5.5.1 Uji Validitas ........................................................ 158

    5.5.2 Uji Reliabilitas .................................................... 165

    5.6 Pengujian Model Struktural (Structural Model/Inner

    Model) ............................................................................ 166

    5.7 Pengaruh Langsung, Pengaruh Tidak Langsung, dan

    Pengaruh Total Antar Variabel ....................................... 169

    5.8 Pengujian Hipotesis ........................................................ 171

    BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................... 185

    6.1 Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani

    Terhadap Konversi Lahan Pertanian di DAS Pakerisan,

    Kabupaten Gianyar ......................................................... 187

    6.2 Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani dan

    Konversi Lahan Pertanian Terhadap Pembangunan

    Pertanian Berkelanjutan di DAS Pakerisan, Kabupaten

    Gianyar............................................................................ 192

    6.3 Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani,

    Konversi Lahan Pertanian, dan Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan Terhadap Kedaulatan Pangan di DAS

    Pakerisan, Kabupaten Gianyar ........................................ 197

  • xx

    6.4 Peranan Variabel Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan Sebagai Variabel Mediasi di DAS

    Pakerisan, Kabupaten Gianyar ........................................ 207

    6.5 Peranan Variabel Konsevasi Lahan Pertanian Sebagai

    Variabel Mediasi di DAS Pakerisan, Kabupaten

    Gianyar............................................................................ 212

    6.6 Temuan Penelitian .......................................................... 215

    6.7 Kontribusi Penelitian ...................................................... 216

    6.7.1 Kontribusi Teoritis .............................................. 216

    6.7.2 Kontribusi Praktis ............................................... 216

    6.8 Keterbatasan Penelitian................................................... 217

    BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ..................................................... 218

    7.1 Simpulan ........................................................................ 218

    7.2 Saran ............................................................................... 219

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 220

    LAMPIRAN ................................................................................................ 235

  • xxi

    DAFTAR TABEL

    Tabel Halaman

    1.1 Luas Lahan Sawah per Kabupaten/Kota di Provinsi Bali Tahun

    2010-2014 (Ha) ............................................................................... 14

    1.2 Luas Lahan Bukan Pertanian dan Jumlah Subak per

    Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali Tahun 2012-2014 (Ha) .............. 15

    1.3 Produksi Padi di Kecamatan Tampaksiring dan Desa

    Tampaksiring Kabupaten Gianyar Tahun 2013 – 2015 (Ton) ....... 21

    2.1 Perbandingan Ketahanan Pangan, Kemandirian Pangan dan

    Kedaulatan Pangan .......................................................................... 53

    2.2 Perbedaan Konsep Ketahanan Pangan dan Kedaulatan Pangan ..... 55

    2.3 Berbagai Elemen Pokok antara Ketahanan Pangan dan

    Kedaulatan Pangan .......................................................................... 56

    4.1 Definisi Operasional Indikator Variabel Tindakan Kolektif

    Kelembagaan Petani (X) ................................................................. 117

    4.2 Definisi Operasional Indikator Variabel Konversi Lahan

    Pertanian (Y1) .................................................................................. 118

    4.3 Definisi Operasional Indikator Variabel Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan (Y2) ........................................................................... 119

    4.4 Definisi Operasional Indikator Variabel Kedaulatan Pangan (Z) ... 120

    4.5 Jumlah Populasi dan Sampel Petani di DAS Pakerisan .................. 123

    5.1 Luas Wilayah dan Penggunaan Tanah di DAS Pakerisan .............. 133

    5.2 Penggunaan Lahan di Desa Tampaksiring Tahun 2015 ................. 134

    5.3 Sumber Mata Pencaharian Utama Penduduk Desa Tampaksiring

    Tahun 2015 ..................................................................................... 135

    5.4 Kegiatan Upacara di Tingkat Subak ............................................... 140

    5.5 Kegiatan Upacara di Tingkat Individu ........................................... 141

    5.6 Distribusi Frekuensi Petani Responden Berdasarkan Umur .......... 143

    5.7 Distribusi Frekuensi Petani Responden Berdasarkan Tingkat

    Pendidikan ...................................................................................... 144

    5.8 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Sebagai Petani .............................. 145

    5.9 Distribusi Frekuensi Jumlah Anggota Petani Responden .............. 146

    5.10 Distribusi Frekuensi Pekerjaan Jumlah Tanggungan Keluarga

    Petani Responden ........................................................................... 147

    5.11 Distribusi Frekuensi Jam Kerja yang Dicurahkan Petani

    Responden Untuk Usaha Tani ........................................................ 148

    5.12 Distribusi Frekuensi Petani Responden Berdasarkan Luas Lahan

    yang dimiliki Oleh Responden Petani ............................................ 149

  • xxii

    5.13 Persepsi Responden Terhadap Variabel Tindakan Kolektif

    Kelembagaan .................................................................................. 151

    5.14 Persepsi Responden Terhadap Variabel Konversi Lahan

    Pertanian ......................................................................................... 153

    5.15 Persepsi Responden Terhadap Variabel Pertanian

    Berkelanjutan ................................................................................. 155

    5.16 Persepsi Responden Terhadap Variabel Kedaulatan Pangan ......... 156

    5.17 Nilai Koefisien Korelasi dan Cronbach's Alpha ............................ 157

    5.18 Hasil Uji Validitas Konvergen Konstruk Tindakan Kolektif

    Kelembagaan Petani ....................................................................... 160

    5.19 Hasil Uji Validitas Konvergen Konstruk Konversi Lahan

    Pertanian ......................................................................................... 161

    5.20 Hasil Uji Validitas Konvergen Konstruk Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan ................................................................................. 162

    5.21 Hasil Uji Validitas Konvergen Konstruk Kedaulatan Pangan ....... 162

    5.22 Hasil Cross Loading Antara Indikator Dengan Konstruk .............. 164

    5.23 Hasil Path Coefficient Variabel Laten Dengan First Order

    Construct ........................................................................................ 165

    5.24 Nilai Cronbach’s Alpha dan Composite Reliability ....................... 166

    5.25 Nilai R-square ............................................................................... 166

    5.26 Path Coefficient .............................................................................. 169

    5.27 Nilai Indirect Effects ...................................................................... 170

    5.28 Pengaruh Total Antar Variabel Laten ............................................. 171

    5.29 Pengujian Hipotesis 1 ..................................................................... 172

    5.30 Pengujian Hipotesis 2 ..................................................................... 174

    5.31 Pengujian Hipotesis 3 ..................................................................... 175

    5.32 Pengujian Hipotesis 4 ..................................................................... 176

    5.33 Pengujian Hipotesis 5 ..................................................................... 177

    5.34 Pengujian Hipotesis 6 ..................................................................... 178

    5.35 Pengujian Hipotesis 7 ..................................................................... 179

    5.36 Pengujian Hipotesis 8 ..................................................................... 181

    5.37 Pengujian Hipotesis 9 ..................................................................... 182

    5.38 Pengujian Hipotesis 10 .................................................................... 184

  • xxiii

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar Halaman

    1.1 Kontribusi Sektor Pertanian dan Sub Sektor Tanaman Pangan

    Terhadap PDRB Provinsi Bali Tahun 2010 – 2014 ....................... 16

    1.2 Jumlah Penduduk dan Produksi Padi Di Bali Tahun 2010 – 2013 . 17

    2.1 Hubungan Antara Tindakan Kolektif (Collective Action) Dengan

    Tindakan Individu dan Masyarakat ................................................. 93

    3.1 Kerangka Pemikiran Penelitian ....................................................... 103

    3.2 Model Operasional Penelitian ....................................................... 110

    5.1 Peta Lanskap Subak DAS Pakerisan .............................................. 133

    5.2 Struktur Organisasi Prajuru Subak Pulagan .................................. 136

    5.3 Struktur Organisasi Prajuru Subak Kulub Atas ............................. 137

    5.4 Struktur Organisasi Prajuru Subak Kulub Bawah ......................... 139

    5.5 Output SmartPLS 3 (Loading Factor dan Standardize Beta) ........ 159

    5.6 Kerangka Model Penelitian Dengan Path Coefficient ................... 167

    5.7 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani

    Terhadap Konversi Lahan Pertanian .............................................. 172

    5.8 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan

    Terhadap Pembangunan Pertanian Berkelanjutan .......................... 173

    5.9 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan

    Terhadap Kedaulatan Pangan ......................................................... 174

    5.10 Diagram Jalur Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap

    Pembangunan Pertanian Berkelanjutan .......................................... 175

    5.11 Diagram Jalur Pengaruh Konversi Lahan Petanian Terhadap

    Kedaulatan Pangan ......................................................................... 176

    5.12 Diagram Jalur Pengaruh Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

    Terhadap Kedaulatan Pangan ......................................................... 177

    5.13 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani

    Terhadap Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui

    Konversi Lahan Pertanian .............................................................. 179

    5.14 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani

    Terhadap Kedaulatan Pangan Melalui Konversi Lahan Pertanian

    dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan ................................... 180

    5.15 Diagram Jalur Pengaruh Konversi Lahan Pertanian Terhadap

    Kedaulatan Pangan Melalui Pembangunan Pertanian

    Berkelanjutan ................................................................................. 182

    5.16 Diagram Jalur Pengaruh Tindakan Kolektif Kelembagaan Petani

    Terhadap Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Melalui

    Konversi Lahan Pertanian ............................................................... 183

  • xxiv

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran Halaman

    1. Daftar Pertanyaan ........................................................................... 235

    2. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian ............... 240

    3. Output Uji Algoritma dengan SMART-PLS ................................... 245

    4. Output Uji Bootstraping dengan SMART-PLS............................... 251

  • xxv

    DAFTAR SINGKATAN

    AVE : Average Variance Extracted

    BPS : Badan Pusat Statistik

    DAS : Daerah Aliran Sungai

    FAO : Food and Agriculture Organization

    Gapoktan : Gabungan Kelompok Tani

    HKTI : Himpunan Kerukunan Tani

    IFAD : The International Fund for Agricultural Development

    IPC : International Planning Committee

    IPCC : Intergovernmental Panel on Climate Change

    PAD : Pendapatan Asli Daerah

    PDRB : Produk Domestik Regional Bruto

    PLS : Partial Least Square

    P3A : Perkumpulan Petani Pengelola Air

    RTRW : Rencana Tata Ruang Wilayah

    SEM : Structural Equation Model

    UNDRIP : The UN Declaration on the Rights of Indigenous Peoples

    UNESCO : United Nations Educational, Scientific, and Cultural

    Organization

    WBD : Warisan Budaya Dunia

    WCED : World Commission on Environment and Development

    WTO : World Trade Organization

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Krisis pangan dunia semenjak tahun 2005 terjadi ketika negara-negara di

    dunia mulai mengkhawatirkan kelangkaan bahan pangan yang kemudian hampir

    dipastikan akan menimbulkan kenaikan harga pangan. Laporan FAO

    menyebutkan bahwa sekitar 36 negara mengalami peningkatan harga pangan yang

    cukup tajam, yang berkisar dari 75 persen sampai 200 persen. Tahun 2006 – 2008

    harga pangan dunia telah meningkat dua kali lipat, dan disusul dengan

    peningkatan jumlah penduduk miskin yang tidak mampu mengakses bahan

    pangan. Kelangkaan produksi pangan sebenarnya telah dimulai jauh hari sejak

    dunia mengenal industrialisasi modern.

    Krisis pangan yang melanda dunia benar-benar membuat negara-negara di

    dunia harus berpikir keras mencari jalan keluar. Kerja keras negara-negara dunia

    dipicu dengan kenaikan harga pangan dan kekhawatiran akan bencana kelaparan

    yang terkait dengan menurunnya daya beli akan bahan pangan yang harganya

    cenderung terus meningkat. Ancaman krisis pangan dunia menjadi kekhawatiran

    besar ketika pertumbuhan penduduk pada 2010 hingga 2050 diprediksi melonjak

    dari 3,6 miliar orang menjadi 4,5 miliar orang. Secara mendasar, krisis ini dipicu

    oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk dunia yang tidak didukung oleh

    peningkatan produksi pertanian. Selain faktor dasar tersebut, kelangkaan pangan

  • 2

    juga diakibatkan oleh beralih fungsinya lahan pertanian, seperti menjadi lahan

    industri, atau berubahnya areal persawahan padi menjadi non sawah.

    Berdasarkan beberapa fenomena yang ada, secara umum terdapat tiga

    elemen utama yang berkaitan dengan krisis pangan, yaitu: (1) peningkatan

    populasi penduduk yang tidak diimbangi dengan peningkatan produksi pertanian;

    (2) kemiskinan dan kelaparan; serta (3) kebijakan ekonomi. Hampir sepanjang

    tahun 2010 hingga sekarang, terjadi peningkatan tajam harga berbagai kebutuhan

    pokok masyarakat di Indonesia. Gejolak harga ini merupakan hasil dari berbagai

    faktor, diantaranya anomali iklim yang belum sepenuhnya dapat diadaptasi oleh

    petani, adanya ekspektasi kenaikan harga (expected inflation), serta faktor

    musiman seperti lebaran, natal dan hari raya lainnya. Prospek pangan Indonesia ke

    depan tidak akan banyak bergeser dari keadaan tahun 2010 (Subandriyo, 2011).

    Berbagai tantangan serius telah menghadang di masa depan, seperti: (1)

    Fenomena pemanasan global yang memicu perubahan iklim diprediksi masih akan

    berlangsung dalam jangka panjang; (2) Globalisasi pasar dunia saat ini telah

    membuat Indonesia makin terintegrasi dengan pasar global; (3) Pertumbuhan

    jumlah penduduk yang semakin besar sehingga permintaan terhadap pangan akan

    semakin berlipat; (4) Kompetisi penggunaan lahan dan air semakin ketat. Kondisi

    ini ditandai dengan masifnya konversi lahan pertanian subur. Masifnya konversi

    lahan pertanian ke nonpertanian akan berdampak permanen terhadap produksi

    pangan nasional.

    Indonesia hingga kini masih layak disebut sebagai negara agraris, karena

    sektor pertanian masih merupakan sektor yang penting dalam pembangunan

  • 3

    negara, meskipun transformasi struktur ekonomi dari tahun ke tahun terjadi

    pergeseran kontribusi sektor pertanian dan di samping itu pula perekonomian

    Indonesia menuju negara yang perekonomiannya lebih ditopang oleh sektor

    industri dan jasa. Walaupun sampai saat ini sektor pertanian dalam arti luas yang

    mencakup subsektor tanaman bahan makanan, perkebunan, peternakan, perikanan,

    dan kehutanan masih merupakan leading sector dalam perekonomian, sektor ini

    juga masih menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan kerja. Pada

    tahun 2004 menyebutkan ada 40,61 juta orang berusia 15 tahun ke atas yang

    bekerja di sektor pertanian atau 43,33 persen dari total penduduk Indonesia.

    Namun, pada tahun 2013 jumlah penduduk usia produktif yang bekerja di sektor

    pertanian telah menyusut menjadi 39,96 juta orang atau 35,05 persen (Adam dan

    Budiawati, 2013). Walaupun terjadi penurunan orang bekerja di sektor pertanian,

    sektor pertanian masih tetap menjadi tumpuan hidup bagi sebagian besar angkatan

    kerja di Indonesia.

    Berbagai kebijakan pangan nasional sudah dilakukan oleh pemerintah

    namun tidak mencerminkan sense of humanity, sehingga berdampak pada

    kesejahteraan petani dan ketahanan pangan nasional. Dengan demikian, kebijakan

    sektor pertanian seharusnyalah mendapat prioritas utama. Tujuan dari ketahanan

    pangan, adalah menjamin ketersediaan dan konsumsi pangan yang cukup, aman

    bermutu dan bergizi seimbang di tingkat nasional, daerah dan rumah tangga.

    Ketahanan pangan harus diwujudkan secara merata di seluruh wilayah dengan

    memanfaatkan sumberdaya, kelembagaan dan budaya lokal. Ketahanan pangan

    mempunyai fungsi ekonomi, sosial budaya, politik dan keamanan bangsa.

  • 4

    Membangun ketahanan pangan merupakan kewajiban seluruh komponen bangsa

    yang dimulai dari ketahanan pangan di tingkat nasional, regional/daerah sampai

    ke rumah tangga. Untuk mendukung ketahan pangan tidak terlepas dari

    kedaulatan pangan karena kedaulatan pangan menurut Kaputra (2013), adalah

    lebih mengutamakan bagaimana pangan ditentukan oleh komunitas secara

    mandiri, berdaulat dan berkelanjutan (menghormati dan menjaga lingkungan

    hidup terpelihara dengan baik). Kedaulatan pangan adalah hak setiap orang atau

    kelompok-kelompok masyarakat dan setiap negara untuk menentukan sendiri

    kebijakan pertaniannya, ketenaga-kerjaan, perikanan, pangan yang berwawasan

    ekologis, sosial ekonomi dan budaya yang sesuai dengan kondisi khas dan

    kedaerahan (local genius).

    Apabila ingin berdaulat di bidang pangan khususnya beras, sangat

    tergantung terhadap sumber daya lahan yang tersedia khususnya lahan pertanian

    beririgasi (pertanian basah/sawah) untuk menghasilkan beras. Secara nasional,

    pangan di Indonesia tidak dapat terlepas dari beras, mengingat beras merupakan

    makanan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Dalam memenuhi

    kebutuhan beras dihadapkan kepada berbagai permasalahan, antara lain terjadinya

    alih fungsi lahan sawah (khususnya lahan sawah beririgasi) ke non pertanian,

    deraan iklim, serangan hama dan penyakit, nilai tukar beras dan dinamika

    perdagangan dunia.

    Alih fungsi lahan sesungguhnya bukan fenomena baru dalam kehidupan

    manusia. Fenomena ini sudah berlangsung lama, bahkan mungkin seusia dengan

    peradaban manusia. Alih fungsi lahan dianggap menjadi persoalan besar ketika

  • 5

    berakibat pada kerusakan lingkungan dan menyentuh persoalan keberlangsungan

    hidup manusia terkait dengan pembangunan untuk menunjang peradaban baru

    manusia. Seiring pertumbuhan populasi dan perkembangan peradaban manusia,

    penguasaan dan penggunaan lahan mulai terusik. Keterusikan ini akhirnya

    menimbulkan kompleksitas permasalahan akibat pertambahan jumlah penduduk,

    penemuan dan pemanfaatan teknologi, serta dinamika pembangunan. Lahan yang

    semula berfungsi sebagai media bercocok tanam (pertanian), berangsur-angsur

    berubah menjadi multifungsi pemanfaatan. Perubahan spesifik dari penggunaan

    untuk pertanian ke pemanfaatan bagi nonpertanian yang dikenal sebagai alih

    fungsi (konversi) lahan, semakin hari semakin mengkhawatirkan. Jika alih fungsi

    lahan pertanian ini tidak dikendalikan akan dapat mengancam kapasitas

    penyediaan pangan dan dapat menciptakan bencana sosial dan bahkan akar

    budaya akan sebagian mengalami kepunahan, karena di beberapa daerah pertanian

    merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat penting dalam peradaban

    manusia.

    Proses pembangunan bukan hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga

    di daerah pedesaan yang notabene merupakan daerah pertanian yang sangat subur.

    Di berbagai daerah di Indonesia, alih fungsi lahan pertanian semakin marak

    terjadi, setiap tahunnya sekitar 158.000 hektar pertanian berubah fungsi menjadi

    kawasan perumahan, pabrik-pabrik, dan jalan tol sementara pencetakan lahan

    pertanian tidak sampai 5.000 hektar per tahun. Kondisi ini diperparah dengan

    adanya kerusakan infrastruktur pertanian karena telah dimakan usia baik dari

    irigasi, jalan-jalan di perdesaan dan yang lainnya (Yuhry, 2011). Peranan yang

  • 6

    diberikan sektor pertanian antara lain, menyediakan pangan bagi seluruh

    penduduk, menyumbang devisa negara dari sektor non migas, membuka

    kesempatan kerja.

    Terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian secara umum

    disebabkan oleh: (1) Faktor eksternal merupakan dampak dari transformasi

    struktur ekonomi dan demografis. Lahan tak berubah, tetapi permintaan

    meningkat akibat pertumbuhan penduduk. Akibatnya, penggunaan lahan bergeser

    pada aktivitas dari pertanian ke nonpertanian yang lebih menguntungkan; (2)

    Faktor internal yang menyebabkan alih fungsi lahan adalah kemiskinan. Buruknya

    kondisi sosial ekonomi memicu petani menjual lahan pertaniannya. Mereka

    merasa tidak mendapat keuntungan ekonomis dari lahan itu; dan (3) Faktor

    Kebijakan pemerintah yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah

    yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspek

    regulasi atau peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan

    hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi

    (Lestari, 2009).

    Alih fungsi lahan pertanian untuk tujuan pemukiman dan prasarana sosial

    ekonomi khususnya di wilayah urban tidak dapat dihindari, baik di Jawa maupun

    di luar Jawa (Rusastra dan Budi, 1997). Lebih lajut dijelaskan bahkan di luar Jawa

    kecenderungannya meningkat dengan diterapkannya otonomi daerah, di mana

    daerah yang diberi kewenangan untuk mengelola daerahnya sendiri. Dengan

    demikian pemerintah daerah berlomba-lomba untuk meningkatkan pendapatan

    asli daerah (PAD) untuk membangun daerahnya, sehingga menyebabkan lahan

  • 7

    pertanian menjadi sasaran untuk dijadikan pembangunan baik lahan pertanian

    yang subur maupun lahan pertanian yang kurang produktif demi untuk

    meningkatkan pendapatan daerah. Menurut Irawan dkk. (2000), keadaan ini dapat

    memicu konversi lahan yang lebih luas lagi, karena pembangunan pemukiman

    tersebut akan diikuti oleh pembangunan prasarana ekonomi. Dari sisi pertanian

    hal tersebut akan mengganggu ekosistem sawah berupa gangguan hama,

    kurangnya penyinaran, dan gangguan tata air. Dengan demikian konversi lahan

    sifatnya cenderung akseleratif.

    Gejala konversi lahan dari penggunaan persawahan menjadi

    nonpersawahan semakin meningkat, khususnya bagi di daerah perkotaan yang

    berpenduduk lebih dari satu juta jiwa. Gejala ini cenderung terjadi di desa-desa di

    wilayah pinggiran kota di mana lahan persawahan masih tersedia cukup luas

    (Bachriadi, 1997 dalam Aprianto, 2014). Pada masa sekarang dan yang akan

    datang, sawah yang beririgasi menjadi makin langka, yang disebabkan oleh

    meningkatnya persaingan dalam penggunaan lahan dan air dengan berbagai sektor

    non-pertanian. Fenomena kelangkaan sumber daya lahan dan air terus berlanjut

    karena meningkatnya penggunaan lahan dan air di luar sektor pertanian.

    Degradasi sumber daya alam yang telah terjadi selama ini akan terus berlangsung

    tidak saja disebabkan oleh berkurang sumber daya alam dan rusaknya hutan

    (lingkungan), sehingga menyebabkan sumber air menjadi langka, tetapi juga oleh

    meluasnya urbanisasi, kawasan industri, dan berkembangnya pariwisata.

    Kekhawatiran seperti yang dikemukakan oleh Pasandaran (2006) yang

    menyebabkan terjadinya the tragedy of the common tidak dapat dihindarkan.

  • 8

    Banyaknya lahan pertanian yang berigasi (sawah) beralih fungi ke non

    pertanian akan menyebabkan terjadi ketimpangan dalam kepemilikan lahan.

    Banyak masyarakat/petani yang tidak mempunyai lahan pertanian hanya menjadi

    buruh tani. Sehingga situasi ini menjadi permasalahan terbesar bagi kurangnya

    pendapatan ekonomi masyarakat perdesaan. Kondisi ini juga berpengaruh

    menghambat pembangunan desa karena minimnya lapangan pekerjaan (Waluya,

    2013 dalam Hidayat, 2014). Hal ini diakibatkan oleh pelaksanaan dari

    pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka menengah dan panjang

    menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan lahan pertanian (konversi

    lahan pertanian), pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta

    terjadinya perubahaan struktur pendapatan petani di perdesaan.

    Secara faktual, konversi lahan pertanian (terutama sawah) tidak hanya

    berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, tetapi juga merupakan

    wujud pemubadziran investasi, degradeasi agroekosistem (lingkungan), degradasi

    tradisi atau budaya (kultur) pertanian. Di samping itu, konversi lahan sawah

    berdampak pada dimensi yang lebih luas berkaitan dengan aspek-aspek perubahan

    orientasi ekonomi, sosial, budaya, dan politik di masyarakat (BEM UI, 2009).

    Dengan adanya alih fungsi lahan pertanian khususnya sawah akan mengakibatkan

    budaya gotong-royong sebagai perwujudan dari kebersamaan di antara petani

    semakin lama akan semakin luntur. Semangat gotong-royong atau kebersamaan

    merupakan salah satu komponen dari modal sosial.

    Modal sosial merupakan sumberdaya sosial yang dapat dipandang sebagai

    investasi untuk mendapatkan sumberdaya baru dalam masyarakat. Oleh karena itu

  • 9

    modal sosial diyakini sebagai salah satu komponen utama dalam menggerakkan

    kebersamaan, mobilitas ide, saling percaya dan saling menguntungkan untuk

    mencapai kemajuan bersama. Fukuyama (1999) menyatakan bahwa modal sosial

    memegang peranan yang sangat penting dalam memfungsikan dan memperkuat

    kehidupan masyarakat modern. Di dalamnya merupakan komponen cultural

    (budaya) bagi kehidupan masyarakat modern. Modal sosial yang lemah akan

    meredupkan semangat gotong royong,

    Para petani di Indonesia umumnya dan Bali khususnya dapat

    dikategorikan petani tradisional maupun yang relatif maju dan sangat maju pada

    kehidupan dan lingkungannya masing-masing minimal memiliki empat modal

    untuk meningkatkan kejahteraan kehidupannya, yaitu dari alam (natural capital),

    sumber daya manusia (SDM) (human resources capital), modal ekonomi moderen

    (modern economic capital) dimana teknologi termasuk di dalamnya, dan yang

    sering diabaikan dan tak kalah penting adalah modal sosial (social capital) seperti

    kearifan lokal, norma dan kebiasaan setempat, serta kelembagaan yang berlaku

    dan berfungsi pada masyarakat lokal.

    Mawardi (2007) menyatakan bahwa modal sosial adalah sumberdaya yang

    dapat dipandang sebagai investasi untuk mendapatkan sumber daya baru. Dimensi

    modal sosial luas, kompleks dan lebih dari sekedar modal manusia (human

    capital) yang terfokus pada dimensi daya, keahlian dan manajerial yang dimiliki

    oleh setiap individu. Modal sosial lebih menekankan pada potensi kelompok dan

    antar kelompok dengan cakupan meliputi jaringan sosial, nilai/norma, dan

    kepercayaan antar mereka yang tumbuh dari para anggotanya sendiri dan

  • 10

    kemudian menjadi norma kelompok tersebut. Bank Dunia (1999) secara mendasar

    menyebutkan bahwa modal sosial dari suatu masyarakat mencakup kelembagaan,

    hubungan/pertalian, dan sikap/pendirian dan nilai-nilai di antara manusia dan

    memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan sosial. Modal sosial

    memiliki spektrum yang lebih luas, yaitu sebagai perekat yang mejaga kesatuan

    anggota kelompok secara bersama-sama. Kearifan lokal relevan juga untuk

    dikategorikan sebagai salah satu unsur modal sosial.

    Menurut Fukuyama (1995), bahwa modal sosial adalah kemampuan yang

    timbul dari adanya kepercayaan (trust) dalam sebuah komunitas. Modal sosial

    sebagai sumber (resource) yang timbul dari adanya interaksi antara orang-orang

    dalam komunitas. Pengukuran modal sosial sering dilakukan melalui hasil

    interaksi tersebut, seperti; terpeliharanya kepercayaan antar warga masyarakat.

    Interaksi dapat terjadi dalam skala individual maupun institusional. Dalam skala

    individual interaksi terjadi pada relasi intim antara individu yang menghasilkan

    ikatan emosional. Dalam skala institusional, interaksi terjadi pada saat beberapa

    organisasi memiliki kesamaan visi dan tujuan organisasi lainnya. Potret negatif

    modal sosial dapat digambarkan dalam formulasi melemahnya modal sosial di

    masyarakat sehingga modal sosial mengalami erosi dalam bentuk: interaksi sosial,

    ditandai dengan pelanggaran norma, krisis kepemimpinan, kerenggangan

    hubungan sosial dan dehumanisasi. Kondisi ini disebabkan oleh lemahnya kontrol

    sosial, sentimen kelompok, meningkatnya semangat individualisme dan

    meningkatnya nilai budaya material, semangat kebersamaan melemah, hal ini

  • 11

    berakibat pada lemahnya peran kelembagaan yang dibentuk oleh masyarakat itu

    sendiri.

    Pengembangan modal sosial sangat penting di dalam organisasi/

    kelembagaan lokal. Pada prakteknya, modal sosial yang paling banyak berperan

    yakni kepercayaan (trust), keputusan-keputusan kolektif dan jaringan sosial

    (social networking). Modal sosial tersebut memfasilitasi dari banyak kegiatan

    seperti: kegiatan pemanfaatan sumber air, kegiatan-kegiatan ritual dan kegiatan-

    kegiatan lainnya dalam komunitas, yang menjadi persoalan modal sosial pada

    komunitas umumnya adalah belum berkembang dengan baik sesuai dengan

    perkembangan jaman.

    Melemahnya peranan modal sosial akibat adanya campur tangan dari

    faktor eksternal (pemerintah) yang berlebihan dan faktor internal yang lebih

    dominan dalam kepemimpinnya membuat kelembagaan lokal peranannya belum

    maksimal. Kelembagaan merupakan perangkat aturan yang membatasi aktivitas

    anggota dan pengurus dalam mencapai tujuan organisasi. Kelembagaan dalam arti

    organisasi biasanya menggambarkan aktivitas yang dikoordinasikan atas dasar

    mekanisme administrasi atau komando (Arkadie, 1989 dan Pakpahan, 1990).

    Modal sosial merujuk pada hubungan kepercayaan, kebersamaan dan

    pertukaran, aturan dan norma bersama, keterkaitan, dan jaringan di dalam

    masyarakat memungkinkan setiap anggota masyarakat/petani melakukan tindakan

    kolektif (collective action) dan mengamankan sumberdaya yang dimiliki oleh

    masyarakat baik milik individu maupun milik bersama. Menurut DiGregorio et al.

    (2004) dalam Satriawan dan Oktavianti (2012), satu individu masyarakat secara

  • 12

    alami akan cenderung memilih melakukan aksi bersama dengan individu lain

    ketika mereka merasa ada kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan

    ketika merasa ada ketidakpastian serta resiko yang dihadapi jika bergerak

    sendirian. Dengan demikian, transformasi modal sosial ke dalam tindakan kolektif

    menjadi bermanfaat sebagai faktor penting untuk mempengaruhi dan menentukan

    bentuk keputusan dasar, termasuk juga pengaturan kelembagaan pertanian.

    Modal sosial memiliki salah satu unsur yang penting, yaitu keinginan yang

    kuat dari anggota kelompok untuk tidak saja berpartisipasi tetapi senantiasa

    mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu kegiatan di masyarakat. Maka

    dari itu ide dasarnya adalah bahwa seorang atau kelompok senantiasa kreatif dan

    aktif. Melibatkan diri dan mencari kesempatan yang dapat memperkaya, tidak saja

    dari sisi material tetapi juga kekayaan hubungan sosial, dan menguntungkan

    kelompok, tanpa merugikan orang lain, secara bersama sama. Mereka cenderung

    tidak menyukai bantuan yang sifatnya dilayani, melainkan lebih memberi pilihan

    untuk lebih banyak melayani secara proaktif. Tindakan proaktif memiliki

    kandungan sosial (modal sosial), terlihat melalui tindakan dari yang sederhana

    sampai berdimensi dalam dan luas. Pada dasarnya satu individu di masyarakat

    secara alami akan cenderung memilih melakukan aksi bersama dengan individu

    lain ketika mereka merasa ada kesamaan dalam hal tujuan yang ingin dicapai dan

    ketika mereka merasa adanya ketidakpastian dan resiko yang dihadapi jika

    bergerak sendirian dengan bernaung di bawah kelembagaan (kelompok).

    Bali sebagai salah satu tujuan wisata dunia, sehingga peranan industri

    pariwisata dalam pembangunan Bali sudah tidak perlu dipertanyakan lagi.

  • 13

    Dengan tidak tersedianya sumber alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri

    manufacturing yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan

    dalam pembangunan. Pembangunan pariwista di Bali disadari atau tidak telah

    membawa perubahan, baik perubahan bersifat positif seperti peningkatan

    pendapatan daerah, penciptaan lapangan kerja, dan peningkatan kesejahteraan

    tetapi juga menimbulkan perubahan yang besifat negatif seperti pencemaran,

    kemacetan lalu lintas, kerusakan lingkungan dan tidak kalah pentingnya adalah

    pengalihan fungsi lahan terutama lahan pertanian yang subur, khususnya pertanian

    yang beririgasi (sawah) yang dijadikan sebagai sarana mendukung pengembangan

    fasilitas pariwisata seperti hotel, restoran, objek wisata, infrastruktur dan lain-lain.

    Pengembangan pariwisata di Bali telah berkontribusi banyak terhadap

    kerusakan dan keseimbangan lingkungan, khususnya pembangunan pariwisata

    yang memanfaatkan lahan pertanian baik lahan basah (sawah) maupun kering.

    Pemanfaatan lahan pertanian untuk kepentingan pariwisata juga telah

    mengakibatkan kesenjangan antara industri pariwisata dengan pertanian. Menurut

    BPS Provinsi Bali Tahun 2014 dari total luas lahan Provinsi Bali yang digunakan

    untuk lahan sawah mencapai 80.542 ha (14,29 persen). Dibandingkan dengan luas

    lahan sawah tahun 2013 yang mencapai 81.165 ha berarti mengalami penurunan

    seluas 623 ha (0,77 persen), hanya Kabupaten Klungkung yang tidak mengalami

    perubahan lahan sawah, sedangkan kabupaten/kota yang mengalami penurunan

    yakni Tabanan 1,00 persen, Badung 1,58 persen, Gianyar 0,89 persen, Buleleng

    1,05 persen, dan Jembrana 0,19 persen. Kabupaten/Kota yang mengalami

  • 14

    penambahan luas sawah pada tahun 2014 adalah Karangasem 0,13 persen, Bangli

    0,21 persen, dan Denpasar 0,12 persen, seperti ditunjukan pada Tabel 1.1

    Tabel 1.1

    Persentase Perubahan Luas Lahan Sawah

    per Kabupaten/Kota Di Provinsi Bali Tahun 2011-2014

    Kabupaten/Kota Tahun (%) Rata-rata per

    Tahun 2011 2012 2013 2014

    Jembrana 0.00 -7.31 7.50 -0.19 0.00

    Tabanan -0.09 -0.21 -0.91 -1.00 -0.55

    Bandung 0.16 -0.47 -0.50 -1.58 -0.60

    Gianyar -0.39 -0.02 -0.16 -0.89 -0.36

    Klungkung -0.80 -0.05 0.00 0.00 -0.21

    Bangli 0.00 0.00 0.00 0.21 0.05

    Karangasem 0.20 0.17 -0.13 0.13 0.09

    Buleleng -0.45 0.43 -1.22 -1.05 -0.58

    Denpasar -1.33 -3.00 -0.52 0.12 -1.18

    Bali -0.20 -0.76 0.05 -0.77 -0.42

    Sumber : BPS. Provinsi Bali (BPS.go.id) Tahun 2015, diolah

    Berdasarkan Tabel 1.1 bahwa rata-rata pertahun luas sawah di Bali

    berkurang 42 persen. Kabupaten yang paling tinggi lahannya berkurang selama

    lima tahun (2011-2014) adalah Kota Denpasar sebanyak 1,18 persen disusul

    Kabupaten Badung yaitu sebanyak 0,60 persen, Buleleng 0,58 persen, Tabanan

    0,55 persen. Kota Denpasar menduduki ranking pertama terjadi konversi lahan

    disebabkan oleh beberapa hal, antara lain: (1) sebagai pusat kegiatan ekonomi dan

    pemerintahan sehingga memerlukan saran infrastruktur penunjang salah jalan

    adalah terjadi konversi lahan pertanian; (2) terjadi arus urbanisasi dan

    bertambahnya jumlah penduduk Kota Denpasar yang memerlukan perumahan

    menyebabkan menyempitnya lahan petanian dari tahun ke tahun. Sedangkan

    Jumlah subak dan luas lahan bukan pertanian per Kabupaten/Kota di Provinsi Bali

    ditunjukan seperti terlihat pada Tabel 1.2.

  • 15

    Tabel 1.2

    Luas Lahan Bukan Pertanian dan Jumlah Subak per Kabupaten/Kota

    Di Provinsi Bali Tahun 2012-2014 (Ha)

    No Kabupaten Jumlah

    Subak

    Luas Lahan

    Bukan

    Pertanian

    (2013)

    Luas Lahan

    Bukan

    Pertanian

    2014

    Selisih Lahan

    Bukan Pertanian

    2013/2014

    (Alih Fungsi

    Lahan)

    1 Jembrana 83 51.537 51.603 66

    2 Tabanan 228 21.478 21.501 23

    3 Badung 119 13.387 13.608 221

    4 Gianyar 524 9.550 9.678 128

    5 Klungkung 42 8.325 8.325 -

    6 Bangli 108 15.711 15.711 -

    7 Karangasem 157 23.063 23.736 673

    8 Buleleng 303 55.292 55.334 42

    9 Denpasar 35 9.756 9.764 8

    Total 1.559 208.099 209.260 1.161

    Sumber : BPS. Provinsi Bali (BPS.go.id) Tahun 2015

    Di antara 9 (sembilan) kabupaten/kota di Provinsi Bali, hanya Kabupaten

    Klungkung dan Kabupaten Bangli tidak mengalami perubahan luas lahan bukan

    pertanian (2013-2014). Hal itu mengindikasikan bahwa di dua kabupaten tersebut

    tidak terjadi alih fungsi lahan pertanian sawah ke lahan bukan pertanian.

    Sedangkan pada tahun yang sama, terjadi selisih lahan lahan bukan pertanian

    terbesar adalah Kabupaten Karangasem mencapai 673 Ha. Hal ini

    mengindikasikan bahwa di Kabupaten Karangasem terjadi konversi lahan

    pertanian. Terjadinya konversi lahan pertanian ke non pertanian berakibat pada

    pergeseran kontribusi sektor pertanian mengalami penurunan dari tahun ke tahun

    seperti terlihat dalam Gambar 1.1.

  • 16

    Gambar 1.1

    Kontribusi Sektor Pertanian dan Sub Sektor Tanaman Pangan

    Terhadap PDRB Provinsi Bali Tahun 2010 – 2014

    Sumber : BPS. Provinsi Bali (BPS.go.id) Tahun 2015

    Penurunan kontribusi sektor pertanian dalam arti luas juga diikuti oleh

    penurunan kontribusi sub sektor tanaman pangan dari 3,06 persen di tahun 2010

    menjadi 2,44 persen di tahun 2014. Penurunan kontribusi sektor pertanian sebagai

    akibat dari terjadinya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertnian, faktor yang

    utama disebabkan oleh jumlah penduduk yang semakin (Budhi dkk., 2015).

    Adapun laju pertumbuhan penduduk di Bali tahun 2010-2015 sebesar 1,23 persen

    per tahun, dengan laju pertumbuhan yang positif maka di masa yang akan datang

    perlu penyediakan pangan khususnya beras yang memadai. Adapun

    perkembangan produksi beras dengan jumlah penduduk seperti terlihat pada

    Gambar 1.2.

  • 17

    Gambar 1.2

    Jumlah Penduduk dan Produksi Padi di Bali Tahun 2010 – 2013

    Sumber: BPS. Provinsi Bali (BPS.go.id) Tahun 2015

    Dalam perhitungan kebutuhan beras, bukan hanya untuk memenuhi

    kebutuhan masyarakat Bali, tapi juga untuk kebutuhan wisatawan yang terus

    mengalami peningkatan. Konsumsi beras Provinsi Bali (tahun 2007 – 2011) rata-

    rata pertahun per kapita sebesar 127,10 Kg, bila dibandingkan dengan konsumsi

    beras secara nasional sebesar 102,87 Kg. dengan demikian konsumsi beras di Bali

    jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nasional (Pusat Data dan Informasi

    Pertanian Seketariat Jendral Kementrian Pertanian, 2012). Walaupun konsumsi

    masyarakat bukan saja beras tapi masyarakat juga mengkonsumsi di luar beras

    untuk memenuhi kebutuhannya. Pengaruh pendapatan terhadap konsumsi sangat

    erat kaitannya, karena pendapatan seseorang merupakan faktor yang menentukan

    pola konsumsinya, semakin tinggi pendapatan masyarakat patut diduga semakin

    baik pola konsusmsinya, atau akan merubah pola konsumsinya atau dengan kata

    tidak lagi akan mengurangi konsumsi beras. Pergeseran pola konsumsi penduduk

  • 18

    akan jelas terlihat pada kelompok penduduk yang tingkat konsumsi makanan

    sudah mengalami titik jenuh, dimana kenaikan pendapatan akan digunakan untuk

    memenuhi kebutuhan nonmakan (bukan beras) ataupun untuk investasi dan

    ditabung. Menurut Hukum Engel (Sudarman, 2004), bila selera tidak berubah

    maka persentase pengeluaran untuk makanan akan menurun seiring dengan

    meningkatnya pendapatan, sehingga permintaan akan beras menjadi inelastis.

    Derasnya alih fungsi lahan pertanian sawah di Bali, sebagai akibat dari

    pembangunan yang berkembang akan mengancam keberadaan lahan pertanian

    serta organiasi dan kelembagaan petani, terutama keberadaan lembaga Subak.

    Subak adalah suatu masyarakat hukum adat yang memiliki karakteristik

    sosioagraris-religius, yang merupakan perkumpulan petani yang mengelola air

    irigasi di lahan sawah. Subak merupakan suatu warisan budaya Bali yang berupa

    suatu sistem irigasi yang mengatur pembagian pengelolaan air yang berdasarkan

    pada pola-pikir harmoni dan kebersamaan yang berlandaskan pada aturan-aturan

    formal dan nilai-nilai agama Hindu, yang berlandaskan pada konsep filosofi Tri

    Hita Karana. Tri Hita Karana yaitu Parhyangan (hubungan yang harmonis antara

    manusia dengan Tuhan), Pawongan (hubungan yang harmonis dengan sesama

    manusia), dan Palemahan (hubungan yang harmonis antara manusia dengan

    lingkungan), yang anggotanya para petani. Secara umum tingkat pendidikan

    petani masih relatif rendah dan umurnya relatif sudah tua dan perkembangannya

    relatif lambat bila dibandingkan dengan kelembagaan lainnya yang lebih modern

    di era globalisasi.

  • 19

    Hasil penelitian Wiyatna dkk. (2015) di Kabupaten Buleleng menunjukkan

    bahwa belum terdapat awig-awig subak di Kabupaten Buleleng yang mengatur

    secara tegas mengenai larangan dan sanksi bagi krama subak yang melakukan

    konversi lahan pertanian maupun menjual lahan pertaniannya untuk kegiatan

    nonpertanian. Sehingga peranan awig-awig subak dalam rangka mengatasi dan

    mencegah konversi lahan pertanian di kawasan pesisir pantai di Kabupaten

    Buleleng belum dapat dilakukan secara maksimal. Menurut Sutawan dkk. (1989),

    penyusutan areal persawahan di Bali berlanjut terus seperti sekarang ini,

    dikhawatirkan organisasi subak akan terancam punah. Jika subak hilang akan

    berdampak pada hilangnya kebudayaan Bali karena sebagian budaya Bali berakar

    dari sektor pertanian. Subak bersama lembaga sosial tradisional lainnya seperti

    banjar dan desa adat merupakan tulang punggung kebudayaan Bali. Dalam kaitan

    ini para petani anggota subak perlu dilibatkan dalam proses pengambilan

    keputusan yang menyangkut masalah pengalih fungsian lahan sawah yang berada

    dalam wilayah subak mereka. Di samping itu, kelembagaan subak masih

    mempunyai kelemahan yaitu lemahnya posisi tawar. Petani sebagai anggota subak

    sering bertindak sendiri-sendiri secara individual dalam pengambil keputusan

    khususnya dalam mengalih fungsikan lahan pertanian ke nonpertanian. Fungsi

    lembaga subak seolah-olah tidak berperan dalam jual beli lahan pertanian, karena

    pada awig-awig subak belum diatur klausul tentang alih fungsi lahan.

    Subak telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD) oleh

    UNESCO pada hari Jumat, 29 Juni 2012 di Saint Petersburg Rusia (Kementerian

    Pendidikan dan Kebudayaan, 2014). Nilai-nilai luhur yang terkandung dalam

  • 20

    subak tersebut mengantarkannya sebagai WBD. Penetapan subak sebagai Warisan

    Budaya Dunia masuk dalam kategori bentang budaya dengan judul “The Cultural

    Landscape of Bali Province: The Subak System as a Manifestation of the Tri Hita

    Karana Philosophy” (Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak Sebagai

    Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana, 2012).

    Predikat WBD diharapkan dapat berpengaruh positif terhadap kepentingan

    bersama. Bila ditinjau dari sisi ekonomis, adanya gelar WBD dianggap dapat

    menambah pemasukan ke subak dan perhatian pemerintah terhadap keadaan

    petani. Adapun konsekuensi atas predikat WBD, yaitu untuk menjaga kelestarian

    subak. Berdasarkan hasil penelitian Sarita dkk. (2013) di Subak Pulagan, beberapa

    harapan petani Subak Pulagan setelah adanya status WBD dapat dikategorikan

    pada tiga aspek, yaitu aspek pola pikir, aspek sosial dan aspek kebendaan. Salah

    satu lanskap budaya yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya dunia, yaitu

    Kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Tukad Pakerisan di Kabupaten Gianyar.

    Subak yang terdapat dalam kawasan Daerah Aliran Sungai Tukad Pakerisan ini di

    antaranya Subak Kulub Atas, Subak Kulub Bawah, dan Subak Pulagan. Ketiga

    subak tersebut telah mengimplementasikan konsep Tri Hita Karana (THK).

    Hasil penelitian Darmanta dkk (2013) menunjukkan bahwa dari tahun

    2007 sampai dengan tahun 2012 alih fungsi lahan pertanian yang terjadi di

    wilayah subak Gede Pulagan-Kumba telah mencapai angka 5,47 hektar dari luas

    keseluruhan wilayah subak Gede Pulagan-Kumba seluas 205 hektar atau 2,7

    persen dari luas keseluruhan wilayah subak Gede Pulagan-Kumba. Bentuk alih

    fungsi yang terjadi terdiri dari: perumahan pribadi, pertokoan, tempat usaha,

  • 21

    klinik swasta, sekolah dan kandang ternak. Bentuk alih fungsi yang paling

    dominan adalah perumahan pribadi. Terjadinya alih fungsi lahan subak Gede

    Pulagan-Kumba menyebabkan produksi pada di Kecamatan Tampaksiring dan

    Desa Tampaksiring dalam 3 (tiga) tahun terakhi